The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Modul ini terdiri dari 4 bab dengan materi pembahasan yang saling berkaitan antar bab, sehingga dalam penyajiannya peserta didik diharapkan mampu memahami materi agar dapat melanjutkan ke materi di bab berikutnya. Di bab pertama akan menguraikan mengenai islam sebagai agama yang membawa pengaruh budaya dan awal mula masuknya agama islam di Indonesia, pada bab ke dua akan membahas mengenai propaganda dalam masuknya islam di Indonesia, pada bab ke tiga akan membahas mengenai kebudayaan apa saja yang akan di bawa oleh agama islam di Indonesia dan pada bab ke empat atau bab terakhir akan membahas mengenai dampak masuknya agama dan kebudayaan islam di Indonesia.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by novikurnia2018, 2024-05-19 05:39:02

MASUKNYA AGAMA ISLAM KE INDONESIA

Modul ini terdiri dari 4 bab dengan materi pembahasan yang saling berkaitan antar bab, sehingga dalam penyajiannya peserta didik diharapkan mampu memahami materi agar dapat melanjutkan ke materi di bab berikutnya. Di bab pertama akan menguraikan mengenai islam sebagai agama yang membawa pengaruh budaya dan awal mula masuknya agama islam di Indonesia, pada bab ke dua akan membahas mengenai propaganda dalam masuknya islam di Indonesia, pada bab ke tiga akan membahas mengenai kebudayaan apa saja yang akan di bawa oleh agama islam di Indonesia dan pada bab ke empat atau bab terakhir akan membahas mengenai dampak masuknya agama dan kebudayaan islam di Indonesia.

Keywords: SEJARAH,ISLAM

bangsa Arab, Persia, dan juga India. Hal ini pun terjadi di Indonesia, di mana Islam yang ada di Indonesia merupakan hasil dari proses dakwah yang dilaksanakan secara kultural, sehingga Islam di Indonesia, mampu berkembang dan menyebar serta banyak dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia dalam waktu yang cukup singkat. Karena kehadiran Islam di Indonesia yang pada saat itu budaya lokal sudah dianut masyarakat Indonesia mampu masuk secara halus tanpa kekerasan, hal ini berkat dari ajaran Islam yang sangat menghargai akan pluralitas suatu masyarakat (Baiti, R., & Razzaq, A. 2014). Banyak kajian sejarah dan kajian kebudayaan yang mengungkap betapa besar peran Islam dalam perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia. Hal ini dapat di pahami, karena Islam merupakan agama bagi mayoritas penduduk Indonesia. Bahkan dalam per- kembangan budaya daerah terlihat betapa nilainilai budaya Islam telah menyatu dengan nilai-nilai budaya di sebagian daerah di tanah air, baik dalam wujud seni budaya, tradisi, maupun peninggalan fisik. Sementara itu dalam pengembangan budaya nasional, peran Islam dalam terbentuknya wawasan persatuan dan kesatuan bangsa telah dibuktikan dalam sejarah. Islam dapat menjadi penghubung bagi berbagai kebudayaan daerah yang sebagian besar masyarakatnya adalah Muslim. Macam - macam kebudayaan yang ada di Indonesia Dari sekian banyak budaya dan tradisi Islam yang ada di Indonesia, ada beberapa budaya lokal yang ada pada sebuah masyarakat masih merupakan bagian dari tradisi dan budaya Islam. Tradisi dan budaya Islam di Indonesia terdiri dari berbagai macam seni. Mulai dari kesenian dan budaya lokal itu sendiri, seni bangunan, seni ukir atau seni lukis, seni musik dan seni tari, kemudian seni sastra atau aksara. Dan masih banyak lagi. Berikut adalah macam-macam kebudayaan Islam yang ada di Indonesia : 1. Tradisi Tabot atau Tabuik Kupatan atau Bakdo Kupat 2. Tradisi Grebeg: Grebeg pasa-syawal, grebeg besar, dan grebeg maulud Grebeg besar di Demak 3. Tradisi halal bihalal Kerobok Maulid di Kutai dan Pawai obor di Manado Rabu Kasan di Bangka Dugderan di Semarang Budaya tumpeng Sekaten di Yogyakarta 4. Tradisi Islam ibarat sebuah pohon. Akarnya berada pada wahyu, dari akar ini tumbuhlah sekian banyak cabang dan ranting. Intinya adalah agama dan getahnya mengandung barakah, kebenaran suci, abadi dan tak tergantikan, kearifan abadi, dan penerapannya yang terus berkesinambungan sesuai dengan kondisi zaman.


B. Proses Islamisasi dan Pola Pertemuan Budaya Gambar 7 : pola pertemuan budaya Sumber : (J.Noorduyn: 1964, hal 132) Kegiatan para penyebar atau pembina kehidupan keagamaan yang selalu berkeliling, penerjemahan karya sastra dan keagamaan yang selalu dijalankan oleh pusat-pusat kekuasaan, dan, terutama perdagangan jarak jauh yang telah bermula setidaknya dari abad ke-5 Masehi4 , semakin meningkatkan suasana kultural yang bercorak kosmopolitan ini. Dalam suasana ini konsep peminjaman budaya (cultural borrowing) seakan-akan tak berarti apa-apa. Semua unsur budaya, dari manapun datangnya, diperlakukan sebagai milik bersama. Yang penting, kesemua unsur yang dipakai itu komunikatif dalam hubungan antarkomunitas dan sanggup menjawab permasalahan dalam masing-masing komunitas. Pada gilirannya suasana yang kosmopolitan inipun berperan pula dalam pembentukan suasana kesezamanan dengan dunia luar, yang sewaktuwaktu juga bisa diambil sebagai model. Dalam suasana ini tentu bisa dipahami, umpamanya, bahwa seorang pengelana dan pelajar agama Cina abad ke-7, I-tsing, bisa mampir lebih dulu di Sriwijaya, dalam pelayarannya menuju Nalanda, di India. Sriwijaya, yang ketika itu bukan saja pusat perdagangan maritim, tetapi juga studi agama Buddha, dipakainya sebagai pesiapan untuk mempelajari teksteks yang lebih sukar di Nalanda (J.Noorduyn: 1964, hal 132). Suasana intelektual yang kosmopolitan ini dipupuk oleh kepentingan dagang dan kekuasaan serta dibina oleh para penguasa kota-kota pelabuhan dan bahkan, meskipun dengan intensitas berbeda, begitu juga oleh mereka yang menguasai wilayah agraris. Dalam suasana inilah secara pelan dan berangsur-angsur penetrasi Islam terjadi. Baik sebagai agama, maupun sebagai kekuatan dagang dan politik, Islam tidak memecah belah suasana kultural yang kosmopolitan ini, tetapi secara perlahan-lahan mengubah landasan ideologis dari kosmopolitanisme itu. Islam datang dan menyebar dengan memakaikan suasana yang telah lebih dahulu berkembang. Memang, sebenarnya proses Islamisasi lebih daripada Hinduisasi tidak dapat dipisahkan dari perkembangan perdagangan jarak jauh. Sudah sejak abad ke-7 dan terutama abad ke-10 para pedagang Arab dari Teluk Persia telah menjadikan perairan Nusantara sebagai tempat persinggahan dalam pelayaran perdagangan mereka ke


Cina. Maka, bisa dipahami bahwa laporan para pedagang Arab yang singgah, atau mungkin saja mendengar dari pelayar lain, tentang pulau Jawa dan Sumatera cukup banyak. Peranan pedagang Arab di perairan Nusantara semakin penting, ketika di abad ke-10, Cina melarang kedatangan pedagang Arab di pelabuhan mereka. Di saat inilah para pedagang Arab dipaksa untuk semakin aktif dalam perdagangan lokal. Sifat transformasi kebudayaan, kalau memang hal ini secara sah dapat dibicarakan, adalah masalah yang selalu memancing perdebatan akademis. Namun proses Islamisasi bagi Asia Tenggara pada tahap awal sesungguhnya berarti pengenalan dasar ideologis kosmopolitanisme yang baru dan, bersamaan dengan itu, munculnya suatu model higher civilization yang baru. Dalam artikelnya yang didukung oleh penelitian yang teliti dan argumentasi yang ketat, Andre Wink menyatakan bahwa walaupun terjadinya Islamisasi di India dan kepulauan Indonesia berlangsung setelah ambruknya kesatuan politik Abbasiah, tetapi hanya India yang menerapkan tiga aspek paradigmatis dari tradisi politik Timur Tengah. Ketiganya adalah perekonomian yang menggunakan uang dengan birokrasi dan kebijaksanaan fiskal, tampilnya aparatur militerbirokrat Islam, dan akhirnya, pola penyelenggaraan negara dengan gaya Persia. Identifikasi aspek-aspek paradigmatis itu tentu masih dapat diperdebatkan Brakel, umpamanya, menunjukkan suasana dalam kehidupan istana Aceh di abad ke-17 yang nyaris tak berbeda dengan istana Mughal namun pendapat Wink tentang perbedaan budaya dan politik dalam suasana kosmopolitan yang baru itu adalah alat analisa yang strategis. Dari konsep corak paradigmatis ini kita mendapatkan suatu kerangka teoretis untuk memahami mengapa pola tingkah laku tertentu dapat ditemukan di India, tetapi tidak di Al-Hind, di seberang Sindhu, walaupun terdapat rasa kesatuan yang diikat oleh perdagangan jarak jauh serta pengertian tentang kosmopolitanisme Islam. Sudah jelas pendapat yang mengatakan bahwa Jawa telah lebih jauh menyelam dalam proses Hinduisasi, sebelum berpindah menjadi penganut Islam, mempunyai kesahihan empiris yang tinggi. Lihat saja bekas-bekasnya, seperti yang ditampakkan oleh candi-candi yang indah, yang sampai kini—meskipun hasil rekonstruksi—masih bisa memunculkan decak kagum. Tetapi apakah kenyataan empiris tentang sedemikian dalamnya pengaruh ini atau sedemikian lamanya pengalaman sejarah berada di bawah naungan suasana Hinduistik dapat dengan begitu saja dipakai alat untuk menerangkan berbagai gejala kultural dan dinamika struktural yang dimunculkan oleh proses Islamisasi? Kalau telah dipakaikan sebagai alat pemberi keterangan, maka kelihatanlah betapa tak memadainya pengetahuan empris yang sederhana ini. Pemakaian pengetahuan empiris ini sebagai pemberi keterangan pada dasarnya tak lebih daripada sekadar pembalikan kecenderungan akademis yang menekankan akan keterputusan sejarah yang terjadi. Pemakaian pengetahuan empiris


mengingkari pandangan yang menjadikan jatuhnya Majapahit Raya dan menyebarnya Islam sebagai faktor menjadikan kontinuitas sejarah terputus. Salah satu kecenderungan akademis yang paling menonjol di kalangan generasi pertama para ilmuwan kolonial ialah melihat datangnya Islam sebagai ―penyimpangan‖ dan karena itu, terputus dari alur sejarah Indonesia dan Asia Tenggara umumnya. Sedangkan generasi yang kedua selalu menekankan kontinuitas yang terputus, betapapun kerajaan Islam muncul dan Majapahit telah jatuh.13 Jika para arkaelog seperti Krom dan Stutterheim, bahkan juga Islamolog, seperti L.W.C. van den Berg, dan lain-lain melihat kejatuhan Majapahit sebagai awal dari ―zaman baru‖ yang Islam (dan karena itu, kata van den Berg hokum Islam lah yang berlaku di kalangan pribumi), tidak demikian halnya dengan pandangan yang kemudian. Berg, Schrieke, bahkan juga Drewes, dan para pengikut mereka15menekankan persambungan yang tak terputus-putus dari sejarah Jawa. Dalam sebuah ucapan yang sampai kini dianggap klassik, karena demikian tepatnya merumuskan pandangan para ilmuwan yang terpukau dengan ide persambungan ini, van Leur16 mengatakan bahwa Islam di Jawa hanyalah ―lapisan yang maha tipis‖ di atas peradaban Jawa. Tetapi, andaikan keterangan ini benar—sesuatu yang harus diperdebatkan—apakah hal ini bisa menerangkan terjadinya perbedaan manifestasi Islam sebagai kebudayaan dan agama yang bercorak lokal dan komunitas di kalangan masyarakat Jawa. Sebagai sesuatu yang diturunkan dari masa lampau, tradisi tidak hanya berkaitan dengan landasan legitimasi tetapi juga dengan sistem otoritas atau kewenangan. Sebagai suatu konsep sejarah, tradisi dapat dipahami sebagai suatu paradigma kultural untuk melihat dan memberi makna terhadap kenyataan. Karena proses pembentukan tradisi sesungguhnya merupakan suatu proses seleksi—ketika cita-cita harus senantiasa berhadapan dengan kenyataan dan di saat kebebasan harus menemukan modus vivendi dengan keharusan stukrural—maka tradisi dapat pula dilihat sebagai seperangkat nilai dan sistem pengetahuan yang menentukan sifat dan corak komunitas kognitif, yaitu kelompok sosial yang diikat oleh pengakuan yang sama terhadap apa yang dianggap sebagai pengetahuan yang syah dan benar. Tradisilah yang memberi kesadaran identitas serta rasa keterkaitan dengan sesuatu yang dianggap lebih awal18. Dengan memakaikan istilah yang dimasyurkan oleh seorang ahli sejarah ilmu pengetahuan, Thomas Kuhn,19 tradisi, sebagaimana dipakai dalam tulisan ini, boleh juga disebut sebagai ―paradigma kultural‖, yang memberikan landasan berfikir yang bercorak taken for granted yang umum diterima oleh komunitas yang memilikinya. Sejarah adalah sebuah arena dialog yang terus-menerus antara kenyataan internal dan eksternal. Sejarah merupakan forum di mana manusia atau, bisa juga masyarakat


(sebagaimana yang selalu ditekankan oleh mazhab Annales)— sebagai aktor sejarah—mencoba memerangi segala macam hambatan dan tekanan yang menghalangi keinginannya. Dari perspektif ini, tradisi dapat dilihat sebagai suasana kebebasan manusia yang harus mengarahkan dialog terus menerus dengan kenyataan struktural dan eksternal. Karena itu upaya untuk menemukan berbagai tradisi yang mendasari berbagai masyarakat Islam yang berbeda-beda, merupakan cara untuk memahami perjalanan serta prospek sejarah masing-masing. Namun pembentukan tradisi akan lebih mungkin dipahami kalau pola perbenturan budaya, yaitu ketika Islam bertemu dengan budaya lokal, diperhatikan lebih dahulu. Karena memang ternyata juga corak perbenturan itu tidak sama. Juga pola ―ingatan kolektif‖, sebagaimana direkam oleh tradisi dan dirumuskan oleh historiografi tradisional berbeda-beda pula. C. Pola Pertemuan Budaya Menurut Tome Pires, ada tiga corak proses Islamisasi. Pertama, pedagang pedagang Muslim mendirikan pusat kekuasaan lokal yang baru. Kedua, mereka berhasil mengislamkan penguasa daerah. Dan, ketiga, seperti yang dikatakan Tome Pires dengan kasus Pasai, mereka berhasil merebut kekuasaan. Jadi bagi Tome Pires, menyebarnya Islam berkaitan erat dengan berdirinya pusat-pusat kekuasaan Islam. Dan hal ini erat pula hubungannya dengan perdagangan. Ia juga mengatakan bahwa adalah kebiasan para pedagang Muslim, jika jumlah mereka di sebuah lokalitas telah cukup banyak, untuk mendatangkan para mullah menurut istilah yang dipakai penerjemah yaitu para ulama (Taufik Abdullah: 1989, 228-230). Baik bukti arkaeologis dan kesaksian lokal maupun laporan asing adalah sumbersumber sejarah yang bercerai berai dan tak pula jarang saling meniadakan. Hal ini tentu saja sangat menimbulkan kesulitan bagi sejarawan untuk membuat rekonstruksi yang ―baku‖ tentang proses awal Islamisasi. Karena itu bisa juga dipahami bahwa walaupun telah terdapat kemajuan dalam metode dan teknik penelitian dan ditemukannya sumber-sumber sejarah baru, serta teori kebudayaan yang lebih canggih, namun Drewes, ahli terkemuka dalam bidang Islam dan filologi, akhirnya sampai juga pada sebuah kesimpulan yang agak negatif. Sebelum semua sumber-sumber Cina dan inskripsi Tamil yang relevan dapat diolah, maka kepastian sejarah mengenai proses itu akan tetap kabur sehingga yang didapatkan lebih sering bersifat perkiraan (J.Noorduyn: 1964, hal 192) Drewes mungkin benar, jika ingin menggunakan konsep Ranke mengenai rekonstruksi peristiwa pada masa lampau, maka harus menguraikan segala hal di masa lalu ―sebagaimana yang terjadi sesungguhnya‖. Namun bila disadari pula bahwa


sejarah bukanlah sekadar masalah ―kepastian sejarah‖, yang mengharuskan setiap peristiwa yang dinyatakan dapat dibuktikan dengan sumber-sumber yang jelas, melainkan juga menyangkut masalah pemahaman akan dinamika perilaku masyarakat dalam menghadapi berbagai tantangan, maka ―ingatan kolektif‖ mengenai masa lampau masyarakat yang bersangkutan berperanan penting. Ingatan adalah hasil sebuah proses seleksi. Tak semua yang dialami akan teringatlan dan tak pula semua yang teringat akan selalu direkam. Ingatan kolektif, yaitu peristiwa yang sering juga direkam oleh tradisi lisan, yang diwariskan turun temurun, bisa juga hanyalah sebuah, seperti kata Vansina, ―mirage of reality ― atau ―bayangan realitas‖jadi bukan realitas sesungguhnya tetapi, bagaimanapun juga, ia adalah realitas yang ―hidup‖ dalam kesadaran komunitas yang memilikinya. Ingatan kolektif adalah juga gambaran tentang bagaimana masa lalu itu harus ―dipahami‖, karena adalah juga bagian dari kehidupan masa kini. Begitulah, bila sejarah dapat pula dilihat sebagai suatu rangkaian peristiwa yang dikehendaki, yang menjadikan para pelaku memainkan peranan aktif, kita juga dapat beranggapan bahwa dalam proses sejarah para pelaku tidak sekadar memberi reaksi terhadap lingkungannya sendiri tetapi juga terhadap konsepnya mengenai kewajaran. Ia mungkin juga berbuat sesuai dengan apa Menurut Tome Pires, ada tiga corak proses Islamisasi. Pertama, pedagang-pedagang Muslim mendirikan pusat kekuasaan lokal yang baru. Kedua, mereka berhasil mengislamkan penguasa daerah. Dan, ketiga, seperti yang dikatakan Tome Pires dengan kasus Pasai, mereka berhasil merebut kekuasaan. Dalam pola tingkah laku, kewajaran itu didasarkan pada pengetahuan serta pandangan dunia si pelaku. Salah satu gudang atau, bisa juga disebut repository dari ingatan kolektif, pengetahuan dan pandangan masyarakat tentang struktur dan kebudayaan mereka, serta hasrat normatif dari masyarakat tradisional adalah tradisi lisan dan, terutama, historiografi tradisional. Di dalam historiografi tradisional kesemuanya tercampur baur ‗mitos‘ dalam pengertian sebagaimana masa lalu ingin dilukiskan dan dipercayai, dan ‗sejarah‘ dalam arti sebagaimana masa lalu itu secara ―riil‖ yang pernah dialami. Betapa tipis sesungguhnya batas yang memisahkan kedua hal ini,bila sejarah telah bergabung dengan mitos, maka kesemuanya adalah mitos. Bila sejarah telah diselimuti oleh segala macam corak nilai, asumsi dan aspirasi, kata seorang ahli sejarah, maka ia harus disebut saja ―masa lalu‖ atau ―the past‖ (Taufik Abdullah: 2013) Pola Islamisasi melalui konversi karaton atau pusat kekuasaan juga dapat ditemukan di kota-kota pelabuhan yang lain. Ternate dan Gowa-Tallo diislamkan oleh masyarakat dagang masing-masing, yang jumlah serta peranan politiknya terus berkembang. Melalui hubungan dagang yang erat dengan Jawa, akhirnya Ternate diislamkan. Karena keterpikatan raja Tallo, yang juga menjadi ―Perdana Menteri‖ Gowa, terhadap ajaran Islam yang disebarkan oleh masyarakat Islam, maka tahun


1605 ia menerima Islam dan membujuk raja Gowa untuk mengikutinya (Alfani Daud: 1997 hal. 521). Kebebasan budaya relatif yang dimiliki Samudera-Pasai untuk memformulasikan struktur dan sistem kekuasaan, yang mencerminkan gambaran tentang dirinya, adalah kemewahan yang mahal bagi pusat Islam di Jawa. Samudera-Pasai, yang bermula dari tradisi politik yang segmenter, kini, setelah terjadi proses pengislaman, secara teoretis dimungkinkan untuk meletakkan dasar kenegaraan yang baru. Tetapi di Jawa, kekuasaan Islam yang baru berdiri mendapatkan sebuah sistem politik dan susunan struktur kekuasaan yang telah lama mapan. Walaupun bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa komunitas pedagang Muslim telah mendapatkan tempat dalam pusat-pusat politik pada abad ke-16 dan makin membesar pada abad ke-14, tetapi baru pada abad ke-15 komunitas ini menunjukkan ancaman keagamaan dan politik bagi pusat kekuasaan, yakni karaton pusat Majapahit (Muridan Wijoyo: 2013, hal. 153). kultural masyarakat Jawa yang menerima Islam sebagai agama baru dari sebelumnya yang berkultur Hindu Buddha namun tetap menyesuaikan dengan tradisi lokal atau alam setempat. Maka dalam konteks penerjemahan Islam ke dalam budaya Jawa, pengaruh unsur luar Jawa jelas tidak bisa diabaikan. Namun justru karena itulah, kita bisa meraba bahwasanya, dalam setiap pertanggungjawaban kultural yang diperankan masyarakat Jawa, mereka selalu berinteraksi dengan tradisi di luar mereka. Bahwa di sini, budaya Jawa nyatanya juga terpengaruh unsur-unsur luar Jawa. Pun bisa juga sebaliknya, budaya Jawa yang memang dipahami begitu kokoh, akan memengaruhi budaya-budaya di luar mereka. Dalam lingkungan Karaton, pertanggungjawaban budaya diterjemahkan tidak hanya melalui bangunan karaton mereka, tapi juga pada pelaksanaan beberapa ritus keagamaan seperti sekaten, grebek, nyadrek, yang meskipun harus berkorban secara materi, mengeluarkan banyak uang untuk melakukannya, tidak pernah mereka mempermasalahkannya. Mereka hanya paham bahwa semua ritus keagamaan tersebut adalah bentuk tradisi nenek moyang yang harus tetap mereka jaga. Dalam banyak hal, beragam ritus keagamaan tersebut dipandang sebagai media pembentuk jiwa keislaman masyarakat di Jawa, khususnya di lingkungan karaton. Tentang ini, HRM Tirun Warwito, abdi dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yang juga diketahui sebagai putra dari GBPH Prabuningrat (putra Sri Sultan Hamangkubowono XIII), menjelaskan, ―Islam di Jawa, khususnya di lingkungan karaton, adalah Islam yang dibawa oleh para Wali, dalam hal ini Sunan Kalijaga. Orang tua saya selalu berkata begini, ‗nenek


moyangmu itu tidak ada yang tidak beragama Islam.‘ kalimat itu yang selalu ditanamkan kepada saya sedari kecil. Islam yang sayu anut, sejauh yang saya pahami, tidak pernah bertentangan dengan budaya lokal Jawa. Tentang ini saya begitu takjub dengan sosok Sunan Kalijaga yang dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa selalu mampu mengawinkan antara Islam dengan budaya lokal tanpa pernah menimbulkan konflik. Begitupun cara berislam orang Jawa kebanyakan, khususnya di pusat-pusat kerajaan seperti Jogya. Ritual-ritual seperti Grebek, Sekaten, atau Nyadran, merupakan warisan leluhur yang begitu berperan dalam pembentukan pribadi saya, terlebih pada pembentukan jiwa keislaman saya secara pribadi atau masyarakat Jawa pada umumnya. Itu kenapa tradisi tersebut terus kami pelihara sampai saat ini, terlebih lagi, orang tua saya juga melaksanakan ritual yang sama, dan itu sudah turun temurun dilaksanakan. Ritual Nyadran, misalnya, saya anggap sebagai pengingat diri kita dengan orang tua kita masing-masing. Karena itulah sampai kapanpun, ritualritual tersebut harus tetap kita pelihara.‖ Pernyataan ini menunjukkan betapa kalangan karaton, dan mungkin masyarakat Yogyakarta secara umum, menganggap bahwa mereka adalah sebuah kelompok masyarakat yang meskipun terbuka pada unsur-unsur tradisi baru, misalnya Islam, namun tetap tidak pernah berniat meninggalkan tradisi lama yang begitu rapih dijaga nenek moyang mereka. Dalam proses itulah dapat dipahami betapa Islamisasi Jawa nyatanya berlangsung dalam suatu proses asimilasi budaya antara sebuah tradisi baru (Islam) yang berinteraksi dan beradaptasi dengan kepercayaan lama dan telah ada jauh sebelumnya (Hindu-Buddhisme Jawa). Di sini, Islam menjadi sebuah identitas di atas bangunan budaya lama yang telah dipraktikkan masyarakat Jawa. Meskipun Hindu-Budhisme telah ada lebih dulu jauh sebelum kedatangan Islam di wilayah tersebut, namun tradisi dan kepercayaan lama tersebut faktanya tidak menjadi halangan berarti bagi proses Islamisasi. Bahkan identitas kejawaan dan keislaman berkompetisi di ruang publik. Gambar 8: masjid gedhe kauman Sumber: kompas.com


Bahasan menarik terkait fenomena tersebut diberikan oleh Ricklefs (2006). Menurutnya, selain memperlihatkan konflik dan pertarungan, proses Islamisasi yang berlangsung selama berabad-abad di tanah Jawa menjadi bukti bagi akomodasi dan rekonsiliasi kejawaan yang mewarisi tradisi HinduBuddha, dengan Islam. Dalam analisa Ricklefs (2006), Islamisasi Jawa di masa awal, dari rentang abad ke-14 sampai abad ke-20, disemarakkan oleh adanya adaptasi, konflik, dan rekonsiliasi hingga melahirkan perpaduan ‗mistik sintesis‘ (dari abad ke-14 sampai awal abad ke19). Pola keagamaan ‗mistik sintesis‘ ini dalam analisa Ricklefs mencapai bentuk matangnya dalam Serat Centhini dan kehidupan Diponegoro, sebuah bentuk religiositas yang disebutnya merupakan hasil dari proses historis yang kompleks: keterbukaan Hindu-Jawa terhadap kekuatan-kekuatan spiritual baru, hadirnya Islam di pusat kerajaan di Jawa, serta ancaman VOC Belanda terhadap masyarakat Jawa dan intervensinya ke dalam Kerajaan Mataram pada awal abad ke-17 dan akhir abad ke-18. Demikianlah, pertanggungjawaban kultural masyarakat atas konversi yang telah dilakukan, pada ghalibnya akan mengikuti skema yang telah ada— umumnya berubah menjadi sebuah tradisi—dan dalam batas tertentu akan terejawantahkan dalam sebuah ritual keagamaan. Di masyarakat Sasak, Lombok, misalnya, pertanggungjawaban kultural mereka diterjemahkan dalam sebuah kebiasaan keagamaan Islam wetu telu, sebuah tradisi keagamaan yang masih melestarikan dan melaksanakan ritual tradisional pemujaan terhadap para leluhur seperti yang dilakukan oleh masyarakat sebelum Islam. Meskipun mengakui bahwa diri mereka beragama Islam, namun mereka menganggap mengikuti aturan-aturan yang terdapat dalam al-Quran dan Hadis bukanlah sebuah keharusan sehingga ritual-ritual keagamaan tidak dianggap sebuah kewajiban. Di Pariaman, Sumatera Barat, tradisi ini dikenal dengan nama ―Tabuik‖. Masyarakat Minangkabau mengenal Tabuik sebagai pesta rakyat yang tiap tahun digelar di Kota Pariaman. Menurut beberapa sumber, Tabuik masuk ke Pariaman sekitar tahun 1831 M, dibawa oleh Pasukan Tamil Muslim Syi‘ah dari India. Prosesi ini adalah bentuk kegiatan mengenang kejadian di hari Asyura atau 10 Muharram; khususnya mengenang cucu nabi Muhammad Saw, Imam Husein, yang tewas di Padang Karbala. Awalnya kegiatan semacam ini adalah ritual yang dilakukan oleh kelompok Muslim Syi‘ah; pengikut setia Ali bin Abu Talib (ayah Husein). Meskipun kelompok Syi‘ah tidak berkembang di Minangkabau, khususnya Pariaman, tapi tradisi Tabuik ini tetap bertahan hingga sekarang. Walau ada sebagian orang beranggapan bahwa ruh awal dari lahirnya ritual tersebut telah hilang sebagian.


Gambar 9: festival budaya tabuik pariaman Sumber: kompas.com Sumber lain mengatakan bahwa Tabuik adalah kebudayaan yang berkembang dari kebudayan provinsi tetangga Sumatera Barat, Bengkulu. Di daerah ini juga ada tradisi yang serupa dengan Tabuik Pariaman; dikenal dengan sebutan ―Tabot‖ yang menurut perkiraan masyarakat setempat, sudah dilaksanakan sebelum adanya Tabuik Pariaman, atau kira-kira tahun 1685 M. Bukan hanya di Bengkulu, prosesi Tabuik juga amat mirip dengan sebuah ritual 10 Muharam yang dilakukan oleh masyarakat di negara Iran; negara muslim Syi‘ah. Seperti halnya ritual Tabuik sebagai pagelaran rekontruksi ulang kejadian pembantaian Imam Husein dan pasukannya di Padang Karbala, maka di Iran ada pagelaran serupa yang diberi nama Ta‘ziyeh. Bila dulu Tabuik sebagai simbol ritual bagi pengikut Syi‘ah dalam upaya mengumpulkan potongan-potongan tubuh Imam Husein dan selama ritual itu para peserta berteriak ―Hayya Husein, hayya Husein, (hidup Husein).‖Tapi di Pariaman, teriakan tersebut telah berganti. Di sana, para pengusung dan peserta Tabuik akan berteriak ―Oyak Husein, oyak Husein,‖ sembari menggoyang-goyangkan menara Tabuik yang berbentuk menara dengan sayap dan sebuah kepala manusia. Tabuik/Tabot adalah sebuah ritual yang dilakukan secara sadar sebagai bentuk pertanggungjawaban kultural mereka dalam menjaga tradisi nenek moyang. Di sini, terjadilah kemudian interaksi sosial budaya antar masyarakat di berbagai wilayah yang disatukan dalam sebuah tradisi yang sama, Tabuik/Tabot. Dari sana, setidaknya bisa dipahami betapa ritual, seperti kasus Tabuik/Tabot, nyatanya dilakukan secara horizontal, antara masyarakat di satu pulau dengan masyarakat di pulau lain. Dengan pengalaman tersebut, mereka seperti sebagai bagian dari sebuah komunitas yang mempraktekkan tradisi yang sama, meskipun mereka terpisah secara geografis. Dengan fakta di atas, Islam pada titik tertentu bersifat saling memengaruhi. Bahwa sangat mungkin, tradisi Islam yang tumbuh dan ada di wilayah tertentu dipengaruhi oleh tradisi Islam di wilayah lain. Ini pula yang berlaku, misalnya, pada kasus ide


keislaman. Dalam kenyataannya, ada beberapa ide keislaman di Sumatera yang masuk ke Jawa atau daerah lain. Juga sangat mungkin bahwa ide keislaman di Kalimantan dipengaruhi oleh ide keislaman yang terdapat di wilayah-wilayah Melayu dan sebagainya. Tentang ini, harus ada penelitian kembali secara mendalam. Juga dalam kerangka pertanggungjawaban kultural umat Muslim dalam menjaga tradisi nenek moyang, hal yang juga dilakukan oleh banyak masyarakat adalah menjadikan teks keagamaan sebagai media penyempurna ritual. Terkait ini, kasus menarik bisa diamati dalam kasus pengunaan teks Puspakrema dalam tradisi Pepaosan masyarakat Sasak, Lombok. Pepaosan adalah tradisi pembacaan teks karya sastra yang dilakukan oleh kelompok pribumi. Tradisi ini dilakukan untuk menyambut fase-fase tertentu dalam kehidupan manusia, berdoa untuk kesuburan lahan pertanian, saat mengunjungi makam para leluhur, serta beberapa upacara adat lainnya. Dalam pelaksanaannya, tradisi ini dipimpin oleh pemaos yang menyanyikan teks dalam bahasa Jawa. Mengherankan memang karena teks yang dibacakan tidak berbahasa Sasak melainkan berbahasa Jawa, meskipun hingga kini belum diketahui penyebab hal ini terjadi.59Agar pesan-pesan dalam teks tersebut dapat diterima oleh pendengar, dibutuhkan peran seorang pujangga dalam tradisi tersebut yang bertugas untuk memberikan interpretasi atas teks yang dibacakan oleh pemaos dalam bahasa Sasak. Kemudian tradisi ini disempurnakan oleh keberadaan penyokong yang mengiringi pemaos dengan alunan musik. Ketiganya berada di depan masyarakat lainnya yang mendengarkan pembacaan pepaosan ini di sebuah tempat yang spesial bernama paosan. D. Forum Disukusi Setelah mempelajari mausknya kebudayaan islam di Indonesia, lakukan diskusi bersama temanmu untuk membahas mengenai kebudayaan islam di Indonesia apakah ada kaitannya dengan penjajah dan perdagangan yang terjadi pada masuknya islam di Indonesia! E. Rangkuman Agama Islam sejak kehadiranya di muka bumi ini, telah memainkan peranannya sebagai salah satu agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Ini, tentunya membawa Islam sebagai bentuk ajaran agama yang mampu mengayomi keberagaman umat manusia dimuka bumi ini. Islam sebagai agama universal sangat menghargai kebudayaan yang ada pada suatu masyarakat, sehingga kehadiran Islam di tengahtengah masyarakat tidak bertentangan, melainkan Islam dekat dengan kehidupan


masyarakat, di sinilah sebenarnya, bagaimana Islam mampu membuktikan dirinya sebagai ajaran yang lentur di dalam memahami kondisi kehidupan suatu masyarakat. Kedatangan Islam juga telah membawa Indonesia kepada kemajuan dan juga kecerdasan yang nyata. juga telah banyak meubah kehidupan sosial budaya dan juga tradisi kerohanian yang ada di Indonesia. dengan adanya pengaruh ajaran agama Islam Indonesia menjadi lebih maju dalam bidang perdagangan terutama dalam hubungannya dengan perdagangan internasional dengan Timur Tengah. Khususnya bangsa Arab, Persia, dan juga India. Hal ini pun terjadi di Indonesia, di mana Islam yang ada di Indonesia merupakan hasil dari proses dakwah yang dilaksanakan secara kultural, sehingga Islam di Indonesia, mampu berkembang dan menyebar serta banyak dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia dalam waktu yang cukup singkat. Karena kehadiran Islam di Indonesia yang pada saat itu budaya lokal sudah dianut masyarakat Indonesia mampu masuk secara halus tanpa kekerasan, hal ini berkat dari ajaran Islam yang sangat menghargai akan pluralitas suatu masyarakat. Sifat transformasi kebudayaan, kalau memang hal ini secara sah dapat dibicarakan, adalah masalah yang selalu memancing perdebatan akademis. Namun proses Islamisasi bagi Asia Tenggara pada tahap awal sesungguhnya berarti pengenalan dasar ideologis kosmopolitanisme yang baru dan, bersamaan dengan itu, munculnya suatu model higher civilization yang baru. Dalam artikelnya yang didukung oleh penelitian yang teliti dan argumentasi yang ketat, Andre Wink menyatakan bahwa walaupun terjadinya Islamisasi di India dan kepulauan Indonesia berlangsung setelah ambruknya kesatuan politik Abbasiah, tetapi hanya India yang menerapkan tiga aspek paradigmatis dari tradisi politik Timur Tengah. Ketiganya adalah perekonomian yang menggunakan uang dengan birokrasi dan kebijaksanaan fiskal, tampilnya aparatur militerbirokrat Islam, dan akhirnya, pola penyelenggaraan negara dengan gaya Persia. Identifikasi aspek-aspek paradigmatis itu tentu masih dapat diperdebatkan Brakel, umpamanya, menunjukkan suasana dalam kehidupan istana Aceh di abad ke-17 yang nyaris tak berbeda dengan istana Mughal namun pendapat Wink tentang perbedaan budaya dan politik dalam suasana kosmopolitan yang baru itu adalah alat analisa yang strategis. Dari konsep corak paradigmatis ini kita mendapatkan suatu kerangka teoretis untuk memahami mengapa pola tingkah laku tertentu dapat ditemukan di India, tetapi tidak di Al-Hind, di seberang Sindhu, walaupun terdapat rasa kesatuan yang diikat oleh perdagangan jarak jauh serta pengertian tentang kosmopolitanisme Islam. Pola Islamisasi melalui konversi karaton atau pusat kekuasaan juga dapat ditemukan di kota-kota pelabuhan yang lain. Ternate dan Gowa-Tallo diislamkan oleh masyarakat dagang masing-masing, yang jumlah serta peranan politiknya terus berkembang. Melalui hubungan dagang yang erat dengan Jawa, akhirnya Ternate diislamkan. Karena keterpikatan raja Tallo, yang juga menjadi ―Perdana Menteri‖


Gowa, terhadap ajaran Islam yang disebarkan oleh masyarakat Islam, maka tahun 1605 ia menerima Islam dan membujuk raja Gowa untuk mengikutinya F. Tes Formatif 1. Identifikasilah berbagai dampak islamisasi bagi kebudayaan Indonesia! 2. Identifikasilah berbagai dampak positif yang terjadi akibat pengaruh budaya islam di Indonesia! 3. Apa yang menjadi latar belakang islamisasi di Indonesia berlangsung! 4. Apa yang menjadi latar belakang masyarakat Indonesia memeluk agama islam! G. Inquiry Learning Melalui materi yang telah disampaikan pada bab III, peserta didik diharapkan mampu untuk menyelesaikan kasus yang diberikan. Untuk itu silahkan cermati petunjuk soal dibawah ini: a) Petunjuk mengerjakan soal: 1. Peserta didik memahami materi yang telah dipelajari tentang masuknya kebudayaan islam di Indonesia. 2. Baca dan pahami dengan seksama kasus yang telah diberikan. 3. Setelah dibaca dan dipahami jawablah pertanyaan dengan tepat dan benar. b) Kasus: masuknya kebudayaan islam di Indonesia Agama Islam sejak kehadiranya di muka bumi ini, telah memainkan peranannya sebagai salah satu agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Ini, tentunya membawa Islam sebagai bentuk ajaran agama yang mampu mengayomi keberagaman umat manusia dimuka bumi ini. Islam sebagai agama universal sangat menghargai kebudayaan yang ada pada suatu masyarakat, sehingga kehadiran Islam di tengahtengah masyarakat tidak bertentangan, melainkan Islam dekat dengan kehidupan masyarakat, di sinilah sebenarnya, bagaimana Islam mampu membuktikan dirinya sebagai ajaran yang lentur di dalam memahami kondisi kehidupan suatu masyarakat. Kedatangan Islam juga telah membawa Indonesia kepada kemajuan dan juga kecerdasan yang nyata. juga telah banyak meubah kehidupan sosial budaya dan juga tradisi kerohanian yang ada di Indonesia. dengan adanya pengaruh ajaran agama Islam Indonesia menjadi lebih maju dalam bidang perdagangan terutama dalam hubungannya dengan perdagangan internasional dengan Timur Tengah. Khususnya bangsa Arab, Persia, dan juga India. Hal ini pun terjadi di Indonesia, di mana Islam yang ada di Indonesia merupakan hasil dari proses dakwah yang dilaksanakan secara kultural, sehingga Islam di Indonesia, mampu berkembang dan menyebar serta banyak dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia dalam waktu yang cukup singkat.


Karena kehadiran Islam di Indonesia yang pada saat itu budaya lokal sudah dianut masyarakat Indonesia mampu masuk secara halus tanpa kekerasan, hal ini berkat dari ajaran Islam yang sangat menghargai akan pluralitas suatu masyarakat. Sifat transformasi kebudayaan, kalau memang hal ini secara sah dapat dibicarakan, adalah masalah yang selalu memancing perdebatan akademis. Namun proses Islamisasi bagi Asia Tenggara pada tahap awal sesungguhnya berarti pengenalan dasar ideologis kosmopolitanisme yang baru dan, bersamaan dengan itu, munculnya suatu model higher civilization yang baru. Dalam artikelnya yang didukung oleh penelitian yang teliti dan argumentasi yang ketat, Andre Wink menyatakan bahwa walaupun terjadinya Islamisasi di India dan kepulauan Indonesia berlangsung setelah ambruknya kesatuan politik Abbasiah, tetapi hanya India yang menerapkan tiga aspek paradigmatis dari tradisi politik Timur Tengah. Ketiganya adalah perekonomian yang menggunakan uang dengan birokrasi dan kebijaksanaan fiskal, tampilnya aparatur militerbirokrat Islam, dan akhirnya, pola penyelenggaraan negara dengan gaya Persia. Identifikasi aspek-aspek paradigmatis itu tentu masih dapat diperdebatkan Brakel, umpamanya, menunjukkan suasana dalam kehidupan istana Aceh di abad ke-17 yang nyaris tak berbeda dengan istana Mughal namun pendapat Wink tentang perbedaan budaya dan politik dalam suasana kosmopolitan yang baru itu adalah alat analisa yang strategis. Dari konsep corak paradigmatis ini kita mendapatkan suatu kerangka teoretis untuk memahami mengapa pola tingkah laku tertentu dapat ditemukan di India, tetapi tidak di Al-Hind, di seberang Sindhu, walaupun terdapat rasa kesatuan yang diikat oleh perdagangan jarak jauh serta pengertian tentang kosmopolitanisme Islam. c) Pertanyaan: Pada awalnya kedatangan para penyebar islam di Indonesia baik yang berdagang maupun pendakwah bertujuan agar penyebaran agama islam dapat berlangsung dengan baik, hingga Indonesia sapai saat ini memiliki masyarakat yang mayoritas beragama islam. Mengapa terjadi demikian? Apakah rakyat Indonesia pada massa lalu hingga saat ini masih menggunakan kebudayaan islam sebagai bentuk cintanya kepada tuhan, jika iya berikan contohnya?


Daftar Pustaka: Mattulada, ―Islam di Sulawesi Selatan,‖ dalam Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: YIIS & CV.Rajawali, 1983), hal. 220-221. J.Noorduyn, Sejarah Agama Islam di Sulawesi Selatan, (Jakarta, 1964), hal. 90, seperti dikutip Mattulada, Islam di Sulawesi Selatan,.hal. 221 Wawancara dengan Taufik Abdullah di Bogor, 22 Juni 2013. Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar; Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hal. 521 J.J. Rass, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Histiography, (The Hague : Martinus Nijhoff, 1968), hal. 426-441, Jones, ―Ten Conversion Myths from Indonesia‖…. hal. 146-147. Daud, Islam dan Masyarakat Banjar hal. 521 Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan,… hal. 102. C.A. Mees, De Kroniek van Koetai (Santpoort, 1935), hal. 53,110, 111, 266, seperti dikutip Jones, ―Ten Conversion Myths from Indonesia‖ hal. 147-148. Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid IV, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1961), hal. 43. M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250- 1950, (Jakarta: KPG, 2010), hal. 62-63. Muridan Wijoyo, Pemberontakan Nuku. Persekutuan Lintas Budaya di Maluku Papua Sekitar 1780-1810 (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), hal. 153 Muridan Wijoyo, ibid., hal. 154. 32 Muridan Wijoyo, ibid., hal. 153. P.A. Leupe, De Reizen der Nederlaas naar Niuew-Guinea en Papoesche Eilanden in de 17de en 18de eeuw dalam BKI 21, 1875.


Leonard Y Andaya, The World of Maluku: Eatern Indonesia in the early Moderin Period (Honolulu: University of Hawai Press, 1993)


BAB IV DAMPAK MASUKNYA AGAMA DAN KEBUDAYAAN ISLAM DI INDONESIA Pada bab ke empat ini akan membahas mengenai dampak masuknya agama dan kebudayaan islam di Indonesia. Pada bab ini peserta didik akan diberikan pemahaman mengenai dampak masuknya agama dan kebudayan islam di Indonesia. Untuk membekali peserta dididk dalam memahami materi pada bab VI ini, diakhir pembelajaran peserta didik akan diajak untuk berdiskusi dan menjawab tes formatif. Kemudian untuk meningkatkan kemampuan dan pemahaman, seluruh peserta didik juga diminta untuk menganalisis kasus yang diberikan sesuai dengan materi pada bab VI ini yaitu dampak masuknya agama dan kebudayaan islam di Indonesia untuk mengukur kemampuan peserta didik dalam memahami materi yang akan diberikan. Campaian Pembelajaran: Ditinjau dari materi pada bab VI ini, peserta didik bisa mendapatkan pemahaman dari materi masuknya agama dan kebudayaan islam di Indonesia secara lebih rinci, setelah memahami materi pada e modul ini peserta didik dapat mendeskripsikan berbagai dampak masuknya agama dan kebudayaan islam di Indonesia. Pengalaman Belajar: Pengalaman belajar yang akan didapat peserta didik: 1. Apa dampak masuknya agama islam di Indonesia. 2. Mengetahui dampak positif kemoderenisasi agama islam di Indonesia. 3. Mengetahui dampak bidang social budaya di Indonesia. 4. Mengetahui dampak penyebaran islam di Indonesia. 5. Mengetahui dampak kebudayaan di Indonesia.


Dampak Agama islam di Indonesia Berkembangnya ajaran Islam tidak lepas dari pengaruh kekuasaan Islam yang mengalami perluasan wilayah. Khulafa ar-Rasyidin merupakan pelopor ketercapaian hal tersebut, yang dilanjutkan oleh Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Perkembangan dan perluasan tersebut tidak hanya terjadi di Jazirah Arab, sebagai tempat lahirnya Islam, melainkan sampai ke wilayah Nusantara yang dikenal sekarang dengan Indonesia. Sejarahwan berpendapat bahwa masuknya Islam ke Indonesia terjadi pada awal-awal abad hijriah. Ibnu Batutah, seorang pengembara dari Maroko, menuturkan di dalam bukunya bahwa penduduk pulau-pulau yang dikunjunginya pada umumnya telah memeluk agama Islam dengan madzhab Syafi‘i. Sultan Malik Dzahir Syah digambarkannya sebagai seorang pemimpin (raja/sultan) dan faqih (ahli dalam ilmu fiqih), atau seorang faqih yang raja. Selain itu terdapat penemuan batu nisan seorang wanita muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun dekat Surabaya bertahun 475 H atau 1082 M. Daerah yang pertama-pertama dikunjungi ialah : 1. Pesisir Utara pulau Sumatera, yaitu di Peurlak Aceh Timur, kemudian meluas sampai bisa mendirikan kerajaan Islam pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara. 2. Pesisir Utara pulau Jawa kemudian meluas ke Maluku yang selama beberapa abad menjadi pusat kerajaan Hindu yaitu kerajaan Maja Pahit. Bukti lain kentalnya ajaran Islam di Indonesia adalah gambaran yang diceritakan oleh Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental bahwa terdapat satu daerah bernamakan Pase (Pasai) sebagai sebuah kota kosmopolitan, yang didiami oleh muslim beretnis Bengal. Bukti terakhir muncul dari catatan sejarah Dinasti Sung dari Cina yang menyatakan bahwa telah ditemukan indikasi adanya perkampungan bangsa Arab di wilayah yang dikenal saat ini sebagai Sumatera. Gresik memiliki bukti bukti tertua tentang adanya masyarakat muslim, dengan ditemukannya sebuah batu kubur bertuliskan Arab Khufi yang memiliki angka tahun tertua di Indonesia. Pedagang Timur Tengah4 merupakan pelopor membawa ajaran Islam ke wilayah Aceh. Sejarah pun mencatat Islam mulai masuk dan berkembang di Indonesia pada Abad ke tiga belas. Saat itu penyebar agama Islam berasal dari tanah Gujarat, Gowa, maupun Lahore, mayoritas dari mereka adalah para pedagang. Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke tiga belas merupakan perintis dan pelopor kerajaan Islam di Indonesia pada saat itu, kemudian diikuti oleh Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik, dan beberapa kerajaan lainnya. Aceh menjadi daerah pertama


masuknya Islam ke Nusantara pada abad 1 Hijriah, dibuktikan dengan terdapatnya makam raja Samudera Pasai yang dikenal dengan Malik al-Shaleh (Malikus Shaleh) (668-1245 H/1298-1326 M).6 Pedagang-pedagang muslim dari Arab, Persia, dan India pada Abad ke-7 M (H) telah melakukan aktifitas ekonomi berdagang dengan masyarakat asli Indonesia jauh sebelum ditakluknya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 M. Malaka pada saat itu merupakan pusat utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran yang membawa hasil hutan dan rempah-rempah dari seluruh Nusantara ke Cina dan India. Keadaan ini menempatkan Malaka pada saat itu sebagai mata rantai pelayaran yang penting dalam penyebaran Islam di Indonesia. Pengaruh Islam terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia tidak dapat dinafikan keberadaannya. Munculnya nilai-nilai Islam tidak hanya mempengaruhi politik Indonesia yang mengenal partai-partai yang berbasis ajaran Islam, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan Indonesia. Bidang ekonomi menjadi bagian lain dari akulturasi sistem ekonomi dengan Islam sebagai suatu ajaran hidup manusia, dengan munculnya ekonomi Syariah sebagai salah satu sistem ekonomi yang berkembang di Indonesia sejak tahun 1992. Hukum menjadi bagian lain yang terpengaruh atau dipengaruhi ajaran Islam, dengan munculnya lembaga-lembaga hukum yang diatur melalui konsepsi aturan Islam, seperti wakaf, perkawinan, perceraian dan waris. Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan hukum Islam sebagai bagian dari tata hukum Indonesia, dengan menempatkan kedudukan agama menjadi rujukan untuk tercapainya tujuan negara. Tujuan ini dibentuknya Negara seperti dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-Empat, ditempuh dengan jalan melandasinya dengan satu dasar, ialah Pancasila. Satu di antaranya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan perwujudan diakuinya hak hidup untuk agama. Hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh alIslami, dalam istilah hukum Barat dikenal dengan Islamic Law. Dalam al-Qur‘an maupun Sunnah tidak dijumpai istilah hukum Islam, yang digunakan adalah kata syari‘ah yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh. Antara syariah dan fiqh memiliki hubungan yang sangat erat. Syariah tidak dapat dipahami dengan baik tanpa melalui fiqh atau pemahaman yang memadai, dan diformulasikan secara baku. Fiqh sebagai hasil usaha ijtihad, sangat dipengaruhi oleh tuntutan ruang dan waktu yang meliputi faqih (jamak fuqaha) yang memformulasikannya. Karena itulah, sangat wajar jika kemudian terdapat perbedaan dalam rumusan fikih di antara para ulama. Ajaran Islam mempengaruhi tata hukum di Indonesia baik hukum tertulis, maupun hukum tidak tertulis. Islam memberikan kebijaksanaan dalam menerapkan aturan


ajaran Islam di dalam kehidupan bermasyarakat yaitu melalui kebijaksanaan tasyri‘, taklif dan tathbiq. Kebijaksanaan tasyri‘ adalah kebijaksanaan pengundangan suatu aturan hukum Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Kebijaksanaan taklif adalah kebijaksaan dalam penerapan suatu ketentuan hukum terhadap manusia sebagai mukallaf (subjek hukum) dengan melihat kepada situasi dan kondisi pribadi manusia itu; melihat kemampuan fisik, biologis dan dan rohani; mempunyai kebebasan bertindak dan mempunyai akal sehat. Kebijaksanaan tathbiq adalah kebijaksanaan perlakuan dan ketentuan hukum yang dapat saja berbeda dengan hukum perbuatan itu bagi orang lain. Hukum Islam bertujuan untuk memudahkan umat dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Islam adalah agama yang sempurna. Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah (hablumminallah), hubungan antarsesama manusia (hablumminannas), dan hubungan manusia dengan alam (hablumminal ‗alam). Dalam hubungan itu, Allah menetapkan aturan-aturan hukum yang harus diikuti, ditaati, dan dipatuhi oleh umat Islam. Aturan hukum itu bertujuan agar manusia hidup teratur, damai, dan adil. Islam yang telah memasuki sendi-sendi kehidupan Bangsa Indonesia sejak awal abad ke satu Hijriah (tujuh Masehi) memberikan dampak yang luar biasa terhadap perkembangan hukum yang kita kenal dengan hukum Islam dalam term keIndonesiaan. Tulisan ini bertujuan memaparkan pengaruh Islam yang memiliki peran begitu besar terhadap perkembangan dan pembangunan hukum nasional, terutama berkaitan dengan hukum bagi muslim di Indonesia. Metode yuridis normatif dengan pendekatan historis merupakan metodelogi yang digunakan dalam tulisan ini. Yuridis normatif ditujukan untuk menganalisis bahanbahan hukum yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Pendekatan historis dimaksudkan untuk memahami filosofis aturan hukum/hukum dari waktu ke waktu15 dalam ruang lingkup hukum Islam di Indonesia. A. Dampak keagamaan islam yang ada di Indonesia


Gambar 10: dampak masuknya islam bagi masyarakat Indonesia Sumber: (portal kelas) Pasca kemerdekaan Indonesia dari Belanda setelah Perang Dunia ke II (dua), keterpisahan sistem hukum dalam badan peradilan menjadi bagian yang mendapatkan perhatian dari tokoh-tokoh pemimpin Indonesia pada saat itu. Tahun 1948 terdapat aturan memerintahkan peleburan Pengadilan Agama kepada Pengadilan Umum (civil courts), akan tetapi pelaksanakaannya tidak dapat dilakukan karena revolusi yang terjadi pada saat itu. Badan peradilan agama dapat terealisasikan keberadaannya pada tahun 1957, dengan mendapatkan persetujuan dari kabinet melalui peraturan pemerintah yang memberikan wewenang untuk pembentukan Pengadilan Agama di wilayah yang belum memilikinya. Aturan ini pula memberikan kewenangan untuk mendirikan Pengadilan Agama bersamaan dengan pengadilan umum yang telah ada sebelumnya, dan memiliki wilayah kewenangan absolut dan kewenangan relatif layaknya pengadilan umum. Kewenangan mengadili yang diberikan kepada Pengadilan Agama melalui Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957, berupa penyelesaian sengketa dalam perkawinan (perkawinan, perceraian, dan rujuk), waris, hadanah, wakaf, hibah, dan sedekah. Sebagai konsekuensi, beberapa pengadilan pribumi yang telah ada di daerah-daerah tertentu di Indonsesia melebur dan bertransformasi menjadi Pengadilan Agama. Kedudukan Pengadilan Agama dalam sistem peradilan di Indonesia sebagai lembaga yang independen, dikuatkan dengan lahirnya UndangUndang No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. Undang-undang ini ditujukan untuk memberikan keleluasaan bagi Pengadilan Agama untuk melaksanakan setiap


keputusan yang lahir dari persidangan, karena sebelum munculnya undangundang ini setiap putusan yang dikeluarkan olehnya memerlukan persetujuan dan pengukuhan dari Pengadilan Umum/Pengadilan Tata Usaha Negara. Perubahan lain yang muncul setelah kemerdekaan adalah lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991,40 yang menjadi acuan dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama berkaitan dengan perkawinan, waris dan harta perkawinan.41 Kehadiran Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan rangkaian sejarah hukum nasional dalam mengungkapkan ragam makan kehidupan masyarakat Islam Indonesia, terutama tentang: 1. Adanya norma hukum yang hidup dan ikut serta bahkan mengatur interaksi sosial. 2. Aktualnya dimensi normatif akibat terjadinya eksplanasi fungsional ajaran Islam yang mendorong terpenuhinya tuntutan kebutuhan hukum. 3. Alim ulama Indonesia mengantisipasi ketiga hal di atas dengan kesepakatan bahwa KHI adalah rumusan tertulis hukum Islam yang hidup seiring dengan kondisi hukum dan masyarakat Indonesia. Pada peradilan agama sendiri, terdapat 13 buah kitab fikih bermazhab Syafi‘i sebagai sumber hukum materiil untuk menyelesaikan perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama.43 Keanekaragaman kitab fikih sebagai sumber hukum untuk memutuskan perkara di Pengadilan Agama berimplikasi terhadap kemungkinan terjadinya perbedaan putusan atau disparitas antar Pengadilan Agama satu wilayah dengan wilayah lainnya untuk perkara yang sama. Keadaan inilah yang menjadi salah satu alasan untuk dilakukannya unifikasi hukum Islam khususnya di bidang hukum keluarga. Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari tiga buku mencoba menjawab permasalahan ini. KHI disusun dan dirumuskan untuk mengisi kekosongan hukum substansial pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Pemberlakuan KHI memberikan tempat secara yuridis bahwa hukum Islam di bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan menjadi hukum positif tertulis dalam sistem hukum nasional (tata hukum Indonesia). Ia menjadi dasar untuk pengambilan keputusan hukum terhadap perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.


Bagi mereka yang berperkara di Pengadilan Agama, dapat melakukan pembelaan dan segala upaya untuk mempertahankan hak dan kewajibannya dengan tidak boleh menyimpang dari kaidah Kompilasi Hukum Islam. KHI memberikan acuan pada proses persidangan bahwa para pihak tidak boleh mempertentangkan pendapat-pendapat yang terdapat dalam kitab fiqih tertentu. Begitu pula dengan penasihat hukum, mereka hanya diperkenankan mengajukan tafsir dengan bertitik tolak dari rumusan Kompilasi Hukum Islam. Semua pihak yang terlibat dalam proses di Peradilan Agama, sama-sama mencari sumber dari muara yang sama yaitu Kompilasi Hukum Islam. Pengaruh Islam terhadap hukum di Indonesia mulai terasa dengan munculnya Hukum Islam sebagai suatu sistem yang bermula dan dimulai pada saat datangnya para cendekiawan dan pedagang muslim ke Indonesia. Melalui peran keduanya Islam dapat tumbuh dan berkembang. Hukum Islam mulai diperkenalkan dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat pada saat itu bersamaan dengan hukum adat yang telah ada jauh sebelum masuknya Islam. Pengaruh hukum Islam mulai berkurang ketika masuknya Belanda dan menerapkan teori receptie. Teori ini menekan keberlakuan serta penerapan hukum Islam bagi muslim Indonesia. Namun perubahan yang terjadi setelah kemerdekaan memberi ruang yang cukup luas bagi muslim Indonesia untuk kembali memberlakukan dan menerapkan hukum Islam yang bercorak keIndonesiaan. Keadaan ini terealisasikan oleh kemandirian Pengadilan Agama untuk memutuskan perkara yang berkaitan dengan bidang keperdataan Islam, selain itu terdapat pula KHI sebagai rujukan memeriksa dan memutuskan di Pengadilan Agama. B. Dampak positif kemoderenisasi agama islam di Indonesia Dalam tradisi khajanah intelektual Islam, istilah pembaruan (dalam konteks ini, pembaruan Islam) dianggap sebagai terjemahan dari kata Arab tajdid, 1 dan juga modernism dalam terminologi Barat. Menyadari atas kandungan makna negatif, sudah barang tentu di samping kandungan makna positifnya, dalam istilah modernisme, kemudian Harun Nasution memberikan saran terutama kepada umat Islam (Indonesia) sebaiknya agar menggunakan istilah ―pembaruan‖ saja untuk menunjuk pembaruan dalam Islam, termasuk di Indonesia. Dengan ungkapan lain, kata ―pembaruan‖ dianggap lebih tepat dipergunakan oleh umat Islam untuk menunjuk pembaruan dalam Islam ketimbang kata modernisme. Hal demikian itu kemudian direpresentasikan oleh Harun Nasution melalui sebuah judul bukunya Pembaharuan dalam Islam. Di


samping term tajdid, terkait dengan pembaruan keagamaan dalam Islam, sebenarnya dikenal pula istilah ishlah dengan makna perubahan (dalam konteks perbaikan), yang pada level operasional di lapangan lebih menampakkan dalam bentuk gerakan purifikasi atau pemurnian Islam. Berpangkal pada pemaknaan ontologis terhadap dua term ini, tajdid dan ishlah, kemudian di kalangan pemikir Islam terjadi perbedaan dalam memberikan arti konsepstual terhadap istilah pembaruan Islam itu: di satu pihak ada sebagian yang melakukan pemilahan secara ketat antara konsep pembaruan (tajdid) dengan ishlah (perubahan, perbaikan dalam makna pemurnian), tetapi ada pula sebagian lainnya yang mengiklusikan makna perbaikan-pemurnian (ishlah) ke dalam konsepsi pembaruan Islam (Harun Nasution, 1998 : 27). Deskripsi Harun Nasution tentang pembaruan dalam Islam diawali dengan penjelasan modernisme di masyarakat Barat, karena adanya keterkaitan historis. Bagi Harun Nasution, modernisme dalam masyarakat Barat mengandung pengertian sebagai ―fikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah fikiranfikiran, faham-faham, adat-istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern‖. Seperti halnya di Barat, di dunia Islam, tegas Harun Nasution, juga timbul fikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Melalui uraian ini tampaknya Harun Nasutiaon bermaksud menegaskan bahwa pembaruan Islam adalah segala usaha umat Islam, baik berupa fikiran maupun gerakan, untuk merubah dan menyesuaikan faham-faham atau pemikiran keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern Barat. Berkaitan dengan ini, menurut Din Sjamsudin, pembaruan Islam merupakan rasionalisasi pemahaman Islam dan kontekstualisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan Islam (Harun Nasution, 1998 : 30). Berdasarkan pemaknaan tersebut selanjutnya dapat ditegaskan adanya tiga hal berikut yang inheren pada pembaruan Islam. Pertama, pembaruan dalam Islam menunjuk pada usaha melakukan perubahan. Usaha ini dilakukan setelah adanya kesadaran dan keprihatinan umat Islam atas kondisi internal kemunduran yang dialaminya. Kedua, ajaran agama Islam, khususnya hasil ijtihad dan pemikiran para ulama terdahulu, adalah merupakan sasaran pembaruan Islam. Dengan lain kata, sesungguhnya pembaharuan Islam sama sekali tidaklah berpretensi memperbarui atau melakukan perubahan terhadap alQur‘an dan asSunnah, karena kebenarannya mutlak shalih likulli zaman wa


makan (benar untuk setiap waktu dan tempat). Ketiga, subjek pembaruan dalam Islam adalah para pembaru dari kalangan insider (internal) umat Islam, bukan dari kalangan outsider (eksternal, non-Muslim), meskipun dalam banyak hal pembaruan Islam itu tidak dapat dilepaskan dari pemikiran makro pada umumnya. Keempat, latar belakang pembaruan dalam Islam secara eksternal tidak terlepas dari adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern di satu pihak, tentu secara internal lahir setelah adanya kesadaran dan keprihatinan akan kondisi internal kemunduran dunia Islam tersebut. Sungguh pun demikian penting ditegaskan, bahwa gerakan pembaruan Islam, merujuk Voll, merupakan bagian asli dan sah dari penjabaran Islam di panggung sejarah, karenanya bukan hal yang unik dalam Islam. Berkaitan dengan hal tersebut, pembaruan dalam Islam sama sekali tidak berpretensi melakukan perubahan terhadap hal-hal yang prinsip dan fundamental dari ajaran Islam. Ditinjau dari konteks kategorisasi ayat al-Qur‘an atas qath‘i addilalah dan dhanni ad-dilalah, pembaruan Islam hanyalah masuk ke dalam wilayah ayat-ayat al-Qur‘an yang berkategori dhanni ad-dilalah. Meskipun demikian, yang diperbarui, sekali lagi, bukanlah ayat-ayat al-Qur‘an atau hadisnya, melainkan interpretasi ulama terhadap ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur‘an dan hadis tersebut, khususnya yang berkategori dhanni addilalah. 9 Dan itulah sebabnya jikalau digunakan teori kategorisasi M. Amin Abdullah yang membuat klasifikasi Islam atas normatif dan historis, maka sasaran pembaruan dalam Islam hanyalah bisa masuk pada ranah Islam historis, hasil kreasi intelektual para ulama, dan sama sekali tidak diperbolehkan memasuki ranah Islam normatif (al-Qur‘an dan as-Sunnah). Dengan perkataan lain, sesungguhnya sasaran pembaruan dalam Islam bukanlah merubah dan memperbarui Islam normatif yakni al-Qur‘an dan al-hadis, melainkan pembaruan terhadap hasil ijtihad pemikir Islam dalam melakukan interpretasi dan elaborasi terhadap alQur‘an dan al-hadis tersebut. Pembaruan Islam pada umumnya didasarkan pada landasan normatif dan sekaligus teologis. Yang dimaksudkan dengan landasar normatif pembaruan Islam di sini adalah berupa wahyu baik yang berupa ayat al-Qur‘an meupun hadis, yang di dalamnya terkandung makna pentingnya dilakukan perubahan kea arah yang lebih baik. Ayat al-Qur‘an yang sering dirujuk oleh sejumlah penulis17 sebagai landasan normatif pembaruan Islam adalah Qs. ad-Dluha (44): 4 ―wala alakhiratu khairullaka minal ula‖ (sesungguhnya yang terkemudian itu lebih baik bagi kamu dibandingkan yang dahulu). Di samping Qs. ad-Dluha (44) ayat 4 tersebut, Hamid dan Yaya18 menambahkan landasan normatif pembaruan Islam dengan menunjuk Qs. ar-Ra‘du: 11 ―innallaha la


yughayyiru ma biqaumin hatta yughayyiru ma bianfusihim…‖ (sesungguhnya Allah tidak akan pernah merubah nasib suatu kaum kecuali mereka sendiri yang mengubahnya… ). Dalam konteks pembaruan Islam, dua ayat ini menegasian bahwa untuk mengubah status umat Islam dari yang rendah kepada yang lebih baik, maka umat Islam sendiri harus berinisiatif melakukan perubahan, baik menyangkut pola pikir maupun perilakunya. Lebih dari itu, pembaruan Islam, kata Hamid dan Yaya, 19 juga didasarkan pada landasan normatif hadis Rasulullah saw berikut ini: ―Allah akan mengutus kepada ummat ini pada setiap awal abad seseorang yang akan memperbarui (pemahaman) agamanya‖. Adapun landasan teologis pembaruan dalam Islam terformulasikan ke dalam dua bentuk keyakinan, yaitu: Pertama, universalisme Islam dan misi agama Islam sebagai rahmatan li al-‗alamin (rahmat bagi seluruh alam semesta). Makna substantif dari karakter universalisme Islam adalah menunjuk pada dimensi isi kandungan al-Qur‘an yang cakupannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, yang implikasinya kemudian meniscayakan agama Islam bisa berlaku dalam lingkup waktu yang tidak terbatas (kapan pun), tempat yang tidak terbatas (di mana pun) dan dalam lingkup umat yang tidak terbatas pula (siapa pun). Dalam ungkapan lain dikatakan, nilai universalisme Islam tidak dibatasi oleh formalisme apa pun, 20 baik waktu dan tempat serta ummat. Lebih dari itu, universalisme Islam juga bermakna bahwa Islam telah memberikan dasar-dasar yang senantiasa relevan dengan perubahan dan dinamika umat manusia (masyarakat). 21 Sebagaimana diketahui bahwa tidak semua ayat alQur‘an berisi uraian rinci (detail-detail) dan tegas mengenai suatu masalah, maka di sinilah urgensinya kehadiran para pemikir dan pembaru Islam untuk memberikan interpretasi dan elaborasi terhadapnya dengan senantiasa mepertimbangkan relevansinya dengan dinamika masyarakat yang terus berubah. Senada dengan itu, Din Sjamsudin menegaskan bahwa watak universalisme Islam meniscayakan adanya pemahaman selalu baru tentang Islam untuk merespons perkembangan kehidupan manusia yang selalu berubah. Islam yang universal—shalih li kullim jaman wa makan—menuntut aktualisasi nilai-nilai Islam dalam konteks dinamika kebudayaan. Kontekstualisasi ini secara fungsional tidak lain dari upaya menemukan titik temu antara hakikat Islam dan semangat zaman. Hakikat Islam bermisi rahmatan li al-‗alamin berhubungan secara simbiotik dengan semangat jaman, yakni kecenderungan pada perubahan, kebaruan dan kemajuan. Kedua, landasan teologis pembaruan Islam yang kedua adalah kenyataan bahwa Islam merupakan agama terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT, atau finalisasi fungsi kenabian Muhammad saw sebagai seorang Rasul Allah


SWT.23 Dalam konteks demikian ini, Achmad Jainuri mengatakan bahwa keyakinan terhadap posisi dan peran nabi Muhammad saw sebagai khatam alanbiya‘ (penutup para nabi) hendaknya dipahami bahwa berhentinya fungsi kenabian itu sama sekali bukanlah berarti terputus atau terhentinya petunjuk Tuhan kepada umat manusia. Kondisi ini mengacu pada idea dasar bahwa setelah fungsi kenabian Muhammad saw selesai (berakhir), secara fungsional peran ulama‘ sebagai pewaris nabi dipandang sangat penting untuk memelihara dinamika ajaran Islam (al-‗ulama‘ waratsah al-anbiya‘). Dan kemudian dari kalangan ulama pewaris Nabi saw inilah muncul para pembaru dalam Islam yang secara fungsional berperan memelihara dinamika ajaran Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad saw sebagai pengemban risalah terakhir dari Tuhan. Dengan kata lain, kontinuitas (kesinambungan) petunjuk agama wahyu dari nabi Adam as hingga nabi Muhammad saw adalah melalui mata rantai para nabi, sedangkan dari nabi Muhammad saw, yang merupakan penutup para nabi (khatam al-anbiya‘), ke penerusnya, mata rantai kesinambungannya adalah dengan melalui para ulama‘ tokoh pembaru sebagai mata rantai yang secara institusional dimanifestasikan dalam berbagai ragam pemikiran serta pembaruan dalam Islam. C. Mengetahui dampak bidang social budaya di Indonesia Pengaruh Islam di Bidang Sosial dan Budaya Gambar 11: pengaruh islam pada bidang social budaya Sumber: (kompas.com) Islam merupakan suatu ajaran yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, dikembangakan melalui jalur niaga. Akulturasi antara perniagaan dan budaya serta ilmu pengetahuan dan agama yang datang dari negeri diatas angin, pada awalnya terjadi


antara india dan tiongkok, sebgaimana india dan tiongkok diketahui bersama bahwa telah mengalami akulturasi dengan budaya besar yang datang dari daratan timur tengah. Hal ini membawa dampak perubahan signifikan terhadap kondisi sosial budaya masyarakat di india, Indonesia, dan tiongkok. Indonesia yang dalam istilah sejarah terkadang disebut dengan masyarakat negeri di bawah angin. Pengaruh india dan tiongkok serta timur tengah cukup signifikan lewat jalur niaga dan budaya terakulturasi melalui perniagaan, agama, dan budaya.india merupakan pertemuan awal peradaban timur tengah diantaranya Arab dan gujarat, yahudi dan Armenia yang memiliki perdagangan stabil juga mereka dianggap sebagai kaum kafir oleh orang portugis dengan kata lain musuh portugis dalam usahanya menguasai jalur perniagaan rempahrempah. Dalam perkembanganya di Gujarat sebagai pusat perdegangan rempah-rempah, islam sangat mendapatkan pengaruh yang cukup pesat utamanya di kota cambay pusat pelabuhan yang menghubungkan malaka dengan india.penduduk india mendapatkan pengaruh Islam dari penduduk parsi, alim ulama parsi seperti, Al-Gazali berusaha menyusuaikan beberapa hokum agama islam itu dengan alam pikiran orang Hindu. Itulah sebabnya maka agama Islam mudah terterima di Gujarat, yang pada awalnya orang-orang hindu sangat memusuhi orang-orang parsi karena terdapat perbedaan dalam menjalankan kepercayaan. Tahun 1292, amatlah besar artinya dalam sejarah Indonesia, ketika itulah bertemu tiga kekuatan, yang akan menentukan dikemudian hari bagi kepulauan Indonesia. Dalam tahun itu pasukan tiongkok datang menyerbu jawa, meskipun dapat dihalau, namun sejak itu mulailah orang-orang tionghoa tinggal di Indonesia, dan bertempat tinggal dibeberapa tempat dipulau ini, makin lama makin besarlah pengaruh tionghoa terutama dalam bidang ekonomi. Dan dalam tahun itulah raden wijaya mendirikan kerajaan majapahit yang ditandai dengan puncak kemajuan kerajaan hindhu jawa serta kemajuan kebudayaan hindu di Jawa. Namun keberlangsungan kejayaan tersebut hanya berlangsung sejak berdirinya hingga masuknya islam di Indonesia dengan pengaruh budaya dan perekonomiannya. Dalam tahun 1292, orang-orang barat datang ke Indonesia yang ditandai dengan tibanya marco polo, dan ketika itu pula orang Indonesia mulai mengenal agama Kristen, dan kebudayaannya8. Tiga budaya besar diatas yang kemudian mempengaruhi realitas sejarah bangsa Indonesia yang sampai kini masih memiliki pengikut dalam hal agama, budaya maupun sistem sosial di kepulauan Indonesia. Ekspansi dan penaklukan, sebagaimana memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan besar tiga perdaban besar diatas cukup berpengaruh terhadap Indonesia melalui jalur perniagaan dengan perniagaan antara pulau sehingga dibebrapa wilayah yang dijadikan pusat perdagangan sangat berpengaruh terhadap akulturasi budaya tiongkok, Islam, dan eropa. Latar belakang budaya besar diatas merupakan landasan pembentukan sejarah modern Indonesia baik dalam aspek sosial, budaya maupun ekonomi. Namun dalam perkembangannya masih saja terdapat pengaruh


budaya lakal setempat hal ini dapat terlihat dibeberapa wilayah Bandar perdagangan meski sudah memeluk Islam dan mengakui penerapan hukum Islam namun masih menggunakan hukum adat dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat akulturasi budaya tersebut, hal ini dapat terlihat di pusat perdagangan rempahrempah di maluku, utamanya ternate-tidore meski secara sosial telah memeluk agama Islam namun dalam pelaksanaannnya masih mempraktekan budaya nenek moyangnya, dengan menggunakan hukum adat yang belaku jauh sebelum terjadi percampuran budaya dan agama. Perkembangan perdagangan membuat terbentuknya wilayah pinggiran dan wilayah induk yang selanjutnya memberikan perbedaan peran dan status sosial masing-masing wilayah. Dalam sejarah perkembangan masyarakat Indonesia sebagaimana dapat diketahui bahwa antara eropa. Tiongkok, dan islam memiliki perbedaan signifkan namun dalam realitasnya sesungguhnya pengaruh tiga budaya ini masih sangat mempengaruhi relasi sosial masyarakat Indonesia disebagian wilayah, namun selama perkembangan penulisan sejarah Indonesia banyak diantara kita yang hanya terpaku pada budaya hindu/budha di daratan jawa, sehingga wilayah-wilayah yang memiliki peranan penting dalam proses terjadinya akulturasi budaya China, Arab, dan Eropa, hampir terkesan diabaikan. Padahal pengaruh tiga budaya ini dalam aspek sosial, budaya, dan ekonomi cukup signifikan mempengaruhi jalannya kehidupan di Indonesia. Pengaruh rempah-rempah pada zamannya merupakan suatu daya tarik budaya luar terhadap Indonesia, sehingga kehadiran semua diantara mereka menjadikan suatu komoditi rempah menjadi sesuatu yang sangat berharga. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh sosial dan budaya serta agama kelompok pedagang yang datang dari willayah-wilayah perniagaan. akulturasi antara beberapa budaya tersebut demi mendapatkan wilayah dan jalur perniagaan rempahrempah pada umunya dijalankan dengan persaingan antara para saudagar sebagaimana persaingan hindu/budha dan Islam, kelak mendapatkan pengikut cukup pesat sedangkan agama Kristen dan budaya barat mendapatkan pengikut sangat kecil, dalam perkembangannya mampu menguasai jalur perniagaan rempah dan dapat merubah tatanan sosial dan ekonomi melaui revolusi agrarisnya dan sistem birokrasi pemerintahan. Perebutan kekuasaan antara kerajaan Islam dengan kerajaan majapahit yang beragama hindu itu juga terjadi antara Islam dengan Kristen yang kelak akan cukup berpengaruh penguasaannnya terhadap jalur niaga bahkan dapat mengubah sistem perniagaan yang pada awalnya Islam dan China serta India terlibat langsung dalam perdagangan dengan para pendudk pribumi namun dengan masuknya bangsa-bangsa barat dengan menjadikan misi gold, gospel, dan Gloria yang dibawakan oleh portugis serta khatolik dengan jalan


penyebaran agama melalui doktrin Jesuit, dimana menganggap penganut agama diluar agama Kristen khatolik merupakan kelompok manusia tersesat, sehingga dalam perkembangannya melahirkan perlawanan yang kemudian kedudukan portugis mengalami kemunduran yang dapat digantikan oleh Belanda, Inggris, namun Belandalah yang cukup berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia di eranya, dengan menggunakan VOC. Islam dikenal sebagai salah satu agama terbesar di Indonesia. Hal tersebut membuat agama Islam menjadi agama yang cukup berpengaruh di Indonesia. Ada banyak sekali bentuk pengaruh agama Islam di Indonesia, salah satunya adalah dalam bidang sosial dan budaya. Hal tersebut selaras dengan yang dijelaskan dalam buku berjudul Explore Ilmu Pengetahuan Sosial Jilid 1 untuk SMP/MTs Kelas VII yang disusun oleh Mulya; Yuliana; Nina Andini, (2019: 232). Tertulis dalam buku tersebut bahwa masuknya agama Islam telah membawa pengaruh dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Contoh pengaruh Islam di Indonesia dapat diketahui dari aspek sosial dan budaya. Misalnya seperti sebelum kedatangan Islam, Indonesia memberlakukan sistem kasta atau tingkatan untuk membedakan kedudukan masyarakat. Namun setelah Islam masuk ke Indonesia, sistem kasta mulai terhapus. Karena sesuai dalam ajaran Islam, semua manusia memiliki status yang sama. Hal tersebut membuat Islam menjadi agama yang mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Meskipun sistem kasta tak lagi ada, namun penggolongan masyarakat tetap berlaku. Contohnya seorang ulama yang dianggap memiliki ilmu yang lebih tinggi memiliki gelar kiai. Gelar tersebut menunjukkan kedudukan seseorang yang lebih tinggi dalam struktur masyarakat. Selain dalam bidang sosial, masuknya Islam ke Indonesia juga membawa pengaruh dalam bidang budaya. Ada banyak sekali aspek budaya yang mengalami perubahan akibat masuknya agama Islam ke Indonesia, contohnya seperti arsitektur dan seni bangunan, seni sastra, hingga seni tari. Misalnya saja seni bangunan masjid yang memiliki ciri umum berupa denahnya yang berbentuk segi empat dengan atap bertumpang dan memiliki serambi pada bagian depan dan samping. Sementara dalam bidang seni sastra, pengaruh islam di Indonesia dapat dilihat dari adanya berbagai jenis karya peninggalan sastra Islam seperti hikayat, babad, syair, serta suluk. Selain itu, ada banyak hal dalam kehidupan sehari-hari yang menunjukkan adanya pengaruh Islam di Indonesia. Contohnya seperti cara berpakaian masyarakat Indonesia yang menjadi cenderung tertutup, hingga adanya kebiasaan sedekah dan menyantuni kaum duafa serta yatim piatu. Itulah ulasan mengenai pengaruh Islam di Indonesia dalam bidang sosial dan budaya.


Pemaparan yang disajikan dalam artikel ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai luasnya penyebaran dan besarnya pengaruh agama Islam di Indonesia. (DAP) Ada beberapa hal yang sangat mencolok terjadi setelah masuknya agama Islam, yaitu perubahan sistem kasta, adat istiadat, dan penamaan. 1. Hilangnya Sistem Kasta Gambar 12: system kasta di Indonesia Sumber: (BBC.com) Perubahan yang sangat mencolok dalam bidang sosial dan budaya adalah hilangnya sistem kasta. Sebelum masuknya Islam, pada masa Hindu-Buddha ada pengolongan empat kasta. Keempat kasta itu adalah kasta Brahmana, kasta Ksatria, kasta Waisya, dan kasta Sudra. Sedangkan orang yang tidak masuk dalam keempat kasta itu adalah kelompok Paria. Setiap kasta memiliki kelas yang berbeda, seperti kasta Brahmana yang tertinggi, lalu diikuti kasta Ksatria, kemudian kasta Waisya, dan kasta Sudra. Namun, setelah masuknya Islam, kerajaan Hindu-Buddha mulai runtuh dan muncul banyak kerajaan Islam. Pada


kerajaan Islam ini, sistem kasta mulai tidak digunakan lagi dan banyak orang mulai ikut belajar tentang agama Islam. 2. Upacara Adat Gambar 13: upacara adat entas entas memupuk Sumber: (pemkab pacitan) Pengaruh Islam selanjutnya adalah pada upacara adat yang dilakukan. Hal ini terjadi karena peran salah satu wali songo, yaitu Sunan Kalijaga yang menyebarkan agama Islam menggunakan tradisi wayang kulit. Ternyata selain tradisi wayang kulit yang menceritakan kisah-kisah berkaitan dengan agama, muncul beberapa perubahan dalam upacara adat. Seperti di Sumatra Barat mulai banyak upacara adat yang boleh dilakukan bila sesuai dengan nilai-nilai yang ditetapkan Islam. Sedangkan di Jawa, ada upacara adat yang dipadukan dengan dakwah Islam, seperti grebeg Maulud. Bahkan di beberapa daerah lain, ada upacara adat dengan latar belakang paham-paham tertentu dalam Islam. Upacara adat itu seperti kenduri bubur sura, asan-usen tabut, kanji asuhan, dan lain sebagainya. 3. Pemberian Nama Perubahan lain yang terjadi setelah masuknya Islam adalah pemberian nama pada bayi yang baru lahir. Ada banyak nama Arab yang berkembang dan populer hingga saat ini. Nama-nama, seperti Muhammad, Abdullah, Ali, Ibrahim, Hamzah, Hasan, dan lain sebagainya mulai banyak digunakan. Selain nama, ada banyak kosakata Arab yang mulai digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti rahmat, berkah, rezeki, sejarah, hikayat, majelis, dan lain sebagainya.


D. Forum Diskusi Dampak yang ditimbulkan oleh kemunculan agama islam tentu memiliki nilai baik dan buruk bagi masyarakat Indonesia , untuk itu menurut pendapatmu apakah agama dan kebudayaan islam berpengaruh baik bagi masyarakat Indonesia pada saat itu? Diskusikanlah dengan temanmu. E. Rangkuman Pengaruh Islam terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia tidak dapat dinafikan keberadaannya. Munculnya nilai-nilai Islam tidak hanya mempengaruhi politik Indonesia yang mengenal partai-partai yang berbasis ajaran Islam, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan Indonesia. Bidang ekonomi menjadi bagian lain dari akulturasi sistem ekonomi dengan Islam sebagai suatu ajaran hidup manusia, dengan munculnya ekonomi Syariah sebagai salah satu sistem ekonomi yang berkembang di Indonesia sejak tahun 1992. Hukum menjadi bagian lain yang terpengaruh atau dipengaruhi ajaran Islam, dengan munculnya lembaga-lembaga hukum yang diatur melalui konsepsi aturan Islam, seperti wakaf, perkawinan, perceraian dan waris. Hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh alIslami, dalam istilah hukum Barat dikenal dengan Islamic Law. Dalam alQur‘an maupun Sunnah tidak dijumpai istilah hukum Islam, yang digunakan adalah kata syari‘ah yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh. Antara syariah dan fiqh memiliki hubungan yang sangat erat. Syariah tidak dapat dipahami dengan baik tanpa melalui fiqh atau pemahaman yang memadai, dan diformulasikan secara baku. Fiqh sebagai hasil usaha ijtihad, sangat dipengaruhi oleh tuntutan ruang dan waktu yang meliputi faqih (jamak fuqaha) yang memformulasikannya. Karena itulah, sangat wajar jika kemudian terdapat perbedaan dalam rumusan fikih di antara para ulama. Ajaran Islam mempengaruhi tata hukum di Indonesia baik hukum tertulis, maupun hukum tidak tertulis. Islam memberikan kebijaksanaan dalam menerapkan aturan ajaran Islam di dalam kehidupan bermasyarakat yaitu melalui kebijaksanaan tasyri‘, taklif dan tathbiq. Kebijaksanaan tasyri‘ adalah kebijaksanaan pengundangan suatu aturan hukum Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Kebijaksanaan taklif adalah kebijaksaan dalam penerapan suatu ketentuan hukum terhadap manusia sebagai mukallaf (subjek hukum) dengan melihat kepada situasi dan kondisi pribadi manusia itu; melihat kemampuan fisik, biologis dan dan rohani; mempunyai kebebasan bertindak dan mempunyai akal sehat. Kebijaksanaan tathbiq adalah kebijaksanaan perlakuan dan ketentuan hukum yang dapat saja berbeda dengan hukum perbuatan itu bagi orang lain.


Islam merupakan suatu ajaran yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, dikembangakan melalui jalur niaga. Akulturasi antara perniagaan dan budaya serta ilmu pengetahuan dan agama yang datang dari negeri diatas angin, pada awalnya terjadi antara india dan tiongkok, sebgaimana india dan tiongkok diketahui bersama bahwa telah mengalami akulturasi dengan budaya besar yang datang dari daratan timur tengah. Hal ini membawa dampak perubahan signifikan terhadap kondisi sosial budaya masyarakat di india, Indonesia, dan tiongkok. Indonesia yang dalam istilah sejarah terkadang disebut dengan masyarakat negeri di bawah angin. Pengaruh india dan tiongkok serta timur tengah cukup signifikan lewat jalur niaga dan budaya terakulturasi melalui perniagaan, agama, dan budaya.india merupakan pertemuan awal peradaban timur tengah diantaranya Arab dan gujarat, yahudi dan Armenia yang memiliki perdagangan stabil juga mereka dianggap sebagai kaum kafir oleh orang portugis dengan kata lain musuh portugis dalam usahanya menguasai jalur perniagaan rempahrempah. Contoh pengaruh Islam di Indonesia dapat diketahui dari aspek sosial dan budaya. Misalnya seperti sebelum kedatangan Islam, Indonesia memberlakukan sistem kasta atau tingkatan untuk membedakan kedudukan masyarakat. Namun setelah Islam masuk ke Indonesia, sistem kasta mulai terhapus. Karena sesuai dalam ajaran Islam, semua manusia memiliki status yang sama. Hal tersebut membuat Islam menjadi agama yang mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Meskipun sistem kasta tak lagi ada, namun penggolongan masyarakat tetap berlaku. Contohnya seorang ulama yang dianggap memiliki ilmu yang lebih tinggi memiliki gelar kiai. Gelar tersebut menunjukkan kedudukan seseorang yang lebih tinggi dalam struktur masyarakat. Selain dalam bidang sosial, masuknya Islam ke Indonesia juga membawa pengaruh dalam bidang budaya. Ada banyak sekali aspek budaya yang mengalami perubahan akibat masuknya agama Islam ke Indonesia, contohnya seperti arsitektur dan seni bangunan, seni sastra, hingga seni tari. Misalnya saja seni bangunan masjid yang memiliki ciri umum berupa denahnya yang berbentuk segi empat dengan atap bertumpang dan memiliki serambi pada bagian depan dan samping. F. Tes Formatif 1. Identifikasilah berbagai dampak masuknya kebudayaan islam di Indonesia! 2. Identifikasilah berbagai dampak masuknya kebudayaan dan agama islam pada bidang social budaya! 3. Identifikasilah berbagai dampak agama islam pada masyarakat Indonesia! 4. Identifikasilah dampak baik bagi masyarakat Indonesia atas kedatangan islam! 5. Identifikasilah dampak buruk bagi bangsa Indonesia atas masuknya kebudayaan islam! G. Inquiry Learning


Melalui materi yang telah disampaikan pada bab IV, peserta didik diharapkan mampu untuk menyelesaikan kasus yang diberikan. Untuk itu silahkan cermati petunjuk pengerjaan dibawah ini: a) Petunjuk Mengerjakan Soal 1. Peserta didik memahami materi yang telah diberikan tentang dampak masuknya agama dan kebudayaan islam di Indonesia. 2. Baca dan pahami dengan seksama kasus yang telah diberikan. 3. Setelah dibaca dan dipahami jawablah pertanyaan dengan tepat dan benar. b) Kasus: Dampak masuknya agama dan kebudayaan islam di Indonesia Pengaruh Islam terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia tidak dapat dinafikan keberadaannya. Munculnya nilai-nilai Islam tidak hanya mempengaruhi politik Indonesia yang mengenal partai-partai yang berbasis ajaran Islam, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan Indonesia. Bidang ekonomi menjadi bagian lain dari akulturasi sistem ekonomi dengan Islam sebagai suatu ajaran hidup manusia, dengan munculnya ekonomi Syariah sebagai salah satu sistem ekonomi yang berkembang di Indonesia sejak tahun 1992. Hukum menjadi bagian lain yang terpengaruh atau dipengaruhi ajaran Islam, dengan munculnya lembaga-lembaga hukum yang diatur melalui konsepsi aturan Islam, seperti wakaf, perkawinan, perceraian dan waris. Hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari alfiqh al-Islami, dalam istilah hukum Barat dikenal dengan Islamic Law. Dalam al-Qur‘an maupun Sunnah tidak dijumpai istilah hukum Islam, yang digunakan adalah kata syari‘ah yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh. Antara syariah dan fiqh memiliki hubungan yang sangat erat. Syariah tidak dapat dipahami dengan baik tanpa melalui fiqh atau pemahaman yang memadai, dan diformulasikan secara baku. Fiqh sebagai hasil usaha ijtihad, sangat dipengaruhi oleh tuntutan ruang dan waktu yang meliputi faqih (jamak fuqaha) yang memformulasikannya. Karena itulah, sangat wajar jika kemudian terdapat perbedaan dalam rumusan fikih di antara para ulama. Ajaran Islam mempengaruhi tata hukum di Indonesia baik hukum tertulis, maupun hukum tidak tertulis. Islam memberikan kebijaksanaan dalam menerapkan aturan ajaran Islam di dalam kehidupan bermasyarakat yaitu melalui kebijaksanaan tasyri‘, taklif dan tathbiq. c) Pertanyaan : Pengaruh Islam terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia tidak dapat dinafikan keberadaannya. Munculnya nilai-nilai Islam tidak hanya mempengaruhi politik Indonesia yang mengenal partai-partai yang berbasis ajaran Islam, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan Indonesia. Bidang


ekonomi menjadi bagian lain dari akulturasi sistem ekonomi dengan Islam sebagai suatu ajaran hidup manusia, dengan munculnya ekonomi Syariah sebagai salah satu sistem ekonomi yang berkembang di Indonesia sejak tahun 1992. Apa saja kebaikan yang bisa diambil dari masuknya agama dan kebudayaan islam di Indonesia? Serta jelaskan dampak apa saja yang paling berpengaruh bagi Indonesia? Berikan pendapatmu!


Daftar Pustaka: Adnan, Amal M. Sejarah Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950 Uin Alaudin Makassar Pusat 2009. Andaya Leonard. Dunia Maluku: Indinesia Tmur pada Zaman Modern Awal Djokjakarta, Ombak 2015. David, Jenkins. Soeharto dan Barisan Jendral Orba. Rezim Militer Indonesia 1975-1993 Depok Komunitas Bambo 2010. Den Berg, H. j. van Den Berg et all. Dari Panggung. Cet II; Sejarah Dunia I India, Tiongkok, dan Djepang, Indonesia Djakarta: Groninghen,1952. Dick-read, robert. Pengaruh Peradaban Nusantara, di Afrika, Penjelajah Bahari, Cet I Jakarta: Mizan, 2004. Djoko Suryo Sejarah Sartono Kartodirdjo, Perkebunan di Indonesia, Kajian Sosial Ekonomi Djokyakarta Aditya Media.1991. Julie, Robison. Southwood-Patrick, Teror Orde Baru, Penyelewengan Hukum dan Propaganda 1965-1981 Komunitas Bambo, Depok. 2013. Kunto Wijoyo Raja Priyayi dan Kauwla Cet I Yogyakarta Ombak 2004. Manfred , Ziemek. Pesantren Dalam Perubahan Sosial Jakarta, P3M 1983. Richard, Robison. Seoharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia Komonitas Bambu,Depok .2012. R.Z. leirrisa Terwujudnya suatu Gagasan, Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950 Jakarta, Akademika Presindo 1985. Steenbrik, Karel. Kawan Dalam Pertikaian Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia 1596- 1942 Bandung Mizan 1995. Turner, Jack . Sejarah Rempah, dari Erotieme sampai Imperealisme. Depok, Komunitas Bambo. 2011. Willard a. Hanna Kepulauan Banda, Jakarta Gramedia 1985.


Wirjosuparto, r.m. Sutjipto. Sejarah Dunia. Cet iii; Jakarta, Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 1956


Click to View FlipBook Version