Heline, Ibu Eline tersenyum sembari
menyambut anaknya.
"Udah pulang? Ya udah yuk makan bareng,”
ajak Ibunya.
Eline mengangguk. Lalu Eline mengerutkan
dahinya.
"Loh, Ayah mana?" tanya Eline bingung.
Senyum manis yang terlihat di wajah Heline
mendadak hilang. Wajahnya menjadi terlihat
gelisah, sangat kentara. Eline tahu Ibunya
menyembunyikan sesuatu darinya.
***
"Halo, Dok."
Eline menghentikan langkahnya, melirik
kamar Ibunya dengan pintu yang sedikit terbuka.
Eline mengerutkan dahinya.
Hah? Dokter? batinnya bingung.
Eline berjalan mendekati pintu tersebut.
"Pasien mengalami pusing, lemas, dan juga
sulit bicara," ujar seseorang di seberang telepon.
Heline tertunduk.
Gendis Sewu Berkarya
93 Cinta Untuk Ayah
"Ya Tuhan, Dok. Tolong sembuhkan, saya
mohon," Heline menjatuhkan air matanya dengan
bibir bergetar.
Membuat hati Eline teriris.
“Saya usahakan dengan maksimal," suara di
seberang telepon itu masih terdengar.
“Terima kasih, Dok,” sambungan teleponnya
terputus, membuat Eline langsung beranjak pergi.
Karena penasaran Eline membaca beberapa
buku. Eline pun mencari tahu tentang gejala yang
dibicarakan Ibunya di internet.
“Ayah mengidap sebuah penyakit.”
Penyebabnya Ayah begadang terus,
sehingga menimbulkan kantung mata yang terlihat.
Penyakit apa yang di derita Ayahnya? Heline
enggan untuk mengatakan padanya, membuat
Eline semakin bertanya-tanya.
“Ah! Sebenarnya apa?” Eline tertunduk,
meremas rambutnya kasar.
"Ya Tuhan, kenapa engkau tak mengabulkan
doaku?"
Gendis Sewu Berkarya
94 Cinta Untuk Ayah
Setetes air mata jatuh, membasahi pipinya
tanpa ia sadari.
"Hiks.. maaf- maaf," lirihnya.
Setelah bersusah payah, akhirnya Eline
menemukan artikel yang membahas seseorang
yang mengidap penyakit seperti yang Ibunya
katakan. Eline sudah waswas, tubuhnya bergetar,
wajahnya pucat pasi, keringat dingin mulai keluar.
Ia mulai mengusap layar gawai ke bawah, lanjut
membaca artikel tersebut di internet dengan
cermat. Batuk disertai darah. Eline tak sanggup
untuk membaca kalimat itu.
"Ini tidak mungkin!"
Walau ia mencoba untuk berfikir positif dan
mengatakan bahwa Ayahnya hanya mengidap
penyakit biasa. Tapi, hatinya berkata lain. Seakan-
akan ada dorongan untuk mencari tahu lebih
tentang penyakit tersebut.
Eline menutup mulutnya, matanya memerah,
air matanya pun menetes.
"TBC?"
Gendis Sewu Berkarya
95 Cinta Untuk Ayah
Ia kembali membaca artikel di internet. Itu
benar, apa yang dirasakan Ayahnya. Eline
mematikan gawai lalu membantingnya ke
keranjang.
"Ya Tuhan.”
***
"Ibu.”
Setelah kembali dari Amerika, ia disambut
oleh Ibunya. Ibu tidak menyangka Eline akan
sukses seperti ini.
Eline kini sudah menjadi gadis berparas
cantik serta dewasa dan lulus dari Universitas.
Eline menempuh S2 dengan beasiswa dan menjadi
seorang dokter. Keinginannya hanya satu
menyembuhkan Ayahnya.
"Ibu bangga!” kata-kata itu, masih Eline
ingat.
Setelah sekian lama, Eline sudah sah
menjadi dokter di Rumah Sakit dekat rumahnya.
TBC adalah penyakit yang diderita Ayahnya
yang begitu kurus. Dengan kehendak Tuhan,
Ayahnya masih bisa bertahan sampai sekarang.
Gendis Sewu Berkarya
96 Cinta Untuk Ayah
Eline mengusap wajahnya kasar, lalu memandang
lawan bicaranya.
“Apa yang harus kita lakukan?"
Dokter Devan tersenyum.
“Kita akan memberikannya obat, buah, dan
makanan yang terjamin kualitasnya dan baik
untuknya."
Meski begitu, Eline masih belum tenang.
Dokter Devan kembali berkata.
"Berdoalah kepada Tuhan, semoga bisa.
Saya akan berusaha."
Eline mengangguk.
***
“Keadaannya sudah lebih baik. Namun,
setelah minum obat ada efek sampingnya,” jelas
Dokter Devan sambil memandang Eline.
"Saya sudah menyuruh perawat untuk
menjaganya," tambah Dokter Devan.
Eline menganggukkan kepalanya dengan
lemah, mencoba menghilangkan rasa gelisah.
"Saya akan berusaha semaksimal mungkin,
semoga Tuhan memberikan kesembuhan."
Gendis Sewu Berkarya
97 Cinta Untuk Ayah
Eline memandang Dokter Devan, "Terima
kasih, Dok. Anda sudah banyak membantu saya,”
Matanya mulai lelah, ia menahan sekuat
mungkin agar air mata itu tidak terjatuh.
"Anda juga sudah membantu saya,
menyembuhkan penyakit adik saya. Tuhan Maha
Adil.”
"Apa, Dok?" Eline mengedipkan matanya.
"Pasien sembuh, ini juga atas kerjasama
kita. Tak hanya saya yang berusaha."
"Anda yang menyembuhkannya, Dok!"
Eline memukul pelan lengan Dokter Devan.
Dr. Devan tertegun, melihat raut bahagia
kawannya.
"Aku tak menyangka, membutuhkan waktu
yang lama untuk menyembuhkan Ayah," ujar Eline
pada dirinya sendiri.
Eline menutup wajahnya dengan kedua
tangan, lalu mengusap air matanya yang
membasahi pipinya.
"Terima kasih, Dok. Saya sangat berterima
kasih. Saya permisi.”
Gendis Sewu Berkarya
98 Cinta Untuk Ayah
***
"Bu," panggil Eline.
Heline menoleh, memandang sang anak
dengan raut bahagia itu.
"Eline, makasih sayang. Ibu bangga sama
kamu!" Heline memeluk anaknya.
Eline mengangguk.
"Terima kasih, sudah menjadi Ibu yang
kuat,"
Eline menatap wajah Ibunya, "Tolong
ingatkan Ayah untuk rutin meminum obatnya,
ketika aku sedang sibuk."
Heline mengangguk. Lalu perhatian Eline
teralih kepada Ayahnya yang terbaring lemas di
ranjang rumah sakit.
"Eline janji, Eline tidak akan menyiakan
kalian berdua. Eline akan membuat kalian
bahagia."
Heline mengangguk, air matanya menetes
kembali.
"Ibu bangga sama kamu," Heline kembali
mengeratkan pelukannya.
Gendis Sewu Berkarya
99 Cinta Untuk Ayah
PELANGI SETELAH HUJAN
Oleh Rafy Maulana Saputra
Pagi ini tidak seperti biasanya. Cuaca sangat
terik, kami semua berkumpul di lapangan untuk
melaksanakan upacara bendera. Namun, ada
perasaan tidak karuan, ketika pembina upacara
mengumumkan dan meminta doa kepada peserta
upacara. Aku dan temanku akan mengikuti lomba
O2SN (Olimpiade Olahraga Siswa Nasional) 2017
yang akan diadakan di salah satu sekolah
menengah favorit di Surabaya.
Perasaan senang dan bangga aku rasakan,
karena aku akan mewakili sekolah untuk mengikuti
Lomba Pencak Silat O2SN. Pencak Silat adalah
olahraga favoritku dan kebetulan menjadi salah
satu ekstrakurikuler andalan disekolahku. Lomba ini
merupakan pengalaman pertamaku, rasa waswas
selalu menyelimuti perasaanku, karena aku selalu
teringat perkataan Ibu Kepala Sekolah, bahwa kita
101 Gendis Sewu Berkarya
Pelangi Setelah Hujan
harus bisa membanggakan dan membawa nama
baik sekolah.
Aku betul-betul khawatir jika aku gagal
dalam lomba Pencak Silat Tunggal Putri di ajang
O2SN. Alhamdulillah setelah dua kali bertanding di
dua putaran babak penyisihan, akhirnya aku
mendapat juara harapan pertama. Hal itu belum
membuatku bangga. Karena aku belum mendapat
hasil yang aku inginkan. Aku melangkah keluar
dengan perasaan galau. Kusandarkan kepalaku di
dekat pintu ruang pertandingan. Tiba-tiba aku
dikejutkan oleh seorang pria yang menepuk
pundakku, aku pun menoleh. Aku melihat wajah
seorang pria seusia Papa yang tenang, penuh
perhatian dan bersahaja.
“Dari sekolah mana, Nak?” tanya Bapak
dengan kaca mata lusuh yang hampir jatuh dari
hidungnya.
“Dari SD Sukamaju, Pak!” jawabku lirih.
“Bagaimana hasil lombanya?” tanyanya lagi.
“Hanya mendapat juara harapan, Pak,”
sembari kutatap wajah Bapak yang tidak aku kenal.
Gendis Sewu Berkarya
102 Pelangi Setelah Hujan
“Lho, bagus itu!” sambungnya sambil
menatap wajahku dengan senyumnya yang renyah.
“Kamu sudah berusaha dan sudah
menunjukkan hasil yang terbaik,” tambahnya.
“Lihat, temanmu yang lain, kalah sejak
babak penyisihan!” sambil menunjuk peserta lain
yang sedang duduk beristirahat.
“Coba latihan yang lebih giat lagi, pasti nanti
kamu mendapat juara!”
Nasihat itu bagaikan hembusan angin segar
yang menyegarkan kepalaku.
“Selamat, ya. Pertahankan pretasimu,
tingkatkan semangat untuk menggapai tujuanmu,
maju terus pantang menyerah!” kata terakhir Bapak
itu, sambil mengepalkan tangannya ke arahkku.
“Terima kasih, Pak,” jawabku dengan
menatap wajahnya yang penuh kasih.
Kurasakan semilir angin di luar gedung
pertandingan, sembari kuresapi perkataan Bapak
tadi.
“Hai Via, selamat ya.”
Gendis Sewu Berkarya
103 Pelangi Setelah Hujan
Teman-teman menyapaku, tak terasa acara
selesai dan sekolahku berhasil membawa dua
penghargaan sekaligus, yaitu Juara 2 Tunggal
Putra yang diperoleh temanku dan aku mendapat
penghargaan Juara Harapan Pertama Tunggal
Putri.
***
Tiga bulan berlalu, tepatnya bulan Desember
2017, aku mengikuti Lomba Pencak Silat Piala
Walikota yang diadakan IPSI (Ikatan Pencak Silat
Seluruh Indonesia) di sebuah universitas ternama.
Masih teringat juga pesan Ibu Kepala Sekolah yang
selalu memberiku motivasi, bahwa setiap
pertandingan bukanlah sesuatu yang harus
dimenangkan. Namun, pertandingan adalah
sebuah tantangan yang harus ditaklukkan.
Tantangan itu semakin membulatkan
tekadku. Semangatku semakin membara dan
membuatku tidak berputus asa. Setiap hari, aku
berlatih lari dua puluh putaran di lapangan sekolah,
push up seratus kali, sit up 100 kali, dan lari naik
turun tangga sekolah dua puluh lima kali.
Gendis Sewu Berkarya
104 Pelangi Setelah Hujan
Semangat, kerja keras, dan kesungguhan
membuatku berhasil menyabet juara ketiga Piala
Walikota kategori Tunggal Putri. Seusai
pertandingan, aku mencari sosok bapak yang tiga
bulan lalu menemuiku.
Aku ingin berkata, “Bapak, aku berhasil
membawa medali kejuaran. Benar kata Bapak
waktu itu, bahwa dengan kesungguan, kerja keras,
semangat, dan pantang menyerah, kita akan
berhasil menggapai tujuan,”
Rupanya, perjuanganku belum berakhir di
sini. Pertandingan pencak silat terbesar, yang aku
impikan sejak dahulu sudah di depan mata. Dua
bulan lagi aku akan bertanding di pesta olahraga
tingkat nasional, PON (Pekan Olahraga Nasional)
ke XX tahun 2017. Lawanku tidak hanya berasal
dari daerahku saja, tetapi dari seluruh wilayah se-
Indonesia. Secara mental dan fisik, aku telah siap.
Latihan yang aku lakukan pun rasanya cukup
membuatku mendapat posisi juara dalam ajang
olahraga tersebut, namun takdir berkata lain.
Gendis Sewu Berkarya
105 Pelangi Setelah Hujan
Saat aku membuka mata, kulihat banyak
orang mengelilingiku, mereka adalah orang tuaku
dan beberapa kerabat dekat. Papaku tampak
cemas, sedangkan Mama menggenggam erat
tanganku. Aku baru sadar, ternyata aku sedang
terbaring di rumah sakit.
“Via, kamu sadar, Nak!” kalimat pertama
Mama yang kudengar setelah aku membuka mata.
“Via kenapa Ma? kenapa Via ada di sini Ma,
dan kaki … kaki Via. Kenapa Via tidak bisa
merasakan kaki Via?” aku menjerit sambil meraba
kaki sebelah kananku yang tidak bisa merasakan
apapun.
Mama memelukku sambil menangis terisak
isak, Papa hanya tertunduk sedih sambil mengelus
kepalaku. Saat aku sudah tenang, Mama
menceritakan apa yang aku alami. Seusai
pertandingan pencak silat, Papa menungguku di
seberang gedung pertandingan. Aku berlari
menyeberang jalan dengan membawa piala Juara
Ketiga Tunggal Putri, tanpa menoleh ke kanan dan
ke kiri. Mobil kencang dari arah kanan melaju
Gendis Sewu Berkarya
106 Pelangi Setelah Hujan
dengan cepat menyambar tubuhku dan aku tak
sadarkan diri. Dokter bilang, hanya satu kakiku
yang dapat diselamatkan.
Dua bulan telah berlalu, namun hanya
kesedihan yang aku rasakan. Pertandingan yang
aku impikan hanyalah angan-angan belaka.
Selamanya, aku tidak akan dapat bertanding lagi.
Sehari-hari aku jalani dengan berdiam diri di kamar,
aku masih enggan ke sekolah. Aku malu, aku
belum siap bertemu dengan teman-temanku.
TOK … TOK … TOK ….
Mama mengetuk pintu kamarku.
“Via, ada seseorang yang ingin bertemu
kamu, Nak!” Mama membuka pintu kamarku dan
menyuruh orang itu masuk untuk menemuiku.
Seketika itu, aku duduk dari tempat tidurku,
ternyata dia adalah Bapak dengan kaca mata
lusuh, yang aku temui beberapa bulan yang lalu.
“Via, kamu anak hebat, kehilangan satu kaki
bukan berarti kamu kehilangan duniamu. Jangan
anggap ini hukuman dari Tuhan, namun anggap ini
sebagai ujian dan kamu pasti dapat melewatinya.”
Gendis Sewu Berkarya
107 Pelangi Setelah Hujan
Sekali lagi ucapan Bapak itu sangat
menenangkan. Membuka hati dan pikiranku, bahwa
akan ada pelangi setelah hujan. Aku yakin akan
ada masa depan cerah yang menantiku kelak.
Gendis Sewu Berkarya
108 Pelangi Setelah Hujan
SEBUAH PEMBUKTIAN
Oleh Kleycello Sampurna
Desi merupakan siswa baru di SD Cahaya.
Dia seorang anak yang pendiam dan penurut. Desi
terkejut melihat penampilan teman barunya di sana.
Tidak seperti di desa, yang berpenampilan
layaknya anak sekolah. Di sini teman sekelasnya
terlihat menarik dan berpakaian sangat rapi
serta indah. Bahkan sepatu yang mereka
kenakan pun terlihat bagus.
Hal itu membuat Desi merasa tidak percaya
diri. Terlebih ketika semua temannya melihat cara
berjalannya yang agak pincang. Sebenarnya kaki
Desi dulu normal. Namun, karena kecelakaan yang
menimpanya setahun lalu, membuatnya kini
berjalan pincang.
Desi merasa sendirian ketika dia berada di
sekolah. Teman sekelasnya tidak ingin berteman
dengannya, kecuali Alya. Gadis berambut panjang
Gendis Sewu Berkarya
110 Pelangi Setelah Hujan
dengan senyuman ramah menghampirinya dan
mengajaknya bicara.
“Hai Desi, aku Alya. Salam kenal, ya,” ujar
Alya tersenyum.
“Hai Alya. Salam kenal juga,” sahut Desi.
“Kamu enggak usah sedih ya? Aku mau kok
jadi temanmu!” kata Alya.
“Terima kasih Alya, kamu baik sekali,” tukas
Desi tersenyum bahagia.
Sejak awal perkenalan itu, mereka selalu
terlihat bersama. Alya selalu membela Desi ketika
teman-teman lain menghinanya. Perlakuan teman-
temannya ini tidak jarang membuat Desi menangis,
hingga dia tidak ingin bersekolah lagi di sana.
“Kamu kenapa, Nduk?” tanya Ibu
menghampiri Desi di kamar.
“Desi enggak mau sekolah lagi, Bu. Desi
selalu dihina. Hu...hu...hu...,” jawab Desi
sesenggukan.
“Nduk, kamu yang sabar. Ibu sama Bapak
ingin kamu tetap belajar. Walaupun kondisi kamu
berbeda, Ibu yakin kamu bisa. Ibu selalu
Gendis Sewu Berkarya
111 Pelangi Setelah Hujan
mendoakan Desi. Tunjukkan ke teman-temanmu
kalau kamu bisa berhasil walau kamu berbeda,”
hibur Ibu seraya memeluk Desi.
Desi merasa sedikit terhibur akan ucapan
Ibunya, dia pun bertekad untuk tetap bersekolah,
walaupun harus menerima ejekan temannya.
***
Kelas Desi berada di lantai dua jadi ia harus
menaiki beberapa anak tangga. Hal itu membuat
Desi sedikit lebih lama dari teman-teman lainnya.
Tak berapa lama, ada seorang temannya bernama
Rio yang berjalan menghampiri Desi. Rio menatap
Desi dengan pandangan menghina.
“Heh Desi, cepat dong kalau jalan!
Lambat sekali. Sampai kapan aku harus
nungguin kamu!”
“Ayo Des, cepat!” timpal salah seorang
teman Rio.
Setelah itu beberapa teman lainnya
menertawakan Desi. Desi hanya tertunduk sedih,
sedangkan Alya yang kebetulan juga berada di
112 Gendis Sewu Berkarya
Pelangi Setelah Hujan
sana, menghampiri Rio dan memukul keras
punggungnya.
BUGH
“Kenapa kamu mukul aku, Al?” tanya Rio
kesakitan.
“Aku kesal sama kamu, karena kamu
terus menghina Desi. Kamu jangan menghina
Desi terus, belum tentu kamu lebih baik dari Desi.
Ayo Desi, enggak usah didengarkan ucapannya
Rio,” sambung Alya menggandeng tangan Desi.
“Terima kasih Alya.”
“Lain kali kamu lawan Desi, jangan mau
dihina terus,” ujar Alya kesal.
“Enggak apa-apa Alya. Akan aku lawan
dengan cara yang lain saja.”
“Cara apa Des?”
“Akan aku buktikan, walaupun aku cacat,
aku masih bisa menjadi seorang yang berprestasi.
Akan aku tingkatkan lagi belajarku, hingga tidak
ada lagi yang berani menghinaku!” tegas Desi.
Alya tersenyum melihat tekad sahabatnya itu
dan berjanji akan membantunya. Perlakuan Rio
Gendis Sewu Berkarya
113 Pelangi Setelah Hujan
pun terdengar sampai telinga guru kelas. Oleh
sebab itu, Rio dan temannya pun mendapatkan
hukuman. Mereka juga harus berjanji agar tidak
menghina Desi kembali.
Sejak saat itu Desi semakin giat belajar.
Terkadang dia bersama Alya belajar di rumahnya,
ataupun sebaliknya. Orangtua Alya tidak keberatan
Alya bergaul dengan Desi, justru itu membuat
mereka bangga pada anaknya yang berteman
dengan siapa pun tanpa memperhatikan fisik.
Peringkat Desi dan Alya mulai mengalami
peningkatan. Desi selalu mendapatkan nilai
sempurna, bahkan dia mendapatkan predikat
peringkat 1 di kelasnya. Guru-guru mulai bangga
dengan mereka, terutama kepada Desi yang berani
melawanan hinaan temannya dengan prestasi.
Sedikit demi sedikit hinaan kepada Desi
mulai berkurang. Teman-teman Desi tak lagi
menghinanya. Kini mereka mendekat kepada
Desi untuk belajar bersama, walau ada sebagian
teman yang masih menghinanya. Namun Desi
hanya mamembalasnya dengan senyuman. Alya
Gendis Sewu Berkarya
114 Pelangi Setelah Hujan
bahagia melihat temannya tidak lagi merasa
sedih.
Berkat prestasinya semasa SD, akhirnya
Desi menerima beasiswa untuk maju ke jenjang
sekolah menengah pertama. Hinaan itu pun masih
terus ada hingga Desi duduk dibangku SMA, tetapi
dia tak menghiraukannya lagi. Satu yang ada di
pikirannya saat ini, yakni terus berjuang dan belajar
dengan gigih agar bisa membanggakan kedua
orang tuanya dan dirinya sendiri.
Cacat fisik bukan menjadi penghalang kita
untuk berjuang demi kesuksesan. Selama dia
berprestasi semua orang perlahan akan mendekati
dan menghargainya. Terlebih doa orang tua yang
selalu menyertai langkah Desi.
Beberapa tahun berlalu dan saat ini Desi
duduk di bangku kuliah. Dia mengambil jurusan
kedokteran, dengan tujuan ingin membantu orang-
orang yang bernasib sama dengannya. Begitu pula
dengan Alya, yang hingga sampai saat ini tetap
menjadi sahabat terbaik Desi. Orang tua Desi pun
merasa bangga kepadanya.
Gendis Sewu Berkarya
115 Pelangi Setelah Hujan
Gadis kecilnya yang sering menangis
karena hinaan temannya, kini melangkah
dengan langkah tegap dan tegas tak
menghiraukan hinaan serta pandangan aneh orang
di sekitarnya. Tetap berprestasi dan menjadi
seseorang yang bisa membanggakan adalah hal
yang selalu ada di pikiran Desi. Setelah lulus
dengan gelar sarjananya, Desi melanjutkan
studinya hingga S3 dan menempuh gelar
doktor. Desi mulai bekerja sebagai seorang
dokter di sebuah rumah sakit. Desi pun
bisa memberangkatkan orangtuanya ke tanah
suci.
Gendis Sewu Berkarya
116 Pelangi Setelah Hujan
MENULIS ADALAH HIDUPKU
Oleh Chelsea Fiorentina Clara
Saat di mana aku masih duduk di bangku
sekolah dasar kelas satu, aku gemar sekali
membaca komik maupun cerpen. Saat-saat di
mana imajinasiku muncul, aku mencoba membuat
komik yaitu cerita bergambar. Aku semakin tertarik,
sehingga hari-hari disibukkan dengan ilustrasi
cerita. Hingga suatu hari aku mengenal cerpen dan
mencoba menulisnya.
***
Suatu hari aku mendapatkan informasi
tentang lomba menulis cerpen. Aku segera
mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba tersebut.
Sebelum perlombaan di mulai, aku berlatih setiap
hari agar kosakata yang aku dapat bisa semakin
banyak dan imajinasiku juga semakin berkembang.
Hari yang ditunggu tiba, aku segera
menyiapkan semua yang diperlukan, termasuk
bekal untuk makan di lokasi lomba. Ibuku ikut
Gendis Sewu Berkarya
118 Menulis Adalah Hidupku
mengantarkan ke tempat lomba tersebut.
Sesampainya di lokasi aku melihat sudah banyak
peserta yang mengantri untuk mengambil nomor
peserta.
Aku segera masuk barisan antrian. Gugup
juga hari ini, karena pesertanya luar biasa banyak.
Entah apakah aku bisa memenangkan lomba atau
tidak, aku hanya bisa berjuang dan berdoa. Tak
lama kemudian aku telah mendapatkan nomor
peserta. Sambil menunggu lomba dimulai, aku
berpikir keras cerita apa yang akan aku buat. Tiba-
tiba terdengar suara panita lomba dari arah
panggung.
"Hallo adik-adik semua. Perkenalkan nama
saya Kak Vega. Nah, kalian sudah siap untuk
mengikuti lomba, kan? Kak Vega akan
memberitahukan tema yang akan di pakai untuk
lomba hari ini. Nah, temanya adalah tentang
Friendship, ya. Jadi, kalian harus membuat cerita
yang ada kaitannya dengan Friendship. Waktu
untuk kalian adalah 60 menit, jadi kalian harus
sudah selesai dalam waktu 60 menit. Paham adik-
Gendis Sewu Berkarya
119 Menulis Adalah Hidupku
adik semua? Oke, kakak-kakak di sini akan
membagikan kertas dan peralatan tulis untuk
kalian. Selamat berlomba, semoga kalian
beruntung. Semangat!" ucap kakak panitia tersebut
seraya mengepalkan tangannya memberi
semangat kepada semua peserta lomba.
Lomba pun telah dimulai, aku segera
menulis ide cerita yang ada dalam imajinasiku.
Beberapa menit berlalu, aku sudah menulis sampai
cerita sampai tahap konflik. Aku terus berpikir
mengenai konflik ceritanya. Pada akhirnya di menit
ke 45, aku hampir selesai. Aku mengambil botol
minumku dan segera meneguknya.
Dari kejauhan Ibu tersenyum kepadaku dan
memberi semangat. Akhirnya aku menyelesaikan
cerita dengan baik. Sambil menunggu hasilnya, aku
dan Ibu makan bekal yang dibawa dari rumah. Saat
makan, aku masih menunggu pengumuman
juaranya.
"Bu, apakah aku bisa berhasil?" tanyaku
pada Ibu dengan sedikit mengernyitkan kening.
Gendis Sewu Berkarya
120 Menulis Adalah Hidupku
"Kita doa aja, Nak. Semoga saja kamu bisa
berhasil. Namun bila belum berhasil, jangan putus
asa. Karena masih banyak kesempatan yang bisa
kamu raih nanti," jawab Ibu menenangkan aku
yang mulai cemas.
Tiba-tiba kakak panitia mengumumkan
hasilnya.
"Semangat adik-adik semua! Kakak
berharap, apapun hasilnya semoga kalian tetap
semangat dan pantang menyerah, ya. Nah, kakak
panggil juara harapan pertama di peroleh dengan
nilai 350, pemenangnya adalah ... Nia dari Sidoarjo.
Beri tepuk tangannya!"
Terdengar suara gemuruh tepuk tangan dari
semua orang yang hadir.
"Untuk pemenang juara harapan ke dua, di
peroleh dengan nilai 450, pemenangnya adalah ...
Rendi dari Malang. Beri tepuk tangannya!"
terdengar lagi suara tepuk tangan orang-orang
dengan penuh semangat.
Satu persatu nama sampai kepada juara
utama disebutkan, ternyata aku belum berhasil
Gendis Sewu Berkarya
121 Menulis Adalah Hidupku
masuk sebagai juara. Namun Ibu menghiburku dan
memberikan dukungan agar aku tetap semangat.
Aku menyadari bahwa perlombaan itu bukan hanya
tentang menang dan kalah, tetapi mengajarkan kita
juga akan kesabaran, perjuangan, dan kerja keras
untuk semakin lebih baik lagi.
***
Suatu hari aku mengikuti pelatihan menulis,
dan tak hanya ilmu yang kudapatkan, tetapi juga
menambah teman. Aku sangat senang sekali
mengikuti setiap kegiatan yang diadakan oleh tim
penulis di tempat pelatihan. Sampai suatu hari
semua penulis termasuk aku, diikutkan acara
gerakan menulis, di mana kami semua mendapat
tugas membuat cerpen.
Aku membuat cerita dengan tema sampah.
Aku semakin semangat untuk menulis apapun yang
melintas di dalam pikiranku. Setiap perlombaan
yang aku ikuti, banyak sekali peserta yang lebih
hebat dari aku. Tetapi itu tak menyurutkan
semangatku, karena aku tahu setiap kegagalan
mengajarkanku untuk tetap bersabar dan terus
Gendis Sewu Berkarya
122 Menulis Adalah Hidupku
berusaha. Bagiku menulis adalah sesuatu yang
mengasyikkan, karena alam khayalan di pikiranku
membuatku menemukan sebuah cerita.
Akhirnya cerpenku tentang sampah selesai
juga dan dikirim ke kakak pembimbing. Setiap hari
aku selalu menulis di laptopku. Tiba-tiba aku
mendapatkan kabar bahwa cerpenku tentang
sampah tersebut dibukukan bersama cerita penulis
lainnya yang juga tergabung dalam kelas pelatihan
menulis. Sungguh perasaan senang yang luar
biasa saat ini, karena karyaku akhirnya dibukukan.
Aku segera memberitahu Ayah dan Ibu
tentang hal itu, mereka senang sekaligus bangga
mendengarnya. Setelah beberapa hari menunggu,
akhirnya buku itu terbit.
"Wah, keren!" kataku dengan penuh
semangat melihat buku karya pertamaku dan
kawan-kawan penulis di halaman web penerbit
buku.
Tak ayal, semua keluargaku dan teman-
temanku membeli buku tersebut untuk membaca
cerita dalam buku itu. Sampai suatu hari ada yang
Gendis Sewu Berkarya
123 Menulis Adalah Hidupku
menghubungiku, dan ternyata dari perwakilan
sebuah koran ternama. Aku di wawancarai
mengenai karyaku dan kawan-kawan penulis.
Sungguh, sesuatu yang tidak pernah terpikirkan
olehku, sampai bisa di wawancarai tim koran
ternama.
Ayah dan Ibu semakin bangga melihat
prestasi yang aku raih. Berita tentang aku d an
buku karyaku dimuat di koran ternama. Akhirnya
perjuanganku membuahkan hasil yang
memuaskan, karena semakin banyak aku
mengikuti lomba menulis dan sampai akhirnya aku
bisa menghasilkan karya yang sungguh tak pernah
aku bayangkan. Aku semakin semangat lagi untuk
berjuang meraih mimpiku. Ya, aku ingin bisa
menjadi penulis yang bisa menghasilkan banyak
karya dan bisa di kenal banyak orang.
Perjuangan ini tak akan pernah berhenti
sampai di sini, karena aku harus menjadi
seseorang yang penuh semangat dan tak pernah
puas agar semakin hari semakin berkembang
imajinasiku dalam menulis untuk menjadi seorang
Gendis Sewu Berkarya
124 Menulis Adalah Hidupku
penulis profesional. Jadi inilah hidupku, karena aku
tumbuh dengan jiwa seorang penulis. Sebuah
mimpi dan harapan akan tercipta jika kita tetap
semangat dan berusaha untuk meraih masa depan
yang gemilang.
125 Gendis Sewu Berkarya
Menulis Adalah Hidupku
PAK DARTO
Oleh Cellya Ayu
Ini sebuah kisah tentang seorang penjual
onde-onde. Pak Darto, nama itulah yang ia
sebutkan pada setiap pembeli yang menanyakan
siapa dirinya. Pak Darto cukup terkenal di wilayah
Jemur Sari, setelah sebuah akun instagram foodies
mengangkat cerita makanan yang ia jajakan. Pak
Darto berperawakan kurus dengan peci putih yang
selalu bertengger di rambut putihnya. Ia
mempunyai senyum yang selalu merekah pada
setiap pembeli yang datang. Kerutan di seluruh
wajah menampakkan betapa banyak ujian yang
telah ia lalui selama hidup.
Aku mengenal Pak Darto cukup lama. Dulu,
Pak Darto pernah menitipkan dagangannya pada
warung kopi milik Ibuku. Saat itu usiaku 10 tahun
dan Pak Darto masih sangat kuat mengayuh
sepeda kayunya mengitari kompleks perumahan
sekitar warung Ibu. Namun sudah 10 tahun ini
Gendis Sewu Berkarya
126 Pak Darto
Ibuku tidak berjualan kopi lagi. Ibuku telah
meninggal dunia dan warung kopi Ibuku berpindah
tempat di Sidoarjo. Aku dan keluargaku pindah ke
tempat asal Bapak. Ya, Bapakku adalah warga
Sidoarjo yang bekerja sebagai tukang bersih-bersih
di perumahan dekat warung Ibu.
Hingga kini, Pak Darto masih berjualan
onde-onde di sekitar perumahan. Namun bedanya,
jika dulu dagangannya dititipkan ke warung kopi
Ibuku, sekarang beliau menjual dagangannya di
trotoar dekat Stasiun Pengisian Bahan Bakar Bakar
Umum (SPBU). Ia kini sudah tak mampu mengayuh
sepeda kayunya berkeliling kompleks perumahan.
Keberadaan warung kopi Ibuku dulu cukup
membantu Pak Darto berjualan.
Baru satu jam saja onde-onde yang dibuat
Pak Darto sudah ludes oleh pembeli di warung kopi
Ibuku. Dan hasil yang didapat cukup banyak,
mengingat Ibu tidak mengambil laba dari Pak
Darto. Aku mendengar kabar Pak Darto dari
kakakku yang saat ini tinggal di Surabaya bersama
istrinya.
Gendis Sewu Berkarya
127 Pak Darto
“Kar, kamu masih ingat Pak Darto, ndak?”
tanya kakakku yang bernama Bira.
“Pak Darto yang dulu ngajarin aku mengaji?”
tanyaku balik.
“Iya, yang kamu selalu disambit pake lidi
kalau salah menghapal surat Al- Fatihah,” jawab
Mas Bira sambil tergelak
Aku pun tersenyum kecil. Ya, Pak Darto
adalah guru mengajiku saat masih kecil. Aku yang
sudah hampir berumur 10 tahun saat itu, tidak bisa
membaca Al-Quran. Akhirnya Ibu meminta Pak
Darto untuk mengajariku mengaji. Pak Darto
dikenal sebagai guru ngaji di kalangan kampung
belakang perumahan. Ia mengajari anak-anak
mengaji dengan bayaran seikhlasnya.
“Kenapa Mas? Kok tiba-tiba tanya tentang
Pak Darto?” tanyaku.
“Pak Darto masih jualan onde-onde, Kar,”
jawab Mas Bira.
Aku menolehkan kepala ke arahnya dan
menghentikan aktivitas mengaduk secangkir kopi.
Gendis Sewu Berkarya
128 Pak Darto
“Oh ya? Pak Darto pasti wis sepuh 3ya,
Mas,” ujarku lirih.
“Anak Pak Darto katanya merantau ke
Jakarta, Kar. Tapi ndak pernah pulang ke
Surabaya,” ujar Mas Bira.
Ada nada terenyuh dalam kalimat Mas Bira.
“Besok minggu Mas Bira libur, ndak?”
tanyaku.
“Iya libur. Kenapa Kar?” jawab Mas Bira.
“Jemput aku Mas. Aku mau ke Surabaya.
Mau sowan ke Pak Darto sekalian nengok si
kembar,” ujarku.
“Oke, minggu Mas jemput ya. Sekarang,
bikinin kopi ireng sama gorengan pisang,”
titahnya.
Aku pun mengacungkan jempol dan
bergegas menuju dapur.
***
Hari Minggu yang kutunggu pun tiba.
Setelah merapikan baju yang kukenakan, aku
keluar kamar.
3 Sudah tua
Gendis Sewu Berkarya
129 Pak Darto
“Jadi ke Surabaya kamu, Nduk?” tanya
Bapak yang tengah memperbaiki kipas angin di
ruang tengah.
“Nggih, Pak. Kara pamit dulu ya,” jawabku.
Suara motor beat milik Mas Bira memasuki
halaman rumah. Mas Bira masih memakai seragam
kerjanya. Tanda ia baru pulang dari mengantar
bahan pangan semalam. Entah di kota mana.
Setelah menyalami Bapak, Mas Bira pamit mencuci
muka dulu, kemudian kami pun berangkat.
Tujuan pertama adalah menemui Pak
Darto. Mas Bira melajukan motornya menuju
wilayah Jemur Sari. Kami menyisir jalanan mencari
Pak Darto. Namun tak kunjung kami jumpai pria tua
itu. SPBU tempatnya biasa berjualan pun tak
tampak Pak Darto. Aku meminta Mas Bira
mengarah ke perumahan tempat warung Ibu dulu
berjualan.
“Kar, itu Pak Darto bukan?” tanya Mas Bira.
“Oh sepertinya iya, Mas. Coba maju sedikit
biar aku bisa lihat lebih jelas,” pintaku.
130 Gendis Sewu Berkarya
Pak Darto
Motor Mas Bira pun menepi di bawah pohon
randu. Kami memperhatikan Pak Darto yang
tengah beristirahat di emperan bekas warung Ibu.
Aku pun turun dari motor dan menghampiri Pak
Darto.
“Pak Darto...”
Pak Darto mengangkat kepalanya dan
menatapku.
“Kara, ya? Anaknya Mbak Jayanti.”
Aku mengangguk dan tersenyum.
“Bapak kok masih inget sama Kara?”
tanyaku.
Pak Darto tersenyum hangat. Mas Bira pun
menghampiri kami dan menyalami Pak Darto.
“Ini Bira to,” ujar Pak Darto.
“Nggih Pak. Apa kabar?” tanya Mas Bira.
“Alhamdulillah. Kalian bagaimana?”
jawabnya.
“Kami juga sehat, Pak. Alhamdulillah,”
ujarku.
Pak Darto tersenyum dan menatap kami
bergantian.
Gendis Sewu Berkarya
131 Pak Darto
“Bapak boleh tinggal di sini sementara
ndak?” tanyanya dengan tatapan sendu.
Aku saling memandang dengan Mas Bira.
Tak mengerti maksud Pak Darto.
“Maksudnya, Pak Darto sekarang sewa
warung ini, gitu?” tanyaku.
“Ndak. Bapak mau numpang tidur di kursi
panjang ini, sementara sampai mendapat
kontrakan baru,” jawabnya.
Aku kaget tentu saja. Kenapa sampai tidur
di emperan warung begini. Seperti mengerti bahwa
kami bertanya-tanya, Pak Darto pun menceritakan
apa yang terjadi.
“Istri Bapak meninggal 2 hari yang lalu. Anak
Bapak pulang membawa mobil bersama istri dan
anaknya. Bapak senang karena hidupnya sudah
baik sekarang dan Bapak juga berharap ikut anak
saja. Karena istri sudah tidak ada, jadi yang
memasak onde-onde sudah tidak ada lagi. Bapak
tidak sanggup kalau harus memasak juga. Namun,
anak Bapak tidak mau membawa Bapak ke Jakarta
bersamanya. Bapak pun ditinggal sendiri di
Gendis Sewu Berkarya
132 Pak Darto
kontrakan. Hingga akhirnya semalam kontrakan
Bapak terbakar karena tetangga lupa mematikan
kompor. Apinya pun membakar seluruh isi
kontrakan. Bapak hanya bisa menyelamatkan
sepeda dan beberapa baju,” Pak Darto berhenti
bicara untuk menyeka airmata.
Aku pun mendengarkan ceritanya hingga
selesai. Pak Darto, pria tua yang harusnya
menikmati masa senja bersama anak cucu, namun
masih harus bergelut untuk tetap hidup di kota
besar. Perjuangannya seperti pengingat bahwa
menjalani hidup tak selalu indah. Akan ada batu
terjal yang harus dilalui. Aku mengajak Pak Darto
ikut bersamaku ke Sidoarjo, beliau akan
membantuku mengurus warung.
***
Seperti Pak Darto, aku akan ikut berjuang
demi hidup yang lebih baik. Bersama Pak Darto,
aku dan Bapak akan terus berjuang menjalani
segala ujian. Karena berjuang bersama akan lebih
ringan daripada berjuang sendirian. Itulah yang di
Gendis Sewu Berkarya
133 Pak Darto
butuhkan setiap manusia. Saling membantu dalam
berjuang.
Gendis Sewu Berkarya
134 Pak Darto