The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu...”
Setidaknya inilah yang memotivasi Anwar Pieters, sang pribumi campuran Belanda. Melalui tulisan-tulisan tangannya yang indah dalam surat kabar ternama, Ia membuktikan kepada keluarga serta teman-temannya bahwa kemerdekaan itu mutlak milik semua orang.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Kenangan Channel, 2020-03-04 07:51:19

Goresan Tinta Orang Indo

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu...”
Setidaknya inilah yang memotivasi Anwar Pieters, sang pribumi campuran Belanda. Melalui tulisan-tulisan tangannya yang indah dalam surat kabar ternama, Ia membuktikan kepada keluarga serta teman-temannya bahwa kemerdekaan itu mutlak milik semua orang.

Keywords: Goresan Tinta Orang Indo,Novel,Novel Sejarah,SMAN 2 Cimahi,Rumah Temen Penerbit

ii

uji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT,

P karena berkat rahmat dan karunia-Nya, novel ini dapat
kami selesaikan dengan waktu yang tepat dan sesuai
dengan apa yang kami harapkan selama ini. Terimakasih juga
kami ucapkan kepada Ibu Yuyun Sri Idaningsih, S.Pd yang
senantiasa sabar dalam membimbing kami dalam tahap
penyelesaian novel sejarah ini.

Adapun novel kami yang berjudul “Goresan Tinta
Orang Indo” telah kami buat semaksimal mungkin supaya
dapat menjadi salah satu sarana pelepas dahaga bagi para
pembaca yang tertarik dengan membaca sebuah novel
bertemakan sejarah kebangkitan nasional ini.

Kami juga menyadari bahwa tidak ada satupun
manusia yang sempurna di dunia. Untuk itu, kami memohon
agar para pembaca yang budiman dapat memberikan kritik
serta masukkan yang diharapkan kedepannya dapat
meningkatkan kualitas karya kami.

Demikianlah novel “Goresan Tinta Orang Indo”
kami buat, semoga dapat menambah manfaat, ilmu, serta
wawasan bagi para pembaca. Terimakasih.

Tim Penulis

iii



v



vii



Prolog

Batavia, 1892
ala itu, pelabuhan Sunda Kelapa yang indah menjadi

Ksaksi bisu atas penyiksaan lima orang pribumi yang
dituduh ingin mencuri beberapa rempah-rempah seperti
lada.

Lima orang itu memang terkenal sebagai kelompok Si
Pitung-nya Sunda Kelapa, atau dalam istilah lainnya, mereka
sering disebut sebagai Robinhood yang katanya membela
kebenaran para rakyat kecil. Nama mereka sendiri seringkali di
letakkan di jajaran atas ‘daftar pencarian orang’ dalam tatanan
pemerintah Hindia-Belanda.

Setelah beberapa kali melakukan beberapa
perampokan serta penjarahan terhadap markas-markas kecil
milik Hindia-Belanda, mereka pun akhirnya tertangkap basah
di dekat sebuah tempat pelelangan ikan di Sunda Kelapa.

1

Beberapa petugas pemerintah dari Hindia-Belanda kala
itu terlihat sibuk mengkoordinir situasi yang menjadi sedikit
ricuh karena tertangkapnya lima bandit tersebut.

“Kau pikir kau bisa menjadi hebat dengan merampok
lada-lada tersebut?”

Seorang tentara Belanda membentak kelima orang
tersebut sambil memukulkan senapan laras panjangnya kepada
lima orang tersebut secara bergantian.

BUKK !!

BUKK !!

“Ini tanah kami! Kau Belanda tak tahu diri!”, salah
satu dari mereka, Rojak tetap mencoba melawan dengan
meronta dan berteriak memaki para Belanda itu meski
mulutnya telah penuh darah.

“Apa katamu?”,

“Inlander tak berguna!”,

DORR!! DORR!!!

DORR!! DORR!!

DORR!!!

Dengan amarahnya yang memuncak, tentara Belanda
itu akhirnya menembak kepala para bandit itu satu persatu.

Disisi lain, saat peristiwa sadis itu berlangsung,
Berdirilah seorang anak laki-laki polos berdarah Belanda-
Indonesia dengan perawakkan Belanda kental terbelalak
melihat kejadian itu.

2

Ayahnya secara spontan membalikkan tubuh mungil
anak tersebut menghadap ke arah yang berlainan dan segera
mengajaknya pergi.

“Berjanjilah padaku kau akan melupakan kejadian
tadi.” ayahnya, Pieter Joost mendudukkan anaknya di kursi
tempat markas milik Hindia-Belanda.

“Tapi, kenapa mereka melakukan itu?” anak tersebut,
Anwar Pieters memasang raut kaget yang bercampur dengan
sedih.

“Sudahlah, kau masih kecil. Kau tak akan mengerti
akan hal semacam itu.” Pieter Joost kemudian mengelus
kepala anaknya dan memanggil salah seorang bawahannya.

Sedang Anwar kecil merasa kesal sebab pertanyaannya
tidak dijawab oleh sang Ayah.

“Kau! Antarkan Anwar ke rumah. Ia butuh istirahat.”
perintah Joost kepada seorang bawahannya bernama Sueb,
sembari memberi sebuah kunci mobil.

“Baiklah Tuan.” Sueb, yang mendapat perintah
menundukkan kepalanya sedikit pertanda sopan kepada sang
atasan.

Anwar Pieters segera bangkit dari kursinya dan pergi
mengikuti Sueb menuju mobil milik ayahnya. Tangannya
melambai ke arah ayahnya disertai muka yang masih dalam
keadaan cemberut.

“Sueb, mengapa kau membiarkan teman-temanmu
tadi ditembak dengan senapan begitu saja?” Anwar menatap
Sueb. Dalam benaknya, Sueb dan kelima orang tadi itu

3

berteman karena memiliki kesamaan warna kulit dan bentuk
tubuh yang mungil serta sedikit dekil.

“Maaf, Tuan. Sueb tidak boleh menjawab hal seperti
itu.” Sueb tetap membungkam dirinya, sebab Joost akan
marah jika tahu bahwa Ia telah berbicara mengenai hubungan
kelam antara para warga Batavia asli dengan para Belanda.

“Huh, selalu saja seperti itu. Kau mau juga ditembak?”
Anwar Pieters membentuk jarinya menjadi sebuah pistol dan
mengarahkannya ke arah Sueb.

“Nah seperti ini, dorr!!! dorr!!!” Anwar merecokki
Sueb yang sedang berkendara.

***

Dalam benak Sueb, sebenarnya Ia sudah muak bekerja
pada Belanda seperti ini. Ia juga sebenarnya merasa sedih atas
kematian lima orang bandit tadi. Sebab, biasanya mereka
berlima lah yang kadang mengirimkan berbagai macam bentuk
makanan untuk dimakan bersama di kampungnya di dekat
Sungai Ciliwung. Sueb tak bisa menahan lagi betapa sedih
dirinya atas kejadian tersebut.

Namun, apadaya. Sebab kekuatan Belanda di Batavia
kala itu sedang dalam masa kejayaannya. Tak ada yang dapat
diperbuat oleh seorang pribumi yang selalu di cap sebagai
seorang inlander macam Sueb.

Jikalau saja Ia memberontak, habislah hidupnya. Sang
Emak tak dapat lagi melihat dirinya. Tak ada lagi yang
mengurus Emak jikalau Ia tadi ikut membela. Sebab, bisa saja
para Belanda tadi menembak juga dirinya di tempat.

4

Memang, orang-orang Belanda saat itu sangat tidak
berprikemanusiaan. Banyak teman-teman sebaya Sueb
diangkut paksa oleh Belanda untuk katanya ‘dibawa hidup
enak’. Namun, dibalik semua itu terdapat berita-berita
simpang siur mengenai akhir yang mengenaskan dari mereka-
mereka yang diangkut paksa oleh Belanda itu.

Kebanyakan dari mereka disebar ke seluruh wilayah
pemerintahan Hindia-Belanda. Pulau Jawa misalnya, banyak
dari mereka yang diangkut dan disuruh bekerja paksa untuk
membangun fasilitas-fasilitas publik yang tentunya akan selalu
menguntungkan pihak kolonial.

Salah satu bukti nyata yang ia yakin bahwa kejadian itu
benar adanya, adalah kakeknya sendiri yang dari desas-desus
dalam pemerintahan meninggal secara mengenaskan di daerah
Sumedang yang saat itu sedang dibangun jalan raya sepanjang
tiga kilometer, atau lebih dikenal sebagai Jalan Cadas
Pangeran. Di sana katanya semua pekerja rodi dipinta
memahat batu-batu besar yang menghalangi pembangunan
proyek tersebut.

Pekerja-pekerja rodi itu tidak dapat berharap
mendapatkan kenikmatan, karena para Belanda serakah itu
bahkan tidak memberikan mereka makan maupun minum.
Kebanyakan dari mereka bahkan lebih memilih membunuh
diri mereka sendiri dengan senapan para pengawas Belanda
yang dirampas dari sakunya.

***

“Bangun, Tuan. Kita sudah tiba.” Sueb
membangunkan Anwar yang tertidur saat di perjalanan.

5

“Hooamm, terima kasih Sueb,” Anwar tersenyum
kepadanya sambil turun dari mobil.

Ibunya, Sekar Ayu Dewi memang selalu mengajarkan
sang anak untuk selalu mengucapkan terima kasih kepada
siapapun yang telah membantunya dengan tak memandang
kasta maupun ras.

Di depan rumah, Anwar sendiri sudah disambut oleh
sang Ibu.

“Ibu!” Anwar teriak sembari membuka tangannya
lebar. Bersiap untuk memeluk sang Ibu. Mukanya ditekuk
tanda Ia sedang kesal.

“Jagoanku!, Sekar Ayu Dewi memeluk anaknya erat,
sembari menggendongnya ke arah ruang makan.

“Bagaimana? Senang kan ikut ayah ke kantor?” Sekar
mencubit pipi anak lelakinya.

“Tidak! Aku tidak mau lagi kesana.” Anwar melipat
tangannya di dada.

“Loh, kenapa? Ada yang mengganggumu ya. Lapor
saja pada ayahmu itu!”

“Tidak bisa.”

Anwar menggeleng mantap, sedang Ibunya hanya
dapat tersenyum melihat kelakuannya. Namun, dalam
benaknya, Sekar bingung. Tidak biasanya Anwar merasa
marah ataupun cemberut seperti ini.

Anwar bahkan tak menyentuh makanan buatan Ibunya
dan langsung berlari ke kamar tidurnya untuk kemudian pergi
tidur.

6

***

“Joost! Apa yang kau lakukan pada anak kita?” Sekar
Ayu mengintrupsi kehadiran suaminya yang baru saja pulang.

“Tidak, aku tidak melakukan apapun.” Joost melepas
dasinya yang terpasang rapi di leher.

Sekar ikut membantu melepaskannya.

“Pasti ada sesuatu yang terjadi.” Sekar menegaskan
perkataannya.

“Tidak. Ia pulang karena lelah.”
“Ayolah, lagipula aku tidak akan marah.” Sekar
membujuk Joost.
“Kau tak memercayaiku.”
“Aku memercayaimu. Tapi aku tahu kau sedang
berbohong sekarang!” Sekar Ayu mengesampingkan rambut
panjangnya.
Joost yang sedaritadi dibujuk untuk berkata yang
sebenarnya oleh Sekar Ayu akhirnya mengaku.
“Aku tak sengaja membiarkannya melihat kematian
lima bandit tadi di pelabuhan.” Joost menghela nafas.
“Itukah hal yang menurutmu layak diperlihatkan pada
Anwar? Dia baru 10 tahun, Joost. Astaga..” Sekar Ayu
menepuk dahinya.
“Aku benar-benar lupa, bagaimana keadaan Ia
sekarang?” Joost menenangkan istrinya.

7

“Ia tak mau makan.” Sekar Ayu pergi meninggalkan
Joost.

Joost yang merasa bersalah karena tadi pergi melihat
jagoan kecil satu-satunya.

***

“Anwar.” panggil Joost lirih di depan kamar Anwar.

Anwar kecil tak menjawab. Tubuhnya dibalut
sempurna oleh selimut.

“Kau tak menjawab pertanyaanku.” ujar Anwar pelan.

“Bertanya soal mengapa mereka dibunuh?”

Anwar hanya mengangguk kecil. Wajar. Rasa
keingintahuan seorang anak kecil di usia seperti Anwar ini
masih terbilang sangat tinggi.

Disatu sisi, Joost ingin sekali putranya ini mengerti
bahwa ada perbedaan di antara orang pribumi dan para
Belanda seperti dirinya. Namun, Sekar Ayu tak pernah
mengizinkannya memberitahu Anwar mengenai hal tersebut.
Katanya Ia masih terlalu dini untuk mengetahui hal tersebut.

Lagipula, Sekar Ayu ingin anaknya tumbuh menjadi
seorang lelaki bijaksana serta sopan dengan perawakan
Belanda nya yang dominan. Ia tak ingin anaknya tumbuh
menjadi seorang Belanda arogan yang memiliki pendapat
bahwa dirinya memiliki hak atas segala sesuatu dengan dasar
bahwa Ia adalah ‘seorang Belanda’.

Dengan berat hati, akhirnya Joost memberitahu
anaknya tersebut.

8

“Mereka mencuri barang di atas kapal. Oleh karena itu
mereka harus membayarnya.” Joost menghela nafas kembali.

“Membayar?”

“Iya, seperti kau jika ingin membeli kue. Uang yang
kau beri kepada sang penjual harus sama bukan seperti harga
kue?”

“Berarti harga barang di atas kapal itu sama dengan
nyawa lima orang tadi?” Anwar menutup mulutnya dengan
tangan mungil miliknya.

“Ya, seperti itulah.” Ayahnya tersenyum.

“Tapi, kenapa mereka marah kepada tentara-tentara
tadi?Hmm.. katanya Belanda tak tahu diri...” Anwar kembali
bertanya.

Joost terkejut. Anak semata wayangnya itu masih ingat
jelas akan kata-kata yang diucapkan sang bandit tadi.

“Hmm... mereka hanya marah saja. Wajar bukan jika
seseorang marah?” Joost menutupi kebohongan yang belum
harus diketahui anaknya saat ini.

Begitulah kiranya kehidupan sehari-hari keluarga
Pieters yang selalu saja ditutupi oleh bumbu-bumbu
kebohongan.

Pieter Joost sejujurnya ingin sekali memberitahu
anaknya mengenai kedudukan Belanda di tanah Hindia-
Belanda ini. Di benaknya, anaknya pastilah bangga memiliki
darah Belanda ini. Bagi dirinya, kasta seorang Belanda
bagaimana pun juga akan selalu berada di atas kelas para
pribumi-pribumi meskipun sekelas bangsawan seperti istrinya.

9

Namun, bagi Sekar Ayu. Ia sangat ingin anaknya itu
tumbuh menjadi anak yang hormat kepada sesama dan tidak
menuruni sikap-sikap Belanda-Belanda kejam yang memiliki
sikap ingin menang sendiri. Ia tak memukul-ratakan seluruh
orang Belanda seperti itu. Namun, dahulu sebagai seorang
anak Bupati, Ia tahu betul kelicikkan Belanda dalam berbagai
bidang. Oleh karena itu, Ia selalu berdoa setiap saat agar kelak
anaknya tidak ditumbuhi rasa ingin menang sendiri seperti itu.

p

10

Sebuah Permulaan

A nak laki laki itu akan memulai kehidupan barunya.
Umurnya yang kini hampir menuju 18 tahun sedang
memikirkan masa depannya kelak. Pendidikan,karir,dan
masa depan seolah olah berputar mengelilingi kepala anak laki
laki itu. Ya,anak laki laki itu bernama Anwar Pieters. Kerap
disapa Anwar ataupun War. Anwar terlahir dari seorang ayah
bernama Pieter Joost dan seorang ibu bernama Sekar Ayu
Dewi.

Pieter Joost atau biasa disapa Mr.Piet bekerja sebagai
pegawai pemerintah belanda yang mengelola kebun kopi.
Sekar Ayu Dewi atau biasa disapa Ibu Ayu merupakan
kalangan pribumi dari golongan terpandang. Orang tua Sekar
Ayu Dewi juga memiliki kebun teh yang disewakan ke

11

Belanda. Jadi bisa dibilang keluarga mereka mapan,bahkan
sangat mapan.

Saat Anwar berumur 7 tahun, ia belajar di sebuah
sekolah bernama Europeesch Lagere School atau biasa disingkat
ELS. ELS merupakan sekolah dasar yang hanya
diperuntukkan untuk keturunan Belanda, Eropa, maupun
rakyat Indonesia dari golongan terpandang. Kemudian saat
umurnya 14 tahun ia melanjutkan pendidikannya di Hoogere
Burgerschool hingga saat ini.

Di sekolah Anwar memiliki kecerdasan diatas rata rata
usia sebayanya.Kecerdasan itu ia peroleh dari ayah dan ibunya.
Ia pun sangat giat dan tekun dalam belajar. Tak heran jika ia
tergolong anak yang pintar dan pastinya memikirkan matang
matang mengenai masa depannya.

***

Matahari mulai menenggelamkan dirinya,digantikan
dengan cahaya terang bulan dan bintang. Jarum jam terus
berputar,berkeliling seperti komedi putar. Hanya suara
detakan jam yang menemani Anwar dalam kesunyian kamar
tidurnya. Tiba tiba suara ketukan pintu memecahkan
kesenyapan dan terdengar suara perempuan lemah lembut.

" War, keluar lah dari kamar. Sebentar lagi makan
malam."

Anwar segera bergegas keluar kamar karena perutnya
sudah mulai keroncongan. Pieter, Ayu, dan Anwar duduk
bersamaan di meja makan. Tersedia menu khas belanda di
meja makan yaitu Stamppot. Makanan ini terbuat dari kentang

12

yang direbus dan dihancurkan kemudian di campur dengan
beberapa sayuran seperti wortel, atau sayuran hijau lainnya
seperti Boerenkool. Dihidangkan ketika panas bersama
dengan sosis besar bernama Rookworst. Meskipun Ayu
merupakan pribumi tetapi ia sudah terbiasa dan menyukai
makanan khas asal negara suaminya.

Makanan telah habis dilahap oleh keluarga Pieter.
Keluarga mereka memang memiliki kebiasaan untuk tidak
berbicara saat makan,tetapi setelah selesai makan mereka akan
berbincang bincang membicarakan hal apapun.

"Jadi War, apakah kamu sudah terpikirkan akan
melanjutkan sekolahmu kemana?" tanya Pieter. Anwar terdiam
mendengar pertanyaan dari papa nya,ia sebenarnya bingung.

Anwar menarik nafas dan menjawab "Belum yah, saat
ini aku masih memikirkannya."

"Jika kau masih bingung, ayah menyarankan agar
kamu melanjutkan pendidikan di negeri Belanda, nak.
Pendidikan disana jauh lebih baik dibandingkan di Indonesia."
ucap Pieter.

"Aku akan mempertimbangkannya."

***

Matahari mulai menyiratkan warna keemasan di ufuk
timur. Suara ketukan pintu membangunkan Anwar dari
mimpinya. Ia segera mandi dan memakai seragam sekolahnya.
Seragam putih abu ia kenakan dengan rapi. Rambutnya yang
lurus disisir olehnya. Tas ransel digendongnya,ia segera keluar
kamar untuk sarapan kemudian berangkat ke sekolah.

13

Anwar bersekolah di Hoogere Burgerschool atau biasa
disingkat HBS. HBS merupakan pendidikan menengah
umum untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi.
Mayoritas berasal dari Belanda dan Eropa. Tidak ada siswa
dari kalangan biasa yang bersekolah disini sebab sekolah
dibagi berdasarkan kelas sosial dan ekonomi serta tidak
mungkin kalangan biasa mampu membayar biaya sekolah ini.
Dan Anwar terlahir dari keluarga keturunan Belanda yang
sangat mapan maka dari itu ia bisa bersekolah di HBS.

Anwar seharusnya memiliki banyak teman dekat di
sekolah karena mayoritas temannya berlatar belakang sama
seperti Anwar,yaitu keturunan Belanda. Namun sebaliknya,ia
tidak cukup akrab dengan temannya di sekolah. Ia tidak terlalu
peduli dengan orang lain dan hal yang terjadi di sekitarnya.
Karena menurutnya sekolah adalah tempat untuk belajar
bukan tempat untuk bermain. Hal terpenting di benak Anwar
adalah ia bisa lulus dengan nilai yang memuaskan,melanjutkan
pendidikan di luar negeri dan menjadi orang yang sukses
seperti ayahnya. Lain halnya ketika di luar sekolah,ia sedikit
bisa berbaur dengan orang sekitar.

Anwar telah tiba di sekolah,langkah kaki membawanya
menuju ruangan kelas kemudian menduduki bangku paling
depan. Bel berbunyi. Kelas dimulai dengan guru yang
menggunakan bahasa belanda. Sekolah ini memang
menggunakan bahasa belanda dalam proses belajar.

Setelah bel pulang berbunyi,Anwar bergegas keluar
gerbang sekolah. Ia melangkahkan kaki sembari menikmati
sejuknya udara hari itu. Dengan hati yang riang serta kakinya

14

yang terus melangkah,ia tiba di sebuah tempat. Lebih tepatnya
perpustakaan.

Perpustakaan adalah tempat favoritnya dimana ia bisa
mengetahui seisi dunia. Ruangan yang sunyi. Suara gesekan
kertas. Aroma buku-buku. Angin yang berhembus dari
jendela. Bisa dibilang ini lah surga dunia bagi Anwar.

Mata Anwar tertuju pada sebuah buku bertuliskan
‘Jurnalisme Universal’. Sampul buku berwarna coklat dengan
tulisan berwarna merah sungguh memikat mata Anwar.
Lembar demi lembar dibuka dengan raut senyum yang tak
kunjung hilang serta mata yang berbinar.

Ia bergumam dalam hati “Sepertinya menjadi jurnalis
adalah jalanku menuju kesuksesan.”

Hari semakin gelap. Buku bertuliskan Jurnalisme
Universal dimasukkan ke dalam tas. Ia berniat melanjutkan
membaca di rumah.

Langit mulai gemerlap. Kilatan muncul meski hanya
sekian detik. Titik titik air berjatuhan dari udara. Langkah kaki
Anwar semakin cepat.

Brukkk.

Tiba-tiba kaki tersandung benda yang ada di depannya.

“Ah sial! seharusnya aku lebih berhati hati” ucap
Anwar.

Dengan sigap ia bangun dan berlari menuju rumah
yang masih sekitar 1km lagi. Tak sadar, buku yang ia pinjam
dari perpustakaan terjatuh disana.

15

***

Seorang pemuda berjalan keluar dari perpustakaan
dengan menggenggam sebuah payung di tangannya. Ia
berjalan dibawah derasnya hujan kemudian tak sengaja
menginjak sebuah buku. Buku itu bertuliskan ‘Jurnalisme
Universal’.

“Milik siapa ya ini?” ucap si pemuda sambil menoleh
ke kanan dan ke kiri mencari siapa pemilik buku ini. Nihil,tak
ada satupun orang disana.

“Lebih baik aku bawa saja dulu daripada buku ini
hancur terkena air hujan.” Lalu buku itu dibawa oleh si
pemuda dan ia bergegas pulang sebelum petir menyambar
lebih keras.

***

Anwar tiba di rumah dengan basah kuyup.

“Dari mana saja? jam segini baru pulang,basah kuyup
pula.” Ucap Ayah dengan nada tegasnya.

“Maafkan aku yah. Aku terlalu asik membaca di
perpustakaan hingga lupa waktu.”

“Oh begitu ya,segera ganti bajumu. Nanti kau bisa
masuk angin.”

Anwar menuju kamarnya kemudian mandi setelah
berkeringat seharian.

“Woah segar sekali!” Ucapnya sembari meregangkan
tangan yang pegal pegal. “Oh iya lebih baik aku melanjutkan

16

membaca buku itu supaya besok bisa langsung aku
kembalikan.”

Ia merogoh tasnya tetapi buku itu tidak ada. Ia
mengeluarkan seluruh isi tasnya namun buku itu tetap tidak
ada.

“Kemana buku nya? Aku rasa aku sudah
memasukannya. Jika buku itu benar benar hilang sungguh sial
nasibku hari ini.” Ucap Anwar sambil berdecak kesal.

Tak lama kemudian Anwar tertidur karena hari ini
cukup melelahkan baginya. Sebelum tidur ia berharap esok
hari akan lebih baik dan keberuntungan akan
menghampirinya.

***

Malam itu terjadi perbincangan di kamar Mr.Piet dan
Ibu Ayu.

“Apa kau yakin membiarkan Anwar kuliah di
Belanda?“

“Tentu saja.”

“Sebenarnya Aku kurang setuju,Aku khawatir
terhadap anak kita satu satunya.”

“Apa yang perlu dikhawatirkan?”

“Siapa yang akan menyiapkan keperluannya? Siapa
yang akan memasak untuknya? Bagaimana jika ia telat makan
dan sakit. Lagi pula aku khawatir ia tidak bisa bergaul disana.
Disini saja ia tidak punya teman dekat seorang pun.”

17

“Hmm Aku mengerti perasaanmu tapi ini demi
kebaikan anak kita. Aku akan memastikan ia menjadi lebih
mandiri dan mudah bergaul sebelum berangkat ke Belanda.”

Ibu Sekar Ayu Dewi tak menjawab lagi. Ia menurut
saja apa kata suaminya karena pasti itu lah yang terbaik untuk
anak satu satunya mereka. Perlahan lahan ia mulai bisa
menyetujui anaknya bersekolah jauh dari keluarga meski ada
rasa khawatir sebagai seorang ibu.

***

Mentari pagi telah bersinar dengan terangnya. Hujan
semalam membuat pagi begitu segar. Cuaca hari ini terlihat
begitu cerah. Awan putih yang menggantung indah di atas
langit. Burung-burung pun ikut meramaikan cerahnya pagi ini.

Anwar bangun dan membuka jendela kamarnya. Ia hirup
udara di luar dalam dalam hingga memenuhi rongga perutnya
kemudian ia hembuskan secara perlahan.

Pagi yang indah. Ia merapikan kamar tidurnya yang
sedikit berantakan. Meskipun laki-laki ia merupakan orang
yang apik. Ia melihat jam dinding,jam menunjukkan pukul
06.30.

“Astaga aku telat!”

Secepat kilat ia bersiap siap ke sekolah. Setelah dirasa
tidak ada yang kurang ia keluar dari kamar dan sarapan di meja
makan.

“Kenapa tidak ada yang membangunkanku?” ucap
Anwar dengan nada sedikit kesal.

18

“Mulai sekarang belajar mandiri ya nak agar kau
terbiasa saat kuliah di Belanda nanti.” jawab Mr.Piet dengan
tegas namun masih terdengar lembut.

Anwar terdiam dan hanya melahap sarapannya dengan
cepat agar tidak terlambat ke sekolah.

“Kamu mau kan kuliah di Belanda?” tanya ibunya
dengan sangat lembut. Anwar hanya mengangguk kemudian
ibu nya tersenyum. Terlihat dari raut wajah Ibu Ayu,ia sangat
senang sekaligus sedih karena nanti akan terpisah jauh dengan
anaknya.

Mengetahui perasaan istrinya, Mr. Piet merangkulnya
dan berbisik di telinga “Tak perlu khawatir,Anwar sepertinya
senang dengan lingkungan barunya nanti.”

“Ayah ibu Aku berangkat dulu ya. Aku akan serius
belajar agar bisa mencapai keinginanku dan keinginan kalian.
Doakan saja ya.”

“Tiap hari kami selalu mendoakan yang terbaik
untukmu nak”

***

Mr. Piet tiba di sebuah perkebunan kopi yang terletak
di Kota Bogor. Kopi termasuk komoditi penting di pulau jawa
dan luar pulau jawa. Namun kopi hanya ditanam di pulau jawa
saja sehingga keuntungan dari perkebunan kopi sungguh
melimpah.Kebun itu ia kelola bersama Mr. Bram dan Mr.
Herold. Mereka bertiga dikenal sebagai orang yang sangat
keras terhadap para buruh.

19

Terdapat 200 tenaga pribumi yang tenaganya
dieksploitasi untuk proses penanaman, pemeliharaan, dan
penuaian. Para pribumi memang ditempatkan di lapisan
bawah. Tenaga buruh biasanya disebut kuli. Kuli
dikelompokkan dalam regu regu yang masing masing diawasi
oleh mandor. Kekuasaan otokratis ini menanam disiplin kerja
yang ketat untuk menjamin eksploitasi yang intensif.

Sistem kekuasaan pengusaha perkebunan dilaksanakan
dengan banyak menggunakan kekerasan. Para kuli tidak
berdaya meskipun telah ada adakoeli-ordonantie.Sungguh
malang nasib rakyat pribumi yang harus mengelola kebun di
tanah milik negara sendiri tapi dikuasai negara orang lain.
Namun seperti itu lah kenyataannya.

Dengan tampang garang, Mr. Piet berkeliling kebun
melihat ke kiri dan ke kanan untuk memastikan semua bekerja
sesuai tugasnya. Mr. Piet melihat seorang buruh yang sedang
duduk sambil mengipas ngipas menggunakan topinya.
Kemudian ia menghampirinya.

“Hey!! kenapa kau bermalas malasan?”

Buruh menjawab dengan nada gemetar “Saya sedang
istirahat tuan,saya lelah bekerja berjam jam”

Mr. Piet menempeleng kepala buruh itu

“Tugas kau ya memang seperti itu,jika tak ingin lelah
tak usah bekerja disini!”

“Ampun tuan ampun, saya masih mau bekerja disini
untuk menghidupi keluarga saya. Jangan pecat saya tuan.”
Buruh itu meminta maaf dengan berlutut kepada Mr. Piet. Mr.
Piet tak menghiraukan buruh itu lalu pergi meninggalkannya.

20

“Haduh untung selamat. Jahat sekali dia. Mentang
mentang penguasa bisa seenaknya nempeleng kepala orang.
Semoga dia masuk neraka paling dalam.” ucap si buruh dalam
hati.

Jika dibilang kejam,ya ini memang kejam. Jika dibilang
tak adil,ya ini tak adil bagi buruh pribumi. Tapi memang
begitu keadaannya.

***

Matahari tepat berada diatas kepala dan awan tak
nampak di langit. Sekolah sudah membunyikan bel pulang.
Langkah kaki Anwar membawanya menuju perpustakaan.

“Belakangan ini cuaca memang aneh,kemarin hujan
deras,pagi tadi cerah dan sekarang panas terik.” Gumam
Anwar saat di jalan.

Anwar berpapasan dengan seorang pemuda. Pemuda
itu menarik perhatian Anwar sebab si pemuda memegang
buku persis seperti buku yang Anwar pinjam.

“Loh itu seperti buku yang kupinjam. Kenapa bisa ada
pada nya? Ah tapi gak mungkin dia mencurinya. Buku itu kan
gak cuma satu di dunia ini. Ya sudah lah lebih baik aku masuk
perpustakaan,nanti kulitku gosong.”

Anwar masuk ke dalam perpustakaan sembari
menghirup aroma khas dari perpustakaan itu. Ia mencari
bangku yang kosong untuk belajar.

“Nah bangku itu kosong!” Anwar berjalan ke bangku
itu.

21

Buku yang ia bawa dikeluarkan dari tasnya kemudian
diletakkan di meja. Ia mulai belajar dengan fokus seolah olah
hanya dia di ruangan itu. Bila ada sumber yang dirasa kurang,ia
mencari sumber dari buku lain yang tersedia di perpustakaan
tersebut.

Peribahasa Berjalan sampai kebatas, berlayar sampai
kepulau sangat tepat untuk menggambarkan Anwar saat ini.
Anwar belajar sangat giat dan sungguh sungguh untuk
mencapai tujuannya yaitu berkuliah di negeri kincir angin. Bila
tujuannya tercapai,ada kepuasan tersendiri baginya.

Jam dinding menunjukkan angka tiga. Hari telah
semakin sore. Tak terasa telah tiga jam Anwar berkutat dengan
bukunya.

“Hoam, melelahkan sekali. Sebaiknya aku pulang
sebelum ayah marah kalau sampai rumah terlalu sore.”

Buku dimasukkan kembali ke dalam tas. Buku miik
perpustakaan dikembalikan ke rak. Disamping rak buku non
fiksi Anwar melihat lagi pemuda yang mempunyai buku
seperti yang ia pinjam. Karena penasaran ia memberanikan
diri menanyakannya.

“Ha..lo...” ucapnya gugup.

“Eh hai. Ada apa ya?”

“Emm begini, aku ingin menanyakan sesuatu.”

“Yaa... silahkan.”

“Tadi di jalan aku gak sengaja melihat kamu membawa
sebuah buku. Kalo boleh tau,buku itu punyamu?”

22

“Ohh buku ini?” Kata pemuda sambil menunjukkan
bukunya.

“Nah iya betul sekali”

“Buku ini sebenarnya bukan punyaku, aku tak sengaja
menemukannya di jalan saat hujan deras. Jadi ya aku bawa
dulu saja dan buku ini juga terlihat menarik,makanya aku bawa
kemari untuk dibaca disini.” jawab pemuda dengan ramah.

“Syukurlah. Aku sangat berterimakasih padamu.”

“Terimakasih buat apa?”

“Ya terimakasih telah menyimpan buku itu. Itu
milikku,eh sebenarnya sih milik perpustakaan lalu kupinjam.
Tapi buku itu hilang begitu saja. Rupanya terjatuh di jalan ya
hehe.”

“Ohh begitu ya, ini ku kembalikan.” Sambil
menyerahkan buku tersebut. Anwar menerima buku itu lalu
mengucapkan terimakasih sekali lagi.

“Eh kita belum berkenalan ya. Kenalin deh nama aku
Wahyu.”ucap pemuda sambil mengulurkan tangan.

Anwar mengulurkan tangannya juga.Mereka berjabat
tangan.

“Aku Anwar.”

“Senang berkenalan denganmu. Ternyata kamu
tertarik menjadi jurnalis ya?” Anwar mengangguk lalu pamit
pulang karena hari sudah semakin sore.

***

23

Setibanya di rumah.

“Huh.. aneh rasanya berkenalan tapi menyenangkan
juga mengobrol dengan teman sebaya.”

Anwar jarang sekali bersosialisasi dengan teman di
sekolah. Ia terlalu tertutup dengan lingkungan sekitar. Tapi dia
menikmati hal itu. Mungkin bertemu Wahyu merupakan
keberuntungan bagi Anwar agar bisa bersosialisasi. Sosialisasi
itu sangat penting.

Pundak Anwar ditepuk oleh seorang wanita yang tak
lain adalah Ayu, ibunda nya.

“Eh ibu bikin kaget saja.”

“Ayo makan dulu nak,kamu pasti belum makan siang
kan karena terlalu sibuk belajar”

Anwar dan Ibu Ayu duduk berhadapan di meja
makan.

“Ayah belum pulang bu?”

“Belum, ayah masih di Bogor mengecek kebun.”

Kemudian ruang makan hening. Hanya ada suara
piring dan sendok yang bersentuhan. Perut sudah terisi penuh.
Anwar tertidur di kamarnya karena lelah melakukan aktivitas
seharian.

***

Langit gelap berubah menjadi jingga bercampur biru.
Ayam mulai berkokok yang menandakan pagi hari telah tiba.
Hari ini tanggal merah,keluarga Pieter akan berjalan-jalan
membeli keperluan Anwar saat di Belanda nanti. Mereka pergi

24

menggunakan mobil bermerek Dimler. Mobil merek ini,
memang tergolong mobil termahal dan hanya dimiliki oleh
orang-orang berkedudukan tinggi. Mobil ini bekerja dengan
empat silinder sama dengan kendaraan yang di pakai oleh
Gubernur Jendral di Batavia.

“War,kapan tes masuk universitas di Belanda?”

“Bulan depan yah.”

“Sudah siap?”

“Yaa siap tidak siap harus siap!”

“Ayah yakin kamu pasti lolos. Kapan ujian kelulusan
HBS?”

“Dua minggu sebelum tes universitas yah. Kalau
pengumuman kelulusan seminggu setelahnya.”

“Hmm begitu ya.”

Mereka tiba di salah satu pusat perbelanjaan ternama
di Batavia. Agar menghemat waktu,Ibu Ayu membeli
keperluan rumah tangga sedangkan Mr.Piet dan Anwar
membeli pakaian dan sejenisnya untuk Anwar saat di Belanda
nanti.

“Anwar lihat jaket ini. Sepertinya cocok denganmu.”
Ayah menunjukkan sebuah jaket tebal berwarna merah.

“Hmm bagus sih yah tapi warna nya terlalu mencolok
menurutku. Bagaimana kalau yang ini?” Menunjukan jaket
tebal berwarna hitam.

“Ya pilih sesuka hatimu saja. Beli apapun yang
diperlukan ya. Ayah mau menyusul ibumu.”

25

“Siap ayah!”

Satu jam kemudian perlengkapan rumah tangga dan
perlengkapan Anwar telah semua dibeli. Di jalan pulang
Anwar hanya diam tak berbicara sepatah katapun. Mobil
melaju dengan kecepatan konstan mengelilingi kota Batavia.
Anwar hanya melihat ke luar mobil menikmati indahnya kota
Batavia.

Terdapat gedung-gedung mewah yang merupakan
bagian paling indah. Di pusat pemerintahan VOC itu
penduduk berlalu lalang sembari memamerkan kekayaan.
Nyonya-nyonya besar serta nyai-nyai Belanda memakai gaun
serba mewah dengan rok bertingkat bak kandang ayam.
Taman-taman yang indah mengelilingi vila-vila yang memberi
warna Eropa pada kota Batavia. Di dekat Monas terdapat
kebun sirih yang merambat dan digemari banyak orang untuk
dikunyah

***

Hari berganti hari. Empat minggu telah terlewati. Tak
terasa satu bulan telah berlalu. Anwar telah dinyatakan lulus
dari Hoogere Burgerschool dan hari ini adalah hari dimana
diadakan tes masuk universitas belanda. Tepatnya hari Senin.

“Ini saatnya. Aku telah mempersiapkan diri sebaik
mungkin dan aku yakin pasti bisa lulus tes. Ayo semangat!”
Anwar berbicara dengan bayangannya di cermin. Ia tengah
menyisir rambut agar terlihat rapi.

Terdengar suara ketukan pintu lalu pintu itu terbuka.
Ibu Ayu memanggil dengan lembut.

26

“Eh ibu bikin kaget saja.”

“Nak ayo, ayah sudah menunggu di luar untuk
mengantarmu.”

“Apa ibu juga ikut mengantar aku?”

“Tentu saja. Ini kan hari yang penting bagimu dan kita
semua. Kami harus ada untukmu.”

Anwar dan Ibu keluar dari rumah. Tak lupa Ibu
mengunci pintu agar rumah mereka aman. Mereka bertiga
telah berada di mobil. Mobil melaju menuju salah satu gedung
yang ada di Batavia. Tempat dimana tes tersebut berlangsung.

Tes ini banyak diikuti oleh keturunan Belanda, bangsa
Eropa dan pribumi golongan terpandang. Total pendaftar kira
kira berjumlah 700 orang dan hanya dipilih 70 orang saja.
Memang sangat ketat persaingannya. Namun,Anwar tidak
putus asa. Ia sangat yakin ia termasuk di dalam 70 orang itu.

Mobil telah sampai di gedung bertingkat itu. Terlihat
banyak para remaja seusianya di sekitar gedung. Ada pula
orang tua yang mengantar mereka.

“Semoga hari ini dilancarkan ya nak. Lakukan yang
terbaik. Kami percaya kamu pasti bisa.” Ucap Ibu Ayu
menyemangati.

“Kau sudah siap kan?” Tanya Mr.Piet

“Siap yah.”

“Oke kalau begitu kami pamit pulang ya. Ayah dan
Ibu harus ke Bogor mengurus pekebunan.”

27

Anwar mengangguk. Sebelum Anwar masuk ke
gedung,ia memeluk kedua orang tua nya.

“Sampai jumpa nak! Kami tidak bisa menjemput jadi
pulang sendiri saja ya.”

“Iya. Hati-hati di jalan.” Anwar melambaikan
tangannya.

“Oke, ini saatnya. Aku harus bisa membanggakan ayah
dan ibu.” ucapnnya dalam hati.

Anwar memasuki gedung itu. Melihat ke kiri dan ke
kanan. Melihat seisi gedung itu. Gedung itu sederhana tapi
bertingkat. Terdapat 14 ruangan yang masing masing terdapat
50 bangku. Anwar memasuki ruangan nomor 12 yang berada
di lantai dua. Di ruangan itu matanya mencari meja bernomor
555. Nomor meja adalah nomor peserta.

Jam menunjukkan pukul delapan tepat. Semua peserta
telah duduk rapi di bangku masing-masing. Ujian pun di
mulai. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara gesekan
kertas dan goresan pensil. Semua orang fokus pada kertas di
depannya.

30 menit telah berlalu. Anwar berdiri dari kursinya lalu
menuju meja pengawas. Semua orang melihatnya dengan
tatapan yang tidak bisa dibaca ekspresinya. Mungkin mereka
kaget,hanya dalam 30 menit Anwar bisa menyelesaikan tes
padahal tes diberi waktu dua jam.

“Anda sudah yakin dengan jawaban Anda? Ini baru 30
menit.” tanya guru pengawas.

“Ya saya sudah yakin dengan jawaban saya.”

28

“Tidak ingin memeriksanya dahulu?”

“Sudah saya periksa lima kali pak. Saya yakin.”

“Baiklah kalau begitu. Silakan meninggalkan gedung
ini. Oh ya, pengumuman hasil akan ditempel di papan
infomasi seminggu lagi.”

“Baik Pak, terimakasih.”

Anwar keluar dari ruangan. Ia menuruni anak tangga
satu persatu. Kemudian keluar dari gedung.

***

Anwar telah berada di tengah Kota Batavia.
Sebenarnya ia ingin pergi ke kebun di Bogor namun tak tahu
harus menggunakan apa kesana. Jadi ia memutuskan
berkeliling Kota Batavia. Menikmati indahnya kota sebab
nanti pasti ia merindukan kota ini. Anwar berkeliling kota
menaiki sado. Sado adalah kereta yang ditarik oleh seekor
kuda. Di jalan hanya sedikit sekali mobil yang berlalu lalang.
Kebanyakan menggunakan sado yang memecahkan kesunyian
jalan raya yang tidak diaspal dan diteduhi pohon-pohon
rindang yang berdiri kokoh tanpa khawatir akan tumbang.

Sado berhenti di sebuah pasar bernama Vincke Passer.
Pasar ini pertama kali didirikan oleh seorang tuan tanah
berdarah Belanda bernama Justinus Vincke di bagian selatan
Castle Batavia. Vincke Passer hanya buka pada hari Senin.

Anwar turun dari kereta kuda dan membayar ongkos.
Ia berkeliling di pasar. Sebenarnya ia tak berniat membeli
sesuatu disini,hanya ingin melihat lihat saja untuk mengisi

29

waktu luang. Di sudut pasar terlihat sosok pemuda yang tidak
asing.

“Loh siapa ya itu? Kaya kenal.” Ia mengeriyitkan
alisnya agar sosok pemuda itu terlihat lebih jelas.

“Oh itu kan Wahyu! Pemuda yang aku temui di
perpustakaan.”

Anwar berjalan menghampiri Wahyu dan menyapanya.

“Halo apa kabar?”

“Hey kabarku baik. Kamu Anwar kan?”

“Iya benar. Kamu berjualan disini?”

“Iya. Aku membantu abah dan emak berdagang
pakaian. Ngomong-ngomong kenapa kau disini? Kamu bolos
sekolah?”

“Hahahaha.. tidak lah. Aku sudah lulus sekolah dan
sekarang baru saja selesai tes masuk universitas di Belanda.
Karena waktu ku kosong jadi kuputuskan untuk kemari.”

“Beruntung sekali ya kamu bisa kuliah disana. Aku
juga sangat ingin melanjutkan kuliah tapi hasil dagang saja
hanya cukup untuk makan sehari-hari.” jawab Wahyu sambil
menundukkan kepalanya.

Anwar terdiam,takut salah merespon dan malah
menyinggung perasaan Wahyu. Wahyu menyadari ekspresi
wajah Anwar yang mulanya senyum berubah menjadi datar.
Wahyu tidak ingin dikasihani, jadi ia mengubah topik
pembicaraan.

“Kamu mau membeli baju tidak?”

30

“Tentu saja. Aku ingin baju yang itu.” Anwar
menunjuk sebuah kaos berwarna hitam bertuliskan ‘Batavia’
berwarna keemasan.

“Pilihan yang tepat. Baju ini sangat cocok denganmu.
Ini.” Wahyu menyerahkan kaos itu kepada Anwar. Anwar
menerimanya dengan senyuman lalu membayar kaos tersebut.

“Terimakasih ya! Kamu mau mengambil jurusan apa
di Belanda?”

“Aku mengambil jurusan jurnalistik.”

“Oh pantas saja kamu meminjam buku tentang
jurnalis di perpustakaan. Sukses ya kawan!”

“Terimakasih banyak. Aku pamit ya!”

Anwar keluar dari Vincke Passer lalu pulang ke rumah
menumpangi sado. Hari ini hari yang berkesan bagi Anwar.
Entah apa yang membuat hari ini berkesan. Pokoknya hari ini
beda.

***

Anwar telah berada di depan rumah. Di halaman
terdapat mobil ayahnya dan mobil yang tak ia kenal. Itu berarti
ayah dan ibunya sudah pulang serta ada tamu di rumahnya.
Tak ingin mengganggu ayah dan tamunya,ia masuk rumah
lewat pintu samping lalu menuju dapur menemui ibunya.

“Bu itu siapa di depan?”

“Rekan kerja ayah. Mr.Herold namanya.”

“Ada perlu apa dia kemari?”

31

“Ya sekedar berbincang antara bapak-bapak. Ini kamu
berikan teh dan cemilan ke ruang tamu.”

Anwar membawa nampan berisi dua gelas cangkir
kopi serta dua piring berisi cemilan. Cangkir dan piring ia
letakkan di atas meja.

“Silakan Pak”

“Ini anakmu? Sudah besar ya. Kuliah dimana?” tanya
Mr.Herold

“Ya dia sudah 18 tahun. Dia akan kuliah di Belanda.”
jawab Mr.Piet

“Hebat sekali” ucap Mr. Herold.

Anwar tersenyum dan kembali ke dalam rumah. Ia
masuk ke kamarnya lalu tertidur di kasur sambil
mendengarkan radio.

Langit terlihat berwarna jingga. Sudah sore hari.
Anwar terbangun oleh suara pintu kamarnya yang tiba tiba
terbuka. Rupanya itu Mr.Piet.

“Bagaimana tadi tesnya? Lancar kan?”

“Lancar yah.”

Mr.Piet melihat sekeliling kamar anaknya dan melihat
sebuah kaos hitam bertuliskan ‘Batavia’. Mr.Piet menanyakan
soal baju tersebut sebab ia tak pernah membelikan baju seperti
itu.

“Baju ini aku beli di Vincke Passer setelah tes selesai.
Aku membeli ini karena aku mengenal penjual baju ini saat di

32

perpustakaan. Ia ingin kuliah namun tak punya biaya,kasihan
sekali dia tidak seberuntung aku.” jawab Anwar dengan jelas.

“Sudah lah, pribumi kalangan bawah memang
ditakdirkan seperti itu.”

Mendengar jawaban ayahnya, Anwar hanya terdiam. Ia
tidak menyangka ayahnya merendahkan derajat seseorang
seperti itu. Sejak kejadian itu Anwar menduga para buruh di
kebun pasti diberlakukan tidak baik. Anwar sangat kagum
terhadap ayahnya namun tidak dengan yang satu ini.

***

Seminggu telah berlalu. Hari ini adalah hari
pengumuman tes universitas. Anwar telah berada di gedung
menunggu hasil ujian ditempel di papan informasi. Ia duduk
di depan gedung mengamati orang-orang berlalu lalang. 15
menit kemudian panitia menempelkan beberapa helai kertas di
papan informasi. Anwar segera kesana.

“Semoga ada namaku disana.” ucap Anwar.

Anwar melihat nomor peserta 555 di kertas itu. Itu
adalah nomor pesertanya. Senyum Anwar melebar. Ia sangat
lega,gembira dan terharu. Perasaannya campur aduk. Ia tidak
percaya bisa mengalahkan 630 orang yang sudah pasti pintar-
pintar.

“Gak sabar kasih tau ayah dan ibu. Mereka pasti
bangga padaku.”

Di perjalanan senyum mengembang di wajah Anwar.
Sampai sampai orang di sekitar keheranan melihat Anwar.

33

Tapi ia tidak peduli. Yang penting hari ini hari yang sangat
membahagiakan menurutnya. Usahanya selama ini tak sia-sia.

Sesampainya di halaman rumah ia langsung berlari ke
ruang keluarga.

“AYAH IBU! AKU DITERIMA!” Anwar berteriak
saking senangnya.

Mr. Piet yang sedang membaca koran dan Ibu Ayu
yang sedang merajut sangat terkejut sekaligus bahagia anaknya
tiba-tiba teriak seperti itu. Mr. Piet berdiri dari kursinya lalu
memeluk Anwar. Ibu Ayu juga berhenti merajut lalu memeluk
anaknya. Mereka bertiga berpelukan.

Mr. Piet melepaskan pelukannya lalu berkata “Kau
berangkat seminggu lagi kan? Ayah akan memesankan tiket
kelas satu kapal paling bagus untukmu.”

“Iya yah. Terserah ayah saja. Aku mengikut. Kalau
begitu aku mau ke kamar ya.”

“War jangan lupa kemasi barang-barangmu dari
sekarang agar tidak ada yang kelupaan.” Ucap Ibu Ayu.

Di kamar Anwar mulai mengemasi pakaian dan barang
barangnya. Setelah selesai ia melihat foto-foto di dinding. Foto
masa kecilnya. Ia tersenyum,tak menyangka waktu cepat
berlalu dan sebentar lagi ia akan hidup mandiri dan jauh dari
kedua orang tuanya. Berat sekali meninggalkan orang tuanya
tapi ini harus dilakukan untuk menggapai impiannya.

***

34

Mr. Piet, Ibu Ayu dan Anwar telah berada di
pelabuhan kapal yang besar. Di pelabuhan ini berlabuh sebuah
kapal layar besar bernama Batavia. Kapal ini tergolong mewah
dan hanya orang berduit yang menaiki kapal ini. Dan hari ini
Anwar akan menaiki kapal itu.

“Ayah, Ibu aku pamit ya. Aku akan merindukan
kalian.”

“Jaga dirimu baik-baik ya nak, jangan lupa makan.
Kesehatanmu lebih penting dari prestasimu.” pesan Ibu Ayu.

Mr. Piet juga berpesan “Jangan lupa kabari saat sudah
tiba di Belanda ya.”

“Iya.” jawab Anwar sambil berjalan mendekat ke
kapal.

p

35

36

Keberangkatan

S etelah selesai mengucapkan selamat tinggal kepada ayah
dan ibunya, Anwar Pieters kini mulai berjalan menuju
kapal yang nantinya akan membawa dia ke Belanda
didampingi oleh porter yang ikut membawakan koper serta
beberapa barang yang akan Ia bawa ke atas kapal.

Dilihatnya dari luar, kapal yang akan dia naikki bisa
dibilang kapal yang cukup besar dan mewah. Sebab, jika
melihat ke sekelilingnya, tak ada lagi kapal seperti itu yang
bersinggah di Sunda Kelapa. Rata-rata banyaknya kapal
dagang serta kapal-kapal nelayan kecil yang biasanya
dipergunakan untuk mencari ikan.

37

Sebelum masuk ke dalam kapal, ada beberapa orang
yang bertugas memeriksa barang bawaan serta tubuh tiap yang
mau masuk. Anwar pun menyerahkan barang bawaannya
untuk diperiksa serta mengangkat kedua tangannya untuk
proses pengecekan itu.

Anwar Pieters kini menusuri ruangan-ruangan dalam
kapal. Matanya sesekali mengarah pada beberapa orang yang
terlihat sebaya dengannya. Mungkin mereka pun sama-sama
akan melanjutkan sekolah ke Belanda, gumamnya.

Anwar menaiki kapal besar itu setelah berpamitan
kepada kedua orang tuanya. Ia menarik naafas dalam
dalam,meyakinkan dirinya bahwa ia sudah siap. Tiketnya
diserahkan kepada petugas lalu ia memasuki kapal besar itu.
Kopernya ia serahkan kepada petugas untuk dibawa ke
ruangannya sementara Anwar naik ke geladak utama dan
melambaikan tangan ke orang tuanya dari atas.

Kapal telah cukup jauh dari pelabuhan. Anwar
memutuskan berkeliling kapal. Kapal ini dirancang senyaman
dan semewah mungkin dengan dilengkapi gimnasium,kolam
renang,perpustakaan,restoran kelas atas,dan kabin mewah.

Bagi pemilik tiket kelas satu terdapat fasilitas dek
pribadi sepanjang 50 kaki atau 15 meter. Pada waktu makan
malam boleh makan di ruang bersantap kelas utama atau
memesan menu a la carte. Menu nya pun diberi pilihan
makanan mahal.

Meskipun menurut Anwar ini berlebihan tapi ia
menikmati fasilitas itu. Ia sangat bersyukur memiliki ayah yang
sayang terhadap keluarganya.

38

Anwar kembali ke geladak utama menikmati
pemandangan laut dan hembusan angin. Matanya dipejamkan
agar lebih bisa menikmati. Ia sangat bangga pada dirinya
sendiri bisa berada disini. Tapi ini bukanlah akhir,ini adalah
permulaan. Perjalanannya baru saja dimulai. Anwar akan
menjalani kehidupan barunya sebagai mahasiswa di Belanda.

***

Tibalah ia di depan sebuah ruangan berukiran ‘108’.
Anwar mencocokki nomor tersebut dengan nomor yang
tertera pada tiketnya. Setelah memastikan bahwa nomor yang
dilihatnya sama, ia langsung mengeluarkan kunci dari sa ku
jaketnya dan masuk ke dalamnya dengan menghela nafas
panjang.

Anwar menaruh kopernya diatas tempat tidur dan
duduk di depan sebuah meja kecil yang menghadap ke laut
lepas. Baru saja kapalnya meninggalkan Sunda Kelapa, Ia
sudah rindu dengan teman-teman serta keluarganya di Batavia.
Banyak sekali kenangan manis tersimpan disana, dan sekarang
Ia harus pergi ke Nederland.

Ayah dan ibu Anwar memang sepakat sedari awal
bahwa anak semata wayangnya harus dapat bersekolah tinggi.
Untung saja Anwar terlahir dengan perawakan mengikuti
ayahnya, Pieter Joost yang merupakan orang asli Nederland.
Dengan warna kulit seperti orang-orang Belanda, sehingga
tidak menyulitkannya dalam menempuh pendidikan.
Bersekolah di Batavia saat itu memang memerlukan mental
yang kuat.

39

Maklum saja, sekolah-sekolah di Hindia-Belanda kali
itu memang penuh akan ‘kerasisan’. Seseorang dengan warna
tubuh sawo matang akan di minoritaskan oleh orang-orang
kelas atas yang merupakan kolonial. Temannya dulu, Jayadi
pernah menjadi korban atas kerasisan tersebut.

Karena kulit cokelat serta perawakan pribumi aslinya,
Jayadi pernah tidak diperbolehkan mengikuti beberapa
kegiatan semacam berorganisasi karena banyak ruangan yang
tidak diperbolehkan digunakan oleh pribumi asli seperti
Jayadi. Padahal Jayadi sendiri adalah anak tuan tanah di
Batavia. Ya, meskipun dia seorang bangsawan di kalangan
para pribumi, tetap saja orang-orang Belanda picik itu
menempatkan Jayadi serta keluarganya masih di bawah kasta-
kasta orang Belanda.

***

Anwar kini telah selesai membersihkan tubuhnya, ia
mengganti bajunya tadi dengan sebuah kemeja yang lengkap
dengan rompi diluarnya. Ia juga menyisir kumis tipis yang
dimilikinya, kemudian dilanjut dengan menyemprotkan
wewangian maskulin di lehernya. Setelah itu Ia bergegas pergi
ke bagian ballroom kapal untuk menjelajahi kapal.

Dilihatnya di ballroom tersebut banyak orang yang
sebaya dengannya ikut menikmati beberapa gelas minuman. Ia
cukup kagum dengan bagian interior kapal yang indah.
Maklum saja kapal yang tengah Ia naikki saat ini merupakan
salah satu kapal pesiar paling mewah milik Belanda pada
masanya.

40

Setelah puas mengelilingi bagian kapal lainnya, Anwar
pergi ke bagian geladak kapal. Sesampainya disana, Ia melipat
kedua lengannya diatas pembatas kapal sambil merogoh
sepuntung rokok dari saku rompinya. Kemudian
menghirupnya dalam-dalam.

Ditengah lamunannya memandang laut lepas sambil
menghisap puntung rokok tembakaunya di malam hari,
seseorang menyapanya,

“Apakah indah laut di malam hari?”,

Anwar terkejut dan tersenyum kecil kearahnya.

“Berg”

Hanya kata itu yang muncul dari mulutnya dengan
tangan yang seakan-akan mengajak Anwar menjabat
tangannya untuk bersalaman. Anwar memindahkann
rokoknya ke tangan kiri dan menyalami Berg.

“Anwar” balas Anwar dengan senyuman.

Berg. Dari namanya saja sudah jelas Ia pasti orang
Nederland. Tetapi ia cukup fasih berbahasa Indonesia
meskipun dengan logat khas kolonialnya yang kental.

“Mau rokok?” ujar Anwar.

Berg mengiyakan dan ikut menyalakan rokoknya dan
menghisapnya dengan dalam.

“Kau mau ke Belanda, ya?” ujar Berg memulai
percakapan.

“Seperti yang kau lihat, bukan?”

“Maksudku mau melanjutkan sekolah?”

41


Click to View FlipBook Version