The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Memahami Empat Puluh Tahun Kekerasan demi Memutus Rantai Impunitas.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by igodigital, 2017-02-09 22:12:34

Menemukan Kembali Indonesia

Memahami Empat Puluh Tahun Kekerasan demi Memutus Rantai Impunitas.

Keywords: Menemukan Kembali Indonesia

POLA KEKERASAN 239

240 MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

kenyataan teranglah, bahwa aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/
kepercayaan masyarakat yang menyalahgunakan dan/atau mempergunakan agama
sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang ke
arah yang sangat membahayakan agama-agama yang ada.”

Pasca-reformasi, desakan untuk mengubah kebijakan diskriminatif terhadap mereka
yang dianggap menganut aliran kepercayaan, menguat. Meski demikian, perubahan
tersebut masih bersifat diskriminatif seperti UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan. Pasal 61 UU ini menyatakan bahwa, KK memuat
keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota
keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan,
pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan,
dokumen imigrasi, nama orang tua. Selain itu keterangan mengenai kolom agama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui
sebagai agama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi
penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database
kependudukan.

Lihat pula Pasal 81 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan yang menyatakan “Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan di
hadapan Pemuka Penghayat Kepercayaan. Pemuka Penghayat Kepercayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi
penghayat kepercayaan, untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan
Penghayat Kepercayaan.” Pengaturan semacam ini mengakibatkan penghayat
kepercayaan yang tidak memiliki organisasi tidak dapat dicatat perkawinannya.
Terdapat beberapa perkawinan yang dapat dicatat meskipun saat itu keyakinan yang
digunakan sebagai dasar perkawinan belum diakui sebagai agama, antara lain
Perkawinan antara Gumirat Barna Alam dan Susilawati pada tahun 1996,
berdasarkan kepercayaan hukum adat Sunda, di Kantor Catatan Sipil Jakarta Timur.
Juga perkawinan antara Prialin dan Endang pada tahun 1989, berdasarkan aliran
kepercayaan, di Kantor Catatan Sipil Pati.

“Kami Dewi Kanti, salah seorang penganut agama Djawa
menyadari agama Sunda atau Sunda Wiwitan, menceritakan diskriminasi
panjang yang dialami oleh para penganut agama ini.
apapun intinya Dia menceritakan,
sama, tapi kami
punya prinsip.” “Saya merupakan generasi ketiga pelestari
spiritual yang disebut agama Djawa Sunda. Latar

belakang agama Djawa Sunda diawali keadaan

pada zaman penjajahan di mana ketertindasan sebagai bangsa

memunculkan pemahaman bahwa ada yang salah di bangsa ini. Sehingga

POLA KEKERASAN 241

terjadi penggalian spiritual yang digali oleh seorang tokoh yang bernama
Madrais pada 1890an. Ini jadi fondasi melakukan perlawanan budaya
terhadap penjajah. Perlawanan budaya ini diperhitungkan Belanda dan
peluang menghancurkan gerakan ini adalah dengan diadu domba dengan
kelompok lain dan dinyatakan sebagai aliran sesat, penyembah api, dan
tidak bertuhan. Ketika masa DI/TII, kami mengalami peristiwa di mana
gerombolan itu masuk rumah adat kami dan berusaha membakar, namun
puji rahayu rumah adat kami terselamatkan. Setelah periode 50an, masa
Republik Indonesia Serikat, saat itu mulai muncul arah angin baru di mana
organisasi kebatinan ada ruang bergabung dalam ruang Organisasi
Kebatinan Indonesia dan kami jadi anggota. Namun, dalam perjalanan
selanjutnya, legalitas sebagai organisasi menjadi tantangan ketika
Bakorpakem (Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat)
dibentuk pada tahun 1964. Dengan SK Bakorpakem, agama Djawa Sunda
dibubarkan. Perkawinan dikriminalisasi, bahkan puluhan pasang yang telah
menikah dipenjara, termasuk ayah saya. Pada tahun 1964 beliau ditangkap
dan diarak keliling jalan raya di Kuningan, dibiarkan untuk dicaci maki dan
dilempari batu dan ditodongkan senjata dengan pengawal senjata.

Tahun 1965 ada PNPS yang hanya mengakui agama resmi dan itu semakin
memojokkan kami. Kakek saya melakukan perenungan dan mendapat
pewahyuan, kami harus melindungi di bawah cemara putih, yang waktu
kakek memahami berlindung di bawah cemara putih adalah berlindung di
Kristen dan Katolik. Kakek memiliki kesepakatan dengan pimpinan Gereja
Katolik Kuningan, bahwa kami tetap menjalani tradisi kepercayaan. Tahun
1976, karena sejarah rumah adat kami dinaikan statusnya sebagai cagar
budaya dan pemerintah pusat mau membantu memperbaiki, pihak gereja
Katolik memutuskan tidak menempati rumah ibadah kami sebagai gereja.
Pada peristiwa peringatan tahun baru Syura, ayah meminta liturgi gereja
supaya Pastor menggunakan atribut Kesundaan, awalnya disepakati,
namun pada hari H pastor tidak menggunakan. Ayah saya keluar dari gereja,
tanpa diperintah warga lain mengikuti. Di situlah gejolak ada
ketidakcocokan di antara kami. Kami menyadari agama apapun intinya
sama, tapi kami punya prinsip, kami Katolik tapi Katolik yang nyunda, tapi
tidak disepakati. Pada tahun 1982, setelah keluar dari Katolik, ayah kami
mendirikan Paguyuban Adat untuk melestarikan tradisi spritual. Tetapi
Kejaksaan Jawa Barat kembali mengeluarkan SK 44 tentang larangan
perkawinan liar, dasarnya mendapat masukan dari masyarakat.

Dengan pelarangan dan pembedaan, bahwa kami aliran sesat oleh Muslim,
kami dihina oleh misionaris di Jawa Barat. Tantangan luar biasa itu tetap
kami hadapi. Anak-anak kami mengalami kekerasan psikis setelah keluar

242 MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

POLA KEKERASAN 243

SK Kejati tahun 1980. Pada semua upacara bendera anak-anak jangan
masuk paseban karena itu aliran sesat. Setelah 17 tahun pelarangan Seren
Taun, ada perubahan mata pencaharian di komuitas kami. Ketika kami
menanam varietas lokal untuk persembahan dalam acara tersebut, banyak
anggota komunitas yang patah arang, untuk apa lagi tanam varietas lokal,
toh upacara kami dibungkam. Momentum reformasi, kami menampilkan jati
diri kami, kebetulan kakak saya melakukan upacara pernikahan adat. Seren
Taun dihidupkan lagi. Dari sisi administratif, diskriminasi KTP [tetap ada],
perkawinan dianggap masih dianggap liar, menghasilkan akte kelahiran
tertulis lahir seorang perempuan dan secara hukum dihilangkan dari
silsilah ayah kandung. Sebagai generasi muda saya mau menunjukan
bahwa saya berharap agar ada penghargaan terhadap para leluhur
nusantara kita lahir sebagai bangsa bukan atas keinginan kita. Manusia
lahir dari ibu yang mewariskan peradaban baik spiritual maupun
kebudayaan. Saya ingin menjadi saksi meski dianggap berbeda dan aneh.”278

Diskriminasi juga dialami oleh jemaah Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat.279 Di NTB
warga Ahmadiyah beberapa kali diusir . Pertama, tahun 2001, pasca-pembakaran
masjid Ahmadiyah di Bayan. Pada kejadian ini 1 orang meninggal, 1 luka parah
dengan bacokan, dan semua warga Ahmadiyah diusir dari Bayan. Pada tahun 2002
jemaah Ahmadiyah di Pancor, Lombok Timur, diserang. Terjadi pembakaran dan
penjarahan dari rumah ke rumah. Saat itu pemerintah memberikan pilihan bahwa
warga Ahmadiyah boleh tetap di Pancor asalkan keluar dari Ahmadiyah atau tetap
meneguhi keyakinannya tapi meninggalkan Pancor. Pada tahun inilah warga
Ahmadiyah pertama kali menghuni asrama Transito, Mataram. Pada tahun 2006
jemaah Ahmadiyah di Ketapang, Lingsar, Lombok Barat, diserang dan diusir. Hingga
tahun 2013 ini, 130 orang belum dapat kembali ke kampung halamannya dan masih
tinggal di Transito dengan kondisi yang tidak layak. Kekerasan terhadap anggota
jemaah Ahmadiyah Indonesia di berbagai daerah seolah mendapatkan justifikasi
dengan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008, Nomor KEP-033/A/JA/6/2008,
Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota,
dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga
Masyarakat. Nasrudin Ahmadi, salah seoranga anggota Jemaah Ahmadiyah wilayah
Lombok, menceritakan kekerasan yang dialami oleh kelompoknya.

“Penyerangan yang dialami oleh warga Ahmadi dimulai sejak tahun 1998 di
Desa Keruak, Lombok Timur (Lotim). Terjadi penyerangan pada 22 Juni 2001

278 Kesaksian Dewi Kanti dalam Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan terhadap Ideologi dan Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan, Jakarta, 27 November 2013.

279 “Studi Kasus: Penyerangan terhadap Jemaah Ahmadiyah”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005,
Database KKPK.

244 MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

di Dusun Sambielen, Kecamatan Bayan, Lotim, kerugian 22 rumah dirusak,
80 orang diusir, 24,1 hektare tanah terlantar. Meninggal satu orang Ahmadi,
yaitu Papuq Hasan. Serangan yang lebih besar pada tahun 2002, secara
simultan, berhari-hari (5-6 hari) dan tepat sasaran, padahal selama ini
warga Ahmadi bermukim di berbagai tempat, rumah-rumah berbaur
dengan masyarakat non-Ahmadi yang padat, selama 32 tahun sangat
kondusif. Uniknya saat terjadi penyerangan (2002), sang penyerang tahu
persis mana rumah-rumah warga Ahmadi dan yang bukan. Penyerangan
skala lebih besar, lebih 130 rumah diserang, dijarah, dan dibakar, ada 2-3
masjid dibakar. Yang menyerang, mereka yang mencintai nabinya,
Muhamamad, yang mengklaim agamanya Islam. Kami mengalami 13 kali
pembakaran dan amuk massa. Saya sampaikan yang besar-besar saja, ini
data polisi NTB.”280

Penyerangan JAI. Polisi membendung massa yang melakukan penyerbuan kampus
Mubarak milik Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jln. Raya Parung No 72, Pondok
Udik, Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat, 15 Juli 2005. (Foto: TEMPO/ Arie
Basuki)

280 Kesaksian Nasrudin Ahmadi dalam Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan terhadap Ideologi dan Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan, Jakarta, 27 November 2013.

POLA KEKERASAN 245

C. Kekerasan Atas Nama Pembangunan dan Ketertiban

Sejak dwi fungsi ABRI dinyatakan secara resmi sebagai ideologi ABRI, kawalan ABRI
terhadap jalannya pembangunan nasional yang dilaksanakan Orde Baru pada sekitar
tahun 1977 menunjukkan penampilan yang mengesankan, di mana inflasi bisa
ditekan hingga sekitar 10% dengan tingkat pertumbuhan GNP mencapai salah satu
yang tertinggi di antara negara-negara berkembang, yaitu 8-9% per tahun.
Sedangkan pendapatan per kapita mencapai 560 USD dalam waktu kurang dari 15
tahun dan telah memindahkan posisi Indonesia dari kelompok negara miskin ke
negara berpenghasilan menengah.

Di sisi lain, pembangunan nasional telah melahirkan berbagai macam persoalan
pelik dan rumit. Titik berat pembangunan yang diletakkan pada bidang ekonomi telah
menimbulkan dampak yang merambah ke berbagai aspek kehidupan. Pembangunan
yang hanya mengajar materi dan tidak dipusatkan pada kualitas sumber daya
manusia, dalam implementasinya bias dari tujuan pemerataan. Stabilitas keamanan
yang dijadikan syarat bagi pertumbuhan ekonomi ternyata memakan korban rakyat
biasa. Pembangunan menjadi pisau bermata dua, di satu sisi memajukan dan
menyejahterakan golongan masyarkat tertentu, di sisi lain menyengsarakan dan
menjauhkan sekelompok masyarakat dari sumber penghidupannya. Penderitaan
kelompok masyarakat yang menjadi korban pembangunan semakin berat saat
program pembanguan dilaksanakan dengan paksaan.

Pada tahun 1969, Suharto menginstruksikan program transmigrasi, yaitu
memindahkan penduduk suatu pulau, tepatnya Jawa, ke luar Jawa sebagai bagian
dari proyek swasembada pangan di luar Jawa, khususnya proyek persawahan pasang
surut.281 Pada Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) II Tahun 1974-1979,
konsep transmigrasi diintegrasikan ke dalam pembangunan nasional. Pemindahan
penduduk ini sering dilatarbelakangi dengan paksaan untuk menyukseskan program
pemerintah. Penduduk suatu desa di daerah rawan bencana diinstruksikan untuk
pindah, sehingga melahirkan istilah bedol desa. Dalam kurun 1969-1993,
transmigrasi telah memindahkan sekitar 8 juta penduduk dari Pulau Jawa dan Bali
yang padat ke Sumatera, Kalimantan, dan pulau lainnya dan membuka lahan
pertanian seluas 1 juta hektare.

Penekanan transmigrasi yang pada tahap awal ditujukan untuk pengembangan
pertanian subsisten, pada tahap selanjutnya berubah menjadi penyediaan buruh
untuk HTI dan perkebunan kelapa sawit. Lahan untuk transmigran juga sering

281 “Studi Kasus 42: Pemaksaan Kebijakan Beras dan Pelaksanaan Program Transmigrasi di Pulau Sumatera”,
Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

246 MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

merambah hutan yang dilindungi dan hutan adat, yang menimbulkan gesekan
dengan penduduk setempat.

Pada tahun 1985, pemerintah merencanakan pembangunan Waduk Kedung Ombo di
Jawa Tengah untuk pembangkit tenaga listrik dan penampungan air untuk
kebutuhan 70 hektare sawah di sekitar waduk.282 Pembangunan Waduk Kedung
Ombo ini dibiayai USD 156 juta dari Bank Dunia, USD 25,2 juta dari Bank Exim
Jepang, dan APBN sejak tahun 1985 hingga tahun 1989. Waduk mulai diairi pada 14
Januari 1989 dan menenggelamkan 37 desa dan 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu
Sragen, Grobogan, dan Boyolali. Sebanyak 5.268 keluarga terpaksa kehilangan
tanahnya akibat pembangunan waduk ini. Ketika sebagian besar warga sudah
meninggalkan desanya, masih tersisa 600 keluarga yang masih bertahan karena
ganti rugi yang mereka terima sangat kecil. Warga yang bertahan di sana mengalami
teror, intimidasi dan kekerasan fisik akibat perlawanan mereka terhadap proyek
tersebut. Pemerintah memaksa warga pindah dengan tetap mengairi lokasi tersebut.
Akibatnya warga yang bertahan kemudian terpaksa tinggal di tengah-tengah
genangan air. Selain intimidasi dan teror, ganti rugi tanah yang diberikan hanya
Rp250 per meter persegi padahal Mendagri saat itu, Soeparjo Rustam, sudah
menyatakan bahwa warga akan mendapatkan ganti rugi sebesar Rp3.000 per meter
persegi. Jaswadi menuturkan,

“Dulu, hutan jati ini menjadi tempat bersembunyi warga yang menolak
pembangunan Waduk Kedung Ombo. Bersembunyi di dalam hutan jati
adalah pilihan terakhir [untuk] lari dari kejaran tentara. Situasi saat itu
mencekam. Warga yang menolak ditransmigrasikan dan mendapat teror
kekerasan. Tentara di mana-mana. Intel lebih banyak lagi. Itu yang
menyebabkan warga memilih tinggal di hutan. Sebagian laki-laki hidup
bersembunyi dalam hutan. Perempuan dan anak-anak bertahan di
kampung yang mulai digenangi air. Mereka menyingkir setelah kampung
benar-benar ditenggelamkan. Beberapa orang ditembak, bahkan ada yang
ditenggelamkan dan disiksa. Saya sempat diculik dan dibuang ke Jambi
serta Papua. Saya kabur dari tempat pembuangan dan kembali bersama
warga yang masih bertahan untuk melawan, meskipun itu harus saya
lakukan dalam hutan.”

Pada tahun 1989, warga yang masih mempertahankan tanahnya diisolasi dan
dibiarkan mati kelaparan. Masyarakat dari luar wilayah dilarang masuk. Warga yang
keluar desa harus menyerahkan KTP. Jika tidak memiliki KTP, mereka harus
mengurus. Namun, ketika akan mengurus KTP, warga dipaksa memberikan cap
jempol atau tanda tangan kesediaan pindah dan bila melawan, KTP akan dibubuhi

282 “Studi Kasus 46: Perampasan Tanah dan Pembangunan Waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah”, Narasi Kasus
Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.









































































POLA KEKERASAN 283

Perkosaan dalam Kekerasan Mei 1998.

Salah satu pertokoan di Jakarta yang menjadi
tempat terjadinya perkosaan saat kerusuhan di

bulan Mei 1998. (Foto: TEMPO/Rully Kesuma)

284 MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

POLA 5: KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Pengantar

Sejak merdeka hingga saat ini, integrasi dan peningkatan martabat bangsa menjadi
proyek utama Republik Indonesia. Namun bertentangan dengan prinsip-prinsip
bermartabat, negara justru terus mereproduksi berbagai praktik kekerasan terhadap
perempuan, menempatkan separuh warga negaranya dalam posisi rentan. Bagi para
perempuan korban dan keluarganya, tumbangnya Rezim Orde Baru dan dimulainya
era reformasi belum menjadi dinding pembatas masa lalu. Hingga hari ini, respon
penyelenggara negara terhadap pengungkapan berbagai kasus atau peristiwa
kejahatan kemanusiaan berbasis gender316 tidak cukup serius untuk dapat
mengembalikan bangsa ini ke rel peradaban yang telah dibangun dengan banyak
pengorbanan oleh para bapak dan ibu bangsa sejak pembukaan abad 20.

Dalam sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan, kekerasan terhadap perempuan
berskala masif muncul pertama kali dalam Peristiwa 1965. Tahun-tahun itu
menandai bukan hanya naiknya militer ke pentas politik praktis, tetapi juga penetrasi
ideologi militerisme ke dalam kehidupan politik, sosial kemasyarakatan, bahkan ke
dalam kehidupan rumah tangga. Lebih dari sekadar penerapan kebijakan, substansi
kebijakan itu sendiri merupakan manifestasi dari nilai dasar yang membentuk
ideologi militerisme. Manifestasi ideologi militer lebih sulit diidentifikasi karena
kerap kali sudah terinternalisasi oleh masyarakat lewat nilai-nilai, simbol-simbol,
dan bahasa yang kesemuanya menanamkan pembenaran tentang penggunaan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.317 Paham militerisme adalah warisan Rezim
Orde Baru yang masih dipertahankan oleh para penyelenggara negara di Era
Reformasi. Ideologi ini beserta berbagai manifestasinya, termasuk pembentukan
kelompok-kelompok paramiliter, secara berkesinambungan menjadi sumber
penderitaan dan kerugian kaum perempuan.

Peristiwa 1965 telah menghilangkan nyawa banyak warga negara perempuan
pendukung gerakan kiri dan memutar balik kehidupan puluhan ribu lainnya, serta
menjadi awal dari mimpi buruk kaum perempuan di Timor-Leste, Aceh, Jakarta,
Ambon, Poso, dan berbagai wilayah konflik lain. Hingga hari ini, para perempuan
Papua, anggota Jamaah Ahmadiyah, serta berbagai kelompok minoritas
terpinggirkan, masih terus terancam oleh pola kekerasan serupa. Laporan Tahunan
Komnas Perempuan 2013 menunjukkan peningkatan angka kekerasan terhadap

316 Lihat Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Mei 1998 (TPGF Mei ‘98), Tim Relawan untuk
Kemanusiaan (TRuK), Laporan CAVR Bab 7.7, dan berbagai laporan pemantauan dari Komnas Perempuan.

317 Mengenai hubungan militerisme dengan kehidupan masyarakat ini, lihat Burke, Peter, 1993, History and Social
History, Ithaca: Cornell University Press.

POLA KEKERASAN 285

perempuan antara 2001 – 2012, yaitu dari 3.169 kasus menjadi 216.156 kasus.318
Peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah personal dan
komunitas319 menguatkan kecurigaan semakin dalamnya penetrasi nilai-nilai yang
mengingkari hak-hak asasi kaum perempuan dalam relasi-relasi sosial.

Bagian ini memaparkan pengalaman para perempuan korban kekerasan yang terjadi
sejak peristiwa 1965, perempuan yang berada di wilayah konflik, maupun para
perempuan yang menjadi korban kekerasan akibat kontrol negara demi
pembangunan dan kestabilan negara.

A. Kekerasan terhadap Perempuan pada 1965-1966

Perjuangan perempuan Indonesia pada masa pra-1965

Negara terkait erat dengan program-program negara bangsa

justru terus seperti memberantas buta huruf, memperbaiki

mereproduksi produksi penanaman padi, dan ikut aktif dalam front

berbagai praktik pembebasan Irian Barat. Kaum perempuan itu
kekerasan berorganisasi dalam Gerwani yang anggotanya
terhadap mencapai 1 juta orang pada Agustus 1965. Kaum
perempuan, perempuan dalam Gerwani bergerak dari satu tempat
ke tempat lain dan skala kerjanya meluas hingga ke
menempatkan kalangan kaum buruh dan tani. Mereka menjadi guru
separuh warga untuk anak-anak petani dan buruh. Mereka
negaranya dalam berorganisasi untuk kaum perempuan di kalangan
posisi rentan. buruh perkebunan, pabrik, dan sawah. Di

perkampungan miskin, Gerwani menjadi organisasi

perempuan yang aktif satu-satunya, karena organisasi lainnya hanya di kelas

menengah. Juga, Gerwani memperhatikan undang-undang perkawinan, terutama

tentang poligami dan perceraian. Pada 1950an hingga 1965 hampir seluruh

perempuan di Indonesia terlibat dalam organisasi Gerwani. Hanya beberapa wilayah

seperti Papua dan Maluku yang masih jarang ikut dalam Gerwani.

Akan tetapi peristiwa gerakan 30 September 1965 menjadi alasan Jenderal Suharto
melakukan pembalasan dengan menghancurkan gerakan perempuan Gerwani.
Dengan masif, cerita rekaan tentara tentang tindakan kebebasan seks dan kekerasan
perempuan Gerwani di Lubang Buaya serta merta mendorong histeria anti-PKI pada
akhir 1966. Anggota Gerwani di seluruh Indonesia dianggap sebagai setan yang
tingkah lakunya sama dengan perempuan penyiksa jenderal. Perempuan yang

318 Komnas Perempuan dalam setiap laporannya selalu mengingatkan publik bahwa data yang dilaporkan hanyalah
puncak dari gunung es.

319 Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2013 mengategorisasi ruang terjadinya kekerasan menjadi tiga wilayah,
yaitu ranah personal, komunitas, dan negara.

286 MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

tinggal di daerah terpencil di Singaraja, Bali dan tidak pernah mendengar nama
Lubang Buaya, disebut pelacur dan pembunuh. Banyak dari mereka yang dipaksa
berpisah dengan anak dan suami. Hal itu, di antaranya, dialami oleh Ibu Jermini dari
Denpasar, Bali yang terpisah dengan suaminya dan harus mengungsikan anak-
anaknya ke rumah orang tuanya. Ketika itu PNI Tameng menyerang rumah keluarga
dan membakarnya:

“Desember Bapak diambil. Entah siapa yang ngambil, malamnya Ibu nggak
tau. Sudah itu, besoknya itu rumah dibakar. Setelah dibakar, Ibu terus
langsung mencari Bapak ke kantor polisi, Bapak adanya di Kantor Polisi
Lalu Lintas. Ibu ke sana, sudah itu sampai di sana, ya ngomong-ngomong
sama polisi, nggak ada apa-apanya, Bapak memang dia dagang … Bapak
kan diajak pulang. Setelah di rumah kan dia lihat, bapak lihat ininya, rumah-
rumah yang terbakar, tapi nggak ada apa-apanya, masih tiang aja satu.
Terus masih ngomong-ngomong. ‘Jangan, sudah Dik, nanti kalau selamat
kita bangun lagi, jadi dibawa lagi ke sana, ke Polisi Lalu Lintas. Nah, sampai
di sana itu, jadi Ibu nggak tau entah ke mana dibawa itu, Ibu paling down
(sedih), mana rumah tidak ada, anak-anak enam, ini kecil-kecil. Itu baru
lahir, ya tahun ‘65 itu baru lahir.”320

Dalam sekejap, puluhan ribu perempuan yang semula normal dan terhormat di
kampung-kampung menjadi sasaran kekerasan massal dan serangan militer.
Mereka ditahan, disiksa, dibunuh, dan dianiaya secara tidak manusiawi. Kehidupan
mereka berubah 180 derajat. Dalam laporannya, Komnas Perempuan menemukan
pola tindakan aparat keamanan yang melakukan penyiksaan seksual dan perkosaan
terhadap perempuan sejak mereka ditangkap. Temuan Komnas Perempuan juga
menyebutkan pola kekerasan yang dialami perempuan di antaranya penelanjangan,
pemaksaan menari atau berdiri dalam keadaan telanjang, pemerkosaan yang dialami
juga oleh perempuan hamil atau baru melahirkan, dan perbudakan seksual.321

A.1. Penganiayaan, Penghinaan, dan Bentuk Kekerasan Seksual
Lainnya

Pada perkembangan selanjutnya, kekerasan demi kekerasan harus dialami oleh
kaum perempuan. Mereka menjadi sasaran dalam penghancuran kelompok yang
dianggap berseberangan dengan penguasa. Salah satu kelompok yang menjadi
sasaran penghancuran pada 1965 adalah Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI).

320 Josepha Sukartiningsih, 2004, “Ketika Perempuan Menjadi Tapol”, dalam (ed) Roosa, John, Ayu Ratih, & Hilmar
Farid, Tahun Yang Tak Pernah Berakhir. Memahami Pengalaman Korban ’65: Esai-Esai Sejarah Lisan, Jakarta:
ELSAM, TRK, dan ISSI, hlm. 98.

321 Lihat Laporan Pemantauan HAM Perempuan, 2007, “Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Gender:
Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965”, Jakarta: Komnas Perempuan, hlm. 162-163.

POLA KEKERASAN 287

Banyak anggota perempuan IPPI yang ditangkap dan ditahan. Saat ditangkap,
diperiksa maupun selama ditahan, mereka mendapat kekerasan seperti penyiksaan
seksual dan perkosaan. Sumarmiati menceritakan:

“Hari kedua, diperiksa berdua, mereka bilang mau mengaku atau tidak
kalau kalian ini gerpol PKI. Lalu diberi pilihan, mengaku sebagai PKI malam
atau saya telanjangi, itu bukan pilihan. Mereka menelanjangi saya dan laki-
laki itu juga ditelanjangi. Saya disuruh berpangkuan dalam keadaan
telanjang atau mengaku. Saya kemudian diangkat dan dipangkukan dengan
laki-laki tersebut dalam posisi berhubungan seks. Mereka tertawa dengan
puasnya. Selama di Wirogunan, saya sering dibon oleh CPM untuk diperiksa.
Satu saat dipanggil kembali, dalam pertanyaan mereka, mengaku sebagai
Gerpol atau tidak. Dalam pemeriksaan, saya ditelanjangi, kepala saya
ditekan dan disuruh mencium kelamin mereka satu per satu, ada delapan
orang di dalam ruangan itu.”322

Para Penyintas. Foto Kiri: Sumarmiati berada di toko kelontong miliknya yang menjadi
sumber penghidupan dia kini. Foto Kanan: Migelina Markus, salah seorang penyintas
dari Nusa Tenggara Timur. (Foto: Anne-Cecile Esteve)

Ibu Samsumini salah satu perempuan yang ditahan, disiksa, dan mengalami
penghinaan pada tahun 1965, menceritakan pengalamannya:

“Waktu itu saya masih mahasiswa dan aktif di IPPI. Sekolah kami di Bogor
diserang. Kemudian kami diberitahu kita bisa pulang, ini merupakan
masalah internal dalam tentara. [Tapi] saya ditangkap dan disiksa, sampai
saya pingsan. Saya dimasukkan ke dalam truk, dengan cara yang begitu
tidak manusiawi, dibawa ke pos militer. Saya ‘dibon’ di polisi militer, pada
malam hari. Tengah malam, seorang CPM dan sopirnya membawa saya.
Saya menolak dan mencoba mengetuk jendela. Dia memukul saya dengan

322 Kesaksian Sumarmiati dalam “Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan terhadap Perempuan”, Jakarta, 25
November 2013.

288 MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

pistolnya. Saya pingsan. Ini terjadi dua, tiga kali. Suatu malam, saya dibawa
ke tempat yang penuh dengan banyak pria mengenakan ikat kepala. Saya
disuruh duduk. Saya dituduh bahwa saya dari Jakarta dan telah membunuh
para jenderal. Saya dipukuli.

Malam keempat, tidak ada laki-laki muda. Tapi kemudian mereka datang,
tujuh orang dengan satu jaksa. Saya ditelanjangi, katanya untuk
menemukan tato PKI. Saya mencoba untuk menghentikan mereka ketika
mereka melepaskan pakaian saya. Mereka bermain dengan saya … Jaksa
mengatakan kepada mereka untuk memakai pakaian saya kembali. Lalu ia
pergi. Mereka kemudian menyetrum saya … Hal ini terjadi berulang kali.
Akhirnya saya dipindahkan ke Penjara Bulung di Semarang dan penyiksaan
fisik berhenti, tetapi siksaan mental jalan terus.”323

Penyiksaan dan penghinaan juga dialami oleh Sumarmiati, seorang guru lulusan
IKIP Yogyakarta. Saat itu dia berada di tahanan CPM Yogyakarta pada April 1969,
setelah sebelumnya dia ditangkap dan disiksa di tempat kosnya. Sumarmiati
dimasukkan ke sel bersama seorang laki-laki. Tangan mereka diborgol dan dijadikan
satu. Suatu ketika beliau disiksa bersama-sama dengan laki-laki tersebut.

“… Dengan badan sakit semua akhirnya saya demam. Kami hanya diizinkan
keluar sel kalau hendak buang air. Jadi kami berganti-gantian agar borgol
sering dilepas. Malam ketiganya saya dipanggil sama si ini, ditanyakan
apakah kenal dengan orang yang diborgol bersama saya. Saya jawab tidak
kenal, dia juga menjawab tidak kenal. Akhirnya kami disuruh memilih. Pilih
telanjang atau mengaku. Pilih telanjang atau kalian mau mengaku sama-
sama gerilya politik? Sekali lagi jawab ini … saya diangkat lalu diposisikan
berpangkuan dengan dia dalam keadaan telanjang … kami tetap menjawab
tidak kenal. Tapi mereka tetap tidak percaya.”324

Kekejaman lain harus dialami oleh Sri Sulistiyowati yang menjadi penghuni tetap
penjara Bukit Duri selama 11 tahun. Pada 29 September 1965, Sri sedang dalam
tugas meliput perjalanan Wakil Perdana Menteri Soebandrio di Sumatera Utara.
Ketika rombongan menerima kabar pembunuhan jenderal dan perwira Angkatan
Darat, mereka langsung menuju Jakarta. Sri juga bagian dari rombongan itu. Di luar
dugaan, setiba di Jakarta dia langsung disuruh menyelamatkan diri agar tidak
ditangkap Angkatan Darat. Sri terpaksa berpisah dari suaminya. Pada 18 Juli 1968,
dia ditangkap setelah menyusul suaminya ke Blitar Selatan.

Saat ditangkap, dia sempat ditahan di markas Operasi Trisula di Lodaya, lalu
dipindahkan ke Penjara Perempuan Malang. Dari Malang dikirim ke Tim Pemeriksa

323 Catatan Proses Pengaduan di Komnas Perempuan, 29 Mei 2005.
324 Wawancara dengan Sumarmiati, Yogyakarta, 27 Mei 2013, Arsip KKPK.


Click to View FlipBook Version