'Aa Yatna Supriatna
yaSnAgNteTrRseIsat
Daftar isi
1. Si Kecil, Irzam __ 1
2. Ramadhan, emang Berkah __ 11
3. Nasibmu ditentukan dari sini __
4. On the Way - otewe __
5. Tempat baru, suasana baru __
6. Tersesat di jalan yang benar __
7. Krem putih, bukan biru putih __
8. Selain cerdas juga cermat ... __
9. Akhir sanah, Akhir tahun __
10. Saat yang dinanti __
11. Paruh pertama perjalanan __
12. Calon pemimpin __
13. Berlatih dan bekerja __
14. Ajang unjuk diri
15. Kuliah tak sesuai pilihan
16. Berkah sang guru
-----------------------------------------------
Cerita ini bulum tuntas, masih perlu edit akhir. Akan dicetak
dan dipublikasikan setelah selesai alur cerita. Sementara
dipost untuk memenuhi tugas PPKB GPAI.
By : Yatna Supriatna – (26-12-2022)
0
Si Kecil, Irzam
“Plak...!! Plak...!!” dua pukulan sapu lidi mendarat di
kaki Irzam. Sontak saja pukulan itu membuat Irzam terjaga
dari tidurnya. Belum lagi hilang kagetnya, kini seraut wajah
tak asing dengan kumis tebal terpampang di depan
wajahnya.
“Ayo cepat mandi! Jumatan sana..!!” perintahnya.
“Iya Pak” jawab Irzam. “Sebentar pak, sepuluh menit
lagi” tambahnya.
“Sekarang!!” ujar ayahnya, tegas dan tak bisa ditawar
lagi.
Dengan wajah bersungut, Irzam beringsut dari
tempatnya. “Bapak berangkat duluan aja, nanti saya nyusul
belakangan” Ujar Irzam sebelum masuk kamar mandi.
“Bapak tunggu!! Mandinya gak pake lama!!” Perintah
ayahnya dan lagi-lagi Irzam tak mampu menolaknya.
Demi mendengar perintah tegas dan jelas dari
ayahnya tersebut, anak kecil yang tengah duduk di bangku
SD kelas 6 ini pun bergegas mandi. Tak butuh waktu lama,
karena memang ditunggu ayahnya, Irzam pun sudah selesai
dan keluar dari kamar mandi. Ia segera mengenakan
pakaian dan sarung yang telah disiapkan ibunya.
“Kamu sudah wudhu Irz?” tanya ayahnya.
“Sudah Pak” jawab Irzam.
“Baguslah kalo begitu, ayo segera berangkat, jangan
lupa uang untuk amal!” tukas ayahnya.
“Sudah Pak” timpal Irzam lagi.
“Salaman sama ibumu!” kata ayahnya.
“Hati-hati di jalan ya nak, jangan jauh-jauh dari Bapak!”
nasihat Ibunya.
“Iya Bu, saya berangkat” pamit Irzam.
1
Irzam dan ayahnya pun keluar dari rumah. Keduanya
berjalan berdampingan, kadang juga beriringan karena
memang jalan yang dilalui tidaklah luas. Jarak ke masjid Al-
Falah tidaklah terlalu jauh, sekitar 200 meter saja, tetapi
jalan yang dilalui menanjak dan setapak layaknya jalan di
daerah pegunungan.
“Taruh situ sandalnya!” kata bapak Irzam. Irzam pun
menaruh sandal bersebelahan dengan sandal ayahnya.
“Aku duduk sini saja ya Pak, dengan teman-teman”
kata Irzam kepada ayahnya.
“Kamu duduk di depan dengan bapak” kata ayahnya,
“Huuuh!!” Irzam pun hanya bisa bersungut di dalam
hati tanpa bisa membantah, mau tidak mau dia pun
melangkah mengikuti ayahnya menuju barisan depan dalam
masjid itu.
Selepas salat tahiyatul masjid diapun duduk
termenung sambil sesekali membaca wirid yang dia bisa.
Waktu terasa lama menanti pelaksanaan salat Jumat
dimulai. Dia ingin sekali berbaur dengan teman-temannya,
bisa bercanda, bersenda-gurau di bagian belakang, tapi
apalah daya ayahnya yang berada di samping tidak
mengizinkan dia untuk bergabung dengan teman-temannya.
Jam menunjukkan pukul dua belas dan pelaksanaan
salat Jumat pun dimulai. Adzan dikumandangkan. Selepas
itu para jamaah melaksanakan salat sunat qobliyah,
dilanjutkan dengan pengumuman dari takmir masjid. Lalu
Bilal pun memulai pelaksanaan salat Jumat, adzan kedua
kemudian dilanjutkan dengan khutbah Jumat dan diakhiri
salat Jumat. Seusai salat Jumat Ingin rasanya Irzam
langsung pulang. Dia sudah bersiap akan mengangkat
2
badannya akan tetapi seketika ayahnya memegang tangan
Irzam.
“Tetap di sini, jangan pulang dulu!” bisik ayahnya. “Kita
tuntaskan sampai wiridan selesai, kita pulang bersama”
lanjut ayahnya.
“Iya Pak” jawab Irzam, pasrah.
Salat Jumat hari itu sangat menjemukan bagi Irzam,
tetapi dia tidak memiliki kemampuan untuk membantah
ayahnya selain menurut dan patuh saja kepada ayahnya.
Hari-hari Irzam memang selalu diawasi oleh ayahnya.
Sebenarnya dia menginginkan suasana seperti anak-anak
lain seusianya. Banyak bermain, bersenda gurau, dan
bercanda. Tapi itu tidak bisa dilakukannya. Irzam
menganggap ayahnya terlalu mengekang dirinya. Ia
mengenal ayahnya sebagai sosok bapak yang menakutkan.
Irzam terlahir dari pasangan Pak Ansori dan Ibu Nina
sebagai anak ketiga dari lima bersaudara. Ia memiliki dua
kakak laki-laki yang masing-masing telah bekerja dan masih
duduk di bangku SMP. Edi kakaknya yang pertama bekerja
di luar kota, sedangkan Yudi, kakaknya yang kedua tinggal
bersama neneknya tidak jauh dari rumah Irzam. Sementara
kedua adiknya, Yani dan Nurja masih kecil-kecil belum
bersekolah. Irzam sendiri saat ini berada di bangku SD kelas
enam dan akan lulus bulan depan. Irzam hidup di tengah
keluarga yang sederhana, tetapi orang tuanya cukup disiplin,
terlebih ayahnya, atau kadang merasa berlebihan menurut
Irzam.
Irzam hidup di lingkungan masyarakat pedesaan, di
tengah perkampungan yang tidaklah terlalu padat
penduduknya. Kampung Kebon Awi, Desa Megasirna.
Namun demikian, desanya bukanlah kategori terbelakang
3
yang jauh dari dunia modern. Hidup di daerah pegunungan
dengan latar pemandangan yang sangat indah, dibelah oleh
Jalan Daendels menuju Gunung Mas, yang menjadi di salah
satu tujuan wisata dari orang-orang Jakarta. Sebuah daerah
yang berada di sisi timur kota hujan Bogor dan hampir
berada di perbatasan Kabupaten Cianjur. Daerah ini bisa
ditempuh empat puluh lima menit saja dari Jakarta jika
perjalanan lancar. Orang-orang lebih suka menyebutnya
dengan sebutan daerah Puncak. Sebuah daerah yang
terkenal dengan keindahan pemandangan alamnya.
Untuk bersekolah Irzam harus menempuh perjalanan
kaki satu kilometer jauhnya dan biasanya ditempuh dalam
waktu 20-30 menit. Dengan medan yang naik turun,jarak
tersebut dijalaninya setiap hari sampai saat ini hingga dia
akan lepas Sekolah Dasar. Irzam bukanlah tergolong anak
yang rajin, akan tetapi dia termasuk anak yang cerdas dan
prestasi. Tak heran selama di SD tersebut dia seringkali
menyumbangkan piala untuk sekolahnya, namun berkali-kali
pula gurunya dibuat jengkel akibat ulahnya. Mulai dari
terlambat masuk, bolos, dan bikin ramai di kelas. Akan tetapi
untuk urusan nilai, kejujuran, dan solidaritas tidak diragukan
lagi. Sebuah hal yang plus minus untuk anak seusia Irzam.
Sore itu sekitar pukul enam belas, Irzam sudah siap
dengan sarung di pundak dan kopiahnya.
“Masih siang kok sudah mau berangkat nak?” tanya Bu
Nina.
“Anu Bu, ... nanti mau main dulu sama teman-teman”
jawab Irzam.
“Oiya gak apa-apa. Yang penting hati-hati” timpal
ibunya.
“Muhun Bu..” jawab Irzam mengiyakan.
4
“Kamu sudah makan nak?” tanya Bu Nina lagi.
“Sudah Bu” jawab Irzam cepat sembari meraih tangan
ibunya untuk dicium.
“Hati-hati nak! Kamu cakep kalo pakai peci gini kayak
anak pesantren. Tapi sayangnya pakai celana pendek sama
kaos” gurau Bu Nina.
“Hahaha... biarin atuh Bu, yang penting ganteng”
timpal Irzam sambil tertawa, berlari keluar rumah.
Bu Nina menatap langkah Irzam yang makin menjauh
dari rumahnya, seraya berdoa untuk kebaikan Irzam hingga
tubuh mungil anak itu hilang ditelan tanjakan jalan setapak.
Bu Nina memiliki sifat yang lembut dan penuh kasih sayang
kepada anak-anaknya. Wanita empat puluh tahunan ini lebih
banyak mengikuti keinginan anak-anaknya. Seperti
umumnya wanita desa, Bu Nina menghabiskan hari-harinya
bersama anak. Tak heran jika anak-anaknya lebih dekat
dengan Bu Nina daripada dengan Pak Ansori.
Irzam masih melangkahkan kakinya menuju tempat
pengajian yang juga lumayan jauh. Ia berjalan seorang diri.
Sarung dikalungkan di leher, kepala beralaskan kopiah putih,
dan tangannya menggenggam lampu senter untuk nanti
perjalanan pulang bersama teman-temannya di kala hari
telah berubah malam. Sandal jepit swallow menemani kaki
Irzam melewati jalan bebatuan. Batuan kecil atau kaleng
sabun ditendang-tendangnya menjadi teman langkahnya.
Tak jarang ayam tetangga pun menjadi sasaran keisengan
kakinya.
Setelah sekitar satu kilometer dari rumah Irzam
berjalan, teman-temannya menyambut dengan sapaan
hangat. kini sampailah Irzam di tempat mengaji dan teman-
temannya sudah banyak yang datang.
5
“Ayo Irz! Ini mau mulai” ujar Soleh.
“Cepetan Irz!!” tambah Neneng.
“Iya... iya... tunggu atuh” jawab Irzam cepat sambil
berlari menaruh sarung, kopiah dan senter ke dalam rumah
Ustadz Muhi.
Mereka berkumpul untuk bermain bersama sebelum
Salat maghrib dimulai. Mereka bermain petak umpet. Salah
satu temannya menutup mukanya,sementara teman-teman
lainnya bersembunyi. Kali ini yang mendapat giliran pertama
menutup wajah adalah Nana. Setelah hitungan ke-10,
barulah Nana mencari teman-temannya yang tengah
bersembunyi di sekitar rumah Ustadz Muhi. Permainan terus
berlangsung dengan bergantian. Bagi yang tertangkap
pertama akan menutup wajah di permainan berikutnya.
Keceriaan terpancar dari anak-anak imut yang masih
polos ini, tak terkecuali Irzam. Permainan pun kadang
berbeda kesehariannya. Hari ini petak umpet, besok galasin
(gobak sodor), lusa bisa saja lompat tali. Anak laki-laki dan
anak perempuan bermain bersama. Suara riuh rendah
mereka menandakan kegembiraan meskipun dengan cara
yang sederhana.
Pukul delapan belas adzan maghrib berkumandang,
tanda permainan harus sudah usai. Anak-anak bergegas
mengambil air wudhu, mengambil perlengkapan Salat dan
berkumpul dalam mushola. Selepas salat maghrib kegiatan
mengaji pun dimulai. Mengaji Al-Qur’an ini dipandu oleh
Ustad Muhi dan dibantu oleh beberapa muridnya yang
sudah dewasa.
“Ayo dibaca, sampai mana kemarin?” kata Ustadz
Muhi kepada Irzam.
6
Tanpa menjelaskan, Irzam langsung membaca
ta’awudz dan basmalah, serta dilanjutkan batas mengaji
kemarin.
“Waduhaa...” Irzam mulai membaca batas kemarin.
“Salah!!” sergah Ustadz Muhi.
“Waduhaaaaa....” Irzam coba mengulangi.
“Saaalah...!! potong Ustadz Muhi.
“Waaaduha” Irzam mencoba untuk memperbaiki
bacaannya.
Plak...!!! Bambu sepanjang lima puluh sentimeter tiba-
tiba mendarat di paha Irzam.
“Waduh!!” pekik Irzam.
Plak... plak...!!! Dua kali paha Irzam kena sabetan
bambu Ustadz Muhi. “Masih salah!!”.
“Aduh...!” Irzam meringis kesakitan.
“Makin salaaah!!” sergah Ustadz Muhi. “Waduhaa
salah, Waduhaaaaa salah, Waaaduha juga salah”, kata
Ustadz Muhi sambil menatap tajam, “Ini malah Waduh,
terakhir wa-nya hilang, tinggal Aduh, ya lebih salah lagi!”
pangkasnya.
“Wadiaw ustaaadz, saya kesakitan makanyabilang
waduh ustad, itu bukan baca Qur’an ustadz” timpal Irzam.
“Oh gitu, kirain ... hampura nya!” Ustadz Muhi meminta
maaf.
Seketika meledaklah Irzam dan teman-temannya
tertawa. Ustadz Muhi pun terkekeh-kekeh menyaksikan
Irzam yang dipandangnya kocak.
“Sudah... ayo diteruskan ngajinya” ujar Ustadz Muhi
beberapa saat kemudian. “Wadh-dhuhaa, wal laili idzaa
sajaa ...” Ustadz Muhi memberikan contoh. Irzam menirukan
hingga selesai.
7
Ustadz Muhi adalah jebolan pesantren dan merupakan
salah satu tokoh agama di kampung Legok. Kala itu
belumlah banyak orang yang menempuh pendidikan
pesantren di desa itu. Bahkan bisa dikatakan langka. Meski
usianya masih muda tetapi Ustadz Muhi dipandang mampu
untuk membimbing anak-anak mengaji al-Qur’an.
Perangainya yang khas, kadang galak, kadang lembut,
kadang juga lucu, membuat anak-anak didiknya betah
mengaji di sana. Belum lagi jika beliau membawakan cerita
islami seolah anak-anak tidak mau beranjak dari tempat
duduknya.
Mengaji Al-Qur’an hari ini berakhir sampai dengan
jelangSalat Isya. Setelah Salat Isya berjama’ah yang
diimami Ustadz Muhi, semua anak pulang ke rumah masing-
masing, termasuk Irzam. Irzam pulang dengan teman-
temannya di tengah kegelapan bermodalkan lampu senter.
Sepanjang perjalanan mereka tak henti-hentinya bersenda-
gurau, kadang juga berlarian menakut-nakuti sesama teman.
Di ujung pertigaan mereka berpisah dan anak-anak
kampung Kebon Awi melanjutkan perjalanannya.
Tampak di kejauhan, di ujung tanjakan, Pak Ansori
menanti kedatangan Irzam. Ini rutin dilakukan Pak Ansori
karena tinggal Irzam saja yang berlalu ke arah rumahnya,
sementara teman-temannya yang lain berbeda arah.
Irzam menatap keberadaan ayahnya,menandakan
akan sampai ke rumah. Pak Ansori sudah berdiri tegak di
hadapan Irzam. Pandangan yang khas, tajam, dengan raut
wajah dihiasi kumis tebal, membuat angker siapapun yang
melihatnya. Belum lagi perawakan yang lumayan tinggi
berbalut kulit hitam, terasa pas tatkala menerapkan rasa
tanggung jawab dan disiplin. Lebih tepatnya dirasakan
8
sebagai rasa galak dan menakutkan. Jangankan Irzam,
teman-teman seusianya akan lari tunggang-langgang jika
Pak Ansori sudah berteriak. Di kampung pun Pak Ansori
terkenal sebagai orang yang tidak akan berbicara jika tidak
ada keperluan.
Di balik tatapan Irzam, ada perasaan haru menyelinap.
Tampak gurat-gurat garis usia mulai menua di wajah
ayahnya, tapi tak pernah sekalipun keluh kesah meluncur di
bibirnya. Pak Ansori mulai memasuki usia empat puluh lima
tahunan. Keseharian Pak Ansori lebih banyak dihabiskan di
luar rumah untuk bekerja. Wajar jika Irzam merasa tidak
dekat dengan ayahnya.
Keesokan harinya, Irzam sudah bersiap dengan
seragam merah putihnya untuk berangkat sekolah. Pukul
5.30 Irzam bangun dari peraduannya. Waktu Salat Shubuh
telah berlalu. Bukan tidak dibangunkan oleh ibunya, tetapi
Irzam pura-pura telah Salat. Baukan kali ini saja, melainkan
banyak kali Irzam melewatkan Salatnya. Yang rutin
dilaksanakan hanya Salat Jumat. Beberapa Salat lima waktu
kalau diawasi ayah dan ibunya saja Irzam melaksanakan.
“Jangan lupa sarapan dulu Irz!” kata ibunya sambil
menggendong Nurja, adik Irzam paling kecil.
“Iya bu” jawab Irzam sambil mengenakan kaos
kakinya.
“Hari ini kegiatannya apa nak di sekolah” tanya ibunya
lagi.
“Praktek kesenian Bu, Menyanyi kata Pak Guru.
Minggu depan udah libur awal puasa Bu!” jawab Irzam
sambil terus mengenakan kaos kaki di kaki kirinya.
Pukul enam pagi, seusai sarapan Irzam keluar dari
rumah. Setengah jam perjalanan akan ditempuh untuk tiba di
9
sekolah. Hangatnya mentari mengiringi langkah Irzam
melewati jalan sempit naik turun. Tak jarang Irzam harus
menyibakkan dedaunan yang masih digelayuti embun sisa
semalam. Irzam suka cita melewati hari-hari terakhir di
sekolah dasar. Ia pun menjemput teman-temannya yang
satu arah ke sekolah. Tak terasa langkah kaki Irzam telah
mengantarkannya ke gerbang SDN CIhade. Sekolah yang
telah dilalui selama enam tahun.
------------------------------------------
10
Ramadhan, emang Berkah
Jam baru saja bergerak di angka sepuluh lebih tiga
puluh menit,namun kali ini dia tidak ingin mendapat pukulan
lagi dari ayahnya. Sebelum ayahnya bertindak, Irzam segera
bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah itu dikenakannya baju koko dan sarung yang telah
disiapkan ibunya. Jumat di Minggu kedua bulan Ramadhan
ini Irzam datang sekolah lebih awal.
“Tumben kamu cekatan” ujar ibunya.
“Iya Bu, daripada dapat hadiah kayak Jumat kemarin”
seringai Irzam.
“Hemmm...” Ibunya hanya menghela.
Irzampun bersiap untuk pergi ke masjid. Menemukan
pemandangan ini Ayahnya pun tak kalah kagetnya. Irzam
hanya tersenyum melihat ayahnya keheranan. Sebelum
ayahnya berucap, Irzam cepat meraih tangan ayah dan ibu
lalu diciumnya.
“Assalamu alaikum” serunya sambil mengedipkan
mata ke arah ayahnya, setengah berlari.
“Wa alaikum salam” sahut mereka berdua.
Ayahnya sempat melotot sambil menggelengkan
kepala, sementara ibunya hanya tersenyum simpul
memandang Irzam kecil berlari menjauhi rumah.
Setibanya di masjid Al-Falah suasana masih sepi.
Lantas dia pun mengurungkan niatnya untuk masuk ke
masjid. Dia pun hanya duduk-duduk di teras. Tak berapa
lama temannya datang.
“Sorangan wae, mana pengawalnya?” olok Dede
kepada Irzam.
“Iya biasanya duduk paling depan gitu” timpal Asep.
11
“Amanlah, masih mandi, aku berangkat duluan” jawab
Irzam sambil terkekeh.
“Ayo kita masuk aja cari tempat” lanjut Dede.
Akhirnya Irzam pun bergabung dengan kedua
temannya dan masuk ke dalam masjid, duduk di deretan
belakang. Suasana makin sedikit ramai setelah beberapa
teman mereka datang. Layaknya anak-anak pastilah mereka
bersenda-gurau tidak mengenal tempat.
Tak selang berapa lama Pak Ansori datang dan
langsung menuju barisan depan seperti biasanya. Pak
Ansori sempat menatap Irzam seakan memerintahkan untuk
ikut duduk di depan, tetapi Irzam tidak bergeming tetap di
tempat semula meskipun teman-temannya sudah
mengingatkan tentang kehadiran ayahnya.
Tidak ada yang istimewa Jumat kali ini bagi Pak Ansori
dan Bu Nina, hanya saja Irzam berangkat lebih awal tanpa
menunggu disuruh dan dipukul menggunakan sapu lidi.
Begitu pun bagi Irzam, hari ini juga tidak terlalu istimewa,
hanya saja dia bisa duduk di barisan belakang gabung
teman-temannya. Tidak seperti biasanya duduk di depan
dengan ayahnya menunggu sampai Salat Jumat benar-
benar selesai hingga wiridan.
Tujuh hari berlalu, kemudian terasa cepat bagi Irzam.
Seperti halnya Jumat yang lalu, dengan semangat dia
berangkat lebih awal tanpa disuruh orang tuanya lagi. Irzam
segera bergegas ke masjid berkumpul dengan teman-
temannya untuk mengikuti kegiatan Salat Jumat.
Ada yang terasa aneh Jumat kali ini. Irzam mendengar
ada seorang anak kecil yang usianya satu atau dua tahun
lebih muda di bawahnya sedang melantunkan ayat-ayat Al-
Qur’an. Suara itu terdengar dari sisi kanan bagian tengah
12
masjid. Sontak Irzam menoleh dan memperhatikan.
Dipandangnya lekat-lekat, seorang anak bersarung biru,
mengenakan baju koko putih, dan berkopiah putih sedang
asyik mengaji. Suaranya biasa saja khasnya anak-anak,
namun bacaannya sangat lancar dan lebih fasih daripada
anak-anak yang ada di kampungnya. Huruf demi huruf
mengalir begitu saja terucap dari bibirnya. Entah sudah
berapa puluh ayat yang dibacanya. Irzam hanya bisa
terkesima mendapati pemandangan ini. Hatinya bergetar.
Ada rasa tak biasa di benaknya.
“Heh... ngalaweung!”, seru Dede.
“Iya nih, diajak ngomong malah ngelamun”, timpal
Asep.
“Eh.. ah nggak kok!”, jawab Irzam. “Lagi wiridan dalam
hati”, tambahnya sambil tertawa.
“Huuuuh...!” pekik Dede dan Asep bersamaan sambil
mendorong Irzam.
“Kata Pak Ustadz, kalo sedang Jumatan nggak boleh
ngobrol”, kata Irzam lagi.
“Iya Pak Ustaaadz!!” sahut Dede dan Asep kompak.
Ketika Irzam menoleh ke arah anak tadi, ternyata dia
sudah mengakhiri bacaan Al-Qur’annya. Selanjutnya
pelaksanaan Salat Jumat pun dimulai.
Seminggu berikutnya Irzam berangkat salat Jumat di
awal, bahkan lebih awal dari biasanya. Namun saat ini dia
tidak duduk bergabung dengan teman-temannya, melainkan
dia duduk di tengah bagian kanan masjid. Dia berharap anak
yang menjadi perhatiannya datang dan duduk di tempatnya
seperti minggu lalu. Pucuk di cinta, ulam tiba. Ternyata
harapannya benar, anak itu datang dan duduk tepat di
depannya.
13
Irzam mulai memperhatikan setiap gerak anak itu.
Setelah salat tahiyatul masjid, anak itu mengambil Al-Qur’an
yang berada di rak dekat dia duduk. Sengaja rupanya
memang dia memilih tempat di depan Irzam agar lebih dekat
dengan rak Al-Qur’an. Ayat demi ayat mulai meluncur di bibir
mungil anak itu. Ringan sekali bacaannya. Suranya tidak
terlalu keras, tapi jelas sekali pengucapannya. Kelak Irzam
akan tahu jika itu yang disebut makhorijul huruf. Irzam
tertunduk dan terpaku mendengarkannya. Sesekali melirik
ke arah anak itu. Entah mengapa Irzam suka sekali dengan
bacaan ayat Al-Qur’an yang dilantunkan anak itu.
“Sejuk sekali bacaannya”, pikir Irzam. “Di mana ya
belajar mengajinya?” tambahnya dalam hati.
Irzam kembali tertuju kepada anak itu. Tidak sedikitpun
perhatiannya lepas dari bacaan anak itu. Pikirannya dipenuhi
banyak penasaran. Siapa anak ini? Di mana dia belajar
mengaji? Berapa lama agar bisa lancar seperti itu?
Puncaknya, timbul keinginan Irzam untuk bisa mengaji
seperti anak itu. Angannya berakhir tatkala salat Jumat akan
di mulai.
Jumat berikutnya telah memasuki bulan Syawal.
Seperti halnya Jumat yang lalu Azam pun berangkat lebih
awal dan duduk di tempat semula yakni di tengah sebelah
kanan masjid. Dia berharap anak itu datang lagi dan mengaji
seperti minggu lalu. Lima belas menit berlalu belum
kelihatan, mungkin agak terlambat pikirnya. Kini jam dinding
telah menunjukkan jam dua belas kurang sepuluh menit
tetapi belum ada tanda-tanda dia akan datang. Irzam mulai
menoleh ke sekitar, mencari keberadaan anak kecil itu tapi
lantunan suaranya tidak terdengar mengaji Al-Qur’an sama
sekali. Entah mengapa rasa ada rasa rindu di hati Irzam
14
untuk mendengarkan anak itu mengaji, tetapi yang diharap
tak kunjung datang. Hingga akhirnya salat Jumat benar-
benar usai, anak itu tidak muncul. Keluar dari masjid Irzam
bergabung menemui beberapa temannya.
“Tumben Irz, gak bareng kita Jumatannya?”,tanya
Asep.
“Iya nih udah dua Jumatan kamu ada di pinggir terus”,
tambah Dede.
“Ah gak apa-apa De!”, jawab Irzam
“Tapi kenapa tadi kok kamu kelihatannya tolah-toleh
terus? Seperti ada yang ditunggu”. Dede lanjut bertanya.
“Iya De. Aku ingin dengarkan anak yang mengaji
Qur’an Minggu kemarin”, jawab irzam.
“Lalu kenapa Irz?” tanya Asep lagi.
“Tidak apa-apa sih. Aku senang aja mendengarnya”
kata Irzam menjelaskan. “Siapa sih itu Sep?” tanya Irzam
berikutnya.
“Kamu tahu De?”. Asep malah balik bertanya kepada
Dede.
“Lho itu kan si Saiful!”, kata Dede
“Saiful siapa?” tanya Irzam lebih lanjut.
“Saiful, anak kampung Bojong”, kata Dede. “Anak
kelas empat.Dia pindah masuk pesantren yang ada
sekolahnya”, penjelasan Dede lagi.
“Oh anaknya Haji Mamat itu Irz”, tambah Asep.
“Pesantren mana De?” selidik Irzam lebih jauh.
“Katanya Pesantren Gontor gitu sih” jawab Dede.
“Gontor, di mana itu De?”. Irzam semakin penasaran.
“Di Jawa Irz. Jawa Timur kata teman-temannya”. Dede
melanjutkan lagi, “pokoknya Irz, di pesantren yang ada
sekolahnya”
15
“Wuiiih, jauh ya De!” seru Irzam.
“Mungkin juga Irz, aku belum pernah ke sana” seloroh
Dede sekenanya.
“Ya iyalah” jawab Irzam dan Asep serempak sambil
tertawa.
Sejak saat itu Irzam semakin suka mendengarkan
manakala ada orang membaca Al-Qur’an dan dia pun
semakin senang mengaji Al-Qur’an. Ingin rasanya ia masuk
pesantren, sekaligus menghindari ayahnya yang terkenal
galak. Perasaan yang aneh bagi Irzam, namun ia tak kuasa
menolaknya.
--------------------------------
16
Nasibmu ditentukan dari sini
Sebulan lagi Irzam akan melepas seragam dan
menggantinya dengan putih biru. Sebagai orang tua, Pak
Ansori dan Bu Nina tentu harus menyiapkan pendidikan
terbaik untuk anaknya. Selain itu mereka juga tahu jika
selama ini prestasi Irzam tak pernah mengecewakan.
“Kamu mau masuk SMP mana setelah lulus SD nak?”,
tanya Pak Ansori pada satu kesempatan.
“Aku pengen masuk pesantren yang ada sekolahnya”,
jawab Irzam lirih.
“Pesantren mana Irz?”tanya Pak Ansori terkekeh.
“Gontor”jawab Irzam singkat.
“Kok ada-ada aja, Gontor di mana?”, lanjut Pak Ansori
bertanya.
“Nggak tahu Pak. Katanya sih di Jawa Timur.
Pesantren yang ada sekolahnya.” Irzam mencoba
menjelaskan kepada ayahnya.
“Ah kamu ada-ada saja irz. Coba kamu pikir-pikir lagi.
Kamu mau masuk SMP mana”, kata Pak Ansori memberi
waktu berpikir kepada Irzam.
Tidaklah mengherankan jika Pak Ansori menyatakan
seperti itu karena di Desa Megasirna belum lazim seorang
anak kecil masuk pesantren. Terlebih lagi di kota kelahiran
Irzam pun belum ada pesantren yang ada sekolahnya. Yang
ada pesantren kuno saja, tidak bersamaan dengan sekolah.
Pagi itu Irzam seperti biasa berangkat ke sekolah.
Sudah tidak ada pelajaran hari itu, akan tetapi gurunya, Pak
Sodik, menyuruh semua anak kelas enam masuk. Di sana
mereka ditanya akan masuk ke SMP mana, termasuk Irzam
tentunya. Jawaban mereka pun beragam. Ada yang akan
masuk ke SMP Negeri 1 Cisoang, SMP Negeri 2 Cisoang,
17
SMP Negeri 1 Cikoneng dan SMP-SMP lainnya baik negeri
maupun swasta. Tibalah giliran Irzam ditanya gurunya.
“Irzam, kamu akan melanjutkan ke SMP mana stelah
lulus ini?”, tanya Pak Sodik, guru kelas enam.
Irzam pun menjawab, “saya akan melanjutkan ke
Pesantren Gontor”.
“Di mana itu?” tanya Pak Sodik lagi.
“Di Jawa Pak”, jawab Irzam
“Lalu kamu tidak melanjutkan ke sekolah umum?”
tanya Pak Sodik khawatir.
“Tetap sekolah pak. Itu pesantren yang ada
sekolahnya’, jelas Irzam kepada Pak Sodik.
“Lalu Bapakmu bagaimana? Apakah sudah setuju?”
tanya Pak Sodik untuk memastikan.
“Saya sudah bilang ke Bapak, tapi Bapak tidak
percaya”, kata Irzam memelas.
Pak Sodik tersenyum mendapati jawaban Irzam yang
masih polos. “Ya sudah nanti Bapak ke rumahmu ya untuk
ketemu orang tuamu, memastikan kelanjutan sekolah kamu”,
kata pak Sodik.
“Iya Pak. Nanti saya sampaikan ke Bapak saya”, ujar
Irzam kepada Pak Sodik.
Di akhir dekade 80-an Pesantren Gontor belumlah
setenar saat ini. Hanya kalangan tertentu saja yang baru
mengenal Gontor sebagai salah satu pesantren yang
menyelenggarakan pendidikan formal yaitu sekolah.
Kebanyakan pada waktu itu pesantren hanya melulu pada
pelajaran agama dan terkesan sebagai pendidikan yang
kuno. Pernyataan Irzam inilah yang membuat Pak Sodik
penasaran, sehingga memutuskan untuk mendatangi
18
langsung ke rumahnya dan bertemu dengan orang tua
Irzam.
Sore harinya Pak Sodik bertandang ke rumah Pak
Ansori. Beliau mengenakan batik motif hijau lengan pendek
dipadu celana panjang hitam, tak lupa map berisi data di
tangannya, tak lain untuk memastikan tentang kelanjutan
sekolah Irzam.
“Assalamu alaikum!”, salam Pak Sodik di depan pintu
rumah Irzam.
“Wa alaikum salam!” jawab Pak Ansori dan Irzam
hampir bersamaan.
“Gimana kabarnya? Silahkan masuk Pak Guru”, sapa
pak Ansori sambil melebarkan pintu masuk.
“Alhamdulillah Pak”, kata Pak Sodik sambil disalami
Pak Ansori dan Irzam.
Pak Sodik duduk berhadapan dengan Pak Ansori yang
mengenakan sarung salur putih abu-abu dan baju lengan
panjang berwarna biru gelap. Irzam yang mengenakan
celana panjang hitam dan kaos bergambar power rangers,
duduk di samping Pak Ansori. Tak Berapa lama Bu Nina
yang mengenakan pakaian muslimah datang
menghidangkan kopi dan camilan bala-bala, lalu duduk tak
jauh dari Pak Ansori dan Irzam.
“Silahkan Pak Guru, dicicipi bala-balanya. Tadi Irzam
minta dibuatkan, akhirnya ibunya goreng-goreng”, kata Pak
Ansori membuka obrolan.
“Iya, terima kasih. Maaf ini saya datang sore-sore
mengganggu waktu Pak Ansori dan Bu Ansori” jawab Pak
Sodik.
“Sama sekali tidak Pak Guru. Kami malah berterima
kasih, merepotkan Bapak ke sini”. Pak Ansori melanjutkan,
19
“seharusnya kami yang ke Bapak, dan sebenarnya rencana
besok Ibunya Irzam akan ke sekolah. Tapi tadi sepulang
sekolah, Irzam bilang Bapak mau kesini”.
“Iya Pak. Tadi waktu di sekolah saya tanya Irzam akan
melanjutkan sekolah ke mana, Irzam menjawab akan
melanjutkan ke Pesantren Gontor di Jawa Timur gitu
katanya”, cerita Pak Ansori sambil meminum kopinya.
“Betul Pak. Saya juga sudah menanyakan itu kepada
Irzam dan jawabnya seperti yang Bapak sampaikan tadi”,
kata Pak Ansori menguatkan penjelasan Pak Sodik.
Lantas Pak Ansori melirik kepada Irzam seraya
bertanya, “Irzam ini mumpung ada Pak Guru yang akan
mendaftarkan, kamu mau melanjutkan ke SMP mana yang
maju yang ada di daerah sini?”
Dengan lirih tapi tegas, Irzam menjawab “saya ingin
melanjutkan ke pesantren yang ada sekolahnya Pak’.
Sejenak Pak Ansori dan Pak Sodiq berpandangan.
Mereka merasa heran dan aneh untuk kali ini ada anak
ditanya mau melanjutkan ke SMP mana, jawabannya ingin
melanjutkan ke pesantren. Lalu Pak Sodik lanjut bertanya
“kamu yakin ingin masuk pesantren?”.
“Iya Pak” kata Irzam singkat.
“Kenapa kamu ingin masuk pesantren?”,tanya Pak
Ansori.
Irzam diam saja tidak menjawab. Dalam hatinya Irzam
bergumam antara ingin bisa mengaji dan ingin jauh dari
ayahnya yang terkenal galak, nilainya sama.
Akhirnya Pak Sodiq memecah kebuntuan, “ya sudah
Pak Ansori, kalau memang Irzam ingin melanjutkan ke
Pesantren biar besok saya urus kelengkapan
20
administrasinya sebagai pengantar di sekolah Irzam yang
baru di sana”.
“Tapi saya masih ragu Pak. Jangan-jangan hanya
keinginan sesaat. Setelah itu tidak betah, minta pulang’, kata
Pak Ansori memberi alasan. “Lagi pula Gontor itu di mana,
saya juga tidak tahu Pak”, lanjut Pak Ansori.
“Kita coba dulu Pak, mudah-mudahan kerasan di
sana”, timpal Pak Sodik menenangkan Pak Ansori. “Setahu
saya Gontor itu di Jawa Pak. Jawa Timur tepatnya. Insya
Allah itu terkenal, nanti di sana bisa tanya-tanya”.
“Awas kamu kalau tidak betah, Bapak tidak akan
menyekolahkan kamu di sini, Kamu harus tetap di sana
sampai lulus”, kata Pak Ansori sambil menatap tajam ke
arah Irzam.
“Kita doakan saja Pak Ansori. Ini kan kemauan Irzam
sendiri. Kita hanya bisa mendukung. Ini juga baik dan mulia”,
ujar Pak Sodik mencoba menengahi.
“Iya Pak Guru, terima kasih. Sekalian saya mohon
dibantu untuk kelancaran Irzam” kata Pak Ansori memohon.
“Sama-sama Pak. Pasti saya bantu. Irzam ini anak
yang baik dan pintar, harus kita usahakan untuk meraih cita-
citanya Pak”, ujar Pak Sodik memberi semangat. “Dan ini
juga hampir maghrib, saya permisi dulu, terima kasih ini
sudah disuguhi”.
“Seadanya Pak Guru, terima kasih banyak, mohon
maaf merepotkan”, kata Bu Nina yang sedari tadi
mendengarkan saja.
“Sudah kewajiban saya Bu Ansori, tidak apa-apa. Mari
saya permisi”, pamit Pak Sodik sambil menyalami ketiganya.
“Iya Pak, terima kasih banyak”, sambut Irzam.
21
“Assalamu ‘alaikum”, salam Pak Sodik di depan pintu
meninggalkan rumah Pak Ansori.
“Wa alaikum salam”, jawab ketiganya.
Malam mulai mendekati larut, Irzam sudah berbaring di
kamarnya. Matanya sulit terpejam, pikiran melayang tak
tentu arah. Dia tidak bisa tidur memikirkan keputusannya
yang telah diucap di hadapan orang tua dan gurunya tadi
sore. Ada keinginan dia untuk mengurungkan niatnya tetapi
sudah terlanjur dilontarkan. Andai dia membatalkan pastilah
ayahnya akan murka. Tetapi kalau pun dilanjutkan dia
membayangkan hidup jauh dari orang tua tentu akan
mengalami kesunyian. Belum lagi kebutuhan-kebutuhan
lainnya yang sulit dipenuhi sendiri, padahal selama ini
apapun kebutuhan Irzam selalu disiapkan oleh ibunya. Tak
kuasa menahan lelah, akhirnya malam itu Irzam terlelap tidur
dalam pikiran yang gundah gulana berbalut lamunan di
pesantren.
Mentari hadir menyambut pagi. Irzam terjaga dari
tidurnya, sementara jarum jamdi angka enam lebih sepuluh.
Irzam terhenyak, ia harus sekolah pagi ini. Bak buroq
menerobos kamar mandi. Tak sampai lima menit, Irzam
sudah keluar dengan tetesan air yang belum rata terhapus
handuk. Bu Nina tersenyum melihat polah anaknya. “Irzam...
Irzam... Dibangunin sepuluh kali bilangnya iya tapi tidur lagi”,
kata Bu Nina. “Sekarang pontang-panting”, tambahnya
sambil menjulurkan seragam.
“Anu Bu, tadi ngantuk banget!”, jawab Irzam membela
diri.
“Jangan lupa sarapan dulu. Ibu sudah masak ikan teri
campur oncom kesukaanmu”, ujar Bu Nina mengingatkan.
22
“Nanti saja Bu buat siang, terlambat nih!”, kata Irzam
menolak. “Uang jajannya tambahin ya Bu, gantinya sarapan”
kata Irzam menghiba.
“Kamu ada-ada saja, nggak sarapan tapi minta ganti”
kata Bu Nina sambil mengulurkan uang jajan.
“Berangkat Bu, assalamu alaikum”, pamit Irzam sambil
menyambar uang jajan yang diberikan ibunya.
Bu Nina hanya menggelengkan kepala sambil
menjawab salam, “wa alaikum salam, hati-hati ya Irz!”. Bu
Nina mengantar kepergian Irzam dengan tatapan kasih
sayang. Kalau Allah menakdirkan anak ini tak lama lagi akan
berada jauh di sampingnya padahal selama ini masih manja.
Senyum mengembang di ujung bibir Bu Nina, ada
kebanggaan namun juga ada kegelisahan saat anaknya
minta masuk pesantren sambil sekolah. Tatapan itu berakhir
tatkala tubuh mungil Irzam hilang ditelan kelokan jalan.
Setibanya di sekolah, Irzam menuju kumpulan teman-
temannya. Mereka tengah bercerita tentang sekolah baru
yang akan dimasuki.
Irzam pun tak luput dari pertanyaan teman-temannya.
“Kamu mau sekolah di mana Irz?” tanya Firman.
Irzam sempat termenung, tapi tak lama segera
menjawab, “aku mau masuk pesantren”.
Tak sedikit temannya yang merasa tidak percaya,
bahkan mengolok Irzam. “Hah, aku gak salah dengar kan
Irz?”, tanya Firman.
“Emangnya kamu udah bisa ngaji Irz, mau masuk
pesantren?”, Rina juga bertanya.
“Eh ntar kamu buduk lho di sana, hiiiii!”, timpal Hadi.
“Paling tidak lama kamu akan kembali karena tidak
betah di sana”, kata Yuni sambil tertawa.
23
Irzam hanya tersenyum, “biarin, weeeek!” balas Irzam
sambil pasang mimik wajah lucu. Baginya, olokan teman-
teman malah membuatnya semakin mantap untuk pergi ke
pesantren. Bayangan dia pesantren dengan sekolah adalah
cita-citanya. Sudah terlanjur diucapkan, tidak berani
mengurungkan, karena takut ayahnya akan marah besar.
Sore hari Pak Sodik kembali bertandang ke rumah Pak
Ansori dengan menenteng map kuning berisi berkas-berkas
yang dibutuhkan untuk pendaftaran Irzam di sekolah baru.
“Assalamu alaikum!” salam Pak Sodik.
“Wa alaikum salam, silahkan masuk Pak Guru!” jawab
Bu Nina sambil mempersilahkan Pak Sodik.
Pak Ansori juga ikut menyambut, “mari Pak Guru
silahkan duduk”.
“Pak Ansori, Bu Ansori, ini berkas Irzam untuk daftar
nanti”, kata Pak Sodik.
“Iya Pak, terima kasih”, ujar Pak Ansori.
“Ini ijazah, ini danem, ini raportnya, ini piagam
penghargaan Irzam, dan ini surat pengantar tapi masih saya
kosongi kepada lembaga apanya”, kata Pak Sodik
menjelaskan satu persatu. “Saya sendiri belum tahu
pendaftaran di sana seperti apa”, lanjut Pak Sodik.
“Iya Pak sementara ini tidak apa-apa. Nanti jika ada
kekurangan, saya pasti minta tolong Pak Guru”, kata Pak
Ansori.
“Silahkan Pak Ansori, saya akan bantu sebisanya.
Saya senang Irzam punya kemauan yang besar. Oiya Irzam
kemana Pak?” tanya Pak Sodik.
“Baru saja berangkat mengaji Pak” jawab Bu Nina.
24
Setelah dirasa cukup, Pak Sodik mengakhiri, “saya kira
demikian Pak Ansori, Bu Ansori. Saya undur diri”. Pak Ansori
bangkit dari duduk sambil menjulurkan tangannya.
“Terima kasih banyak atas bantuannya Pak Guru”,
kata Pak Ansori menyambut dengan kedua tangan, lalu
mengantarkan sampai depan rumah.
“Assalamu ‘alaikum”, pamit Pak Ansori meninggalkan
kediaman Pak Ansori.
“Wa alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh”,
jawab Pak Ansori dan Bu Nina bersamaan.
Sepulang mengaji, Irzam diajak berunding oleh orang
tuanya untuk persiapan. Pak Ansori kembali bertanya,
“Irzam, Bapak mau tanya untuk yang terakhir, kamu yakin
dan sungguh-sungguh mau masuk pesantren?”. Pak Ansori
melanjutkan, “jangan-jangan nanti sudah masuk sana, dua
tiga hari kamu malah minta pulang”.Suasana terasa hening.
Pak Ansori menarik nafas dalam-dalam. “Itu akan
merepotkan Bapak. Jawa Timur itu bukan jarak yang dekat.
Bapak juga nggak tahu Gontor itu ada di mana. Tahunya ya
cuma di Jawa Timur.Tidak apa-apa nanti kita cari di mana
Gontor itu”, ungkap kekhawatiran Pak Ansori. “Bagaimana
Irz?”, tanya Pak Ansori.
Irzam sempat bimbang ketika ditanya untuk ketiga
kalinya itu, tetapi dia tidak mau berlama-lama karena takut
dibentak ayahnya. Dengan suara lirih dan tertunduk, Irzam
mengangguk, “Iya Pak, saya mau ke pesantren”. Irzam tak
berani menatap Pak Ansori. Dan karena itulah sebenarnya
Irzam ingin masuk pesantren. Dia tidak mau melihat raut
wajah ayahnya yang tampak mengerikan bagi Irzam.
“Berarti memang sudah mantap Pak”, kata Bu Nina
memecah kesunyian.
25
“Ya Bu, gimana lagi tapi kan ...”, kata Pak Ansori
menghentikan kata-katanya. Sesaat kemudian menatap
Irzam dengan pandangan sendu. “Ya nak, Bapak dan Ibu
senang sekali kamu mau masuk pesantren. Sekarang kamu
istirahat dulu ya biar besok bisa bangun pagi. Mulai besok
tidak perlu dibangunkan. Santri harus bangun sendiri utk
salat subuh”, sambung Pak Ansori.
“Ya Pak, terima kasih banyak Pak, terima kasih Bu,
aku tidur duluan”, kata Irzam merasa lega sambil beranjak
dari tempat duduknya.
Selanjutnya Pak Ansori dan bu Nina berbicara bisik-
bisik. Mereka berunding tentang persiapan Irzam ke
pesantren.
Dengan nada berat Pak Ansori membuka
pembicaraan, “Bu, sebenarnya bukan hanya karena masih
kecil dan jauh yang aku khawatirkan”. Sesaat Pak Ansori
tampak menghela nafas, lalu melanjutkan pembicaraannya,
”Persiapan Irzam tentu banyak sekali, untuk di sana dan
untuk di jalan juga. Sedangkan aku gak punya cukup uang
untuk semua itu”.
“Betul Pak. Harus dihitung dulu persiapannya. Jangan
sampai kurang karena tempatnya jauh. Aku ada simpanan
sedikit tapi pasti masih kurang. Nanti kita pinjam ke saudara
atau orang lain Pak”, kata Bu Nina menimpali.
“Tapi jangan bilang Irzam kalau kita pinjam ke orang
lain Bu. Biat dia gak mikir”, cegah Pak Ansori.
“Tentu tidak Pak”, kata Bu Nina memastikan. “Ayo
Bapak yang ngomong, Ibu yang nulis persiapannya”
sambung Bu Nina sambil beranjak mengambil kertas dan
pena.
26
Segala macam persiapan mulai meluncur satu persatu
dari bibir Pak Ansori, sedangkan Bu Nina sibuk
mencatatnya. Persiapan dimulai dari barang-barang yang
akan dibawa. Beberapa sudah ada yang dimiliki, hanya
menambahi kekurangan. Direncanakan membeli sarung,
kopiah, baju koko, pakaian dalam, sepatu, tas, buku, alat
tulis lengkap, dan lain sebagainya.
“Jangan lupa makanan Pak. Yang tahan lama saja”,
kata Bu Nina mengingatkan.
“Kalo itu Ibu lebih paham. Langsung ditulis aja Bu”,
kata Pak Ansori mengiyakan.
Bu Nina mulai menuliskan bahan makanan kering yang
tahan lama untuk dibawa Irzam. Rencana akan dibawakan
mie instan, abon, dan goreng teri kering kesukaannya.
Selanjutnya Pak Ansori merinci kebutuhan untuk di
perjalanan. “Sewa mobil dan sopir tiga hari dua malam Bu”,
kata Pak Ansori.
“Itu untuk pulang pergi ya Pak?”, tanya Bu Nina.
“Iya Bu, perjalanan membutuhkan waktu sehari
semalam. Di sana tidak usah menginap langsung pulang.
Biar penghematan. Nanti kalo capek ya istirahat di masjid
atau pom bensin saja Bu”, penjelasan Pak Ansori.
Pak Ansori juga memperhitungkan kebutuhan bensin,
makan selama di perjalanan, dan keperluan lainnya. “Sudah
banyak ya Bu? Coba dihitung habis berapa semuanya?”
tanya Pak Ansori.
“Lho Pak, belum semuanya itu”, timpal Bu Nina.
“Masih ada yang belum ya Bu. Sepertinya itu sudah
sangat banyak”, tanya Pak Ansori sambil mengernyitkan
keningnya.
27
“Untuk administrasi di sana Pak. SPP juga belum”,
jawab Bu Nina.
“Masya Allah iya Bu! Kok lupa ya”, seru Pak Ansori.
“Nanti bayar administrasi dan bayar SPP secukupnya dulu
saja. Berikutnya nanti diweselkan aja” tambahnya.
“Semuanya sekitar enam juta Pak”, kata Bu Nina.
“Paling tidak kita siapkan tujuh juta Pak”, lanjutnya lirih.
“Betul Bu. Tapi dapat dari mana uang sebanyak itu
Bu?”, tanya Pak Ansori sambil tertunduk memegang
kepalanya.
“Ibu ada simpanan satu juta Pak. Nanti jual perhiasan
ini entah laku berapa. Lalu tanggal satu kan Bapak gajian.
Kekurangannya kita pinjam saudara ya Pak”. Kata Bu Nina
menenangkan.
“Ya Bu, kalau begitu berangkat tanggal dua saja.
Besok coba kita mulai cari pinjaman ya Bu. Bapak akan lebih
giat lagi mencari rezeki. Bismillah Bu, demi anak Bu”, ujar
Pak Ansori lirih.
Tak terasa bulir air mata jatuh di sudut mata Pak
Ansori. Ada kekhawatiran anaknya gagal meraih mimpi. Air
mata Bu Nina pun mulai menganak sungai di pipinya, tak
bisa menyembunyikan kegundahannya. Berusaha tegar, Pak
Ansori memeluk istrinya, “Bapak akan berusaha Bu, entah
gimana caranya yang penting Irzam bisa berangkat”.
“Ya Pak, kita sama-sama ikhtiar agar Irzam tetap
semangat. Kita bersyukur ini kemauannya sendiri Pak”, kata
Bu Nina meyakinkan.
“Ya Bu ...”, kata Pak Ansori tak kuasa melanjutkan
kata-katanya.
Irzam yang sedari tadi tidak bisa memejamkan
matanya, menguping semua pembicaraan orang tuanya.
28
Irzam tak kuat lagi menahan perasaan yang ditahannya dari
tadi. Seketika Irzam keluar kamar dan menghambur ke arah
mereka. Meledaklah tangisan anak kecil yang masih polos
itu. Mendapatkan Irzam sudah di tengah mereka, Pak Ansori
dan Bu Nina pun akhirnya tak mampu menahan deraian air
mata yang dibendungnya. Beberapa saat pecahlah tangisan
ketiganya dalam pelukan yang sama.
“Maafin Irzam, sudah buat susah Bapak sama Ibu!”
ucap Irzam di tengah isak tangisnya.
“Tidak apa-apa Irzam, Bapak sama Ibu sangat senang
kamu mau masuk pesantren”, sanggah ibunya masih
dengan tangisannya.
Pak Ansori diam mematung tak sanggup berkata apa-
apa. Dari raut wajah ada rasa cemas tapi tatapan matanya
memancarkan semangat harus terlaksana. Sesaat lalu
berkata, “kamu tenang saja, mantapkan niat kamu, insya
Allah hari Kamis tanggal dua kita berangkat nak”.
Setelah terluapkan semua perasaan haru biru, mereka
berbincang lebih tenang. Pak Ansori lebih banyak
menasihati dan memotivasi Irzam. Tutur kata Pak Ansori
jauh dari kesan angker seperti selama ini yang dikenal
Irzam. Pak Ansori memberi wawasan panjang lebar dan
sesekali ditimpali Bu Nina. Irzam menyimaknya dengan
penuh perhatian, diam-diam hatinya bersyukur memiliki
orang tua yang luar biasa memperjuangkan cita-cita
anaknya.
Suasana di luar semakin sunyi, jarum jam berada di
angka sepuluh malam. Pak Ansori baru tersadar, ”Sudah
malam Irz. Ayo kita tidur semuanya”, ajak Pak Ansori.
Tanpa diperintah untuk kedua kalinya, Irzam segera
bangkit dan menuju kamarnya. Demikian pula dengan Pak
29
Ansori dan Bu Nina, mereka segera menyusul kedua adik
Irzam yang telah terlelap lebih awal.
Kini Irzam terbaring sendiri. Hanya suara jangkrik
bersahutan dan desiran angin pegunungan yang menemani.
Matanya sulit terpejam. Kegalauan itu datang lagi. Ada
perasaan takut, ada perasaan khawatir, ada perasaan ingin
menangis. Dia takut tidak betah tinggal jauh dengan orang
tuanya. Dia khawatir kebutuhan-kebutuhannya tidak bisa
terpenuhi. Bayangan kejadian di bulan Ramadan lalu hadir
lagi dalam benaknya. Kenapa kejadian itu menjadikannya
berubah haluan yang semula dia menginginkan sekolah di
SMP Negeri 1 yang favorit melanjutkan ke SMA Negeri 1
yang favorit juga, lalu kuliah menjadi seorang dokter. Tapi
kenapa Ramadhan bulan lalu menjadikannya semua angan
dan cita-citanya berubah. Malah dia ingin masuk pesantren.
Apakah karena selama ini tekanan dari ayahnya yang
menerapkan disiplin itu yang menjadikan dia ingin tinggal
jauh dengan orang tuanya. Benar-benar Irzam kacau
perasaannya malam itu, tapi pilihan sudah dijatuhkan dan
tidak bisa diganggu gugat lagi. Kini pilihannya tinggal satu
yaitu memantapkan hati dan niat. Setelah lelah dihantui
berbagai perasaan, akhirnya malam itu Irzam bisa tertidur
lelap dengan berbagai macam pikiran antara kekhawatiran
dan harapan.
Di saat manusia dilanda kegundahan, maka Allah-lah
tempat terbaik untuk bersandar. Demikian pula yang dialami
keluarga Pak Ansori saat itu. Di kala kesulitan memenuhi
keuangan untuk sebuah perjuangan, maka yang bisa
dilakukan adalah berikhtiar sekuat tenaga dan bertawakal
kepada Allah.
30
Allah tidak membiarkan hambanya, seorang anak kecil
lugu yang memiliki cita-cita luhur. Setelah melalui usaha
yang luar biasa pertolongan Allah datang dengan berbagai
cara. Saudara-saudara Pak Ansori dan Bu Nina saling
membahu untuk mengatasi kesulitan tersebut. Kakek dan
nenek Irzam pun tak tinggal diam. Kekurangannya dapat
terpenuhi dengan meminjam ke tetangga dekat. Singkat kata
kebutuhan dana untuk Irzam dapat terpenuhi.
Pagi itu kelihatan cerah. Sisa embun semalam yang
dingin menusuk kulit mulai digantikan hangatnya sang surya
yang bangun dari peraduannya. Irzam sudah dandan rapi
dengan celana levi’s dan kaos oblong hijau bergambar
Megaloman. Rambut kelimis berminyak Brisk tampak disisir
menyamping kanan. Ia sudah tak sabar ingin segera
berangkat. Rencana pagi itu Bu Nina mengajaknya ke pasar
Cisoang untuk membelikan berbagai macam kebutuhan
bekal ke pesantren.
Bu Nina sudah siap dengan mengenakan gamis biru
muda dipadu kerudung pink segera mengajak Irzam
berangkat. Mereka ke pasar berdua saja. Pak Ansori tidak
ikut karena mendapat tugas menjaga kedua adik Irzam.
Untuk sampai ke pasar Cisoang harus ditempuh perjalanan
kaki sejauh 1,5 kilometer, setelah itu disambung kendaraan
umum selama 20 menit.
Irzam semangat sekali belanja di pasar. Ia memilih
barang-barang yang akan dibawanya ke pesantren, namun
tak berlebihan harganya. Tak segan-segan ia membawa
barang bahkan sampai ada yang dipikulnya. Bu Nina senang
sekali mendapati keceriaan di wajah anaknya sehingga tak
terasa setumpuk barang kebutuhan sudah terbeli. Kini
saatnya pulang. Karena barang bawaan sangat banyak,
31
maka Bu Nina meminta ke sopir angkutan agar diantar
sampai ke gang rumahnya, tentu dengan membayar ongkos
lebih.
Setibanya di rumah, Irzam langsung membongkar
barang bawaannya. Dengan penuh bahagia, ia memilah
barang-barang yang hendak dibawanya.
“Senang sekali kelihatannya yang mau masuk
pesantren”, goda Pak Ansori kepada Irzam.
“Hahaha... iya Pak”, sahut Irzam sambil tertawa.
“Kok sarungnya terlalu besar, buat Bapak aja ya”,
seloroh Pak Ansori lebih lanjut.
“Wah jangan, kalau dipakai Bapak hanya cukup
sampai lutut, nanti masuk angin”, balas Irzam.
Pak Ansori, Bu Nina dan Irzam tapak bahagia karena
sebagian keperluannya telah teratasi. Tinggal mencari
carteran mobil dan menunggu hari pemberangkatan saja.
------------------------
32
On the Way - otewe
Kamis pagi tanggal 2 Juli semua persiapan sudah
dikemas rapi. Beberapa setel baju, sarung, sajadah, handuk,
sepatu, alat tulis lengkap, dan berbagai macam
perlengkapan lainnya sudah masuk ke dalam tas besar. Tak
ketinggalan bahan makanan berupa mie instan, ikan teri
setengah kilogram, abon, dan beberapa buah-buahan
dimasukkan ke dalam kardus.
“Sudah masuk semua dalam tas bawaannya Irz?”
tanya Pak Soleh. Pak Soleh adalah kakak dari Pak Ansori.
“Sudah semua Wa, tas sama kardus”, jawab Irzam
memanggilnya Uwa, panggilan orang Sunda untuk kakak
dari orang tua.
Pak Soleh menambahi, “Jadikan satu barang-barang
yang mau dibawa biar nanti tidak ada yang ketinggalan Irz”.
“Iya Wa, aku kumpulkan di depan”, kata Irzam.
“Bagus, nih Uwa kasih jajan, yang semangat ya di
pesantren”, sambung Pak Soleh sambil memberikan
selembar uang lima puluh ribuan kepada Irzam.
“Horeee... atur nuhun Uwa”, ucapnya berterima kasih.
“Bu dikasih uang sama Uwa”, lanjut Irzam sambil ditaruh di
dahi.
Bu Nina hanya tersenyum melihat kegembiraan Irzam,
“ayo bilang terima kasih sama Uwa”. Selanjutnya Bu Nina
berlalu ke belakang.
Hari itu rumah Pak Ansori tampak lebih ramai dari
biasanya. Banyak sanak saudara dan tetangga yang datang
untuk melepas kepergian dan memberi beberapa helai uang
jajan sebagai penyemangat kepada Irzam. Mereka
berkeyakinan bahwa memberikan sesuatu kepada anak
yang mau masuk pesantren adalah sebuah keberkahan.
33
Memang menjadi hal tidak lazim di sana seorang anak
kecil memiliki keinginan untuk masuk pesantren sambil
sekolah. Terlebih lagi pesantren yang ditujunya sangat jauh
dari rumah. Di sana Pesantren Gontor sudah dikenal tetapi
belum tersohor seperti saat ini. Gontor waktu itu hanya
dikenal sebagai pesantren yang juga menyelenggarakan
sekolah umum, atau lebih populer disebut dengan pesantren
yang ada sekolahnya. Pesantren semacam itu pada waktu
itu belumlah banyak, sehingga ketika ada anak yang belajar
di pesantren sambil sekolah, apalagi berada di Jawa Timur,
lebih dikenal dengan nyantri di Gontor.
Selepas Zuhur, pukul satu siang Pak Ansori berangkat
mengantarkan Irzam. Tubuh mungil itu berbalut baju putih
lengan panjang dipadu celana hitam tampak berseri. Kopiah
hitam menutupi kepalanya makin memunculkan aura wajah
yang terpancar. Satu persatu dipamitinya orang-orang yang
ada di sana. Diawali dari kakek, nenek, berlanjut ke om,
tante, dan tetangga. Tiba di hadapan Bu Nina, Irzam
terdiam. Tak satu patah katapun mampu terucap dari
keduanya. Orang-orang pun membisu dibuatnya. Seketika
Bu Nina memeluk Irzam. Derai air mata Bu Nina tak bisa lagi
dibendung. Irzam pun tak mampu menahan tangisnya.
Orang-orang di sekitar menatap dengan dihiasi butir-butir
halus di sudut matanya, menyaksikan kasih sayang seorang
ibu yang melepas buah hatinya. Bu Nina merasakan penuh
sesak di dadanya. Sejenak hanya isakan tertahan yang
keluar dari bibir Bu Nina. Anak yang selalu bermanja, kini
akan pergi jauh menuntut ilmu. Keteguhan hati seorang ibu
benar-benar diuji.
“Anakku Irzam, hati-hati ya di sana”, kalimat pertama
yang meluncur dari mulut Bu Nina.
34
Irzam hanya mengangguk pelan tanpa mengeluarkan
suara apa-apa, pertanda perasaan sama yang mereka
alami. Wanita paruh baya yang selama ini membesarkannya
tengah menangis haru di hadapannya. Ada getar-getar
semangat untuk mengubah air mata ibunya menjadi sebuah
senyuman bahagia kelak.
“Doakan selalu Bapak, Ibu, dan keluarga di sini ya
Nak. Jadilah anak soleh yang bisa Ibu banggakan. Ibu
Doakan kamu bisa berhasil meraih mimpi Nak. Pergilah,
demi Allah ibu ikhlas Nak!” ucap lirih Bu Nina memberi
semangat.
“Irzam pergi ya Bu. Doa Ibu selalu Irzam tunggu”,
harap Irzam sambil mencium tangan ibunya.
Bu Nina mengelus kepala Irzam tiga kali, lalu
mendaratkan ciuman kasih sayang ibu di kedua pipi dan
kening anaknya. Irzam mengelus pipi adiknya, Nurja, yang
berada dalam gendongan Bu Nina dan menciumnya. Yani,
adik Irzam yang lebih besar, sedari tadi terdiam belum
mengerti akan arti perpisahan, juga mendapat perlakuan
yang sama. Setelah tangan Irzam dicium, giliran pipi Yani
yang dikecup Irzam, kasih sayang kakak terhadap adiknya.
Dengan langkah tertahan, Irzam mulai berjalan
dituntun ayahnya menyusuri jalan sempit menuju mobil yang
akan mengantarnya ke Jawa. Sesekali menoleh ke belakang
membalas lambaian tangan sanak saudara yang ikut
mengiringi ke mulut gang yang tak jauh dari rumahnya.
Sesaat sebelum masuk ke dalam mobil, Irzam melambaikan
tangan terakhir sambil menatap ibunya yang masih terisak
dan sanak saudaranya satu persatu. Irzam merasakan berat
untuk berpisah namun pilihan sidah ditetapkan. Bismillah,
Irzam akan menjalani petualangan baru di negeri orang.
35
Irzam berangkat tidak sendirian. Ia diantar oleh
ayahnya, Pak Soleh, Ustadz Muhi, dan dua orang sopir,
mang Mamat dan mang Jejen namanya. Karena perjalanan
jauh ayahnya mencarter mobil dengan dua orang sopir agar
bisa gantian mengemudi. Kepergian Ilham dilepas dengan
derai air mata orang-orang yang melepasnya. Setelah mobil
yang ditumpangi Irzam hilang ditelan kelokan, barulah
mereka balik kanan kembali ke rumah masing-masing.
Mengawali perjalanan, Irzam hanya fokus ke depan
dan tak berani menoleh ke belakang. Ia ingat pesan sang
kakek, “nanti di perjalanan jangan menoleh ke belakang biar
di sana betah!”, gitu katanya. Baru setelah beberapa kilo
meter jauhnya, Irzam berani menoleh ke belakang.
“Sekarang boleh menoleh ke samping dan belakang
Pak?” tanya Irzam kepada ayahnya.
“Bolehlah”, kata Pak Ansori sambil tersenyum.
“Iya Pak, capek leher cuma liat ke depan”, sambung
Irzam.
Pak Ansori terkekeh, “Hahaha... ya digerak-gerakkan”.
Perjalanan ini sangat jauh dan akan melelahkan.
Waktu tempuh sekitar 24 jam lamanya, begitu kata sang
sopir. Tak satu pun yang ada di mobil ini mengetahui di
mana letak pastinya Pesantren Gontor itu. Yang mereka
ketahui hanyalah ada di Jawa Timur.
“Kalau kita ke Jawa Timur berarti yang harus dicari
pertama kali adalah Surabaya. Ayo kita ke Surabaya dulu, di
sana baru nanti kita cari pesantren yang ada sekolahnya itu”,
ajak Pak Ansori.
“Siap laksanakan”, jawab mang Mamat ala tentara.
Perjalanan pertama diawali dengan jalan yang meliuk-
liuk membelah pemandangan indah di Puncak Gunung Mas.
36
Jalanan itu menanjak beberapa saat lamanya hingga sampai
di perbatasan. Selepas Kabupaten Bogor maka jalan pun
mulai menurun memasuki Kabupaten Cianjur dan kabupaten
Bandung. Memasuki tol Cileunyi, Irzam mulai mengantuk
dan beberapa saat kemudian terlelap tidur.
Entah sudah berapa lama Irzam tertidur. Dia baru
tersadar ketika perjalanan mencapai Nagreg Garut. Pak
Ansori menepuk-nepuk bahu Irzam untuk makan sore dan
salat ashar.
“Irz, ayo bangun dulu. Kita salat dan makan”, ajak Pak
Ansori.
“Sampai mana Pak?”, Irzam balik bertanya.
“Sampai Garut nak”, jawab Pak Ansori.
Kemudian semua turun dari kendaraan. Setelah salat
berjamaah, mereka menyantap makan dengan menu lalapan
yang telah dipesan sebelumnya. Tanpa membuang waktu
terlalu banyak, perjalanan dilanjutkan lagi. Selama
perjalanan akan berhenti untuk salat dijamak & qasar,
sekaligus juga makan. Karena perjalanan masih jauh, Irzam
lebih banyak menghabiskan perjalanan dengan tidur untuk
istirahat. Sesekali dia terbangun melihat-lihat pemandangan
yang dilewati.
Irzam terbangun pada saat kendaraan masih berjalan
menyusuri jalan beraspal menembus kegelapan malam.
Entah sampai mana perjalanan itu. Dia mencoba mengintip
lewat jendela dan dapat membaca tulisan yang ada di
pinggir jalan, Dia baru tahu ternyata perjalanan sudah
sampai Yogyakarta. Dia menoleh ke belakang tampak Pak
Soleh dan Ustadz Muhi sedang lelap tidur. Irzam
memandangi ayahnya yang duduk di samping juga sedang
tertidur pulas terombang-ambing oleh jalanan yang tidak
37
merata. Ada perasaan haru menyelinap di hatinya. Dia
pandangi ayahnya yang selama ini dikenal sebagai seorang
yang bengis, namun malam ini nampak seperti pahlawan
yang memperjuangkan cita-citanya. Tergurat di sang ayah
garis raut wajah mulai menua, tetapi tampak penuh
ketegasan dan tanggung jawab. Selama ini ia menilai salah
terhadap ayahnya. Irzam berjanji dalam hati untuk belajar
sungguh-sungguh.
Agak lama Irzam terjaga dari tidurnya dan menikmati
perjalanan yang cukup jauh itu. Tak terasa tiba-tiba
pikirannya sudah hilang ditelan gelapnya ilusi. Ia baru sadar
ketika badannya dibangunkan oleh Pak Ansori. Mobil sudah
berhenti di depan sebuah masjid. Sudah saatnya salat
subuh. Ia membaca tulisan Masjid Baitul Jannah berada di
daerah Caruban Madiun. Perjalanan ke Surabaya yang
menjadi tujuan awal masih cukup jauh. Waktu tempuh yang
dibutuhkan kira-kira lima sampai enam jam lagi. Selepas
salat subuh perjalanan lanjutkan lagi sambil mencari warung
untuk sarapan.
Tiba di daerah Surabaya sekitar jam sebelas.
Sesampainya di sana baru mereka mencari tempat yang
dituju, yaitu pesantren yang ada sekolahnya. Bertanya
kepada seseorang yang ditemuinya di jalan.
“Mohon maaf Pak mau bertanya. Di mana pesantren
yang ada sekolahnya?”, Pak Ansori bertanya.
Ditanya demikian orang tersebut sedikit celingukan.
Sesaat kemudian orang itu menjawab, “Oh coba itu ada di
daerah Gresik. Di sana banyak”.
“Jalannya Pak?” tanya Pak Ansori lagi.
“Ikuti saja jalan ini terus, nanti cari arah ke Gresik”,
kata orang itu memberi penjelasan.
38
“Baik Pak, terima kasih petunjuknya”, kata Pak Ansori
sambil naik kembali ke kendaraan.
Tanpa membuang waktu perjalanan pun dilanjutkan
hingga mencapai kota Gresik. Di sana Pak Ansori kembali
bertanya kepada seseorang.
“Mohon maaf Bapak. Saya mau bertanya di sini
pesantren yang ada sekolahnya di mana ya?”, tanya Pak
Ansori.
Orang tersebut sempat mengernyitkan dahinya sambil
menjawab, “kalau di sini tidak ada”. Lalu menambahkan
“setahu saya adanya di pesisir utara, ya masih termasuk
Gresik juga”, kata orang tersebut sambil menyebutkan satu
nama daerah.
“Jauh dari sini Pak?”, Pak Ansori kembali bertanya.
“Oh tidak. Ikuti saja jalan ini. Nanti kalau sudah sampai
daerah itu tanya lagi ke orang sana. Tidak jauh kok dari jalan
raya”, kata orang itu.
Untuk ke sekian kalinya perjalanan dilanjutkan hingga
mencapai daerah yang dituju. Ternyata tidaklah sulit untuk
menemukan pesantren yang ada sekolahnya. Di sana
banyak sekali pesantren dan Pak Ansori ditunjukkan ke
sebuah pesantren paling besar. Irzam kelihatan berbinar
memandang gerbang pesantren yang mulai nampak dari
kejauhan.
39
Tempat baru, suasana baru
Jarum jam tepat di angka satu ketika Irzam mulai
menginjakkan kakinya di tempat baru. Pandangan pertama
Irzam mendapatkan sebuah pondok pesantren yang megah.
Mulai masuk pintu gerbang disambut halaman yang asri dan
rindang pepohonan. Pandangan berikutnya di sebelah kiri
ada sebuah bangunan bertuliskan office dan maktab dengan
hurug Arab. Pak Ansori, Pak Soleh, Ustadz Muhi, dan Irzam
menuju bangunan tersebut.
Pak Ansori dan Irzam disambut oleh pengurus
pesantren, “assalamu alaikum”, sapanya lebih dahulu.
Pak Ansori menjawab salam, “wa alaikum salam
warahmatullahi wabarakatuh”.
“Silahkan duduk Bapak-bapak”, mempersilahkan lebih
lanjut.
Setelah bersalaman, mereka duduk di kursi tamu yang
ada di kantor tersebut. Air mineral dan camilan ringan yang
tersedia di meja dipersilahkan kepada para tamu untuk
dinikmati.
“Mohon maaf ustadz, saya Ansori, ayah dari Irzam ini”,
kata Pak Ansori sambil menunjuk anaknya yang duduk di
samping. “Ini Pak Soleh dan ini ustadz Muhi”, katanya
memperkenalkan semua ada di ruang itu. “saya hendak
mendaftarkan anak saya, Irzam, untuk belajar di pesantren
ini” ucap Pak Ansori menyampaikan tujuannya.
“Alhamdulillah. Saya Fatkhur Rohman, biasanya
dipanggil Ustadz Rohman, bagian administrasi di pondok ini.
Dengan senang hati, kami menerimanya”, timpal Ustadz
Rohman dengan ramah. “Namun sebelum mendaftar, kami
persilahkan para bapak dan anaknya untuk melihat-lihat
40
dulu. Nanti ada petugas kami yang akan memandu”,
sambungnya.
“Iya Ustadz, kami juga ingin tahu keadaan pesantren
ini lebih jauh”, kata Pak Ansori senang.
Lantas Ustadz Rohman keluar sebentar memanggil
seseorang dan kembali mengajak seseorang. “Ini Ustadz
Mujib yang akan mengantarkan keliling pondok”, kata Ustadz
Rohman. “Apa-apa nanti bisa ditanyakan kepada Ustadz
Mujib ini. Nanti Bapak-bapak bisa kembali lagi ke ruang ini
jika sudah selesai”, lanjutnya dengan sopan santun.
“Mari saya antar Bapak-bapak”, kata Ustadz Mujib.
“Irzam di samping saya ya, kita keliling pondok biar tambah
mantap”, tambah Ustadz Mujib dengan senyum
mengembang.
Irzam segera berdiri seolah tak sabar ingin mengetahui
pesantren ini. Ia sempat menari kesimpulan sederhana
tentang pondok pesantren. Orang Jawa menyebutnya
pondok, sedangkan orang Sunda memilih dengan sebutan
pesantren. Dengan diantar petugas, Irzam mulai menjelajahi
bagian-bagian pesantren yang akan ditempatinya.
Penelusuran dimulai dari kantor mengarah ke pesantren
putra. Langkah pertama melalui lorong panjang mengarah
ke utara yang ada di samping pesantren putri. Di ujung
lorong disambut mushalla hijau muda dengan kesucian yang
selalu terjaga.
“Di sini nanti kita salat berjamaah lima waktu. Mushalla
ini juga digunakan untuk pengajian atau tempat belajar yang
dibimbing langsung oleh kyai”, kata Ustadz Mujib mulai
menjelaskan. Irzam tampak manggut-manggut. “Tempat
wudhu ada di sebelah utaranya itu. Di belakangnya juga
ada”, sambungnya. “Tapi biasanya para santri sudah
41
berwudhu di kamar mandi asrama, Di sana juga banyak
tempat untuk berwudhu”, lanjutnya mengakhiri penjelasan
tentang mushalla.
Selanjutnya Irzam diajak ke arah timur. Di sana
terpampang tanah lapang di pagari tembok sekelilingnya.
“Irzam nanti bisa bermain di sini. Lapangan ini biasa
digunakan para santri untuk bermain sepak bola dan
kegiatan lainnya yang memerlukan tempat luas” Ustadz
Mujib menjelaskan fungsi lapangan tersebut. Ustadz Mujib
melanjutkan, “Nah kalau Irzam mau menjemur apa-apa,
nanti taruh di sana, di utaranya lapangan”. Irzam tampak
senang ada lapangan sepak bola, nanti bisa bermain di sana
pikirnya.
Irzam diajak kembali melewati mushalla dan beralih ke
utara. Irzam sempat melewati deretan kamar yang dihuni
para ustadz yang bermukim di pesantren. “Ini kamar ustadz-
ustadz. Kalau Irzam butuh apa-apa nanti menghubungi
ustadz yang ada di kamar ini. Irzam sudah kenal berapa
ustadz sekarang?” tanya Ustadz Mujib.
“Baru dua, Ustadz Mujib sama Ustadz Rohman”, jawab
Irzam.
“Pinteeer...!!” puji Ustadz Mujib.
Selepas itu Irzam dihadapkan pada tanah yang luas
dengan tiang bendera terpancang di sisi utara. Sepertinya
lapangan ini biasa digunakan untuk upacara bendera.
Lapangan ini juga biasa digunakan untuk bulu tangkis dan
voli. Itu terlihat dari garis-garis yang ada di dalam lapangan.
Sisi timur dipenuhi pohon palm yang berjejer rapi, sementara
sisi lainnya di kelilingi bangunan megah berlantai dua dan
tiga membentuk huruf U.
42
“Bangunan berlantai tiga yg berada di belakang tiang
bendera, itu madrasah diniyah. Sekolahnya malam setelah
Isya. Nanti Irzam belajar banyak tentang agama di madrasah
diniyah ini”, kata Ustadz Mujib. “Selain itu nanti bisa mengaji
kitab kuning dan belajar agama selain di madrasah diniyah
ini. Tapi jangan khawatir banyak waktu istirahat dan
bermainnya kok”, lanjut Ustadz Mujib sambil tersenyum
melihat Irzam agak melamun. Mereka terus berjalan menuju
bangunan tersebut.
“iya Ustadz”, balas Irzam.
“Ruang yang tepat di belakang tiang bendera itu kantor
madrasah. Irzam juga bisa baca-baca buku, majalah, koran,
dan lain-lainnya di perpus yang ada di ruangan ini”, kata
Ustadz Mujib sambil menunjukkan ruangan besar berisi
berbagai macam bahan bacaan. Tampak di sana beberapa
anak berkopiah putih sedang membaca sambil santai.
“Sekarang ayo kita ke asrama! Kita lihat kamarnya”, ajak
Ustadz Mujib.
Mereka berjalan beriringan memasuki asrama santri
putra. Terlihat deretan kamar dengan tulisan blok dan nomor
kamar. Nampak para santri sedang berbincang dan
bercanda dengan temannya. Sebagian lain ada yang sedang
tiduran, bahkan ada yang tidur sungguhan. Mereka
berbusana rapi bersarung, tapi tidak sedikit pula yang
bertelanjang dada, mungkin karena cuaca di sana memang
panas. Melihat kedatangan Ustadz Mujib disertai orang-
orang baru dikenalnya, sontak mereka berdiri mengucapkan
salam sambil membungkuk tanda hormat menyalami Ustadz
Mujib, Pak Ansori dan lainnya satu persatu. Benar-benar
peradaban pesantren yang penuh kesopanan. Berdesir
perasaan Irzam menyaksikan hal terebut.
43
“Ini nanti kamar Irzam. Untuk kamar mandi ada di
bagian belakang asrama ini”, kata Ustadz Mujib sambil
menunjukkan sebuah kamar. Para santri yang tengah
duduk-duduk santai segera berdiri bersalaman ketika
mendapati Ustadz Mujib ada di hadapan mereka. Sambil
menunduk mereka beringsut memberikan kesempatan ruang
kepada Ustadz Mujib untuk memberikan penjelasan kepada
para tamunya. Ustadz Mujib menerangkan lebih lanjut,
“Pakaian dan barang lainnya yang penting, bisa ditaruh di
lemari ini. Tapi tidurnya di lantai tidak apa-apa ya Irzam?”
tanya Ustadz Mujib. “Kalau bawa tikar atau alas lainnya
silahkan dipakai”, kata Ustadz Mujib lebih lanjut karena
melihat Irzam sedikit kaget.
“Iya Ustadz, tidak apa-apa”, akhirnya Irzam menjawab.
“Ini bagian dari keprihatinan santri dalam menuntut
ilmu. Tidak sama enaknya dengan di rumah. Tapi insya
Allah, kalau sudah merasakan pahit akan berbuah manis”,
Ustadz Mujib memberikan nasihat.
Setelah selesai melihat bagian-bagian yang ada di
pesantren, Ustadz Mujib mengantar mereka kembali ke
kantor untuk melakukan pendaftaran. Setibanya di kantor
pesantren, Ustadz Rohman menyambut mereka sambil
bertanya kepada Irzam, “Apakah Irzam sudah yakin mau
masuk pondok di sini?”.
Semua mata tertuju kepada Irzam, terutama Pak
Ansori khawatir ada keraguan dalam diri Irzam sehingga
mengurungkan niatnya. Dengan mantap Irzam menjawab,
“Ya Ustadz, saya mau pesantren di sini”.
“Alhamdulillaaah...!” hampir bersamaan orang-orang
yang ada di ruangan itu bersyukur.
44
Sesaat kemudian Ustadz Rohman menjelaskan
beberapa hal yang berkaitan dengan pesantren meliputi
administrasi kepada Pak Ansori dan kegiatan kepada Irzam.
“Irzam untuk sekolah formalnya nanti ada dua. Boleh di
SMP Negeri dan boleh di MTs atau Madrasah Tsanawiyah.
Semuanya ada di luar pondok ini. Jaraknya dekat. Keduanya
berdampingan”.
“Bedanya apa Ustadz?”, Irzam bertanya.
“Beda pelajarannya saja. SMP Negeri lebih banyak
pelajaran umum, pelajaran hanya satu saja, seperti dulu
Irzam di SD. Sedangkan di MTs pelajaran umum sama
seperti di SMP, ditambah beberapa pelajaran agama.
Banyak pelajaran pondok juga yang diajarkan di MTs ini”,
jawab Ustadz rohman. “Bahkan beberapa pemangku pondok
daerah sini juga menjadi pengajar di MTs. Kebetulan
memang banyak sekali pondok yang tersebar di kecamatan
ini”, penjelasan Ustadz Rohman selanjutnya.
“Ehm... pilih mana ya” gumam Irzam seolah bertanya.
“Kalau administrasi sama saja. Keduanya ada
kesepakatan dengan pondok dalam hal tertentu ada
perbedaan antara santri dengan masyarakat umum.
Siswanya kebanyakan santri luar daerah”, papar Ustadz
Rohman. Mendapat penjelasan tersebut Irzam merasa puas.
“Saya masuk MTs saja Ustadz, biar lebih banyak
mendapat ilmu agama juga”, ujar Irzam memilih sekolahnya.
“Baik Irzam”, kata Ustadz Rohman. Selanjutnya
berkata kepada Pak Ansori, “Ini kebutuhan administrasi
Irzam untuk di pondok dan di MTs”.
Pak Ansori pun menyelesaikan administrasi yang
dibutuhkan meliputi SPP, seragam, uang makan dan lain
sebagainya baik untuk pesantren maupun sekolah Irzam.
45
“Jika sudah siap, mari diantar Ustadz Mujib lagi untuk
menaruh barang-barang Irzam. Setelah itu Bapak-bapak
bisa istirahat di kamar tamu yang ada di utara kantor ini.
Boleh menginap juga pak, memang kami sediakan untuk
tamu-tamu yang jauh. Atau santai-santai sekalian menunggu
salat Ashar berjamaah di mushalla, silahkan”, Ustadz
Rohman memberikan pilihan. “Oh iya, rencana Bapak-bapak
ini menginap atau langsung kembali pulang?” tanya Ustadz
Rohman.
“Kami langsung pulang Ustadz” jawab Pak Ansori.
“Baiklah Bapak, kalau begitu nanti setelah salat bisa
kembali ke sini bersama Irzam. Kita sowan ke ndalem”, kata
Ustadz Rohman.
Mereka berpandangan tanda tak mengerti. Ustadz
Muhi memberanikan bertanya karena penasaran, “Maaf
Ustadz, sowan ke ndalem itu maksudnya bagaimana?”
“Oh maaf, maksudnya silaturrahmi ke pemangku
pondok, ke Pak Kyai”, jawab Ustadz Rohman menyadari
kekeliruannya. “Kalau kami para ustadz, disebut pengasuh
pondok”, jelasnya lebih lanjut.
Setelah Pak Ansori mengambil barang-barang di
kendaraan, Ustadz Mujib kembali mengantar ke kamar.
Irzam menempati kamar di blok B nomor 3 atau biasa
disebut B3 yang berada di lantai dua. Irzam segera menaruh
dan menata barang di lemari yang telah disiapkan. Setelah
semua barang tertata rapi, mereka kembali ke mushalla
untuk beristirahat sambil menunggu datangnya waktu salat
ashar.
Sesuai dengan rencana, sesudah salat ashar mereka
sowan ke ndalem diantar Ustadz Rohman. Berada dalam
rumah Kyai Muhammad Hikam yang dihampari karpet biru
46
terasa sejuk menandakan pemiliknya adalah seorang yang
bijak dan alim.
“Assalamu alaikum”, salam seorang pria seusia Pak
Ansori berwajah kharismatik muncul dari balik tirai.
“Wa alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh”,
jawab mereka serempak.
Ustadz Rohman segera berdiri memburu tangan Yai
Hikam dan mencium tangan bolak-balik. Pak Ansori dan
lainnya segera menyalami beliau.
“Alhamdulillah. Silahkan duduk! Dari mana ini?” sapa
Yai Hikam sekaligus bertanya.
“Niki Yai badhe mondokaken yugone”, kata Ustadz
Rohman menjelaskan anak Pak Ansori yang akan masuk
pesantren dengan bahasa Jawa halus.
“Kami dari Jawa Barat Yai”, jawab Pak Ansori penuh
kehati-hatian.
Obrolan sempat terhenti ketika salah seorang santri
masuk mengantarkan minuman. Setelah dipersilahkan
menikmati teh hangat dan camilan, pembicaraan dilanjutkan
kembali.
“Kami bermaksud menitipkan Irzam agar dididik Pak
Kyai sepenuhnya”, pasrah Pak Ansori.
“Ya insya Allah, dengan dibarengi doa orang tua, kami
para pengasuh akan membimbingnya. Mudah-mudahan
Allah memudahkan jalannya. Di sana juga mengaji ya?”
tanya Yai Hikam.
“Iya Pak Kyai, saya yang membimbing tapi mengaji di
kampung ala kadarnya”, jawab Ustadz Muhi merendah.
“Tidak apa-apa, justru di kampung itu lebih besar
tantangannya daripada di pondok, jadi pahalanya juga lebih
banyak” timpal Yai Hikam, tak kalah tawaduknya. “Harus
47
kerasan ya Irzam. Kasihan ayahnya kalau tidak betah di sini.
Perjalannya jauh. Di sini malah kebanyakan yang jauh-jauh
santrinya. Ada yang dari Jakarta, Sukabumi, Cirebon, malah
ada yang dari Bogor juga. Kebanyakan Jawa Barat, Jawa
Tengah, terdekat ya Surabaya sama Madura”.
“Iya Pak Kyai”, jawab Irzam malu-malu.
Selanjutnya obrolan ringan mengalir antara Yai Hikam
dan mereka berlangsung sekitar tiga puluh menitan. Serasa
cukup Pak Ansori minta doa sekaligus pamit dan sekali lagi
menitipkan keberadaan Irzam kepada Yai Hikam.
“Lho tidak menginap?” tanya Yai Hikam.
“Tidak Pak Kyai. Tidak enak meninggalkan ibunya
Irzam sama adiknya di rumah terlalu lama”, jawab Pak
Ansori.
“Kalau begitu titip salam untuk keluarga masing-
masing di sana dan jangan lupa Irzam selalu didoakan”,
tutup Yai Hikam.
“Iya Yai. Kami permisi, assalamu alaikum”, pungkas
Pak Ansori sambil menyodorkan tangan diikuti yang lainnya.
“Wa alaikum salam warrahmah walbarakah” balas Yai
Hikam.
Sore itu Pak Ansori menyempatkan mengajak Irzam
untuk makan sore. Selanjutnya membeli apa-apa yang
diinginkan Irzam untuk di pesantren. Setelah selesai
semuanya Irzam diantar kembali ke pesantren untuk
mengantar barang-barang tersebut sekalian Pak Ansori
persiapan pulang.
Sekitar pukul 16.30 Pak Ansori pamit kepada pengurus
pesantren sekaligus menitipkan irzam. Irzam ikut
mengantarkan hingga ke kendaraan yang akan membawa
Pak Ansori kembali pulang ke kampungnya. Irzam dipamiti
48