The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

BUKU PSIKOLOGI ABK_AMELIA RIZKY IDHARTONO

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by ameliari, 2021-07-02 19:20:43

BUKU PSIKOLOGI ABK_AMELIA RIZKY IDHARTONO

BUKU PSIKOLOGI ABK_AMELIA RIZKY IDHARTONO

Model layanan pendidikan bagi anak tunadaksa disesuaikan
dengan jenis, tingkat gangguan dan jumlah peserta didik untuk
kelancaran dan pencapaian tujuan pendidikan. Model layanan
dapat diterapkan kepada anak tunadaksa dalam tempat-tempat
penyelenggaraan pendidikan sebagai berikut.

1. Sekolah Khusus Berasrama (Full-Time Residential School)
2. Sekolah Khusus tanpa Asrama (Special Day School)
3. Kelas Khusus Penuh (Full-Time Special Class)
4. Kelas Reguler dan Khusus (Part-Time Reguler Class and Part-

Time Special Class)
5. Kelas reguler dibantu oleh Guru Khusus (Reguler Class with

Supportive Instructional Service)
6. Kelas Biasa dengan Layanan Konsultasi untuk Guru Umum

(Reguler Class Placement with Consulting Service for Reguler
Teachers)
7. Kelas Biasa (Reguler Class)

SOAL LATIHAN

1. Berdasarkan klasifikasinya, sebutkan dan jelaskan tentang
kondisi tunadaksa yang terjadi semenjak anak dilahirkan atau
disebabkan oleh faktor keturunan (genetik)?

2. Terdapat faktor-faktor penyebab seseorang mengalami
kondisi ketunadaksaan. Jelaskan mengenai hal tersebut?

3. Menurut pendapat Anda, jelaskan hal-hal yang
mempengaruhi perkembangan kepribadian anak tunadaksa?

4. Bagaimanakah cara anak tunadaksa dalam mengembangkan
minat dan bakat yang dimiliki meskipun dalam keterbatasan
fisik? Jelaskan sesuai dengan opini Anda?

5. Lakukan kunjungan observasi ke Sekolah Luar Biasa (SLB) atau
inklusi dalam rangka untuk memahami penanganan yang
diberikan bagi anak tunadaksa di sekolah tersebut! Kemudian
tuliskan laporan hasil observasi yang telah Anda lakukan?

95

BAB VII
PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

ANAK AUTIS

Autis merupakan istilah yang diperuntukkan bagi
seseorang yang mengalami keabnormalitasan akibat
gangguan yang menetap pada dirinya dalam aspek kognitif,
perilaku, bahasa, komunikasi, pola bermain, minat atau
ketertarikan, gerakan dan kontak sosial sehingga memerlukan
bantuan dan pelayanan khusus untuk menangani masalah-
masalah tersebut. Kata autis pertama kali dikemukakan pada
tahun 1943 oleh Leo Kanner. Autis berasal dari bahasa Yunani,
yaitu kata ‘auto’ yang memiliki makna ‘sendiri’. Diagnosa autis
hendaknya diidentifikasi sejak dini agar dapat segera
diberikan penanganan dan mencapai kondisi yang lebih baik.

Menurut World Health Organization’s International
Classification of Diseases, autis ditandai oleh perkembangan
tidak normal pada aspek-aspek psikologis akibat kerusakan
pada sistem saraf pusat manusia. Simtomnya dapat
diidentifikasi sebelum usia tiga tahun dengan menunjukkan
gangguan pada interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang
diulang-ulang. Autis merupakan kelainan dengan ciri
hubungan sosial dan bahasa yang terhambat dan abnormal.
Keautisan disebabkan oleh disfungsi otak yang mempengaruhi
perkembangan di bidang sosial dan afektif, komunikasi verbal
dan non-verbal, daya imajinasi, flesibilitas, minat, kognisi, dan
atensi.

Berdasarkan jenisnya, perilaku autistik dibagi menjadi dua
klasifikasi, meliputi perilaku eksesif atau berlebihan dan
perilaku defisit yang berarti berkekurangan. Jenis perilaku
eksesif mencakup hiperaktif dan tantrum atau mengamuk

96

yang ditampakkan pada beberapa sikap negatif yang bisa
menyakiti dirinya sendiri dan orang lain, seperti menjerit,
melempar barang, mencakar, memukul, menyepak, menggigit
dan lain-lain. Sedangkan yang ditunjukkan pada jenis perilaku
defisit adalah gangguan bicara, penyimpangan perilaku sosial,
defisit sensoris, emosi tidak tetap ,dan pola bermain di luar
kewajaran (Handojo, 2004).

A. Perkembangan Fisik Anak Autis
Secara universal, kondisi fisik anak autis hampir sama

dengan anak normal pada umumnya, hanya saja mengalami
gangguan pada sensoris. Gangguan tersebut mempengaruhi
kemampuan motorik anak karena keterbatasan dalam
bergerak atau berpindah-pindah tempat. Gangguan sensoris
yang dialami anak autis adalah sensitivitas dari tingkat
keparahan yang ringan hingga berat terhadap cahaya, suara,
sentuhan, penciuman dan perasa (lidah).

Hampir semua anak autis merasakan ketidaknyamanan
dan ketidakamanan saat mendengarkan suara yang keras. Ia
akan segera menutup kedua telinganya, menghindari sumber
suara dan terkadang berteriak sambil meluapkan emosi
karena terganggu oleh suara keras tersebut. Akibat gangguan
pada sensorisnya, anak autis tidak dapat memakai pakaian
dari jenis kain tertentu. Jika tetap memakai pakaian yang
membuatnya tidak nyaman, maka ia segera ingin melepas
pakaian itu dan menangis dengan kencang. Anak autis juga
tidak menyukai pelukan dan rabaan. Oleh karena itu, jika ada
orang lain yang berusaha menggendongnya, maka dengan
secepat mungkin ia melepaskan diri atau merosot dari
gendongan sebagai tanda penolakan.

Dalam gejalanya, sebagian besar anak autis mengalami
pertumbuhan fisik yang terlambat bila dibandingkan dengan
anak-anak seusianya. Terdapat gerakan-gerakan dan

97

kegiatan-kegiatan aneh yang dilakukannnya dengan sering
atau berulang-ulang (repetitive). Gerakannya menyimpang
dan berbeda dengan anak normal, misalnya melakukan
gerakan yang terlalu aktif atau terlalu lamban. Anak autis tidak
mampu memperkirakan ketinggian dan kedalaman sehingga
sering merasakan ketakutan yang berlebihan ketika berjalan
atau melangkah di lantai yang memilki ketinggian yang
berbeda. Masalah motorik seperti kelemahan pada otot
menjadikannya kurang mampu merencanakan gerakan
motorik sesuai dengan situasi yang dihadapi dan berjalan
dengan kaki yang menjinjit.

B. Perkembangan Kognitif Anak Autis
Perkembangan kognitif merupakan suatu hal yang

memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia, tidak
terkecuali dengan anak autis. Kemampuan kognitif perlu
dikembangkan oleh anak autis untuk meningkatkan
pengetahuannya tentang apa yang dilihat, didengar, diraba,
dirasa, ataupun dicium melalui panca indera yang dimiliki.
Selain pengetahuan yang diperoleh, mengembangkan kognitif
juga menjadikan anak autis lebih dapat menghubungkan,
menilai dan mempertimbangkan suatu hal. Penanganan
dalam memperbaiki kualitas intekektual anak autis perlu
disesuaikan dengan beragam karakteristik yang melekat pada
keautisannya. Anak autis sulit menerima materi pembelajaran
karena keterbatasan kemampuan untuk memahami,
memproses dan menyimpan informasi, terutama yang
bersifat non-visual.

Hambatan perkembangan kognitif anak autis dapat
dilihat dari sikap acuh terhadap pembicaraan atau penjelasan
orang dan sukar memahami instruksi kompleks. Diperlukan
dukungan visual yang menarik perhatian anak untuk
meningkatkan pemahamannya mengenai suatu konsep. Cara

98

tersebut dianggap tepat karena anak autis lebih cepat
memahami hal konkret yang dapat dilihat dan dipegang dari
pada hal abstrak yang sulit dijangkau oleh daya kognitifnya
serta lebih mudah untuk memperoleh informasi secara visual,
baik dua atau tiga dimensi daripada stimulus pendengaran
(Quill dalam Dettmer dkk, 2000).

Dalam meningkatkan kemampuan kognitif anak autis,
diperlukan penanganan yang tepat dengan mengaktifkan
fungsi otak sebagai pusat perkembangan kognisinya.
Sebenarnya, keautisan tidak menghilangkan sepenuhnya
pada daya ingatan anak, namun yang menjadi masalah adalah
kurangnya kemampuan dalam berimajinasi secara benar
sehingga memiliki sifat ketidaktertarikan yang kompleks pada
hal yang membutuhkan banyak energi untuk berpikir.

C. Perkembangan Sosial-Emosional Anak Autis
Salah satu sikap yang sering menjadi ciri khas anak autis

adalah ketidakmampuannya dalam menatap mata (eye
contact) secara langsung. Penguasaan bahasa yang dimiliki
sangat terbatas, anak hanya mengulang-ulang beberapa kata
saja (membeo) atau mengeluarkan suara yang tidak
bermakna. Hal tersebut membuatnya menghindari kontak
sosial, terutama dengan orang asing. Ia seperti memiliki
dunianya sendiri sehingga sulit diajak berinteraksi. Emosinya
labil dan kurang memiliki ketabahan yang kuat. Anak mudah
meluapkan emosi yang kurang terkontrol ketika keinginannya
tidak terpenuhi.

Kemampuan di segala aspek komunikasi pada anak autis
tidak berkembang dengan optimal sehingga terhambat dalam
mengungkapkan perasaan dan apa saja yang ingin
disampaikan melalui verbal dan non-verbal. Dampak yang
terjadi dari komunikasi yang terganggu dapat dilihat melalui
hubungan sosial dan emosi yang kurang baik. Anak autis

99

kurang menyukai aktivitas sosial yang melibatkan orang lain,
termasuk aktivitas berbagi, bergantian, bekerja sama dan
memberi serta menerima hubungan interaksi dengan orang
lain, terutama yang bukan anggota keluarganya.

Menyendiri dan menampakkan kegiatan seperti sibuk
dengan dunianya sendiri merupakan hal yang sangat mereka
sukai. Pola bermain anak autis berbeda dengan kebanyakan
anak seusianya, yaitu bermain dengan benda-benda yang
berputar, misalnya roda dan kipas angin. Hambatan dalam
berinteraksi sosial juga ditampakkan pada beberapa hal yang
sering ia lakukan, seperti sikap acuh tak acuh terhadap hal di
sekelilingnya, menarik diri dari keramaian, emosional,
menunjukkan perilaku yang tidak hangat, mudah marah, tidak
mau mengalah, tidak ada kontak mata dengan orang lain dan
lebih suka bermain sendirian.

D. Perkembangan Kepribadian Anak Autis
Pemahaman tentang kepribadian anak autis

berhubungan erat dengan kemampuannya dalam
bersosialisasi dan mengatur emosinya. Minat yang dimiliki
sangat terbatas. Ia kurang senang melakukan hal-hal yang
monoton. Rasa jenuh atau bosan sangat mudah dialami oleh
anak autis. Maka dari itu, perlu adanya permainan-permainan
yang tidak menjenuhkan anak serta dapat memberikan
edukasi melalui permainan yang ia kerjakan.

Anak autis cenderung senang saat berada di lingkungan
yang tetap, baik tempat maupun susunan benda yang ada di
tempat tersebut. Ia menolak perubahan pada lingkungan yang
dianggap nyaman dan aman untuk ditempati. Tidak adanya
minat dan motivasi ditunjukkan dengan mengulangi
perbuatan yang disenangi secara berulang-ulang dan terus-
menerus. Ia juga menyukai hal-hal yang memiliki keteraturan
secara berlebihan.

100

Dalam kepribadiannya, anak autis sulit untuk
menentukan mana hal yang semestinya ia takuti dan yang
tidak ditakuti. Ia mengalami kesukaran dalam menyadari dan
menghindari hal-hal yang berbahaya karena tidak memahami
secara benar dan utuh mengenai konsekuensi dan dampak
dari bahaya tersebut. Pemahamannya yang kurang tentang
keadaan lingkungan dan norma-norma sosial menjadikannya
pribadi yang kurang memiliki rasa malu. Sebagai contoh, anak
autis sering berteriak dan mengucapkan perkataan dengan
suara kencang tanpa mengetahui makna dan tujuan hal yang
ia lakukan. Apabila ada keinginannya yang belum terpenuhi,
ia tidak malu untuk menangis dan meraung di hadapan
banyak orang sebagai cara agar keinginannya dikabulkan.
Namun, terkadang anak autis menjadi pribadi yang pendiam,
terutama saat ia merasakan letih dan ketika asik dengan
dunianya sendiri.

E. Penanganan Masalah Anak Autis
Dalam mendiagnosis anak dengan gangguan autis, perlu

diperhatikan dua dominan sebagai acuan diagnosis, yaitu
menetapnya keterbatasan dalam komunikasi sosial dan
interaksi sosial, serta munculnya perilaku stereotipik dan
minat spesifik. Autis sering sekali disertai dengan
ketunagrahitaan yang menyebabkan anak memiliki
kecerdasan yang rendah dan epilepsi. Penanganan yang
penting diterapkan pada anak autis guna memperbaiki
hambatan yang dimiliki membutuhkan dua cara, yakni
penanganan secara pedagogik dan terapi.

Hal yang dilakukan oleh pengajar untuk menangani
masalah-masalah pada anak autis telah dijelaskan Jong (2018)
dalam bukunya yang meliputi:
1. Pengajar hendaknya menyadari bahwa anak autis akan

terus bergantung padanya.

101

2. Pengetahuan yang mendalam tentang anak autis dengan
segala karakteristik dan masalah yang dihadapi penting
sekali untuk dikuasai oleh pengajar.

3. Keterlibatan orang tua sebagai orang yang memahami
anak autis secara utuh diperlukan untuk membantu
memberikan segala data dan informasi dalam
mempermudah penanganan anak.

4. Membuat analisis mengenai hambatan-hambatan yang
dialami anak autis.

5. Membuat catatan hasil analisis tentang penyebab-
penyebab masalah perilaku yang muncul pada anak autis.
Kegiatan ini bertujuan agar faktor penyebab masalah
perilaku tersebut dapat dihindari.

6. Menyadari bahwa perilaku yang tidak dapat dijelaskan
sering disebabkan oleh asosiasi abnormal atau tidak wajar
dari anak autis.

7. Segera melakukan penanganan setelah analisis masalah
yang ada.

8. Menjelaskan kepada anak autis tentang perilaku baik yang
hendaknya dilakukan anak.

9. Mengajarkan keterampilan sosial dan diskusi secara jelas
dan bahasa yang mudah dipahami anak.

10. Mendorong anak untuk berbicara secara benar dan tepat.
11. Mengupayakan agar gejala spesifik yang dialami anak

tidak terjadi lagi.
12. Membuat peraturan yang tegas sebagai konsekuensi.
13. Mengajarkan segala bentuk kemandirian pada anak autis.
14. Menggunakan bahasa yang sederhana, singkat dan jelas

untuk berkomunikasi dengan anak autis.
15. Menyadari dan mengembangkan kemampuan anak autis

dengan segala upaya.
16. Menganalisis dan menyadari bahwa secara umum

perilaku yang memancing perhatian sebenarnya

102

merupakan permintaan untuk suatu reaksi yang dapat
diprediksinya.
17. Melatih anak autis tentang arti sebuah kiasan dan bahasa
metafora untuk meminimalisasi penggunaan bahasa
harafiah serta memahami makna lain dari kata-kata
tertentu.
18. Memberikan tugas-tugas baru dan keterampilan
individual pada anak.
19. Menggunakan metode visual untuk isi dari tugas dan
instruksinya.
20. Membuat program pendidikan yang dapat mengurangi
perilaku stereotip anak dan menerapkan metode
pembelajaran yang beragam dan tidak monoton.

Menambahkan dari penjelasan di atas, terdapat prinsip-
prinsip yang perlu diterapkan pengajar agar proses
pembelajaran dapat mencapai keberhasilan yang maksimal
dan berjalan dengan efektif. Berikut penjelasan tentang
prinsip-prinsip tersebut.

1. Prinsip Belajar sambil Melakukan
Prinsip ini menekankan bahwa keberhasilan pembelajaran
anak autis didukung dengan kegiatan dalam situasi yang
nyata dengan menyesuaikan tujuan serta karakter bahan
yang akan diajarkan.

2. Prinsip Minat dan Kemampuan
Pengajar harus benar-benar dapat menganalisis dan
memahami minat serta kemampuan yang dimiliki masing-
masing anak autis untuk disesuaikan dengan materi tugas
yang akan diberikan kepada anak.

3. Prinsip Kasih Sayang
Dalam mengajar anak autis diperlukan kasih sayang dan
ketulusan untuk meningkatkan rasa empati anak. Kasih
sayang yang diberikan dapat berupa penyesuaian cara

103

mengajar dan berinterasksi dengan anak autis, misalnya
menggunakan bahasa yang mudah dipahami anak,
menunjukkan keteladanan, mengajarkan kedisiplinan,
memahami kondisi anak, menunjukkan sikap sabar,
peduli, ramah, tegas dan jelas.
4. Prinsip Sosial, Emosional dan Perilaku
Pengajar mengidentifikasi maslaah anak autis dari aspek
sosial, emosional dan perilaku sehingga dapat mengganti
aspek yang mengalami abnormalitas menjadi lebih baik
dan bersifat normal.
5. Prinsip Kekonkretan
Keterbatasan anak autis untuk memahami sesuatu yang
abstrak dapat diatasi dengan penggunaan media
pembelajaran yang lebih konkret dan mudah dipelajari.
Cara lain adalah anak secara langsung diajak ke tempat-
tempat yang sesuai dengan topik pembahasan pada
materi yang sedang diajarkan.

Selain di bidang akademik, penanganan anak autis juga
diberikan melalui terapi-terapi dengan teknik yang tepat.
Terapi yang diberikan disesuaikan dengan masalah anak yang
ingin diatasi. Ada pun macam-macam terapi anak autis
beserta penjelasannya, yakni sebagai berikut.

1. Terapi Musik
Terapi yang menggunakan musik atau bunyi-bunyian
sebagai medianya. Tujuannya adalah untuk
mengembangkan potensi dan meningkatkan kepekaan
fungsi kognitif, afektif dan psikomotorik anak autis.

2. Terapi Applied Behavioral Analysis (ABA)
Terapi yang ditujukan untuk melatih kemampuan dan
memperbaiki perkembangan anak autis yang mengalami
hambatan dengan cara memberikan hadiah atau pujian
saat anak berhasil memenuhi instruksi dan hukuman saat

104

anak tidak memenuhi instruksi. Namun, perlu
diperhatikan dan dipertimbangkan dengan matang
mengenai jenis pujian dan hukuman yang akan diberikan
kepada anak.
3. Terapi Bermain
Terapi yang menggunakan permainan atau kegiatan
bermain sebagai cara anak mengembangkan kemampuan
di berbagai hal, di antaranya kemampuan berkomunikasi,
berbicara, berinteraksi sosial dan motoriknya.
4. Terapi Okupasi
Terapi yang diterapkan untuk upaya penyembuhan atau
pemulihan yang menggunakan aktivitas atau kegiatan
sebagai medianya. Anak secara aktif dilibatkan dalam
pemulihan fungsi-fungsi psikis dan fisik dengan tujuan
meningkatkan kemandirian, harkat, martabat, serta
kualitas hidup (Sudjarwanto, 2005)
5. Terapi Biomedis
Terapi yang diperuntukkan bagi upaya perbaikan
kesehatan dan kebugaran tubuh agar dijauhkan dari
faktor-faktor yang dapat merusak, seperti keracunan
logam berat, efek casomorphine, allergon, gliadorphine
dan lain sebagainya.
6. Terapi Sosial
Terapi yang menekankan pada perbaikan kemampuan
komunikasi dan sosial anak autis. Terapi ini harus
diberikan secara intensif dengan cara melibatkan anak ke
dalam kegiatan yang mampu mengembangkan
keterampilan komunikasi dua arah, menambah teman dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan serta segala situasi.
7. Terapi Modifikasi Perilaku
Terapi ini bertujuan untuk mengubah perilaku manusia
yang dianggap menyimpang atau abnormal dengan
menerapkan prinsip-prinsip proses belajar maupun

105

prinsip-prinsip hasil eksperimen lain pada perilaku
manusia (Bootzin, 1975).

SOAL LATIHAN

1. Kemukakan definisi autis menurut pemahaman Anda?
2. Jelaskan penyebab-penyebab terjadinya kondisi autis pada

diri individu?
3. Bagaimanakah perilaku sosial yang ditunjukkan oleh anak

dengan gangguan autis? Jelaskan?
4. Upaya apakah yang dapat dilakukan untuk menangani

keabnormalitasan pada kondisi psikologis anak autis?
5. Lakukan observasi mengenai penerapan terapi pada anak

autis. Menurut pendapat Anda, apakah terapi yang diterapkan
dapat memberikan banyak pengaruh positif pada anak autis?
Jelaskan dengan alasan yang tepat?

106

BAB VIII
PENDEKATAN PSIKOLOGI

DALAM PENANGANAN
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

A. Pendekatan Fisiologis
Pendekatan fisiologis mengarah kepada kebutuhan hidup

manusia yang dilihat secara fisik atau kimiawi. Fisiologis
berkaitan erat dengan model penyakit atau medis (medical or
disease model). Abnormalitas yang terjadi pada kondisi
psikologis manusia termasuk penyimpangan tingkah laku
disebut sebagai patologi. Penggolongan patologi diistilahkan
sebagai diagnosis di mana klasifikasi didasarkan pada gejala
yang dialami.

Pendekatan ini mengasumsikan bahwa keabnormalitasan
disebabkan oleh proses biologis yang mengalami gangguan.
Penanganan yang akan dilakukan dapat diidentifikasi melalui
tubuh manusia. Model pendekatan fisiologis biasanya
dihubungkan dengan model pendekatan dalam psikologi
sosial. Hal tersebut dikaitkan dengan kodrat manusia sebagai
makhluk sosial di mana ia membutuhkan kemampuan untuk
berinteraksi dengan orang lain agar tercapai pemenuhan
kebutuhan hidupnya.

Berikut merupakan pendekatan-pendekatan fisiologis
yang dapat digunakan dalam psikologi.
1. Membedakan Karakter

Dalam tumbuh kembangnya, manusia mengalami
proses dan hasil yang beraneka ragam. Tentu tidak ada
yang sama persis antara karakteristik fisik manusia satu
dengan yang lain. Karakter yang melekat dalam diri

107

manusia dapat bersifat normal ataupun abnormal.
Karakter fisik yang secara umum dilihat sebagai hal yang
wajar dan adaptif dianggap sebagai sebuah normalitas.
Sedangkan karakter fisik yang tidak wajar dan tidak adaptif
jika dilihat secara umum, maka dapat dikatakan sebagai
abnormalitas.

Peranan pendekatan fisiologis dianggap sangat
penting dalam hal ini karena adanya perbedaan karakter
yang dapat dilihat secara fisiologis mampu mengaitkan
keadaan psikologis dengan penanganan masalah. Sebagai
contoh, seseorang yang memiliki badan yang tinggi dan
besar namun kondisi fisiknya lemah akan mengalami
beberapa permasalahaan, misalnya diejek, ditertawakan,
dan digunjing. Hal tersebut mampu menimbulkan trauma
serta tekanan batin yang bermakna dalam kehidupannya.

2. Penanganan Terapi
Permasalahan yang terjadi pada keadaan psikologis

seseorang diakibatkan oleh faktor psikis dan fisik.
Berdasarkan penyebabnya, maslalah psikologis dapat
diatasi dengan beragam penanganan sesuai dengan
simtom dan karakteristik gangguan. Salah satu bentuk
penanganan adalah terapi. Gangguan yang disebabkan
oleh faktor fisik diatasi dengan terapi fisiologi, seperti
terapi gelombang otak dan terapi medis dengan
mengonsumsi obat sebagai upaya pemulihan saraf. Upaya
terapi dapat berpengaruh juga terhadap kesehatan psikis
pasien.

3. Terapi Fisik
Terapi fisik ini berbeda dengan terapi yang berkaitan

dengan medis, di mana sugesti dan perasaan akan
berperan penting dalam menangani sebuah

108

permasalahan. Setiap manusia memiliki potensi untuk
mengalami trauma, terutama anak dengan kebutuhan
khusus. Rasa trauma tersebut dapat diminamilisasi
bahkan dihilangkan dengan terapi fisik. Penyembuhan
dalam bentuk fisik bermanfaat untuk menghilangkan
trauma psikologis.

Sebagai permisalan, seorang anak berkebutuhan
khusus memiliki perilaku yang menyimpang. Ia sering
memukul orang yang mendekatinya tanpa alasan yang
jelas. Terapi fisik tepat diterapkan pada perilaku
maladaptif semacam ini dengan cara tidak membalas
pukulan anak berkebutuhan khusus tersebut, melainkan
memberikan sentuhan fisik yang lembut, misalnya
mengusap kepalanya dan berkata baik sambil menatap
mata anak dengan penuh kasih sayang.

Cara ini menjadikan anak memahami bahwa orang lain
tidak hanya bisa dipukul atau disakiti secara fisik, namun
juga bisa diberikan sikap yang baik dan lembut. Selain itu,
terapi fisik dapat diaplikasikan melalui hiburan atau
permainan yang melibatkan aktivitas fisik, biasanya terapi
seperti ini ditujukan untuk mengobati rasa trauma pada
diri individu.

4. Fenomena Sehari-hari
Dalam kehidupannya, manusia mengalami fenomena

sehari-hari yang tidak hanya dialami secara psikis, namun
juga fisik. Pengalaman yang tidak baik mampu menjadi
penyebab adanya keabnormalitasan dalam psikologis
seseorang. Pendekatan yang berhubungan dengan
masalah dalam fenomena sehari-hari disebut
fenomenologi. Tujuan dari pendekatan fenomenologi
yaitu untuk menolong pasien agar merasa lebih dekat dan
memahami aktivitas keseharian yang melibatkan fisik.

109

Tidak hanya itu, proses ini juga memperlihatkan
kepada pasien bagaimana mereka diperlakukan dan
dihargai sebagai manusia. Peranan fenomenologi sangat
penting dalam pembentukan kesadaran atau aktualisasi
diri, terutama pada anak berkebutuhan khusus di mana
perilaku individu yang melibatkan fisik selalu dikaitkan
dengan fenomena tetang diri sendiri dan lingkungan
sekitar.

5. Memori dan Ingatan
Trauma di masa lalu yang menyebabkan gangguan

pada psikologis seseorang tidak hanya membekas pada
psikis, namun juga pada ingatan. Dalam psikologi,
pendekatan fisiologis lebih mengacu pada kognisi yang
dihubungkan dengan perekatan memori, proses berpikir,
dan pengetahuan tentang lingkungan sekitar. Manusia
normal akan mampu menganalisa hasil aktivitas otak
tersebut dengan baik yang nantinya akan diselaraskan
dengan manajemen psikisnya.

6. Stimulan Neuro
Dilihat dari sudut pandang pendekatan fisiologis,

perilaku manusia secara umum dikendalikan oleh aktivitas
otak dan sistem saraf yang kemudian dijadikan penentu
bagaimana keadaan psikologisnya. Tidak sedikit yang
mengemukakan bahwa stimulan neuro dapat diterapkan
tanpa menggunakan obat di mana fisiologis dan psikologis
dipadukan menjadi satu hingga tercipta pola pikir dan
kondisi fisik yang kuat.

7. Kesehatan Otak
Pembahasan mengenai pendekatan fisiologis dalam

psikologi tentu dikaitkan juga dengan pembahasan

110

kesehatan otak. Pelaksanaan pendekatan fisiologis yang
tepat dapat memunculkan kondisi psikis dan fisik yang
sehat atau cenderung ke arah normal. Sebagai manusia
dengan segala problema hidup yang kompleks, perlu
sekali untuk selalu menjaga kesehatan otak. Menjauhkan
diri dari pemikiran dan hal-hal negatif akan memberikan
dampak positif pada kesehatan otak. Apabila otak
beraktivitas dengan baik dan normal, maka gejala
keabnormalitasan pada psikologis manusia akan jarang
terjadi.

8. Kolaborasi Metode dan Otak
Metode yang digunakan dalam pendekatan fisiologi ini

adalah metode ilmiah yang bertujuan untuk mempelajari
biomolekul, sel, jaringan dan sejenisnya sehingga
organisme dapat berlangsung dengan baik disertai
ketepatan fungsi yang diterima. Manfaat diterapkannya
pendekatan fisiologis ialah untuk menerapkan metode
dan menentukan objek dengan benar. Kolaborasi antara
metode dengan objek dapat dilakukan jika pendekatan
fisiologis diterapkan ke dalam psikologis.

9. Komunikasi secara Fisik
Terciptanya komunikasi fisik yang baik akan

berpengaruh terhadap kesehatan psikologis seseorang.
Tidak sedikit orang yang menyepelekan hal tersebut
dengan lebih sering menjalin komunikasi menggunakan
alat bantu meskipun terdapat kesempatan untuk
berkomunikasi secara fisik. Hal itu mengakibatkan kurang
adanya interaksi batin yang menciptakan keharmonisan
hubungan antar manusia.

Sebagai contoh, seorang anak berkebutuhan khusus
ditinggal ayahnya bekerja di luar kota. Ia sangat

111

merindukan ayahnya hingga meluapkan emosi yang tidak
terkontrol. Meskipun sudah diatasi dengan berkomunikasi
melalui telepon, namun Ia masih terus menangis dan
meluapkan amarah karena rindu yang tidak dapat ditahan
kepada ayahnya. Berdasarkan contoh tersebut, maka
diketahui bahwa komunikasi fisik yang tepat dalam
pendekatan fisiologis sangat penting untuk diaplikasikan
karena komunikasi merupakan satu hal krusial sebagai
wujud ekspresi saat meluapkan perasaan atau emosi yang
sedang dialami.

B. Pendekatan Psikoanalisis
Singmud Freud (1856-1939) mengembangkan teori

psikoanalisis dalam bidang psikopatologi dan terapi. Menurut
Freud, kepribadian manusia diinterpretasikan sebagai suatu
struktur yang terdiri dari tiga bagian penting, yaitu id, ego dan
superego. Ketiga bagian tersebut memiliki kelengkapan,
prinsip-prinsip operasi, dinamisme dan mekanisme masing-
masing yang saling berhubungan dan berkaitan satu sama lain
sehingga menciptakan suatu totalitas. Pendekatan ini
merumuskan bahwa perilaku manusia dianggap sebagai
perwujudan hasil interaksi antara id, ego dan superego.
Kepribadian manusia sebagai suatu sistem energi tertutup
yang di dalamnya terjadi pertentangan oleh ketiga bagiannya
untuk menentukan bagian dari energi yang muncul.

Proses ketidaksadaran berperan penting dalam
pendekatan psikoanalisis. Sebagai permisalan dari proses
ketidaksadaran yaitu ketika kita tidak sadar tentang kinerja
otak saat memproses informasi visual yang masuk ke
dalamnya dan saat otak mengarahkan fungsi-fungsi dasar
metabolisme, seperti denyut jantung, pencernaan dan
pernafasan yang sama-sama menjadi aktivitas tubuh
terpenting bagi pertahanan hidup manusia. Pendekatan ini

112

mengambil paradigma bahwa keabnoralitasan manusia pada
saat berperilaku diakibatkan oleh faktor-faktor intropsikis
yang mencakup konflik tidak sadar, represi dan mekanisme
defensif. Hal tersebut menjadikan penyesuaian diri rentan
terganggu. Sesuatu yang tersembunyi dalam ketidaksadaran
merupakan esensi pribadi seseorang, bukan yang ditunjukkan
atau dilakukan dalam keadaan sadar.

1. Id
Id merupakan sistem kepribadian paling dasar pada

teori psikoanalisis yang di dalamnya terdapat naluri-naluri
bawaan. Keberadaannya sudah ada sejak manusia
dilahirkan. Id memiliki fungsi sebagai penyedia dan
penyalur energi yang diperlukan oleh ego dan superego,
serta mempertahankan keseimbangan dalam
menghindari keadaan tidak menyenangkan yang
menyebabkan tekanan batin.

Perasaan tidak menyenangkan dipengaruhi oleh
ketidakmampuan Id untuk mentoleransi energi yang
menumpuk sehingga secara keseluruhan ketegangan dan
kecemasan individu semakin meningkat. Dengan kata lain,
Id dipengaruhi oleh prinsip kesenangan di mana manusia
berusaha memeuhi segala keinginan dan kebutuhannya,
jika tidak terpenuhi, maka akan muncul perasaan negatif
dalam diri manusia, seperti kekhawatiran, kekecewaan
dan ketegangan.

Diperlukan upaya mempertahankan keseimbangan
yang dilakukan oleh Id agar mencapai keadaan yang
menyenangkan. Terdapat dua jenis proses agar tujuan Id
dapat terpenuhi secara maksimal, yaitu:
a. Tindakan Refleks

Tindakan refleks diasumsikan sebagai proses pertama
dalam mencapai maksud dan tujuan Id.

113

Keberadaannya merupakan bawaan sejak lahir.
Bentuk tindakan ini memiliki mekanisme kerja yang
bersifat otomatis dan harus dilakukan dengan segera.
bawaan sejak lahir.
b. Proses Primer
Proses primer menempati posisi kedua setelah
dilakukan tindakan refleks. Pada proses ini, Id
berupaya untuk meminimalisasi atau bahkan
menghilangkan ketegangan dalam diri manusia degan
membuat bayangan dari suatu objek yang dianggap
mampu mengurangi rasa tegang tersebut.

2. Ego
Ego didefinisikan sebagai komponen kepribadian yang

bertanggung jawab untuk menangani hal-hal yang
berkaitan dengan realita dan prinsip kenyataan. Ego
berupaya memenuhi keinginan Id dengan cara yang dapat
diterima secara sosial, misalnya dengan menunda
kepuasan dan membantu menghilangan ketegangan dan
kecemasan yang dirasakan Id apabila keinginan tidak
segera dipenuhi.

Mudhar, dkk (2016) mengemukakan pandangan Freud
bahwa pada dasarnya, ego terjadi karena adanya
kesadaran (conscious), namun ego juga memiliki aspek
ketidaksadaran yang disebut sebagai mekanisme
bertahan (defense mechanism) untuk melindungi diri dari
perasaan cemas (anxiety). Sebagian besar faktor
determinan yang penting dalam perilaku bersifat tidak
tersadari (unconscious). Dalam egonya, manusia
menyadari bahwa orang lain juga memiliki kebutuhan dan
keinginannya masing-masing sehingga menghindari
keegoisan dalam hidup bersosial. Ego terbentuk pada

114

struktur kepribadian individu sebagai hasil dari hubungan
dengan dunia luar.

Ego bekerja dalam proses sekunder yang berfungsi
untuk mencegah terjadinya ketegangan hingga pemuasan
kebutuhan dapat dipenuhi melalui suatu objek yang tepat.
Dalam proses sekunder, ego menyaring hal-hal yang ingin
dipuaskan oleh Id berdasarkan realita melalui perumusan
rencana untuk mencapai pemuasan kebutuhan dan
pengujian terhadap keberhasilan terlaksananya rencana
tersebut. Keberfungsian ego tidak terlepas dari fungsi
kognitif karena berperan sebagai penunjuk dan juga
penguji kenyataan untuk memelihara keberlangsungan
hidup individu.

3. Superego
Superego merupakan suatu sistem kepribadian yang di

dalamnya terdapat gambaran kesadaran atas nilai-nilai
dan norma sosial sebagai penilai serta penunjuk pada
kebenaran dan kesalahan. Nilai dan norma sosial biasanya
ditanamkan oleh agama, orang tua, lingkungan, dan adat-
istiadat. Superego disebut dengan hati nurani atau kata
hati karena memberikan pedoman kepada manusia untuk
mampu menilai sesuatu dan menentukan kebenaran
maupun kesalahan. Superego dijadikan sebagai penyebab
timbul dan hilangnya motivasi serta pertentangan-
pertentangan dalam diri individu. Keberadaan superego
dapat ditemui dalam kondisi sadar, prasadar, dan tidak
sadar.

Dalam pendekatan psikoanalisis, mayoritas pasien yang
ditangani memiliki kesukaran dalam menghadapi secara nyata
konflik trauma di masa lalu. Gangguan psikologis yang dialami
lebih sering difokuskan kepada motif-motif yang tidak disadari

115

dan konflik di masa kecil sehingga menyebabkan individu
tidak mampu menyeimbangkan id, ego dan superego.
Ketidakseimbangan antara ketiganya menimbulkan
kecemasan sebagai indikasi lemahnya mekanisme pertahanan
diri yang meliputi represi, sublimasi, subtitusi, regresi dan
atau insulasi emosionil. Terdapat bentuk gangguan psikologis
yang terjadi akibat manajemen Id, ego dan superego yang
kurang selaras atau kurang terbentuk dengan baik, yaitu
sebagai berikut.

1. Neurosis
Penyebab gangguan neurosis adalah terjadinya
pertentangan antara Id dan superego di mana Id yang
tidak diselarasi oleh ego mendominasi tingkah laku
impulsif dan menjadikan superego menguasai diri individu
sehingga memicu hadirnya perasaan-perasaan tidak
menyenangkan, seperti depresi, cemas, takut, kecewa,
dan rasa bersalah yang berlebihan.

2. Psikosis
Psikosis merupakan gangguan yang terjadi akibat adanya
kekuatan dorongan dari Id yang menyebabkan
kemampuan ego dalam mengontrol Id menjadi melemah
dan kurang berkembang. Dampak yang dialami individu
adalah kehilangan kemampuan untuk membedakan
realitas da fiksi atau fantasi. Hal tersebut akan
mempengaruhi proses berpikir yang kemudian
menimbulkan perilaku maladaptif atau abnormal dalam
kesehariannya.

C. Pendekatan Behavioristik
Aliran behavioristik dalam psikologi didirikan pada tahun

1913 oleh John B. Watson dan digerakkan oleh Burrhus
Federic Skinner. Behavioristik merupakan pendekatan yang

116

menerapkan beragam teknik dan prosedur berdasarkan teori
belajar yang berfungsi untuk menghilangkan tingkah laku dari
gejala-gejala salah suai (maladaptif). Teknik khusus pada
pendekatan ini menggunakan dasar psikologi, terutama
proses belajar dalam rangka mengubah tingkah laku
maladaptif yang dapat mengganggu kestabilan psikologis.

Behavioristik ialah hasil reaksi terhadap psikoanalisis
tentang alam bawah sadar yang tidak tampak. Analisis dalam
pendekatan behavioristik dilakukan pada setiap hal yang
dapat dilihat, diukur, digambarkan dan diprediksikan. Model
eksperimen mengenai aspek pembelajaran dari tingkah laku
telah dikemukakan oleh beberapa ahli di dunia, di antaranya
sebagai berikut.
1. Classical Conditioniong oleh Ivan Pavlov
2. The Law of Effect dari Edward Thorndike
3. Stimulus-Respons oleh John B. Watson
4. Operant Conditioning oleh B. F. Skinner
5. Mediational Learning Paradigm oleh Bandura dan

Menlove

Abnormalitas dalam berperilaku jika dilihat dari sudut
pandang belajar atau behavior diartikan sebagai hasil refleksi
dari perilaku maladaptif atau menyimpang yang telah
diperoleh dan dipelajari. Pada umumnya, individu dengan
tingkah laku menyimpang diasumsikan telah gagal dalam
mempelajari hal-hal yang baik dan wajar untuk dilakukan,
akan tetapi ia telah berhasil dalam mempelajari hal-hal yang
tidak benar dan tidak sesuai dengan norma-norma yang
berlaku dalam kelompok masyarakat.

Penanganan dengan pendekatan behavioristik lebih
memfokuskan pada modifikasi perilaku yang terjadi saat ini.
Metode penanganan yang dapat digunakan yaitu terapi
kognitif-behavioral dan terapi perilaku seperti modeling. Jenis

117

terapi ini mengarahkan individu untuk mempelajari perilaku
positif yang diinginkan dengan cara mengamati orang lain saat
melakukan hal yang sama. Selain itu, penanganan juga dapat
menggunakan model operant conditioning yang
memanfaatkan penghargaan (reward) dan hukuman
(punishment) secara sistematis dengan tujuan membentuk
tingkah laku yang normal atau adaptif.

Setiap pendekatan memiliki karakteristik atau ciri-ciri yang
beragam dan spesifik, begitu pula dengan pendekatan
behaviorisme dalam ilmu psikologi. Karakteristik atau ciri-ciri
pendekatan behavioristik ialah sebagai berikut.

1. Memusatkan perhatian kepada tingkah laku yang tampak
dan spesifik.

2. Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment.
3. Perumusan prosedur treatment yang spesifik sesuai

dengan masalah.
4. Penafsiran objektif atas hasil-hasil terapi.
5. Didasarkan pada teori yang dirumuskan secara tepat dan

konsisten serta mengarah kepada kesimpulan yang dapat
diuji.
6. Berasal dari hasil penelaahan eksperimental yang secara
khusus direncanakan untuk menguji teori-teori dan
kesimpulannya.
7. Memandang gejala sebagai respon bersyarat yang tidak
sesuai dan sebagai bukti adanya kekeliruan hasil belajar.
8. Memandang bahwa simptom-simptom tingkah laku
ditentukan berdasarkan perbedaan individual yang
terbentuk secara kondisional dan antonom, sesuai dengan
lingkungan masing-masing.

118

D. Pendekatan Kognitif
Pendekatan kognitif dalam psikologi memandang manusia

sebagai homo sapiens atau makhluk yang memiliki akal dan
pikiran di mana mereka terus berusaha untuk memahami
lingkungannya, bukan hanya yang bereaksi pasif pada
lingkungan. Fokus dalam pendekatan ini adalah mempelajari
proses mental dan mengamati cara manusia dalam berpikir,
mengambil sudut pandang, mengingat dan kemampuan
belajar dari pengalaman. Individu menstrukturkan
pengalamannya yang ia sadari secara utuh dan
mentransformasikan rangsangan ke dalam informasi yang
berguna.

Kesadaran yang dialami seseorang berawal dari ide di
dalam otak yang ditunjukkan melalui perilaku. Abnormalitas
dapat terjadi saat pikiran-pikiran yang terdistorsi atau menipu
diri sendiri mulai muncul secara berkelanjutan. Diperkuat oleh
pernyataan Albert Ellis dalam Jeffrey S. Nevid, ed (2003),
bahwa distress emosional ditentukan oleh keyakinan dan
pengalaman bermakna, bukan oleh kejadian itu sendiri.
Kesalahan dalam memaknai pemikiran dapat menimbulkan
pola-pola pikiran yang terdistorsi. Pemikiran irasional tentang
pengalaman traumatik akan mudah memicu perasaan dan
perilaku yang negatif atau tidak wajar secara berlebihan,
seperti depresi, agresif, dan paranoid.

Paradigma dari pendekatan kognitif berbeda dengan
pendekatan behavioristik. Pendekatan kognitif lebih meyakini
bahwa individu secara aktif memaknai stimulus yang diterima
dan mengaplikasikan kepada bentuk tingkah laku. Sedangkan
pendekatan behavioristik memandang stimulus dapat
menghasilkan respon secara otomatis dengan melibatkan
hukuman dan penghargaan sebagai penguat. Usaha yang
dilakukan para terapis untuk mengubah cara berpikir atau
paradigma seseorang dalam memperbaiki manajemen emosi

119

dan tingkah laku dengan menerapkan pendekatan kognitif
sebagai salah satu solusi yang tepat. Terdapat contoh model
terapi yang telah dikemukakan oleh beberapa tokoh dunia,
yaitu cognitive restructuring oleh Davison, rational-emotive
oleh Albert Ellis dan selectively abstract oleh Aaron Beck.

Pendekatan kognitif tidak terlepas dari teori belajar. Selain
Piaget yang mendefinisikan belajar sebagai proses
perkembangan genetik, Bruner menjelaskan bahwa belajar
kognitif merupakan suatu proses yang sejalan dengan
perkembangan tiga tahap, yakni enaktif, ikonik dan simbolik.
Pada tahap kognitif enaktif, seorang anak secara aktif
melakukan kegiatan sebagai upaya memahami
lingkungannya. Tahap kognitif ikonik menunjukkan bahwa
pada masa ini, seorang anak lebih banyak dikuasai oleh
simbol-simbol visual, akan tetapi belum mampu memaknai
secara mendalam dan menerangkan konsepnya. Pada tahap
simbolik, seorang anak mulai menggunakan simbol-simbol
lebih banyak dari sebelumnya dan telah memiliki daya
imajinasi yang tinggi sehingga mampu menjangkau simbol
abstrak. Tahapan yang dialami oleh anak berkebutuhan
khusus dengan keadaan abnormalitas dalam dirinya tentu
sangat sukar untuk menjalankan ketiga tahapan tersebut
dengan optimal.

E. Pendekatan Humanistik
Secara global, konsep humanistik merumuskan bahwa

manusia sebagai makhluk dengan tingkatan tinggi yang
memiliki kebebasan untuk menentukan dan melakukan
apapun yang diinginkan serta menunjukkan kemampuan atau
potensi dalam diri yang lebih sering didukung oleh lingkungan.
Setiap individu memiliki kebutuhan untuk mengaktualisasi
diri, namun tidak semua orang memiliki kesempatan dan
kemampuan untuk mewujudkan aktualisasi diri tersebut.

120

Pendekatan humanistik memfokuskan secara khusus pada
perilaku manusia dengan segala keunikannya.

Berdasarkan teori yang diciptakan oleh bapak psikologi
humanistik, Abraham Maslow, orientasi humanistik memiliki
peranan penting untuk mempengaruhi pemikiran modern
tentang tingkah laku manusia. Teori ini dilandasi oleh asumsi
bahwa setiap orang memiliki dua hal dalam dirinya, yaitu
adanya upaya positif untuk mengembangkan potensi diri dan
kekuatan untuk melawan atau menunjukkan penolakan
terhadap perkembangan tersebut. Perbuatan yang dilakukan
manusia memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan hirarkis
yang mencakup beberapa tingkatan, yaitu sebagai berikut.
1. Tingkat pertama, yakni kebutuhan yang harus pertama

kali dipenuhi karena berhubungan langsung dengan
kesehatan biologis dan kelangsungan hidup individu,
misalnya kebutuhan akan makan, minum, tidur, tempat
tinggal, seksualitas, dan merdeka dari rasa sakit, baik
secara fisik maupun psikis.
2. Tingkat kedua, yaitu muncul setelah kebutuhan tingkat
pertama terpenuhi, misalnya kebutuhan atas
keselamatan, keamanan, dan jaminan bebas dari ancaman
bahaya dan risiko yang merugikan.
3. Tingkat ketiga, merupakan kebutuhan untuk mencintai
dan dicintai, memiliki dan dimiiliki, memperoleh dukungan
dari orang lain maupun lingkungan dan kesempatan untuk
berkomunikasi atau berinteraksi sosial. Kebutuhan ini
menggerakkan keinginan individu untuk membina
hubungan secara afektif dan emosional dengan orang lain,
baik dalam lingkungan keluarga ataupun masyarakat
secara umum.
4. Tingkat keempat, yaitu kebutuhan yang dikaitkan dengan
harga diri individu. Kebutuhan akan rasa hormat dan
penghargaan yang ditunjukkan oleh diri sendiri serta

121

orang lain kepada dirinya sangat penting untuk diperoleh.
Anggapan yang mendasari hal tersebut ialah setiap
manusia perlu mengetahui dan menyadari secara penuh
bahwa dirinya berharga sehingga dapat memberikan
kekuatan untuk menangani beragam tuntutan hidup
dalam kesehariannya.
5. Tingkat kelima, merupakan tingkatan tertinggi yang
berupa aktualisasi diri di mana individu mampu memenuhi
semua kebutuhan dan mengembangkan potensi diri
secara keseluruhan, misalnya kebutuhan atas kebenaran,
keadilan, bakat dan pencapaian harapan. Individu yang
berhasil mencapai tahap ini dengan baik, maka dianggap
telah menjadi manusia seutuhnya karena mampu
memenuhi segala kebutuhan diri dalam hidupnya.

Di dalam pendekatan humanistik, tingkah laku abnormal
dipandang sebagai hasil perkembangan konsep diri yang tidak
tepat. Perasaan negatif yang menimbulkan prasangka buruk
seperti kekhawatiran akan suatu hal yang belum tentu terjadi
muncul pada saat individu memiliki perasaan dan ide yang
terdistrosi sehingga mengganggu proses aktualisasi diri
karena penyangkalan yang dilakukan terhadap ide dan
perasaan yang dianggap penting.

Perbedaan pada setiap individu terletak pada motivasi
untuk melakukan sesuatu yang tidak selalu merupakan hal
yang stabil di sepanjang hidupnya. Lingkungan hidup yang
terganggu dapat menyebabkan motivasi menurun ke tingkat
yang lebih rendah. Dalam permasalahan ini, individu akan
rentan meyakini bahwa nilai dan potensi diri yang
mengakibatkan timbulnya perilaku abnormal sebagai hasil
dari luapan emosi buruk yang tidak terkendali.

122

SOAL LATIHAN
1. Mengapa model pendekatan fisiologis dapat dihubungkan

dengan model pendekatan dalam psikologi sosial? Jelaskan?
2. Dalam pendekatan psikoanalisis, dirumuskan bahwa perilaku

manusia dianggap sebagai perwujudan hasil interaksi antara
id, ego dan superego. Mengapa demikian? Jelaskan?
3. Coba kaitkan antara model eksperimen tentang aspek
pembelajaran dari tingkah laku dengan perilaku maladaptif
anak berkebutuhan khusus?
4. Bruner menjelaskan bahwa belajar kognitif merupakan suatu
proses yang sejalan dengan perkembangan tiga tahap, yakni
enaktif, ikonik dan simbolik. Jelaskan mengenai ketiga tahap
tersebut?
5. Perbuatan yang dilakukan manusia memiliki tujuan untuk
memenuhi kebutuhan hirarkis yang mencakup beberapa
tingkatan. Berdasarkan pemahaman Anda, jelaskan
mengenai tingkatan-tingkatan yang dimaksud?

123

DAFTAR PUSTAKA

Ardani, Tristiadi A. 2011. Psikologi Abnormal. Bandung: CV Lubuk Agung.
Boothroyd, A. 1982. Hearing Impairments in Young Children. New York:

Prentice Hall, Inc.
Bootzin, R. R. 1975. Behavior Modification and Therapy: An Introduction.

Cambridge, Mass: Winthrop Pub.
Daradjat Z. 1996. Kesehatan Mental. Jakarta: P.T. Gunung Agung.

Desiningrum, D. R. 2016. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta:
Psikosain.

Dettmer, dkk, 2000. Perkembangan Kognitif Anak Autisme. Anakku Autisme,
Aku Harus Bagaimana. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.

Gunarsa, Singgih D. 1999. Pengantar Psikologi. Jakarta: Mutiara.
Hadinoto, S. R. 2014. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Hallahan, D. P. & Kauffman, J. M. (1991). Exceptional Children Introduction to
Social Education (fifth edition). New Jersey: Prentice Hall
International, Inc.

Handojo, Y. 2004. Autisma: Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi untuk
Mengajar Anak Normal, Autis dan Perilaku Lain. Jakarta Barat: PT
Bhuana Ilmu Populer.

Jeffrey S. Nevid Spencer A. 2000. Abnormal Psychology (fourth edition). New
Jersey: Prentice Hall.

Jong, W. D. 2018. Pertolongan Pertama pada Siswa Berkebutuhan Khusus.
Jakarta: Prenadamedia Group.

Mangunsong, F., dkk. 1998. Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa.
Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan
Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI.

124

Mudhar, Rafikayati A., Badiah, L. I. 2016. Psikologi Abnormal. Surabaya: Adi
Buana University Press.

Mudjito, Harizal & Elfindri. 2012. Pendidikan Inklusif. Jakarta: Baduose Media
Jakarta.

Putranto, B. 2015. Tips mengenai Siswa yang Membutuhkan Perhatian
Khusus. Yogyakarta: DIVA Press.

Somantri, T. S. 2007. Evaluasi Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Direktorat Ketenagaan.

Somantri, T. S. 2018. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT Refika Aditama.
Sudjarwanto. 2005. Terapi Okupasi untuk Anak Berkebutuhan Khusus.

Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Direktorat Pembinaan Penddidikan Tenaga
Kependidikan dan Ketenagakerjaan Perguruan Tinggi.
Suryabrata, S. 2013. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Wardani, dkk. 2008. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Winarsih, M. 2007. Intervensi Dini bagi Anak Tunarungu dalam Perolehan
Bahasa. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Direktorat Ketenagaan.
Wiramihardja, Sutardjo A. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: PT.
Refika Aditama.

125

Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus

Penulisan buku yang berjudul “Psikologi Anak Berkebutuhan
Khusus” bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan tambahan
referensi buku ajar mengenai keabnormalitasan pada aspek-aspek
psikologis anak berkebutuhan khusus.

Materi yang dibahas dalam buku ini meliputi: (1) Konsep Dasar
Normal dan Abnormal; (2) Gangguan-gangguan Psikologis; (3) Cabang
Ilmu Psikologi; (4) Konsep Dasar Psikologi Perkembangan secara Umum;
(5) Psikologi Perkembangan Anak Tunanetra; (6) Psikologi
Perkembangan Anak Tunarungu; (7) Psikologi Perkembangan Anak
Tunagrahita; (8) Psikologi Perkembangan Anak Tunadaksa; (9) Psikologi
Perkembangan Anak Autis; dan (10) Pendekatan Psikologi dalam
Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus.

Buku ini diperuntukkan bagi pembaca di semua kalangan, terutama
yang ingin mempelajari secara mandalam mengenai keabnormalitasan
dari segi kondisi psikologis anak berkebutuhan khusus. Diharapkan buku
ini mampu menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang lebih luas
tentang materi-materi dalam buku kepada pembacanya.


Click to View FlipBook Version