The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu...”
Setidaknya inilah yang memotivasi Anwar Pieters, sang pribumi campuran Belanda. Melalui tulisan-tulisan tangannya yang indah dalam surat kabar ternama, Ia membuktikan kepada keluarga serta teman-temannya bahwa kemerdekaan itu mutlak milik semua orang.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Kenangan Channel, 2020-03-04 07:51:19

Goresan Tinta Orang Indo

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu...”
Setidaknya inilah yang memotivasi Anwar Pieters, sang pribumi campuran Belanda. Melalui tulisan-tulisan tangannya yang indah dalam surat kabar ternama, Ia membuktikan kepada keluarga serta teman-temannya bahwa kemerdekaan itu mutlak milik semua orang.

Keywords: Goresan Tinta Orang Indo,Novel,Novel Sejarah,SMAN 2 Cimahi,Rumah Temen Penerbit

Suara ayam berkokok menandakan sang fajar akan
bangkit dari timur, perlahan tapi pasti Anwaar sudah bersiap
untuk pergi ke Bandung. Tak disangka Mr.Piet dan ibu sudah
bangun juga, dan bersiap mengantar anaknya ke stasiun kereta.
Setelah ‘ritual’ perpisahan keluaraga, Mr.Piet memberikan
sebuah kunci rumah dan beberapa uang sebagai bekal untuk
Anwar.

Perjalanan di kereta terasa membosankan bagi Anwar.
Suara peron yang bising membuat dirinya semakin sulit untuk
tertidur. Untuk melepas kejenuhan, ia membeli beberapa surat
kabar, sudah jelas dirinya senang sekali membaca.

“Bodohnya aku sampai lupa mebawa buku-bukuku.”
gerutu Anwar dalam hati. Diambil sebuah surat kabar yang
hampir mirip jurnal itu, ukurannya kecil, hanya (12,5x19,5
cm), “MEDAN PRIJAJI” tertulis jelas dan besar disurat kabar
itu. Fokusnya mulai memasuki dunia baca surat kabar.
“Medan Prijaji? Surat kabar asli pribumi itu bukan? Aku tak
menyangka akan membacanya secepat ini. Apa saja yang
mereka tuliskan?”

“Orgaan boeat bangsa jang terperentah di H.O. Tempat akan
memboeka swaranya Anak-Hindia. Siapa para orang-orang ini?
Dengan beraninya mereka menulis rangkaian kata yang
membuat geram para Belanda. Rasanya pasti menyenangkan
bila tulisan kita yang tidak sejalan dengan Belanda bisa dicetak
dan dibaca orang banyak seperti ini. Raden Mas Tirto Adhi
Soerjo, Aku pernah dengar namanya! Dia memang punya
kegigihan untuk mensejahterakan dan membebaskan para
pribumi ini.”

92

“Jadi Medan Prijaji ini adalah surat kabar pertama di
Hindia Belanda yang dibangun dan dibuat oleh pribumi asli,
uang redaksi dan pembangunan menggunakan uang dan
saham para pribumi, isinya kecaman-kecaman pada
pemerintah Belanda yang merugikan publik, memberi
informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan
hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya,
menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi. Tepuk tangan
untuk Bapak Tirto. Mari kita baca surat kabar selanjutnya.”

Kemudian Anwar mengambil lagi surat kabar yang
lainnya.

“DE EXPRESS. Rasanya aku belum pernah dengar
tentang surat kabar ini.”

“Tuuutt..tuut.. Perhatian! Perhatian! Sebentar lagi
kereta akan sampai di Stasiun Bandung, bagi para penumpang
yang akan turun di Stasiun Bandung diharapkan
mempersiapkan barang bawaannya, pastikan tidak ada yang
tertinggal. Terimakasih telah menggunkan jasa layanan kereta
kami. Semoga selamat sampai tujuan Anda.”

Petualangan membaca Anwar terhenti karena kereta
yang ditumpanginya telah tiba di Bandung.

“Baiklah aku akan melanjutkan membacanya dirumah
nanti.”

***

Semua orang berdesak-desakan untuk keluar gerbong.
Wuuussshhh…udara Bandung yang segar terasa menyegarkan

93

di paru-paru. Membuat hidung Anwar terkembang sempurna
untuk menarik nafas sedalam-dalamnya.

“Kulihat kamu tidak membawa banyak barang
kawan? Apa tidak ada yang bisa aku bantu?” suara seseorang
yang tiba-tiba merangkul pundak Anwar.

“Apa?!” jawab Anwar reflek. Dilihatnya wajah orang
yang merangkulnya itu.

“Burhan?? Apa benar ini kau? Aku baru ingat kau
berdomisili di Bandung, aku rindu kamu kawan.” mereka
bercengkrama dengan hangat, sambil keluar dari Stasiun.

“Ada keperluan apa kawan kau kesini?” tanya Burhan
saat mereka sudah menemukan tempat duduk disebrang jalan.

“Aku akan mencari pekerjaan di Bandung, dan akan
tinggal dirumah yang dekat dengan kebun ibuku.”

“Ohh.. benarkah? Dimana kebun ibumu itu?”

“Lembang. Kawan, ajak aku keliling Bandung.
Sekarang kau ikut aku dulu ke rumahku, untuk menaruh
semua barang-barang ini.”

“Baiklah. Aku juga ingin menghirup udara
pegunungan Lembang.

***

Ternyata perjalanan antar kota Bandung-Lembang
memakan waktu yang lama, pukul 08.00 malam mereka baru
tiba kembali di Bandung Kota untuk berjalan-jalan.

Udara Bandung Kota yang sama dinginnya
dengan udara Lembang, rumah-rumah berdiri dihiasi

94

tanaman-tanaman hijau depan rumah, tanah warna cokelat
masih mendominasi warna kota Bandung. Suara-suara langkah
kuda menjadi musik dimalam ini.

“Jadi pekerjaan seperti apa yang sedang kau cari itu?”
Burhan membuka percakapan.

”Tentu menulis berita disalah satu surat kabar.”

Mata Burhan teralihkan dengan beberapa lembar
kertas disudut ruangan, ia pun beranjak mengambil kertas-
kertas itu.

“Aku tak tau perjalanan kita akan sesulit apa, tapi kau
ingat kan dengan apa yang ingin kita perjuangkan saat masa
kuliah?”.

Burhan menyodorkan surat-surat kabar itu.

“Apa ini? De Express ? Ah, ini surat kabar yang aku
mau baca di kereta tadi, kamu berfikir kita harus mengajukan
diri ke surat kabar ini?”

Anwar mulai menyisir baris demi baris tiap bacaan.

“Tak mungkin, siapa yang menulis ini? Aku tentu akan
ikut langkah-langkah dia.” lanjut Anwar.

“Besok kita akan bertemu orangnya.” jawab Burhan.

***

Mereka pulang ke rumah Burhan dengan berjalan kaki.
Kamar mereka terpisah, rasanya Anwar tak bisa tidur juga
untuk kali ini. Tubuhnya terasa sedikit kedinginan karena
selimut yang tipis. Matanya hanya menatap langit-langit kamar.
Hanya ada lampu neon oren yang menyala, Rumah Burhan

95

tidak telalu bagus, ada beberapa langit-langit yang menghitam
karena lembab terkena air hujan dari atap yang bocor.
Lantainya juga belum dikeramik, hanya bagian ruang tamu saja
yang sudah dikeramik. Temboknya putih yang sudah sedikit
pucat. Walaupun begitu rasanya senang bisa tidur di tanah
sendiri.

Dirinya beranjak dari tidurnya, dan mematikan
lampu. Ia kembali membayangkan banyak hal, pasti lebih
banyak rumah pribumi yang lebih tidak baik dari pada rumah
Burhan. Benar juga apa yang dikatakan orang indo disurat
kabar itu, apa yang harus dibedakan dari bumiputera dan
orang belanda, mereka sama-sama tidur dengan menutup
mata, sama-sama makan, dan tentu menginjak tanah yang
sama.

“Besok aku akan bertemu dirinya. Ngomong-
ngomong apa ayah dan ibu akan tau kalau aku tidak tinggal di
Lembang. Sudahlah lihat nanti saja.”

Kali ini diri Anwar benar-benar terlelap.

***

Sang fajar menghangatkan pagi di Bandung yang
dingin, rasanya memang sedikit berbeda dengan di Batavia.
Anwar dan Burhan segera melangkahkan kaki ke tempat itu.

“Kau tau Indische Bond bukan?” tanya Burhan.

“Tau. Tapi itu sudah lama kan. Indische Bond adalah
organisasi kaum Belanda peranakan (Indo) dengan pimpinan
K. Zaalberg, seorang indo. Tujuan organisasinya adalah untuk
memperbaiki kaum Indo. Pada masa itu kaum Indo menaruh

96

dendam yang tak ada hingganya kepada bangsa Belanda dan
segala sesuatu yang bercorak Belanda. Hal ini disebabkan
kaum Indo seolah-olah menjadi "golongan yang dilupakan"
oleh bangsa Belanda. Pintar kan aku ini?” jawab Anwar
panjang lebar.

“Yaa.. kamu memang selalu jadi yang terbaik di
kelaspun. Lalu apa selanjutnya war?” tanya Burhan kembali.

“Ada terjadi ketidaksamaan pendapat dalam
organisasi itu. Douwes Dekker, seorang Indo, berusaha
mempengaruhi Indische Bond. Ia insyaf bahwa segala keluh
kesah dan bantahan-bantahan tidak akan ada gunanya. Sumber
dari segala kesukaran itu terletak di dalam ketergantungan,
pada pemerintah kolonial. Kaum Indo menderita dan
dicampakannya kedalam kubangan kesengsaraan sebagai
akibat perbuatannya Onderneming-onderneming orang Barat yang
bercorak penjajahan dan berdasar kepada perusahaan-
perusahaan kolonial.”

“Pendirian Douwes Dekker ini dipertegas lagi
pada sidang Indische Bond di Jakarta tanggal 12 desember
1911, dengan pokok pidato "Gabungan kulit putih dengan
sawo matang". Ia berkata, bahwa jumlah kaum Indo sangat
sedikit, sehingga ia tak mngkin akan memperoleh keuntungan,
jika ia hendak bertindak seorang diri. Salah satu syarat untuk
mendapat kemenangan di dalam pertentangan dengan
penjajah bangsa Belanda itu, ialah menggabungkan diri kepada
bangsa Indonesia. Kita berjuang bersama-sama dengan
mereka. Di dalam perjuangan itu, terutama sekali dikehendaki
kerjasama yang rapat.”

97

“Secara politik, sikap menerima saja segala
sesuatunya dengan senang hati adalah sesuatu yang salah.
Karena ia akan membawa kita kepada hidup diperbawah. Di
dalam perjuangan politik hendaklah kita dengan gigih
memegang teguh apa yang telah kita peroleh, sambil
mengulurkan tangan untuk merebut hak kita yang belum
dimiliki.”

“Pendapat Douwes Dekker itu tidak
sependapat dengan pendapat Zaanberg, pemimpin Indische
Bond. Ia menerima ketergantungan pada pemerintah kolonial.
Di dalam ketergantungan itu kehendak kaum indo akan
berbahagia, asal saja pemerintah dan orang-orang Eropa
lapisan atas suka menolongnya. Zaalberg sebenarnya ingin
mengekalkan penjajahan. Sedangkan Douwes Dekker ingin
menghapuskan penjajahan itu.”

“Senangnya punya kawan secerdas ini.
Hahaha.” celetuk Burhan sambil merangkul Anwar.

“Kemudian, apa kamu tau sekarang kita mau
kemana?” lanjut Burhan.

“Udara Bandung membuat aku ingin diam di rumah
saja padahal, tapi aku tau kita mau kemana. Ke pertemuan
yang dibuat Douwes Dekker kan.” jawab Anwar padahal dia
sebenernya hanya menebak-nebak.

“Iya. Kau memang yang terbaik kawan.”

“Benarkah?? Kita akan ke pertemuan Douwes
Dekker? Benarkah? Padahal aku hanya mengacau.
Akhirnyaaa…ini akan menjadi awal yang bagus untuk kita,
untuk mewujudkan impian kita. Siap tempuuurrr..”

98

Anwar kegirangan bukan main, berlari secepat
mungkin, menatap kedepan sambil menggenggam erat
sesosok tangan milik pribumi itu.

Tak berselang lama, Anwar dan Burhan telah
sampai di pintu gedung pertemuan. Dibukanya pintu cokelat
yang sudah rapuh itu secara perlahan.

Kriieett..suara pintu berdecit melatari adegan keduanya
memasuki gedung. Mata biru Anwar mulai melihat
penampakan apa yang ada didalam gedung itu, kelopaknya
terasa kaku tak bisa menutup. Tak pernah terbayangkan
olehnya, akan melihat orang indo sebanyak ini, disana ada
puluhan lebih orang indo yang sedang duduk sambil
bercengkrama satu sama lain, dan bumiputera serta etnis
tionghoa dan arab juga tak luput berada di gedung itu. Burhan
tiba-tiba terbelalak kaget bukan main.

“War, bukannya itu Abimanyu?” tangannya menyuruh
Anwar untuk menengok kearah barat laut.

“Iyaa iyaa itu Raden Abimanyu. Kenapa bisa dia
disini?”

“Entahlah tapi ini akan jadi berita panas jika aku
menuliskannya di surat kabar. Haha.” Burhan tiba-tiba
kegirangan.

Suara berisik yang terus memenuhi gedung
tiba-tiba hilang karena kedatangan seseorang dari pintu di sisi
gedung lain.

“Itu Douwes Dekker War. Ayo cepat kita ambil
tempat duduk yang dekat dengannya.” tarik Burhan kearah

99

kursi yang jauhnya dua meter dari tempat Douwes Dekker
duduk.

Dada Anwar tak bisa berhenti berdegup dengan
kencang saat tepat di depan matanya, ada orang indo
panutannya.

“Selamat pagi semua. Kehadiran rekan-rekan disini
adalah suatu anugerah untuk pagi yang cerah ini. Disini kita
semua berkumpul dengan satu tujuan yang sama. Untuk
merebut kemerdekaan dan hak yang memang harus kita miliki
yaitu merdeka.”

“Bersama dr. Cipto Mangunkusumo, dan Raden Mas
Suwardi Suryaningrat pada 25 Desemben 1912 lalu kita telah
membangun sebuah partai politik dengan tujuan yang jelas
dan nyata, kemerdekaan Indonesisa. Dengan memupuk
semangat nasionalisme serta patriotisme di dalam dada orang-
orang Hindi Belanda. Baik itu para pribumi maupun
bumiputera yang merasa ada ikatan batin kuat dengan Hindia
Belanda.” “Indische Partij nama yang diambil untuk organisasi
kita ini.”

“Dari 15 September sampai dengan 3 oktober 1912,
saya telah melakukan perjalanan propaganda, bersama-sama
dengan tim. Kami telah mengadakan rapat-rapat di
Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Surabaya, Semarang, Tegal,
Pekalongan dan Cirebon, kemudian diteruskan ke kota-kota di
Jawa Barat. Propaganda ini ternyata mendapat sambutan
hangat dari golongan intelektual Indonesia di Pulau Jawa.
Sudah kita semua ketahui di Surabaya, kita mendapat
sokongan dari Dokter Tjipto Mangoen Koesoemo. Di
Bandung dari R.M. Soewardi Soerjaningrat. Setelah melalui

100

diskusi dengan para anggota inti. Indische Partij pada pasal 2
merumuskan tujuan sebagai berikut: Satu, untuk membangun
patriotism semua bangsa Hindia kepada tanah air yang telah
memberi lapangan hidup kepadanya. Dua, menganjurkan
kerjasama atas dasar persamaan ketatanegaraan. Tiga,
memajukan tanah air Hindia. Empat, mempersiapkan
kehidupan rakyat yang merdeka.”

“Adapun usaha-usaha untuk mencapai tujuan itu
adalah sebagai berikut : Satu, memelihara Nasionalisme Hindia
dengan meresapkan cita-cita kesatuan kebangsaan semua
bangsa Hindia, meluaskan pengetahuan umum tentang sejarah
kebudayaan Hindia, menyatupadukan intelek secara bertahap
kedalam golongan-golongan bangsa yang masih hidup
bersama dalam keadaan terpisah karena ras dan ras peralihan
masing-masing, menghidpkan kesadaran diri dan kepercayaan
terhadap diri sendiri.

Dua, menyingkirkan kesombongan rasial dan
keistimewaan ras, baik dalam bidang ke tatanegaraan maupun
dalam bidang kemasyarakatan, melawan usaha untuk
membangkitkan kebencian agama dan sektarisme yang bisa
mengakibatkan bangsa Hindia tidak mengenal satu sama lain,
dan memajukan kerjasama nasional. Tiga, memperkuat tenaga
bangsa Hindia dengan usaha kemajuan terus menerima dari
individu kearah aktivitas yang lebih besar dalam bidang tehnik
dan kearah penguasaan diri serta pola berfikir dalam bidang
kesusilaan. Empat, penghapusan ketidaksamaan hak kaum
Hindia. Lima, memperkuat daya pertahanan bangsa Hindia
untuk mempertahankan tanah air dari serangan asing, apabila
perlu. Enam, mengusahakan unifikasi, perluasan, pendalaman

101

dan Hindianisasi pengajaran, yang di dalam semua hal harus
ditujukan kepada kepentingan ekonomis Hindia, dimana tidak
diperbolehkan adanya perbedaan perlakuan ras, seks atau kasta
dan harus dilaksanakan sampai tingkat setinggi-tingginya yang
bisa di capai. Tujuh, emperbesar pengaruh Pro-Hindia ke
dalam pemerintahan. Delapan, Memperbaiki keadaan
ekonomi bangsa Hindia, terutama dengan memperkuat yang
lemah ekonominya. Semua usaha-usaha lain yang sah dan
dapat dipergunakan untuk memcapai tujuan tersebut.”

Bagi Anwar ini adalah ladang perjuangan dan
pekerjaan. Setelah rapat selesai Anwar dan Burhan mendatangi
Raden Abimanyu.

“Apa yang kau lakukan disini?” tanya Anwar,
tanpa ada rasa untuk menghkimiya.

“Menurutmu apa? Disini aku hadir untuk rapat IP.
Maafkan aku atas yang lalu, tapi aku punya hal penting
untukmu War.” jawab Raden sambil meyodorkan kursi dan
berbicara tanpa basa-basi.

“Kau harus menggantikanku menjadi editor dalam De
Expres. Aku harus kembali ke keraton untuk melaksankan
tanggung jawabku di keraton. Tentu kau juga akan bekerja
bersama Burhan.”

Tak lama dari percakapan itu, mereka pergi
kesebuah rumah yang cukup luas dan bagus. Itu adalah rumah
milik keraton Yogyakarta yang ada di Bandung.

“Ini rumah sekaligus tempat kerjaku. Semua alat
penulisan ada disini dan aku akan mengajarkan semuanya
padamu.” Kemudian Raden melanjutkan menjelaskan semua

102

keperluan Anwar dalam menjadi editor. Tak terasa waktu
beranjak, siang telah berganti malam, Abi menawarkan Anwar
dan Burhan untuk bermalam dirumahnya.

***

Paginya Raden menitipkan rumahnya dan amanatnya
pada Anwar dan Burhan. “Aku senang sekali kamu kembali
kawan. Akan kami lanjutkan perjuangan ini dengan semangat
api membara. Semoga kau selalu sehat disana. Kirimi kami
surat jika kau telah tiba disana.”

Akhir kata dari Burhan sambil ketiga sahabat itu
berpelukan. Setelah itu, Anwar dan Burhan kembali kedalam
dan mulai membaca-baca apa yang telah dikerjakan Abimanyu
sebelumya.

“Disini sepertinya hanya penyusunan dari tulisan-
tulisan tiga serangkai itu bukan?” tanya Burhan sambil
membolak-balikan salah satu terbitan De Express.

“Bukan hanya, tapi memang itu tugas kita. Kita akan
jadi orang yang pertama membaca tulisan mereka dan yang
menyebarkannya pada masyarakat. Kita harus berguna bagi
organisasi ini.” sambung Anwar yang sibuk mencoba mesin tik
yang ditinggalkan Abi. Tangannya mulai menekan tombol-
tombol yang mengelurakan suara tik tik itu. Terlihat
ditulisannya.

“Raboe Pagi ini berbeda dari biasanya. Saya tak
menyangka bisa duduk disini. Ditempat para jurnalis
menuangakan fakta dan isi harapan hati pada seonggok mesin
tik ini. Melayang dalam awan putih aku berhasil masuk

103

keanggotaan Indische Partiej yang memang terbuka. Bertemu
sang Indo yang sama seperti saya E.F.E Douwes Dekker.
Dirinya orang luar biasa, aku telah baca tulisan-tulisannya. DD
mengatakan bahwa perlawanan terhadap kolonialisme
merupakan suatu kewajiban moral. Suatu pemerintah kolonial
harus ditentang. Betapa pun ramahnya wajah yang
diperlihatkannya, kolonialisme tetap merupakan suatu sistem
berdasarkan ketidaksamaan keadaan di mana mereka yang
lahir sebagai penguasa tidak akan pernah mau menyerahkan
hak-hak istimewanya. Dia menyadarkanku bahwa aku
memiliki kewajiban itu karena darahku memang ada Belanda
tapi jiwaku dan tubuhku sepenuhnya Indonesia. Aku lahir
ditanah ini, kumakan hasil tanaman disini, kuapakai airnya,
kuhirup udaranya. Aku penuh berpangkutangan akan
Indonesia. Ini baru awalku.” Tiba-tiba suara pintu diketuk
seseorang,

“Selamat pagi.”

Sapaan yang sedikit tak asing bagi Anwar dan Burhan.

“Pagi.”jawab mereka.

Kaget bukan kepalang Douwes Dekker datang kearah
mereka dengan senyum yang lebar.

“Jadi kau Anwar ini, dan kau Burhan? Raden telah
memberi kabar tentang kalian..” dan DD menceritakan
banyak hal, waktu pun terlewati begitu banyak.

***

Douwes Dekker mengajak Anwar dan Burhan untuk
pergi ke suatu tempat. Dengan menaiki delman mereka datang

104

kegedung hari kemarin. Pertemuan ini mengenai kelegalan dari
IP. Adanya pasal 111 Regerings-Reglement (RR), yang berbunyi

"Bahwa perkumpulan-perkumpulan atau persidangan-
persidangan yang membicarakn soal pemerintahan (politik)
atau membahayakan keamanan umum dilarang di Hindia
Belanda.”

Tapi pimpinan IP terus mendesak pemerintah Hindia
Belanda untuk melegalkan organisasi ini.

Setiap bulannya Anwar dan Burhan
mengerjakan tugasnya untuk mengedit tulisan-tulisan tiga
serangkai itu. Atau setip harinya mereka bekerja disalah satu
perusahaan swasta dan bekerja disalah satu restoran Cina
sebagai pelayan. Tiap shubuh Anwar selalu menulis sesuatu di
mesin tiknya itu.

“Shubuh kota Bandung sangat luar biasa. Dinginnya
bukan main sampai Burhan kesulitan tidur dan sulit untuk
menunaikan salat juga. Tiga bulan ini aku mendapat banyak
halawan dan tantangan. Tapi melihat tiga serangkai itu maju
gagah berani aku kembali siap tempur. Aku yakin suatu hari
tulisan ini akan berguna bagi masyarakat Indonesia. Ini adalah
cerita singkat panutan saya Douwes Dekker. Taukah Anda?
DD mulai sadar dengan nasionalisme dan kemanusiaan
setelah mendapat pengalaman dalam Perang Boer di Afrika
Selatan (1900–1902). Dari sudutpandangnya Pemerintah
kolonial di mana pun akan melakukan diskriminasi rasial.
Struktur sosial politik diatur berdasarkan ras dengan orang
Indo di Jawa, diletakkan di bawah “Belanda Totok” dan posisi
yang lebih buruk diberikan kepada kaum Boemiputera.
Dirinya mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial.

105

Kritik pertamanya adalah sebuah tulisan berjudul ‘Cara
Bagaimana Belanda Paling Cepat Kehilangan Tanah Jajahannya?’
yang dimuat dalam Nieuwe Arnhemsche Courant pada 1908. DD
termasuk orang pertama kali yang menggelorakan semboyan
“Indie Los Van Holland” (Hindia Bebas dari Belanda). Lalu DD
semakin radikal dengan menyerukan “Kameraden, sto-okt de
vuren! ” (Nyalakan api, Kawan-kawan!) kepada rakyat jajahan.

DD mendirikan Het Tajdeschrift pada 1910. Dua tahun
kemudian, ia menerbitkan koran De Express. Ketika mengelola
media surat De Express, DD tidak sendirian. Harian ini milik
Indische Partij dan didirikan di Bandung pada 1 Maret 1912.
Dia bekerja sama dengan duo sahabatnya, Suwardi
Suryaningrat, dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Mereka pun
akhirnya dikenal sebagai Tiga Serangkai. De Expres sendiri
membawa kata sakit “Merdeka”.

DD memimpin koran ini dengan dibantu oleh HC
Kakebeeke. (dan tentu Saya haha dan Burhan juga) Ia
membuat koran ini membuka ruang yang lapang untuk
membahas berbagai perkara sosial politik Hindia Belanda dan
mengupas juga perihal nasionalisme-radikal yang saat itu
menjadi buah pembicaraan khalayak. Ia menulis ajakan kepada
kaum Indo-Eropa untuk tidak lagi menyebut seorang diri
sebagai orang Eropa. “Ik ben Indisch, Ik ben Indonesier! Aku
seorang Indo, aku bangsa Indonesia,” seru DD. DD mengajak
kaum Indo menyebut diri sebagai bagian dari bangsa
Indonesia. Orang Indo memang keturunan Belanda, tetapi
tetap saja diperlakukan sebagai anak tiri. Hanya nama yang
berbau Belanda, tetapi perlakukan yang diterima persis
perlakukan yang diterima bawahan orang Belanda Totok.

106

Oleh karena itu, sesama Indo sebaiknya berorientasi
ke tanah kelahirannya dan menyatukan diri dengan kaum
pribumi. Ia mengusulkan istilah kaum Hindia atau Indonesier
sebagai antitesis bagi pemilahan Indo-Totok-Boemiputera.
Tulisan tersebut memikat orang-orang Indo dan kaum
Boemiputera. Dengan cara ini, IP mendapat anggota dan
simpatisan. Sebelum IP, sebelumnya sudah ada organ-organ
kebangsaan beridentitas Indonesia. Boedi Oetomo bergerak di
lapangan kebudayaan, sementara SDI menjamur di mana-
mana. Namun, IP membedakan diri dari keduanya dengan
melantangkan tuntutan untuk memperroleh hak mengatur dan
memerintah sendiri.

De Express juga pernah memuat tulisan legendaris
Suwardi Suryaningrat yang berjudul ‘Als ik Nederlander was’
(Seandainya Aku Seorang Belanda). Tulisan yang hanya satu
kolom itu mengkritik pemerintah kolonial Hindia Belanda
yang ingin memperingati hati besar Nederland dengan cara
yang menurut Suwardi tidak beradab. Tulisan itu membuat
pemerintah Kolonial marah-marah.

Kemudian kritik serupa bertubi-tubi dilancarkan Tiga
Serangkai. Semuanya melalui De Express. Setelah Suwardi,
Tjipto menulis ‘Kekuatan atau Ketakutan’. Suwardi masih
menulis lagi dengan judul ‘Satu buat Semua, tetapi juga Semua
buat Satu’. DD turut merayakan kritik itu dan menanggapi,
dengan tak kalah satir, tulisannya berjudul ‘Pahlawan Kita: Tjipto
Magoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat’.”

Diwaktu shubuh lainnya Anwar menulis.

“Sejak 1912 sudah banyak suratkabar yang di-black list
oleh pemerintah dan dianggap berhaluan kiri alias merah

107

karena sering menampilkan bacaan-bacaan liar yang
menghasut. Terhadap koran-koran itu pada awalnya
pemerintah tak langsung memukul tengkuknya. Namun
pemerintah kolonial bersiasat agar koran-koran tersebut
bangkrut dengan sendirinya. Caranya: melarang semua
pegawai negeri membaca koran-koran tersebut. Yang
melanggar akan dikeluarkan dari pekerjaannya. Konon banyak
Pribumi yang ditolak ketika melamar menjadi pegawai negeri
hanya lantaran berlangganan koran merah.

Aturan itu diperluas sedemikian rupa sehingga orang-
orang swasta yang membaca koran terlarang juga bisa dapet
sanksi. Akibatnya banyak perusahaan yang enggan menerima
pegawai yang berlangganan koran merah.

De Express pun yang tak luput kena black list dan dicap
merah. Konsekuensinya De Express dilarang dibaca oleh semua
pegawai negeri. Dikisahkan ada seseorang dipromosikan
seorang Belanda untuk menjadi pegawai dari kantor
Volkscredietwezen (Perkreditan Rakyat). Untuk itu Margono,
namanya telah diwawancarai oleh RMA Kusumoyudo. Karena
sponsornya adalah orang Belanda, wawancara itu boleh jadi
cuma basa-basi. Namun ketika ketahuan dia berlangganan De
Expres, seketika wajah Kusumoyudo menjadi merah dan
tegang. Wawancara menjadi buntu dan keadaan menjadi
serbakaku. Dan akhirnya, wawancara ditutup dengan kata-kata
Kusumoyudo, “Saya pribadi tidak keberatan, tetapi entah
bagaimana pendapat tuan-tuan besar yang berada di Batavia.”
Hasil wawancara itu tiada kabar beritanya lagi.

Berdecak kagum dan berani, itu yang aku rasakan saat
membaca tulisan ini. Masa dimana Belanda lepas dari Prancis

108

dan merayakan kebebasannya dengan meminta sumbangan
pada orang-orang di Hindia Belanda. Sangan ingin membutku
tertawa geli sekaligus marah,

“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan
menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan dinegeri yang kita sendiri
telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu,
bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si
inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran
untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan
sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir
dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung
perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan
bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengkongsi suatu pekerjaan
yang ia sendiri tidak ada kepentingan sedikitpun.”

Suara hujan yang ramai tiba-tiba
membangunkan Burhan. Terdengar langkah kakinya menuju
ke arah kamar mandi dan terdengar suara pintu ditutup.
Anwar segera berhenti mengetik dan pergi menuju dapur
karena hari ini adalah hari piketnya memasak sarapan.

Anwar mulai mengambil nasi yang sudah dibuatnya
awal shubuh tadi, dan mulai menggoreng dua buah telor.
Sayuran yang dibawanya dari restoran cina, tinggal dia
hangatkan sebentar. Dan sarapanpun telah tersedia rapih
sebelum Burhan selesai salat shubuh.

“War apakah kau tahu? Ada banyak surat menumpuk
dikotak surat rumah ini?” tanya Burhan sembari menarik kursi
meja makan.

109

“Aku baru menyadarinya kemarin saat tukang surat
itu langsung memberikan suratnya kepadaku. Aku tidak sadar
karena aku jarang dikirimi surat. Dan rumahku memang tidak
ada kotak surat seperti rumah ini haha” Burhan menertawakan
dirinya sendiri.

“Tenanglah. Aku tau semua pasti dari Abi. Dan dia
sepertinya akan marah besar pada kita. Tapi sebaiknya kita
sarapan yang benar dulu untuk kali ini” jawab Anwar dengan
santai.

Setelah mereka berdua menghabiskan sarapan,
Burhan kedepan mengambil 6 buah surat dari meja ruang
tamu, dan kembali ke meja makan.

“Sebaiknya kau saja yang baca.” Burhan menyodorkan
ke enam surat itu.

“Baiklah.” tangan Anwar mulai membuka segel salah
satu surat.

“Untuk Anwar dan Burhan. Aku sudah sampai di
Yogya dan dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Bagaiman
kabar kalian disana? Tolong jaga rumahku dan rawat semua
peralatan yang ada disana. Aku lupa memberitahu ada
tanaman anggrek dibelakang rumah, itu tanaman kesukaanku.
Tolong disiram dengan teratur dua kali sehari dengan air
sangat sedikit.”

“Astagfirullah. Kumaha atuh War. Hahah. Sepertinya
anggerknya sudah mati. Coba kau baca selanjutnya.”.

Anwar kembali membaca

110

“Untuk Anwar dan Burhan. Apa suratku bulan lalu
tidak sampai atau surat kalian berdua yang tidak sampai
padaku. Tolong kabari aku kembali. Aku khawatir kepada
kalian. Aku dengar IP sedang mengalami kesulitan. Tolong
ceritakan padaku.”

Sampailah pada surat Abi yang terakhir.

“Untuk Anwar dan Burhan. Ini sudah surat yang
ketiga dan aku belum menerima balasan apapun. Apa yang
terjadi dengan kalian? Aku sangat khawatir, kini para Belanda
sudah mulai geram dan gencar dengan IP, mereka mulai
melakukan pengawasan dan penangkapan dengan ketat.
Tolong jaga diri kalian baik-baik.”

“Dia tiap bulan mengirimi kita surat. Sudah seperti ibu
pada anaknya. Aku jadi tidak enak dengannya. Apa kita harus
ke Yogyakarta?” celetuk Burhan dengan niat mau melucu.

“Tunggu. Ada surat satu lagi.”

“Untuk Anwar di Bandung. Ini ibu. Kenapa kau tidak
tinggal dirumah milik kakek di Lembang. Kenapa kau juga
tidak mengabari ibu? Ibu khawatir dan ketakutan saat
bapakmu memberitahu bahwa kau ikut organisasi IP itu. Esok
hari bapa akan beranggkat ke Bandung menemuimu. Sabar
dan tenang dalam menghadapi bapa. Ibu tau kamu anak yang
baik. Tolong segera balas surat ini anakku.”

“Ini surat dari ibuku. Bagaimana ini?” Anwar
hanya bingung terdiam, dan Burhan berusaha
menenangkannya.

Satu hal yang bisa dilakukan Anwar, menerima dan
menghapinya. Toh, dirinya juga turut bertanggung jawab

111

karena tidak menjaga janji untuk tinggal di Lembang. Apalagi
tidak mengirimi kabar satupun ke Batavia.

***

Pagi telah berganti siang dan hari itu ada pertemuan
lagi di gedung yang lalu. Pertemuan ini sama-sama membahas
akan nasib IP di kancah pemerintahan Hindia Belanda ini.
Setelah semua berbagai upaya yang telah dilakukan tidak
membuahkan hasil yang baik.

Sikap Gubernur jendral Idenberg terhadap IP berbeda
dengan sikapnya kepada Budi Utomo dan Sarekat Islam.
Sikapnya terhadap Budi Utomo dan Sarekat Islam sangat
berhati-hati, tetapi sikapnya terhadap IP sangat tegas.
Gubernur Jendral Idenberk menolak anggaran dasar IP
dengan surat keputusan tanggal 4 Maret 1913. Alasan
penolakan disebutkan "Oleh karena perkumpulan itu berdasar
politik dan mengancam hendak merusak keamanan umum,
harus dilarang pendiriannya, menurut pasal 111 RR".

Selanjutnya pada rapat tanggal 5 Maret 1913 pucuk
pimpinan IP memutuskan untuk mengubah bunyi pasal 2
tentang tujuan IP. Setelah diubah bunyinya menjadi seperti
berikut : 1.Memajukan kepentingan anggota di dalam segala
lapangan, baik jasmani maupun rohani. 2.Menambah
kesentosaan kehidupan rakyat di Hindia Belanda. 3.Berdaya
upaya menghilangkan segala rintangan dan Undang-undang
Negara yang menghalangi terciptanya tujuan, dan. 4.Minta
diadakan undang-undang dan ketentuan-ketentuan yang
menunjang tercapainya tujuan.

112

Pada tanggal 5 Maret 1913 IP memajukan lagi untuk
kedua kalinya anggaran dasar agar dapat disahkan oleh
pemerintah. Dengan surat keputusan tanggal 11 Maret 1913
Gubernur Jendral menolak anggaran dasar IP yang baru.
Bunyi penolakan itu adalah sebagai berikut "Menimbang
bahwa perubahan yang diadakan pada pasal 2 anggaran dasar
itu, sekali-kali tidak bermaksud merubah dasar dan jiwa
organisasi itu yang sebenarnya, sebagai diterangkan di dalam
surat keputusan tanggal 4 Maret 1913 No.1 maka kenyataan
itu adalah jelas daripada keterangan ketua organisasi, atas
pertanyaan Cabang Indramayu yang tertulis di dalam notulen
persidangan tanggal 25 Desember 1912 dan dilampirkan di
dalam surat permohonan pcuk pimpinan IP tanggal 16 Maret
1913. Berhubung dengan itu, pemerintah Hindia Belanda
tetap menguatkan surat keputusan tanggal 4 Maret 1913.

Permasalahan IP membuat Anwar dan Burhan lebih
banyak bergerak ke daerah-daerah untuk mengetahui situasi
terkini, dan menuliskan beritanya. Juga menjaga tiga serangkai
dari kejaran para Belanda. Tapi tiba-tiba ada satu hal
mengagetkan terjadi, seseorang telah datang ke kediaman
mereka, di rumah Raden Abimanyu.

p

113

114

Awal Dari Akhir

“Selamat siang tuan. Ada yang bisa kami bantu disini.” sapa
Burhan pada salah seoramg lelaki yang duduk di kursi
tamu rumah Abimanyu.
Begitu kagetnya Burhan saat lelaki itu membalikkan
badan kearahnya. Terlihat mata biru yang mulai menatapnya,
mata yang sama dengan sobat karibnya, Anwar.

“..Anwar Pieters.” lanjut lelaki itu.
“Eu..eu.. Anwarnya sedang tidak bersama saya. Sore
nanti dia akan pulang.” jawab Burhan dengan rasa takut-takut.

115

***

Terjadilah pemeriksaan-pemeriksaan yang intensif
terhadap “Tiga Serangkai” oleh kejaksaan Belanda. Mereka
sudah menganggap bahwa Indische Partij Menjadi ancaman
besar, dan perlu ditindak dengan tegas.

“Aku takut organisasi ini bisa berakhir.” kata Anwar
dengan nada serius.

“Tenanglah kit akan baik saja. Kau harus berani, taka
da waktu lagi, sebentar lagi Belanda akan mengasingkanku dan
kedua kawanku. Aku harap kau melanjutkan perjuangan kita
di Hindia Belanda.” jawab Douwes Dekker dengan tenang.

“Perasaanku kalang kabut. Aku takut semua usaha ini
akan gagal dan sia-sia.”

“Hei nak!! Kau tidak boleh berpikir seperti iyu! Taka
da yang sia-sia dari apa yamg telah kit alakukan semua ini.
Walau hanya ada seorang ,elakukan pekerjaan sederhana bagai
setitik tinta dalam kertas putih lebar. Kita tau tetap dan akan
selalu ada perubahan dlam kertas itu.” jawab Douwes Dekker
sambil berlalu meninggalkan Anwar.

***

Setelah banyak hari terlewati.

Semua orang berisik didalam gedung, mendengar
bahwa Tiga serangkai akan ditangkap dan diasingkan ke
berbagai daerah.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya salah
seorang dalam forum.

116

“Aku rasa organisasi ini akan bubar.” bisik salah
seorang lainnya.

“Tenang semuanya!! Tenang! Disini semua harus
tenang aku tau kalian semua kecewa terhadap situasi ini.
Sebelumnya Mr. Douwes Dekker telah berpesan bahwa
perjuangan kita tak akan berhenti walau organisasi ini bubar.
Taka da perjuangan yang sia-sia setelah apa yang telah kita
lakukan ini. Walau kau hanya datang ke pertemuan, hanya
membaca surat kabar. Tapi bagi Indonesia kau adalah
pendekar perjuangan. Tolong semuanya bersikap sewajarnya
dan kondusif.”

Perkataan Anwar memecah keriuhan dalam forum.

“Apa kau tau mereka diasingkan kemana?” seseorang
bertanya.

“Yang kutau Mr. DD ke Timor, Cipto ke Bkamu, dan
Ki Hajar Dewantara ke Bangka.” jawab Anwar

“Perasaanku mereka akan dipindahkan dan diasingkan
ke Netherland.” celetuk salah satu anggota tim Douwes
Dekker.

“Kenapa kau berfikir seperti itu?”

“Gubernur Jendral Idenberg tak akan tinggal diam.
Aku yakin mereka bertiga tak akan hanya diam saja disana.
Mereka pastia akan melakukan perjuangan di daaerah mereka
masing-masing. Sekarang Belanda punya dasar Exorbitante
Rechten atau hah istimewa untuk memindahkan para
tahanan.”

117

“ Kalau memang seperti itu aku yakin perjuangan kita
memang tidak akan ada habisnya.

Waktu Maghrib Anwar telah tiba di rumah.
“Burhan..” panggil Anwar saat memasuki ruang tamu.
Begitu kagetnya Anwar saat melihat ayahnya sudah
duduk di kursi tamu.
“Sudah pulang Kau akhirnya.” sambut Mr. Pieter
“Maaf Ayah aku tidak mengabarimu.” jawab Anwar
masih dalam rasa terkaget-kaget.
“Perasaanku selau tidak enak sejak kau pergi ke
Bandoeng. Tapi kawanmu sudah menceritakan semuanya
padaku. Aku memang yang salah mengartikan ibumu dan
kamu. Sekarang ibumu sangat merindukanmu.”

***

Semuanya terasa berubah dengan cepat. Mr.Piet
memang menyetujui bahwa anaknya telah ikut lascar
perjuangan, dan akan terus berjuang demi kemerdekaan
bangsa Indonesia.

Paginya Anwar dan Mr.Piet pulang ke Batavia. dan
Burhan pulang ke rumahnya di Bandung Kota.

Semua punya urusannya, tapi Indonesia masih menjadi
urusan para generasi mendatang.

118

*** Anwar POV ***

“Hari ini aku bangun dengan tenang. Semuanya
terlihat senang. Empat tahun yang lalu, Indische Partij
dibubarkan oleh pemerintah kolonial. Aku tidak punya kata -
kata yang dapat menjelaskan bagaimana kecewanya diriku atas
hal itu. Hari itu, semua yang kuperjuangkan selama ini tampak
sia-sia. Tidak ada perubahan yang terjadi. Keadaan rakyat
bumi ini masih sama seperti sebelum pembubaran itu.
Verdamnt ! aku dengar Eropa tengah dilalap api sekarang. Aku
harap engkau baik-baik saja.

Dari kawanmu, Pieter.”

Eropa memang tengah dilalap api sekarang. Dunia
lama sedang saling bunuh-membunuh demi bertahannya
kekuasaan mereka. Concert van Europa tidak bisa menahan
ambisi dunia lama. Kehormatan, Tahta, Kekuasaan ? kata
mereka itu penting. Tapi apakah orang peduli jika peluru itu
datang dari Prajurit didikan bangsawan Prussia ? atau seorang
petani Jendral Pētain ? maupun bocah dari London ? Tidak
ada orang waras yang tega membunuh manusia lainnya.

Tapi tentu saja Koningin Wilhelmina tidak ingin terlibat
dalam perang ini. Belanda hanyalah batu kecil diantara adidaya
dunia lama itu. Belanda hanya ingin ditinggal sendiri meskipun
netralitas telah memakan korban tetangganya sendiri Belgia.
Ah.... bukan waktu yang tepat memang jika orang-orang ini
ingin merdeka. Mereka belum punya percikan yang membakar
mereka. Pemerintah kolonial juga masih kuat genggamannya
di sini dan aku hanya bisa menatap langit yang biru. Iri rasanya
melihat burung-burung terbang bebas di angkasa tanpa

119

batasan apapun. Sakitnya hati ini mengingat kejadian yang lalu,
akan tetapi hidup harus berjalan.

Dan tentu saja hari baru, tujuan baru. Sudah lama aku
tidak mengunjungi orang tuaku. Tiket kereta sudah kupesan
dari hari-hari yang lalu. Kuambil koperku dan berangkat ke
stasiun. Rumahku yang sekarang tidak terlalu dari stasiun ja di
berjalanlah aku ke sana. Hari ini lebih sepi dari biasanya
namun kumaklumi. Hari ini merupakan awal liburan bagi
beberapa pegawai pemerintah. Libur seperti ini dijatah setiap
dua tahun sekali untuk memastikan tidak ada instansi
pemerintah yang berhenti bekerja. Di sisi lain, banyak rakyat
kecil yang menjajakan dagangan mereka di pinggir jalan. Tentu
saja ini bukan di tengah kota jadi Politie tidak terlalu peduli.

Lalu datanglah seorang anak. Badannya kering,
bajunya kucil, tapi matanya polos. Ia menawarkan beberapa
jagung kepadaku. Katanya jagung ini baru dipetik kemarin di
belakang rumahnya. Katanya rumah itu peninggalan buyutnya.
Yep, anak-anak memang polos. “Berapa, nak ?” kutanya. “2
Gulden, pak.”. Mungkin makan jagung sambil berjalan
merupakan ide bagus. Lagipula, perjalanan di kereta nanti pasti
lama ditambah menunggu di stasiun. Kuraih dompetku
dan...... “Hush...”. Seorang anak lain hampir mengambil
dompetku. Sudah kuduga. Memang tempat ini rawan
zakkenroller terutama anak-anak. Ketika lapar datang, segala
akan dilakukan kurasa.Ya kuberi saja 2 Gulden kepada penjual
jagung cilik ini. Mungkin itu dapat menghidupi keluarganya
entah berapa lamanya.

Sampai di stasiun kereta, dugaanku terbukti. Memang
banyak orang yang ingin “Pulang Kampung”. Kusempatkan

120

diri mengobrol dengan salah satu gerombolan penumpang.
Mereka ini keluarga. Anak-anak mereka sangat imut. Kadang
aku agak iri dengan keluarga seperti ini karena mereka tampak
bahagia dengan apa yang mereka miliki. Keluarga ini tampakya
dari kalangan menengah. Terlihat dari bapaknya yang
sepertinya merupakan pegawai Staatspoorwegen. Tubuhnya
walaupun tidak terlalu tinggi namun tegak. Pandangannya
lurus seperti menatap masa depan. Agak idealis tapi rendah
hati dan ingat terhadap keluarga. Sang ibu terlihat ca ntik.
Kulitnya lumayan putih. Kepribadiannya halus dan penuh
pesona itu dituliskan dalam kata-kata yang ia ucapkan. Aku
sering dengar orang-orang sini sangat menjunjung tinggi
kesopanan. Anak-anaknya pun riang. Dua bersaudara yang
satu mannelijk yang satu vrouw. Mereka tampak sangat akur.
Keluarga yang saling menyayangi kurasa.

Ku ucapkan pamit kepada keluarga ini dan mendoakan
mereka agar selamat hingga tujuan. Mereka pun membalas
ucapanku itu. Memang orang-orang sini lebih terbuka
daripada orang-orang Belanda. Kulihat di kanan dan kiri
banyak orang yang tampak senang, bersyukur, hingga
bersemangat untuk pulang. Memang menemui keluarga
setelah dipisahkan cukup lama merupakan hal yang patut
disyukuri. Semua tampak menyatu dengan keluarga-keluarga
lainnya dalam duduk.

Stasiun kereta yang aku selalu lupa namanya ini
memang salah satu stasiun penting di Java. Banyak jalur kereta
yang menuju kota-kota di Java maupun yang dari kota-kota
tersebut. Tempat duduknya terasa agak teyot mungkin karena

121

sering diduduki, relnya tampak baru digati dan jam dindingnya
tampak kuno. Sambil memakan jagung, kutunggu keretaku itu

Entah berapa lama aku menunggu hingga kereta yang
hendak kutumpangi datang. Kuperiksa sekali lagi tiket yang
aku pegang. Aku memastikan lagi nomor kursi yang hendak
aku duduki. Demi menghemat geld, aku membeli tiket yang
paling goedkoop.

Aku duduk di samping seorang nona muda. Untuk
memecahkan suasana aku bertanya kepadanya, “Mejuffrow,
kemana anda akan pergi ?”

“Bandoeng, bapak.......” ucap nona muda itu dengan
ramah.

“Pieter. Senang berkenalan dengan anda.” ucap Anwar
sembari menjulurkan tangannya.

“Anda sendiri bagaimana ? dilihat dari bawaannya
seperti ingin menginap saja.” ucap nona muda menggenggam
tangan Anwar.

“Ahaha......saya hanya ingin pulang menemui
keluarga.” balasku.

“Jadi, baiknya saya memanggil anda bagaimana,
nona?” tanya Anwar dengan sigap.

“Siri, panggil saja saya Siri. Tak perlu terlalu formal
Tuan Pieter.”. balas nona muda itu.

***

Aku pun naik ke dalam kereta. Kebetulan kursi yang
kududuki itu kosong. Aku menaruh semua bawaanku di

122

bawah kursi dan duduk di sebelah jendela. Entah mengapa
situasi ini sangat familiar. Aku jadi teringat masa-masa
kuliahku. Belanda memang negeri yang indah. Aku berharap
negeri tersebut tetap indah. Tentu saja tanpa kolonialisme.
Aku mendengar kabar bahwa Rusia telah mengundurkan diri
dari perang. Sebuah revolusi terjadi di sana. Nampaknya rakyat
sudah tidak tahan lagi untuk membelot kepada Tsar. Revolusi
yang dipimpin oleh kaum Bolsehvik ini tidak bisa dibendung
lagi. Kebanggaan tidak dapat mengisi perut yang kosong.

Bolshevik ini merupakan komunis. Kaum kiri yang
menginginkan alat produksi berada di tangan pekerja. Dunia
lama telah jatuh. Kerajaan dan kekaisaran lama mulai runtuh.
Dimulailah era baru. Aku tidak dapat memprediksi lebih jauh,
namun melihat kebangkitan Amerika Serikat setelah perang
saudara di 1860an dan kebangkitan Bolshevik di Rusia sudah
menjadi bukti keruntuhan dunia lama.

Makin lama aku makin tenggelam dalam pikiranku
sendiri. Tinggi kemungkinan perang terbesar ini tidak akan
menjadi perang yang terakhir. Pikiran liarku mengatakan
perjanjian damai apapun yang akan disepakati nanti hanyalah
sebuah kertas yang akan dirobek 20 tahun nanti. Kebangkitan
dunia baru ini mengganggu kesetimbangan dunia saat ini.

Lalu karena perang ini, Belanda perlu menemukan cara
untuk mengisi perut mereka. Karena perang ini membuktikan
kelemahan Belanda untuk mandiri. Belanda perlu impor dari
tetangganya agar mereka tetap hidup. Semoga saja Hindia-
Belanda tidak terlalu menderita karenanya.

Tapi perlu kuakui. Perang memang menumbuhkan
ekonomi. Hal ini dapat dicapai apabila negara yang

123

mengadakan perang tidak terkena dampak langsung dari
perang tersebut. Pemerintah berinvestasi pada pabrik-pabrik
senjata sambil mengirim orang-orang untuk mati. Terkadang
aku kasihan kepada mereka-mereka yang harus mati dalam
perang yang tidak ada gunanya ini.

Kereta berjalan sama seperti pikiranku. Jika Belanda
berperang, berarti kesempatan untuk koloninya untuk
merdeka. Jika setiap koloni mempunya kemauan untuk
merdeka, tidak dipungkiri lagi mereka akan menggunakkan
momentum itu untuk merebut kemerdekaan. Ketika Parlemen
sedang sibuk sendiri mempertahankan tanah air mereka, kita
akan membebaskan tanah kita. Ketika rakyat bumi ini telah
siap merdeka, ketika bendera dikibarkan bukan hanya oleh
orang Java atau Sumatra, namun seluruh Hindia-Belanda.
Ketika mereka mau bersatu, mungkin bumi ini akan bebas.
Saat itulah kita-kita rakyat bumi ini akan menghirup udara
bebas dan menentukan nasib kita sendiri melawan apa-apa saja
di depan kita.

Tidak pernah kuceritakan pada siapapun soal
pikiranku ini. Bisa jadi ini hanya hati busukku yang
menginginkan balas dendam demi rakyat bumi ini. Tidak
mungkin manusia akan mengadakan perang yang jauh lebih
besar dari perang yang sekarang. Telah banyak nyawa
melayang di kedua pihak demi bendera dan kebanggaan yang
tiada guna. Tidak mungkin dunia sanggup menghadapi
kerusakan yang telah dialaminya sekarang. Tidak mungkin ada
orang yang cukup krankzinnig untuk mengulangi tragedi
kemanusiaan ini.

124

Harapanku naik kembali. Melihat perjuangan pelajar-
pelajar asal bumi ini, melihat mata rakyat-rakyat bumi ini,
melihat bagaimana pemerintah kolonial sampai bertindak
sedemikian rupa untuk menghentikan kami. Pastilah ada
sesuatu. Rakyat menginginkan perubahan. Kita telah melihat
jatuhnya kerajaan-kerajaan agung di masa ini. Mungkin satu
saat di masa yang tidak terlalu jauh, waktu kita akan datang.
Namun hingga masa itu tiba, aku akan menunggu. Menunggu
waktu yang tepat untuk bangkit. Aku bukanlah seorang yang
pengecut, aku hanya bersabar.

Kupalingkan mataku ke arah luar jendela. Kulihat
pemandangan indah nan nostalgisch. Anak-anak bermain di
pinggir rel kereta, pepohonan yang rindang, dan siapa tahu
satu hari di tempat ini akan ada jalan dari Batavia ke
Bandoeng.

***

Sampai di Batavia, aku bergegas turun. Semua orang
berantrian keluar kereta. Antrian kali ini lebih tertib dari
terakhir kali aku menaiki kereta ini. Stasiun kereta itu sangat
ramai oleh orang-orang dengan berbagai kepentingan. Di saat
itu aku bertemu seorang kawan lama, Umar namanya.

“Umar ? itu kamu ?” sahutku.

“Siapa kamu ? Anwar ?? anak Mr. Pieter ?” tanyanya.

“Ja ini aku, Kerja ?” ucapku sembari bertanya apa yang
aku ingin tanyakan kepadanya.

“Ya.” jawabnya.

125

Umar adalah teman lama ku. Dulu dia tinggal di
sebelah rumahku sebelum ia harus pindah bersama
keluarganya. Tidak pernah kusangka bahwa aku akan
menemuinya lagi. Dulu dia orang yang ramah, sopan dan
rendah diri, tapi semua nampaknya berubah sekarang. Dia
tampak lebih percaya diri. Aku bertanya

“Jadi Mar, kau kerja di Staatspoorwegen sekarang ?”
tanya Anwar dengan antusias.

“Ya begitulah, rizki bisa di mana saja kurasa, kau
sendiri bagaimana ?” jawab Umar dengan singkat dan kembali
bertanya kepada Anwar.

“Ku bekerja untuk sebuah koran.” jawab Anwar.

“Wah... mimpimu terwujud ya. Ngomong-ngomong,
bagaimana kabar di Belanda sana ?” tanya Umar.

“Kalau boleh jujur, aku kurang tahu. Semoga baik-baik
saja sih.”

Kami mengobrol cukup lama. Lagipula, aku tidak
perlu terburu-buru hari masih siang dan cuaca sangat cerah.

“Ya kalau begitu aku harus pamit. Salam untuk orang
tuamu.” Kata Umar.

“Ya. Hati-hati”.

Kala itu Umar pergi dengan raut wajah gembira di
wajahnya entah apa yang bisa membuatnya seperti itu, tetapi
aku pikir karena pertemuan tidak sengaja Anwar dengan Umar

Ku beranjak dari kursi itu dan berangkat ke rumah
orang tuaku. Kuperkirakan perjalanan itu akan memakan
waktu sekitar 2 jam berjalan kaki. Demi menghemat ongkos,

126

mulailah aku berjalan. Batavia banyak berubah setelah 3 tahun
kutinggal. Gedung kino yang dulu masih dibangun itu kini
telah rampung. Sungai Citarum tampak lebih tenang namun
seperti lebih dalam. Seperti pribahasa orang sini ‘Air tenang
menghanyutkan’ Namun ini bukan peribahasa.

***

Sampailah aku di rumah orang tuaku, namun bapak
tidak ada di rumah. Di sana hanya ada ibu. Koper yang
kubawa sebenarnya berisi hadiah untuk bapak dan mami.
Sedihnya aku tidak bisa terlalu lama di Batavia. 3 hari mungkin
dianggap kurang oleh banyak orang, tapi itu lebih baik
daripada tidak sama sekali.

Aku sangat menikmati hari-hari di rumah orang tuaku.
Mengetahui semua masalah 4 tahun lalu sudah tidak lagi
dibahas. Bapak menyerahkan surat yang ia terima dari
kawannya di Belanda. Dia memintaku untuk membaca surat
yang ia terima itu. Aku menolak permintaan tersebut karena
mengingat pengirimnya, ini pasti bersifat pribadi.

Kuhabiskan hari itu dengan makan malam bersama
keluargaku. Aneh memang karena biasanya aku makan sendiri.
Tapi rasa ini terlalu penting untuk dilewatkan. Aku pun
mencuci tangan dan menggosok gigi sebelum tidur. Suatu
kebiasaan lama yang tidak pernah aku tinggalkan kecuali di
saat-saat tertentu. Kembali ku diingatkan dengan masa lalu
yang begitu indah ketika segalanya belum serumit sekarang.

***

127

Di keesokan harinya, aku menemani ibuku berbelanja
seperti dulu. Pasar yang dari dulu tetap ramai dikunjungi
pembeli. Kali ini, pedagangnya makin beragam. Aku tidak
terlalu peduli akan apa yang mereka jajakan dulu kecuali Degan.
Tapi nampaknya orang yang menjual Degan itu sudah berhenti
berjualan. Di mana pun orang itu, aku harap ia diberi
keberuntungan dan keuntungan.

Kami pulang pada saat matahari mulai terik. Seperti
dulu, kami selalu melewati sebuah lapangan bola. Dulu, aku
sering bermain Fussball di sana. Anak-anak kampung sering
mengajak kami bermain. Aku ingat ketika satu kali aku disuruh
pulang. Mami datang sambil membawa sapu menyuruhku
pulang. Sebuah pengalaman yang tidak bisa kulupakan.

Sesampainya di rumah, kami menyiapkan makan
malam. Aku masih ingat bagaimana ibu mengajariku memasak
untuk pertama kalinya. Aku hampir memotong jariku. Haha...
Sambil bercanda, mami mengingatkanku tentang itu. Aku
malu dibuatnya, mengingat dulu aku berpikir kalau laki-laki
tidak perlu tahu soal memasak.

Hari itu pun kami makan malam dengan tenang. Hari
itu, makanan terasa lebih enak daripada biasanya. Memang
benar kata ibu, makanan yang kita buat sendiri memang terasa
lebih enak karena kita menuangkan cinta ke dalamnya. Cinta
yang sama seperti cinta yang kita berikan kepada orang yang
kita cintai entah keluarga atau orang yang spesial.

Setelah seperti biasanya, aku menarik selimut dan
bersiap tidur. Di saat itu pula segala ingatan tentang cerita
yang bapa berikan untukku terngiang. Aku ingat bahwa besok
aku harus kembali ke Bandoeng. Aku sudah menyiapkan

128

barangku. Aku harus berangkat pagi-pagi ke stasiun karena
dijamin besok pasti sangat ramai. Kurasa tiap pertemuan pasti
ada perpisahan ya.

Malam itu sangat sunyi. Bulan terang menerangi jalan.
Bunyi burung hantu dapat terdengar bahkan sura jangkrik di
sisi sungai dpat terdengar hingga ke rumahku. Tidak ada
satupun suara kegiatan manusia terdengar. Semua orang
nampaknya terlelap dalam mimpi. Mimpi yang merupakan
penghilang rasa sakit kehidupan sehari-hari. Aku pun menutup
mata setelah dimabukkan rasa syahdu malam itu.

Keesokan harinya aku terbangun. Terbangun di waktu
subuh ketika Adzan terdengar. Sebuah panggilan untuk ibadah
bagi orang-orang Islam. Aku pun bangun dan mencuci muka.
Aku tidak perlu mandi karena aku sudah mandi sore kemarin
jadi aku hanya membersihkan ketiak dan membilas badanku.
Suatu kebiasaan yang kulakukan saat masih di Belanda untuk
menghemat uang namun sangat efektif.

Setelah sarapan, aku berpamitan kepada bapa dan
mami. Hari itu terasa lebih sejuk, sepertinya sang Maha
Pencipta memberikan perlindungan dan kenyamanan untuk
hambanya yang satu ini. Kuangkat koper dan mulai
melangkahkan kaki pulang ke Bandoeng. Langkah ini
mengingatkanku ketika aku pulang setelah bertengkar dengan
bapa. Aku menoleh ke belakang untuk melihat satu kali lagi
rumahku dan keluargaku yang tidak akan pernah tergantikan
seumur hidupku.

Di stasiun, seperti saat berangkat aku kembali
menunggu. Stasiun lebih ramai seperti perkiraanku, tapi tidak
sehangat Stasiun di Bandoeng. Orang-orang nampak tak

129

terlalu peduli dengan satu sama lainnya. Sejujurnya, aku mulai
merindukan kehangatan itu.

Setelah naik kereta, aku mencari kursi yang sesuai
nomornya dengan nomor kursi di tiketku. Kali ini, aku duduk
di samping seorang nenek. Aku mempersilahkan nenek itu
untuk duduk sambil membantu membawa bawaannya. Tentu
saja aku tidak mengharapkan apa-apa. Si nenek mengucapkan
terima kasih padaku dan aku pun duduk.

Sama seperti kemarin, aku duduk di samping jendela.
Nenek itu tampak lelah sehingga ia tidak berbicara banyak
denganku. Kami hanya bertukar kabar dan kemana kami akan
pergi. Dan di saat itu aku membuka surat yang diberikan bapa
kepadaku. Surat dari Heinrich sahabat penaku dari Belanda. Ia
merupakan keturunan orang Jerman yang berasal dari
Frankfurt. Kubuka suratnya dan kubaca....

“Dengar Pieter, Tiap hari dapat kulihat banyak orang
melewati perbatasan kita. Tersirat rasa takut dan rasa
bersyukur di wajah mereka. Kaiserkrieg membuat banyak orang
muak. Anak-anak muda berguguran untuk entah tujuannya.
Banyak yang bergabung karena janji uang dan makanan yang
dapat mereka bawa pulang demi keluarga mereka.

Pieter, Eropa sedang mengalami perubahan. Dunia
kerajaan lama mulai jatuh. Semua bertarung demi kehormatan.
Aku telah menerima suratmu. Semua sehat di sini, Puji Tuhan.
Semoga engkau dan keluarga tetap diberi keselamatan.

Dari kawan penamu.

Heinrich”

130

p

Epilog

ntuk membuat hati kita lapang dan dalam, tidak cukup

U dengan membaca novel, mendengar petuah, nasihat
ataupun ceramah. Anwar dan seluruh kaum terpelajar
Bangsa Indonesia harus bekerja keras, belajar dengan tekun,
aktif dalam segala bidang entah itu organisasi maupun
olahraga.

Semua itu adalah jalan tercepat untuk melatih hati di
tengah riuh rendah kehidupan hari ini. Percayalah, memiliki
hati yang lapang dan dalam adalah konkret dan
menyenangkan, ketika kita bisa berdiri dengan seluruh
kebahagiaan hidup, menatap kesibukan sekitar, dan melewati
hari-hari berjalan, untuk kemajuan bangsa kita, BANGSA
INDONESIA.

131

132

Tentang Penulis

133

Athirah Naurah Firdaus adalah
seorang perempuan kelahiran kota Bandung
dan dilahirkan tepat pada tanggal 1 Oktober
2002. Saat ini ia merupakan siswa SMA
Negeri 2 Cimahi yang sebentar lagi akan
melanjutkan jenjang pendidikannya ke
perguruan tinggi. Novel berjudul “Goresan
Tinta Orang Indo” merupakan novel pertamanya yang
disusun bersama 4 orang teman sekelasnya.

***

Fajar Fernanda Riyadi lahir di
Bandung pada bulan Mei 2002. Ia
merupakan anak pertama dari dua
bersaudara. Merupakan seorang pengamat
Geopolitik amatir dan anggota Forum
Militer kecil-kecilan. Bersekolah di SMA
Negeri 2 Cimahi dari tahun 2017 hingga
2020. Novel “Goresan Tinta Orang Indo” merupakan karya
tulis sastra pertama yang pernah ia buat bersama dengan 4
orang temannya.

***

Salsabila Sakinah lahir di Cimahi
tahun 2001 pada posisi sulung dari dua
bersaudara. Kesibukannya belajar di tahun
ke tiga, SMA Negeri 2 Cimahi. Selain
menulis dia juga suka berolahraga. Dan
“Goresan Tinta Orang Indo” adalah buku
pertamanya yang ditulis bersama empat
temannya

134

Lulu Nabila adalah seorang
perempuan yang lahir di Bandung pada hari
Minggu, 20 Oktober 17 tahun silam. Saat
ini, Ia sedang menempuh wajib pendidikan
12 tahunnya di SMA Negeri 2 Cimahi. Lulu
sebelumnya pernah menuliskan resensi
Novel Gadjah Mada: Perang Bubat karya
Langit Kresna Hariadi.

Lulu senang berselancar di dunia maya dan
mendengarkan musik secara keras di kamarnya. Sedangkan
hari Minggunya biasa Ia habiskan untuk mengisi TTS. Novel
“Goresan Tinta Orang Indo” ini merupakan karya sastra
pertamanya bersama 4 orang temannya yang lain.

***

Mochammad Ra’if Jahfaliansyah
atau biasa disapa “Ro’ip” merupakan salah
satu siswa SMA Negeri 2 Cimahi angkatan
’20. Ia lahir di kota Tasikmalaya pada
tanggal 28 September 2002. Ro’ip sangat
suka dengan astronomi dan kedirgantaraan,
serta membaca berbagai macam novel
sampai tertidur. Hari liburnya sering ia pakai untuk
berolahraga berenang bersama kawannya. Novel “Goresan
Tinta Orang Indo” ini merupakan karya sastra pertamanya,
yang ia buat bersama dengan empat orang temannya.

135





Koleksi Buku Kami
yang Lain






Click to View FlipBook Version