The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Pramoedya Ananta Toer - Gadis Pantai-Hasta Mitra (2000)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Pena-Anam, 2020-09-28 03:34:42

Pramoedya Ananta Toer - Gadis Pantai-Hasta Mitra (2000)

Pramoedya Ananta Toer - Gadis Pantai-Hasta Mitra (2000)

92 PRAMOEOYA ANANTA TOER GAOlS PANTAI 93

"Tentu Mas Nganten." Pelayan itu meneruskannYd kepada "Uang Mas Nganten hilang?" Bendoro meneruskan dengan
pemuda-pemuda, "Mas Nganten pergi ke mari bukan karena
lari dari kelaparan, laut tetap kaya takkan kurang, cuma hati dan tanya.
budi manusia semakin dangkal dan miskin. Lihat saja ini, uang
di rumah dikelilingi tembok begini bisa hilang." "Ampun," Gadis Pantai menj awab sambil semakin menun­

"Terang-terang saja mBok menuduh kami mencuri?" dukkan kepala, dengdn kedua tangan menj agangkan pada
"Aku cuma bilang," pelayan tua itu j adi kasar, "kenlbalikan
uang itu ! Di sini ada hukum. Kalau hukum tidak ditaati lagi, l dntai . .
mari, mari kita panggil hakim."
"Kau j angan kurang aj ar mau panggil hakim, mBok. Kau " Kau kurang hati-hati. Uang itu biar rejeki dari Tuhan
sendiri bakal celaka."
"Orang kampung semacam sahaya ini, bendoro muda, kela­ sekalipun, tidak j atuh begitu saj a dari langit."
hirannya sendiri sudah suah.J kecelakaan. Tak ada sesuatu yang
lebih celaka, dari nasib orang kampung. Ayoh, mau berunding "Ampun Bendoro ," sekali lagi Gadis Pantai bersuara se-
apa lagi? Kembalikan tidak uang itu?"
"Baik-baik, carilah hakim itu , biar dia adili kau sendiri !" makin perlahan.
"B aik, mari mas Nganten ," pelayan itu menlapah Gadis
Pantai masuk ke dalam ruangan tengah. "Dan kau, mBok apa yang kau ribu tkan?"
Bendoro sedang duduk senang di atas kursi malas . Sebuah
mej a kecil berdiri di sampingnya. Di atasnya terlctak scbuah "Ampun bendoro uang itu hildng."
stoples kristal berisi biskuit buatan negeri Belanda, sedang se­
bilah capit perak tergeletak di sampingnya. Sinar nlatahari sore "Aku tahu uang itu hilang. Apa yang kau ributkan?"
j atuh melimpah-limpah pada deretan tafsir yang sedang diba­
canya. Pelayan tua tak menj awab. Kedua be lah tangannya nleng-
"Ampun Bendoro," pelayan tua itu meme las setelah
menggelesot di lantai. Juga Gadis Pantai duduk menggelesot di gigil, sehingga tubuhnya yang bertunj angan pada tangannya
lantai .
Bendoro menutup tafsir. Melepas kacanlatanya, rneletakkan­ meliuk-liuk sedikit.
nya di pangkuan dan bangkit duduk dari rebahnya, 11lc lnandang
ke samping bawah pada ked ua wanita itu , lemah lembut ia "Mardi ! " Bendoro memekik.
bertanya, "Hemmmm?"
"Ampu n sahaya, B endoro, sebentar lagi bendoro mas uk Dari kej auhan terdengar suara sahutan . Dan beberapa detik
khalwat bersembahyang magrib, semoga tidak menggdnggu
sembahyang Bendoro. Tapi soal ini. . . . .soal ini , uang. . . . . ah." kemudian mu ncul seorang anak muda menyembah �ebe l u m

memasuki pintu dan duduk menggelesot di lantai, di belakang

kedua wanita itu.

"Panggil semua agus ke mari."

Mardi menyembah lagi - hilang dari pandangan dan segera

kemudian muncul pemuda-pemuda itu seorang demi seordng

dari pintu ruang belakang. Mereka masuk tanpd menyembah,

hanya langsung duduk di lantai di samping kedud wanita itu.

Semua bersila dan merenungi lantai.

"Siapa ambil uang itu ?" Bendoro bertanyd perlahan tdnpa

melihat pada mereka, tapi j ustru pada lenlbaran-Ielnbaran taf­
sir yang mulai dibuka kembali.

Tiada jawaban.

"Benar? Tidak ada yang mau menj awab?"

Tiada berj awab

Bendoro tertawa perlahan. Gadis Pantai mengangkat muka

94 PRAMOEOYA ANANTA TOER GAOlS PANTAI 95

untuk melihatnya. Dilihatnya Bendoro sedang mulai membaca "Tidak, tidak, pamanda sahaya bukan maling Sahaya tahu
tafsirnya. Tapi terdengar suara perlahannya. makna maling. Dan sahaya tahu sahaya bukan maling "

"Sej ak jaman Nabi memang sudah ada hamba-hamba iblis." "Apa penjelasannya, maka kau bukan maling?"
Ia mendengarkan tawa ejekan. "Maling. Siapa heran ada mal­ "Tidak ada bukti dapat dikemukakan sahaya seorang maling,
ing selama iblis ada? Tapi maling pun butuh kehormatan, se­ pamanda."
makin dia tidak punya kehormatan diri " Tiba-tiba ia tutup taf­ "Siapa guru ngaj imu?"
sir itu dengan kasarnya sehingga berdetak Semua mereka yang "Haji Masduhak, pamanda."
duduk di lantai mengangkat pandang. Tapi segera dilihat nlere­ "Apa sabda Rasullulah kalau bukti itu ada?"
ka Bendoro dengan kasar sedang lemparkan pandang ke arah "Disumpah, pamanda."
mereka, mereka menunduk kembali. "Berani kau disumpah?"
"Pamanda yang memutuskan."
"S iapa tidak mengerti?" Bendoro bertanya dengan suara "Karim ! Haji Masduhak juga gurumu? Kau, Karim, apa kata
mengancam. Setiap orang yang duduk di lantai semakin dalam gurumu tentang kemunafikan?"
tunduknya. "Ampun, pamanda, sahaya tiada hafal."
"Berapa umurmu?"
"Ya, semua mengerti, itu penting buat dipahami. Tapi apa "Sembilan belas, pamanda."
kehormatan itu ?" "Kau duduk di kelas berapa?"
"Enam, pamanda."
Diam sejenak tak seorang berani bergerak. "Sini, kau berdiri di hadapanku ."
"Abdullah, apa kehormatan itu ?" Pemuda Karim beringsut-ingsut dari duduknya sampai di
Tak berjawab. hadapan Bendoro, ia tetap duduk menggelesot di Iantai.
"Pertanyaan dibuat untuk dij awab, Abdullah," suaranya "Kau dengar aku Karim? Berdiri?"
menurun j adi lembut kembali. "Berapa tahun kau sudah ting­ "Ampun, pamanda," dan Karim tetap tidak berdiri.
gal di sini? Tuj uh? Kau tak mau menj awab pertanyaanku? "Said," panggil Bendoro pada pemuda yang lain.
Jawabanmu mau kudengar. Hanya j awaban. Kau takkan rugi "Sahaya, pamanda."
apa-apa." "Apakah guru ngajimu sarna dengan Abdullah?"
"S ahaya, pamanda." "Sarna, pamanda."
"Apa itu kehormatan?" Tak berjawab. "S arna dengan �arim?"
"Tapi kau tahu artinya maling?" "S arna, pamanda. Haj i Masduhak."
"Sahaya, pamanda." "Gurumu Haji Duhak itu pernah dia ajari kalian tentang ciri­
"Kau tak tahu apa arti kehormatan?" Tak berj awab. ciri kemunafikan?"
"Jadi sampai di mana kau belajar mengaji? Benar-benar kau "Pernah, pamanda."
tak tahu maknanya?" Tak berjawab. "Kau, masih ingat?"
"Jadi kau tidak punya kehormatan?"
"S ahaya, pamanda."
"Kau malingnya!"

9 6 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 97

"S ahaya pamanda." tak mampu. Kemudian kau cuma melawan dengan hatimu .
"Kau lihat Karim menolak perintahku . Apakah itu Setidak-tidaknya kau melawan."
nlunafik?"
"Tidak menurut Ustad, pamanda." "Sahaya Bendoro."
"Jadi apa itu munafik?" "Itu baik sekali."
"Kelihatannya suci dan setia, tapi sebenarnya tidak, pa- "Siapa aj ari kau berbuat begitu?"
manda." "Pengalaman dan perasaan seumur hidup inilah, Bendoro."
"Karim!" panggil Bendoro tegas-tegas. "Kalau begitu pengalaman dan perasaan itu belum lagi
"Apa sebabnya uang itu kau ambil ?" c ukup . "
Tiada j awaban. "Sahaya, Bendoro."
"Terkec uali wanita-wanita ini dan Karim, semua harus "Tahu kau di mana kekurangannnya?"
perg i . " "Kalau tidak khilaf, tahulah sahaya Bendoro. "
Pemuda-pemuda yang di�rintahkan beringsut-ingsut meng­ "Aku ingin tahu kekurangan itu ."
undurkan diri dan sesampainya di pintu baru mereka berdiri dan "Kekurangan sahaya ialah . . . .ialah. . . .ialah karena sahaya
lenyap dari pemandangan. terus berusaha bersetia pada Bendoro dan melakukan segala
"Karim ! " yang dij adikan kewaj iban sahaya, karena itu sampai-sampai
"Ampun, pamanda. Ampunilah sahaya yang telah khilaf berani menggugat agus-agus bendoro-bendoro muda."
ini." "Tepat."
"Kau tidak lakukan kekhilafan, Karim." "Sahaya Bendoro."
"Ampuni kekhilafan sahaya, pamanda." "Jadi kau tahu hukumannya."
"Kau tak dengar aku? Kau tidak khilaf. Dengar! Orang tua­ "Bagi orang semacam sahaya, Bendoro, sebenarnya tidak
mu telah kirimkan kau ke mario Aku telah berikan rumah , ada hukuman lagi. Hidup pun sudah hukuman."
sekolah segalanya terbaik bagimu. Aku berikan guru ngaji ter­ "Syirik ! tak. tahu bersyukur pada Tuhan."
baik di kota ini. Aku berikan pengaj aran terbaik di dunia ini. "Sahaya, Bendoro."
Sabda Allah dan nabi apakah yang masih kurang? Kalau semua "Pergi kau. Sekarang j uga tak perlu injakkan kaki di rumah
ini tidak juga mencukupi bagi pendidikanmu, pergilah pada si ini, jangan pula di pekarangannya."
guru yang lebih baik. Pergilah kau. Pergi ! Aku tak sudi lihat "S ahaya, Bendoro."
tampangmu lagi seumur hidup. Pergi !" "mBok, mBok!" Gadis Pantai meraih tangan pelayan tua itu.
Tanpa menj awab Karim bangkit berdiri dan meninggalkan "Ampuni dia, Bendoro, Ampuni dia."
ruangan. Semua mata mengikutinya. Dan waktu ia telah hilang "Jangan buat bising ! Kembali kau ke kanlarmu sendiri ."
di balik pintu, kembali suara Bendoro terdengar: Pelayan wanita itu beringsut-ingsut mundur menyembah,
"mBok, kau mau lawan kej ahatan ini dengan tanganmu, tapi kemudian mencapai pintu. Dan Gadis Pantai mengikuti con­
kau tak mampu. Maka itu kau lawan dengan lidahmu Kau pun tohnya. Di ruang bel akang kedua wan ita itu berdiri. Dc.tIl di
hadapannya telah menunggu bangsawan-bang'iawan muda dc­
ngan sikap yang masih j uga menantang.

98 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1) 1

"Apa aku bilang?" seorang menegur. tiasa nlelindungi Mas Nganten hendaknya." Dan ia pun bcrgl'
"Kaulah yang terusir " gas pergi.
Pelayan tua tak menj awab sedang Gadis Pantai menariknya
masuk ke dalam kamarnya. Gadis Pantai tertinggal seorang diri di kamarnya, tercabut
"mBok, mBok sudah tahu, bakal beginilah kejadiannYd. dari seluruh kekuatan dan tenaganya. Nafasnya megap-megap,
Mengapa mBok lakukan j uga? Apa aku mesti perbuat tanpa tubuhnya meliuk di atas kursi� kedua belah tangannya terkulai
mBok?" di atas mej a, dadanya turun naik, sedang matanya merah jing­
"Biar sahaya ceritai, Mas Nganten, mungkin ini buat peng­ ga sebak, dengan pandangan tidak menentu . IngatannYd
habisan kali. Mas Nganten masill ingat cerita sahaya tentang menangkap dan menggenggam kata-kata pelayan tua itu, tapi
kakek sahaya yang ikut berontak bersama Pangeran Dipone­ ia tak mengerti, terdengar seperti sebuah mantra. Bapak selalu
goro? Ya Mas Nganten masih ingat, bukan? Seorang penewu l mengucapkan mantra bila hendak tinggalkan darat. Dan tak
pernah mengurniainya wej angan: Kau tidak mengabdi ke­ pernah ia mengerti makna kata-katanya.
padaku, man, tidak, man ! Kalqu kau cuma mengabdi kepadaku,
kalau aku tewas dan kau tinggal hidup, kau mengabdi kepada Hari-hari meluncur sendat, tertegun, setelah pelayan tua itu
siapa lagi? Kau cari Bendoro baru kalau dia juga tewas ? Tidak lenyap dari kehidupan gedung besar berkurung pagar tembok
man, tidak. Kau mengabdi pada tanah ini, tanah yang membe­ tinggi itu . Bila tadinya Gadis Pantai hidup sebagai pendiam
rimu nasi dan air. Tapi para raj a dan para pangeran dan para karena terpaksa, kini ia j adi pendiam karena kehilangan hasrat
bupati sudah j ual tanah keramat ini pada Belanda. Kau hanya untuk bicara. Orang sebaik itu keluhnya dalam hati selal u .
baru sampai melawan para raja, para pangeran dan para bupati. Orang sebaik itu ! Orang sebaik itu ! Dan untuk mengisi hari­
Satu turunan tidak bakal selesai, man. Kalau para raj a, pange­ harinya yang lamban menyebalkan ia menenggelamkan diri
ran dan bupati sudah dikalahkan, baru kau bisa berhadapan dalam kerja batik.
pada Belanda. Entah berapa turunan lagi. Tapi kerj a itu mesti
dimulai." login ia menghadiahkan salah sebuah batik tulisnya pada
"Aku tidak mengerti, mBok." Ia pegangi tangan pelayan tua wanita tua itu. Tapi di gedung ini tak ada orang menyebut-nye­
itu . "Jangan buru-buru pergi. Bisa aku ikut denganmu, mBok?" butnya, tak ada yang tahu dimana ia tinggal. Tak pula punya
"Tidak, Mas Nganten, tidak bakal lama lagi Mas Nganten perhatian ke mana perginya. Mereka yang telah keluar dari ge­
bakal mengerti wej angan itu. Ayah sahaya tcruskan wej angan dung ini, bila bukan kerabat Bendoro, adalah laksana roh-roh
itu pada sahaya, dan sahaya teruskan pada Mas Nganten. yang tidak punya suatu bekas. Mungkin hanya Gadis Pantai
Sekarang Mas Nganten belum mengerti, tapi pengalaman bakal yang mau dan selalu mengenangnya.
membuat Mas Nganten memahaminya baik-baik. Tuhan senan-
Musim hujan datang lebih cepat dari seharusnya. Angin
1 . penewu (Jawa), wakil wedana. kencang antara sebentar mendesak dengan kekuatan besar dari
timur-Iaut, mengangkat sampah dan pasir pantai, pasir alun­
alun yang mulai gundul karena kemarau, menerobosi pintu dan
jendela, masuk ke dalam kamar bahkan j uga ke dalam lemari
pakaian dan makan. Masa demikian adalah masa banyak

1 00 PRAMOEOYA ANANTA TOER GAOlS PANTAI 101

mendo' a di kampung nelayan. Dahulu Gadis Pantai tak pernah "Engkau terlalu cantik buat pelayanku, juga terlalu muda."
Tiba-tiba Gadis Pantai terkejut dengan ucapannya sendiri .
bersungguh-sungguh mendo' a. Tapi kini dirasanya hasrat un­ Tiba-tiba ia pun menduga pelayan muda ini berseri bebas dan
ceria itu sadar akan kelebihan-kelebihannya. Ah, mengapa dia
tuk mengucapkan permohonan pada Tuhan agar seluruh nela­ dikirim ke mari ? Ia teringat pada mBok yang telah pergi. Ah,
� �yan dilindungi dari marabahaya, agar angi tidak te lalu ken­ tidak ! Kini aku harus berfikir sendiri, berbuat sendiri tanpa sia­
adl. .. papun . Dan untuk pertama kali dalam hidupnya ia mulai bela­
cang, agar ombak tak terlalu j ahat, dan agar lkan menJ Jlnak. j ar curiga.
Apa sebabnya wanita muda berumur empat belas dikirim­
*** kan kepadaku ? Dan dengan sendirinya mengiang-ngiang
kembali suara pelayan tua itu : Sekarang Mas Nganten belum
Pada suatu pagi dalam hujan lebat, empat orang wanita dalam mengerti, tapi pengalaman akan membuat Mas Nganten mema­
keadaan basah kuyup masuk ke dalam dapur. Seorang di antara haminya baik-baik !
mereka diantarkan oleh Mardi datang kepadanya. Sekarang ia belaj ar memahami, mencurigai.
Tak lebih dari dua hari kedatangan Mardinah, terj adi suatu
"Mas Nganten," Mardi memulai, "pelayan baru buat Mas peristiwa. Sore hari ketika Gadis Pantai merasa tak nyaman,
Nganten." dan bertiduran di ranj angnya. Mardinah masuk ke kdmarnya
dan duduk di kursi .
. "Sinilah sebentar," Gadis Pantai menlanggil. Mat'dinah lang­
Gadis Pantai meletakkan cantingnya, dan mon yang baru sung duduk di kdsur.
setengah terbatik ia gulung dan g1lntungkan pada jagangnya. "Apa Bendoromu yang dulu tidak marah padamu kau duduk
"Apa harus kupanggil kau?" Gadis Pantai bertanya. di kursi?"
"Mas Nganten, nama sahaya Mardinah." "Bendoro tidak pernah lihat sahaya duduk di kursi.
"ltu bukan nama orang desa." "Apa Bendoromu ydng dulu tidak pernah marah melihat kau
"Sahaya lahir di kota. Mas Nganten. Di Semarang." duduk di kasurnya seperti ini?"
"Berapa umurmu ?. " "Bendoro tidak pernah lihat sahaya duduk di kasur. "
"Empat belas, Mas Nganten." "Aku tidak marah padamu."
"Belum ada laki?" "Tentu saj a."
"Janda Mas Nganten." "Mengapa tentu saja?'�
Gadis Pantai tertegun. Ditatapnya wanita muda itu . Lebih "Karena Mas Nganten bukan Bendoro sahaya."
tinggi dari dirinya. Air mukanya begitu jernih dan ceria, gerak­ "Lantas siapa Bendoromu?"
geriknya cepat tanpa ragu-ragu. "Bendoro sahaya, ya, Bendoro sendiri."
"Di mana pernah kerj a?" "Dan aku?"
"Di kabupaten Demak, Mas Nganten. "
"Mengapa keluar dan kerja d i sini?"
"S ahaya diperintahkan Bendoro Puteri Demak bekerj a di
sini, Mas Nganten."
"Apa hubungannya Bendoro Puteri Demak dengan aku?"
"Mana sahaya tahu, Mas Nganten? Sahaya cuma j alankan
perintah."

1 02 PRAMOEOYA ANANTA TOER GAOlS PANTAI 1 03

"Ah, Mas Nganten. Mas Nganten kan orang kampung?" matahari. Uap yang membumbung dari tanah membuat nafas
Jantung Gadis Pantai terguncang. Dengan sendirinya ia j adi berat dan sesak. Gadis Pantai duduk di atas bangku kebun
bangkit dan duduk, menantang wajah Mardinah. Tapi ternyata di bawah pohon mangga tanaman Bendoro beberapa tahun lalu.
Mardinah membalas tatapan matanya tanpa sedikit pun ragu­
ragu. Melihat mata yang berapi-api, Gadis Pantai menjadi takut, Sekarang Mas Nganten belum mengerti, tapi pengalaman
menyesali diri. membuat Mas Nganten memahami baik-baik, terngiang
"Benar, aku orang dari kampung, dan aku tidak menyesal kembali wej angan pelayan tua itu. Jadi ini adalah permulaan.
berasal dari kampung. Siapa kau sebenarnya?" Ia tak dapat memikir, ia tak tahu pada siapa ia harus adukan hal
"Yang j el as, sahaya bukan berasal dari kampung." dan kesulitannya. Setidak-tidaknya kej adian begini tidak bakal
"Apa hinanya orang kampung?" terjadi di kampungnya - kampung nelayan pinggir pantai. Se­
"Setidak-tidaknya dia scbangsa kuli." orang demi seorang di antara kelu arganya terbayang: ayahnya
Untuk kedua kali Gadis Pantai terguncang. Ketakutan men­ yang sedang mengangkat j ala, melompat dari perahu turun ke
j amah seluruh batinnya. Ia mencoba memberanikan diri . "Jadi darat; emak sedang menumbuk udang kering; abang-abangnya
buat apa kau datang ke mari ?" sedang menambal lunas pada buritan perahu, dengan samar
"Yang jelas bukan buat mengabdi pada Mas Nganten." adik-kecilnya sedang memperbarui cat pada pahatan hiasan
"Lantas buat apa kau mendekam di kamar ini?" pada lambung dan haluan perahu . . . dan terbayang juga dirinya
Mardinah tak menj awab . Ia hanya tersenyum. Kemudian sendiri sedang bertanak nasi-j agung. Bertanak nasi-jagung ! Ah,
membuka mata, sedang giginya yang tampak tak terhitami oleh itu dua tahun yang lalu. Sekarang ia tak pernah bertanak Tak
sirih kapur dan pinang atau pun sugi itu gemedapan menantang. pernah menyambal . Tak pernah mencuci piring dan cobek.
"Mas Nganten," katanya perlahan. "Sahaya bisa baca bisa Dengan lenyapnya kampung nelayan dalam hidupnya lenyap
tulis, Mas Nganten bisa?" pula laut yang tiada bertepi . Dunianya kini hanyalah kamarnya,
Untuk ketiga kali dalam sehari Gadis Pantai terguncang. dengan beberapa meter radius sebagai lapangan bergerak.
"Apa bapak Mas Nganten? Nelayan, bukan? Benar, sahaya
tidak salah. Mas Nganten tahu siapa orang tua sahaya? Pensiun­ Tiba-tiba pikirdnnya menangkap Mardi. Mungkin orang itu
an j uru tulis." mau menyampaikan halnya pada Bendoro. Tapi segera kemu­
Untuk keempat kali j antung Gadis Pantai terguncang. Mar­ dian dicegahnya sendiri pikirannya itu . Tidak! Aku harus sele­
dinah tertawa menang dan senang, tapi tak melanjutkan. Gadis saikan sendiri. Rumah ini harus selamat. Bendoro harus bebds
Pantai turun dari ranjang. Diperiksanya seluruh lemari dan laci, dari segala kesulitan, bebas dari pikiran tentang istrinya. Tidak!
dikuncinya yang belum terkunci, meninggalkan kamar menuju Tidak ! Aku harus selesaikan sendiri semua. Semua! Semua !
ke kebun belakang.
Tanah sehabis huj an kemarin sore berwarna coklat tua, se­ Ia meronta bangun, dengan langkah tegap menaiki jenjang
dang butiran-butiran putih kulit kerang yang terhampar mem­ ruang belakang, l angsung menuj u kamar. Didapatinya Mardi­
buat tanah berwarna coklat itu silau gemerlapan kena cahaya nah telah bertiduran di ranj angnya.

Dengan langkah tegap itu pula ia l angsung menghampiri
Mardinah.

"Orang kota, bangun ! Menurut ukuran orang kampung

1 04 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 05

tidaklah sopan tidur di tempat orang lain tanpa ij in." Mardinah dinah telah menunggunya di belakang pintu. Dilihatnya wani­
tertawa dan bangkit sendiri.
ta itu siap hendak menegurnya. Tapi Gadis Pantai j alan terus
"Rupa-rupanya kau bisa menggeletak dan terlentang di
mana-mana, di mana saja." menuj u tungku. Demikian pula waktu ia hendak balik naik ke

Ternyata Mardinah kebal tusukan kata Ia masih j uga terta­ ruang belakang, dilihatnya Mardinah masih berdiri di belakang
wa. Dan tanpa terduga oleh Gadis Pantai keluar kata-katanya:
"Ini, Mas Nganten," sambil menunj uk-nunjuk dadanya sendi­ pintu, tapi kali ini berhasil membuka suara "Mas Nganten
ri, "tak lain dan tak bukan adalah tubuh sahaya sendiri. Terse­
rah pada sahaya di mana sahaya taruh dan sahaya geletakkan." s aha. . ."

"Tidak. Tidak terserah padamu semata-mata. Keluar kau dari Gadis Pantai berj alan terus tanpa menengok.
kamar ini ! Jangan masuk lagi. Keluar ! "
Mardinah memburunya dan menghadang j alannya.
Lenyaplah tawa dari wajah Mardinah. Dengan mata berapi­
api ditantangnya Gadis Pantai.dan dengan suara mengancam ia "Mas Nganten," tegumya, dan hadangan itu membuat kedua
menyatakan, "Tidak mungkin orang kampung nlemerintah
anak priyayi. Tidak bisa. Tidak mungkin." orang itu berhadap-hadapan.

Tapi Gadis Pantai telah menudingnya tepat pada matanya. "S ahaya membutuhkdn Mas Nganten."
"Keluar ! "
"B ukankah aku bukan pelayanmu?"
Mardinah dengan kasar melemparkan lengan yang menu­
dung matanya. Tapi Gadis Pantai nlenuding dengan tangannya "Tidak, tentu saj a tidak. Tapi sahaya pun bukan pelayan Mas
yang lain. Kemudian, "j uh ! " dan sepercik luddh bertengger
pada hidung Mardinah. Nganten."

Tidak kurang dari seminngu lamanya Mardinah tak pernah "Jadi pergildh dari sini. Yang aku butuhkan hanya pelayan."
muncul di kamar Gadis Pantai. Ia tinggal di dapur. Dan karena
bukan seorang pekerj a dapur, ia hanya duduk-duduk di sana "Biarlah sahaya melayani Mas Nganten. "
sdmbil mengobrol dengan para pekerj a dapur.
"Maaf, aku tak butuhkan kau. Aku tahu mengapa kau d i sini .
S aban pagi Gadis Pantai turun dari kamarnya, menlasuki
dapur dan mengawasi santapan yang akan dihidangkdn pada Aku akan sampaikan sendiri pada Bendoro."
suaminya. Ia cicipi semua untuk menentukan baik tiddknya
dihidangkan, kemudian ia tutup mej a, setelah itu me mbatik. Mardinah terdiam. Ia tak tahu apa mesti diperbuat. Nampak
Dalam semi nggu ini bila ia masuk ke dapur, matanya tdj am
mengikuti segala gerak-gerik pelayannya. Tapi tiada sepatah pikirannya kacau. Dan kesempatan itu dipergun akan Gadis
kata pun keluar ddri mulutnya.
Pantai untuk menyisihkannya dan meneruskan j alannya ke tem­
Pagi itu waktu ia kembali masuk ke ddpur, dilihdtnya Mar-
pat pembatikan.

Tapi baru saja ia duduk di bangku renddh membatik, Mardi­

nah telah datang menghampirinya membawa batikan pula, j uga

ikut membatik.

"Mas Nganten," Mardinah berbisik sehabis Ineniup cucuk

cantingnya.

"Apa kerj amu di sini?"
"Sekarang ini membatik, Mas Nganten."

"Siapa menggaji kau?" __

Mardinah tak menyahut. Ia celupkan cantIngnya ke dalam

belanga kecil lilin cair dan melukis cucuk burung garuda di atas

kain .

1 06 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTA! 1 07

"Mas Nganten," Mardinah rnernanggil lagi . Dan tanpa kah masuk ke dalam kamar, duduk termenung di atas kursi di
rnenunggu reaksi ia rneneruskan. "Mas Nganten bisa membaca, dalam kamarnya. Dua tiga kali ia mengusap waj ahnya. Ia ingin
bukan?" bicara. Ia ingin mengadukan halnya. Tak ada orang lain selama
ini yang dapat diaj ak bicara selain Mardinah Beberapa malam
Mengerti kelemahannya sendiri Gadis Pantai terdiam. ini Bendoro tidak rnengunjungipya. Dan ia pun terlalu lelah se­
"Ada surat bUdt Mas Nganten." hingga tertidur tanpa sempat mengimpi.
"Aku tak membutuhkan surat dari siapapun."
"Tapi surat ini sangat penting." Ia ingin bertemu dengan pelayan tua itu . Ia ingin mengddu­
"Tak ada yang penting bagiku kecuali satu ." kan halnya. Ia pun ingin tahu bagaimana halnya. Tapi yang ada
"Tidak ada yang penting? Juga percintaan tidak?" cuma Mardinah, hanya Mardinah. Dia ingin bicara.
"Tidak, aku hanya tahu mengabdi pada Bendoro, lain tidak."
"Bodohnya Mas Nganten ini. Setiap istri pen1besar n1empu- "Mardinah," panggilny"a.
nyai kesenangannya, yang satu main ceki, yang lain main cin­ "Sahaya, Mas Nganten."
ta, tapi Mas Nganten cuma si�uk di rumah seperti pesakitan." Dan sebentar kemudian Mardinah masuk ke kamar berdiri
Gadis Pantai terhenti membatik. Sekaligus tergambar dalam di sarnpingnya agak beberapa meter menjauh.
ingatannya seorang pria bertubuh tegap, tidak begitu tinggi, "Katakan apa yang hendak kau katakan," Gadis Pantai me-
kulitnya kehitaman, dan suaranya begitu tegas dan yakin, dan mulai.
b ij aksana: tamu Bendoro yang ia tak ketahui namanya. Ia "Seorang pemuda gagah ingin berkenalan, Mas Nganten."
tersenyum sedikit. "Apa lagi?"
"S ahaya juga bekas istri pembcsar, Mas Nganten." "Inilah suratnya Mas Nganten."
Canting Gadis Pantai yang sedang terangkat dari belanga "Apa lagi?"
lilin ke arah batikan terhenti di tengah-tengah pengdngkutan, "Haruskah saya bacakan?"
j atuh ke lantai, dan lilin cair dalam canting itu pun tertumpah "Tidak. Aku tak membutuhkan surat. Apa lagi hendak kau
di atas l antai, mengental kemudian membeku. "Berhentil ah lakukan?"
membatik bila canting jatuh," pelayan tua dulu sering memperi­ "Apa Mas Nganten tak ingin tahu isi surat ini dan memba-
ngatkan. "Ingatlah pada Bendoro, karena otakmu sedang di­ lasnya?"
ganggu iblis." "Tidak. Apa lagi?"
Sambil mengawasi Mardinah yang sedang tersenyum me­ Mardinah terdiam.
nyindir, ia meletakkan canting di dalam kotak cerutu. Dan se­ "Kapan pergi dari rumah ini?"
belurn bangkit berdiri kembali ia awasi Mardinah yang masih "Kapan? Tapi ini bukan rumah Mas Nganten."
j uga tersenyum rnengawasinya. Sekarang Gadis Pantai terkej ut. "Jadi menurut pendapatmu,
"S iapa sedang Mas Nganten pikirkan?" Mardinah bertanya. siapa aku ini?"
Gadis Pantai kaget, bingung. Tahukah dia siapa aku pikir­ "Selir."
kan? Ia selarnatkan waj ahnya dari pandang Mardinah. Melang- "B aiklah selir. Apa kau sebenarnya?"
" S ahaya."

1 08 PRAMOEOYA ANANTA TOER GAOlS PANTAI 1 09

"Kapan kau pergi?" gadis yang benar-benar bangsawan j uga. Di Demak sudah ba­
"Sahaya akan bicara sendiri dengan Bendoro." nyak gadis bangsawan menunggu . Siapa saj a boleh Bendoro
" Kapan?" ambil, sekalipun sampai empat."
"Belum tahulah sahaya."
"Baik, biar aku bawa kau pada Bendoro." Nafas Gadis Pantai tidak lagi megap-megap, tapi menyekat
"Tidak. Tidak perIu." di tenggorokan. Dengan suara lemas ia berbisik lesu , "Sudah,
"Bendoro pun tak tahu siapa kau " sudah. Pergi kau . Jangan dekat-dekat aku ."
"Tidak mungkin."
"Marl menghadap." "Terlma kasih Mas Nganten. Sahaya boleh undurkan diri ke
"Mari. Tapi tidak sekarang." dapur."
"Baik, tidak sekarang nanti j am dua siang."
"Baik. Tapi j angan j am dua." Tanpa melihat pada Mardinah, Gadis Pantai mendengar
"B aik," dan Gadis Pantai .terdiam. Mardinah mas ih berdiri langkah kaki yang lirih hampir-hampir tak tertangkap oleh pen­
beberapa meter di sampingnya. dengaran. Ia rasai Mardinah berhenti di depan pintu mengintip
"Siapa yang menggaji kau di sini?" Gadis Pantai bertanya. padanya. Ia tak bergerak.
"Mas Nganten."
"Tidak. Aku tak suka menggajimu. Minta gaji pada Bendo­ Hanya Bendoro yang tak terungkit di sini kata pelayan tua
romu dari Demak. Aku sekarang mulai tahu siapa kau, kau da­ dahu lu. Hanya dewa-dewa yang tak terungkit dalam kehidupan
tang ke marl buat membuat onar." ini, yang lain-lain adalah goyah tanpa pegangan . Kelahiran
"Tidak, sahaya datang buat kepentingan Bendoro." sahaya sudah satu hukunlan ! terngiang suara pelayan tua itu . Ia
"Ha?" meradang - apakah dosa suatu kelahiran di tengah-tengah orang
"Karena tidak layak beberapa kali beristrikan orang kam­ kebanyakan? Mengapa? Apa dosa? Dan tanpa disadari air ma­
pung melulu ." tanya telah mengembangkan cdiran dukacita buat seluruh
Gadis Pantai menj adi pucat. Nafasnya megap-nlegap. Ia orang yang berasal dari kampung, terutama kampung nelayan .
tahu tak punya kekuatan sedikit pun untuk menegakkan diri di
tengah-tengah kumpulan bangsawan . Tangannya menggapai­ Sekarang aku harus pikirkan sendiri semua ini.
gapai mencari pegangan daun marmer mej a. Tapi marmer yang Sekarang Mas Nganten bel um mengerti kata pelayan tua
dingin itu tetap dingin . Tak ada sesuatu kekuatan nlenyembur dulu, tapi pengalaman bakal membuat Mas Nganten memaha­
darinya dan mengisi dirinya. mi bdik-baik ! Pel ayan itu telah pergi . Kini ia harus berfikir
Melihat keadaan itu segera Mardinah menyerang. "J adi Mas sendiri. Dan dalam usia tidak lebih dari 1 6 tahun. Ia mengerti
Nganten tahu siapa sahaya. Seorang yang kebangsawanannya semua itu dengan perasaannya, dengan tubuh dan j antungnya.
lebih tinggi darl B endoro telah perintahkan sahaya ke mari o Dan ia pun kenangkan kembali kampung nelayan nun j auh di
Sudah waktunya Bendoro kawin benar-benar dengan seorang tepi pantai, hari-hari ,yang penuh tawa, keringat yang mengu­
cur rela, tangan-tangan yang coklat kuat, dan lemah-Iembut,
dan kasar yang pada saling membantu. Ia tersedan-sedan di sini .
Semua pada banting-membanting. Buat apa? Buat apa? la
merintih buat kehormatan dan nasi. Di sana di kampung ncla
yan tetesan deras keringat menlbuat orang tak sempat I11CIUbual

1 1 0 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 111

kehormatan, bahkan tak sempat mendapatkan nasi dalam "Aku tahu. Kau mau bicara. Bicaralah."
hidupnya terkecuali j agung tumbuk yang kuning. Betapa ma­ "Sahaya, Bendoro." Dan keberanian Gadis Pantai mulai tim­
halnya kehormatan dan nasi ! buI sedikit. Lidahnya dirasanya kelu, dan segulung rasa yang
Iinu menyerang di bawah kedua belah rahangnya.
Dan Gadis Pantai baru 1 6 umumya. "Bicaralah, aku dengarkan." •
Ia bertekad bicara dengan Bendoro, bila Bendoro datang "Bendoro ....."
menginap di kamamya. Ia akan curahkan perasaannya Ia akan "Ya?"
minta penj el asan tentang Mardinah, tentang dirinya sendiri. "Mengapa wanita Mardinah dikirim ke mari?"
Beberapa malam ia tidak tidur menunggu kedatangan Bendoro. "Buat membantu kau ."
Tapi banyak kali Bendoro kembali lagi ke ruang tengah, sete­ "Siapa dia, Bendoro?"
lah bersantap di ruang belakang, bahkan dua tiga kali tanpa "Kemenakan jauh, Mas Nganten."
menegumya. Bila malam lum ' at ia tahu Bendoro takkan mu­ Gadis Pantai tak mampu meneruskan kata-katanya. Dia ke­
ngkin menginap. Ia menunggu pada malam S abtu, malam rabat j auh Bendoro. Ia tak punya hak menggugat. Ia berdiri de­
Minggu, malam Senin, malam 1urn' at lagi. ngan Iangkah lesu menuju ranj ang dan naik ke atas.
Akhimya 1 5 hari seteIah pembicaraannya dengan Mardinah, Waktu Bendoro telah berbaring di sampingnya dan meme­
pada suatu malam Bendoro mengetuk pintunya perlahan-lahan. luknya, dirasainya air mata hangat teIah membasahi waj ahnya.
Ia turun dari ranj ang dan membukakannya. Bendoro masuk Dan waktu Bendoro mengusap-usap waj ahnya yang basah itu ,
langsung menuju ke ranjang, dan Gadis Pantai menguncinya B endoro terhenti sejenak, duduk menatap wajahnya tenang­
kembali. Ia tak menyusul suaminya ke ranjang, tapi duduk te­ tenang dalam cahaya Iistrik yang telah dipatahkan oleh kelam­
pekur di kursi. Ia kehilangan keberanian untuk mulai bicara. bu, bertanya, "Engkau menagis kenapa?"
"Kau sakit, Mas Nganten?" "Bendoro."
"Tidak, Bendoro." "Ya?"
"Sudah malam sekarang, mari tidur nak." "Tidak, tidak j adi Bendoro. Ampuni sahaya."
Gadis Pantai bangkit, tapi kemudian duduk kembali, kepala "Aku tak mengerti."
tertunduk. Bendoro turun lagi ddri ranj ang menghampiri . "Eng­ "B endoro. "
kau pucat." "Ya?"
"Sahaya, Bendoro." "Ampuni sahaya. Bolehkah sahaya . . . . . tapi j angan murkai
"Benar-benar tidak sakit?" sahaya."
Gadis Pantai menggeleng, mengangkat pandang sebentar "Tidak tentu saj a tidak. BicaraIah."
memandang Bendoro, kemudian menunduk ken1bali. "Sahaya ingin . . . ingin ... ingin melihat orang tua sahaya "
"Kau rindu pada orang tuan1U?" "Tapi mengapa kau menngis?"
Gadis Pantai menghembuskan nafas keluh. Ia tetap tak be­ "Sahaya hanya mohon diperkenankan melihat orang tua
rani mencurahkan perasaannya. Bendoro meletakkan tangan­ sahaya di kampung, Bendoro. Sahaya takut dimurkai Bendoro."
nya, di atas bahu Gadis Pantai, dan dengan tangan yang lain
mengusap-usap rambut wanita muda itu.

1 1 2 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 13

"Kau boleh pergi - kapan kau mau pergi?" "Dokar sewaan bisa antarkan kau sampai ke rumahmu ."
"lika dizinkan besok Bendoro." Gadis Pantai ingin menyampaikan, kampungnya tak dapat
"Baik Besok kau boleh lihat orang tuamu. Mardinah akan dicapai oleh dokar. Orang mesti berj alan kaki dua atau tiga kilo
temani kau . " meter dari pos. Tapi ia padamkan keinginan itu . lalan itu sunyi
"Ampun Bendoro, j angan." Dan ia bayangkan dirinya terengah-engah mengangkut barang­
"Apa telah diperbuat Mardinah terhadapmu?" barang di atas kepalanya, seperti biasanya wanita-wanita nela­
"Tiada Bendoro. B iar sahaya pergi sendiri ." yan, karena tak mampu beli kain gendongan. Wanita, wanita
"Husy, itu tidak benar. Kau harus ditemani." melulu yang ada di kampung di pagi hari. Kaum pria masih
"Sahaya, Bendoro. Tapi Mardinah . . . . ampun , Bendoro , menyisiri laut, atau tidur di gubuk masing-masing, atau sedang
j angan." menggigil-gigil, karena malaria. Wanita melulu.
"Siapa akan temani kau?" Demikianlah malam itu berj alan sangat lambat bagi Gadis
"Siapa saj a Bendoro asal bukan Mardinah." Pantai.
"Apakah ia membuat onar. di sini. Mardinah itu ?" Waktu B endoro telah tergolek layu di sampingnya, lelah
"Tentu saj a tidak B endoro. Seorang kerabat Bendoro tidak- dalam kenikmatan, berkeruh deras dalam ti durnya, mulut
lah layak mengantarkan orang seperti sahaya ini. " menganga dan mata masih sedikit terbuka, lambat-Iambat Ga­
"Kau tak boleh pergi seorang diri." dis Pantai turun dari ranjang meninggalkan kamar menuj u ka­
"Sahaya, Bendoro." mar mandi.
"Kau milikku. Aku yang menentukan apa yang kau boleh Malam gelap gulita waktu itu . Bintang-bintang bertabur di
dan tidak boleh, harus dan mesti kerj akan. Diamlah kau langit hitam. Ia berdiri lama-lama di tengah-tengah pelataran.
sekarang. Malam semakin larut," lalu seperti ada yang terlupa, B ibirnya menggeletar di malam gelap itu men1bi sikan do' a
"tapi kau belum punya persiapan." syukur. Waj ah manusia-manusia terdnta ganti-berganti muncul
"Apalah yang perlu dipersiapkan Bendoro?" dalam bayangannya. Waj ah manusia-manusia yang tak punya
"Husy. Kau harus selalu ingat-ingat, tak boleh ada sesuatu sesuatu pun untuk diberikan, kecuali tenaga, kasih sayang dan
terj adi yang menyebabkan penghormatan orang berkurang ikan. Ah bapak, bapak. Kita ini, ia masih ingat kata-kata bapak
padaku . Bawalah j uga beras sekarung." pada malam sebelum ia diberangkatkan ke kot�kita ini biar
"Sahaya, Bendoro." hidup dua belas kali di dunia, tidak bisa kumpulkan duit buat
"Belanj a dulu besok pagi di pasar. Beli dua puluh meter kain beli barang-barang yang terdapat dalam hanya satu kamar
kasar, sarung, benang j ala, damar, sandal , biskuit " Bendoro orang-orang kota. Laut, memang luas tak dapat terkuras, kaya
diam mengingat-ingat - tasbih yang baik, hitam mengkilat tan­ tiada terbatas, tapi kerj a kita yang memang hina tiada berhar­
pa cacat. Hitung benar-benar jumlab bij inya, lengkap tidak. Beli ga. Besok kau mulai tinggal di kota, ' nduk, j adi bini seorang
j uga sebagai hadiahku: tembakau kretek Bojonegoro. Beli satu pembesar Kau cuma buka mulut, dan semua kau maui akan
keranj ang." berbaris datang kepadamu. Kau tinggal pilih. Ah, bapak. B apak.
"Tak ada yang memikulkan b arang yang sebanyak i tu , Itulah dunia yang kau tawarkan padaku, dunia scrba gampang,
Bendoro . "

1 1 4 PRAMOEDYA ANANTA TOER Bagian Ketiga

cuma hati j uga yang berat buat dibuka, meski tinggal memilih Kita catat dari daerah ini, kawan
dan tinggal meminta. Ah, bapak. Bapak. Aku tak butuhkan se­ nelayan dimakan ikan
suatu dari dunia kita ini . Aku cuma butuhkan orang-orang ter­ sedang di darat hanya tiga jam istirahat
c inta, hati-hati yang terbuka, senyum taw a dan dunia tanpa dad segala yang didapat
duka, tanpa takut. Ah, bapak. B apak. Sia-sia kau kirimkan anak­ untuk tengkulak dan pajak
mu ke kota, j adi bini percobaan seorang pembesar. nasi dan pukat

Dari kamar mandi ia berj alan ke arah dapur. Berhenti se­ dari: "Kampung Ne1ayan"
j enak di depan pintu. Itulah pintu yang sehari lebih sepuluh kali Pinore Gangga
dilewati mBok tua yang kini entah ada di mana. Orang yang
pernah ia kasari karena perasaannya tersinggung, tapi yang kini BLIS ITU MAU GIRING AKU SAMPAI KE NERAKA, TERIAKNYA DALAM

. I hati. Dan dokar sewaan berj alan tenang mengangguk-ang­
ia sesali pernah berbuat kasar itu . guk di j alan pos buatan tuan besar Guntur alias Daendels.
-
Waktu ingatannya tersentuh pada Mardinah. Ia terhenyak Kuda kacang yang menarik dokar sarat muatan nampak seperti
buru-buru ia tinggalkan tempat itu . Di situ ada Mardinah, pe­ sedang berj ingkrak kepanas an. Sedang semak-semak bakau
kiknya dalam hati. Bodohnya aku, aku kenangkan orang sebaik sepanj ang pantai nampak begitu hijau dan sunyi. Bau tembakau
itu, nyatanya orang yang kubenci yang ada di dalamnya. Ia yang ke luar dari keranj ang bergumul melawan bau laut yang
bersicepat menaiki j enj ang ruang belakang, masuk ke kamar abadi.
dan menguncinya dari dalam. Duduk termenung di kursi. sam­
pai kemudian terdengar suara lirih, "Mas Nganten, tidurlah." Gadis Pantai menarik nafas panj ang. Sekejap diliriknya
Mardinah yang duduk di s ampingnya. Mengapa Bendoro
"S ahaya, Bendoro," tapi ia tak bergerak. kirimkan dia untuk antarkan aku ? Mengapa? Mengapa? Ben­
"Sudah malam tidurlah, kalau tidak, kau tak perlu pergi be­ doro lebih percaya padanya mungkin, pada kerabatnya sendiri.
sok. Aku khawatir kau masuk angin kelelahan ." .
"Sahaya, Bendoro," dan Gadis Pantai berdiri naik kembali
ke dalam ranj ang.
"Mengapa kau punggungi aku? Aku tak suka dipunggungi."
Gadis Pantai mengubah letak tidurnya. "Mas Nganten, ka­
lau kau sudah datang ke kampung," kata Bendoro dengan suara
mengantuk, "sampaikan salamku pada orang tuan1u."
"Beribu terima kasih, Bendoro."
"Jangan berlaku seperti orang kampung, kau istri priyayi."
"Sahaya, Bendoro."
"Tidurlah, tidur."
Sebentar kemudian seluruh alam pun tertidur Tinggal bin­
tang, ombak dan angin yang masih me!akukan tugasnya . . . .

Ebook by syauqy_arr ht:pt //hanaokLwordpress.com

1 1 6 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 17

"Surat itu mestinya Mas Nganten balas." "Banyak cucumu , man?"
"Kau pernah ke kampung nelayan, man?" Gadis Pantai ber- '"Bukan banyak lagi, Bendoro Putri, lebih duapuluh."
tanya pada kusir tanpa mengacuhkan kata-kata Mardinah. "Jangan teruskan bicara dengannya. Aku adukan pada
"Sahaya, Bendoro Putri, tentu saja. S ahaya lahir di pantai." Bendoro."
"Kau tak suka ke laut rupanya." "Ada yang kau sayangi, man?"
"Kalau semua ke laut siapa yang ke darat, Bendoro Putri? "S ahaya, sayangi? Semua, Bendoro Putri."
Biarlah mereka mendapat makan dari ikan , sahaya lebih senang "Kau tak pernah rodi di kebun coklat, man?"
dari kuda. Cukup satu sajalah binatang sahaya:' "Inilah sahaya, Bendoro Putri, sisa yang Illasih tinggal dari
Udara bebas itu meniupkan bidup ke dalarn dada Gadis Pan­ hidup sahaya. Kiai sahaya dulu bi lang, seti ap orang dikaruniai
tai. B uat pertama kali dalam lebih dua tahun ia tertawa puas, hidup oleh Allah yang Maha Pengasih, tapi cunla segumpil saja
tertawa terbuka. hidup karunia Allah yang benar-benar sahaya miliki , Bendoro
"Apa yang lucu?" Mardinah menegur. "Itu bukan layaknya Putri. Inilah diri sahaya yang segumpil ini. Sebdgian besar habis
seorang istri priyayi." buat rodi di kebun coklat. "
Gadis Pantai tersumbat. "Mengapa tak lari?"
Angin darat yang kencang rnenyebabkan kusir tak dengar "Lari? Ke mana? Di sana kompeni. Di sini kompeni Bapak
teguran itu. "Sahaya lebih suka darat, Bendoro Putri, kalau mati sahaya seratus dua puluh tahun umurnya baru meninggal. Tapi
ketahuan di mana bangkainya." sahaya ini, baru �mpat puluh sudah begini reyot, kehab isan
tenaga, Bendoro Putri. Bapak sdhaya lari-Iarian saj a kerj anya,
"Bangkai siapa maksudmu, man? Kudamu?" tak mau kena rodi. Badannya besar, keberaniannya besar. Asal
"B angkai sahaya sendiri tentu, Bendoro Putri. Sahaya . . . ." ada huru-hara pasti ikut. Sahaya tidak berani. Sahaya takut
"S ayang benar kau rupanya pada bangkaimu sendiri," Gd- mati. J adilah begini sahaya. Sarna laut takut, ikan besar takut.
dis Pantai memotong kernudi an tertawa lepas lagi Dan lagi Berani cuma sarna kuda dan cucu-c ucu .
Mardinah menegur. Kembali Gadis Pantai tertawa senang. Ia temukan dalam
logat kusir bahasa yang selama ini ia rindukan , yang ia sendiri
"Kau tinggal di mana, man?" ingin ucapkan: kata-kata yang keluar dari hati yang l ugu - dari
"Kauman Pantai," kuatir menj awab tanpa menengok pada hati yang tertindas.
"Kalau ada nasib, mau kau j adi pembesar?"
Iawan bicaranya sej ak awal percakapan. "Nasib? Aiya-aiya, �udanya kelelahan, Bendoro Putri terla­
"Di tempatmu apa orang tak boleh tertawa?" Iu banyak bawaannya. Biar lambat-Iambat saj a, ya Bendoro
"Masya' allaaaah, di mana ada di dunia ini orang tak boleh Putri? Kasihan dia. Kalau dia angkut tembakau, nl,tka diangkut­
nyalah tembakau tanpa pernah mendapat bagian. Kalau dia
tertawa?" angkut limun, seteguk pun ia tak penah rninum. Aiya-aiya,
Gadis Pantai kembali terdiam. Aku masih terlalu muda, tapi mengapa tuhan takdirkan dia menj adi kuda, dan bukan j adi
pembesar?"
aku lebih tahu dunia, pikirnya. "Berapa urnurmu, man?"

"Empat puluh, Bendoro Putri."
"Lebih baik kau terima surat itu daripada mencoba-coba
seorang kusir."

1 1 8 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 19

Gadis Pantai tertawa lepas terbahak. berdo' a dengan bahasanya sendiri . . . . bahasa kuda. Mungkin di
"Mas Nganten benar-benar sudah keterlaluan. Apa kata ku­ dalam hati saja."
sir tentang B endoro nanti? Jadi tertawaan tidak patut."
"Kalau kuda itu j adi pembesar . . . . " "Sayang . . . ."
"Aiya, untung tidak, Bendoro Putri. Kosong terus kuali sa­ "Ya, sayang Bendoro Putri."
haya nanti. Nasib jelek si kuda, Bendoro Putri, mell1buat sahaya "Apa yang sayang."
sekedar makan, kawin dan bercucu sebanyak itu, membuat sa­ "Apa? Do'anya tidak pernah terkabul, Bendoro Putri. Mung­
haya tidak menj adi kuda. Tapi dia, dia l Aiya." kin ia berdo' a agar tidak ditakdirkan j adi kuda lagi seperti
"Apa aiya itu?" sekarang, tapi j adi kusir seperti sahaya ini. Tapi sahaya terus
"Sedap mengucapkannya, Bendoro Putri. Lepaslah segala berdo' a keras agar sahaya tetap sehat seperti kuda. Kalau takdir
sesak di dada." berubah, aiya, mungkin sahaya kudanya, dia kusirnYd. Cela­
"Dari mana aiya itu ?" kalah badan yang sudah tua ini, Bendoro Putri."
"Aiya, dulu sahaya pernah tumpangi seorang singkek. "Menyebalkan," bisik Mardinah.
Ngomong tak karuan, B endoro Putri. Ngobrol banyak. Dari "Ya menyebalkan, ya man? Nasib dan takdir kuda?"
Rembang dia menuj u Lasem. Dia bercerita, dahulu dialah yang "Begitulah."
j adi kuda - di Hongkong katanya - menarik kereta sewaan sam­ Dan dokar berj alan kian perlahan, kian perlahan. Pada se­
bil berlari. B egitulah Bendoro Putri, setiap ngomong mesti ke buah tanjakan kuda itu benar-benar kehabisan tenaga dan ber­
luar aiya-nya yang ah, ah, senang sekali mengucapkannya. henti. Kusir terpaksa lompat turun, mengambil dua buah batu
Coba ucapkan Bendoro Putri. " dan mengganj al rodanya.
"Aiya ! " "Biar dia mengaso, man."
"Enak?" "Terima kasih, Bendoro Putri."
"Sedap," dan Gadis Pantai terbahak lepas. "Nanti kemalaman kita pulang," Mardinah memperi­
"Tidak bisa, Mas Nganten. Ini tak bisa diteruskan. Sahaya ngatkan.
akan adukan pada Bendoro." Dan Gadis Pantai pun turun berdiri memunggungi kereta,
"Kau punya Bendoro, man?" menebarkan pandang ke laut lepas, menerobosi daerah pesisir
"Aiya. Semu a orang Bendoro sahaya, Bendoro Putri. Cuma yang dirimbuni tunggul-tunggul akar bakau.
itulah susahnya. Tiap hari sahaya mendo' a moga-moga tak ada "Dua tahun lamanya aku cuma dengar suaranya dari kamar. "
penyakit menyerang kuda sahaya." "Lhah, mengapa Bendoro Putri di kamar saj a selama dua
Kembali Gadis Pantai tertawa terbahak, kemudian bertanya, tahun? S akit?"
"Berdo ' a buat kuda? lantas do ' a apa yang buat anak dan cucu­ "Sakit?"
mu, man?" "Tentulah sakit parah "
"Mereka bisa berdo' a sendiri, Bendoro Putri. Itulah j eleknya "Kalau malam hembusan anginnya melalui genteng kamar­
takdir kuda. Dia do' a saj a tak mampu. Aiya, barangkali dia ku . Tambah malam deburannya tambah menyata. Dia memang­
gil-manggil sini, sini, sini, nak. Mengapa kau lari dari pang-

1 20 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 121

kuanku ? Semua nenek moyangmu telah kupangku , ku usapi, "Mas Nganten," Mardinah berteriak kemudian melompat
kubesarkan dan ku . . . ." turun dari dokar dan memburu . "Ke mana? Banyak ular di akar­
akaran bakau di pantai tanpa penghuni begini "
". . . . kuburkan," kusir itu meneruskan. "Cerita-cerita nelayan
selalu begitulah, Bendoro Putri, membuat sahaya ngeri turun ke Tanpa memandang Mardinah Gadis Pdntai berkata lelnah:
ldut." "B ukankah itu yang kau inginkan?"

Gadis Pantai membungkuk, menyendok segenggam pasir "Duduk saj a di dalam dokar."
dengan tangannya dari pinggir j alan. Kersik kerang nampak "Mungkin sekaIi kaIau ada takdir, seekor ular gigi t aku, dan
gemerlapan kena cahaya matahari. Ia taburkan pasir itu perIa­ kau bisa senang gantikan aku sebagai wanita utama."
han ke tanah, dan j atuh miring tertiup angin. "Tidak mungkin."
"Mengapa tidak mungkin."
"Lihatlah kuda sahaya, Bendoro Putri." "Mas Nganten tahu sendiri sabaya cuma seorang j anda."
Tiba-tiba Gadis Pantai menj adi murung. Didorongnya pasir "Tapi kau wanita bukan?"
di bawah kakinya dengan sandal. Ia angkat muka menghampi­ "Ah, Mas Nganten begitu lama di gedung tak j ugd mengerti
ri kuda, memperhatikan matanya yang tertutup selembar kulit para pembesar cuma mau terima wanita langsung ddri tangdn
yang j adi satu dengan abah-abah. Gusti Allah."
"Kasihan, buat apa punya mata?" "Kau ?"
" Kalau sedang dinas begini, matanya cuma j adi hiasan, "Sahaya bekas lelaki lain."
Bendoro Putri. Kalau dibuka penutupnya, dia tahu nanti apa "Lantas. Mengapa surat itu kau paksa-paksa padaku ?"
yang ditariknya: tembakau. Mungkin karena tahu tenlbakau dia "Ayolah, naik ke atas Mas Ngdnten."
tak mau kerja." "Naiklah. Aku lebih suka bicara dengan kusir."
"Tapi, kau tak merokok kulihat, man?" "Bendoro akan marah."
"Kuda sahaya j uga tidak merokok, Bendoro Putri , tapi sa­ "Lebih baik buat kau kan?"
haya sendiri menyisik." "Tidak enak buat sahaya naik ke atas, sedang Mas Nganten
"Nanti kuberi persen." masih di bawah."
Kusir itu menepuk-nepuk punggung kudanya. Seluruh tubuh "Kau sering membuat surat buat orang lain?"
binatang itu sudah bermandikan keringat. "Lantas, siapa yang mesti sahaya surati? Tetapi sahaya bisa
"Ayoh, Gombak, Gombak, ucapkan beribu terima kasih." menu I i s . "
"Dia tidak menyisik, kau yang menyisik, man?"
"Benar, Bendoro Putri, tapi kalau sahaya dapat menyisik, "Apakab semua keturunan pembesar begitu?"
Bendoro Putri, dia dapat persen minum air gula-jawa" Kuda itu "Begitu, bagaiman'a Mas Nganten?"
mengangkat kepalanya ke atas. "Dia minta istirahat lebih lama "Ya, begitu seperti iblis."
dikit, Bendoro Putri. Diperkenankan, kan?" "Sahaya akan adukan "
Gadis Pantai tak menj awab. Ia berj alan menj auh, mening­ "Pergilah. Adukan sekarang j uga. Suruh kusir illl balik kc
galkan j alan pos buatan tuan besar Guntur alias DaendeIs, kota dengan seluruh rnuatan. Aku bisa jalan kaki . "
melompati semak-semak rendah menuj u ke laut.

1 22 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 23

Gadis Pantai berjalan balik menuj u ke dokar, dan Mardinah Sudah dua j am dokar kretek itu berj alan, belum j uga mere­
mengikuti.
ka berpapasan dengan dokar lainnya. Grobak pun tak ada mere­
"Habis lelahnya si Gombak, man?"
"Silakan ndik, Mas Nganten. Dia memang cerdik cepat be­ ka papasi. Besok bukan hari pasaran. "Kalau kemalaman kau
nar segamya kalau tuannya bakal kena tembakau ."
"Tentang tembakau itu , man, aku tak lupa. Tapi kudamu berani pulang ke kota, man?"
sarna sekali tak membutuhkannya."
"Memang tidak, tapi kusirnya membutuhkannya, Bendoro "Ini bukan perj alanan pertama, juga bukan terakhir, Bendoro
Putri," dan dengan suara senang ia berseru , "Silakan naik, Ben­
doro Putri. Angin sudah tak begitu kencang." Putri. Lebih dari lima puluh kali sahaya pulang dari perj alanan
Semua telah duduk di atas dan dokar berj al an ldgi .
"Betapa besar dan luas laut itu . Tanpa batas." j auh. Kadang-kadang sampai di tempat ini Iaut sudah di ping­
"Sahaya Bendoro Putri," k�mudian kepada kudanya, "Aiya.
yoh, lebih cepat, Gombak ! Hati-hati kalau sampai kemalaman giran darat itu , j adi sudah jam tiga pagi."
di j alan."
"Pasti kemalaman," Mardinah memprotes. "Tidak takut?"
"Bukan sekarang saj a ada malam, bukan. man?"
"Seumur-umur sahaya, Bendoro Putri , sahaya tahu saban "Siapa tidak takut?"
hari ada malam, tidak sekarang saj a. Aiya. Ayoh Gombak
maj u ! " dan dengan uj ung cambuknya dikilik-kilik kudanya. "Takut, tapi berani j uga ya."
"Kau tak pernah cambuk dia."
"Hanya orang dan binatang bodoh saja kena cambuk. Ben- "B agaimana takkan berani, Bendoro Putri . Malu sahay a
doro Putri."
"Kalau orang atau binatang j ahil." pada kuda sahaya nanti. Setan dia tak takut. Rampok did tak
"Patutnya disrimpung saj a kakinya."
"Binatangnya atau orangnya? Kalau dia priyayiT' takut. Itulah untungnya kalau mata ditutup."
"Itulah susahnya, Bendoro Putri. Itulah susahnya ditakdir­
kan j adi kuda dan j adi orang seperti sahaya. Dan hanya orang­ KembaIi Gadis Pantai tertawa. Sebelum habis tertawanya
orang seperti sahaya kebagian cambuk seperti si Gombak. Teta­
pi kalau terus menerus dicambuk tentu siapa saj a tidak bisa selesai, disadarinya tertawanya tidak seperti dul u. Dahulu ter­
terima. Macan sakit saj a, biar sudah lemas kalau diusik-usik
terus, tentu akan melawan, Aiya," cambuknya digeletarkan di dengar seperti loyang kuningan tersentuh batu. Ia perpanj ang
udara. B egitu membelah suaranya dalam kesenyapan pantai
utara. tawanya. Seperti apa suara tawaku ? Ia bergeleng-geleng, tak

mendapatkan perbandingan.

Gadis Pantai terdiam. Waktu ia melirik dilihatnya Mardinah

tertidur senang bersandaran keranj ang tembakau. Ia dwasi wa­

jah wanita muda itu . Bodohlah pria bila tak perhatikan dia.

Mukanya bulat, dan mulutnya begitu kecil , seakan sebuah

bawang merah menempeI pada sebuah cobek. Sepasang alisnya

hitam tebaI, hampir-hampir bersambung, sedang dagunya yang

begitu tumpul seakan merupakan bagian dari dasar mUkanya

yang bulat. Waj ah yang seindah itu. Tapi apa saja yang dikerja-

kan hatinya? ,

Kini ia merasa mengantuk. Sekalinya diawasinya waj ah

bulat di sampingnya. Berapa pria yang telah dinikmatinya? Ah,

mengapa akau punya pikiran sekotor itu?

Ia dengarkan deburan ombak sepanjang pantai yang semakin

mendekati darat. Matahari makin condong ke barat, dan ombak

124 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTA! 1 25

tampak semakin besar. Apakah yang dikerj akan bapak sc­ "Man, dokar bisa membelok ke kanan?"
karang? Dan emak? "Jalannya tidak keras, Bendoro Putri, roda agak tenggelam
dalam pasir, kasihan kudanya, tapi kita coba pelan-pelan saj a. "
Angin bebas meninabobokannya. Seperti emak meninabo­ "Tiga pal lagi."
bokan si adik. fa senang nikmat dalam buaiannya. la tertidur "Benar, sesudah itu dokar tak bisa terus. Ada yang menjem-
pada keranj ang tembakau juga. Dan kedua wanita itu baru ter­ put di sana nanti?"
bangun waktu dokar berhenti . Kusir bertanya, "Benar, berhen­ "Tidak."
ti di sini, Bendoro Putri?" ''Tidak?''
Gadis Pantai naik ke atas dokar kembali diikuti oleh kusir.
Gadis Pantai menebar pandang ke luar j endela dokar, ia Dokar membelok ke kanan. Roda dokar tenggelam beberapa
masih hafal tempat itu. Tiga batang pohon j ati raksasa berdiri sentimeter di dalam pasir dan dengan susah payah kuda me­
beberapa meter di pinggir j alan, sedang pantai tidak nampak narik bebannya. Kusir pun mulai menembang:
sarna sekali, bahkan deru ombaknya pun tak terdengar, karena
laut berada tidak kurang dari 5 kilometer dari tempat itu. Se­ duh-duh aduh bayi bocah jadi korban
mua orang di kampung nelayan tahu benar tentang tigd pohon emak pikul tanah bapak babat hutan
j ati itu . S eperti orang-orang sekampungnya, Gadis Pantai sete­ orang-orang kampung dilarang pulang
lah turun dari dokar, langsung menuj u ke tiga pohon j ati itu, kejamnya rodi tiada alang kepalang
mengagumi batangnya yang perkasa dan lurus menj ulang ke
atas, paling tinggi di antara semua pohon. Ia pegang-pegang waktu jalan besar sampai ke rembang
batang pohon itu , ia goyangkan tapi sedikit pun tak tergoyang­ orang-orang kampung barulah pulang
kan, pindah pada batang yang lain dan j uga pada yang ke tlga. oh nasib bayi bocah sungguhlah malang
berserak sudah jadi tulang belulang
"Peninggalan nenek moyang yang tersisa," kata kusir.
"Jadi kau tahu riwayat tiga batang j ati ini?" seluruh kampung dirundung duka
Kusir tertawa senang mendapat kehormatan itu . "S ahaya di tengah malam pakai ohor pelita
sudah lebih dari sepuluh kal i ke mari , Bendoro Putri . " tiga jati kenangan ditanam bersama
Mardinah mengawasi kedua-duanya, dari atas dokar. rodi celaka jangan sampai terlupa
"Waktu tuan Guntur perintahkan seluruh penduduk kam­
pung sini, laki dan perempuan, membuat j alanan ini, mereka "Orang kampung pun tak semua pUlang."
tiga harmal tak boleh pulang. Bayi-bayi pada mati kelaparan di "Memang tidak semua, Bendoro Putri, lebih separohnya
rumah." terkubur sepanj ang j alan. B eruntung bapak sahaya kerj anya
"Aku kira cuma di kampung nelayan sana saj a orang tahu lari-Iarian dan berhuru-hara."
riwayatnya." Gadis Pantai ingat pada pelayan tua. Bu kan lah kakeknya
"B anyak orang yang tahu , Bendoro Putri, sampai-sampai juga selalu ikut setiap terbit huru-hara? Tapi tak ada keinginan­
ada tembangnya." nya u ntuk bertanya. Ia terus membayangkan s i apa saj a yang
"Mas Nganten, hari sudah hampir magrib," Mardinah me­
motong.

1 2 6 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 127

bisa d ipinta pertolongannya bUdt angkut barang-barang "Ayolah, kau bisa angkut yang mana, man?"
bawaannya. Dan emak, bapak, saudara-saudara bagaimana "Beras jelas sahaya tidak bakal kuat, Bendoro Putri . "
mereka akan sambut dia? "Apa kau kira aku kuat."
"Gombak tentu kuat, tapi ia bukan kuda beban, cuma kuda
"Ayoh, Gombak dua pal lagi. Kau boleh tidur nanti di bawah tarik. "
petecina ! " "Tepat, Bendoro Putri. "
"Cancang kudamu . Pergi kau k e kampung panggil empat
Dan waktu dokar berhenti di depan sebuah dangau , di tem­ oran g . "
pat j al anan pasir berubah j al an setapak, hari sudah tambah "Gombak bisa bawa sahaya lebih cepdt, Bendoro Putri."
magrib. Dan sebentar kusir melepas aba-aba kuda, melompat ke atas­
nya. Kuda dan kusir kemudian berj alan memasuki jaldn seta­
"Kalau b ukan perintah B endoro enggan sahaya pergi ke pak dan lenyap di balik rumpun pepohonan petec ina, kingkit
sini." dan semak-semak.
Gadis Pantai menjauhkan diri dari dokar dan menuj u ke
"Aku tak perlukan kau, balik saj a sekarang." dangau, ia duduk di atas bangku kayu. Mardindh melihat seke­
Mardinah terdiam. lilingnya. Kemudian Mdfdinah pun menyusul.
Mendengar pertengkaran !cusir terkej ut, mengawasi kedua "B uat apa kau dekat aku?"
wanita itu berganti-ganti. Keceriaannya tiba-tiba hilang. Mati­ "Takut."
lah pelanduk bila dua ekor gaj ah sedang bertarung. Ia me­ "Kau ! Cuma aku tak kau takuti."
nyingkirkan diri dan menutup kuping, duduk di bangku kayu "Sahaya benci pada kdmpung. Kampung mana s�� a."
dangau dan memasukkan sejumput tembakau ke dalam mulut­ "Pergi, cepat !"
nya, dan memainkannya di antara gusi depan dengan dinding "Bagaimana sahaya mesti pergi?"
bibir dalam. "Kau bukan orang kampung, tentu kau punya kelebihan. "
"Man ! " Gadis Pantai memanggil. "Tentu. Sahaya punya kelebihan, sahaya bukan orang kam-
Kusir melompat dan segera menghadap. S ebelum sampai pungo Bapak sahaya j urutulis dan lnasih kerabat Bendoro."
dekat Gadis Pantai, ia dengar suara wanita lain mendesis, "Pergi pada Bendoromu . Roh-roh nenek moyang kami bakal
"Dasar perempuan kampungan !" cekik kau kalau berani memasukinya. Kau telah hinakan kam­
"Inilah kampung . Kampungku. Jangan inj akkan kakimu pungku, kampung kami kampung nelayan dengan nelayan-ne­
yang indah di atas pasir ini, nyonya janda, kalau tidak mau kena layan yang gagah berani, yang saban hari pergi ke Idut hadapi
kutukanku . " maut." Ia menunj uk ke langit.
Melihat kusir mendekat Mardinah terdiam. "Gelap. Petir kampung kami selalu menyambar orang-orang
"Bawa dia balik ke kota, man ! " kota yang tak tahu diuntung." Ditunj u knYd M ardinah pada
"Perintah Bendoro antarkan Mas Nganten Sahaya tak dadanya. "Kau bakal celaka di kampungku . Pu lang . Ayoh, ba-
mungkin pulang seorang diri."
"Kampung nelayan bukan tempatmu . Pulang kau sendiri."
"Memang tidak. mungkin, Bendoro Putri. Mari kita bereskan
dulu bawaan ini."

128 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 129

Iik ke kota sebelum langit menj adi hitam." Dan mendadak se­ dapat kawin dengan wanita berbangsa, bukan? Ah, ah. Aku bisa
pasang kilat mengintip dari balik awan gelap. menetap di kampung ini, kampungku sendiri. Kau boleh pu­

"Ampuni sahaya, Mas Nganten." ,
"Pasangan matanya putih, kalau ia melompat dpi menyem­ lang. Jangan ikut masuk ke kampung. .
bur. Kemudian dikeluarkannya dua belas tangannya dari balik
awan hitam, dan dibelahnya orang yang membenci kampung "Sahaya takut, Mas Nganten."
nelayan dengan pisau kecilnya, kecil dan tumpul. Seminggu dia "Takut? Di mana kelebihan orang kota, ordng berbangsa?
butuhkan buat membelah musuhnya." Orang kampungan seperti aku ini tidak takut."
Nampak Mardinah begitu kecil seperti kucing kehabisan "Jangan biarkan sahaya seorang diri, Mas Nganten."
mangsa. "Ampuni sahaya, ampuni. Sahaya cuma dapat titah "Lebih dua tahun aku tinggal di kota, sampai akhimya kau
antarkan Mas Nganten." datang. Dan baru sekarang ini aku tahu , orang-orang kota,
"Benar kau dari Demak?" orang-orang berbangsa itu , begitu takutnya kalau orang tidak
"Sahaya, Mas Nganten." • lagi menghormatinya. Dan mereka begitu takutnya kalau ter­
"Tidak apa dari Demak sana?" paksa menghormati orang-orang kampung."
S u ara Mardinah menggigil dan ragu-ragu tapi paksakan diri Hari telah mulai gelap. Dalam kegelapan Gadis Pdntai me­
bicara terus, "Panj ang ceritanya Mas Nganten. Tapi sahaya lihat Mardinah hanya menunduk di atas bangku di sampingnya,
cuma dapat perintah." kepalanya ditumpangkannya di atas kedua belah tangannya.
"Perintah, buat usir aku?" Kedua wanita itu masih muda belia, namun berpengalaman
"Persaudaraan sekandung dan sepupu di Demak sangat sudah dalam b anyak hal, seperti umumnya wanita-wanita di
malu, Mas Nganten, karena sampai sekarang Bendoro masih rumah-rumah gedung. Keduanya j adi dewasa dalam gembleng­
perj aka." an kesulitan-kesulitan.
"Perj aka?" Jadi aku ini apanya?" "Dan Mas Nganten sendiri? Mau kembali ke kampung apa
"Apa mesti sahaya katakan? Bendoro masih perj aka sebe- tak takut kehiIangan sesuatu?"
lum beristrikan wanita berbangsa." "Segalanya telah lenyap dari tangan orung seperti aku , se­
"Kau berbangsa, apa kau ingin diperistri Bendoro." mua orang kampungan. Kanli cuma dapat mengimpi. Apa lagi
"Sahaya, Mas Nganten. " yang dapat hiIang dari kami? Impian itu ?"
"Biarpun Bendoro pamanmu sendiri?" "Apa yang Mas Nganten impikan?"
"Sahaya, Mas Nganten, tapi saya cuma seorang j anda." "Segala-galanya yang tak pernah ada dalam kehid upan
Kembali Gadis Pantai bertanya, "Jadi aku bukan istri Ben- kami."
doro?" "Lantas, apa saj a y,ang ada dalam kehidupan Mas Nganten?"
"Istri, ya, istri, Mas Nganten, cuma namanya istri per­ "Setelah lebih dari dua tahun tinggal di gedung, tahulah aku.
cobaan." kami cuma punya kemiskinan, kehinaan dan ketakutan teruta­
"Lantas kau dapat perintah mengusir aku : B i ar Bendoro rna pada orang kota. Di kampung kami tahu benar tepung udang
dibayar sebenggol, padahaI mestinya empat sen. Itu tidak layak.
tidak adil Tapi lihatlah diriku ini. Bukdn lag i tepu ng udang.

1 3 0 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 13 1

Manusia ! Aku tak bisa dipungut begitu saj a dari kampung, di­ "Berapa lama Mas Nganten akan tinggal di sini?"
simpan di dalam gedung. Kau, kau orang kota, apa yang kau "Seminggu, barangkali sebulan."
tahu tentang orang kampung?" "Bendoro tak pemah bHang begitu."
"Kalau kau orang yang mengerti, sekarang ini kau mesti tahu
Mardinah tak menj awab. akulah Bendoro."
"Aku kenaI seorang wanita tua. Dulu dia layani aku di ge­ "Tidak mungkin ! Tidak mungkin ! S ahaya masih punya ge­
dung sej ak aku tinggal di sana. Tapi dia diusir karena tuduh lar Mas Nganten, biar pun cuma, Mas ."
agus-agus colong duitku." Mereka terdiam sejenak. Angin kencang tiba-tiba menero­
"Dia hams diusir." bosi taj uk-taj uk pepohonan dan semak-semak.
"Mengapa?" "Dingin, Mas Nganten."
"Dia harus berbakti, bukan menuduh." "Kau tak pernah ingat pada nelayan. Telanj dng d ada mere-
"Tapi ada yang colong duit di antara agus-agus itu ." ka pergi ke laut."
"Dia seorang abdi tak tahu lagi cara-cara mengabdi." "Mengapa harus telanj ang dada?"
"Pengabdian yang membo�ankan ! Tanpa mengabdi nenek "Pakaiannya tak cUkup."
moyangku juga hidup. Laut lebih kaya dari segala-galanya." "Oh."
Kemudian, "Baliklah kau ke kota aku mau tinggal di kam­ "Apa yang oh? kau ini aku tertawa tak boleh, begini salah,
pungku sendiri." begitu salah, apa yang oh? Kami memang orang miskin, dan di
"Apa sahaya harus katakan pada Bendoro?" mata orang kota kemiskinan pun kesalahan. Aku masih ingat
"Mintalah ampun, dan serahkan dirimu, biar Bendoro masih pada hari-hari pertama. B endoro bilang kami orang-orang
pamanmu sendiri, orang tuamu sendiri, kau s�ndiri saja j adi bini jorok, tak tahu iman, itu miskin, kau mengerti agama?"
percobaannya. Mau bukan?" "Sahaya tak pernah belajar ngaji, Mas Nganten."
Dan kusir itu tak juga muncul. "Aku pun, tidak."
"Mengapa kau diam saj a?" Tanpa mereka sadari kusir telah datang, dan turun dari
"Sahaya kacau, Mas Nganten." kudanya. "Empat ordng, Bendoro Putri, semua bawa pikulan."
"Karena kampung ini yang mau kau hinakan? Coba pikir, "Uruslah semua pengangkutannya. Kau mau bahk ke kota?"
lebih dua tahun aku mesti tinggalkan kampungku , hidup di "Belum, Bendoro Putri. Si Gombak masih lelah, belum lagi
gedung, di lingkungan orang-orang yang tak kukenal, kau baru mengasoh. Kota begitu j auh dan . . . ."
beberapa saat di sini, sudah kelabakan seperti nenek kehilang­ "Tembakau itu ? Ambil satu bungkus dari keranj ang i tu ."
an susur." "Beribu terima kasih Bendoro Putri . Cukuplah buat lima
"S ahaya bisa j adi gila di sini." belas hari si Gombak minum air gula-jawa."
"Aku ingin tinggal agak lama di kampungku sendiri." Kusir itu memerintahkan mengangkuti barang-barang, ke­
"Tidak mungkin, Mas Nganten, sahaya tak sanggup tinggal mudian kembali datang pada Gadis Pantai
begitu lama." "Cukup orangnya, man?"
"Kau boleh pulang sekarang pun, aku tak ada keberatan."

132 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 133

"Tentu tidak, Bendoro Putri. Cuma mereka, rupanya yang "Bagaimana sahaya pulang, nanti?" kusir bertanya.
nanti malam tak turun ke laut. Apa boleh buat. Biarlah sahaya "Man, malam ini j uga kau pulang."
ikut saj a membantu ." "S ahaya Bendoro Putri."
"Bawa pulang Bendoro ini, ya?"
"Wah-wah, banyak benar barangnya," salah seorang pe­ "Tidak Mas Nganten, sahay(J. diperintahkan nlengantarkan,
nolong berkata. "Ini barang-barang siapa, Bendoro Putri ?" se­ dan sahaya akan terus antarkan."
orang lain bertanya. "Kau dengar, Mardinah? Di sini, di tempat Bc ndoro suamlku
tak ada, akulah Bendoromu. Aku yang perintahkan kau balik ke
"Ya, aku yang punya." kota, kalau kau tak suka, ya apa boleh buat, kau mesti mengi­
"Mau dibawa ke mana?" nap. Suka atau tidak tanggunglah sendiri ."
"Ke kampung nelayan." " Kalau mengindp, maafkan sahaya, Mas Nganten , ah . . . . . .
Tiba-tiba mereka tak bicara lagi, mulai mengangkuti barang­ ah. . . ."
barang dari dokar dan menyusunnya untuk dipikul. "Tentu kami akan perhatikan segala keperluanmu ."
"Tembakaumu sudah kau ambil, man ? Jangan lupa." Dan mereka berj alan terus. Beberapa buah lampu llampak
Mereka mulai berj alan be.riringan memasuki kegelapan berkelap-kelip dari kej auhan. Tiba-tiba angin kencang datang
malam. meniup. Mardinah menghampiri Gadis Pantai dan mencoba
"Sahaya takut," Mardinah berbisik. berpegangan padanya.
"Lebih baik kau bawa botol-botol itu Aku sendiri keberat­ "Mas Nganten, sahaya . . . ." Gadis Pantai berj alan terus .
an dengan bawaanku." "ltulah rumah orang-orang yang menolong angku t barang
"Ah, Mas Nganten . . . ." Bendoro Putri."
"Ya, ya, aku tahu, kerj a memang hina, tapi dpd salahnya Gadis Pantai masih dapat mengingat-ingat rumah itu - ru­
menolong aku?" Dan dengan ragu-ragu Mardinah n1enjinjing mah-rumah penghabisan kampung ne1ayan. Kedua-duanya tak
empat botol yang telah diikat dua-dua. pemah punya perahu sendiri seumur hidupnya, dan terpaksa
Mereka berjalan. Cabang dan ranting semak antara sebentar membantu nelayan-nelayan lain dengan tenaganya. Id pun ingat
menyangkut pada baju, dan pasir di bawah kaki begitu empuk­ namanya. Suli dan Kardi, tapi ia tak pernah bicara dengan
nya seperti lumpur hangat. Para pemikul telah jauh luendahu­ mereka. Anak mereka banyak dan kecil-kecil dan kelj a anak­
lui. Tertinggal dua wanita dan kusir di belakang. anak itu sehari-harian mencari kayu bakar untuk emdknya
"Cepat benar, Mas Nganten, tak bisa lebih perlahan?" masing-masing dan bermain-main di pantai.
"Lebih baik kau berdo' a semoga tak turun huj an." Mereka Waktu sampai di depan rumah mereka, Suli dan Kardi ber­
berj alan terus dan malam kian menghampiri . henti menunggu. "Sekarang ke mana Bendoro Putri ?" kusir
"Masih jauh, Mas Nganten?" bertanya.
"Kau mau tinggal sendirian di sini?" Dan nlcreka bcrjalan Suli dan Kardi sengaja hendak menatap waj dh kcdua wan i­
teru s . ta itu. Dan kala Gadis Pantai muncul kena cahaya J ampu peli-
"Mas Nganten sendiri mestinya juga capek "
"S iapa yang tidak capek, tapi ada yang kita tuju, dan kita
belum lagi sampai ."

1 3 4 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 135

ta, mereka berpandang-pandangan kemudian mengawa.;;i Gadis S ampai yang masih menetek pun mau ikut. Suli dan Kardi
Pantai lama-lama tapi tak bieara sesuatu pun keeuali dengan telah mendahului. Dan rombongan belakang itu , berjalan sendi­
mata mereka. ri seperti mengiringkan pengantin.

"Kalian kenaI aku pak? Pak Suli? Pak Kardi?" "Dulu tak dipanggil Bendoro," seorang anak berbisik nyata.
"Rasa-rasanya Bendoro." "Cantik, ya sekarang?"
"Bendoro? Mengapa aku dipanggil Bendoro, aku orang "Ah-ah, anak-anak ini," kusir memperingatkan.
sini." "Ayoh, nyanyi ! " Gadis Pantai memberanikan
"Sahaya, Bendoro." "Apa? Menyanyi, Mas Nganten?"
"Bendoro ?" "Nyanyi apa? Angin meniup?"
"Ayoh. Suli eepat." Kardi menganj urkan. "Angin meniup, ya, ayoh !"
Sementara itu istri-istri dan anak-anak mereka keluar dan Suara bening kanak-kanak itu p u n menembusi kegeJapan
merubung. Salah seorang di antara mereka menuding Gadis dan kesunyian pantai:
Pantai dan hendak menegur, tapi emaknya menarik jauh-j auh
menukik-nukik menukik-nukik
· menukik kau angin beliung
dan menyuruhnya masuk ke dalam rumah kembali. Tinggal masuklah masuk masuklah masuk
suaranya terdengar oleh semua, "ltu kan Gadis Pantai?" masuklah kau ke kawah gunung

"Husy, diam kau. Jangan sekali lagi." pergilah pergi pergilah pergi
"Mengapa tak boleh?" pergilah kau ke dalam hutan
"Biarlah, mak, biar dia ke luar," Gadis Pantai membe­ di sanalah sana di sanalah sana
ranikan. berganda mangsa berkeliaran
"Anak-anak ini memang susah diajar, Bendoro."
"Tidak, aku bukan Bendoro. Mak sendiri kenaI aku waktu Gadis Pantai mcnitikkan air mata. Terbayang olehnya bapak
keeil, kan?" sedang menebarkan jala di dalam gelap. Angin beliung telah
Wanita itu keluar lagi dengan dnak keeilnya yang ditekap menderu-deru dari kejauhan. Langit gelap-gempita, dan j ala
mulutnya. "Yang dahulu tinggal dahulu, Bendoro yang seka­ tersangkut pada eabang karang. Ah, berapa kali saj a bapak
rang kan lain lagi?" pulang bawa eerita semaeam itu? Dan bapak bersama saudara­
"Ah, bisa saja omongnya ini mak." saudaranya melompat ke dalam air dingin, menyelam, melepas­
"Yang itu jangan diangkat sendiri, Bendoro. B i ar anak-anak kan jala.
yang bawa."
"Ayolah, kalau mereka mau ." Dan anak-anak itu berebut "Nyanyi yang lain," kusir mengaearai.
keras mau ikut menolong. Gadis Pantai tak dengar, ia bayangkan bapak. Kdrena dialah
"Ayoh, mari ikut semua. Ayoh, mak sarna-sarna ikut." aku sekarang selamat ada di sini. Ah, bapak, dan ia bayangkan
"Biarlah sahaya tunggu di rumah. Anak-anak saja yang emak. Apa yang sedang dikerj akan sekarang?
iringkan Bendoro."

1 3 6 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 137

Suli dan Kardi telah j auh di depan. Tiba-tiba dari kejauhan k a tak begitu dulu. Benar, tidak begitu dulu, i a yakinkan diri­
nampak berbagai obor bergerak menyambut, sedang lelatu daun nya sendiri. Ia merdsa asing dan terpeneil iaksana seek�r kera
kelapa kering bertebaran tertiup angin. dalam kerangkeng. Ia berdiri dengan bantuan tangan perkasa
bapak.
"Siapa mereka itu Mas Nganten?"
"Orang tuaku, tetanggaku, kenalanku." "Mari pulang, emak menunggu di rumah."
Anak-anak keeil itu tiba-tiba mendahului menyerbu lari Ia pandangi bapak dan dengan mata ragu-ragu bapak meng­
sambil berteriak-teriak, "Gadis Pantai datang, Gadis Pantai hindarkan pandangnya.
datang." B apak? Mengapa bapak pun segan menatap aku ? Anaknya
Obor dan lampu pun kian banyak dalam kegelapan, kemu­ sendiri. Dan bumi di bawah kakinya terasa goyah. Kampung
dian muneul juga wajah-wajah mengkilat keringatan. "Gadis nelayan ini telah kehilangan perlindungan ydng meyakinkan
Pantai ! Gadis Pantai." baginya. Sedang dari belakang terus jUgd mengikuti mdta-mata
"Husy, diam ! Jangan kurang ajar anak-anak !" seorang dari Bendoro yang tak dapat dikebaskan dari bayang-bayangnya. Ia
rombongan penjemput menggertak. masih kenaI benar siapa-siapa yang menj emputnya - tetangga­
Gadis Pantai terbangun dari sendunya. Ia rasai sesuatu tetangganya. Ada yang dahulu pernah menjewernya. Ada yang
menggerumuti bulu tengkuknya. Dahulu tak pernah orang pernah mendongenginya. Ada yang pernah mengangkat dan
menyambutnya seperti sekarang. Ia merasa begitu asing. Dari menggendongnya sewaktu ia habis jatuh dari pohon jambu. Ada
kej auhan ia lihat bapak berj alan paling depan membawa obor yang sering dibantunya menunggu dapur. Dan ada boeah-boeah
daun kelapa kering. Ia bertelanj ang dada. Dan otot-ototnya keeil yang digendongnya dulu. Tapi semua tidaklah waj ar lagi
yang perkasa berkiiat-kilat setiap bergerak kena eahaya obor. terhadapnya, tidak seperti dulu. Antara sebentar ia dengar kata
Gadis Pantai lari, Iari, lari. Pasir di bawah kakinya berhdmbur­ Bendoro Putri ! Bendoro ! B endoro ! Bendoro Putri ! Kata itu
an. Gadis Pantai hanya melihat �atu sosok tubuh saja di antara mendengung memburu. Mengiris dan meremas di dalam otak­
sekian banyak. nya B endoro ! Bendoro Putri ! Bendoro ! Bendoro Putri ! Dan
"Bapak ! Bapak ! " dan ia pun menubruk kaki bapak, meme­ pasang-pasang mata yang menunduk hormat bila tertatap oIeh­
Iuknya dengan kedua belah tangannya. nya seakan menyindirnya: semu, semu, semua semu !
B apak mengusap-usap rambutnya. "Selamat kau , nak?" Dalam iringan bapak ia berj alan lambat ragu-ragu. BenM,
Seluruh obor turun ke bawah dan mengepung kedua bapak kampung nelayan ini bukan kampungnya yang dulu lagi . Bah­
dan anak. "Pangestu, bapak." kan kegelapan malam yang ditembusi eahaya obor-obor daun
Tiada seorang pun bieara, berdiri pesona laksana segerom­ kelapa kering rasa-rasanya j uga bukan kegelapan malam kam­
bolan patung. pung nelayan yang dUlu. Sedang riak yang menjilati pantai, dan
"Berdiri, nak." gemerlapan lemah kena eahaya obor, rasa-rasanya bukan Iagi
Gadis Pantai berdiri mengawasi sekelilingnya, menatap se­ riak sejak sejuta tCl hun yang lalu. Suara-suara yang terdengar
tiap wajah yang melingkunginya. Dan setiap orang yang dipan­ sekalipun, dalam bisikan lemah pun, terdengar olehnya begitu
dangnya segera nunduk gelisah. Gadis Pantai j adi keeut. Mere- suram, begitu tak rela dan menyindir.

1 3 8 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 139

Mardinah tiada buka mulut sarna sekali. Kusir pun segan .-
membuka bibir. Bocah-bocah kecil berloncatan mengelilingi
sambil memandangnya, seakan dia ikan duyung yang baru saj a rio Bapak membalikkan badan, dengan tergesa-gesa k e luar dari
tertangkap. rumah, menyerahkan dirinya pada kegelapan pantai .

Di depan dan di belakangnya bOCdh-bocah kecil tak habis­ "Kau baik, nak'!" emak bertanya terputus-putus.
habisnya mengawasi setiap gerak-gerik, dan setiap benda yang "Pangestu, mak."
lekat pada tubuhnya. Seorang bocah bahkan menahan tangan "Begitu lama kau tak nampak," dan emak terus tersedan-
kirinya dan mengawasi cincinnya, beberapa orang bocah ber­
lari mendahului masuk ke dalam rumah. Ia mengerahkan selu­ •
ruh perhatiannya, untuk mendapatkan emak menyambutnya di
depan pintu. Tapi wanita itu tidak nampak. Hatinya j adi kecut. sedan.
"Emak dan bapak tak pernah panggil aku pUlang."
Semua orang dewasa mengiringkannya di belakangnya. "Ah, terlalu, terlalu. Apakah hak kami memanggil istri se­
Cuma bapak berj alan di sampingnya pun agak di belakangnya.
orang B endoro?"
"Mengapa di belakang, bapak?" "Ampuni aku, mak, ampuni."
B apak terbatuk-batuk. Orang tua-tua dan orang dewasa seorang demi seorang ke
"Mana emak, bapak?"
"Di mana tempat perempuan kampung kalau tak di dapurT' luar rumah, mengikuti contoh bapak. Tinggal bocah-bocah
"Ah, Emak," dan Gadis Pantai lari . Sandalnya yang sebelah yang jadi saksi bagi anak dan emak di pojok rumah di kampung
melompat entah di mana ia menyerbu ke dalam rumah. "Emak, nelayan.
mak! Emak, mak."
Tapi tak terdengar suara menj awab. Cuma api di dapur men­ "Mengapa mak sambut aku dengan tangis, mak?"
j ilat-j ilat belanga besar yang selama ini tak dipergunakan, terke­ "Apakah j ahatnya air mata buat anaknya sendiri, biarpun dia
cuali bila kampung mengadakan pesta. La berdiri di depan api. istri seorang Bendoro?"
Ia mencoba mendengarkan. Ya, ada sesuatu terdengar olehnya: "Mak tak suka aku pulang, mak?"
angin dari laut. Ya, ada sesuatu lagi : suara lirih tertahan-tahan. Emak sekarang melolong.
"Mak ! " ia menjerit waktu dilihatnya emak berlutut di pojok­ "Emak ! "
an rumah. "Ah, emak, emak." Kemudian wanita-wanita kampung nelayan pun pada masuk
Tapi emak Cuma menj awab dengan sedu-seddnnya Gadis ke dalam. Mereka berhenti tidak jauh dari anak-anak itu.
Pantai menyambut dengan sedu-sedannya juga. Keduanya ber­ "Pengabdianmu diterima Bendoro, nak?"
lutut tanpa bicara. "Apa yang dikehendaki emak dan bapak kucoba lakukan
Dan orang-orang pun kini telah masuk semua ke dalam sebaiknya, mak."
rumah. "Bukan bapakmu , bukan emakmu tapi Gusti Allah yang
Melihat tamasya itu semua orang berhenti tak menghampi- menghendaki, nak."
"Emak baik, mak?"
"Cuma kau yang selalu terbayang, mengapa kau pulang?"
"Aku masih anakmu, mak"
"Kau tak kena murka?"
"Tidak."
"Kau tidak dikembalikan pada kami?"

1 40 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 141

"Tidak." Barulah kini perhatian teralih pada Mardinah, wanita kota
"Kau datang atas kehendak sendiri?" bermuka bulat, bermulut kecil lak<;ana sebuah bawang merah
"Benar " menempel pada bawah cobek.
"Kau datang dengan seizin Bendoro suamimu ?"
"Tidak bisa lain, mak." Malam itu kampung nelayan bermandikan cahaya obor. Di
Emak menghapus air matanya, berdiri . "Betapa cantiknya sana-sini terdengar orang menyanyi, dan menjelang subuh tia­
kau sekarang." da satu pun yang tUfUn ke laut.
Dan wanita-wanita tetangga pun mulai mendekat. " Seperti
bidadari," beberapa orang menyambung suara. "Jangan ikut masak, Bendoro Putri," orang-urang mencegah
Dan Gadis Pantai merasai setiap orang mencoba kuat-kuat Gadis Pantai. Ternyata kusir pun ikut berpesta, lupa pada si
u ntuk meniru kesopanan orang kota, menempatkannya di tem­ Gombak kudanya y ang tercancang sebatang km a di penghujung
pat yang lain, membedakannya dari yang lain-lain seperti pada j alan setapak.
penderita kusta. Setiap pandangannya bertatap pada waj ah,
segera waj ah itu pun tunduk sambi! tersenyum, dengan kedua Cuma setahun sekali kegirangan dan kedamaian semaCam
belah tangdn tergantung tanpa tenaga ! Tangan-tangan yang bia­ - ini terjadi: di waktu lebaran haj i , dan seluruh kc1u arg.l ncl ayan
sa lumatkan biji-biji j agung keras, yang biasa men geping­ turun ke laut, menyerahkan ketupat pada dewa laut, mcminta
ngeping kayu bakar yang keras ulet seperti berasal di j aman berkah dan memohon j angan hendaknya diganggu dalam pe­
purba. kerj aan sehari-hari .
"Kita, masak !" Gadis Pantai mencoba mengubah suasana.
Tanpa membuka mulut orang-orang itu pun menuju ke da­ Setiap orang merasa bangga, seorang gadis dari kampung
pur. Sejurus sunyi. Tiba-tiba seorang nenek melengking, "Mana mereka telah j adi orang kota, j adi bangsawan , j adi Bendoro.
orang-orang lelaki? Ayoh, kerj a ! " Hore, bocah-bocah bersorak. Dan setiap orang merasa bangga kampung mereka dikunj ungi
Karung beras dibongkar. Botol-botol kecap lari ke dapur. seorang bangsawan turunan: Mardinah.
Oleh-oleh digelar di atas ambin. Kaum lel aki mulai mas uk
kembali ke dalam rumdh. Gadis Pantai mengeluarkan dua lem­ Si Dul pendongeng dengan rebana di tangan sedang asyik
bar sarung pelekat dan diserahkan pada kakck tertua kampung mendongeng ketika orang-orang pada sibuk melayani Gadis
nelayan, selembar lainnya pada lurah. Pantai. Ia menyanyikan cerita waktu tuan besar Guntur dlias
"Yang lain-lain," kakek tua angkat bicara, "cukup makan Daendels membangun j alan raya menerj ang selatan daerah
kenyang-kenyang saja, ya." mereka.
"Beras sekarung takkan habis buat orang sebanyak ini . "
Gadis Pantai menyusul suaranya. oh, oh dewa sejagad kalah bengisnya
"Terima kasih, Bendoro Putri." matilah dia berani tolak perintahnya
"Mengapa Bendoro Putri ? Inilah Bendoro yang tulen ! " Ga­ bupati mantri semua priyayi apalagi
dis Pantai menunjuk dengan jempolnya pada Mardinah. orang kecil yang ditakdirkan jadi kuli

dia sandang pedang tipis di pinggang kiri
tapi titahnya wah wah wah lebih dahsat lagi
laksana geledek sambar perahu dan tali-temali
sehela nafas sedepa jalan harus jadi

1 42 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 43

menggigil semua dengar namanya guntur gadis tercantik kampung nelayan
semua pada takluk gunung kali dan raWll idaman pemuda pujaan perawan
pantai dan jalan berjajar panjang membujur kekasih tua-muda laki-perempuan
kepala kawula jadi titian orang yang kuasa . . . . gadis pantai 'duhai cantik rupawan

"Bukan main, tuan besar Guntur," seorang menyela. "Kalau orang-orang kota penasaran
ada empat orang seperti dia, habislah orang Jawa." bunga mekar di kampung nelayan
bendoro pun cepat kirim utusan
waktu jalan panjang sempurna jadi bawa lamaran orang kasmaran
kereta-kereta indah jalan tiap hari
bawa tuan-tuan nyonya-nyonya dan putri-putri bunga dipetik menghias gedongan
tuan besar gubernur jenderal dan para abdi dimandikan mawar disunting herlian
tiada lupa orangtua dan kenalan
"Ganti saj a ceritanya ! " seseorang lain menyela. manis budi gadis pantai jadi teladan . . . .
"Ya, ya, ganti ! Ceritakan saja kisah Gadis Pantai," seseorang
mengusulkan. Pendongeng itu berhenti sebentar. Manarik nafas Rebana makin keras dipukul, giring-giringnya makin
dan mereguk kopinya, kemudian memulai dengdn cerita baru. menggerincing. Dongeng semakin asyik menggelitik, suara laut
semakin mendekat, dan malam semakin larut. Keriuhan men­
Laut tenang angin pun damai capai puncaknya waktu hidangan tersedia, lengkap dengan se­
gala lauk-pauk dan bumbu-bumbu dari kota. Beberapa orang
"Panggil Bendoro Putri biar ikut dcngdrkan. " mulai menjelepoh di pasir, di bawah-bawah pohon karena
" suruh dia mendongeng lebih keras - tak usah dipanggil." mabuk tuak, sedang ruas-ruas bambu tempat bekas tuak berte­
"Ya, nyanyinya keras sedikit." baran di mana-mana. Perut yang kenyang membuat keriuhan
Pendongeng memukul rebananya keras-keras dan mengen­ semakin l ama semakin surut. Obor-obor makin pudar dan pa­
cangkan suaranya: dam. B ocah-bocah pada kehabisan tenaga bergolek di teritis
rumah, bahkan di bawah ambin. Akhirnya padam sarna sekali
laut tenang angin pun damai kampung nelayan. Yang ronda pun lupa pada kewaj ibdnnya.
nelayan pulang melepas dahaga
"Mas Nganten," Mardinah berbisik, "di mana sahaya tidur?"
tiada tandingan cantiknya gadis pantai "Tidurlah bersama aku."
laksana nawangwulan turun ke telaga "Tidak ada kamar?'"
"Menggeletak bersama dan seperti yang lain."
"Bendoro Putri mari keluar - ke sinilah ! " seorang berseru. "Mas Nganten . . . ."
"Mari ikut dengarkan." Pendongeng memukul rebana lebih
kencang dan bersemangat. Matahari merangkak cepat tanpa disadari . B aru setelah ada
bocah menj erit bangun karena boroknya dipatuk ayam, orang-

1 44 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 45

orang mulai membuka mata, mengucek-ngucek, terbatuk­ "Lhah, di mana sahaya mandi Bendoro Putri?"
batuk, kemudian mencari tempat-tempat kelindungan untuk "Tanyalah pada kudamu."
melepas air Laut telah lama menj auh dari pantai dan perahu­ Dengan demikian di pagi hari itu j uga Mardinah kembali ke
perahu yang kemarin telah disediakan kini pada kandas di pasir. kota. Ternyata cuma segumpil kccil saj a kelegaan yang dipero­
leh Gadis Pantai. Pasang-pasang Inata yang menyinarkan pan­
B ocah-bocah berebutan pada menyerbu dapur mencari sisa­ dang tak wajar padanya, kesopanan yang dibuat-buat, kekakuan
sisa semalam . Dan mendadak saj a kampung nelayan sibuk yang menjengkelkan. Terutama orang t uanya yang begitu j auh
kembali. terhadapnya, menyebabkan ia merasa scpcrti batu karang tung­
gal, tak punya sesuatu hubungan dengan dirinya, terkecuali laut
"Di mana sahaya mesti mandi Mas Nganten?" yang mengandung kesepian.
"Di kulah, tentu." Bila ia masuk ke dalam rumah bukan lagi cIHak yang ramah
"Air asin tentu. Sabun tak bakal mudah lenyap terbasuh." dan selalu melindunginya yang didapatkan, tapi tetangganya
"Jangan dengan sabun." yang dengan sukarela bekerj a buat menyenc.tngkanny d. S e­
"Sehabis perj alanan kemarin? Tanpa mandi semalam?" karang bapaknya hampir-hampir tak berani nl asu k kc dalc.lm
"Kami hanya orang kampung miskin. Kadang-kadang sarna bila ia tidak di luar rumah. Berapa kali sudah dalanl sepagi itu,
sekali tak mandi air, lebih banyak mandi keringat dan laut." ia panggil bapak. Tapi ia muncul hanya sampai di pintu men­
"Seminggu saj a di sini, j adi ikan asinlah sahaya." dengarkan suaranya, mengangguk dalam, dan kcmudian pergi
"Man, Man ! " Gadis Pantai berseru-seru. lagi.
Sambil mengerudungi badan bawahnya kusir segera meng- Semua orang menahannya dari bekerj a. Semua orang memu­
hadap. "Ah, Bendoro Putri, lupa sahaya pada kuda sahaya." satkan perhatian padanya. Setiap langkah dan gerak-geriknya
"Jangan kuatir tak ada baj ak semalam." diperhatikan. Maling kesiangan pun tak sejanggal nasibku de­
"Tak ada memang. B agaimana kalau kakinya digigit ular?" wasa ini. Rumah kelahirannya kini tak lagi kuasa melindungi­
"Terpaksa kau turun j uga ke laut." nya lagi.
"Tak ada binatang yang lebih menyenangkan daripada kuda, "Bapak," akhirnya ia memanggil . Dan seperti selmTIa sepa­
Bendoro Putri. Makannya cuma dedak dan rumput, tapi dia beri gi itu, kini Bapak kembali muncul di pintu. "Mengapa bapak
anak bini sahaya segala yang kami butuhkdn. S ahaya tak perlu tak terus masuk pak?"
cari dia, tidak seperti ikan, Bendoro Putri." "Di sini lebih senang, panas di dalmTI."
"Tak lupa tembakaumu?" "Ah, bapak, aku t,\hu karena aku di sini. B apak tak mau
"Semalam sahaya pergunakan j adi bantal, Benduro Putri, masuk."
sayang benar kalau j ad i asap tanpa lewat hidung sahaya "Tidak benar, itu tidak benar. Apakah yang bisa kuperbuat
sendiri." untukmu?"
"B awa Bendoro Putri ini pulang ke kota.·' "Dekatlah sini."
"Sahaya Bendoro." "Panas di dalam "
"Mas Nganten juga mesti balik."
"Kapan kau punya hak memerintah aku ? Man, bersiap-siap
kau, cepat."

1 46 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 147

"Panggil namaku pun bapak tak sudi lagi." nampan? Ayoh bubar !" dan dengan tampang mengancam ba­
"Bukan galibnya lagi anak terhormat dipanggil pada nama-
nya." pak melototi bocah terbesar.
"Ah, bapak dekatlah, sini."
"Biarlah, aku di sini saja." Rombongan bocah itu pun mundur dan menggerombol, ber­
Gadis Pantai melangkah ke pintu menghampiri bapak. Dan
bapak meninggalkan bendul pintu menyingkir keluar. henti di suatu j arak dan mengawasi anak dan bapak berj dlan
"Aku ingin seperti dulu lagi, bapak, seperti dulu. Orang talc
perhatikan aku ." terus menelusuri pantai.
"Tak ada yang perhatikan."
"Mari jalan-j alan bapak. Lihat-lihat sepanj ang pantai ." "Mengapa tidak seperti waktu aku belum kawin? Kampung­
"Apa yang mau dilihat di pantai?"
"Dua tahun lebih aku tak jnj ak pasirnya yang basah dan nya tak berubah, tapi orang-orangnya semua berubah."
hangat."
"Tinggal saj a di rumah, masih lelah dari perj alanan ke- "Kita semua semakin j adi tua."
marin."
Gadis Pantai melangkah keluar, berJ alan lambat-Iambat "Lihatlah," ia menuding pada laut, "dia tak berubah," kemu­
menuju ke pantai. Bocah-bocah segera menyerbu dan mengiku­
ti riuh rendah suara mereka, dan semua orang ke luar rumah dian membalik badan menuding ke kampung. "Dia pun tak
menghantarkannya dengan pandang. B apak mengiringkan dari
belakang. berubah. Atap-atap rumbainya tak ada yang baru. Pohon-pohon
"Mengapa bapak selalu di belakangku? Bukankah bapak
masih bapakku?" kelapa itu kulihat tak bertambah. Ada yang mati sepening­
B ocah-bocah pada berkicau mengenalkan keanehan pantai .
Waktu Gadis Pantai lebih jauh lagi berj alan, yang nampak dan galku?"
tercium masih yang dulu j u ga: ampas manusia yang berbaris
sepanj ang pantai, berbaris tanpa komando. "Ingin dku mandi di "Tidak."
laut."
"Tak jelas, apakah patut." "Cuma bocah-bocah semakin besar, dan banyak."
"Memang tak patut, tapi aku ingin."
"Tidak mungkin." B apak mendaham.
"Memang tidak mungkin ."
"Ai, bocah-bocah mengapa meriung-riung seperti udang di "Sedikit sekali perubahannya."

"Sedikit sekali memang."

"Tapi orang-orangnya j elas berubah. Terhadap dku. B ahkan
bapak sendiri. Seakan mereka pada menuding padaku: pergilah
lekas, pulang kau ke kota."

"Tidak benar. Tidak benar." Bapak mengulang-ulang dengan

j erit tertahan.

"Aku datang dan tak seorang pun turun ke laut."

"Tak patutkah mereka ikut gembira bersama bapak yang

ditinggalkan dua tahun tanpa kabar tanpa berita?"

"Dua tahun lebih sedikit. Tapi tak ada kulihat bapak ber-

gembira." ,

"Tak patutlah orang setua ini berjingkrak seperti bocah."

"Betapa bodohnya aku mengharapkan bapak berj ingkra " ,.

la menuding ke arah laut. "Nampaknya itu bukan pcrahu k a l l l

pung kita."

B apak mengikuti arah tudingan, menggeleng.

1 48 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 49

" Aku bawakan benang jala." "Buat apa uang? B arang tak bisa dibeli di sini . Lagi semua
orang seperti itu rumahnya. Dan kita sarna dengan yang lain­
"Ya, setiap orang bawa benang jala dari kota." lain "

"Dan tasbih." "Barangkali buat beli perahu."
"Kita tetap bikin perahu-perahu sendiri seperti dulu ."
"Tasbih?" "Apa mesti kuj awab pada Bendoro?"
"Dari Bendoro, buat bapak saj a. Hitam. Dari kayu keras , "Laut tetap kaya. Dia berikan kepada kita segala-galanyd
sampai yang terindah di dunia: mutiara."
buatan Mekah." "Bapak tak pemah bicara tentang mutiara."
"Buat apa? Dia takkan buat tenaga kita lebih berharga."
"Buat apa tasbih?" "Aku dibelikan seperdngkat mutiara oleh Bendoro."
"Bendoro menyampaikan salam. Kalau kampung belum "Mutiara sangat berharga, memang. Tapi tenaga kita tidak.
Cuma orang pilihan dihiasi mutiara. Yang menyelam mengaduk
punya surau, Bendoro bersedia membiayai pendiriannya." lautpun tak bermutiara."
"Panggilah aku pada namaku seperti dulu, bapak."
"Betapa mUlianya " "Memanggil kadang-kadang cukup dalam hati ."
"Tapi orang di sini tentu tak ada waktu buat itu . Semua si- "Ah, bapak seakan-akan aku bukan anak kampung nelayan
ini lagi."
buk ke laut dan ikan tak semudah itu ditangkap. " Bakau di pantai kampung nelayan ini sangat tipis, karena
terlalu sering ditebang, dijemur buat kayu bakar. Tapi di suatu
"Jangan menyindir." • tempat semak bakau sangat subur nampak tak pernah terj amah.
Jangan ganggu bakau di sini , pernah kata seorang as ing du lu.
"Ah, bapak. Mana bisa aku sindir bapak? Kita semua tahu, Biar kelak kalau aku ada keberuntungan, aku akan dapat kemari
lagi. Aku akan tahu, tanah ini tempat aku injak setelah ditolong
buat dapatkan j agung pun tenaga tak cukup, j angankan dirikan perahu nelayan kampung sini, dibawa ke sini, dipelihara di sini
dan diantarkan ke kota. Orang asing itu tak pemah datang lagi,
surau, j angankan membuka-buka kitab !" tapi semak bakau itu tetap tak terj amah.
"B arang siapa pern�h minum air setengah asin kampung ini,
"Masih ingat kata kakek semalam?" dia takkan bakal lupa. Dan barang siapa dilahirkan di kampung
sini, dia tetap anak kampung sini."
"Aku tak dengar apa-apa." "Abang-abang sarna sekali tak bicara padaku lagi."
"Mereka sedang membikin pola ukiran."
"Dia bilang, kita ini tak sempat apa-apa. Kaya tidak, cukup "Nampaknya adik-adikku dilarang mendekati aku."

tidak, surga tidak, mati pun cuma dapat neraka. Habis segala­

galanya tak sampai."

"Nasib nelayan."
"Ah, ingat aku," kata bapak. "Waktu si Dul pendongeng

buka cerita, dia bilang : Kalau kakek tua masuk neraka, ki ta

semua masuk neraka. Cuma dia paling tahu di antara kita."

"Bendoro bi lang bisa dikirim guru ngaji."
"Bagaimana kita mesti upahi dia?"
"Bendoro yang upahi."
"Barangkali ikan akan lebih j inak kalau kitd ngaj i, ya?"

"B arangkali. Belum dicoba."

"Kita tanyakan pada kakek. Cuma kakek tahu menj awab."

"B apak, bendoro berpesan, gdnti rumah itu dengan kayu.

Aku bawakan uang buat biaya "

,

1 50 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 151

"Mereka diaj ar menghormati kakaknya dari kota." "Itulah yang dicitakan setiap orang. "
"Ah, bapak, bapak. Sekarang aku seperti pertama kali bapak "Kalau bapak tahu bagaimana mereka hidup di sana . . . . "
antarkan masuk ke rumah Bendoro." ''Setidak-tidaknya mereka tak mengadu untung setiap hari.
B apak menunduk terharu. ..
"B arangkali aku harns segera balik ke kota kembali. " Setldak-tIdaknya mereka tidak berlumuran kotor setiap hari."
"Karnpung ini memang mengecewakan, terlalu hina. " "Ah , aneh benar pikiran bapak."
"Ah, bapak aku cuma ingin diperlakukan seperti dulu. "Aneh dan tak guna. Kita hidup dan bekerj a berat dan akan
Pukullah aku kalau aku bersalah. Tapi j angan cabarkan hatiku begini terus sampai tak bisa kerj a scsuatu lagi. Terkecudli kasih
semacam ini. Ap a tak cukup penanggunganku di kota? Apa nasehat seperti kakek tua."
kurang banyak yang kuberikan buat penuhi keinginan orang tua "Mari kita lihat orang-ordng mcmperbaiki j ala."
jadi bini priyayi? Mengapa sesudah seumur ini bapak sendiri "Hari ini semua pada mengasoh. Tak ada yang kerj a."
bersikap begitu? Dan emak hampir-hampir tak mau bicara "Kita Iihat empang."
padaku ? Apa dosaku?" "Nanti terlalu lelah, sakit. B ibit sudah ditanmll delapdn pe­
"S iapa sangka anaknya sendiri yang diserahkannya ke ta­ kan yang baru lalu."
ngan priyayi tinggi menanggung?" Tiba-tiba bapak tak dapat te­ Gadis Pantai tertawa. "Tahun ini banyak yang bel i bibit dari
ruskan bicaranya. Dan dengan suara sayup-sayup dan sebagi­ sini ?"
dn lenyap tertiup angin ia berbisik, "Berapa kali aku telah puku­ "Berkah, berkah. Anak-anak kampung sudah pada besar.
Ii anakku, kadang di subuh hari . . . . ." Penghasilan bibit lebih banyak. Adik-adikmu saja dapat kum­
Gadis Pantai berhenti, meneleng ke belakang. Mengawasi
bapak yang berjalan menunduk dengan pandang menggaruk .
pasir. Pemberani itu yang menentang laut melawan badai, pUlkan leblh 1 .000 ekor dalam seminggu !"
mengaduk laut, menangkap ikan setiap hari . . . . betapa j adi kecil
hatinya kini cuma karena di dekat anaknya sendiri, dan anak D a n Gadis Pantai teringat pada masa beberapa tahun dulu,
yang j adi bini kecil priyayi.
"Ah, buat apa menyesali diri. Kapan aku dikaruniai seorang ��d gan telanj ang diri bersenjatakan rumah karang ia sendoki
cucu?"
"Kehendak Allah belum tiba, bapak." blblt bandeng dari tepian laut, dimasukkan ke dalam belanga
"Belum pernah rumah kita dihiasi dengan cucu. " kecil yang diisi air dan dedaunan bakau.
"Apa bapak harapkan dari cuc u bapak?"
"Kesej ahteraan, keselamatan, j angan seperti kita." "Aku tak lihat orang membuat trasi lagi . "
"Seperti priyayi?" "Trasi kita tak laku. Sedikit sekali pedagang datang ke mari
"Kalau lelaki dia - akan j adi priyayi tulen. " cari trasi kita."
"Kalau ada nasib, bapak suka j adi priyayi?" "Di kota orang lebih suka trasi buatan Lasem "
"B ukan salah kita. Kata orang-orang trasi kita dibawa ke
kota sudah dicampur dengan lempung."

p"Ya, banyak trasi enuh lempung di kota "

"B ukan kita yang mencampuri."
"Tentu saJ a bukan kita. Kita bukan keturunan penlpu , bapak.
DI. kota kudengar itu buatan seorang pedagang. Dia punya istri
kedua dan ketiga di kampung nelayan dekat kota. Pedagang itu

1 52 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 53

mengaku diri haj i . Dia rusak trasi kita biar kampung istri-istri­ Ii karena perhiasanku, ia mencoba menarik kesimpulan . Aku
nya saj a dapat laku." harus lepas perhiasan ini nanti sore. Ia menghampiri en1ak yang
sedang membuat sambal. Juga emak berhenti kerjd, "Jangan ke
"Dari bibit bandeng saj a tak banyak yang kita peroleh." mari nanti kotor. "
"Sedikit sekali?"
"Tapi kita masih tetap hidup segar, sehat." Kotor! Tiba-tiba ia ingat pada hukuman Bendoro pada
Mereka berj alan menuj u ke rumah. Bapak tetap saja diam­ orang-orang kampung nelayan ini. Mereka kotor kurang beri­
diam bila tak ditanyai. "Bapak masih j uga tak nlau panggil man, karena itu miskin kata Bendoro. Kalau semua nlau serba
namaku?" bersih terus siapa yang lenyapkan kotoran? ia bertanya lugu
Gadis Pantai merasai bapak tersiksa karena kata-katanya. pada Bendoro.
Tapi ia sendiri pun tersiksa. Dan laut semakin j auh dari kam­
pungo Dataran pasir nampak begitu j auh, begitu Ienggang, Kotor! Miskin ! Kurang beriman ! Neraka ! Ia tak pernah de­
coklat muda, datar dan kosong. Laut nampak seperti garis biru ngar kata-kata itu sebelum ke kota. Dan kata-kata baru itu ba­
tipis dengan garis lamat-lamat putih di atasnya. Sarna �ekali tak nyak mengacaukan otaknya. Bagaimana ikan dsin bisa dibuat
menandakan ada perahu di atas garis biru putih itu . Angin tiada kalau orang tak berani tarik ludes isi perut setiap ikan yang
teras meniup. Sedang tunggul-tunggul bakau nampak begitu menggeletak di atas nampan? Binatang-binatang itu akan busuk
kaku, coklat, hitam tak mengandung hidup, bahkan cuma ke­ dan sia-sia saj a kerj a kepahlawanan bapak dan dbang-abang.
matian melulu. Burung-burung camar yang biasa nampak ter­ Dan bau amis j ala. Dan seluruh lau t ! Minyak wangi ? Memang
gantung-gantung di udara, kini tiada mengisi kelenggangan menyenangkan, tapi dia tak kuasa panggil ikan datang ke ru­
cakrawala. Dan langit di atas sana putih, cuma putih, seperti mah manusia dengan suka rela.
kapas tanpa setitik pun warna lain.
"Emak sediakan sate ayam siang ini." "Mengapa kalau aku kotor?" Gadis Pantai menukas.
Kata-kata itu membuat Gadis Pantai seakan terasa Iengang. "Tidak baik orang kota kotor. Biarlah kami yang sudah bia­
Tak pernah seumur hidup emak buatkan dia sate. Ayam yang sa sajd melakukannya istirahatlah di ambin. Lelah dari perjalan­
hanya beberapa ekor, hanya diambil telurnya buat obat kUdt an kemarin. Mak Pin bisa pij it kalau mau dan kalau suka. "
bapak. Entah berapa ekor dari yang sedikit itu kini harus mem­ "Mau ! mau aku dipij iti"
buktikan, bahwa ia memang lain daripada seluruh penduduk
kampung selebihnya. "Rah panggil Mak Pin."
Dengan langkah gontai dan hati bimbang ia masuk ke rumah
kembali. Waktu ia menengok ke belakang diketahuinya bapak B aru sekali ini dalam seumur hidup seorang dhli pij at me­
tak ikut masuk. Bapak ! Bapak ! serunya dalam hati. Ia dapati letakkan tdngannya yang berbakat itu di atas punggungnya,
beberapa orang wanita tetangganya masih sibuk bekelja mem­ pinggangnya, mengendurkan urat-urat yang tegang.
bantu emak. Waktu melihatnya, mereka berhenti bekelj a me­
nekur ke tanah dan mundur-mundur memberi jalan. Barangka- "S udah lama mem,ij it, Mak Pin?"
"Sahaya."

"Mak Pin pernah tinggal di kota?"

"S ahaya."

"Mengapa tinggal di sini ?"

"S ahaya. "

1 54 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTA! 1 55

"Ha?" Gadis Pantai tertawa. Bukan karena kebengalan boeah­
boeah, tapi pada nada yang bicara itu ! La rasai nada suara itu
" S ahaya?" tak mengandung pembedaan diri Idgi, itu suara manusia kam­
Gadis Pantai tersenyum, lenyap hasratnya hendak biedra. pungnya. B ukan suara budak terhadap Bendoro.
Mak Pin tak pernah dikenalnya sebelum ini. Pendatang,
pikirnya. Ia telengkan kepala dan melihat ke arah dapur. Tiba-tiba Mak Pin mengeluarkan suara aneh.
"Dari mana Mak Pin ini?" ia bertanya pada siapa saj a yang "Apa dia bilang?"
Orang-orang tertawa bergegar-gegaran. Gadis Pantai meng­
mau menj awab. hela nafas, itu tertawa manusia kampungnya: lepas , bebas ,
"Siapa tahu? Tahu-tahu sudah ada saj a di sini," seseorang bukan tertawa budak di depan Bendoro.
"Mak Pin ini ada-ada saj a," seseorang menjcri l suka.
menj awab. "Apa dia bilang?"
"Bendoro belum berputra, katanya."
"Di mana tinggalnya?" "Haa?"
"Belum segala-galanya. Dia bertanya, Bendoro tak ingin se­
"Di mana saj a. " gera berputra?"
Gadis Pantai tersenyum. Dalam waktu dua tahun lebih ting­ "Haa?"
Kembali Mak Pin mengeluarkan bunyi aneh dan ri uh
gal di gedung menyebabkan i;t terbiasa memandang seti ap rendah, seperti suara keluar dari kerongkongan binatang buas
sedang menanggung lapar. Kembali orang tertawa bergegar­
orang punya tempat tetap buat tinggalnya. Dan ia sudah terbia­ gegaran.
sa memandang setiap orang tinggal aman bila pintu rumah te­ "Apa dia bilang?"
l ah terkunci , tiada orang asing datang mengganggu, mende­ "Katanya pinggang ini keeil benar - j uga pinggulnya," sese­
ngus. Di kampung nelayan, kampung kelahirannya ini pelan­ orang memperbaiki, kemudian tertawa melengking.
pelan tapi pasti ia mulai belaj ar kembali tentang masa silam­ Gadis Pantai mengangkat kepala untuk melihat benar-benar
nya dulu. Ia tersenyum. Ia menyesal telah menj adi begitu pelu­ bagaimana Mak Pin bieara. Ternyata suara-suara aneh itu
pa. Di sini tak ada rumah terkunei pintunya, siang ataupun dibantu oleh gerak-gerik tangannya yang lineah.
malam. Di sini pintu bukanlah dibuat untuk menolak manusia, "Mengapa kalau keeil pinggang dan pinggul?"
tapi menahan angin. Di sini semua orang tidur di ambin di Seseorang mengharppiri Mak Pin, menyentilnya pada ping­
malam atau di siang hari, termasuk para tdmu yang tak pemah gangnya. Mak Pin terlompat terkej ut sambil berteriak nleleng­
dipedulikan dari mana datangnya. La mendengus sekali lagi. Di king, kemudian tertawa terkekeh-kekeh. Wanita yang menyen­
kota setiap orang baru selalu ditetak dengan tanya: Siapa nama? til bieara dengan bahasa isyarat, tapi Mak Pin terus tawa eeki­
Dari mana? Di sini, orang tak peduli Mak Pin�datang dari mana. kikan. Gadis Pantai pantai memperhatikan, tapi tak mengerti.
Tak peduli Mak Pin gagu. Tak peduli sekalipun dia kelahiran Ia lihat Mak Pin menggeleng-geleng dan kembali tangannya
bergerak memberi isyarat.
neraka.
"Jadi bagaimana orang tahu dia bernama Mak Pin?"

"Lihat saj a kakinya."

"Mengapa kakinya?"

"Pineang." Ah, anak-anak bengal itu sudah namai dia pada

eaeatnya.

1 56 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 157

"Apa dia bilang?" Gadis Pantai mengulurkan tangan ke belakang dan bapak
"Ah, ada-ada saja, Mak Pin ini," kata orang yang 'iedang menangkapnya.
mengaduk gulai di tungku sambil tertawa malu cekikikan.
"Keterlaluan memang Mak Pin ini," orang lain lagi berderai "Siapa dia?" Gadis Pantai menuding Mak Pi n.
dengan suara keras. "Mak Pin. Kita kenaI dia."
"Memangnya ada apa?"
"Itu lho, Bendoro, katanya, ah, itu. . .itu . . . kalau begitu, "Bukan ! Dia lelaki ! " suara Gadis Pantai melengking sekuat­
itu. . . .jadi , ininya. . . ." kuatnya.
"Ah, apa sih ngomong seperti itu?"
"Mak Pin ini memang ada-ada saj a bicaranya." "Lelaki?" semua orang berseru, heran.
"Ya, tapi apa yang dibicarakan aku tak tnengerti."
"Itu lho, Bendoro Putri, begitu, katanya, kata dia, sudah bisa Mak Pin yang tiba-tiba saja dalam kepungan semua orang
punya anak." mencoba bicara dengan matanya. Tapi semua mata tertuj u
Tiba-tiba Gadis Pantdi terlonjak dari bantalnya, melihat pada padanya justru minta j awaban darinya.
Mak Pin, waj ahnya bersungguh-sungguh, dan seperti orang
baru engah ia bertanya, "Mak Pin benar gagu ? Tadi bisa sebut­ "Mak Pin, kau lelaki atau perempuan ?" tiba-tiba bapak
kan sahaya." melompat maju mencekam Iengan Mak Pin. Mak Pin meng­
"Cuma itu yang dia bisa katakan. Entah berapa tahun lama­ gigil.
nya dia pelaj ari sahayanya. Mungkin dia bisa ucapkan sesudah
seratus kali dikepruk kepalanya." "Lima belas hari kau sudah di sini, ya?"
"S ahaya." "Mana bisa dia j awab? Dia gagu."
Gadis Pantai mengawasi Mak Pin, yang dengan tangannya
memberi isyarat agar ia rebah lagi. Tapi Gadis Pantai tetap "Tidak," Gadis Pantai mcraung. "Dia bisa bilang sahaya."
mengawasinya. Tiba-tiba Gadis Pantai merasa takut. waj ahnya "Ayoh, katakan sahaya," bapak meraung.
mendadak kecut. Gelak tawa di dapur terlienti. Senlua mata "S a-ha-ya," Mak Pin berkata gugup
melihat Gadis Pantai, kemudian pada Mak Pin.
Gadis Pantai turun dari bale, berdiri, mengawasi Mak Pin "Dia tak gagu. Ayoh, katakan lelaki atau perempuan?"
sambil melangkah mundur-mundur. Suasana tiba-tiba berubah. Mak Pin mencoba menggerak-gerakkan tangannya. Tapi de-
Ketegangan merayapi setiap pojok rumah. ngan tangannya yang bebas bapak menampar pipinya.
"B apaaak !" Gadis Pantai memekik sekuat-kuatnya.
Pandang liar ketakutan berkilauan pada mata Gadis Pantai. "Kau mengerti omonganku ? Kau tak gagu. Laki atau perem­
Beberapa orang lelaki lari masuk ke dalam. Bapak mengham­ puan?" bapak menggertak. "Buka pakaiannya."
ptri anaknya, dan tanpa menengok ke helakang pada bapak,
Pengepung-pengepung mengulurkan tangan mau menelan­
j angi. Mak Pin meronta lepas, menerobos kepungan dan mela­
rikan diri. Beberapa orang lompat berlari.

"Tangkap," bapak berteriak.
Mak Pin telah berc,tda di luar rumah, hilang. Semua orang
lelaki lari meninggalkan rumah.
"Bawa tali," seseorang berseru dari rumah. Yang tertinggal
semua wanita, melihat ke arah lubang pintu.
"Tidak disangka," seorang nenek mendesis
"Siapa sangka?"

1 58 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 59

"Kemarin dia tidur di rumahku . Ah, tidak kemarin dulu " "Inilah aku," sahut emak dari sampingnya.
"Kemarin dulunya lagi?"
"Di rumahku, tapi aku benar-benar tidak tahu." "Sudah lima belas hari dia di sini?"
"Semalam, semalam di mana dia tidur?" tak ada yang men-
J awab. "Lima belas hari? Belum, belum sdmpai."
"Dia tak ikut pesta semalam?" Tak berj awab.
"Kemarin siang, di mana dia kemarin siang." "Dia ditemukan waktu orang-orang mau turun ke laut "
"S ahaya tak lihat, Bendoro Putri . "
"Siapa yang lihat?" Tak berjawab. "Ya, sedang menggigil kedinginan."
"Heran sekali, Bendoro Putri. Kita semua tidak tahu. "
"Mau apa dia sebenarnya kalau dia benar lelaki?" "Dibawa ke rumah Lurah. Dimasakan kopi ."
"Yah, namanya saj a lelaki. " Diam sej urus.
"Jadi dia tak gagu?" "Ya, lantas tidur. Nggak mau ngomong."
"Pura-pura barangkali."
"Mengapa pura-pura?" Tak berj awab. "Besoknya orang barn tahu dia gagu. "
Gadis Pantai melangkah ke pintu, melihat ke luar, tapi tiada
sesuatu pun dilihatnya. Wanita-wanita lain segera mengikuti "Ah, ah, ingat aku waktu tidur di rumahku dia ngigau. Ngi­
dan merubungnya.
"Mata-mata baj ak laut," orang memutuskan. gau benar-benar, tidak gagu ."
"Ya ampun, ya ampun." "Ngigau apa dia?"
Mendengar kata baj ak laut, dengan sendirinya orang menu­
tup pintu dan mengunci dengan palang. "Apa yang mau diba­ "Kurang terang Bendoro Putri. Terlalu pelan, tapi tidak gagu
j ak di sini? Di sini tak ada apa-apa." memang. "
Tiba-tiba orang mengawasi Gadis Pantai, dan semua mata
itu membelainya dari uj ung rambut ke seluruh tubuh, antara "Di mana barang bawaannya?"
sebentar berhenti, pada perhiasan-perhiasan di leher, di kuping
j ari, pinggang, dada. Tak lama kemudidn semua pada menun­ "Tidak punya. Tidak bawa apa-apa."
duke Seseorang menggandeng tangan Gadis Pantai, dan dira­
sainya tangan itu menggentar. "Makanlah," emak mencoba memutuskan perhatian dari
"Ambillah minum, buru ! S ilakan duduk saj a, Bendoro Pu­ Mak Pin. Tak seorang pun ingin makan.
tri . Lelaki-Ielaki kita akan bereskan, j angan kuatir orang itu
mesti tertangkap. " "Ada yang pernah kehilangan di sini1"
"Mak, d i mana mak."
"Apa yang bisa hilang di sini? Paling-paling tulang ikan "

"Sudah lama, lama sekali, tak pemah ada bajak."
"Apa yang mau dibaj ak dari kita?"
"Mereka takkan baj ak kita. Orang kota lebih kaya, di sana
menumpuk harta."
"Ya, di sini ada apa?"
"Pasti di kota sana semua orang punya emas berlian.
B agaimana Bendoro Putri?"
"Diamlah, diam. Buat apa ngomong yang bukan-bukan?"
Sate ayam menumpu� dingin tak terbakar di atas tungku.
Waktu matd.hari mulai condong ke barat, barulah para pria
kampung nelayan datang ke kampung. Beberapa orang lelaki
langsung menuj u rumah bapak. Seorang di antaranya bapak
sendiri. Dengan waj ah muram ia mendekati Gadis Pantai. Wa­
nita-wanita lain datang merubung.

1 60 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADlS PANTAl 1 61

"Laki apa perempuan dia bapak?" "Di mana dia semalam?" seorang lain menyerbu bertanya.
"Memang bukan perempuan." "Tak ada orang lihat dia ikut makan-makan. Barangkali me­
"Mana dia sekarang?" mang mata-mata baj ak, cuma tinggal di darat saja."
"Dia takkan kemari lagi. "
"Di mana?" Mata bapak jadi beringas. Ditatapnya pembicara itu, kemu-
'40Dia tak mau mengaku, itu salahnya." dian menunduk lagi, kepalanya menggeleng.
"Ya, tapi di mana dia sekarang?"
"Dia bilang, dia dari Demak." "Lantas siapa dia?"
"Demak?" "Siap namanya?"
"Ya, Demak. Siapa percaya dari Demak? Baj ak laut takkan "Mardikun."
pernah berasal dari pedalaman apalagi dari pegunungan. Dia Gadis Pantai terperanj at. Sekaligus ia teringat pada Mardi­
berkukuh tak ngaku mata-mata baj ak laut. Dia tak mau ngaku nah. Abang Mardinah? Mengapa namanya Mardikun? Menga­
kapan baj ak-baj ak itu mau meoyerbu ke mari. Jadi dia diadili­ pa dua-duanya pakai Mardi? Ia mencoba bayangkan kem bali ,
di tempat dari mana induk baj ak bakal datang." tapi tak dapat. Dalam bayangannya selalu saj d. orang itu menun­
"Disuruh berenang?" duk bila ditatapnya.
"Ya, ditelanj angi, digiring dengan enam biduk." "Mardikun?" desisnya kemudian. "Apd. ada yang nlasih bisa
Gadis Pantai teringat pada cerita yang dikenal semua orang ingat waj ah Bendoro Mardinah?"
di kampung: setiap bajak yang tertangkap digi ring ke tengah "Bendoro Mardinah?" orang berseru.
laut dengan biduk, sampai tak kuat lagi berenang dan tengge­ Bapak menatap emak, kemudian pada wanita-wanitd lain.
lam, kalau tak terburu disambar hiu . "Ya, memang ada. Ada persamaan sedikit."
"Berapa ribu depa dia bisa berenang?" "Mukanya bulat, Mardikun itu ?"
"Tidak sampai ribuan." "Ya, ya hampir bulat, seperti Bendoro Mardinah ."
"Berapa ratus?" "Juga Mardinah berasal dari Demak," Gadis Pantai mengi­
4O'Tak sampai ratusan." ngat-ingat. B arangkali memang abang Mardinah. B arangkali
"HaT' bapaknya. Lantas mau apa dia datang ke mari?"
"Segera tenggelam setelah dilempar dari perahu." "Kakek pengetua sudah tahu peristiwa ini?"
"Tidak berenang? Kalau begitu bukan baj ak." "Masih tidur dia."
"Entahlah. Salah sendiri mengapa menyaru jadi perempuan." "Benar, cuma dia yang mengerti."
"B apak salah, salah, bapak, mungkin dia tak bersalah." B a- Dan waktu kakek datang, matanya segar, tiada tanda-tanda
pak menunduk menekuri lantai. mengantuk atau habis tidur. Seluruh mata dituj ukan padanya.
"Mengapa dia pura-pura gagu?" emak membela bapak. Tongkat kayu bakaunya yang setengah membatu itu seperti
"Mengapa dia pura-pura j adi pere mpuan?" seorang me­ memerintah menuding pada emak, sedang suaranya yang ga­
nguatkan. rang terdengar terengah-engah kecewa, "Berapa kali aku mesti
bHang? Emas ! Emas itulah sumber bencana."
"Apa hubungannya semua ini dengan emas?" bapak mem­
bantah.

1 62 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 63

"Apa hubungannya? Kan aku sudah berulangkali bilang, tongkatnya pada tanah dan, "Ingat-ingatlah, berapa kali aku
emas itu bikin perahu-perahu pada kandas, tenggelam dalam aj ari kalian? Emas itu biang keladi di daratan - mutiara biang
lumpur. S udah berapa kali aku bilang emas, emas , emas ! " keladi di lautan. Tambah banyak barang emas masuk kemari,
matanya meluneur dan membelai perhiasan - perhiasan pada tambah banyak kemungkinan bajak datang ke mari."
tubuh Gadis Pantai. "ltu semua membuat perempuan ini mem­
bedakan diri dari yang lain-lain. Padahal apa beda kita di sini? "Mardikun bukan bajak." •
Apa beda aku dari kau ? Semua hidup berkat kemurahan laut." "Kalau begitu dia baj ak darat."
"Tapi belum terbukti."
"Kau tak suka aku tinggal di sini, kek?" Gadis Pantai berta­ "Tunggu saj a. Tak ada baj ak laut maupu n darat, bisa beker­
nya lemah. ja seorang diri. Tunggu saja nanti bakal munc ul kanea-kanea­
nya. Tunggu saj a ! Tunggu saj a." Dan sekali lagi kakek mem­
"Bukan aku yang bilang begitu, kau sendiri," kakek meraung bentak gemas, "Lihat saj a nanti."
gerang. Hati Gadis Pantai terguneang. Kini ia mulai mengerti, "Baj ak tak peduli siapa yang punya, pinjam atau tidak, dia
mengapa sikap semua orang j adi berubah terhadapnya. Ia sa­ euma tahu emasnya, yang mengenakan boleh ditcbang lehern­
dari diri bukan lagi penduduk kilmpung nelayan, hanya karena ya kalau perlu." Gadis Pantai mengeriut.
perhiasan. "Ya, j adi kau ngeri, kan? Tak ada gunanya seluruh kampung
gendadapan euma karena mau lindungi emas-emas itu. Tahu­
"Lantas, apa hUbungannya emas dan anakku, dan Mardikun tahu luput semua itu darimu. Bodoh semua ! Begitulah polisi­
yang menyaru j adi Mak Pin?" polisi kota. Mereka digaj i buatjaga emas priyayi, saudagar-sau­
dagar Tionghoa, Belanda dan haj i-haji. Goblok ! Bodoh ! Cuma
"Jadi kau tak mengerti?" raung kakek dengan marahnya kerbau tidak mengerti."
pada bapak. "Baik, ayoh jawah, ke mana perginya luak kalau "Kau tak pemah pergi ke kota," seseorang menuduh.
bukan kepada mangsanya?" "Berapa umurmu ploneo? Waktu makmu belum lagi bisa
buang ingusnya, aku sudah malang-melintang ke Kedah, Treng­
"Siapa mangsanya? Aku ? Siapa luaknya? Aku ?" j' uga Gadis ganu, Mengkasar."
Pantai meraung. "Jadi bukan nelayan?" seseorang bertanya.
"B ukan nelayan tadinya. B ajak aku ! " kakek berkata bangga.
Rumah itu tambah lama tambah gelap, karena lubang pintu Tiba-tiba orang-orang mengambil sikap lain terhadap kakek.
seluruhnya tertutup oleh penduduk kampung yang menonton. "Mengapa terkej ut?" Kakek menetak dengan suaranya.
Anak-anak keeil tak seorang hadir, lari ketakutan pada bersem­ "Apa yang aneh? Kaiau orang sudah habis kesabaran kumpulkan
bunyi di rumah masing-masing di dekat emak mereka. ikan, kalau orang sudah habis kesabaran karena jerih payahnya
' nggak laku di darat, apa diperbuat seorang nelayan kalau tak
"Diam," pekik kakek. ' mbaj ak? Kau mau nantang?" teriaknya sambi! menudingkan
"Kau kami panggil ke mad bukan buat berteriak-teriak se­ tongkat bakaunya yang setengah membatu. "Tahu dpa kau tentang
perti monyet gila, kek," bapak meraung marah. "Kami ingin da­ jaman dulu? Jaman sekarang lain - jauh lcbih baik."
pat penjelasan dari kau, apa artinya semua ini ."
"Mana aku tahu?"
"Kau tak tahu, tetapi mengapa marah-marah kayak kese­
tanan?"
Dengan suara menyurut-nyurut reda kakek memukul-mukul

1 64 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 65

"B arangkali kakek pernah membaj ak kampung kita," sese­ Demikianlah tak pernah selama ini kampung nelayan j adi
orang menguJar. guncang. Setiap orang terlibat dalam kecurigaan dan dugasang­
ka. Lenyap kedamaian, lenyaplah kctentraman. Di malam hari
"Kampung ini? Hei, plonco ! Kau tak tahu akulah yang sela­ tiada seorang pun bermaksud I1 1cnyiapkan perahu dan turun ke
matkan kampung ini dari baj ak. Empat puluh tahun yang lalu. laut. B ulan waktu itu tak ada - cunla hintang-bintang gemerlap­
Waktu itu j adi ingus pun kau belum lagi, plonco, kau tak tahu an tanpa makna, angin pun tiada mcniup.
apa?'
Dan di malam gelap gulita sayup-sayup, antara gonggongan
"Apa maunya si kakek ini sih?" anj ing liar, terdengar nyanyian pcrl ahan si D u l pe ndongeng
"Mau ku? Selamatkan kampung ini. Jangan terj adi apa-apa. dengan iringan sayup pada rebananya.
Kalian yang sudah agak tua-tua tahu apa itu marsose. Kalian
pernah lihat satu kampung disembelih marsose? Semua bayi­ tiada perahu turun ke laut
bayi yang baru lahir kemarin? Marsose bakal tahu ada orang tiada ikan bermukim ke darat
digiring ke laut, dikira baj ak nyatanya tak bisa berenang, Apa nelayan sekampung pada kalut
kalian mau bilang kalau mars,!se datang? Uh, uh-uh," kakek semua terlibat urusan berat
terbungkuk-bungkuk dalam batuknya.
" Mardikun sudah mati. Mau apa kita sekarang ini?" Rebana dan giring-giringnya berbunyi pel lahan sayup­
"Baik, uh-uh, balik uh-uh-uh. B alik kau kota ! " Kakek sayup.
menunj uk Gadis Pantai dengan tongkatnya.
"Dia cuma mau bertemu orang tu anya. S udah dua tahun cring-cring duk-duk-duk - cring-cring duk-duk-duk
tidak bertemu."
"Buang itu perhiasan ke laut ! " ombak segan membanting diri
"Bukan aku punya,"Gadis Pantai meyakinkan kakek. menyulam pantai riak pun ragu
"Kau tak punya apa-apa memang. Semua kepunyaan B en- nelayan sekampung pada jeri
doro. Kembalikan saja semua pada Bendoro." dikutuk dewa karamlah perahu
"Jangan kasari dia," seseorang menyela. "Dia orang kita
sendiri datang kemari buat tengok orang tua dan kampungnya. cring-cring duk-duk duk - cring-cring duk-duk duk
Dan kau sendiri girang dapat sarung bugis dari dia." cring-cring duk-duk duk - cring-cring duk-duk duk
Kakek terdiam.
"Mengapa kau terima sarung itu?" Keesokan harinya, kembali orang lelaki pada berkumpul­
"Bagaimana takkan kuterima," kakek mendayu-dayu. "Apa kumpul meneruskan persoalan. Umumnya pada nlenyodl dalam
kah layak aku kedinginan terus sampai matiku? Apa itu tcrlalu nada peringatan.
banyak?"
"Setiap orang mau dapatkan sarung bigis, bukan kau saj a, "Siapapun tak boleh bicara tentang Mardikun."
kek." "Marsose tak boleh tahu ."
"Juga polisi kota tak boleh tahu."
"Bendoro juga tidak."
"Apalagi Mardinah, sudah jelas ada apa-a panya. Mardinah

1 66 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 67

j uga berasal dari Demale Mardikun berasal Demak. Namanya nah bekerj a selain mendongeng. Orangnya malas, padahal
pun sarna-sarna mulai pakai Mardi." badannya sehat dan kekar. Di kampung nelayan tak ada kamus­
nya orang malas. Kemalasan adalah barang paling aneh di kam­
Suasana pembicaraan tak lagi sepanas kemarin. Juga kakek pungo Katanya, si Dul pendongeng paling takut turun ke laut,
tak dipanggil datang. Ia pergi berj alan-j alan dengan hati pena­ sampai-sampai bapaknya mem.biarkan ia pergi mengembara
saran sepanjang pantai, di balik-balik semak bakau. meninggalkan kampung. Ia pulang bila matahari pun telah lenyap
dari langit. Tahu-tahu orang mendapatkannya tidur di depan pin­
"Ya, ya panggil dia! Urun rembuk, semua kasih pendapat ! " tu. Bila bapaknya akan turun ke laut, selamanya hati-hati ia
Si Dul dipanggil, muncul membawa rebananya. "Bagaima­ membuka pintu agar tidak mengagetkan anaknya dari tidumya.
na pendapatmu?" seseorang bertanya.
Si Dul pendongeng memukul rebananya dan mulai dengan Kini si Dul pendongeng berumur tiga puluh tahun sudah,
dongengnya: namun tak ada wanita mau jadi istrinya. Sebenarnya si Dul
pendongeng cukup ganteng, tetapi malasnya tidak ketolongan.
riuh rendah hati pada cemburu!
Nenek pun, maulah aku, cring-cring-cring, sering ia pukul
"Rusy, lempar rebana itu kita tak mau dengar dongeng rebananya di malam hari, perlahan-Iahan, lebih buat dongeng
sekarang. Apa pendapat dan saranmu tentang semua ini?" dirinya sendiri. Tapi nenek-nenek pun tiada sudi jadi bini lela­
ki malas.
Seseorang merenggut rebana dari tangannya, dan dengan
hati-hati diletakkan di atas ambin, tepat di tempat Gadis Pantai Dalam riuhnya orang mencari pikiran, tiba-tiba si Dul pen­
semalam tidur. Si Dul pendongeng menganga mulutnya meli­ dongeng membunyikan rebananya:
rik ke rebananya. Sungguh aneh sikapnya.
cring-cring duk-duk-duk - balik-baliklah bendoro putri
"B icaralah, apa pendapatmu?" Tetap diam, muiut masih
menganga, matanya terus melirik ke arah rebana. "Husy," orang membungkamnya. Tapi si Dul pendongeng
tak peduli:
"Mengapa dia?"
"Mengapa kau ini?" seorang bertanya langsung. balik-baliklah bendoro putn
"Ah, dia cuma bikin-bikin diri aneh." Kembali si Dul hanya ke kota tempat harta ditampung
melirik ke arah rebana. Membisu seribu bahasa. Orang pada he­ bawa-bawa emas berlian ke mari
ran melihat si Dul menj adi aneh kalau bercerai dari rebananya. oh oh celakalah seluruh kampung
Tetapi orang tak sempat memberikan perhatian lebih lama.
"Berikan kembali rebananya," seorang memerintah. "Suruh diam pemalas gila itu ! " seseorang berteriak gemas.
Waktu si Dul pendongeng menerima kembali rebananya,
sekaligus nampak waj ahnya berseri-seri. Gadis Pantai adalah Y"B ungkam mulutn a."
satu-satunya yang terus memperhatikan si Dul pendongeng. Ia
mengenal si Dul pendongeng sej ak kecil. Semua orang bilang "Tapi ia dipanggil buat ikut berunding."
dia edan Orang sering mengatainya si Dul gendeng, di samping "Ya, tapi bukan untuk mendongeng."
panggilannya sehari-hari si Dulpendongeng, karena ia tak per- "Mau apa lagi, bisanya cuma mendongeng."

1 68 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 69

"Rebana? Gendang apa tak bisa?" "Kurang aj ar ! Aku tendang kau ! " seseorang mengancam.
"Ah, gendang cuma ditetak di rumah-rumah priyayi " Cring-cring duk-duk-duk, si Dul pendongeng memukul
"Apa dia pernah ke kota?" rebana.
"Orang tak pernah pulang begitu, ke mana Iagi kalau bukan "Otakmu itu, otakmu, cuma penuh duri sembllang, pemalas !
ke kota?" Pura-pura edan begitu. "
"Hai, Dul gendeng, benar kau sering ke kota?" "Sembilang p u n bukan ! "
"Orang tak pernah tanya dari mana dia dapat rebdna." "Belanak ! " seorang memperbaiki.
"s udah, sudah, kita bukan berunding urusan dia." "Otak udang."
"}adi apa sebenarnya mau dirundingkan?" semua tercenung "Udang? Teri busuk ! "
diam Suasana tiba-tiba menj adi riang gembira. Orang tertawa riuh
Tiba-tiba si Dul pendongeng memukul rebananya lagi dan rendah. Pendongeng jadi sasaran.
menarik suara: "Otak begitu apa isinya? Tahu enggak? Ubur-ubur ! "
Ejekan kontan membal kembali pada yang mengejek.
kembali kembalilah ke kota •
emas berlian bawalah serta kalau marsose datang dar-der-dor
di sana kesenangan menanti seisi kampung digedar-gedor
di sini bukan tempat benduro putrz pembual-pembual pada meriut
berani sesumbar cuma ditengah laut
"Mengapa aku harus kembali ke kota? Aku lahir di sini,
ordng tuaku di sini." Tiba-tiba gebrakan keras membungkam setiap orang, terke­
cuali si Dul pendongeng, mengarahkan pandangan pada pintu
kampung nelayan gelap gulita Di sana kakek muncul dengan megahnya, "Begitu ya, tingkah
pakai obor minyak kelapa orang yang sudah kenaI kota?" tongkatnya sehabis memukul
kalau hidup cuma pikirkan harta daun-pintu menuding si Dul pendongeng. "Nggak bisa hargai
sudah pasti datang malapetaka kerj a nelayan di laut ! Pendongeng edan ! Pemalas ! Bukan reba­
na yang kasih kita makan, tahu ! Ikan, ikan di Iaut yang bikin
"Hei, Dul gendeng, tak usahiah kasih-kasih nasehat. Urus seluruh kampung tetap bisa bernafas. Tapi kau mengejek sep­
saj a dirimu sendiri. Cari kerj d sana ! " erti orang kota ! "

"Mana bisa dia? Nangkap selar saj a tak mampu ." Rebana "Dia tak pernah ke kota."
segera gemerincing - kata berj awab gayung bersaInbut: "S iapa bilang? Lihat saja rebananya. Dulu dia pakai kaleng
rombeng . Hei, mana kalengmu sekarang?" kakck tertawa
nangkap selar menyombong-nyombong menghinakan, kemudian menyambung, "itu tanda dia suka
omongnya besar kepalanya kosong mengemis di kota. Kaleng rombeng tak bolch dckati I nasjid dan
seumur-umur rnakannya cuma ikan
pantas otak buntu perut cacingan surau, ngerti. Tapi rebana di kota boleh masuk I l lcs j iu - mdsuk

1 70 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 171

sampai ke dekat khotib di samping mimbar. Ngemisnya lebih emaknya mencabut hidup-hidup kaki-kaki kepiting. Jadinya dia
gampang pakai rebana ! Jej aka malas tak tahu diuntung ! " kayak orang tak berkaki tak bertangan, tak berdaya. Enggak
bisa kerj a apa-apa."
memang gede-gedenya beduk
obraL amanat muluk-muluk "Bagaimana dia kalau mati? Masuk neraka dtau surga?"
di depan khalayak beralim-alim "Siapa tahu? Berdo' a dia tak pernah, bisanya cuma mendo­
di belakang-belakang paling lalim ngeng . "
"Kita sebenarnya sedang berunding apa sih?"
"Jadi pintar nyindir begitu dia." S ekali lagi orang tercenung membisu. "Enggak ada yang
"Jual saj a ceritamu ke kota sana Tanpa dongengmu ordng­ dirundingkan sebenarnya. Kemarin kita minta pendapat kakek,
pun bisa bernafas di sini." Tapi berbisik-bisik orang saling ber­ tapi seperti orang kesetanan kakek ' nggebah sini, ' n ggebah
tanya, siapa gerangan beduk gede? "Hei, Dul gendeng, siapa sana. Naik pitamlah semua orang j adinya. "
yang lalim pura-pura alim?" "Lantas apa lagi mesti diributkan sekarang?"
Cring-cring duk-duk duk, k�mudian tiba-tiba iranla rebana­ "Ah, dengar ! Sst dengar . . . . indah sekali did nleny�lllyi ."
nya berubah, merangsang, melawan, nlembangkang, menl­ "Memang si gendeng itu berbakat, tapi sayang, mal asnya
protes, cring-cring dung-dung cring dung-dung cring . minta ampun."
"Sst, dengar."
"Ceritanya dia sedang marah." Orang-orang terdiam dan sepdntun suara lembut, lundk,
"Kau marah, ya?" menghiba-hiba sayup-sayup terdengar di l uar rumdh, indah.

dung-cring dung-cring dung-cring . . . ombak mengombak riak meriak
perahu nelayan menembus kelam
"Ah, layani orang edan, ikut edan ." orang kampung tak kenai tamak
peras keringat sepanjang malam
"Usir saja, dia ! "
seia-sekata ikan cakalang
Seseorang mengusir s i D u l pendongeng dengan satu ten ­ satu hilir semua hilir
hidupi keluarga banting tulang
dangan mantap. S i Dul pendongeng tertelungkup, rebananya kerja keras rezeki mengalir

mengguling menggelinding menuju pintu. Seperti orang sete­ angin keras menghempas burztan
udang-udang dijemur bertebaran
ngah lumpuh si pendongeng melirik dan merangkak laju menu­ lelakl semalu perempuan seresan
sepakat sekampung tahan cobaan
ju rebananya.

"Kok gendengnya menj adi-jadi dia sekarang?"

"Dasar pemalas ! Lebih suka dikatai gendeng, asal tak be-

kerj a." •

"B andeng kena tuba pun tidak begitu menjij ikkan."

p"Tahu kalian mengapa dia j adi begitu?"

"S ia a tidak tahu? Waktu emaknya membu ntingkan dia,

1 72 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 73

"Ha, sedang waras dia, ceritanya sudah nggak ngawur Dia lum lagi habis orang mengenangkan kembali segala kejadian
barangkali mau ikut bicara."
sesiang tadi, kampung nelayan tiba-tiba jadi hidup lagi. Mardi­
"Sekali ngawur, tetap ngawur!"
"Biar dia ikut bicara. Suruh masuk lagi dia." nah, Mardinah datang. Kali ini dengan beberapa orang pengi­
S eseorang menjenguk keluar dan menyilakan masuk, tapi
yang dipanggil tak mau datang, cuma mengeraskan bunyi re­ ring - semua pria. Langsung ia masuk ke dalam rumah Gadis
bana dan mengeraskan suaranya sendiri .
Pantai. Dan l angsung menyampaikan, "Bendoro perintahkan
dasar peruntungan nelayan Mas Nganten pulang malam ini juga."
harta benda tak mampu cari
jangankan peroleh emas-berlian "Mana tandanya?"
gembira sudah dapat sesuap nasi
Dari dalam kutangnya Mardinah mengeluarkan sepucuk
biar bendoro putri ambil .sendiri
putusan terbaik buat diri pribadi surat bersampul. Ragu-ragu sambil menatap Mardinah Gadis
dua tahun sudah bermukim di kota
serasa tujuh turunan di kampung kita Pantai menerimanya. Waktu itu emak, saudara-saudara dan

Orang-orang pada mencuri pandang pada Gadis Pantai. "Ya, bapak masih tinggal di rumah. Mereka semua berdiri tanpa
aku akan putuskan sendiri ! "
menyilakan duduk tamu-tamu tak diundang itu.
Cring-cring, duk-duk-duk cring-cring, duk-duk-duk, suara
rebana makin lama makin terdengar sayup dan j auh, akhirnya "Mas Nganten tak bisa baca. Mari sahaya bacakan."
padam sarna sekali.
"S iapa di kampung ini yang bisa baca, bapak?"
"B arangkali dia berangkat ke kota."
"Ke kota? Tangkap dia, Ikat ! Kita semua celaka nanti ." "Siapa? Tak ada."
"Dia mau ngadu pada masose? Barangkali ke polisi ?"
"Tangkap dia, ayoh lari, buru . " Sebelum Mardinah mendapatkan kembali surat itu , orang­
"Bendoro, apakah mungkin Bendoro . . . . "
"Diam ! Aku anak kampung sini ." orang kampung nelayan ramai-ramai telah berkerumun di
"Maaf, Bendoro Putri."
"Jangan apa-apakan si Dul itu." depan pintu rumah.
"Tidak, pasti tidak Bendoro, dia dicancang cuma. B i ar tak
lari melapor ke kota." "Barangkali, sahaya bisa," seseorang berkata. "Tapi sudah
Hari itu perj alanan sangat cepat, malam pun cepat tiba. Be-
l ama sekali tidak membaca sahaya ini."

"Biar sahaya bacakan," dan Mardinah mengambil kembdli

surat itu , menyobek sampul dan membacakan, "Mas Ngdnten

pulanglah." Mardinah terdiam. Ia tak teruskan bacaannya.

"Cuma itu?"

"Cuma itu ."

"Tulisan itu panj ang."

"Tapi bunyinya dikit."

"Mari sahaya bacakan," orang ydng mengusulkan diri tadi'

berkata lagi.

"Tak perIu," gertak Mardinah.

"Baikl ah tak perIu. Kalau Bendoro Pu tri l11csti pul ang

malam ini j uga, kita antarkan beramai -rdmai."

"Ha? Bendoro tak sediakan dokar buat orang 'ichil nyak itu.

Cuma dua."

1 74 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 75

"Semua mesti j alan kaki kalau begitu." pendayung, golok, kampak. Ydng tak dapat ma�uk tinggal di
"Jalan kaki?" luar mengepung.
"Ya, atau semua mesti naik dokar,"
"Ya, j angan lupa kudanya." Orang terdiam. "Anakku pergi kalau benar ada bukti. Berikan surat itu ! "
"Mestikah aku berangkat, bapak?" "Ya, berikan"
"Kalau tergantung pada emakmu ini, kau mesti pergi nak." Pria-pria pengiring itu pun mengundurkan diri ketakutan
Empat pengiring itu tak j uga buka mulut. Salah seorang di melihat orang banyak masuk. Dan Mardinah terpdksa menye­
antaranya mendaham. Dan orang-orang pun segera memandang rahkan surat itu pada bapak.
padanya. Baru waktu itulah orang melihat nyala aneh pada mata "Siapa tadi bilang bisa baca?"
mereka. Dan orang-orang kampung pun semakin curiga. "Aku . Tapi dua puluh tahun aku tak pernah baca. Mari ku­
"Sini suratnya," B apak meminta. baca. " Orang itu pun mendekati pelita. I a pandang-pdndang
"Apa gunanya? B apak tak bisa baca." surat itu, mencoba membacanya.
"Surat ini buat anakku, bul\an buat Bendoro." "Ayoh. Apa katanya?"
"Ya, berikan surat itu." "Lama benar."
Melihat Mardinah dalam keadaan terancam, keempat orang "Aku bilang, dna puluh tahun aku tak men1baca. "
pengiringnya pun maju melindunginya. "Surat ini tak kuserah­ "Kami sudah dengar, tapi apa katanya?"
kan," katanya sambil hendak menyelinapkannya kembali di "Tapi ini bukan tulisan Jawa."
balik kutangnya. "Lantas tulisan apa?"
"Kalau begitu anakku tak perlu berangkat. Pulang saj a ke "Tulisan iblis kali."
kota kalian." B apak berkata tegas memutuskan. Mardinah mendengus menghinakan. "Tadi sudah kubaca-
"Tidak bisa," Mardinah membantah. "Mas Nganten harus kan, tapi kalian tak perc aya."
pulang malam inj_ ." "Hi tung ada berapa baris surat itu," bapak meminta.
"Tidak ada bukti." "S atu, dua, tiga, . . . . dua puluh."
"Surat ini buktinya." "Yang dibaca cuma sebaris tadi. Mengapa baris-baris lain
"Kalau Bendoro perintahkan pulang, itu berarti pulang," tidak?"
salah seorang pengiring Mardinah menengahi. "Apa gunanya? Itu cuma alamat tempat tinggal Bendoro ,
"Pergi kalian, aku bisa antarkan sendiri. Malam ini j uga." dan alamat Mas Nganten di sini."
"Tak ada tempat di dokar buat kau ! " salah seorang pengi- "Bagaimana bunyi alamatku di sini?"
ring mengancam. Belum pernah sel�ma ini kedua wanita itu berpandangan
"Tak ada tempat buat kalian di rumah ini. Pergi ! " sedemikian taj am. Para pengiring mengawasi bapak - j uga
"Jangan, j angan pergi," emak menengahi percekcokan dengan mata taj am. Mardinah tak minta surat itu kembali, juga
Tiba-tiba kentongan bambu dipukul bertalu-talu, dan semua tak membacanya.
lelaki kampung nelayan menyerbu ke dalam membawa tongkat, "Aku perintahkan kau baca yang lengkap ! " Gadis Pantai
menuding Mardinah.

1 76 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 77

"Tidak perIu, ayoh pergi saja kal ian dari sini ! " Mardinah "Ke mana kita mesti sembunyi."
mengusir orang-orang kampung yang berkeru mun. "Ikut sarna yang lain-lain."
"Ikut ke mana?"
"Ada apa ini? Ah-ah orang kota lagi ! " Kakek masuk dengan "Pertahankan kampung."
tergopoh-gopoh. Tongkatnya kayu bakau yang setengah mem­ "Tidak. Lebih baik buru-bu�u pulang ke kota "
batu menuding orang-orang kota. "Asal ada orang kota datang, "Jalan-j alan tidak mungkin aman sekarang."
selalu mesti ribut." "Biarlah aku bebenah," Gadis Pantai memutuskan.
"Mereka akan segera datang," bapak memperingatkan.
"B aik, kita balik saj a," Mardindh mengisyaratkan para "Tiup itu pelita."
pengiringnya. "Kami akan datang lagi bawa polisi . " "Jangan dulu."
Tiba-tiba dari luar terdengdr. "Dud mata-mata baJ ak ter­
"Polisi ?" tangkap."
"Ya, polisi, polisi. Biar kalian didrel habis." "Bawa sini ! " bapak berteriak.
"Ya, ya, benar polisi," salah seorang pengiring n1enguatkan. Dua orang laki-Iaki itu di dorong ke dalam. Mukanya babak
Waktu sedang tegang-tegangnya su asana, ndmpak sekali belur kena pukulan. Terhuyung-huyung mereka didekatkan
bapak sedang keras berpikir. Ken1udian ia membis ikkan se­ pada pelita.
suatu pada seseorang. Lama betul bapak berbisik. Sesudah itu "Masya' allah. Itu kusir kami," Mardinah memekik.
orang itu pun lari keluar rumah, tak kembali lagi. Ah, sebodoh­ "Benar, kusir kami."
bodoh orang kampung, dalam kepepet dkal mereka selalu j alan. "Kusir?"
"Jangan, jangan datangkan polisi ke mari o Silakan duduk "Tidak ! Dua orang biangkeladi ini mata-mata baj ak."
kita berunding lebih baik lagi. Jangan marah," kata bapak me­ "Tidak ! " Salah seorang kusir membela diri . "Kami berdua
nyabarkan. cuma kusir. Segerombolan bajak sudah serang dokar ddn kuda
"Sekarang juga Mas Nganten mesti pulang," kembali Mar­ kamL Waktu dilihatnya dokar kosong merekd bunuh kuda
dinah mendesak garang. kami . Dan kami lari ke mari."
"Ya, sekarang j uga anakku akan ken1bali ke kota. Tapi tung­ "Jadi bagaimana kuda itu?"
gu sebentar anakku belum siap." Suasana tegang menj adi surut "Mati . Dua-duanya kita temukan dekat semak-semak,
sedikit. Dan para pengiring pun nampak mendapatkan kepri­ dikampak kepala dan kakinya," kata seorang kampung.
badiannya kembali. "Kalian tak di buru ?"
Mendadak seluruh kentongan bambu di seluruh kampung "Mereka mengej ar, mereka terus memburu ke mari."
berbuny i bartalu-talu. Orang-orang terdiam mendengarkan. "Tiup pelita itu ! "
Terdengar seseorang berseru. "Baj ak laut! Mereka sudah men­ Gelap gempita. "Keluar semua!" Scmlla lari keluar. D i kc­
darat mau menyerang. Lari ! Orang-orang pun bersiaga, melom­ j auhan terdengar seorang bayi menangis.
pat ke luar rumah membawa senjata masing-masing. "Mereka sudah dekat ! " seseorang bcrhi s i k . Dan lllalam p u n
"Mereka datang." semakin gulitao
Mardinah mcnj adi pucat. Para pengiringnya menj adi
bingung.

1 78 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 79

"Ayoh kita semua lari ke tengah laut." "Jadi bagaimana?"
"Ya, begitulah, semua menurut rencana."
"Ayoh, ayoh." "Benar dua kuda itu dibunuh?"
"Tidak. Cuma dipindahkan ke tempat lain."
"Bendoro Putri siapa ganti kuda kami?" Kusir bertanya. "Tapi kusir-kusir itu . . . ."
"Cuma ruji gerobaknya kami gergaji tandas. "
"Diam !" "Kusir-kusir itu . . . . katanya kuda-kuda dibunuh."
"Ah, memang kuda-kuda itu terpaksa dipukuli agak keras . "
"Uh." "Di mana kuda-kuda itu sekarang?"
"Di bawa ke hutan, ditinggalkan di sana."
"Sudah bagus kalian sendiri nggak digorok." "Anakku sudah mendarat?"
"Sudah, tapi ditahan dulu."
Seluruh kampung lari meninggalkan rumah. Ke tepi laut dan "B agaimana pengiring-pengiring itu ?"
"Mereka semua bersenj ata taj am, dalam kegelapan kami
mendekati muara kali kecil tempat pencalang-pencalang nela­ pukuli mereka dengan dayung."
"Apa kata mereka?"
yan ditambat. "Anak bapak akan dibunuh di tengah jalan . "
"Apa alasannya?"
"Selamatkan Bendoro Putri. Bawa ke laut ! " "Mereka tidak tahu. Mereka hanya tahu melaksanakan pe-
rintah dari Demak."
"Ya, dua-dua Bendoro Putri." "Sarna dengan Mardikun, j adi?"
"S arna."
"S atu perahu saj a. Pengiring-pengiring di dua perahu lain- "Nggak bisa berenang, tentu."
"Tentu saja tidak."
nya." • "Kau lempar ke laut?"
"Dua-duanya."
"Benar. Jangan sampai kita kena. Salah nanti." . "Yang di perahu lainnya?"
"Tapi, apa baj aknya tak ada yang j aga di tengah laut?" "Mungkin sarna saj a nasibnya."
"Mardinah? B agaimana Mardinah."
"Laut lebih lebar dari darat." "Dia cari-cari abangnya."
"Orang-orang itu yang bHang?"
"Naik. Silakan. Cepat-cepat. " Dalam kegelapan itu terde­ "Ya."
"Siapa orangnya di Demak yang kasih perintah nlereka."
ngar bunyi kecibakan kaki-kaki yang turu n ke air. "Jangan

takut-takut orang kota. Di sini tak ada buaya."

"Benar. Di sini tak ada buaya. Buaya lebih suka di muara

kota."

"Kok kalian tak takut kelihatannya?" tanya salah seorang

pengiring Mardinah.

"B iasa. Kita semua sudah biasa. Enam bulan sekali bajak

turun ke marL"

"Dari mana?"

"Dari mana? B arangkali dari kota."

"Husy . Jangan ngobrol. Cepat ! " Dalam kegelapan itu pun

tiga buah perahu meluncur ke laut lepas.

***

Waktu matahari sudah menj alankan dinasnya, orang-orang pria
telah kumpul kembali di rumah bapak.

1 80 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTA! 181

"Mereka tak tahu." ke mana pun si kecil pergi
"Jadi mereka cuma tahu Mdrdinah?" ke sana pun penipu menanti
"Barangkali ." orang kampung sifatnya lugu
"Rupa-rupanya cuma Mardinah yang tahu segalanya." sasaran empuk para penipu
"Kita paksa dia. Kita tahan dia di sini."
"Bukan main perempuan itu, seperti lelaki . " tetapi tetapi - dung-dung-cring dung-dung-cring
"Mengapa dia sampai begitu? Siapa yang atur semua itu?"
"Nanti kita periksa." Suara rebana tiba-tiba berubah. "Tetapi mengapa ! ?" seren-
"Celakanya tak ada yang bisa baca." tak orang memotong.
" S i al an . "
"Ah, barang kaIi si Dul pendongeng pernah belaj ar baca. tetapi tetapi - dung-dung-cring
Kita sudah lupakan dia." siapa sangka siapa nyana - dung-dung-cnng
"Selama ini masih dicancang dia?"
"Masih di bedeng sero." "Mengapa, oi gendeng?" teriak seorang tak sabar.
"Dia tak bertemu kusir-kusir itu ?"
"Tidak mungkin." sejak petang layar terkembang
"Lepaskan dia. Coba ambil dia ke mari ." ikan terperangkap dalam langgai
Dan waktu si Dul pendongeng muncul membawa rebana, aih aih orang kampung sekarang
semua mata tertuj u padanya. Dipukulnya tepi rebananya lam­ menipu pun sudah pandai . . . .
bat-Iambat. Ia sedang memperhatikan apa yang bakal mungkin
terj adi. "Setan ! Siapa yang kita tipu?" seorang membentak dengan
"Kau bisa baca?" bapak berteriak. marah. "Kau j angan mengada-ada, gendeng." Tapi si Dul pen­
Si Dul pendongeng terkejut dan dengan sendirinya membuat dongeng meneruskan tanpa peduli:
pukulan kencang pada rebananya, sedang seperti tersentak dari
mulutnya meluncur kata-katanya: bajak mana mau singgah di kan'IPung
"Tidak ! Tidak! Ai-ai Tidak ! " - dung-dung-dung-cring ! cuma udang kering berkarung-karung
"Jelas nggak bisa baca j uga." bajak mana mau datang menggempur
Cancang lagi dia. cuma perawan dekil di dapur-dapur
Pukulan rebana itu tiba-tiba keras memprotes . Dan orang­
orang pun memberikan kesempatan padanya berbicara. Puku­ harta tidak - benda tidak
Ian rebananya kini kembali j adi tenang, dan dengan suara man­ ubur-ubur pun segan mendekat
tap dia bawakan pantunnya:
Kali ini si Dul pendongeng tak sempat 111c ny ' I 'sa ikan nya­
nyiannya. Dia didorong keluar rumah, "cnyah J.. .. 1 I I" S C l l l l l a
marah, tak tahu harus diapakan si pcnoongl'u ' y , m g I C rLa :-.

1 82 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 83

mengoceh tak keruan. Sekarang tinggal rebananya masih ter­ "Husy, husy, j angan menyesali. Beginilah kita sekarang.
dengar lambat-Iambat gelisah, sayup-sayup karena orangnya Kita mesti dapatkan akal, lain tidak. Bagaimana pengiring yang
sudah menjauh. dua lagi itu ?"

"Tak pemah dia seaneh ini," seorang memecah kesenyapan. "Tin ! Coba cari keterangan kau." Seseorang segera pergi
"Benar kata kakek. Kota merusak semua-mua. Betul-betul meninggalkan rumah.
sudah gendeng dia."
"Selusin iblis sudah bersarang di otaknya." Mereka menunggu, menunggu, menunggu . Tapi yang di­
"Dua lusin." tunggu tiada muncul.
"Ah, tidak," bapak menyela, "dia cuma kelihatannya saj a
gendeng, tapi matanya jeli, otaknya j alan." Di hari-hari akhir ini mereka hidup seakan begitu lamd. Tak
"Wah, bahaya kalau begitu. Lantas kita apakan dia?" ada ikan tertangkap. Lebih duapuluh jam perut tak dilalui ma­
"Mulutnya tak boleh mencelakakan kita semua. Cancang kanan. Orang-orang hampir tak sempat terlelap. Sedang saraf
lagi dia. Ambil rebananya ! Simpan di rumah siapa saj a, 'asal tak terus j uga dalam keadaan tegang. Minyak tanah pun telah habis.
dirusakkan anak-anak," perintah bapak. Kini orang mempergunakan minyak kelapa, dan nyalanya yang
Seorang segera meniggalkan rumah, bertugas sekali lagi tak berpribadi membuat suasana semakin teras muram.
mencancang kedua kaki si Dul gendeng, kalau perlu tangannya
sekalian. Tak lama setelah dapat kabar kedua penglring lainnya juga
Pukulan-pukulan rebana sekarang lenyap sarna sekali. Tapi tewas dan kedapatan bersenj ata tajam j uga, muncul Gadis Pan­
suasana dalam rumah masih terasa mencekik. Udara kian lama tai dan Mardinah diiringkan beberapa orang. Kedua wanita
kian merangsang dengan panasnya, seakan angin enggan nampak layu kehabisan darah.
menyentuh tubuh manusia.
"Tiada selembar rumbia bergerak di atas rumah. Kesaksian "Bendoro Putri takkan mungkin pUlang." Bapak memulai.
hidup cuma panas udara dan sesaknya dada. "B aj ak telah hancurkan dokar. Kedua-dua dokar. Tak ada
"Apa kita lakukan sekarang?" seseorang berkata. dengar apa-apa waktu di laut."
"Mengapa kepala kampung tak juga bicara?" Mardinah cuma setengah mendengarkan. Menj awab,
"Mesti bicara apa lagi diaT' "Tidak."
"Setidak-tidaknya keselamatan dirinya j uga terancam " "Benar tidak?"
"B ukan dia sendiri, kita semua." "Tidak."
"Cuma kakek saj a yang tenang-tenang." "Ingat-ingatlah lagi."
"Bagi dia cuma tinggal cari tempat buat mati." "Beberapa mayat nelayan kami ditemukan di pantai pagi inL
"Iblis tua itu, dia cuma pikirkan dirinya sendiri ." Juga keempat pengiring Bendoro Putri."
"Itu tidak benar. Dia pikirkan keselamatan kita semua." Wajah Mardinah �erubah. Matanya menyala serta tangan­
"Mengapa sampai terjadi begini sekarang?" nya dan bibirnya menggigil.
"Pada mereka terdapat luka-luka senjata tajam. Past i mere­
ka terkena kepung bajak di tengah laut "
"Benar Bendoro Putri tak dengar apa-ap,l w a k t u ti l 1 . l lI t?"
"Aku ada dengar teriakan," Gadis Pantai herh l s l ).. J a l llat- i ,l-

1 84 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAl 1 85

mat sayup-sayup. Gelap gulita waktu itu. Perahu-perahu kami Kami tak bisa panggilkan dokar lain kami cuma mau menolong
kalau kami pun ditolong. Kami orang-orang miskin saja, se­
berpisahan. Kami tak berlampu." tahun sekali saj a makan nasi. Biasanya kami makan j agung.
• Kami tak mampu sediakan apa-apa pada Bendoro Putri. Cuma
"Beruntunglah Bendoro tak ikut terpelosok dalam kepungan sekali ini saja kami sediakan makan. Mulai besok Bendoro Putri
b aj ak. Mereka tak kenai kasihan . Tak kenai ampuri . S eperti silakan cari makan sendiri, mu�gkin ikut mcnangkap ikan di
laut, mungkin menjahit j ala. Sahaya tak tahu apa Bendoro Pu­
orang-orang yang dendam pada kelahirannya sendiri . Syukur tri bisa kerj akan."

Bendoro Putri, syukur Bendoro masih selamat. Bukankah be­ "Aku ? Aku mesti kerja? Kau tidak tahu siapa aku ?"
"Tahu benar Bendoro Putri, karena itu sahaya bcritakdn se­
gitu kanca-kanca?" belumnya. Kami tak mampu sediakan makan lagi mulai besok,
j uga tak mampu sediakan ambin lagi. Juga tak mampu sedia­
"Ya, memang begitu. Syukurlah Bendoro Putri selamat. Kita kan atap naungan lagi. Bendoro Putri bisa tidur di bawah-bawah
pohon kalau suka."
semua sudah begitu kuatir." "Mengapa dulu bisa sekarang tidak?"
"Karena masih tamu kami, mulai besok tidak lagi."
"Tapi sekarang Bendoro Putri tak mungkin bis a balik ke "Ah-ah aku tak biasa. Aku tak bisa kerja."
"Ya, Bendoro Putri lebih baik pulang saj a kalau begitu."
kota. " Kemudian emak pun masuk ke dal anl ru mah, j u ga "Kan tidak ada dokar . . ."
"Jalan kaki."
abang-abang dan saudara-saudara Gadis Pantai . "Takut. "
"Kalau begitu harus tinggal d i kampung sini. "
"Bagaimana makan, emak? Tak ada?" "Suruh orang antarkan aku, aku akan bayar dia."
"Tidak ada yang bisa. Bendoro terpaksa pulang sendiri. "
"Ah, datang pun baru, kami ini." "Ah-ah, aku takut dan aku tak bisa kerj a, aku bayar semua,
makanku, tempat tidurku, mandi, minum."
"Masaklah." "Berapa uang Bendoro Putri?"
"Tidak banyak, barangkali mencukupi bUdt hcberapd hari
"Beras dari kota masih ada kan, mak?" sampai ada dokar." .
"Dokar takkan datang ke nlari. Dia d a t a n g kalau kami
"Beras masih ada, baj aknya yang sudah tak dda. Mdri masak panggil."
"Panggillah."
perempuan-perempuan? ! "
"Tak mungkin. Berhari-hari sudah ka m i l ,l� 1 11cnangkap
Dengan tubuh l ayu, w anita-wanita pun lnulai menlasak.
ikan. Kami terlalu lelah. Terlalu banYdk rih u ( dk l l l r-ak h i r i n i "
Mardinah rubuhkan diri di atas balt�, dan sebentar kemudian tak

bergerak-gerak lagi terkecuali alat-alat pernafasannya. Gadis

Pantai menyusul merebahkan diri di ambin. Pun sebentar ke­

mudian terlelap. Orang-orang laki walaupun capek masih keli­

hatan berembuk. Bersama mereka mencari akal tentang apa

yang harus dilakukan selanj utnya.

Seorang demi seorang meninggalkan rumah setelah IdIDa bi­

cara berbisik-bisik. Akhirnya bapak pun pergi . . . .

Ketika makan tersedia dan dua wanita yang tertidur diba­

ngunkan, makan sore menyusul, lambat tanpa senlangat. Dan

waktu Mardinah hendak merebahkan diri kembali ke dmbin '
.

seperti telah diperhitungkan sebelumnya bapak pun masuk ke

dalam dan langsung membuka percakapan :

"Bendoro Putri, Bendoro terpdksa tinggal di kampung sini.

1 86 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 187

"Ah-ah, biarlah kupikirkan besok. " "Aku bisa bayar berapa saj a diminta."
"Maaf Bendoro Putri, pagi besok Bendoro sudah harus cari "Kalau begitu bayar saj a dengan sawah, rumah dan dokar­
tempat lain dan cari makan sendiri. Bendoro sebaiknya tentu­ dokar itu . B uat biaya Bendoro Putri di sini. Setuj u? Kepal a
kan sekarang. ' kampung besok bisa pergi ke kota. Berikan uang yang lima
"Janganlah begitu keras padaku," Mardinah memohon rupiah itu kepadanya. Dia akan. melihat sawah dan rumah dan
"Seribu maaf, sahaya tak bisa lain." juga delman-delman itu. Mengurusnya Pdda bendoro-bendoro
"Aku akan bayar semua." priyayi sampai semua diserahkan pada kami, sesudah itu Ben­
"Mau bayar?" doro Putri kami antarkan pulang ke kota setuju?"
"Ya! Minta berapa bayarannya?" "Tidak mungkin. Mana bisa sawah-�awah diserahkan."
B apak agak mengangkat muka, berdiri, berj alan menj auh "Beribu maaf, Bendoro Putri, itu kalau Bendoro Putri suka.
menghampiri pintu, mendaham, kemudidn dengan ragu-ragu Kalau tak suka, lebih baik sekarang saj a Bendoro Putri cari
mendekati Mardinah yang kehilangan kantuknya. "Ongkosnya tempat menginap lain. Tak usah tunggu besok."
tinggi sekali." Mardinah menekur.
"Seringgit?" "Dengar! "
B apak tertawa. Mardinah mengangkat kepala kembali dan mendengarkan.
"Kurang banyak? Tiga rupiah." S ayup-sayup terdengar salak anj ing.
B apak tertawa. "Silakan pergi Bendoro Putri ! Ayoh silakan, silakan pergi !
"Lima? Enam? Sepuluh?" Di semak-semak bakau sana ada tempat." Sementara itu di luar
"Dari mana Bendoro punya uang sebanyak itu ?" sana suara-suara anjing masih terus melolong panjang.
Gadis Pantai bangun dari ambin dan menyumbangkan suara, Mardinah mencekam kedua belah tangan pada dadany a.
"Di kota dia kerj a melayani aku, bapak." Waj ahnya pucat dan bibirnya j adi biru . Dalam kegelapan
"Cuma pelayan? Tapi dari mana uang sebanyak itu Bendoro malam berlampu pelita nampak seakan rambut kepalanya mem­
Putri?" bumbung lebih tinggi.
"Mardinah menarik-narik tepi kainnya sambi! men unduk "S ilakan Bendoro Putri, kalau tak suka pergi, terpaksa sa­
sedikit, kemudian dengan mata menyala menatap Gadis Pan­ haya seret keluar."
tai. "Tahu Mas Nganten tentang orangtuaku?" "Ampun, bapak. Ampu n."
"B apakmu j urutulis ." "Tidak ada ampun. B erapa uang Bendoro Putri bawa
"Apa j urutulis tak mungkin kaya?" sekarang? Jawab lekas."
"Apa yang dimiliki orang tua Bendoro Putri?" Mardinah meriut ketakutan. Orang-orang yang kini masuk
"Sawah puluhan bahu." ke dalam membawa berbagai macam alat, membikin suasana
"Apa lagi?" semakin menyeramkan.
"Rumah , puluhan dokar-dokar sewaan " "Orang-orang ini datang buat carikan tempat buat Bendoro
"Tapi Bendoro Putri tak bisa keluar dari kampung sini " Putri di semak-semak bakau."

1 88 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 89

"Ampun, j angan aku harus tidur di sana." "Tidak ! Tidak ! Tidak! "
"Berapa uangnya? Sekarang ada?" "Kanea-kanea ! B awa pengiringnya yang masih hidup. Itu
"Lima puluh rupiah." yang bahunya belah kena tombak bajak. S uruh dia ngaku di
"Dari mana uang sebanyak itu ? Serahkan ! " sini. Biar tatap muka. Sedia Bendoro Putri?"
"Orang tuaku kaya." Mardinah terdiam.
"Bohong ! " beberapa orang sekaligus bersuara. "Pengiring itu bHang, kalau Bendoro Putri tak mau ngaku,
Orang-orang yang baru masuk kini nampak menganeam parang yang dibawanya dari Demak bakal ditebangkan pada
sambi! menghampiri. Mardinah menutup matanya dengan ke­ leher Bendoro Putri sendiri."
dua belah tangan dan menangis. "Hei, para kanea, ikat kaki tangannya. Kita sendiri saj a yang
"Tidak ada gunanya, nanti di semak-semak bakau Bendoro tebang lehernya. Nggak ada yang tahu dia ada di sini. Bendoro
Putri bisa menangis sepuas-puasnya." di kota pun tak tahu."
"Ampun ! " jeritan ngilu. Mardinah membalikan badan merangkul dataran ambin de­
"Dari mana uang ituT' ngan kedua belah tangannya, melekat erat pada gal ar-galar
"Ampuuuun ! " ambin.
"Angkat saj a, bawa saj a Bendoro ke semak bakau tepi laut." "Tidak ada gunanya Bendoro Putri !"
Orang-orang semakin mendekat. "Ah, bukan Bendoro dia !"
"Ampun. Uang itu, uang itu dari . . . . ." "Tidak ada gunanya, Bendoro Putri. Gampang saj a tangan
"Mengapa tak lekas-lekas diseret? Dibuang ! " itu ditebang, lepas sendiri Bendoro dari ambin."
"Hayoh, kanea-kanea." Mardinah menjerit minta-minta tolong.
"Ampuuuun ! " Mardinah berpegangan erat-erat pada galar "Tak ada guna menjerit. Tak ada orang kota di sini, takkan
ambin. ada yang dengar. Takkan ada yang nolong."
"Tak usah minta ampun ! Katakan saj a dari mana uang seba- Gadis Pantai terisak-isak. Mardinah melolong-Iolong.
nyak itu ?" "Ngaku eepat !"
"Aku akan katakan." "Bendoroku j anj ikan aku, aku . . . j adi . . . ."
"Katakan, eepat ! " Orang-orang terdiam mendengarkan. Mardinah masih me-
"Dari Bendoro Demak." lekatkan tubuh pada ambin.
"Bendoro apa? Patih? Mantri Kanjeng B upati?" "Cepat ! Kalau tidak aku leeut dengan buntut pari."
"Bendoro . . . . Bendoro . . . . Tidak, aku tidak akan katakan." "Istri . . . . Istri, Istri,, istri kelima, kalau . . . ."
"Bendoromu yang suruh kau ke mari?" "Kalau apa?"
"Tidak." "Kalau, kalau, kalau aku dapat, dapat usahakan . . . ."
"Siapa suruh kau?" "Cepat ! "
"S iapa? Siapa? Aku sendiri !" ". . . . putrinya, dapat . . . . dapat . . . . j adi istri Bendoro, Bendoro
"Mengapa Gadis Pantai mau kau bunuh?" suami Mas . . . . Mas Nganten."

1 90 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 191

"Tengik ! " "Baik, lebih dari baik."
"Berapa kau dapat duit dari Bendoro buat usir anakku ?" "Hebat ! "
"Seratus rupiah." "Asyik ! "
"Mana sekarang?" "Jawablah, Bendoro . Bendoro Putri bukankah masih pe-
"Tinggal tiga puluh lima." rawan?"
"Berapa kau bagi pengiringmu?" "Janda," Gadis Pantai membetulkan.
"Baru seringgit-seringgit" "Ya, ya, biar sekali ini si Dul punya kerj a. Kelj a j adi lelaki."
"Kalau berhasil pekerj aannya, ditambah berapa?" "B enar, biar dia belaj ar j adi lelaki ! " tertawa riuh.
"Ampun ! Ampun !" "Cepat ! "
"Kita apakan perempuan eulas begini?" "Para kanea , Bendoro Putri diam saj a, tak menolak - j adi
"Aku ada usul, aku ada usul." setuj u." Orang-orang mengawasi Mardi nah, yang kini duduk
"B agaimana? Ayoh eepat apa usulnya?" diam-diam di uj ung ambin.
"Berikan dia pada si Dul gendeng biar kesampaian maksud- "Apa lagi yang ditunggu? Ayoh ! antarkan dia pada si Dul
nya dapat lelaki." pendongeng. "
"Bagus ! B agus ! Setuj u ! " serentak orang menyambut. "Ya, ya. Cari laki di sini tidak sulit."
"Betapa girang si Dul gendeng. Dia bakdl ileran." "Silakan berdiri, Bendoro Putri. Mereka akan antarkan Ben­
"Ah, ah, Bendoro - pergi j auh-j auh, tahu-tah u j adi bini doro Putri." Ragu-ragu Mardinah berdiri
pendongeng gendeng." "Para kanea! Yang sopan ! Antarkan Bendoro ke bedeng sero
"Cepat ! " Orang pun pada tertawa sendng. Mardinah reda - j angan tinggalkan sebelum kalian tahu pasti B endoro selamdt
sedikit. Ia terisak-isak. sampai di tempat."
"Ai-ai, tak dapat Bendoro, pendongeng edan pun j adilah. Oi, Mardinah mulai berj alan meninggalkan ruangan, lambat­
sudah pernah lihat si Dul?" lambat menuju ke pintu . Kepalanya menunduk dalam. Gadis
"Hrnm, kalau malam bisa dengarkan dongengnya: duk-duk­ Pantai berlari-Iari menghadang j alan.
duk, cring ! " Kembali orang gelak-gelak. Isak-isak Mardinah "Mardinah, bukan kehendakku semua ini."
semakin surut mendengar gelak-gelak itu. "Sahaya, Mas Nganten."
"Tak j adi dibawa ke semak bakau?" Tak bersambut. "Ini semua barangkali akibat niatmu sendiri ."
"Kasihlah dia pada si gendeng itu . B iar pesta dia Inalam ini." Mardinah meneruskan langkah, dan Gadis Pantai me­
"B agaimana Bendoro Putri , j awablah, tidur di semak-semak nyingkir memberi j alp.n.
b akau atau ditemani si Dul pendongeng di bedeng sero. Jawab ." "Kau tak keberatan mendampingi si Dul pendongeng?"
Mardinah terdiam dari isak dan sedannya. Ia menekuri bumi Ragu-ragu Mardinah mengangkat bahu dan terus melang­
sekarang. kah, keluar dari pintu , hilang ke dalam kcgelapan mal am,
"Nggak susah, nggak susah. Ayoh j awab saj a." orang-orang pun mengiringkan di belakLlIlg. Sebagian di de­
"Para kanea ! Itu usul baik, bukan?" pannya.


Click to View FlipBook Version