The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

BUKU PSIKOLOGI ABK_AMELIA RIZKY IDHARTONO

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by ameliari, 2021-07-02 19:20:43

BUKU PSIKOLOGI ABK_AMELIA RIZKY IDHARTONO

BUKU PSIKOLOGI ABK_AMELIA RIZKY IDHARTONO

terdapat empat tahapan dalam perkembangan kognitif
seorang anak, yaitu sensorimotor, pra-operasional,
operasional kongkret dan operasional formal. Empat tahap ini
tidak berdiri sendiri-sendiri atau terpisah satu dari yang lain,
melainkan setiap tahap harus dibangun di atas tahap
sebelumnya di dalam alur proses pembelajaran yang
berkelanjutan. Dalam mengembangkan daya kognitifnya,
seorang anak harus mampu menguasai setiap tahap secara
optimal sebelum melangkah ke tahap yang lebih lanjut.

Terdapat skema struktur kognitif yang sudah dilakukan.
Dalam pengorganisasiannya dapat didasari oleh pengalaman
yang bermakna. Skema ini juga sebagai pola sistematis yang
berkaitan dengan adanya perilaku, pikiran dan strategi yang
dilakukan untuk memecahkan masalah. Adaptasi merupakan
salah satu bentuk struktur fungsional yang terjadi untuk
menunjukan pola individu. Keberhasilan dalam proses
perkembangan kognitif memberikan pengaruh terhadap
kemampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan. Adanya adaptasi perkembangan kognitif
menimbulkan terjadinya interaksi. Asimilasi kognitif
melibatkan hasil perubahan sebuah objek lainnya dan
berhubungan dengan struktur pengetahuian internal.

D. Perkembangan Emosional Anak
Kemampuan manusia untuk memberikan respon secara

emosional berawal sejak ia dilahirkan. Tingkah laku pertama
dari respon emosi adalah excitement terhadap rangsang yang
kuat berupa gerakan yang tidak terarah. Selanjutnya, bayi
mulai mendeferensiasikan reaksi menjadi dua respon, yakni
respon menyenangkan (pleasant response) dan respon tidak
menyenangkan (unpleasant response). Respon
menyenangkan ditunjukkan dalam bentuk relaksasi tubuh
bayi secara menyeluruh, munculnya senyuman, tawa dan

45

suara-suara tertentu sebagai wujud rasa senang. Sedangkan
respon tidak menyenangkan (unpleasant response)
diperlihatkan dalam bentuk tangisan atau gerakan yang tidak
terkontrol sebagai wujud penolakan atau rasa tidak senang.

Faktor-faktor yang menjadi penentu perkembangan
emosi manusia secara global adalah kematangan intelektual
dan proses belajar. Kematangan intelektual menjadikan anak
memahami hal-hal yang sebelumnya tidak dipahami,
memusatkan perhatian dalam waktu yang lebih lama dan
memusatkan ketegangan emosional pada objek tertentu.
Perkembangan kelenjar endokrin dan kemampuan
berimajinasi juga menyumbangkan pengaruh yang besar
terhadap respon emosional anak.

Faktor belajar dilandasi oleh pengalaman-pengalaman
di masa sebelumnya. Pengalaman yang dimiliki dapat berupa
pengalaman menyenangkan maupun pengalaman yang tidak
menyenangkan. Proses belajar berdasarkan pengalaman
mampu mempengaruhi respon emosional sebagai cara
memuaskan batinnya melalui emosi yang telah diluapkan.
Proses ini biasanya dilakukan pada awal masa kanak-kanak
yang nantinya akan diganti dengan proses belajar yang jauh
lebih efisien. Perubahan ini tidak terlepas dari bimbingan yang
dapat membantu anak dalam proses belajarnya.

Dalam bukunya, Somantri (2018) memaparkan
penjelasannya mengenai karakteristik-karakteristik emosi
yang dialami anak, yakni sebagai berikut.
1. Pada masa kanak-kanak, respon emosional menampakkan

intensitas yang sama terhadap semua kejadian, belum
terdeferensiasikan ke dalam hal yang berkaitan dengan
intensitas.
2. Respon emosional yang timbul pada masa kanak-kanak
menunjukkan frekuensi yang tinggi karena anak belum

46

ahli dalam menyesuaikan diri terhadap situasi yang
memicu emosi.
3. Pada masa kanak-kanak, respon emosional masih bersifat
sementara dan mudah mengubah satu respon ke respon
lain secara signifikan.
4. Dengan bertambahnya usia pada bayi yang diimbangi
dengan proses belajar dan pengaruh lingkungan, maka
perilaku yang menampakkan emosi tertentu akan lebih
bersifat individual.
5. Dalam kekuatannya, segala bentuk emosi dapat diubah.
Emosi tertentu menunjukkan perubahan kekuatan dengan
bertambahnya usia anak. Emosi dapat berubah menjadi
lebih kuat dan lebih lemah. Perubahan emosi dipengaruhi
oleh faktor perkembangan kognitif, minat, dan nilai diri.
6. Emosi dapat ditampakkan melalui simtom perilaku. Anak-
anak jarang menunjukkan emosi secara langsung,
melainkan secara tidak langsung melalui perilaku tertentu
yang terkadang kurang wajar.

Keseimbangan perkembangan emosional anak dapat
diwujudkan dengan cara mengendalikan emosi yang
menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan.
Terdapat cara yang membantu tercapainya keseimbangan
tersebut, yaitu mengendalikan lingkungan dan
mengembangkan toleransi emosional. Hal itu dicerminkan
melalui keberhasilan dalam mengembangkan kemampuan
untuk menahan diri agar enggan meluapkan emosi yang tidak
menyenangkan. Keseimbangan emosional dianggap sebagai
wujud perkembangan psikologis yang sehat atau normal.
Seseorang dengan perkembangan emosional yang normal
dapat menentukan mana emosi buruk yang tidak pantas
untuk diluapkan dan mana emosi baik yang wajar jika
diluapkan.

47

E. Perkembangan Sosial Anak
Anak mulai melaksanakan kontak sosial dengan orang lain

selain keluarganya sejak usia dua hingga enam tahun. Pada
masa ini, anak mulai berbaur dan berusaha menyesuaikan diri
dengan teman-tema seusianya. Anak mulai diajarkan tentang
arti kerja sama. Pengalaman bernteraksi sosial pada masa ini
akan mempengaruhi perkembangan sosial di masa-masa
berikutnya. Anak yang sering berinteraksi sosial dengan
banyak orang diperkirakan akan dapat menyesuaikan diri
dengan baik. Kualitas interaksi sosial dipengaruhi oleh
bagaimana cara anak berinteraksi dan dengan siapa saja ia
berinteraksi sosial.

Pengalaman interaksi yang baik secara keseluruhan akan
mendorong perkembangan sosial anak menjadi lebih optimal.
Hal tersebut dapat dikatakan bahwa anak telah mengalami
kenormalan dalam aspek sosialnya. Sebaliknya, jika anak
memiliki pengalaman yang buruk atau tidak menyenangkan di
masa ini, maka perkembangan sosial di masa selanjutnya akan
diprediksi negatif karena membentuk perasaan yang dapat
mengganggu psikologisnya. Akibat dari permasalahan
tersebut, perkembangan sosial anak dikatakan abnormal.

Seiring bertambahnya usia, anak lebih tertarik untuk
bergaul dengan anak-anak seusianya daripada dengan orang
dewasa. Pada kondisi ini anak mulai timbul keinginan untuk
berupaya melakukan aktivitasnya dengan lebih mandiri dan
tidak ingin bergantung sepenuhnya pada orang dewasa.
Meskipun begitu, peranan orang tua, keluarga dan orang
dewasa lain masih sangat dibutuhkan anak dalam
kesehariannya. Selain bantuan melakukan sesuatu yang
belum mampu dilakukan anak, peranan orang dewasa juga
diperlukan untuk memberikan pengaruh positif dalam
keterampilan sosial sebagai modal untuk kenormalan

48

perkembangan-perkembangan yang lain, baik di masa ini
maupun di masa depan.

Bentuk-bentuk perilaku sosial yang umum pada masa
kanak-kanak banyak dipengaruhi oleh pola perilaku yang
terbentuk pada masa bayi, namun tidak menutup
kemungkinan terjadi pola perilaku yang baru di masa ini.
Wujud perilaku yang dimiliki anak bukan hanya yang bersifat
baik dalam hal bersosialisasi, melainkan juga yang cenderung
menjunjukkan perilaku anti sosial. Maka dari itu,
pembentukan pola perilaku tidak dapat disepelekan karena
proses sosialisasi dilandasi oleh peranan penting dari pola
perilaku yang terbentuk.

Berikut dikemukakan berapa bentuk perilaku sosial yang
dialami individu pada masa kanak-kanak, yaitu:
1. Negativisme, merupakan bentuk keyakinan diri,

perlindungan diri dan penolakan terhadap hal yang tidak
disenangi akibat keadaan sosial tertentu.
2. Agresi, merupakan bentuk perilaku yang menunjukkan
ancaman sebagai luapan emosi untuk menarik perhatian,
melindungi diri dari rasa tidak aman dan mengungkapkan
perasaan frustasi. Jika anak merasakan keagresifannya
sebagai pelindung dan membuatnya puas, maka muncul
kecenderungan untuk mengulanginya kembali.
3. Kerja sama, yaitu anak mulai mampu melakukan sesuatu
bersama-sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan
tertentu. Kemampuan bekerja sama dipengaruhi oleh
kualitas anak dalam bergaul atau berinteraksi sosial.
4. Perilaku menguasai, yakni dilakukan untuk mencapai dan
mempertahankan penguasaan dirinya terhadap situasi-
situasi tertentu. Diperlukan pengarahan yang tepat agar
perilaku ini bermanfaat bagi kehidupannya di masa
mendatang.

49

5. Ketergantungan, dilakukan anak saat merasa tidak
mampu melakukan suatu hal dengan tujuan untuk
meminta pertolongan orang lain dalam melakukan hal
tersebut. Ketergantungan biasanya ditunjukkan anak pada
orang yang lebih dewasa.

6. Simpati, merupakan usaha anak dalam memosisikan
dirinya pada posisi orang lain. Hal ini dipengaruhi oleh
emosional anak di mana timbul keinginan untuk
menolong, melindungi, dan membuat orang lain merasa
aman jika bersamanya.

7. Kemurahan hati, ditunjukkan dengan kemampuan anak
untuk lebih mementingkan kebutuhan orang lain atau
suatu kelompok daripada kepentingan dirinya sendiri.

8. Persahabatan, ditunjukkan anak dengan cara memeluk,
membelai, mencium, dan perilaku yang menyimbolkan
persahabatan lainnya. Persahabatan termasuk dalam
bentuk kontak sosial yang harus dipenuhi untuk mencapai
kebahagiaan dan kepuasan dalam diri anak. Jika tidak
terbentuk persahabatan yang baik, maka akan
berpengaruh buruk terhadap perkembangan emosional
dan sosial anak.

Pada masa kanak-kanak akhir (late childhood), kebutuhan
anak akan diterima orang lain, terutama teman-teman sebaya
menjadi semakin meningkat seiring bertambahnya ruang
lingkup aktivitas yang dilakukan. Di masa ini, pengaruh kontak
sosial sangat berperan penting untuk menentukan pola
tingkah laku. Kontak sosial yang dimaksud meliputi cara anak
dalam melakukan kontak sosial dan dengan siapa saja anak
berinteraksi. Pola-pola perilaku yang sering dilakukan anak
pada masa kanak-kanak akhir, yaitu:

1. Kepekaan diri terhadap suatu penerimaan dan penolakan
saat menjalankan kontak sosial dengan orang lain.

50

2. Cenderung mudah tersinggung pada perkataan atau
perilaku orang lain yang diasumsikan sebagai wujud
kebencian atau penolakan terhadap dirinya.

3. Mudah dipengaruhi karena ingin memperoleh perhatian
dan penerimaan dari orang lain serta lingkungan. Biasanya
anak mulai menolak nasihat orang dewasa dan memilih
mempercayai pemikirannya sendiri yang belum tentu baik
atau benar.

4. Anak mulai merasakan adanya persaingan dengan orang
lain yang ditunjukkan dalam bentuk persaingan di antara
kelompok untuk memperoleh pengakuan dalam
kelompok tersebut, konflik yang muncul antara dirinya
sendiri atau kelompoknya dengan orang lain atau
kelompok lain yang dianggap sebagai saingan dan konflik
antara kelompoknya dengan masyarakat.

5. Anak mulai memiliki rasa tanggung jawab dengan
berupaya menyelesaikan permasalahannya sendiri dan
masalah dalam kelompok. Kemunculan sikap tanggung
jawab dapat berkembang seiring meningkatnya
kemampuan verbal dan keterampilan motoriknya.

6. Pemahaman anak terhadap situasi sosial dan orang-orang
di dalamnya. Anak harus mampu memosisikan dirinya ke
dalam kondisi psikologis orang lain dan memahami sudut
pandang orang tersebut. Kemampuan memahami situasi
sosial dilandasi oleh beberapa faktor yang meliputi
kecerdasan, kepribadian, status dalam kelompok, dan
jenis kelamin anak.

7. Anak menunjukkan sikap diskriminasi sosial yang
ditunjukkan dengan penentuan atau pemilihan terhadap
orang lain yang akan menjadi teman atau anggota
kelompoknya. Biasanya diskriminasi sosial ini ditentukan
oleh perbedaan ras, taraf sosial, agama, kondisi ekonomi,
dan pemikiran yang tidak sejalan.

51

8. Prasangka anak mulai muncul ketika ia mengalami hal
yang tidak menyenangkan saat melakukan kontak sosial,
menerima nilai-nilai budaya tanpa memandang segala
konsekuensi, imitasi dari orang tua, guru dan teman-
temannya, serta pendidikan atau pengetahuan yang telah
diperoleh.

Pada masa remaja, anak cenderung menonjolkan sikap
sosial yang negatif. Ia lebih menyukai kesendirian sehingga
menimbulkan sikap anti sosial. Hal ini berkaitan dengan
tingkat kematangan seksual yang dialami anak. Apabila anak
sudah mencapai kematangan seksual dengan sempurna,
maka sikap antisosial cenderung menurun dan perilaku sosial
kembali meningkat. Antisosial dapat disebabkan oleh
perubahan fisik dan kelenjar yang mempengaruhi perilaku
serta faktor lingkungan.

F. Perkembangan Kepribadian Anak
Secara universal, kepribadian anak meliputi beberapa

aspek, yaitu pikiran, perasaan dan perilaku yang terjadi di
bawah kesadaran dan ketidaksadaran diri. Aspek-apsek
tersebut jika dibentuk dengan seimbang dan harmonis akan
menciptakan perkembangan kepribadian yang baik dan wajar.
Diperlukan kolaborasi yang matang dari orang tua, keluarga,
guru maupun pakar-pakar lain untuk mengembangkan
kepribadian anak sehingga tercapai penyesuaian diri yang baik
terhadap lingkungan.

Allport sebagai salah satu tokoh psikologi mengungkapkan
paradigma kepribadian sebagai organisasi yang bersifat
dinamis dalam diri individu dan terbentuk dari sistem
psikofisis yang menentukan penyesuaian diri terhadap
lingkungan, termasuk pada masyarakat umum. Terdapat dua
komponen kepribadian yang terdiri dari komponen inti
berupa konsep diri dan komponen penunjang berupa sifat.

52

Keduanya dipengaruhi oleh pembawaan sejak lahir,
pengalaman masa kecil dan pengalaman di masa depan.

Konsep diri diperoleh dari interaksi dengan orang lain,
perlakuan orang lain terhadapnya, perkataan orang lain
tentang dirinya, dan status dalam kelompok. Sementara sifat
diperoleh dari proses belajar, faktor genetik, pengaruh
lingkungan, dan pengalaman. Kepribadian anak yang normal
memiliki karakteristik hubungan komponen yang erat dan
terstruktur, serta pola kepribadiannya terorganisasi dengan
baik. Sedangkan kepribadian anak berkebutuhan khusus atau
abnormal mengalami disorganisasi pada pola kepribadiannya.

Konsep diri dan sifat dapat mempengaruhi bentuk
individualitas kepribadian seseorang. Hal lain yang dapat
membentuk individualitas yaitu proses maturasi sifat-sifat
pembawaan sejak lahir, proses pengondisian dan proses
belajar melalui interaksi sosial sehingga memberikan peranan
terhadap pola perilaku dan motivasi individu. Potensi anak
telah ada sejak baru dilahirkan meskipun belum terbentuk
suatu kepribadian yang utuh. Dari potensi tersebut, anak
dapat mengembangkan model kepribadiannya.

Dalam kepribadian individu, terdapat hal-hal yang bersifat
tetap atau tidak berubah dan tidak tetap atau dapat berubah.
Contoh aspek kepribadian yang kemungkinan tidak
mengalami perubahan ialah sifat-sifat tertentu yang akan
terus melekat dan konsisten sehingga menjadi ciri khusus dari
diri satu individu. Perubahan kepribadian berarti terjadi
secara menyeluruh melalui tahapan-tahapan dan kurun
waktu tertentu. Tidak ada perubahan yang sama persis antara
anak yang satu dengan lainnya. Perubahan muncul sesuai
dengan kondisi kepribadian, usia, lingkungan, dan
pengalaman anak.

Perkembangan kepribadian tidak terlepas dari tingkat
kemampuan anak dalam menyesuaikan diri. Penyesuaian diri

53

yang dilakukan memiliki dia kecenderungan, yakni
kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan baik (well
adjustment) dan dengan buruk (maladjustment). Anak yang
disebut normal cenderung mampu menyesuaikan diri dengan
baik yang ditunjukkan dengan keselarasan dalam pribadinya.
Sedangkan penyesuaian diri anak abnormal yang dalam hal ini
juga termasuk anak berkebutuhan khusus cenderung ke arah
buruk. Hal tersebut dapat diamati dari ketidakmampuannya
dalam menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri maupun
dengan lingkungan sosial. permasalahan ini dapat
menimbulkan konflik pada perkembangan psikologis anak
abnormal.

SOAL LATIHAN

1. Terdapat lima tahapan perkembangan secara umum
berdasarkan pada zona erogen yang merupakan sumber
energi psikoseksual seorang anak. Jelaskan mengenai tahapan
tersebut?

2. Dalam proses hidupnya, manusia mengalami periode-periode
dalam masa perkembangan. Jabarkan secara jelas dan singkat
mengenai periode perkembangan anak?

3. Menurut pemahaman Anda, hal apa sajakah yang dapat
mempengaruhi bentuk atau pola sosial pada anak? Jelaskan?

4. Pada masa remaja, anak cenderung menonjolkan sikap anti
sosial. Apa saja yang mendorong anak untuk bersikap seperti
itu? Jelaskan menurut pendapat Anda?

5. Jelaskan dampak yang dapat Anda prediksi apabila terdapat
hambatan dalam periode-periode perkembangan anak?

54

BAB III
PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

ANAK TUNANETRA

Ketunanetraan menjadi istilah yang mendefinisikan
individu dengan keterbatasan penglihatan, baik yang
menyeluruh (buta) maupun yang hanya mengalami sedikit
gangguan (low vision). Kebutaan terjadi apabila anak benar-
benar tidak mampu menerima rangsangan cahaya dari luar
(visus = 0). Sedangkan anak dengan low vision masih mampu
menerima rangsangan cahaya dari luar dengan jarak pandang
maksimal 6 meter dengan luas pandangan maksimal 20°
(derajat). Masalah tersebut menyebabkan anak tidak dapat
memfungsikan peranan indera penglihatan secara baik dan
optimal sehingga informasi yang diterimanya hanya
berjumlah sedikit.

Ketunanetraan disebabkan oleh faktor internal dan
eksternal yang setiap kondisinya memiliki riwayat penyebab
masing-masing. Namun, secara universal dapat diketahui
faktor-faktor penyebab ketunanetraan, yakni sebagai berikut.
1. Prental (Sebelum Kelahiran)

Pada tahap ini ketunaan sudah dapat diprediksi sejak anak
masih berupa janin atau bekum dilahirkan. Faktor prenatal
memiliki tiga periode, yaitu periode embrio, periode janin
muda, dan periode janin aktini. Kondisi tunanetra muncul
akibat pengaruh trauma karena pernah merasakan
guncangan atau terkena bahan kimia berbahaya. Selain
itu, ketunanetraan juga dapat terbentuk dari faktor
keturunan, keadaan psikologis ibu, kekurangan gizi,
keracunan obat, terdampak virus, dan lain-lain.

55

2. Neonatal (Saat Kelahiran)
Neonatal merupakan periode saat anak dilahirkan.
Penyebab ketunanetraan pada periode ini yaitu anak lahir
sebelum waktunya (prematurity), kesalahan dalam
menggunakan bantuan alat saat proses kelahiran (tang
verlossing), posisi bayi yang tidak normal, kelahiran ganda
dan keadaan bayi yang tidak sehat.

3. Posnatal (Setelah Kelahiran)
Penyebab pada masa postnatal terjadi setelah bayi
dilahirkan. Kondisi kelainan yang terjadi di periode ini
dialami anak saat memasuki masa perkembangan di mana
dampak buruk dari faktor eksternal sangat berpengaruh
terhadap kemunculan kelainan tersebut. Gangguan
penglihatan ini dapat diakibatkan oleh suhu badan yang
terlalu tinggi, kekurangan vitamin, kekurangan gizi dalam
makanan, adanya bakteri dalam tubuh, dan kecelakaan
yang menyebabkan kerusakan pada indera penglihatan,
seperti terbenturnya organ tubuh yang berhubungan
dengan mata, masuknya benda keras atau tajam pada
mata, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan
kendaraan, dan lain-lain.

A. Perkembangan Fisik Anak Tunanetra
Kondisi fisik anak tunanetra yang terganggu berhubungan

erat dengan perkembangan motoriknya yang cenderung
lambat dibandingkan dengan anak normal pada umumnya.
Akibat dari kelainan pada fungsi penglihatannya, anak
tunanetra mengalami kondisi psikis yang kurang memberikan
peranan dalam pengembangan diri. Pemahamannya yang
terbatas terhadap realitas situasi lingkungan menyebabkan
anak kesulitan dalam mengidentifikasi dan menghadapi suatu
bahaya, mempertahankan keberanian dan rasa percaya diri
untuk melakukan banyak kegiatan serta melakukan banyak

56

gerakan tubuh. Masalah tersebut menjadikannya kurang
memaksimalkan fungsi fisik dalam melakukan aktivitas
motorik.

Anak tunanetra melewati tahapan perkembangan yang
sama dengan anak normal. Dalam usahanya untuk mulai
dapat berjalan, anak tunanetra melalui tahapan menegakkan
kepala, telungkup, merayap, merangkak, dan seterusnya
sampai akhirnya mampu berjalan, akan tetapi prosesnya lebih
lambat karena rangsangan visualnya yang kurang. Hal itu
mengakibatkan perkembangan koordinasi tangan dan badan
mengalami hambatan yang kemudian mempengaruhi
kemampuan motorik di masa mendatang.

Ketika bayi, anak tunanetra mengalami kesukaran dalam
melewati periode di mana ia berusaha mengikuti dan
menjangkau benda dengan menggunakan indera penglihatan.
Anak tunanetra tidak mampu memaksimalkan pengalaman
dan percobaan koordinasi mata dengan tangan. Mereka
kesukaran untuk menjangkau benda dan mengetahui apa saja
yang ada di sekitarnya.

Pada usia lima belas bulan, anak normal sudah mampu
berjalan dan mengeksplorasi sesuatu sendiri. Saat
keseimbangan tubuhnya mencapai tahap lebih sempurna,
anak akan belajar berlari dan melompat. Namun, hal yang
sama tidak terjadi pada anak tunanetra. Ia mulai berjalan pada
usia lebih dari lima belas bulan, tergantung seberpa tangguh
dirinya untuk terus belajar berjalan. Problema yang dialami
anak tunanetra tersebut didorong oleh faktor motivasi yang
kurang atau bahkan tidak ada sama sekali akibat dari
keparahan kelainan yang dimiliki. Motivasi yang dimaksud
dapat bersifat internal atau eksternal dalam mencapai tujuan
untuk dapat melangkahkan kakinya pada posisi berdiri,
misalnya untuk mengambil benda atau menjangkau
keberadaan orang lain di sekitarnya.

57

Anak tunanetra tidak mampu mengobservasi dan
menirukan sesuatu melalui visual secara langsung terhadap
gerakan atau aktivitas yang dilakukan orang lain sehingga
menghambat perkembangan tingkah laku motoriknya.
Keterbatasan anak tunanetra juga mencakup kemampuan
melakukan mobilitas, seperti berpindah-pindah tempat. Hal
yang sering ditampakkan anak tunanetra ketika berjalan,
melakukan sesuatu yang belum familiar dengan
memfungsikan tangannya dan melakukan gerakan tubuh yang
sukar adalah munculnya ketegangan, gerakan kaku,
kelambanan, tempo gerakan yang pelan, terlalu was-was, dan
penuh kehati-hatian.

B. Perkembangan Kognitif Anak Tunanetra
Perkembangan anak tunanetra dari segi kognitif tidak

menonjolkan perbedaan yang signifikan dengan anak normal.
Akan tetapi, keterbatasan pengalaman taktik dan visual
menjadi hambatan khusus pada daya kognitif mayoritas anak
tunanetra. Hal tersebut dapat diatasi dengan memaksimalkan
fungsi pendengaran (auditoris) dan perabaan (taktil). Selain
itu, bantuan orang lain juga sangat diperlukan untuk
membantu menginstruksikan secara jelas dan berulang
mengenai hal-hal yang ingin diketahui atau dilakukan anak.

Desiningrum (2016) menambahkan, bahwa dalam hal
inteligensi, secara umum tingkat kecerdasan anak tunanetra
berada di bawah rata-rata yang ditunjukkan pada
keterbatasan dan keterhambatan anak dalam memberikan
respon sesuai dengan pengalaman, interaksi sosial dan
pemahaman terhadap lingkungan yang juga sangat terbatas.
Kirley dalam Somantri (2018) menjabarkan rentang IQ anak
tunanetra dengan menggunakan Hayes-Binet Scale yang
berkisar antara 45-160 dengan distribusi 12,5% memiliki IQ

58

kurang dari 80 dan 37,5% memiliki IQ di atas 120, serta 50%
memilki IQ antara 80-120.

Dilandasi oleh gangguan perkembangan kognitif yang
dialami, kegiatan pembelajaran anak tunanetra lebih
menekankan pada pemanfaatan fungsi indera lain untuk
membantu menerjemahkan informasi yang diterima. Hal
tersebut juga bermanfaat terhadap proses pendefinisian dan
pembentukan konsep dalam yang bersifat visual. Kesulitan
pemahaman visual akibat disfungsi indera penglihatan
menyebabkan anak tunanetra mengalami kesukaran dalam
berorientasi dengan lingkungan sekitar. Pada dasarnya,
layanan pendidikan bagi anak tunanetra sama dengan yang
diberikan untuk anak normal. Perbedaannya ada pada Teknik
penyampaian yang disesuaikan dengan kemampuan,
ketidakmampuan dan karakteristik masing-masing anak
tunanetra (Wardani, dkk., 2008).

Berdasarkan kebutuhan untuk tetap mengenal dunia
sekitarnya, anak tunanetra menjadikan indera pendengaran
sebagai sarana utama dalam menerima informasi dari luar,
meskipun hanya berupa suara. Dari suara yang didengar, anak
hanya dapat mendeteksi dan membentuk gambaran
mengenai sumber, arah dan jarak objek informasi serta
ukuran dan kualitas ruangan, tetapi tidak mampu
menggambarkan dengan konkret terhadap bentuk,
kedalaman, warna dan dinamikanya. Pemenuhan kebutuhan
anak tunanetra atas rangsangan sensoris mampu
menambahkan informasinya terkait benda-benda dan
kejadian-kejadian di sekelilingnya. Aktivitas imitasi anak
dengan ketunanetraan dirangsang terlebih dahulu melalui
stimuli pendengaran dan dibantu oleh indera-indera yang lain.

Dalam pemahaman bahasa, kosakata yang dimiliki anak
tunanetra cenderung bersifat definitif dan diperoleh melalui
pengalaman pribadi dalam memaknai kata-kata yang berarti

59

serta melalui orang lain yang memberikan kata-kata
verbalistis di mana ia sering tidak memahaminya. Ia dapat
mempertahankan pengalaman-pengalaman khusus meskipun
kurang terintegrasi dan cenderung menghadapi masalah
konseptualisasi yang bersifat abstrak berdasarkan pandangan
yang konkret dan fungsional.

C. Perkembangan Sosial-Emosional Anak Tunanetra
Secara global, perkembangan sosial anak tunanetra tidak

terbentuk dengan maksimal, ditunjukkan dengan kemampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang kurang sehingga
berpengaruh terhadap kepribadiannya (Hallahan dan
Kauffman (1991). Penyesuaian diri anak tunanetra sangat
dipengaruhi oleh perlakuan orang lain terhadap dirinya.
Apabila orang lain memperlakukannya dengan baik tanpa
adanya diskriminasi, maka ia akan mampu menyesuaikan diri
dengan baik. Begitu pun dengan sebaliknya, jika orang lain
memperlakukannya dengan tidak baik dan cenderung
menghindar, maka anak tidak akan mampu melaksanakan
penyesuaian diri dengan maksimal dan cenderung menarik
diri dari lingkungan.

Penolakan masyarakat terhadap anak tunanetra dapat
diakibatkan oleh penilaian dan persepsi yang salah atau
negatif terhadap ketunanetraan, seperti keterbatasan anak
dalam menguasai keterampilan sosial yang menunjukkan
sikap kurang baik saat berkomunikasi. Akibatnya, konsep diri
yang terbentuk pada anak tunanetra cenderung lebih negatif
dibandingkan anak normal. Beberapa karakteristik yang
timbul karena perkembangan sosial anak tunanetra yang
kurang terbentuk dengan sempurna dijelaskan sebagai
berikut.

60

1. Terlalu Bergantung Pada Orang Lain
Karakteristik ini dialami anak tunanetra sebagai dampak
usahanya yang belum berhasil dalam mengatasi kesulitan
atau permasalahan sehingga memerlukan bantuan orang
lain untuk menyelesaikannya. Dalam hal ini, anak akan
terus mengharapkan pertolongan orang lain di segala
aktivitas, termasuk pada hal-hal kecil yang sebetulnya
dapat dilakukannya sendiri.

2. Curiga Pada Orang Lain
Rasa curiga yang dialami anak tunanetra sering dipicu oleh
gangguan pada kemampuan mobilitas akibat
keterbatasan rangsangan visual atau penglihatan sehingga
kurang mampu berorientasi pada lingkungan. Anak
tunanetra merasakan kesukaran untuk bergerak atau
berjalan dengan bebas dan mengetahui segala sesuatu di
sekitarnya. Hal itu menjadi alasan paling kuat untuk
mengekspresikan rasa curiga terhadap orang lain.

3. Mudah Tersinggung
Dari pengalaman-pengalaman yang telah dilalui anak
tunanetra, tentu terdapat beberapa yang merupakan
pengalaman buruk bagi dirinya. Mungkin sebagian anak
tidak akan mempermaslahkan hal tersebut terlalu jauh,
namun tidak untuk tunanetra. Pengalamannya yang buruk
tetap membekas dalam ingatan dan membentuk rasa
trauma. Hal tersebut dapat memicu kondisi emosional
yang kurang stabil karena persepsi orang lain tentang
dirinya, terutama pada kondisi fisik yang menjadikannya
mudah tersinggung.

Anak tunanetra sedikit mengalami hambatan dalam
perkembangan emosi karena keterbatasan yang dialami pada
proses belajarnya. Pengalaman mengamati lingkungan secara
tepat kurang dapat dilalui anak tunanetra untuk menyatakan

61

emosinya. Bentuk pernyataan emosi nonverbal banyak
dilakukan dari proses belajar imitasi, yakni dengan melakukan
pengamatan visual terhadap orang-orang sekitar dalam
mereaksi situasi tertentu. Anak kurang atau tidak memiliki
kemampuan belajar secara visual mengenai penentuan
stimulus-stimulus yang harus diberikan respon emosional dan
pemberian respon yang terhadap stimulus-stimulus tersebut.

Anak tunanetra mengalami hambatan pada kemampuan
komunikasi emosional yang dicerminkan melalui ekspresi atau
reaksi-reaksi wajah dan tubuh lainnya sebagai penyampaian
perasaan yang hendak diinformasikan kepada orang lain.
Emosi lebih sering dinyatakan secara verbal yang seiring
bertambahnya usia, kematangan kognitif, keterampilan
berbicara dan pembendaharaan bahasa yang dimiliki semakin
menunjukkan peningkatan dan ketepatan. Perkembangan
emosi anak tunanetra cenderung menurun ketika mengalami
deprivasi emosi atau keadaan di mana dirinya kurang
berkesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang
menyenangkan. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap
perkembangan aspek-aspek psikologis anak tunanetra.

D. Perkembangan Kepribadian Anak Tunanetra
Secara universal, tidak ada perbedaan yang signifikan dari

kepribadian anak tunanetra dengan anak normal. Adanya
keterhambatan dalam proses perkembangan kepribadian
anak tunanetra biasanya dipengaruhi oleh karakteristik
ketunaan yang dimiliki. Hambatan kepribadian yang dialami
dapat ditunjukkan melalui keadaan frustasi, neurotik,
introversi dan rigiditas mental.

Anak low vision sering mengalami krisis identitias di mana
ia sering merasa bingung dalam menemukan konsep diri. Di
satu sisi ia masih dapat disebut sebagai anak awas atau
normal, namun di sisi lain ia disebut anak tunanetra karena

62

mengalami keterbatasan penglihatan. Jika dibandingkan
dengan kondisi tunanetra sejak lahir, ketunaan yang terjadi
setelah anak dilahirkan memberikan pengaruh lebih besar
terhadap sukarnya penyesuaian diri.

Anak tunanetra cenderung menunjukkan perilaku dengan
karakteristik spesifik dan unik sebagai kompensasi dari
ketunanetraan. Mereka sering mempertahankan gagasan dan
keyakinannya yang menurut penilaian secara umum masih
perlu dipertanyakan tentang kebenaran dan keakuratannya.
Sifat dan sikap berlebihan yang biasa dimiliki oleh mayoritas
anak tunanetra meliputi rasa ragu, mudah curiga, rendah diri,
menghindari kontak sosial, menolak kehadiran orang baru,
mudah menyalahkan orang lain atas permasalahannya,
mempertahankan pendapat yang belum tentu benar dan sulit
menanamkan rasa percaya kepada orang lain.

E. Penanganan Masalah Anak Tunanetra
Permasalahan yang dialami anak tunanetra bukan hanya

pada disfungsi indera penglihatan, akan tetapi lebih jauh dari
itu, ia juga mengalami masalah-masalah pada perkembangan
psikologisnya di beberapa aspek, seperti aspek kognitif,
emosi, sosial dan kepribadian. Penyertaan masalah tersebut
dipengaruhi erat oleh hambatan penglihatan yang dialami.
Dalam rangka membantu memaksimalkan fungsi anggota
tubuh, meningkatkan kemampuan intelektual dan
memperbaiki penyesuaian diri yang buruk, maka diperlukan
pelayanan atau penanganan spesifi guna ketercapaian tujuan
tersebut.

Penanganan dapat berupa layanan pendidikan khusus dan
terapi-terapi yang mampu memberikan dampak positif pada
kehidupan anak tunanetra. Hambatan penglihatan
menjadikannya anak yang kurang mandiri karena
keterbatasan dalam bergerak, berpindah-pindah tempat,

63

menentukan sesuatu yang bersifat visual dan menghindari
bahaya. Selain bertujuan untuk meningkatkan kualitas
kognitif, pendidikan bagi penyandang tunanetra juga
diperuntukkan sebagai upaya mengembangkan keterampilan
dan kemandirian.

Secara umum, kepribadian anak tunanetra cenderung
lebih dapat dikontrol jika dibandingkan dengan anak dengan
gangguan intelektual dan perilaku. Keutamaan masalah yang
ada pada penglihatan tanpa disertai masalah intelektual yang
kronis masih belum cukup kuat untuk menurunkan
kemampuan anak tunanetra dalam membentuk konsep
pribadi secara drastis. Namun, pembentukan kepribadian
anak juga tidak terlepas dari peranan sosial, baik dari
lingkungan maupun subjek dalam lingkungan tersebut.
Dorongan motivasi yang utuh mampu menguatkan kondisi
psikologis anak. Ditambah lagi dengan penanganan yang tepat
akan meminimalisasi problema pada anak tunanetra.

Sebagai langkah awal penanganan anak dengan gangguan
penglihatan, hendaknya mengidentifikasi terlebih dahulu
terkait karakteristik anak. Hal yang telah kita ketahui, bahwa
setiap anak tunanetra memiliki karakteristik spesifik yang
tidak sama antara satu dengan lainnya. Mereka memiliki ciri
khas hambatan, permasalahan di luar gangguan penglihatan,
kemampuan, dan cara menangani problema yang dimiliki.
Setelah itu, dapat dirancang pembelajaran dan terapi untuk
memperbaiki keabnormalitasan anak tunanetra. Menurut
Putranto (2015), terdapat beberapa prinsip pembelajaran
bagi tunanetra yang dapat dijadikan bahan acuan, yaitu
sebagai berikut.

64

1. Prinsip Individual
Prinsip ini adalah kaidah pokok dalam setiap jenis
pembelajaran, termasuk pada sekolah luar biasa maupun
inklusi. Guru diwajibkan untuk memahami setiap
perbedaan masing-masing anak tunanetra yang lebih luas
dan kompleks. Diperlukan pembelajaran dan pola
pengajaran yang berbeda antara anak buta total dan low
vision. Pentingnya penerapan IEP (Individual Education
Program) dalam pendidikan anak tunanetra adalah agar
guru mampu merancang strategi pembelajaran yang
benar-benar disesuaikan dengan kondisi anak untuk
mencapai hasil pembelajaran yang maksimal.

2. Prinsip Kekonkretan atau Pengalaman Penginderaan
Prinsip ini menekankan bahwa guru harus menerapkan
strategi pembelajaran yang mampu memberikan anak
tunanetra pengalaman secara nyata atas segala sesuatu
yang dipelajarinya sebagai pengalaman penginderaan
langsung. Anak tunanetra kurang atau tidak mampu dalam
mempelajari sesuatu melalui pengamatan visual yang
memiliki dimensi jarak, maka dari itu perlu adanya strategi
pembelajaran yang memiliki akses langsung terhadap
objek atau situasi. Sebagai upaya memaksimalkan prinsip
ini, perlu disediakan berbagai alat bantu dan media
pembelajaran yang mendukung serta relevan, seperti
komputer berbicara, alat untuk menulis huruf Braille,
Digital Accessible System (DAISY) Player, buku bicara
(digital talking book), printer Braille, termoform dan
telesensori.

3. Prinsip Totalitas
Totalitas yang dimaksud dalam prinsip ini adalah usaha
anak tunanetra untuk memaksimalkan penggunaan funsgi

65

alat indera yang masih berfungsi secara menyeluruh
mengenai suatu objek. Dengan memanfaatkan beberapa
indera sekaligus, pengalaman anak terhadap sesuatu akan
dijangkau lebih luas dan utuh dibandingkan hanya dengan
menggunakan satu indera. Pendengaran, perabaan dan
pengecapan merupakan beberapa indera yang secara
umum lebih memberikan peran penting dalam
pengoptimalan hasil belajar anak.

4. Prinsip Aktivitas Mandiri
Dalam proses pembelajaran anak tunanetra, guru
hendaknya tidak terfokus hanya pada aktivitas di bidang
akademik atau kognitif, namun juga bidang non-akademik
yang menekankan usaha pengembangan keterampilan
dan kemandirian anak. Seperti yang telah diketahui, anak
tunanetra mengalami keterbatasan kemandirian, maka
perlu diperhatikan peningkatan hal tersebut. Strategi
pembelajaran yang diterapkan harus melibatkan anak
untuk bekerja dan mengalami, bukan sekadar mendengar
dan mencatat supaya kemampuan anak dalam hal
mengetahui, memahami, menguasai, mengalami, dan
menjalankan proses perolehan fakta atau konsep dapat
dicapai secara keseluruhan dan optimal.

66

SOAL LATIHAN

1. Jelaskan faktor-faktor penyebab anak mengalami
ketunanetraan?

2. Bagaimanakah perkembangan kognitif anak tunanetra yang
tidak disertai ketunaan lain pada dirinya? Jelaskan?

3. Dalam memenuhi kebutuhan dirinya akan pembendaharaan
informasi yang utuh, termasuk yang bersifat visual, apa
sajakah yang dapat dilakukan oleh anak tunanetra? Jelaskan?

4. Berikan pemahamanmu tentang cara anak tunanetra
menyesuaikan diri dengan lingkungan?

5. Selain mata yang mengalami kerusakan, jelaskan karakteristik
lain yang dimiliki anak tunanetra?

67

BAB IV
PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

ANAK TUNARUNGU

Tunarungu diambil dari kata “Tuna” yang berarti kurang dan
“Rungu” yang berarti pendengaran. Jika digabungkan tunarungu
memiliki arti kekurangan kemampuan mendengar akibat
kerusakan pada fungsi indera pendengaran. Winarsih (2007)
mengemukakan pendapatnya bahwa individu dikatakan tuli
apabila telah kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70
dB ISO atau lebih sehingga tidak mampu memahami pembicaraan
orang lain melalui pendengarannya sendiri dengan atau tanpa
menggunakan alat bantu mendengar. Sedangkan individu
dinyatakan kurang dengar jika kehilangan kemampuan
mendengar pada tingkat 35 dB hingga 69 dB ISO yang
mengakibatkan dirinya mengalami kesukaran dalam memahami
pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, baik
dengan atau tanpa menggunakan alat bantu untuk mendengar.

Boothroyd (1982) mengklasifikasikan tingkat ketunarunguan
beserta karakteristiknya ke dalam lima kelompok. Klasifikasi
tersebut sebagai berikut.
a. Kelompok I

Merupakan kondisi tunarungu di mana penderitanya
kehilangan pendengaran pada taraf 15-30 dB. Kelompok ini
disebut ketunarunguan ringan atau mild hearing losses
dengan karakteristik memiliki kenormalan dalam daya
tangkap suara cakapan manusia.
b. Kelompok II
Kelompok ini disebut dengan ketunarunguan sedang atau
moderate hearing losses. Penderita kehilangan pendengaran

68

sekitar 31-60 dB dengan kemampuan menangkap hanya
sebagian dari suara cakapan manusia.
c. Kelompok III
Penderita kehilangan 61-90 dB dari kemampuan
mendengarnya. Kondisi ini diistilahkan sebagai
ketunarunguan berat atau severe hearing losses di mana tidak
ada daya tangkap penderita atas suara cakapan manusia.
d. Kelompok IV
Disebut sebagai ketunarunguan sangat berat atau profound
hearing losses. Penderita sama sekali tidak dapat menangkap
suara cakapan manusia karena kehilangan pendengaran
berkisar 91-120 dB.
e. Kelompok V
Kehilangan pendengaran yang dialami penderita lebih dari
120 dB yang menyebabkan ketidakmampuan secara utuh
dalam menangkap suara cakapan manusia. Kelompok ini
dinamakan ketunarunguan total atau total hearing losses.

Penyebab ketunarunguan dapat digolongkan menjadi tiga
faktor, yaitu faktor sebelum anak dilahirkan (pre-natal), saat anak
dilahirkan (natal) dan setelah anak dilahirkan (post-natal). Berikut
penjelasan atas klasifikasi penyebab ketunarunguan.

1. Faktor-faktor sebelum anak dilahirkan (Pre-Natal)
a. Faktor keturunan
b. Cacar air
c. Campak (Rubella, Gueman measles)
d. Toxaemia (keracunan darah)
e. Penggunaan pilkina atau obat-obatan dalam jumlah
berlebihan
f. Kekurangan oksigen (anoxia)
g. Kelainan organ pendengaran sejak lahir

69

2. Faktor-faktor saat anak dilahirkan (Natal)
a. Rhesus (Rh) ibu dan anak yang sejenis
b. Kelahiran premature
c. Anak dilahirkan dengan menggunakan forcep (alat bantu
tang)
d. Proses kelahiran yang terlalu lama

3. Faktor-faktor sesudah anak dilahirkan (Post-Natal)
a. Infeksi
b. Meningitis (peradangan selaput otak)
c. Tunarungu perseptif yang bersifat keturunan
d. Otitismedia yang kronis
e. Terjadi infeksi pada alat-alat pernafasan

A. Perkembangan Fisik Anak Tunarungu
Jika dilihat secara kasat mata tanpa diperhatikan lebih

teliti, karakteristik dari segi fisik anak tunarungu tidak
memiliki perbedaan yang signifikan dibandingan dengan anak
normal pada umumnya karena gangguan yang dialami tidak
menampakkan kerusakan pada fisik yang terlihat. Namun, jika
diamati dengan lebih seksama, maka terdapat karakteristik-
karakteristik yang menjadi ciri khas dalam perkembangan fisik
anak tunarungu. Beberapa karakteristik tersebut meliputi:
1. Cara berjalan kaku dan agak membungkuk

Kondisi yang dialami anak tunarungu ini terjadi gangguan
pada organ keseimbangan di telinga. Hal inilah yang
menyebabkan anak dengan ketunarunguan mengalami
ketidaksempurnaan dalam keseimbangan pada aktivitas
fisik sehingga membentuk pola berjalan yang cenderung
kaku dan sedikit membungkuk.
2. Pernafasan pendek dan tidak teratur
Pernafasan yang pendek dan tidak teratur disebabkan
oleh pengalaman mendengarkan yang sangat kurang.

70

Mereka tidak mengalami aktivitas mendengarkan suara-
suara dengan sempurna dalam kesehariannya. Selain itu
ketidakmampuan untuk mengeluarkan suara atau berkata
dengan intonasi yang baik juga menjadi faktor penyebab
anak kurang mampu mengontrol pernapasannya secara
normal, terutama pada saat berbicara.
3. Cara melihat agak beringas.
Akibat ketidaksempurnaan pada fungsi indera
pendengaran, anak tunarungu menjadikan kemampuan
penglihatan sebagai usaha paling utama untuk
melangsungkan hidup dan mengatasi segala tuntutan
serta permasalahan. Penglihatan dianggap sebagai indera
yang mendominasi anak tunarungu karena sebagian besar
pengalamannya diperoleh melalui penglihatan.
Berdasarkan penjelasan itulah anak dengan kondisi
tunarungu sering disebut sebagai anak visual. Hal tersebut
menjadikan cara melihatnya cenderung terlihat beringas
karena rasa ingin tahu yang terlalu tinggi terhadap sesuatu
yang diminatinya.

B. Perkembangan Kognitif Anak Tunarungu
Perkembangan kognitif anak tunarungu berkaitan erat

dengan tingkat kemampuannya dalam berbahasa,
menghimpun dan memahami informasi, berpikir secara
abstrak, kondisi psikis dan pengaruh lingkungan. Aspek-aspek
tersebut pada umumnya tidak dicapai anak tunarungu dengan
sempurna akibat ketunarunguan yang dialami sehingga
proses belajar anak menjadi terhambat. Biasanya aspek
kognitif yang terganggu bersifat verbal, seperti merangkum
cerita, mengutarakan pendapat, mendefinisikan sesuatu,
memprediksikan peristiwa dan menyimpulkan bacaan.

Aktivitas perkembangan kognitif anak tunarungu yang
memfungsikan penglihatan dan motorik memberikan

71

peranan yang lebih besar terhadap pengembangan dan
penyesuaian dirinya. Ia memanfaatkan peran keduanya ke
dalam banyak kegiatan agar informasi atau hal yang
diharapkan dalam kegiatan tersebut tetap dapat dicapai.
Kondisi keterbelakangan anak tunarungu tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor ketunarunguannya saja, melainkan
juga pada tingkat kecerdasan, rangsangan mental dan
dukungan lingkungan yang rendah. Diperlukan banyak
kesempatan dan upaya agar anak dapat meningkatkan
kemampuan kognitifnya secara efektif.

C. Perkembangan Sosial-Emosional Anak Tunarungu
Berdasarkan pada kondisi kelainan yang dimiliki, anak

tunarungu tidak merasakan kemudahan untuk berinteraksi
dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Rasa rendah
diri, takut terhadap penolakan dan merasa kurang dihargai
sebagai manusia merupakan beberapa contoh penyebab anak
tunarungu menarik diri dari sosial. Persepsinya tentang
pemikiran orang lain terhadap keterbatasan dirinya yang
belum tentu benar mendukung penarikan diri tersebut.
Biasanya anak yang seperti ini memiliki pengalaman kurang
menyenangkan dengan orang lain di masa lalu sehingga
muncul rasa trauma dan tidak ingin mengalaminya kembali.

Dengan adanya permasalahan perkembangan sosial ini,
menambah ketidaktertarikan anak dalam mengembangkan
potensi verbalnya dan diikuti dengan kecenderungan
menyendiri serta sifat egosentris. Situasi lingkungan dengan
jumlah orang yang terlalu banyak kurang memberikan
kenyamanan bagi anak tunarungu. Hal tersebut diakibatkan
oleh keberagaman budaya lingkungan, karakteristik setiap
orang yang dijumpai dan ramainya komunikasi antar individu
yang dapat membingungkan anak.

72

Minimalnya pembendaharaan bahasa dan
ketidakmampuan berbicara membuat anak tunarungu sulit
terlibat dalam situasi sosial secara baik karena antara dirinya
dan orang yang diajak berinteraksi memerlukan usaha keras
dalam memahami masing-masing bentuk dan cara berbicara
serta makna dari pembicaraan. Selanjutnya, orang lain juga
harus mampu memahami perasaan dan pemikiran anak
tunarungu untuk mempertahankan hubungan sosial di antara
mereka, sementara hal ini merupakan upaya yang sulit
dilakukan, baik oleh orang normal ataupun sesama
tunarungu.

Perkembangan psikologis anak tunarungu dari segi sosial
yang mengalami sedikit gangguan tersebut memberikan
pengaruh negatif bagi perkembangan emosional anak. Tidak
jarang terlalu sedikitnya pemahaman bahasa lisan dan tulisan
menjadikan anak tunarungu keliru dalam menafsirkan
informasi atau sesuatu. Masalah ini menyebabkan tekanan
batin yang diwujudkan melalui emosi-emosi negatif sehingga
mempengaruhi perkembangan pada aspek psikologi lainnya.
Sikap yang ditampakkan biasanya berupa kebimbangan,
keragu-raguan, menutup diri dan bertindak lebih agresif.

D. Perkembangan Kepribadian Anak Tunarungu
Kepribadian anak tunarungu terbentuk oleh hasil

perkembangan pada aspek-aspek psikologi lainnya, meliputi
aspek fisik, kognitif, sosial dan emosional. Apabila semua
aspek dapat dicapai dengan hasil yang baik meskipun
dipengaruhi keterbatasan yang dimiliki akan membentuk pola
kepribadian yang baik pula. Perilaku anak dalam
menyesuaikan diri dengan orang lain dan lingkungan
mencerminkan kondisi kepribadian.

Semenjak anak dilahirkan, seharusnya kepribadian sudah
dikonsep sejak awal karena selain faktor bawaan, kepribadian

73

juga dibentuk melalui dukungan lingkungan. Pernyataan ini
diasumsikan berdasarkan teori bahwa kebiasaan dapat
mengubah kepribadian. Hambatan pada anak tunarungu
memberikan dampak kurang baik bagi perkembangan
psikologisnya sehingga diperlukan penanganan khusus agar
emosi dan sosial anak semakin membaik serta berkontribusi
positif terhadap pola kepribadian yang dimiliki.

E. Penanganan Masalah Anak Tunarungu
Dalam aspek-aspek perkembangan, anak tunarungu

mengalami hambatan yang jika tidak segera ditangani dengan
tepat, maka akan semakin parah tingkat hambatannya.
Gangguan pendengaran yang dialami menyulitkannya untuk
memperoleh berbagai macam informasi, baik dalam hal
pendidikan maupun yang menyangkut kehidupan sehari-hari.
Keterbatasannya menjadikan anak semakin enggan untuk
melakukan aktivitas sosial sehingga berpengaruh terhadap
kematangan konsep diri dan penyesuaian diri.

Indera pendengaran yang tidak dapat difungsikan dengan
baik oleh anak tunarungu berakibat pada kemampuan
berbicaranya sehingga ia juga disebut sebagai
‘tunarunguwicara’ yang berarti gabungan antara tunarungu
dan tunawicara. Cara berkomunikasi anak tunarungu dapat
menggunkan bahasa oral dan bahasa isyarat. Abjad jari pada
bahasa isyarat telah dipatenkan secara internasional
sedangkan untuk isyarat bahasa mengalami keberagaman
atau berbeda-beda di setiap negara, bahkan di daerah. Telah
dikembangkan komunikasi total di setiap sekolah yang
melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat, dan bahasa tubuh
untuk meminimalisasi ketidakmampuan anak dalam
memahami konsep abstrak (Mudjito, dkk., 2012).

Penanganan anak tunarungu tidak terlepas dari kata
intervensi dini. Intervensi dini diberikan sebagai bentuk

74

penerapan bantuan bagi anak tunarungu dalam keoptimalan
pertumbuhan dan perkembangannya. Partisipasi yang aktif
dari orang tua, lingkungan keluarga, pendidik, masyarakat,
terapis, dan pemerintah akan memaksimalkan hasil
penyelenggaraan program intervensi dini. Dalam tujuan
menurunkan tingkatan hambatan, memaksimalkan bakat
atau potensi dan meningkatkan kemampuan di berbagai hal,
perlu adanya program-program untuk memenuhi tujuan
tersebut, di antaranya:
1. Program bimbingan pada orang tua dan guru
2. Program pengembangan sosial dan emosional
3. Program pengembangan kemampuan mendengar
4. Program pengembangan kemampuan berbahasa
5. Program pengembangan kemampuan berkomunikasi
6. Program pengembangan konsep diri atau kepribadian
7. Program pengembangan kognitif
8. Program pengembangan fungsi fisik

SOAL LATIHAN

1. Penyebab ketunarunguan dapat digolongkan menjadi tiga
faktor, yaitu faktor sebelum anak dilahirkan, saat anak
dilahirkan, dan setelah anak dilahirkan. Jelaskan secara rinci
mengenai hal tersebut?

2. Bagaimanakah dampak ketunarunguan terhadap
perkembangan emosi dan sosial anak tuanrungu? Jelaskan
menurut pendapat Anda?

3. Bagaimanakah cara anak tunarungu berinteraksi dengan
orang lain yang tidak memiliki hambatan pendengaran?

4. Jelaskan secara rinci tentang klasifikasi ketunarunguan?
5. Upaya apa sajakah yang dapat dilakukan anak tunarungu

untuk memaksimalkan perkembangan kognitifnya?

75

BAB V
PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

ANAK TUNAGRAHITA

Istilah tunagrahita didefinisikan sebagai suatu kondisi
hambatan atau keterbelakangan mental dan intelektual yang
secara signifikan berada di bawah rata-rata sehingga memerlukan
pelayanan khusus untuk mengatasi kesukaran dalam
menyelesaikan tuntutan atau tugas dalam hidupnya. Sebagai
akibat dari masalah tersebut, perilaku dan penyesuaian diri
penderita juga mengalami ketidaksempurnaan. Terdapat
indikator untuk individu yang mengalami ketunagrahitaan,
meliputi:

1. Mengalami gangguan pada fungsi kecerdasan secara
umum sehingga daya kognitifnya berada di bawah di
bawah rata-rata.

2. Memiliki perilaku abnormal atau maladaptif yang
menyebabkan penderita tunagrahita kesulitan dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.

3. Hambatan pada perilaku sosial terjadi pada usia
perkembangan yaitu sampai dengan usia 18 tahun.

Anak tunagrahita pada masa awal perkembangan tidak
mengalami perbedaan kondisi secara kasat mata jika disamakan
dengan anak normal pada umumnya. Namun, seiring berjalannya
waktu, anak tunagrahita mulai menonjolkan keabnormalitasan
pada aspek-aspek perkembangannya sehingga perbedaan
dengan anak normal mulai dapat diketahui secara jelas.
Kecerdasannya yang sangat terbatas menyulitkan anak untuk
mencapai tahapan perkembangan yang optimal.

76

Untuk menentukan ketunagrahitaan tidak hanya
memperhitungkan nilai IQ yang dimiliki, melainkan juga
memperhatikan tingkat keabnormalitasan perilaku dan
penyesuaian diri anak. Terdapat pengklasifikasian tunagrahita
yang telah ditentukan oleh para ahli atau pakar. Berikut
dipaparkan mengenai pengelompokkan tunagrahita menurut
AAMD (American Association on Mental Deficiency), yakni
sebagai berikut.

1. Tunagrahita Ringan (Mampu Didik)
Pada kelompok ini, tingkat kecerdasan atau IQ yang dimiliki
penyandang tunagrahita adalah 50–70. Mereka masih
mampu untuk mengembangkan dalam bidang akademik
meskipun kemampuannya tetap berada di bawah rata-rata
anak normal. Di samping itu, tunagrahita ringan masih
memiliki kemampuan di beberapa hal, seperti berinteraksi
sosial, melakukan pekerjaan sederhana, memiliki
keterampilan dalam bidang vokasional, menyesuaikan diri
dengan lingkungan yang lebih luas dan dapat
mempertahankan kemandirian.

2. Tunagrahita Sedang (Mampu Latih)
Penyandang tunagrahita dalam klasifikasi ini memiliki tingkat
kecerdasan atau IQ sekitar 30–50. Mereka mampu
mempelajari keterampilan sederhana untuk memanfaatkan
fungsi indera dan meningkatkan kemandirian bertugas atau
bekerja, mengurus dirinya sendiri (self-help) meskipun tidak
jarang masih membutuhkan bimbingan dan bantuan orang
lain, beradaptasi sosial dengan ngkungan sekitar, dan
mengerjakan pekerjaan rutin dalam kesehariannya meskipun
masih diperlukan pengawasan.

3. Tunagrahita Berat dan Sangat Berat (Mampu Rawat)
Tingkat kecerdasan atau IQ penyandang tunagrahita berat
dan sangat berat mencapai nilai kurang dari 30. Mereka

77

hampir sama sekali tidak mampu untuk mempelajari segala
sesuatu yang berkaitan dengan bidang akademik dan
keterampilan. Mayoritas dari mereka merasakan kesulitan
yang berlebihan untuk mengurus dirinya sendiri melalui
kegiatan sehari-hari yang sederhana, walaupun ada beberapa
tunagrahita dengan klasifikasi ini yang masih mampu untuk
diajarkan secara perlahan mengenai keterampilan mengurus
diri, komunikasi yang sangat sederhana dan adaptasi
lingkungan.

A. Perkembangan Fisik Anak Tunagrahita
Kondisi fisik yang nampak pada anak tunagrahita tanpa

kelainan lain sebagai penyerta ketunaan dapat dikatakan tidak
memiliki perbedaan yang signifikan jika dibandingkan dengan
anak normal pada umumnya. Namun, pada kondisi
ketunagrahitaan tertentu, seperti down syndrome, memiliki
perbedaan karakteristik fisik dengan lainnya sehingga mudah
diidentifikasi bahwa ia merupakan anak tunagrahita. Ciri-ciri
lain yang biasanya menonjol pada anak tunagrahita yaitu
penampilan fisik yang tidak seimbang, misalnya kepala terlalu
besar atau terlalu kecil dan koordinasi gerakan yang kurang
serta tidak terkontrol dengan baik.

Perkembangan fisik dan motorik anak tunagrahita
mengalami keterlambatan daripada anak yang normal.
Tingkat kondisi fisik atau jasmani anak tunagrahita hanya
mencapai MA (Mental Age) 2 tahun sampai dengan 12 tahun.
Kemampuan mereka dalam menggerakkan anggota tubuh
secara fungsional mengalami hambatan. Padahal gerakan-
gerakan fungsional tersebut merupakan dasar bagi semua
keterampilan gerak yang lain. Dengan keterbatasan ini,
mereka kehilangan sebagian atau seluruh dampak positif dari
gerakan fundamental yang sangat berperan penting bagi
kualitas hidupnya.

78

B. Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita
Dalam proses belajar, anak tunagrahita memilki hambatan

dan masalah pada karakteristik belajarnya. Ia mengalami
kesulitan dalam memecahkan masalah secara mandiri, baik
masalah ringan ataupun berat, sukar untuk
menggeneralisasikan dan mentransfer hal-hal yang baru
baginya, serta memiliki minat dan perhatian dalam
penyelesaian tugas yang kurang atau bahkan hilang.
Kemampuan kognitif anak tunagrahita bergantung pada
kelompok atau klasifikasinya, meliputi:
1. Tunagrahita ringan dengan IQ 50–70 masih mampu untuk

mempelajari hal yang berkaitan dengan bidang akademik,
seperti berhitung, membaca dan menulis. Pengajaran
keterampilan-keterampilan, seperti menggambar,
memainkan alat musik, bernyanyi, membuat prakarya
masih dapat diberikan kepada anak tunagrahita ringan.
Maka dari itu, tunagrahita dalam klasifikasi ringan disebut
dengan tuagrahita mampu didik.
2. Tunagrahita sedang yang memiliki IQ 30-50 tidak mampu
untuk dihadapkan dalam penyelesaian masalah di bidang
akademik yang cukup rumit. Ia masih bisa diajarkan
membaca, menulis dan berhitung, namun dengan materi
yang sangat sederhana sesuai dengan kemampuan anak.
Namun, tidak jarang anak tunagrahita sedang kehilangan
kemampuan secara utuh dalam mengikuti aktivitas
akademik. Mereka masih mampu untuk diberikan
keilmuan mengenai keterampilan-keterampilan yang
secara pengajarannya ditujukan untuk peningkatan
kemandirian dan memfungsikan kembali anggota tubuh
yang lemah. Selain itu, anak tunagrahita sedang juga tidak
mengalami kesulitan yang signifikan untuk mengurus dan
merawat dirinya sendiri dalam hal-hal sederhana,

79

misalnya kegiatan makan, minum, mandi, dan memakai
baju.
3. Tunagrahita berat dan snagat berat yang memiliki IQ di
bawah 30. Tentu mereka mengalami kesulitan yang luar
biasa dalam memahami materi pembelajaran meskipun
tingkat kesulitan materi sudah diturunkan sesuai dengan
kondisi anak. Kecerdasannya yang sangat rendah
membuatnya kehilangan banyak kesempatan untuk
memaksimalkan perkembangan kognitifnya. Daya ingat
dan perhatiannya terhadap sesuatu berada di tingkat
terlemah. Gangguan fungsi intelektual yang dialami anak
tunagrahita pada klasifikasi ini berdampak buruk terhadap
perkembangan psikologisnya di segala aspek.

C. Perkembangan Sosial-Emosional Anak Tunagrahita
Anak tunagrahita memiliki beragam permasalahan dalam

perkembangan diri, terutama pada kognitif dan perilakunya.
Keterhambatan tersebut menimbulkan masalah baru bagi
kestabilan emosi dan penyesuaian diri terhadap lingkungan
serta masyarakat umum. Keterbatasan intelektual
membuatnya sulit membedakan emosi baik dan buruk serta
kurang mampu mengontrol emosi yang diluapkan sebagai
cerminan perasaan. Anak tunagrahita sukar bergaul dengan
anak-anak atau orang dewasa normal karena mayoritas
mereka tidak memahami cara berinteraksi anak tunagrahita.
Dalam bersosialisasi, anak tunagrahita lebih nyaman untuk
menjalin interaksi dengan anak di bawah usianya. Topik dan
cara anak normal dalam berkomunikasi dianggap terlalu sukar
untuk dipahami anak tunagrahita dengan daya kognitif
rendah.

Sebagian anak tunagrahita masih mampu berkomunikasi
dengan orang lain, namun dengan pembahasan yang masih
dapat dipahaminya. Penentuan pembahasan yang dijadikan

80

bahan interaksi dengan anak tunagrahita hendaknya
disesuaikan dengan tingkat keparahan dalam ketunagrahitaan
anak. Anak tunagrahita cenderung menampakkan emosinya
yang tidak terkontrol, ditunjukkan dengan amarah dan sikap
menghindar apabila tidak memahami makna pembahasan
dalam proses interaksi. Ia memilih untuk menyendiri atau
mengganti subjek sebagai teman berkomunikasi yang
dianggap dapat memahami dan menanggapi cara
bersosialisasinya.

Dalam bukunya, Mangunsong (1998) mengemukakan
penjelasan mengenai kemampuan bersosial anak tunagrahita
yang terbentuk dalam komponen-komponen tertentu.
Berikut pemaparan beberapa komponen tersebut.
1. Komponen penyesuaian diri dalam aktivitas kehidupan

sehari-hari, misalnya merawat diri sendiri, menata dan
membersihkan rumah, dan mengerjakan keterampilan
dalam rangka peningkatan kemandirian.
2. Komponen penyesuaian diri di dalam keluarga yang
mencakup komunikasi, kontribusi dan partisipasi di dalam
lingkungan keluarga.
3. Komponen penyesuaian diri di dalam pekerjaan, seperti
sikap terhadap jenis pekerjaan dan penghasilan yang ia
peroleh.
4. Komponen penyesuaian diri dalam kehidupan senggang
dan kehidupan sosial, meliputi partisipasi dalam aktivitas
kelompok, memiliki teman atau sahabat dan mengikuti
kehidupan sosial sesuai dengan norma-norma yang
berlaku.

Dampak ketunagrahitaan terhadap pola emosi yang
tampak pada anak tunagrahita adalah mereka sering kesulitan
dalam mengekspresikan perasaan. Perkembangan emosi
berhubungan dengan tingkat ketunagrahitaan. Kualitas emosi

81

anak tunagrahita ringan hampir sama dengan anak normal,
namun ada beberapa perasaan yang sulit dipahami dan
diungkapkan anak, misalnya sulit mengungkapkan rasa haru
dan kagum. Anak tunagrahita sedang memiliki dukungan
emosi yang lebih stabil daripada anak tunagrahita berat atau
sangat berat, akan tetapi kehidupan emosinya hanya sebatas
emosi-emosi yang sederhana. Sedangkan pada anak
tunagrahita berat atau sangat berat, dorongan untuk mampu
mengontrol emosi dan menjaga kesehatan mentalnya sendiri
tidak dapat ditunjukkan dengan baik.

D. Perkembangan Kepribadian Anak Tunagrahita
Perkembangan kepribadian anak tunagrahita tidak dapat

dipisahkan dari karaktersitik fisik, kognitif, sosial dan
emosionalnya. Hal tersebut berkaitan erat dengan cara anak
merespon rangsangan dari luar dan dalam dirinya, baik
berupa rangsangan fisik ataupun rangsangan sosial.
Kepribadiannya terbentuk dari bermacam-macam faktor
selain akibat ketunagrahitaan yang dimiliki. Pengaruh
eksternal sangat berperan penting dalam pembentukan
pribadinya.

Keadaan lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat
umum yang tidak mendukung perkembangan psikologis anak
tunagrahita menjadi faktor ketidakmatangan kepribadian
anak. Anak tunagrahita hidup dengan ciri kepribadiannya
masing-masing. Anak tunagrahita berjenis kelamin
perempuan cenderung mudah dipengaruhi, kurang sabar,
ceroboh, kurang dapat menahan diri, dan sering melanggar
aturan. Sedangkan anak tunagrahita dengan jenis kelamin
laki-laki cenderung menunjukkan ciri kepribadian berupa
sikap tidak ramah, emosional, mudah depresi, sering
menyendiri, kurang dapat dipercaya, lancang, senang
merusak, dan mengganggu, serta impulsif.

82

E. Penanganan Masalah Anak Tunagrahita
Penanganan terhadap masalah anak tunagrahita

disesuaikan dengan masing-masing klasifikasi. Setiap
klasifikasi memiliki karakteristik tersendiri yang
mempengaruhi kemunculan masalah. Dalam menentukan
strategi pembelajaran, perlu diketahui tingkat kecerdasan,
kemampuan dasar dan dampak hambatan yang dialami.
Memahami kecerdasan dapat dilakukan dengan
menggunakan konsep Mental Age. Binet dan Simon (dalam
Somantri, 2007) mengemukakan definisi Mental Age (MA)
sebagai suatu konsep dalam menentukan tingkatan
kemampuan kecerdasan (inteligensi) untuk dijadikan
kapasitas dasar dalam belajar.

Model pelayanan pendidikan yang tepat dapat membantu
anak memenuhi kebutuhan akademiknya. Model pelayanan
pendidikan bagi anak tunagrahita dapat berupa kelas transisi,
sekolah khusus atau Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian C dan C1,
pendidikan inklusif, pendidikan terpadu, program rehabilitasi
dan home schooling. Dalam tujuan mengatasi masalah-
masalah anak tunagrahita, dirumuskan beberapa teknik
penanganan dengan pendekatan-pendekatan untuk
mencapai tujuan ini, yaitu sebagai berikut.
1. Activity Daily Living (ADL)

Penekanan pendekatan ini pada kemampuan anak
tunagrahita dalam merawat diri. Kemandirian sangat
penting untuk diajarkan kepada anak tunagrahita,
terutama pada tunagrahita sedang dan berat di mana
hambatan yang dialami cukup parah sehingga sering
membutuhkan pertolongan orang lain untuk memenuhi
kebutuhan dirinya. Pendekatan ini bertujuan untuk
meningkatkan kemandirian anak dengan cara
memberikan pengetahuan dan keterampilan tentang

83

aktivitas sehari-hari agar anak mampu merawat diri tanpa
sering bergantung pada bantuan orang lain.
2. Terapi Okupasi (Occupational Therapy)
Pendekatan ini lebih memaksimalkan fungsi terapi
terhadap perbaikan anak tunagrahita dalam
perkembangan psikologisnya, terutama pada aspek fisik
dan motorik. Terapi okupasi (occupational therapy)
diterapkan pada anak tunagrahita berdasarkan tujuan
untuk melatih gerak fungsional anggota tubuh, seperti
latihan gerakan kasar dan gerakan halus.
3. Terapi Vokasi atau Bekerja (Vocational Therapy)
Penanganan anak tunagrahita tidak hanya diperuntukkan
bagi perbaikan kognitif semata, melainkan juga pada
perkembangan keterampilan dan bekerjanya. Terapi ini
memberikan pengalaman bekerja melalui pelatihan-
pelatihan khusus yang mampu meningkatkan kemampuan
anak untuk mengerjakan hal-hal yang produktif. Dengan
menerapkan terapi vokasi, diharapkan anak tunagrahita
berpotensi untuk memiliki penghasilan sendiri dari hasil
karya atau kerjanya.
4. Terapi Bermain (Play Therapy)
Terapi ini diterapkan pada anak tunagrahita melalui
kegiatan bermain. Permainan dalam terapi ditujukan
untuk mengembangkan semua kebutuhan psikologis
anak, seperti kebutuhan meningkatkan daya kognitif,
keterampilan bersosialisasi, mengontrol emosi,
membentuk konsep diri positif dan memaksimalkan fungsi
anggota tubuh.
5. Life Skill
Keterampilan merupakan hal yang berperan penting bagi
pertahanan hidup anak tunagrahita. Sebagai dampak
menurunnya intelektual anak dan perkembangan kognitif
yang jelas mengalami gangguan, maka keterampilan yang

84

dimiliki dapat membantu anak dalam mengatasi
permasalahan hidup, misalnya dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan dan masyarakat, serta
mempertahankan sikap kompetitif.

SOAL LATIHAN

1. Dalam tujuan mengidentifikasi anak tunagrahita, kita harus
memahami indikator seseorang mengalami ketunagrahitaan.
Jelaskan bagaimanakah indikator yang dimaksud?

2. Terdapat klasifikasi ketunagrahitaan dengan karakteristik di
setiap klasifikasi. Sebutkan dan jelaskan mengenai klasifikasi
tunagrahita?

3. Bagaimanakah perkembangan kognitif yang dialami anak
tunagrahita ringan, sedang dan berat? Jelaskan?

4. Apa sajakah usaha yang dilakukan guru untuk
mengembangkan potensi anak tunagrahita di bidang
akademik dan non-akademik?

5. Jelaskan mengenai kemampuan anak tunagrahita dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan masyarakat secara
umum?

85

BAB VI
PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

ANAK TUNADAKSA

Dalam pengertiannya, anak tunadaksa merupakan anak
dengan kondisi fisik yang rusak atau terhambat sebagai bentuk
gangguan atau kelainan yang terjadi pada kenormalan fungsi
tulang, otot, dan sendi. Penyebab tunadaksa dapat berupa faktor
internal, seperti bawaan sejak lahir dan faktor eksternal, seperti
dampak kecelakaan, kekurangan gizi tertentu, mal praktik atau
penyakit. Akibat hambatan yang dimiliki, anak tunadaksa menjadi
kurang mandiri dalam melaksanakan tugas atau tuntutan hidup
yang berkaitan dengan fungsi fisik dan motorik. Diperlukan
bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan yang tidak
mampu dilakukannya sendiri.

Keadaan tunadaksa disebabkan oleh berbagai macam faktor,
yaitu faktor yang timbul sebelum kelahiran, pada saat kelahiran
dan setelah kelahiran.
1. Faktor penyebab tunadaksa dari sebelum bayi dilahirkan,

meliputi:
a. Faktor genetik.
b. Usia ibu yang terlalu tua untuk mengandung dan

melahirkan.
c. Usia kehamilan yang terlalu tua atau melebihi usia

kandungan yang normal.
d. Premature
e. Keguguran yang pernah dialami ibu.
f. Ibu mengalami trauma dan infeksi ketika hamil
g. Pendarahan

86

2. Faktor penyebab tunadaksa yang terjadi pada masa kelahiran,
mencakup:
a. Kesalahan pada saat memberikan obat bius pada saat
kelahiran.
b. Kesalahan dalam menggunakan alat-alat bantu untuk
melahirkan, misalnya vacuum, tang dan tabung.

3. Faktor penyebab tunadaksa setelah bayi dilahirkan, yaitu:
a. Terjadinya trauma.
b. Adanya tumor pada anggota tubuh.
c. Infeksi yang menyebabkan gangguan pada tubuh.
d. Kecelakaan yang menyebabkan disfungsi anggota tubuh.
e. Luka bakar yang kronis dan menetap.
f. Terjadinya tulang yang patah.
g. Amputasi anggota tubuh yang mengalami kerusakan.

Selain faktor-faktor yang membentuk kondisi tunadaksa,
terdapat pula klasifikasi atau penggolongan ketunadaksaan
berdasarkan penyebabnya, yakni sebagai berikut.
1. Kondisi tunadaksa yang terjadi semenjak anak dilahirkan atau

disebabkan oleh faktor keturunan (genetik):
a. Hydrocephalus: ukuran kepala yang membesar akibat

terisi cairan berlebihan.
b. Mycrocephalus: ukuran kepala yang mengecil dan tidak

normal.
c. Cretinism: proporsi tubuh yang kerdil atau katai.
d. Club-foot: bentuk kaki mengalami kerusakan sehingga

menyerupai tongkat.
e. Club-hand: bentuk tangan menyerupai tongkat akibat

gangguan fisik.
f. Congenital hip dislocation: kelumpuhan yang terjadi pada

bagian paha.

87

g. Spina-bifida: kondisi di mana sebagian dari sumsum tulang
belakang yang tidak menutup.

h. Polydactylism: jumlah jari yang lebih dari lima pada
masing-masing tangan atau kaki.

i. Syndactylism: kondisi jari yang berselaput atau menempel
antara jari satu dengan jari lainnya.

j. Clefpalats: langit-langit mulut yang berlubang.
k. Torticollis: kerusakan yang terjadi pada leher sehingga

kepala terkulai ke muka.
l. Herelip: gangguan pada bibir dan mulut.
m. Coxa valga: gangguan pada sendi paha yang

menyebabkan paha membesar.
n. Congenital ampulation: kondisi bayi yang dilahirkan tanpa

anggota tubuh tertentu.
o. Syphilis: kondisi tulang dan sendi yang rusak karena

dampak dari penyakit syphilis.
p. Fedresich ataxia: kerusakan yang terjadi pada sumsum

tulang belakang.

2. Kerusakan pada masa kelahiran:
a. Fragilitas osium: keadaan tulang yang rapuh dan mudah
patah.
b. Erb’s palsy: gangguan saraf lengan yang terjadi kesalahan
pada saat ditarik dan ditekan ketika proses kelahiran.

3. Dampak Infeksi:
a. Poliomyelitis: terjadinya infeksi karena virus yang
menyebabkan kelumpuhan.
b. Tuberkulosis pada lutut atau sendi lain.
c. Tuberculosis tulang: menyerang sendi paha sehingga
menjadi kaku.
d. Still’s disease: adanya peradangan pada tulang yang
menyebabkan kerusakan permanen pada tulang.

88

e. Osteomyelitis: terjadi peradangan di dalam dan di
sekeliling sumsum tulang yang diakibatkan oleh bakteri.

f. Pott’s disease: tuberculosis sumsum tulang belakang.

4. Kondisi atau kerusakan traumatik:
a. Kecelakaan akibat luka bakar
b. Patah tulang
c. Amputasi pembuangan anggota tubuh yang rusak

5. Tumor:
a. Osteosis fibrosa cystica: adanya kista atau kantang yang
berisi cairan di dalam tulang.
b. Oxostosis: terjadinya tumor pada tulang

6. Kondisi-kondisi lainnya:
a. Lordosis: bagian muka sumsum tulang belakang yang
cekung.
b. Kyphosis: bagian belakang sumsum tulang belakang yang
cekung.
c. Scilosis: tulang belakang yang berputar, bahu, dan paha
yang miring.
d. Flat-feet: telapak kaki yang rata dan tidak berteluk.
e. Rickets: tulang yang lunak karena nutrisi dan
mengakibatkan terjadinya gangguan pada tulang dan
sendi.
f. Perthe’s disease: kerusakan atau kelainan pada sendi
paha.

A. Perkembangan Fisik Anak Tunadaksa
Secara umum, perkembangan fisik anak tunadaksa tentu

mengalami hambatan dan gangguan sehingga terbatas dalam
memfungsikan anggota tubuh yang rusak. Secara spesifik,
perkembangan fisik anak tunadaksa disesuaikan dengan jenis

89

kelainan dan waktu terjadinya kelainan tersebut. Masing-
masing klasifikasi memiliki karakteristik fisik sendiri-sendiri
yang mungkin menjadi ciri khas dalam pengidentifikasian dan
pengenalan jenis tunadaksa yang dimiliki.

Potensi pengembangan diri pada aspek fisik anak
tunadaksa tidak berkembang dengan baik dan optimal karena
dampak ketidaksempurnaan anggota tubuh. Dalam
pengaktualisasian diri, anak tunadaksa mengkompensasikan
bagian tubuh yang kehilangan fungsi kepada bagian tubuh
yang masih dapat dimanfaatkan. Pada beberapa khusus,
kerusakan yang terjadi pada satu anggota tubuh dapat
mempengaruhi anggota tubuh yang lain. Akibatnya, anggota
tubuh yang sebenarnya masih utuh secara bentuk, jumlah dan
fungsinya akan mengalami kerusakan karena dampak
gangguan tubuh yang lain.

B. Perkembangan Kognitif Anak Tunadaksa
Baik tidaknya perkembangan kognitif anak tunadaksa

secara umum dipengaruhi oleh kondisi ketunaan. Apabila
dilakukan uji inteligensi, maka tidak ditemukan hambatan
kognitif pada sebagian besar anak tunadaksa. Daya kognitif
masih sama dengan anak normal, namun yang membedakan
pada kelambatan pemahaman informasi dan pengerjaan
tugas yang sering dilakukan anak dengan gangguan fisik.

Sebagai permisalan, anak tunadaksa dengan hambatan
pada tangan memiliki IQ rata-rata dan intelektualnya
berkembang dengan baik. Apabila diberikan tugas yang
berkaitan dengan kemampuan verbal, ia mampu
mengerjakannya. Namun, pada tugas-tugas yang harus
melibatkan fungsi tangannya, ia mengalami kesulitan. Ia sulit
untuk menulis sehingga sering terlambat dalam pengumpulan
tugas dan tidak maksimal saat mengerjakan tugas tersebut.
Singkat cerita, ia memperoleh nilai akhir yang kurang

90

maksimal dan dianggap mengalami hambatan pada
kognitifnya karena sering tidak sanggup menyelesaikan
tuntutan tugas yang memanfaatkan fungsi tangan.

Problema tersebut tidak jarang terjadi pada mayoritas
anak tunadaksa. Diperlukan pemahaman yang penuh dan
bijaksana terhadap kondisi anak tunadaksa. Selain itu, perlu
untuk menyesuaikan proses belajar mengajar dengan batasan
kemampuan yang dimiliki anak. Penyesuaian tersebut dapat
berupa cara atau teknik belajar yang diganti, perpanjangan
waktu dalam pengerjaan tugas dan motivasi atau dukungan
penuh dari pengajar dan orang terdekat agar anak bersedia
belajar dengan maksimal.

Kondisi tunadaksa dengan keterampilan motorik yang
terganggu mempengaruhi perkembangan motorik yang lebih
kompleks pada tahap selanjutnya sehingga membatasi ruang
gerak dalam aktivitas sehari-hari. Hambatan ini berpengaruh
terhadap perkembangan kognitif karena kurang atau
hilangnya kesempatan dalam melakukan kegiatan eksplorasi
lingkungan. Hal tersebut menimbulkan gangguan pada
sensoris terutama pada masa formatif sehingga mengurangi
stimulus yang diperoleh. Semakin besar hambatan yang
dialami anak dalam berasimilasi dan berkomunikasi dengan
lingkungannya, maka semakin besar pula hambatan yang
terjadi pada perkembangan kognitifnya.

C. Perkembangan Sosial-Emosional Anak Tunadaksa
Gangguan sosial dan emosional dapat terjadi akibat

ketunadaksaan yang dimiliki anak. Masalah berinteraksi sosial
anak tunadaksa sering disebabkan oleh perlakuan anak
normal terhadap dirinya sehingga menimbulkan keinginan
untuk menarik diri dari kegiatan interaksi tersebut. Menurut
pendapat Somantri (2018), anak yang memilki kondisi
tunadaksa sejak kecil mengalami perkembangan emosi

91

sebagai anak tunadaksa secara bertahap. Sedangkan
perkembangan emosi anak dengan kondisi tunadaksa setelah
bertumbuh besar atau lebih dewasa akan lebih menampakkan
emosi yang menyangkal kondisi fisik saat ini. Hal tersebut
dialaminya karena pernah menjalani kehidupan sebagai anak
dengan kondisi fisik normal sehingga kondisi tunadaksa
dianggap sebagai suatu kemunduran yang sulit untuk
diterima. Adanya rasa depresi atau stres merupakan masalah
emosi yang menyertai ketunadaksaan.

Penyesuaian diri anak tunadaksa bergantung respon
masyarakat terhadap dirinya. Apabila lingkungan sekitar
mendukung dan tidak mendiskriminasi anak tersebut, maka
tidak ada gejala penyimpangan sosial. Keadaan tunadaksa
yang tidak nampak lebih memungkinkan anak untuk
menyesuaikan diri dengan wajar dibandingkan jika
ketunadaksaan tersebut nampak. Perkembangan sosial dan
emosional anak juga dipengaruhi oleh faktor usia di mana
semakin tinggi usia anak, semakin besar pula perasaan takut
ditolak dari kelompok sosialnya.

Kurang adanya rasa percaya diri, depresi, malu karena
kondisi ketunagrahitaan dan sikap buruk lainnya
mengakibatkan anak semakin jauh dari aktivitas sosial. Anak
yang cenderung lebih sering berada di rumah karena alasan-
alasan tertentu akan memiliki pengalaman sosial dan
emosional yang lebih sedikit dibandingkan dengan anak
tunadaksa yang sering berinteraksi dengan orang lain selain
keluarganya. Semakin sering ia melakukan kontak sosial, maka
semakin banyak teman yang dimiliki dan pengetahuan atau
hal-hal baru yang diterima. Hal tersebut menjadikan emosinya
berkembang dengan stabil dan terkontrol dengan baik.

92

D. Perkembangan Kepribadian Anak Tunadaksa
Pembentukan konsep diri sebagai pribadi dengan

kondisi tunadaksa lebih sulit daripada kondisi normal. Banyak
hal yang berpengaruh dalam pembentukan kepribadiannya.
Pada hubungan sosial anak tunadaksa berusaha untuk
meyakinkan diri bahwa hambatannya tidak akan merusak
hubungan sosial yang dilakukan. Begitu pun dengan konsep
diri yang diciptakan, ia harus meyakinkan dirinya sendiri
bahwa ketunadaksaan tidak menghambat pembentukan
konsep diri atau kepribadian yang normal dan baik.

Kemampuan sosial anak tunadaksa berperan penting
dalam perkembangan kepribadiannya secara keseluruhan.
Perkembangan kepribadian anak tunadaksa secara
keseluruhan dipengaruhi oleh beberapa hal:
1. Tingkat ketidakmampuan atau hambatan yang dialami

akibat ketunadaksaan.
2. Usia ketika mulai terjadi ketunadaksaan sampai batas usia

tertentu sehingga mempengaruhi proses perkembangan
dirinya.
3. Nampak atau tidak nampaknya kondisi tunadaksa yang
berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian
individu, terutama dalam gambaran tubuhnya (body
image).
4. Dukungan keluarga dan masyarakat terhadap anak
tunadaksa akan membawa peranan positif terhadap
perkembangan kepribadian anak.
5. Penerimaan orang lain terhadap keberadaan anak
tuandaksa yang ditunjukkan melalui hubungan sosial yang
baik dan tidak menunjukkan adanya diskriminasi terhadap
kondisi ketunadaksaan yang dialami anak.

93

E. Penanganan Masalah Anak Tunadaksa
Penanganan anak tunadaksa tidak dapat disamaratakan

karena masalah yang terjadi menyesuaikan dengan jenis-jenis
gangguan anak. Namun, penanganan tersebut memiliki satu
tujuan yang sama untuk anak tunadaksa, yaitu untuk
memperbaiki dan memulihkan kondisi fisik yang rusak,
meskipun tidak dapat disembuhkan seutuhnya. Tidak hanya
untuk perbaikan fungsi fisik, namun juga pengembangan
aspek psikologis yang lain, seperti emosi, sosial, kognitif dan
kepribadian.

Perbaikan perkembangan psikologis anak dapat dicapai
melalui layanan terapi dan pendidikan. Layanan terapi yang
tepat bagi anak tunadaksa antara lain fisioterapi, terapi
okupasi, terapi wicara, terapi bermain dan terapi bina diri.
Sasaran pendidikan pada tunadaksa bersifat dual purpose
atau ganda, yakni berkaitan dengan pemulihan fungsi fisik dan
pengembangan pendidikan. Tujuan sasaran pendidikan
tersebut untuk membentuk kemandirian dan keutuhan
pribadi anak tunadaksa. Dalam pendidikan anak tunadaksa,
perlu diperhatikan aspek-aspek berikut.
1. Pengembangan kemampuan intelektual dan akademik
2. Pengembangan fungsi fisik atau anggota tubuh
3. Memperbaiki manajemen emosional
4. Mematangkan kemampuan berkomunikasi dan

bersosialisasi
5. Meningkatkan kemampuan dalam aktualisasi diri
6. Membentuk konsep diri yang positif
7. Mematangkan moral dan spiritual
8. Meningkatkan kemampuan mengekspresikan perasaan

dengan tepat
9. Mempersiapkan masa depan anak yang lebih baik

94


Click to View FlipBook Version