PERAN INDONESIA DALAM UPAYA PENYELESAIAN
KONFLIK KAMBOJA-VIETNAM PADA TAHUN 1977-1989
MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Induvidu
Mata Kuliah Konflik dan Kerjasama Internasional
Yang dibina oleh Ibu Yuliati
OLEH :
Ani Zulfatul Rohmah (200731638021)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
PRODI S1 PENDIDIKAN SEJARAH
FEBRUARI 2022
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
dengan judul “Peran Indonesia dalam Upaya Penyelesaian Konflik Kamboja-Vietnam
pada Tahun 1977-1989“ dalam rangka tugas penyusunan makalah individu.
Makalah ini disusun untuk menyelesaikan salah satu tugas individu. Penyusun dapat
menyelesaikan tugas dengan baik, semua itu tidak lepas dari bimbingan dan bantuan dari Ibu
Yuliati selaku Dosen Pengampu mata kuliah Konflik dan Kerjasama Internasional. Semoga
dengan dibuatnya makalah ini dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk membuat makalah
selanjutnya. Harapan penyusun semoga dengan disusunnya makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
Dalam penyusunan makalah ini penyusun menyadari bahwa masih terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penyusun berharap kepada pembaca untuk
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Februari 2022
Penyusun
i
DAFTAR ISI
COVER .....................................................................................................................
KATA PENGANTAR .............................................................................................i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................................2
1.3 Tujuan .................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................3
2.1 Sejarah Konflik Kamboja-Vietnam Tahun 1977-1989 .......................................3
2.2 Peran Indonesia dalam Menyelesaikan Konflik Kamboja-Vietnam ...................8
BAB III PENUTUP .................................................................................................14
3.1 Kesimpulan .........................................................................................................14
3.2 Saran ...................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kamboja merupakan salah satu negara yang berada di wilayah Asia Tenggara. Secara
geografis Kamboja terletak di Semenanjung Indochina, dan berbatasan darat di sebelah timur
dan selatan dengan Vietnam, di sebelah barat dengan Teluk Thailand, dan di sebelah utara
dengan Laos dan Kamboja. Wilayah dari negara Kamboja sebagian besar terdiri dari wilayah
daratan rendah yang di kelilingi pegunungan di sebelah utara dan barat daya, serta di sebelah
timur mengalir sungai Mekong sampai Vietnam di Selatan. Kekayaan alam yang di miliki oleh
negara Kamboja terbilang cukup melimpah, hal ini didapat dari bidang perikanan, pertanian,
maupun hasil hutan. Penduduk Kamboja lebih dari 80 persen tinggal di dataran pusat, dengan
beras sebagai kebutuhan pokok yang sangat penting. Selain beras, juga terdapat beberapa
industri bahan baku seperti kapas dan karet. Adapun identitas etnik penduduk negara Kamboja
tidak diketahui, tetapi bisa saja berasal dari etnik Cham, Mon, Khmer, maupun beberapa
kelompok Mon-Khmer lainnya (Allo, 2013).
Kamboja juga merupakan salah satu negara yang berada di kawasan Asia Tenggara
yang rawan dilanda konflik. Selain konflik yang terjadi di dalam negeri, Kamboja juga sering
dilibatkan dalam perang yang terjadi di negara tetangganya antara Thailand dan Vietnam yang
sering berebut kekuasaan dan pengaruh di wilayah Indochina. Akan tetapi konflik yang sering
muncul dan terjadi di Kamboja adalah konflik mengenai perebutan tampuk kekuasaan. Dimana
konflik perebutan kekuasaan di Kamboja ini telah terjadi sejak abad ke XVI-XVIII. Dan
konflik semacam ini muncul kembali setelah Kamboja memperoleh kemerdekaan hingga tahun
1980an. Konflik tersebut disebabkan karena ketidakpuasan suatu golongan tertentu sehingga
mereka bersaha untuk menggulingkan kekuasaan pimpinan yang sah di Kamboja. Perebutan
kekuasaan tersebut terjadi ketika Kamboja pada masa pemerintahan Sihanouk, Lon Nol, dan
Pol Pot. Dimana masing-masing pemerintahan tersebut memiliki ciri khas sendiri, yang mana
seharusnya membawa kesejahteraan bagi rakyat Kamboja, justru membawa kesengsaraan dan
penderitaan karena pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat (Asmara, 2019).
Kamboja mendapatkan perhatian dari dunia internasional ketika berada di bwah
pemerintahan Pol Pot. Dibawah pemerintahan Pol Pot inilah Kamboja diproklamirkan menjadi
negara baru yang bernama Democratic Kampuchea. pada tanggal 17 April 1975 dinyatakan
sebagai Hari Pembebasan dari rezim Lon Nol yang buruk dan korup. Akan tetapi kenyataannya
1
pada masa pemerintahan Pol Pot inilah Kamboja mengalami masa yang kelam. Hal ini
dikarenakan pada masa rezim ini orang-orang yang dahulunya pernah bergabung ke dalam
rezim Lon Nol akan dihukum mati tanpa proses peradilan. Pada masa pemerintahan Pol Pot ini
negara Kamboja berada di bawah garis keras komunis. Selain mengalami kemunduran di
bebagai bidang kehidupan, penderitaan rakyat Kamboja juga semakin berkepanjangan akibat
kehilangan banyak rakyatnya. Hal ini dikarenakan orang-orang yang tidak disukai pada masa
ini akan dibantai secara membabi buta (Setyawan, 2007).
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaiamana sejarah konflik Kamboja-Vietnam tahun 1977-1989 ?
2. Bagaiamana peran Indonesia dalam upaya penyelesaikan konflik Kamboja-Vietnam ?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah konflik Kamboja-Vietnam tahun 1977-1989
2. Untuk mengetahui peran Indonesia dalam upaya penyelesaikan konflik Kamboja-
Vietnam
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Konflik Kamboja-Vietnam pada Tahun 1977-1989
Kamboja merupakan sebuah negara yang berada di kawasan Indochina yang menganut
sistem pemerintahan monarki konstitusional. Negara ini memperoleh kemerdekaannya setelah
Perancis meninggalkan Indochina pada sekitar tahun 1955. Kamboja juga merupakan salah
satu negara di kawasan Asia Tenggara yang sering dilanda konflik. Kebanyakan konflik-
konflik yang terjadi Kamboja disebabkan oleh faktor persaingan kekuasaaan antara kalangan
elit yang ada. Adapun konflik yang pernah terjadi di Kamboja ini terbagi ke dalam tiga
periodesasi, yaitu konflik pada masa pemerintahan Sihanouk pada tahun 1955-1970, masa
pemerintahan Lon Nol pada tahun 1970-1975, dan masa pemerintahan Pol Pot pada tahun
1975-1979 (Zahriyani, 2017).
Pertama, Kamboja pada masa pemerintahan Sihanouk menerapkan sistekm demokrasi
parlementer dan menciptakan ideologi sosialime Buddha sebagai ideologi nasional. Konflik
pada masa pemerintahan Sihanouk ini muncul ketika menjalin hubungan kerjasam dengan
negara-negara komunis seperti Vietnam Utara dan China. Dan di lain sisi, Sihanouk juga
menolak bantuan dan memutuskan hubungan diplomasi dengan Aamerika Serikat pada tahun
1963. Yang mana hal tersebut menimbulkan kekecewaan bagi golongan oposisi di Kamboja.
Selain itu, konflik tersebut diperparah dengan adanya rezim Sihanouk yang melakukan korupsi
dan pemborosan yang menimbulkan permasalahan ekonomi di Kamboja. Hal itulah yang
kemudian menyebabkan pemberontakan dari Khmer Merah yang berada di bawah pimpinan
Lon Nol. Hingga akhirnya Lon Nol berhasil mengkudeta rezim Sihanouk pada tahun 1970
dengan bantuan dari Amerika Serikat (Apriani, 2013).
Setelah pendirian Republik Khamer dengan memperoleh dukungan dari Amerika
Serikat menimbulkan sebuah masalah baru di Kamboja. Masalah tersebut muncul dari
kelompok Khmer Merah revolusioner di bawah pimpinan Pol Pot yang melakukan upaya
kudeta terhadap kekuasaan Lon Nol pada tahun 1975. Hingga akhirnya pada bulan Aprik 1975,
kelompok pasukan revolusioner Pol Pot berhasil menguasai Phnomh Penh dan menjatuhkan
kekuasaan Lon Nol. Selanjutnya Pol Pot mendirikan sebuah negara Demokratik Kamboja yang
bercorak otoriter militeristik. Pada masa pemerintahannya inilah Pol Pot menerapkan ideologis
Komunis Maois di Kamboja atau sebuah negara komunis yang tertutup dan isolatif (Self
3
Imposed Isolation). Selain itu, Rezim Pol Pot juga melaksanakan pemerintahan secara ekstrem
dan otoriter (Setyawan, 2007).
Beberapa program yang dilakukan oleh Pol Pot selama masa pemerintahannya di
Kamboja diantaranya adalah membuat kebijakan evakuasi. Dalam program ini Pol Pot
berkeinginan untuk mewujudkan masyarakat komunis yang agraris dan mengembalikan pola
hidup rakyat Kamboja yang agraris. Ole karena itu, untuk mencapai keinginananya itu ia
melakukan berbagai upaya yaitu dengan cara mengosongkan kota dari penduduknya dan
mengirimnya ke desa-desa untuk mengerjakan lahan-lahan pertanian dan dipaksa hidup dalam
komune-komune. Pol pot juga berusaha untuk menghapuskan gagasan tentang keluaga dan
mencerai-beraikan keluarga. Pada awalnya, kebijakan evakuasi yang dilakukan oleh rezim Pol
Pot ini sebagai dalih bahwa Amerika Serikat telah merencanakan untuk melakukan
pengeboman di kota-kota setelah rezim Lon Nol berhasil ditumbangkan. Kota dianggap
sebagai tempat kaum penindas dan alasan utamanya adalah perimbangan ekonomi dan ideologi
(Asmara, 2019).
Secara ekonomi, Pol Pot ingin menciptakan negara Kamboja sebagai negara yang
mampu hidup sendiri secara tertutup dan terisolasi dengan menjadi negara agraris yang
bertumpu pada sektor pertanian. Sedangkan alasan idelogi, mereka (rezim Po Pot) mengajarkan
bahwa kota merupakan tempat yang jahat, tempat uang, alkohol, dan wanita yang mampu
meracuni pasukan revolusioner, atau dengan kata lain mereka menamankan anti-urban
ideology. Penduduk kota tadi yang diungsikan di desa-desa dipaksa untuk bertani tanpa
diberikan dukungan makanan dan gizi, sehingga hal tersebut menjadikan mereka mati
perlahan-lahan. Selain itu, para ribuan petinggi dan staf pemerintahan Lon Nol dieksekusi mati.
Selain meninggal karena dibunuh, telah terjadi kelaparan masal dan wabah malaria yang
berakar dari blunder kebijakan agraria Pol Pot. Pol-pol juga menutup pasar, biskop, rumah
sakit, sekolah dan semua hal yang berhubungan dengan budaya barat (Zahriyani, 2017).
Selain dihancurkan, gedung-gedung dijadikan sebagai barak militer pasukan
gerilyawan Khmer Merah. Sistem pendidikan dihapuskan dan diganti dengan doktrinisasi
Khmer Merah. Pol Pot juga mencuci otak para anak-anak petani miskin untuk melawan oarang
tua dan menghilangkan agama, sehingga banyak anak-anak saat itu yang membunuh orang tua
mereka sendiri. Selain itu, Pol Pot juga melarang penduduk untuk memluk agama serta
membunuh kaum intelektual. Akibat dari program Empat Tahun ini, terciptalah “ladang-ladang
pembantaian” (Killing Field Tragedy) di Kamboja. Yang mana akibat dari ladang pembantaian
4
ini terjadilah kejahatan genosida yang menimbulkan jutaan korban jiwa dari rakyat Kamboja
(Surbakti, A. Ramlan, 1986).
Selanjutnya adalah awal mula dari konflik antara Kamboja dan Vietnam. Konflik
diantara kedua negara ini bermula ketika Vietnam berkunjung ke Kamboja, tetapi tidak
mendapatkan sambutan yang positif dari pemerintah Kamboja. Penolakan Kambpja terhadap
Vietnam inilah yang mengakibatkan hubungan Vietnam-Kamboja menjadi renggang. Menurut
dokumen kelompok Khmer Merah “Black Paper”, Vietnamlah yang menjadi musuh utama
Kamboja karena dengan bendera “solidaritas revolusioner” berusaha untuk mengambil wilayah
Kamboja. Selain mengenai masalah pembatasan wilayah antara Vietnam-Kamboja, ada juga
hal lain yang menjadi permasalahan antara kedua negara tersebut. Masalah tersebut diantaranya
adalah perasan anti atau curiga yang tertanam di kalangan bangsa Khmer terhadap negara
Vietnam yang tergolong agresif. Kecurigaan tersebut muncul ketika pemerintah kolonial
Perancis banyak mendatangkan orang-orang dari Vietnam dalam program administrasi dan
pekerjaan perkebunan di Kamboja (Allo, 2013).
Selain itu banyaknya keturunan Vietnam yang menduduki jabatan birokrasi
pemerintahan dan menguasai sektor ekonomi mmengakibatkan perbedaan stratifikasi sosial
ekonomi masyarakat yang mencolok. Hal tersebut juga memperbesar rasa kebencian dan
kecurigaan bangsa Khmer terhadap orang-orang keturunan Vietnam. Keturunan bangsa Khmer
menyebut orang-orang Vietnam sebagai bangsa yang agresif dan kasar, serta menjuluki mereka
dengan sebutan Thmil yang berarti “musuh abadi yang tak mengenal Tuhan”. Sedangkan orang
Vietnam menganggap bangsa Khmer sebagai orang yang malas dan kotor. Mereka menjuluki
bangsa Khmer dengan sebutan Chao yang berarti “orang biadab yang hina”. Hingga akhirnya
pada msa pemerintahan Pol Pot inilah muncul gerakan Kap You yaitu gerakan untuk
menyembelih orang-orang keturunan Vietnam (Setyawan, 2007).
Krisis yang terjadi di Kamboja pada masa pemerintahan rezim Pol Pot ini menimbulkan
banyak terjadi pemberontakan dan perlawanan salah satunya adalah dari aktivis revolusioner
Heng Samrin dan Hun Sen. Pada bulan April 1978 Heng Samrin pernah melakukan kudeta
kepada rezim Pol Pot akan tetapi gagal dan ia kemudian lari dan mencari bantuan politik ke
Vietnam. Melihat keadaan ini Vietnam tentunya mengambil kesempatan dan memberikan
dukungan kepada Heng Samrin. Hal tersebut terjadi dikarenakan pada waktu itu Vietnam
tengah berikai dengan Kamboja sejak tahun 1977 mengenai tapal batas negara. Prang antara
Vietnam dan Kamboja ini awalnya didasarkan dari kekhawatiran rezim Pol Pot akan kehendak
5
Vietnam yang ingin menyatukan wilayah Indocina dibawah kekuasaan Vietnam (Fauzan,
2018).
Selain itu pertentangan antara Vietnam dan Khmer Merah juga diakibatkan dari
kecenderungan kuat Khmer Merah terhadap RRC. RRC bahkan menjadi donatur utama bagi
Kamboja di bidang perdagangan dan militer. Hal ini terlihat dari banyaknya penasihat-
penasihat militer RRC yang berada di Kamboja. Sedangkan Vietnam sendiri lebih dekat dengan
Uni Soviet, yang sedang mengalami friksi yang sangat tajam dengan RRC. Ultimatun dari
Vietnam tentang kedekatan Kamboja dengan RRC bahkan tidak diindahkan oleh Khmer
Merah, mereka bahkan secara terang-terangan menunjukkan kedekatan mereka dengan RRC.
Padahal Vietnam memiliki jasa yang sangat besar bagi Kamboja terutama ketika perang
menghadapi Perancis dan menggulingkan kekuasaan Lon Nol. Kekecewaan Vietnam
bertambah ketika pada tahun 1977 Kamboja melakukan pelanggaran yaitu memasuki Vietnam
tanpa ijin di wilayah perbatasan dengan alasan melakukan pengejaran terhadap pasukan
pemberontak. Tindakan dari Kamboja ini terntunya jelas mendapatkan perlawanan dari tentara
Vietnam sehingga perang di perbatasan inipun tidak dapat terhindarkan (Apriani, 2013).
Perang perbatasan antara Vietnam dan Kamboja ini belangsung dengan memanas.
Sejak Januari 1978 Vietnam telah mengirim pasukan lengkap dengan persenjataan modern
bantuan dari Uni Soviet secara perlahan-lahan sudah menguasai wilayah perbatasan kedua
negara. Bahkan di sebelah selatan pasukan Vietnam telah menguasai kota Takeo yang terletak
70 km selatan kota Phonom Penh, dan di sebelah utara pasukan Vietnam sudah menyusup jauh
ke wilayah Kamboja di provinsi Prey Veng. Sedangkan Kamboja untuk menghalau pergerakan
dari pasukan Vietnam telah menurunkan pasukan daratnya sejumlah 80.000 personil. Sistem
perang yang digunakan oleh para pasukan Kamboja menggunakan sistem yang digunakan
tentara RRC. Dalam konflik kali ini sebenarnya Vietnam telah meminta Kamboja, yang telah
memutuskan hubungan diplomatik dengan Hanoi, supaya mau mengadakan perundingan-
perundingan guna mengatasi konflik perbatasan di antara mereka.
Namun pemerintahan Hanoi tersebut ditolak oleh Phnom Penh dengan alasan bahwa
sebelum pasukan Voetnam ditarik mundur dari wilayah Kamboja, Phnom Penh tidak akan maju
ke meja perundingan. Bahkan dalam siaran radio Phnom Penh, Vietnam dituduh Kamboja telah
melakukan agresi dengan alasan dalam negerinya kacau dan kurang tersedianya persediaan
beras. Penolakan Kamboja atas perundingan yang diajukan oleh Vietnam tersebut
menyebabakan Vietnam semakin menambah jumlah pasukannya ke wilayah perbatasan.
6
Bahkan dalam siaran radio Amerika, diketahui sekitar 80.000 pasukan Vietnam telah
memasuki wilayah Kamboja dan menembus sekitar 40 sampai 60 km ke wilayah Kamboja,
tepatnya di daerah Paruh Kakaktua yang terletak di Provinsi Svey Rieng (Runtukahu, 2009).
Selain itu, pasukan Vietnam juga telah mengusai kota Neak Luong yang letaknya
sekitar 55 km dari Phnom Penh. Kota ini cukup penting karena setelah Vietnam berhasil
menguasai kota tersebut pasukan Kamboja tidak bisa memperoleh bantuan dan kiriman
pembekalan dari Phnom Penh. Akan tetapi hal tersebut belum berhasil melemahkan pasukan
Kamboja. Untuk memberikan semangat kepada pasukannya, Pol Pot melakukan propaganda
yang disiarkan melalui siaran radio Phnom Penh. Selain itu, dalam perang ini pemerintahan
Kamboja mengumumkan menggunakan “perang rakyat”, yang berarti perang total dengan
menggunakan kekuatan rakyat atau perang gerilya dalam upaya untuk menghadapi serangan
dari pasukan Vietnam. Hingga tahun 1978, perang ini belum menunjukkan tanda-tanda akan
berakhir, justru perang semakin memanas setelah Vietnam terus menambah jumlah
pasukkannya (A.R, 2009).
Dengan dukungan peralatan militer dari Uni Soviet, KNUFNS (Kampuchea National
United Front for National Salvation) atau Front Persatuan Nasional Kamboja untuk
Keselamatan Nasional yang dibentuk oleh Heng Samrin pada tanggal 3 Desember 1978
bersama dengan pasukan Vietnam melancarkan serangan besar-besaran ke daerah basis
pertahanan Khmer Merah. Hingga akhirnya pada tanggal 7 Januari 1979, pasukan pemberontak
KNUFNS yang dibantu pasukan Vietnam berhasil merebut kota Phnom Penh dan mengibarkan
bendera kebangsaan mereka di berbagai gedung pemerintahan ibukota. Dengan jatuhnya kota
Phnom Penh ke tangan KNUFHS dibantu Vietnam ini telah menandai masa berakhirnya
kekuasaan pemerintahan oleh Khmer Merah (Pol Pot). Penguasa baru di Kamboja ini
memproklamasikan diri sebagai Republik Rakyat Kamboja pada tanggal 11 Januari 1979.
Namun keberhasilan invasi Vietnam ke Kamboja ini telah membuka konflik baru
dengan RRC. Hingga pada bulan Februari 1979, RRC telah menempatkan sejumlah pesawat
tempur di wilayah perbatasan antara Vietnam dan RRC. Gerakan militer RRC ini dimaksudkan
sebagai peringatan kepada Vietnam agar segera menghentikan aksi ofensifnya terhadap
Kamboja. Sedangkan pemerintahan baru di Kamboja atau “negara boneka” bentukan Vietnam
yang dipimpin oleh Heng Samrin atau Hun Sen memperoleh simpati bahkan dukungan dari
rakyat karena dianggap sebagai dewa penyelamat bagi penduduk Kamboja dari kekuasaan
Khmer Merah. Pada masa pemerintahan Heng Samrin, ia berusaha untuk memulihkan kembali
7
negara Kamboja dengan melakukan pembangunan di segala sektor. Pembangunana lebih
diutamakan dalam sektor pertanian serta struktir dan infrastruktur yang rusak akibat perang
(Asmara, 2019).
Namun usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintahan baru Phnom Penh tersebut
banyak mengalami kegagalan tertama dalam memperoleh pengakuan dan reputasi dari dunia
internasional. Hal ini dikarenakan tindakan invasi yang telah dilakukan oleh Vietnam tidak
dibenarkan dalam dunia hukum internasional. Selain itu dalam dunia internasilan, kecaman
juga datang dari para petinggi ASEAN yang berbuntut dengan dikeluarkannya perjanjian
bersama antara Menteri Luar Negeri ASEAN. Perjanjian yang ditandatangani di Jakarta oada
tanggal 2 Januari 1979 ini berisi mengutuk intervensi bersenjata Vietnam di Kamboja,
menegaskan hak-hak rakyat KAMBOJA untuk menentukan masa depan secara bebas dari
campur tangan pihak luar dan menyerukan ditariknya semua pasukan asing dari Kamboja
(Fauzan, 2018). Akan tetapi perjanjian tersebut ditanggapi Vietnam dengan mengeluarkan
sebuah pernyataan bahwa tidakan invasi yang telah mereka lakukan ada;ah benar. Alasan dari
pembelaan ini adalah mengenai kekhawatiran Vietnam atas ekpansionis RRC melalui rezim
bonekanya Khmer Merah.
2.2. Peran Indonesia dalam Upaya Penyelesaian konflik Kamboja-Vietnam
Dari serangkaian kudeta yang telah mewarnai perjalanan politik Kamboja semakin
mencapai titik rawan dan puncaknya adalah ketika terjadi tindakan invasi yang dilakukan oleh
Vietnam terhadap Kamboja pada akhir tahun 1978. Rumitnya konflik yang telah terjadi
Kamboja ini memaksa dunia internasional seperti ASEAN untuk secepatnya mencari solusi
terbaik untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Berdasarkan prinsip-prinsip hukum
internasional, invasi yang dilakukan oleh Vietnam terhadap Kamboja merupakan sebuah
tindakan yang telah melanggar normas-norma hukum internasional atas asas “non interference
and non use of force” dan bertolak belakang dengan politik luar negeri Indonesia yang Bebas
Aktif. Dalam tatanan regional, konflik Kamboja merupaka salah satu rintangan terciptanya
zone of peace, freedom and neutrality di Asia Tenggara (ZOPTAN) serta pelanggaran atas
kesepakatan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) (A.R, 2009).
Hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Kamboja telah diresmikan sejak masa
pemerintahan Ir. Soekarno dan dilanjutkan oleh penggantinya Soeharto. Bukti kelanjutan
hubungan Indonesia dengan Kamboja pada masa pemerintahan Soeharto adalah ketika
8
menjadikan Kamboja sebagai negara Asia Tengggara pertama yang ia kunjungi ketika
menjabat sebagai presiden. Maka dari itu Indonesia sangat berkepentingan ketika terjadi
pergantian kekuasaan rezim Sihanouk ke rezim Lon Nol lewat tindakan kudeta militer pada
tahun 1970. Indonesia tetap menjalin hubungan diplomatinya dengan langsung mengakui
pemerintahan Lon Nol dengan alasan bahwa Indonesia hanya akan mengakui pemerinatahan
yang didirikan di ibukota negara yang bersangkutan dan tidak akan pernah mengakui
pemerintahan pengasingan (Runtukahu, 2009).
Namun pengakuan terhadap pemerintahan atas Lon Nol tidak juga menjamin stabilitas
dan perdamaian di Kamboja. Berdasarkan hal terse but, maka pemerintah Indonesia lewat
Menlu Adam Malik melakukan Konferensi Jakarta. Dan saat pergantian kembali kekuasaan
pemerintahan Kamboja dari rezim Lon Nol ke rezim Pol Pot, Indonesia juga tetap menjalin
hubungan diplomatik dengan negara Kamboja. Karena dari awal Indonesia hanya berkeinginan
agar Kamboja sebagai negara yang non-blok, netral, dan independen tanpa intervensi dari
kekuatan luar. Pandangan yang dijalankan oleh Adam Malik ini juga diteruskan oleh
penggantinya yakni Menlu Mochtar. Menlu Mochtar memberikan tanggapan yang cepat
melelui jalur ASEAN ketika terjadi perebutan kekuasaan Khmer Merah ke Kelompok PRK
(People's Republic of Kampuchea) yang dibantu oleh Vietnam. Perebutan kekuasaan tersebut
dipandang oleh ASEAN sebagai bentuk invasi Vietnam terhadap Kamboja (Setiawan, 2016).
Negara-negara ASEAN bahkan memiliki pandangan yang berbeda mengenai siapa
pihak yang paling berbahaya dalam konflik yang tengah terjadi di Kamboja tersebut. Namun
perbedaan tersebut tidak serta merta memecah ASEAN secara organisasi. ASEAN bahkan
terus berjuang bersama dalam berbagai sidang PBB untuk mencari solusi terbaik terkait
permasalahan atau konflik yang terjadi di Kamboja dan meminta perhatian serta bantuan
internasional terhadap masalah tersebut. Berkat perjuangan diplomatik terus meneru dan
mencari dukungan kepada negara-negara anggota PBB lainnya, ASEAN berhasil mendorong
dilahirkannya resolusi tentang pelaksanaan International Conference on Kampuchea yang
dilaksanakan di New York pada tahun 1981. Akan tetapi melalui rundingan ini juga belum bisa
memberikan dampak terhadap sikap Vietnam, oleh karena itu ASEAN menempuh strategi
diplomatik yang lain dengan mendukung pembentukan koalisi antara kelompok-kelompok anti
PRK-Vietnam yang terdiri dari Funcinpec, KPNLF, dan Khmer Merah (Fauzan, 2018).
Pembentukan Coalition Government of Democratic Kampuchea (CGDK) tersebut
bahkan mengambil tempat di negara-negara ASEAN. Dukungan ASEAN berkembang menjadi
9
dukungan internasional ketika ASEAN berhasul memperjuangkan resolusi yang mengakui
CGDK sebagai perwakilan dari Kamboja di PBB. Berdasarkan kekhawatiran bahwa Kamboja
tetap akan dibawah kuasa Vietnam, maka diplomat-diplomat ASEAN merumuskan kembali
berbagai strategi diplomatik dalam bentuk proposal perdamaian. Oleh karenanya, pada waktu
itu Indonesia menjalankan kebijakan dual track diplomacy yang berarti Indonesia mendekatkan
diri ke Vietnam dan sekaligus memperjuangkan proposal-proposal yang disetujui oleh
ASEAN. Dipertengahan tahun 1980-an, Menlu Mochtar mengajukan ide diselenggarakannya
sebuah cocktail party untuk memudahkan dan melancarkan semua pihak yang bertikai untuk
membicarakan masa depan Kamboja secara informal tanpa label politik manapun. Dan sebagai
lanjutan dari ide tersebut, Menlu Mochtar ditunjuk oleh ASEAN sebagai interculator dalam
mengadakan negosiasi dengan Vietnam (Apriani, 2013).
Dalam menjalankan fungsinya tersebut, Menlu Mochtar melakukan di berbagai
pertemuan dan pembicaraan. Dan ketika kunjungannya ke Vietnam, Menlu Mochtar dan Men
Nguyen CO Thach akhirnya melahirkan kesepakatan yang dikenal dengan Ho Chi Minh City
Understanding yang kemudian menjadi landasan dasar dari pelaksanaan cocktail party yang
kemudian disebut dengan JIM (Jakarta Informal Meeting). Jakarta Informal Meeting (JIM)
sendiri terjadi dua kali yaitu JIM I dan JIM II. JIM I dilaksanakan pada tanggal 25 sampai 28
Juli 1988 dengan dihadiri dari keempat fraksi yang bertikai yakni Funcinpec, KPNLF, Khmer
Merah, PRK, Laos, dan negara-negara ASEAN. Pembicaraan yang dilakukan dalam JIM
terjadi ke dalam dua tahap.
Tahap pertama merupakan pertemuan antara fraksi-fraksi yang ada di Kamboja (ketiga
fraksi perlawanan yang tergabung dalam pemerintahan koalisi atau CGDK dan pemerintahan
Phnom Penh dukungan Vietnam). Sedangkan tahap kedua merupakan pertemuan antara
keempat fraksi dengan pihak-pihak yang berkepentingan di Kamboja seperti Vietnam, Laos,
dan ASEAN. Dari segi materi, dalam JIM I ini lebih banyak membahas mengenai masalah
penarikan pasukan tentara Vietnam dari Kamboja serta tidak diikutsertakannya Khmer Merah
dalam upaya perdamaian di Kamboja. Berkaitan dengan masalah penarikan pasukan, Vietnam
berjanji akan menarik pasukannya dari Kamboja pada akhir September 1989, dengan syarat
Khmer Merah tidak diperbolehkan berkuasa kembali. Kedua permasalahan yang dibahas dalam
JIM tersebut belum bisa menghasilkan kesepakatan hingga berakhirnya perundingan. Hal ini
disebabkan karena sulitnya kompromi sesama fraksi yang ada di Kamboja (Antuli et al., 2019).
10
Meskipun dalam JIM I ini belum menghasilkan kesepakatan yang berarti, namun
setidaknya dalam rundingan ini telah memberikan gambaran dan memperjelas masalah-
masalah apa saja yang dihadapi di Kamboja. Setelah JIM I ini diadakan kembali perundingan
lanjutan untuk mencari solusi terbaik terkait konflik antara Vietnam dan Kamboja. Maka dari
itu pada tanggal 19 sampai 21 April 1989 diadakan JIM II dengan membahas permasalahan
mengenai penarikan pasukan Vietnam, pencegahan kembali Khmer Merah sebagai penguasa
di Kamboja serta pembentukan pemerintahan sementara di bawah Sihanouk. Masalah
mengenai penarikan pasukan Vietnam dari Kamboja, dalam JIM II ini Heng Samrin melalui
Menlunya, Hor Ham Hong, menegaskan bahwa penarikan pasukan Vietnam akan dilaksanakan
pada akhir September 1989 tanpa penyelesaian kerangka politik apapun serta tidak ada campur
tangan asing atas masalah intern Kamboja, itupun dengan konsekuensi bahwa rezim Pol Pot
tidak akan kembali berkuasa di Kamboja (Surbakti, A. Ramlan, 1986).
Masalah proses penarikan pasukan Vietnam di Kamboja ini telah ada kesepakatan
bahwa mereka akan diawasi badan internasional bernama International Control Mecanism
(ICM). Akan tetapi masalah mengenai jaminan tidak diperbolehkanya kembali berkuasanya
Khmer Merah di Kamboja belum menemui titik terangnya. Hal ini dikarenakan Khmer Merah
bersikeras mempertahankan pendapatnya kerena pemerintahannyalah yang mendapatkan
pengakuan dunia internasional. Selain itu, adanya faktor dominasi dari CGDK juga dijadikan
pegangan untuk mempertahankan eksistensi dan ambisisnya untuk dapat hidup di Kamboja.
Sehingga karena hal itu, bagaimanapun juga keberadaan Khmer Merah perlu diperhitungkan
termasuk dalam setiap pengambilan keputusan. Dalam proses pembentukan pemerintahan baru
tersebut, CGDK menuntuk agar pemerintahan Phnom Penh dibubarkan terlebuh dahulu
sebelum diadakan pemilu dan keamanan diserahkan kepada badan pengawas internasional
(Zahriyani, 2017).
Akan tetapi usulan dari CGDK tersebut tidak diterima oleh Hun Sen dikarenakan
aparatur negara yang sudah bekerja cukup lama harus dibubarkan. Selain itu dalam tubuh
CGDK sendiri terdapat kelemahan yaitu adanya Khmer Merah. Oleh karena itu, dalam JIM II
ini banyak diwarnai perbedaan pendapat yang cukup tajam diantara sesama fraksi yang ada di
Kamboja, sehingga hal ini sangat berpengaruh menghambat jalannya pertemuan tersebut.
Konflik di Kamboja ini tidak hanya menyangkut keempat fraksi tetapi juga menyangkut
dukungan pihak luar kepada fraksi-fraksi tersebut. Khmer Merah mendapat dukungan dari
Cina, Hun Sen mendapat dukungan dari Vietnam dan Uni Soviet, dan Son San mendapat
11
dukungan dari barat. Sementara dalam JIM I dan JIM II ini tidak mengundang pihak luar seperti
Cina dan Uni Soviet, kecuali hanya Vietnam, Laos dan para anggota ASEAN saja.
Sehingga dengan tidak diundangnya Cina dan Uni Soviet ini memberikan dampak
mengenai kurangnya bobot kepatuhan atas kesepakatan yang telah dicapai. Meskipun terdapat
beberapa kendala, akan tetapi dalam JIM II ini telah diperoleh dua butir kesepakatan. Pertama,
diteruskannya pembicaraan antara keempat fraksi yang bertikai untuk menyelesaikan dimensi-
dimensi internal bangsa Kamboja. Kedua, masalah penarikan pasukan Vietnam dari Kamboja
secara menyeluruh paling lambat akan dilakukan pada tanggal 30 September 1989.
Kesepakatan yang dilakukan dalam JIM I maupun JIM II dapat dikatakan kurang memuaskan
dan tidak memberikan kemajuan yang berarti bagi perdamaian di Kamboja. Akan tetapi nilai
lebih yang dihasilkan dalam JIM II ini adalah untuk menjejaki dan mendalami permasalahan
Kamboja yang sebenarnya. Oleh karena itu pertemuan JIM telah mendorong dunia
internasional untuk lebih serius dalam menangani konflik di Kamboja (Runtukahu, 2009).
Terbukti setelah JIM selesai masih diadakan perundingan-perundingan seperti
Konferensi Beijing dan Konferensi Paris. Konferensi Beijing yang dilaksanakan pada tanggal
17 Mei 1989 yang dihadiri oleh Cina dan Uni Soviet ini bertujuan untuk membahas mengenai
penyelesaian konflik di Kamboja dan juga mengenai masalah perbatasan Uni Soviet dan Cina
serta pembentukan sikap saling percaya antara kedua negara. Mengenai masalah Kamboja,
kedua negara bersama-sama ingin melakukan usaha yang serius guna memperlancar proses
perdamaian di Kamboja. Dengan adanya rintisan perdamaian RRC Uni Soviet serta adanya
tekad kedua negara untuk menciptakan perdamaian di Kamboja, maka prospek perdamaian
tergantung pada pihak interne yang bersangkutan untuk menyelesaikannya. Campur tangan
dari negara lain hanya dibatasi sebagai mediator dalam perundingan (Runtukahu, 2009).
Menindaklanjuti gagalnya pertemuan di tingkat regional (JIM I dan JIM II), maka
Indonesia dan Perancis sebagai negara yang bebas dan tidak memihak segera mengadakan
perundingan tingkat internasional yaitu dengan diselenggarakannya Konferensi Tingakt Tinggi
I yang diadakan di Paris pada tanggal 30-31 Juli 1989. Dalam pertemuan ini dihadiri oleh 20
negara termasuk Amerika Serikat, Uni Soviet, Cina, Inggris, Perancis, Australia, India, Laos,
Vietnam, negara-negara ASEAM serta delegasi dari keempat fraksi yang bertikai di Kamboja.
Dalam pertemuan ini agenda penting yang dibahas adalah seputar masalah yang dibicarakan
dalam JIM. Dengan ditandatanganinya dokumen perjanjian perdamaian Kamboja di Paris pada
12
tanggal 23 Oktober 1991 ini diharapkan dapat mengakhiri peperangan dan konflik yang terus
terjadi di Kamboja (Setyawan, 2007).
Dan berakhirnya peperangan menandai era baru di kawasan Asia Tenggara yang damai,
stabil, dan rukun demi kemajuan bersama. Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa
Indonesia memberikan peran yang cukup penting dalam upaya penyelesaian konflik di
Kamboja. Bagi kepentingan nasional, keberhasilan peran Indonesia ini merupakan
implementasi kebijakan politik luar ngeri bebas aktif yang juga menegaskan bahwa sikap non-
interference (tidak campur tangan) bukan berarti non-involvement (tidak turut serta). Indonesia
sebagai salah satu pendiri dan penggagas ASEAN merasakan dampak yang sangat positif dari
keberhasilan diplomasi tersebut. Indonesia kembali berhasil menempatkan dirinya sebagai
salah satu negara terpandang di dunia internasioanl bukan karena politik mercusuar maupun
keberpihakan terhadap salah satu blok, naum karena upaya menyelesaikan masalah di kawasan
oleh negara-negara di kawasan itu sendiri. Keberhasilan terbesar Indonesia adalah mengangkat
masalah konflik Kamboja menjadi agenda internasional yang harus dipecahkan oleh seluruh
masyarakat dunia (Runtukahu, 2009).
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kamboja juga merupakan salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang sering
dilanda konflik. Kebanyakan konflik-konflik yang terjadi Kamboja disebabkan oleh faktor
persaingan kekuasaaan antara kalangan elit yang ada. Adapun konflik yang pernah terjadi di
Kamboja ini terbagi ke dalam tiga periodesasi, yaitu konflik pada masa pemerintahan Sihanouk
pada tahun 1955-1970, masa pemerintahan Lon Nol pada tahun 1970-1975, dan masa
pemerintahan Pol Pot pada tahun 1975-1979. Pada masa pemerintahan Pol Pot inilah Kamboja
mendapatkan tindakan invasi dari Vietnam. Alasan utama terjadinya perang antara Kamboja
dan Vietnam adalah ketika tahun 1977 Kamboja memasuki Vietnam tanpa ijin di wilayah
perbatasan dengan alasan melakukan pengejaran terhadap pasukan pemberontak. Tindakan
dari Kamboja ini terntunya jelas mendapatkan perlawanan dari tentara Vietnam sehingga
perang di perbatasan inipun tidak dapat terhindarkan.
Dalam upaya penyelesaian konflik ini, Indonesia merupakan salah satu negara yang
memiliki peran penting. Keberhasilan terbesar Indonesia adalah mengangkat masalah konflik
Kamboja menjadi agenda Internasional yang harus di pecahkan oleh seluruh masyarakat dunia.
Adapun upaya dari penyelesaian konflik Kamboja-Vietnam diantaranya adalah
dilaksanakannya Jakarta Informal Meeting I dan II, Konferensi Beijing, dan yang terakhir
adalah dengan ditandatanganinya Konferensi Paris pada tanggal 23 Oktober 1991 yang
diharapkan dapat mengakhiri peperangan dan konflik yang terus terjadi di Kamboja.
3.2 Saran
Demikian pokok bahasan dari makalah penyusun yang berjudul “Peran Indonesia
dalam Upaya Penyelesaian Konflik Kamboja-Vietnam pada Tahun 1977-1989”. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi yang membaca, khususnya untuk penyusun, dan semoga makalah
ini dapat bermanfaat untuk kalangan banyak. Karena keterbatasan pengetahuan dan referensi,
penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran
dan kritik yang membangun sangat diharapkan agar makalah ini dapat disusun menjadi lebih
baik lagi dimasa yang akan datang.
14
DAFTAR PUSTAKA
A.R, M. (2009a). Peran Indonesia dalam konflik Kamboja dengan Vietnam, Maradona A.R,
FISIP UI, 2009.
A.R, M. (2009b). The Paris International Conference on Cambodia. 1.
Allo, E. A. P. B. (2013). KAMBOJA PADA MASA PEMERINTAHAN POL POT (1975-1979.
Universitas Negeri Makassar.
Antuli, R. R., Heryadi, D., & Rezasyah, T. (2019). Analisis Peran Indonesia dalam
Penyelesaian Konflik Analysis of Indonesian Role in the Conflict Resolution of
Thailand and Cambodia through the Approach of the National Role Conception.
JUPIIS : Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, 11(2), 449–459.
Apriani, R. D. (2013). Keterlibatan Uni Soviet Dan Republik Rakyat Cina Dalam
Pendudukan Vietnam Di Kamboja 1978- 1991 Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu.
Asmara, F. (2019). KEBIJAKAN CHHNAM SAUN PADA MASA REZIM KHMER MERAH
TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT KAMBOJA (1975-1979). Universitas
Pendidikan Indonesia.
Fauzan, A. A. (2018). Asean Principle: Dilemma and Necessity. WANUA: Jurnal Hubungan
Internasional, 6(1), 1–12. http://journal-
old.unhas.ac.id/index.php/wanua/article/view/4788
Runtukahu, M. A. (2009). Peran Indonesia dalam Proses Penyelesaian Konflik Kamboja
(Periode 1984-1991).
Setiawan, A. (2016). Hubungan Bilateral Vietnam - Amerika Serikat Dalam Bidang Politik
Dan Ekonomi Periode 2001-2010.
Setyawan, H. (2007). Kebijakan Pemerintahan Pol Pot di Kamboja Tahun 1975-1979. 1–
120.
Surbakti, A. Ramlan, D. (1986). KAMPUCHEA 1975-1985. Angewandte Chemie
International Edition, 6(11), 951–952., 1, 5–24.
Zahriyani, S. F. (2017). Proposal penelitian: “Revolusi Agraris” Kamboja : Kebijakan
“Chnam Saun” Pada Masa Kepemimpinan Pol Pot. Universitas Sumatera Utara.
15