The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

BOOK MANDAILING- VOKAL TRADISI MANDAILING

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by anastasya.sinulingga294, 2025-02-27 11:35:09

BOOK MANDAILING- VOKAL TRADISI MANDAILING

BOOK MANDAILING- VOKAL TRADISI MANDAILING

VOKAL TRADISI NUSANTARA ETNIS BATAK MANDAILING Dosen Pengampu: Dr. Lamhot Bassani Sihombing M.Pd. PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MUSIK JURUSAN SENDRATASIK UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2025


i KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan berkat dan anugerahNya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik dan tepat waktu meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan juga kami berterima kasih kepada Bapak Dr.Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. selaku Dosen mata kuliah Vocal Tradisi Nusantara yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal kemampuan kami. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan dan pengetahuanserta pemahaman tentang ETNIS BATAK MANDAILING. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan adanya kritik, saran, dan usulan yang membangun demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Kami berharap laporan yang telah disusun ini dapat berguna baik bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Akhir kata kami mengucapkan terimakasih, semoga dapat bermanfaat dan bisa menambah pengetahuan bagi pembaca. Medan, 14 Februari 2025 Kelompok Etnis Mandailing


ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...........................................................................................................i DAFTAR ISI........................................................................................................................ii BAB I................................................................................................................................... 1 PENDAHULUAN............................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang........................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................... 1 1.3 Tujuan ........................................................................................................................ 1 BAB II ................................................................................................................................. 2 PEMBAHASAN.................................................................................................................. 2 2.1 Sejarah Suku Mandailing .......................................................................................... 2 2.1.1 Periode Klasik .................................................................................................... 2 2.1.2 Periode Kerajaan ................................................................................................ 3 2.1.3 Periode Kolonialisme ......................................................................................... 4 2.2 Pengertian Vokal Tradisi Etnis Mandailing ............................................................... 6 2.3 Teknik Vokal Tradisi Etnis Mandailing ..................................................................... 6 A. Ungut-Ungut........................................................................................................... 7 B. Onang-Onang.......................................................................................................... 8 2.4 Fungsi Vokal Tradisi Etnis Mandailing ................................................................... 14 2.5 Makna Vokal Tradisi Etnis Mandailing ................................................................... 18 2.6 Alat Musik ............................................................................................................... 19 2.7 Bahasa...................................................................................................................... 20 2.7 Pakaian Adat............................................................................................................ 21 2.8 Kesenian Tradisional ............................................................................................... 28 2.9 Adat Istiadat............................................................................................................. 32 2.10 Agama, Kepercayaan, Dan Mata Pencaharian ...................................................... 34 2.11 Rumah Adat ........................................................................................................... 35 2.12 Makanan ................................................................................................................ 36 2.13 Nyanyian................................................................................................................ 39 BAB III.............................................................................................................................. 46


iii PENUTUP ......................................................................................................................... 46 3.1 Kesimpulan.............................................................................................................. 46 3.2 Saran ........................................................................................................................ 46 PROFIL PENYUSUN ....................................................................................................... 47 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................iii


1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan dan Masyarakat merupakan suatu hal yang tidak dapat terpisahkan satu sama lain. Keduanya saling berkaitan erat. Masyarakat menjadi bagian dari kebudayaan, sedangkan kebudayaan itu sendiri merupakan hasil dari adanya masyarakat. Seperti halnya kebudayaan dan suku batak, suku batak sudah tidak asing lagi kita dengar dalam pembelajaran kita maupun dalam kehidupan sehari-hari. Suku batak sendiri memiliki beraneka ragam jenis sub sub suku/etnis yang memang berbeda-beda dan unik. Bahkan diluar sana menurut pengamatan penulis masih banyak orang yang belum mengetahui mengenai suku batak lebih spesifik. Masih banyak orang-orang yang beranggapan suku batak identik dengan logat yang kasar, berteriak saat berbicara, keras dsb. Padahal tidak semua suku batak seperti itu. Masing-masing etnis/sub dari suku batak, memiliki ciri-ciri adat istiadat tersendiri, sistem kekerabatan yang berbeda pula, berbeda dialek/logat, dan lain-lain. Semua itu tergantung pada kebudayaan yang mereka anut sejak dulu. Terutama suku batak mandailing. Maka dari itu dalam hal ini, penulis akan membahas mengenai Kebudayaan Suku Batak Mandailing. Agar pembaca dapat mengetahui dan memahami perbedaan suku batak yang satu ini serta agar dapat menambah wawasan pembaca mengenai suku batak mandailing. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana kebudayaan suku batak mandailing? 2. Apa saja perbedaan dan persamaan suku Batak Mandailing dengan suku Batak Lainnya? 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui kebudayaan suku batak mandailing. 2. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan suku Batak Mandailing dengan suku Batak lainnya.


2 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Sejarah Suku Mandailing 2.1.1 Periode Klasik Mandailing adalah sebuah suku bangsa yang memiliki identitas yang utuh. Nama Mandailing diyakini berasal dari kata "Mandala-Holing", mengacu kepada suatu kerajaan yang sudah ada jauh sebelum abad ke-12. Kerajaan itu diyakini membentang mulai dari Padang Lawas hingga kawasan paling Selatan provinsi Sumatera Barat atau kawasan yang termasuk wilayah Tapanuli Bagian Selatan. Sebutan "Mandala Holing" juga dikaitkan dengan ungkapan yang sering digunakan dalam adat Mandailing, yakni "surat tumbaga holing naso ra sasa" (aturan adat yang tidak bisa dihapus). Sebutan Holing sering dikaitkan dengan nama Ho-Ling. Nama itu tercatat dalam kekuasaan Dinasti Tang yang memerintah di Cina tahun 618-906 masehi. Disebutkan juga bahwa, sekalipun di bawah otoritas Dinasti Tang di Cina, pemerintahannya berpusat di Jawa, yakni kerajaan Kalingga di Pesisir Utara Jawa. Dari beberapa sumber disebutkan juga bahwa pada masa itu, para pedagang Cina sudah sering melakukan perjalanan ke kawasan Mandailing. Terutama untuk perdagangan keramik Cina yang terkenal. Adanya peninggalan keramik itu, sering ditemukan dalam eksplorasi situs-situs tua di Mandailing. Kata Mandailing disebutkan pertama kali dalam buku "Nagarakertagama". Buku itu ditulis oleh Mpu Prapanca di masa pemerintahan Majapahit. Buku itu menceritakan tentang adanya ekspedisi utusan kerajaan Majapahit ke wilayah Sumatera pada abad ke-14, atau sekitar tahun 1365 Masehi.


3 Hingga hari ini memang tidak ditemukan bukti yang otentik bahwa kerajaan Majapahit pernah menguasai kawasan Mandailing Natal. Meskipun beberapa kawasan di Sumatera pernah dalam pengaruh Majapahit, tetapi kawasan Mandailing tidak ditemukan adanya bukti-bukti aneksasi itu. Karena itu, beberapa situs atau candi Hindu-Budha yang ditemukan di kawasan Mandailing, misalnya di Simangambat Kecamatan Siabu, tidak sepenuhnya bisa dikaitkan dengan adanya eksvansi kerajaan Majapahit tersebut. Selain itu, ada rentang tahun yang jauh antara masa pemerintahan Majapahit dengan usia candi Simangambat, misalnya. Candi Simangambat diyakini telah berdiri sejak abad sembilan masehi, sementara kerajaan Majapahit baru berdiri pada tahun 1293. Ketika ekspedisi kerajaan Majapahit memasuki kawasan Mandailing, daerah ini sudah beragama Hindu dan memuja Dewa Siwa. Belum ada referensi yang dapat menjelaskan secara komprehensif bagaimana sebaran penduduk Mandailing Natal sejak masa Hindu Budha Klasik itu hingga beberapa dekade kemudian. Bahkan tidak juga dapat diterangkan siapa penduduk Mandailing pada masa klasik itu, sebelum munculnya trah marga-marga yang diyakini baru ada sekitar 4-5 abad yang lalu. Misalnya, dengan munculnya trah marga Nasution di masa Kerajaan Aru. Masa abad sembilan Masehi yang ditandai dengan adanya kebudayaan Hindu-Budha Klasik hingga periode munculnya marga-marga itu, hingga hari ini masih merupakan mata rantai yang hilang (missing link) dalam sejarah klasik Mandailing Natal. 2.1.2 Periode Kerajaan Pada masa Hindu-Budha Klasik, kawasan Mandailing acapkali dikaitkan dengan kerajaan Kalingga pada abad 7-8 Masehi. Meskipun begitu tidak ada catatan yang lengkap mengenai bentuk dan pola pemerintahan yang otonom berkuasa di wilayah Mandailing. Catatan penting baru muncul dalam naskah "Pararaton" (1336 Masehi) yang ditulis dalam teks Jawa Pertengahan. Naskah itu menyebutkan bahwa di Sumatera terdapat lima kerajaan penting, salah satunya adalah Kerajaan Aru, yang telah berdiri tahun 1295 Masehi.


4 Kawasan Mandailing diyakini di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan tersebut sepanjang abad 13 hingga 15 Masehi. Kerajaan Mandailing yang otonom diyakini baru terbentuk beberapa abad kemudian yang ditandai dengan kekuasan Pulungan yang pertama. Setelah itu, klan marga Nasution juga mendirikan kerajaan besar di yang menguasai kawasan Mandailing Godang. Lalu, klan marga Lubis juga mendirikan kerajaan di kawasan Mandailing Julu. Kedua kerajaan penting itu, Nasution dan Lubis, memerintah secara otonom. 2.1.3 Periode Kolonialisme Perang Paderi yang berpusat di Minangkabau mendorong instablitas pemerintahan di kawasan Mandailing. Sebab, sebagian dari pasukan Paderi juga berasal dari pesantren yang disuplai daerah Mandailing dan Natal. Untuk memblokade perluasan perang Paderi ke arah Utara, Belanda lalu masuk ke Mandailing. Maka berdirilah Asisten Residen Angkola Mandailing tahun 1840, sebuah pemerintahan kolonial yang berpusat di Panyabungan, di bawah Gubernemen Sumatra's Westkust. Pemerintahan ini menandai masuknya penjajahan di kawasan ini, sekaligus mengabrasi otoritas raja-raja Mandailing. Tahun 1857, kawasan Mandailing, Angkola, dan Sipirok disatukan dalam Karesidenan Air Bangis. Tahun 1885, Karesidenan Mandailing Natal terbentuk dan beribukota di Padangsidempuan. Tahun 1906, pusat pemerintahan Residen Mandailing Natal dipindahkan dari Padangsidimpuan ke Sibolga, dan berubah menjadi Karesidenan Tapanuli, yang termasuk di dalamnya afdeeling Sibolga dan Bataklanden. Natal disiapkan menjadi kota pelabuhan penting untuk ekspor komoditis perkebunan. Selain karena telah menjadi pelabuhan dagang penting bagi bangsa Cina, Arab, Portugis, India, dan Inggris sejah ratusan tahun sebelumnya, Muara Singkuang dan Natal juga menghubungkan sungai-sungai besar di Mandailing. Sungai-sungai besar itu, selain menjadi sumber pertanian dan perkebunan, juga menjadi sarana lalu lintas jalan


5 sebelum dibangunnya Jalan Pos Mandailing Air Bangis tahun 1901. Karena itu tahun 1840, Multatuli mendarat di Natal sebagai Controlir Natal. Penetapan Natal sebagai kota pelabuhan utama, juga berkaitan dengan pemberlakuan sistem Tanam Paksa di kawasan ini. Dengan sistem sewa tanah bagi petani dan kewajiban menanam tanaman perkebunan, Mandailing tumbuh menjadi kawasan perkebunan ekspor utama. Kopi menjadi andalan komiditi utama dari daerah Mandailing, dan Cengkeh menjadi komoditi utama pesisir Pantai Barat. Komoditi lainnya adalah lada, pala, dan rempah lain. Untuk transportasi komoditis perkebunan skala besar, maka segeralah dibangun Jalan Pos yang menghubungkan Panyabungan dengan Pelabuhan Natal. Sekolah juga dibuka, karena pemerintah kolonial membutuhkan tenaga administrasi pemerintahan dan perkebunan. Tumbuhnya kalangan terpelajar menjadi hal yang sangat penting dalam mendorong tumbuhnya kalangan pemuda pelajar yang menggagas Indoensia Merdeka di kawasan ini. Kesimpulannya Mandailing atau Mandahiling diperkirakan berasal dari kata Mandala dan Holing, yang berarti sebuah wilayah Kerajaan Kalingga. Kerajaan Kalingga adalah Kerajaan Nusantara yang berdiri sebelum Kerajaan Sriwijaya, dengan raja terakhir Sri Paduka Maharaja Indrawarman yang mendirikan Kesultanan Dharmasraya setelah diIslamkan oleh utusan Khalifah Utsman bin Affan pada abad ke-7 M. Sri Paduka Maharaja Indrawarman adalah putra dari Ratu Shima. Sri Paduka Maharaja Indrawarman kemudian dibunuh oleh Syailendra, pendiri Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 itu juga. Pada abad ke-10, Kerajaan Chola dari wilayah Tamil, India Selatan, dengan rajanya Rajendra telah menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menduduki wilayah Mandailing, yang kemudian dikenal dengan nama Ang Chola (baca: Angkola). Ang adalah gelar kehormatan untuk Rajendra. Kerajaan India tersebut diperkirakan telah membentuk koloni mereka, yang


6 terbentang dari Portibi hingga Pidoli. Dalam Bahasa Minangkabau, Mandailing diartikan sebagai mande hilang yang bermaksud "ibu yang hilang". Oleh karenanya ada pula anggapan yang mengatakan bahwa masyarakat Mandailing berasal dari Kerajaan Pagaruyungdi Minangkabau. 2.2 Pengertian Vokal Tradisi Etnis Mandailing Vokal tradisi merujuk pada seni musik vokal yang diwariskan turun-temurun dalam suatu budaya atau komunitas tertentu. Setiap budaya memiliki gaya vokal khas dengan teknik, melodi, harmoni, dan lirik yang unik. Biasanya, musik vokal tradisional dinyanyikan dalam bahasa daerah atau dialek setempat, dengan makna kultural maupun religius yang mendalam. Beberapa bentuknya melibatkan paduan suara besar, sementara yang lain dibawakan secara solo. Musik ini dapat diiringi oleh instrumen tradisional seperti seruling, gendang, kawala, atau biola. Namun, dalam beberapa tradisi, suara manusia menjadi satu-satunya elemen musikal, membentuk harmoni dan ritme tanpa alat musik tambahan. Pertunjukan vokal tradisional sering hadir dalam berbagai acara, seperti upacara adat, pernikahan, pemakaman, dan festival budaya. Pada dasarnya, musik vokal tradisional adalah simbol kekayaan budaya serta warisan sejarah yang terus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat. 2.3 Teknik Vokal Tradisi Etnis Mandailing Teknik vokal adalah metode dalam menghasilkan suara yang baik dan benar, mencakup aspek seperti wilayah nada, warna suara, serta pengolahan melodi yang kreatif dan estetis. Dalam konteks musik tradisional, teknik vokal memainkan peran penting dalam menyampaikan makna dan emosi lagu. Salah satu bentuk teknik vokal dalam tradisi tapanuli selatan adalah ungut-ungut dan onang-onang. Keduanya merupakan seni vokal khas yang menggabungkan unsur bercerita, berpantun, serta melantunkan syair dengan iringan musik tertentu. Seni ini


7 berbentuk seperti prosa pantun yang disampaikan dengan kesadaran tinggi untuk memberikan amanat atau pesan moral. Tradisi ungut-ungut dan onang-onang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi, karena pada masa lalu masyarakat lebih mengandalkan tradisi lisan dibandingkan tulisan. Isi dari seni vokal ini umumnya berupa nasihat, kisah kehidupan masyarakat, serta refleksi atas nilai-nilai sosial dan budaya setempat. Selain menjadi bagian dari hiburan, seni vokal ini juga memiliki fungsi edukatif dan religius. Dalam beberapa kesempatan, ungut-ungut dan onang-onang ditampilkan dalam acara adat, ritual keagamaan, dan perayaan penting sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur serta sarana menjaga identitas budaya masyarakat tapanuli selatan. A. Ungut-Ungut Ungut-ungut adalah salah satu bentuk seni vokal tradisional yang berkembang di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Seni vokal ini merupakan bagian dari tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun dalam masyarakat. Dalam praktiknya, ungutungut sering kali disampaikan dalam bentuk pantun atau prosa berirama, yang diiringi dengan lantunan melodi khas. Fungsi utama unggut-ungut adalah sebagai sarana penyampaian pesan moral, nasihat, atau refleksi kehidupan sosial masyarakat. Selain itu, seni vokal ini juga digunakan untuk menghibur, mengisahkan peristiwa penting, serta menjaga nilai-nilai budaya dan adat istiadat setempat. Penyampaiannya dilakukan dengan penuh ekspresi dan intonasi khas, sehingga dapat menarik perhatian pendengar dan memperkuat makna yang terkandung dalam liriknya. Ungut-ungut biasanya memiliki syair yang menggunakan bahasa Mandailing dan mengandung ungkapan kesedihan, keluh-kesah, perasaan cinta, atau cerita kehidupan yang menggambarkan keinginan yang tidak tercapai. Obyek utama dalam unggut-


8 ungut adalah diri sendiri, yang dikenal dengan istilah marungut-ungut iba sandiri, di mana penyanyi mengekspresikan segala perasaan dan pengalaman pribadinya. Keunikan unggut-ungut terletak pada penekanannya pada lirik dibandingkan dengan lagunya. Seni ini lebih berfokus pada keseimbangan emosi penyanyinya dengan memberikan ruang bagi mereka untuk menumpahkan unek-unek yang ada dalam pikirannya atau kehidupannya. Oleh karena itu, penyampaiannya sering kali sarat dengan emosi yang mendalam dan kejujuran ekspresi. Dalam hal pengiring, unggut-ungut biasanya hanya menggunakan satu alat musik, seperti siul, suling, pinggan atau piring, ole-ole, takar, dan lain-lain. Namun, ada pula yang melantunkannya tanpa iringan musik sama sekali. Ungut-ungut sering dinyanyikan dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam acara adat, margondang (pesta tradisional Batak), atau sekadar sebagai hiburan pribadi untuk menenangkan diri dan mengekspresikan perasaan. Meskipun unggut-ungut memiliki nilai budaya yang tinggi, saat ini seni vokal ini semakin jarang ditemukan akibat modernisasi dan perubahan pola hiburan masyarakat. Upaya pelestarian unggut-ungut dilakukan melalui berbagai kegiatan budaya, seperti festival seni, dokumentasi dalam bentuk tulisan dan rekaman, serta pengenalan kembali dalam lingkungan pendidikan. Dengan demikian, unggut-ungut tetap dapat bertahan sebagai bagian dari kekayaan budaya Nusantara yang memiliki nilai historis, sosial, dan estetika tinggi. B. Onang-Onang Onang-onang adalah salah satu bentuk seni vokal tradisional yang berkembang dalam budaya masyarakat Tapanuli Selatan, khususnya di kalangan suku Mandailing. Seni vokal ini berfungsi sebagai sarana komunikasi lisan yang mengandung nilai historis, sosial, dan budaya yang tinggi. Sama seperti ungut-ungut, onang-onang merupakan bagian dari tradisi lisan yang diwariskan turun-temurun.


9 Onang-onang biasanya dinyanyikan dalam berbagai kesempatan, seperti acara adat, pernikahan (horja), upacara kelahiran, serta peristiwa penting lainnya dalam kehidupan masyarakat Mandailing. Seni vokal ini memiliki bentuk seperti syair atau pantun yang dinyanyikan dengan melodi khas, sering kali tanpa iringan alat musik. Namun, dalam beberapa kesempatan, onang-onang dapat diiringi oleh alat musik tradisional seperti gondang, suling, dan kecapi untuk menambah kekayaan ekspresi musikalnya. Dari segi isi, onang-onang memiliki lirik yang mengandung berbagai tema, seperti nasihat, kisah kehidupan, doa, hingga ungkapan perasaan mendalam seperti kesedihan dan kebahagiaan. Salah satu karakteristik utama onang-onang adalah penggunaannya dalam momen-momen penting, misalnya sebagai ungkapan doa dan restu kepada pengantin dalam upacara pernikahan atau sebagai nyanyian penghibur dalam acara kematian. Penyampaian onang-onang dilakukan dengan gaya yang penuh perasaan, dengan penekanan pada intonasi dan ekspresi vokal untuk menyesuaikan dengan pesan yang ingin disampaikan. Selain sebagai hiburan dan media komunikasi, onang-onang juga berperan sebagai sarana pendidikan moral bagi masyarakat, karena syair-syairnya sering mengandung ajaran hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi. Saat ini, seni vokal onang-onang mulai jarang ditemukan akibat modernisasi dan perubahan gaya hidup masyarakat. Namun, berbagai upaya telah dilakukan untuk melestarikan seni ini, seperti melalui festival budaya, dokumentasi dalam bentuk rekaman dan tulisan, serta pengenalan kembali dalam lingkungan akademik. Dengan adanya upaya pelestarian ini, onang-onang diharapkan tetap menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Mandailing dan terus diwariskan kepada generasi mendatang.


10 Syair onang-onang: Oi onanggg...Boti baya Onang Matortor Bulung Onang Ale bulungon Da Bulung baya marpora Onang da pora on Manortor da nauli Ale bulungon Boru da Namora Onang da na Gabe on Di na tolu desa...Boti da ngananon On ma baya nauli Onang da Bulung on Gadis ni Suhut baya jala siabangunan Boru Ale ikka baya Nang da Haba on Na manortor di baya galanggang on Na pasonang roha baya ni ama Ina on Di na tolu on sa baya dalananon Boru angin da Boru onang Ale Harahap on Onang Onang taronang au Ale Onang Oi onangg.... Boti baya Onang Marnida da di tortor baya muyu on Hamu na tolu sionan da manjujungon Sonang roha ni amang Onang da inang on Muli denggan da ni roha Onang da muyu i


11 Boru da na Mora inang na Gabe on Na manortor di Onang da galanggang on Si dara Doli on...Si dara bujing on Gadis di Tapanuli baya selatan on On ma tor tor dan baya Tapanuli Selatan on On ma tor tor da baya Tapanuli Selatan on Na di tortor Kon da ni nauli Bulung on On ma baya on baya Indon da iba naon Kesenian adat Tapanuli da selatan on Onma baya hape Onang iba naon Onang Onang taronang au Ale Onang Oi onangg...Boti baya Onang Anggo baya Hami na par kesenian on Na di dokon grup baya da parmanoan on Kesenian daerah Tapanuli Selatan on Na bonggal do inang baya na tar barita on Na dipimpin ni...Amatta on Keturunan da ni bayo Onang Ale angin on Na di dokkonon inang Kurnia musik on Natinggal da dikota si baya dimpuan on


12 On ma on bata Anggo inang iba nai Maningkatkon baya di kesenian on Ale Kesenian adat Tapanuli da selatan on Na di oban Kon ni marga sinata on Onang Onang taronang au Ale Onang Oi Onang...Boti baya Onang Singga di bona on da Ale bulu i Silalati baya na panego baya negoonon Sian muli denggan baya ni tortor muyu on So Leng sajo inang baya ingot ingotonon Madung di susun tangan...Markolati Tu jolo ni da anak da baya ni raja i Si Dalian na hu jalo maradian on Sian galanggang on da panortoran on Muda mulak hamu baya Sian galanggang i Torkis hamu inang saumur badan i Na di dokonon generasi muda da inang Tarsaima hata Sianggonanon Onang Onang taronang au Ale Onang


13 Contoh Partitur Onang-Onang: Dinyanyikan oleh penyanyi (Mandailing: Paronang-onang) pada acara perkawinan ini dilakukan secara spontan saat acara berlangsung tanpa ada penulisan lirik dan nyanyian harus sesuai isinya setelah mereka mendapatkan deskripsi tentang “bayopangoli” dan “boru na nioli” dan mengungkapkan status sosial penarinya (Mandailing: Panortor) dan suasana saat acara berlangsung. Negara Indonesia memiliki banyak sekali suku bangsa, etnik dan kebudayaan tradisional yang mengikutinya. Kesenian Tapanuli Selatan merupakan salah satu jenis bentuk kebudayaan tradisional yang berasal dari sub etnis Batak yang sudah mulai hilang. Hal ini menunjukan bahwa masih banyak kesenian/kebudayaan tradisional daerah/ etnis di Indonesia yang harus kita dokumentasikan dan lestarikan agar tidak punah.


14 2.4 Fungsi Vokal Tradisi Etnis Mandailing Sebagai salah satu kelompok etnis di Sumatera Utara, masyarakat Mandailing memiliki bentuk nyanyian khas yang dikenal sebagai Ende. Ende merupakan bentuk kesenian yang dinyanyikan secara vokal dan dihasilkan melalui suara manusia tanpa atau dengan iringan alat musik tertentu. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, banyak tradisi yang perlahan mulai tergerus, termasuk musik tradisional yang semakin jarang ditemui. Salah satu di antaranya adalah musik vokal Ungut-Ungut, yang berasal dari masyarakat Angkola, khususnya daerah Tapanuli Selatan dan Mandailing. Saat ini, eksistensi Ungut-Ungut dalam masyarakat Angkola sudah semakin berkurang, bahkan hampir punah. Masyarakat Angkola sendiri memiliki kecenderungan untuk mengekspresikan perasaan mereka melalui lagu. Hal ini tercermin dalam bentuk karya sastra lisan yang berupa puisi bernyanyi, yang dikenal sebagai Ende Ungut-Ungut. Vokal yang digunakan dalam Ungut-Ungut biasanya cenderung lembut dan memiliki nada yang rendah, menyesuaikan dengan karakter ekspresif lagu yang umumnya mengandung makna kesedihan, keluh kesah, ataupun ungkapan isi hati yang mendalam. Selain Ungut-Ungut, masyarakat Mandailing juga memiliki musik tradisional yang disebut Endeng-Endeng. Musik ini memiliki ciri khas tersendiri baik dalam aspek musikalitas, instrumen pengiring, maupun penyajiannya. Di wilayah Tapanuli Selatan, musik Endeng-Endeng biasanya menggunakan instrumen tradisional seperti Gordang Sembilan, sarune, ogung dada boru, ogung jantan, momongan/gong panolongi, panduai, pamolusi, gong doal, dan talisasayak. Musik ini sering digunakan sebagai bentuk persembahan dalam berbagai upacara adat, baik itu perkawinan, kelahiran, hingga upacara kematian dalam komunitas Mandailing di Tapanuli Selatan. Seiring dengan mobilitas penduduk akibat faktor ekonomi, terjadi pergeseran budaya, termasuk dalam penyebaran musik Endeng-Endeng. Musik ini yang awalnya berasal dari Tapanuli Selatan turut berkembang di Rantau Prapat, seiring dengan perantauan masyarakat Mandailing yang menetap di daerah tersebut. Penduduk Rantau


15 Prapat sendiri terdiri dari berbagai kelompok etnis, termasuk pendatang dari Tapanuli Selatan (Mandailing), Tapanuli Utara (Batak Toba), dan Asahan (Melayu). Namun, karena dominasi masyarakat Mandailing yang lebih besar, daerah ini lebih dikenal sebagai wilayah dengan pengaruh kuat budaya Batak Mandailing. Oleh sebab itu, musik Endeng-Endeng juga menjadi bagian dari tradisi masyarakat Mandailing di Rantau Prapat, meskipun masih menjadi perdebatan di kalangan masyarakat setempat. Di Rantau Prapat, musik Endeng-Endeng mengalami sedikit perubahan dalam hal penyajiannya. Jika di Tapanuli Selatan musik ini menggunakan Gordang Sembilan, di Rantau Prapat instrumen yang digunakan lebih sederhana, seperti gendang kampung, organ, dan tablah. Fungsi musik ini tetap dipertahankan sebagai hiburan dalam berbagai acara adat, seperti pernikahan, kelahiran bayi, dan upacara khitanan dalam masyarakat Mandailing di Rantau Prapat. Meski memiliki nilai budaya yang tinggi, Ende, Ungut-Ungut, dan Endeng-Endeng saat ini menghadapi tantangan dalam kelangsungannya. Pengaruh modernisasi dan pergeseran minat generasi muda terhadap budaya lokal menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan semakin langkanya seni vokal dan musik tradisional ini. Oleh karena itu, diperlukan upaya pelestarian yang lebih sistematis, seperti dokumentasi tertulis, rekaman audio-visual, serta pengenalan kembali dalam pendidikan formal maupun nonformal. Selain itu, festival budaya dan komunitas seni lokal juga dapat memainkan peran penting dalam mempertahankan dan mengembangkan musik tradisional Mandailing agar tetap relevan dalam masyarakat modern. Musik endeng-endeng merupakan musik tradisional Tapanuli Selatan dan Rantau Prapat yang sederhana yang memiliki alunan melodi yang khas dan enak untuk didengar. Alat musik yang digunakan musik endeng-endeng yang digunakan di Tapanuli Selatan yaitu Gordang Sembilan dan lainnya terdiri dari: sarune, gordang sambilan, ogung dada boru dan ogung jantan, momongan/gong panolongi dan panduai, pamolusi, gong doal, dan talisasayak. Kemudian alat musik yang digunakan musik endeng-endeng di Rantau Prapat yaitu gendang kampung, organ, dan juga tablah. Perbedaan alat musik ini terlihat dari


16 penggunaan gordang sambilan yang merupakan alat musik asli Mandailing tapanuli selatan. Pergeseran musik endeng-endeng ini terjadi disebabkan fakto perpindahan orangorang dari Tapanuli Selatan ke rantau prapat yang menikah dan menetap dirantau prapat, sehingga budaya yang mereka punya menjadi bagian dari budaya di Rantau Prapat. Faktorfaktor itu merupakan faktor tersier bagi orang-orang yang pindah ke rantau prapat, dikarenakan ekonomi masyarakat di Rantau Prapat pada masa itu lebih baik dari tempat mereka sebelumnya. Akibat pergeseran musik endeng-endeng dari Tapanuli Selatan ke Rantau Prapat menyebabkan budaya ini tidak lagi menjadi budaya satu-satunya milik masyarakat Tapanuli Selatan, namun juga menjadi bagian dari budaya masyarakat Rantau Prapat. Hanya saja kepemilikikan budaya dan ciri khas asli dari musik endeng-endeng tersebut utuh milik masyarakat Tapanuli Selatan. Musik endeng-endeng yang ada di Tapanuli Selatan dan di Rantau Prapat dapat bertahan hingga saat ini di sebabkan nilai-nilai yang terkandung dalam musik endengendeng tersebut, baik dari segi nilai keindahannya, nilai moral dan lain-lain. Kisah yang diceritakan dalam Ungut-ungut merupakan hal- hal yang berisikan ungkapan serta keluh kesah yang ditujukan kepada seseorang secara tidak langsung, dan apabila ada orang yang mendengarkannya maka akan merasa ikut bersedih. Karena cerita dalam Ungut-ungut merupakan pengalaman atau kejadian yang nyata yang telah dialami oleh orang tersebut. Dilihat dari teksnya Ende Ungut – ungut tidak memiliki jumlah baris (bait) yang tetap karena dinyanyikan secara spontan ada kalanya 4 baris, 5 baris, 6 baris dan sebagainya. Namun, dalam perkembangan selanjutnya ada kecenderungan berstruktur pantun. Ungut – ungut bersajak ab-ab dimana baris pertama dan kedua adalah sampiran sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Secara 3 musikal Ungut-ungut


17 dinyanyikan secara solo oleh seorang pria dengan tempo yang lambat, tanpa meter, dan biasanya ada alat musik yang mengiringinya. Ungut- ungut memiliki berbagai macam cerita yang bertemakan tentang kesedihan yang dinyanyikan/ disenandungkan dan penyampaiannya pun dilakukan dengan irama sedih. Tiap syair yang dinyanyikan dalam Ungut-ungut memiliki makna yang berbedabeda tergantung pada tema yang akan dibawakan, namun memiliki fungsi yang sama. Adapun jenis tersebut Ungut - ungut antara lain: 1. Ungut – ungut yang ditinggalkan orang tua, 2. Ungut – ungut nasihat terhadap anak agar rajin bersekolah dan menuntut ilmu dan nasihat terhadap orang yang telah berumah tangga, 3. Ungut –ungut untuk orang yang ditinggalkan kekasih, 4. Ungut – ungut untuk orang yang dilanda kerinduan, 5. Ungut – ungut tentang penderitaan hidup. Ungut-ungut diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu: 1. Nasihat agar patuh terhadap orangtua (8 bait) 2. Nasihat untuk anak sekolah agar rajin menuntut ilmu (10 bait) 3. Nasihat terhadap orang yang sudah berumah tangga (9 bait) 4. Yang ditinggal dalam angan-angan: keinginan yang tidak sampai untuk mengawini pariban (9 bait) 5. Penyesalan terhadap pariban karena ditinggal kawin (2 bait) 6. Ungut-ungut tentang penderitaan hidup (7 bait) 7. Ungut-ungut orang yang dilanda kerinduan (21 bait) 8. Ungut-ungut orang yang markusip (1 bait) 9. Ungut-ungut anak yang tidak beribu (10 bait) 10.Doa (6 bait) 11.Ungut-ungut sewaktu mangupa (25 bait).


18 2.5 Makna Vokal Tradisi Etnis Mandailing 1. Unggut-Unggut Musik vokal Ungut- ungut yang merupakan suatu kesenian yang berasal dari masyarakat angkola khususnya daerah Tapanuli Selatan-Mandailing yang keberadaannya sudah hampir hilang dalam masyarakat Angkola. Masyarakat Angkola adalah masyarakat yang senang mengungkapkan perasaannya dengan berlagu. Hal ini digambarkan oleh adanya jenis karya (sastra) yang berbentuk puisi yang disampaikan dengan cara berlagu, yang disebut Ende Ungut-ungut. Vokal atau suara yang dibawakan dalam Ungut – ungut cenderung rendah (halus). Kisah yang diceritakan dalam Ungut-ungut merupakan hal- hal yang berisikan ungkapan serta keluh kesah yang ditujukan kepada seseorang secara tidak langsung, dan apabila ada orang yang mendengarkannya maka akan merasa ikut bersedih. Karena cerita dalam Ungut-ungut merupakan pengalaman atau kejadian yang nyata yang telah dialami oleh orang tersebut. Dilihat dari teksnya Ende Ungut – ungut tidak memiliki jumlah baris (bait) yang tetap karena dinyanyikan secara spontan ada kalanya 4 baris, 5 baris, 6 baris dan sebagainya. Namun, dalam perkembangan selanjutnya ada kecenderungan berstruktur pantun. Ungut – ungut bersajak ab-ab dimana baris pertama dan kedua adalah sampiran sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Musikal Ungut-ungut dinyanyikan secara solo oleh seorang pria dengan tempo yang lambat, tanpa meter, dan biasanya ada alat musik yang mengiringinya. Ungut- ungut memiliki berbagai macam cerita yang bertemakan tentang kesedihan yang dinyanyikan/ disenandungkan dan penyampaiannya pun dilakukan dengan irama sedih. Tiap syair yang dinyanyikan dalam Ungut-ungut memiliki makna yang berbeda-beda tergantung pada tema yang akan dibawakan, namun memil ki fungsi yang sama. Adapun jenis tersebut Ungut - ungut antara lain: 1. Ungut – ungut yang ditinggalkan orang tua 2. Ungut – ungut nasihat terhadap anak agar rajin bersekolah dan menuntut ilmu dan nasihat terhadap orang yang telah berumah tangga


19 3. Ungut –ungut untuk orang yang ditinggalkan kekasih 4. Ungut – ungut untuk orang yang dilanda kerinduan 5. Ungut – ungut tentang penderitaan hidup. Lagu yang dinyanyikan dinyanyikan pada Ungut-ungut yaitu pentatonik yaitu do (1), re (2), mi (3), fa (4) dan sol (5) dan adanya repetisi/ pengulangan pada tiap bait dalam syair tersebut serta memiliki 4 baris dalam setiap baitnya. Isi dalam Ungutungut biasanya menceritakan tentang penderitaaan hidup yang dialami oleh seseorang dan dinyanyikan secara spontanitas. Isinya perumpamaan atau tidak sebenarnya. Ungut-ungut memiliki fungsi sebagai pengungkapan emosi dan fungsi perlambangan karena apa yang telah dirasakan seseorang dalam hidupnya itulah yang dituangkan ke dalam sebuah senandung. Teks atau syair yang digunakan untuk melantunkan ungut-ungut biasanya berbahasa Mandailing yang pada umumnya berisi tentang keluh-kesah, ungkapan perasaan mengenai cinta ataupun cerita kehidupan. Ungut-ungut adalah salah suatu bentuk budaya yang berasal dari batak itu sendiri khususnya untuk wilayah Angkola, Mandailing dan sekitarnya, isi dari ungut-ungut adalah puji-pujian dan harapan semoga kedua mempelai mendapatkan anak dan rezeki yang banyak serta keturunannya kelak akan menjadi panutan. 2.6 Alat Musik Alat musik tradisional Mandailing memiliki keunikan dan pesona tersendiri. Memainkan alat musik ini membutuhkan keahlian khusus dan kesabaran dalam menghasilkan ritme yang tepat. Alat musik Mandailing membantu mempertahankan budaya dan tradisi suku Mandailing serta digunakan dalam berbagai acara. Namun, alat musik ini sulit dimainkan, rentan terhadap kerusakan, dan kurang populer di masyarakat umum.


20 Salah satu yang paling terkenal adalah Gordang Sambilan. Gordang Sambilan adalah alat musik perkusi yang terdiri dari sembilan gendang dengan ukuran yang berbedabeda. Alat musik ini biasanya dimainkan oleh enam orang dan digunakan dalam berbagai upacara adat seperti pernikahan dan kematian. Alat musik tradisional Mandailing lainnya termasuk Talempong, Saluang, Serune Kale, Sampe, Turu Tubun, dan Dagang. Setiap alat musik ini memiliki karakteristik dan fungsi yang unik dalam budaya Mandailing. 2.7 Bahasa Bahasa Mandailing adalah bahasa yang digunakan oleh suku Mandailing yang mendiami wilayah Sumatera Utara, Indonesia. Bahasa ini merupakan bagian dari rumpun bahasa Batak dan memiliki beberapa karakteristik unik. Selain bahasa mandailing yang digunakan sehari hari masyarakat Mandailing juga menggunakan beberapa ragam bahasa yang gunakan untuk hal-hal tertentu misalnya: 1. Hata Somal yaitu ragam bahasa yang di pergunakan kehidupan sehari-hari. 2. Hata Andung yaitu ragam bahasa sastra yang di pakai dalam tradisi mengandung (meratap) pada upacara adat perkawinan atau kematian. 3. Hata Teas Dohot Jampolak yaitu ragam bahasa yang di pakai dalam pertengkaran atau mencaci maki. 4. Hata Si Baso yaitu ragam bahasa yang di gunakan khusus oleh si baso (tokoh shaman) atau datu. 5. Hata Parkapur yaitu ragam bahasa yang digunakan orang Mandailing di masa lalu ketika mencari kapur barus. Dalam penggunaan bahasa masyarakat mandailing bisa kita lihat juga dalam karyakarya sastra nya seperti lagu-lagu daerahnya, novel-novel berbahasa Mandailing contohnya "azab dan sengsara" (1921). Contoh kalimat pengganti dalam bahasa Mandailing au (saya), kamu (homa), dia (ia), mereka (alai).


21 2.7 Pakaian Adat • Pakaian Adat Perempuan 1. Bulang Bulang merupakan mahkota yang digunakan untuk menutup kepala pengantin perempuan. Bulang asli biasanya terbuat dari emas, sedangkan yang lainnya terbuat dari emas sepuhan. Jumlah tingkatan Bulang biasanya menentukan kelas sosial mempelai perempuan. Terdapat dua jenis Bulang, yakni Bulang Hambeng (kambing) dan Bulang Horbo (kerbau). Bulang Hambeng biasanya digunakan jika dalam pesta tersebut menyembelih hewan kambing, sedangkan Bulanb Horbo digunakan jika menyembelih hewan kerbau, dan Bulang ini hanya bisa digunakan oleh keluarga raja. Berdasarkan tingkatan Bulang, Bulang Hambeng hanya memiliki satu tingkat, sedangkan Bulang Horbo memiliki tiga Tingkat. 2. Baju kurung panjang hitam dengan bordir keemasan.


22 3. Kain songket panjang untuk digunakan di bagian bawah 4. Dua helai selendang tenun Pattani (songket) berwarna merah hati dan diselempangkan di bahu kiri dan kanan. Kedua selempang ini bersilang di bagian dada dan ujungnya bersilang di kiri kanan pinggang 5. Bobat. Bobat ini berwarna keemasan. Yang diukir dengan bentuk segi empat yang disambung-sambung. 6. Sepasang keris yang berukuran kecil. Keris ini diselipkan di ikat pinggang di bagian depan.


23 7. Puntu (gelang emas), Puntu ini digunakan di lengan atas pengantin perempuan. 8. Kalung emas atau bercorak keemasan, yang bentuknya menyerupai tapak kuda. Kalung emas ini disematkan di atas bahan kain beludru berwarna hitam. 9. Kuku emas pada jari kanan, untuk memperindah bentuk kuku


24 • Pakaian Adat Laki-laki 1. Ampu, mahkota yang dipakai sebagai penutup kepala. Ampu ini terbuat dari kain beludru berwarna hitam dengan hiasan berwarna emas. Bagian bawah dari Ampu melilit dengan motif keemasan, yang kedua ujungnya menyilang dengan satu arah atas dan satu ke arah bawah. Makna dari ujung menghadap ke atas dan ke bawah tersebut adalah agar senantiasa mengingat pencipta dan rendah diri terhadap sesama manusia. 2. Bajo Godang, baju berbentuk jas dengan warna hitam keemasan atau merah. Bajo Godang ini tidak memiliki kerah di bagian leher.


25 3. Bobat (ikat pinggang), item ini juga ditemukan di pengantin laki-laki. Bobat diselipkan di pinggang pada bagian luar. 4. Pisau Di Bobat tersebut juga diselipkan pisau sebanyak dua pisau. Pisau tersebut adalah pisau jantan dan pisau betina, kedua pisau ini memiliki gagang yang berbeda. Pisau jantan diselipkan di sebelah kanan dan pisau betina di sebelah kiri. 5.Gelang, gelang ini dipasangkan di masing-masing lengan pada bagian luar baju. Gelang ini bermotif polos dengan warna keemasan. 6.Kain Sesamping, kain ini merupakan kain tenun songket yang dililitkan di bagian pinggang.


26 • Ulos Bagi masyarakat Batak, ulos diketahui sebagai simbol adat yang dinilai sakral dan tradisinya masih lestari. Tidak hanya sakral, ulos juga memiliki corak yang disebut ragi. Corak tersebut menjadi penentu fungsi dan tujuan ulos. Karena itu, pemberian dan penerima ulos tidak sembarangan. Sebab ulos harus diberikan sesuai dengan fungsi dan tujuannya 1.Ulos Ragi Hotang Ulos Ragi Hotang adalah salah satu jenis kain ulos yang berasal dari suku Batak, khususnya Batak Toba. Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin dalam acara pesta adat Batak. Kain ulos ini menjadi simbol ikatan kasih sayang yang diharapkan bisa seperti rotan atau yang disebut hotang oleh dalam bahasa Batak. Rotan terkenal sebagai bahan pengikat yang sangat kuat, sehingga filosofi itu menjadi doa bagi pengantin baru untuk tetap terikat kuat dalam mengarungi bahtera rumah tangga 2. Ulos Sadum Ulos Sadum adalah salah satu jenis kain ulos yang berasal dari suku Batak, khususnya Batak Toba. Ulos ini dikenal dengan warna-warna cerah dan motif yang ramai, membuat ulos ini terlihat mewah. sering digunakan dalam acara adat yang penuh suka cita seperti pernikahan.


27 Selain itu jenis ulos ini kerap dijadikan kenang-kenangan dan pajangan. sadum pun dipakai sebagai gendongan atau paroppa di Tapanuli Selatan. Gendongan bayi keturunan raja. 3 .Ulos Sabe-Sabe Ulos Sabe-Sabe adalah salah satu jenis ulos yang digunakan oleh suku Batak, khususnya dalam upacara adat. Ulos ini sering digunakan sebagai sarung atau dililitkan dari pinggang hingga mata kaki. Ulos Sabe-Sabe memiliki beberapa variasi, termasuk Marinjamsisi, Ragi Pangko, Ragi Harangan, dan Ragi Huting. Ulos ini biasanya dikenakan oleh pria dalam upacara adat, dan memiliki makna simbolis yang mendalam dalam budaya Batak. Selain itu, ulos ini juga sering digunakan dalam tari Tortor, yang merupakan tarian tradisional Batak. Saat manortor pihak mora akan menyelimutkan ulos ini pada pihak suhut atau orang yang berpesta. Jika pesta pernikahan, ulos akan diberikan oleh para Tulang atau saudara laki-laki Ibunya pengantin pria kepada kedua pengantin. 4.Ulos Harungguan Ulos Harungguan adalah salah satu jenis ulos yang dianggap sebagai "rajanya ulos" dalam budaya Batak. Asal kata harungguan berasal dari marunggu, artinya berkumpul. Ulos ini memiliki keunikan karena menggabungkan berbagai motif ulos lainnya, sehingga mencerminkan kekayaan dan keragaman budaya Batak. Ulos ini melambangkan suka cita. Wujud meminta doa restu keberhasilan atas apa yang telah dicapai. Seluruh jenis motif dimasukkan dalam ulos ini.


28 5.Ulos Sibolang Ulos Sibolang adalah salah satu jenis ulos yang berasal dari suku Batak, khususnya Batak Toba. Ulos ini memiliki warna dasar hitam dengan motif garis-garis putih atau merah. Ulos Sibolang sering digunakan dalam berbagai upacara adat, baik yang bersifat sukacita maupun dukacita Walaupun bisa dipakai tiap kegiatan adat, namun kurang tepat jika dijadikan gendongan dan saat mangupah. Ulos ini memiliki makna yang mendalam dalam budaya Batak, melambangkan kekuatan dan keteguhan. Penamaan kain ulos sibolang punya makna bahwa orang yang membawakannya adalah orang yang berjasa istilahnya mambolang-bolangi dalam pernikahan adat. Saat manortor misalnya, orang tua pengantin perempuan akan memberikan ulos ini kepada orang tua si pengantin pria juga kepada kedua pengantin. 2.8 Kesenian Tradisional “Tarian” Tarian Indonesia sangat beragam, setiap daerah punya jenis tariannya masing-masing. Salah satunya etnis Mandailing. Mandailing mempunyai beberapa tarian khas yang sering dipertunjukkan dalam berbagai upacara dan kegiatan adat di masyarakat. Berikut empat jenis tarian Mandailing dan cerita di baliknya.


29 1. Tari Sarama Datu Tarian ini sering digunakan untuk meminta sesuatu melalui kekuatan roh. Tarian ini hanya dibawakan oleh satu orang yang disebut Sibaso, dan diiringi oleh musik ensambel. Tarian ini biasanya dilakukan saat terjadi musibah seperti hujan terusmenerus, kekeringan, atau penyakit menular 2. Tari Tor-Tor Tepak Tarian ini biasanya diperuntukkan sebagai tari persembahan pada upacara perkawinan. Tarian ini dilakukan pada malam hari dan digelar selama tiga hari. Para penari mengenakan pakaian khas Mandailing dengan aksesoris di bagian kepala. 3. Tari Tor-Tor Naposo Nauli Bulung


30 Tarian ini dibawakan secara berpasangan oleh para penari muda. Tarian ini biasanya dibawakan oleh tiga pasang penari pria dan wanita, dan disusun dalam barisan yang disesuaikan dengan marga masing-masing. 4. Tari Endeng-Endeng Tarian ini menggambarkan ekspresi kebahagiaan dan kegembiraan, seperti saat panen raya. Tarian ini dimainkan oleh sepuluh orang penari dengan dua penyanyi, satu keyboardis, satu pemain tamborin, lima penabuh gendang, dan satu penabuh ketipung 1.Gordang Sambilan Gordang Sambilan adalah salah satu alat musik tradisional yang sangat khas dari suku Mandailing. Nama "Gordang Sambilan" berasal dari kata "gordang" yang berarti gendang atau beduk, dan "sambilan" yang berarti sembilan. Jadi, Gordang Sambilan terdiri dari sembilan gendang dengan ukuran dan diameter yang berbeda-beda, menghasilkan nada yang berbeda pula. 2.Sarune Bolon


31 Sarune Bolon adalah alat musik tiup tradisional dari suku Batak, khususnya Batak Toba. Alat musik ini terbuat dari logam dan memiliki enam lubang nada. Sarune Bolon berperan sebagai pembawa melodi utama dalam ensambel musik tradisional Batak, seperti Gondang Sabangunan. 3.Talempong Talempong adalah alat musik tradisional dari Minangkabau, Sumatera Barat. Alat musik ini berbentuk bulat dengan bagian atas yang menonjol dan bagian bawah yang berlubang. Talempong biasanya terbuat dari kuningan, meskipun ada juga yang terbuat dari kayu atau batu 4.Saluang Saluang adalah alat musik tiup tradisional khas Minangkabau, Sumatera Barat. Alat musik ini terbuat dari bambu tipis atau talang (Schizostachyum brachycladum Kurz) dan memiliki panjang sekitar 40- 60 cm dengan diameter 3-4 cm. Saluang memiliki empat lubang nada dan menghasilkan suara yang khas dan melankolis.


32 5.Serune Kale Serune Kale adalah alat musik tiup tradisional dari Aceh. Alat musik ini terbuat dari kombinasi bahan kayu, kuningan, dan tembaga. Serune Kalee memiliki bentuk yang unik dengan pangkal ramping dan ujung yang melebar seperti corong, yang menciptakan ruang resonansi yang cukup untuk menghasilkan suara yang khas. 6.Sampe Serune Kalee adalah alat musik tiup tradisional dari Aceh. Alat musik ini terbuat dari kombinasi bahan kayu, kuningan, dan tembaga. Serune Kalee memiliki bentuk yang unik dengan pangkal ramping dan ujung yang melebar seperti corong, yang menciptakan ruang resonansi yang cukup untuk menghasilkan suara yang khas 7.Turu Tubun Turu Tubun adalah salah satu alat musik tradisional dari suku Mandailing. Alat musik ini memiliki bentuk yang unik dan biasanya digunakan dalam berbagai upacara adat dan ritual keagamaan. Turu Tubun terbuat dari bahan alami seperti kayu dan bambu, dan menghasilkan suara yang khas dan merdu. 2.9 Adat Istiadat a. Adat Pertunangan/Mangarisika. Adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke tempat wanita dalam rangka penjajakan. Jika pintu terbuka untuk mengadakan peminangan maka pihak orang tua pria memberikan tanda mau (tanda holong dan pihak wanita memberi tanda mata). Jenis barang-barang pemberian itu dapat berupa kain, cincin emas, dan lain-lain.


33 b. Horja Siriaon/Upacara Adat Perkawinan Sebelum acara adat dimulai, biasanya diperlukan perlengkapan upacara adat, seperti sirih (napuran/burangir) terdiri dari sirih, sentang (gambir), tembakau, soda, pinang, yang semuanya dimasukkan ke dalam sebuah tepak. Lalu, sebagai simbol kebesaran (paragat) disiapkan payun grarangan, pedang dan tombak, bendera adat (tonggol) dan langit-langit dengan tabir. Adat pada suku Mandailing melibatkan banyak orang dari dalian na tolu, seperti mora, kahanggi dananak boru. Prosesi upacara pernikahan dimulai dari musyawarah adat yang disebut makkobar/makkatai, yaitu berbicara dalam tutur sapa yang sangat khusus dan unik. Setiap anggota berbalas tutur, seperti berbalas pantun secara bergiliran. Orang pertama yang membuka pembicaraan adalah juru bicara yang punya hajat (suhut), dilanjutkan dengan menantu yang punya hajat (anak boru suhut), ipar dari anakboru (pisang raut), peserta musyawarah yang turut hadir (paralok-alok), raja adat di kampung tersebut (hatobangan), raja adat dari kampung sebelah (raja torbing balok) dan raja diraja adat/pimpinan sidan (raja panusunan bulang). Setelah itu, dilaksanakan acara tradisi yang dikenal dengan nama mangupa atau mangupa tondi dohot badan. Acara ini dilaksanakan sejak agama Islam masuk dan dianut oleh etnis Mandailing dengan mengacu kepada ajaran Islam dan adat. Biasanya ada kata-kata nasihat yang disampaikan saat acara ini. Tujuannya untuk memulihkan dan atau menguatkan semangat serta badan. Pangupa atau bahan untuk mangupa, berupa hidangan yang diletakkan ke dalam tampah besar dan diisi dengan nasi, telur dan ayam kampung dan garam Masing-masing hidangan memiliki makna secara simbolik. Contohnya, telur bulat yang terdiri dari kuning dan putih telur mencerminkan kebulatan (keutuhan) badan (tondi). Pangupa tersebut harus dimakan oleh pengantin sebagai tanda bahwa dalam menjalin rumah tangga nantinya akan ada tantangan berupa manis, pahit, asam dan asin kehidupan. Untuk itu, pengantin harussiap dan dapat menjalani dengan baik hubungan tersebut. c. Mengharoani Sesudah lahir anak-anak yang dinanti-nantikan itu, ada kalanya diadakan lagi makan bersama alakadarnya di rumah keluarga yang berbahagia itu yang dikenal dengan istilah mengharoani (menyambuttibanya sang anak). Ada juga yang menyebutnya dengan istilah mamboan aek si unte karena pihak hula-hula membawa makanan yang akan memperlancar air susu sang ibu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah yaitu menunjukkan kedekatan dari hula-hula terhadap si anak yang baru lahir dan juga terhadap si ibu maupun ayah dari si anak itu.


34 d. Pelestarian Horja Mambulungi/ Horja Siluluton(Upacara Adat Kematian). Di dalam adat istiadat Mandailing, seorang yang pada waktu perkawinannya dilaksanakan dengan upacara adat perkawinan, maka pada saat meninggalnya juga harus dilakukan dengan upacara adat kematian terutama dari garis keturunan Raja-Raja Mandailing. Seorang anak keturunan Raja, apa bila ayahnya meninggal dunia wajib mengadati (Horja Mambulungi). Jika belum mengadati seorang anak atau keluarganya tetap menjadi kewajiban /utang adat bagi keluarga yang disebut mandali di paradaton dan jika ada yang akan menikah, tidak dibenarkan mengadakan pesta adat perkawinanan (horjasiriaon). Pelaksanaan Upacara Adat Kematian dilaksanakan: 1. Pada saat penguburan. 2. Pada hari lain yang akan ditentukanm kemudian sesuai dengan kesempatan dan kemampuan keluarganya. 2.10 Agama, Kepercayaan, Dan Mata Pencaharian Suku Mandailing secara mayoritas memeluk agama Islam, yang dibawa oleh pasukan Paderi dari Minangkabau yang mengislamkan Tanah Batak di bagian Selatan. Wilayah Mandailing pada masa lalu diserang pasukan Paderi yang menginvasi wilayah Mandailing yang hidup sebagai petani. Akibat dari serangan pasukan Paderi Minangkabau ini, sebagian masyarakat Mandailing melarikan diri menyeberang ke wilayah Malaysia untuk menyelamatkan diri, dan yang bertahan harus tunduk di bawah kekuasaan pasukan Paderi yang demi mempertahankan hidup, mereka memeluk agama Islam. Hanya sebagian kecil yang bertahan di wilayah tersebut yang tetap mempertahankan agama asli mereka seperti pelbegu dan malim, yang pada akhirnya, para misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen di kalangan mereka. Dalam sistem kekerabatan suku Mandailing, menganut paham partrilineal, yaitu anak mewarisi margasang ayah, tetapi belakangan ini beberapa mulai ada yang menjalankan pahan matrilineal, yaitu sang anak mewarisi marga sang ibu. Apa yang terjadi pada suku Mandailing ini sungguh unik, karena dalam kehidupan keseharian mereka, sang anak diberi kebebasan ingin memilih marga sang ayah atau sang ibu. Tetapi suatu adat lama yang masih dipegang teguh oleh mereka adalah adat Dalihan Na Tolu yang mengatur berbagai tata cara adat istiadat suku Mandailing. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Mandailing, hidup sebagai petani di ladang, dan bercocoktanam berbagai tanaman seperti sayuran, serta tanaman keras, seperti kopi arabica, karet dan lain-lain.


35 2.11 Rumah Adat Rumah adat Mandailing, dikenal sebagai Bagas Godang, adalah rumah tradisional masyarakat Batak Mandailing dan Batak Angkola di Sumatera Utara. Rumah ini dulunya digunakan sebagai tempat tinggal atau tempat istirahat raja. Bagas Godang memiliki bentuk yang menyerupai rumah panggung dengan banyak tiang penyangga. • Bagas Godang merupakan rumah berarsitektur Batak Mandailing dengan konstruksi yang khas. Berbentuk empat persegi panjang yang disangga kayu-kayu besar berjumlah ganjil. Ruang terdiri dari ruang depan, ruang tengah, ruang tidur, dan dapur. Terbuat dari kayu, berkolong dengan tujuh atau sembilan anak tangga, berpintu lebar dan berbunyi keras jika dibuka. Kontruksi atap berbentuk tarup silengkung dolok, seperti atap pedati. Satu komplek dengan Bagas Godang terdapat Sopo Godang, Sopo Gondang, Sopo Jago, dan Sopo Eme. Keseluruhan menghadap ke Alaman Bolak • Alaman Bolak adalah sebuah bidang halaman yang sangat luas dan datar. Selain berfungsi sebagai tempat prosesi adat, juga menjadi tempat berkumpul masyarakat. Sering juga disebut alaman bolak silangse utang. Maksudnya, siapapun yang lari kehalaman ini mencari keselamatan, ia akan dilindungi raja. Sopo Godang adalah tempat memusyawarahkan peraturan adat. Selain itu, tempat ini juga dijadikan untuk pertunjukan kesenian, tempat belajar adat dan kerajinan, bahkan juga tempat musafir bermalam. Berbagai patik, uhum, ugari dan hapantunan lahir dari tempat ini. Juga disiapkan untuk menerima tamu-tamu terhormat. Dirancang berkolong dan tidak berdinding agar penduduk dapat mengikuti berbagai kegiatan di dalamnya. Karenanya Sopo Godang juga disebut Sopo Sio Rangcang Magodang, inganan ni partahian paradatan, parosu-rosuan ni hula dohot dongan. Artinya, Balai Sidang Agung, tempat bermusyawarah melakukan sidang adat, menjalin keakraban para tokoh terhormat dan para kerabat. • Sopo Jago adalah tempat naposo bulung duduk-duduk sambil menjaga keamanan desa. • Sopo Gondang adalah tempat menyimpan Gordang Sambilan atau alat-alat seni kerajaan lain. Alat-alat itu biasanya dianggap sakral.


36 • Sopo eme atau hopuk adalah tempat menyimpan padi setelah dipanen, lambang kemakmuran bagi huta. Seluruh komplek bangunan bagas godang pada masa lalu tidak berpagar. Sekalipun raja yang menempatinya, tetapi seluruh bangunan ini dianggap sebagai milik masyarakat dan dimuliakan warga huta. 2.12 Makanan Makanan Khas Mandailing adalah makanan tradisional yang ditemui di Mandailing. Cita rasa masakan Mandailing banyak dipengaruhi oleh masakan dari Minangkabau. • Alame (Dodol Mandailing) • Asam Pade


37 • Gule Bulung Gadung • Lemang • Pakkat (Pucuk Rotan) • Ikan Sale


38 • Rondang belut • Rondang Itik • Sambal Tuk-Tuk • Sambal Kantori Joruk (Sambal Teri dengan campuran Durian yang difergmentasi)


39 • Sayur Taocu 2.13 Nyanyian Ada dua jenis folklor yang cukup terkenal dalam masyarakat Mandailing, yaitu “ende” dan “ende-ende”. Ende adalah “nyanyian tradisional” (folksong), sedangkan endeende adalah kesusasteraan lama berbentuk “puisi” (adakalanya disebut “pantun”) yang dilantunkan secara oral (lisan), dimana keduanya merupakan warisan budaya leluhur mereka. Dalam penyajiannya, baik ende maupun ende-ende menampilkan representasi struktur, fungsi, dan nilai-nilai budaya yang sebagian masih berlaku dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Mandailing sampai sekarang. Ende dan ende-ende memiliki berbagai macam fungsi seperti untuk sosialkemasyarakatan, pendidikan, komunikasi dan informasi, serta hiburan. Sedangkan nilainilai budaya yang terkandung di dalamnya mencakup nilai religius, filsafat dan estetika.


40 Sementara struktur makronya mengungkapkan tema-tema umum menyangkut gotong royong, etika, motivasi, kritik sosial, patriotisme, dan lain-lain. Sedangkan struktur mikronya menyangkut penggunaan kosa kata dan gaya bahasa yang merepresentasikan ideologi kultural masyarakat Mandailing. Ende dan ende-ende pada umumnya menggunakan kosa kata dari dua ragam Hata Mandailing yaitu hata somal dan hata andung, sementara gaya bahasa yang digunakan adalah metafora, personifikasi, hiperbola, dan repetisi. Secara etimologi folklor (folklore, bahasa Inggris) berasal dari kata folk dan lore. Folk artinya kolektif atau bersama-sama, sedangkan lore menunjukkan pada proses tradisi pewarisan kebudayaan secara turun-temurun. Folklor berkembang pada masyarakat yang memiliki kesamaan cita-cita, ciri-ciri fisik, sosial dan budaya. Jadi folklor lebih menunjukkan pada kesamaan identitas dalam suatu kelompok etnik untuk membedakannya dengan kelompok-kelompok etnik lainnya. Masyarakat Mandailing memiliki berbagai corak nyayian tradisional (folksongs) dan mereka menyebutnya sebagai “ende”. Seorang ibu misalnya yang sedang bernyanyi sambil menimang anaknya agar tertidur disebut “ende bue-bue”. Begitu pula, ketika seorang ayah misalnya mengungkapkan rasa iba lewat nyanyian kepada anaknya yang ditinggal mati oleh ibunya dinamakan “ende uro-uro”. Selain itu, “ende mamuro” dapat hadir di dangau ketika seorang petani menghalau silopak (burung pipit) yang sedang memakan padi di sawahnya. Adapula seorang penjaja atau penjual ngiro (air nira) di dalam wadah bambu sewaktu ari poken (hari pekan) berteriak: “ … ngiro na … ngiro na !!! patalak … patalak … so u patungkap …” adalah termasuk “near song” (lihat Jan Harold Brunvand, 1968), adalah nyanyian yang lebih mementingkan “lirik” ketimbang lagunya sendiri, yang lebih dikenal dengan sebutan “peddler’s cries”. Selain empat jenis ende tersebut di atas, di Mandailing ada pula nyanyian yang hadir bersama-sama dengan tarian adat tortor, yaitu jeir yang diiringi oleh ensambel musik adat gondang boru atau gondang dua, dan alat musik tiup bernama sarune atau saleot. Sedangkan ende yang sifatnya individual adalah ende ungut-ungut di Mandailing Julu dan ende sitogol di Mandailing Godang. Kedua jenis ende ini dinyanyikan di tempat-tempat tertentu yang biasanya tidak disaksikan oleh orang banyak. Ende ungut-ungut biasanya diiringi secara berselang-seling dengan tiupan alat musik suling dan salung. Sementara ende sitogol biasanya diselang-selingi dengan alat musik tiup bernama uyup-uyup durame (olanglio, dibuat dari puput padi), dan sesekali membunyikan dosik (suitan dengan mulut) oleh seseorang yang melantunkan ende itu sendiri, atau oleh seorang temannya.


41 1.Ungut-Ungut Ende Ungut – ungut tidak memiliki jumlah baris (bait) yang tetap karena dinyanyikan secara spontan ada kalanya 4 baris, 5 baris, 6 baris dan sebagainya. Namun, dalam perkembangan selanjutnya ada kecenderungan berstruktur pantun. Ungut – ungut bersajak ab-ab dimana baris pertama dan kedua adalah sampiran sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Secara 3 musikal Ungut-ungut dinyanyikan secara solo oleh seorang pria dengan tempo yang lambat, tanpa meter, dan biasanya ada alat musik yang mengiringinya. Ungut- ungut memiliki berbagai macam cerita yang bertemakan tentang kesedihan yang dinyanyikan/ disenandungkan dan penyampaiannya pun dilakukan dengan irama sedih. Tiap syair yang dinyanyikan dalam Ungut-ungut memiliki makna yang berbedabeda tergantung pada tema yang akan dibawakan, namun memiliki fungsi yang sama. Adapun jenis tersebut Ungut - ungut antara lain: 1. Ungut – ungut yang ditinggalkan orang tua, 2. Ungut – ungut nasihat terhadap anak agar rajin bersekolah dan menuntut ilmu dan nasihat terhadap orang yang telah berumah tangga, 3. Ungut –ungut untuk orang yang ditinggalkan kekasih, 4. Ungut – ungut untuk orang yang dilanda kerinduan, 5. Ungut – ungut tentang penderitaan hidup. Ungut-ungut diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu: 1. Nasihat agar patuh terhadap orangtua (8 bait) 2. Nasihat untuk anak sekolah agar rajin menuntut ilmu (10 bait) 3. Nasihat terhadap orang yang sudah berumah tangga (9 bait) 4. Yang ditinggal dalam angan-angan: keinginan yang tidak sampai untuk mengawini pariban (9 bait) 5. Penyesalan terhadap pariban karena ditinggal kawin (2 bait) 6. Ungut-ungut tentang penderitaan hidup (7 bait) 7. Ungut-ungut orang yang dilanda kerinduan (21 bait) 8. Ungut-ungut orang yang markusip (1 bait) 9. Ungut-ungut anak yang tidak beribu (10 bait) 10. Doa (6 bait)


42 11. Ungut-ungut sewaktu mangupa (25 bait). Berikut adalah salah satu ende-ende yaitu ende ungut-ungut: Ende ungut-ungut Oleh: Parlagutan Nasution dari Pastap Julu (1991) u tampul ale uar-kuar mambaen tungkot panjolung tanaon ulang ale baya ita padiar-diar i ganggu alak baya arangantaon u tampul ale uar-kuar pantakpantak baya di tonga saba ulang ale baya ita padiar-diar sanga tong marsik aek ni saba pantak-pantak baya di tonga saba pala i oban pade ambaen soban muda na marsik ale aek ni saba pasti nangkan susut baya pandapotan poken ale di kotanopan adong poken baya di simangambat muda peto ale madung susut pandapotan nangkan na ita do na malarat 2.Onang-Onang Ungut-ungut biasanya memiliki syair berbahasa Mandailing. Pada umumnya berisikan suatu ungkapan kesedihan, keluh-kesah dan ungkapan perasaan cinta ataupun cerita kehidupan yang menggambarkan keinginan yang tidak tercapai. Obyek ungut-ungut adalah diri sendiri (marungut-ungut iba sandiri). Seni ungut-ungut lebih mementingkan lirik ketimbang lagunya. Cenderung sekali untuk menyeimbangkan emosi parungut-ungutnya dengan cara mengeluarkan segala unekunek yang ada dalam pikirannya/kehidupannya. Alat musik yang mengiringinya dipatokan pada satu alat musik saja, seperti dengan bersiul, suling, pinggan atau piring, ole-ole, takar dll. Dapat juga dilakukan tanpa


43 menggunakan alat musik. Ungut Ungut sering dilantunkan pada acara adat, margondang, atau untuk kesenangan pribadi. Syair onang-onang: Oi onanggg...Boti baya Onang Matortor Bulung Onang Ale bulungon Da Bulung baya marpora Onang da pora on Manortor da nauli Ale bulungon Boru da Namora Onang da na Gabe on Di na tolu desa...Boti da ngananon On ma baya nauli Onang da Bulung on Gadis ni Suhut baya jala siabangunan Boru Ale ikka baya Nang da Haba on Na manortor di baya galanggang on Na pasonang roha baya ni ama Ina on Di na tolu on sa baya dalananon Boru angin da Boru onang Ale Harahap on Onang Onang taronang au Ale Onang Oi onangg.... Boti baya Onang Marnida da di tortor baya muyu on Hamu na tolu sionan da manjujungon Sonang roha ni amang Onang da inang on Muli denggan da ni roha Onang da muyu i Boru da na Mora inang na Gabe on Na manortor di Onang da galanggang on


44 Si dara Doli on...Si dara bujing on Gadis di Tapanuli baya selatan on On ma tor tor dan baya Tapanuli Selatan on On ma tor tor da baya Tapanuli Selatan on Na di tortor Kon da ni nauli Bulung on On ma baya on baya Indon da iba naon Kesenian adat Tapanuli da selatan on Onma baya hape Onang iba naon Onang Onang taronang au Ale Onang Oi onangg...Boti baya Onang Anggo baya Hami na par kesenian on Na di dokon grup baya da parmanoan on Kesenian daerah Tapanuli Selatan on Na bonggal do inang baya na tar barita on Na dipimpin ni...Amatta on Keturunan da ni bayo Onang Ale angin on Na di dokkonon inang Kurnia musik on Natinggal da dikota si baya dimpuan on On ma on bata Anggo inang iba nai Maningkatkon baya di kesenian on Ale Kesenian adat Tapanuli da selatan on Na di oban Kon ni marga sinata on Onang Onang taronang au Ale Onang


45 Oi Onang...Boti baya Onang Singga di bona on da Ale bulu i Silalati baya na panego baya negoonon Sian muli denggan baya ni tortor muyu on So Leng sajo inang baya ingot ingotonon Madung di susun tangan...Markolati Tu jolo ni da anak da baya ni raja i Si Dalian na hu jalo maradian on Sian galanggang on da panortoran on Muda mulak hamu baya Sian galanggang i Torkis hamu inang saumur badan i Na di dokonon generasi muda da inang Tarsaima hata Sianggonanon Onang Onang taronang au Ale Onang Dinyanyikan oleh penyanyi (Mandailing: Paronang-onang) pada acara perkawinan ini dilakukan secara spontan saat acara berlangsung tanpa ada penulisan lirik dan nyanyian harus sesuai isinya setelah mereka mendapatkan deskripsi tentang “bayopangoli” dan “boru na nioli” dan mengungkapkan status sosial penarinya (Mandailing: Panortor) dan suasana saat acara berlangsung. Negara Indonesia memiliki banyak sekali suku bangsa, etnik dan kebudayaan tradisional yang mengikutinya. Kesenian Tapanuli Selatan merupakan salah satu jenis bentuk kebudayaan tradisional yang berasal dari sub etnis Batak yang sudah mulai hilang. Hal ini menunjukan bahwa masih banyak kesenian/kebudayaan tradisional daerah/ etnis di Indonesia yang harus kita dokumentasikan dan lestarikan agar tidak punah.


Click to View FlipBook Version