The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Pramoedya Ananta Toer - Gadis Pantai-Hasta Mitra (2000)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Pena-Anam, 2020-09-28 03:34:42

Pramoedya Ananta Toer - Gadis Pantai-Hasta Mitra (2000)

Pramoedya Ananta Toer - Gadis Pantai-Hasta Mitra (2000)

1 92 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 93

"Timin ! " bapak berseru . Seorang pemuda berj al an sigap Ia rebahkan diri di ambin. Matanya merenungi segala yang
menghampiri bapak. "Sampai besok pagi kau bertugas menga­ telah terj adi Beberapa kali ia menarik nafas keluh, kemudian
wasi si Dul pendongeng dan Mardinah. Jangan sampai mereka tertidur. Waktu, bapak dan emak datang ia telah tenggelam di
lari ke kota. Lepaskan ikatan si Dul dan awasi mereka dari dalam mimpi.
kej auhan saj a. Jangan l upa kembalikan lebih dulu rebananya."
Pemuda itu pun segera ke luar rumah "Kasihan anak kita."
"Mestinya tak kau kawinkan dengan Bendoro."
Dari luar terdengar riuh rendah pemuda-pemuda tertawa. "S i "Diamlah, diam!"
Dul pendongeng masih perj aka ! " seseorang memekik. Kedua-duanya pun merebahkan diri di ambin. Abang-abang
Gadis Pantai telah keluar semua. Sedang adik-adik Gadis Pao­
"Baik-baiklah mengurus dia, Bendoro." Ordng pun bersorak. tai menyusul orang tua mereka. Kampung itu pun terlelap
Gadis Pantai terisak-isak. B apak menatapnya sebentar ke- dalam embun pagi yang sej uk.
mudian berj alan juga menuj u ke pintu . Jam sembilan pagi rumah bapak mulai ramai lagi, kedua
"Kau menangis," emak menghampiri. orang kusir pun muncul, tapi kemudian dibawa ke rumah ke­
"Kasihan dia." pala kampung untuk sarapan pagi dan didengar ceritanya.
" Di sini tak seorang pun mau sarna si Dul gendeng. Kan baik Pemuda Timin muncul untuk melapor tentang tugasnya se­
ada perempu an yang mengurusnya." malam, ia menarik bapak ke poj okan. "Luar biasa ! Luar biasa ! "
"Tapi kita orang kampung, mak. Mardinah orang kota, ten­ "Apa yang luar biasa?"
tu lain kemauannya." Mata Timin menyala bangga, takj ub heran. "Bagaimana tak
"Ah, hukuman itu tidak berat." luar biasa! tanpa rebana si Dul gendeng bisa seny um, bisa tawa.
"Tidak berat? Kawin dengan orang biasa pun sudah tak ter­ Dia waras, bisa ngobrol."
tanggungkan, mak." Tiba-tiba Gadis Pantai teringat lagi pada "Ngobrol? Ngobrol apa mereka?"
kej adian yang tel ah menggegerkan seluruh kampung, ia ber­ "Mana aku tahu?"
tanya, "Apa benar para pengiring mati diserbu baj ak, mak?" "Bagaimana Mardinah?"
"Tanya saj a pada bapak." "Juga dia tertawa-tawa, mencubit dagu si pendongeng."
"Benar ada pengiring belah punggungnya? Bahunya?" "Dasar ! " Cih, sebenggol ludah pun mendarat pada dinding
"Tidurlah, nak." bambu.
"Dia tak berbicara sarna sekali tentang Mardikun," berkata "Ada mereka sebut-sebut nama Mardikun?"
Gadis Pantai terheran-heran tentang Mardinah "Mana sempat? ¥ereka sibuk kok, . . .berkasih-kasih."
"Mardikun?" Emak tersentak. "Si pendongeng tahu tentang "Kau kembalikan rebananya?"
Mardikun. - B apak ! Bapak ! " emak pun lari mendapatkan ba­ "Tak perlu lagi."
pak yang telah hilang di dalam kelam. "Kau lepaskan ikatannya?"
Keruyuk pagi ayam j ago pantai mulai terdengar. Terdengar "Ya, sesudah lepas ikatan , ia bersila di tanah. Kami bertiga
j u ga deru ombak menj ilati pantai dan membanting diri . kemudian mengobrol . Mardinah tak bicara apa-ap a tentang
"S atu malam lagi mereka tak berangkat ke laut," Gadi� Pan­
tai berbisik sendiri. "Apa j adinya orang-orang ini semua?"

1 94 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 95

abangnya. Aku beranikan diri bertanya, 'kau senang ditemani \ kota dan diupetikan pada seorang Bendoro. Tapi nampaknya
putri cantik dari kota? Tidak semua orang kampung dapat ke­ Mardinah terima nasibnya dengan senang. Bagaimana bisa?
hormatan seperti k�u . ' " B agaimana bisa? Ia awasi orang-orang yang pada gelak terta­
wa. Apakah orang-orang kampung ini tak tertawakan aku j uga
"Iblis ! Kau sendiri kepingin?" waktu aku diseret ke kota? Tiba-tiba suatu sayatan menyerang
"Tidak ! Mereka berdua memang sudah paling cocok. Wak­ hatinya. Ia bangkit dari ambin , meninggalkan ruangan dan
tu aku tinggalkan bedeng sero dan keadaan sudah sepi sekali, melalui pintu dapur memberanikan dirinya pada alam terbuka.
mereka malahan . . . ." Ia berjalan menuju pantaL Laut tel ah menj auh dari kampung,
"Malahan apa?" sedang pasir pantai yang kuning keputihan itu mengisi hatinya
"Ya, begitu . . . ," j awabnya sambil mengedip-ngedipkan ma­ dengan kelapangan.
tanya sebelah.
"Iblis kau ! Aku suruh mengawasij angan sampai mereka lari Di dekat sebuah biduk bergaris biru jauh di sana, dua titik
ke kota, bukan disuruh ngintip yang tidak-tidak ! " bergerak perlahan. Sekaligus ia tahu: Itulah Mardinah dan Si
"Apa lagi kalau sudah begitu2" Dul pendongeng. Ia berj alan cepat menghdmpiri mereka. Dan
"Apa lagi? Mereka harus kawin baik-baik " ia lihat titik satu lagi j uga sedang bergerak menghampiri mere­
"Mau makan apa mereka nanti? Si Dul gendeng begitu takut ka. Sekaligus ia tahu: Itulah pemuda Timin.
pada ombak."
"B arangkalai sekarang ia terpaksa harus berani. Di mana Tak pernah dua tahun ini ia berjalan cepat seperti sekarang
keduanya sekarang?" ini. Kakinya yang tak bersandal merasa dibelai oleh pasir basah
"Jalan-jalan di tepi laut." yang hangat.
"Oh, enaknya."
"Memang. Itu bukan hukuman namanya." Bertambah cepat ia berj alan , bertambah membesar titik-ti­
"B ukan. Perbaikan ! Barangkali baik buat dua-duanya." tik di hadapannya. Terus semakin besar sampai akhirnya nam­
"Kapan mereka dikawinkan?" pak resam tubuh mereka. Titik yang satu nampak bergerak se­
"Tanya sendiri pada keduany a ! " makin cepat, akhimya menggabungkan diri dengan yang kedua.
Pemuda Timin lari meninggalkan ruang ru n1ah bapak, Mereka kemudian nampak berj alan menuj u ke arah kampung.
menyegarkan diri ke dalam cerah pagi . Hadirin lainnya ngobrol Dan perj alanan mereka membuat tubuh mereka makin cepdt
sambil tertawa-tawa. Antara sebentar terdengar nmna si Dul nampak menumbuh jadi jelas .
pendongeng disebut-sebut.
"Tahu ? Sekarang tidak ada bedanya Bendoro Putri dengan Akhirnya d i bawah genggaman terik matahari pagi Gadis
orang kampung seperti kita ini." Orang-orang pun gelak-gelak Pantai menemui Mardinah berj alan bersama si Dul pendongeng
tertawa sedang pemuda Tim!n mengiringkan di belakang. Ia n1elihdt
Gadis Pantai mengawasi mereka dengan mata sayu. Men­ pancaran bahagia pada mata si pendongeng, dan pancaran
dengar obrolan semua itu , j ustru yang sebaliknya terbayang menyerah pada mata Mardinah. Tiada terdapat pertarungdn
dalam angannya: dirinya sendiri - orang kampung - diseret ke antara kedua pancaran mata itu.

Nampaknya tak ada sesuatu pun patut d i �csa l i, ia berbisik
pada diri sendiri. Ia hampiri Mardinah, ia gLlI1lk l l g tdngdnnya.
Dan Mardinah tak menolak.

1 96 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 197

"B agaimana kau Mardinah?" Tak berjawab. "Kau takkan menyesal?"
"Mereka rupanya mau siapkan pesta," pemuda Timin me­ "Mau sesali apa lagi, Mas Nganten?"
nyambung dari belakang. "Nasib kita memang berlawanan, Mardinah."
"Memang patut dirayakan," si Dul pendongeng mendengus "Sahaya."
ria tanpa rebananya. "Aku seperti kau , dipaksa. Aku dipaksa ke kota. KdU ke
"Kau sendiri, bagaimana kau sendiri, Mardinah?" tetap tak kampung ."
berj awab. "S ahaya. "
"Mas Nganten ! " keluar lagi suara si Dul mendadak. "Tapi pendongeng pun sesama mahluk Tuhan, bukan? Dia
"Ya?" orang baik dan sekarang mau bekerja."
"Sahaya . . . ." " S ahaya."
"Mengapa terdiam?" "Berbahagialah kau. Dia tak punya apa-apa terkecuali kasih
"Ayoh," Timin memberanikannya dari belakang. sayang . . . ."
"Bendoro Putri, sahaya akan ikut turun ke laut " "Sahaya, Mas Nganten."
"Kau? Kau ? Ke l aut?" ". . . . yang ada dalam dada setiap nelayan."
"Benar, Bendoro Putri ! " "S ahaya."
"Syukur ! Mengapa baru sekarang? Sudah lupa pada reba­ "Bagaimana kau Timin, ada kasih sayang dalam hatimu?"
namu sekarang?" "Lebih daripada ikan yang bisa ditangkap, Bendoro Putri."
"Tidak, Bendoro Putri, tapi sahaya akan turun ke laut. Ka­ "Kau dengar itu, Mardinah?"
pan saj a. Besok boleh, lusa pun boleh." " S ahaya."
"Ah, Dul, Dul, kau tak main-main?" "Aku senang kau sudah terima nasibmu."
"Percumalah sahaya j adi lelaki, kalau tak herani turun ke "S ahaya."
laut." "Kalau nanti lakimu turun kft laut, kau akan kerj a seperti bini
"Ya, ya Aku mengerti. Tapi mengapa baru sekarang?" nelayan lainnya. Kau j uga mesti menumbuk udang kering .
"Ha, ha, ha." Kalau subuh antarkan laki tinggalkan darat. Kalau angin ken­
"Si Dul pendongeng sudah menj adi anak nelayan sej ati , cang, tinggalkan rumah meninjau laut. Dan kalau laki terlam­
Bendoro." Timin bersuara. bat datang, kau tunggu dia di pantai, sampai dia datang dengan
"Ya, anak nelayan sej ati ! " si Dul pendongeng membenarkan . perahunya."
"Kau bahagia Du} !" "Sahaya, Mas Nganten."
"Anak nelayan harus j adi nelayan." "Tidak seperti di gedung sana, Mardinah."
Timin terbahak-bahak dari belakang mendengar j awaban "S ahaya."
j antan si Dul gendeng. · "Orang disekap dalam kamar, dalam rumdh. Berapa tahun
"Kau sendiri bagaimana Mardinah? Kau sedia dikawinkan?" aku di sana? Baru kali ini ldgi melihat laut, rasai hangatnya
Mardinah angkat b ahu. Nasib tak dapat diraih, muj ur tak matahari, bertemu orang tua di s i ni. Mardinah di sini seti ap hari
dapat ditolak. kau bertemu dengan setiap orang."

1 98 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 1 99

S i Dul pendongeng terdiam mengangguk-angguk lemah. "Ya, ya, dia sendiri j adi dongeng sekarang ! "
Mereka berempat terus berj alan, diam-diam menuj u ke kam­ "Horeee !"
pung Dan ternyata seluruh kampung sedang menunggu mere­
Waktu iring-iringan sampai di depan rumah kepala kam­
pka, berbaris besar-kecil , tua, muda, laki-perempuan, di antai pung, kulit rebananya itu telah pecah. Barisan berhenti. Si Dul
pendongeng meletakkan rebananya yang rusak di tanah. Mem­
di bawah deretan pohon-pohon kelapa yang hijau melambai ria. b ungkuk mengambilnya kembali . Semua orang terdiam
Waktu mereka telah dekat orang-orang pun bersorak riuh­ sekarang, melihat si Dul pendongeng hcrjalan ke l uar dari ba­
rendah, sedang Timin dan Gadis Pantai mengiringkan di bela­ risan, matanya liar mencari ke kiri, ke kanan. merabai tanah di
kang mereka. depannya. Akhirnya dia menemui sebuah bat u besar, dan seka­
Ii hantam kayu bingkai rebana hancur berantakan. Dengan gaya
"Horeee ! " anak-anak bersorak. seorang pemain sandiwara ia lemparkan bingkai itu tanpa me­
"Pengantin datang ! Pengantin datang ! " lihatnya, matanya tertuju pada semua orang. Tiba-tiba id angkat
"Horeee ! " kedua belah tangannya. Dan seluruh pengiring itu pun bersorak:
"Kanca-kanca, ayoh kita iringkan ke rumah kepal a
kamp un g . " "Horeee ! " Gegap gempita seluruh pantai.
"Ayoh ! " Dengan langkah tegap ia gandeng Mardinah memasuki be­
Tiba-tiba rebana si D u l menderu-deru dari tengah-tangah randa kepala kampung.
barisan. Si Dul pendongeng berhenti berj alan nlenengok ke "Kami ini yang datang . . . . ," serunya menantang.
belakang, melambai-Iambaikan tangan meminta rebananya. Dari dalam rumah terdengar sapa, "Siapa itu bikin ribut di
Dan rebana itu pun dilemparkan ke atas, melayang ke udara. sini ?"
Seperti ditarik tenaga gaib, benda itu menghampiri pcmiliknya.
Dengan cekatan ia menangkapnya, memeluknya, kemudian �"Aku si Dul pendongeng," ia enyebut dirinya sendiri.
menciumnya. Dengan kasih sayang ia geletarkan j ari-j ari halus­
nya di atas kulit benda itu , dan dengan kuping sebelah diletak­ "Angkuh benar kamu sekarang."
kan pada kayu bingkainya. "Oooh ! " terdengar sayu suaranya "Aku telah rampas wanita buat jadi istriku."
seperti merintih penuh sesal. "Dari mana kau rampas dia?"
Tiba-tiba dengan sekuat tenaga ia pukulkan jari-jari halus­ "Dari kota!"
nya pada rebana itu . Satu rentakan suara riuh-rendah, merc­
nung, merangsang, mengatasi pekik sorak yang segcra berhen­ Kembali orang pun bersorak gegap gempita. Dan seperti ada
ti karenanya. Si Dul pendongeng terus membunyikan rebana­ komando kemudian terdengar su ara membenarkan, "Dia ram­
nya. Kadang diangkat tinggi-tinggi di udara, dan cuma bunyi pas wanita dari kota! Kami saksinya."
kerincingannya yang terdengar. Kadang ia lemparkan benda itu
ke atas u ntuk kemudian ditangkapnya kembali. "S iapa nama wanita kota itu ?"
"Mana dongengnya ! " orang nlemekik. "Mardinah."
"Dia sudah kehabisan dongeng." "Mana bUktinya."

"Keluarlah ! Ini bUktinya."

Kepala kampung keluar sanlbil melnandang Mardinah dan
mengangguk-angguk. Kemudi an nlcngangkat tangan, meng-

200 PRAMOEDYA ANANTA TOER Bagian Keempat

isyaratkan agar semua berhenti gaduh. Tinggal angin yang ter­ � �EHIDUPAN SEH RI-HARI OJ R MAH BESAR INI KlAN LAMA KlAN
dengar kini.
K terasa suny! oIehnya. Para kerabat Bendoro ydng ti­
"Dul ! Si pendongeng kampung kita?" dur di surau di sebelah kiri rumah dan y ang ber­
"Ya, betul ." sekolah di siang hari, terasa oIehnya tidak punya persinggung­
"Bagus, bagus. B awalah wanita itu pulang j adi kawan hi- an dengannya sarna sekali. Mereka seakan mahluk-nlahluk dari
dupmu."
"Tentu. " rdunia lain, apalagi kalau mereka s udah b cara dalam bahasa
"Bawalah pulang. Kau punya rumah?"
" Tidak." Belanda yang sepatah pun tak dikenalnya. Bendoro sendiri
"Kalau begitu, untuk sementara bawalah ke rumah siapa saja muncul dalam hidupnya hanya di waktu ia berada dalam se­
yang mau terima." tengah tidur, setengah j aga. B uj ang-bujang di dapur dirasainya
"Kami mau terima," hampir setiap orang berteridk. seperti mahluk-mahluk aneh, hanya bicara kalau ditanya dan
"Pergilah pada merek a ! K;:tlau sudah cukup ikan kau bergerak seperti bayang-bayang di kala senj a. Tamu id tak per­
tangkap, nanti kau bikin rumahmu sendiri." n ah menerima. Penj ual sayuran yang setiap pagi berdiri di
Si Dul pendongeng menggandeng Mardinah. Dipunggungi­ emperan dapur, penjual daging yang duduk di anak tangga ru­
nya kepala kampung dan dihadapinya para pengiring. Kepada ang belakang - mereka seperti berasal dari alam lain. Sedang
orang banyak yang mengerumuninya ia berseru , "Inilah kami. bila hari Jum' at tiba, dan para pengemi s berbaris di depan
S iapa mau pinjamkan bale dan atapnya?" rumah, maka ia pun 'keluar memberikan sedekah mingguan .
. Orang melompat-Iompat girang menyambut permintaannya, Dl. faSal. nya mereka seperti muncul begi tu saj a dari bawah
para pengiring pun bersuka-ria. Sorak sorai berjdlan terus . . . . tanah.

Created by [email protected] Cuma satu yang menemaninya dengan setia sejak pertama
CKoleksi ··Pramudya Ananta loerll) kali tinggal di gedung besar ini : dcru dan derainya ombak laut
Weblog" http://hanaokLwordpress..com

202 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 203

begitu nyata di malam hari, dan begitu lamat-lamat di siang Bendoro tak pemah bertanya tentang Mardinah. Ia seperti
hari. B ahkan b unyi angin yang setiap hari menggaruk genteng, titik abu yang tertiup dari perapian, hilang terhisap oleh alam
mengguncang dan membelai pepohonan terdengar begitu asing. semesta. Pada mulanya kenyataan ini mengguncangkan Gadis
Pantai. B ukankah Mardinah kerabat Bendoro? Mengapa tak
Perabot rumah tangga yang indah-indah itu terkesan oleh­ ada perhatian pada nasibnya? Tentang Mardikun yang telah
nya laksana ikan-ikan yang sudah kemarin dulu tertangkap dan tewas digiring ke laut, Bendoro tak pernah bicara sarna sekali.
menggeletak kaku di penjemuran. Pemah selama dua minggu beredar berita tentang serbuan ba­
j ak di kampung nelayan. S umber berita adalah dua orang kusir
Kedatangannya kembali ke kota, ke dalam gedung, sarna yang pulang j alan kaki dari kampung nelaYdn tdpi pihak yang
sekali tak mendapat teguran dari Bendoro. Perhatian luar biasa berwaj ib tak ambil peduli. Pemah j uga pada suatu malam Ben­
pun tidak. Pertanyaan pertama waktu Bendoro mulai bicara: doro bertanya dari sampingnya, di tempat tidur:

"Apa j awab bapakmu? Dibutuhkan surau itu?" "Kau bilang bapak dan emakmu baik-baik saj a di sana?"
"Tidak, Bendoro. Di sana sudah ada." "Sahaya, Bendoro."
"Guru ngaji? S udah ada?" "Jadi tak ada apa-apa di sana?"
"Ada, Bendoro." "Tidak ada apa-apa Bendoro."
"Bagaimana menurut orang-orang? Cukup pandai dia "Mereka bicara tentang baj ak yang menyerbu . Tidak ada?"
mengajar?" "Tak ada, Bendoro."
"Kata orang-orang memadailah." "Syukurlah, mereka cuma omong kosong." Bendoro tak
"s udah ada yang bisa bahasa Arab'?" bertanya lebih lanjut.
"Beribu m'laf. Bendoro sahaya lupa tanyakan " Pada suatu hari yang cerah datang seorang Tionghoa diteri­
"Lain kali harus ditanyakan ." rna menghadap Bendoro di pendopo Mereka berdua duduk di
"S ahaya, Bendoro." atas kursi goyang. Gadis Pantai sedang membersihkan perabot
"S uka b apakmu dengan sarung pemberianmu?" di ruang tengah. Dan ia dengarkan percakapan dalam bahasa
"Beribu terima kasih Bendoro. Bukan kepalang girangnya." Jawa tinggi yang kini sudah dikuasainya.
Setelah itu Bendoro tak ditemuinya lagi selama tidak kurang "Bendoro sahaya dengar ada bajak menyerbu kampung ne­
dari tiga harmaI. layan . . . ."
Sekarang setiap Bendoro pul ang dari bepergian , hampir "Kampung nelayan mana?"
tidak pemah bawa oleh-oleh lagi. Ia pun tak mengharapkannya. "Kampung . . . beril?u ampun. Bendoro . . . kanlpung nyonyd
. Gedung ini lambat-laun membikin ia belaj ar tak mengharapkan Bendoro."
sesuatu apa. Dari mengontrol dapur ke pekerj aan batik, dari "Nyonyaku?" Bendoro menj awab setengah berteriak. "Aku
berbelanj a di emper dapur sampai melayani Bendoro , dari belum punya nyonya !"
malam-malam Jurn' at yang lowong sampai pada malam-malam "Beribu ampun, Bendoro. Beribu ampun. Sahaya diutus su­
lainnya, semua itu terhampar di hadapan dan di bel akangnya, rat kabar sahaya dari Semarang buat uatang ke mari, meng-
l aksana j alan-jalan su nyi-senyap. Hanya seorang saj a yan g
menempuh jalan itu , dia sendiri.

204 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 205

hadap Bendoro dan menanyakan soal ini. Kantor Pusat sahaya "Seperti sehari-hari Bendoro. Orang-orang berangkat ke laut
yang kasih keterangan." di subuh hari atau tengah malam. Wanita-wanita yang tinggal
menjemur ikan dan menumbuk udang kering."
"Pergi, sebelum aku marah."
"S ahaya, Bendoro. Beribu-ribu ampun." "Semua orang bicara tentang baj dk laut. "
Dan Gadis Pantai tak mendengar lagi orang Tionghoa itu . Ia "Tak ada yang tinggal selarn�! t kalau bajak laut menyerbu,
menduga Bendoro akan segera memeriksa dirinya kembdli ten­ Bendoro . Juga bayi-bayi dib inds..lkan, dan wanita-wanita di­
tang peristiwa yang disangkalnya itu. Buru-buru ic.l tinggalkan tawan. Sahaya tinggal selatnat hcrkat pangcstu Bendoro. Tak
ruangan tengah, membawa serta sapu dan bulu ayam, langsung ada baj ak di kampung kami . "
menuju ke kamar, duduk di kursi menunggu datangnya peme­ "B aiklah, dengar sekarang. Nanli m a l al l l akan datang se­
riksaan. Tidak, aku harus bilang tidak, terus, terus mnngkir. Va, orang tamu. Bendoro dari Demdk. "
Allah lindungilah seluruh kampung kami. J angan datangkan Jantung Gadis Pantai menggigil kcncang. K i n i aku harus
marsose. Jangan datangkan polisi . Apakah mereka belum cu­ berhadapan sendiri dengan dia. Dia ! Dia yang tcrb i t kan rang­
kup diganggu orang kota? kaian bencana atas kampung kami. Dia ! Dia ! nlpi kan lpungku
Yang terj adi kemudian tepat sebaliknya. Bendoro tak datang harus tinggal selamat.
ke kamar untuk memeriksanya. Tapi sepantun suara yang di­ "Siapkan semua, j angan ada sesuatu yang koror. Ru"mg tc­
ngin, keras dan memerintah terdengar menggeletar berdem­ ngah mesti dicuci bersih dengan sabun. Kerahkan anak-dnak
bam-dembam memenuhi seluruh ruangan gedung besar itu: itu . Mereka tumbuh j adi begitu malas. "
"Mas Nganten, sini !" "Sahaya, Bendoro."
Jantung Gadis Pantai terguncang. Jdntung yang mcnjompak­ "Kamar ruang tengah sebelah belakang harus disusun rapi.
jompak dirasainya memukuli dinding-dinding dadanya. Ia ter­ Lemari-Iemari harus dibenahi dengan kapur barus. Mej a rias
lompat bangkit, berj alan cepat menuju ke arah datangnya suara. harns lengkap dengan bedak, minyak wangi, celak, sisir, mi­
Tidak, kampung kami harus selamat. Kampung kami harus nyak rambut. Jangan ada terlupa satu pun."
selamat. Harus selamat. Ia mempercepat j alannya, terlupa bah­ "Sahaya, Bendoro."
wa ia sedang ketakutan. "S ahaya boleh berangkat, Bendoro?"
Bendoro duduk di kursi goyang di ruang tengah. Ia meng­ "Mulai ! Sekarang !"
hampiri dan berjongkok di hadapannya dengan kepala me­ "Sahaya, Bendoro."
nunduk. Bendoro terdiam, Gadis Pantai mengangkat sembah dan
"Inilah sahaya, Bendoro." meneruskan, "Ya sahaya pergi."
"Apa katamu perempuan? Benar tak terj adi apa-apa di kam­ Gadis Pantai bergerak mundur sambi l berj ongkok sampai
pung nelayan?" menempuh j arak beberapa meter, kemudian baru berdiri, ma­
"Benar, Bendoro. Tak terjadi sesuatu pun di s ana. Sahaya suk ke dalam salah sebuah kamar ruang tengah.
tinggal selamat dalam hndungan Tuhan, Bendoro." Setelah wanita tua pelayannya diusir Bendoro, ia mulai ker­
"Apa yang sudah terj adi di sana?" jakan sendiri segala-galanya di dalam gedung ini . Kamar-kamar

206 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 207

ruang tengah ini tak lagi asing baginy a. Di sebuah poj okan ia sarna sekali tidak berkesempatan istirahat. Kepalanya terasa
berdiri sebuah bupet segitiga. Sebuah buku tebaI berdiri di sana. berat dan besar, seakan teIah membesar dua-tiga kali lipat.
Sering ia buka-buka buku itu untuk meIihat gambar-gambar­ Keringat dingin terus mengucur sepanj ang hari dan antara se­
nya. Tapi ia tak mengerti siapa yang tergambar dalam buku itu. bentar matanya berkunang-kunang.
Ia banyak meIihat gambar berbagai benda aneh yang tak dike­
tahui namanya pun, j uga gunanya. SeIaIu bila ia membawa sapu Ia teruskan kerj anya waktu didengarnya daham Bendoro
dan lap atau bulu ayam ke dalam kamar di ruang tengah ia buka dari ruang tengah. Tapi ia masih tak beranj ak dari depan cer­
buku itu . BarangkaIi saja anakku nanti bisa membacanya. B isa min. Dan waktu Bendoro masuk ke dalam ia masih menatap
menerangkan padaku gambar-gambar ini. Dan selaIu ia berha­ waj ahnya. Sedang tangan kirinya mengusap-usap rambutnya.
dapan dengan buku itu timbul dalam hatinya pertanyaan yang Ia kaget waktu bayangan Bendoro muncul di cermin di samping
menyiksa: Apakah sampai mati aku cuma pegang lap, bulu bayangannya.
ayam dan sapu? Canting, sayuran dan piring-piring bekas ma­
kan Bendoro? Dan ia pun menyesal tak belaj ar baca tulis atau­ "Mengapa kau?"
pun mengaji. "Ampun, Bendoro."
"Kau leIah? Mengapa tak kau suruh bujang-bujangmu ?"
Dan seperti terj adi tiap hari, tangannya pun muIai bergerak "Biarlah sahaya kerjakan sendiri."
melepas debu pada perabot, mengeIuarkan permadani dan Tanpa melihat ia dapat mengetahui Bendoro sedang berganti
menjemurnya untuk kemudian memukulinya dengan pemukul sarung, mengenakan topi haj inya seperti biasa, dan tanpa meli­
kasur. hat ia pun tahu Bendoro meninggalkan rumah, berj alan menu­
runi jenjang depan, turun ke pasir peIataran depan, menempuh
Sekarang suasana dirasainya lain. Seorang musuh akan da­ gang pasir dan masuk ke daIam mesjid.
tang dengan kebesarannya, memasuki perbentengan yang seIa­ Gadis Pantai menarik nafas panj ang. Perabot-perabot di
rna ini dianggapnya masih bisa lindungi hatinya. -Tapi dengan hadapannya semua nampak besar-besar, nampaknya begitu ra­
keresahan tak menentu ia teruskan kerj anya menyeka seluruh puh baginya. B ahkan rumah batu sebesar itu dirasainya tidak
perabot terkecuali senj ata-senjata pusaka - sederetan tombak pernah sekukuh pondok orang tuanya di kampung neIayan. Ia
yang berdiri di atas j agangnya, karena yang demikian diharam­ menuju ke jendela, dilemparkan pandangnya ke arah surau.
kan oIeh Bendoro. Waktu ia sedang menyeka kaca cermin Pemuda-pemuda kerabat Bendoro pada duduk-duduk di beran­
bundar teIur yang terpasang pada lemari pakaian Bendoro, ia da surau membacai buku pelaj aran mereka
lihat waj ahnya begitu pucat, letih dan kehij auan. Seseorang melihatnya, tapi segera menundukkan muka dan
meneruskan bacaannya.
Sakitkah aku? Mengapa pipiku begitu aneh? Mengapa nadi­ Seakan-akan ia tak pernah ada di dunia. Seakan dia dan
nadi pada pipinya bersaluran membayang di kulitnya yang mereka pun tak pernah ada !
langsat? Ia tantang matanya sendiri. Mata itu kehiIangan sinar­ Tiba-tiba dirasainya sesuatu seperti selelnbar j aru m
nya. S akitkah aku? menusuk huIu hatinya. Ia tertegun. Apakah ini? Bcnar-benar
aku sakit? Dengan sendirinya tangan kiri nYd Inc raba tempat
Ia masih berdiri seorang diri di hadapan bayangannya sendi­
rio Ya, aku IeIah. Limabelas hari seteIah meninggaIkan kampung

208 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 209

yang terserang sakit. la berj alan menuju ranjang Benaoro, ber­ "Ya, pij iti," dan Gadis Pantai menengkurapkan dirinya de­
pegangan pada tepinya dan duduk di lantai. Ingin ia rebahkan
diri di atas kasur itu, tapi ia tak berani. Dan waktu serangan ngan kepala mencekung di luar kasur, mulutnya mengarah pada
sakit itu berhenti, ia buru-buru berj alan ke luar kamar. Dipang­
gilnya dua orang bujang wanita untuk meneruskan pekerj aan­ paidon di lantai.
nya: menyabun l antai. la sendiri duduk di atas bangku kecil
dengan mata berkunang-kunang sedang serangan j arum itu "Mas Nganten, mengandung. "
antara sebentar datang berulang. Dirasainya j arum itu berjalan­
j alan dengan lamban di dalam tubuhnya, dan selalu ulu-hati itu "B arangkali."
juga sasaran kesukaannya. Setiap serangan pada ulu-hati
dibarengi dengan mengucumya keringat dingin yang merem­ "Syukurlah, Mas Nganten. Semoga Tuhan mengaruniai Mas
bes berbareng dari pori-pori kulinya.
Nganten seorang putra."
Tak kurang dari dua j am ia ij1engawasi buj ang-buj ang itu
bekerj a sampai kamar-kamar ruang tengah bersih dan kering "Ya, seorang putra."
seluruhnya. Baru kemudian ia bangkit, meninggalkan kamar­
kamar itu serta menguncinya dan langsung menuj u ke kamar­ "Diselimuti Mas Nganten ?"
nya sendiri. B uru-buru direbahkannya dirinya di ranj ang. Dira­
sainya sekepal-sekepal udara yang padat membumbung ke atas "Ya, selimuti aku, kakiku. Selimutnya lipat biar tebal ."
dari dasar perutnya - mendorong seluruh isi perutnya ke atas
pula. Kadang-kadang udara itu keluar tanpa berhasil mendo­ "Sahaya, Mas Nganten. '
rong isi perutnya, tapi tak j arang satu dua kepal dapat memom­
pa benda-benda cair dari bawah sampat ke tenggorokan, ke "Jangan tinggalkan dulu aku."
lidah dan dirasainya udara yang tak sedap dan taj am laksana air
asam bercampur pahit empedu. Aku mengandung, bisiknya. "S ahaya j aga, Mas Nganten."

la panggil seorang bujang masuk ke dalam kamar dan disu­ Tiba-tiba Gadis Pantai merasa malu. Tak ada wanita kam­
ruhnya mengambil paidon 1, kuningan bes ar yang tersimpan
dalam gudang. pung nelayan dimanj akan seperti ini bila mengandung. "Tidak,

"Jangan pergi dulu, pijiti aku. B ukan di bawah, tengkukku tak usah, pergi kau membersihkan ruang belakang. Nanti
s aj a . "
malam akan ada tamu."
"Seribu ampun, Mas Nganten."
"Sahaya, Mas Nganten. Siapa yang datang?"
1 . paidon (Jawa), tempolong.
"Husy, mulai kapan kau belaj ar lancang bertanya?"

"Beribu-ribu ampun, Mas Nganten ."

Dan malam itu waktu tamu yang diharapkan datang , ia

tergeletak tanpa daya di dalam kamar. Kepalanya dirasainya

sangat berat seakan tak mau diangkat lagi buat selama-Iamanya.

Dan waktu Bendoro masuk ke dalam kamamya untuk mene­

gurnya, ia hanya menutup waj ahnya dengan bantal. Bendoro

mengangkat bantal itu dan meraba keningnya.

"Kau mengandung," bisiknya kemudian dan segerd mening-

galkan kamar. ,

la memanggil-manggil pemuda kerabatnya. Dan sebentar

kemudian menyusul suara perintah bertubi-tubi. Tigd jam ke­

mud ian waktu Bendoro menghadapi mej a makan bersama

tamunya, baru diketahuinya tamu itu seor,mg wanita.

"Adi Mas," ia dengar wanita itu bicard. � uaranya tinggi dan

210 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 21 1

mengandung perintah. "Aku senang, Adi Mds, melihat tak ada tangan seorang wanita. Siapa dia? S iapa? Ia tersedan-sedan
perempuan tinggal di rumah ini." kembali . Ia rasai nasibnya sendiri pun berada di tangan wanita
kuasa itu. Sia-sia kekukuhan dan kebesaran rumah batu ini Ada
"Sahaya, Mas Ayu ." kekuasaan lebih perkasa daripada kekukuhan perbentengan
"Dan aku lupa melihat si Mardinah. Di mana dia?" batu ini. Ia teriak-teriak dalam hati. Akhirnya ia diantarkan oleh
"Kurang terang sahaya di mana dia." sedan dari isaknya.
"Ha? Bukankah dia kukirim ke mari?"
"Beribu ampun, Mas Ayu , sahaya tidak pernah mengurusi S ubuh hari waktu ia terbangun, didengarnya suara Bendoro
buj ang-buj ang." yang sedang mengaji. Suamiku ! Ah, suamiku ! Tidak, dia bu­
"Adi Mas priyayi sej ati . Pantas banyak orang mengha­ kan suamiku, dia Bendoroku, ydng dipertuanku, raj aku. Aku
rapkan . " bukan istrinya. Aku cuma budak sahaya yang hina-dina.
"Apa yang diharapkan orang dari sahaya, Mas Ayu ?"
Tamu itu tertawa mengerti. Percakapan terhenti, sebentar. Dan sepagi itu kepalan-kepalan udara sudah mulai memom­
Gadis Pantai berkunang-kunang pemandangannya. Kembali pa di dalam perutnya. Ia merasa malu, sangat malu, Di kam­
kepalan-kepalan udara memompa isi perutnya ke atas. Ia mi­ pung nelayan sana tak ada wanita tergeletak seperti ini waktu
ringkan kepalanya, dan ia dorong kepala itu dengan lehernya mengandung. Dan ayam-ayam yang berkeruyuk seakan berso­
keluar tepian kasur. Tak ada sesuatu yang berhasil didorong rak riuh-rendah menganj urkan kepalan-kepalan udara itu me­
oleh kepalan-kepalan udara itu terkecuali udara itu sendiri yang mompa lebih cepat, lebih gesit dan lebih sering. Ia teringat pada
mengeluarkan bunyi tahak serta beberapa sendok cairan kuning j agonya. Dia j uga berkeruyuk setiap bapak berangkat ke laut.
yang rasanya asam dan pahit sekaligus dan segera jatuh ke Tapi suaranya j ago-j ago kota ini kini dirasanya begitu aneh
dalam paidon. Waktu ia geletakkan kembali kepalanya di atas bunyinya, begitu menyindir.
kasur, ia dengar lagi suara percakapan disambung. Tapi j uga
tdIl1U itu rupanya sempat mendengar suara sendawa dari dalam Waktu matahari terbit dan seorang bujang wanita masuk ke
kamar. dalam, ia mendapat kabar bahwa tamu wanita itu malam itu
j uga terus pergi . Gadis Pantai mengucap syukur. Ia tahu, se­
, orang Bendoro takkan usir istrinya yang sedang mengandung.
"Siapa itu? Mardinah?
"Bukan, Mas Ayu." Dan dengan demikian ia menggeletak tiga bulan di dalam
"Aa, mengerti aku sekarang ! " dan diteruskan dengan nada kamar yang selalu tertutup pintu dan jendelanya. Ia merasa
menggugat, "mengapa tak kau taruh dia di kamar dapur? Tidak seperti hidup di dalam gua. Dan ia pun merasa malu, sangat
patut! Tidak patut ! Lihatlah aku. Kau kira patut kau tempatkan malu . Tak ada wanita kampung mengandung seperti dirinya.
dia di bawah satu atap dengan aku?" Mereka bangun setiap suami mereka turun ke laut . Mereka
"Beribu ampun, Mas Ayu." selalu hadir waktu p�rahu suami mereka berldbuh di muara.
Gadis Pantai tersedan-sedan. Buat pertama kali dalam ham­ Dan mereka selalu turun ke dapur mema�ak buat anak-anak dan
pir tiga tahun ini ia mengetahui ada kekuasaan yang lebih ting­ suami mereka. Tapi ia seorang diri menggeletak tanpa daya.
gi daripada kekuasaan Bendoro. Dan kekuasaan itu berada di
Waktu tiga bulan telah lewat, baru ia bisa bangun dan­
melakukan kewajibannya sehari-hari, tapi sementara itu Ben-

2 12 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 2 13

doro sangatj arang di rumah. Orang bilang Bendoro selalu ting­ Dan pada suatu hari yang baik, tanpa saksi Bendoro, bayi itu
gal di mesj id. Makanannya pun diantarkan dari rumah. Dalam lahirlah dengan pertolongan seorang dukun bayi mashur.
masa mengandung itu Gadis Pantai selalu diamuk rasa rindu.
lngin ia duduk atau tinggal lama-lama dengan suaminya, tapi Dengan kelelahan dan terengah-engah Gadis Pantai me­
ia hanya seorang budak sahaya. Kadang-kadang ia menangis nolong mahluk barn itu lahir ke dunia. Satu, dua, tigd, empat,
seorang diri tanpa sesuatu sebab. Ah, seperti anak di bawah lima menit tiada didengamya mahluk baru itu bersuara. Mati?
j antungnya ini bukan anaknya, tapi calon musuhnya.
uMana, mana suaranya?" ia berbisik dan tangannya meraba­
la ingin berdoa pada Tuhan, mengadu tentang ketidak-adil­ raba tubuh si j abang bayi. ld rasai gumpalan daging yang ha­
an yang dirasai, tapi ia tak mampu melakukannya. Ia tak tahu ngat. uMana, suaranya?" ia berbisik dengc.ln mata masih dipe­
doa mana yang tepat buat itu. la tak pernah teruskan ngaj i dan j amkan karena terlalu lelah.
pelaj arannya dengan naik. Dan ia menyesal. Ia serahlan segala­
nya pada nasibnya. Tak berJ awab.
Suatu serangan ketakutan menyebabkan j antung Gadi s Pan­
Tapi anak ini , anak ini, dia a�an bernasib lebih baik dari tai berdebaran. Ia ingin bangkit dan meniupkan hidup ke dalam
ibunya. Dan takkan dilahirkan di sebuah kampung nelayan. Dia dada bayinya.
takkan diantarkan dari kampung pada seseorang Bendoro di B ayi itu sarna sekali tak bersuara, tak bergerak. Ia ingin
kota. Dia akan dilahirkan di sebuah gedung besar ydng kukuh, menjerit mengguneangkan pendengaran si bayi supaya bangun,
tak sepotong pun angin menerobosinya. Dia akan dilc.lhirkan tapi tenaga itu tak ada padanya. Dan waktu ia buka matanya dan
dalam keraj aan Bendoro, bapaknya sendiri . Dia akan ikut perhatikan si dukun, dilihatnya wanita itu sedang mengangkat­
berkuasa bersama bapaknya, dia akan ikut memerintah. Dan dia angkat kaki bayinya ke atas . Begitu putih kulit si bayi, begitu
akan turunkan bendoro-bendoro barn, tanpa perlu turun ke laut keeil. Itulah anakku, anakku ! Tapi mana suaranya, mana tangis­
menangkap ikan, menantang ombak ddn kegelapan malam, tak nya?
perlu rasai jilatan air laut pada kakinya. Mulut si dukun berkomat-kamit membaea mantra. Gadis
Pantai ingin menjerit. Matikah anakku diangkat-angkat begitu?
Apabila perasaan kesunyian serta murung menyerangnya Tapi tiada suara yang keluar dari mulutnya terkeeuali lenguh
dengan mendadak tanpa sesuatu sebab, dengan sendirinya saj a kecil yang segera tenggelam dalam nafasnya sendiri.
tangannya mengelus-elus mahluk b arn yang aman terlindung di uS abar, Mas Nganten, sabar," dukun bayi berbisik.
bawah j antungnya. Selamatlah kau, anakku. Selamatlah kau, uYa, Allah, selamatkan dia."
bawalah emakmu ini ikut selamat denganmu. uDemi allah, dia akan selamat."
UMana suaranya?"
**** uAir tuban terlalu oanyak Mas Nganten," sambil terus meng-'
angkat-angkat kedua belah kaki si bayi dengan tangannya.
Masa-masa yang gelisah mengguneangkan tel ah lewat. D i Tiba-tiba terdengar bayi itu merintih, kemudian muneul je­
depannya membentang masa indah, masa keibuan. Seorang rit lemahnya.
mahluk kecil menghembus-hembuskan nafas di dalam pelukan­ uAnakku ! "
nya, seorang mahluk keeil akan menghisap dadanya. Yang kecil
ini kelak akan menj adi besar, tapi dia harus dilahirkan dulu.

2 1 4 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 2 15

"Dia sudah menangis Mas Nganten. " Sekarang kepada siapa anak ini kuserahkan kalau tidak pada
Gadis Pantai menarik nafas dalam, kemudian ia terlena, bapaknya sendiri? Barangkali Bendoro tak pedulikan anaknya
matanya tertutup dan tertidur kelelahan. sendiri? Tidak, tidak mungkin, dia bapaknya, bdpaknya sendi­
Beberapa menit kemudian waktu ia terbangun, seorang ri o Tapi mengapa tak j uga datang, sekalipun cuma buat mene­
mahluk kecil tidur di sampingnya. Dengan sendirinya saj a ta­ ngok?
ngannya meraba-rabanya. Kedua tangannya lengkap, bisiknya.
Kedua kakinya lengkap tanpa cacat. Hatinya lega. Kedua ku­ Dukun bayi itu turun dari kursinya, menghampiri Gadis
pingnya pun lengkap. Matanya, bibirnya. Semua baik. Dan hi­ Pantai dan menyeka air mata dari waj ahnya.
dungnya ini, begini sederhana seperti hidungku.
B ayi itu tidur. "Bendoro akan datang."
Di hadapannya dukun bayi itu masih menunggu duduk ter­ "Sekarang sudah begini siang."
menung di atas kursi rendah. Ia tersenyum padanya. "B arangkali banyak pekerj aan."
"Lelaki atau perempuan?" G�dis Pantai berbisik, dengan Sore itu Bendoro datang membuka pintu kamar belakang
cemas-cemas berharap anaknya lelaki. Gadis Pantai, berhenti di samping daun pintu.
"Perempuan ! " j awab dukun bayi. "Bendoro, ampunilah sahaya, inilah dnak Bendoro . . . . ," tapi
"Bendoro sudah lihat?" suara itu tak ke luar dari mulutnya. Ia terlalu takut.
"Belum." "Jadi sudah lahir dia. Aku dengar perempuan bayimu,
"Sudah keras nangisnya?" benar?"
"Belum." "S ahaya, Bendoro."
Gadis Pantai menarik nafas panj ang. Sekarang ia tunggu "Jadi cuma perempuan?"
kedatangan Bendoro, dan seperti halnya dengan wanita-wanita "Seribu ampun, Bendoro."
kampung nelayan, ia akan bilang: Inilah anakmu , sembilan Bendoro membalikkan badan, kel uar dari kamar sambil
bulan lamanya aku besarkan dia di bawah ulu-hatiku. Terimalah menutup pintu kembali.
dia, ini anakmu sendiri, aku cuma sekedar mengandungnya. Gadis Pantai memiringkan badan, dipeluknya bayinya dan
Pagi sebelum matahari terbit bayi itu mandi. Kini sudah j am diciumnya rambuL,ya . . . .
sembilan pagi . Dan Bendoro belum j uga datang menengok. Di Empat puluh hari kemudian si bayi membuka mata. Dan
kampungnya sana, seorang bapak takkan turun ke laut tiga hari Gadis Pantai mengagumi matanya sendiri di mata bayinya:
sebelum anaknya lahir, dan tiga hari sesudahnya. Si bapak akan agak sipit seperti matanya. Bibirnya pun ada di waj ah bayi itu,
tunggu anaknya, akan jaga keselamatannya dan ibunya. Ia ingat hidungnya, resam tubuhnya yang kecil. Anak ini akan bertubuh
tetangganya - baru sekali istrinya melahirkan. Ia berj aga siang kecil seperti aku, see�teng kapas.
malam di luar rumah. Dan waktu bayinya lahir menangis ken­ Kini tak lagi ia merindukan Bendoro. Mata yang meman­
cang, ia tubruk pintu, lupa pada waj ahnya yang bercorengan air dang dengan sopannya itu - apakah Bendoro tak ingin melihat­
mata. nya? Ia ingin mempersembahkan anak ini pada bapaknya. Ia
ingin anak dan bapak berpandang-pandangan mesra. Tapi Ben­
doro tak pemah menengoknya.

216 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 217

Demikianlah bulan demi bulan meluneur dengan eepatnya. "Mengapa tak dibilangkan tak ada yang sempat ngaj i di
Ia tak lakukan lagi pekerj aan-pekerj aanya yang dahul u . sana? Sampai boeah-boeah kecil pun turun ke laut."
Tungku-batiknya sudah padam. Hanya kadang-kadang ia turun
ke dapur memeriksa makanan. "Aku takut."
Dan pada suatu hari tanpa diduga-dugdnya, bapak datang "Apa boleh buat."
seorang diri dari kampung nelayan. "Jadi emak belum tahu, dia sudah bereueu sekarang."
Segera sang bapak mengangkat, menggendong dan men- "Belum, dia akan girang. Dia akan selamati eueunya."
cium eueunya. "Bapak akan lama tinggal di kota?"
"Jadi sudah lebih tiga bulan umur bayimu?" "Mungkin. Apalagi di dekat eueu ."
"Tiga setengah, bapak." "B apak naik dokar?"
"Tak ada yang kasih kabar." "Kemarin dokar dari kota datang. Kusir yang menydfpfi ai­
"Aku kira bapak datang buat lihat eueu." kan panggilan Bendoro. Dia nginap di sana, pagi-pagi kami
"Tentu, tentu, kalau aku tahu. S�karang aku datang buat me- berangkat ke mari."
lihatnya. " "Bendoro sekarang j arang tinggal di rumah, bapak."
"Mau beli benang j ala?" "Apakah bapakmu sendiri sering tinggal di rumah?"
"Tidak." "Sudah makan, bapak?"
"Damar?" "Sudah. S udah. Emakmu bawakan aku nasi timbal."
"Juga tidak." "Apa yang kau bawa, bapak?"
"Jarum?" "B andeng. Di dapur sana. B andeng sedang baik-baiknya
"Kau sudah kirimi kami sebanyak itu dulu. Tak perIu beli sekarang . "
lagi . " Seseorang memberitakan Bendoro memanggil bapak.. Bapak
"Emak, bagdimana emak?" menyerahkan si bayi pada Gadis Pantai dan menghadap. Tidak.
"Baik. B aik semua baik." terdengar suara mereka di kamar belakang. Si bayi diletakkan
"Mardinah? kembali di ranj ang oleh emaknya. Gadis Pantai kemudian
"Sedang mengandung." duduk tepekur di kursi. Ia merasa bahagia dapat memberikan
"Syukur, Benar-benar si pendongeng turun ke laut?" seorang eueu pada bapak. Kebahagiaan itu pun akan meningkat
"Ya, benar. Dia ikut perahu kepala kampung sekarang. Se­ bila emak pun tahu akan kelahiran ini. Dan j uga seluruh kam­
mua orang suka padanya. Tapi sayang dia tak mau mendongeng pungo Mereka akan bangga: seorang di antara mereka telah di­
lagi." lahirkan dalam gedun� besar di kota, j adi keturunan Bendoro.
"Ada urusan datang ke kota, bapak?" Tak lama bapak pergi menghadap. Sebentar kemudian ia
"Ada, tentu. Bendoro memanggil aku." masuk kembali ke dalam kamar. Waj ahnya suram, langsung ia
"Mungkin soal surau. Aku sudah bilangkan pada Bendoro, menuju ke ranj ang si bayi dan meneiuminya.
di sana sudah didirikan surau, guru ngajinya eukupan dan anak­ "Ada apa, bapak?"
anak sudah mulai belaj ar ngaj i dan bahasa Arab." B apak meletakkan telapak tangannya IC Jubut -lembut pada
perut bayi.

2 1 8 FRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 219

"Mengapa bapak., mengapa diam?" "Sahaya belum lagi mempersembahkan anak ini kepada
Bendoro. Inilah putri tuanku Bendoro. Putri tuanku sendiri,
"Maafkan aku. Kumpulkan semua pakaianmu " bukan anak orang lain."

"Ada apa, bapak?" "Tidurkan dia di tempatnya."
"Sahaya adalah emaknya, sahaya yang hina ini, tuanku.
"Jangan bertanya, nak, j angan bertanya. Kita akan pergi B agaimana sahaya harus urus dia di kampung nelayan sana? la
sekarang." anak seorang b angsawan, tak mungkin diasuh secara kam­
pung."
"Ke mana, bapak?" "Aku tak suruh kau mengasuh anakku. "
"Haruskah sahaya pergi tanpa anak sahaya sendiri, tuanku?"
"Pulang." "Kau tak pernah sebanyak itu bicara."
"Apakah yang takkan diperbuat seorang ibu buat anaknya?"
"Pulang?" "Kau tinggalkan rumah ini ! B awa sel uruh perhiasan dan
pakaian. Semua yang telah kuberikan padmnu. B dpakmU sudah
"Ya, pulang . Kau tak suka l agi pada kampungmu sendiri kuberikan uang kerugian, cukup buat membeli dUd perahu
sekaligus dengan segala perlengkapannya. Kau sendiri, ini . . . ,"
sekarang ?" Bendoro mengulurkan kantong berat berisikan mata uang . . . .
pesangon. "Carilah suami yang baik, dan lupakan segala dari
"Mengapa tidak?" gedung ini. Lupakan aku, ngerti?"
"Sahaya, Bendoro."
"Mari pulang, nak. Ini bukan tempatmu lagi." "Dan ingat. Pergunakan pesangon itu baik-baik. Dan ... tak
boleh sekali-kali kau menginjakan kaki di kota ini. Terkutuklah
"Mengapa, bapak?" . kau bila melanggarnya. Kau dengar?"
"Lantas ke mana dia boleh pergi Bendoro?" bapak mem-
"Mengapa? Kau telah dicerai." protes.
"Ke mana saj a asal tidak di b umi kota ini ."
Gadis Pantai menggigil di samping bapak. Bapak pun segera "Sahaya, Bendoro."
"Apa lagi mesti k, ukatakan? Dokar itu sudah l ama me-
berdiri memapahnya. "Tawakal , nak, Tawakal ." nunggu."
"Anak ini, tuanku, bagaimana nasib dnak ini ?" Gadis Pantai
"Bapak !" memekik rintihan.
"Anak itu? Apa guna kau pikirkan? B anyak orang bisa urns
"Nak?" dia. Jangan pikirkan si bayi."

"Aku belum persembahkan anak ini kepadanya."

"Persembahkanlah. Mari aku antarkan."

"Ini anak Bendoro sendiri, bukan anak orang lain."

"Aku antarkan. Mari ."

Dengan bayi dalam gendongan, dengan bapak mengiringkan

dari belakang mereka menghadap Bendoro yang sedang duduk

di kursi goyang di ruang tengah. Segera Gadis Pantai duduk

bersimpuh di atas lantai.

"Seribu ampun Bendoro. Sahaya dengar tuanku telah cerai­

kan sahaya." Gadis Pantai terlupa pada ketakutannya demi

bayinya.

"Apa kau tak suka?"

"S ahaya cuma seorang budak yang harus j alani perintah

Bendoro . "

"Apalagi ?"

220 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 22 1

"Mestikah saya pergi tanpa dnak sendiri? Tak boleh balik ke "Maafkan aku, nak," bapak berkata perlahan dari samping
kota untuk melihatnya?" ranj ang, "tiada kuduga sebelumnya seperti begini bakal jadi­
nya."
"Lupakan bayimu. Anggap dirimu tak pernah punya dna1e"
Gadis Pantai tersedan-sedan "Ah, bapak, bapak orang baik. Bapak tidak salah, tidak ke­
"S ahaya harus berangkat, Bendoro, tanpa anak sahdya sen­ l i ru . "
diri?"
"Aku bilang kau tak punya anak. Kau belum pernah punya "Kau menangis tapi."
anak." "Apa yang dapat bapak perbuat? Bapak cuma menangis
"Sahaya, Bendoro." begini."
"Pergilah." "Ah, siapa tak sayang pada anak?"
"Tanpa anak ini perhiasan dan uang pesangon tanpa artinya, "Ini anakku yang pertama, bapak."
Bendoro." "Maafkan bapakmu yang bodoh ini, nak."
"Kau boleh berikan pada si b,!yi." "Kita maafkan semua dan segalanya, bapak, terkecuali
Baik bapak maupun Gadis Pantai te�diam kehabisan kata. satu. . . ."
Dan Bendoro menggoyang-goyangkan kursinya. "Kau bij aksana, nak. Memang tak patut seorang ibu dibatal­
Gadis Pantai pun berjalan berlutut mundur-mundur kemu­ kan haknya sebagai ibu. Tidak patut. Tidak patut ! Tapi cucuku
dian pergi diikuti oleh Bapak. Sesampainya di kamar ia segera itu, nak, dia bisa j adi priyayi, tidak seperti kita."
memeluk bayinya. "Mengerikan, bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini. Ah,
"Maafkan aku, anakku, tiada kusangka akan begini akhir- ah, mengapa bocah ini tak mau minum?"
nya." "Tidak patut kita lebih lama tinggal di sini, nak. Kita tak
"Kalau aku bersalah, apakah salahku, bapak?" punya sesuatu pun hak lagi di sini."
Bayi itu membuka matanya dan menangis. "Bapak benar, bapak benar. Anak ini, anak ini anakku. Ku­
"Kita pergi sekarang, nak." lahirkan dia dengan kesakitan. Lihat hidungnya. B apak, itu
"Ya, bapak, biarkan anakku minum dari dadaku buat peng­ hidungku. Dia anakku. Apa kurang darah yang telah kucucur­
habisan kali. " kan ? Duh-duuuh anak semanis ini - anak semanis ini ! Pak,
" Ya, biar dia minum. Barangkali buat penghabisan kal i . " bapak, bapak kakeknya. Mengapa diam saja?"
Gadis Pantai membuka kutangnya membenkan dadanya "Apa mesti aku katakan, nak. Apa kurang cukup renlasan di
pada bayinya. da1am hati melihat anak, anaknya sendiri seperti kau nasibnya.
"Minum, nak, minum!" bisiknya. Dan waktu bayi itu me­ Seperti dia nasibnya? ,Kurang cukup itu?"
nyentuh kemudian menghisap uj ung dadanya, diusap-usapnya "Anakku, anakku, bayiku. Apa aku mesti bHang paddffui ?"
rambut j arang si bayi dengan tangannya yang lain. Berbisik, Kedua-duanya terdiam. Tapi keriuhan mengalllUk di dalam
"Apa yang takkan kuberikan kepadamu, nak? Apa yang takkan hati masing-masing.
kukurbankan? Sekarang, sekarang hakku sebagai ibumu pun "Seperti kuburan rumah ini."
kurelakan buat kau ! " "Batu tanpa persaan."

222 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 223

"Untuk ini mungkin kita harns dirikan surau?" "Tidak, bapak, kita tidak mengerti, tapi anak ini, anak ini . . . ."
"Mari kita berangkat." "Dia akan dididik untuk tak mengenal kemiskinan, nak. Dia
"Anakku ini . . . . bagaimana anakku ini ?" akan dididik untuk rnemerintah Dia akan dididik untuk meme­
Seseorang mernanggil di depan pintu, kemudian: rintah kau juga."
"Dokar sudah tersedia di depan, Mas Ngdnten." "Bayi ini anakku, bapak. Aky rela diperintahnya."
Gadis Pantai tersedan-sedan. "Ah, bukan perintah itu yang menakutkan, nak. Kau tahu
"Pakaianmu, nak, biar aku bereskan." sendiri selain itu. Sayang aku baru tahu sesudah kej adian."
"Biar, bapak. Biarlah. Tambah banyak yang tertinggal di sini "Ini bayiku, bapak. Aku yang lahirkan dia. Biarlah aku le­
barangkali saj a bertambah sering dia terkenang pada emaknya bih lama tinggal dengan dia. Biarlah dosaku pada Bendoro ku­
kelak." perbanyak barang sedikit. Dia butuhkan dada emaknya. Ah,
"Apa kau pakai di kampung nanti?" besok dia takkan minum susu emaknya lagi . Bapak tak me­
"Biarlah aku j adi seperti yang lain-lain." ngerti ini?"
"Ah, anakku." B apak tak menj awab, hanya mondar-mandir gelisah.
Sekali lagi suara di depan pintu terdengar rnemanggil-mang­ Akhirnya Gadis Pantai bangkit dari ranj ang menghampiri
gil, "Dokar sudah tersedia di depan, Mas Nganten. " bdpak.
Bapak menatap Mas Nganten yang rnasih j uga tergolek di "Biar aku menghadap lagi, bapak. Bapak turunlah dul u dari
ranj ang memeluk bayinya. rumah ini . Tunggu aku di depan rnesjid, di alun-alun sana, di
"Jadi, bagaimana, nak, maksudmu?" bawah pohon-pohon tanjung." Dilihatnya bapak j adi ragu-ragu,
"Dia ini bayi, bapak, bayi. Biarlah dia minum dulu. Biarlah Gadis Pantai meneruskan, "Jangan kuatir, bapak. Turunlah."
dia kenyang barang sedikit. Siapa tahu ini penghabisan kali dia Dengan pandang mernerintah Gadis Pantai mengikuti gerak­
menyusu emaknya sendiri." gerik bapak. Akhimya bapak meninggalkan kamar, dan hilang
"Tapi ini bukan rumahmu lagi, nak. Mari bawa si bayi ke dari pemandangannya.
luar rumah. S usui dia di bawah pohon tanj ung di tepi alun­ Gadis Pantai mengambil selembar selendang. Digendong­
al u n . " nya anaknya. Beberapa kali diciumnya pada pipi , kening, j ari­
"Anak ini belurn turun burnie bapak, belum potong rambut, j arinya yang putih rnungil. Tiba-tiba ia tersedan-sedan seorang
mana dia kuat menahan angin laut?" diri. Anak ini, anak ini bagaimana kau bakalnya, nak? Lambat­
"Aku ngerti, nak, sangat ngerti. Tapi kita tidak ada hak ting­ lambat ia melangkah ke pintu, menyeberangi ruang belakang
gal di sini lebih lama. Kau dengar sendiri, kuda dokar sudah memasuki ruang teng�h. Dilihdtnya Bendoro Inasih duduk di
siap menolong kita menjauhi tempat ini." tempatnya dengan buku Hadith di tangdn. la menghampiri tan­
"Bagaimanapun dia pemah suamiku, bapak. Sebentar tadi pa meninggalkan suara, kemudian duduk di lantai di belakang
dia masih suamiku. Mana mungkin dia begitu angkuh terhadap kursi Bendoro.
emak dari anaknya sendiri?" "Seribu ampun, Bendoro."
"Kita tak mengerti perangai bendoro-bendoro, nak. Kita tak Tanpa menengok Bendoro menurunkan Hadithnya. la
ngerti . " mendaham.

224 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 225

"Seribu ampun, sahaya datang buat serahkan anak sahaya Seperti sebuah peleton serdadu, buj ang-bujang - laki dan
ini, anak sahaya sendiri, bukan anak orang lain, Bendoro. Ter­ perempuan - lari menahan dan mengepung Gadis Pantai.
imalah dia Bendoro."
"Bukan pencuri aku ! " teriak Gadis Pantai dengan lantang.
"Letakkan di ranj ang ! " "Semua kutinggalkan di kamar. Aku cuma bawa anakku
"Tidak mungkin, tu an." sendiri. Cuma anakku sendiri," f.akinya menyepak tapi bujang­
"Kau tak dengar perintahku?" buj ang lain mendesak.
"S ahaya ini emak si bayi. Kalau bapaknya pegang pun tak "Maling ! " bentak Bendoro. "Ayoh. Lepaskan bayi itu dari
mau, apa pula merawatnya, Bendoro. Sebaiknya sahaya bawa gendongannya. Kau mdU kUPdllggil polisi? Marsose?"
pulang ke kampung." "Aku cuma bawa bayiku sendiri. Bayi aku ! B ayi yang kula­
Bendoro meronta bangun. Dan kursi goyang itu pun terayun­ hirkan sendiri. Dia anakku, bapaknya seorang setan, iblis. Le­
ayun tanpa penghuni. Ia berdiri menghadapi Gadis Pantai yang paskan !"
menunduk menekuri lantai. Seseorang memukul mulutnya hingga berdarah. Masih ter­
"Murkailah s ahaya ini, Bendoro. B ayi bukan perhias.an , dengar orang berbisik ke telinganya, "Kau hanya dipukul se­
bukan cincin, bukan kalung yang bisa dilemparkan pada setiap dikit."
orang . " Ia tak tahu kepala tongkat Bendoro yang mengucurkan ddfah
"Mulai kapan kau punya ingatan mau larikan bayi ini?" pada bibirnya. Bayi itu tahu-tahu telah lepas dari tubuhnya, dan
Gadis Pantai mengangkat muka, menantang mata Bendoro. selendang itu tergantung kosong di depan perutnya.
Perlahan-lahan ia berdiri tegak dengan bayi dalam gendongan­ "Anakku sendiri dia ! " raungnya.
nya. "Lempar dia keluar ! " Bendoro berteriak.
"Ayam pun bisa membela anaknya, Bendoro. Apalagi sa­ Satu gabungan tenaga telah mendorongnya ke pelataran te­
haya ini - seorang manusia, biar pun sahaya tidak pernah ngah. Ia memberontak dan meraung. Waktu diangkatnya mu­
mengaji di surau." kanya ke arah langit, dilihatnya pada jendela rumah tingkat di
"Pergi ! " samping gedung seorang wanita melemparkan pandang kosong
Gadis Pantai memunggungi Bendoro, dan dengan bayi padanya. Dan Gadis Pantai mangadu:
dalam gendongannya ia melangkah cepat menuj u pintu. "Dia bayiku sendiri ! Biar bapaknya setan, biar iblis nerc.lka,
"Tinggalkan anak itu ! " dia bayiku sendiri !"
Gadis Pantai telah keluar dari pintu ruang tengah. Wanita di jendela itu menghapus matanya, membalikkan diri
Bendoro meraih tongkat, meletakkan Hadith di atas mej a dan menutup jendela.
kecil di sampingnya, lari memburu Gadis Pantai dan menda­ "Buat apa dia mesti rampas anakku ? Selusin ant-it.. dia bisa
patkannya di jenjang ruang belakang di tentang dapur rumah. buat dalam seminggu. Dia cuma siksa aku ! Dia, Bendoromu itu.
Dan bujang-buj ang telah berderet di depan pintu dapur dengan Dia cuma mau siksa bayiku, Bendoroll111 itu. Sini, mc.lna bayiku.
mata ketakutan.
"Tahan dia !" seru Bendoro sambil mengayun-ayunkan .
tongkatnya. Berikan padaku."

Ia telah didorong melewdti pintll pcl(.ltaran tengah.

22 6 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 22 7

"Bayiku ! Nak, anakku. Sini , kau, nak ! " perhatian semua yang ada di dalam dokar. Rutan-hutan jati dan
Dengan kekuatan yang tersisa berusaha berjalan bdlik. Sese­ bakau yang bergandeng-gandengan terkesan seakan gumpalan­
orang mendorongnya dengan kasar. Sebelum j atuh rubuh di gumpalan mendung yang melintas tanpa makna di malam hari.
pasiran ia masih sempat melihat pintu masuk ke pel ataran te­
ngah telah tertutup - tertutup buat selama-Iamanya bdginya. Ia "Apa mesti kukatakan pada emak?"
dengar seseorang berbisik, "Maafkan kami, Mas Nganten." "Seorang emak, nak, biar tak Jihat anaknya dia tahu apa yang
"Aku tak boleh masuk ke sana lagi?" ditanggungkannya ! "
"Tidak boleh, Mas Nganten, maafkan, beribu maaf. Kami "Aku tahu penanggungan bayiku, bapak. "
telah berbuat kasar." "Diamlah, tidurlah, nak. Tidur."
Gadis Pantai tersedan-sedan di atas pasiran. Ada masanya Gadis Pantai berusaha keras agar tak j atuh
"Putri Mas Nganten akan kami rawat. Percayalah." tertidur, menunggu kedatangan Bendoro. Kini bapak menyu­
"S ahaya akan gendong, sahaya bawa j alan-jalan kalau sore." ruhnya tidur, dan ia tak mampu. Sedang bunyi telapak kuda
"Sahaya akan tunggui kalau Il}alam." yang berirama mengetuki daratan j alan raya yang keras itu , ber­
"Terima kasih. Terima kasih." gaung dalam hatinya, seperti ketukan-ketukan martil pada din­
"Mari sahaya antarkan ke dokar, Mas Nganten . " ding-dinding j antungnya.
Seseorang menolongnya berdiri Gadis Pantai tak melawan. Dokar macam ini j uga yang menyeret aku dari orang tuaku
Ia sandarkan diri pada orang-orang yang selama itu melaya­ dan kampungku. Dan dokar macam ini pula yang menyeret aku
ninya sebagai buj ang. Mereka membimbingnya kel uar dari dari perkawinanku dan anakku.
pelataran depan, turun ke jalan raya, ke tepian alun-alun. Dan Ia rasai pelupuk matanya terlalu berat. Apa mesti aku kerja-:
bapak yang duduk bersandaran dengan lamanya pada pohon kan di kampung sana? Buat siapa aku mesti kerja?
tanj ung segera berdiri, terburu-buru menghampiri anaknya,
kemudian memapahnya menaiki ke atas dokar. "Bapak?"
Waktu dokar mulai berj alan, bapak berbisik menghibur. "Ya?"
"Nasib kitalah memang, nak. Nasib kita. Seganas-ganas laut, Tapi Gadis Pantai tak meneruskan. Ia teringat pada pen­
dia lebih pemurah dari hati priyayi." duduk kampung yang menyusu lnya dengan obor waktu ia pu­
"Kita ke mana, bapak?" ldng setelah kawin, ia ingat pada orang-orang yang menyebut­
"Ke mana? Ke tempat kau dilahirkan. Ke tempdt leluhurmu nya Bendoro Putri. Ia ingat pada Mardinah? Tapi segera
dikuburkan . " ingatannya berbalik pada anaknya.
"Tak sanggup aku tentang mata mereka lagi, bapak." Sedang menangiskah dia sekarang, manisku itu ? la raba
"Tak ada tempat lain yang lebih pemurah dari kampung kita, dadanya yang sederhana. Dan kutangnya rasanya bdsah kena
n ak . " tetesan air susu . Betapa sia-sia buah dada ini d i bcrikan ke­
Dan dokar berjalan terus menggelinding di atas j alan pos padaku. Ah-ah, mengapa aku sesali buah dad'l yang telah di­
buatan Daendels. Cemara yang berkej ar-kej aran tiada menarik hisap anakku?
Kemudian ia teringat pada Bendoro: orang yang t inggi se­
mampai tanpa otot - betapa besar kcku,lsa,mnYd. biar pun tak

228 PRAMOEDYA ANANTA TOER GADIS PANTAI 229

pernah melihat l aut ! Disuruh apakah anakku kelak? Aku basah halus itu membelai telapak kakinya Ditengoknya pasir­
emaknya sendiri? Disuruh kelak hinakan emaknya sendiri? Ah­ an di bawah kakinya. Ia terhenti.
ah, dia bakal j adi serupa dengan bapaknya.
Bekas telapak kaki yang ditinggalkan di pasiran itu, ruang
"Barangkali ini yang memang sebaiknya, bapak?" jejaknya j auh lebih besar daripada y ang pernah dicapkannya
"Nak" pada pasir kampungnya hampir empat tahun yang lalu. Sekali
"Kalau anakku besar nanti - kalau dia tahu emaknya cuma lagi buah dadanya mendenyut ngilu, sekuj ur punggungnya
orang dusun dari kampung nelayan - barangkali dia malu pu­ menggigil sedikit. Kembali ia dengar tangis bayinya.
nya emak seperti aku ini."
"Ah, anakku. Mengapa kau bilang begitu?" Dia akan j adi priyayi. Dia anakku. Dia akan tinggal di ge­
"Aku, pikir, barangkali ini memang sebaiknya, biar begini dung. Dia akan memerintah . Ah, tidak. Aku tak SUkd pada
berat rasanya. Biarlah ia tak perlu tahu emaknya. Dia akan j adi priyayi. Gedung-gedung berdinding batu itu neraka. Neraka.
seperti bapaknya. Dia akan memerintah. Dia akan tinggal di Neraka tanpa perasaan. Tak ada orang mau dengarkan tangis­
gedung - tak perlu melihat Iaut. Ap, bapak, aku harus berikan nya. Kalau anak itu besar kelak, dia pun takkan dengarkan ke­
semua itu. Aku harus berikan ." luh-kesah ibunya. Dia akan perintah dan perlakukan aku seperti
Matahari di atas sudah melewati puncak ketinggiannya orang dusun, seperti abdi . Dia pelakukan aku seperti bapaknya
sekarang. Beberapa gumpal mendung antara sebentar menutup memperlakukan aku kini dan selama ini. Ya, Allah, pergundkan­
matahari dan menyuramkan dunia. "Hari sepanas ini dan hawa lah kekuasaaanMu, buatlah dia tidak mengenal emaknya. Buat­
seberat ini. Hujan bakalnya." lah aku takkan bertemu dengannya kelak. Tapi lindungilah dia.
Betapa senang tinggal di gedung bila huj an j atuh. Tak seti­ Dia anakku yang tak mengenal emaknya, tak kenal lag i air susu
tik tampias menyinggung tubuh. emaknya.
Dan mendung di langit semakin teba!. Kini guruh mulai
menderu-deru berselingan dengan deburan laut. Waktu huj an Kembali ia merenungi tanah dan mengamati bekas tel dpak
turun kuda yang nampak kelelahan itu menj adi segar dan kuat kakinya yang begitu besar. Waktu diangkat kepalanya i (.\ lihat
kembali, lari gesit kedinginan. Waktu huj an reda, dokar telah bapak berdiri di hadapannya.
sampai di ujung j alan yang tak dapat lagi ditempuh oleh dokar.
Gadis Pantai turun. Ia tebarkan pandangnya keliling. Ia masih "Kampung kita akan terima kau seperti dahulu wdktu kau
hafal pohon-pohon yang tumbuh di sekitarnya. Tak ada sesuatu­ dilahirkan, nak. Semua orang datang dan memberikdn berkah­
pun perubahan pada pohon-pohon itu. Cuma air hujan membuat nya."
daun-daunnya nampak j adi lebih berat dan lebih hij au.
Ia dengar suara tangis bayinya. Buah dadanya dirasai nya Indahnya orang-orang kampung di pinggir pantai itu. Gadis
keras menekan dadanya, mendenyut. Ia mulai melangkah tan­ Pantai kembali teringat pada bayinya: tiada seorang lnenyam­
pa tenaga, kakinya telah lupa mengenakan sdndal yang biasa but kedatangannya t�rkecuali emaknya scndiri . 8 dpaknya
dikenakan dalam tahun-tahun belakangan ini. Dirasainya pasir sendiri pun tak acuh terhadap kelahirannya

"Memang berat di kampung, nak. Kau pcrnah mengalami
hidup yang lain di kota."

Gadis Pantai melangkah dua tindak lagi. Tiba-tiba berseru
pada kusir, "Jangan j alan dulu, mdn ! "

230 PRAMOEOYA ANANTA TOER GAOlS PANTAI 23 1

"Mengapa kau, nak?" Bapak j uga masih tak tahu apa mesti diperbuat. Gadis Pan­
"Tidak, bapak, aku tak kembali ke kampung. Aku mau per­ tai mengambil cambuk dan melecut kuda dari bawah perutnya.
gi j auh ! " Kuda pun melompat dan lari. Roda-rodanya menggilas j alanan
"Nak . " pasir, lari laju menuj u jalan pos. Tanpa menengok ke belakang
Gadis Pantai bersimpuh mencium kaki bapak. Kainnya lagi Gadis Pantai memusatkap mata ke depan.
bergelimangan pasir basah.
"Ampuni aku, bapak. Aku tak dapat tentang mata emak, para Dalam satu bulan setelah itu sering orang melihat sebuah dokar
tetangga dan semuanya. Ampuni aku, bapak. Aku akan pergi berhenti di depan pintu pekarangan depan Bendoro dan sebuah
bawa diriku sendiri . " wajah mengintip dari kiraian jendela dokar, tapi tak ada teljadi
"Kau sudah j anji takkan balik ke kota, nak?" apa-apa di pekarangan itu. Selewat sebulan, tak pernah lagi ada
"Aku akan balik ke kota, bapak, tapi tidak menetap. Besok dokar berhenti, tak ada lagi waj ah mengintip dad kirainya.
aku pergi ke selatan."
"Kau mau ke mana?" Created by [email protected]
"Ke Blora, B apak." CKoleksi IIPramudya Ananta loer")
"Kau, mau ikut siapa?" Weblog" http://hanaokLwordpress..com
"Dulu aku punya pelayan . Dia sudah diusir. Mu ngkin ke
sana dia pergi , bapak."
"Jangan, nak, mari tinggal di kampungmu sendiri. Kau tak
kenaI tempat lain."
"Beribu ampun, bapak. B apak pulanglah sendiri ke kam­
pungo Belilah perahu besar model baru buatan Lasem. Dia akan
gantikan aku sebagai anak bapak. Mintakan maafku pada emak,
pada semu a saudara, tetangga dan siapa saj a. Anggaplah anak
bapak sudah tiada lagi. Perahu buatan Lasem itu bakaI j adi anak
bapak yang paling ceria." Gadis Pantai berdiri, kemudian
merangkul bapak.
" Beri aku uang sekedarnya, bapak."
Bapak masih berdiri termangu tak tahu apa mesti diperbuat.
Gadis Pantai merogoh kantong bapak, mengambil beberapa
mata uang perak, kemudian tanpa ragu-ragu menuJ u dokar dan
naik ke atasnya.
"Kembali ke kota, man !"
"Bagaimana ini, kanca !" seru kusir itu pada bapak.

Segera menyusul terbitan ula ng
karya-karya besar

Pramoedya Ananta Toer!

Kwartet B uru :

Bumi Manusia
Anak Semua Bangsa
Jejak La ngkah
Rumah Kaca

da n

Nya nyi Sunyi Seorang Bisu I & II
Arus Balik


Click to View FlipBook Version