The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by dimasaji, 2022-10-12 03:14:33

418061911-Kajian-Akademik-KPBU

418061911-Kajian-Akademik-KPBU

KAJIAN KERJASAMA PEMERINTAH DAERAH DENGAN BADAN
USAHA (KPDBU) DI PROVINSI JAWA TIMUR

DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN TERPADU SATU
PINTU PROVINSI JAWA TIMUR
BEKERJASAMA DENGAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA
2018

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Indonesia, yang dikenal sebagai negara besar dengan

luas daratan 1.904.569 kilometer persegi, adalah negara
terbesar ke-14 di dunia. Peringkat meningkat ke negara
terbesar ke-7 dalam hal gabungan lahan dan laut, negara ini
terdiri dari 34 provinsi. Penduduk Indonesia - yang berjumlah
261 juta penduduk menjadikannya negara keempat terbesar di
dunia, dan yang paling banyak penduduknya di Asia Tenggara.
Menurut Bank Dunia, PDB per kapita Indonesia telah terus
meningkat, dari $ 857 pada tahun 2000 menjadi $ 13.120 pada
tahun 2017. Indonesia adalah anggota G-20 yang mewakili
negara berkembang yang memberikan dampak ekonomi
terhadap dunia.

Karena ukuran dan populasinya yang besar, Pemerintah
Indonesia memperkirakan bahwa negara akan membutuhkan
investasi USD 359,2 miliar untuk pembangunan infrastruktur.
Namun, diperkirakan bahwa hanya 73,5% dari nilai investasi
yang akan dikirimkan melalui anggaran Negara dan proyek
Badan Usaha Milik Negara.

Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya partisipasi
swasta atau Badan Usaha dalam mempercepat pembangunan
infrastruktur di Indonesia, terutama mengingat keterbatasan
pemerintah dalam mendanai kebutuhan infrastruktur.
Berdasarkan perkiraan kebutuhan dana infrastruktur pada
2015-2019, terdapat kesenjangan pendanaan sekitar 36,5% (Rp

2

1.385 Triliun) daritotal kebutuhan dana infrastruktur (Rp
4.796 triliun)1. Kesenjangan pendanaan tersebut diharapkan
dapat dipenuhi melalui kerja sama dengan swasta atau Badan
Usaha menggunakan skema Public-Private Partnership (PPP)
atau dikenal dengan Kerjasama Pemerintah Badan Usaha
(KPBU). Partisipasi swasta atau Badan Usaha, bagaimanapun,
diharapkan tidak hanya untuk mengisi kesenjangan
pendanaan tetapi juga untuk berbagi pengetahuan dan
pengalaman dalam pengembangan, operasi, dan manajemen
layanan infrastruktur yang berkualitas. Untuk itu, Pemerintah
Indonesia telah berkomitmen untuk terus meningkatkan dan
berinovasi dalam meningkatkan daya tarik investasi dan
memastikan bahwa keterlibatan swasta atau Badan Usaha
tidak terhambat.Investasi adalah kata kunci dalam proses
percepatan pembangunan infrastruktur, yang secara rinci
kegiatantersebutdapat diwujudkan dengan menggunakan
mekanisme Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU),
melalui mekanisme inipemerintah dapat memfasilitasi
kepentingannya dan kepentingan investor secara bersamaan,
ini adalah mekanisme terbaik untuk menarik investor supaya
mereka dapat menggunakan teknologi dan inovasi yang mereka
miliki demi kepentingan negara. Saat ini, komitmen untuk
mempercepat pembangunan infrastruktur terus berlanjut.
Pemerintah tetap berkomitmen untuk mengejar pembangunan
proyek infrastruktur yang merata di seluruh Indonesia. Sejalan

1BAPPENAS, Public-Private Partnership, Infrastructure Projects Plan In
Indonesia. Jakarta: BAPPENAS, 2018,
https://www.bappenas.go.id/files/KPBU% 20Book/KPBU% 20Book% 202018% 20FIN
AL.pdf

3

dengan ini, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2015-2019 (RPJMN 2015-2019) menyatakan bahwa KPBU
adalah pendekatan alternatif untuk pembangunan
infrastruktur.

Namun setiap investasi tidak hanya dibarengi dengan
keuntungan, dalam hal ini ada bayang-bayangpotensi risiko
yang dapat menimbulkan kerugian yang dapat mengancam
proses investasi. Potensi risiko tersebut tidakhanya berasal dari
dalam saja (internal) namun juga dapat berasal dari luar
(eksternal). Ancaman ini selalu menjadi momok tersendiri bagi
para investor, oleh karenanya investor sebelum melakukan
suatu investasi pasti akan melakukansuatu kajian terhadap
potensi kerugian, yang mana hal ini adalah bagian dari analisis
manajemen risiko yang dilakukanuntuk mencegah hal-hal yang
tidak diinginkan di kemudian hari. Potensi risiko ekstenal
adalah di luar kendalipemerintah secara tidak langsung, hal ini
dikarenakan potensi ini muncul adanya suatu minat pasar
(market interest) dimana investasi tadi dilakukan, namun
terhadap potensi risiko eksternal hal ini sepenuhnya menjadi
kendali pemerintahsepenuhnya, dalam hal ini kestabilan
pemerintah adalah kunci utama, keinginan pemerintah untuk
terus menghormatiapa yang telah disepakati dalam Kerjasama
Pemerintah Badan Usaha (KPBU) adalah faktor penentu tanpa
hal tersebut investasiakan menjadi tiada artinya investor akan
melarikan diri dan pembangunan tidak akan berjalan secara
maksimal.

Keterlibatan pihak swasta atau Badan Usaha ataupun
pihak asing sebagai investor amatlah diperlukan dalam

4

melakukan pembangunanjangka panjang yang berkelanjutan,
sejarah telah membuktikan ketika terjadi Krisis Uganda di
masa pemerintahan Idi Amin, penolakan terhadap pihak asing
dalam kegaitan perekonomian Uganda telah menjadi bumerang
bagi negaratersebut, tidak saja pembangunan infrastruktur
menjadi terhambat, pertumbuhan sektor agraris pun menjadi
stagnan, halini diakibatkan ketidakjelian pihak pemerintah
untuk menangkap peluang yang ada dalam kegiatan investasi2.

Sebagaimana halnya manusia adalah zoon politicon yang
membutuhkan interaksi dengan manusia yang lainnya,
begitupula dengan sautu negara yang merupakan perwujudan
dari kepentingan-kepentingan politis yang membutuhkan
pihaklain untuk senantiasa berkembang dan mensejahterakan
rakyatnya, pemeritnah membutuhkan swasta atau Badan
Usaha dalam pengelolaansumber daya yang dimilikinya
sementara investor membutuhkan pemerintah untuk
mengembangkan usahanya. Kondisi mutual simbiosis ini
adalah kondisi yang harus diwujudkan demi pencapai
keuntungan bersama antara pemerintah dan swasta atau
Badan Usaha, dalam hal ini Kerjasama Pemerintah Badan
Usaha (KPBU) dapat berperan sebagai instrumen untuk
mewujudkan hal tersebut, namun demikian kepentingan-
kepentingan yang dimuat dalam Kerjasama Pemerintah Badan
Usaha (KPBU) harus dilindungi secara hukum, sehingga

2Prawitra Thalib, Faizal Kurniawan, Erni Agustin, dan Rizky Amalia,
Elaborating Appropriate Models of the Sustainable Financing Instrument inPublic
Private Partnerships (PPP) In Infrastructure Projects, Simposium I Jaringan
Perguruan Tinggi untuk Pembangunan Infrastruktur Indonesia, 2016..

5

dengan adanya kepastian hukum investor tidak akan ragu
untuk menanamkan modalnya.

Salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh investor
untuk mengurangi potensi-potensi risiko yang dapat muncul
dalam suatu kegiatan investasi adalah melalui upaya untuk
melibatkan pihak ketiga dalam investasi tersebut, adapun
pihak ketiga yang dapat dilibatkan dalam kegaitan investasi
tersebut adalah lembaga keuangan bank. Perbankan menjadi
pilihan utama sebagai pihak ketiga dalam suatu investasi
dikarenakan perbankan dapat memberikan jaminan bagi
pemerintah supaya investor tidak mengingkari isi perjanjian
atau wanprestasi dan bagi investor juga dapat menjadi jaminan
bahwa pemerintah akan terus menghoirmati perjanjian yang
dibuat sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut.
Perbankan mempunyai posisi vital dalam sistem perekonomian,
dampak sistemis perekonomian yang dimilikinya menjadikan
industri perbankan mempunyai prestise atau kebanggan
tersendiri dalam kelancaran perputaran roda bisnis dan
perekonomian. Posisi strategis yang dimiliki oleh industri
perbankan inilah yang harus dimanfaatkan dengan maksimal
oleh investor, pengamatan yang jeli dan seksama terhadap hal
tersebut akan menjadikan investor mempunyai potensi
kerugian yang minim tanpa harus memangkas kepentinganya
untuk mendapat keuntungan dari investasi yang dilakukan.

Pemerintah Indonesia terus mengevaluasi dan
memperkuat kebijakan untuk mendukung percepatan dan
peningkatan proses persiapan KPBU. Untuk tujuan tersebut,
Pemerintah Indonesia telah menetapkan Peraturan Presiden

6

38/2015 tentang Kerjasama antara Pemerintah dan Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur sebagai peraturan baru
untuk implementasi KPBU di Indonesia.

Mulai dari 2009, BAPPENAS - sebagai badan
perencanaan pembangunan nasional di Indonesia yang
bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan KPBU
serta menyediakan informasi tentang investasi infrastruktur
yang tersedia di Indonesia untuk calon investor atau pemangku
kepentingan KPBU lainnya.

Pemerintah Indonesia sepenuhnya sadar akan
pentingnya menawarkan iklim investasi dan bisnis yang lebih
menarik dengan meningkatkan infrastruktur negara. Untuk
mengatasi kebutuhan investasi Infrastruktur di Indonesia,
Pemerintah Indonesia menawarkan skema Kemitraan
Pemerintah-swasta atau Badan Usaha dalam mengembangkan
proyek-proyek infrastruktur.

Saat ini iklim investasi untuk proyek-proyek KPBU cukup
baik, karena Indonesia mengalami peningkatan 19 poin dalam
Peringkat Ease of Doing Business (EoDB) oleh Bank Dunia.
Peringkat EoDB Indonesia muncul dari 91 di 2017 hingga 72 di
2018. Saat ini, Indonesia adalah 3 Tujuan Investasi Terbaik
Asia berdasarkan Economist dan juga 3 tujuan investasi
Jepang (peringkat JBIC).

Khusus untuk contoh kesuksesan proyek KPBU SPAM
Umbulan di Jawa Timur, yang saat ini berhasil melalui tahapan
financial close setelah melalui berbagai macam kegagalan
dalam melakukan realisasi pembangunan SPAM Umbulan
sejak gagasan pertama pada tahun 1972.. Bahkan proyek

7

KPBU ini berhasil mendapatkan penghargaan internasional
dari Global Infrastructure Leadership Forum di New York sebagai
Project Finance of The Year 2014; dan Infrastructure Innovation
Award 2017 di Singapore sebagai Program Innovation Award
(Asia Water Leadership Award) 2017.

Gambar 1.1 Perjalanan Panjang Realisasi Pembangunan
SPAM Umbulan3

Namun demikian tidak semua proyek KPBU di Jawa
Timur berjalan dengan mulus. Kebutuhan anggaran proyek
pembangunan RSUD Sidoarjo Barat yang semula nilainya Rp
350 miliar dengan sistem konvensional malah bengkak sampai

3 Soekarwo, KPBU SPAM Umbulan: Praktik Berhasil Kerjasama Pemerintah
Badan Usaha (KPBU) di Daerah Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan.
Jakarta: 10 Juli 2018

8

Rp 1,9 triliun dengan sistem KPBU4. Hal ini diduga oleh 5
Fraksi DPRD Sidoarjo bertentangan dengan konsep Value for
Money.

Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan
stakeholder yang terkait, dalam rangka meningkatkan iklim
investasi di provinsi Jawa Timur, perlu memperbaiki beberapa
regulasi yang berkaitan dengan proses dan mekanisme dalam
melakukan investasi dalam bentuk Proyek KPBU agar dapat
memudahkan para investor untuk menanamkan modalnya
guna peningkatan perekonomian rakyat dan daerah. Oleh
karena itu, perlu dilakukan kajian mengenai bentuk insentif
dan kemudahan berusaha (ease of doing business) di provinsi
Jawa Timur sebagai upaya untuk mereformasi kebijakan
(policy) yang berkaitan dengan investasi khususnya di bidang
perizinan yang selama ini dapat dikatakan tidak efisien dan
berbelit-belit. Namun demikian, penting juga untuk
menemukan suatu kebijakan (policy) yang efisien dan tidak
berbelit-belit dengan tetap memperhatikan aspek keamanan,
kesehatan dan keselamatan manusia beserta alam. Dengan
demikian, perlu adanya evaluasi regulasi di provinsi Jawa
Timur baik terhadap peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi maupun terhadap Kerjasama Pemerintah dengan
Badan Usaha (KPBU).

1.2. Rumusan Masalah

4M Taufik, 2 Proyek di Sidoarjo Terancam Gagal, Dewan Tolak Gedung
Terpadu dan Rumah Sakit, ini Alasannya, Artikel ini telah tayang di surya.co.id
dengan judul http://surabaya.tribunnews.com/2018/08/31/2proyek-di-sidoarjo-
terancam-gagal-dewan-tolak-gedung-terpadu-dan-rumah-sakit-ini-
alasannya?page=2.

9

Salah satu aspek dalam mendukung keberhasilan
pelaksanaan proyek KPBU secara keseluruhan adalah
kelembagaan KPBU. Organisasi dalam tahapan pelaksanaan
KPBU terdiri dari Penanggung Jawab Proyek Kerjasama
(PJPK), Simpul KPBU, Tim KPBU, dan Panitia Pengadaan.

Masing-masing organisasi tersebut memiliki peran dan
tanggungjawab yang saling berkaitan. Organisasi kelembagaan
yang kuat akan tercapai jika para pihak melaksanakan peran
dan kewajibannya. Setiap unsur harus bersinergi untuk
mencapai keberhasilan proyek KPBU.Berdasarkan serangkaian
permasalahan yang diuraikan pada latar belakang di atas,
maka diajukan 3 (tiga) isu penting yang berkaitan dengan
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) di provinsi
Jawa Timur sebagai berikut:
1. Apa kewenangan Provinsi Jawa Timur dalam membentuk

kelembagaan KPBU?
2. Bagaimana implementasi pembentukan kelembagaan KPBU

di Provinsi Jawa Timur yang sesuai peraturan perundang-
undangan?
3. Apa langkah dan strategi Pemerintah Daerah Provinsi Jawa
Timur dalam meningkatkan KPBU di daerah?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini

bertujuan untuk:
1. Menganalisis kewenangan Provinsi Jawa Timur dalam

membentuk kelembagaan KPBU.

10

2. Menganalisis implementasi pembentukan kelembagaan
KPBU di Provinsi Jawa Timur yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

3. Menganalisis langkah dan strategi Pemerintah Daerah
Provinsi Jawa Timur dalam meningkatkan KPBU di daerah.

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini
adalah:
1. Secara teoritik diharapkan untuk memberikan masukan

secara umum bagi perkembangan ilmu hukum khususnya
hukum pembentukan lembaga KPBU berdasarkan undang-
undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden dan
peraturan menteri di bidang KPBU.
2. Secara praktis diharapkan dapat memberikan masukan
kepada Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Timur tentang
pelaksanaan KPBU berdasarkan peraturan perundang-
undangan.

1.4. Metode Penelitian
1.4.1. Tipe Penelitian dan Langkah Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu penelitian normatif
sehigga metode yang digunakan adalah metode penelitian
hukum yang dilakukan untuk mencari pemecahan masalah
atas isu hukum dan permasalahan hukum yang ada, sehingga
hasil dari penelitian hukum ini adalah memberikan preskripsi
mengenai apa yang seyogyanya mengenai isu hukum yang
diajukan serta dapat diterapkan dalam praktek hukum

11

pemerintahan, khususnya di lingkungan Pemerintahan
Daerah Provinsi Jawa Timur. Peter Mahmud Marzuki
menyatakan bahwa penelitian hukum merupakan proses
untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,
maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi.5

Selanjutya, Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa
langkah-langkah penelitian hukum yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal

yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang
hendak dipecahkan;
2. Pengumpulan bahan-bahan hukum dan sekiranya
dipandang relevansi juga bahan-bahan non-hukum;
3. Melakukan telaah atas isu yang diajukan berdasarkan
bahan-bahan yang telah dikumpulkan;
4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang
menjawab isu hukum;
5. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang
telah dibangun dalam kesimpulan.6
1.4.2. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum
adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach)
dan pendekatan konseptual (conceptual approach).7

Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
diperlukan guna mengkaji lebih lanjut mengenai kewenangan
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur dalam membentuk
kelembagaan KPBU, implementasi pembentukan kelembagaan
KPBU di Provinsi Jawa Timur yang sesuai dengan peraturan

5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. 6,Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010, hlm. 35

6Ibid, hlm.171
7Ibid, hlm. 93

12

perundang-undangan, dan langkah serta strategi Pemerintah
Daerah Provinsi Jawa Timur dalam meningkatkan KPBU di
daerah.

Pendekatan konseptual (conceptual approach),
digunakan untuk mengkaji lebih lanjut mengenai kewenangan
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur dalam membentuk
kelembagaan KPBU, implementasi pembentukan kelembagaan
KPBU di Provinsi Jawa Timur yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, dan langkah serta strategi Pemerintah
Daerah Provinsi Jawa Timur dalam meningkatkan KPBU di
daerah. Oleh karena itu, maka diperlukan konsep wewenang
serta teori-teori yang relevan dengan isu hukum dalam
penelitian ini.

1.4.3. Sumber Bahan Hukum
Bahan-bahan penelitian berupa bahan hukum primer,

bahan dan hukum sekunder. Bahan Hukum Primer yang
digunakan dalam Penelitian ini antara lain Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015, yang diterbitkan
oleh pemerintah sebagai pengganti peraturan presiden nomor
67 tahun 2005 dan direvisi, menetapkan kerangka peraturan
lintas sektor untuk mengimplementasikan PPP dalam
penyediaan infrastruktur. Amandemen berurutan telah
menetapkan ketentuan yang lebih jelas dan lebih rinci tentang
proposal yang tidak diminta, perjanjian kerjasama,
pengembalian investasi dengan pembayaran oleh pengguna

13

dalam bentuk tarif (biaya pengguna) atau pembayaran
ketersediaan, dukungan pemerintah dan jaminan untuk
proyek, di antara titik-titik lain;Peraturan Presiden Nomor 78
tahun 2010 tentang jaminan pemerintah atas proyek
infrastruktur PPP. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 260
Tahun 2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 8 tahun 2016 tentang pedoman
jaminan pemerintah, sedangkan Peraturan Menteri Keuangan
nomor 30 Tahun 2012 tentang dana kewajiban kontingensi (Ini
telah diterapkan untuk Proyek Palapa Ring, Proyek Penyediaan
Air Umbulan, Proyek Pembangkit Listrik Jawa Tengah, Proyek
Jalan Tol dan Proyek Pasokan Air Bandar Lampung);
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala
Peraturan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor
4 Tahun 2015 tentang pedoman operasional untuk PPP dalam
penyediaan infrastruktur; Peraturan Kepala Badan Pengadaan
Nasional (LKPP) Nomor 19 Tahun 2015 tentang pedoman
untuk pengadaan badan usaha tentang PPP dalam penyediaan
infrastruktur; Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190 Tahun
2015 tentang Pembayaran Ketersediaan untuk PPP dalam
Penyediaan Infrastruktur; Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 96 Tahun 2016 tentang Pembayaran Ketersediaan
menggunakan anggaran lokal (APBD) tentang KPBU dalam
Penyediaan Infrastruktur; Peraturan Menteri Keuangan Nomor
223 Tahun 2012 Tentang Pendanaan Kelonggaran
Kelangsungandan peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan isu hukum yang diteliti.

14

Bahan hukum sekunder meliputi bahan-bahan yang
mendukung bahan hukum primer seperti buku-buku teks
khusunya buku-buku tentang KPBU, buku-buku hukum
administrasi (hukum perizinan), kamus hukum, artikel dalam
berbagai majalah dan jurnal ilmiah bidang hukum, dan
sumber lainnya yang mendukung.

1.4.4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum primer berupa perundangan-undangan

dikumpulkan dengan metode inventarisasi dan kategorisasi.
Bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan sistem kartu
catatan (card system), baik dengan kartu ikhtisiar (memuat
ringkasan tulisan sesuai aslinya, secara garis besar dan pokok
gagasan yang memuat pendapat asli penulis); Kartu kutipan
(digunakan untuk memuat catatan pokok permasalahan);
serta kartu ulasan (berisi analisis dan catatan khusus
penulis).

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang
telah dikumpulkan (inventarisasi) kemudian dikelompokakan
dan dikaji dengan pendekatan perundangan-undangan guna
memperoleh gambaran sinkronisasi dari semua bahan hukum.
Selanjutnya dilakukan sistematisasi dan klasifikasi kemudian
dikaji serta dibandingkan dengan teori dan prinsip hukum
yang dikemukakan oleh para ahli, untuk akhirnya dianalisa
secara normatif.

15

BAB II
KERANGKA TEORITIK

2.1 Pendahuluan
Public-Private Partnership (PPP) atau juga dikenal di

Indonesia sebagai Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU)
telah banyak diadopsi oleh pemerintah untuk membiayai
akuisisi aset infrastruktur dan pengoperasian fasilitas mereka
(Xu et al., 2012; Auriol dan Picard, 2011). PPP adalah strategi
pengadaan alternatif yang dapat meningkatkan layanan efisien
yang dipasok sebelumnya oleh otoritas pemerintah (Sadka,
2007). Namun demikian, penerapan konsep kemitraan yang
efisien antara otoritas pemerintah dan badan usaha swasta
dalam proyek-proyek KPBU tidak selalu berhasil (Diamond,
2006; Friend, 2006; dan Jacobson and Choi, 2008). Beberapa
proyek PPP yang tidak berhasil di banyak negara, terutama di
negara-negara berkembang, telah dicatat oleh banyak orang
(misalnya Handly, 1997; Hayllar dan Wettenhall, 2010;
Bernardino et al., 2010). Kegagalan ini merupakan konsekuensi
dari pengaturan yang rumit dan kontrak yang tidak lengkap
dalam proyek-proyek KPBU, yang telah menyebabkan
peningkatan eksposur risiko untuk mitra publik dan swasta.
Karena inti dari PPP didasarkan pada konsep kemitraan antara
entitas publik dan swasta, bab ini mengulas rasionalisasi untuk
proyek-proyek KPBU termasuk beberapa teori yang mendasari
konsep kemitraan, membahas debat tentang KPBU, dan
membahas aspek-aspek penting dalam mengevaluasi proyek
KPBU.

16

2.2 Mengeksplorasi konsep kemitraan
Berbagai interpretasi konsep kemitraan antara publik dan

swasta dapat dikategorikan ke dalam empat pendekatan seperti
(1) pendekatan regenerasi perkotaan; (2) pendekatan kebijakan;
(3) pendekatan infrastruktur; dan (4) pendekatan
pengembangan (Weihe, 2008). Seperti yang dijelaskan dalam
bab sebelumnya, penelitian ini terbatas pada pendekatan
infrastruktur, di mana keuangan swasta terlibat, dan di mana
berbagai elemen seperti konstruksi, operasi dan pemeliharaan
terintegrasi. Gambar 2.1 menunjukkan kerangka kerja
konseptual PPP yang akan dibahas dalam bab ini. Keterlibatan
pribadi dalam mengembangkan infrastruktur publik
menyiratkan hubungan kontraktual antara pemerintah dan
perusahaan kendaraan tujuan khusus (SPV).

Hubungan kontraktual ini dianggap sebagai mekanisme
pembagian risiko dan pertukaran peran antara otoritas
pemerintah dan pihak swasta dalam memberikan layanan
publik selama masa konsesi jangka panjang. Selanjutnya,
konsep kemitraan PPP berbeda dari pengadaan tradisional
dalam proyek konstruksi; PPP sebagai metode kemitraan
menunjukkan hubungan kekuasaan yang setara antara publik
dan pihak swasta, di mana sebagian besar risiko proyek
ditransfer ke pihak swasta. Pengadaan tradisional memerlukan
hubungan top-down, di mana perusahaan swasta (misalnya
kontraktor, operator, pemasok, dll.) Bekerja untuk dan
mendapatkan dari pemerintah dengan kewajiban terbatas.

Gambar 2.3 Konsep Kerjasama Peme

8Fredy Kurniawan, Integrated Project Evaluation Tool
University: Edinburgh, 2013

17

erintah Badan Usaha8

For PFI Project, Unpublished PhD Thesis, Heriot-Watt

18

Istilah PPP sering dilihat sebagai metode pengadaan. Cartlidge
(2006) berpendapat bahwa PPP juga dapat dilihat sebagai metode untuk
meningkatkan keuangan dari neraca, strategi untuk mencapai efisiensi
yang lebih besar, dan alat bermotif politik untuk mendorong perubahan
sosial. Namun, proyek-proyek KPBU tidak selalu menunjukkan konsep
kemitraan yang efisien dalam praktek (Diamond, 2006; Friend, 2006;
dan Jacobson and Choi, 2008). Kegagalan pelaksanaan proyek-proyek
KPBU dapat dikontribusikan oleh otoritas pemerintah atau pihak
swasta. Otoritas pemerintah negara tuan rumah memiliki yurisdiksi
atas inisiasi proyek, proses konstruksi, dan masa konsesi, memainkan
peran penting dalam keberhasilan proyek-proyek KPBU.

Dalam sejarah perkembangan Public-Private Partnership (PPP)
atau juga dikenal di Indonesia sebagai Kerjasama Pemerintah Badan
Usaha (KPBU), inisiatif kebijakan yang dilakukan oleh otoritas
pemerintah tidak selalu mendukung pihak swasta (Bing et al., 2005;
Schaufelberger dan Wipadapisut, 2003; dan Wang et al, 2000). Di sisi
lain, pengaruh dari kekuatan politik perusahaan terhadap peran
pemerintah dalam memberikan layanan publik memprioritaskan
keuntungan maksimum untuk inisiatif bisnis mereka (Heald dan
Georgiou, 2000; Crane dan Matten, 2003; Johnston, 2010; Beh, 2010;
Siemiatycki, 2010 ; dan Wilks, 2013). Komersialisasi layanan publik
adalah bukti nyata bahwa 'kemitraan' terlalu diubah menjadi peluang
bisnis baru. Dengan demikian, efektivitas PPP sebagai strategi
pengadaan alternatif untuk memberikan nilai yang lebih baik untuk
uang terbuka untuk dipertanyakan. Untuk mengevaluasi efektivitas
konsep kemitraan, bagian selanjutnya secara singkat membahas
bagaimana pendekatan PPP digunakan di seluruh dunia.

2.3 Berbagai Pendekatan tentang Public-Private Partnership (PPP) atau
Kerjasama Pemerintah Badan Usaha(KPBU)
Meskipun keterlibatan investasi swasta dalam infrastruktur
publik dapat ditelusuri kembali ke abad ke-18 di negara-negara Eropa,
tidak ada informasi pasti tentang periode waktu yang tepat ketika
periode Public-Private Partnership (PPP) awalnya diluncurkan.
Kumaraswamy dan Morris (2002) menyatakan bahwa investasi swasta

19

paling awal adalah kontrak konsesi untuk memasok air minum ke Paris
pada abad ke-18. Namun demikian, Private Finance Initiative (PFI)
sebagai jenis PPP diperkenalkan ke Inggris pada tahun 1992. Selain itu,
banyak akronim (seperti BOT, BOOT, BTO, BRT, BLT, BOOM, DBOM,
dan DBFO) juga telah digunakan. untuk menggambarkan PPP sebagai
variasinya. Meskipun PPP memiliki berbagai jenis kemitraan, masing-
masing konsep kemitraan tidak selalu diterapkan secara efektif di
setiap negara.

Untuk mengilustrasikan keefektifan konsep kemitraan, ada
baiknya memberikan contoh proyek PPP di seluruh dunia. Ada dua
pendekatan untuk proyek PPP di seluruh dunia (Aziz, 2007): (1)
Pendekatan berbasis layanan; dan (2) Pendekatan berbasis keuangan.
Pendekatan pertama adalah inisiatif keuangan swasta (PFI). Desain,
Bangun, Keuangan dan Operasikan (DBFO) adalah variasi dari strategi
kemitraan yang kebanyakan digunakan di Inggris di bawah PFI. PFI
memungkinkan pihak swasta untuk melakukan kegiatan yang sama
seperti proyek PPP lainnya. Namun, perbedaannya terletak pada konsep
bahwa perusahaan swasta menerima pembayaran dari pemerintah
berdasarkan biaya unit tahunan untuk modal awal yang dibelanjakan
dan biaya pemeliharaan dan operasi yang sedang berlangsung.
Pendekatan kemitraan ini telah dikritik oleh banyak orang karena
kemampuannya untuk memberikan nilai yang lebih baik untuk uang
dankeuntungan yang berlebihan untuk perusahaan swasta dengan
mengorbankan pembayar pajak (misalnya Newberry dan Pallot, 2003;
Cartlidge, 2006; Shaoul et al., 2006; Coulson, 2008; Shaoul et al., 2010;
dan Shoul et al, 2011).

Pendekatan kedua adalah Build-Operate-Transfer (BOT) Project
Delivery dan variasinya. BOT dan variansnya memungkinkan
perusahaan swasta untuk membangun dan mengelola proyek dengan
dana pribadi dan mengumpulkan pendapatan selama periode operasi
kepada para pengguna secara langsung melalui tol dan / atau biaya
lain sebagai imbalan atas investasi modal mereka. Karena pemerintah
tidak berkewajiban untuk membayar perusahaan swasta untuk
mengembangkan proyek infrastruktur, pendekatan kemitraan ini
banyak digunakan di negara-negara berkembang seperti India, Cina,

20

Thailand, Korea, dll. Namun, Algarni et al. (2007), menyelidiki mengapa
beberapa pejabat pemerintah di Amerika Serikat menghindari
penggunaan BOT dalam proyek-proyek besar mereka. Alasan utamanya
adalah ketersediaan alternatif yang terbukti dan dana yang cukup,
keberadaan hambatan politik, dan penolakan untuk berubah baik di
pihak instansi pemerintah dan sponsor swasta.

Berdasarkan dua pendekatan utama proyek KPBU di seluruh
dunia, pemilihan setiap pendekatan harus disesuaikan menurut situasi
dan kondisi negara tuan rumah. Oleh karena itu, penting untuk
meninjau teori kemitraan sebelum memilih pendekatan KPBU terbaik.
Ini akan dibahas di bagian selanjutnya.

2.4 Kompilasi Teori dalam Kerjasama Pemerintah Badan Usaha
Bagian ini akan membahas beberapa teori yang mendasari

konsep kemitraan.

2.4.1 Agency Theory dan Compounded Agency Theory
Ross (1973) memperkenalkan teori dalam hubungan keagenan, di

mana penyelarasan kepentingan prinsipal dan agen yang efisien akan
dipastikan dengan memilih mekanisme tata kelola yang tepat antara
prinsipal dan agen. Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa agen
melayani kepentingan prinsipal, mis. memaksimalkan nilai Net Present
perusahaan, sehingga biaya agensi diminimalkan melalui mekanisme
kontrak yang efisien. Inti dari teori agensi mengasumsikan bahwa ada
konflik tujuan antara prinsipal dan agen yang disebut masalah agensi.
Trailer dkk. (2004) mengusulkan pandangan agensi majemuk untuk
menambahkan dimensi baru pada teori agensi yang diterapkan pada
PPP. Mereka menemukan bahwa masalah keagenan ada di PPP karena
perusahaan swasta sebagai agen

menerima sisa pendapatan, yang memicu konflik kepentingan
dengan kepentingan publik untuk memaksimalkan surplus
konsumen2.

2.4.2 Stakeholder Theory

21

Dalam hubungannya dengan masalah agensi, ada teori lain yang
mengulas konflik kepentingan dalam perspektif teoretis yang berbeda.
Pada tahun 1984, Freeman memperkenalkan teori stakeholder yang
membahas moral dan nilai dalam mengelola organisasi (Donaldson dan
Preston, 1995). Donaldson dan Preston (1995) berpendapat bahwa
"implikasi manajerial utama dari teori stakeholder adalah bahwa
manajer harus mengakui validitas berbagai kepentingan pemangku
kepentingan dan harus berusaha untuk menanggapi mereka dalam
kerangka yang saling mendukung, karena itu adalah persyaratan moral
untuk legitimasi dari fungsi manajemen ”. Terlepas dari kenyataan
bahwa pandangan lembaga dan pemangku kepentingan dipandang
sebagai kerangka ideologi yang bertentangan, Shankman (1999)
berpendapat bahwa teori stakeholder adalah kesimpulan logis dari teori
agensi ketika: 1) pengakuan pemangku kepentingan dimasukkan; 2)
minimum moral untuk ditegakkan; 3) terdiri dari asumsi kontradiktif
tentang sifat manusia yang menimbulkan asumsi yang sama berlaku
dari kepercayaan, kejujuran dan kesetiaan untuk tertanam dalam
hubungan keagenan. Sementara implikasi untuk praktik teori agensi
dalam KPBU adalah untuk menyelaraskan kepentingan antara pihak
swasta dan lembaga pemerintah (yaitu mengambil tindakan untuk
memaksimalkan NPV proyek, dan menggunakan mekanisme kontrak
yang efisien untuk meminimalkan biaya agensi), implikasi praktik dari
teori pemangku kepentingan adalah menyeimbangkan masalah agensi
(yaitu menyesuaikan strategi pengembangannya dan aktivitas
manajemen di bawah panduan kebijakan nasional sehingga
kepentingan atau klaim dari semua pemangku kepentingan yang
relevan akan sesuai dengan aturan dan peraturan).

2.4.3 Teori Kontrak yang Tidak Lengkap
Selanjutnya, ada teori lain yang disebut teori kontrak tidak

lengkap, yang merupakan bagian spesifik dari ekonomi biaya transaksi.
Teori kontrak yang tidak lengkap dipelopori oleh Hart dan Moore
(1988). Tirole (1999) meringkas tiga alasan utama menghasilkan
kontrak yang tidak lengkap. Alasan pertama adalah tidak semua
peristiwa atau keadaan di masa depan dapat diramalkan ketika

22

kontrak ditandatangani. Kedua, bahkan jika kedua belah pihak dapat
mengantisipasi semua kemungkinan yang harus dimasukkan dalam
kontrak, mereka harus menukarkan manfaat dari memiliki kontrak
yang lebih komprehensif dengan tambahan waktu dan biaya penulisan
klausul baru. Akhirnya, kontrak tidak dapat ditegakkan kecuali
kejadian kontinjensi dapat diverifikasi oleh pihak ketiga (misalnya
komisi arbitrase atau Badan Pengatur dalam konteks kontrak
"privatisasi" infrastruktur). Selanjutnya, Solino dan De Santos (2010)
juga membahas bahwa pengaturan kontrak dari KPBU pasti tidak
lengkap dalam banyak hal yang relevan karena kemitraan jangka
panjang (misalnya 25 tahun atau lebih). Oleh karena itu, menurut teori
kontrak yang tidak lengkap, PPP harus diprioritaskan jika kualitas
layanan dapat ditentukan dengan baik dalam kontrak awal sementara
kualitas konstruksi sulit untuk ditentukan (Hart, 2003).

2.5 Manajemen risiko dalam proyek-proyek PPP
Dey dan Ogunlana (2004) mengakui bahwa proyek-proyek PPP

rentan terhadap risiko. Proyek KPBU memerlukan manajemen risiko
yang efektif terkait dengan struktur keuangan, hukum, organisasi, dan
sosio-politik yang kompleks dari model tersebut. Mereka juga
membutuhkan alokasi risiko yang memadai antara otoritas pemerintah
dan anggota Concessionaire.

Perusahaan yang memiliki persepsi dan tujuan yang berbeda
(Ozdogan dan Birgonul, 2000). Fischer dan Alfen (2009) juga
menegaskan bahwa penegakan ketentuan kontrak yang terkait dengan
mekanisme kontrol (mis. Implementasi perencanaan, permintaan untuk
persetujuan, pekerjaan konstruksi, start-up dan pengiriman jasa
manajemen fasilitas oleh kontraktor swasta) harus dikelola juga. . Oleh
karena itu, alokasi risiko membutuhkan kemampuan dan pengetahuan
tertentu oleh para pemangku kepentingan proyek.

Sebelum mengalokasikan risiko, ada beberapa tahapan dalam
manajemen risiko yang harus dilakukan. Dey dan Ogunlana (2004)
membagi proses manajemen risiko menjadi empat tahapan: (1)
Identifikasi risiko; (2) Klasifikasi risiko; (3) Analisis risiko (4) Sikap risiko
dan respons risiko (atau alokasi risiko). Namun, identifikasi risiko harus

23

diikuti dengan pemilihan langkah-langkah mitigasi yang tepat. Dalam
menanggapi risiko, tindakan mitigasi yang tepat atau strategi
pembiayaan harus dievaluasi untuk mengantisipasi risiko yang akan
datang.

Persepsi risiko dalam skema PPP berbeda dari metode kontrak
tradisional. Dalam proyek PPP, hampir semua risiko teknis dan
keuangan ditanggung oleh promotor swasta. Dengan demikian, sikap
risiko dalam proyek-proyek PPP dipengaruhi oleh persepsi peserta
utama. Dey dan Ogunlana (2004) menggambarkan sikap risiko dalam
proyek-proyek PPP dari perspektif pemerintah, kontraktor atau Badan
Usaha, dan bankir (seperti dirangkum dalam tabel 2.1).

Tabel2.1Perilaku terhadap risiko pada Proyek PPP

PFI Participants Risk Attitude Issue for concern

Government Expecting the private sector to take as many risks as Additional cost of risk
transfer
Possible and a ‘cargocult’ mentality (i.e.PPP
projects as a cost-less solution which happens
without major government effort).

Contractor or Achieving higher level sorreturn, a quickpay-back or Government willingness
Concession achieving other spin-off benefits (development gains to take a positive
company or business for other companies within their stance on the subject.
organisation).

Bankers Maintaining a proactive role to the contractors or Availability of risk
Concession company not to be a stheprime movers. capital

Source:Adapted from Deyand Ogunlana,(2004)

24

Selain mempertimbangkan sifat dari sikap risiko yang
berbeda, proses manajemen risiko harus dipahami secara hati-
hati untuk memfasilitasi pengambilan keputusan yang baik.
Fischer dkk. (2006) menegaskan bahwa proses manajemen
risiko sepanjang siklus hidupnya dapat berkontribusi pada win-
win-situation dengan penghematan biaya dan layanan yang
lebih baik untuk sektor publik dan lebih banyak pendapatan
bagi mitra swasta. Zou dkk. (2008) mengembangkan kerangka
manajemen risiko siklus hidup untuk proyek infrastruktur
dengan konsep KPBU yang terdiri dari tiga tahap: (1) Tahap
alokasi risiko awal pada studi kelayakan; (2) Detail tahap
alokasi risiko pada penawaran dan negosiasi; (3) Pemantauan
risiko dan realokasi tahap di konstruksi, operasi dan transfer.
Meskipun kerangka kerja ini membantu para pemangku
kepentingan dalam mengelola risiko dalam proyek-proyek
KPBU, efisiensi evaluasi KPBU proyek masih terbuka untuk
dipertanyakan. Oleh karena itu, model keuangan adalah satu-
satunya alat evaluasi yang dapat digunakan untuk
memfasilitasi negosiasi pembagian risiko. Secara teori, evaluasi
berdasarkan solusi win-win harus ditekankan untuk mencapai
negosiasi yang efektif. Secara praktis, evaluasi proyek
cenderung menjadi harga quasi-monopolistik yang mengurangi
kesejahteraan sosial (Trailer et al., 2004).

2.6 Kerangka Kerja Peraturan Untuk Kerjasama Pemerintah
Badan Usaha di Indonesia
Pemerintah Indonesia telah mengambil serangkaian
langkah besar untuk memperbaiki Kebijakan KPBU dan

25

kerangka peraturan untuk meningkatkan daya tarik dan daya
saing program KPBU di Indonesia, sebagai berikut:

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;

Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015, yang
diterbitkan oleh pemerintah sebagai pengganti peraturan
presiden nomor 67 tahun 2005 dan direvisi, menetapkan
kerangka peraturan lintas sektor untuk mengimplementasikan
PPP dalam penyediaan infrastruktur. Amandemen berurutan
telah menetapkan ketentuan yang lebih jelas dan lebih rinci
tentang proposal yang tidak diminta, perjanjian kerjasama,
pengembalian investasi dengan pembayaran oleh pengguna
dalam bentuk tarif (biaya pengguna) atau pembayaran
ketersediaan, dukungan pemerintah dan jaminan untuk
proyek, di antara titik-titik lain;
 Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2010 tentang

jaminan pemerintah atas proyek infrastruktur PPP;
 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 260 Tahun 2010

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 8 tahun 2016 tentang pedoman jaminan
pemerintah, sedangkan Peraturan Menteri Keuangan
nomor 30 Tahun 2012 tentang dana kewajiban
kontingensi (Ini telah diterapkan untuk Proyek Palapa
Ring, Proyek Penyediaan Air Umbulan, Proyek Pembangkit
Listrik Jawa Tengah, Proyek Jalan Tol dan Proyek Pasokan
Air Bandar Lampung);
 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional /
Kepala Peraturan Badan Perencanaan Pembangunan

26

Nasional Nomor 4 Tahun 2015 tentang pedoman
operasional untuk PPP dalam penyediaan infrastruktur;
 Peraturan Kepala Badan Pengadaan Nasional (LKPP)
Nomor 19 Tahun 2015 tentang pedoman untuk
pengadaan badan usaha tentang PPP dalam penyediaan
infrastruktur;
 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190 Tahun 2015
tentang Pembayaran Ketersediaan untuk PPP dalam
Penyediaan Infrastruktur;
 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 96 Tahun 2016
tentang Pembayaran Ketersediaan menggunakan
anggaran lokal (APBD) tentang KPBU dalam Penyediaan
Infrastruktur;
 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 223 Tahun 2012
Tentang Pendanaan Kelonggaran Kelangsungan.

27

Gambar 2.1. Kerangka Regulasi KPBU Lintas Sektor yang
Berkembang di Indonesia9

9BAPPENAS, Public-Private Partnership, Infrastructure Projects Plan In
Indonesia. Jakarta: BAPPENAS, 2018,
https://www.bappenas.go.id/files/KPBU% 20Book/KPBU% 20Book% 202018% 20FIN
AL.pdf

28

Rincian lengkap kerangka peraturan tersedia untuk
konsultasi di situs web di http:// KPBUrb.bappenas.go.id

Gambar 2.2 Ilustrasi Keterlibatan Pemerintah dalam
KPBU10

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 96
Tahun 2016 tentang Pembayaran Ketersediaan menggunakan
anggaran lokal (APBD) tentang KPBU dalam Penyediaan
Infrastruktur, beberapa poin penting dalam pelaksanaan
Kerjasama Pemerintah Daerah dan Badan Usaha (KPDBU) di
tingkat Provinsi adalah sebagai berikut:

10 Soekarwo, KPBU SPAM Umbulan: Praktik Berhasil Kerjasama Pemerintah
Badan Usaha (KPBU) di Daerah Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan.
Jakarta: 10 Juli 2018

29

 Pembayaran Ketersediaan Layanan merupakan belanja

daerah untuk mengoptimalkan nilai guna dari APBD (Value

for Money) untuk penyediaan layanan

 Pengembalian Investasi dalam rangka penyediaan

infrastructure tidak diperoleh dari pembayaran oleh badan

Usaha atau pengguna layanan melalui tarif.

 Kinerja atas layanan yang disediakan oleh Badan Usaha

Pelaksana kepada masyarakat harus dipantau secara efektif

oleh simpul KPDBU

 Kepala Daerah menyusun rencana anggaran untuk dana

pelaksanaan KPDBU sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

 Penyiapan PKDBU dilakukan oleh PJPK

 PJPK dapat dibantu oleh Badan Penyiapan untuk

melakukan penyiapan KPDBU

 PJPK melaksanakan Konsultasi Publik pada tahap

penyiapan KPDBU

 PJPK dapat melaksanakan Penjajakan Minat Pasar (Market

Sounding) pada tahap penyiapan untuk memperoleh

masukan dan tanggapan terhadap KPDBU dari pemangku

kepentingan yang berasal dari Badan

Usaha/lembaga/institusi/organisasi nasional atau

internasional

 Dalam rangka melaksanakan Pengadaan Badan Usaha

Pelaksana yang berpedoman pada peraturan kepala daerah

di bidang kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah,

PJPK membentuk panitia pengadaan.

30

 Badan Usaha Pelaksana wajib memperoleh pembiayaan atas
KPDBU paling lambat dalam jangka waktu 12 bulan setelah
penandatanganan kontrak., perpanjangan paling lama 6
bulan.

 Apabila perpanjangan waktu tidak dapat dipenuhi oleh
Badan Usaha Pelaksana, maka perjanjian KPDBU berakhir
dan jaminan pelaksanaan berhak dicairkan oleh PJPK.

 Gubernur menyampaikan dokumen rencana KPDBU yang
memuat Outline Business Case (OBC) dan Final Business
Case (FBC) serta proyeksi perhitungan pembayaran
ketersediaan layanan kepada Menteri Dalam Negeri untuk
mendapatkan pertimbangan untuk menilai kesesuaian
dokumen rencana KPDBU dengan RPJMD, RKPD, KUA dan
PPAS, kelayakan kemampuan keuangan daerah pada
tahapan OBC dan FBC.

 Pertimbangan paling lama 15 hari sejak diterima rencana
perlaksanaan KPDBU..

 Dukungan pemerintah pusat meliputi Project Development
Facility (PDF) dan kontribusi fiskal dalam bentuk financial
atau Viability Gap Funding (VGF) atau dukungan
penjaminan perlu mendapat pertimbangan setelah rapat
koordinasi antara Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Keuangan paling lama 3 hari.

 Bupati/Walikota menyampaikan dokumen rencana KPDBU
yang memuat antara lain OBC dan FBC serta proyeksi
perhitungan pembayaran ketersediaan layanaan kepada
Gubernur untuk mendapatkan pertimbangan.

31

 PJPK menganggarkan dana Pembayaran Ketersediaan
Layanan dalam APBD secara berkala setiap tahun anggaran
selama jangka waktu yang diatur dalam perjanjian KPDBU
dan dianggarkan dalam APBD pada kelompok belanja
langsung serta diuraikan pada jenis, objek dan rincian objek
belanja barang dan jasa pada SKPD berkenaan.

 PJPK menunjuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
berkenaan selaku PA. Kebutuhan anggaran untuk
Pembayaran Ketersediaan Layanan dalam APBD Provinsi
diformulasikan ke dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA)
Satuan Kerja Perangkat Daerah dan diusulkan oleh Satuan
Kerja Perangkat Daerah selaku PA kepada Gubernur melalui
Tim Anggaran Pemerintah Daerah.

 Kebutuhan anggaran untuk Pembayaran Ketersediaan
Layanan dalam APBD Kabupaten/Kota diformulasikan
kedalam RKA-SKPD dan diusulkan oleh SKPD selaku PA
kepada Bupati/Walikota melalui Tim Anggaran Pemerintah
Daerah yang bertugas melakukan penelaahan dan
menjamin kepastian anggaran untuk Pembayaran
Ketersediaan Layanan.

 Penganggaran Pembayaran Ketersediaan Layanan untuk
tahun pertama, dilakukan dalam tahun anggaran
berkenaan sebelum layanan infras truktur dibangun oleh
Badan Usaha akan beroperasi, sehingga kewajiban
pembayaran pada saat layanan mulai beroperasi dapat
dilakukan dengan tepat waktu.

 Kepala SKPD menyusun Dokumen Pelaksanaan Anggaran
Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD) untuk

32

Pembayaran Ketersediaan Layanan setelah Peraturan
Daerah tentang APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang
Penjabaran APBD ditetapkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
 Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) selaku
Bendahara Umum Daerah mengesahkan DPA-SKPD setelah
mendapat persetujuan Sekretaris Daerah selaku
koordinator pengelolaan keuangan Daerah.
 PPKD menerbitkan Surat Penyediaan Dana (SPD) sebagai
dasar pelaksanaan belanja untuk pembayaran Ketersediaan
Layanan kepada Badan Usaha Pelaksana
 Penjamin infrastruktur yang diberikan kepada Badan Usaha
Pelaksana dalam mendukung KPDBU sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
 Menteri melalui Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah
melakukan pembinaan dan pengawasan secara umum
terhadap Pembayaran Ketersediaan Layanan dalam KPDBU,
Sedangkan Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintah Non
Kementerian terkait melakukan Pembinaan secara teknis.
 Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap Pembayaran
Ketersediaan Layanan dalam KPDBU di Kabupaten/Kota
yang mencakup sosialisasi, supervisi, bimbingan teknis,
monitoring dan evaluasi serta memberikan asistensi untuk
memperlancar penerapan Peraturan Menteri ini.
 Pengawasan atas pelaksanaan pembayaran ketersediaan
layanan dalam KPDBU dilaksanakan oleh Aparat

33

Pengawasan Internal Pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
 Direksi BUMD dapat bertindak sebagai PJPK, maka
pembayaran ketersediaan layanan KPDBU untuk
penyediaan infrastruktur di daerah bersumber dari
anggaran BUMD berkenan dan dilaksanakan berdasarkan
perjanjian kerjasama

Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) adalah
kontrak kerjasama yang melibatkan pihak pemerintah dengan
pihak swasta atau Badan Usaha, dalam kontrak kerjasama
tersebut sebagaimana kontrak-kontrak bisnis pada umumnya
pasti akan menimbulkan suatu potensi keuntungan yang
diikuti dengan potensi risiko, investor ketika menggunakan
jasa perbankan tidak hanya mengharapkan tereliminirnya
risiko internal yang muncul dari pemerintah namun lebih
daripada itu juga dapat melakukan pembagian risiko kepada
perbankan apabila investasi yang diwujudkan melalui
Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) tersebut gagal.
Dalam hal ini perbankan tidak perlu takut akan dimanfaatkan
oleh investor, pemerintah tidak perlu kuatir akan dijadikan alat
oleh investor untuk mendapat keuntungan semaksimal
mungkin, hal ini dikarenakan kunci dalam Kerjasama
Pemerintah Badan Usaha (KPBU) adalah keuntungan bagi
semua pihak yang terlibat dalam kegiatan tersebut.

Investor dapat meraih keuntungan yang sebesar-
besarnya dalam Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU),
namun pemerintah harus memastikan bahwa keuntungan

34

yang diperoleh investor tersebut harus seimbang dengan hasil
atau manfaat yang dirasakan bagi pemerintah dan rakyat,
perbankan juga dapat meraih keuntungan dalam proses
Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) karena fungsi
perbankan sebagai lembaga intermediasi harus tetap
sustainable demi mewujudkan kelancara roda perekonomian di
suatu negara, vitalnya fungsi perbakan tersebut harus
dimanfaatkan secara maksimal oleh investor dan pemerintah
supaya Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) dapat
berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Indonesia mempunyai
sistem perbankan yang cukup kuat yang didukung dengan 6
pilar API (Arsitektur Perbankan Indonesia) telah menjadikan
perbankan Indonesia adalah mitra yang layak dijadikan sebagai
pihak ketiga dalam Kerjasama Pemerintah Badan Usaha
(KPBU). Sistem perbankan Indonesia menganut sistem
perbankan dua kamar atau dual banking system, yaitu suatu
sistem perbankan yang terdiri dari dua konsep perbankan yang
saling mendukung antara stu dengan yang lain yang dalam hal
ini adalah perbankan konvensional dan perbankan syariah
atau perbankan Islam yang juga dikenal dengan bank bebas
bunga (riba free bank/RF). Kedua sistem tersebut berjalan
beriringan dalam menggerakan roda perekonomian Indonesia,
keduanya sama-sama mempunyai payung hukum yang jelas
yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-
Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,
terlebih lagi dengan keberadaan dari Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) sebagai lembaga tertinggi pengaturan dan pengawasan

35

lembaga keuangan yang ada di Indonesia telah menjadikan
sistem perbankan Indonesia menjadi semakin solid dan liquid,
hal ini tentu saja berdampak positif terhadap iklim investasi di
Indonesia11. melihat potensi keuntungan yang dapat diperoleh
dalam kegiatan Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU)
telah menjadikan sistem perbankan juga mempunyai
mekanisme tersendiri untuk menjadi pihak dalam kegiatan
tersebut, baik perbankan konvensional maupun perbankan
syariah kedua sistem perbankan tersebut dapat menggunakan
jasa pembiayaan yang dimiliknya untuk mendukung
kelancaran pelaksanaan dari Kerjasama Pemerintah Badan
Usaha (KPBU), hal ini secara tidak langsung juga merupakan
perwujudkan dari fungsi intermediasi lembaga perbankan yang
harus diterapkan oleh sistem perbankan demi memperlancar
pergerakan roda perekonomian, sebagaimana yang telah di
tentukan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo.
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan dan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah.

Untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan Kerjasama
Pemerintah Badan Usaha (KPBU) yang bertujuan memajukan
pembangunan infrastruktur tanah air, perbankan syariah dan
perbankan konvesional, masing-masing mempunyai cara
tersendiri melalui produk-produk pembiayaannya, akan tetapi
sekalipun demikian bank tidak akan dengan begitu mudahnya
membantu pembiayaan kegiatan Kerjasama Pemerintah Badan

11Y. A. Rahman, The Art of Islamic Banking and Finance, Tools and
Technique for Community-Based Banking. John Wiley & Sons Inc, 2010

36

Usaha (KPBU) bagi investor, hal ini dikarenakan perbankan
(baik yang berbasis syariah dan konvensional) keduanya sama-
sama dituntut untuk menerapkan prinsip kehati-hatian
(prudential principle) ketika akan menggunakan fungsi
intermediasi. Semua bank tanpa terkecuali dalam melakukan
kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian
(prudential principle) yang lebih lanjut dijabarkan dalam bentuk
rambu-rambu kesehatan bank atau prudential standards.
Prinsip kehati-hatian bank adalah kunci keberhasilan industri
perbankan, sering prinsip ini hanya dikaitkan dengan masalah
penyaluran dana, pandangan demikian ini keliru sebab prinsip
kehati-hatian bukan diterapkan pada saat bank menjalankan
kegiatan usahanya tetapi sudah diterapkan pada saat
pendirian bank tersebut. Prinsip kehati-hatian dalam hal ini
merupakan suatu landasan hukum yang memberikan pedoman
kepada bank bagaimana melaksanakan kegiatan usahanya
atas dasar asas-asas perbankan yang sehat, ini adalah bagian
dari manajemen risiko sistem perbankan, bank dituntut untuk
selalu hati-hati supaya dapat memastikan tidak adanya
kerugian yang dialami bank, karena seperti yang telah dibahas
sebelumnya investor dapat menggunakan jasa perbankan
untuk membagi risiko kerugian yang akan terjadi dan dalam
hal ini bank harus jeli untuk membaca situasi level potensi
kerugian yang mungkin akan terjadi, apabila potensi kerugian
dalam suatu Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU)
tersebut tinggi, maka bank harus menolak meberikan
pembiayaan, namun sebaliknya apabila potensi kerugiannya
relatif rendah maka bank dapat memberikan pembiayaan

37

kepada investor dalam kegiatan Kerjasama Pemerintah Badan
Usaha (KPBU) yang dilakukan investor dengan pemerintah.
Dalam hal ini kejelian bank amatlah diperlukan supaya dapat
meminimalisisir potensi-potensi risiko yang dapat
menimbulkan kerugian di kemudian hari, ini secara tidak
langsung merupakan penerapan dari fungsi kehati-hatian
dalam sistem perbankan Indonesia.

2.7 Tinjauan Umum Provinsi Jawa Timur
Secara umum wilayah Provinsi Jawa Timur terbagi

menjadi dua yaitu daratan Jawa Timur dan Kepulauan
Madura. Dari kedua wilayah tersebut apabila kita jumlah dan
satukan akan memunculkan angka pasti luas wilayah provinsi
Jawa Timur. Luas Provinsi Jawa Timur sebesar 46.428,57 km²
yang terbagi atas wilayah darat dan laut.12 Dengan luas
wilayah 46. 428, 57 km Provinsi Jawa Timur secara
administratif terbagi menjadi 38 kabupaten/kota, dengan
rincian 29 kabupaten dan 9 kota.13

12Statistik BKSDA Jawa Timur I Tahun 2008, hlm. 1
13 Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, Ringkasan Eksekutif: Data dan
Informasi Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2013, hlm. 1

38

Gambar 2.4 Topografi dan Demografi Jawa Timur
Berikut nama-nama Kabupaten/kota yang ada di Jawa
Timur yaitu Kabupaten: Bangkalan, Banyuwangi, Blitar,
Bojonegoro, Bondowoso, Gresik, Jember, Jombang, Kediri,
Lamongan, Lumajang, Madiun, Magetan, Malang, Mojokerto,
Nganjuk, Ngawi, Pacitan, Pamekasan, Pasuruan, Ponorogo,
Probolinggo, Sampang, Sidoarjo, Situbondo, Sumenep,
Trenggalek, Tuban dan Tulungagung. Sedangakan Kota: Batu,
Blitar, Kediri, Malang, Madiun, Mojokerto, Pasuruan,
Probolinggo, dan Surabaya.
Keadaan topografi Jawa Timur terhitung sebagai daerah
yang mayoritas lebih banyak memiliki dataran rendah. Hal ini
disebabkan wilayah Jawa Timur 60% (28.833km) merupakan
dataran rendah, dan hanya kurang lebih 40% (17.597km) yang

39

merupakan dataran tinggi.14 Wilayah yang termasuk dataran
rendah seperti Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, dan lai-lain. Di
wilayah kota/kabupaten ini tidak ada atau jarang dijumpai
gunung atau perbukitan. Berbeda dengan wilayah seperti
Malang, Batu, dan Lumajang yang disana banyak dijumpai
gunung dan pegunungan.

2.8. Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) Umbulan
Provinsi Jawa Timur memiliki potensi Sumber Air

Umbulan dengan debit kurang lebih 5000 liter/detik dan
kualitas airnya layak minum yang belum dimanfaatkan secara
optimal. Hal ini sangat disayangkan karena penyediaan air
minum di 5 Kabupaten/Kota masih belum mampu tercukupi
dengan sumber air yang terbatas. Oleh karena itu sudaj
menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan Air Minum
bagai masyarakat yang membutuhkannya.

Proyek kerjasama pemerintah badan usaha SPAM
Umbulan dengan pola “Bangun Guna Serah” (BOT) bertujuan
memanfaatkan air Sumber Umbulan 4000 liter/detik untuk
kebutuhan air minum masyarakat. Dengan adanya proyek
KPBU SPAM Umbulan diharapkan dapat terbangun Sistem
Produksi, Sistem Pipa Transmisi, dan Offtake ke 5 Wilayah
Kabupaten/Kota. Kebutuhan air minum bagi 1.300.000 jiwa
dengan kurang lebih 260.000 sambungan rumah diharapkan
dapat terpenuhi di akhir tahun 2021.

14 BKSDA, Loc.Cit.

40
Gambar 2.6 Proyek KPBU SPAM Umbulan Jawa Timur

41

BAB III
DISKUSI DAN PEMBAHASAN

3.1. Kewenangan Provinsi Dalam penanaman modal
Kewenangan diartikan sebagai hak dan/atau kewajiban

untuk menjalankan suatu objek tertentu yang ditangani oleh
pemerintahan. Dalam kewenangan terkandung hak dan
kewajiban.15 Kewenangan tersebut merupakan dasar atau alas
hak bagi pemerintah untuk bertindak. Dalam Hukum
Administrasi dikenal dengan konsep “hukum untuk
penyelenggaraan pemerintahan”.16 Kewenangan merupakan
salah satu unsur dari terpenuhinya prinsip rechtmatigdheid
van bestuur. Tanpa wewenang maka dapat dikatakan bahwa
tindakan pemerintahan adalah cacat secara hukum.17

Bagir Manan menyatakan bahwa wewenang dalam
bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht).
Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau
tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak

15 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam
Sejarah; Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: UI Press, 1996),
hlm. 60-61

16 Konsep Hukum Administrasi dibagi menjadi 3 (tiga) yakni i) hukum untuk
penyelenggaraan pemerintahan yang berkaitan dengan sumber wewenang, asas
penyelenggaraan pemerintahan, diskresi, dan prosedur penggunaan wewenang,; ii)
hukum oleh pemerintah yang berkaitan dengan keputusan pemerintah yang
menjadi instrumen utama. Hukum oleh pemerintah juga berkaitan dengan
pengujian keabsahan tindakan pemerintahan; iii) hukum kepada pemerintah yang
berkaitan dengan perlindungan hukum kepada masyarakat atas tindakan hukum
pemerintahan. Baca Philipus M. Hadjon, dkk., Hukum Administrasi dan Good
Governance, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2010, hlm. 10

17 Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam
Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Pidato diucapkan pada peresmian
penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Airlangga pada tanggal 10 Oktober 1994, hlm. 7

42

dan kewajiban (rechten en plichten).18 Senada dengan pendapat
sebelumnya, F.P.C.L. Tonner dalam Ridwan HR berpendapat
“Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevad als het
vermogen om positief recht vast te srellen en Aldus
rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overhead
en te scheppen” (wewenang pemerintah dalam kaitan ini
dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum
positif, dan dengan begitu dapat diciptakan hubungan hukum
antara pemerintahan dengan waga negara).19

MenurutPhilipus M. Hadjon,20“dalam hukum tata negara
wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan
hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik,
wewenang berkaitan dengan kekuasaan”. Selanjutnya Philipus
M. Hadjonmenyatakan:21

“Sebagai konsep hukum publik, wewenang sekurang-
kurangnya terdiri atas tiga komponen, yaitu pengaruh,
dasar hukum dan konformitas hukum. Komponen pengaruh
ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk
mengendalikan perilaku subyek hukum. Komponen dasar
hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk
dasar hukumnya dan komponen konformitas hukum,
mengandung makna adanya standard wewenang, yaitu

18 Bagir Manan, Wewenang Provinsi, Kabupaten dan Kota Dalam Rangka
Otonomi Daerah, Makalah Seminar Nasional UNPAD Bandung 13 Mei 2000, hlm.1-2

19 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2006,
hlm. 100

20 Philipus M. Hadjon, “tentang Wewenang”, YURIDIKA, No.5&6 Tahun XII,
September – Desember , 1997, hlm. 1

21Ibid

43

standard umum ( semua jenis wewenang) dan standard
khusus (untuk jenis wewenang tertentu)”.

Sedangkan Ferrazi dalam Agussalim Andi Gandjong
mendefinisikan wewenang sebagai hak untuk menjalankan
satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi pengaturan
(regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi) dan
pengawasan (supervisi) atau suatu urusan tertentu.22Setiap
perbuatan pemerintahan harus bertumpu pada suatu
wewenang yang sah. Tanpa disertai wewenang yang sah,
seorang pejabat atupun lembaga tidak dapat melaksanakan
suatu perbuatan pemerintahan. Oleh karena itu, dibutuhkan
wewenang yang jelas, sehingga wewenang tersebut mempunyai
legitimasi yang kuat.

Berkenaan dengan kewenangan provinsi dalam
penanaman modal sejatinya tidak dapat dilepaskan dari
pengaturan tentang investasi atau penanaman modal
sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007. Dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa kegiatan penanaman
modal diselenggarakan berdasarkan asas kepastian hukum.
Sementara itu yang dimaksud dengan asas kepastian hukum
adalah asas dalam negara hukum dalam yang meletakan
hukum dan ketentuan perundang-undangan sebagai dasar
dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman
modal .23Dalam konteks ini yang dimaksud dengan kepastian
hukum adalah adanya konsistensi peraturan dan penegakan

22 Agus Salim Andi Ganjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan
Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2007, hlm. 93

23 HLM. Salim HS., Hukum Investasi, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2012,
hlm. 89

44

hukum di Indonesia. Konsistensi peraturan ditunjukan dengan
adanya peraturan yang lain, dan dapat dijadikan pedoman
untuk suatu jangka waktu yang cukup, sehingga tidak
terkesan setiap pergantian pejabat selalu diikuti pergantian
peraturan yang bisa saling bertentangan. Kepastian hukum
juga terkait dengan adanya peraturan dan pelaksanaanya.
Kepastian hukum akan mengarahkan masyarakat untuk
bersikap positif pada hukum negara yang telah ditentukan.
Dengan adanya asas kepastian hukum maka masyarakat bisa
lebih tenang dan tidak akan mengalami kerugian akibat adanya
pelanggaran hukum.

Urusan penanaman modal semenjak berlakunya UU No.
25 Tahun 2007 tidak bersifat sentralistik. Namun, urusan
tersebut didesentralisasikan juga ke daerah-daerah otonom.
Berkaitan dengan urusan pemerintah daerah diatur dalam
Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa:

(1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan
absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan
pemerintahan umum.

(2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah Urusan pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

(3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah Urusan pemerintahan yang dibagi
antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/kota.

(4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke
Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.

45

(5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.

Selanjutnya, Pasal 11 UU No. 23 Tahun 2014
menentukan bahwa urusan pemerintahan konkuren terdiri
atas urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan
pilihan. Urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan
dengan pelayanan dasar telah diatur dalam Pasal 12 yang
meliputi:

a. Tenaga kerja;
b. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
c. Pangan;
d. Pertanahan;
e. Lingkungan hidup;
f. Administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
g. Pemberdayaan masyarakat dan desa;
h. Pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
i. Perhubungan;
j. Komunikasi dan informatika;
k. Koperasi, usaha kecil, dan menengah;
l. penanaman modal ;
m. Kepemudaan dan olahraga;
n. Statistik;
o. Persandian;
p. Kebudayaan;
q. Perpustakaan; dan
r. Kearsipan.

46

Pembagian urusan pemerintahan konkuren antar daerah

provinsi dengan daerah kabupaten/kota walaupun urusan

pemerintahan sama, perbedaannya akan Nampak dari skala

atau ruang lingkup urusan pemerintahan tersebut. Walaupun

daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota mempunyai

urusan pemerintahan masingmasing yang sifatnya tidak

hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan antara

pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota

dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada norma, standar,

prosedur, kriteria (NSPK) yang dibuat oleh pemerintah pusat.

Pembagian urusan pemerintah konkuren antara pemerintah

pusat dan pemerintah daerah provinsi serta daerah

kabupaten/kota di dasarkan atas prinsip akuntabilitas,

efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategi nasional.

Umumnya pemerintah daerah bertindak dalam kewenangan

delegasi yang diberikan kepada mereka yang diarahkan oleh

peraturan yang lebih tinggi.24

Melihat urusan pemerintahan di bidang penanaman

modal yang menjadi kewenangan pemerintah pusat

sebagaimana yang dimaksud, pemerintah pusat dapat

menyelenggarakannya sendiri, melimpahkannya kepada

gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah, atau

menugaskan pemerintah kabupaten/kota.25 Mencermati hal

tersebut maka pemerintah daerah berwenang

menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi

24 Rahmi Jened, Teori dan Kebijakan Hukum Investasi Langsung,
JakartaFajar Interpratama Mandiri, 2016, hlm. 152

25 Ermanto Fahamsyah, Hukum penanaman modal , Yogyakarta, Laksbang
Pressindo, 2015, hlm. 78

47

kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan penanaman

modal yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Pemerintah

daerah yang dimaksud disini adalah Pemerintah Daerah

Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota. Pasal

30 UU No. 25 Tahun 2007 merupakan perwujudan dari suatu

konsekuensi dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah

untuk dapat menyelenggarakan urusan di bidang penanaman

modal .

Adapun pembagian urusan pemerintahan dalam urusan

penenaman modal dapat dilihat dalam Lampiran Huruf R UU

No. 23 Tahun 2014 sebagai berikut:

No Sub Urusan Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah

Kabupaten/

Kota

1 Pengembang a. Penetapan bidang a. Penetapan a. Penetapan

an Iklim usaha yang pemberian pemberian

penanaman tertutup dan fasilitas/insent fasilitas/ins

modal bidang usaha if di bidang entif di

yang terbuka penanaman bidang

dengan modal yang penanaman

persyaratan. menjadi modal yang

b. Penetapan kewenangan menjadi

pemberian Daerah kewenangan

fasilitas/insentif provinsi. Daerah

di bidang b. Pembuatan kabupaten/

penanaman peta potensi kota.

modal yang investasi b. Pembuatan

menjadi provinsi. peta potensi

48

kewenangan investasi
kabupaten/
Pemerintah kota.

Pusat. -------

c. Pembuatan peta

potensi investasi

nasional.

d. Pengembangan

kemitraan Usaha

Kecil dan

Menengah (UKM)

bekerja sama

dengan investor

asing.

2 Kerja Sama a. Penyelenggaraan -------

Penanaman kerja sama

Modal internasional

dengan negara

lain dalam

rangka kerja

sama bilateral,

regional dan

multilateral di

bidang

penanaman

modal .

b. Penyelenggaraan

kerja sama

antara


Click to View FlipBook Version