Penulis : A. Ratdomopurbo, Arief Prabowo, Dipowiguno Diterbitkan Oleh : PEMERINTAH KABUPATEN BONDOWOSO Cetakan Pertama, Desember 2022
Penulis : A. Ratdomopurbo, Arief Prabowo, Dipowiguno Penyunting: Ayu Sulistyowati Design Sampul & Tata Letak : Locca Chandra Junita Tiah Pasaka Diterbitkan Oleh : PEMERINTAH KABUPATEN BONDOWOSO Cetakan Pertama, Desember 2022 Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagaian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. Sanksi Pelanggaran Pasal 172 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 - Tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lambat 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Kawah Wurung iv
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Segala puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT - Tuhan Yang Maha Esa - atas terbitnya buku serial Kaldera Nusantara, edisi Kaldera Ijen. Sebuah kebanggaan bagi kita bahwa keberadaan Kaldera Ijen yang berada di Kabupaten Bondowoso dan sebagian Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, telah menarik para peneliti dari Pusat Survei Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk melakukan kajian dan penelitian. Kaldera Ijen dengan berbagai potensi yang dimiliki, baik dari aspek geologi, biologi dan budaya masyarakatnya menjadikan keunikan yang perlu diangkat sebagai rahmat Allah bagi manusia, sehingga masyarakat lebih mengenal keberadaan Kaldera Ijen secara lebih dekat dan ilmiah. Pembaca akan disajikan secara jelas dan komprehensif beragam fenomena alam Kaldera Ijen sebagai rangkaian panjang proses geologi yang terjadi, manifestasi yang muncul, faktor-faktor yang berpengaruh serta beragam aktivitas masyarakat yang berkembang di dalamnya. Proses geologi yang panjang dengan beragam hasil bentang alam yang begitu indah, menghasilkan beragam hipotesis hasil penelitian yang saling melengkapi. Oleh karenanya, Pemerintah Kabupaten Bondowoso mengucapkan terimakasih atas kerjasama Tim Badan Geologi ESDM dengan Pemerintah Kabupaten Bondowoso, dalam penyusunan buku Kaldera Ijen. Melalui buku ini, Pemerintah Kabupaten akan lebih mudah untuk mengenalkan potensi wilayah Bondowoso kepada publik dan sebagai tambahan literasi bagi dunia pendidikan, publikasi ilmiah, resiko bencana geologi serta sumberdaya geowisata. Akhir kata, semoga keberadaan buku Kaldera Ijen ini bisa memberikan manfaat yang luas bagi kita semua. Sekian terima kasih. Wallahul Muwaffik Ilaa Aqwamiththariq Wassalamu’alaikum Wr. Wb Bondowoso, Desember 2022 Bupati Bondowoso Drs. KH. SALWA ARIFIN Prolog Bupati Bondowoso v
Soón Solor vi
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Pusat Survei Geologi (PSG) sebagai unit teknis di bawah Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terus berkomitmen meningkatkan dan mendukung upaya-upaya kolaborasi dengan berbagai pihak dalam bidang kegeologian. Salah satu wujud kolaborasi tersebut adalah penyusunan buku Seri Kaldera Nusantara ini bersama Pemerintah Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh akumulasi pengetahuan dan pengalaman ahli-ahli geologi PSG dalam kancah survei geologi di Indonesia. Sejarah panjang telah mengukir jengkal demi jengkal ahli geologi yang memetakan dan mengkaji berbagai fenomena geologi yang dijumpai yang kini telah dimanfaatkan oleh masyarakat secara langsung. Selanjutnya, perkembangan zaman dan teknologi yang semakin cepat selaras dengan perkembangan kebutuhan data dan informasi kegeologian yang ada. Informasi-informasi dari sudut-sudut terpencil wilayah Nusantara pun seiring dengan berjalannya waktu semakin terkuak. Banyak orang ingin berkunjung ke wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak pernah diketahui dan tidak pernah diberitakan. Kesadaran bahwa wilayah Indonesia sangat luas dengan beragam budayanya menjadikan mobilitas fisik antar daerah juga berkembang. Tentu saja mobilitas tinggi penduduk juga memberikan dampak yang baik bagi perekonomian masyarakat. Kedatangan tamu-tamu bermuara pada kesadaran pentingnya informasi tentang bumi yang mereka miliki. Warisan geologi yang semula hanya diperuntukkan bagi kalangan terbatas masyarakat geologi, menjadi sebuah konsep sajian bagi masyarakat luas. Mereka semakin mencintai buminya. Buku Seri Kaldera Nusantara Ijen ini menjadi salah satu bentuk dukungan nyata PSG kepada Pemerintah Kabupaten Bondowoso guna menambah khasanah informasi kebumian salah satunya adalah proses pembentukan Kaldera Ijen yang mewarnai sejarah geologi di wilayah ini. Buku ini disusun berdasarkan kajian lapangan yang detail. Kajian geologi disampaikan dengan gaya penulisan bahasa semi populer, bahasa masyarakat umum. Akhir kata, semoga informasi yang ada di buku ini dapat memberikan pencerahan tentang sejarah geologi Kaldera Ijen. Selain sebagai acuan pembahasan selanjutnya bagi para ahli, kami berharap buku ini dapat menjadi acuan bagi pengelola wilayah di daerah dalam menyajikan buminya secara arif dan semoga buku ini memberi manfaat seluas-luasnya bagi masyarakat. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Bandung, Desember 2022 Drs. Hermansyah, M.Si. Prolog Kepala Pusat Survei Geologi vii
DAFTAR ISI Prolog Bupati Bondowoso hal v Prolog Kepala Pusat Survei Geologi hal vii Zona-Zona “Oosthoek” Jawa hal 12 TEBING TRAS JALURPANDAWA Pesona Taburan Kaldera Ijen hal 36 Bandabasa, Si Wilayah Antara Gunung-Gunung hal 2 Menuju Bondowoso hal 4 Jejak Gunung Gemunung Api Pulau Jawa hal 8 Leschenault & Jejak Awal Penelitian Danau Asam hal 20 KALDERA IJEN Runtuh Gunung Muncul Gunung hal 26 Seluas apa Kaldera Ijen? hal 34 Di Dalam Mangkuk Kaldera hal 48 Stratigrafi Regional hal 18 Ikhtisar Rekonstruksi Tektonik Jawa hal 6 viii
Kopi Kaldera hal 71 ...Dalam sketsa yang dibuat oleh Leschenault dela Tour (baca halaman Jejak Danau Asam), dia menyebut Kali Pait disebut dengan nama “Songi Pahete”. Sebutan itu sepertinyasudah ada pengaruh bahasa Madura karena sudah menggunakan istilah “Songi” dan bukan “Kali”.... Betho So’on Tonggak Rekam Letusan Kaldera Ijen hal 44 Kompleks Si Kerucut Bungsu hal 50 Bertemu “Songi Pahete” hal 58 Dari Dataran Rendah Ke Tinggi Dari Sawah Sampai Ke Kopi hal 64 Danau Kawah Ijen hal 56 “Tungku” Bumi Blawan-Ijen hal 56 Menabung Jamunapari di Kampung Kambing hal 78 Megalit Bondowoso hal 82 Paras Kasar Ijen hal 80 Pesona Kluncing hal 70 Macadamia hal 72 Sempol hal 73 Ujung-ujung Endapan Kaldera hal 46 Pesona Bondowoso hal 80 Apendiks hal 84 Daftar Pustaka hal 99 1
Selayang Pandang Bandabasa, Si Wilayah Antara Gunung-Gunung Bandabasa, sebutan Kabupaten Bondowoso (Jawa Timur), dalam bahasa Madura, salah satu etnis yang tinggal di kawasan itu. Salah satu dari tujuh kabupaten yang dikenal wilayah Tapal Kuda (Bondowoso, Banyuwangi, Jember, Lumajang, Pasuruan, Situbondo, Probolinggo). Dan, Bondowoso satu-satunya kabupaten dalam tapal kuda tanpa tepian pantai. Namun, ia kaya dengan rentetan gunung di antaranya jeGuest House di Jampit Monumen Gerbong Maut Panorama di dalam kaldera 2
Lava Plalangan Tanaman Kopi Bondowoso jak dari Gunung Ijen Tua dan meninggalkan Kaldera Ijen. Kaldera yang terbentuk dari letusan dan amblesan Gunung Ijen Tua sekitar antara tidak lebih tua dari 300 ribu tahun dan tidak lebih muda dari 50 ribu tahun lalu . Topografi pegunungan yang mengitari menjadikan suhu udara yang cukup sejuk berkisar 15,40 derajat Celsius sampai 25,10 derajat Celsius. Berdasarkan hasil survei penduduk tahun 2020, jumlah penduduknya tercatat 776.151 jiwa. Penduduk perempuan lebih besar dari laki-laki. Luas wilayahnya wilayah 1.560,10 km2. Kabupaten Bondowoso dapat dibagi menjadi tiga wilayah: wilayah barat merupakan pegunungan (bagian dari Pegunungan Iyang-Argopuro), bagian tengah berupa dataran tinggi dan bergelombang. Bagian timur sebagian berupa pegunungan Dataran Tinggi Ijen. Data dari Pemerintah Kabupaten Bondowoso, penduduk kawasan Tapal Kuda ini berpenghuni dari beberapa etnis. Etnis mayoritas adalah etnis Pendalungan dan Jawa. Etnis Pendalungan merupakan hasil sintesis dari etnis Madura dan Jawa. Warga berketurunan etnis Pendalungan, pada umumnya mendiami pesisir Utara dan Selatan pantai Jawa Timur. Mereka juga tinggal di Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, dan Bondowoso. Etnis Jawa sendiri lebih banyak dijumpai di wilayah selatan Tapal Kuda seperti Lumajang dan Jember bagian selatan dan Banyuwangi bagian selatan. Masyarakat etnis lainnya Using, Tengger, Bali, Bugis, Tionghoa, dan Arab. Nah, panorama Bondowoso tak lepas dari lukisan indah alam Kaldera Ijen. Menjelajah wilayah tanpa tepian pantai ini Anda mendapatkan pesona dari daratan hingga ke ketinggiannya. Mulai dari pemandangan hamparan sawah, kopi, macadamia, hingga keindahan air terjun. Tentunya, tak lupa merekam nuansa matahari pagi hari di Kaldera Ijen. Yuk, nikmati Geopark Ijen. Sosial budayanya juga tak kalah mempesona. Batik, tarian Singo Ulung khas Bondowoso, wisata Paralayang yang mengundang adrenalin, kopi Ijen yang mendunia, hmmm...nikmati sesap di sebuah cangkir hangatnya. Sebelum pulang, jangan lupa buah tangan tape singkong Bondowoso, ya. Selamat menyusuri dan menikmati wisata alam geologinya, Kaldera Ijen, bersama sosial budayanya... 3
N Surabaya Menuju Bondowoso KA Ranggajati (Foto oleh Alqhaderi Aliffianiko) 4
Banyuwangi Jember Situbondo Bondowoso Legenda Jalur Kereta Api Jalur Udara Jalur Laut Jalur Darat Bondowoso, wilayah di timur Jawa yang memiliki daya tarik wisata alam, kuliner, serta budaya. Runutan situs geologi seperti Kawah Wurung, Batu So’on Solor, dan lainnya yang erat kaitannya dengan proses Kaldera Ijen dikembangkan bersama dengan kekayaan budaya dan hayati menyatu dalam konsep Geopark Ijen. Menuju Bondowoso, Anda memiliki beberapa alternatif jalur. Seperti di peta, garis warna mungkin bisa membantu Anda memutuskan jalur transportasinya. Jalur udara, pilihlah jurusan ke Bandara Internasional Banyuwangi. Lalu lanjut menggunakan jalur darat, bisa lewat Selatan (melalui Jember) maupun lewat jalur tengah melalui kompleks Kaldera ijen. Ya, kira-kira kedua jalur itu Anda membutuhkan waktu sekitar lima jam. Jalur darat itu bisa dibilang paling mudah. Menumpang bus, dari manapun Anda berangkat, tinggal memilih tiket menuju Bondowoso di terminal bus maupun melalui aplikasi daring. Begitu pula memilih memakai kendaraan sendiri (mobil, motor), teknologi menyediakan akses aplikasi dari gawai Anda untuk menjadi penunjuk jalan secara mandiri. Naik kereta api, seru juga! Pilihannya bisa dari beberapa titik stasiun kereta di Pulau Jawa. Titik berhentinya tetap saja di Stasiun Kalisat di Jember. Lalu, lanjut menggunakan kendaraan menuju Bondowoso. Mander slamet... 5
Ikhtisar Rekonstruksi Tektonik Jawa OLIGOSEN AWAL EOSEN TENGAH EOSEN AWAL Layaknya cerita babad Tanah Jawa yang selalu menarik untuk dikaji, cerita pembentukan Pulau Jawa juga tidak kalah dramatisnya untuk ditelusuri. Berdasarkan kajian dan pemodelan ilmiah para penelisik bumi, proses yang rumit pembentukan pulau ini telah berlangsung selama jutaan tahun silam hingga kini. Namun cerita babad geologi Jawa dapat disederhanakan menjadi beberapa tahapan dalam cerita berikut ini. Pada periode antara 80-45 juta tahun lalu, Pulau Jawa belum benar-benar terbentuk sempurna, hanya bagian barat saja bersama dengan Sumatra yang telah menunjukkan bentuknya. Ketiadaan batuan gunung api misalnya, menjadi salah satu bukti daerah ini belum menunjukkan keaktifan batas tektoniknya. Kira-kira sekitar Eosen Tengah (45 juta tahun lalu), cerita pembentukan Pulau Jawa yang membentang dari bagian barat hingga bagian timur dimulai. Pada zaman ini mikro lempeng Jawa bagian timur bergabung dengan lempeng tepian Sundaland penyusun Jawa bagian barat. Selanjutnya, lingkungan tektonik aktif mulai berkembang yang ditandai dengan terjadinya proses penunjaman lempeng samudera Indo-Australia di bawah tepian lempeng Eurasia (Sundaland). Ya, proses tersebut menghasilkan aktivitas kegunungapian di beberapa titik sebagai buktinya. Kala Oligosen Awal (30 juta tahun lalu) menjadi periode kejayaan gunung api di Pulau Jawa hingga Sumatra. Hal tersebut terjadi seiring berkembangnya proses penunjaman atau subduksi di selatan Jawa menghasilkan deretan busur gunung api di Pulau Jawa. Sebagai buktinya, ditemukan batuan gunung api yang berumur setara dengan periode ini. Namun, Pulau Jawa belum sesempurna bentuknya seperti saat ini.
7 Sumber : Diadaptasi dari“Late Jurassic–Cenozoic reconstructions of the Indonesian region and the Indian Ocean,” oleh R. Hall, 2012, Tectonophysics, 570-571, p. 28, 29, 32, 34, 35. Hak Cipta 2012 oleh Elsevier B.V. PLIOSEN AKHIR MIOSEN AKHIR MIOSEN AWAL Pada periode awal subduksi hingga kejayaan gunung api (sekitar 45 hingga 30 juta tahun lalu), subduksi Pulau Jawa masih relatif memanjang berarah barat laut-tenggara. Selanjutnya, pada kala Miosen Awal (20 juta tahun lalu), secara bertahap proses subduksi Pulau Jawa mulai berubah arah menjadi relatif barat-timur. Hal tersebut dipengaruhi oleh pergerakan lempeng tektonik utara Australia yang sangat aktif bergerak ke utara di wilayah timur Indonesia. Lalu, tunjaman lempeng Indo Australia ke utara menghasilkan subduksi selatan Pulau Jawa menjadi memanjang berarah relatif barat laut pada sekitar 10 juta tahun lalu (Miosen Akhir). Selain itu, subduksi tersebut terus memanjang hingga wilayah Bali, Lombok, hingga Nusa Tenggara sehingga jajaran gunung api berkembang dari Jawa hingga Nusa Tenggara. Pada kisaran 2 juta tahun lalu (Neogen-Kuarter), tatanan tektonik Pulau Jawa secara khusus dan Indonesia secara umum telah terbentuk menjadi seperti sekarang ini. Subduksi di selatan Jawa (Busur Sunda) yang memanjang hingga ke Nusa Tenggara berhenti di sekitar Pulau Timor. Keberadaan banyak gunung api aktif pada kala ini menandai kejayaan gunung api Kuarter di sepanjang Jawa hingga Nusa Tenggara. Apakah semua berhenti di proses ini saja? Tidak. Proses dinamika bumi ini akan berkembang terus menerus dalam skala ruang dan waktu geologi dari puluhan, ratusan hingga jutaan tahun mendatang, kemungkinan.
jejak gunung gemunung api pulau jawa Daratan Pulau Jawa, membentang 1.000 kilometer (km) dari barat ke timur. Daratan ini sangat dipengaruhi oleh jajaran banyak gunung api yang ada. Proses penyempurnaan hingga berwujud seperti sekarang ini, para ahli memperkirakan mulainya sejak 45 juta tahun lalu, ketika itu masa Eosen. Berasal dari batuan-batuan hasil aktivitas kegunungapian itulah para ahli meneliti dan mengkaji karakteristik, komposisi hingga penanggalan umur radiometri. Hasil penelitian menyingkap jawaban asal usul dan umur jajaran gunung api dari batuannya. Siap-siap, mari meniti jejak gunung-gunung api Pulau Jawa! Proses subduksi Dinamika bentangan Pulau Jawa, berawal dari proses subduksi saat 80 juta-140 juta tahun lalu. Ketika itu lempeng Samudera Indo-Australia menyusup ke bawah tepian tenggara lempeng Benua Eurasia atau yang dikenal sebagai Sundaland. Proses subduksi ini menginisiasi lahirnya jajaran gunung api. Dalam kajian yang dilakukan oleh Setijadji, dkk (2006) jejak-jejak aktivitas magmatisme dan vulkanisme (kegunungapian) di Jawa dapat ditelusuri. Pada awal proses subduksi Jawa sekitar 45 hingga 30 juta tahun (Eosen Awal-Akhir), jajaran gunung api yang lahir berbeda dengan saat ini. Bentangan subduksi yang relatif berarah barat daya-tenggara pada periode ini terhitung sebagai subduksi yang belum begitu dewasa. Tinggalan batuan gunung api tersebut dapat dijumpai di daerah Bayah (Lebak), Ciletuh (Sukabumi), Jatibarang (Indramayu), Karangsambung (Kebumen), dan Pacitan (Jawa Timur). Terbatasnya lokasi yang menyingkapkan jejak-jejak batuan ini menyebabkan diskusi dan perdebatan bagi para ahli geologi untuk mempertahankan teori masing-masing. Karena kajian dari tiga orang ahli geologi mampu menghasilkan lebih dari tiga teori. Ya, begitulah para ahli menggeluti pekerjaannya dengan segala kemungkinan-kemungkinan teori yang bakal didapat. Kejayaan gunung api purba Kembali kita meniti proses subduksi yang semakin berkembang. Memasuki periode seGambaran tiga dimensi proses penyusupan lempeng Samudera Indo-Australia di bawah Pulau Jawa pada saat ini. Sumber: Earth Observatory Singapore 8
Ciletuh-Ciemas Karimunjawa islands Bawean Island Bayah (south) Jatibarang Karangsambung Bukti terbatas Bukti kuat Paleosen-Eosen Pacitan Tangkuban Prahu 106°E 6°S 6°S 8°S 108°E 110°E 112°E 114°E 108°E 110°E 112°E 114°E 0 100 200km N Ciletuh-Ciemas Karimunjawa islands Bawean Island Bayah (south) Jampang Pangandaran Karangsambung Kulon Progo Parangtritis Tulungagung Blitar Lumajang Merubetiri Oligosen Pacitan Bayat Tasikmalaya 106°E 6°S 8°S 6°S 8°S 108°E 110°E 112°E 114°E 108°E 110°E 112°E 114°E 0 100 200km N Ciletuh-Ciemas Karimunjawa (Parang island) Bawean Island Ujung Kulon Jampang (north) Cineam Banjar Kebumen Kulon Progo Karangkobar Borobudur Selogiri Sudimoro-Ngalang Trenggalek Blitar Lumajang Merubetiri Miosen Akhir Ponorogo (west) Bayah (south) Bayah (north) Cianjur (west) Wayang (basement) Tasikmalaya 106°E 6°S 8°S 6°S 8°S 108°E 110°E 112°E 114°E 108°E 110°E 112°E 114°E 0 100 200km N Saguling Karimunjawa (Gentingisland) Bawean Island Ujung Kulon Wayang (basement) Banjar (west) Kulon Progo Karangkobar Ungaran (basement) Petungkriyono Sudimoro-Ngalang Trenggalek Ringgit (basement) Lamongan (basement) Iyang-Argopuro Pliosen (basement) Lurus (basement) Bayah (east) Bayah (west) Cianjur (west) Kuningan 106°E 6°S 8°S 6°S 8°S 108°E 110°E 112°E 114°E 108°E 110°E 112°E 114°E 0 100 200km N 6°S 106°E 108°E 110°E 112°E 114°E Krakatau Danau Salak MalabarTangkuban Prahu 200 km 300 km 500 km 400 km 600 km 100 km Bawean island Java sea Ceremai Muria DiengN Sebaran lokasi yang memiliki rekaman jejak batuan gunung api pada periode awal pembentukan Pulau Jawa sekitar 45 juta tahun lalu kitar 30 juta-15 juta tahun lalu (Oligosen-Miosen Awal) ini aktivitas magmatisme-vulkanisme semakin intens. Intensitas kegiatan kegunungapian yang tinggi pada masa ini digadang-gadang sebagai masa kejayaan gunung api purba di Jawa. Bukti jejaknya dapat ditemukan di wilayah selatan hingga bagian tengah daratan pulau. Secara umum, batuan yang terbentuk di wilayah tersebut memiliki karakteristik saling mirip berupa batuan basal hingga andesit. Batuan dengan warna gelap hingga abu-abu dimana oleh van Bemmelen (1949) dikenal sebagai Formasi Andesit Tua (Old Andesite Formation). Jejak-jejaknya dapat dijumpai di wilayah selatan daratan Pulau Jawa. Runtunan dari barat ke timur Jawa yaitu : Bayah, Ciletuh-Ciemas, Jampang, Tasikmalaya, Pangandaran, Karangsambung, Kulon Progo, Parangtritis, Bayat, Pacitan, Tulungagung, Blitar, Lumajang, dan Merubetiri. Fenomena kegunungapian yang intensif terus berlanjut sampai masa sekitar 10 juta tahun lalu (Miosen Akhir). Pada periode ini, sebaran gunung api tidak hanya berkembang di wilayah selatan, namun berkembang di bagian tengah, seperti di daerah Cianjur (Jawa Barat) dan Majenang (Jawa Tengah). O... ya, sebelum lebih jauh, sebaran runtunan gunung api di Pulau Jawa terbagi menjadi beberapa lajur busur gunung api. Ada jajaran gunung api yang ditemukan di wilayah selatan, tengah, hingga utara pulau, sehingga terkesan jalurnya berpindah-pindah. Banyak faktor yang memunculkan kesan itu, di antaranya aspek ketebalan dan berat jenis kerak Samudera Indo-Australia yang menyusup ke dalam bumi (mantel) dari barat ke timur Jawa sangat bervariasi. Pergerakan lempeng samudra ini memiliki kecepatan bervariasi sejak awal subduksi Jawa hingga kini. Saat ini diperkirakan kecepatan lempeng Indo-Australia bergerak ke utara dengan kecepatan sekitar 6 sentimeter (cm)-7 cm setiap tahunnya. Kecepatan gerakan lempeng ini mempengaruhi sudut penunjamannya. Variasi sudutnya tercatat dari 60 derajat-75 derajat. Jawa bervariasi dari 60-75 derajat dan menyusup ke arah perut bumi dengan kedalaman mencapai 600 km. Dinamis, kan, proses subduksi Pulau Jawa ini? Mari kita melanjutkan meniti jejak-jejak gunung api ini. Sekitar 5 juta tahun yang lalu, di periode Pliosen, intensitas kegunungapian berkurang di bagian tengah hingga selatan. Akan tetapi, tetap aktif berkembang di bagian utara pulau. Ahli menemukan contoh jejak batuannya di daerah Karimunjawa (Jawa Tengah) dan Ringgit-Beser-Lurus (Jawa Timur). Bila membandingkan batuan dari Formasi Andesit Tua yang dominan basal-andesit, 9
Ciletuh-Ciemas Karimunjawa islands Bawean Island Bayah (south) Jatibarang Karangsambung Bukti terbatas Bukti kuat Paleosen-Eosen Pacitan Tangkuban Prahu 106°E 6°S 6°S 8°S 108°E 110°E 112°E 114°E 108°E 110°E 112°E 114°E 0 100 200km N Ciletuh-Ciemas Karimunjawa islands Bawean Island Bayah (south) Jampang Pangandaran Karangsambung Kulon Progo Parangtritis Tulungagung Blitar Lumajang Merubetiri Oligosen Pacitan Bayat Tasikmalaya 106°E 6°S 8°S 6°S 8°S 108°E 110°E 112°E 114°E 108°E 110°E 112°E 114°E 0 100 200km N Ciletuh-Ciemas Karimunjawa (Parang island) Bawean Island Ujung Kulon Jampang (north) Cineam Banjar Kebumen Kulon Progo Karangkobar Borobudur Selogiri Sudimoro-Ngalang Trenggalek Blitar Lumajang Merubetiri Miosen Akhir Ponorogo (west) Bayah (south) Bayah (north) Cianjur (west) Wayang (basement) Tasikmalaya 106°E 6°S 8°S 6°S 8°S 108°E 110°E 112°E 114°E 108°E 110°E 112°E 114°E 0 100 200km N Saguling Karimunjawa (Gentingisland) Bawean Island Ujung Kulon Ungaran (basement)Petungkriyono Bayah (east) Bayah (west) Cianjur (west) Kuningan 106°E 6°S 6°S 108°E 110°E 112°E 114°E 0 100 200km N Jejak-jejak kegunungapian dominan berada di wilayah selatan dan tengah Pulau Jawa pada kala Miosen Akhir atau sekitar 10 juta tahun lalu Bukti terbatas Bukti kuat Paleosen-Eosen Pacitan 8°S 108°E 110°E 112°E 114°E Ciletuh-Ciemas Karimunjawa islands Bawean Island Bayah (south) Jampang Pangandaran Karangsambung Kulon Progo Parangtritis Tulungagung Blitar Lumajang Merubetiri Oligosen Pacitan Bayat Tasikmalaya 106°E 6°S 8°S 6°S 8°S 108°E 110°E 112°E 114°E 108°E 110°E 112°E 114°E 0 100 200km N Ciletuh-Ciemas Karimunjawa (Parang island) Bawean Island Ujung Kulon Jampang (north) Cineam Banjar Kebumen Kulon Progo Karangkobar Borobudur Selogiri Sudimoro-Ngalang Trenggalek Blitar Lumajang Merubetiri Miosen Akhir Ponorogo (west) Bayah (south) Bayah (north) Cianjur (west) Wayang (basement) Tasikmalaya 106°E 6°S 8°S 6°S 8°S 108°E 110°E 112°E 114°E 108°E 110°E 112°E 114°E 0 100 200km N Saguling Karimunjawa (Gentingisland) Bawean Island Ujung Kulon Wayang (basement) Banjar (west) Kulon Progo Karangkobar Ungaran (basement) Petungkriyono Sudimoro-Ngalang Trenggalek Ringgit (basement) Lamongan (basement) Iyang-Argopuro Pliosen (basement) Lurus (basement) Bayah (east) Bayah (west) Cianjur (west) Kuningan 106°E 6°S 8°S 6°S 8°S 108°E 110°E 112°E 114°E 108°E 110°E 112°E 114°E 0 100 200km N 108°E 110°E 6°S 106°E 108°E 110°E 112°E 114°E 8°S Krakatau Danau Salak Malabar Tangkuban Prahu 200 km 300 km 500 km 400 km 600 km 100 km Bawean island Java sea Ceremai Galunggung Slamet Depth of subducted slab (km) Sumbing Merapi Ungaran Muria Lawu Pandan Penanggungan Ringgit Tengger Wilis Kelut Semeru LamonganRaung Ijen Dieng Papandayan West Java Central Java East Java Gunung Api depan busur Gunung Api tunggal Gunung Api trench-side Gunung Api belakang busur Gunung Api backarc-side Gunung Api Kuarter 0 75 150 225 300km N Jejak aktivitas magmatisme-vulkanisme pada Oligosen atau sekitar 30-15 juta tahun lalu yang membentang di wilayah selatan Pulau Jawa batuan jenis ultra potasik mendominasi batuan gunung api dari Karimunjawa dan Ringgit-Beser-Lurus. Batuan jenis ultra potasik ini merupakan penanda terjadinya proses peleburan magma di kedalaman 200 km. Lalu bergerak menembus lapis-lapis bumi hingga mencapai permukaan bumi. Sungguh rumit membayangkannya... Mangkuk kawah besar Nah, pada masa sekarang ini kita berada pada zaman Kuarter. Lagi-lagi, proses subduksinya dinamis dan berbeda dengan zaman sebelumnya. Pada zaman Kuarter ini runtunan gunung api di daratan Jawa kembali intens. Aktivitas kegunungapian mengisi bagian tengah pulau yang membentang dari barat hingga timur, mulai Krakatau hingga Kompleks Ijen-Raung. Setidaknya selama zaman Kuarter ini, ahli mampu mengidentifikasi sekitar 50 gunung aktif dan tidak aktif, termasuk kompleks gunung (kumpulan beberapa gunung yang jaraknya berdekatan). Beberapa diantaranya meninggalkan morfologi sisa mangkuk kawah yang sangat besar mencapai beberapa kilometer yang dikenal sebagai kaldera. Mangkuk kaldera besar inilah yang menandai adanya letusan yang sungguh besar kekuatannya (baca Apendiks). Keberadaan tatanan geologi berupa kegiatan subduksi dan jajaran gunung api aktif ini memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya, Pulau Jawa memiliki sumber daya alam melimpah, tanah yang sub10
ur, sumber air pegunungan yang bersih guna mendukung kehidupan manusia di dalamnya. Negatifnya, kita harus menyadari betapa potensi ancaman kebencanaan bisa muncul setiap saat. Maka masyarakat harus memahami pentingnya mitigasi bencana. Mari kita bijak memanfaatkan alam untuk kesejahteraan dan sigap melindungi diri bersama-sama untuk selamat dari ancaman bencana geologi kapan pun terjadi. 108E 110E 112E 114E Ciletuh-Ciemas Karimunjawa (Parang island) Bawean Island Ujung Kulon Jampang (north) Cineam Banjar Kebumen Kulon Progo Karangkobar Borobudur Selogiri Sudimoro-Ngalang Trenggalek Blitar Lumajang Merubetiri Miosen Akhir Ponorogo (west) Bayah (south) Bayah (north) Cianjur (west) Wayang (basement) Tasikmalaya 106°E 6°S 8°S 6°S 8°S 108°E 110°E 112°E 114°E 108°E 110°E 112°E 114°E 0 100 200km N Saguling Karimunjawa (Gentingisland) Bawean Island Ujung Kulon Wayang (basement) Banjar (west) Kulon Progo Karangkobar Ungaran (basement) Petungkriyono Sudimoro-Ngalang Trenggalek Ringgit (basement) Lamongan (basement) Iyang-Argopuro Pliosen (basement) Lurus (basement) Bayah (east) Bayah (west) Cianjur (west) Kuningan 106°E 6°S 8°S 6°S 8°S 108°E 110°E 112°E 114°E 108°E 110°E 112°E 114°E 0 100 200km N 108°E 110°E 6°S 106°E 108°E 110°E 112°E 114°E 8°S Krakatau Danau Salak Malabar Tangkuban Prahu 200 km 300 km 500 km 400 km 600 km 100 km Bawean island Java sea Ceremai Galunggung Slamet Depth of subducted slab (km) Sumbing Merapi Ungaran Muria Lawu Pandan Penanggungan Ringgit Tengger Wilis Kelut Semeru LamonganRaung Ijen Dieng Papandayan West Java Central Java East Java Gunung Api depan busur Gunung Api tunggal Gunung Api trench-side Gunung Api belakang busur Gunung Api backarc-side Gunung Api Kuarter 0 75 150 225 300km N Perkembangan jejak kegunungapian di Pulau Jawa dominan berada di bagian utara pulau pada kala Pliosen atau sekitar 5 juta tahun lalu Keberadaan sebaran gunung api Pulau Jawa pada zaman Kuarter baik yang aktif maupun tidak aktif umumnya berada di bagian tengah pulau Jampang Pangandaran Kulon Progo Parangtritis Tulungagung Blitar Lumajang Merubetiri Oligosen Pacitan Bayat 8°S 8°S 108°E 110°E 112°E 114°E Ciletuh-Ciemas Karimunjawa (Parang island) Bawean Island Ujung Kulon Jampang (north) Cineam Banjar Kebumen Kulon Progo Karangkobar Borobudur Selogiri Sudimoro-Ngalang Trenggalek Blitar Lumajang Merubetiri Miosen Akhir Ponorogo (west) Bayah (south) Bayah (north) Cianjur (west) Wayang (basement) Tasikmalaya 106°E 6°S 8°S 6°S 8°S 108°E 110°E 112°E 114°E 108°E 110°E 112°E 114°E 0 100 200km N Saguling Karimunjawa (Gentingisland) Bawean Island Ujung Kulon Wayang (basement) Banjar (west) Kulon Progo Karangkobar Ungaran (basement) Petungkriyono Sudimoro-Ngalang Trenggalek Ringgit (basement) Lamongan (basement) Iyang-Argopuro Pliosen (basement) Lurus (basement) Bayah (east) Bayah (west) Cianjur (west) Kuningan 106°E 6°S 8°S 6°S 8°S 108°E 110°E 112°E 114°E 108°E 110°E 112°E 114°E 0 100 200km N 108°E 110°E 6°S 106°E 108°E 110°E 112°E 114°E 8°S Krakatau Danau Salak Malabar Tangkuban Prahu 200 km 300 km 500 km 400 km 600 km 100 km Bawean island Java sea Ceremai Galunggung Slamet Depth of subducted slab (km) Sumbing Merapi Ungaran Muria Lawu Pandan Penanggungan Ringgit Tengger Wilis Kelut Semeru LamonganRaung Ijen Dieng Papandayan West Java Central Java East Java Gunung Api depan busur Gunung Api tunggal Gunung Api trench-side Gunung Api belakang busur Gunung Api backarc-side Gunung Api Kuarter 0 75 150 225 300km N Sumber gambar: Dimodifikasi dari “Cenozoic Island Arc Magmatism in Java Island (Sunda Arc, Indonesia): Clues on Relationships between Geodynamics of Volcanic Centers and Ore Mineralization,” oleh L.D. Setijadji dan S. Kajino, 2006, Resource Geology, vol. 56, no. 3, p. 273-274. Hak Cipta 2006 oleh The Society of Resource Geology. 11
Kompleks G. Argopuro Bondowoso Dataran Puger Cekungan Antar Gunung G. Ringgit-Beser Perbukitan Antiklinorium Pegunungan Selatan Merubetiri ZONA-ZONA “OOSTHOEK” JAWA ZONA-ZONA “OOSTHOEK” JAWA 12
Banyuwangi Kompleks Kaldera Ijen Dataran Rogojampi Karst Alas Purwo Dataran Situbondo G. Raung G. Baluran PULAU BALI Kawah Ijen Perbukitan Kalipuro Utara Ketika mengamati bentang alam di ujung timur Pulau Jawa, melalui citra satelit, kita melihat bentuk daratan yang seolah-olah berupa moncong menyempit. Wilayah ini masuk dalam administrasi Indonesia, Provinsi Jawa Timur. Van Bemmelen, seorang geolog Belanda, dalam bukunya The Geology of Indonesia terbitan tahun 1941, menyebut daratan seperti moncong itu sebagai “Oosthoek”, yang artinya wilayah pojok timur. 13
Nah, menariknya di zona “Oosthoek” ini terdapat mangkuk kawah berdiameter oval dari utara ke selatan sekitar 12 kilometer (km) dan dari barat ke timur sekitar 15 km. Ya, mangkuk kawah itu Kaldera Ijen. Lengkungan mangkuk Kaldera Ijen di bagian utara membentuk garis lengkung yang jelas. Sedangkan garis lengkungan mangkuk di bagian selatan tidak terlihat karena tertutup oleh gunung api tidak aktif. Yaitu, Gunung Suket, Gunung Jampit, Gunung Rante, dan Gunung Merapi. Hanya satu Gunung yang saat ini aktif yakni Gunung Ijen (Kawah Ijen). Sebelum adanya amblesan Gunung Ijen Tua yang membentuk kaldera, bagaimana sebenarnya zona fisiografi geologi wilayah “oosthoek” tersebut? Yuk, kita menyusuri bersama... Daratan di bagian timur Jawa memiliki jarak daratan dari selatan ke utara mencapai 200 km. Lalu daratan itu menyempit di ujung timur pulau dengan jarak dari pantai utara ke pantai selatan bervariasi antara 50-110 km. Daratan pojok timur ini berbatasan di bagian utara dengan Selat Madura, bagian timur dengan Selat Bali, bagian selatan dengan Samudra Hindia, dan bagian barat tetap berupa daratan lain Pulau Jawa. Beberapa geolog, seperti Van Bemmelen (1949) dan Smyth, dkk. (2005), membagi karakteristik fisiografi dan geologi wilayah pojok timur Pulau Jawa ini menjadi beberapa zona. Zona tersebut meliputi zona selatan, zona tengah, dan zona utara. Zona Selatan Pegunungan, dataran aluvial, dan pantai, mendominasi geomorfologi zona selatan. Coba menyusuri dari barat ke timur berturut-turut dijumpai dataran aluvial Puger di wilayah Jember, Kompleks Pegunungan Selatan Merubetiri dengan titik tertingginya 1.223 mdpl, dataran Rogojampi-Grojogan serta perbukitan karst Alas Purwo di Banyuwangi. Morfologi dataran Puger dan Rogojampi-Grojogan didominasi batuan endapan aluvial yang berasal dari erosi batuan gunung api muda. Batuan asalnya dari Kompleks Kaldera Ijen-Raung maupun Pegunungan Argopuro. Batuan ekstrusi kubah lava gunung api membentuk struktur kekar kolom di Kompleks Pegunungan Selatan Merubetiri dipandang dari perahu. 14
Namun jika diperhatikan, dua kawasan dataran aluvial di zona selatan ini seperti mengapit pegunungannya. Geolog memperkirakan kondisi ini akibat adanya cacahan sesar yang membentuk blok-blok berupa pegunungan tinggi dan rendah. Batuan utama penyusun zona pegunungan selatan Merubetiri berupa batuan gunung api berumur Oligosen-Miosen Awal (sekitar 30 juta-15 juta tahun). Kondisi ini merepresentasikan masa kejayaan gunung api purba. Jenis batuannya bervariasi dari basal, andesit, hingga riolit. Riolit ini hasil aktivitas gunung api purba yang berkembang di lingkungan laut dangkal yang membentuk daratan sempit. Selain batuan gunung api, zona pegunungan ini juga tersusun oleh batuan sedimen seperti batupasir, batulempung, serta batugamping hasil pengendapan pada lingkungan laut dangkal yang juga berumur Oligosen-Miosen Akhir. Nah, sejumlah geolog mengidentifikasi adanya unit granodiorit Merawan. Unit ini terjadi karena adanya intrusi magma menerobos batuan berumur Oligosen-Miosen Akhir. Lalu, magmanya membeku membentuk jenis diorit serta granodiorit. Menuju Alas Purwo, kita melihat perbukitan bergelombang rendah. Perbukitan ini tersusun berupa batugamping berumur Miosen Akhir (sekitar 13-5 juta tahun) membentuk morfologi karst. Beberapa tempat dijumpai pula batuan gunung api berupa lava basal dan andesit. Memasuki kala Pliosen-Pleistosen (sekitar 1-5 juta tahun lalu), batugamping mengendap dan menjadikan penurunan permukaan air laut serta adanya proses tektonik berupa pengangkatan daratan. Peristiwa ini menjadikan batuan-batuan tua (batuan sedimen) miring atau condong berlapis-lapis ke arah selatan. Zona Tengah Morfologi kompleks gunung api muda baik yang masih aktif maupun tidak, cekungan atau lembah antar gunung, perbukitan sisa, dataran, dan pantai, mendominasi zona di wilayah tengah. Berturut-turut dari barat ke timur, yakni kompleks Gunung Argopuro, cekungan atau lembah antar gunung Bondowoso, sisa kerucut Gunung Sulek-Meranding, Kompleks Kaldera Ijen bersama dengan Gunung Raung, dan dataran aluvial Banyuwangi. Pada zona kompleks Gunung Argopuro (gunung api tidak aktif), batuan gunung api tersusun berupa selang-seling lava basal, andesit dan piroklastik tuf. Pembentukannya diperkirakan berumur Pleistosen Akhir (700 ribu-100 ribu tahun lalu). Batuan ini mengalami proses sesar yang intensif dengan pola arah barat laut ke tenggara. Selanjutnya menyusuri kompleks gunung api muda yang pembentukannya berumur Pleistosen Akhir di sebelah timurnya, yaitu Kompleks Kaldera Ijen. Morfologi kalderanya berdiameter sekitar 15 km. Bagian selatan kalderanya berjajar gunung api muda (barat daya ke timur laut) : Gunung Raung, Gunung Jampit, Gunung Rante, dan Gunung Merapi. Jajaran gunung api muda ini terbentuk akibat adanya zona lemah struktur geologi dan menjadi tempat keluarnya magma dari perut bumi ke permukaan. Gunung Raung masuk dalam daftar gunung api aktif bersama dengan Kawah Ijen (2.386 mdpl), di bagian barat lereng Gunung Merapi. Meski memiliki kemiripan nama dengan gunung api aktif Merapi yang berada di Yogyakarta dan Jawa Tengah, Gunung Merapi di Ijen ini bukan sebagai gunung api aktif. Lebih lanjut, terdapat cekungan atau lembah antar gunung yang kini menjadi wilayah pemukiman penduduk Bondowoso. Posisi lembah dibatasi oleh Kompleks Gunung Argopuro di barat, Kompleks Kaldera Ijen dan Gunung Raung sebelah timur serta Gunung Ringgit Beser sebelah utara utara, Pelatarannya relatif datar dan secara geologi batuan penyusunya adalah material endapan hasil erosi dari batuan gunung api di sekitarnya. Tatanan geologi seperti ini mendukung ketersediaan air yang melimpah. Jajaran gunung seolah-olah menjadi tadah air alami. Endapan gunung api yang mengalasi daer15
ah Bondowoso pun unsur tanahnya subur sehingga mendukung aktivitas masyarakat setempat, terutama di bidang pertanian, perkebunan. Ketersediaan air serta endapan yang mengalasinya menjadi dua alasan berkembangnya peradaban di Bondowoso. Begitu pula di bagian timur kompleks Kaldera Ijen, pelatarannya merupakan endapan hasil rombakan batuan gunung api sekitarnya hingga pantai. Kawasan ini menjadi Banyuwangi, dengan karakteristik wilayah seperti Bondowoso. Bergeser ke timur Kompleks Kaldera Ijen, terdapat morfologi perbukitan rendah. Daerah itu Kalipuro, Banyuwangi. Menurut Samodra, dkk. (2019), perbukitan ini tersusun atas lava basal dan batugamping berfosil yang mengandung fragmen pecahan lava itu sendiri. Berdasarkan analisis fosil, batugampingnya memiliki umur batuan sekitar Pliosen Awal (5 juta-3 juta tahun). Keberadaan fenomena ini menunjukkan runtunan batuan gunung api dan batuan sedimen berumur tua kira-kira dari Miosen hingga Pliosen Awal inilah yang mengalasi Kompleks Kaldera Ijen. Zona Utara Morfologi zona utara bervariasi dari barat ke timur, berupa perbukitan sisa vulkanik kompleks Gunung Ringgit-Beser, dengan ketinggian 1.303 meter dari permukaan laut (mdpl), pantai, perbukitan bergelombang rendah yang sebagian berangsur berubah Batuan vulkanik yang dilapisi oleh material karbonat hasil pelarutan batugamping yang mengalasi Kompleks Kaldera Ijen 16
menjadi dataran Situbondo, dan kerucut gunung api Gunung Baluran 1.247 mdpl. Kompleks Gunung Ringgit-Beser tersusun atas batuan gunung api berupa breksi, lava, dan piroklastik tuf. Menariknya, jenis lava dari kompleks gunung yang sudah punah ini adalah lava ultrapotasik. Lava yang sangat rendah kandungan silika, berumur sekitar 1.2 juta-0.6 juta tahun (Pleistosen akhir). Menuju ke arah timur terdapat morfologi perbukitan yang tersusun atas selang-seling batuan sedimen batupasir, konglomerat, batuan vulkaniklastik formasi menuran dan batugamping yang kaya fosil foraminifera Runtunan batuan tersebut berumur sekitar Miosen Akhir-Pliosen (11 juta-3 juta tahun) dan terbentuk di lingkungan laut dalam hingga dangkal. Proses sedimentasi berlanjut dan menghasilkan pengendapan batuan sedimen batupasir tufan dan karbonatan dari Formasi Leprak yang berumur Pliosen awal-akhir (5 juta-2,6 juta tahun). Hal ini terjadi karena pada masa Miosen hingga Pliosen, zona ini merupakan area laut terbuka, seperti Selat Madura. Area itu mendapat pasokan material sedimen hasil erosi batuan dari wilayah kompleks pegunungan Merubetiri di selatan. Kemudian, lapis-lapis batuan Miosen-Pliosen mengalami tekanan yang kuat sehingga membentuk lipatan-lipatan antiklin yang memanjang dari barat ke timur. Tekanan kuat itu dampak dari proses tektonik besar pada Pliosen-Pleistosen (3 juta-0,5 juta tahun lalu). Batuan yang terlipat tersebut membentuk perbukitan antiklinorium. Perbukitan itu lalu tertutup material sedimen rombakan gunung api maupun endapan piroklastik pada zaman Kuarter yang membentuk dataran. Pada bagian ujung timur terdapat kerucut gunung api terisolir, yakni Gunung Baluran. Gunung ini berumur sekitar lebih muda dari 50 ribu tahun (Kuarter) dengan batuan utamanya berupa lava, breksi, dan piroklastik tuf. Penampakan yang ada di zona utara, tengah sampai ke zona selatan ini terbentuk akibat terjadinya dinamika pergerakan bumi. Seru, kan, dinamika bumi ini dengan menyusuri zona-zona “oosthoek” Pulau Jawa. Yuk, menyelami buku Kaldera Ijen ini menuju halaman-halaman selanjutnya yang tak kalah seru. 17
Stratigrafi Regional Zona Utara Zona Tengah Zona Selatan Batuan gunung api dan batuan sedimen Zona Selatan Intrusi Batuan sedimen Zona Utara Batuan gunung api Ringgit-Beser Batuan gunung api Baluran Batuan gunung api Kompleks Argopuro, Gunung Sulek dan Kaldera Ijen Batuan gunung api Gunung Raung Endapan aluvial Oligosen ~30 jt Miosen Tengah ~13 jt Miosen Akhir ~5 jt Pliosen ~2.6 jt Pleistosen Akhir ~1.2 jt Holosen ~11 ribu tahun *jt = juta tahun sebagian mengisi ZonaTengah sebagian mengisi ZonaTengah 18
Periode 1 Masa kejayaan gunungapi pada Oligosen-Miosen Akhir disertai pengendapan batuan sedimen yang terbentuk pada lingkungan laut dangkal hingga lereng bawah laut. Pada Miosen Tengah, batuan tersebut diterobos oleh intrusi granodiorit-diorit. Periode 2 Pada Miosen Akhir aktivitas gunungapi berhenti sehingga memungkinkan terjadinya pengendapan batuan karbonat/batugamping dan terjadi proses tektonik menyebabkan deformasi dan erosi batuan-batuan tua. Periode 3 Pada Miosen Akhir-Pliosen terjadi pengendapan material sedimen di cekungan belakang busur hasil rombakan batuan tua dari pegunungan selatan, disusul aktivitas kegunungapian Gunung Ringgit-Beser. Periode 4 Tektonik regional pada Pliosen-Pleistosen menyebabkan deformasi batuan, utamanya batuan sedimen di Zona Utara mengalami penyesaran dan perlipatan membentuk sebuah struktur antiklinorium Periode 5 Masa kejayaan gunungapi muda pada Zona Tengah, dimulai pada Pleistosen Akhir hingga saat ini. Hal yang signifikan terbentuknya morfologi kaldera yang menunjukkan adanya aktivitas erupsi besar kompleks Kaldera Ijen. Pada periode ini juga gunung api tunggal Gunung Baluran berkembang di Zona Utara dan beberapa gunung api aktif di Zona Tengah seperti Gunung Raung dan Kawah Ijen. 19
“... mais tout à coup la couleur blanchâtre disparoît, la teinte devient verdátre et obscure, le gout trés-acide, alors ces eaux sont mortelles pour les animaux qui s’en abreuveroient, et font périr les végétaux qu’elles arrosent.” “… tetapi tiba-tiba warna putih menghilang, warnanya berganti menjadi kehijauan dan gelap, rasanya sangat asam, kemudian air ini berakibat fatal bagi hewan yang meminumnya, dan merusak tanaman yang mereka sirami.” LESCHENAULT & JEJAK AWAL PENELITIAN DANAU ASAM Demikian nukilan tulisan yang tercantum di dalam buku berjudul Annales du Museum d’Histoire Naturelle Vol.18, terbitan tahun 1811, dalam bahasa Perancis. Sebuah kondisi air sungai di timur Jawa yang dideskripsikan oleh Tuan Engelhard, salah seorang gubernur di Jawa, di tahun 1805, kepada seorang naturalis penjelajah serta pensiunan pegawai asal Perancis. Seorang naturalis tersebut adalah Jean-Baptiste Louis Claude Théodore Leschenault de La Tour. Ia dikenal luas sebagai seorang ahli tanaman dan burung dan akrab dikenal sebagai Leschenault. Ketika itu, Leschenault tengah berada di Semarang (Jawa Tengah) saat menerima informasi dari Engelhard. Jadi, bergegaslah ia pergi ke timur Jawa. Leschenault, lahir di Le Villard, pada tanggal 13 November 1773. Pengalaman ekspedisinya menjelajahi Australia, Jawa, India, hingga Amerika Selatan. Ia meninggal di usia 53 tahun, tahun 1826. Semasa hidupnya, ahli tumbuhan dan burung ini ternyata tertarik pula meneliti fenomena kebumian. Terbukti ia tunjukkan dalam hasil kunjungannya ke wilayah Jawa bagian timur pada tahun 1805. Persoalan fenomena kebumian Leschenault, justru berawal me20
neliti air Kali Putih, sesuai yang disampaikan oleh Tuan Gubernur Engelhard. Sungai yang rasanya asam sehingga menjadi musibah bagi hewan dan tanaman sekitarnya. Berangkat meneliti Kali Putih itu berada di antara sebelah timur Kota Panarukan (sekarang Situbondo) dan Sumberwaru. Air alirannya berwarna gelap dan rasanya asam. Leschenault pun mulai menyusuri asal muasal air Kali Putih itu. Berjalan dan terus berjalan. Dalam penggambaran perjalanannya, wilayah paling timur di Jawa ini merupakan wilayah yang subur namun masih sangat terisolasi. Jarak tempuh dari Panarukan ke Banyuwangi, sekitar 100 km. Ia tempuh sekitar satu hari satu malam dengan melewati jalan selebar dua kaki (sekitar 1,5 meter). Kondisinya masih berupa hutan lebat yang menjadi habitat bagi harimau yang sewaktu-waktu siap memangsa. Sebenarnya itu perjalanan yang berisiko, hutan dan bisa tidak selamat dari terkaman harimau. Sepertinya karena tekad Leschenault yang kuat demi tujuannya menuju Gunung Ijen (Kawah Ijen)-Merapi. Guna menemukan sumber air Kali Putih. Perjalanan menuju Ijen, pada 18 September 1805, Leschenault mengajak beberapa orang untuk menemaninya. Mereka adalah Vikerman (seorang komandan di BanyuwanSketsa peta di wilayah Ijen yang dibuat oleh Leschenault pada 1805. Nama Ijen diambil dari nama desa di sebelah barat Gunung Ijen yang kemudian ditinggalkan oleh penduduknya pada waktu itu. 21
gi) dan Lisnet (menantu Vikerman), Hawersten, serta Lois seorang petugas pelabuhan. Selain itu, ikut dalam rombongan adalah patih dan hangabehi beserta beberapa budak Jepang. Ada pula warga lokal yang membantu dalam urusan perbekalan. Pada 19 September 1805, sore, rombongan sampai di daerah Ongop-Ongop (sekarang Paltuding). Daerah itu berupa lembah di antara Gunung Ijen-Merapi dan Gunung Rante yang didominasi oleh pohon pakis serta cemara. Sebelah barat Ongop-Ongop didominasi oleh kumpulan gunung api kecil dan material pasir vulkanik kasar yang ditumbuhi oleh alang-alang tinggi. Sketsa morfologi Demi menjelaskan kondisi morfologi yang diamatinya, ketika itu, Leschenault membuat sketsa peta. Sketsa tersebut dibuatnya ketika berada di posisi puncak Gunung Seloupo (kemungkinan sekarang Gunung Kukusan atau Gunung Papak). Dan tentunya, sketsa ini membantu penelitian ini sehingga semakin memahami bagaimana runutan temuan danau asam atau Kali Pait. Terimakasih Leschenault... Kembali mengenai sketsa yang dibuatnya, Leschenault memperlihatkan wajah wilayah ini dikelilingi oleh Pegunungan Kendeng (saat ini dinding Kaldera Ijen) di bagian utara dan barat. Lalu Gunung Rao (Raung), Gunung Soukat (Suket), Gunung Labou Ayou (kemungkinan Jampit atau Kukusan), dan Gunung Rante di bagian selatan-tenggara, serta Gunung Ijen-Merapi di bagian timur. Nah, Kali Putih yang disebutnya di dalam sketsanya, Songi Pouti, digambarkan mengalir dari kaki Rao dan Soukat. Airnya menerus mengikuti penjajaran Pegunungan Kendeng dan bertemu dengan aliran Songi Pahete (sebutan di sketsa untuk Kali Pait) yang berhulu di Gunung Merapi-Ijen (Kawah Ijen). Kali Pait inilah yang memiliki aliran air asam dengan bau yang sangat menyengat. Tapi sebelum membicarakan apa yang ditelitinya, mari kita kembali dulu ke cerita perjalanan Leschenault menemukan Kali Pait dan menjelajah Kawah Ijen. Menemukan asal asam Sebelum melakukan pendakian ke Kawah Ijen, Leschenault terlebih dahulu melakukan penyelidikan terhadap aliran sungai yang asam. Dalam penjelasannya, sungai belerang ini memiliki kualitas yang berbahaya karena mengandung asam sulfat. Runutan alirannya mudah dikenali berupa jejak korosi pada bebatuan dan tanah serta tumbuhan yang dilaluinya (air sungai belerang itu) akan mati. Selain itu, bau busuk dan pekat tersebut apabila dihirup dalam beberapa waktu menyebabkan demam yang berkepanjangan. Pada 21 September 1805, Leschenault dan rombongan melakukan pendakian menuju puncak kawah. Morfologi kawahnya dalam laporannya disebutnya dengan ukuran depa. Ya, kira-kira diameternya berukuran 500 depa (sekitar 1 km), lebar 250 depa (sekitar 500 m). Dalam penjelasannya, kondisi pendakian saat itu sangatlah sulit dan sangat berbahaya. Pada dasar kawah terdapat danau asam bersulfur berukuran 200 depa (sekitar 400 meter) yang airnya hangat, berwarna putih kehijauan. Sebagai informasi, dimensi danau dan Kawah Ijen, pada tahun 1805, tentunya, sangat jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Berubah karena adanya erupsi besar Kawah Ijen pada tahun 1817. Sesampainya di puncak, Leschenault mengambil sampel air danau asam itu. Air tersebut kemudian dikirim dan dianalisis di Perancis. Peneliti sampelnya adalah profesor ahli kimia terkenal, Vauquelin. Hasil yang analisis air danau dari Vauquelin, menunjukkan massa jenis air sekitar 1.118 gr/c. Air danau mengandung asam sulfat yang tinggi dan juga terdapat kandungan asam muriatik, sulfat, besi, dan alumina. Hanya saja, Leschenault tidak sempat mengukur suhu air danau secara langsung dikarenakan tidak dapat menemukan termometer satu pun di Batavia waktu itu. 22
Versi Junghuhn Sekitar 39 tahun setelahnya, pada 17 Oktober 1844, salah seorang naturalis berkebangsaan Jerman, Junghuhn datang di Kawah Ijen. Ia melakukan penjelajahan. Tentu nama Junghuhn sudah tidak asing bagi kalangan ahli botani maupun kebumian saat ini. Dalam kesempatan tersebut, ia juga menyusun sebuah peta yang menggambarkan kondisi morfologi kompleks Kaldera Ijen saat itu. Jika dibandingkan sketsa Leschenault dan peta Junghuhn, penggambaran peta Junghuhn lebih mendekati kondisi sebenarnya hingga saat ini. Dalam peta Junghuhn telah digambarkan, bentuk lingkaran Pegunungan Kendeng di sisi utara, jajaran Gunung Rawon (Raung), Gunung Pentil (Pendil), dan Gunung Rante di sisi selatan, dan Gunung Merapi-Kawah Ijen di bagian timur. Lembah yang memisahkan antara Rante dan Merapi masih kenal sebagai Ongop-Ongop (belum dikenal sebagai Paltuding). Untuk area tengah kompleks ini terdapat kerucut vulkanik Gunung Pelau (Blau) dan Gunung Widodaren. Pada saat ini penampakan morfologi tersebut menunjukkan situasi kaldera. Namun, peta ini dibuat belum memuat pemahaman kaldera dan segala prosesnya. Bagi penelitian Pusat Survei Geologi Badan Geologi yang didukung Pemerintah Kabupaten Bondowoso, tahun 2022 ini, penelitian Leschenault bagaikan pionir melengkapi penelitian Junghuhn serta penelitian Ijen sebelumnya. Peta pengamatan topografi yang disusun oleh Junghuhn pada penyelidikan tahun 1844. 23
Pada 30 September 1805, Leschenault menuliskan serta mengirimkan laporan tertulis kepada Tuan Gubernur Engelhard. Terdapat nukilan dalam buku yang sama dari nukilan tulisan di awal bab ini. “… Lorsque je partis de Samarang pour visiter la partie orientale de l’ile, M. Engelhard, gouverneur particulier de Java, m’engagea à faire des recherches pour l’explication du changement des eaux de la riviére blanche, et pour m’assurer si on ne pourroit y apporter remède; je lui éerivis en date du 30 septembre 1805, la lettre suivante, qui renferme mes observations et la description du volcan changé en solfatare auquel ce phénoméne se rattache.” ... Ketika saya meninggalkan Semarang untuk mengunjungi bagian timur pulau, Tuan Engelhard, salah seorang gubernur di Jawa, mendesak saya untuk memberikan penjelasan kepada dia tentang perubahan air Sungai Putih dan memastikan apakah ada obat untuk penyakit ini. Saya menulis surat ini kepadanya tertanggal 30 September 1805 yang berisi pengamatan saya dan deskripsi gunung api dengan solfatara yang terkait dengan fenomena ini.” Begitulah kira-kira terjemahan bebas dari penulisan laporan yang ditulis salah seorang pioner penyelidikan danau asam Ijen. Yang mengawali meneliti sungai asam yang mematikan hewan serta tumbuhan, justru mendapatkan pula deskripsi mengenai gunung api. Ya, Kawah Ijen. 24
Jalan antara Puncak Megasari ke Pedati. Beginilah kira-kira gambaran jalan sempit saat Leschenault melakukan ekspedisi di seputaran Ijen 25
Runtuh Gunung Muncul Gunung 26
Gambaran ilustratif dari Gunung Ijen Tua, sebelum Kaldera Ijen terbentuk. Tinggi gunung diperkirakan sekitar antara 2800 - 3000 m. Gunung Ijen Tua tidak berupa gunungapi satu kerucut yang menjulang tinggi, namun mempunyai banyak kerucut, banyak puncak. Semua gunung post-kaldera, Suket, Jampit, Rante dan lainnya belum ada. Gunung Raung masih kecil atau mungkin malah belum ada. Celah Blawan bisa jadi adalah batas lembah antar puncak-puncak di Gunung Ijen Tua. Letusan super besar, Letusan Super-Plinian, yang mengawali proses pembentukan Kaldera Ijen tentunya terjadi di salah satu puncak nya dan diikuti dengan puncak-puncak lain juga ikut meletus (lihat Krakatau di Appendix). Morfologi Kaldera Ijen saat ini. Yang tadinya tinggi Gunung Ijen Tua sekitar 2900-an meter, terpotong amblas dan menyisakan lingkar kaldera yang tingginya 1600-an meter. Kerucut vulkanik baru muncul di sisi bagian selatan dari Kaldera Ijen 27
Ya, seluruh badan gunung runtuh yang terjadi tidak lebih tua dari 300.000 tahun dan tidak lebih muda dari 50.000 tahun lalu membentuk mangkuk raksasa dengan kedalaman lebih dari 600 meter. Diameternya berbentuk oval dengan ukuran diameter utara ke selatan 12 km dan barat ke timur 15 km. Amblesan ini yang membentuk Kaldera Ijen hingga saat buku ini diterbitkan. Sebenarnya, seperti apa penampakan Gunung Ijen Tua (3.000 mdpl) sebelum membentuk Kaldera Ijen? Berdasarkan kondisi tanah di sekitaran bibir kaldera di bulan Oktober 2022 (posisi di Megasari atau di Pedati), ketika diteliti tidak terdapat endapan produk letusan pembentuk kaldera. Sesuai ilmu geologi, artinya, lereng bagian atas dari bibir Kaldera Ijen merupakan lereng asli sebelum kaldera terbentuk. Data lapangan di Botolinggo, juga menunjukkan kondisi Gunung Ijen Tua sebelum-sebelumnya. Gunung purba ini pernah meletus besar. Ciri dari gunung api yang sudah tua, tentu kondisi puncaknya, biasanya tidak berupa kerucut tunggal yang utuh. Perkiraan tinggi puncaknya tidak lebih dari 3.000 mdpl. Nah, bibir kaldera saat ini tercatat mempunyai elevasi 1.600 mdpl, dengan diameter sekitar 15 km. Kerucut yang hilang Jadi gambaran sederhananya, kita membayangkan saja badan Gunung Ijen Tua yang hilang ambles itu sebuah kerucut gunung besar. Setelah kerucut ini runtuh, kini memiliki ukuran diameter lingkar alas 15 km dan tingginya sekitar 1.400 mdpl (berasal dari tinggi utuh gunung 3.000 mdpl dikurangi tinggi bibir kaldera 1.600 mdpl), dan volume kerucutnya sekitar 70 km3. Letusan kaldera ini, menurut Sitorus (1990), diperkirakan terjadi pada suatu waktu di antara 300.000 - 50.000 tahun yang lalu. Melihat kenampakan tingkat pelapukan yang ada, mungkin juga terjadi sekitar 150.000 tahun yang lalu. Ya, namanya juga kemungkinan. Kaldera Ijen yang ada saat ini terbentuk dari proses amblesan besar. Kalau dilihat perbandingan tinggi antara pelataran Desa Sempol, yang elevasinya 1.070 mdpl, dengan bibir kaldera di lokasi paralayang Megasari yang mempunyai elevasi 1700 mdpl, ada beda ketinggian lebih dari 600 meter. Kita bayangkan, ketika terjadi amblesan, lava-lava yang sekarang terlihat di dalam kaldera, seperti lava Plalangan, lava Gunung Blau, semua itu belum ada. Sehingga diperkirakan dalamnya amblesan bisa mencapai 600 m atau lebih. Amblesan terjadi karena dapur magma (reservoir) Ijen kosong. Reservoir magma Ijen kosong tentunya karena ada letusan besar yang menyebabkan keluarnya sebagian isi dari reservoir magma sebelum amblesan terjadi. Bagaimana letusan besar sebelum amblesan bisa terjadi, tentunya, alasan salah satunya tergantung kondisi reservoir magma itu sendiri. Muncul gunung Kalau diperhatikan, lingkaran kaldera hanya nampak di bagian utara. Bagian selatan tidak terlihat lagi karena tertutup oleh Gunung Suket, Gunung Jampit, Gunung Rante,dan Gunung Merapi. Artinya, gunung gemunung ini muncul sesudah terjadi amblesan kaldera. Sebelumnya, lingkaran kaldera tentunya terlihat penuh melingkar. Data berikutnya adalah bahwa endapan letusan pembentuk kaldera sebagian besar mengarah ke sisi utara. Hal ini bisa diartikan bahwa magma yang memicu pembentukan kaldera kira-kira berada di bagian utara dari kaldera. Dalam ilmu vulkanologi, tidak semua jenis magma dapat membentuk kaldera. Secara umum, magma yang awal, aslinya encer dengan kandungan tinggi magnesium (Mg) dan ferum (Fe), disebut sebagai magma “mafic” (magnesium-ferum) atau “basalt”. Magma basalt, saat terjadi letusan keluar mengalir encer seperti bubur panas. Setelah membeku, magma basalt menjadi batuan aliran lava dengan warna kehitaman, seperti tampak di lava Plalangan. Selain itu, magma basalt tidak akan membentuk letusan besar, paling-paling letusan “strombolian”. Gunung Ijen Tua meletus besar. Dapur magmanya kosong. Lalu... Amblessss! Runtuh! 28
Catatan: Komposisi silika magma dari gunungapi “post-kaldera”. Pawenen=49%; Jampit=53%; Ringgih=50,3%; Blau=50%; Pendil=53%; Kukusan=55%; Gending Waluh=54%; Lingker=53%; Genteng=54%; Anyar (lava Plalangan)=48,6%. Lava Plalangan, titik merah, kandungan silikanya paling rendah. Dan yang paling tinggi sebagai perbandingan dari sampel batuan di dekat Kluncing sebesar 61,8%, magma di saat awal munculnya gunung Jampit juga lumayan tinggi, 59,6%. Basalt Andesit Dasit Rhiolit SiQ,wt.% 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 Ultrabasic Basic Intermediate Acidic Letusannya seperti air mancur kembang api. Arahnya vertikal menyembur dari lubang kawah. Percikan magmanya menjadi kerikil-kerikil. Selanjutnya batu yang terlontar berjarak dekat-dekat saja, menumpuk dan membentuk tubuh bukit yang kecil, landai, seperti Gunung Anyar, di daerah Jampit. Letusan besar hanya bisa terjadi apabila magma mengandung banyak gas bertekanan tinggi. Gasgas dalam magma terbentuk karena proses kristalisasi, yaitu di dalam magma terbentuk kristalkristal utamanya karena perubahan suhu. Magma Perubahan suhu terjadi karena perubahan kedalaman. Misalnya, ya, magma basalt yang berada di kedalaman, suhunya sekitar 1.000°C-1.100°C, lalu mengalami penurunan suhu menjadi 900°C, apa yang terjadi? Penurunan suhu itu membentuk beberapa kristal baru. Kristal-kristal tersebut tersusun dengan kandungan Mg (magnesium) dan Fe (besi). Sementara larutan magma sendiri menjadi berkurang kandungan Fe dan Mg-nya. Keberadaan kristal-kristal tersebut menjadikan magma semakin kental. Jadi, semakin berkurang suhunya, semakin banyak kristal terbentuk. Namun khusus untuk silika (SiO2), justru bakal mengkristal paling akhir. Sehingga larutan magma yang mengalami perubahan suhu (tinggi ke rendah) akan berproses menuju kristalisasi dan berangsur mempunyai kandungan silika yang semakin tinggi dan menyimpan gas yang banyak. Itulah mengapa jenis magma diukur dari kandungan silika. Magma dengan silika rendah (mafic) bersifat basa dan yang silika tinggi (felsic) bersifat asam. Pada magma basalt, gas yang terbentuk langsung terlepas. Mengapa? Karena larutan magma yang encer, tidak dapat menahan gas dan langsung lepas dari bubur magma. Sedangkan magma yang kental, gas terjebak di dalamnya sehingga magma menjadi bertekanan tinggi. Batuan Ijen, komposisi silikanya bervariasi dari basalt sampai andesit. Silika terendah sekitar 46 persen (%), lava dari produk pasca kaldera. Lalu silika tertinggi sampai 62 % dari batuan produk letusan besar yang menghasilkan kaldera. Gunung Blau memiliki magma paling basa dengan silika sekitar 49%, masuk klasifikasi lava basalt. Menurut Sitorus, lava basalt Ijen di kedalaman, mempunyai kandungan silika sekitar 46%. Generasi pertama Ijen setelah letusan kaldera muncul kerucut gunungapi dengan kandungan magma sekitar 49-50 % silika dan generasi berikutnya dengan magma bersilika 53 %. Artinya,magma terbaru, misalnya lava Gunung Anyar, mampu berevolusi (terdiferensiasi) daripada lava 29
Tekanan yang terlalu besar ini memicu letusan sangat besar, “Letusan Super Plinian” (letusan Fase I). Karena besarnya kekuatan letusan, sampai mengosongkan sebagian dari dapur magma. Seumpama volume dapur magma misal 100 km3, sedangkan yang diletuskan sebesar 80 km3. Dengan luas lingkar dapur magma sekitar 120 km2, diperkirakan terjadi kekosongan dapur setinggi 700 m. 2 Ketika dapur magma kosong, rongga ini yang segera memicu runtuhnya badan Gunung Ijen Tua, amblas. Runtuhnya badan gunung memberikan tekanan besar ke dalam dapur magma dan menimbulkan letusan kedua bersamaan dengan amblesnya badan gunung dan terbentuklah Kaldera Ijen. 3 Situasi dapur magma Gunung Ijen Tua sebelum terjadi letusan besar berisi magma asam dengan tekanan tinggi. Gelembung-gelembung gas tekanan tinggi juga memenuhi bagian atas dapur magma. 1 Gunung Blau. Maka, proses pembentukan kaldera itu memerlukan adanya magma asam/felsik yang banyak mengandung gas dan bertekanan tinggi. Magma asam terbentuk dari proses differensiasi magma yang berada di reservoirnya. Pada proses Kaldera Ijen, besarnya reservoir magma setidaknya minimal berukuran seluas lingkar kaldera dengan diameter (minimal) 12,5 km. Volumenya diperkirakan 80 km3. Volume ini adalah nilai minimal, berasal dari penghitungan jumlah endapan letusannya. Dan, reservoir magma tentunya tidak kosong total, ada sisa magma yang tidak ikut keluar. 30
Fase I dan Fase II menghasilkan endapan yang bisa diamati di lapangan, dari warna depositnya nampak yang bawah, produk Fase I, lebih berwarna terang, banyak mengandung hancuran batuapung, sedangkan di bagian atas, produk Fase II berwarna lebih gelap mengandung banyak fragmen hancuran tubuh gunung dan fragmen lava 1 Fase 1 Letusan terjadi super besar..hingga mengosongkan dapur magma 2 Fase 2 Karena dapur magma kosong, atap tubuh gunung ambles.. Dan sekali lagi menimbulkan letusan besar 1. Letusan Fase I dan II menghasilkan endapan yang amat besar ke lereng utara Ijen dalam selang waktu yang tidak terlalu lama. Pada kejadian di Krakatau tahun 1883, letusan pertama dan letusan kedua berselang hanya beberapa jam. 2. Di Desa Galingan, di jalan menuju Kayumas, terdapat rekaman letusan besar Ijen tersebut yang tersusun atas dua lapis besar. Lapisan bawah merupakan endapan Fase I berwarna lebih terang, banyak mengandung butir batu apung (tuff). Lapisan atas merupakan endapan Fase II, berwarna lebih gelap. Warna gelap itu berasal dari banyaknya mengandung hancuran tubuh gunung berupa fragmen batuan beku dan fragmen magma yang tersisa dari Letusan Fase I. 3. Tebalnya endapan Fase II juga dapat dilihat di Desa Solor, yaitu tampak seperti Batu So’on. 31
Ring cone Magma yang keluar di deretan gunung api ini tidak begitu asam dibanding yang di utara. Dan amblesan juga tidak simetris, bagian utara ambles lebih dalam daripada bagian selatan. 5 Ketika terdapat pasokan magma baru dari kedalaman yang lebih basa, muncul gunung api yang lebih berbentuk perisai, yaitu Gunung Blau dan Gunung Pawenan dengan magma yang kadar silikanya hanya sekitar 49% (Gunung Anyar). 6 Lereng yang ketika ambles relatif tegak.. menjadi landai karena erosi Tekanan amblesan yang sangat besar juga memicu keluarnya magma yang tersisa di dapur magma, di sisi selatan kaldera. Magma membentuk deretan Gunung Jampit, Rante, Merapi. Gunung-gunung ini disebut sebagai “kerucut ring” (ring cone), gunung api yang muncul di garis batas lingkar amblesan. 4 32
1. Kaldera Ijen berbentuk oval memanjang arah barat timur 2. Sisi Utara tidak ada kerucut ‘post-kaldera’, sedang sisi selatan terdapat kerucut-kerucut ‘post-kaldera’ 3. Dari urutan munculnya, kerucut ’post-kaldera’ dimulai dari deretan A, kemudian B, C 4. Dari morfologinya, dari A ke C kerucut yang terbentuk semakin ‘memperisai’ dari bentuk kerucut menjadi ke perisai 1. Gunung Blau dan Pawenan menjadi gunung api dengan magma fresh dari kedalaman. Kedua gunung ini mengawali munculnya kerucut vulkanik dalam lingkar kaldera (intra-kaldera). 2. Gunung Anyar, Kukusan, Kawah Wurung merupakan kelompok kerucut vulkanik cinder dengan magma yang sedikit lebih asam, artinya magma kerucut cinder ini telah mengalami diferensiasi dibanding dengan magma Gunung Blau. 3. Morfologi lereng Gunung Blau dan Pawenan mengalami erosi kuat. Kondisi ini menandakan ada jeda lama (mungkin ribuan tahun) antara munculnya Gunung Blau dan munculnya kelompok Kawah Wurung . 33
Kawah Ijen Gunung Raung Dinding Kaldera Kaldera Ijen memiliki ukuran morfologi kaldera yang paling besar di Jawa dengan ukuran sekitar 15 km x 12 km yang berada di ujung timur Pulau Jawa. Kompleks kaldera terbesar di Jawa ini memiliki bentuk lingkaran kaldera yang tidak utuh dimana hanya bagian utara yang masih tampak sebagai lingkaran kaldera. Namun, pada bagian selatan dan tenggara ditempati oleh beberapa kerucut vulkanik yang di mahkotai oleh G. Suket, G. Jampit, G. Rante, dan Kawah Ijen yang berada di kaki bagian barat G. Merapi. Hal tersebut menunjukkan lingkaran kaldera sisi selatan telah tertumpuk oleh material deretan kerucut vulkanik tersebut. Namun demikian, meskipun lingkaran kaldera hanya tersisa di sisi utara, dapat menunjukkan proses terjadinya letusan pembentuk kaldera ini terjadi sekali. Tentang bentuk kaldera, lalu bagaimana bentuk kaldera yang utuh? Bergeser ke pulau Bali, di timur KALDERA IJEN Kaldera Ijen G. Raung G. Suket G. Jampit Kawah Ijen G. Ranti G. Merapi Seluas apa Kaldera Ijen? 34
Kaldera Batur Kaldera Ijen, lingkaran kaldera yang ideal utuh terlihat di Kaldera Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli. Kejadian letusan besar pembentuk kaldera terjadi dua kali. Letusan yang kedua lebih kecil dan terjadi di tengah kaldera pertama, sehingga lingkaran kaldera pertama relatif tidak terganggu, dan membentuk dua lingkaran kaldera konsentrik. Beda lagi dengan Kaldera Buyan-Bratan, Bali, pada kaldera tampak ada dua lingkaran kaldera yang berpotongan, menunjukkan adanya dua kali proses letusan super besar pembentuk kaldera. Letusan pertama membentuk Kaldera Buyan, yang saat ini ditempati danau Buyan dan letusan kedua membentuk Kaldera Bratan yang menjadi area dari Danau Bratan. Sama seperti di Kaldera Ijen, sisi selatan dari Kaldera Buyan-Bratan ditutupi oleh material produk letusan kerucut-kerucut vulkanik yang lahir kemudian. Ketiga kaldera yaitu Kaldera Batur, Kaldera Buyan-Bratan dan Kaldera Ijen, apabila dibandingkan dengan Kaldera Toba, di Sumatera Utara tentu sangat berbeda. Tentu hal tersebut dipengaruhi oleh tatanan geologi dan sistem magma yang berbeda antara karakteristik di Sumatra dan Jawa-Bali. Skema Kaldera Batur Kaldera Ijen Kaldera Buyan & Bratan Kaldera Toba Pulau Samosir Kaldera Batur Kaldera Krakatau PERBANDINGAN LUAS BEBERAPA KALDERA Kaldera Buyan Kaldera Bratan 35
TEBING TRAS JALUR PANDAWA Pesona Taburan Kaldera Ijen Dinding tebing Pandawa, Ninggil, Botolinggo. Berjarak sekitar 23 km dari Kaldera Ijen. Disini dapat dipelajari batuan hasil endapan dari letusan Fase II, letusan yang menyertai amblesnya Gunung Ijen Tua 36
Jalan berkeliling Kabupaten Bondowoso, sepertinya Anda harus melewati Tebing Tras Pandawa, di Desa Ninggil, Botolinggo. Karena sepanjang perjalanannya, dinding tebing memuat ragam pesona taburan letusan Gunung Ijen ratusan ribu tahun lalu. Bagi kepentingan ilmu pengetahuan, Tebing Tras Pandawa mampu menyempurnakan pemahaman mengenai model letusan pertama dan kedua Gunung Ijen Tua, menuju terbentuknya mangkuk besar, Kaldera Ijen. Lokasi tebing ini berada 22 km barat - barat laut Kaldera Ijen. Elevasinya tercatat sekitar 250 meter di atas permukaan air laut (mdpl). Pembuatan jalan baru, Botolinggo-Pancur, memotong tebing. Nah, pengeprasan ini justru menyibak pesona endapan letusan Kaldera Ijen dan cocok untuk tempat spot swafoto. Endapan tras ini sebenarnya adalah produk Gunung Ijen menuju pembentukan kalderanya. Ketebalan endapannya terukur sekitar 80 meter dari dasar sungai di samping tebing tras sampai batas teratas Tebing Tras Pandawa. ENDAPAN PERTAMA DAN KEDUA Sebagaimana diceritakan mengenai proses pembentukan kaldera di halaman lain buku ini, letusan super-power yang membentuk Kaldera Ijen dapat dibagi menjadi dua episode. Dua episode ini pun mengalami jeda waktu tidak terlalu lama. Letusan pertama (Gunung Ijen Tua masih utuh) memiliki kekuatan super besar dan membawa banyak batu apung serta material hancuran sebagian. Selain itu, letusan ini menghasilkan aliran piroklastik tebal yang diendapkan di lereng utara gunung. Pada tebing Tras Pandawa, warna produk letusan pertama itu putih abu-abu. Warna ini tersusun atas fragmen batu apung. Periode pertama ini hampir mengosongkan seluruh isi dapur magma. Kekosongan ini membuat kerucutnya retak dan runtuh (amblas) sehingga membentuk kaldera. Setelah Di depan rumah penduduk di Ninggil, Botolinggo, halaman rumah tersusun atas fragmen-fragmen batuapung Detail dinding tebing jalan di Pandawa Ninggil, Botolinggo. Batuan nya nampak mengandung banyak fragmen lava berwarna hitam, pumice hitam, obsidian, yang semua merupakan bekuan dari sisa magma yang tertinggal dalam dapur magma dan ikut terletuskan dalam Fase II 37
jeda, gunung memasuki letusan super-besar periode kedua. Produk letusan kedua ini endapannya tidak banyak mengandung batu apung. Karena batu apung telah terdorong keluar dan habis saat letusan pertama. Namun, sisa-sisa magma segar di dasar dapur magma ikut diletuskan keluar dan diendapkan menjadi fragmen batu lava. Warnanya hitam yang banyak teramati di Tebing Tras Pandawa. GUA PUTIH Anda berjalan lebih ke atas elevasinya, sampai di ketinggiani sekitar 350 mdpl, ada lokasi yang disebut oleh penduduk sebagai Gua Putih. Posisnya berjarak sekitar 18,5 km dari bibir Kaldera Ijen. Gua putih ini berupa tebing tinggi yang membentuk ceruk gua karena dindingnya sebagian runtuh. Dinding ini juga terbentuk dari endapan produk letusan pembentuk Kaldera Ijen. Tebal tinggi dinding di lokasi ini mencapai sekitar 80 m. Hanya saja yang separuh tinggi sampai ke dasar sungai, tertutup lapukan tanah. Batuannya sangat keras tersusun atas batu fragmen batu apung dan fragmen kerikil batuan beku, material hancuran puncak Gunung Ijen Tua. Bagian atas dari tebing batuan ini, permukaannya tersusun dari fragmen batuapung. Penampakan ini sangat berbeda dengan yang di Tebing Tras Pandawa yang bagian atasnya tersusun dari fragmen lava hitam segar. Perbedaan ini terjadi karena batuan yang berada di Gua Putih adalah produk letusan pertama dengan ciri bagian atasnya banyak batuapung, putih. Sedangkan penampakan batuan pada dinding tebing Pandawa merupakan produk dari letusan kedua. Karena bagian lapisan atasnya banyak fragmen batu lava segar, hitam. Tebing batu Gua Putih berwarna putih hingga dasar sungai yang sangat tegak sebagai produk letusan Fase I. Letusan Super Plinian yang mengosongkan dapat magma menghasilkan endapan yang sangat keras dengan fragmen yang relatif halus, daripada endapan Fase II, karena proses ‘welding’ antar fragmen, antar butir seperti di las 38
Dinding di tepi jalan antara Tras Pandawa dan Gua Putih. Dijumpai adanya endapan batuapung yang sangat tebal sekitar 3-5 meter. Ini adalah endapan ‘hujan’ batuapung ketika letusan Super-Plinian di Fase I terjadi. Perlapisan ini sebenarnya sama dengan yang ada di halaman rumah penduduk (gambar sebelumnya). Di depan rumah penduduk itu, lapisan batuapung ini numpang menindih batuan Gua Putih. Sedang di lokasi foto ini, batuapung menumpang di lapukan batuan dari Gunung Ijen Tua.) SENTRA JAHE Perjalanan selanjutnya, yuk, turun menuju jalan raya antara Tras Pandawa dan Gua Putih. Ya, kita sebut saja Sentra Jahe. Karena di sekitarnya terdapat lokasi pengepul jahe. Berhenti dan berdiri di pinggir jalan, Anda bisa menjumpai tebing setinggi enam meter. Penampakan dindingnya tersusun dari dua warna perlapisan. Yaitu, bagian bawah berwarna coklat merupakan perlapisan tanah lapuk, dan bagian atas berwarna putih abuabu tersusun atas fragmen batu apung. Fragmen batu apungnya sama dengan yang ada di permukaan atas Gua Putih. Nah, ini menandakan kedua lapisan batu apung tersebut merupakan unit produk yang sama. Secara teori, endapan letusan kedua semestinya menumpuk di perlapisan endapan letusan kedua. Kenyataannya, penampakan di tiga lokasi berdekatan (Tras Pandawa, Sentra Jahe, dan Gua Putih) justru dijumpai tiga hal berbeda. Ketiga hal berbeda itu adalah (1) di Pandawa: berupa produk letusan kedua, (2) di Sentra Jahe : dijumpai perlapisan batuapungnya saja, dan (3) di Gua Putih : dijumpai endapan letusan pertama dengan lapisan batuapung di atasnya. Kenapa bisa begitu? Nah, kondisi itu terjadi karena dari pola (proses) sebaran produk letusan super-power pembentuk Kaldera Ijen. Kira-kira di daerah Botolinggo, ini 39
merupakan tepi sebelah barat dari sebaran endapan Ijen, sehingga yang ditemui adalah simpangan dari ujung-ujung endapan. Lalu, di antara Sentra Jahe dan Tras Pandawa, turun ke arah lembah Dusun Lanas, kita menjumpai Gua Lanas. Di gua ini ditemukan perlapisan dengan fragmen lava segar seperti yang ada di Tras Pandawa. Hanya beda ketebalannya sekitar delapan meter, yang langsung menumpang di tanah lapuk. Batas antara endapan fragmen lava dan tanah lapuk ini yang membentuk gua karena tanah yang lapuk tererosi. Endapan fragmen lava tidak berlanjut (saat letusan). Maka Gua Lanas adalah ujung endapan. Dari data-data serta fakta lapangannya, kita dapat membayangkan sebelum terjadi pembentukan Kaldera Ijen, lereng Gunung Ijen sebelah utara telah ada lembah-lembah alur sungai yang dalam. Lembah-lembah ini, ketika terjadi letusan super-besar, pertama-tama terisi oleh produk letusan dari letusan pertama. Karena mungkin penuh material letusan, lembah-lembah tersebut tertutup. Sedangkan letusan kedua, materialnya menyebar di atas lembah-lembah yang sudah terisi. Dengan berjalannya waktu, lembah-lembah terbentuk kembali oleh erosi air hujan. Inilah mengapa di dinding lembah-lembah tersebut dengan mudah ditemui endapan tebal dengan bagian atasnya fragmen batu apung. Di bawah Gua Lanas di pinggir jalan setapak, dijumpai adanya boulder, gelundungan bongkah batu dengan ciri lensa-lensa (semacam polkadot tetapi ini batuan) hitam yang disebut fiamme. Batuan ini merupakan bagian dari endapan iignimbrite. Lensa (polkadot batu) hitam ini awalnya adalah batuapung yang diletuskan. Namun karena letusan yang menjulang ke udara sangat padat oleh material letusan, batu apung tersebut di udara mencair kembali dan jatuh diendapkan, terpadatkan dan menjadi pipih, lensa-lensa hitam. Meskipun batu yang dijumpai adalah gelundungan, ya, itu mungkin ikut arus sungai. Kondisi ini membuktikan di area yang lebih atas lagi tentunya ada perlapisan batuan fiamme ini. Mari lanjut, kita jalan-jalan lagi berkeliling Bondowoso... Bongkah gelundungan batu dekat Gua Putih, dekat desa Lanas. Batu ini khas, sangat keras, disebut sebagai ‘batu ignimbrite”, bagian atau komponen dari batuan ignimbrite. Bongkah batu mengandung fragmen hitam dari samping seperti ‘lintah hitam” berderet-deret, yang di geologi disebut “fiamme”. Fiamee ini aslinya adalah batuapung yang diletuskan dan ketika sedang di udara, karena suhu tinggi, mencair kembali, lembek dan diendapkan menjadi pipih. Fiamme adalah bukti dari ada Letusan Super-Plinian di Fase I 40
60 m 0.5 - 6 m 100 m Endapan fase II Endapan piroklastik fase II dari letusan yang dapat kita lihat bersama menyusun tebing-tebing tinggi di desa Solor yang terkenal dan sangat estetika yaitu Betho So’on, dengan bagian tubuh dan kepalanya. Kedua bagian tersebut dibentuk oleh batuan piroklastik fase II Gunung Ijen Tua yang mengalami proses erosi sehingga membentuk seperti sekarang ini. Endapan piroklastika jatuhan Endapan piroklastik jatuhan dari Gunung Ijen Tua, adalah lapisan batuapung ukuran butir kurang dari 1 cm hingga belasan cm, kedua lapisan dengan beda ukuran ini saling berlapis hingga setebal 6 m di bagian barat lereng utara mangkok Kaldera Ijen. Tanah Purba (palaeosol) Tanah Purba (palaeosol) Lapisan tanah berwarna merah bata yang mengalasi endapan piroklastik hasil letusan Gunung Ijen Tua, halus dan liat Endapan fase I Endapan piroklastik fase I Gunung Ijen Tua yang mengendap kebanyakan di lereng utara dari mangkok Kaldera Ijen, memenuhi lembah-lembah kaki Gunung Ijen, dengan ketebalan 100 m. Bagian bawah dari endapan ini mengandung banyak sekali pecahan pecahan batuan berbentuk menyudut dan berukuran belasan cm. Sedangkan bagian tengahnya merupakan lapisan batuapung memipih (fiamme). Kemudian paling atas didominasi fragmen-fragmen batuapung berukuran belasan cm berwarna abu-abu terang dan gelap. Batuapung melimpah di bagian atas Pipihan batuapung atau Fiamme di tengah Pecahan batuan melimpah di bagian bawah STRATIGRAFI ENDAPAN KALDERA IJEN 41
BETHO SO’ON TONGGAK REKAM LETUSAN Kaldera IJEN Yuk, menuju kawasan Betho So’on Solor. Anda bakal menyaksikan rekaman lengkap letusan Fase II yang menyertai amblesnya Gunung Ijen Tua yang meninggalkan jejak Kaldera Ijen. Penelitian menyingkap batu-batu endapan di kompleks Betho So’on ini. Batuan endapan itu mampu menceritakan letusan kedua Gunung Ijen Tua. Perjalanan kendaraan Anda berhenti di Desa Solor, Kecamatan Cermee, Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur. Terbersit di pikiran kenapa Kecamatan Cermee ini ditulis dengan dua ‘e’, tidak Cerme, satu ‘e’ saja. Kok seperti bahasa Perancis.. Ee.. jangan-jangan awalnya ditulis oleh orang Perancis ya…siapa tau…karena yang meneliti Kali Putih yang di Asembagus pun orang Perancis….di tahun 1805. Batu So’on lokasinya 15 km, sebelah utara Kaldera Ijen. Kompleks ini berupa hamparan semacam lembah bebatuan yang terdiri beberapa tonggak bongkahan batu. Tonggak-tonggak bongkahan batu besar dengan tinggi berkisar 20 meter-25 meter. Nah, bagian atas tonggak ini seolah-olah tengah “menyunggi” bongkahan batu, memikul batu dengan kepala, Karena bentuk bongkahan ini, warga setempat yang beretnis Madura, menyebutnya “Betho So’on”. Arti dalam bahasa Madura, dijunjung di atas kepala. Jika warga setempat lainnya yang tinggal di wilayah tapal kuda, menyebutnya “Batu So’on”. 42