The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu...”
Setidaknya inilah yang memotivasi Anwar Pieters, sang pribumi campuran Belanda. Melalui tulisan-tulisan tangannya yang indah dalam surat kabar ternama, Ia membuktikan kepada keluarga serta teman-temannya bahwa kemerdekaan itu mutlak milik semua orang.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Kenangan Channel, 2020-03-04 07:51:19

Goresan Tinta Orang Indo

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu...”
Setidaknya inilah yang memotivasi Anwar Pieters, sang pribumi campuran Belanda. Melalui tulisan-tulisan tangannya yang indah dalam surat kabar ternama, Ia membuktikan kepada keluarga serta teman-temannya bahwa kemerdekaan itu mutlak milik semua orang.

Keywords: Goresan Tinta Orang Indo,Novel,Novel Sejarah,SMAN 2 Cimahi,Rumah Temen Penerbit

“Iya, Utrecht kalau tidak salah namanya. Kau juga?”

“Hahaha, tidak aku kesana hanya untuk berlibur.
Jenuh sekali di Batavia.”

Setelah percakapan panjang, Anwar dapat
menyimpulkan bahwa Berg adalah orang Nederland asli.
Ayahnya seorang pekerja sipil pemerintah Hindia-Belanda
yang berpangkat tinggi.

“Ayahku juga bekerja untuk pemerintahan Hindia-
Belanda. Mungkin ayah kita saling mengenal.” Anwar senang
memiliki teman dengan latar belakang sama.

“Akan kutanyakan tentang itu, siapa namanya?”

“Pieter Joost. Ia banyak menghabiskan waktunya di
Weltevreden.”

“Aku semakin yakin mereka teman sekantor.” Breg
tertawa kecil.

“Tampaknya sudah larut malam, aku harus kembali ke
ruanganku.”

“Aku ikut denganmu. Aku pun lelah.”

“Aku ke geladak atas. Mari.” Anwar dan Berg sama-
sama mematikan rokoknya dan berjalan ke arah kabin kapal.

Sampai di depan kamarnya, ia membuka pintu kamar
dan menguncinya kembali. ia masuk ke dalamnya dan
mengganti bajunya. Setelah itu ia tidur diatas ranjangnya.
Dalam kantuknya, a sayup-sayup mendengar suara deburan
ombak yang akhirnya membawa ia tidur ke alam mimpinya.

***

42

Sinar matahari mulai terasa masuk menerangi
kamarnya. Saat itu juga Anwar membuka matanya perlahan.
Dilihatnya jam masih menunjukkan pukul 7 pagi. Anwar
memang terbiasa bangun pagi hari. Hal ini didapatnya selama
di Batavia. Ibunya selalu membangun Anwar pagi sekali demi
sarapan bersama-sama di ruang makan yang menghadap ke
arah teras belakang rumahnya.

Sebelum memulai aktivitas, terdengar ketukan di pintu.
Seorang pelayan membawakannya beberapa makanan untuk
sarapan pagi ini.

Sejenak sebelum mandi, ia membuka tirai jendela
kamarnya yang membuat sinar matahari semakin menerangi
kekhasan ruangan yang dipenuhi furnitur kayu-kayuan yang ia
tempati saat ini. Ia kemudian menarik kursi di depan meja tulis
yang berhadapan dengan jendela kamar yang menghadap ke
laut lepas. Ia mengambil secarik kertas dari kopernya dan
mulai menuliskan beberapa kata yang kemudian dirangkainya
sebagai sebuah tulisan.

Anwar memang memiliki senang menulis. Rasanya
kurang pas jika ia tidak menulis beberapa baris kata dalam
sehari. Pena dan kertas seperti menjadi bagian dari jiwanya.

Kali ini ia menulis mengenai perjalanannya diatas
sebuah kapal yang sedang ia tumpakki. Ia juga menulis
beberapa detail mengenai kapal tersebut. Bisa dibilang sebagai
sebuah catatan perjalanan. Ia percaya suatu saat nanti apa yang
ia tulis dapat mengubah beberapa hal buruk yang terjadi
belakangan ini.

43

Setelah selesai menulis, ia memakan sarapannya
dilanjutkan dengan meminum secangkir kopi yang disediakan
serta dilanjutkan dengan membersihkan tubuhnya di kamar
mandi. Setelah selesai, ia memakai topinya dan berjalan keluar
geladak mencari udara segar. Tak lupa juga ia membawa
sebuah buku untuk menggambar. Ia ingin mencoba
menggambar indahnya laut lepas.

Sesampainya di atas geladak, dijumpainya beberapa
orang-orang Belanda yang berjemur di atas geladak. Bergegas
Anwar pergi ke bagian belakang kapal. ia mengambil kursi
kecil di dekat dinding dan menariknya ke ujung. Ia
menyandarkan buku itu ke besi kapal dan mulai menggambar.

Digambarkan laut yang saat itu sedang dalam kondisi
tenang-tenangnya dengan arsiran tipis. Tak lupa juga ia
gambar langit yang cerah dengan sinar matahari yang terkesan
hangat.

Selepas menggambar, ia kembali mengambil rokok di
sakunya dan menyalakannya. Terlihat asapnya membumbung
tinggi pergi searah dengan arah kapalnya pergi. Dilihatnya
beberapa orang di sebrang sedang bercakap-cakap
bergerombol dengan pandangan was-was.

Ditengah perbincangannya, Berg tiba-tiba menyembur
ketengah,

“Hoi!” Berg melambaikan tangannya ke atas. Ia
terlihat bersemangat sekali.

“Ada apa ini?” Berg menunjuk ke arah sekitar
keramaian.

44

“Entahlah, aku hanya ikut berbincang bersama mereka
tadi. Mereka seperti ketakutan.”

“Hahaha, iya. Mereka orang Hindia-Belanda, ya?”
Berg tersenyum sinis.

“Memangnya ada apa?”

“Aneh saja, jarang-jarang melihat orang macam itu di
kapal seperti ini.”

“Bukannya mereka sama seperti kita?” balas Anwar
santai.

Perkataannya secara tidak langsung membuat Berg
kaget. Ia membelalakkan matanya.

“Sama?” Berg menunjukkan keheranannya.

“Iya, apa bedanya? Mereka sama kan seperti kita?”
Anwar menaikkan alisnya.

“Beda. Mereka lebih rendah daripada kita.” Berg
memiringkan mukanya sedikit kearah mereka.

Jujur saja, Anwar sedikit kesal dengan perkataan Berg
tadi yang seakan-akan merendahkan pribumi. Ibu Anwar
adalah seorang pribumi. Tentu saja ia akan selalu
menghormati pribumi dimana pun. Anwar pun tidak
membahas lebih lanjut mengenai obrolan tadi. Banyak yang
lebih penting dibahas bersama Berg, karena Berg sebetulnya
orang yang cukup pintar dalam berbicara.

Ditengah pembicaraannya.

“Hueekkk...Huekkkk...”

“AWASS!!”

45

“Minggiir, cepat cari alat pembersih!”,

Terdengar keributan diantara orang-orang pribumi itu.
Ternyata, salah seorang diantara mereka mengalami mabuk
laut. Beberapa orang di sekitarnya sibuk membantu. Ada yang
berlari mencari alat kebersihan seperti lap dan segala
macamnya. Beberapa juga ada yang ikut memijatnya sambil
membantunya berbaring di lantai. Ada juga yang secara
sukarelawan melepas jaketnya untuk menyelimuti yang sakit.

Anwar dan Berg terpelongo, begitu kompaknya
mereka semua. Padahal sepertinya mereka bukan terlahir
dalam keluarga yang sama, karena perbedaan yang mencolok
diantara muka mereka. Ada yang berhidung mancung dengan
kulit kuning langsat, serta beberapa dengan kulit sawo matang,
dan ada juga yang berambut keriting dengan hidung yang
mungil.

“Aku pergi dulu, Berg.” Anwar mematikan rokoknya
kemudian menginjaknya di tanah.

Berg mengangguk dan ikut pergi, sedang Anwar
mengikuti gerombolan pribumi itu.

Mereka semua membawa ‘si sakit’ itu ke dalam kapal.
Seperti ke dalam suatu ruangan. Mereka pergi ke bagian bawah
kapal. Ruangan yang mereka datangi sangatlah gelap dan
lembab. Sepertinya bekas suatu ruangan. Disana banyak sekali
pakaian serta baju-baju mereka yang seperti sedang dijemur
karena kebasahan.

“Ya, Tuhan!” Anwar memekik melihat si yang sakit
pucat sekali. Kulitnya yang sawo matang tidak terlihat indah
lagi karena Ia menggigil kedinginan.

46

Beberapa di antara mereka kebingungan melihat muka
Anwar. Sebagian merasa ketakutan.

“Ada apa kau kesini, penjajah!?” salah satu di antara
kerumunan itu buka suara.

“Hah? Pen..ja..jah?” Anwar menunjuk dirinya.

“Siapa lagi jika bukan kau, lihatlah matanya yang
berwarna biru.” sebagian lagi ikut bersuara.

“Mata biru ini bagus tahu.” Anwar menyombongkan
dirinya sambil tersenyum kecil.

“Ibuku orang Batavia.” Anwar membuka dompetnya
dan memperlihatkan foto Ibunya.

Beberapa di antara mereka terdiam.

“Kau orang pemerintahan ya?”

“Pasti dia memata-matai kita.” beberapa diantara
mereka juga ikut bersuara.

“Sudahlah, tak penting apakah aku pribumi apa bukan.
Awas, aku ingin lihat apa yang terjadi pada si sakit ini.” Anwar
menyibakkan tangannya menghiraukan beberapa orang yang
terus menghalangi serta mempertanyai identitas dirinya.

Anwar memegang dahi orang tersebut. Panas.

“Kau sepertinya sakit demam, kau pasti terkena
mabuk laut.” Anwar bergumam.

Beberapa pribumi di sekitarnya kagum terhadap
dirinya serta bergumam ‘oh..’.

“Duh, meninggal dong die, kagak ada pak mantri.”

47

“Bagaimana terus ini, Pak Dokter?” seorang anak
perempuan kecil memandang Anwar penuh harapan.

“Aku bukan dokter, tapi aku punya beberapa
peredanya. Tunggu sebentar.” Anwar pergi ke atas kapal lagi
menuju ke bagian medis.

Dilihatnya ruangan medis itu, isinya orang Belanda.
Tidak mungkin jika Ia berbicara bahwa yang sakit adalah
pribumi, kemungkinan ditolongnya kecil. Setelah memutar
otak, Ia kembali ke kamarnya lalu mengganti bajunya dengan
jaket tebal.

“Goede..middag!” Anwar memasang ekspresi lemas dan
menggigil sesekali.

“Oh, pria yang malang. Masuklah!” seorang wanita
yang sepertinya seorang perawat mengajak Anwar masuk.

“Ada yang bisa kami bantu?” wanita lainnya ikut
bertanya.

“Aku...butuh obat pereda mual....serta parasetamol.
Sepertinya aku mabuk laut.” Anwar sesekali berpura-pura
menggigil seperti kedinginan.

“Sebentar, dia akan mencarinya.” wanita yang tadi
menyuruh Anwar masuk menunjuk ke wanita satunya lagi.

“Kau mau diperiksa juga?” ia menyiapkan air juga
untuk Anwar.

“Uhmm..Mungkin lain kali, aku ingin sekali tidur.”
Anwar menyudahi obrolannya.

48

Tak lama kemudian sang perawat satunya memberikan
obat-obat yang dibutuhkan Anwar ke dalam suatu wadah yang
disatukan juga dengan air dalam botol.

“Ini, semuanya 3 gulden.”

“Ini uangnya, terimakasih.” Anwar menyodorkan
uangnya.

“Sama-sama, cepat sembuh Tuan.” sang perawat
melambaikan tangan disertai kepergian Anwar dari klinik
tersebut.

Anwar kemudian bergegas ke kamarnya lagi. Ia
menggantung jaketnya dan kemudian memakai kacamata yang
menutupi matanya serta tak lupa topi. Sebelum pergi, Ia tak
sengaja melihat roti sisa sarapan tadi. Masih cukup banyak
sisanya. Ia masukkan roti itu ke dalam bungkusan obat-
obatan. Lalu Ia bergegas pergi ke bagian bawah kapal tempat
para pribumi itu berkumpul.

“Tuan, ini ada beberapa obat untuk diminum.” Anwar
menyodorkan obat khusus pereda mual serta panasnya.

Anwar ikut menyodorkan roti, obat, serta minum.
Mereka semua terperangah melihat sikap Anwar yang terlihat
peduli sekali dengan mereka.

Si sakit itu kemudian memakan sepotong roti diikuti
obatnya dan bersender.

“Nih, ada roti untuk kalian.” Anwar menyodorkan roti
kepada para pribumi lain.

49

“Terimakasih banyak Tuan, semoga Tuhan
membalasmu dengan kebaikan lainnya.” si sakit bergumam
menjabat tangan Anwar.

“Sudahlah, tidur saja. Pakai pakaian tebal jika mau
keluar kapal.” Anwar tersenyum kecil.

Dalam dirinya bergejolak sebuah rasa. Dahulu Ia tidak
pernah berinteraksi banyak dengan para pribumi, namun kini
Ia merasakannya. Sebenarnya mereka orang-orang yang baik.

“Kalian semua mau kemana?” Anwar memecah
obrolan.

“Kami kabur dari koloni Hindia-Belanda.” salah satu
menjawab.

“Oh ya, dasar aneh.” Anwar tersenyum sinis kemudian
bergegas pergi.

“Omong-omong, kapal ini akan kemana?” tanya
pribumi itu.

“Amsterdam. Kalian salah kapal sepertinya.” Anwar
terbahak kecil.

“Hah? Amsterdam? Belanda?” yang lainnya terbelalak.

“Aduh, sama saja masuk kandang macan kita.” yang
lainnya terlihat menghela nafas panjang.

Orang-orang pribumi itu terlihat tidak senang. Mereka
lari dari para koloni Belanda tetapi malah akan pergi ke tempat
kelahiran mereka. Sungguh sebuah ironi.

“Aku harus pergi. Jaga temanmu itu.” Anwar
menunjuk ke arah si sakit.

50

“Kau mau kemana?”

“Mau menjajah.”, Anwar memutar matanya.

Beberapa diantara mereka terpelongo kaget. Namun
Anwar tidak ambil pusing, Ia keluar dari ruangan gelap itu.

“Terimakasih banyak, Tuan!” Beberapa dari mereka
berteriak terima kasih seiring menghilangnya Anwar dari
ruangan itu.

Satu sisi mereka menilai Anwar sebagai orang yang
arogan, namun cukup baik untuk ukuran seorang
berperawakan Nederland.

Anwar sendiri menilai para pribumi itu sebagai orang-
orang yang ramah lagi murah senyum. Jarang sekali
menemukan orang-orang semacam itu diatas kapal ini, sebab
kebanyakan yang menaikki kapal ini adalah para bangsawan
Eropa yang ingin kembali ke tanah kelahirannya setelah puas
menjajah daratan Hindia-Belanda tempatnya dibesarkan.

***

Sepuluh hari telah dilalui Anwar dengan penuh
kebosanan. Bagaimana tidak, tidak ada yang bisa dilakukan di
atas kapal selain menulis, menggambar, memandang laut lepas,
merokok di luar geladak, serta bercengkrama dengan orang-
orang yang baru saja ia kenal. Meskipun menggambar maupun
menulis adalah hobinya, tetap saja Anwar merasa bosan jikalau
hanya hal itu saja yang dapat ia kerjakan.

Setelah beres mengemas barang-barangnya kembali,
Anwar berkaca sekali lagi di hadapan cermin, membenarkan
rompi serta dasi kupu-kupu di kerah kemejanya. Ia tersenyum

51

sekilas kemudian pergi meninggalkan ruangan kamar yang ia
tempati selama 10 hari ke belakang.

“108.” gumamnya saat menengok ke arah atas pintu
tempat nomor kamar terletak.

Anwar bersama orang-orang lain penumpang kapal
berkumpul di tengah ballroom kapal. Mereka semua sama
seperti Anwar, menenteng koper kotak khas tahun 1900an itu.
Beberapa wanita juga menenteng payung dengan gaun indah
mereka, sedangkan anak-anak banyak yang menggenggam
boneka atau mainan mereka. Beginilah cerminan bangsawan
Eropa kala itu kira-kira.

Beberapa saat kemudian, awak kapal beserta
nahkodanya mengumumkan kepada para penumpang bahwa
mereka telah sampai di perairan Amsterdam.

Anwar yang saat itu benar-benar penasaran akan kota
kelahiran ayahnya pergi ke luar ballroom menuju geladak.
Mulut Anwar menganga takjub akan kota ini. Bangunannya
memiliki cukup perbedaan dengan bangunan-bangunan di
Batavia. Orang-orang disini terlihat bahagia semua.

***

Kaki Anwar untuk pertama kalinya menapakki kaki di
dermaga Amsterdam. Ia melihat ke sekeliling sambil berjalan
meninggalkan dermaga. Baru saja sampai di ujung dermaga, Ia
sudah merasa kelelahan menenteng kopernya. Dulu sewaktu
di Batavia ada si mbok yang membawakan koper serta
perlengkapan lainnya, sekarang ia harus mandiri.

52

Karena kelelahan, Anwar beristirahat di bangku dekat
dermaga. Wajahnya menghadap ke arah birunya langit
Amsterdam dengan burung-burung camar yang terbang
diatasnya. Sesekali ia mengamati aktivitas orang-orang disana.
Banyak para pria yang baru saja pulang dari laut, beberapa
membantu menarik serta melepaskan jangkar di tiap-tiap kapal
yang singgah.

Sama saja sebenarnya seperti di Sunda Kelapa, namun
ada suatu perbedaan yang mencolok. Disini tidak ada budak.
Ya, benar. Anwar sedaritadi belum melihat keberadaan budak-
budak berpakaian lusuh yang mengangkut banyak beban
berlebih di pundaknya. Disini semua orang benar-benar
bahagia. Tersenyum, sesekali ada sekumpulan orang yang
meskipun dengan setumpuk pekerjaan berat yang ia lakukan,
tetap masih bisa terbahak-bahak dengan rekannya.

Di sisi lainnya, Anwar melihat gerombolan para wanita
dengan gaun indah khas Negeri Kincir Angin dengan
anggunnya bercengkrama di dekat penjual buah. Mereka
semua tampak natural dan cantik. Beberapa membawa
keranjang dari rotan.

Di tengah-tengah keasyikannya duduk memandangi
sekitar, Anwar tiba-tiba teringat akan alamat yang diberikan
ayahnya sewaktu dirinya akan pergi. Ya, ayahnya telah
menyiapkan tempat tinggal untuk Anwar selama ia akan
menempuh pendidikan di Amsterdam. Anwar bergegas berdiri
dan pergi menuju jalan besar di persimpangan dermaga.

Dilihatnya ada kendaraan seperti delman, ia pun
bergegas memberhentikan sang kusirnya.

53

“Pagi, nak. Mau diantar kemana?” sang kusir
menyambut Anwar dengan hangat.

“Oh selamat pagi, Ini alamatnya. Aku kurang
mengerti.” Anwar mengambil secarik kertas bertuliskan alamat
lengkap neneknya dan kemudian memberikannya ke sang
kusir.

“Kau nampaknya pendatang baru ya.”
“Iya, aku penumpang kapal terakhir tadi.”

“Oh,habis bertualang ya?”
“Tidak, aku akan melanjutkan studiku disini.”

“Kalau dilihat-lihat kau memang seorang Belanda
tulen, Hahaha.”

“Tidak, aku blasteran, Ibuku orang Hindia-Belanda.”
“Oh, tepat sekali. Pasti kau darisana.” sang kusir
nampak tertarik dengan pembahasan Hindia-Belanda.
“Iya, begitulah kira-kira.” Anwar mengeluarkan botol
minum dan meneguknya.
“Bagaimana Hindia-Belanda? Hangat ya?”

“Yang jelas tidak ada salju disana.” Anwar meringis.
“Ya, itulah penyebab rempah-rempah murah, kan?”
“Kau salah tuan, rempah-rempah mahal disana.
Pemerintahan memonopolinya.” Anwar menjawabnya dengan
santai.
“Oh iya? Jahat sekali mereka.”

54

Di tengah obrolan diatas kuda, tiba-tiba sang kusir
menunjuk ke arah suatu rumah kecil.

“Ini nak, kita sudah sampai.”

“Ini uangnya.” Anwar menyodorkan uang sejumlah 2
gulden miliknya sebagai upah.

“Ah, tidak usah. Anggap saja aku menyambutmu
datang ke kota ini.” sang kusir menolaknya.

“Oh, kau baik sekali. Terimakasih, Tuan.” Anwar
membungkuk sopan dan segera masuk ke dalam rumah.

Sang kusir pun berlalu pergi meninggalkan Anwar.
Sedang Anwar sekarang menghadap ke arah rumah kecil
berwarna coklat dengan bunga-bungaan di depannya yang
sudah terlihat layu.

Ia masuk kedalamnya setelah berhasil membuka kunci
tersebut.

“Ya Tuhan, kotor sekali rumahnya. Penuh debu.”
Anwar mencolek debu yang cukup tebal di sebuah laci sebelah
pintu. Nampaknya ia harus segera membersihkan rumah itu
sekarang.

***

Setelah selesai membereskan debu serta kotornya
rumah tersebut, Anwar bergegas mandi untuk menghilangkan
semua debu yang mungkin saja ikut menempel pada dirinya.
Sesaat setelah beres mandi, Ia mulai merasa lapar.

Wajar saja, memebereskan debu-debuan tersebut
memakan wkatu yang cukup lama hingga waktu sekarang telah

55

menunjukkan pukul 4 sore. Ia mengintip keluar jendela, ada
beberapa orang menjinjing keranjang dipenuhi roti. Pasti ada
toko roti di sekitar sini.

Anwar melangkahkan kaki keluar rumah tersebut dan
berjalan ke arah yang berlawanan dengan orang-orang
pembawa roti tersebut, hingga akhirnya ia sampai di depan
suatu toko roti klasik berhiaskan cat coklat yang indah. Aroma
roti mulai tercium oleh hidung Anwar.

Di dalamnya, ia membeli beberapa roti lengkap
dengan selainya. Ia juga membeli beberapa buah serta cemilan
yang ada di dalam toko tersebut. Toko ini bertajuk ‘Toko Roti’
namun isinya malah lebih komplit daripada sebuah toko roti
pada umumnya.

Sepulangnya ke rumah kembali, Anwar menyeduh
secangkir teh dilanjut dengan memakan beberapa roti dengan
selainya sebagai makan malam. Setelah selesai, ia kembali
membuka jurnal pribadinya dan menulis apa yang terjadi hari
ini.

Setelah selesai, ia bergegas mengunci pintu serta
jendela dan berjalan menuju kamar tidur untuk beristirahat. Ia
rasa cukup untuk hari ini. Masih ada beberapa hari lagi menuju
jadwalnya sekolah di Utrecht. Ia tak sabar akan hal itu.

***

Seperti biasa, pagi hari Anwar terbangun dilanjut
dengan menyeduh secangkir teh. Ia kemudian meminumnya
sembari berdiri di dekat jendela depan rumah. Belum terlalu
banyak orang berlalu-lalang. Rencananya, Anwar ingin

56

berjalan-jalan di sekitra rumah sambil berkenalan dengan
beberapa orang sekitar.

Setelah berganti baju, Anwar melangkahkan kakinya
keluar. Dilihatnya seorang wanita paruh baya yang tinggal di
sebelah rumahnya sedang membereskan kebun.

“Selamat pagi, Nyonya!” Anwar menyapanya dengan
ramah.

“Selamat pagi juga, kau bangun pagi sekali.” wanita itu
ikut berbasa-basi dengan Anwar.

“Sudah kebiasaanku dari dahulu, hehe. Aku baru
pindah ke rumah sebelah.” Anwar meringis kecil.

“Oh! Kau mengingatkanku pada penghuni lamanya,
Pieter Joost.” wanita itu terlihat seperti ingin mengingat suatu
hal.

“Itu ayahku! Oh iya perkenalkan, aku Anwar Pieter.
Anak dari Joost.”,

“Benar-benar mirip. Aku kagum.” wanita itu menatap
Anwar dari jauh penuh harapan.

“Boleh aku membantumu berkebun?” Anwar
menawarkan bantuan sebab dilihatnya wanita itu kesusahan.

“Ah, tidak perlu. Mari masuk ke dalam, aku
seharusnya menjamumu, bukan menyuruhmu bekerja.” wanita
itu mencuci tangannya lalu masuk ke dalam rumahnya diikuti
Anwar.

Anwar akhirnya memiliki tetangga disini. Wanita paruh
baya itu bernama Merida. Suaminya sudah meninggal lama,
dan anak laki-laki sematawayangnya pergi mengarungi lautan.

57

Ia benar-benar sendiri disini. Seharusnya anak Merida
sekarang berumur sama seperti ayah Anwar. Namun entahlah,
dia tak pernah menjenguk Merida setelah kepergiannya. Maka
dari itu kehadiran Anwar secara tidak langsung memberikan
kebahagiaan tersendiri bagi Merida.

“Bagaimana jika kau mengantarku ke pasar, kau
mungkin akan berkenalan dengan seseorang.” Merida sudah
bersiap-siap ke pasar sebagaimana wanita tua yang akan
berpergian. Ia mengambil tas rotannya serta pergi ke luar
diikuti Anwar.

“Aku sangat senang kau disini, dulu Joost lah yang
menemaniku saat disini.” Merida menatap ke arah jalan
sekitar.

“Sedekat itukah ayahku denganmu?” Anwar menerka-
nerka.

“Dia memang bukan siapa-siapaku, namun ia banyak
membantu dalam hidupku. Sayang saja ia harus pergi bekerja
ke Hindia-Belanda sana.”

“Kau tidak ikut kesana?”

“Tidak, dulu yang pergi kesana hanyalah anak-anak
muda saja. Tak mungkin para perantau itu membutuhkan
seorang wanita tua sepertiku ini.” Merida tersenyum.

“Tapi kau memiliki jiwa keibuan yang tinggi.”

Sesampainya di pasar, Merida pergi ke beberapa kios
untuk membeli bahan baku makanan untuknya. Seperti ikan,
gandum, bunga-bungaan segar, dan lainnya. Dilihat dari

58

interaksinya dengan para pedagang di pasar, Merida adalah
seorang yang cukup dikenal baik disana sepertinya.

“Hai, Belle. Kenalkan, ini Anwar Pieter, tetangga
baruku. Kau ingat bukan Joost yang pergi ke Batavia? Ini
putranya.” Merida menyuruh Anwar berjabat tangan dengan
seorang gadis di depannya.

“Anwar Pieter.” ujar Anwar sopan.
“Belle. Baru datang kemari, ya?” Belle berbasa-basi.

“Iya, aku akan melanjutkan sekolah disini.”
“Oh iya? Dimana kau akan melanjutkannya?”

“Utrecht.” Anwar menjawabnya singkat.
“Astaga, kita pergi ke kampus yang sama.” Belle
menutup mulutnya kaget.
“Duh, indahnya menjadi anak muda!” Merida menyela
obrolan mereka berdua yang diakhiri dengan tertawaan yang
renyah.

Selama di pasar tadi sebenarnya Anwar sudah
diperkenalkan kira-kira dengan enam orang. Ben si penjual
ikan, Rosie si anak tukang jahit, Belle teman sekampusnya
nanti, Rolland si anak walikota, dan beberapa yang lainnya
merupakan pedagang di pasar.

“Terima kasih, Merida. Kau telah memperkenalkanku
pada beberapa orang di pasar tadi.” Anwar mengangkat
topinya tanda sopan kepada Merida.

59

“Terima kasih juga telah mengantarku. Jangan
sungkan meminta bantuan padaku, ya.” Merida melambaikan
tangan dan masuk ke dalam rumahnya.

Anwar kemudian melanjutkan berjalan ke rumahnya.
Awalnya ia ingin berolahraga. Tapi sudah terlalu siang saat ini.
Namun, ia ada ide cemerlang. Ia membawa beberapa alat
gambarnya dan pergi ke dermaga tempatnya pertama kali
datang ke kota ini. Ia mau menggambar keindahannya.
Rencananya akan Ia pajang di tengah ruangan nanti.

***

Sesampainya di dermaga, ia memandang sekitarnya
untuk mencari sebuah tempat yang sekiranya bisa ia duduki,
sebab jarak antara rumahnya dan dermaga agak sedikit jauh. Ia
lelah untuk berjalan panjang.

Setelah berjalan cukup panjang, ia menemui sebuah
batu karang kecil, ia duduk disana dan mulai menggambar
sekitar. Ia juga mulai menulis beberapa surat yang rencananya
akan ia kirim ke ayah dan ibunya nanti.

Sebab baru saja dua hari berada di Amsterdam, ia
merasa rindu dengan Batavia dan segala isi di dalamnya.
Baginya, Batavia merupakan tanah kelahirannya yang amat
dicinta. Meskipun ia terlahir sebagai seorang blasteran dengan
perawakan Belanda yang jelas, ia tetap saja cinta dengan
Batavia. Terlebih Ibunya yang merupakan seorang pribumi. Ia
rindu dengan masakan-masakan Hindia-Belanda yang selalu
dimasakkan si mbok untuknya.

***

60

Lima hari terlewatkan dengan sangat cepat di kota ini,
di hari itu pula, Anwar bertemu dan berkenalan dengan
banyak orang Belanda di sekitar sini. Mereka semua tampak
ramah terhadapnya. Namun Anwar belum menemui orang-
orang yang berperawakan seperti seorang pribumi disini.
Apakah memang tidak ada?

Kini Anwar tidak merasa sepi lagi seperti pertama
kalinya datang ke kota ini. Bahkan Ia sudah hafal dengan
beberapa kusir delman yang dapat mengantarkannya pergi ke
Utrecht jika Ia malas berjalan kaki. Sama seperti kali ini, Untuk
hari pertamanya yang indah. Ia sengaja pergi dengan delman.
Ia tak mau berkeringat lebih dahulu, sebab Ia belum tahu pasti
seberapa jauhnya Utrecht.

Sesampainya depan kampus tersebut, Ia melihat
betapa megahnya bangunan tersebut dengan beberapa orang
bermata hijau maupun biru berlalu-lalang di sekelilingnya.
Anwar bergegas pergi ke sebuah ruangan yang ditunjuk
sebagai tempat perkenalan siswa-siswa baru disana.

Berbeda dengan Amsterdam di keramaian pasar serta
pemukimannya, orang-orang Belanda yang bersekolah disini
cenderung lebih individualis menurut Anwar, mereka melihat
setiap orang seperti bermusuhan satu sama lain. Sampai
beberapa jam disini pun sepertinya Anwar belum menemukan
seorang teman pun.

Kehidupannya di sekolah pun benar-benar hanya
habis untuk belajar. Tidak ada seorang pun yang berbasa-basi
kepadanya, atau bahkan hanya sekedar menyapa. Namun
Anwar tiba-tiba teringat dengan Belle, si gadis yang berkenalan
dengannya di pasar. Mungkin Ia bisa membantu. Anwar pun

61

bergegas pergi mencari keberadaan Belle. Sepertinya Ia akan
berada di cafetaria yang biasanya diisi oleh anak perempuan
untuk sekedar makan, berbincang, hingga bertukar gosip
antara satu sama lain.

Langsung saja sesampainya di sana, mata Anwar
langsung tertuju pada seorang gadis dengan rambut pirang
yang lurus serta mata biru jernihnya yang indah yang kala itu
mengenakan gaun berwarna merah. Beda dari yang lainnya.

“Belle!” ujar Anwar.
“Oh, akhirnya kita bertemu lagi disini. Bagaimana?”
“Bagaimana apanya?”

“Kabarmu saat ini.”
“Tidak baik. Aku belum berkenalan dengan seorang
pun disini. Semuanya seperti saling bermusuhan.” Anwar
mendengus kesal.

“Kau lah yang harus memulainya, bukan?” Belle
menyerengitkan dahinya.

“Benar sih, kau sudah dapatkan teman?”
“Temanku dimana-mana, tak perlu didapatkan.” Belle
tersenyum kecil meledek.
“Kau kan memang penduduk asli sini, pasti banyak
teman.”
“Kau juga kan, carilah teman-temanmu sesama
Hindia-Belanda.”

62

“Memangnya ada? Aku belum menemukannya
seorang pun.” Anwar terpelongo kaget. Bisa-bisanya gadis ini
mengetahui segala hal. Benar-benar gudang informasi.

“Pergilah ke belakang gedung pertemuan. Mereka
jarang terlihat karena berperilaku seolah-olah orang paling
sibuk disini.” Belle menaikkan alisnya.

“Baiklah, sampai jumpa.” Anwar memutar matanya
lalu pergi meninggalkan Belle.

Anwar mengikuti saran temannya dan pergi ke
belakang gedung pertemuan. Jaraknya hanya tiga gedung dari
tempat Anwar berada.

“Waaw!” gumamnya dalam hati.
Matanya terbelalak, pemandangan yang janggal, saat ia
melihat puluhan orang dengan wajah yang sering ia lihat saat
di Indonesia, ‘Para Pribumi’.
Dirinya reflek pergi menjauh karena trauma akan suatu
‘hal!’

p

63

64

Pertemuan Serikat

P erjalanan sejarah berlangsung sangat panjang dan tak
diketahui di mana ujungnya. Bahkan seorangpun tidak
tahu akan takdir dari bangsanya sendiri apakah itu akan
bernasib baik atau mungkin sebaliknya yaitu bernasib buruk.
Kaum terpelajar dari kalangan bangsawan seharusnya sadar
dengan nasib bangsanya, tidak hanya berfoya-foya dengan
kegelamoran yang mereka miliki walau hanya sesaat. Semua ini
diawali dengan paksaan oleh kaum jangkung putih dan harus
diakhiri dengan kecerdasan yang dimiliki oleh kaum pendek
sawo matang, tidak hanya dengan otot yang belum tentu
mereka bisa menaklukan ini semua dan mengembalikkannya
ke tangan mereka.

65

“Hey, leuk je te ontmoeten, ben je Indonesisch?” ucap orang
Sunda dengan Bahasa Belanda yang berada dihadapannya.
(hei, salam kenal, apakah kamu orang Indonesia?)

Dengan muka sundanya itu ia terlihat akrab, namun
tetap terlihat memiliki wibawa yang sangat tinggi.

“Oh.. Tuhan, ternyata benar!? Senangnya, akhirnya
saya menemukan orang Indonesia selain diriku. Hai
perkenalkan nama saya Burhanudin atau engkau bisa
memanggil saya Burhan ataupun Han, bebas engkau mau
memanggilku apa, itu terserah dirimu.” ucap orang Sunda
sembari menjulurkan tangan

“Oh.. hei, salam kenal juga Burhan atau Han atau
apapun itu, nama panggilanmu banyak sekali.” Anwar
tersenyum sembari menjabat tangan sobat barunya itu.

“Oh Anwar nama engkau!, sejak kapan engkau berada
disini?”

“Hmm, beberapa hari, dan itu hari-hari pertamaku
yang sangat menyenangkan apalagi melihat negeri orang asing,
yang bahkan saya pikir saya tidak akan bisa kesini.” Anwar
berkata dengan penuh senyum di wajahnya.

“Ternyata kita sama War. Akupun sama sepertimu,
saya baru datang kesini sekitar dua hari yang lalu. Hmm,
berbicara tentang negeri orang asing ini, apa yang anda
lakukan disini? Mengapa kau memberatkan dirimu dengan tas
ransel yang berat itu?”

“Saya disini sedang berkuliah Han, dan mungkin kau
tau tahu tempat kuliahku, jaraknya tidak jauh dari sini, saya
ingin kesana sekarang. Tas ransel ini isinya salah satu kamera

66

pemberian Ayah saya, ia seorang pria Belanda yang tinggal di
Indonesia dan menikahi seorang gadis Sunda yang menjadi
Ibuku sekarang”

“Lupakan tentang tas ranselmu itu, diriku lebih tertarik
dengan tempat kuliahmu yang tidak jauh dari sini. Apakah
yang engkau maksud Utrecht University?” ucap Burhan dengan
sangat antusias.

“Yup, kau tepat sekali, diriku memang sedang
berkuliah disana sekarang adalah semester pertamaku dan
semoga aku bisa lulus dalam waktu yang singkat untuk bisa
kembali ke kampung halamanku.” Anwar menganggukan
kepalanya menandakan bahwa yang Burhan katakan itu benar.

“Sepertinya kita memiliki banyak kesamaan War,
sayapun sedang berkuliah disana dan ini adalah semester
pertamaku. Aku berharap sama sepertimu, lulus dengan cepat
dan kembali ke kampung halaman untuk berbakti kepada
warga disana.”

“Kalau seperti itu, ini akan sangat menyenangkan
punya sobat yang berasal dari tempat yang sama dan berkuliah
di tempat yang sama, apa jurusan yang engkau ambil Han?”

“Yaa tentu saja ini akan sangat menyenangkan.
‘Economics and Business Economics’ itu jurusan yang aku ambi
untuk berkuliah disini.”

“Sepertinya kita tidak selalu mempunyai kesamaan
Han. Jurusan yang saya ambil berkaitan dengan wartawan dan
penulis, yaitu jurnalistik, sedangkan dirimu selalu tentang
berhitung.”

67

“Come on, hanya berbeda di jurusan saja tidak akan
membuat kita akan bermusuhan bukan?” ucap Burhan
sembari mengangkat bahunya.

“Yaa tentu, tentu saja tidak. Kita akan jadi partner di
hal yang lain.” jawab Anwar sembari menggelengkan
kepalanya.s

***

Pagi itu Burhan berlari menuju tempat dimana Anwar
tinggal, Ia mendapat informasi didirikannya sebuah
perkumpulan yang anggotanya hanya diisi oleh mahasiswa
Indonesia yang berkuliah di Utrecht University.

“Ga opzij, geef me een manier.” ucap Burhan kepada
setiap pejalan kaki yang menghalangi jalannya. (Minggir, beri
aku jalan)

Akhirnya Burhan sampai di tempat tinggal Anwar
sembari ngos-ngosan dan wajah yang memerah karena kelelahan
berlari.

“Mengapa mukamu memerah seperti kepiting rebus
Han?” ucap Anwar kepada Burhan sembari cekikian karena
melihat wajahnya.

“Cukup dengan tertawaanmu itu dan mengapa egkau
hanya berdiam diri disitu ambilkan aku segelas air minum aku
sangat haus. Aku mendapatkan berita yang cukup penting
untuk kita.”

“Akan aku ambil lima teko penuh untukmu bila perlu.
Lalu berita apa yang engkau bawa itu?” tanya Anwar sembari
memberikan segelas air putih kepada Burhan.

68

“Jadi begini War, aku mendapat informasi didirikannya
organisasi khusus untuk mahasiswa Indonesia yang berkuliah
di Utrecht University.” ucap Burhan sembari meneguk air
putih.

“Kalau berita tentang itu aku sudah tau, sepertinya kau
menyesal datang kepadaku padahal aku sudah tau.” ucap
Anwar menyeringai lebar.

Dengan santainya Burhan menghiraukan ucapan
Anwar walaupun sebenarnya itu menjengkelkan. Pertemuan
mereka berdua dilanjutkan dengan membahas organisasi yang
baru didirikan itu.

Organisasi mahasiswa Indonesia Utrecht University itu
diselubungi dengan hal-hal yang berbau politik, para
anggotanya lebih banyak merencanakan aksi turun ke lapangan
untuk memperjuangkan dan memerdekakan Bangsa
Indonesia. Rencananya mereka berdua akan menghadap ketua
organisasi yang tak lain adalah kakak tingkat mereka, dengan
tujuan mereka ingin mendaftar menjadi salah satu anggota
organisasi itu.

“Lama sekali kakak tingkat kita yang satu ini, dimana
ia sekarang, mengapa ia bisa menjadi seorang ketua jika
kelakuannya seperti ini, sungguh tidak bisa dipercaya.” ucap
Burhan sembari mengomel-ngomel dengan nada khas
Sundanya.

“Ayolah kawan sabar sebentar, mungkin ia sedang
sibuk sekarang, namanya juga ketua, mungkin ia sedang rapat
terlebih dahulu sebelum menemui kita di tempat ini.” Anwar
berusaha menengahi Burhan dengan kekesalannya itu.

69

Waktu berjalan begitu lama, sudah dua jam lamanya
mereka menunggu di taman kampus. Burhan masih saja
mengomel-ngomel sedari satu setengah jam yang lalu.
Mahasiswa-mahasiswa yang berhamburan keluar dari kampus
sudah banyak terlihat, menyisakan beberapa lagi mahasiswa
yang berada di dalam kampus.

“Apakah mungkin apabila ia lupa tentang pertmuan
kita dengannya Han?” tanya Anwar dengan berpasrah diri
karena sudah lama menunggu.

“Apa kubilang!? sepertinya ia memang lupa kepada
kita.” ucap Burhan dengan nada yang terkesan memarahi.

Beberapa saat, datang salah satu orang dengan
perawakan yang tinggi besar, kulit sawo matang, rambut
keriting, dan mata besar.

Dengan nada dan suara khas bataknya yang sedikit
keras, Ia menyapa Anwar dan Burhan, “Halo salam kenal,
kalian adik tingkat saya bukan? Nama saya Abet Hotmian,
atau kalian bisa memanggil saya Bang Abet. Maafkan saya
sebelumnya karena telat menemui kalian, saya lupa bilang
kepada kalian bahwa saya ada janji bertemu dosen untuk
mengikuti olimpiade mahasiswa lusa depan.”

“Akhirnya datang juga, halo bang tidak apa-apa kami
menunggu, kami pikir Bang Abet lupa dengan janji Bang Abet
bertemu kami. Oh ya, perkenalkan nama saya Anwar Pieters,
abang bisa memanggil saya Anwar. Disamping saya
Burhanudin abang bisa memanggilnya Burhan atau Hans. Ia
sudah mengomel sejak daritadi, karena abang membuat kami
menunggu cukup lama.” ucap Anwar memperkenalkan diri.

70

“Apa yang kau bilang War, tidak seperti itu bang saya
tidak mengomel sejak daritadi, yang ada saya hanyalah
bersenandung menikmati indhnya taman ini sembari
menunggu Bang Abet.” ucap Burhan dengan wajah pucat pasi
karena menahan malu atas apa yang diucapkan temannya itu.

“Sekali lagi saya meminta maaf kepada kalian, saya
pastikan kejadian ini tidak akan terulang lagi kepada kalian di
masa yang akan datang.” permintaan maaf dari Bang Abet
sedikit menyentuh hati Anwar dan Burhan.

“Omong-omong tentang organisasi ini, saya akan
menceritakan terlebih dahulu mengapa saya mendirikannya.
Pada awalnya saya melihat di beberapa majalah dan koran-
koran di Utrecht, disana banyak sekali berita-berita yang
meberitakan tentang bangsa kita yaitu bangsa Indonesia,
bangsa kita sedang tertindas oleh kaum penghuni tanah yang
kita sedang pijak sekarang, memang jahat apabila kita
mengetahui bahwa kita sedang berada disini dan kita harus
melawan mereka yang berada disini, namun seperti itulah
memang adanya. Tapi di sisi lain kita memang sudah
sepatutnya kembali ke tanah air untuk memperjuangkannya
dari bangsa penjajah, kaum-kaum terpelajar sudah harus
dibentuk, bangsa kita Bangsa Indonesia haus akan orang-
orang pintarnya, kaum terpelajar. Maka dari itu atas rasa
nasionalisme yang kuat dalam memerdekakan bangsa
Indonesia, saya akan memerjuangkan bangsa sendri untuk
terbebas dari belenggu kaum penjajah. Oleh karena itu,
sekiranya saya harus membangkitkan rasa nasionalisme yang
kuat dari kita bangsa Indonesia, salah satu caranya yaitu
mendirikan organisasi ini.” ucap Bang Abet.

71

Dengan tegas, cerdas, dan rasa optimisme akan masa
depan cerah yang kuat. Bang Abet berhasil membuat Anwar
dan Burhan tergerak hatinya untuk memperjuangkan nasib
Bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik.

“Indonesia bangga mempunyai pemuda seperti kita
bang, kita harus mengukir sejarah dengan kemerdekaan
Bangsa Indonesia di masa yang akan datang.” ucap Anwar
lantang dengan rasa optimisme yang kuat di dadanya.

Sementara itu Burhan tidak dapat berkata-kata lagi,
sedari tadi Ia hanya memperhatikan temannya dan Bang Abet
yang jiwa dan raganya telah terbakar oleh api-api semangat
perjuangan. MERDEKA!!

Waktu berjalan begitu cepat, tidak terasa mereka
berada di taman sudah terlalu lama hingga larut dalam
kegelapan kota Utrecht.

“Sepertinya sudah sampai disini pertemuan kita hari
ini, kalian resmi menjadi anggota baru kami. Selamat datang.
Esok hari kita akan mengadakan rapat untuk pertama kalinya
jadi persiapkan diri kalian untuk esok hari, cari apapun yang
dapat membuat organisasi ini berkembang. Sekian dan
terimakasih. Selamat malam.” ucap Bang Abet dan pergi
meninggalkan mereka berdua.

“Siap laksanakan bang, kami akan memberikan yang
terbaik.” ucap Anwar.

***

72

Ruangan kelas itu seketika dijadikan ruangan rapat
oleh seluruh anggota organisasi, beberapa saat kemudian rapat
perdana organisasi pun dimulai.

Rapat dimulai oleh Bang Abet dengan berdoa kepada
Tuhan yang Maha Esa dan salam pembuka kepada seluruh
anggota organisasi, “Baik saudara-saudara sekalian sebelum
memulai rapat perdana kita, mari kita panjatkan doa atas rasa
syukur kita kepada Tuhan yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunianya kita dapat berkumpul disini dalam
keadaaan yang sehat jiwa serta raganya. Berdo’a
dipersilahkan.”

Seketika ruangan hening sejenak, semua anggota
berdiam diri untuk berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Tuhan selalu mengawasi apa yang terjadi dalam ruangan rapat,
mendengar, bahkan mencatat apapun yang diperbuat oleh
semua orang.

“Selanjutnya mari kita mulai rapat perdana kita ini.
Maka sebelumnya saya perkenalkan terlebih dahulu tiga
anggota baru kita.” ucap Bang Abet dan mempersilahkan
kepada ketiga anggota baru untuk memperkenalkan diri.

“Halo salam kenal, salam sejahtera bagi kita semua,
perkenalkan nama saya Anwar Pieters berkuliah tentang
jurusan jurnalistik, saya memang mempunyai darah campuran
tetapi jiwa dan rasa nasionalisme saya sangat kuat dan saya
akan berjuang demi kemajuan organisasi ini dan tentu saja
bangsa kita Bangsa Indonesia. Terimakasih.” ucap Anwar
memperkenalkan diri.

73

“Izinkan saya memeperkenalkan diri, nama saya
Burhanudin. Saudara-saudara disini dapat memanggil saya
Burhan atau Han, senang bisa berkenalan dengan saudara
sekalian dan bisa ikut berpartisipasi dalam organisasi ini.” ucap
Burhan memperkenalkan diri.

Salah satu anggota baru itu berdiri, seluruh orang di
ruang rapat seperti melihat masa depan yang cerah untuk
organisasi dan Bangsa Indonesia apabila melihat wajah orang
ini, Ia menperkenalkan diri.

“Selamat pagi menjelang siang. Perkenalkan nama saya
Raden Abimanyu Manunggal, saudara-saudara sekalian bisa
memanggil saya Abimanyu, Abi, ataupun yang lainnya. Itu
tidak masalah bagi saya selagi saudara memanggil saya dengan
sebutan yang sopan. Sekian dan terimakasih.” ucap pria
dengan wajah yang tampan, pakaian yang dikenakannya, dan
dari namanya terlihat bahwa Ia adalah salah satu keturunan asli
dari Raja Keraton di Tanah Jawa.

“Itulah tadi beberapa anggota baru kita, selamat
datang dan selamat berjuang untuk organisasi dan Bangsa
Indonesia. Selanjutnya saya persilahkan kepada Abi. Apa yang
anda dapatkan untuk kemajuan organisasi ini dan terutama
Bangsa Indonesia?” pertanyaan Bang Abet langsung menuju
kepada salah satu anggota baru di dalam pertemuan itu.

Dengan sigap Abimanyu langsung berdiri dan
mengambil catatannya untuk Ia presentasikan dihadapan
seluruh anggota pertemuan.

“Sebelumnya terima kasih Bang Abet, mengizinkan
saya untuk memaparkan pendapat Saya. Pada hari ini, hari

74

Selasa, saya akan memaparkan hal apa yang saya temukan dan
pendapat saya demi kemajuan sebuah organisasi dan kemajuan
bangsa saya Bangsa Indonesia. Pertama, dengan ditemukannya
kasus tentang penjajahan terhadap Bangsa Indonesia, maka
Bangsa Indonesia haruslah dengan sesegera mungkin untuk
memerdekakan dari para kaum penjajah. Kedua, karena
adanya hubungan yang kurang baik antara kedua bangsa dan
hanya menguntungkan salah satu bangsa yaitu yang dimana itu
adalah penjajah, maka dari itu kita harus mengajukan
hubungan diplomatik antara Bangsa Indonesia dan Bangsa
Belanda. Hubungan ini tentu saja akan baik, dimana kedua
bangsa akan diuntungkan. Sekian pendapat dari saya
terimakasih.” ucap Abimanyu dengan lantang.

Alhasil perkataan yang dilontarkan oleh Abimanyu
mendapat sorak sorai dan tepuk tangan yang meriah dari
seluruh anggota organisasi. Sebuah argumen cerdas dan dapat
membangkitkan semangat juang suatu bangsa yang dapat
digunakan untuk perjuangan Bangsa Indonesia di masa depan.

“Sangat bagus sekali argumen anda, saudara
Abimanyu. Baik, mari kita dengarkan hasil dari anggota baru
kita yang lain, yaitu Anwar.” ucap Bang Abet sembari
menepuk tangannya berkat argumen yang dipaparkan oleh
salah satu anggota yang lain yaitu Abimanyu.

“Tempo hari saya menemukan adanya berita
kekerasan yang dilakukan oleh Bangsa Belanda di Utrecht
terhadap salah satu warga yang berasal dari Bangsa Indonesia,
mereka menganggap kita rendah tidak bermoral dan tidak
berpendidikan. Oleh karena itu, saya menyarankan bahwa

75

sesegera mungkin kita harus membuat pasukan untuk
membalaskan dendam kepada orang Belan…”

Namun, perkataan Anwar lebih dahulu sudah
dipotong oleh Bang Abet. Ia dan anggota yang lain sangat-
sangat tidak setuju atas apa yang dikatakan oleh Anwar.
Seluruh anggota ribut karena pendapat Anwar.

“Apa yang kamu katakan!? Semua masalah bisa
diselesaikan dengan kepala dingin tidak hanya dengan
menggunakan otot! Kita adalah kaum terpelajar Anwar, sudah
sepatutnya kita menggunakan otak kita untuk menyelesaikan
permasalahan ini, sungguh yang kamu katakan itu sangat tidak
bisa dibenarkan, justru hal itu akan membuat bangsa kita
semakin diinjak-injak oleh kaum penjajah. Saya dan anggota
yang lain pun sama tidak suka dengan penindasan terhadap
bangsa kita, tetapi alangkah lebih baik kita membalas sebuah
kejahatan dengan suatu kebaikan!” ucap Bang Abet dengan
nada Bataknya dan wajah yang memerah karena marah
mendengar ucapan Anwar.

Wajah Anwar seketika berubah menjadi pucat pasi, ia
langsung tersadar bahwa apa yang dikatakan oleh Bang Abet
benar, tidak semua penjajahan dapat dilawan menggunakan
kekuatan militer tetapi tentu saja melewati jalur diplomatik.
Rapat pun kembali dimulai, Anwar hanya bisa berdiam diri
tanpa sepatah kata apapun. Ia terlihat menyesal atas apa yang
ia katakan barusan.

Tidak terasa waktu menunjukkan angka dua belas, ini
saatnya rapat diakhiri, beberapa orang menympaikan pendapat
mereka dari sebuah kasus yang tentu saja sangat masuk akal
untuk dilakukan, tetapi ada pula yang pendapatnya hanya

76

menjadi angin kosong untuk organisasi ini, tidak lain karena
pendapat mereka sangat tidak masuk akal untuk dilakukan.

“Ayolah Anwar, janganlah engkau murung seperti itu.
Pendapatmu tidak masuk akal bukan berarti kau ini hanyalah
seorang yang tak berguna.” ucap Burhan menyemangati
Anwar.

“Perkataanmu betul Han, saya tidak akan mundur
walaupun saya ditusuk oleh pisau seribu kali dan ditembak
seratus kali. Selagi saya masih hidup saya akan terus berjuang
demi kemerdekaan Bangsa Indonesia.” ucap Anwar optimis.

Tiba-tiba datang dari belakang mereka salah satu
anggota baru yang lain yaitu Abimanyu, “Betul War apa yang
dikatakan Burhan, walaupun pendapatmu tidak bisa
dibenarkan namun ada kalanya jalur militer harus dilakukan
apabila diplomatik tidak bisa lagi mendapatkan hasil yang
memuaskan.”

“Kau ini mengagetkan kami saja. Namun apa yang
dikatakan Abi ada benarnya juga.” ucap Burhan sembari kaget.

“Astaga kau ini mengagetkan saja. Terimakasih pula
atas dukungan kalian. Saya harus segera kembali ke kampus,
Saya punya janji dengan dosen hari ini. Sampai jumpa
kembali.” ucap Anwar.

Anwar pun kembali menuju kampusnya yang tidak
begitu jauh dari kelas yang digunakan sebagai ruang rapat.

***

Hari yang melelahkan bagi Anwar, banyak kegiatan
yang ia lakukan pada hari ini. Selain kegiatan organisasi yang ia

77

jalani sekarang, namun ada pula kegiatan mahasiswa yang
lainnya yaitu penilaian akhir. Kondisi tubuh Anwar yang lelah
sangat mudah sekali diserang penyakit. Namun apa dayanya,
keluarganya tidak berada disampingnya sekarang, ia merantau
jauh demi Bangsa Indonesia. Disaat Anwar sedang ingin
pulang menuju tempat tinggalnya, seketika datang salah satu
teman kampusnya.

“Anwar, apakah anda baik-baik saja? Badanmu terlihat
kurang sehat belakangan ini.” ucap pria blasteran Indonesia
Belanda itu.

Anwar terlihat terkejut dengan kedatangan temannya
itu. Sebelumnya perkenalkan ia adalah salah satu teman
kampusnya Anwar, namanya adalah Wig Hanson Herold.

Anwar terkejut karena Hans terkenal sebagai orang
yang apatis tidak peduli terhadap lingkungan sekitar, bahkan ia
pernah meninggalkan seorang nenek tua yang hendak
menyebrang hingga nenek tua itu benar-benar tertabrak oleh
salah satu pengendara. Namun, betapa terkejutnya Anwar
ketika ia tahu yang datang membantunya adalah Hans
seseorang yang terkenal karena ke apatis annya.

“Oh Hans, saya terkejut melihatmu membantuku
berjalan. Engkau betul Hans, saya memang merasa kurang
sehat belakangan ini, saya hanya butuh beristirahat yang
cukup. Mungkin itu akan membantu saya untuk memeulihkan
kembali tubuh saya yang sakit.” ucap Anwar sembari berjalan
dengan tertatih-tatih.

78

“Iya kau sangat butuh istirahat yang cukup War, tidak
akan ada yang tau jika kamu mati sekarang di negeri orang.”
ucap Hanson dengan candanya yang kelewatan.

“Apa yang kau bilang Hans, saya tidak mau mati disini,
tempat ini adalah tempat yang buruk untuk saya bisa mati,
lebih baik saya mati di tanah saya, di Indonesia.” tepis Anwar
sembari mengerutkan dahi.

Sesampainya ditempat tinggal Anwar, Hanson
memutuskan untuk langsung pergi ke rumahnya yang lumayan
jauh dari kampus.

“Terimakasih Hans, atas bantuannya saya merasa
sangat terbantu. Apakah kau tidak mampir dulu untuk
meminum segelas air putih?” tanya Anwar.

“Terimakasih kembali, tidak usah War. Kau sudah
memberi banyak pelajaran di perjalanan tadi. Tidak hanya
sikap pantang menyerahmu. Dirimu sangatlah penyabar dan
kuat, kau harus tahu itu. Bahkan waktu kau dimarahi di ruang
rapat itu. Kau tidak punya rasa dendam sama sekali kepada
Bang Abet hingga saat ini. Sampai jumpa kembali.” ucap
Hanson sembari berlari kecil menuju stasiun dekat kampus.

***

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun
berganti tahun. Waktu berjalan begitu cepat, pada akhirnya
Anwar Pieters meraih gelar yaitu ingenieur (Ir.). Hari ini adalah
saatnya ia untuk kembali menuju tanah kelahirannya
Indonesia. Hari yang ia tunggu- tunggu untuk dapat kembali

79

menemui kedua orangtuanya. Hari dimana ia harus
mengabdikan diri kepada masyarakat di Indonesia.

“Jadi bagaimana langkah kita selanjutnya War?” tanya
Burhan dengan antusias.

“Kita harus kembali ke Indonesia kita harus mengusir
penjajah yang ada di tanah kita, dengan cara apapun, selagi
saya masih hidup saya akan terus berjuang.” ucap Anwar
tegas.

“Kau benar War, ini adalah kesempatan yang bagus,
kita harus memanfaatkan apa yang kita dapat untuk masa
depan bangsa kita, saya berencana untuk menggunakan
kemampuan berbisnis saya untuk membuat hubungan
diplomasi dengan Pemerintah Belanda, saya yakin itu akan
berjalan dengan baik.” ucap Burhan dengan raut optimisme di
wajahnya.

“Itu ide yang sangat bagus. Kalau begitu saya akan
membuat berita yang dapat mengharumkan nama Bangsa
Indonesia di mata dunia. Selanjutnya, mari kita mencari tiket
perjalanan utnuk pulang ke Indonesia minggu depan.”

“Kaupun mempunyai ide yang bagus War, sebelum
mencari tiket mungkin lebih baik untuk kita mengajak Hanson
dan Abimanyu untuk kembali ke Indonesia, mengajak mereka
untuk berbakti kepada bangsa dan tanah air, mungkin mereka
mau.” ucap Burhan.

Mereka pun segera bergegas menuju tempat tinggal
kedua temannya itu. Mereka berdua membagi tugas, Anwar
bertugas untuk mendatangi Abimanyu, sedangkan Burhanudin

80

bertugas mendatangi tempat tinggal Hanson untuk mengajak
mereka kembali ke Indonesia.

***

“Jadi, bagaimana Hans? Apakah engkau mau ikut
dengan kami pulang menuju Indonesia?” tanya Burhanudin.

“Maafkan saya Han. Sebenarnya kembali ke Indonesia
adalah keinginan saya sejak dahulu, namun semua anggota
keluarga saya sudah berada disini sejak dua tahun yang lalu.
Ditambah kedua orang tua saya merencanakan untuk
memberikan bisnis mereka kepada saya, dan hanya sayalah
yang menjadi pewaris tunggal bisnis mereka di Belanda.”
jawab Hanson.

“Kalau begitu adanya tidak apa Hans, namun saya
hanya meminta do’a kepadamu, agar kami dilancarkan dalam
berjuang melawan penjajahan Belanda di bangsa dan tanah air
kita, Bangsa Indonesia.” ucap Burhanudin.

“Terimakasih atas semua yang telah kalian berikan
kepada saya, saya tidak akan melupakan semua itu, semoga
kalian selalu dilindungi oleh Tuhan yang Maha Esa. Saya akan
terus berusaha membantu kalian dari sini, dan terakhi. Bisakah
kau memberi tahu ini kepada Anwar? Sebenarnya saya sudah
ingin berkenalan dengannya sejak dari dulu, saya melihat ada
sesuatu yang berbeda dari dalam dirinya, semangat jiwa
nasionalismenya sangatlah tinggi, saya sangat suka dengan
orang yang memiliki semangat juang yang tinggi sepertinya.
Terakhir kata semoga Tuhan yang Maha Esa memberkati
kalian dan memeberikan kesalamatan kepada kalian.” Anwar

81

mengangkat tangannya seraya berdo’a kepada Tuhan yang
Maha Esa.

“Terimakasih kembali Hans, saya izin pamit, selamat
tinggal.”

Burhanudin pun kembali menuju tempat tinggalnya
untuk memberi tahu apa yang ia dapat dan apa pesan Hans
untuk Anwar.

***

Sementara itu ditempat lain Anwar bertemu dengan
Abimanyu, ia mengajak Abimanyu untuk kembali ke
Indonesia dan berjuang disana.

“Apakah kau ingin ikut kembali ke tanah kelahiranmu,
Indonesia Bi?” tanya Anwar.

“Cuhhh, untuk apa kita kembali kesana, tidak ada apa-
apa lagi. Disana hanya ada kemelaratan dan kaum-kaum yang
tertindas. Lebih baik saya disini, bermukim disini, hidup saya
akan lebih terjamin daripada saya harus bersusah payah
terlebh dahulu disana.” ucap Abimanyu sinis.

“Apa yang kau katakan? Kau seharusnya tidak
mengucapkan itu, tarik kata-katamu itu. Kau tidak tau
diuntung apa? Sudah lebih baik kau dilahirkan dari kedua
orang tuamu sebagai Ratu dan Raja Keraton di tanah Jawa
sana, tidak seperti orang lain yang harus melarat sedari kecil
karena keterbatasan uang mereka untuk menyekolahkan
anaknya. Apa yang kau katakan waktu hari dimana kita
megadakan rapat pertama kalinya itu? Kau mendapatkan
banyak sorak sorai dan tepuk tangan dari semua anggota yang

82

hadir.” kemarahan Anwar terhadap Abimanyu sudah
memuncak.

“Tidak akan saya tarik ucapan saya, bangsa budak itu
akan terus melarat sampai akhir hayatnya, sekali melarat akan
tetap melarat. Dan ayolah organisasi itu hanya untuk
menaikkan derajat sosial saya saja, saya hanya ingin lebih
dikenal oleh mahasiswa kampus, apalagi setelah mendengar
organisasi kalian sedang naik daun karena beberapa acara -
acara kalian, yang mengundang banyak orang untuk
membicarakannya, karena hali itulah saya menjadi semakin
tertarik dengan organisasi sampah itu.” ucap Abimanyu
dengan wajah yag santai.

Amarah Anwar kini sudah sangat memuncak Ia
memutuskan untuk pergi dari tempat tinggal Abimanyu tanpa
berpamitan, daripada ia berlarut-larut dalam emosinya lebih
baik Ia tahan. Lau Ia memutuskan untuk kembali ketempat
tinggalnya di sebuah apartemen di dekat dengan kampus
dimana Ia berkuliah dulu.

***

Waktu menunjukkan pukul setengah sembilan pagi,
setengah jam lagi kapal yang membawa mereka pergi menuju
Indonesia akan berangkat.

“Bergegaslah ayo, kita akan tertinggal kapal yang kita
beli tiketnya dengan mahal ini.” ucap Burhanudin sembari
berlari menuju pelabuhan.

“Iya aku sudah tahu tentang itu, ayo lebih cepat lagi.”
ucap Anwar sembari berlari disamping Burhanudin.

83

Setelah beberapa saat akhirnya mereka sampai di tepi
pelabuhan, mereka langsung bergegas menuju pintu masuk,
dilewatinya penjagaan dan hasilnya mereka aman, mereka
tidak membawa barang-barang yang membahayakan dan
mencurigakan.

“Akhirnya kita sampai, itu adalah lomba lari terakhir
yang pernah saya ikuti selama di Belanda.” ucap Anwar
sembari tertawa.

“Itu bukan lomba lari War, itu adalah berlari super
cepat untuk mengejar pelayaran kapal.” ucap Burhanudin
sembari ngos-ngosan.

Mereka pun mencari nomor kamar yang mereka
dapatkan, menyimpan koper mereka dan tertidur karena
kelelahan berlari menuju kapal tersebut.

p

84

Kembali ke Tanah Harapan

etelah melewati tiga bulan yang suntuk, akhirnya

S Anwar tiba di pelabuhan Tanjung Priok, Batavia.
Kembali ke rumah mengingatkannya pada masa ke
apatisan terhadap bangsa yang berada dalam setengah darah di
tubuhnya, bangsa Indonesia. Tak bisa dilupakan bahwa
memang benar adanya, para pribumi dijadikan budak bagi
orang-orang Belanda, orang yang tak mengerti bahwa
sesungguhnya mereka sama, Belanda bukan Tuhan, pribumi
juga bukan hewan. Bersekolah ke Belanda benar-benar
membuka jendela baru bagi Anwar.

“Rasanya aku ingin meyumpal mulut orang itu dengan
koper besarku” gerutu Anwar dalam hatinya.

85

“Ku tak habis pikir dengan bangsawan muda itu,
memangnya mereka apa bisa mengatakan hal konyol seperti
itu!” tangannya mulai bergetar, sambil mengeluarkan barang
dari bawah tempat duduknya.

Sebagai seorang jurnalis lulusan Utrecth University,
dirinya bukan lagi dirinya yang dulu, yang hanya diam saja saat
kaumnya diremehkan dan dijelekkan, “Hé, je likt de schat van je
ouders, je handen kunnen bewegen om geld van je vader te blijven vragen,
maar niet tegen je mond, zeg nooit een ander woord voor mijn land, want
de tijd zal komen dat je je land moet verlaten!” (Hey kamu penjilat
harta orang tuamu, tanganmu boleh bergerak untuk terus
meminta uang dari ayahmu, tapi tidak untuk mulutmu, jangan
pernah lagi berburuk kata atas negaraku, Karena akan tiba
saatnya kalian harus angkat kaki dari tanah kami!) katanya ke
seseorang yang ia lewati di lorong kursi penumpang. Orang itu
hanya bisa tertegun dan membisu sambil menatap takut pada
Anwar.

Beberapa menit sebelum tiba di pelabuhan, memang
ada kejadian yang menjengkelkan yang terjadi di kapal. Hadi,
salah satu teman Anwar di kapal, kakinya dicekal oleh salah
satu pemuda Belanda, Hadi sampai terjatuh cukup keras dan
kacamatanya pecah. Hampir semua mata penumpang kapal
tertuju pada Hadi dan dua orang Belanda itu. “Hahaha.. Kijk
naar die gebroken, heldere ogen, het is zo schattig als een deken uit dit
vliegtuig, je zou je moeten schamen om in dit vliegtuig te stappen, de
cabine is stinkend en armoedig vanwege jou.” (Lihat mata bening
yang terpecah itu, lucu sekali, tebal seperti selimut. Kau
harusnya punya malu untuk naik kapal ini udik, kabin ini jadi
bau dan lusuh karenamu). Anwar yang juga ikut terambil

86

perhatiannya, berjalan mendekati Hadi dan membantunya
membereskan kacamatanya.

“Uhh, rasanya jadi mual melihat mereka ini, bodoh
dan jelek, ingin rasanya kubunuh mereka semua dengan tank
dan meriam, mereka tak pantas untuk hidup di Hindia
Belanda.”

“Hahaha.. rasanya pasti menyenangkan bukan.”
Kenyataannya percakapan dua pemuda Belanda itu memang
ditunjukkan untuk dua orang Indonesia ini. Anwar dan Hadi
pun hanya meninggalkan mereka, tanpa atau belum untuk
melawan.

***

Untuk pulang ke rumahnya, Anwar menaiki angkutan
umam, Batavia cukup berbeda dari apa yang dia lihat empat
tahun yang lalu, banyak poster dan coret-coretan dijalan,
Batavia yang kotor dan tak enak dipandang. Tidak ada lagi
teman yang bisa dia ajak berkeliling seperti di Belanda dulu.
Semua teman-temannya berasal dari daerah yang berbeda-
beda hingga mereka harus berpisah. Sayangnya Hanson tidak
bisa dia ajak ke Batavia, sesama orang campuran, Anwar
sangat berkeinginan untuk mengajak Hanson ke Batavia,
sembari mengajaknya jalan-jalan melihat kampung halaman
Pak Budi, bapaknya Hanson, juga melihat kondisi bagaimana
para pribumi sekarang. Karena memang pada dasarnya Hans
lahir dan tinggal di Belanda, Ibunya sulit melepas Hans walau
sedetik pun.

87

“Yang haus, yang haus yang haus.” teriak salah
seorang pedagang menghamburkan lamunan Anwar.

“Cangcimen..cangcimen.. cangcimennya bang..”
pedagang selnjutnya mulai menawarkan dagangannya pada
Anwar.

“Kagak bang.” ia menggelengkan kepalanya sedikit
sambil tersenyum.

“Batavia memang sedikit berubah.” pikirnya.

Harga-harga sedang melonjak, tapi uang bukan
masalah yang besar bagi keluarganya, begitu juga dengan harga
angkutan umum ini, yang sangat tidak sebanding dengan
fasilitas yang ditawarkan. Ia pun turun, dan berjalan selama 8
menit untuk sampai ke rumahnya. Terlihat dari kejauhan
wanita dibawah umur paruh baya telah menunggunya di
pekarangan rumah.

“Anwar… anakku sayang..” cium dan peluk bukan lagi
hal yang baru bagi Ibu kepada anaknya.

“Kamu makin ganteng aja anakku..Ayo nak masuk,
Ibu dah buat soto sama perkedel kesukaanmu.”.

Melihat wajah ibunya yang tampak sehat dan segar,
membuat hati Anwar senang, untungnya Ibunya bukan salah
satu pribumi yang menjadi budak para Belanda itu.

Berbagai jenis makanan sudah tesaji dimeja makan
yang cukup lebar itu, hati dan perutnya bergejolak saat
membayangkan betapa enaknya masakan itu.

“Bu.. aku sangat rindu Ibu apalagi masakan ibu, aku
sangat senang ibu baik-baik saja.” ucap Anwar memulai

88

percakapan dimeja makan, Raut wajah ibu terangkat keatas,
menunjukkan rasa senangnya, dengan kembali memeluk dan
mencium anaknya.

“Menagapa kamu menjadi sebaik dan seperhatian ini
nak, apa yang sudah kamu pelajari di Netherland sana? Kamu
tau? sesenangnya kau melihat ibumu, masih jauh lebih senang
rasa ibunya saat melihat anaknya senang dan baik-baik saja.”,
terlukis senyuman dikedua bibir ibu dan anak itu.

Setelah beberapa suapan, pintu rumah terbuka dan
terlihat Mr.Pieter datang membawa beberapa makanan.
Perawakannya masih sama seperti tahun-tahun yang lalu,
wajahnya juga tidak terlalu menua, badannya masih tegap dan
gagah.

“Ayah aku sudah pulang.” Anwar dan ibunya segera
berjalan kearah ruang depan.

“My sonn..” sapa dan peluk ayahnya kepada anak
semata wayangnya itu.

Memang tak biasa Anwar mau dengan ikhlas di peluk
ayahnya itu, tapi kali ini dia memeluk ayahnya dengan erat

“Bagaimana hasil studimu disana nak? Aku rasa kau
mendapat banyak pelajaran baik di negeri kita itu.”

Tiba-tiba ada rasa tak biasa tentang perkataan ‘negeri
kita itu’, walaupun memang benar adanya, Anwar memiliki
setengah darah Belanda di tubuhnya, tapi bagi dia Indonesia
adalah negerinya.

“Banyak ayah.. mari kita makan dulu.” Anwar melepas
pelukannya,

89

“Kau harus menceritakan semua padaku.”,jawab
Mr.Pieter dengan tegas.

Percakapan setelah makan pun dimulai,

“Jadi bagaimana hasil studimu disana. Aku harap
kamu langsung bisa membantuku di pemerintahan?” tanya
Mr. Piet,

“Apa yang bisa aku lakukan ayah, aku kuliah jurusan
jurnalistik, pemeritahan tidak ada kaitannya dengan hal itu
bukan?” jawab Anwar memunculkan bahwa ia tidak mau
melakukan pemintaan itu.

“Apaa!? Kau sekarang berani padaku ya? Aku sengaja
menyekolahkan kamu ke negeri kita agar kamu semakin tau
dan bisa berguna di pemerintahan. Salahmu mengapa
mengizinkan dia mengambil jurusan jurnalis itu.” tiba-tiba
emosi Mr. Piet memuncak sambil menunjuk kearah ibu.

“Ayah.. itu bukan salah ibu, tak perlu menyalahkanya.
Aku berniat pergi ke Bandung untuk mencari pekerjaan.”.

”Bagaimana kau bisa berkata seperti itu! Aku sudah
menanti kamu selama empat tahum, agar kau bisa
membantuku di pemeintah. Apalagi sekarang ini, para pribumi
itu sudah mulai berani menantang kami, sangat bodoh mereka
itu.”

“Aku akan tetap pergi ke Bandung.” jawab Anwar
tegas.

“Kau akan kerja bersamaku, atau tetap pergi ke
Bandung tanpa uang sepeserpun dariku!” Mr. Piet berdiri dan
langsung pergi meninggalkan meja makan.

90

Ibu juga pergi dan mengikuti ayah memasuki kamar.
Didalam mereka memulai percakapan

***

“Kamu tau kan apa yang aku harapkan dari anak itu?
Aku sudah cukup lelah bekerja mengurusi para pribumi itu.”
Mr.Piet memulai percakapan.

“Iya aku tau sayang, tapi sepertinya anak kita memiliki
cita-citanya sendiri sekaranga. Ia tak bisa terus menerus
mengikuti kemauan kita.” jawab ibu dengan tenang.

Dibalik pintu kamar, Anwar menguping dengan
seksama.

“Mengapa ibu tak pernah marah atau kesal saat
bangsanya, darahnya dijelek-jelekan oleh ayah” pikir Anwar
dalam hati.

“Anak itu beda dari biasanya. Aku takut dia ikut lascar
perjuangan jika ia jauh dari pengawasan kita. Anak itu bisa jadi
bom bagiku.”lanjut Mr.Piet.

“Aku yakin dia akan melakukan yang terbaik untuk
dirinya dan untuk kita. Biarkan dia pergi ke Bandung, untuk
jaminannya, ia akan tinggal disalah satu rumah dekat kebunku
yang ada di Bandung.” saran ibu

“Terserah kau saja.”

Tak ada lagi suara yang terdengar dari kamar, Anwar
memutuskan untuk pergi ke kamarmandi dan melanjutkan
bersemedi di kamarnya.

***

91


Click to View FlipBook Version