Volume yang dikeluarkan dalam erupsi dalam proses erupsi pembentukan kaldera diperkirakan beberapa puluh persen saja dari volume total magma dalam dapur magma. (Hildreth and Wilson, 2007). Artinya, volume dapur magma yang berkurang sekitar 20-30 persen, menyebabkan tekanan di dapur magma menjadi sangat kecil dan tidak mampu lagi menopang badan atap dapur magma. 19 Kaldera Indonesia Berdasarkan Diameter Konsep VEI: 19. Geger Halang (5,5 x 4 km) Belum diketahui 18. Samalas (5 x 5 km) 1269 17. Tambora (6 x 6 km) 1815 16. Prae (6,5 x 6,5 km) 16.000 tahun 15. Sunda (6 x 8 km) 40.000 tahun 14. Masurai (7 x 7 km) 33.000 tahun 13. Banda Api (7 x 7 km) Belum diketahui 12. Lobubuta (7,5 x 7,5 km) Belum diketahui 11. Krakatau (8 x 8 km) 1883 10. Buyan Bratan (6 x 11 km) Belum diketahui 9. Sokoria (12 x 8 km) Belum diketahui 8. Suoh (8 x 13 km) Belum diketahui 5. Maninjau (11 x 12 km) 53.000 tahun 6. Batur (10 x 14 km) 23.700 tahun 7. Tengger (10 x 8 km) 150.000 tahun 4. Ranau (14 x 6 km) 34.000 tahun 3. Ijen (15 x 12 km) 50.000 tahun 2. Tondano (20 x 30 km) 100.000 tahun 1. Toba (35 x 100 km) 74.000 tahun 93
Ciri khas dari deposit proses erupsi besar yang diikuti pembentukan kaldera, yaitu adanya plinian fall deposit (endapan hasil letusan eksplosif besar) yang kemudian terjadi/ terdapat ignimbrite (endapan piroklastik dari campuran berbagai komponen bahan batuapung, lithic dan magma) menyusul disusul di atasnya. Plini atau Plini junior, istilah yang diambil dari nama seorang ahli, Gaius Plinius Caecilius Secundus, yang waktu itu mendiskripsikan dahsyat nya letusan Gunung Vesuvius (Italia). Ia mendeskripsikan letusan besar yang (paling tidak) sama besar dan karakternya serupa dengan letusan Vesuvius disebut jenis letusan plinian. Tentunya letusan yang membentuk kaldera jauh lebih besar lagi dari sekedar letusan yang dideskripsikan oleh Plini di Vesuvius. Volume letusan Vesuvius tersebut hanya setara dengan sepersepuluh dari produk letusan Gunung Masurai, Jambi (Indonesia). Transisi dari fall ke pyroclastic flow (awan panas) ini disertai dengan naiknya debit erupsi eksplosif yang sekaligus membawa sejumlah besar lithic kasar yang membentuk perlapisan breksi kasar. Transisi ini terjadi karena adanya proses pembuatan/pembesaran vent baru sebagai bagian dari awal proses runtuhan kaldera. Referensi Legros, Kelfoun, Marti (2000) menyatakan ketika terjadi letusan plinian, tekanan di dapur magma secara drastis atau tiba-tiba menurun, sehingga apabila batuan atap dapur magma tetap kuat dan tidak runtuh maka proses letusan secara otomatis akan berhenti. Namun, jika besarnya penurunan tekanan dapur magma tersebut menjadikan batuan atap dapur tidak kuat bertahan dan runtuh, maka tekanan dapur magma yang semula turun drastis dapat naik kembali sampai level tekanan lithostatics. Proses letusan terus berlanjut (sustanied). Tahap ini menjelaskan kenapa di Krakatau terjadi letusan besar, terakhir di pagi itu, yang jam 10.52 Wib, tapi tanpa tsunami. Menurut Van Bemmelen (1969) pada “Konggres Ilmiah Gunung Thera (Santorini), menyebutkan sebenarnya ada dua tipe letusan besar yang sering dipakai dalam deskripsi. Yaitu: tipe plinian dan ignimbrite. Ada satu istilah lagi yang sering dipakai, yaitu fase Perret. Fase Perret menggunakan terminologi yang diuraikan oleh Frank A Perret dari Universitas Carnegie Washington yang pada tahun 1924, mengeluarkan artikel tentang letusan Gunung Vesuvius (1906), bukan letusan yang terjadi di tahun 79. Perret menjelaskan, ketika letusan besar terjadi maka yang dilontarkan pertama adalah gas tekanan tinggi yang ada dibagian atas dari dapur magma. Gas tersebut berbentuk buih (foam) hasil fragmentasi magma. Proses dari lepasnya gelembung gas dari fluida magma. Hasinya, berupa batu apung. Ketika semua bagian yang kaya gas telah dikeluarkan melalui letusan, maka sebenar nya di dalam dapur magma mengalami penurunan tekanan secara mendadak. Selanjutnya, fluida magma yang ada di dalam dapur magma mengalami kondisi oversaturated. Dalam kondisi oversaturated, magma dengan sendirinya meletus dan menjadi fase paroxysmal (fase puncak) dari proses letusan itu sendiri. Nah, tahap proses letusan tersebut adalah fase Perret. Produk yang dihasilkan merupakan suspensi bahan jatuhan yang kaya akan gas. Letusan akan bersifat vertikal karena masih melalui pipa kepundan yang sama. Dalam letusan yang besar ini, terjadi penghancuran puncak kerucut gunungapi. Penjelasan ini Deposit Penciri Kaldera 94
sesuai dengan deskripsi Plini Junior, ketika menjelaskan letusan Gunung Vesuvius di tahun 79 AD. Oleh karena itu, terminologi letusan tipe plinian dipakai untuk jenis letusan besar yang menghancurkan sebagian puncak gunungapi. Lalu apa bedanya antara letusan plinian dengan letusan ignimbrite? Sebenarnya tidak ada bedanya secara proses. Perbedaannya berada dalam hal ukuran atau volume yang diletuskan. Perbedaan volume tersebut hanya bisa diakomodir atau terjadi, jika letusan yang membentuk kaldera dengan volume yang sangat besar tidak melalui pipa gunung-api existing. Akan tetapi, terjadi dari rekahan-rekahan (fissure) yang terbentuk ketika batuan permukaan, termasuk badan gunungnya sendiri mulai runtuh. Istilah ignimbrite juga dipakai untuk menunjukkan adanya proses runtuhan kolom letusan. Selain itu, proses tersebut mungkin dapat menjelaskan asal muasal dari penggunaan istilah hujan api atau ignimbrite. Untuk proses ignimbrite ini, Van Bemmelen (1969), menggunakan istilah cooking-over the rim atau dalam bahasa Italia, trabocare. Gambarannya, material yang terlontar masih seperti awan yang berhenti di atas gunung. Lalu, proses itu terus ter-over-flow atau tumpah keluar ke lereng di sekitarnya. Penggambaran ini yang sampai sekarang dipakai untuk menjelaskan proses ignimbrite. Komponen Ignimbrite • Litik Endapan produk dari pembentukan kaldera terdapat dua proses, yaitu plinian falls yang berupa endapan abu-pasir-kerikil dan bahan lontaran lain yang merupakan hasil dari pengendapan kolom letusan. Proses lainnya, proses ignimbrite yang merupakan endapan proses aliran piroklastik besar. Ignimbrite secara terminologi sama dengan aliran piroklastik (pyroclastic flow). Terdapat tiga unsur utama dalam ignimbrite. Yaitu : litik, batuapung dan gelas. Istilah aliran piroklastik mengacu pada proses atau bentuk dari cara mengalirnya. Dalam letusan-letusan superbesar, ignimbrite terbentuk karena kolom letusan sangat tinggi dan padat. Selanjutnya, kolom letusan tersebut runtuh kembali dan menimbulkan aliran pyroklastik ke lereng-lereng nya. Maka, ignimbrite sering digambarkan sebagai ambruknya kolom letusan besar. Litik sebenarnya unsur yang selalu ada dalam aliran piroklastik ignimbrite, yaitu pecahan/ hancuran dari batuan beku ‘existing’ : dari batuan yang ada di atas dapur magma atau di dalam atau di sekitar pipa erupsi/letusan, bahkan, juga bisa hancuran dari puncak gunungapi itu sendiri. Litik hanya dapat terjadi di letusan-letusan besar karena apabila kecil tidak ada kekuatan untuk proses penghancuran batuan beku yang ‘existing’. Proses penghancuran batuan ‘existing’ ini tentunya menghasilkan pecahan dalam berbagai ukuran, dari ukuran abu sampai ukuran bongkah. Dalam proses ‘aliran’ nya, ukuran yang lebih besar akan terendapkan lebih awal dan paling bawah. Sehingga dapat dilihat di endapan hasil pembentukan kaldera, yaitu bahwa lapisan paling bawah berupa batuan breksi dengan ukuran bongkah relatif besar. Dan semakin jauh, endapan akan tersusun dari ukuran butir yang semakin halus. 95
• Batu Apung Keberadaan batu apung tidak bisa dipisahkan dalam proses pembentuk- kan kaldera, artinya kalau terjadi proses pembentukkan kaldera, semestinya dapat ditemukan endapan-endapan batu apung. Tapi bukan berarti jika ditemukan batu apung pasti ada pembentukan kaldera. Alasannya, batu apung hanya mejadi penanda adanya proses pembangunan tekanan besar didalam dapur magma. Terbentuknya batu apung juga menandakan, sebuah sistem vulkanik (gunungapi aktif atau bisa juga kelihatan tidak aktif) telah cukup beristirahat lama (puluhan, ratusan atau bahkan ribuan tahun). Batu apung menjadi pembeda dari gunungapi-gunungapi yang sering meletus seperti Merapi, yang tidak mempunyai batu apung dalam produk letusannya. Ya, karena istirahatnya belum cukup panjang. Semakin lama beristirahat, semakin banyak produk letusan akan menghasilkan batuapung. Batuapung terbentuk sebagaimana busa di dapur magma dan menempati bagian paling atas dari dapur magma. Lalu, ketika diendapkan posisinya berada diatas (setelah) endapan lithic (atau sering disebut breksi lithic) karena batu apung relatif jauh lebih ringan dari lithic. Dalam proses pengendapannya, batu apung (atau buih) ketika diendapkan akan paling mengalami pemampatan paling besar dan kadang bahkan me-cair kembali menjadi luquid (magma), sehingga dalam batuan hasilnya terlihat sebagai komponen bewarna hitam tipis memanjang (fiamme). Lithic berperilaku berbeda, karena asalnya dari pecahan batuan beku padat (dan dingin). Oleh karena itu, tidak mudah mengalami proses pencairan saat terlontarkan. Butirbutir lithic selalu asli bentuknya ketika terpecah dari batu aslinya. Komponen utama dalam letusan besar tentunya, dari magmanya itu sendiri. Magma tersebut ketika diletuskan, tentu masih dalam keadaan cair, sehingga mudah tercabik ketika diletuskan/terlontarkan. Hal ini biasa disebut juga sebagai proses fragmentasi, sehingga berukuran abu/pasir. Pembekuan yang mendadak menyebabkan berbentuk serpihan/butiran seperti serat gelas (bening). Dalam letusan-letusan super besar yang membentuk kaldera, terdapat prasyarat agar letusan tersebut terjadi. Syarat itu, yaitu : (1) tersedianya magma dengan volume besar; (2) terjadi letusan awal melalui pipa kepundan; (3) terjadi pengurangan tekanan dapur magma secara drastis; (4) runtuhan atap dapur magma sambil membentuk beberapa pipa kepundan baru di bibir kaldera. Beberapa letusan besar di Indonesia disebutkan yaitu Samalas (Rinjani) pada tahun 1257, dengan volume letusan lebih dari 40 km3, Tambora pada tahun 1815, dengan volume letusan sebesar lebih 33 km3 dan Krakatau tahun 1883 dengan volume letusan sebesar 12,5 km3. Dari data ini terlihat bahwa letusan Krakatau tahun 1883, masih jauh lebih kecil dari volume letusan Samalas (Rinjani) tahun 1257. Kandungan Material Tanah Mengenai manfaat, salah satu yang paling nyata memberikan hasil, utamanya bidang ekonomi terhadap masyarakat adalah kesuburan tanahnya. Tentu saja ini selain manfaat pemandangan yang tiada tara dan menguntungkan dibidang pariwisata jika dikelola dengan baik. Bidang ekonomi yang hampir secara langsung memberikan kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat sekitar kaldera adalah dampak dari kesuburan tanahnya. Material yang berasal dari letusan kaldera atau 96
gunungapi memiliki kandungan menyuburkan tanah. Menurut Raymond R Weil dan N.C. Brady dalam bukunya The Nature And Properties Of Soils, Edisi ke-15, April 2016, Penerbit Pearson Education, menuliskan tanah adalah suatu tubuh alam atau gabungan beberapa tubuh alam sebagai hasil perpaduan proses. Yaitu, gaya perusakan dan pembangunan. Proses perusakan terjadi saat pelapukan dan pembusukan bahan-bahan organik. Sedangkan proses pembangunan meliputi pembentukan mineral-mineral baru dari hasil pelapukan itu. Secara umum, tanah tersusun dari lima komponen, yakni unsur mineral, organik, air, udara, dan makhluk renik. Kualitas kesuburan tanah ditentukan oleh paduan komposisi kelima hal tersebut. Komposisi yang paling ideal untuk pertumbuhan tanaman adalah 45 persen fraksi unsur mineral (anorganik), 20- 30 persen untuk masing-masing air dan udara, serta 5 persen unsur organik. Komposisi unsur mineral merupakan faktor yang berperan penting dalam memberikan kesuburan tanah di suatu area. Unsur mineral pada tanah berasal dari proses vulkanisme gunungapi di sekitarnya. Berdasarkan material penyusunnya, setidaknya ada dua jenis tanah subur yang cocok untuk tumbuh kembang tanaman. Pertama, tanah andosol yang berasal dari aktivitas magmatik gunung api. Tanahnya berwarna hitam kecokelatan dan kaya mineral sehingga cocok untuk berkembangnya jenis tanaman apapun. Kedua, tanah entisol yang merupakan hasil pelapukan material letusan gunung api yang berupa pasir, debu, dan lapili. Meskipun baru berupa permukaan tanah tipis dan belum matang, tanah jenis ini juga bersifat subur. Kedua jenis tanah tersebut bila mengalami pelapukan lanjutan setelah serangkaian proses yang mengubahnya menjadi batuan sedimen atau batuan metamorf, akan menghasilkan jenis-jenis tanah lainnya. Sebagian dari tanah tersebut tetap subur dan sebagian lagi tidak. Indikator kesuburan tanah tersebut terhadap tumbuh kembang tanaman adalah komposisi unsur mineralnya yang tinggi, seperti boron (B), klorin (Cl), kobalt (Co), besi (Fe), mangan (Mn), magnesium (Mg), molibdenum (Mo), seng (Zn), dan sulfur (S). Semua unsur tersebut berasal dari material erupsi gunungapi. Begitu pula abu vukanik. Meskipun menutupi sedikitnya 1 persen dari tanah di bumi, perannya tetap penting untuk kesuburan. Pada buku Encyclopedia of Volcanoes, dari Academic Press, juga menyebutkan tanah abu vulkanik mendukung berbagai tanaman termasuk tebu dan buah-buahan tropis dan tanah penggembalaan produktif untuk hewan. Kopi-kopi pun tumbuh subur dan nikmat bijinya ketika diolah sebagai minuman. Begitu pula selama berabad-abad kebun anggur telah berkembang di tanah abu vulkanik di Italia selatan dan memelihara budaya mediterania di selatan Alaska dan di sepanjang wilayah pesisir barat laut pasifik dari Amerika Serikat. Hanya saja tetap memerlukan penelitian lebih lanjut mengenai material kesuburan tanah ini. Apakah menjadi efisien ketika tanah tersebut mendapatkan nutrisi baru seperti pupuk pabrikan maupun herbal. Perlu adanya penelitian lanjut apa dan bagaimana cara yang direkomendasikan untuk mempertahankan kesuburan tanah dari material letusan gunungapi. 97
arenanya, informasi kaldera diharapkan menjadi penting bagi kita semua guna memahami keberadaan gunungapi, bagaimana erupsi dengan letusan super besar bisa terjadi, prosesnya dan membedakan antara kawah dan kaldera. Berusaha memahami apa saja produknya. Letusan dahsyat yang membentuk kaldera memang mampu melumpuhkan aktivitas bumi. Menelan ratusan ribu korban jiwa. Tapi, dibalik kekuatan itu, peradaban manusia justru menjadi berkembang. Manusia menjadi kreatif untuk lebih tangguh menghadapi bencana. Jika kita mampu mengenali, bencana dapat dikelola, meskipun bahaya geologi (bencana erupsi gunungapi, gempa bumi, tsunami, dan gerakan tanah) tidak dapat dihentikan oleh manusia. Itu kehendak alam dan belum ada satupun ahli geologi yang dapat memprediksi secara tepat kapan terjadi. 98
1. Acocella, V. (2006). Caldera types: How end‐members relate to evolutionary stages of collapse. Geophysical Research Letters, 33(18). 2. Acocella, V. (2007). Understanding caldera structure and development: An overview of analogue models compared to natural calderas. Earth-Science Reviews, 85(3–4), 125–160. 3. Aprianto, T. C. (2019). Panarukan: Pelabuhan “Internasional” yang Terlupakan. Historia, 1(2), 138–153. 4. Aris, M., & Pratama, A. B. (2022). Geological and Isothermal 3-D Model of Blawan-Ijen Geothermal System. 1031(1), 012009. 5. Arofah, N., & Swastika, K. (2020). The megalitic site in Pandan village Bondowoso as learning sources for historical learning. 485(1), 012134. 6. Ayuningtyas, T. R. (2021). Situs Jebung Kidul: Peninggalan Era Klasik di Bondowoso. [Unpublished manuscript]. 7. Barbier, E. (2002). Geothermal energy technology and current status: An overview. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 6(1–2), 3–65. 8. Brady, N. C., Weil, R. R., & Weil, R. R. (2008). The nature and properties of soils (Vol. 13). Prentice Hall Upper Saddle River, NJ. 9. Caudron, C., Syahbana, D. K., Lecocq, T., Van Hinsberg, V., McCausland, W., Triantafyllou, A., Camelbeeck, T., & Bernard, A. (2015). Kawah Ijen volcanic activity: A review. Bulletin of Volcanology, 77(3), 1–39. 10. Cole, J., Milner, D., & Spinks, K. (2005). Calderas and caldera structures: A review. Earth-Science Reviews, 69(1–2), 1–26. 11. Costa, A., J Suzuki, Y., & Koyaguchi, T. (2018). Understanding the plume dynamics of explosive super-eruptions. Nature Communications, 9(1), 1–6. 12. Cotton, C. A. (1944). Volcanoes as landscape forms. 13. Daud, Y., Arafat, Y., Kumara, D. A., Fortuna, D. A., Yunus, F. M., & Avicienna, H. F. (2018). An updated study of discovering blawan-ijen geothermal prospect area using gravity and magnetic methods. 73, 01007. 14. Delmelle, P., & Bernard, A. (2000). Downstream composition changes of acidic volcanic waters discharged into the Banyupahit stream, Ijen caldera, Indonesia. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 97(1–4), 55–75. 15. Giordano, G., & Cas, R. A. (2021). Classification of ignimbrites and their eruptions. Earth-Science Reviews, 220, 103697. 16. Hall, R. (2012). Late Jurassic–Cenozoic reconstructions of the Indonesian region and the Indian Ocean. Tectonophysics, 570, 1–41. 17. Hammer, C. U., Clausen, H. B., & Dansgaard, W. (1980). Greenland ice sheet evidence of post-glacial volcanism and its climatic impact. Nature, 288(5788), 230–235. 18. Handley, H., Macpherson, C., Davidson, J., Berlo, K., & Lowry, D. (2007). Constraining fluid and sediment contributions to subduction-related magmatism in Indonesia: Ijen Volcanic Complex. Journal of Petrology, 48(6), 1155–1183. 19. Harsolumakso, A. H., Noeradi, D., Rudyawan, A., Amiarsa, D., Wicaksono, S., & Nurfarhan, A. A. (2019). Geology of the Eastern Part of the Volcanic-Kendeng Zone of East Java: Stratigraphy, Structures and Sedimentation Review from Besuki and Situbondo Areas. Jurnal Geologi Dan Sumberdaya Mineral, 20(3), 143–152. 20. Hidayat, M. (2007). Menengok Kembali Budaya dan Masyarakat Megalitik Bondowoso. Berkala Arkeologi, 27(1), 19–30. 21. Hochstein, M. P., & Sudarman, S. (2015). Indonesian volcanic geothermal systems. 19–25. Daftar Pustaka 99
22. Holohan, E. P., van Wyk de Vries, B., & Troll, V. R. (2008). Analogue models of caldera collapse in strike-slip tectonic regimes. Bulletin of Volcanology, 70(7), 773–796. 23. Junghuhn, F., (1853). In: van Kampen PN (ed) Java, deszelfs gedaante, bekleeding en inwendinge structuur, vol 1-4, Amsterdam 24. Kennedy, B., Stix, J., Vallance, J. W., Lavallée, Y., & Longpré, M.-A. (2004). Controls on caldera structure: Results from analogue sandbox modeling. Geological Society of America Bulletin, 116(5–6), 515–524. 25. Leschenault, (de la Tour), J., (1811). Notice sur un lac d’acide sulfurique qui se trouve au fond d’un volcan du Mont-Idienne, situ´e dans la province de Bagnia-Vangni, cˆot´e orientale de l’ile de Java. Am Mus Hist Nat 18:425–446 26. Pertiwi, H., Swastika, K., Na’im, M., & Pratama, A. (2021). Megalithic culture at the Suco Lor site Bondowoso. 747(1), 012069. 27. Setijadji, L. D., Kajino, S., Imai, A., & Watanabe, K. (2006). Cenozoic island arc magmatism in Java Island (Sunda Arc, Indonesia): Clues on relationships between geodynamics of volcanic centers and ore mineralization. Resource Geology, 56(3), 267–292. 28. Simkin, T. (1983). Krakatau, 1883: The volcanic eruption and its effects. 29. Sitorus, K. (1990). Volcanic stratigraphy and geochemistry of the Idjen Caldera Complex, East-Java, Indonesia. 30. Smyth, H., Hall, R., Hamilton, J., & Kinny, P. (2005). East Java: Cenozoic basins, volcanoes and ancient basement. 251–266. 31. Soeria-Atmadja, R., Maury, R., Bellon, H., Pringgoprawiro, H., Polve, M., & Priadi, B. (1994). Tertiary magmatic belts in Java. Journal of Southeast Asian Earth Sciences, 9(1–2), 13–27. 32. Sulistyarto, P. H. (2003). Pola Permukiman Megalitik di Situs Kodedek, Bondowoso. Berkala Arkeologi, 23(1), 28–41. 33. Takano, B., Suzuki, K., Sugimori, K., Ohba, T., Fazlullin, S., Bernard, A., Sumarti, S., Sukhyar, R., & Hirabayashi, M. (2004). Bathymetric and geochemical investigation of Kawah Ijen crater lake, East Java, Indonesia. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 135(4), 299–329. 34. Van Bemmelen, R. van. (1949). The geology of Indonesia, vol. IA: General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes, The Hague, Martinus Nijhoff, 1. 35. Verbeek, R.D.M., (1886). Krakatau. Publie par ordre de son excellence Le Gouverneur-General des Indes Neerlandaises. Batavia (Jakarta). 36. Wijayanti, L., Swastika, K., Na’im, M., & Pratama, A. (2021). Megalithic Culture at the Maskuning Kulon Site Pujer Bondowoso. 747(1), 012065. 37. Williams, H. (1941). Calderas and their origin. Bull. Geol. Sci. Dep., 25, 239–346. 100