38 para pendidik menjadi hal yang penting untuk membantu peserta didik memahami kompetensi yang dibutuhkan. Kemampuan berbahasa peserta didik harus senantiasa diamati serta pendidik harus memulai dengan membuat konsep yang sederhana ke konsep yang lebih kompleks untuk mampu menarik minat, pengalaman belajar, serta pengetahuan peserta didik. Pada masa sebelum abad pertengahan, metode pembelajaran yang digunakan adalah metode tradisional. Metode ini menekankan pada kemampuan hafalan, gaya pribadi pendidik, serta kemampuan untuk menjelaskan maupun menafsirkan teks-teks. Fitur penting pada proses pembelajaran di abad ini adalah penggunaan memori yang “ekstensif”. Contohnya setiap peserta didik diwajibkan untuk menghafal Al-Qur’an. Untuk menyukseskan metode ini digunakan cara pengulangan dan latihan hafalan. Salah satu contoh metode yang paling berhasil diterapkan adalah metode keteladanan. Pendidik memberikan keteladanan atau contohcontoh yang baik dengan cara membuat tindakan maupun berbicara yang sesuai dengan etika dan norma yang berlaku. Nabi Muhammad Saw. telah memberikan contoh dalam baik di bidang akhlak dengan kemurahan hati, kesederhanaan dalam hidup, ibadah, maupun muamalah. Zarnuji mengingatkan kepada para pencari ilmu untuk selalu meminta nasehat dalam segala hal kepada para pendidik. Kerjasama antar peserta didik serta pendidik juga ditekankan oleh Az-Zarnuji. Kolaborasi yang dilakukan ini merupakan salah satu cara yang sangat efektif dalam tercapainya tujuan pembelajaran. Kerjasama ini akan membuat iklim yang tepat untuk menumbuhkan rasa demokratis, saling percaya, kebiasaan belajar, dan lainnya. Semangat observasi yang dilakukan untuk menentukan tingkat validitas informasi juga dikemukakan oleh Az-Zarnuji. Ini menginterpretasikan besarnya semangat mereka untuk mampu
39 mengungkap serta menemukan informasi yang tepat meskipun banyak kesulitan dalam prosesnya. D. Dimensi Profanitas Pendidikan Islam dan Education 4.0 Dimensi sakral dan profan banyak diteliti oleh para akademisi. Salah satu filosof dunia yang membandingkan dua dimensi ini adalah Emil Durkheim. Ia menunjukkan bagaimana keduanya menjadi dua istilah seperti mata uang yang saling berlawanan. Perlawanan dua dimensi ini ditemukan dalam setiap sistem kepercayaan dan agama di dunia. Menurut Durkheim, “keyakinan, mitos, dogma, serta legenda merupakan representasi atau sistem representasi yang mengekspresikan sifat dari hal-hal yang sakral, kebajikan serta kekuatan yang dikaitkan dengannya, sejarah mereka, serta hubungan satu sama lain.” Pemisahan sesuatu yang sakral dan profan terjadi karena adanya diskontinuitas antara dunia dan berbagai hal yang ditemukan di dalamnya. Analisis Durkheim terhadap “yang sakral” dan “yang profan” dituturkannya dengan memaparkan definisi ilmu sosial klasik mengenai hal-hal yang bersifat sakral dan profan serta fenomena-fenomena religius yang ditemui.56 Perbedaan antara “sakral” dan “profan” memberikan kemungkinan terhadap perbandingan praktik, pemahaman agama dalam lintas budaya, serta sistem kepercayaan. Menurutnya, sesuatu yang sakral merupakan semua hal yang sudah dipisahkan serta menjadi larangan bagi orang biasa. Sesuatu yang sakral juga sebuah keyakinan serta praktik yang mampu menyatukan semua pengnutnya menjadi sebuah komunitas moral kolektif. Sedangkan yang profan diinterpretasikan dengan kesucian sebagai sebuah hal yang tidak boleh serta tidak mampu menyentuh sesuatu yang dianggap sakral. 56 Thoriquttyas, Ahsin, dan Khasbulloh.
40 “Sakral” dan “profan” yang dijelaskan Durkheim mampu diterjemahkan ke dalam aktivitas yang dilakukan manusia. Dua dimensi ini jika disandingkan dengan pendidikan Islam memiliki satu titik temu. Pendidikan Islam memiliki sisi yang multidimensi serta identitas yang bersifat profan dan sakral. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam pembelajaran pendidikan Islam dapat diterjemahkan ke dalam suatu hal yang bersifat sakral dan profan. Nilai-nilai agama Islam yang berfokus kepada wacana pendidikan transdental-vertikal. Dimensi profan dalam pendidikan Islam dapat diinterpretasikan menjadi sebuah dinamika zaman, contohnya era revolusi industri. Kini banyak lembaga pendidikan yang tujuan utama pengelolaan serta orientasinya bergeser. Fleksibilitas yang dimilikinya merespons dinamika berbagai tantangan dan peluang yang terjadi. Revolusi industri 4.0 yang memiliki sifat integrasi horizontal dan vertikal pada semua sistemnya secara digital. Standarisasi menjadi poin utamanya menjadikan lembaga pendidikan akan lebih mudah terkoneksi satu sama lain. Manajemen sistem yang kompleks akan mendorong inovasi bagi pengembangan dan penerapan model serta metode baru. Infrastruktur yang komprehensif menyajikan jaringan informasi dan koneksi internet yang memiliki kualitas yang tinggi. Keamanan dan privasi sangat dibutuhkan untuk melindungi berbagai data. Organisasi serta desain dalam sistem pendidikan Islam era ini juga perlu untuk mengubah peran karyawan untuk terlibat dalam kemajuan bagi terlaksananya pendidikan seumur hidup. Harmonisasi kerangka hukum perlu dilakukan agar memperkuat sinergitas hukum yang menaungi. Penggunaan sumberdaya yang efektif menjadi salah satu poin pendidikan Islam di era 4.0 untuk meningkatkan upaya menghemat bahan baku dan energi. Upaya untuk merealisasikan dinamika Islamic education 4.0 dimulai dari pendidik, lingkungan belajar, serta metode pembelajaranya. Pendidik
41 merupakan agen penting dalam membawa misi pendidikan Islam 4.0, oleh karenanya perlu dibekali dengan literasi teknologi untuk menerjemahkan berbagai kemajuan teknologi serta membawa pemahamannya tersebut ke dalam proses pembelajaran. Oleh karenanya sangat penting bagi pendidik untuk mampu memahami bagaimana era 4.0 dengan berbagai tampilannya di kehidupan nyata. Lingkungan pendidikan pada education 4.0 tidak mampu dibatasi oleh kelas-kelas konvensional. Sekat-sekat tersebut sudah hangus dalam sistem revolusi industri 4.0 digantikan dengan kelas-kelas digital yang semakin mengaburkan batas-batas teritorial pendidikan. dibutuhkan penyesuaian lingkungan pembelajaran yang optimal serta tetap memberikan rangsangan “manusia” bagi perkembangan para peserta didik adalah salah satu poin terpenting dalam proses pembelajaran. Domain formal dan domain non formal menjadi titik inti pengoptimalan lingkungan pendidikan yang dimaksud. Dimensi formal dapat dimaknai dengan ruang tatap muka antar pendidik dan peserta didik seperti halnya pendidikan konvensional. Domain non formal adalah inovasi terkini yang dilatarbelakangi majunya teknologi digital yang menggeser ruang-ruang formal seperti kelas, sekolah, dan lain sebagainya ke dalam bentuk daring. Lingkungan pendidikan Islam 4.0 hendaknya memberikan kesempatan yang lebih luas bagi proses pembelajaran yang melibatkan media dan teknologi. Lingkungan belajar juga akan lebih ideal jika mampu mendorong keterlibatan aktif pendidik untu senantiasa memposisikan dirinya serta memberikan fasilitas pembelajran yang lebih inovatif. E. Konvergensi “Sakral” dan “Profan” Islamic Education 4.0 Kini pendidikan Islam tengah menghadapai masalah pelik dalam era revolusi industri 4.0. pendidikan Islam harus mampu untuk menjawab problematika-problematika pelik tersebut dengan keterbukaan pikiran. Pendidikan Islam dihadapkan dengan tantangan mendasar dalam proses
42 pembelajaran. Adanya penetrasi teknologi digital dalam ruang-ruang kelas merupakan hal yang tidak terfikirkan di dunia pendidikan pada abad-abad sebelumnya. Pendidikan Islam harus mampu memberikan respons yang tanggap terhadap tantangan tersebut agar mampu bergerak dinamis, relevan, serta dapat diterima oleh peserta didik. Pendidikan dan moral merupakan elemen inti dari terbentuknya pendidikan Islam. Melalui kurikulum yang bermuatan humaniora dan adab maka diharapkan pendidikan Islam mampu menjadi sarana dalam upaya menjadikan manusia sebagai insan kamil. Salah satu inti dari sistem nilai dalam Islam adalah pendidikan Islam. Pendidikan Islam telah mampu mewakili ghirah Islam di dalam pembentukan karakter manusia yang beradab. Para akademisi muslim dari berbagai periode telah meletakkan prinsip-prinsip dalam pendidikan Islam. Al-Ghazali memaparkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah “untuk menumbuhkan manusia sehingga ia taat kepada ajaran agama, dan karenanya terjamin keselamatan dan kebahagiaan di kehidupan abadi selanjutnya”. Sesuai dengan hukum tabula rasa dan fitrah, anak-anak merupakan waktu yang tepat untuk membentuk dan menumbuhkan karakter-karakter kebajikan. Bagi Al-Ghazali pendidikan tidak sekedar mengenai bagaimana melatih kecerdasannya, intuisinya, dan mengisinya dengan berbagai informasi. Pendidikan melibatkan semua aspek yang ada pada diri peserta didik, termasuk di dalamnya potensi intelektual, agama, fisik, dan moral. Revolusi industri yang terjadi untuk meng-upgrade kehidupan manusia merupaka sebuah keniscayaan yang dibuat dan harus diterima oleh manusia. Trend yang berlaku pada era ini beberapa tidak sejalan dengan ajaran di masa lalu, bahkan lebih cenderung bertransformasi jauh dan membuktikan terjadinya disrupsi di dalamnya. Pendidikan Islam yang sifatnya dinamis dalam hal tujuan, materi, kurikulum, model, media, serta metodenya. Pendidikan Islam dapat berkembang dengan fleksibel dan
43 mampu untuk beradaptasi dengan setiap perkembangan zaman, hal ini dapat kita lihat dari sejarah perkembangan Pendidikan Islam semenjak masa trandisional, transisi, sampai dengan masa modern saat ini. Pendidikan Islam memberi respons terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia sesuai dengan perkembangan dan perubahan sosial yang terjadi selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Revolusi Industri 4.0 yang membawa segenap “disruption innovation”- nya memberikan posisi bagi pendidikan Islam ke dalam sebuah sistem bagi beberapa alternatif pilihan yang membawa implikasi masing-masing. Terdapat dua pilihan bagi pendidikan Islam, pertama adalah jika pendidikan Islam memilih untuk bertahan pada pola dan sistem lama yang tradisional, kaku, dan mutlak, maka ia akan semakin tertinggal, kedua adalah jika pendidikan Islammemilih untuk membuka dirinya dan menerima era disrupsi ini dengan segala konsekuensinya, maka kesuksesan dalam bertahan dan bersaing dengan sistem pendidikan lain akan dia dapatkan. Jalan utama untuk mempersiapkan kompetensi yang paling mudah untuk ditempuh adalah dengan cara dimilikinya perilaku-perilaku kebajikan, menaikkan kompetensi diri serta meningkatkan literasi. Bekal tersebut diperoleh melalui jalur pendidikan serta konsep diri melalui pengalamannya dalam integrasi interkoneksi lintas generasi dan lintas disiplin ilmu. Islam dalam konteks Indonesia memiliki dua wajah, yaitu tradisionalis dan modernis. Keduanya berbeda dalam hal pemahaman ajaran serta fokus amaliah ajaran. Keduanya kemudian berkembang menjadi gerakan keagamaan yang mempunyai perbedaan dampak. Wajah tradisionalis sangat memfokuskan dirinya pada kajian teks-teks keagamaan hingga melupakan ajaran dunia sehingga fikirannya menjadi konservatif serta memiliki kehebatan dalam hal ayat-ayat qauliyah. Wajah
44 modernis lebih berfokus kepada gerakan-gerakan yang menjadi implikasi sosial-keagamaan yang melihat ayat-ayat kauniyah untuk kemajuan agama dan keberagamaan. Dua wajah tersebut tidaklah binner, karena keduanya memiliki titik temu dalam memandang kemajuan agama. Yang menjadi pembedanya adalah objek yang dimajukannya. Islam dengan wajah tradisionalis lebih kepada pemikiran sedangkan Islam berwajah modernis lebih kepada pengelolaan. Plus minus tentu dimiliki keduanya, akan tetapi jika kedua wajah ini disenergikan akan menjadi sebuah kekuatan Islam yang dahsyat. Jiks keudanya saling mengisi maka Islam developmentaslis akan hadir di Indonesia tanpa adanya keributan terkait ideologis, politis, serta sentimensentimen gerakan khilafah. Pendidikan Islam hari ini masih banyak menduplikasi tradisi Islam yang sudah lama sekali digunakan. Tradisi pendidikan yang dilakukan sejak zaman nubuwwah lahir kembali dan digunakan secara masif. “Rote learning” atau pembelajaran berbasis hafalan yang sejak dahulu menjadi trend dan menjadi ciri khas dari pendidikan Islam. Tradisi hafalan sampai dengan era modern saat ini masih berlangsung dan menjadi trend yang tidak mampu dibantah. Tradisi ini banyak di adopsi oleh sekolah-sekolah, pesantren, rumah tahfidz, serta berbagai lembaga pendidikan Islam modern lainnya. Trend hafalan atau rote learning tidak dapat kita katakan sebagai sebuah trend yang menggambarkan kemajuan zaman, karena sistem ini termasuk ke dalam LOTS (Lower Order Thingking Skills) atau keterampilan berfikir rendah. Jika kita menilik era saat ini, maka kita akan menemukan HOTS (High Order Thingking Skills) yang menjadi tuntutan. Meskipun demikian, bukan berati kita harus sepenuhnya meninggalkan tradisi hafalan. Tradisi menghafal ada baiknya untuk tetap dibawa, karena beberapa hal misalnya menghafal Al-Qur’an atau menghafal hadis harus
45 menggunakan teknik ini, akan tetapi teknik menghafal di era ini mau tak mau harus mendapatkan tempat yang lebih sedikit dan memberikan banyak tempat bagi teknik-teknik belajar lainnya. Pada dimensi lainnya, Islam dengan pendidikan Islam dapat maju jika menemukan benang merah yang menghubungkan antara Islam ajaran dengan Islam kemajuan. Disini yang perlu dilakukan adalah memberikan payung hukum untuk mendukung formulasi ulang sistem pendidikan Islam. Pendidikan Islam bukan hanya sebatas pada masalah fiqh, akidah bahasa Arab, sejarah, akhlak, dan sebagainya, akan tetapi juga harus memuat hal-hal yang mampu merefleksikan rumusan ulang golden age of Islam yang pernah berjaya dan meninggalkan dark age yang memayungi dunia Islam selama ini. Terminologi baru banyak bermunculan setelah kelahiran revolusi industri 4.0. Terjadinya penggantian alat-alat manual ke alat digital yang penuh dengan algoritma rumit tidak terelakkan. Dunia seolah dibagi menjadi dua antara dunia virtual dan dunia real. Bermacam kompleksitas memenuhi era ini, tak terkecuali dalam dunia pendidikan Islam. Relasi pendidik dan peserta didik yang dibangun oleh kiai/ustadz dengan para santri jika ditinjau dari segi relasi yang terjadi merupakan sebuah hubungan yang sangat strategis dalam dunia Islam. Dahulu relasi ini begitu sakral sehingga pendidik memiliki porsi dominansi dalam pembelajaran. Jika porsi ini diterapkan ke era saat ini tentu akan bertentangan dengan tuntutan kemajuan zaman. Saat ini peserta didik tidak hanya menerima secara mutlak penjelasan atau materi-materi yang disampaikan oleh gurunya tanpa usaha lainnya. Saat dahulu guru sebagai pendidik adalah satu-satunya sumber pengetahuannya, berarti jika melihat situasi saat ini akan berbeda jauh karena materi serta berbagai ilmu pengetahuan dapat dengan mudah ditemukan. Pendidik hanya berfungsi sebagai fasilitator kreatif untuk
46 membangun iklim pemeblajaran pada tiap runag kelas menjadi hidup dan berkembang serta pendidik juga memiliki tugas untuk melayani kebutuhan peserta didik terhadap segala macam informasi yang dibutuhkannya. Mengaburnya relasi antara guru dan peserta didik juga akan berdampak secara signifikan terhadap adanya degradasi nilai-nilai Islam yang luhur. Di dalam pendidikan Islam terdapat istilah “takdzim, barakah, kualat” dalam relasi pembelajaran antara guru dan murid. Hal ini tidak akan dapat ditemui pada pembelajaran online jarak jauh yang menjadi trend pembelajaran abad ini. Nilai-nilai luhur yang menjadi hal krusial dalam pendidikan Islam akan mengalami kesulitan dengan sistem belajar ini. Ada sebuah ungkapan jika belajar tanpa adanya guru maka gurunya adalah setan. Di dalam Islam terdapat aturan bahwa seseorang yang hendak menuntut ilmu maka ia harus memiliki guru yang mampu membimbingnya, dan pengetahuan tersebut harus dirunut saling bersambung tidak terputus dari sumber aslinya. Seorang guru dinilai hebat jika dilihat dari kemutawattiran sanad serta ilmu yang didapatkannya. Halhal semacam ini sudah seharusnya menjadi dasar bagi pendidikan modern saat ini. Referensi yang digunakan dalam menjelaskan sebuah ilmu pengetahuan harus valid dan jelas karena ini merupakan hal terpenting dari sebuah ilmu. Guru dalam konteks Islam bukan hanya sebatas memiliki tugas mentrasfer ilmu pengetahuan saja, akan tetapi memiliki tugas penting sebagai uswatun hasanah atau tauladan yang baik dengan mencerminkan pengetahuan yang didapatkannya pada perilaku-perilaku terpuji sehari-harinya. F. Simpulan Revolusi industri 4.0 berimplikasi sangat besar bagi proses pendidikan Islam, pro kontra selalu ada karena perbedaan perspektif dalam melihat gelaja tersebut. Akan tetapi satu hal yang harus diingat
47 adalah pendidikan Islam harus mau untuk membuka dirinya, utamanya dalam dimensi sakralnya, dengan nuansa dimensi profan dalam kemajuan teknologi. Keseimbangan yang terjadi bila dimensi sakral dan profan dapat bersama akan membawa konsep pendidikan Islam yang kontemporer sehingga dapat lebih baik serta lebih menyentuh peserta didik masa kini yang sangat berbeda jika dibandingkan dnegan peserta didik zaman dahulu. Perkembangan pendidikan Islam yang terepresentasikan pada Islamic Education 4.0 diharapkan dapat memperkuat pendidikan Islam yang selama ini sudah dijalankan. Pekerjaan rumah yang sangat besar adalah menjawab tantangan bagaimana inti dari pendidikan Islam yang sarat niali tarbiyah, tidak kehilangan eksistensinya sehingga peserta didik akan memiliki kecakapan profan dan memiliki akar-akar yang begitu sakral seperti Iman, Islam, dan Ihsan.
48 BAB III Analisis Kekuatan dan Kelemahan Pendidikan Islam Menyambut Islamic Education 4.0 A. Pendahuluan Pendidikan Islam sejak zaman dahulu telah memegang posisi sebagai salah satu unsur penting dalam pembangunan pendidikan di negeri ini. Dimulai sejak era pra-kolonialisme sampai dengan era modern seperti saat ini, pendidikan Islam masih dapat berdiri kokoh dengan berbagai lembaga pendidikannya. Tentu lembaga-lembaga pendidikan yang ada di era modern seperti saat ini berbeda jauh dengan era masa lampau. Meskipun demikian, pendidikan Islam sebagai salah satu penyelenggara pendidikan agama di Indonesia juga memegang kendali dalam mengikat erat nilai-nilai dan norma baik agama maupun masyrakat. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat penting selain berlomba dengan kemajuan penemuan-penemuan teknologi, nilai dan norma baik agama maupun adat dapat menjadi tali rantai yang mengikat dirinya agar penemuan-penemuan canggih dapat berjalan tanpa merusak sesama manusia maupun alam semesta. Dewasa ini perubahan sosial dengan cepatnya terjadi, sementara kualitas output dari pendidikan sangat lambah untuk menuju SDM maju berkualitas. Kualitas sumberdaya manusianya sebagai output atas pendidikan tidak hanya dilihat dari nilai serta kesuksesannya dalam dunia kerja, akan tetapi juga karakter dan pribadi yang mereka miliki setelah menempuh pendidikan. Sayangnya globalisasi dan revolusi industri turut membawa perubahan signifikan terhadap karakter, mentalitas, dan moralitas, termasuk di dalamnya terjadi pelemahan terhadap pendidikan keagamaan, padahal peran pendidikan agama sudah jelas terbukti sejak zaman dahulu.
49 Pendidikan keagamaan adalah sebuah alat dan srana untuk membangun mentalitas, jati diri, dan jiwa sosial seseorang. Keterabaian pendidikan keagamaan khususnya pendidikan Islam akan secara nyata melahirkan sebuah bangsa yang rapuh dan sangat mudah terdistorsi oleh budaya lain. Era revolusi industri 4.0 yang lebih khusus mengarah kepada education 4, di Indonesia harus kembali menguatkan peran pendidikan Islam untuk menguatkan bariernya agar generasi muda dapat lulus dari era ini, bertahan, dan sampai kepada tujuannya di masa depan. Sebagai upaya suksesi education 4.0 maka diperlukan langkah mengidenfikasi apa saja kekuatan dan kelemahan pendidikan khususnya pendidikan Islam di Indonesia. Hal ini sangat perlu dilakukan agar kebijakan dan usaha yang dilakukan kedepannya memiliki peta yang jelas. Analisis ini juga digunakan sebagai bahan evaluasi bagi sistem pendidikan Islam sebelumnya supaya apa yang sudah baik dapat berjalan baik dan yang masih kurang dapat diperbaiki. B. Kekuatan Pendidikan Islam Indonesia Transformasi pendidikan menjadi pendidikan 4.0 menjadi hal yang sangat penting bagi pendidikan Islam di Indonesia. World Economic Forum (WEF) pada tahun 2018 menyebutkan bahwa Indonesia mempunyai potensi kuat untuk mewujudkan transformasi pendidikan ke pendidikan 4.0.57 Jadi hal ini akan membawa angin segar bagi kekuatan Indonesia untuk membawa pendidikan Islam ke dalam jalur pendidikan 4.0 dunia semakin terbuka lebar. Konektivitas yang cukup baik dan pembangunan infrastuktur yang masif membuat celah bagi Indonesia menembus 10 besar kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2030, yang selanjutnya dapat 57 Masduki Duryat, “Opportunity Pendidikan; Transformasi Di Era Disrupsi Dan Revolusi Industri 4.0.,” Jurnal Wahana Karya Ilmiah_Pascasarjana (S2) PAI Unsika 4, no. 2 (2020).
50 mencapai Indonesia maju pada 2045 mendatang.58 Berkaitan dengan hal ini, tentu pendidikan Islam tidak boleh tertinggal untuk berpartisipasi mewujudkan visi tersebut. Oleh sebab itu, kebutuhan akan transformasi pendidikan Islam menjadi pendidikan Islam 4.0 adalah salah satu proyek strategi nasional untuk menjadi buffer bagi pencapaian visi tersebut. Indonesia disebut-sebut memiliki lembaga pendidikan Islam terbesar di dunia yang berada di bawah naungan Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.59 Untuk memajukan peluang ini maka diharuskan untuk mempermudah serta memperluas akses bagi pendidikan Islam. Memasukkan elemen-elemen utama education 4.0 berupa teknologi digital merupakan sebuah keniscayaan agar dapat mengimbangi kemajuan arus pendidikan global. Selanjutnya ini akan menjadi kunci sukses untuk mendistribusikan kualitas serta pemerataan ajaran Islam di seluruh nusantara. Pendidikan yang merata serta bermutu merupakan masalah pelik yang sejak lama menjadi masalah sentral dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, hal ini juga berlaku bagi pendidikan Islam. Hal-hal yang ditawarkan oleh pendidikan 4.0 diharapkan dapat mengurai masalah keterbatasan geografis terhadap pemerataan pendidikan Islam serta pendidikan nasional pada umumnya. Transformasi pendidikan Islam selama ini terus dijalankan. Transformasi dan reformasi pada tataran paradigma, metode, serta strategi sudah dilakukan agar pendidikan Islam menjadi “kekinian” dan relevan dengan situasi global. Meskipun banyak hal yang sudah bertransformasi, akan tetapi koridor cita-cita dan tujuan pendidikan Islam tetap bersandarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadis sebagai sumber utama, serta 58 As’ad, “Adaptation Into Islamic Education 4.0.” 59 Bilal Ramadhan, “Menag: Indonesia Miliki Lembaga Pendidikan Islam Terbesar di Dunia,” Republika Online, 9 Januari 2016, https://republika.co.id/berita/nasional/umum/16/01/09/o0o5yu330-menag-indonesia-milikilembaga-pendidikan-islam-terbesar-di-dunia.
51 tujuan pendidikan nasional, dasar negara, dan filosofi pendidikan nasional sebagai pijakannya selanjutnya.60 Umat Islam dengan prinsipnya “al hifzu ‘ala qodiimi as shoolih wa alakhzu ‘ala jadiidi al aslah (mempertahankan tradisi baik dan mengadopsi kebaruan yang lebih baik)” adalah mantra dari paradigma berkemajuan, kontinuitas, keterbukaan dalam inovasi dan kreasi sebagai upaya tansfer of knowledge and technology bagi kemaslahatan pendidikan Islam. Selama kurang lebih satu dekade terakhir pendidikan Islam terus mengembangkan sayapnya menjadi role model pendidikan dengan ditandainya pertumbuhan lembaga, sekolah berbasis agama Islam Terpadu, boarding school, pesantren modern, dan lain sebagainya.61 Jika proses upgrading ini melalui pendekatan proses yang tepat maka akan mencetak output yang memiliki jiwa produktif, penemu, peneliti, dan lain sebagainya. Pendidikan Islam di Indonesia berkembang pesat sejalan dengan penyebaran agama Islam di Indonesia. Pendidikan Islam di Indonesia memiliki beberapa keunggulan yang menjadi kekuatan untuk kemajuan peradaban. Pertama, Pesantren merupakan ciri khas dari pendidikan Islam di Indonesia sebagai lembaga informal yang mandiri serta tersebar luas hampir di seluruh negeri. Pesantren memiliki istilah “Islam Nusantara” untuk mengenalkan wajah baru dari Islam Indonesia pada studi Islam dunia. Apabila formulasi ini sesuai dari sudut ontologis, epistemologis, serta aksiologis maka gaya Islam Indonesia ini akan menjadi pertimbangan bagi Islam dunia untuk memperkokoh wajah Islam yang damai. Kiranya gaya ber-Islam yang damai dapat menjadi pilihan yang tepat jika dibandingkan dengan Islam yang kaku. Kekakuan yang menjadi ciri khas negara timur 60 A. Rahman, Pendidikan Islam di Era Revolusi Industri 4.0, 2019. 61 Adun Priyanto, “Pendidikan Islam dalam Era Revolusi Industri 4.0,” J-PAI : Jurnal Pendidikan Agama Islam 6, no. 2 (2020).
52 tengah telah menyebabkan Arabic Spring yang banyak meluluh lantahkan negeri timur tengah, hadirnya wajah Islam yang damai diharapkan dapat menjadi alternatif yang tepat untuk mengenalkan Islam ke dunia luar. Kedua, pada tahun 2030, Indonesia akan memiliki bonus demografi dimana penduduk usia produktif akan melebihi jumlah penduduk Malaysia dan Singapura. Hal ini tentu akan menjadi sebuah kekuatan besar untuk memajukan Indonesia melalui berbagai invasi, kreativitas, dan produktivitas yang berada di level tertingi. Ketiga, Indonesia memiliki keyaan yang berlimpah. Dengan melimpah ruahnya kekayaan Indonesia baik yang sudah tertangani dengan baik, yang baru ditemukan, ataupun yang masih tersimpan menjadikan Indonesia sangat membuatuhkan peran generasi-generasi muda untuk dapat memanfaatkan kekayaan ini. Pendidikan Islam berperan sebagai pengendali atas sifat dasar manusia yaitu “rakus”. Pendidikan Islam memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan edukasi terkait pemanfaatan-pemanfaatan kekayaan alam tersebut tanpa merusak alam, ini dapat dilakukan dengan melalui pendekatan eco-theologi. Sebagai salah satu bagian integral dari sistem pendidikan nasional, pendidikan Islam adalah aset bangsa yang tidak ternilai yang akan menentukan gambaran pendidikan nasional serta seperti apa generasi muda Indonesia di masa depan. Dengan demikian, maka posisi strategis yang dimiliki oleh pendidikan Islam tidak dapat diabaikan lagi karena sesungguhnya pendidikan Islam merupakan identitas pendidikan nasional itu sendiri. Artinya, jika pendidikan Islam mengalami kemajuan maka kemajuan pendidikan nasional juga tercapai, begitupun sebaliknya. C. Kelemahan Pendidikan Islam Indonesia Eksistensi pendidikan Islam sebagai salah satu komponen pembangun bangsa Indonesia memiliki peranan yang sangat besar. Jika
53 kita lihat dari sejarah panjang bangsa ini, maka peran tersebut sudah berlangsung semenjak masa sebelum kemerdekaan. Ini dapat kita lihat pada berbagai praktik pendidikan Islam yang diselenggarakan di bawah lembaga-lembaga pendikan tradisional seperti surau, pesantren, majelis ta’lim, pengajian, dan lain sebagainya. Lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut semakin berkembang selaras dengan kemajuan bangsa ini. Setiap zaman memiliki tantangannya masing-masing, begitu pula dengan tantangan yang dihadapi oleh pendidikan Islam di Indonesia. Pada zaman klasik pendidikan Islam tentu mengalami masa yang berat sesuai dengan beratnya keadaan pada masa tersebut, akan tetapi tantangan secara psikologis dan ideologis lebih mudah. Tantangan klasik masih berupa musuh yang terlihat, berbeda dengan saat ini dengan tantangan yang datang dari berbagai ideologi yang dapat menghancurkan umat Islam. Masalah pendidikan Islam di Indonesia akan terus ada selama pendidikan Islam itu masih ada. Masalah-masalah tersebut dapat menjadi tantangan dan pembelajaran jika mampu ditangani secara baik, akan tetapi juga menjadi ancaman penghancur jika dibiarkan begitu saja serta tidak mendapatkan treatment yang tepat. Problematika internal dalam tubuh pendidikan Islam di Indonesia bisa kita lihat pada etos pendidikan Islam saat ini melalui berbagai sistem pendidikan sekolah berbasis ke-Islaman, seperti: pesantren, sekolah Islam terpadu, perguruan tinggi Islam, dan lain sebagainya. Jika dihitung jumlah lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia berkembang menjadi sangat banyak bahkan seolah melebihi kebutuhan sehingga yang terjadi adalah over production. Sementara itu, ilmu-ilmu sains masih jarang dikuasai oleh para pelajar muslim. Oleh sebab itu menjadi suatu hal yang logis jika masyarakat menganggap bahwa mahasiswa Islam miskin akan wawasan ilmu sains dan teknologi, komunikasi, serta politik. Ini menjadi sebuah pembenaran bahwa etos kerja
54 pendidikan Islam saat ini masih sangat minim perhatiannya kepada link and match komponen-komponen pada pembangunan sistem pendidikannya. Berbagai persoalan juga menerpa pendidikan Islam. Posisi pendidikan Islam sebagai sub sistem pendidikan nasional, maka disaat pendidikan nasional mulai diterjang terpaan masalah yang begitu hebat, maka pendidikan Islam juga turut terguncang. Oleh sebab itu maka perlu sekali untuk saling bahu membahu menuntaskan berbagai problematika yang merundung pendidikan negeri ini. Pendidikan Islam dewasa ini rupanya masih tertinggal jauh di belakang dengan pendidikan Barat. Pendidikan Islam saat ini berbanding terbalik dengan pendidikan pada zaman keemasan dimana pendidikan kini berekor dan berkiblat pada pendidikan ala Barat. Berkekuatan supremacy knowledge bangsa Barat, negara-negara muslim masih harus bergantung kepada kekuatan Barat. Hal tersebut merupakan sebuah ironi yang memalukan mengingat kita mengetahui betapa luasnya konsep pendidikan dalam Al-Qur’an. Ketertinggalan pendidikan Islam dari bangsa Barat merupakan sebuah ironi memilukan. Tertinggalnya pendidikan Islam bisa kita lihat pada beberapa aspek berikut ini. Pertama, orientasi pendidikan yang masih meraba, mestinya orientasi pendidikannya sesuai dengan orientasi Islam. Pendidikan Islam hanya berfokus pada transfer pengetahuan sebatas pengetahuan agama saja, sementara untuk urusan pengetahuan lainnya masih dipinggirkan. Upaya meminggirkan pengetahuan di laur pengetahuan agama ini yang kadang terlalu jauh. Kedua, warisan lama pada praktek pendidikan Islam masih digunakan, sedangkan ilmu modern masih kurang mendapat perhatian. Sumber-sumber yang menjadi rujukan hanyalah kitab kuning, sedang sumber-sumber ilmiah lainnya seringkali tidak tersentuh. Beberapa gelintir
55 kalangan umat Islam masih terlalu was-was menggunakan sumber-sumber pengetahuan modern. Ketiga, model pembelajaran berbasis intelektual verbalistis serta menegasi interaksi edukatif dan komunikasi bersifat humanistis antara guru-murid menjadi penekanan dalam pendidikan Islam di Indonesia. Model pembelajaran berbasis demikian berimplikasi pada terpasungnya kreativitas peserta didik. Cara ini dapat dilakukan dengan guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berfikir kreatif dan inovatif menggunakan berbagai media dan sumberdaya. Mereka dapat dengan mudah berdiskusi dengan para pendidik, mengeluarkan ide dan gagasannya, akan tetapi tetap mengutamakan akhlak dan adab. Guru pada lembaga pendidikan Islam harus lebih banyak menambah wawasan literasinya supaya mereka dapat mensukseskan pembelajaran, utamanya mengenai digitalisasi pembelajaran. Upgrade system yang dapat dilakukan adalah dengan meng-update formulasi pendidikan pendidikan Islam yang sesuai dengan tantangan zaman akan tetapi tidak mencabut roh dimensi kesakralannya, membenahi beberapa konten dalam tubuh pendidikan Islam mulai dari pendidik, materi, model, sampai dengan orientasi output dari pendidikan Islam di masa depan yang diharapkan. Permasalahan eksternal yang menyebabkan melemahnya eksistensi pendidikan Islam adalah adanya scientific critism terhadap penjelasan agama yag sifatnya tekstual, tradisional, konservatif, serta skriptualitisk. Selain itu, era globalisasi dengan kekuatan arusnya serta era disrupsi yang mengubah tatanan politik, ekonomi, sosial, budaya juga menjadi penyebabnya.
56 D. Urgensi Revitalisasi Pendidikan Islam ke arah Islamic Education 4.0 Modernisasi dan revitalisasi merupakan sebuah keniscayaan yang harus diterima dan dilakukan dengan sebaik mungkin oleh dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam. Terdapat dua hal yang secara fundamental menjadi latar belakang perlu adanya modernisasi pendidikan Islam, yaitu; sempitnya konsep dan praktik pendidikan Islam, serta adanya dikotomi keilmuan sebagai warisan masa lalu. Dikotomi keilmuan di dalam pendidikan Islam yang terjadi secara mencolok dapat kita lihat terjadinya dikotomi antara ilmu agama serta ilmu non agama. Dikotomi ini membuat supremasi ilmu-ilmu agama yang selama ini berjalan secara monoton semakin langgeng. Kedua, antara wahyu dan alam jika terjadi dikotomi maka akan berimbas kepada miskinnya penelitian empiris dalam tubuh pendidikan Islam. Ketiga, dikotomi yang ada di dalam pendidikan Islam terkait iman dan akal. Pada perspektif ini, Islam harus diposisikan sebagai religion of nature yakni semua bentuk dikotomi antara agama dengan ilmu pengetahuan harus segera dilenyapkan. Alam dengan segala isinya memberikan tanda-tanda luar biasanya pesan Tuhan yang berisi gambaran adanya kesatuan global, yang apabila mendalaminya, maka seseorang akan dapat menangkap makna serta memiliki kebijaksanaan dari sebuah hal yang sifatnya transenden. Dengan demikian maka iman dilarang jika dipertimbangkan menggunakan ilmu pengetahuan. Kedua, besarnya kebutuhan umat Islam terhadap persiapan menghadapi tantangan dunia modern sampai dengan saat ini masih belum dapat ditangani oleh lembaga-lembaga pendidikan. oleh sebab itu, diperlukan konsep pendidikan Islam dan peran sertanya secara fundamental dalam upaya memberdayakan masyarakat Islam guna menuju masyarakat berperadaban era 4.0. Pada perspektif ini, diharapkan lembaga pendidikan Islam berbenah diri agar mampu tidak hanya menjadi
57 media transmisi budaya, ilmu keahlian, akan tetapi juga sebagai sebuah interaksi potensi budaya. Interaksi budaya yang dimaksud adalah bagaimana lembaga pendidikan Islam menumbuhkembangkan potensi anak-anak untuk mempersiapkan agar anak tersebut mampu menjalani dan menikmati kehidupannya. Segala masalah-masalah di atas serta berbagai tambahan masalah laten lainnya harus segera dicarikan solusi. Perlu adanya gebrakan reformasi dan pembaruan terhadap aspek-aspek dalam pendidikan Islam. Terdapat tiga langkah yang dapat dilakukan pendidikan Islam agar mampu bertahan dan berkembang di era 4.0. Langkah pertama adalah disruptive mindset. Mindset ini mengkonsepsikan bagaimana manusia berpikir dan bertindak setelah menentukan setting yang sudah ditentukan dan dibuat sebelumnya.62 Seperti kita ketahui era 4.0 sangat menuntut mobilitas tinggi, akses informasi yang cepat, serta berbagai media digital yang berubah menjadi kebutuhan primer setiap orang. Masyarakat kini juga menuntut sesuatu yang fresh dan real-time. Semua yang mereka butuhkan harus tersedia dalam waktu cepat. Apabila akses kepada kebutuhan mereka membutuhkan waktu terlalu lama, maka mereka akan meninggalkannya kemudian beralih kepada pelayanan yang dapat memangkas waktu akan tetapi tetap mempertahankan kualitas. Inti dari era disrupsi ini adalah adanya respon. User sangat bergantung kepada kecepatan respon yang diterimanya. Kasali menyebutkan fenomena ini sebagai “corporate mindset”. Mindset seperti ini perlu dibangun dan dikembangkan oleh dalam pendidikan Islam, utamanya para pelaku yang berkecimpung langsung dalam pendidikan Islam. Pelayanan ini akan menghapus sistem birokratis yang rumit. Ciri-ciri orang yang memiliki mindset korporat: pertama, tidak terikat 62 Renald Kasali, Disruption “Tak Ada Yang Bisa Diubah Sebelum Dihadapi Motivasi Saja Tidak Cukup”; Menghadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan Dalam Peradaban Uber.
58 waktu dan tempat dalam bekerja serta jam dan ruang kerja juga tidak mampu membatasinya. Mereka telah menyadari bahwa tidak ada dinding pembatas antara dirinya dengan pekerjaannya. Apabila mindset tersebut diaplikasikan ke dalam manajemen lembaga pendidikan Islam maka akan terwujud sebuah sistem manajerial yang lebih efektif dan efisien. Selanjutnya, guru juga akan merasa lebih fkleksibel serta leluasa dalam menjalankan amanah, tugas, dan fungsinya. Kedua, pelayanan yang diberikan harus proaktif. Kegiatan pembelajaran yang masih melakukan transfer pengetahuan dengan terkonsesntrasi di dalam kelas akan kesulitan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki mutu tinggi. Hal ini dikarenakan pergeseran pendidikan yang kini telah berubah. Sebelumnya, teacher centered adalah pola pendidikan paling populer dan paling tepat. Akan tetapi sejalan dengan era baru yang menuntut peserta didik untuk lebih aktif, maka student centered lebih baik diterapkan di era ini. Guru harus lebih proaktif untuk memberikan beragam fasilitas, bimbingan, maupun pendampingan bagi peserta didik. Ketiga, orang ber-mindset korporat tidak akan memandang anggaran biaya sebagai fokusnya. Ketiadaan uang, keadaan, dan lain sebagainya tidak membuat orang-orang ini akan berhenti berinovasi. Keempat, media sosial difungsingkan begitu baik. Kemajuan media komunikasi dan perangkat digital harus menjadi peluang bagi pengelola pendidikan Islam. Media sosial harus dipandang bukan hanya sebagai hiburan saja, akan tetapi perlu untuk melihatnya dari sisi lain yaitu sebagai alat komunikasi efeksif, alat bantu kerja, serta tempat berbagi aspirasi dalam berinovasi. Kelima, jika dihadapkan pada masalah yang pelik, maka yang diperlukan adalah berpikir solutif, bukan lantas memikirkan usaha dan alasan untuk lari dari kenyataan. Keenam, perubahan yang terjadi bukanlah sebagai alergi, melainkan sebuah kebutuhan. Lembaga
59 pendidikan Islam jika memilih tetap statis dalam pengelolaannya, ia akan kalah dengan lembaga pendidikan lainnya yang dinamis dalam pengelolaannya. Ketujuh, strategik dalam berpikir dan bertindak. 63 Diperlukannya roadmap yang jelas bagi petunjuk jalannya pengelolaan dalam lembaga pendidikan Islam. Langkah yang dapat dilakukan selanjutnya bagi pendidikan Islam agar mampu bertahan dan berkembang di era 4.0 adalah self-driving. Selfdriving dimaknai dengan sikap tangkas dan dinamis yang dimiliki SDM sebagai pengemudi yang baik dalam adapatasinya mengarungi era disrupsi.64 SDM yang memiliki mental ini dengan senang hati akan membuka diri, cepat serta tepat dalam membaca situasi yang terjadi, memiliki integritas tinggi, tangkas dalam bertindak, waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan. Mampu untuk berkerja inovatif, kreatif, serta efisien. Kemampuan ini sangat dibutuhkan bagi orang-orang yang duduk di kursi kepemimpinan ataupun pengelola suatu lembaga pendidikan Islam. Langkah ketiga adalah reshape atau recreate. Terdapat analogi populer yang sampai dengan saat ini masih menjadi pegangan umat Islam, yaitu “mempertahankan yang baik serta mengambil yang baru yang lebih baik”. Kecepatan dan kemudahan merupakan tuntutan semua manusia di era ini. Hal ini membutuhkan penyesuaian yang masif. Pendidikan Islam dihadapkan pada dua pilihan logis untuk mempertahankan eksistensi dirinya dari gempuran era disrupsi yaitu melakukan reshape atau recreate. Di era 4.0, bertahan saja tidaklah cukup. Pendidikan Islam harus mengadopsi berbagai cara-cara baru, serta memodifikasi cara-cara dan 63 Yayat Suharyat, Agustina, dan Muzayyanah Yuliasih, “Pendidikan Islam Menghadapi Revolusi Industri 4.0,” Attadib Journal Of Elementary Education 3, no. 2 (2018). 64 Renald Kasali, Disruption “Tak Ada Yang Bisa Diubah Sebelum Dihadapi Motivasi Saja Tidak Cukup”; Menghadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan Dalam Peradabaan Uber (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2018).
60 sistem lama. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah dengan create atau membuat sesuatu yang baru atau menciptakan suatu hal yang telah usang dengan kebaruan inovasi. Sesuatu yang telah lama atau usang dibuang karena ketidak fungsiannya. Jalan keluar lainnya adalah dengan membuat cara atau sistem yang benar-benar baru. Misalnya dengan memanfaatkan sistem digital yaitu mengembangkan sistem pelayanan berbasis digital. E. Simpulan Pendidikan Islam di Indonesia berkembang pesat sejalan dengan penyebaran agama Islam di Indonesia. Pendidikan Islam di Indonesia memiliki beberapa keunggulan yang menjadi kekuatan untuk kemajuan peradaban. Pertama, Pesantren merupakan ciri khas dari pendidikan Islam di Indonesia sebagai lembaga informal yang mandiri serta tersebar luas hampir di seluruh negeri. Kedua, pada tahun 2030, Indonesia akan memiliki bonus demografi dimana penduduk usia produktif akan melebihi jumlah penduduk Malaysia dan Singapura. Ketiga, Indonesia memiliki keyaan yang berlimpah, maka pendidikan Islam berperan sebagai pengendali atas sifat dasar manusia yaitu “rakus”.Posisi strategis yang dimiliki oleh pendidikan Islam tidak dapat diabaikan lagi karena sesungguhnya pendidikan Islam merupakan identitas pendidikan nasional itu sendiri. Masalah pendidikan Islam di Indonesia akan terus ada selama pendidikan Islam itu masih ada. Masalah-masalah tersebut dapat menjadi tantangan dan pembelajaran jika mampu ditangani secara baik, akan tetapi juga menjadi ancaman penghancur jika dibiarkan begitu saja serta tidak mendapatkan treatment yang tepat. Beberapa kelemahan dari pendidikan Islam di Indonesia datang baik dari dalam maupun dari luar. Hal yang menjadi kelemahan pendidikan Islam di Indonesia dari dalam tubuh pendidikan Islam itu sendiri adalah: pertama, orientasi pendidikan yang masih meraba, mestinya orientasi pendidikannya sesuai dengan orientasi Islam. Kedua, warisan lama pada praktek pendidikan Islam masih digunakan, sedangkan ilmu modern
61 masih kurang mendapat perhatian. Ketiga, model pembelajaran berbasis intelektual verbalistis serta menegasi interaksi edukatif dan komunikasi bersifat humanistis antara guru-murid menjadi penekanan dalam pendidikan Islam di Indonesia. Permasalahan eksternal yang menyebabkan melemahnya eksistensi pendidikan Islam adalah adanya scientific critism terhadap penjelasan agama yag sifatnya tekstual, tradisional, konservatif, serta skriptualitisk. Selain itu, era globalisasi dengan kekuatan arusnya serta era disrupsi yang mengubah tatanan politik, ekonomi, sosial, budaya juga menjadi penyebabnya. Di era 4.0, bertahan saja tidaklah cukup. Pendidikan Islam harus mengadopsi berbagai cara-cara baru, serta memodifikasi cara-cara dan sistem lama. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah dengan create atau membuat sesuatu yang baru atau menciptakan suatu hal yang telah usang dengan kebaruan inovasi.
62 BAB IV Peluang dan Tantangan Islamic Education 4.0 A. Pendahuluan Bagi negara yang memiliki tujuan untuk membentuk sumberdaya warga negaranya, posisi atas sebagai wilayah yang sangat perlu diperhatikan harusnya diduduki salah satunya oleh pendidikan.65 Fungsi hakiki dari pendidikan sejatinya adalah mempersiapkan sumberdaya manusia yang di masa depan akan menjadi aktor dalam menjalankan perannya dalam berbagai bidang kehidupan baik bidang agama, politik, ekonomi, kesehatan, sosial budaya, dan lain sebagainya. Pendidikan Islam adalah keniscayaan yang memberikan tuntutan pelaku serta pemerhati pendidikan untuk bijak dalam menghadapi perubahan sekaligus tantangan setiap waktu. Globalisasi yang masif ditambah dengan era baru revolusi industri 4.0 mendatangkan berbagai problematika yang harus ditangani. Tantangan dan peluang era ini sebagai efek domino dari berkembangnya pengetahuan dan teknologi. Kompetisi yang semakin sengit menjadikan manusia, khususnya masyarakat muslim untuk dapat survive. Azyumardi Azra pernah mengatakan bahwa dengan menjadikan sains sebagai “pesudoreligion”.66 Formula ini akan mengintegrasikan antara sains dan agama sebagai salah satu formula untuk tetap bertahan di era 4.0 dan era kedepannya. Proses globalisasi dan digitalisasi terus menemukan momentumnya semenjak beberapa waktu. Sinergi keduanya akan semakin menumbuh 65 Sadam Fajar Shodiq, “Revival Tujuan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Pai) Di Era Revolusi Industri 4.0,” At-Tajdid : Jurnal Pendidikan Dan Pemikiran Islam 2, no. 02 (16 Januari 2019): 216, https://doi.org/10.24127/att.v2i02.870. 66 Azra, “Pendidikan Islam Di Era Globalisasi.”
63 suburkan universalisme peradaban barat serta nilai-nilainya yang mengancam eksistensi nilai dan norma ketimuran masyarakat Indonesia. Narasi revolusi industri 4.0 yang berbalut kecanggihan teknologi dan digitalasisasi sengaja dibuat dalam rangka percepatan insdustrialisasi hajat publik supaya negara di dunia ini bergantung pada kekuatan Barat. Persiapan untuk menghadapi era revolusi industri 4.0 kedepannya bagi pada aktor yang kelak mampu bertahan di beberapa dekade kedepannya sangat perlu dilakukan. Persiapan dalam berbagai hal seperti sistem pembelajaran yang semakin inovatif dan kreatif, rekonstruksi kebijakan kelembagaan pendidikan yang sifatnya lebih adaptif dan responsibel, persiapan sumberdaya manusia yang responsif, adaptif, dan handal, peremajaan sarana prasana serta pembangunan insfrastruktur pendidikan, riset dan teknologi. B. Peluang Islamic Education 4.0 Pendidikan Islam adalah sub sistem di dalam Sistem Pendidikan Nasional. Atas posisi inilah maka pendidikan Islam tidak dapat menutup diri dari adanya transformasi pendidikan menjadi Islamic education 4.0 atau pendidikan Islam 4.0 jika kita telisik lebih dalam, akan kita temukan beberapa peluang terhadap pengembangan pendidikan Islam. Peluang yang ada pada pendidikan Islam seharusnya dapat diraih, ditangkap, serta dimanfaatkan oleh para pendidik, pemerhati pendidikan, maupun lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Pemanfaatan peluang ini akan semakin menambah rasa percaya diri bahwa Islamic education 4.0 dapat ditaklukan. Beberapa peluang tersebut diantaranya adalah: 1. Meningkatnya Fungsi dan Peranan Beberapa waktu lalu, pendidikan Islam memiliki fungsi dan peranan yang sangat sedikit bahkan tidak jarang terjadi diskriminasi. Ini membuat kualitas outputnya menjadi diragukan dan sulit untuk bersaing dengan
64 lulusan dari lembaga pendidikan umum. akan tetapi hal ini tidak lama terjadi, setelah UU No. 20 tahun 2003 yang membahas tentang Sistem Pendidikan Nasional menjabarkan fungsi dan peran lembaga pendidikan Islam dimulai dari tingkat paling dasar sampai dengan perguruan tinggi. Fungsi dan peran lembaga pendidikan Islam berkat aturan ini areanya menjadi diperluas dan sudah dibuka lebar. Peluang ini harus didayagunakan oleh segenap penyelenggaran pendidikan Islam. 2. Meningkatnya Persaingan dan Antisipasi Agama Era 4.0 membawa keterbukaan informasi menimbulkan komplekitas pemikiran manusia semakin meningkat, kemudian menimbulkan kebingungan dalam masyarakat. Menjadi suatu hal yang penting untuk mengadakan pendekatan berupa sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai agama. Untuk melaksanakan misi tersebut maka terdapat problematika yang datang yaitu kondisi yang rasionalis membuat masyarakat tidak mudah uintuk mengambil konsep agama secara komprehensif. 3. Pengembangan Kelembagaan Kesempatan untuk meningkatkan fungsi serta peranan lembaga pendidikan Islam dalam upaya pengembangan dan pembinaan masyarakat harusnya dapat mendorong umat Islam untuk dapat mengelola pendidikan Islam yang sesuai dengan perkembangan zaman. Pada poin ini terdapat dua saran utamanya, yaitu perluasan bidang garapan serta peningkatan kualitas proses dan outputnya. Peluang ini harus mendapatkan tempat yang layak untuk diperhatikan. Pengelolaam dan pembinaan masyarakat seharusnya dapat mendorong umat Islam mengelola pendidikan Islam yang lebih baik. Konsekuensi jika peluang ini diabaikan adalah pendidikan Islam akan statis dan akan kesulitan untuk berkompetisi. 4. Kerjasama Meningkatnya kompetisi di dunia global membuat pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam juga harus sejalan peningkatan tersebut.
65 Pendidikan Islam akan berjalan sulit jika pendidikan Islam menutup diri dan tidak mampu mengadakan kerjasama-kerjasama dengan berbagai pihak luar.67 The century of openess saat ini memberikan kesempatan lebih besar untuk mengadakan kerjasama-kerjasama dengan berbagai pihak sehingga dapat memberikan peluang lebih besar bagi pendidikan Islam untuk tumbuh dan berkembang lebih luas. 5. Mudahnya Akses Bagi Penyebaran dan Pengembangan Pendidikan Islam Kecanggihan teknologi digital dan mudahnya akses internet membuat kesempatan untuk akses berbagai materi terkait ajaran Islam semakin mudah. Ajaran Islam tidak hanya ditemui pada kelas-kelas atau surau-surau. Banyak sekali informasi terkait Islam tersaji di ranah maya. Berbagai konten pembelajaran juga tidak kalah banyaknya. Diperlukan sikap yang tepat untuk memilih informasi yang sebenarnya. Cross check sumber menjadi sangat krusial dilakukan di tengah gempuran informasi media, karena tak jarang banyak konten yang mengatasnamakan Islam untuk berbuat kejahatan dan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Selain itu, pemilihan guru yang tepat sebagai sumber belajar juga menjadi hal yang harus dilakukan, karena banyak ulama yang terkenal di internet justru mengarah kepada tindakan-tindakan provokatif, kasar, dan lain sebagainya yang tidak mencerminkan Islam. 6. Bertambahnya Pekerjaan Baru Seperti halnya mata uang yang memiliki dua sisi, begitu pula dengan era 4.0. banyak pekerjaan yang dihapus dan digantikan dengan penggunaan sistem-sistem komputer atau robot-robot canggih. Akan tetapi di sisi lain juga dapat membuka job baru yang tidak diduga selama ini. Pada konteks pendidikan Islam, banyak peluang bagi terbukanya lapangan kerja 67 Ali Malisi, “Tantangan dan Peluang Pendidikan Islam di Era Mea,” TRANSFORMATIF 1 (13 Desember 2017): 1, https://doi.org/10.23971/tf.v1i1.656.
66 baru, seperti kreator pembelajaran PAI berbasis online, pendidik di dunia maya, menciptakan dan menyusun sumber belajar pendidikan Islam secara daring, dan lain sebagainya. 7. Sentuhan Teknologi Bagi Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Lembaga Pendidikan Islam (LPI) sudah sejak zaman dahulu dibentuk di Indonesia menjadi lembaga pendidikan formal maupun non formal. Kuantitas dan kualitas LPI semakin baik dan meningkat. LPI berbasis formal dimulai sejak jenjang RA, Madrasah Aliyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, serta Perguruan Tinggi Kegamaan Islam. LPI yang dikategorikan kepada LPI non formal yang lebih dikenal dengan pendidikan diniyah yang meliputi pendidikan Al-Qur’an, Pondok Pesantren, Majlis Ta’lim, dan lain sebagainya. Selain itu, Sekolah Islam Terpadu, Islamic Boarding School, pondok modern, merupakan beberapa contoh dari LPI yang sudah melakukan reformasi ke arah pendidikan modern dan lebih banyak diminati oleh kalangan menengah ke atas. Lembaga pendidikan Islam harus meng-upgrade segala hal tentang pendidikannya ke arah education 4.0 supaya tidak tertinggal serta menumbuhkembangkan terciptanya Islamic Education 4.0. Lembagalembaga Pendidikan Islam yang tradisional juga perlu untuk dirangkul agar tidak terasing pada gadget dan tertinggal dari percaturan dunia teknologi era 4.0. Generasi muda sangat dibutuhkan dalam menyukseskan gerakan ini dan membuat LPI semakin berkualitas. 8. Kebutuhan Akan Dimensi Ruhani Kecanggihan teknologi seolah tidak pernah lepas dari pembahasan era 4.0. kecanggihan ini sesungguhnya sifatnya lebih kepada materi dan memberikan kemudahan dalam beraktivitas. Setiap manusia memiliki dua dimensi dalam dirinya, salah satunya adalah dimensi jasmani dan rohani. Hadirnya pendidikan Islam sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan kehidupan ruhani manusia agar tidak kering jiwa spiritualnya. Kehadiran
67 Pendidikan Islam dapat menjadi penawar dahaga bagi jiwa yang seringkali mengejar materi, adanya pendidikan Islam maka akan menjadi “rem” bagi jiwanaya agar tetap berada dalam koridor wajar sebagai manusia serta tidak tamak dengan kecanggihan teknologi, justru sebaliknya dengan memanfaatkannya secukupnya saja untuk kemaslahatan umat. 9. Sikap Generasi Z Yang Lebih Cenderung Rasional dan Terbuka Generasi yang hidup di era ini cenderung memiliki karakteristik kuat sebagai generasi digital. Disebut dengan generasi digital karena kepiawaiannya menggunakan teknologi infomrasi dan komunikasi. Kelincahan dalam penggunaan TIK membuat mereka hidup dalam kelimpahan informasi. Mereka juga memiliki ciri cenderung bersifat terbuka, independen, tidak dapat didikte, serta menghargai perbedaan dan demokrasi. 68 Kelimpahan informasi yang memenuhi kehidupan mereka membuat kebingungan menyertainya dalam hal paham dan sikap beragama. Di internet banyak sekali pengetahuan mengenai dunia Islam, baik padangan mahzab-mahzab, aliran, atau ideologi-ideologi lainnya. Sangat mudah bagi mereka untuk terpapar informasi yang tidak sesuai dengan nilai Islam yang sesungguhnya. Disinilah peran pendidikan Islam dibutuhkan. Pendidikan Islam mengambil posisi sebagai pemberi arah agar anak-anak dalam belajar mengenai Islam mendapatkan guru yang tepat. 10. Tantangan Bagi Dikotomi Ilmu Perkembangan paradigma ilmu di Barat bersifat dikotomis. Era 4.0 tidak terlepas dari campur tangan Barat dalam mengembangkan teknologi. Di sisi lain epistemologi keilmuan yang berkembang di Barat lebih menekankan kepada pendekatan yang sifatnya empiris, rasional, dan dikotomik. Mereka meyakini bahwa ilmu berdiri sendiri, intervensi Tuhan 68 Andrea Bencsik dkk., “Y and Z Generations at Workplaces,” Journal of Competitiveness 6, no. 3 (30 September 2016): 90–106, https://doi.org/10.7441/joc.2016.03.06.
68 tidak dapat menyentuhnya. Bagi mereka hadirnya agama dapat merusak objektifitas sains. Akibat dari pola pikir adalah kemajuan teknologi dan informasi yang berkembang berimplikasi pada pola hidup materialistis, hedonis, serta liberalis. Kehampaan spiritual tidak dapat dihindarkan. Generasi yang hidup pada era ini memiliki minat yang tinggi terhadap empat hal yang ditawarkan oleh revolusi industri 4.0. keempat hal itu adalah akses yang lebih mudah (simpler), harga lebih murah (cheaper), akses yang terjangkau (accessible), dan segalanya lebih cepat (faster). Berbicara mengenai pendidikan Islam berbasis moderasi beragama maka tidak dapat dipisahkan dari peran generasi milenial. generasi milenial memiliki respon paling aktif diantara generasi lainnya. Akses internet untuk menambah informasi ilmu dan pengetahuan agama menjadi pilihannya. Kemunculan berbagai gagasan yang baru pada era 4.0 memberikan peluang yang dapat terbaca bagi pendidikan Islam berbasis moderasi beragama. Pertama, kecanggihan IoT (internet of think) akan memudahkan komponen pendidikan untuk semakin melejitkan potensinya. Pembelajaran dapat berlangsung dengan kemudahan akses sumber informasi yang begitu luasnya. Kedua, meluasnya arus akses informasi akan memudahkan guru dan peserta didik untuk melakukan pembelajaran tanpa terkendala ruang dan waktu. Ketiga, dengan memanfaatkan teknologi pula penyebaran dan internalisasi moderasi beragama semakin luas. Keempat, teknologi pendidikan semakin maju sehingga mengembangkan berbagai model, metode, sarana pembelajaran yang baru. Pendidikan agama Islam memiliki sifat holistik, integral, komprehensif, serta universal. Pendidikan Islam menyeimbangkan antara kebutuhan fisik, jasmani, ruhani, akal, hati, bahkan sampai dengan tuntutan kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan Islam sangat
69 dibutuhkan di era kemajuan teknologi agar umat Islam tidak kekeringan spiritualitas di tengah badai disrupsi era. C. Tantangan Islamic Education 4.0 Dunia digital kini tidak hanya mempengaruhi manusia, bahkan sudah mampu mengubah perilaku serta kebiasaan manusia. Disrupsi era yang terjadi hari ini menurut Harari akan lebih sulit untuk memprediksi masa depan karena teknologi memungkinkan manusia untuk merekayasa otak, tubuh, maupun pikiran.69 Meskipun masa depan merupakan suatu kejutan yang tidak dapat diprediksi di masa sekarang, tetapi kita dapat mengupayakan kemungkinan-kemungkinan terburuk agar tidak terjadi. Pesatnya digitalisasi kehidupan harus segera dibaca dunia pendidikan sehingga tahu apa yang harus dilakukan untuk membekali anak-anak hidup di era mendatang. Meskipun arus disrupsi semakin kuat membuat kehidupan di masa akan datang tidak dapat kita prediksi, akan tetapi kita dapat memaksimalkan berbagai cara untuk menyiapkannya. Dunia pendidikan harus bersiap lebih giat menyiapkan generasi penerus yang akan hidup di masa mendatang. Kecakapan apa yang harus dipunyai oleh setiap anak untuk hidup di masa mendatang merupakan PR yang berat untuk diselesaikan. Pada titik ini yang dapat dilakukan pendidikan adalah berusaha untuk berinovasi supaya dapat menyesuaikan diri dengan gemuruh ombak disrupsi era yang membawa kecanggihan teknologi digital. Kegiatan pembelajaran tidak senantiasa mampu menjamin peserta didik akan dapat belajar. Ini menunjukkan bahwa sebaik apapun pendidik mendesain suatu pembelajaran, tidak akan dapat secara optimal mampu 69 Yuval Noah Harari, 21 Lessons For The 21st Century (Manado: Global Indo Kreatif, 2018).
70 merealisaikan ketercapaian kompetensi jika tidak didukung oleh pemilihan dan penggunaan metode yang tepat. Itu adalah salah satu tantangan pendidikan dimasa revolusi industri 4.0 ini untuk membangun pendidikan berbasis teknologi yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat era 4.0 . Tantangan education 4.0 saat ini adalah mengenai internalisasi pendidikan nilai. Pendidikan nilai dinilai dapat mengantisipasi meningkatnya kasus kejahatan, degradasi moral, serta perbuatanperbuatan yang menyimpang dari norma dan aturan hukum yang berlaku. Melalui pembelajaran yang menekankan internalisasi nilai, peserta didik akan dapat menentukan nilai baik maupun buruk sehingga diharapkan mampu memilih nilai-nilai baik untuk diterapkan dalam kehidupannya. Semakin majunya zaman, disadari atau tidak bahwa saat ini mulai tergerus nilai-nilai luhur yang semenjak dahulu sudah dipegang erat oleh leluhur mulai tergerus sebagai salah satu dampak adanya transformasi era 4.0 ini. Nilai-nilai tersebut diantaranya ialah: 70 1. Nilai Kultural Nilai ini erat kaitannya dengan budaya serta katakteristik dari lingkungan sosial masyarakatnya. Pendidikan dapat menjadi sarana penolong bagi siswa untuk melihat nilai-nilai kultural sosialnya menggunakan kacamata yang sistematis sehingga dapat memiliki keseimbangan antara sikap terbuka atau “openess” serta tidak mudah percaya atau “skepticism”. 2. Nilai Yuridis Formal Nilai ini berkaitan dengan masalah politik, hukum, maupun ideologi. Nilai ini tidak hanya dapat memberikan petunjuk bagi 70 Dimas Indianto, “Pendidikan Agama Islam Dalam Revolusi Industri 4.0.,” dalam Prosiding Seminar Nasional Prodi PAI UMP (Seminar Nasional Prodi PAI UMP, UMP, 2019), 107–8.
71 masyarakat untuk berpolitik yang baik akan tetapi juga dapat bersikap serta berperilaku sosial yang baik. 3. Nilai Religius Pada era 4.0 teknologi berupa mesin-mesin dan digital lebih banyak digunakan dibandingkan penggunaan tenaga manusia, akan tetapi perlu untuk digaris bawahi bahwa sisi kemanusiaan manusia tetap tidak akan dapat digantikan oleh tenaga mesin. Penanaman nilai ini sangat penting untuk senantiasa mengingatkan manusia kepada jati dirinya. Kemunculan revolusi industri 4.0 pada abad ini adalah sebuah keniscayaan dimana dunia terus bergerak dinamis dan membutuhkan berbagai terobosan-terobosan baru untuk mempermudah hidup manusia. Disrupsi era 4.0 telah menyebabkan perubahan yang radikal dalam semua sendi kehidupan manusia. Tak terkecuali ranah pendidikan dan agama. Kecepatan perubahan yang terjadi secara radikal telah menimbulkan efek domino yang begitu massif. Internet turut menjadi salah satu hal yang bertanggung jawab atas perubahan dalam hal beragama. Revolusi industri 4.0 secara langsung maupun tidak langsung telah mempengaruhi pembentukan sistem tata nilai, tradisi, kebudayaan, sampai dengan pengetahuan keagamaan. Hal ini membuat masyarakat modern memiliki dua realita yang tidak dapat dipisahkan, yaitu realita aktual serta realita virtual. Realita virtual ini memanfaatkan internet sebagai dunia kedua. Jika kita telisik lebih jauh, revolusi industri bukan hanya mengubah tatanan budaya serta pola kehidupan masyarakat, melainkan juga memunculkan berbagai gagasan baru dalam hal kehidupan beragama serta spiritualitas nilai-nilai kehidupan sosial. Menjadi semboyan umat Islam bahwa Islam adalah agama rahmatan lil ‘aalamiin yang membawa damai bagi seluruh semesta. Realita di lapangan saat ini pendidikan Islam kurang
72 eksistensinya dalam hal memunculkan pemikiran-pemikiran baru yang kritis. Padahal Islam memiliki pedoman yang jelas bagi perkembagan segala zaman, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila zaman bertransformasi ke arah pembaharuan berkemajuan dengan kekuatan teknologi digital global, maka banyak peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pendidikan Islam. Hal ini dikarenakan Islam dapat memunculkan wajahnya sebagai suatu keunggulan di tengah keragaman global, utamanya dalam dunia global. Teknologi informasi digital adalah sarana sharing guna mendapatkan informasi yang baik dan bermanfaat. Tanpa adanya penyeimbang pada sisi religiusnya maka informasi yang berkembang akan kurang berbobot. Dapat kita lihat pada konten penayangan media informasi saat ini yang lebih banyak menampakkan hal-hal negatif baik dalam iklan, film, atau berbagai produk hiburan lain. Dalam masalah ini dibutuhkan pengembangan budaya kritis serta religius untuk dapat memenuhi kebutuhan hiburan serta selera estetika bagi media-media kini. Islam turut mempelopori perkembangan IPTEK di era disrupsi. Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan Islam dalam perkembangan IPTEK.71 Pertama, kejelasan aqidah Islam yang menjadi basis bagi seluruh konsep serta aplikasi IPTEK. Paradigma pertama ini harus dikembangkan oleh umat Islam kini. Tidak sedikit pendidikan modern yang menonjolkan kemajuan teknologi yang menghindari atau mengingkari kebenaran akidah Islam, seperti halnya pendidikan yang berhaluan sekuler. Kedua, syariah Islam seharusnya dijadikan sebagai stadar dalam pemanfaatan IPTEK. Standar syariah yang dimaksud adalah mengenai halal dan haram. IPTEK yang boleh untuk dimanfaatkan dan dikembangkan adalah IPTEK yang sudah jelas halal dan tanpa disertai adanya keraguan. 71 Akhmad Syahri, “Spirit Islam Dalam Teknologi Pendidikan Di Era Revolusi Industri 4.0,” Attarbiyah 28 (2018).
73 Jika ditijau lebih jauh, pendidikan Islam jika ingin menaklukan education 4.0 maka ia harus segera membereskan berbagai problematika yang menghinggapinya. Problematika-problematika ini adalah tantangan yang harus dihadapi dan segera disikapi dengan benar. Tantangan ini berasal dari internal maupun eksternal. Tantangan dari dalam/eksternal bagi pendidikan Islam di era 4.0 adalah sebagai berikut: 1. Orientasi dan Relasi Kekuasaan Tujuan pendidikan hakikatnya adalah memanusiakan manusia atau human dignity (mengangkat harkat dan martabat manusia). Tujuan pada dasarnya menjadikan manusia sebagai khalifah di semesta ini dengan tugas serta tanggung jawab untuk memakmurkan kehidupan serta memelihara lingkungan.72 Selama ini, tujuan pendidikan sangat ideal, begitu idealnya sampai sulit untuk terlaksana. Pendidikan berorientasi sebagaimana citacita pendidikan nasional, jika kita lari ke dalam konteks saat ini maka fenomena yang terjadi adalah pendidikan yang mengalami kekaburan orientasi. Kaburnya pandangan orientasi pendidikan pada era digitalisasi atau modernitas dikarenakan tuntutan pola kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini perlu kita kritisi karena revolusi industri mendatangkan banyak kemudahan-kemudahan dalam kecanggihan digital yang juga turut serta membawa tuntutan kehidupan. Jika tuntutan-tuntutan ini semakin kuat maka pendidikan akan cenderung menetapkan pijakannya kepada kebutuhan pragmatis. Pendidikan hanya berorientasi pada kebutuhan pasar, lapangan pekerjaan, dan tuntutan matrealis, hal ini mengakibatkan pondasi budaya, moralitas, serta gerakan sosial yang ada pada ruh pendidikan Islam menjadi hilang. 2. Perubahan Kurikulum 72 Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif: Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi (Yogyakarta: Teras, 2010).
74 Perkembangan kurikulum menuntut kepekaan para pemangku kebijakan serta praktisi pendidikan dalam menyikapi tuntutan zaman. Setelah beberapa dekade mengalami pergantian kurikulum, pendidikan Islam di Indonesia memiliki perubahan-perubahan besar. Perubahan pertama terjadi pada tekanan pembelajaran yang sebelumnya banyak mengandung hafalan menjadi pemahaman, sehingga tujuan, makna, dan motivasi pembelajaran lebih tepat sasaran. Kedua, cara berfikir tekstual, absolut, serta normatif bergeser ke arah berfikir historis, empiris, dan kontekstual dalam menjelaskan dan memahami nilai-nilai dalam ajaran Islam. Ketiga, berubahnya tekanan dalam pendidikan Islam yang sebelumnya menekankan kepada produk atau hasil pemikiran keagamaan dari pendahulunya saat ini berubah lebih kepada proses atau metodologi ilmu. Keempat, pola pengembangan kurikulum Islam yang sebelumnya hanya mendengar dan mengandalkan para pakar kini membuka gerbang seluas-luasnya kepada siapa saja untuk terlibat secara proaktif. 3. Metode dan Pendekatan Pembelajaran Pendidik baik guru maupun dosen memiliki peran besar dalam meningkatkan kualitas kompetensi para peserta didiknya. Di dalam mengajar, pendidik harus mampu membangkitkan potensi dirinya sendiri, memberikan motivasi, suntikan, serta menggerakkan peserta didiknya melalui berbagai pola pembelajaran yang kreatif, inovatis, dan kontekstual. Pola pembelajaran yang digunakan harus disesuaikan konteks sekarang yaitu menggunakan teknologi yang memadai. Pola pembelajaran ini akan menunjang bagi tercapainya sekolah-sekolah yang unggul serta memiliki kualitas output yang berdaya saing. Para peserta didik saat ini tidak berangkat dari nol, melainkan mereka sudah memiliki modal pengalaman yang didapatkan dari berbagai media informasi digital. Oleh sebab itu
75 diperlukan juga kepekaan pendidik untuk kritis membaca kenyataan kelasnya. Bertolak dari idealisme tersebut, kenyataan di lapangan masih banyak peserta didik yang merasa nyaman dan lebih senang diajar dengan menggunakan metode konservatif contohnya ceramah atau dikte, alasannya adalah kaena mereka lebih mudah dan sederhana, serta tidak memerlukan waktu serta tenaga untuk berpikir mendalam. 4. Profesionalitas serta Kualitas Sumber Daya Manusia Menjadi masalah klasik yang terus bergulir di dalam dunia pendidikan adalah profesionalisme pendidik yang masih dirasa kurang memadai. Antara kuantitas dan kualitas tidak sebanding, Indonesia memiliki banyak guru yang berasal dari lulusan universitas ternama akan tetapi jika dikaitkan dengan mutu, masih belum sesuai harapan. Kurang mampunya pendidik dalam menyelenggarakan pendidikan yang ideal karena banyaknya pendidik yang underqualified, unqualified, serta mismatch. Selain dari sisi internal, dari sisi eksternal juga menyodori sekian tantangan dan problematika yang harus dihadapi, beberapa di antaranya adalah: 1. Dikotomi Ilmu Dikotomi ilmu antara ilmu sains dengan ilmu agama, antara rasional dengan wahyu, serta antara wahyu dengan alam. Kemunculan problem terkait dikotomi ilmu sudah berlangsung sejak lama. 2. Generalisasi Pengetahuan Lemahnya dunia pendidikan Islam salah satunya datang karena ilmu pengetahuannya masih bersifat umum, general, sedikit perhatian terhadap upaya menyelesaikan masalah. Produk yang dihasilkan masih cenderung kurang membumi serta kurang selaras dengan masyarakat. 3. Rendahnya ghirah untuk meneliti
76 Kemudahan akses dalam informasi seharusnya ikut membangkitkan semangat intelektual umat Islam. Jika semangat ini hanya menyala redup, maka abad kegelapan dalam dunia Islam akan terulang kembali. Dunia semakin bersinar dengan temuan-temuan yang canggih, akan tetapi umat Islam hanya dapat menjadi penonton tanpa kontribusi. Fenomena inilah yang menjadi mimpi buruk jika tidak segera ditangani. 4. Orientasi kepada Ijazah atau Sertifikat Keahlian.73 Pada masa awal Islam, kita menemukan kegigihan umat Islam dalam mencari ilmu, mereka melakukan perjalanan penuh resiko untuk mendapatkan kebenaran hadis, mencari guru, dan lain sebagainya. Banyak karya besar lahir yang abadi sepanjang masa dihasilkan. Sementara era saat ini kebanyakan para pencari ilmu berorientasi kepada ijazah yang akan mereka dapatkan, sehingga semangat dan kualitas keilmuan ditempatkan pada urutan selanjutnya. D. Simpulan Pendidikan Islam adalah sub sistem di dalam Sistem Pendidikan Nasional. Atas posisi inilah maka pendidikan Islam tidak dapat menutup diri dari adanya transformasi pendidikan menjadi Islamic education 4.0 atau pendidikan Islam 4.0 jika kita telisik lebih dalam, akan kita temukan beberapa peluang terhadap pengembangan pendidikan Islam. Peluang yang ada pada pendidikan Islam seharusnya dapat diraih, ditangkap, serta dimanfaatkan oleh para pendidik, pemerhati pendidikan, maupun lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Pemanfaatan peluang ini akan semakin menambah rasa percaya diri bahwa Islamic education 4.0 dapat ditaklukan. Beberapa peluang tersebut diantaranya adalah: Meningkatnya 73 Nur Hidayat, “Peran Dan Tantangan Pendidikan Agama Islam Di Era Global,” ELTARBAWI 8, no. 2 (2015): 131–45, https://doi.org/10.20885/tarbawi.vol8.iss2.art2.
77 Fungsi dan Peranan, Meningkatnya Persaingan dan Antisipasi Agama, Pengembangan Kelembagaan, Kerjasama, Mudahnya Akses Bagi Penyebaran dan Pengembangan Pendidikan Islam, Bertambahnya Pekerjaan Baru, Sentuhan Teknologi Bagi Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam, Kebutuhan Akan Dimensi Ruhani, Sikap Generasi Z Yang Lebih Cenderung Rasional dan Terbuka, Tantangan Bagi Dikotomi Ilmu. Jika ditijau lebih jauh, pendidikan Islam jika ingin menaklukan education 4.0 maka ia harus segera membereskan berbagai problematika yang menghinggapinya. Problematika-problematika ini adalah tantangan yang harus dihadapi dan segera disikapi dengan benar. Tantangan ini berasal dari internal maupun eksternal. Tantangan dari dalam/eksternal bagi pendidikan Islam di era 4.0 adalah sebagai berikut: Orientasi dan Relasi Kekuasaan, Perubahan Kurikulum, Metode dan Pendekatan Pembelajaran, Profesionalitas serta Kualitas Sumber Daya Manusia. Sedangkan tantangan dari sisi eksternal adalah: Dikotomi Ilmu, Generalisasi Pengetahuan, Rendahnya ghirah untuk meneliti, serta Orientasi kepada Ijazah atau Sertifikat Keahlian
78 BAB V Pendidik 4.0: Dedikasi dan Teknologi A. Pendahuluan Sseperti layaknya Big Bang yang berasal dari sebuah ledakan kemudian memunculkan efek luar bias, begitupun yang terjadi saat dunia terdisrupsi oleh teknologi-teknologi digital saat ini. Transformasi digital yang turut merengkuh dunia pendidikan tidak dapat terelakkan. Tentu terjadi berbagai efek atas hal tersebut, akan tetapi transformasi digital yang merambah dunia pendidikan dirasa cukup perlu. Sentuhan teknologi digital pada pendidikan membuatnya mampu tidak hanya sekedar meraba masa depan, akan tetapi mencoba mempersiapkan generasi yang akan tinggal di masa depan, sebelum itu mereka harus menemukan pendidik yang tepat bagi anak-anak di era mendatang. Suksesnya sebuah negara dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 salah satunya ditentukan oleh bagaimana kualitas dari pendidik. Para pendidik khususnya guru dituntut menguasai bermacam kompetensi dan keahlian, dan tak lupa memiliki kemampuan beradaptasi dengan teknologi baru serta tantangan-tantangan global yang siap datang kapan saja. Guru memiliki peran besar dalam membentuk karakter peserta didik, memberikan teladan, menumbuhkan semangat, kreativitas, serta empati. B. Profil Pendidik Era Education 4.0 Adanya pendidikan 4.0 beberapa pendidik masih menganggap bahwa pembelajaran yang sarat akan makna akan membawa mereka ke dalam lebih banyak tugas untuk diselesaikan. Sebenarnya anggapan ini tidaklah tepat. Sebaliknya, adanya pembelajaran di era ini akan bermanfaat bagi pendidik karena mereka akan lebih mudah untuk memenuhi
79 kebutuhan khusus peserta didik. Sharma mengatakan bahwa pendidikan 4.0 memberikan jalan bagi pendidik untuk mengajar peserta didik, bukan mengajar “kelas”.74 Meskipun demikian, bukan berarti ditiadakannya pendidikan yang kolektif. Ini hanya kegiatan belajar mengajar yang diselenggarakan untuk kebutuhan dan keinginan yang dipersonalisasi, bahwa peserta didik haruslah sesuatu di dalam kelas. Berdasarkan paradigma ini, maka peran guru berubah dengan drastis, dari hanya berperan menyampaikan materi pembelajaran menjadi fasilitator untuk memfasilitasi peserta didik untuk dapat mengembangkan keterampilan mereka, membuat peserta didik berperan aktif di kelas serta tetap berkreasi.75 Peran baru ini membuat para pendidik di era 4.0 harus siap sebagai pemimpin pembelajaran untuk memimpin dalam situasi apapun. Mereka harus memiliki kompetensi yang memadai baik dari pengetahuan, kepercayaan diri, peka terhadap kebutuhan peserta didiknya serta cara belajarnya. Pendidik 4.0 menurut Biggs adalah orang yang harus mampu menciptakan lingkungan belajar yang memfasilitasi kegiatan pembelajaran agar peserta didiknya mampu mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan secara maksimal dalam prosesnya menjadi pembelajaran seumur hidup.76 Ini berarti pendidik harus lebih pandai untuk mengelola kegiatan pembelajarannya demi menjamin efektivitas pembelajaran dalam situasi dan kondisi apapun. Pendidik juga dituntut untuk pandai menggunakan keterampilan-keterampilannya agar peserta didiknya dapat mengikuti alur perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi yang 74 Manisha Sharma, “Teacher in a Digital Era,” Global Journal of Computer Science and Technology 17, no. 3 (2017). 75 Matthew Lynch, “7 Ways Technology Is Impacting Modern Education,” The Tech Edvocate (blog), 4 Maret 2017, https://www.thetechedvocate.org/7-ways-technology-impactingmodern-education/. 76 Robin T. Bye, “The Teacher as a Facilitator for Learning - Flipped Classroom in a Master s Course on Artificial Intelligence,” dalam CSEDU, 2017, https://doi.org/10.5220/0006378601840195.
80 begitu mudah berubah. Seperti halnya peserta didik, pendidik 4.0 juga harus memainkan perannya sebagai pendidik sepanjang hayat yang tidak pernah berhenti untuk belajar. Ini termasuk bagaimana mereka mengontrol dan menggunakan perangkat pembelajaran digital sehari-hari untuk proses belajar mengajar di sekolah. Bagaimanapun juga, transformasi pendidikan ke dalam pendidikan 4.0 tidak dapat menggeser peran guru atau dosen sebagai pendidik. Di negara-negara yang memiliki kultur beragam seperti Indonesia yang memandang nilai-nilai adat religius sebagai elemen kunci, peran pendidik tidak dapat ditinggalkan atau digantikan, bahkan jika diperlukan maka harus diperkuat. Ancaman penetrasi berbagai hal negatif yang menjadi sisi gelap dalam penggunaan teknologi digital dapat tidak terkendali. Robot serta mesin-mesin digital dapat bekerja melakukan tugasnya mengajarkan anak, memberikan mereka pembelajaran dengan berbagai sumber yang lengkap, akan tetapi apapun yang dilakukan oleh robot tidak dapat menggantikan tugas seorang pendidik. Mereka dapat melakukan transfer of knowledge tapi tidak mampu untuk melakukan transfer of value kepada peserta didik. Jika kita melihat perkembangan saat ini dimana terjadi gelombang disrupsi digital besar-besaran, maka hanya ada dua pilihan bagi pendidik dalam menghadapinya. Pilihan pertama adalah tidak melakukan apa-apa. Seluruh kompetensinya stagnan atau berjalan di tempat. Memilih teguh pada idealismenya untuk dapat bertahan di era 4.0 merupakan salah satu perbuatan yang kurang tepat. Pilihan kedua adalah pendidik harus berjalan dinamis sesuai dengan perkembangan zamannya, menunut ilmu-ilmu baru agar dapat menaklukan era ini. Jika pendidik tidak memiliki kecakapan digital, maka ia akan hancur sebagaimana jika bumi tidak turut berotasi. Sebaliknya jika pendidik siap dalam menghadapi transformasi disrupsi era ke arah pembelajran berbasis
81 teknlogi digital, maka hal ini akan berdampak pada kualitas kerja serta mutu lembaga tempat mereka bertugas. Penerapan langkah-langkah strategis sebagai upaya mengantisipasi serta merespon berubahnya sistem pendidikan nasional ke arah digitalisasi era sangat diperlukan. Selain kompetensi inti yang wajib dimiliki oleh pendidik, education 4.0 juga memberikan tuntutan pada para pendidik untuk memiliki kualifikasi pendukung lainnya. Kualifikasi pertama adalah pendidik dituntut untuk memiliki kelincahan. Para pendidik dituntut untuk bertransformasi dan bereksperimen supaya menghasilkan ide-ide pembelajran yang lebih fresh. Kedua, dalam bidang inovasi, pendidik diharuskan mampu menerjemahkan ide ataupun temuannya kedalam sebuah daya cipta yang bernilai. Inovasi ini bisa berupa produk ataupun layanan baru dalam pola pembelajaran, proses pembelajaran kekinian, ataupun inovasi yang mengarah kepada keunggulan kompetitif baru. Ketiga, pendidik juga ditutut untuk mendayagunakan kreativitasnya untuk memberikan sumbang sih pemikiran yang baru, mengkoneksikan hal-hal lama ke dalam hal-hal baru, dan lain sebagainya untuk memunculkan produk-produk baru yang memiliki nilai lebih. Keempat, pendidik hendaknya mampu mengantisipasi segala kemungkinan gejolak yang ditimbulkan oleh adanya disrupsi era. Oleh sebab itu, pendidik diharapkan memiliki kapasitas dalam mengantisipasi serta bertindak secara cepat dalam segala kondisi. Kemampuan antisipasi yang dimiliki pendidik akan membuatnya lebih cepat untuk memberikan respons, beradaptasi, bahkan mengubah gejolak menjadi peluang untuk membakar semangat demi kemajuan pendidikan di Indonesia. Kelima, era industri 4.0 memberikan kesempatan yang lebih banyak bagi para pendidik untuk melakukan berbagai kajian dan eksperimen terhadap suatu hal yang baru terkait kemajuan teknologi digital serta
82 senantiasa mengedepankan semangat dalam merepons perkembangan teknologi digital. Keenam, keterbukaan pemikiran harus dimiliki pendidik supaya kapasitasnya dalam membuka diri serta menerima semua kemungkinan yang ditawarkan kemajuan teknologi digital. Sebagai langkah awal sebuah transformasi digitalisasi teknologi adalah adanya kesadaran serta sikap membuka diri terhadap berbagai potensi, peluang, ancaman, ataupun problematika yang muncul. Ketujuh, perlunya pendidik untuk memperluas network atau jaringannya guna menunjang kinerjanya serta meningkatkan kompetensinya. Adanya jaringan yang luas dan kuat sangat berguna bagi pendidik di era ini karena akan menambah wawasan serta kebaharuan informasi. Education 4.0 telah memberikan sebuah ruang digital tak terbatas bagi pendidikan untuk memajukan peradaban. Melaui otomatisasi berbagai teknologi, education 4.0 juga telah mengurangi beberapa beban administrasi sembari memoderniasi prosedur serta teknik pembelajaran. 77 Pendidikan era ini juga bertujuan bukan hanya memperbaharui dan menyiapkan peserta didik untuk menghadapi dunia masa depan, akan tetapi juga bagi pendidik sebagai ujung tombak berlangsungnya mata rantai pendidikan di muka bumi ini. 77 D. Napoleon, V. Ramanujam, dan Kasilingam Lingaraja, “The Role of Education 4.0 for Better Learning Outcome towards Industry 4.0,” Journal of Xi’an University of Architecture & Technology XII, no. VIII (2020).
83 C. Keterampilan Yang Dimiliki Pendidik Keberhasilan education 4.0 sangat ditunjang oleh para pendidik yang bekerja profesional. Para pendidik dituntut untuk mempunyai keterampilan khusus agar mampu bekerja secara profesional pada education 4.0. Beberapa keterampilan tersebut antara lain:78 1. Akrab Teknologi Perubahan teknologi yang semakin canggih membuat mau tidak mau seseorang pendidik harus berjalan searah dengan kemajuan teknologi. Diperlukan kemauan untuk belajar secara terus menerus akan pendidikan terus berjalan secara dinamis. Oleh karena itu upgrading pengetahuan para pendidik harus terus dilakukan agar para pendidik mampu bekerjasama, beradaptasi, dan berjalan secara dinamis sesuai perkembangan zaman. 2. Kolaborasi Para pendidik diharuskan untuk berkolaborasi secara maksimal untuk merancang kurikulum education 4.0. kurikulum harus senantiasa di-upgrade agar sejalan dengan dinamika perubahan yang sangat dinamis. Dibutuhkan saling sharing pengalaman dan pengetahuan antara pendidik akan membuat konten kurikulum semakin kaya akan inovasi. 3. Kreatif Dan Mampu Mengambil Resiko Abad 21 membutuhkan kreativitas sebagai skills yang harus dipenuhi oleh para peserta didik. Untuk mengembangkan kreativitas 78 Delipiter Lase, “Education and Industrial Revolution 4.0,” Jurnal Handayani PGSD FIP UNIMED 10, no. 1 (23 Juli 2019): 48–62, https://doi.org/10.24114/jh.v10i1.14138.
84 peserta didik, pendidik juga dituntut harus memiliki kreatifitas yang lebih tinggi. Kreatifitas dibutuhkan untuk memproduksi konten kurikulum, media, pendekatan ataupun metode pembelajaran yang inovatif untuk dapat menyelesaikan permasalahan riil. Kesalahan atau kegagalan dalam menerapkan inovasi dalam pembelajaran seolah menjadi momok menakutkan, padahal hal tersebut bukanlah sebuah hal yang perlu ditakutkan. Trial and eror akan bermanfaat dalam proses evaluasi untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang maksimal. 4. Mendidik Secara Holistik Pendidikan holistik dilakukan untuk membantu mengembangkan pengetahuan, emosi, keterampilan sikap, serta nilai yang bermakna dan mendalam. Pendekatan holistik adalah pendekatan pedagogik yang mendukung peserta didik belajar dan bertumbuh pada semua aspek baik kognitif, afektif, maupun psikomotornya. Pendekatan holistik juga turut serta memasukan bermacam metode pendidikan yang dapat membantu peserta didik bereksplorasi dan merangsang jiwa kreatifitasnya untuk menghubungkan materi yang dipelajarinya dengan kehidupan sehari-hari. Peserta didik juga akan merasa terbantu dalam menemukan nilai-nilai kehidupan mereka.79 D. Simpulan Education 4.0 telah mengubah secara drastis peran seorang pendidik. Sebelumnya seorang guru hanya berperan menyampaikan amteri pembelajaran, saat ini ia tidak hanya mengemban tugas tersebut, akan 79 Liz Grauerholz, “Teaching Holistically to Achieve Deep Learning,” College Teaching 49, no. 2 (1 April 2001): 49, https://doi.org/10.1080/87567550109595845.
85 tetapi juga berperan sebaagai fasilitator yang memfasilitasi peserta didik untuk dapat mengembangkan keterampilan mereka, membuat peserta didik berperan aktif di kelas serta tetap berkreasi. Peran baru ini membuat para pendidik di era 4.0 harus siap sebagai pemimpin pembelajaran untuk memimpin dalam situasi apapun. Mereka harus memiliki kompetensi yang memadai baik dari pengetahuan, kepercayaan diri, peka terhadap kebutuhan peserta didiknya serta cara belajarnya.. Disrupsi era yang menyusup dalam setiap sendi kehidupan membawa misi untuk menggantikan sesuatu yang manual menjadi digital. Bagaimanapun juga, transformasi pendidikan ke dalam pendidikan 4.0 tidak dapat menggeser peran guru atau dosen sebagai pendidik. Di negaranegara yang memiliki kultur beragam seperti Indonesia yang memandang nilai-nilai adat religius sebagai elemen kunci, peran pendidik tidak dapat ditinggalkan atau digantikan, bahkan jika diperlukan maka harus diperkuat. Upaya untuk memperkuat peranan tersebut adalah dengan terus menambah wawasan dan memperbaharui skills sebagaimana yang dibutuhkan era saat ini.
86 BAB VI Output Islamic Education 4.0: Antara Harapan dan Kualitas A. Pendahuluan Pendidikan adalah sebuah sarana penting untuk mendidik manusia supaya tidak hanya nalarnya saja yang berjalan, akan tetapi juga memperhalus intuisinya sebagai “manusia”. Menjadi manusia yang maju dan beradab merupakan salah satu tujuan diadakannya pendidikan di muka bumi ini. Penalaran bebas manusia tertuang dalam berbagai penemuan-penemuan penting yang tercatat sepanjang sejarah, akan tetapi penalaran bebas manusia terkadang bersifat liar. Agar kebebasan tersebut tidak semakin liar, maka dibutuhkan sebuah formulasi yang diinternalisasikan dalam tubuh pendidikan sebagai tali kekangnya. Formulalsi tersebut adalah pendidikan karakter. Pendidikan karakter laksana baju zirah yang melindungi dari kejamnya perubahan era. Perubahan peradaban manusia menjadi semakin maju laksana memiliki dua mata pisau. Dengan tajamnya ia mampu membelah keterbatasan dan ketidakmungkinan menjadi suatu hal yang nyata dan memungkinkan. Akan tetapi tajamnya revolusi industri dalam peradaban manusia turut menyayat urat-urat moral, akhlak, dan kemanusiaan. Ketika anak-anak tumbuh dengan urat-urat moral, akhlak, dan kemanusiaan yang terkoyak, maka mereka menjadi manusia yang kering, hanya haus akan matrealis, sehingga lupa akan kodratnya menjadi manusia yang beradab sebagai khalifah fil ard.
87 B. Pendidikan Karakter sebagai Barrier Dekadensi Era 4.0 Beberapa ahli berpendapat bahwa pendidikan jika dilihat dari perspektif luas merupakan sebuah usaha untuk mengembangkan pengetahuan, melatih ketrampilan, menambah pengalaman, dan mempertajam kecakapan untuk mempersiakan diri memenuhi fungsi kehidupan jasmani dan rohaninya. Dalam perspektif yang lebih sempit, pendidikan diartikan sebatas sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan formal, informal, maupun non formal.80 Beberapa aspek yang menjadi bahan pertimbangan dalam dunia pendidikan adalah: pencerahan, penyadaran, pemberdayaan, serta adanya perubahan tingkah laku. Proses pengolahan sikap atau akhlak peserta didik ditumbuh kembangkan di dalam proses pembelajaran. Keberhasilan sebuah pendidikan bukan hanya diukur dari angka-angka keberhasilan peserta didik dalam menguasai materi yang diajarkan, akan tetapi juga keberhasilan dalam proses perubahan tingkah laku peserta didik seperti peningkatan akhlak yang dimiliki peserta didik (empati, simpati, jujur, berani, dll), kepribadian yang baik, serta psikomotorik yang berkembang dengan baik. Bom atom pernah menghancurkan Jepang pada masa perang dunia II silam. Dalam sekejap negara tersebut hancur, akan tetapi dalam sekejap pula negara tersebut mampu menjadi negara besar. Pendidikan karakter yang memuat berbagai life skills merupakan salah satu formula kebangkitan generasinya. Pendidikan karakter yang diajarkan bertujuan untuk mendidik peserta didik menjadi manusia yang seutuhnya. Pendidikan karakter yang termuat dalam pendidikan Islam tidak hanya seputar pendidikan moral yang membedakan benar atau salah, melain juga memberikan pengajaran dan pemahaman bagaimana melakukan hal-hal yang baik. Terdapat dua paradigma besar dalam 80 Umiarso dan Asnawan, Kapita Selekta Pendidikan Islam: Isu-isu Kontemporer Pendidikan Islam dalam Bingkai Ke Indonesiaan (Jakarta: Kencana, 2017).