The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Bab-bab dalam buku ini memberikan kepada pembaca secara jelas dan komprehensif beragam fenomena alam Kaldera Ijen sebagai rangkaian panjang proses geologi yang terjadi. Begitu pula menyajikan manifesta- si yang muncul, faktor-faktor yang berpengaruh serta beragam aktivitas masyarakat yang berkembang di dalamnya. Proses geologi yang panjang dengan beragam hasil bentang alam yang begitu indah, menghasilkan beragam hipotesis hasil penelitian yang saling melengkapi.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by fikorizqiandiki, 2023-10-10 21:03:34

Seri Kaldera Nusantara - Ijen

Bab-bab dalam buku ini memberikan kepada pembaca secara jelas dan komprehensif beragam fenomena alam Kaldera Ijen sebagai rangkaian panjang proses geologi yang terjadi. Begitu pula menyajikan manifesta- si yang muncul, faktor-faktor yang berpengaruh serta beragam aktivitas masyarakat yang berkembang di dalamnya. Proses geologi yang panjang dengan beragam hasil bentang alam yang begitu indah, menghasilkan beragam hipotesis hasil penelitian yang saling melengkapi.

Keywords: Kaldera Ijen,Ijen,Geopark,UNESCO,Bondowoso

Endapan produk letusan Kaldera Ijen, berupa endapan “ignimbrite” menghampar luas di lereng utara Gunung Ijen Tua. Hamparan endapan menyebar dari yang paling barat, di Tapen Bondowoso sampai ke timur, Desa Sumberanyar, seputaran wilayah Asembagus. Jarak jangkau terjauh ignimbrite ke utara sampai Selat Madura, terukur sekitar 30 km. Lokasi Batu So’on ini berada kira-kira di tengah perjalanan merambatnya bubur panas ignimbrite yang dimuntahkan letusan Gunung Ijen Tua. Batuan Batu So’on tersusun berupa kerikil-kerikil kecil sampai halus. Kerikil ini berasal dari hancuran tubuh Gunung Ijen Tua saat letusan Fase II. Sementara, Fase I, jangkauan endapan ignimbrite Fase I terlukis pada dinding Gua Putih, Ninggil, Botolinggo. Batuan sangat keras karena adanya efek pengelasan (welding) dengan bukti adanya gelundungan batu ignimbrite dengan fiamme sehingga ikatan butiran-butirannya sangat kuat. Berbeda dengan batuan di Batu So’on, tidak ada efek pengelasan antar butir penyusunnya sehingga kurang begitu kuat fragmen butirannya. Tidak kuatnya ikatan butiran-butiran ini, menyebabkan batuan seputaran Batu So’on mudah tererosi. Sedangkan batuan Gua Putih tidak mudah tererosi. Dan memang di seputaran Solor ini, erosi sangat kuat efeknya dengan lembah-lembah alur sungai yang curam. Hanya saja, ‘badan’ dan ‘kepala’ tersebut sebenarnya sama sama berasal dari letusan Fase II. Karena meskipun endapan letusan Fase II ini komponen fragmen batuannya sama antara bongkahan batu dengan bongkahan yang di atasnya, namun cara mengendapnya tidak dalam satu tahap sekaligus. Contoh yang jelas terdapat di daerah Ninggil. Ketika menyusur jalan raya dari Tras Pendawa, kita menjumpai tebing jalan dari endapan letusan kedua. Tebing itu terlihat kaya bongkahan blok lava yang tersusun atas dua lapisan. Dua lapisan itu berasal dari batuan letusan Fase II, hanya saja fase pengendapannya berbeda dengan adanya jeda yang tidak terlalu lama. Adanya dua fase pengendapan terjadi karena ignimbrite dari Fase I telah mengisi lembah-lembah terlebih dahulu sehingga Ketika Fase II terjadi, lereng utara sudah relatif rata dan menjadikan proses aliran letusan Fase II lebih mudah menyebar merata. Beberapa bagian aliran bisa saja membelok ke kiri dan ke kanan dengan mudah dan saling menumpuk di antara bubur endapan. Beda endapan dua letusan Komposisi batuan endapan fase II Kaldera Ijen Bentukan alami tonggak-tonggak endapan letusan faseII Kaldera Ijen. 43


Meskipun jeda tidak lama, namanya letusan super-power tetap penuh dengan butiran abu letusan di udara. Jeda waktu beberapa menit pun cukup memberi butiran abu dan pasir berjatuhan mengendap. Dan, batas antara fase ini yang kemudian menjadi “leher” dari Batu So’on. Proses pemisahan antara tonggak dan kepala Batu So’on bisa juga diperkuat oleh proses gempa bumi. Getaran gempa bumi dapat menggerakkan tonggak batu. Kepala So’on ini lebih mudah tergeser. Itulah kenapa beberapa tonggak Batu So’on kehilangan bagian kepalanya. Tonggak batu di Batu So’on. Lapisan atas yang menjadi ‘kepala’ bahkan kadang nampak tergeser, karena memang ikatan antara ‘badan’ dan ‘kepala’ tidak begitu kuat. Batuan yang ada Batu So’on mengendap langsung di perlapisan batuan dari Gunung Ijen Tua, artinya endapan dari Fase I yang mengisi lembah tidak sampai penuh. Sedikit lapisan hujan abu ada di landasannya. Lapisan yang sama di dusun Keper desa Solor. Endapan Fase II menumpang di endapan Gunung Ijen Tua. Situasi endapan di Batu So’on dan Keper membuktikan bahwa letusan Super-Plinian Fase I utamanya mengarah lebih ke barat-barat laut di seputaran Botolinggo. Sementara endapan Fase II lebih menyebar. 44


Istimewanya dari daerah Solor ini, Batu So’on merupakan produk letusan Fase II. Namun, dibawahnya tidak terdapat endapan letusan pertama, seperti Gua Putih, yang secara teori seharusnya menumpang di endapan letusan pertama. Kondisi ini membuktikan sejak semula lokasi Batu So’on ini bukan lembah. Apabila dibayangkan sudah ada lembah curam sebelumnya, kemungkinan ignimbrite letusan pertama mengalir mengisi lembah. Hanya saja tidak sampai penuh dan tidak sampai mengisi punggungan-punggungan lembah. Maknanya, daerah Solor ini tertutup endapan tebal yang menyertai amblesnya Kaldera Ijen. Menjadikan Solor ini tempat yang tepat untuk mempelajari proses amblesnya Kaldera Ijen. Batuan Batu So’on ini mengendap menumpak di perlapisan tuffa, abu atau pasir halus jatuhan (hujan abu sangat tebal). Tufa ini dapat dijumpai di gua kecil, lokasinya dicapai dengan menyusuri jalan ke atas sekitar 400 meter dari situs wisata So’on Solor, di samping di bawah jalan. Atap gua adalah bagian terbawah dari Batuan Batu So’on. Di bawahnya terdapat tiga lapisan. Perlapisan tufa yang paling atas juga ditemui di Dusun Keper, Solor, berjarak tiga km arah hilir dari lokasi Batu So’on. Di Galingan, perlapisan tufa ini berada di antara endapan lapisan pertama dan kedua. Dari yang dijumpai di Solor dan di Ninggil, makin jelas bahwa letusan Plinian (super-power) letusan pertama lebih ke arah barat-barat laut dengan sebaran yang tidak begitu luas. Meskipun jauh jangkauannya, dibanding dengan letusan Plinian letusan kedua. Sebaran letusan kedua ini, seperti yang terdapat di Solor, membuktikan letusan pertama relatif masih dari puncak sentral yang ada sebelumnya dari Gunung Ijen Tua. Letusannya pun relatif terarah. Sedangkan, letusan kedua berasal dari runtuh dan amblesnya Gunung Ijen purba, sehingga pusat letusan lebih banyak dan lebih lebar areanya. Perbedaan sebaran letusan pertama dan kedua dalam sebuah proses pembentukan kaldera cukup bisa dirasakan di Kaldera Ijen dibanding dengan proses pembentukan kaldera lainnya. Karenanya, kompleks Betho So’on Solor ini istimewa sebagai ruang belajar proses pembentukan kaldera. Tempat belajar 45


UJUNG-UJUNG ENDAPAN kaldera Berdiri memandangi dinding tebing di Pendawa, Desa Botolinggo, dan tonggak-tonggak batuan di Batu So’on, Desa Solor, Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur, tergelar ketebalan endapan letusan Kaldera Ijen. Ketebalan endapan awan panas piroklastiknya mencapai 100 meter (m). Jarak dua lokasi ini terukur 10-15 km dari bibir Kaldera Ijen. Lantas, seberapa jauh sebenarnya laju endapan letusan itu terhenti? Apakah material vulkaniknya sampai ke lautan Selat Madura dan Situbondo? Karena dugaan awal, arah letusannya menyebar ke Utara gunung. Yuk, mencari tahu bersama, di mana endapan berakhir. Setelah menyusuri dan meneliti, benar adanya sebaran larinya endapan itu berhenti di sekitar jarak 30 km, dari bibir kaldera. Arahnya menghempas ke arah barat laut, utara, dan timur laut, baik di Bondowoso hingga ke kabupaten lainnya. Foto 3. Piroklastik di 24 km timur laut kaldera tepatnya di daerah Lecak, Situbondo. Foto 1. Endapan piroklastik di daerah Panji, Situbondo yang berjarak sekitar 30 km barat laut dari kaldera. Foto 2. Kenampakan tras putih di daerah Jatisari, Situbondo sekitar 28 km utara kaldera. 3 1 2 46


SEBARAN ENDAPAN Demi memastikan di manakah ujung endapan kaldera, penelusuran dari Bondowoso menuju utara, ya, Kabupaten Situbondo. Sampailah di daerah Panji, Kabupaten Situbondo, sekitar 30 km di bagian barat laut kaldera. Di tempat tersebut terdapat ketebalan endapan piroklastik (ignimbrit), setebal kira-kira 10 m. Singkapan batuan ini berada di sela-sela morfologi perbukitan. Secara komposisi, batuan ini tersusun atas batu apung berwarna abu-abu serta hitam ukuran bervariasi tiga sentimeter (cm)- 10 cm dan fragmen pecahan lava berwarna hitam dengan ukuran kira-kira 10 cm-15 cm. Fenomena batuan yang serupa di Panji, juga dijumpai di daerah Lecak, masih Situbondo. Jarak dari bibir kaldera ke arah timur laut sekitar 24 km dekat dengan pantai utara. Batuannya setebal dua meter dan didominasi batuapung abu-abu hingga hitam dan fragmen pecahan lava hitam variasi ukuranya dua sentimeter sampai lima sentimeter. Bergeser 28 km ke arah utara dari dinding Kaldera Ijen, di Jatisari, Kabupaten Situbondo. Kita bisa menjumpai bekas bekas galian tras berwarna putih. Tras putih ini merupakan endapan piroklastik dengan komponen utamanya adalah batu apung putih variasi ukuran empat sentimeter sampai delapan cm. Ketebalan dindingnya empat meter. Perbedaan singkapan di Panji, Lecak, dan Jatisari, ini dapat mengkonfirmasi arah pengendapan material vulkanik letusan kaldera ketika itu dominan menuju barat laut hingga timur laut ujung kaki Gunung Ijen Tua. Semakin jauh jarak aliran, semakin menipis pula ketebalan batuan yang dihasilkan. Seiring berjalannya waktu, endapan material vulkanik mengalami erosi dan pelapukan. Pelapukannya menghasilkan lahan-lahan yang dapat dijadikan wilayah pertanian dan perkebunan yang subur. Seperti di area persawahan yang luas di wilayah Cermee, Kabupaten Bondowoso, tidak dapat lepas dari proses pelapukan dari endapan Kaldera Ijen. Memang, letusan besar gunung api merusak apapun yang dilaluinya. Namun berjalannya waktu memasuki masa lain setelahnya, segala material vulkanik yang mengendap, lalu lapuk, suatu saat memberikan manfaat atau mempengaruhi peradabannya, salah satunya kesuburan tanah. Area Sawah Cermee 47


DI Dalam Mangkuk Kaldera Letusan besar Gunung Ijen Tua terjadi. Amblesannya meninggalkan mangkuk besar berdiameter mencapai 15 kilometer (km) dan kedalamannya sekitar 700 meter (m). Penelitian Sitorus (1990), menjelaskan setelah proses letusan gunung menyisakan garis lengkung yang tampak melingkar membentuk dinding kaldera. Garis ingkarannya yang terlihat jelas berada di bagian barat laut lalu melengkung ke utara hingga timur laut yang dikenal sebagai rim kaldera. Berdasarkan penanggalan umur batuan lava sebelum letusan kaldera (Gunung Ijen Tua) di bagian timur mangkuk kaldera didapatkan angka usia sekitar 294.000 tahun. Lalu, umur lava dari Gunung Blau yang berada di tengah mangkuk menunjukkan umur sekitar 50.000 tahun. Maka, kita mendapatkan gambaran, Gunung Blau jauh lebih muda umurnya. Dan, menjadi kerucut vulkanik pertama yang tumbuh setelah proses amblesan menuju kaldera. Sehingga umur letusan kaldera tidak lebih tua dari 300.000 ribu tahun dan tidak lebih muda dari 50.000 tahun lalu. Selain itu di daerah Blawan juga terdapat endapan danau berumur sekitar 50.000 tahun. Belakangan, penemuan kami mendapatkan umur endapan danau di dekat mata air panas Blawan menunjukkan penanggalan radiokarbon sekitar 24.000 tahun. Temuan ini, membuktikan bahwa daerah Blawan ketika itu merupakan suatu lingkungan danau di dalam mangkuk. Setelah letusan dan amblesan Gunung Ijen Tua, setidaknya ada 22 titik kegunungapian yang mengikutinya. Titik-titik itu berada di kompleks Kaldera Ijen, baik berada di bagian tepi atau rim kaldera dan di dalam area mangkuk kaldera. Pada bagian rim terdapat kerucut gununggunung vulkanik, seperti Suket, Jampit, Rante, Merapi, Ijen, dan Ringgih. Bagian tengah mangkuk kaldera terdapat kerucut sinder (ukurannya lebih kecil dari kerucut vulkanik), seperti Widodaren, Pendil, Kawah Wurung, Anyar, Lingker. RENTETAN USIA Selanjutnya, kita membahas beberapa titikSelanjutnya, kita membahas beberapa titik yang menjadi kunci untuk mengetahui urutan kejadiannya. Tentunya berdasarkan Kondisi morfologi Kompleks Kaldera Ijen terbagi menjadi zona tepian kaldera dan dalam kaldera 48


penelitian penanggalan usianya dari sampel produk letusannya. Setelah terbentuk Gunung Blau, pada sekitar 45.000 tahun lalu disusul pembentukan Gunung Jampit dan Gunung Suket sekitar 37.900 tahun lalu. Selanjutnya Gunung Rante dan Gunung Ringgih memiliki umur yang hampir sama, yakni sekitar 30.000 tahun dan 29.000 tahun. Rentetan selanjutnya keberadaan Gunung Pawenan berumur 24.400 tahun. Gunung Ijen (Kawah Ijen) berumur sekitar 2.590 tahun berdasarkan penanggalan radiokarbon pada endapan piroklastik. Pada kerucut sinder seperti Gunung Kawah Wurung hingga Gunung Lingker diperkirakan terbentuk pada kira-kira 25.000 tahun lalu. Penelitian lain, Handley, dkk. (2007), menunjukkan adanya perbedaan karakteristik geokimia batuan basal-andesit dari kerucut vulkanik. Pada bagian rim atau tepian kaldera Ijen kaya akan unsur kalsium (Ca). Sedangkan batuan basal hingga dasit hasil erupsi kerucut vulkanik atau sinder di dalam mangkuk kaldera cenderung memiliki unsur kalsium rendah. Perbedan tersebut menunjukkan proses evolusi magma yang berbeda, antara kerucut vulkanik pada bagian tepi dan dalam mangkuk kaldera. Nah, sifat geokimia dari Gunung Ijen berada pada transisi antara kalsium tinggi hingga rendah. Lanskap beberapa kerucut gunung api di bagian tepi dan dalam morfologi kerucut sinder di dalam kaldera. Foto morfologi dinding kaldera di sisi barat rim kaldera. 49


50


Kompleks Si Kerucut Bungsu Mari kita melihat urutan terbentuknya kawah-kawah di dalam Kaldera ijen. Mulai dari urutan arah barat ke timur : Gunung Anyar, Gunung Genteng, Gunung Glaman, Gunung Kukusan, dan Gunung Blau. Bagi peneliti, urutan ini menarik. Menariknya adalah magma Gunung Blau memiliki kandungan magma yang paling encer dan mirip dengan magma Gunung Anyar. Ilustrasi proses letusan kembang api “strombolian” dari kompleks kerucut cinder. 51


Bentuk ideal Anyar ini lingkar kawahnya hampir sempurna. Bibir kawahnya datar, tidak ada miring-miringnya sama sekali. Tinggi bibir kawah bagian utara itu sama tingginya dengan bagian selatan, 150 mdpl. Sisi kawahnya membentuk sudut 35° (derajat). Ukuran dan kemiringan yang sempurna sebagai kawah cinder. Jika kita bandingkan dengan Gunung Genteng di dalam area Kawah Wurung memiliki bentuk gunung yang relatif lebih oval (lonjong) dari arah barat laut-tenggara. Ovalnya kawah gunung ini nampaknya mengikuti pola dari bentuk Kawah Wurung sendiri yang lonjong berarah barat laut-tenggara. KERUCUT CINDER Magma yang membentuk Gunung Anyar, Genteng dan Kawah Wurung bersifat basaltik dengan kondisi magma sangat encer di kedalaman. Bagian magma yang paling atas mengandung gas. Kondisi gas berada paling atas ini bakal terlepas ketika mendekati permukaan. Lalu terjadi letusan dan mencerai beraikan bubur magma ke udara. Letusan kembang api “strombolian”. Meski letusannya kecil, letusannya membentuk Gunung Anyar yang terjadi dalam sekali semburan kembang api. Serpihan-serpihan bubur magma menumpuk di sekeliling lubang letusan sehingga membentuk kerucut cinder. Istilah cinder adalah batu-batu kerakal tak beraturan yang terbentuk dari serpihan-serpihan magma yang membentuk kerucut hasil letusan. Cinder pada kerucut Gunung Anyar mempunyai bentuk kerucut yang ideal karena arah letusan tegak vertikal. Gunung Anyar bagai memiliki dua anak kerucut di sebelah tenggaranya : kerucut 1 (C1) yang paling kecil dan kerucut 2 (C2) yang lebih besar menempel di tubuh gunung. Kerucut lainnya berukuran kecil-kecil berada di sebelah Barat laut : kerucut 3 (C3) dan kerucut 4 (C4). RETAKAN YANG MENENTUKAN Hal ini menandakan banyaknya retakan-retakan (struktur) di bawah Kaldera Ijen yang terbentuk saat ambles membentuk kaldera. Struktur ini menjadi jalan bagi keluarnya magma ke permukaan saat letusan. Magma yang berada di kedalaman mencari celah jalan keluar dan berupa lava encer. Dan urutan kemunculan kawah itu tergantung dari struktur di kedalamannya. Di antara kawah-kawah yang ada, terdapat Gunung Lingker yang tidak diketahui menghasilkan lava ke arah mana. Mengapa? Karena lava Gunung Anyar dan Genteng menutupi tubuh Gunung Lingker. Mengamati morfologinya, kemungkinan Gunung Lingker ini satu generasi dengan Gunung Blau dan Pawenen. Berderetnya kerucut-kerucut vulkanik di dalam Kaldera Ijen, Gunung Anyar merupakan yang terbentuk akhir. Gunung ini memiliki ciri kerucut “cinder” yang ideal. Diameter kawahnya berukuran 290 meter (m) dan diameter dasar kerucut 650 m. 52


Kenampakan morfologi kerucut sinder, kerucut “kecil-kecil”, di dalam kaldera. Endapan tuf, kerikil, dan kerakal hasil erupsi sebagai penyusun kerucut cinder. Kerucut-kerucut jika diamati berdasarkan kenampakan morfologinya itu segaris lurus dari arah tenggara ke barat laut (C1-C2- Gunung Anyar-C3-C4). Urutan ini juga merupakan urutan kejadian terbentuknya kerucut. Letusan terbesar saat membentuk Gunung Anyar (setelah C1-C2) dan paling akhir C4 dengan mengeluarkan magma encer keluar dan membentuk Lava Plalangan. Ada perbedaan antara C1, C2 dengan C3 dan C4. Pada C1 dan C2, letusan kecil strombolian menghasilkan kerucut cinder. Lalu, C3 dan C4 tidak benar-benar menjadi kerucut cinder karena terjadi erupsi efusif yang langsung mengeluarkan lava encer. Magma yang keluar (lava) mengalir ke lerengnya. Kawah kecil C3 mengalirkan lava dua kali, yaitu lava C3A dan lava C3B. Sedangkan kawah C4 mengalirkan lava sedikit ke arah selatan yaitu lava C4A dan yang banyak dialirkan ke utara. Lava C4B itu Lava Plalangan, yang mengalir melewati Dusun Plalangan sampai ke Dusun Blawan. Mengenai kelurusan posisi C1 sampai C4, 53


menunjukkan magma memang dari kedalaman menyusup ke atas melalui celah struktur di bawah permukaan. Ketika membentuk C1, C2 dan Gunung Anyar, magma masih membawa gas yang cukup untuk membuat letusan strombolian. Setelah itu, magma yang sudah tidak begitu banyak mengandung gas mengalir keluar melalui kawah C3 dan C4. Semakin ke C4, magma yang keluar semakin banyak (Lava Plalangan). Magma dari C1, C2, Gunung Anyar, C3, dan C4 itu sejenis. Ketika dibandingkan dengan kawah basaltik di area kaldera, aliran Lava Plalangan merupakan aliran lava terpanjang. Ya, karena magmanya sudah sangat encer sehingga bisa mengalir sejauh-jauhnya. Artinya, magma Gunung Anyar itu paling encer di lingkungan Kaldera Ijen. Bisa jadi sebanding dengan lava Gunung Blau sebagai kerucut basaltik yang pertama di seputaran kaldera. DEKAT TAPI BEDA Jarak Gunung Anyar dengan Gunung Genteng itu berkisar dua km. Bagi peneliti, jarak ini tidak jauh dan cenderung sangat dekat. Namun, karakteristik magma kedua gunung ini berbeda, lho. Kok bisa? Magma Gunung Anyar itu kandungannya lebih basaltik daripada magma Gunung Genteng dan Kawah Wurung. Lava Gunung Anyar mengalir sampai ke Belawan yang berjarak sekitar 8,5 km. Aliran lava Gunung Genteng mengalir sampai jarak 4,5 km. Komposisi magma kedua gunung ini sebenarnya tidak berbeda. Hanya saja, jalan magma keduanya berbeda jalur. Jalur magma Gunung Genteng itu naik dari kedalaman, sehingga perjalanannya lebih lambat dibandingkan jalur magma yang keluar dari Gunung Anyar yang relatif mudah keluar dari kedalaman. Sebagaimana di Gunung Anyar, Lava Gunung Genteng keluar di dari kaki lereng Gunung Genteng mengalir sampai 4.5 km. Lava keluar dari dua titik lokasi di sebelah utara Gunung Genteng, yaitu titik Ge1 dan Ge2 yang keduanya berjarak sekitar 300 m. Kenampakan Gunung Anyar dengan kerucut C1, C2, C3, dan C4 yang menempel di tubuh gunung dan arah aliran lava yang ada. 54


Lava mengalir ke arah utara, menabrak Gunung Lingker dan di sisi timur Gunung Lingker sebagian kecil lava terus mengalir ke utara dan berhenti. Erupsi aliran lava di Gunung Genteng dan Gunung Anyar terjadi setelah letusan Strombolian yang membentuk kerucut cinder. Bedanya, di Gunung Anyar titik keluarnya lava Plalangan membentuk seperti kawah sedangkan titik sumber Lava Genteng hampir tidak berbekas, kecuali hanya berbentuk lekukan saja. Kawah Wurung sendiri merupakan kerucut cinder yang cukup besar. Kemungkinan terbentuk oleh letusan strombolian yang tidak satu titik tetapi dari rekahan sehingga dapat menghasilkan bukit cinder yang besar. Bentuknya runtuh oleh letusan-letusan piroklastik dan kemungkinan longsoran, karena terlalu besar, ke arah barat laut sebelum Gunung Genteng terbentuk. Makin menarik, ya, mengupas kerucut demi kerucut seputaran Kaldera Ijen ini. Ilustrasi arah aliran lava yang encer dari Gunung Anyar dan Gunung Genteng. Aliran Lava Plalangan 55


Gunung Ijen Tua ambles. Terbentuklah Kaldera Ijen, Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur. Dan, memiliki potensi panas bumi di daerah Blawan-Ijen. Karena memiliki sistem panas bumi yang ditandai dengan keberadaan mata air panas Blawan dan Kawah Ijen. Lokasinya berada di dalam mangkuk besar Kaldera Ijen. Tanda-tanda di Blawan-Ijen, sesuai dengan syarat umum sumber daya geothermal (panas bumi) yang teramati di suatu daerah. Syarat diantaranya, suatu daerah memiliki aliran panas yang lebih tinggi daripada lingkungan sekitarnya. Aliran panas tersebut memanaskan air yang terdapat pada batuan dengan pori-pori atau bersifat permeable (lolos air) memiliki pori-pori di kedalaman. Selain itu, sumber daya dengan potensi pemanfaatan energi yang tinggi terletak pada daerah dengan aktivitas geothermal yang dapat terlihat. Misalnya, mata air panas, geyser, ataupun rekahan yang mengeluarkan uap air (fumarole) atau gas belerang (solfatara). Gunungapi aktif juga dapat disebut sebagai aktivitas geothermal, meskipun dengan skala yang jauh lebih besar. Sistem Blawan-Ijen Mata air panas Blawan, terletak di Desa Blawan. Tepatnya berlokasi di sebelah Utara dari mangkok besar Ijen. Airnya memiliki temperatur 350 C (derajat Celsius)-500 C dengan pH netral, mulai dari enam (pH>6). Kemunculan mata air panas tersebut diperkirakan sebagai akibat perpindahan fluida pembawa panas. Perpindahan yang terjadi dari bawah perSumber panas Batuan Impermeable Wadah Air / zona reservoir Batuan Tudung Uap Air 1 2 3 4 5 Zona imbuhan Mata air panas atau keluaran uap air (fumarole) Sumur geothermal batuan tutupan impermeable Batuan impermeable Akuifer atau reservoir Fluida panas Air meteorik Aliran panas (konduksi) 1 Terobosan magmatik 2 3 4 5 Secara sederhana memahami panas bumi adalah seperti memanaskan air dengan menggunakan ketel, dimana tentu kita memerlukan sumber panas (api/kompor), kemudian wadah air (zone reservoir), tutup ketel (batuan tudung impermeable), dan setelah air dipanaskan maka ketel akan mengeluarkan uap air. Uap air ini lah yang dimanfaatkan untuk memutar turbin generator yang akan menghasilkan energi listrik. (Sumber: Geothermal energy technology and current status: an overview, Enrico Barbier, 2002) “TUNGKU” BUMI BLAWAN-IJEN 56


mukaan yang melalui patahan-patahan memanjang ke arah utara dari sebuah “kompor” panas bumi di sebelah selatan mangkok Kaldera Ijen. Lalu, danau kawah asam yang memiliki temperatur lebih dari 30 derajat Celsius dengan pH kurang dari satu (pH <1), yang dipengaruhi oleh rekahan gas di dasar danau. Kemudian adanya mata air panas di lereng sebelah Barat kawah Ijen berhubungan dengan danau kawah dan sistem panas di bawah permukaan. Uap panasnya memiliki temperatur bervariasi antara 2000C-6000C. Sehingga, sumber panas dari sistem geothermal Blawan-Ijen diperkirakan adalah magma yang dihasilkan oleh aktivitas kegunungapian di bawah permukaan. Aktivitas ini juga dapat dijumpai di Kawah Wurung dan Kawah Ijen. Sistem panas bumi juga terdapat kawasan gunungapi di Indonesia, lainnya seperti di Gunung Sibayak (Sumatera Utara) dan di Gunung Tangkuban Perahu (Jawa Barat). Kedua gunung ini juga memiliki sistem panas bumi berupa mata air panas, serta beberapa fumarole dan solfatara di sekitarnya. Hanya saja, Kawah Ijen terdapat adanya tambahan danau asam, selain solfatara, dan mata air panas. Energi terbarukan Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari proses alam yang berkelanjutan. Panas bumi masuk dalam kategori sumber energi terbarukan, selain tenaga surya, tenaga angin, arus air, proses biologi. Maka, sumber daya geothermal adalah energi termal yang dapat diekstraksi dengan biaya yang kompetitif. Tentunya, jika dibandingkan dengan energi lainnya dalam jangka waktu tertentu di masa depan. Sehingga pemanfaatan panas bumi ini tetap perlu menjaga lingkungan dan digunakan dengan bijaksana agar berkelanjutan. Kaldera Ijen Danau kawah asam dome tua lubang bor di Wurung Sungai asam Mata air panas netral ?Sistem purba? Panas konduktif Pendinginan magma CO2 bawah kerak Pelepasan gas Pendinginan magma Keluaran aliran asam Keluaran pH netral Aliran ke atas pada batuan Kedalaman (km) Jarak (km) KALDERA IJEN 100° 2 1 0 -1 -2 -5 -10 12 8 4 0 4 8 12 Gas panas Model konsep dari sistem panas bumi di Mata Air Panas Blawan, di dalam Kaldera Ijen hingga di Danau Kawah Asam Ijen). (Sumber: Indonesian Volcanic Geothermal Systems, Hochstein and Sudarman, 2015) 57


BERTEMU “SONGI PAHETE” 58


Pada tahun 1800-1811, negara Belanda menjadi taklukan Perancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte. Kerajaan Belanda diubah menjadi Republik, Republik Bataaf. Dan informasi tentang kondisi Kali Putih dari daerah Asembagus yang ‘asam’ yang membuat ada seorang ahli Perancis, Leschenault de la Tour, ini datang ke Jawa… Félicitations! Jauh sebelum sejumlah ahli tertarik meneliti Kaldera Ijen, Monsieur Leschenault de la Tour (peneliti asal Perancis) datang meneliti dan menemukan sumber mata air itu di tahun 1805. Ya, Kali Pahit. Penelusuran membawanya ke atas hingga dam Kawah Ijen, menemukan Kali Pahit bersumber rembesan di bawah dam ketinggian 2.030 meter di atas permukaan laut (mdpl). Coba sambil membayangkan, di tahun-tahun itu, tentunya akses menuju Kaldera Ijen belum semudah seperti saat buku ini diterbitkan. Peta pun belum ada. Binatang buas, harimau, pun masih sangat banyak. Peneliti asal Prancis ini yang akhirnya menjadi orang pertama yang menggambarkan situasi lingkungan dan bukit-bukit yang ada seputaran “Ongop-Ongop”, nama Paltuding di masa lalu, dengan bentuk sketsa. Ia menyebut semua bukit dan gunung sebagai “montagne”. Hanya Kawah Ijen yang dia sebut dengan “volcan”. Dalam sketsa yang dibuat oleh Leschenault dela Tour (baca halaman Jejak Danau Asam), dia menyebut Kali Pait disebut dengan nama “Songi Pahete”. Sebutan itu sepertinya sudah ada pengaruh bahasa Madura karena sudah menggunakan istilah “Songi” dan bukan “Kali”. Beberapa nama dalam sketsa yang masih bisa dikenali sekarang, yaitu nama Gunung Suket, Gunung Rante, Gunung Raung, Gunung Kendeng (nama ini tidak digunakan lagi karena duplikasi dengan pegunungan Kendeng yang di Rembang), dan Gunung Ijen. Sedangkan nama Gunung Radianpo (Rediombo), Gunung Labou Ayou (Labuayu), Gunung. Seloupo (Selupa) dan Ongop-Ongop tidak dikenal lagi. Karena, Gunung Rediombo menjadi Gunung Blau, Ongop-Ongop lebih dikenal sebagai Paltuding dan dua gunung lain tidak banyak disebut. Lalu, Gunung Kendeng belum disebut sebagai kaldera, karena istilah kaldera dan ilmu kaldera memang belum ada. Istilah itu baru ada setelah Krakatau meletus, di tahun 1883. Letusan besar itu meninggalkan jejak Kaldera Krakatau. Nah, itupun setelah laporan tentang Krakatau yang aslinya berbahasa Belanda diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Terdapat dua sungai utama yang mengalir di dataran Ijen yaitu Kali Pait dan Kali Putih. Kali Pahit berhulu di 59


Kawah Ijen sedangkan Kali Putih berhulu di Gunung Suket. Keduanya akhirnya menyatu dan tetap membawa nama Kali Putih sampai ke Asembagus. Tetap asam Sampai saat ini, 220 tahun setelah penelitian Leschenault dela Tour, kondisi Kali Pahit bisa disebut tidak berubah, tetap asam dengan pH yang sangat rendah. Penelitian menunjukkan kandungan konsentrasi dan derajat keasaman (pH) Kali Pait memiliki keasaman tinggi. Di hulunya, pH hanya kurang dari 0,5. Warna air nya hijau muda jernih dan berbuih. Artinya, air nya mirip “accu zuur” (air aki) karena memang kandungan keasaman air kawah terbentuk dari sulfat yang super tinggi. Air ini berbahaya untuk kesehatan sehingga tidak bisa dikonsumsi atau dipergunakan secara langsung. Bertemu di Blawan Di dalam lingkar Kawah Ijen, terdapat empat mata air yang kemudian mengalir menjadi tiga aliran sungai yang membelah bibir kaldera. Keempat mata air itu Kali Sat dan Kali Malang di barat, Kali Pait di tengah, dan Kali Sengon di timur. Kali Pait mengalir dari kawah turun ke barat setelah itu belok ke arah melalui sisi barat Gunung Blau di belakang desa Watucapil. Berlanjut mengalir menuju samping Desa Plalangan. Kemudian air asam Kali Pait bertemu dan menyatu dengan Kali Sat-Kali Malang, Kali Sengon, dan mata air panas di Blawan. Selanjutnya pertemuan itu membentuk air terjun setinggi 30 meter dan turun terus menjadi satu aliran sungai Kali Putih. Kali Putih mengalir sampai ke Dam Liwung dan selanjutnya bermuara di pantai Selat Madura di Asembagus. Aliran air ini menempuh jarak dari hulu (kawah) sampai muara (Selat Madura) sekitar 45 km. Sejak Kali Pait bertemu Kali Sat-Kali Malang dan Kali Sengon, air yang mengalir di Kali Putih, memiliki kandungan pH lebih tinggi. Mengapa? Kok, bisa? Aman, kah, dikonsumsi? Air di Kali Sat dan Kali Sengon merupakan air biasa dengan pH netral. Air Kali Pait pun menjadi berkurang keasamannya setelah bercampur dan menyatu dengan air dari kedua sungai itu. Air Kali Pait yang setelah lewat Dusun Watucapil, telah terencerkan oleh air permukaan dari lereng Gunung Blau dan air permukaan dari lereng-lereng sekitarnya. Lalu, pertemuan di Blawan menjadi tempat pencampuran berbagai aliran air sungai dan air permukaan. Air asam tinggi Kali Pait bertemu dengan air Kali Sat (pH 7,9), air panas Blawan (pH 6,3) dan air Kali Sengon (pH 8). Bercampurnya air itu menjadikan pH di air terjun menjadi sekitar tiga (pH 3) dan termasuk masih asam juga. Debit pun berubah berawal kurang dari 50 liter per detik di Watucapil, menjadi sekitar 6.000 liter per detik di Blawan. Dan tentunya belum aman untuk dikonsumsi atau dimanfaatkan. Jadi, tetaplah berhati-hati bertemu “Songi Pahete” di Kawah Ijen. Karena tingkat keasamannya tetap asam sejak ratusan tahun lalu hingga kini. 60


Air berwarna, berbuah, bau belerang menyengat dari Sungai Kali Pait Aliran-aliran sungai di dalam kaldera. Keterangan angka 0.5/17, dll menunjukkan angka pH/debit 61


DANAU kawah ijen Berada di jembatan di atas aliran Kali Pait, dua kilometer (km) dari Kawah Ijen, Kabupaten Bondowoso, hidung kita mulai tertusuk bau belerang menyengat. Kurang dari lima menit, mata pun mulai perih. Kekuatan semburan gas belerang itu berasal dari Danau Kawah Ijen. Terletak di puncak di bagian tepi timur Kaldera Ijen. Bentuknya oval berukuran 960 meter (m)x600 m. Kedalaman airnya mencapai 200 m Belerang yang susah larut dan ditambah dengan kondisi asam dari lingkungannya, maka gas yang keluar dari ventilasi dan mengendap di dinding danau. Dan juga terapung pada permukaan danau sebagai belerang mrica. Dinding tebing yang mengitari kawah ketinggiannya bervariasi antara 2.145 m – 2.386 m. Tinggi dinding bagian barat yang terendah dan dan berfungsi sebagai outlet air danau menuju Kali Pait. Jumlah volume air danau, berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh Takano, dkk (1996), adalah sekitar 30 juta m3. Warnanya hijau muda dan suhu permukaan air berkisar 18-550C (derajat Celsius). Air danau kawah Ijen memiliki pH keasaman kurang dari satu (pH<1). Beberapa peneliti menyebutnya sebagai danau asam terbesar di dunia. Namun, pada bulan Juli 2011, pengukuran volume danau tercatat turun menjadi 27,5 juta m3. Pengukuran ketinggian air danau teratur dipantau, di dam Kawah Ijen, yang terletak di bagian barat kawah. Berdasarkan data penelitian dari Badan Geologi, ketinggian air terus menurun selama 10 tahun, mulai tahun 2000. Penurunan air danau disebabkan karena perubahan iklim. Misalnya, musim kemarau panjang, adanya perubahan aktivitas kegunungapian. Perubahan atau ketidakpastian iklim menyebabkan penguapan air danau dalam jumlah besar. Temperatur naik di daerah kawah. Iklim juga mempengaruhi fluktuasi imbuhan air secara alami. Selain itu, teramati pula fluktuasi yang terjadi pada temperatur air danau kawah Ijen dan temperatur udara sekitar danau kawah. Untuk temperatur air danau kawah Ijen bervariasi, paling rendah sedikit di bawah 200C dan temperatur paling tinggi terjadi pada event erupsi freatik yang terjadi pada 6 Juni 2000 yaitu sekitar 550C. Potensi belerang Pada tepian tenggara dari danau kawah Ijen, terdapat kompleks solfatara tempat keluarnya gas belerang. Sedikitnya, terdapat delapan lubang dengan variasi diameter 10 cm-50 cm. Pada ujung setiap lubang gas, masyarakat memasangkan pipa-pipa baja dengan diameter 20 cm dengan panjang bervariasi antara dua meter hingga 10 m. Panjang pipa disesuaikan dengan kondisi lokasi dengan tujuan untuk didapatkan belerang sebanyak mungkin. Jumlah belerang dalam bentuk padat yang dapat dieksploitasi adalah sekitar 10 ton per hari. Kapasitas maksimal belerang padat mencapai 14 ton per hari. Kalau jumlah belerang yang terlepas menjadi gas itu mencapai 67,7 ton per hari. Sehingga jika ditambahkan dengan yang padat, Kawah Ijen menghasilkan potensi belerang baik padat maupun gas sejumlah 77,7 ton per hari. 62


Api biru dan kawah putih Api biru Ijen menjadi salah satu daya tariknya. Warna biru ini muncul sebagai akibat dari terbakarnya gas yang keluar dari ventilasi di dalam kawah. Gas yang keluar ini memiliki temperatur hingga 6000C. Akibat kontak dengan udara sekitar, kemudian terbakar dengan nyala api berwarna biru. Api ini diikuti dengan ketinggian lidahnya mencapai lima meter. Sebagian dari gas itu terkondensasikan menjadi cairan sulfur yang tetap terbakar sewaktu menuruni lereng. Api berwarna serupa juga ada di lereng selatan Gunung Vesuvius dan di Pulau Vulcano, Italia Ada pula di di Gunung Dallol di di benua Afrika, tepatnya di Ethiopia. Kawah Putih Seperti di Gunung Patuha di Jawa Barat, Gunung Merapi Kawah Ijen memiliki kawah di bawahnya yang dinamakan Kawah Putih. Munculnya kawah putih ini karena aktifnya panas bumi di bawah permukaan. Keduanya juga memiliki karakteristik airnya yang sangat asam. Jadi, datang meneliti maupun berwisata di kompleks Kawah Ijen, danaunya memang memiliki potensi belerang hingga visual warna apinya. Hanya saja, tetap perlu waspada. Ya, sebaiknya tak lama-lama berada di atas jembatan ini apalagi lebih mendekat ke danaunya. Kelamaan menghirup asap dari air belerang ini, saluran nafas meradang, lalu sesak nafas dan tenggorokan mulai gatal. Begitu pula ketika kulit kontak dengan air belerangnya pun menyebabkan otot dan persendian nyeri. Ya, sebaiknya mengindahkan peringatan-peringatan yang ada di sekitar Kawah Ijen. Demi kesehatan Anda tentunya... 1 2 3 4 5 5 6 7 1. Danau asam. 2. Tempat keluarnya air untuk membentuk apa yang disebut sungai Kali Pait. 3. Kepundan gunung api. 4. Kepundan purba (sudah mati). 5. Ventilasi vulkanik memuntahkan asap dan sebagian material cair (solfatara). 6. Tangga turun ke kawah. 7. Satu-satunya tempat ke tepi danau. LEGENDA Sketsa Danau Kawah Ijen yang dilaporkan oleh Leschenault pada 1805 sebelum letusan besar Kawah Ijen pada 1817. 63


Berkesempatan menyusuri jalan menuju Kaldera Ijen... Adalah pengalaman perjalanan yang memberi kesan indah, alami dari bumi Ijen. Mensyukuri nikmat lukisan alam dari banyaknya bentangan keindahan. Pagi hari, berangkat dari Bondowoso ataupun dari Banyuwangi, panorama alam mulai terasa. Hamparan sawah yang hijau mulai di kanan kiri perjalanan. Mari kita mulai perjalanan dari Kecamatan Wonosari, Bondowoso, perjalanan menuju Kaldera Ijen akan melewati Desa Sukosari dengan pasarnya yang ramai menjadi pemandangan aktivitas masyarakat setempat saat berangkat di pagi hari. Panorama sekitarnya banyak areal persawahan dan juga perkampungan-perkampungan. Di sebelah tenggara Kaldera Ijen, terdapat Gunung Raung yang sangat aktif. Karena gunung ini lebih sering meletus, endapan letusannya memenuhi wilayah Jember dan Bondowoso. Dan wilayah yang terbentuk oleh endapan produk letusan Raung itu menjadi relatif datar dan rata. Termasuk Bukit Sulek dan Meranding yang ada di Tlogosari, pun sebagian besar tubuhnya tertutup oleh endapan produk letusan Raung. Pelataran DARI DATARAN RENDAH KE TINGGI DARI SAWAH SAMPAI KE KOPI Panorama area persawahan dan pohon pinang yang hijau nan asri di sekitaran Bondowoso. 64


datar endapan Raung ini yang menjadi area persawahan. Selanjutnya, ketika jalan mulai berkelok, disitu kita memasuki Desa Kluncing. Udara pun mulai terasa sejuk karena desa ini berada di ketinggian sekitar 800 m. Kluncing ini seakan menjadi batas antara lahan-lahan persawahan dan perkebunan. Ada kesan, sebelum memasuki Kluncing, banyak dijumpai pedesaan dan area persawahan dan setelah itu isinya kebun kopi dan kita memasuki areal perkebunan kopi yang luas. Bicara tentang perkebunan, perkembangan wilayah Jawa Bagian Timur tidak bisa dipisahkan dari pembangunan Jalan Pos Anyer-Panarukan, dari ujung barat Pulau Jawa sampai hampir ujung timur Jawa. Jalan ini dibangun di masa Gubernur Jendral Herman Willem Daendels yang memerintah dari tahun 1808 sampai tahun 1811. Pada saat itu, negara Belanda adalah negara taklukan Perancis. Dan, oleh Perancis, saat itu negara Belanda diubah menjadi Republik dan kebijakan di Nusantara pun mengikuti kebijakan Napoleon, penguasa Prancis. Bagian Jalan Anyer-Panarukan yang berada di sisi pantai utara Jawa saat ini sering disebut sebagai Jalan Pantura dibuat atas perintah Napoleon Bonaparte. Diluar alasan awal pembangunan yaitu untuk kebutuhan logistik militer, jalur ekonomi dan berbagai cerita negatif positif, nyatanya Jalan Anyer Panarukan telah menjadi urat nadi perekonomian bahkan sampai saat ini. Pada waktu itu pembangunan jalan hanya sampai Panarukan. Panarukan menjadi pelabuhan utama bagi komoditas penting seperti tembakau dan kopi. Meskipun saat itu kopi belum sampai dibudidayakan di dataran tinggi Ijen. Semakin berjalannya waktu peran Penarukan semakin besar dan mendorong perkembangan komoditas perkebunan seperti tebu dan kopi arabika di akhir abad 19. Meskipun kopi Ijen baru mulai digalakkan pada sekitar tahun 1890, yang akan kita susuri tentunya seperti melihat warisan dari efek ekonomi pembangunan Jalan Pos Anyer-Panarukan. Bab-bab di buku ini sebelumnya, kita telah banyak membicarakan batuan-batuan endapan ignimbrite hasil dari proses terbentuknya Kaldera Ijen, baik dari proses letusan Fase Pertama dan Kedua. Endapan yang menyebar membentang berasal dari semburan letusan Gunung Ijen Tua condong ke arah Utara, dari Tapen sampai Lecak, Liwung, dan meluncur jauh sampai Arjasa, lalu sedikit masuk Selat Madura. Apabila kita balik, kita pandang dari Cermee di sebelah utara Kaldera Ijen (lihat gambar), kita akan melihat garis bibir Kaldera Ijen yang membentang panjang dari timur ke barat, dari Gunung Ringgih-Gunung Merapi sampai ke Gunung Suket. Gunung-gunung itu pun nampak kecil dibanding dengan panjang bibir Kaldera. Di tengah-tengah lereng terdapat seperti undak juga memanjang juga dari timur ke barat seperti memisahkan bagian atas Kaldera Ijen dan area persawahan. Itu adalah batas endapan ignimbrit pembentuk Kaldera Ijen. Dan baru di paling bawah, latar depan, terdapat area persawahan. Artinya, letusan super-besar pembentuk Kaldera Ijen materialnya mengendap di tengah-tengah lereng. Profil yang ditarik Stone-Garden, Panji di utara sampai Plalangan di dalam lingkar Kaldera Ijen, nampak bahwa material endapan ignimbrite terendapkan di ketinggian 1000 meter (d.p.l.) ke bawah. Bagian lereng di atas elevasi 1000 meter merupakan lereng yang relatif asli dari Gunung Ijen Tua. Tipe endapan Sebelum perjalanan kita teruskan, coba kita lihat hubungan antara material produk letusan dan hasil pelapukannya. Dilihat dari produk letusannya, terdapat minimal 4 (empat) tipe endapan yang ditemui di seputaran Kaldera Ijen, khususnya lereng barat sampai utara dan di dalam lingkar Kaldera. Pertama, pelataran datar di wilayah Bondowoso, yang banyak menjadi area persawahan dan merupakan endapan aktivitas Gunung Raung. Karena merupakan endapan baru, dibanding Ijen, pelapukan belum intensif. Tanah, soil masih relatif tipis, sekitar satu meter saja, hasil pelapukan dari pasir halus Raung yang ada dipermukaan. Tanah pasiran memberikan porositas yang bagus untuk air bisa merembes dan mempercepat pelapukan. Kedua, area yang dipenuhi oleh Ignimbrite Ijen, membentang dari Tapen, Botolinggo sampai Liwung , Asembagus. Cirinya, igir dan lembah sungai yang curam hampir tegak dengan tebing65


tebing yang bisa sampai 100 meter, efek dari proses erosi. Tebing lembah tersusun atas dinding batuan keras. Wilayahnya kering, pelapukannya tidak intensif. Igir-igir yang tinggi hampir tidak ada tumbuhan besar. Erosi yang membawa material ke lembah, terbawa ke wilayah yang lebih bawah dan meratakannya. Seperti di Cermee, material tanahnya tersusun dari endapan hasil proses erosi ignimbrite Ijen yang selanjutnya menjadi area persawahan. Ketiga, area dengan endapan dari Gunung Ijen Tua. Yaitu, terdapat di lereng kaldera Ijen, dari Kluncing, Pancur, Kayumas. Ignimbrite Ijen ketika tumpah saat proses Kaldera Ijen berlangsung, tidak bisa mengendap di lereng yang curam. Namun, tumpahan terus meluncur dan mulai mengendap di tekuk-tekuk lereng. Dan disitulah, di area area di bawah Pancur, bawah Kayumas endapan Ignimbrit Ijen baru berhenti mengendap. Sedangkan lereng curam Pancur, Kayumas tetap merupakan lereng lama yang ada sejak Gunung Ijen Tua. Cirinya, pelapukan sudah intensif, tanah soil sangat tebal. Dibawah soil yang tebal terdapat lava-lava andesit Gunung Ijen Tua, seperti batuan di air terjun Puloagung. Keempat, adalah lapisan tanah yang ada di dalam lingkar Kaldera. Area ke empat ini tersusun atas dua jenis material pelapukan gunung api yang berbeda. Ketika terjadi letusan super-besar pembentuk Kaldera Ijen, Sebagian material letusan juga jatuh di area di dalam lingkar kaldera. Materialnya tersusun dari batuan hancuran tubuh Gunung Ijen Tua dan paling atas tersusun atas material batuapung tebal. Dengan berjalannya waktu, perlapisan batuan batuapung semakin lapuk. Endapan batuapung ini aslinya sangat tebal, mungkin puluhan meter. Proses pelapukan yang makin intensif dan air meratakan lapisan batuapung. Karena asalnya dari batuapung, tanah lapukannya bersifat asam. Pelapukan endapan batuapung dapat dijumpSUKET RAUNG MERAPI RANTE RINGGIH KALDERA IJEN BIBIR KALDERA KETINGGIAN IGNIMBRITE DATARAN PERSAWAHAN ENDAPAN IGNIMBRITE IJEN Foto panoramik dari Cerme, Bondowoso pada jarak sekitar 27 km dari Kaldera Ijen di arah Barat laut-Utara. Terdapat posisi yang cukup longgar untuk memotret kaldera Ijen dari kejauhan. Nampak kerucut Gunung Raung dan Gunung Suket di kanan dan Gunung Ringgih, Gunung Merapi di sebelah kiri. G. Rante hanya nampak puncaknya saja. Dari posisi ini terlihat bibir Kaldera Ijen yang membentang dari timur ke barat dari G. Ringgih sampai ke G.Suket. 66


TERAS IGNIMBRITE PERSAWAHAN PERSAWAHAN BATU SOʼON MEGASARI PLALANGAN LERENG LAMA STONE GARDEN ai cukup tebal di arah seberang depan dari Arabica-Homestay di dekat jembatan Kali Malang. Lapisan Nampak setinggi minimal 10 meter berwarna coklat terang. Dapat dibayangkan bahwa di sebelah dalam lingkar kaldera terutama di dekat aliran aliran sungai, tanah tersusun dari lapukan fragmen halus batuapung. Dan ini yang membentuk soil tebal di sebagian area dalam lingkar kaldera. Setelah Kaldera Ijen terbentuk, muncul kerucut gunungapi baru seperti Suket, Jampit, Rante, Merapi. Dan yang lebih baru lagi Gunung Blau, Gleman, Wurung dan lainnya. Semua gunung ini disebut sebagai kerucut vulkanik “post-kaldera”, Sketsa utara-selatan dari Stone Garden Panji sampai Plalangan Endapan Raung Ignimbrite Ijen Pradjekan Wonosari Bondowoso Dadapan Pakisanlawas Djampi Kajumas Blau Klocing Endapan Ijen Purba Endapan Suket Endapan Intra Kaldera Batas pengaruh endapan vulkanik Ijen dan Raung 67


maksudnya “lahir setelah amblesan Kaldera terjadi”. Sebagian besar area di dalam Kaldera Ijen tanahnya tersusun dari endapan “post-kaldera”, campur dengan hasil pelapukan batuapung. Materialnya susunan lapisan dari lapukan batuan basalt-andesitik gunungapi baru yang basa bercampur dengan lapukan batuapung yang asam. Aktivitas gunung api yang muncul setelah Kaldera terbentuk berupa letusan Strombolian dan Aliran lava. Letusan Strombolian menghasilkan pasir scoria berpori yang tentunya mudah lapuk dibanding endapan Aliran Lava. Material endapan Gunung Suket dan material endapan Gunung Blau secara komposisi sama. Keduanya tersusun atas lapukan batuan basalt andesitik, perbedaannya sedikit di kandungan Ca (kalsium)-nya. Bisa jadi, tipe-tipe lapisan endapan ini yang memungkinkan memberikan efek berbeda dalam cita rasa kopi-kopinya. Kopi yang ditanam di lereng di luar Kaldera Ijen, seperti di Kluncing, yang notabene tumbuh di tanah pelapukan dari produk Gunung Ijen Tua, berbeda dengan yang ditanam di dalam lingkar kaldera. Gunung Blau dengan latar belakang bibir Kaldera Ijen. Gunung ini terbentuk oleh letusan Strombolian yang berulang-ulang. Pelapukan menjadikan morfologi permukaannya tampak halus bergelombang. Endapan deposit lahar dan banjir di dekat Arabica-Homestay. Lapisan batuan ini mempunyai fragmen batuapung lapuk yang tebal dan menjadi tanah di mana kopi di tanam. 68


Perkebunan di lahan gunung yang subur di Ijen 69


Pesona Kluncing Mari kita lanjut menikmati perjalanan ini dari dataran rendah persawahan menuju ke ketinggian, Kaldera Ijen. Di daerah Kluncing tidak ditemukan produk ignimbrite, endapan tebal pembentuk Kaldera. Padahal lokasinya dekat dengan bibir Kaldera Ijen, berjarak sekitar 10 km. Ya,.. karena arah semburannya sama sekali tidak menyentuh wilayah ini. Tapi kita berjalan tak jauh dari kampung Kluncing, jarak 1,5 km terdapat air terjun Puloagung yang indah, yang batuannya berupa endapan lava andesit utuh dari era Gunung Ijen Tua. Air nya sejuk, alami dan jernih, ciri dari air pegunungan. Di sini, juga tidak ditemukan material endapan Ignimbrite Kaldera Ijen. Namun, di Desa Puloagung, kita menjumpai tebing dengan perlapisan batuapung butiran kecil-kecil (semacam polkadot). Pelapisan ini terjadi oleh hujan batuapung saat proses pembentukan Kaldera sedang terjadi. Tebal pelapisannya terukur sekitar 15-20 sentimeter (cm). Ukuran ini jauh lebih tipis dari pelapisan yang ada di Ninggil, Botolinggo, yang ketebalannya sampai dua ratus meter atau 200 cm. Di tebing lembah juga dijumpai ada aliran piroklastik dengan fragmen batu apung bersifat lokal diperkirakan sebagai spleteran di tepian dari aliran ignimbrit Kaldera Ijen. Makna dari semua itu, artinya Kluncing tidak terlewati aliran ignimbrit Kaldera Ijen. Tanah yang ada di Kluncing berasal dari hasil aktivitas Gunung Ijen Tua. Air terjun Puloagung, dekat Kluncing. Disini tidak ditemukan ignimbrite. Batuan yang membuat air terjun adalah batu andesit dari Gunung Ijen Tua. Hamparan tanaman kop 70


Kopi Kaldera Mungkin orang Belanda dulu memang sudah memilih area-area untuk perkebunan kopi di area-area pelapukan Gunung Ijen Tua. Tetapi, karena mengejar ketinggian untuk menanam kopi jenis arabika tertentu, maka dipilih juga area di dalam Kaldera Ijen. Yang jelas, data tentang kondisi Dataran Tinggi Ijen sudah ada dari para peneliti terdahulu, bahkan 80 tahun sebelum kopi Ijen dimulai. Lalu, kenapa pilihan pertama menanam kopi arabika di Gunung Blau? Gunung Blau adalah kerucut vulkanik yang pertama yang muncul di dalam Kaldera Ijen. Maka, dibanding dengan Kawah Wurung, Gunung Gleman dan Gunung Anyar, Gunung Blau ini jauh lebih tua umurnya yang artinya pelapukan pun sudah lebih intens. Soil lebih terbentuk daripada yang di Kawah Wurung dan Gunung Anyar. G.Blau mempunyai ketinggian lebih dari 1600 meter. Hanya saja, jawaban untuk pertanyaan apakah ada perbedaan rasa kopi yang ditanam di dalam atau di luar kaldera, memerlukan penelitian lebih lanjut. Atau mungkin, masyarakat Sempol yang biasa minum kopi dapat membedakannya..karena mengukur perbedaan rasa kopi adalah sebuah parameter yang tidak terlalu kuantitatif.. Masih melanjutkan perjalanan.... Sebenarnya, ketika bicara Bondowoso, apalagi saat menyusuri jalan menuju ke Kaldera Ijen, dari Kluncing, mata dimanjakan dengan pemandangan perkebunan kopi. Ya, karena kopi di Bondowoso telah melampaui sejarah panjang. Bahkan bisa ikut membentuk Bondowoso, Jember, Banyuwangi seperti sekarang ini. Area yang datar maupun lereng curam pun penuh dengan hamparan pohon kopi. Dari mata awam, sepertinya semua tanaman kopi ini sama saja bentuknya, tapi sebenarnya jenis nya berbeda beda berbagai macam. Di kiri-kanan jalan, pohon-pohon tinggi seolah mendominasi lahan. Padahal tanaman kopi-lah yang membutuhkan pelindung rindang dari pohon pohon besar itu. Tidak semua pohon pelindung tinggi-tinggi ukurannya. Di bagian lain kita bisa jumpai juga pohon-pohon pelindung yang lebih rendah ukurannya. Bahkan, di hutan dengan pohon-pohon besar asli sejak dulu… ditanam juga kopi di bawahnya. Jalan yang dilalui terus saja menanjak sampai ketinggian sekitar 1.600 m, sampai di Gapura Selapak, udara semakin sejuk. Pada posisi ini jalan akan menurun karena kita mulai memasuki batas bibir dan pelataran Kaldera Ijen. Kaldera Ijen, ibarat sebuah mangkok raksasa dengan diameter 15 km dan kedalamannya 600 m. Bibir mangkok mempunyai elevasi 1600-an meter, dan pelataran dalamnya, seperti di Sempol atau juga di Plalangan, mempunyai elevasi sekitar 1.000 m. Lanjut turun memasuki kaldera, jalan menurun sedikit berkelok. Terpampang di depan mata pemandangan tebing mangkuk kaldera bagai dinding tinggi melingkar yang membuat takjub. Tidak begitu tegak vertikal, karena sebagian sudah tertutup tanah lapukan. Dalam bayangan muncul pikiran… kekuatan alam memang luar biasa. Kendaraan pun melewati jalan aspal menyusuri di sisi dalam mangkuk Kaldera. Buah kopi sebagian masih hijau dan sebagian sudah merah. 71


Macadamia Lanjut turun…Wah.. mulai banyak ditemui juga pohon macadamia di sepanjang jalan yang dilalui. Kayaknya, petani mulai melihat peluang-peluang ke depan yang memberi nilai tambah selain kopi. Macadamia atau juga disebut sebagai Kacang Bava, genus yang aslinya dikonsumsi oleh orang Aborigin, penduduk asli Australia, mulai banyak dikembangkan di berbagai daerah di Indonesia. Dan tidak terkecuali di dataran tinggi Kaldera Ijen. Bentuknya mirip kemiri, akan tetapi rasanya berbeda. Kacang Bava ini mulai ditanam PT Perkebunan Nusantara (PTPN), sekitar tahun 1980-an. Hanya saja, penanaman justru dimulai tahun 2015-2016. Penduduk mulai ikut menanam di area perhutani, misalnya di Girimulyo Blawan, Sempol. Harga yang tinggi di pasaran menjadi daya tarik tersendiri bagi petani untuk mengembangkan macadamia. Satu pohon macadamia dewasa Di setengah perjalanan dari Kluncing ke Kaldera, selalu dijumpai pemandangan pohon-pohon tinggi yang rindang, indah dan sejuk. Pohon-pohon ini menjadi pelindung tanaman kopi agar tumbuh subur dan produktif. Pemandangan setelah memasuki Kaldera Ijen. Jalan mulus, sedikit berkelok Di kiri nampak tebing mangkok Kaldera Ijen. Di tepi kanan jalan, tanaman kopi dengan pohon perindang besar dengan daun warna-warni. Pohon macadamia, bentuknya seperti pohon cengkeh, atau juga pohon kayu manis, atau pohon pucuk merah. 72


berbuah sepanjang tahun. Dalam satu tahun dapat menghasilkan biji cangkang sampai 100 kilogram (kg) (dari berapa pohon atau luasan berapa ya?). Jika diolah, petani mendapatkan hasil sekitar 20 kg dari panenan 100 kg. Harga di tingkat petani sekitar Rp 200 ribu per kg. Ya.. tinggal dihitung saja, dikalikan saja, petani ada punya berapa pohon. Sempol Sempol (dulunya nama desa) adalah kecamatan yang seluruh wilayahnya melingkupi desa-desa yang ada di area dalam Kaldera Ijen. Sejak dahulu kala, begitu bicara mengunjungi Kaldera Ijen, nama desa Sempol ini seperti otomatis muncul..tidak bisa ditinggalkan. Ya ..karena ini desa pertama yang dijumpai di Kaldera Ijen. Cirinya jalan lurus mulus dengan rumah-rumah penduduk di pinggir jalan tertata rapi. Dan sepertinya penduduk Sempol ini suka keindahan tanaman karena halamannya rata-rata tumbuh bunga. Kembali menikmati pemandangan perjalanan... Tetap di mana-mana terlihat tanaman kopi. Hamparan kopi seolah tidak berujung. Ya, karena area dalam Kaldera Ijen memang area perkebunan kopi yang secara administrasi adalah area milik perkebunan PTPN serta Perhutani. Hampir semua penduduk di Kecamatan Sempol, bekerja di sektor perkebunan kopi. Baik yang menjadi pekerja di perkebunan PTPN atau sebagai penggarap lahan Perhutani. Sesuai dengan elevasi, jenis kopi yang ditanam di dalam Kaldera Ijen adalah arabika, dan seiring berjalannya waktu semakin banyak varietas kopi arabika yang ditanam di kaldera Ijen, misalnya kopi arabika varietas ‘kombati’, ‘cobra’, ‘Usda’, dan masih banyak lagi.. Selain pemandangan hamparan kebun kopi, sayuran seperti kentang dan kol juga subur di beberapa lokasi, seperti di seputaran Kawah Wurung. Jadi dari dataran rendah menuju ke ketinggian memasuki Kaldera Ijen, mata kita benar-benar dimanjakan dengan lukisan alam nan menawan di Kabupaten Bondowoso. Ya, sawah, ya, kopi... Tahun Luas (ha) Produksi (kg) 1 2008 4.531 1.965 2 2009 4.696 1.993 3 2010 4.699 2.056 4 2011 4.881 1.13 5 2012 5.633 1.843 6 2013 5.957 1.846 7 2014 6.925 3.939 8 2015 7.138 4.288 9 2016 12.798 8.67 10 2017 12.798 8.67 Tanaman sayuran kol di seputaran Kawah Wurung. Tabel Luasan Kebun dan Produksi Kopi Bondowoso Periode 2008-2017 Sumber : BPS Jawa Timur, diolah. 73


PARAS KASAR IJEN Tambang Batu Paras di Klabang. Jarak sekitar 23 km dari Kaldera. 74


Paras, bisa juga disebut cadas atau padas. Ketiganya merupakan kata untuk menyebut produk batu hasil pemotongan batuan ignimbrite. Batuan yang berasal dari letusan gunung api. Ya, tentunya termasuk produk letusan Kaldera Ijen. Paras Ijen. Batuan ignimbrite ini memiliki penampakan corak-corak yang berbeda tergantung bagaimana proses letusannya. Selain itu, dipengaruhi juga oleh proses pendinginan batuan dimana pada saat terendapkan material vulkanik tersebut memiliki suhu tinggi, sangat panas. Produk di Gua Putih, Ninggil, yang berasal dari letusan pertama itu sifat batuannya keras. Kecuali, ada beberapa bagiannya pelapisannya banyak fragmen batu apung. Batu pada proses letusan kedua, seperti di Pendawa, batuannya bersifat lebih lunak. Di Desa Klabang, produk letusan kedua. Penambang batuan ignimbrite ini memotong batuan itu menjadi balok-balok berukuran 80 sentimeter (cm). Balok batu dimanfaatkan sebagai batu pondasi dan batu pagar rumah. Meski sama-sama produk letusan kedua, di Pendawa, fragmennya lebih besar dari Klabang. Karena perbedaan jarak. Klabang jaraknya lebih jauh dari Padawa sehingga memiliki fragmen kecil. Paras Ninggil (letusan pertama) dan Paras Klabang (letusan kedua) mempunyai fragmen yang relatif besar ukurannya sekitar empat sentimeter. Sebagai pembanding saja, mari kita melihat paras produk letusan Kaldera Batur (Bali), yang terjadi 30 ribu tahun lalu. Paras-paras di lokasi penggalian Silekarang, Kabupaten Gianyar, mempunyai butir yang jauh lebih halus. Butirannya halus dan berwarna abu-abu terang. Batu ini di Bali, dipilih untuk dibentuk ukiran motif bunga, dauh atau lainnya. Jadi, kenapa tidak ada paras halus di Ijen seperti di Batur? Seperti disinggung di awal, perbedaan halus kasar dari fragmen paras tergantung dari karakter letusan pembentuk kaldera. Di Bali, volume ignimbrite lebih kecil seperti 60 km3, akan tetapi fragmentasi bahan letusannya lebih halus. Artinya fragmen-fragmen lebih terhancurkan. Sedangkan ignimbrite Ijen yang volumenya sekitar 90 km3, fragmennya tidak begitu terhancurkan. Kaldera Ijen menghasilkan fragmen halus di proses letusan pertama. Hanya saja, sifatnya terlalu padat sehingga terlalu keras untuk ditambang sebagai batu paras. Pembuatan batu paras di Ninggil, bahan batu berupa produk Fase 1 yang banyak fragmen batuapung. Jarak sekitar 18 km dari kaldera. Paras Ninggil berfragmen besar Paras Silekarang, Bali berfragmen butir halus 75


Akses jalan atau gang di sekitar kandang kambing Bentuk kandang kambing yang unik menyerupai rumah-rumah panggung Berkebun menjadi mata pencaharian utama masyarakat di Kaldera Ijen, Kabupaten Bondowoso. Desa Sempol dan Plalangan, warganya berkebun kopi di kebun milik PT Perkebunan Nusantara atau milik sendiri yang bekerjasama dengan Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani). Selain berkebun, mereka memelihara kambing. Hampir setiap rumah warga memiliki kandang kambing. Hanya saja, kandangnya tidak dalam satu pekarangan rumah. Kandang-kandang itu dibangun dalam satu kompleks mirip sebuah desa dan rapi. Si kambing-kambing ini terpelihara di suatu area khusus. Warga bersama-sama menyiapkan areanya seluas tiga hektar. Tanah ini cukup untuk dibangun 350 rumah kandang. Masing-masing rumah kambing mendapatkan petak tanah 100 meter persegi. Bentuk kandangnya serupa dengan rumah panggung. Karena, kotoran kambing bisa berjatuhan dapat langsung dipergunakan sebagai kompos. Satu keluarga berhak membangun satu rumah kambing. Satu rumah kambing cukup untuk memelihara 10 ekor. Warga tetap membangunkan akses jalan atau gang masuk-keluar. Jadinya, benar-benar kampung kambing. Di Desa Plalangan, jumlah warganya ada sekitar 450 keluarga. Mereka membangkun kampung kambing yang terdiri 350 kandang panggung. Pagi hari, mereka pergi bekerja ke kebun. Memasuki sore hari sekitar pukul 3 sore, mereka mencari rumput dan daun-daun untuk dibawa pulang sebagai pakan kambing. Usai memelihara Menabung Jamunapari di Kampung Kambing 76


kambing-kambing dari bekerja di kebun, mereka barulah pulang ke rumah. Bagai kegiatan ritual setiap sore di desa itu. Bagi mereka biasa, bagi kita mungkin asik dan unik melihat kegiatan di kampung kambing ini. Nah, kambing-kambing peliharaan ini menjadi tabungan mereka. Tabungan untuk memenuhi kebutuhan seperti hari raya muslim Idul Adha. Hari raya ini permintaan kambing banyak untuk hewan kurban. Situasi ini momen bagi penduduk untuk menjual kambingnya. Kambing besar berumur dua tahun, laku terjual seharga harga Rp 2,5 jt sampai Rp 5 jt. Kotoran kambing pun menjadi pupuk kandang. Permintaan besar untuk memasok, misalnya ke Bali, untuk dipakai sebagai pupuk pertanian jeruk. Sebagai produk sampingan, untuk 30 ekor kambing dapat menghasilkan pupuk sebanyak 50 karung per bulan. Pupuk kandang dapat dijual seharga Rp 3.000 per karung. Uniknya, beberapa penduduk yang bekerja di kebun kopi PTPN, 12 karung pupuk kandang dihargai setara dengan sehari kerja. Artinya, apabila membawa 12 karung sehari. Ettawah India Penduduk memelihara kambing dari jenis kambing etawa Kaligesing. Mereka menyebutnya “kambing Kaligesing”. Lalu ada etawa Senduro yang disebut “kambing etawa’. Kedua jenis kambing itu berukuran besar yang sebenarnya aslinya berasal dari India. Berbadan besar dengan tinggi bisa mencapai sekitar 100 cm, beratnya bisa 90 kg, hidungnya melengkung, telinganya besar, dan panjang terkulai ke bawah. Biasanya menjadi kambing perah. Di India, kambing ini disebut sebagai “kambing Jamunapari” dari daerah Etawah, Provinsi Uttar-Pradesh. Kambing etawa yang dipelihara di Indonesia, sudah merupakan peranakan kambing etawa, Kambing PE (Peranakan Etawa). Persilangan antara kambing etawa dengan kambing lokal. Pada tahun 1930, Belanda membawa kambing Jamunapari ke Indonesia dan dikembangkan di Purworejo yaitu di desa Kaligesing. Dari Kaligesing ini hasilkan kambing PE unggul yang kemudian dinamai kambing etawa ras Kaligesing atau kambing Kaligesing. Pada tahun 1947, Pesiden Indonesia pertama, Sukarno mendatangkan dan mengembangakan kambing Jamunapari di Kecamatan Senduro, lereng Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Di sentra ini diperoleh ras unggul kambing PE Senduro. Populasi kambing lokal termasuk PE, di Bondowoso, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, di tahun 2009 tercatat 22.926 ekor dan di tahun 2017 menjadi 44.399 ekor. Angka ini masih berada di urutan bawah dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Provinsi Jawa Timur. Mungkin potensi yang menarik untuk dikembangkan sebagai peluang meningkatkan kapasitas masyarakat serta ekonomi. Bisa juga perkampungan kambing etawa ini menjadi inspirasi bagi desa lainnya. Bayangkan, jika beberapa desa mampu memperbanyak dan mengajak warga membangun “kampung kambing”. Wah, bisa jadi menaikan pendapatan masyarakat maupun daerah setempat dan juga sehat. Kambing Etawa yang dipelihara oleh warga Sempol 77


MegALIT BONDOWOSO Bondowoso merupakan ibukota kerajaan megalitik! Di Jawa Timur, Bondowoso memiliki peninggalan budaya Megalit terbanyak baik dari segi jumlah sebaran situs, sejumlah 1117 yang tersebar 47 lokasi di 15 kecamatan, berdasarkan data tahun 2018, maupun dari segi variasi jenis tinggalan budayanya. Variasinya antara lain adalah Sarkofagus (pandhusa), Dolmen, Kubur Kamar Batu, Teras Berundak, Menhir, arca, maupun Batu Kenong. Kemudian secara fungsi bisa dibagi menjadi sarana penguburan maupun pemujaan. Dolmen yang berada di situs Maskuning Kulon, berfungsi sebagai sarana penguburan. Secara ilmu batuan, Dolmen di situs Maskuning Kulon adalah basaltik-andesitik yang berasal dari Gunung Raung 78


Pencipta dari sebuah budaya megalit ini adalah masyarakat religi yang ingin mengekspresikan keyakinannya dalam sebuah bentuk sarana pemujaan ataupun sarana penguburan. Mereka (para pencipta budaya Megalit) adalah sebuah masyarakat yang cukup besar yang mendiami wilayah pedataran di Bondowoso, Jember, Situbondo, hingga Banyuwangi. Sepertinya alasan masyarakat mendiami daerah ini adalah karena tergiur oleh fasilitas yang diberikan alam berupa kesuburan tanah dan melimpahnya air di daerah lereng-lereng dari gunung api aktif. Gunung-gunung seperti Raung, Merapi, dan Ijen yang tubuh dan lerengnya merupakan endapan lahar maupun aliran lava, sebelum endapan tersebut akhirnya mengalami proses pelapukan dan akhirnya membentuk menjadi tanah yang subur dan kaya akan mineral. Sebagai rasa syukur, mereka menciptakan sarana pemujaan dan penguburan menggunakan batuan batuan besar, yang mungkin adalah perlambangan kekuatan yang jauh lebih besar dari kekuatan manusia, yang ada disekelilingnya. Karena, berdasarkan ilmu batuan, peninggalan Megalitik tersebut menggunakan endapan Gunung Raung berupa batuan basaltik-andesitik. Di Bondowoso, kalo kita lihat dari sebaran peninggalannya, Wringin dan Grujugan dapat dikatakan sebagai pusat sebaran atau mungkin pusat dari Ibukota Bondowoso saat masyarakat Megalit mendiami daerah ini pada zaman lampau. Kapan? Pertanyaan ini mudah untuk terlontar tentunya, namun usaha untuk menjawabnya bisa jadi masih belum pada jangkauan kita (para ahli dan peneliti yang bekerja di Bondowoso setidaknya). Namun untungnya, dengan melihat sebaran Megalit di Situbondo dan Jember, kita bisa mendapatkan gambaran perkiraan masa perkembangan budaya Megalitik di Bondowoso. Setidaknya antara abad VI hingga abad XVI. Di Jebung Kidul, meskipun bukanlah sebuah peninggalan budaya megalitik, terdapat pula temuan struktur bangunan dengan menggunakan batu bata, yang secara penafsiran boleh jadi merupakan peninggalan masa Hindu-Buddha, tapi juga bisa saja peninggalan periode masa Islam yang juga menggunakan struktur bata merah sebagai tempat pemukimannya. Pandangan atas dari tumpukan bata di situs Jebung Kidul 79


pesona bondowoso Kawah Ijen, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, masih pilihan favorit kunjungan pariwisata. Tahun 2020, pemerintah setempat mencatat jumlah wisatawan lokal 43.484 orang dan menjadi satu-satunya lokasi paling menarik turis mancanegara 5.944 orang. Deretan lukisan alam dan desa wisata memang menjadi daya tarik Bondowoso. Di balik pesonanya, wisata alamnya memiliki rekam sejarah geologi Kaldera Ijen, nan elok seperti penjelasan bab-bab di buku ini, di antaranya Kawah Wurung, Kali Pait, Batu So’on Solor. Tirta Agung, pemandian wow, air hangat Blawan, wisata Tirta Agung, Bukit Luwih hingga adanya bangunan zaman Belanda guest house Jampit. Seru berwisata Bondowoso dengan banyak ragam obyeknya. Jangan lupa belanja batik Sumbersari, ya. Motif batik daun singkong dan tembakau menjadi unggulannya. Asal muasal motif terinspirasi dari sebagian warga bekerja sebagai petani tembakau serta pembuat tape singkong. Jadi sambil jalan-jalan, gak boleh ketinggalan untuk icip-icip tape singkong. Karena Bondowoso juga dikenal kota tepe. Selamat berwisata! Membatik di sentra batik Sumbersari 80


Aktivitas paralayang di Puncak Megasari Gurat warna-warni Kayu Leda di Hutan Pelangi Sumberwringin yang harus dijaga Geoproduk Tape, oleh-oleh khas Bondowoso Kegiatan petik kopi yang dilakukan oleh perempuan Bondowoso Gua Butha Cermee yang dibentuk pada batuan endapan Kaldera Ijen 81


Pertunjukkan seni budaya Tari Petik Kopi Aktivitas Pertanian Masyarakat Pentas seni budaya Tari Ulung Pabrik Kopi Jampit 82


Air Terjun Blawan 83


Apendiks TENTANG KALDERA Semua berawal dari letusan dahsyat Gunung Krakatau di bulan Agustus tahun 1883 dan meninggalkan diameter kaldera 8 kilometer. Setelah letusan mereda, Pemerintah Hindia Belanda mengirim ahli geologinya, RDM Verbeek, untuk meneliti dan menganalisis bagaimana letusan besar itu terjadi. Melalui terbitan “Nature”, majalah ilmiah pada 22 Oktober 1885, hasil kajian Verbeek dimuat berjudul “Krakatau”. Tulisannya berhasil memenuhi harapan banyak pihak, terutama munculnya konsep collapse caldera (kaldera runtuhan atau amblesan). Sejak itu, kajian kaldera dari ahli seluruh dunia pun berkembang pesat. Waktu menunjukkan jam satu siang, tanggal 26 Agustus 1883. Krakatau yang berada di Selat Sunda, meletus. Gelegarnya seperti geluduk terdengar sampai di Bogor, Jawa Barat, Indonesia, yang berjarak sekitar 400 kilometer (km) dari Krakatau. Kolom letusan berwarna gelap membumbung setinggi 27 km. Letusan berlanjut hingga keesokan harinya. Pukul 10 pagi. Abu vulkanik naik setinggi kira-kira 80 km. Kali ini dentumannya lebih dahsyat dan sampai lintas ke Benua Australia. Lalu, 30 menit kemudian, gelombang pasang setinggi 40 meter (m) menghempas serta menelan pantai-pantai di sepanjang Banten (Jawa Barat) dan Lampung (Sumatera). Tsunami datang. Sapuan gelombang pasang pun menelan korban meninggal sekitar 36.000 jiwa. Dan, letusan terus bertubi-tubi, meski tak lagi diiringi tsunami. Besarnya letusan Krakatau di hari itu, Verbeek menghitung total material yang keluar adalah 18 km3. Sebanyak 95 per-sen dari total material tersebut merupakan material magma. Sisanya atau 0,9 km3, berupa bahan-bahan hancuran bagian Pulau Rakata, Danan dan Perbuwatan. Artinya, hilangnya ketiga pulau (Rakata runtuh sebagian) itu bukan karena terlempar bersama kolom letusan, melainkan runtuh atau amblas. Setelah amblas kemudian kembali mendapat tekanan, lalu meletus dan hancuran mulai terlontar keluar. Mengapa runtuh? Karena volume kerucut-kerucut dari pulau yang runtuh tersebut yang berada di atas permukaan laut saja ada terhitung sekitar lebih dari 25 km3. Maka, Verbeek yakin, kaldera Krakatau terbentuk karena proses amblasan. Klimaks proses amblasan berlangsung ketika terjadi gelombang pa-sang tertinggi di tanggal 27 Agustus 1883, pukul setengah sebelas pagi. Proses amblasan atau runtuhan dari kajian Verbeek dari letusan Krakatau menjadi pijakan betapa terjadinya kaldera menjadi penting bagi ilmu geologi. Betapa dapur magma yang besar itu memicu adanya pemahaman bagaimana proses magma di dalam bumi, khususnya konsentrasi-konsentrasi magma dalam jumlah yang sangat besar. Terdapat tiga pulau berimpitan. Pulau-pulau itu berderet dari ara tenggara ke arah barat laut. Pulau itu bernama, Pulau Rakata dan Pulau Danan dengan tinggi kerucut vulkanik 450 meter dari permukaan laut (mdpl), serta Pulau Perbuwatan dengan tinggi kerucut vulkanik 120 mdpl. Lepas dari deretan tiga pulau tersebut, terdapat dua pulau lagi. Pulau Verlaten terletak di sebelah barat laut dan Pulau Lang di timur laut. 84


Pulau-pulau ini semua ada sebelum adanya letusan dahysat di area yang saat ini ditempati oleh Gunung Anak Krakatau. Sebelum tahun 1883, Pulau Rakata, Danan dan Perbuwatan adalah kerucut-kerucut vulkanik aktif. Ketika itu, batuan di Rakata tersusun dari produk magma basaltic. Pada tahun 1680, kerucut Perbuwatan terjadi letusan dengan komposisi andesitic (lebih asam dari yang di Rakata). Setelah itu, Gunung Krakatau tidak menunjukkan kegiatan selama 200 tahun hingga menjelang letusan besar di tahun 1883. Krakatau memulai letusannya pada 20 Mei 1883. Puncak erupsi hebat tercatat pada 26- 28 Agustus 2018. Pada bulan Mei 1883 itu, kerucut Perbuwatan ikut meletus dengan skala kecil. Saat diteliti, pada 27 Mei 1883, sebagian pulau-pulau tertutup abu dan terjadi vegetasi. Tidak terbakar tetapi tanaman di lingkunga sekitarnya mati atau layu. Sementara, beberapa bagian di Pulau Lang (timur laut) ditemui batu apung dan hancuran dari lava tua. Selanjutnya tidak ada aktivitas yang berarti sampai tanggal 19 Juni 1883. Memasuki bulan Juli 1883, aktivitas vulkanik kembali stabil. Tak ada petunjuk bakal meletus besar di tanggal 26-28 Agustus 1883. Data visual yang diperoleh pada tanggal 11 Agustus 1883, hanya menunjukkan adanya pusat-pusat erupsi yang berderet mulai dari kerucut Perbuwatan ke kerucut Danan. Mari kita pelajari kejadian pembentukan kaldera Krakatau. Kronologi letusan Krakatau ini menjadi menarik karena menjadi cikal bakal proses pembentukan kaldera terbaru di muka bumi di tahun 1883. Bisa jadi, Krakatau pernah meletus dan membentuk kaldera di tahun 416AD. Hanya saja, penjelasan untuk itu hampir minim informasi. Sedangkan kejadian pembentukan kaldera Krakatau pada tahun 1883, relatif sangat rinci. Secara umum diketahui bahwa letusan Krakatau terjadi pada tanggal 27 Agustus 1883. Namun, prosesnya sendiri berlangsung sejak Mei 1883. fiff fiffl fifi fifififf fifififfl fiffi fl ff ffi   fl   I.A Awalnya, Krakatau dianggap sebuah kerucut gunungapi besar. I.B. Terjadi letusan besar yagn membentuk kaldera (sekitar Abad ke-5). Dan dari proses pembentukan kaldera ini, tersisa beberapa tiga pulau, yaitu Verlatern, Lang d an Rakata. II. Di tempat Rakata berada, muncul kerucut gunungapi baru yang juga disebut Gunung Rakata, dengan susunan atas batuan basaltik. III.A. Di tengah-tengah cekungan kaldera tersebut, mucul dua kerucut gunungapi baru Perbuwatan dan Danan, yang semakin besar dan akhirnya, menyatu dengan Rakata disebut Krakatau. Tercatat dari Gunung Krakatau pernah terjadi letusan dengan komposisi andesitik pada tahun 1680. III.B. Pada tanggal 20 Mei 1883, sesudah tenang selama dua abad letusan besar terjadi yang mengalami puncaknya pada 26 dan 28 Agustus 1883. Yang mengalami puncaknya pada diperkirakan menghasilkan batu apung dan abu sebanyak 18 km3. Gunungapi Perbuatan, Danan dan setengah dari Rakata hilang ambles. Meninggalkan sebuah cekungan baru dengan kedalaman 250 m dan diameter 70 km. IV. Proses amblesnya Krakatau tersebut menimbulkan gelombang pasang 20 meter menyapu pantai-pantai di Selat Sunda, Jawa bagian barat, dan mengakibatkan 36.417 orang tewas. V. Selanjutnya, munculah kerucut gunungapi baru yang disebut Anak Krakatau. Gunung Anak Krakatau lahir pada Bulan Desember 1927. 85


Kronologi Letusan Krakatau Mei 1883 Terjadi tremor/ getaran yang dirasakan di Anyer, Jakarta. Waktu itu belum ada seismograf. Beberapa kapal yang lewat di sekitar Krakatau, melihat asap dan uap keluar dari puncaknya. 20 Mei 1883 Mulai pukul 6-10 pagi, terjadi letusan dan hujan abu lebat. Suara letusan terdengar sampai Jakarta, hingga Bogor (Jawa Barat). Letusan berulang terjadi sampai dengan 22 Mei disertai petir serta suara dentuman keras. Batuapung teramati berserakan mengambang di laut pada 22 Mei. Sampai tanggal 24 Mei masih ada yang melapor terjadi hujan abu (artinya letusan masih terjadi). 27 Mei 1883 Gempa besar terasa di Pandeglang, Jawa Barat. Pemerintah Batavia (Jakarta sekarang) mengirim tim untuk cek ke Krakatau. Tim melaporkan bahwa terjadi letusan tiap 5-10 menit di Gunung Perbuwatan dengan kolom sekitar 3 km. Beberapa hari kemudian, situasi menjadi lebih tenang. 19 Juni 1883 Letusan dengan kolom letusan membumbung tinggi berwarna hitam terlihat dari Anyer. Pada kejadian ini tim menduga puncak Perbuwatan hilang dan hancur karena letusan 28 Juni 1883 Letusan besar kembali terlihat dari Anyer 09 Juli 1883 Kapal Quetta melintasi Selat Sunda dan melaporkan seperti mengarungi lautan batu apung. 01 Agustus 1883 Kapal Siam juga melaporkan mengarungi lautan batu apung. 11 Agustus 1883 Kapten Ferzenaar (Komandan Brigade Kartografi Banten) pergi ke Krakatau untuk memetakan peristiwa letusan itu. Dan dia pun menjadi orang terakhir yang menginjakkan kaki di Krakatau sebelum kejadian 27 Agustus 1883. Dilaporkan bahwa pusat letusan ada tiga, yaitu sepanjang celah Gunung Perbuwatan dan Gunung Danan. Gunung Rakata, Danan, dan Perbuwatan merupakan kerucut-kerucut gunungapi yang posisinya berderet di Krakatau. Dilaporkan juga oleh kapal yang lewat tanggal 12 Agustus, terdapat lobang aktif hanya beberapa jengkal dari permukaan laut. Ahli memperkirakan kejadian letusan kaldera pada 27 Agustus, dan letusan-letusan terus terjadi. 25 Agustus 1883 Hujan abu dan batu apung terjadi di Teluk Betun di malam hari. 26 Agustus 1883 Letusan besar berlangsung. Langit pun gelap sekitar jam 2 siang. Pada jam 5 sore, terjadi hujan batu apung (hangat) dengan ukuran lebih besar. Memang mulai jam 5 sore letusan semakin dahsyat. Semalaman, suara letusan terus menggelegar. Hujan abu tidak berhenti. 27 Agustus 1883 Letusan besar tercatat pada dini hari, pukul 2.38 Wib. Pukul 4-5 pagi, terjadi hujan abu basah dan gelombang udaranya terasa di Batavia, pukul 04.56 Wib. Letusannya dahsyatnya berlangsung empat kali, yaitu pukul 05.43 Wib, 08.20 Wib, 09.59 Wib, dan 10.52 Wib. Erupsi paling puncaknya, pukul 09.59 Wib dan memicu bencana tsunami dengan menghantam Caringin dan Merak, pukul 10.30 Wib. Tsunami menelan korban jiwa sekitar 10 ribu orang. Letusan semakin berkurang kekuatannya dan berhenti pada 28 Agustus, pagi. 17 Sept 1883 dan Beberapa letusan yang lebih kecil masih terjadi hingga tanggal 10 Oktober. Sumber: Simkin dan Fiske, 1983. 86


Tabel kronologi di atas menunjukkan, letusan yang membentuk kaldera dan menghasilkan ignimbrite, yang terjadi secara bersamaan. Banyak titik letusan dalam area luas sepanjang rekahan yang membelah Krakatau. Maka dapat disimpulkan, letusan-letusan gunungapi yang terjadinya dari hanya pada satu titik letusan dari kerucutnya, mempunyai kemungkinan kecil untuk membentuk kaldera. Hal kedua yang dapat disarikan dari kronologi tersebut adalah proses runtuhan (collapse) yang membentuk kaldera terjadi sangat singkat. Pembentukannya terekam dari jam 05.43 Wib sampai dengan jam 10.00 Wib atau sekitar empat jam. Letusan ini diikuti dengan tsunami. Lalu, erupsi lanjutannya yang cukup besar juga yang terjadi pada jam 10.59 Wib. Hanya saja, erupsi susulan ini tidak disertai dengan tsunami. Artinya, letusan susulan tersebut terjadi setelah proses amblesan selesai. (Atas) Sketsa ilustrasi Kaldera Krakatau. (Bawah) Situasi Pulau Rakata yang tersisa, sementara Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan tidak nampak lagi karena amblas. Posisi antara Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan saat ini ditempati oleh kerucut aktif Gunung Anak Krakatau. 87


Bagi Indonesia, yang terletak di busur subduksi Sumatra-Jawa-NusaTenggara serta busur subduksi Sulawesi-Halmahera, keberadaan kaldera menjadi morfologi yang banyak ditemui di sepanjang pulau-pulau tersebut. Pertanyaannya: Apakah kita siap menghadapi peristiwa sebesar letusan Krakatau seperti di tahun 1883?. Karenanya, kajian,pengetahuan dan mitigasi menjadi penting sebagai antisipasi jika terjadi letusan sedahsyat itu kedepannya. Kaldera, secara teknis disebut sebagai kaldera runtuhan (collapse caldera), me- rupakan sebuah struktur permukaan bumi yang penting bukan hanya sisi ilmiah kegeologian. Tidak hanya juga dari sisi ancaman kebencanaan. Namun, kaldera runtuhan tersebut memiliki potensi sumber daya alam luar biasa. Yakni, menjadi sumber potensi energi geothermal yang besar dan sering berasosiasi dengan deposit mineral yang tentunya bernilai ekonomi. Meskipun kejadian runtuhan dahsyat sangat jarang terjadi dalam era sejarah manusia, rekaman geologi menunjukkan pembentukan kaldera menjadi salah satu kejadian yang paling katastrofik di muka bumi ini. Dan, peristiwanya berpengaruh besar pada iklim dan kehidupan manusia, seperti disarikan Geyer dan Marti (2008). Lokasi dari aktivitas geothermal yang kuat sehingga merupakan daerah yang potensial untuk memenuhi kebutuhan listrik biasanya berada di wilayah kaldera. Tak hanya itu, Cole et al, Calderas and caldera structures: a review (2005), menyarikan adanya lokasi kaldera juga sering menjadi tempat berlangsungnya proses mineralisasi. Selanjutnya, area itu memiliki potensial bagi pemenuhan kebutuhan bahan mineral/tambang. Letusan Gunung Krakatau di tahun 1883, memberikan gambaran penting proses menyemburkan fragment bubur magma jauh hingga mencapai ketinggian udara dalam bentuk scoria, pasir dan abu. Hanya saja, material-material dari semburan tersebut tidak bayak ditemukan material padat seperti hancuran tubuh gunungapi sebelumnya (minim lithic). Hal ini menunjukkan terbentuknya kaldera Krakatau melalui proses amblesan tubuh gunungapi. Lalu, mengisi kekosongan yang terbentuk di bagian atas dari dapur magma karena meterial yang semula mengisi bagian tersebut terlempar keluar dalam letusan besar (emptied-out). Sebenarnya memasuki zaman sekitar dekade 1920-an, terminologi kaldera ini masih menjadi perdebatan. Lalu apa yang diperdebatkan? Ahli geologi menilai perdebatan kala itu hanya terbentur permasalahan bahasa. Sederhana. Meski sederhana tetapi hal ini disayangkan. Ketika ahli-ahli asal Jerman, Belanda dan Jepang bertemu dan membahas kaldera bersama, mereka jarang menuliskan diskusinya dalam bahasa Inggris. Hal ini berdampak kepada wacana tentang kaldera tidak banyak menyebar ke negara-negara yang berbahasa Inggris. Penggunaan terminologi kaldera lebih terdefinisi secara luas dan mulai terformulasikan setelah Howel William mengupas kaldera dalam bukunya “Calderas dan Their Origin” yang diterbitkan oleh University of California pada tahun 1941. Awal ketertarikan William pada kaldera dimulai sekitar tahun 1929. Ahli ini mengawalinya dengan mengunjungi Gunung Kilauea di Hawaii. Perjalanan penelitiannya pun berlanjut ke kaldera Brokeoff di California. Penasarannya bertambah mengarahkannya datang ke kaldera Batur, Kintamani (Bali), Ijen di Bondowoso, Tengger di Probolinggo (Jawa Timur), dan Menimbun Peradaban 88


tentu juga pergi ke Krakatau. Permasalahan terminologi kaldera ini dalam perdebatannya terfokus pada : apakah kaldera adalah produk langsung letusan gunungapi atau hasil dari proses amblesan? Bagi Van Bemmelen dan Neumann van Padang, kedua ahli ini tegas menggunakan terminologi kaldera untuk morfologi depressi yang diakibatkan oleh amblesan (runtuhan atap dapur magma). Berdasarkan proses, Van Bemmelen membedakan depresi (morfologi cerukan) dari letusan gunungapi menjadi dua, yaitu : 1. Depresi karena puncak gunung hancur dan terlontar oleh proses letusan itu sendiri. Proses ini menghasilkan kawah. 2. Depresi karena amblesan yang terjadi karena letusan besar mengosongkan sebagian isi dapur magma sehingga terjadi amblesan atap dapur magma. Proses ini menghasilkan kaldera. Ada ahli lain, Walker, menyebut apabila letusan sangat besar dan puncak gunung hancur terlontar sehingga membentuk kawah yang sangat besar lebih dari 1 mil (>1 mil) dan lebih dari 1,6 km (>1,6 km). Itulah kaldera. Sudut pandang ini berdasar pada ukuran. Hanya saja pemahaman kualitatif, kaldera adalah kawah yang besar. Tentunya batasan ukuran besar untuk membedakan kawah dan kaldera terletak pada ukuran diameternya lebih dari 1,6 km. Di era modern saat ini, penggunaan istilah kaldera lebih banyak dipakai untuk menyebut kaldera amblesan (collapse caldera). Mengapa? Karena jarang ada letusan sangat besar yang langsung dapat membentuk kawah lebih dari 1,6 km. Bentuk kaldera amblesan ini pada awalnya sering disebut sebagai kaldera tipe Krakatau. Berjalannya waktu dan berkembangnya pengetahuan tentang kaldera, serta semakin populer orang dengan apa itu kaldera, penggunaan istilah kaldera tipe Krakatau pun semakin jarang dipakai. Selanjutnya, kembali memakai istilah kaldera amblesan. Peristiwa Beberapa Kaldera Dunia Sumber : berbagai sumber diolah Badan Geologi. Kaldera Ukuran km Volume yg diletuskan km3 Waktu terjadi Tambora 6 >33 1815 Krakatau 8 12.5 1883, 416 Samalas 6 >40 1257 Taupo 35 35 232 Vesuvius 3.5 3 79 Santorini 10x7 60 1600 SM Batur 12x10 20 29 ribu thn lalu Masurai 7 14 33 ribu thn lalu Maninjau 20x8 ~150 52 ribu thn lalu Toba 100x30 >2000 74 ribu thn lalu Ijen 15x12 ~90 294 ribu - 50 ribu thn lalu 89


Di atas bumi, berdasarkan data sementara yang diketahui, ahli mencatat sebanyak 283 kaldera. Indonesia memiliki 19 kaldera. Kaldera Toba dikenal sebagai kaldera berukuran terluas yang ada di dunia, terbentuk kurang dari 100.000 tahun lalu. Ukurannya, 100 km x 30 km dengan bentuk lonjong. Di New Zealand terdapat kaldera Taupo yang diameternya sekitar 35 km. Amerika Serikat juga teradapat adanya kaldera Yellowstone dengan diameter 60 km. Kawasan Yellowstone populer dengan Yellowstone National Park. Kembali ke aktivitas kaldera, keberadaaannya tidak bisa dipisahkan dari proses-proses vulkanik. Karena letaknya yang berada di busur-busur vulkanik yang ada di bumi. Karenanya, sistem subkaldera bersifat dinamis dalam keseimbangan antara tenang dan aktif. Keaktifannya tidak membutuhkan pemicu yang besar, termasuk proses-proses geologi seperti gempa bumi, intrusi magma. Pada umumnya keaktifan kaldera tidak berujung pada letusan. Karena, keaktifan merupakan dinamika normal dari kaldera itu sendiri. Ukuran dan bentuk kaldera bervariasi. Beberapa kaldera berbentuk relatif lingkaran dan mempunyai sejarah pembentukan yang simple (sekali collapse). Tetapi beberapa kaldera berbentuk lebih persegi atau lonjong. Struktur tektonik skala besar mempengaruhi bentuk secara tidak langsung. Begitu pula berperan di dalam tahap perkembangan bentuk dan volume dapur magma. Sebaran dan Aktivitas Proses Pembentukan Secara keilmuan, proses pembentukan kaldera melalui beberapa tahap. Tahapan ini berlaku pada kaldera-kaldera bermagma asam, andesitic-dacitic, dasitic ataupun rhyolitic, termasuk tahapan pembentukan kaldera di Indonesia. Proses tersebut berdasarkan Cole et al, Calderas and Caldera Structures: A Review, 2005), sebagai berikut : 1. Sebelum terbentuk kaldera terdapat komplek gunungapi dan terjadi pembumbungan (deformasi vertikal) yang signifikan dari keseluruhan tubuhnya. Tekanan magma yang sangat besar di seluruh bagian dapur magma menyebabkan deformasi tersebut. 2. Proses runtuhan (collapse) terjadi karena adanya erupsi magma dalam skala besar dalam waktu yang relatif singkat. Volume magma yang diletuskan lebih dari 10 km3. Contohnya, kaldera di Mazama, volume diletuskan mencapai 59 km3. Jika tebal endapannya 100 m, maka luasnya dapat dibayangkan setara dengan sekitar 30x20 km. Angka itu termasuk volume yang besar terambil dari dapur magma. Proses erupsi besar-besaran tersebut terjadi baik di pipa magma sentralnya kemudian disusul dengan erupsi-erupsi yang terjadi di ring-nya. Runtuhan atap dapur magma pun terjadi. Jika disimulasikan, runtuhan tidak terjadi secara utuh serentak, melainkan dalam blok-blok bagian dari badan runtuhan. Proses collapse atau runtuhan badan atap dapur magma merupakan bagian terpenting dari proses pembentukan kaldera. Proses reruntuhannya sering di analogi kan dalam skala yang lebih kecil mirip dengan runtuhan yang terjadi pada tambang bawah tanah. Kejadian runtuhnya itu sendiri dapat bersa90


maan ataupun bertahap. Jika bertahap biasanya dimulai dari bagian yang paling dekat dengan dapur magma, lalu, semakin mengikuti ke bagian yang lebih atas menuju ke permukaan. 3. Sesudah terjadinya runtuhan, aktivitas vulkanik terjadi di lokasi-lokasi struktur geologi, seperti struktur patahan regional. Proses resurgence, yaitu terangkatnya kembali bagian tengah kaldera. Hal tersebut biasa terjadi hampir di semua kaldera. Resurgence ini dapat berupa proses yang pengangkatan serentak (Pulau Samosir), atau tersentral dalam wujud aktivitas vulkanik (kaldera Batur). Aktivitas baru muncul kemudian di lokasi tertentu sebagai pusat gunungapi baru, bisa di tengah kaldera, bisa juga di pinggir (ring) kaldera. 4. Karena ukurannya yang besar dan kompleks, proses hidrothermal terjadi dan mengarah pada pembentukan potensi geothermal. Meskipun demikian, hal itu tidak selalu diikuti dengan proses mineralisasi (pembentukan mineral/ bahan tambang, seperti bahan logam) karena proses mineralisasi memerlukan waktu yg jauh lebih lama. 5. Bentuk dan struktur kaldera dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti pola tektonik di area terjadinya kaldera, komposisi magma, geometri (bentuk) dapur magma, kedalaman dapur magma, ukuran volume erupsi (besarnya magma yang tercerabut dari dapur magma), proses collapse (tunggal atau multiple blocks; simetris atau asimetris) dan resurgence (proses terangkatnya kembali bagian yang runtuh) Secara statistik, erupsi super besar dengan volume lebih dari 1.000 km3 yang membentuk kaldera terjadi sekali dalam 50 ribu tahun. Hasil lain memberikan angka 14 kali dalam 1 juta tahun. Letusan yang melontarkan material bervolume lebih dari 1000 km3, tentunya, berlangsung berhari-hari. Meletus secara berhari-hari diperlukan tekanan dapur magma yang sangat tinggi sampai dengan selesainya erupsi super besar tersebut. Kaldera bisa terbentuk di kompleks gunungapi atau gunungapi dengan diameter yang lebar. Artinya, gunungapi kerucut tunggal dengan ukuran diameter yang tidak terlalu lebar tidak dapat membentuk kaldera. Semakin lebar dan rendah gunungapi dari permukaan air laut (semakin dekat ke dapur magma), semakin mudah terbentuk kaldera. Kaldera yang terbentuk tentunya akan le bih kecil ukurannya dari pada dapur magma yang ada di bawahnya. Semakin runcing ke rucut, maka erupsi nya semakin kecil kemung kinannya membentuk kaldera. Model yang dikembangkan oleh Roche dan Druitt tahun 2001 yang menggambarkan salah satu proses amblesan kaldera model ‘piston’. Diumpamakan bahwa bagian atap reservoir magma yang mengalami amblesan berbentuk silinder dengan radius ‘R’ dan tinggi silinder ‘H’. Di bawah silinder tersebut terdapat ‘underpressure’ sebesar |dP(-)| yang seban- ding dengan gaya gesek tepian silinder ‘s’. Persamaan ini berarti bahwa semakin kecil ‘H’ yaitu semakin dangkal reservoir magma, semakin mudah terbentuk kaldera. Demikian juga, semakin besar ‘R’ atau semakin lebar (besar) reservoir magma, semakin mudah ambles. 91


Pembentukan magma atau terjadinya magma sebenarnya berjalan dengan sangat pelan. Karenanya, proses untuk membangun dapur magma besar yang akhirnya melahirkan kaldera memerlukan waktu yang panjang dan diperkirakan minimal diperlukan waktu 100 ribu tahun. Referensi dari Holohan, van Wyk de Vries, Troll (2007), area-area vital dengan struktur sesar mendatar, terdapat pengaruh besar struktur pada pembentukan kaldera,. Dalam proses pembentukan kaldera, terutama yang dikendalikan oleh struktur geologi, terdapat kegiatan tektonik pre-kaldera yang menyebabkan fragmentasi dari area yang terletak di atas dapur magma dan selanjutnya diikuti dengan subsidence (amblesan) Analog model juga menunjukkan, runtuhan yang terjadi dalam proses kaldera, bersifat outward (seperti mangkuk terbalik). Hal ini sesuai dengan referensi dari Kennedy, Stix, Vallance, Lavallee, Longpre (2004) dan Acocella (2006). Tahap pertama dalam proses kaldera adalah sagging yang menyertai outward collapse circular faulting (reverse fault). Pada tahap akhir terjadi normal fault yang kurang lebih vertikal (ring fault) atau bisa mendekati inward faulting. 2 4 Runtuh membentuk kaldera Bisa terjadi kolaps lanjutan Erupsi Besar 1 Dapur Magma 3 Tumbuh gunung kecil baru Dapur Magma Dapur Magma Ilustrasi Proses Pembentukan Amblesan Kaldera 92


Click to View FlipBook Version