49
Pemerintah Pusat
dengan lembaga
perbankan
nasional/internas
ional dan dunia
usaha
nasional/internas
ional.
c. Pengkoordinasian
penanaman
modal dalam
negeri yang
menjalankan
kegiatan
penanaman
modalnya di luar
wilayah
Indonesia.
3 Promosi Penyelenggaraan Penyelenggaraan Penyelenggar
Penanaman promosi promosi an promosi
Modal penanaman modal penanaman penanaman
yang menjadi modal yang modal yang
kewenangan menjadi menjadi
Pemerintah Pusat. kewenangan kewenangan
Daerah provinsi. Daerah
kabupaten/ko
ta.
50
4 Pelayanan a. Pelayanan Pelayanan Pelayanan
Penanaman penanaman perizinan dan perizinan dan
Modal modal yang nonperizinan nonperizinan
ruang lingkupnya secara terpadu secara
lintas Daerah satu pintu: terpadu 1
provinsi. a. penanaman (satu) pintu di
b. Pelayanan modal yang bidang
penanaman ruang penanaman
modal terkait lingkupnya modal yang
dengan sumber lintas Daerah menjadi
daya alam yang kabupaten/kot kewenangan
tidak terbarukan a; Daerah
dengan tingkat b. penanaman kabupaten/ko
risiko kerusakan modal yang ta.
lingkungan yang menurut
tinggi. ketentuanperat
c. Pelayanan uran
penanaman perundangund
modal pada angan menjadi
bidang industri kewenangan
yang merupakan Daerah
prioritas tinggi provinsi.
pada skala
nasional.
d. Pelayanan
penanaman
modal yang
terkait pada
51
pelaksanaan
strategi
pertahanan dan
keamanan
nasional.
e. Pelayanan
penanaman
modal asing.
5 Pengendalia Pengendalian Pengendalian Pengendalian
n pelaksanaan pelaksanaan pelaksanaan
Pelaksanaan penanaman modal penanaman penanaman
Penanaman yang menjadi modal yang modal yang
Modal kewenangan menjadi menjadi
Pemerintah Pusat. kewenangan kewenangan
Daerah provinsi. Daerah
kabupaten/ko
ta.
6 Data dan Pengelolaan data Pengelolaan data Pengelolaan
Sistem dan informasi dan informasi data dan
Informasi perizinan dan perizinan dan informasi
Penanama nonperizinan nonperizinan perizinan dan
Modal penanaman modal penanaman nonperizinan
yang terintergrasi modal yang yang
secara nasional. terintergrasi terintergrasi
pada tingkat pada tingkat
Daerah provinsi. Daerah
kabupaten/ko
52
ta.
3.2. Pemberian Insentif dan Kemudahan penanaman modal di
Provinsi Jawa Timur
Istilah penanaman modal berasal dari bahasa latin,
yaitu investire yang artinya memakai, sedangkan dalam bahasa
inggris disebut dengan investment. Dalam definisi penanaman
modal dikonstruksikan sebagai sebuah kegiatan untuk
penaikan sumber dana yang digunakan untuk pembelian
barang modal dan barang modal itu akan dihasilkan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud
dengan penanaman modal adalah penempatan modal di badan
usaha dengan cara membeli saham atau obligasi dari badan
usaha tersebut.26 Sedangkan investasi adalah penanaman
uang atau modal dari suatu perusahaan atau projek untuk
tujuan memperoleh keuntungan.27 Menurut Pasal 1 angka 1
UU No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal ,
penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam
modal baik penanaman modal di dalam negeri maupun di luar
negeri untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia.
Investasi berasal dari kata invest yang berarti menanam,
menginvestasikan atau menanam uang.28 Istilah investasi atau
penanaman modal merupakan istilah-istilah yang dikenal,
baik dalam kegiatan bisnis sehari-hari maupun dalam bahasa
26 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Cetakan Ke 4, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, hlm. 895
27Ibid. hlm. 337
28 Andreas Halim, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, Surabaya: Sulita Jaya,
2003, hlm. 166
53
perundang-undagan. Istilah investasi merupakan istilah yang
lebih popular dalam dunia usaha, sedangkan istilah
penanaman modal lebih banyak digunakan dalam bahasa
perundang-undangan. Namun, pada dasarnya kedua istilah
tersebut mempunyai pengertian yang sama sehingga
kadangkadang digunakan secara interchangeable.29
Menurut Rancangan Perjanjian Multilateral tentang
investasi (Multilateral Agreement on Investment) yang pada
waktu itu sedang disiapkan oleh Organisasi Kerjasama
Ekonomi dan Pembangunan (Organization For Economic
Cooperation and Development) memberikan pengertian investasi
yang lebih luas. Dalam rancangan tersebut penanam modal
(investment) diartikan sebagai suatu jenis aktiva yang memiliki
atau dikendalikan secara langsung atau tidak langsung oleh
suatu investor (every kind of asset owned or controlled, directly
or indirectly, by an investor).30
penanaman modal sebagaimana dijelaskan pada
bahasan sebelumnya merupakan bagian dari kewenangan yang
dibagi atas satuan pemerintahan baik pemerintah pusat,
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Untuk
itu, setiap satuan pemerintahan mempunyai strategi untuk
meningkatkan penanaman modal guna memperbaiki iklim
penanaman modal sehingga dapat meningkatkan
perekonomian daerah dan masyarakat. Salah satu strategi
yang diterapkan oleh setiap satuan pemerintahan adalah
29 Ida Bagus Rahmadi Supancana, Kerangka Hukum dan Kebijakan
Investasi Langsung di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2006, hlm. 6
30 N. Rosyidah Rakhmawati, Hukum penanaman modal di Indonesia,
Malang: Bayumedia Publishing, 2003, hlm. 4
54
pemberian insentif dan kemudahan berusaha yang diberikan
kepada para investor atau penanam modal sebagai upaya
untuk memberikan apresiasi terhadap aktivitas penanaman
modal .
Berkenaan dengan hal tersebut, Andrew F. Sikula
sebagaimana disitir oleh John Wiley, et.al., menerangkan
bahwa, insentif adalah sesuatu yang mendorong atau
mempunyai kecenderungan untuk merangsang suatu kegiatan,
insentif adalah motif-motif dan imbalan-imbalan yang dibentuk
untuk memperbaiki produksi.31
Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor
45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan
Pemberian Kemudahan penanaman modal di Daerah (PP
45/2008) disebutkan bahwa, pemberian insentif adalah
dukungan dari pemerintah daerah kepada penanam modal
dalam rangka mendorong penanaman modal di daerah.
Artinya, pemerintah daerah mendorong para investor atau
penanam modal untuk meningkatkan aktivitas penanaman
modal nya dengan memberikan insentif sebagai bentuk
apresiasi agar para investor semakin meningkatkan
penanaman modal di daerah.
Adapun bentuk pemberian insentif tersebut terdapat 4
(empat) jenis sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1) PP
45/2008, yaitu: (1) pengurangan, keringanan, atau
pembebasan pajak daerah; (2) pengurangan, keringanan, atau
pembebasan retribusi daerah; (3) pemberian dana stimulan;
31 John Wiley, et.al., The Management of Human Resources, New York: Son’s
Inc., 1995, hlm. 72
55
dan (4) pemberian bantuan modal. Pengurangan, keringanan
atau pembebasan pajak daerah dan retribusi daerah menurut
Pasal 10 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64
Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberian Insentif
dan Kemudahan penanaman modal di Daerah (Permendagri
64/2012) disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah
dan kebijakan serta harus dituangkan ke dalam peraturan
daerah. Sedangkan pemberian dana stimulan berdasarkan
Pasal 11 Permendagri 64/2012 diberikan kepada pelaku usaha
mikro, usaha kecil, usaha menengah dan koperasi guna
penguatan modal dalam pengembangan usaha. Lebih lanjut,
pemberian insentif dalam bentuk pemberian modal menurut
Pasal 12 ayat (1) Permendagri 64/2012 dapat berupa
penyertaan modal dan aset.
Pemberian insentif penanaman modal di daerah
diberikan kepada setiap pelaku usaha yang memenuhi salah
satu satu dari 14 (empat belas) kriteria yang ditentukan dalam
Pasal 5 PP 45/2008 sebagai berikut:
1. memberikan kcntribusi bagi peningkatan pendapatan
masyarakat;
2. menyerap banyak. tenaga kerja lokal;
3. menggunakan sebagian besar sumberdaya lokal;
4. memberikan kontribusi bagi peningkatan pelayanan publik;
5. memberikan kontribusi dalam peningkatan Produk
Domestik Regional Bruto;
6. berwawasan lingkungan dan berkelanjutan;
7. termasuk skala prioritas tinggi;
8. termasuk pembangunan infrastruktur;
56
9. melakukan alih teknologi;
10. melakukan industri pionir;
11. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, atau daerah
perbatasan;
12. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan
inovasi;
13. bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah, atau
koperasi; atau
14. industri yang menggunakan barang modal, mesin, atau
peralatan yang diproduksi di dalam negeri.
Adapun 14 (empat belas) kriteria sebagaimana
disebutkan di atas mempunyai klasifikasi berbeda yang
dijabarkan dalam Permendagri 64/2012 sebagai berikut:
1) Kriteria memberikan kontribusi bagi peningkatan
pendapatan masyarakat berlaku bagi badan usaha atau
penanam modal yang menimbulkan dampak pengganda di
daerah. (vide Pasal 20)
2) Kriteria menyerap banyak tenaga kerja lokal merupakan
perbandingan antara jumlah tenaga kerja lokal dengan
jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan. (vide Pasal 21)
3) Kriteria menggunakan sebagian besar sumberdaya lokal
merupakan perbandingan antara bahan baku lokal dan
bahan baku yang diambil dari luar daerah yang digunakan
dalam kegiatan usaha. (vide Pasal 22)
4) Kriteria memberikan kontribusi bagi peningkatan
pelayanan publikmerupakan pelaksanaan dari tanggung
57
jawab sosial perusahaan dalam penyediaan pelayanan
publik. (vide Pasal 23)
5) Kriteria memberikan kontribusi dalam peningkatan Produk
Domestik Regional Bruto diberlakukan kepada penanam
modal yang kegiatan usahanya mengoptimalkan
pemanfaatan potensi sumber daya alam lokal. (vide Pasal
24)
6) Kriteria berwawasan lingkungan dan berkelanjutan berlaku
bagi penanam modal yang memiliki dokumen analisis
dampak lingkungan dengan menerapkan prinsip-prinsip
keseimbangan dan keadilan dalam pemanfaatan sumber
daya alam serta taat pada rencana tata ruang wilayah. (vide
Pasal 25)
7) Kriteria termasuk skala prioritas tinggi kepada penanam
modal yang usahanya berada dan/atau sesuai dengan (a)
Rencana Tata Ruang Wilayah; (b) Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Daerah; (c) Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah; dan (d) Kawasan Strategis Cepat
Tumbuh. (vide Pasal 26)
8) Kriteria termasuk pembangunan infrastruktur berlaku bagi
penanam modal yang kegiatan usahanya mendukung
pemerintah daerah dalam penyediaan infrastruktur atau
sarana prasarana yang dibutuhkan. (vide Pasal 27)
9) Kriteria melakukan alih teknologi diberlakukan kepada
penanam modal yang kegiatan usahanya memberikan
kesempatan kepada pemerintah daerah dan masyarakat
dalam menerapkan teknologi dimaksud. (vide Pasal 28)
58
10) Kriteria melakukan industri pionir berlaku bagi penanam
modal yang membuka jenis usaha baru berdasarkan
keterkaitan kegiatan usaha yang luas, memberi nilai
tambah dan memperhitungkan eksternalitas yang tinggi,
memperkenalkan teknologi baru dan memiliki nilai
strategis dalam mendukung pengembangan produk
unggulan daerah. (vide Pasal 29)
11) Kriteria berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, atau
daerah perbatasan berlaku bagi penanam modal yang
bersedia dan mampu mengembangkan kegiatan usahanya
di daerah yang aksesibilitasnyasangat terbatas, serta
ketersediaan sarana dan prasarananya rendah. (vide Pasal
30)
12) Kriteria melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan,
dan inovasi berlaku bagi penanam modal yang kegiatan
usahanya bergerak di bidang penelitian dan
pengembangan, inovasi teknologi dalam mengelola potensi
daerah. (vide Pasal 31)
13) Kriteria bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah,
dan koperasi berlaku bagi penanam modal yang kegiatan
usahanya melakukan kemitraan dengan pengusaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi. (vide Pasal 32)
14) Kriteria industri yang menggunakan barang modal, mesin,
atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri berlaku
bagi penanam modal yang menggunakan mesin atau
peralatan dengan kandungan lokal dan diproduksi di dalam
negeri. (vide Pasal 33)
59
Berdasarkan ketentuan di atas, diketahui bahwa
pemberian insentif diberikan kepada para penanam modal yang
banyak memberikan kontribusi dalam meningkatkan
perekonomian negara/daerah serta memberikan manfaat
langsung kepada masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja
dan penggunaan produk-produk lokal dalam pelaksanaan
aktivitas usahanya. Oleh karena itu, pemberian insentif selain
dimaksudkan untuk mendorong peningkatan iklim penanaman
modal , juga meningkatkan penggunaan produk lokal atau
dalam negeri dalam pelaksanaan aktivitas usaha sehingga
dapat memberikan dampak positif bagi perekomian daerah
serta dapat dirasakan secara langsung oleh rakyat. Namun
demikian, pemberian insentif saja tentu belum cukup untuk
memperbaiki iklim penanaman modal dan peningkatan jumlah
penanaman modal di daerah. Karena, pemberian insentif
merupakan dorongan kepada para pelaku usaha atau penanam
modal yang sudah menjalankan aktivitas usahanya di daerah.
Padahal, peningkatan jumlah penanaman modal juga dapat
dilakukan dengan mendatangkan penanam modal atau
investor baru untuk berinvestasi di Provinsi Jawa Timur.
Dengan demikian, strategi untuk mendorong tumbuhnya
penanaman modal baru adalah dengan meningkatkan
pemberian kemudahan dalam berusaha di Provinsi Jawa
Timur.
Selaras dengan pernyataan di atas, Pasal 1 angka 6 PP
45/2008 memberikan definisi pemberian kemudahan berusaha
sebagai penyediaan fasilitas dari pemerintah daerah kepada
penanam modal untuk mempermudah setiap kegiatan
60
penanaman modal dalam rangka mendorong peningkatan
penanaman modal di daerah. Mengacu pada hal tersebut,
pemerintah daerah menyediakan fasilitas untuk memberikan
stimulan pada aktivitas penanaman modal baru guna
meningkatkan tumbuhnya iklim penanaman modal secara
cepat, tepat dan pesat.
Adapun bentuk kemudahan penanaman modal tersebut
menurut Pasal 3 ayat (2) PP 45/2008 terdiri atas 5 (lima)
bentuk, yakni, (1) penyediaan data dan informasi peluang
penanaman modal ; (2) penyediaan sarana dan prasarana; (3)
penyediaan lahan atau lokasi; (4) pemberian bantuan teknis;
dan/atau (5) percepatan pemberian perizinan yang
diselenggarakan melalui pelayanan terpadu satu pintu (PTSP)
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 PP 45/2008.
Selanjutnya, kriteria pemberian kemudahan tersebut sama
seperti kriteria pemberian insentif sebagaimana dijabarkan di
atas, yakni apabila memenuhi salah satu kriteria dari 14
(empat belas) macam sebagai berikut:
1. memberikan kcntribusi bagi peningkatan pendapatan
masyarakat;
2. menyerap banyak. tenaga kerja lokal;
3. menggunakan sebagian besar sumberdaya lokal;
4. memberikan kontribusi bagi peningkatan pelayanan publik;
5. memberikan kontribusi dalam peningkatan Produk
Domestik Regional Bruto;
6. berwawasan lingkungan dan berkelanjutan;
7. termasuk skala prioritas tinggi;
8. termasuk pembangunan infrastruktur;
61
9. melakukan alih teknologi;
10. melakukan industri pionir;
11. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, atau daerah
perbatasan;
12. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan
inovasi;
13. bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah, atau
koperasi; atau
14. industri yang menggunakan barang modal, mesin, atau
peralatan yang diproduksi di dalam negeri.
Klasifikasi atas kriteria di atas juga sama dengan
klasifikasi kriteria pemberian insentif sebagaimana diatur
dalam Permendagri 64/2012 sebagai berikut:
1) Kriteria memberikan kontribusi bagi peningkatan
pendapatan masyarakat berlaku bagi badan usaha atau
penanam modal yang menimbulkan dampak pengganda di
daerah. (vide Pasal 20)
2) Kriteria menyerap banyak tenaga kerja lokal merupakan
perbandingan antara jumlah tenaga kerja lokal dengan
jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan. (vide Pasal 21)
3) Kriteria menggunakan sebagian besar sumberdaya lokal
merupakan perbandingan antara bahan baku lokal dan
bahan baku yang diambil dari luar daerah yang digunakan
dalam kegiatan usaha. (vide Pasal 22)
4) Kriteria memberikan kontribusi bagi peningkatan
pelayanan publikmerupakan pelaksanaan dari tanggung
62
jawab sosial perusahaan dalam penyediaan pelayanan
publik. (vide Pasal 23)
5) Kriteria memberikan kontribusi dalam peningkatan Produk
Domestik Regional Bruto diberlakukan kepada penanam
modal yang kegiatan usahanya mengoptimalkan
pemanfaatan potensi sumber daya alam lokal. (vide Pasal
24)
6) Kriteria berwawasan lingkungan dan berkelanjutan berlaku
bagi penanam modal yang memiliki dokumen analisis
dampak lingkungan dengan menerapkan prinsip-prinsip
keseimbangan dan keadilan dalam pemanfaatan sumber
daya alam serta taat pada rencana tata ruang wilayah. (vide
Pasal 25)
7) Kriteria termasuk skala prioritas tinggi kepada penanam
modal yang usahanya berada dan/atau sesuai dengan (a)
Rencana Tata Ruang Wilayah; (b) Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Daerah; (c) Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah; dan (d) Kawasan Strategis Cepat
Tumbuh. (vide Pasal 26)
8) Kriteria termasuk pembangunan infrastruktur berlaku bagi
penanam modal yang kegiatan usahanya mendukung
pemerintah daerah dalam penyediaan infrastruktur atau
sarana prasarana yang dibutuhkan. (vide Pasal 27)
9) Kriteria melakukan alih teknologi diberlakukan kepada
penanam modal yang kegiatan usahanya memberikan
kesempatan kepada pemerintah daerah dan masyarakat
dalam menerapkan teknologi dimaksud. (vide Pasal 28)
63
10) Kriteria melakukan industri pionir berlaku bagi penanam
modal yang membuka jenis usaha baru berdasarkan
keterkaitan kegiatan usaha yang luas, memberi nilai
tambah dan memperhitungkan eksternalitas yang tinggi,
memperkenalkan teknologi baru dan memiliki nilai
strategis dalam mendukung pengembangan produk
unggulan daerah. (vide Pasal 29)
11) Kriteria berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, atau
daerah perbatasan berlaku bagi penanam modal yang
bersedia dan mampu mengembangkan kegiatan usahanya
di daerah yang aksesibilitasnyasangat terbatas, serta
ketersediaan sarana dan prasarananya rendah. (vide Pasal
30)
12) Kriteria melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan,
dan inovasi berlaku bagi penanam modal yang kegiatan
usahanya bergerak di bidang penelitian dan
pengembangan, inovasi teknologi dalam mengelola potensi
daerah. (vide Pasal 31)
13) Kriteria bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah,
dan koperasi berlaku bagi penanam modal yang kegiatan
usahanya melakukan kemitraan dengan pengusaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi. (vide Pasal 32)
14) Kriteria industri yang menggunakan barang modal, mesin,
atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri berlaku
bagi penanam modal yang menggunakan mesin atau
peralatan dengan kandungan lokal dan diproduksi di dalam
negeri. (vide Pasal 33)
64
Selanjutnya, jenis atau bidang usaha yang dapat
memperoleh insentif dan kemudahan berusaha diatur dalam
Pasal 36 Permendagri 64/2012 yang terdiri atas:
a. usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi;
b. usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan;
c. usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya;
d. usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu; dan
e. usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus.
Selain bentuk dan kriteria pemberian kemudahan
penanaman modal yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan sebagaimana dijelaskan di atas, terdapat indikator
yang menjadi rujukan dalam kemudahan berusaha, yaitu
kemudahan berusaha (ease of doing business) yang diinisiasi
oleh International Finance Corporation yang menjadi anak usaha
dari World Bank Group. Indikator tersebut dijadikan sebagai
batu uji dalam melakukan survey kepada 180 negara di
seluruh dunia pada tahun 2012. Survey tersebut dilakukan
untuk mengukur seberapa kondusif kerangka regulasi dan
kebijakan (policy) yang ada di suatu negara dalam hal
dimulainya kegiatan berusaha dan kegiatan usaha lokal.
Adapun hasil survey tersebut menempatkan Indonesia pada
peringkat ke 91 pada tahun 2017. Pada skala regional, riset
yang dilakukan oleh Asia Competitiveness Institute (ACI) pada
kurun waktu April-September 2017 menempatkan Provinsi
Jawa Timur sebagai daerah yang paling tinggi tingkat
kemudahan berusaha (ease of doing business) dalam 3 (tiga)
kategori penilaian, yakni (1) daya tarik bagi investor
65
(attractiveness to investor); (2) keramahan bisnis (business
friendliness) dan (3) kebijakan yang kompetitif (competitive
policies). Namun demikian, untuk mendongkrak tingkat
kemudahan berusaha (ease of doing business) pada level
internasional, Provinsi Jawa Timur perlu mendukung upaya
pemerintah pusat untuk mencapai peringkat yang lebih baik
dalam kriteria kemudahan berusaha (ease of doing business)
pada level internasional dengan mereformasi regulasi yang
berkaitan dengan penamanan modal khususnya dalam
memberikan kemudahan bagi penanam modal atau investor di
daerah. Untuk itu, perlu dikaji ulang terhadap kesesuaian
regulasi di Provinsi Jawa Timur dengan menggunakan
indikator yang dikeluarkan oleh Bank Dunia dalam mengukur
kemudahan berusaha (ease of doing business) di beberapa
negara. Adapun indikator tersebut terdiri atas 10 (sepuluh)
jenis sebagai berikut:32
1) memulai usaha;
2) izin mendirikan bangunan;
3) mendapatkan akses listrik;
4) pendaftaran bangunan;
5) mendapatkan pinjaman;
6) perlindungan hukum bagi investor;
7) pembayaran pajak;
8) perdagangan lintas batas;
9) penguatan kontrak;
10) penyelesaian sengketa dan regulasi tenaga kerja.
32 Buku Laporan Doing Business 2017: Measuring Regulatory Quality and
Efficiency, Washington DC: World Bank Group, 2016.
66
Bertolak dari 10 (sepuluh) indikator yang ditetapkan oleh
Bank Dunia di atas, dalam pembahasan ini akan dilakukan
pengujian atas 3 indikator kemudahan berusaha (ease of doing
business). Tiga indikator tersebut dipilih atas pertimbangan
terkait otonomi daerah, domain kewenangan dan urusan yang
menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah, serta berperan
sebagai indikator krusial yang berpengaruh terhadap
kemudahan bagi para pelaku usaha saat memulai dan
menjalankan usaha mereka. Adapun 3 (tiga) indikator yang
menjadi fokus pembahasan ini beserta penjelasan singkat
secara konseptual dapat disampaikan sebagai berikut:
1) Memulai Usaha (Starting a Business)
Setiap pelaku ekonomi pasti memiliki fase-fase awal dalam
siklus operasional usahanya. Secara normatif, mereka mesti
mengurus segala dokumen yang menunjukan keabsahan
atau legalitas baik terkait pembentukan badan hukum
maupun saat memulai usaha secara resmi. Sepatutnya
Negara/Daerah tidak memberlakukan barrier to entry
berupa prosedur birokrasi, biaya transaksi dan waktu
layanan bagi pelaku usaha untuk mengurus beragam
dokumen legalitas yang diperlukan. Pasalnya, selain bernilai
krusial, fase awal ini juga menjadi signal menentukan yang
menjadi dasar pemilik usaha membuat keputusan investasi,
apakah akan berlanjut ke tahap operasional atau sebaliknya
berhitung ulang untuk tidak jadi berusaha. Hanya dengan
berhasilnya pada fase awal ini mereka akan maju ke tahap
selanjutnya, termasuk memperoleh jaminan perlindungan
hukum dan keamanan, mengakses berbagai layanan
67
pemerintah, memperoleh fasilitas dan berhubungan dengan
institusi lain seperti kredit perbankan, pengadaan barang
atau jasa dan seterusnya.
Merujuk metode Kemudahan berusaha (ease of doing
business), fase awal ini terkait kebutuhan pelaku usaha
untuk mengurus legalitas pembentukan badan usaha,
administrasi pajak dan jaminan sosial. Indeks kinerja
instansi layanan Pemerintah/Pemda maupun para pihak
terkait lainnya akan ditimbang berdasarkan kejelasan dan
keringkasan prosedural, kepastian dan kecepatan layanan,
legalitas dan keringanan biaya transaksi, serta ketersediaan
opsi-opsi dalam penyetoran modal minimum.
2) Mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (Dealing with
Construction Permit)
Meski saat ini mulai memasuki era e-business, ketika
kegiatan usaha tidak lagi berbasis lokasi fisik tertentu,
namun secara umum pelaku usaha tetap membutuhkan
suatu bangunan dan lokasi tertentu bagi kegiatan
usahanya.
Pada tataran konsep, suatu proses legal (pemberian izin)
dalam pendirian bangunan bertujuan untuk memastikan
terpenuhinya syarat keselamatan gedung yang dibangun,
kepastian hak milik atas lahan, serta ketepatan peruntukan
lokasi di mana gudang dibangun sehingga tak melanggar
tata ruang, keamanan dan kenyamanan sosial dan
lingkungan dan seterusnya.
Bersandingan dengan tujuan-tujuan tersebut, proses tata
laksana (perizinan) dan penetapan pungutan harusnya
68
dalam prinsip yang sejalan dan dijalankan secara efisien.
Instrumen legal yang bermaksud memastikan keselamatan
lingkungan dan penghindaran dari gangguan misalnya,
mesti diberikan dalam suatu jenis izin dan tidak perlu izin
berlapis-lapis yang sejatinya memiliki tujuan serupa. Selain
itu, dalam konsep license for protection, izin hanya akan
tepat diberikan jika manfaat bersihnya diperkirakan bisa
menjamin perlindungan lingkungan/sosial, bukan justru
lantaran berorientasi kepada pungutan (pajak/retribusi) dan
mengorbankan sisi prevensi atas eksternalitas tersebut.
Demikian pula, suatu inspeksi tepat dilakukan pada
tahapan proses jika opsi tindakan tersebut diperkirakan
bisa mencegah kerusakan yang terlanjur terjadi (damage
control) yang potensial menghambat tahapan pembangunan
gedung selanjutnya. Jika berbagai perimbangan tersebut
sulit dipastikan maka frekwensi inspeksi dilakukan
sesedikit mungkin, inspeksi secara mandiri (tanpa
mengharuskan kehadiran pemilik bangunan), atau bahkan
postinspection procedures.
Merujuk metode Kemudahan berusaha (ease of doing
business), indikator ini berisi rangkaian izin yang wajib
diurus agar suatu bangunan bisa berdiri dan digunakan
sebagai gudang penyimpanan barang umum. Sebagaimana
indikator sebelumnya, indikator Dealing with Construction
Permit juga berisi data-data utama yang sama (prosedur,
waktu, biaya) dengan perbedaan terletak pada data utama
indeks kualitas bangunan. Isi setiap data utama tentu
tergantung pada karakter izin bersangkutan. Dalam hal
69
prosedur, misalnya, terdapat sejumlah klasifikasi tahapan
pra-konstruksi, konstruksi dan pascakonstruksi. Waktu dan
biaya secara umum mengikuti alur kebutuhan prosedur
yang ditempuh.
3) Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (Registering
Property)
Properti (tanah/bangunan), dalam hampir setiap jenis
usaha, merupakan aset ekonomi dan faktor produksi yang
bernilai penting. Kualitas pengaturan hak atas tanah,
termasuk proses pengurusan peralihannya dari satu pihak
(penjual/pemilik lama) kepada pihak lain (pembeli/pemilik
baru), mempengaruhi arti penting tanah bagi usaha
produktif. Pendaftaran properti yang baik berpotensi
meningkatkan harga jual tanah dan nilai investasi secara
signifi kan. Tanah tanpa kepastian status kepemilikan atau
berbelit dalam pengurusan peralihan hak jelas menghambat
nilai manfaat penggunaanya. Alih-alih, properti tersebut
hanya akan menjadi lahan tidur atau aset diam (dead
capital)karena tidak dapat dikapitalisasi sebagai aset
produktif, atau menjadi agunan/kolateral di perbankan
yang bisa mempengaruhi tingkat penawaran kredit dan
seterusnya.
Pada sisi lain, proses pengurusan hak atas properti harus
memastikan terwujudnya keseimbangan antara efisiensi
business process (waktu, biaya dan prosedur) dengan
kepastian hukum peralihan hak, pembayaran bea dan
pajak, serta sinerji tata kelola pertanahan (domain Pusat:
BPN) dengan administrasi setempat (Pemerintah Daerah).
70
Perlindungan hak milik properti khususnya bagi skala UKM
yang tak memiliki modal besar saat berurusan dengan
sistem keamanan dalam hal terjadi sengketa--harus
terjamin secara integral dan melekat dalam keseluruhan
tahapan proses peralihan hak yang memang selalu dituntut
kecepatan/efisiensi guna memenuhi dinamika kebutuhan
investasi.
Indikator ini berisi rangkaian proses bisnis yang wajib
diurus penjual dan pembeli agar properti bisa beralih hak
secara sah. Sebagaimana kedua indikator lainnya, indikator
Registering Property berisi data-data utama yang sama
(prosedur, waktu, biaya) dengan perbedaan terletak pada
data khusus perihal kualitas pelayanan administrasi.
Sebagian interaksi berlangsung dengan instansi vertikal
Pusat di daerah (BPN), sebagian lainnya dengan Pemerintah
Daerah dan para pihak ketiga seperti Notaris/PPAT.
Rangkaian prosedur, waktu dan biaya dilakukan bersamaan
atau terpisah menurut klasifikasi tahapan pra-registrasi,
registrasi dan post-registrasi.
Selanjutnya, untuk memberikan analisis yang lebih
komprehensif guna efektifitas dan efisiensi dalam penanaman
modal berdasarkan 3 (tiga) indikator di atas, perlu digunakan
pisau analisis teori reformasi administrasi. Lee dan Samonte
sebagaimana disitir oleh Nasucha memberikan konstatasi
bahwa, reformasi administrasi merupakan perubahan atau
inovasi secara sengaja dibuat dan diterapkan untuk
menjadikan sistem administrasi sebagai suatu agen perubahan
71
sosial (agent of social change) yang lebih efektif. Selain itu,
reformasi administrasi juga digunakan sebagai suatu
instrumen untuk menjamin adanya persamaan politik,
keadaan sosial dan pertumbuhan ekonomi. Reformasi ini
merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk
membenahi budaya dan nilai karena rendahnya kualitas
kinerja administrasi.
Terdapat empat metode reformasi yang dapat disasar
yaitu, Pertama melalui reformasi melalui revolusi politik
dimana keputusan politik menjadi penentu dalam membuat
kebijakan dan juga kontribusi politik di ranah sosial. Kedua,
reformasi melalui perbaikan organisasi agar birokrasi publik
dapat merespon perkembangan sosial, teknologi dan
modernitas yang sudah ada. Ketiga, reformasi perubahan
perilaku yang bertujuan untuk memperbaiki perilaku
sumberdaya manusia di pemerintahan. Keempat, reformasi
pada bidang hukum dengan mensinkronisasikan atau
menghapus peraturan yang kompleks melalui review regulasi
yang detail.
Reformasi-reformasi di atas dapat dilakukan melalui
deregulasi perizinan untuk memberikan penyederhanaan izin
yang dilakukan oleh pemerintah. Artinya, arena reform pada
tingkat yang lebih paripurna yaitu penyederhanaan jenis izin.
Penyederhanaan ini dapat dilakukan melalui pengurangan
jumlah aturan perizinan (deregulasi). Atas dasar itu, maka
perbaikan sisi hukum merupakan langkah yang harus
dilakukan guna memberikan kepastian hukum dalam
melaksanakan tata kelola pemerintahan, mengingat segala
72
tindakan penyelenggaran izin didasari peraturan perundangan
yang berlaku. Dalam melakukan reformasi perizinan, perlu
untuk dilakukan reformasi regulasi yang berkaitan dengan
secara langsung dengan aktivitas pelaku usaha sejak mulai
pra-operasi hingga pasca-operasi.
Reformasi regulasi adalah perubahan yang dimaksudkan
untuk meningkatkan kualitas regulasi, baik secara individual
maupun integral (terintegrasi dalam suatu sistem regulasi yang
komprehensif dan utuh). Tujuan reformasi regulasi adalah
untuk mewujudkan sistem regulasi yang berkualitas,
sederhana dan tertib. Untuk mewujudkan tujuan tersebut,
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga berupaya untuk
melakukan penyederhanaan perizinan menggunakan analisis
HGSL (Hapus, Gabung, Sederhanakan, dan Limpahkan).
Analisis ini juga dikenal dengan istilah studi ACSD (Abolish,
Combine, Simplified, Decentralize). Analisis HGSL adalah inti
dari penyederhanaan perizinan, yang terdiri dari alternatif
solusi berupa (1) Penghapusan yaitu mengurangi jenis
perizinan yang selama ini diberlakukan dengan dihapuskannya
perizinan tersebut; (2) Penggabungan yaitu penggabungan
beberapa perizinan yang dipandang sama secara substansi
menjadi satu perizinan; (3) Penyederhanaan yaitu
penyederhanaan persyaratan yang selama ini diberlakukan
karena dipandang sudah tidak sesuai atau tidak relevan lagi
untuk mendapatkan izin tersebut; (4) Pelimpahan yaitu
melimpahkan proses pemberian izin kepada instansi
dibawahnya dengan pertimbangan jangkauan pelayanan lebih
dekat dan lebih cepat. Sasaran analisis HGSL adalah
73
sederhana, jelas, efisien, efektif, ekonomis, kepastian hukum,
transparan, dan tepat waktu (better, cheaper dan faster).
Adapun langkah-langkah dalam melakukan analisis tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
1) Identifikasi jumlah, jenis dan mekanisme perizinan yang ada
saat ini.
2) Persamaan persepsi tentang perubahan paradigma
pelayanan publik.
3) Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and
Threats) di bidang perizinan.
Langkah selanjutnya adalah membuat matrik analisis
HGSL yang digunakan sebagai bahan dalam mengambil
keputusan terhadap sebuah izin. Dalam analisis tersebut juga
mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Penghapusan dilakukan terhadap jenis izin yang:
a. Bertentangan dengan perundangundangan.
b. Memberatkan masyarakat dan menghambat dunia usaha
dan perekonomian daerah.
c. Izin yang bersangkutan sudah tidak diperlukan bagi
masyarakat.
2. Penggabungan, dilakukan untuk jenis pelayanan yang
dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas dapat
dijadikan satu dengan cara:
a. Menggabung perizinan dengan konsekuensi nama izin
baru.
b. Menggabung beberapa prosedur menjadi satu.
74
3. Dalam penyederhanaan, perlu diperhatikan agar
prosedur yang dilakukan lebih sederhana (praktis dan
tidak cenderung KKN).
4. Dalam perlimpahan kewenangan, harus melihat kesiapan
satuan pemerintahan yang lain baik vertikal maupun
horizontal.
Reformasi peraturan perizinan dan beberapa konsep
HGSL dalam penyederhanaan perizinan sebagaimana diuraikan
di atas, secara normatif juga diadopsi ke dalam Pasal 84 ayat
(2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018
tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara
Elektronik (PP 24/2018) yang menentukan:
(1) . . . . . . . .
(2) Reformasi peraturan Perizinan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. pengaturan kembali jenis perizinan, pendaftaran,
rekomendasi, persetujuan, penetapan, standar,
sertifikasi, atau lisensi;
b. penahapan untuk memperoleh perizinan; dan
c. pemberlakuan komitmen pemenuhan persyaratan.
(3) Pengaturan kembali jenis perizinan, pendaftaran,
rekomendasi, persetujuan, penetapan, standar,
sertifikasi, atau lisensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dilakukan melalui:
a. pengklasifikasian;
b. penghapusan;
c. penggabungan;
d. perubahan nomenklatur; atau
75
e. penyesuaian persyaratan.
(4) . . . . . . . .
(5) . . . . . . . .
Merujuk pada ketentuan di atas, reformasi perizinan
dilakukan dengan cara melakukan pengaturan kembali yang
disesuaikan dengan konsep-konsep dari HGSL guna
memangkas waktu dan prosedur perizinan supaya ada
percepatan dalam proses perizinan berusaha sehingga
mendorong peningkatan penanaman modal daerah dan
mendongkrak perekonomian masyarakat. Adapun bentuk-
bentuk reformasi perizinan tersebut jika dikaitkan dengan 3
(tiga) indikator kemudahan berusaha (ease of doing business)
yang menjadi domain pemerintah daerah dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Memulai Usaha
Tahapan memulai usaha dimaksudkan sebagai fase
berusaha yang berisi prosedur, lama waktu dan jumlah
biaya yang harus dipenuhi pengusaha saat mendirikan
badan usaha dan menjalankan operasional bisnis secara
resmi. Dalam tahapan ini, untuk mempermudah akvitas
berusaha , maka perlu dilakukan pemangkasan terhadap
prosedur, waktu dan biaya yang harus dikeluarkan.
Misalnya, berkaitan dengan waktu, di mana salah satu
bentuk persyaratan dalam proses untuk memulai usaha
adalah keberadaan Surat Keterangan Domisili Usaha
(SKDU) yang menjadi syarat untuk mendapatkan Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP), pengurusan pendirian badan
76
usaha dan pengurusan perizinan usaha. SKDU dapat
diperoleh oleh pelaku usaha dengan mengajukan
permohonan di kelurahan dan kecamatan setempat. Yang
menjadi problem adalah tidak adanya batasan waktu yang
singkat dan pasti sehingga dapat menghambat proses
memulai usaha dan memberatkan pelaku usaha, sehingga
ke depannya harus dibentuk regulasi di kabupaten/kota di
wilayah Provinsi Jawa Timur untuk menjamin kepastian
hukum dalam pengurusan SKDU tersebut. Selanjutnya,
dalam proses perizinan usaha yang masih terpisah-pisah
seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar
Perusahaan (TDP) dan Izin Gangguan (HO) ke depannya
perlu dilakukan penggabungan agar dapat memangkas
waktu dan prosedur dalam memulai usaha sehingga terjadi
percepatan dalam proses kegiatan memulai usaha oleh
pelaku usaha. Bahkan, jika perlu melakukan penghapusan
terhadap HO, karena selain memperbanyak prosedur dan
memperpanjang waktu, HO juga dijadikan sebagai upaya
peningkatan pendapatan daerah karena termasuk dari salah
satu retribusi perizinan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, padahal logika ekonominya justru kemudahan
berusahalah yang dapat mendorong pelaku usaha untuk
memulai usaha di daerah guna meningkatkan
perekonomian daerah dan penyerapan tenaga kerja, bukan
berpikir untuk meningkatkan pendapatan daerah melalui
pungutan retribusi izin yang justru menghambat
pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Dengan demikian, ke
77
depannya Pemerintah Provinsi Jawa Timur sesuai dengan
kewenangannya dalam melakukan fasilitasi pembentukan
regulasi kabupaten/kota perlu menginstruksikan untuk
melakukan penggabungan SIUP, TDP dan HO atau
penghapusan HO seperti yang telah dipraktikkan oleh
Pemerintah Kota Surabaya melalui Instruksi Walikota
Surabaya Nomor 3 Tahun 2016.
2. Mendapatkan Izin Pendirian Bangunan
Pendirian bangunan usaha merupakan indikator terpisah
yang memiliki prosedur tersendiri. Indikator tersebut
menjadi faktor penting pada saat-saat awal usaha, terutama
bagi perusahaan yang pada fase operasional memiliki
kegiatan utama perdagangan, penyimpanan barang dan
distribusi hasil produk. Dengan melihat siklus usaha
tersebut maka kemudahan dalam mengurus dan
mendapatkan izin mendirikan bangunan menjadi hal
penting yang harus disederhanakan. Penyederhanaan
tersebut dapat dilakukan dengan melakukan penghapusan
terhadap salah satu persyaratan dalam mengajukan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) seperti persyaratan Surat
Persetujuan Kelurahan/Kecamatan dan persyaratan salinan
sertifikat kepemilikan lahan yang dilegalisir misalnya.
Merujuk pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Nomor 5 Tahun 2016 tentang Izin
Mendirikan Bangunan Gedung (Permen PUPR 5/2016),
persyaratan surat persetujuan kelurahan/kecamatan tidak
lagi menjadi syarat dalam mengajukan IMB, sehingga
apabila daerah-daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi
78
Jawa Timur masih memberlakukan persyaratan tersebut,
maka harus ada revisi terhadap regulasi IMB dengan
menghapuskan syarat persetujuan kelurahan/kecamatan
untuk menyederhanakan proses untuk mendapatkan IMB
oleh pelaku usaha.
Selanjutnya, yang perlu diperhatikan pula terkait jangka
waktu proses permohonan dan penerbitan IMB agar
menjamin kepastian dan percepatan proses untuk
mendapatkan IMB. Adapun jangka waktu tersebut diatur
dalam Pasal 45 ayat (1) Permen PUPR 5 Tahun 2015 yang
menentukan bahwa jangka waktu maksimum dalam
penerbitan IMB untuk (a) bangunan gedung sederhana 1
(satu) lantai paling lama 3 (tiga) hari kerja; (b) bangunan
gedung sederhana 2 (dua) lantai paling lama 4 (empat) hari
kerja; (c) bangunan gedung tidak sederhana bukan untuk
kepentingan umum paling lama 7 (tujuh) hari kerja; (d)
bangunan gedung tidak sederhana untuk kepentingan
umum dan bangunan gedung khusus dengan ketinggian 1
(satu) sampai 8 (delapan) lantai paling lama 12 (dua belas)
hari kerja; (e) bangunan gedung tidak sederhana untuk
kepentingan umum dan bangunan gedung khusus dengan
ketinggian lebih dari 8 (delapan) lantai paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja; dan (f) pondasi untuk bangunan gedung
tidak sederhana untuk kepentingan umum dan bangunan
gedung khusus paling lama 18 (delapan belas) hari. atas
dasar itu, perlu dilakukan evaluasi atas regulasi IMB yang
berlaku di daerah-daerah kabupaten/kota di wilayah
Provinsi Jawa Timur untuk menjamin dan memastikan
79
pelaksanaan penerbitan IMB sesuai dengan jangka waktu
yang telah ditetapkan agar ada percepatan dalam proses
pengajuan IMB oleh pelaku usaha.
3. Pendaftaran Hak Atas Tanah
Pendaftaran hak atas tanah merupakan salah satu
persyaratan yang penting dalam memulai aktivitas usaha,
karena lahan yang menjadi tempat usaha perlu jaminan
kepastian hukum atas kepemilikannya agar tidak
bermasalah dan menghambat aktivitas usaha. Dengan
demikian, perlu proses pendaftaran hak atas tanah yang
efisien dan berbiaya murah untuk meningkatkan
penanaman modal di daerah. Adapun aspek yang harus
diperhatikan dalam pendaftaran hak atas tanah adalah
penyederhaan persyaratan dengan menggabung beberapa
persyaratan yang menjadi lampiran dalam permohonan
perdaftaran atas tanah. Selain itu, perlu memastikan pula
bahwa jangka waktu pendaftaran hak atas tanah juga harus
dipersingkat dengan batas jangka waktu maksimum
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8
Tahun 2016. Atas dasar itu, pemerintah Provinsi Jawa
Timur perlu melakukan monitoring dan evaluasi sesuai
kewenangannya untuk memastikan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi telah dijalankan secara baik oleh
pemerintah daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi
Jawa Timur.
Selain metode-metode yang telah diuraikan di atas,
kemudahan berusaha (ease of doing business) juga
80
diakomodasi melalui Peraturan Presiden Nomor Nomor 91
Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha
(Perpres 91/2017). Melalui Perpres 91/2017 tersebut,
pemerintah membentuk satuan tugas yang dibentuk secara
khusus untuk percepatan berusaha. Pasal 1 angka 1 Perpres
91/2017 menerangkan bahwa satuan tugas adalah satuan
tugas yang dibentuk untuk meningkatkan pelayanan,
pengawalan, penyelesaian hambatan, penyederhanaan, dan
pengembangan sistem online dalam rangka percepatan
pelaksanaan perizinan berusaha termasuk bagi usaha mikro,
kecil, dan menengah setelah mendapatkan persetujuan
penanaman modal . Satuan tugas tersebut menurut Pasal 3
ayat (2) Perpres 91/2017 terdiri atas satuan tugas nasional,
satuan tugas kementerian/lembaga, satuan tugas provinsi dan
satuan tugas kabupaten/kota. Adapun fungsi satuan tugas
provinsi menurut Pasal 11 ayat (2) Perpres 91/2017 terdiri atas
fungsi utama (leading) dalam hal perizinan berusaha
merupakan kewenangan gubernur dan dilakukan oleh
gubernur bersangkutan dan/atau fungsi pendukung
(supporting) dalam hal perizinan yang menjadi kewenangan
gubernur bersangkutan diperlukan oleh menteri/kepala
lembaga dan/atau bupati/walikota yang berfungsi sebagai
utama (leading) untuk menerbitkan perizinan berusaha.
Selanjutnya, keanggotaan satuan tugas provinsi berdasarkan
Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) Perpres 91/2017 terdiri atas
seorang ketua yang dijabat oleh sekretaris gubernur, sekretaris
dan anggota yang dibentuk berdasarkan ketetapan gubernur.
81
Merujuk pada penjelasan dan ketentuan sebagaimana
diuraikan di atas, Gubernur Provinsi Jawa Timur perlu
membentuk tim satuan tugas untuk percepatan pelaksanaan
berusaha di Provinsi Jawa Timur. Selain itu, Gubernur Provinsi
Jawa Timur juga melakukan fasilitasi terhadap
kabupaten/kota untuk menjamin pembentukan satuan tugas
kabupaten/kota terlaksana secara cepat dan tepat.
Bahkan, untuk memangkas prosedur dan jangka waktu
perizinan, telah dibentuk juga sistem perizinan secara online
dan terintegrasi melalui PP 24/2018. Pasal 1 angka 5 PP
24/2018 menyatakan bahwa perizinan berusaha terintegrasi
secara elektronik atau online single submission yang
selanjutnya disingkat OSS adalah perizinan berusaha yang
diterbitkan oleh lembaga OSS untuk dan atas nama menteri,
pimpinan lembaga, gubernur, bupati/walikota kepada pelaku
usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi. Atas hal
tersebut, maka seluruh izin yang menjadi kewenangan pusat,
provinsi dan kabupaten/kota dilaksanakan secara online dan
terintegrasi oleh lembaga OSS. Hal tersebut seperti keadaan
PTSP tapi metode dan lembaga yang berbeda, namun sama-
sama menyatukan proses perizinan berusaha pada 1 (satu)
institusi untuk mempercepat prosedur dan mekanisme
berusaha guna efektifitas dan efisiensi sehingga dapat
meningkatkan iklim investasi serta memberikan kemudahan
kepada pelaku usaha berdasarkan konsep kemudahan
berusaha (ease of doing business). Oleh karena itu, pemerintah
Provinsi Jawa Timur wajib melakukan harmonisasi Peraturan
Daerah di bidang penanaman modal dan perizinan berusaha
82
terhadap PP 24/2018 untuk menjamin sinergitas antara pusat
dengan daerah dalam memberikan kemudahan atas
pelaksanaan berusaha di Provinsi Jawa Timur. Selain itu,
Gubernur juga harus melakukan fasilitasi kepada pemerintah
kabupaten/kota untuk mengharmonisasi dan menselaraskan
regulasi di kabupaten/kota dengan Peraturan Daerah Provinsi
Jawa Timur dan PP 24/2018.
3.3. Langkah dan Strategi Pemerintah Provinsi Jawa Timur
Dalam Meningkatkan Kemudahan penanaman modal di
Daerah
Perubahan paradigma kemudahan penanaman modal
yang semula memiliki proses yang sangat panjang dalam
proses memulai usaha sehingga menghambat pertumbuhan
investasi di daerah. Problem dari panjangnya proses memulai
usaha secara mendasar disebabkan oleh adanya prosedur dan
mekanisme perizinan yang sangat banyak dan rumit sehingga
memberatkan para pelaku usaha. Selain itu, faktor yang juga
membebani para pelaku usaha adalah besarnya biaya dalam
pengajuan permohonan perizinan penanaman modal , karena
mindset dari pemerintah daerah masih lebih mengutamakan
peningkatan PAD melalui pemungutan retribusi perizinan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Padahal,
yang dapat meningkatkan perekonomian daerah bukan
peningkatan PAD dari retribusi perizinan, melainkan dengan
meningkatkan iklim invertasi agar dapat memberikan nilai
tambah terhadap perekonomian daerah dan masyarakat
melalui penyerapan tenaga kerja lokal. Bahkan, sangat
83
disayangkan pula banyak biaya tidak terduga atau biaya yang
tidak berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan
sehingga memberatkan pelaku usaha untuk memulai
usahanya.
Atas dasar itu, melalui beberapa instrumen peraturan
perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah
pusat seperti PP 24/2018, Perpres 91/2017 dan peraturan
terkait lainnya dimaksudkan untuk memberikan kemudahan
berusaha dan percepatan pelaksanaan berusaha yang
berimplikasi pada perubahan regulasi bidang penanaman
modal di daerah sebab peraturan perundang-undangan di
tingkat pusat yang dijadikan landasan penyusunannya juga
berubah. Oleh karena itu, perlu langkah dan strategi yang
tepat untuk dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa
Timur dalam menghadapi beberapa perubahan peraturan
bidang penanaman modal di tingkat pusat. Adapun langkah
dan strategi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Provinsi Jawa Timur sebagai alternatif dari reformasi peraturan
perundang-undangan bidang penanaman modal di tingkat
pusat adalah, 1) harmonisasi peraturan daerah Jawa Timur
bidang penanaman modal ; 2) melakukan fasilitasi terhadap
kebijakan daerah kabupaten/kota bidang penanaman modal
di wilayah Provinsi Jawa Timur; dan 3) membentuk satuan
tugas percepatan pelaksanaan penanaman modal di Provinsi
Jawa Timur. Untuk memperjelas langkah dan strategi tersebut,
maka dijelaskan secara lengkap sebagai berikut:
1) Harmonisasi Peraturan Daerah Jawa Timur Bidang
penanaman modal
84
Harmonisasi adalah upaya yang dapat dilakukan
untuk mengharmoniskan atau menyesuaikan materi
muatan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Harmonisasi ini sangat diperlukan, mengingat peraturan
perundang-undangan merupakan satu kesatuan sistem,
dimana norma hukum yang terdapat di dalamnya
berjenjang dan bertingkat. Hans Kelsen menyatakan bahwa
bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam
arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber
dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat
ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu
norma dasar (Grundnorm). Norma dasar yang merupakan
norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak
lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi
norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh
masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan
gantungan bagi norma-norma yang berada dibawahnya,
sehingga suatu norma dasar itu dikatakan presupposed.33
Hubungan antara satu norma dengan norma yang
lain dalam tata hukum yang hirarkis tersebut dapat
dipahami melalui pendapat Hans Kalsen yang menyatakan
bahwa:34
33 Hans Kelsen, General Theory of Law and State; Teori Umum Tentang
Negara dan Hukum, Bandung: Nusamedia, 2006, hlm. 35
34Ibid, hlm. 36
85
“The relation between the norm regulation the creation
of another norm and this other norm may be presented
as a relationship of super and sub-ordination, which is
a spatial figure of speech. The norm determining the
creation of another norm is the superior, the norm
created according to this regulation, the inferior norm.
the legal order, especially the legal order the
personification of wich is State, is therefore not a
system of norms coordinated to each other, stading, so
to speak, side by side on the same level, but a
hierarchy of different levels of norms”
Sehingga dari pendapat Hans Kelsen tersebut dapat
ditemukan inti dari teori stufenbau des recht atau the
hierarchy of norms, yaitu:
1) peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
harus bersumber atau memiliki dasar hukum atau
validasi dari suatu peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
2) isi atau materi muatan peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah tidak boleh
minyimpangi atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Teori Hans Kelsen di atas, kemudian dikembangkan
oleh salah satu muridnya yang bernama Hans Nawiasky.
Hans Nawiasky menyatakan bahwa suatu norma hukum
dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan bejenjang-
jenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih
tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi
yang disebut norma dasar. Selain berlapis-lapis dan
86
berjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga
berkelompok-kelompok.35
Pengelompokan norma hukum dalam suatu negara
itu terdiri atas empat kelompok dasar yaitu
staatfundamental norm, staat grundgezet, formele gezet dan
verordenung and autonome satzung. Keempat kelompok
norma hukum dalam begara tersebut berjenjang dan
berlapis-lapis. Dimana staatfundamental norm merupakan
sumber dari staatgrundgezzet,staatgrundgezet menjadi
sumber dari formele gezet,formele gezet merupakan sumber
dari verordenung and autonome satzung. Selain itu, norma
hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
norma hukum yang lebih tinggi, sehingga verordenung and
autonome satzung tidak boleh bertentangan formele gezet,
formele gezet tidak boleh bertentangan staatgrundgezet,
dan staatgrundgezet tidak boleh bertentangan dengan
staatfundamental norm.
Dilihat dari kedudukannya, berdasarkan Pasal 7 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Timur merupakan peraturan
perundang-undangan yang berada di bawah UUD NRI
Tahun 1945, Tap. MPR, UU/Perpu, PP dan Perpres.
Karenanya, Perda Provinsi Jawa Timur tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal
250 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang
35 Maria Farida Indrati Suprapto, Ilmu Perundang-Undangan I, Yogyakarta:
Kanisius, 2007, hlm. 44
87
menentukan bahwa “Perda dan Perkada sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 249ayat (1) dan ayat (3) dilarang
bertentangan denganketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebihtinggi, kepentingan umum, dan/atau
kesusilaan”.
Dilihat dari kedudukan Peraturan Daerah Provinsi
Jawa Timur tersebut dan dikaitkan dengan stufentheori,
maka terdapat 2 (dua) inti yang terkandung yakni 1)
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur sebagai peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah harus bersumber
atau memiliki dasar hukum atau validasi dari suatu
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (red: UUD
NRI Tahun 1945, Tap. MPR, UU/Perpu, PP dan Perpres);
dan 2) isi atau materi muatan Peraturan Daerah Provinsi
Jawa Timur sebagai peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah tidak boleh menyimpangi atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
(red: UUD NRI Tahun 1945, Tap. MPR, UU/Perpu, PP dan
Perpres). Namun demikian, tidak ada jaminan norma yang
lebih rendah selalu sesui dengan norma yang lebih tinggi
yang menentukan dan materi muatan norma yang lebih
rendah tersebut.Terkait dengan hal tersebut, Hans Kelsen
menyatakan:36
“There can, therefore, never exist any absolute
guarantee that the lower norm corresponds to the
higher norm. The possibility yhat the lower norm does
not cprrespond to the higher norm which determines
the former`s creation and content, especially that the
36 Hans Kelsen, General…Op.Cit., hlm. 37
88
lower norm has another content than the one
prescribed by the higher norm, is not atau all excluded.
But as soon as the case has become a res judicate, the
opinion that the individual norm of the decision does
not correspond to the general norm which has to be
applied by it, is without juristic importance. The law-
applting organ has either, authorized by the legal
order, created new subtative law. Or it has, according
to its own assertion, applied preexisting subtative law.
In the latter case, the assertion of the court of last
resort is decisive.”
Sesuai dengan pendapat tersebut, norma hukum
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur wajib dan harus
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi (red: UUD NRI Tahun 1945, Tap. MPR, UU/Perpu, PP
dan Perpres). Karenanya, apabila Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Timur bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi (red: UUD NRI
Tahun 1945, Tap. MPR, UU/Perpu, PP dan Perpres), akan
menyebabkan Perda tersebut tidak mempunyai validitas
atau kekuatan hukum. Prinsip hukum menyatakan bahwa
Lex Superior Derogat Legi Inferiory, yang artinya bahwa
norma hukum yang lebih tinggi mengenyampingkan norma
yang lebih rendah. Sesuai dengan kedudukannya yang
diatur di dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011,
maka norma Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur dapat
dikesampingkan, apabila bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dilihat dari keberlakuan norma hukum, maka
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
89
dapat dikategorikan sebagai norma hukum yang tidak
mempunyai keberlakuan normatif. Brugink menyatakan
bahwa:37
“keberlakuan normatif/formal kaedah hukum dapat
tercapai apabila kaedah itu merupakan bagian dari
sistem kaedah hukum tertentu yang didalamnya
kaedah-kaedah hukum itu saling menunjuk yang
satu dengan yang lainnya. Sistem kaedah hukum
yang demikian itu terdiri atas suatu keseluruhan
hirarki kaidah hukum khusus yang bertumpu pada
kaidah-kaidah hukum umum. Di dalamnya, kaedah
hukum khusus yang lebih rendah diderivasi dari
kaedah-kaedah hukum umum yang lebih tinggi. Oleh
karena itu, suatu kaedah hukum dapat dikatakan
berlaku secara normatif apabila kaedah-kaedah
hukum yang lebih rendah tidak bertentangan dengan
kaedah-kaedah hukum yang lebih tinggi. Artinya
bahwa harus ada konsistensi antar kaedah hukum”.
Dari pendapat-pendapat di atas, diketahui bahwa
apabila Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi adalah 1) Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Timur tidak mempunyai kekuatan mengikat sesuai dengan
prinsip lex superior derogate legi inferiory, sehingga dapat
dikesampingkan; dan 2) Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Timur tidak mempunyai keberlakuan normatif sehingga
tidak dapat diberlakukan sebagai norma hukum.
Dengan memperhatikan penjelasan di atas dan dikaitkan
dengan ditetapkannya PP 24/2018, Perpres 91/2017 dan
peraturan lain yang lebih tinggi, maka Pemerintah Daerah
Provinsi Jawa Timur harus melakukan harmonisasi
37 JJ.HLM.Bruggink (terj. B. Arief Sidharta), Refleksi Tentang Hukum,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011, hlm. 150
90
Peraturan Daerah bidang penanaman modal dan perizinan
agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi sebagaimana disebutkan di atas
guna memberikan kepastian hukum dan validitas yuridis
atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur. Salah satu
yang perlu dilakukan harmonisasi adalah Peraturan
Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau
Pulau kecil khususnya yang berkaitan dengan izin lokasi
perairan bahwa, menurut PP 28/2017 izin lokasi perairan
dapat dikeluarkan terlebih dahulu dengan memberikan
komitmen dan wajib dipenuhi dalam jangka waktu 10
(sepuluh) hari, sedangkan dalam Peraturan Daerah izin
bari dikeluarkan setelah pemohon melengkapi persyaratan-
persyaratan yang diperlukan dalam pengajuan permohonan
izin lokasi perairan.
2) Melakukan Fasilitasi Terhadap Penyusunan Kebijakan
Daerah Kabupaten/Kota Bidang penanaman modal di
Wilayah Provinsi Jawa Timur
Gubernur selain berkedudukan sebagai kepala daerah
provinsi, juga berkedudukan sebagai wakil pemerintah
pusat di daerah. Oleh karena itu, Gubernur memiliki fungsi
dan wewenang untuk mewakili pemerintah pusat di daerah.
Pasal 91 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) ditentukan
bahwa “Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota dan Tugas
Pembantuan oleh Daerah kabupaten/kota, Presiden
91
dibantu oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.”
Lebih lanjut, Pasal 91 ayat (2) huruf c UU Pemda
menentukan bahwa salah satu tugas Gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat di Daerah adalah memberdayakan
dan menfasilitasi Daerah kabupaten/kota. Dengan
demikian, Gubernur Jawa Timur mempunyai kewenangan
untuk memberikan fasilitasi terhadap Pemerintah Daerah
kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Timur.
Berkenaan dengan hal tersebut, Pasal 375 ayat (4) huruf f
dan huruf h Juncto Pasal 375 ayat (6) UU Pemda
menentukan bahwa Gubernur melakukan fasilitasi
terhadap Pemerintah Daerah kabupaten/kota salah
satunya di bidang pelayanan publik di Daerah dan
kebijakan Daerah. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 375 ayat
(6) UU Pemda menengaskan bahwa “Yang dimaksud
dengan “fasilitasi” dalam ketentuan ini meliputi kegiatan
pemberdayaan Pemerintah Daerah kabupaten/kota,
penguatan kapasitas Pemerintah Daerah kabupaten/kota,
dan bimbingan teknis kepada Pemerintah Daerah
kabupaten/kota.
Merujuk pada ketentuan tersebut, Gubernur Jawa Timur
perlu melakukan fasilitasi kepada Pemerintah Daerah
kabupaten/kota melalui bimbingan teknis dalam bidang
pelayanan publik di daerah dan kebijakan daerah yang
berkaitan dengan penanaman modal dan perizinan
berusaha agar selaras dan tidak menyimpang dari
kebijakan kemudahan dan percepatan berusaha yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melalui beberapa
92
instrumen peraturan perundang-undangan berupa
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden khususnya
mengenai jangka waktu proses perizinan, penggabungan
dan penghapusan beberapa persyaratan perizinan yang di
tingkat Daerah kabupaten/kota masih terpisah dan tetap
berlaku dalam Peraturan Daerahnya.
3) Membentuk Satuan Tugas Percepatan penanaman modal
di Provinsi Jawa Timur
Pasal 3 ayat (1) Perpres 91/2017 menentukan, “Untuk
meningkatkan pelayanan, pengawalan, penyelesaian
hambatan, penyederhanaan, dan pengembangan sistem
online dalam rangka percepatan penyelesaian Perizinan
Berusaha dibentuk Satuan Tugas.” Atas dasar itu, Pasal 11
ayat (1) Perpres 91/2017 mewajibkan setiap provinsi
termasuk Provinsi Jawa Timur untuk membentuk Satuan
Tugas Provinsi. Adapun keanggotaan Satuan Tugas Provinsi
berdasarkan Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) Perpres 91/2017
terdiri atas seorang ketua yang dijabat oleh sekretaris
Gubernur, sekretaris, dan anggota yang ditetapkan oleh
Gubernur. Merujuk pada ketentuan tersebut, maka
Gubernur Jawa Timur membentuk Satuan Tugas
percepatan pelasaksanaan berusaha di Provinsi Jawa
Timur guna meningkatkan pelayanan, pengawalan,
penyelesaian hambatan, penyederhanaan dan
pengembangan sistem online dalam rangka percepatan
pelaksanaan perizinan berusaha termasuk bagi usaha
mikro, kecil dan menengah setelah mendapatkan
persetujuan penanaman modal di Provinsi Jawa Timur.
93
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil diskusi dan pembahasan serta
analisis di atas, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa Pemerintah Daerah berwenang menyelenggarakan
urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya,
kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal yang
menjadi urusan Pemerintah Pusat. Secara lebih rinci,
kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur dalam
penanaman modal diatur dalam lampiran huruf R UU
Pemda sebagai berikut:
No Sub Urusan Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah
Kabupaten/
Kota
1 Pengembang e. Penetapan bidang c. Penetapan c. Penetapan
an Iklim usaha yang pemberian pemberian
penanaman tertutup dan fasilitas/insent fasilitas/ins
modal bidang usaha if di bidang entif di
yang terbuka penanaman bidang
dengan modal yang penanaman
persyaratan. menjadi modal yang
f. Penetapan kewenangan menjadi
pemberian Daerah kewenangan
fasilitas/insentif provinsi. Daerah
di bidang d. Pembuatan kabupaten/
penanaman peta potensi kota.
94
modal yang investasi d. Pembuatan
peta potensi
menjadi provinsi. investasi
kabupaten/
kewenangan kota.
Pemerintah -------
Pusat.
g. Pembuatan peta
potensi investasi
nasional.
h. Pengembangan
kemitraan Usaha
Kecil dan
Menengah (UKM)
bekerja sama
dengan investor
asing.
2 Kerja Sama d. Penyelenggaraan -------
Penanaman kerja sama
Modal internasional
dengan negara
lain dalam
rangka kerja
sama bilateral,
regional dan
multilateral di
bidang
penanaman
modal .
e. Penyelenggaraan
95
kerja sama
antara
Pemerintah Pusat
dengan lembaga
perbankan
nasional/internas
ional dan dunia
usaha
nasional/internas
ional.
f. Pengkoordinasian
penanaman
modal dalam
negeri yang
menjalankan
kegiatan
penanaman
modal nya di luar
wilayah
Indonesia.
3 Promosi Penyelenggaraan Penyelenggaraan Penyelenggar
Penanaman promosi promosi an promosi
Modal penanaman modal penanaman penanaman
yang menjadi modal yang modal yang
kewenangan menjadi menjadi
Pemerintah Pusat. kewenangan kewenangan
Daerah provinsi. Daerah
kabupaten/ko
96
ta.
4 Pelayanan f. Pelayanan Pelayanan Pelayanan
Penanaman penanaman perizinan dan perizinan dan
Modal modal yang nonperizinan nonperizinan
ruang lingkupnya secara terpadu secara
lintas Daerah satu pintu: terpadu 1
provinsi. c. penanaman (satu) pintu di
g. Pelayanan modal yang bidang
penanaman ruang penanaman
modal terkait lingkupnya modal yang
dengan sumber lintas Daerah menjadi
daya alam yang kabupaten/kot kewenangan
tidak terbarukan a; Daerah
dengan tingkat d. penanaman kabupaten/ko
risiko kerusakan modal yang ta.
lingkungan yang menurut
tinggi. ketentuanperat
h. Pelayanan uran
penanaman perundangund
modal pada angan menjadi
bidang industri kewenangan
yang merupakan Daerah
prioritas tinggi provinsi.
pada skala
nasional.
i. Pelayanan
penanaman
modal yang
97
terkait pada
pelaksanaan
strategi
pertahanan dan
keamanan
nasional.
j. Pelayanan
penanaman
modal asing.
5 Pengendalia Pengendalian Pengendalian Pengendalian
n pelaksanaan pelaksanaan pelaksanaan
Pelaksanaan penanaman modal penanaman penanaman
Penanaman yang menjadi modal yang modal yang
Modal kewenangan menjadi menjadi
Pemerintah Pusat. kewenangan kewenangan
Daerah provinsi. Daerah
kabupaten/ko
ta.
6 Data dan Pengelolaan data Pengelolaan data Pengelolaan
Sistem dan informasi dan informasi data dan
Informasi perizinan dan perizinan dan informasi
Penanama nonperizinan nonperizinan perizinan dan
Modal penanaman modal penanaman nonperizinan
yang terintergrasi modal yang yang
secara nasional. terintergrasi terintergrasi
pada tingkat pada tingkat
Daerah provinsi. Daerah
98
kabupaten/ko
ta.
2. pemberian insentif adalah dukungan dari pemerintah
daerah kepada penanam modal dalam rangka mendorong
penanaman modal di daerah. Artinya, pemerintah daerah
mendorong para investor atau penanam modal untuk
meningkatkan aktivitas penanaman modal nya dengan
memberikan insentif sebagai bentuk apresiasi agar para
investor semakin meningkatkan penanaman modal di
daerah. Selanjutnya, pemberian kemudahan berusaha
sebagai penyediaan fasilitas dari pemerintah daerah kepada
penanam modal untuk mempermudah setiap kegiatan
penanaman modal dalam rangka mendorong peningkatan
penanaman modal di daerah. Mengacu pada hal tersebut,
pemerintah daerah menyediakan fasilitas untuk
memberikan stimulan pada aktivitas penanaman modal
baru guna meningkatkan tumbuhnya iklim penanaman
modal secara cepat, tepat dan pesat.
3. Melalui beberapa instrumen peraturan perundang-
undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat
seperti PP 24/2018, Perpres 91/2017 dan peraturan terkait
lainnya dimaksudkan untuk memberikan kemudahan
berusaha dan percepatan pelaksanaan berusaha yang
berimplikasi pada perubahan regulasi bidang penanaman
modal di daerah sebab peraturan perundang-undangan di
tingkat pusat yang dijadikan landasan penyusunannya juga
berubah. Oleh karena itu, perlu langkah dan strategi yang