sambil mencium tangan Pak Ansori. Pak Ansori mengelus
kepala Irzam dan mencium keningnya.
“Bapak pulang dulu ya Irz”, kata Pak Ansori.
“Iya Pak”, jawab Irzam singkat.
“Yang kerasan di sini Irz. Enak kok tempatnya”, timpal
Pak Soleh memotivasi Irzam.
“Muhun Wa”, masih dengan jawaban singkat.
“Hati-hati di sini ya Irz. Jaga diri baik!” pesan Pak
Ansori.
“Bapak juga hati-hati. Salam sama Ibu dan Adik”,
sekilas dia teringat ibu dan adik-adiknya.
“Iya nanti Bapak sampaikan. Assalamu alaikum!”, kata
Pak Ansori yang sudah berada dalam kendaraan.
“Wa alaikum salam!” balam Irzam sambil melambaikan
tangan.
Perasaan haru dan sedih kembali mendera Irzam.
Untuk kedua kalinya Irzam merasakan ini. Pertama, ketika
dia berpisah dengan ibunya kemarin ketika akan
meninggalkan rumah. Kedua, sekarang dia merasakan hal
yang sama ketika akan ditinggal ayahnya. Namun dia tak
berani mengungkapkan perasaan hatinya. Dia takut ayahnya
akan kecewa atau bahkan marah, jika Irzam mengatakan
ingin ikut pulang, belum sanggup jauh tinggal dari orang
tuanya. Dengan sekuat tenaga Irzam menahan tangis
Jangan sampai air mata terlihat oleh ayahnya.
Irzam masih melambaikan tangan ketika kendaraan
mulai menjauh dari pesantren. Tak menunggu mobil itu
hilang dari pandangan, Irzam langsung balik kanan dan
berjalan memasuki pesantren. Mata sudah terasa panas,
tanpa bisa dibendung lagi air mata menyeruak. Di depan
kantor pesantren Irzam sudah tidak kuat lagi, akhirnya
49
terduduk di teras dan menangis sejadi-jadinya. Ustadz
Rohman yang melihat kejadian itu segera memeluk Irzam
dan membiarkannya menangis untuk meluapkan emosi.
Ustadz Rohman sudah terbiasa mendapati kejadian seperti
ini. Santri baru memang berat untuk berpisah dengan orang
tuanya sehingga biasa diawali dengan tangisan.
Irzam masih menangis tersedu. Dengan lemah lembut
Ustadz Rohman mulai mengelus Irzam. Diberinya segelas
air putih untuk diminum. Kini Irzam jauh lebih tenang.
“Perbanyak istighfar dan selalu menyebut nama Allah
agar cepat terbiasa dengan kehidupan di pondok ya Irzam”,
nasihat Ustadz Rohman. Irzam mengangguk pelan dengan
mata sembab. “Mondok itu menyenangkan. Banyak orang
terkenal dulunya belajar di pondok. Awal-awal merasa sedih
itu biasa, lama-lama Irzam pasti terbiasa, Yang penting
semangat ya!”, petuah Ustadz Rohman kepada Irzam.
Setelah tenang, Irzam membasuh wajah dan diantar
ke kamarnya. Irzam diperkenalkan dengan teman-teman
barunya.
“Santri-santri sekalian, ini teman baru kalian. Mungkin
tadi Ustadz Mujib, wali kamar kalian sudah bercerita tentang
santri baru ini. Namanya Irzam”, kata Ustadz Rohman.
“Tolong dibantu, ditemani, dan berteman yang baik ya”,
sambung Ustadz Rohman.
“Iya Ustadz”, jawab mereka serempak.
Setelah memperkenalkan Irzam, Ustadz Rohman
segera berlalu dari kamar itu. Kini giliran Irzam berkenalan
dan bercengkerama lebih lanjut dengan teman-teman
barunya.
“Kenalkan aku Rofik dari Surabaya. Sekarang kelas
tiga MTs”, kata salah seorang santri yang tampak paling
50
besar. “Itu Ali dari Semarang, baru juga. Kalau itu Samsul
dari Jakarta tukang bolos”, canda Rofik.
“Haha itu dulu. Besok-besok diulang lagi”, seloroh
Samsul. “Aku juga baru mau masuk MTs. Dulu sekolah MI
sih udah di sini, jadi bahasa Jawa udah lancar benget”, kata
Samsul memperkenalkan diri.
Irzam tertawa menemukan teman-teman barunya bisa
bercanda. “Alhamdulillah banyak temannya, nanti masuk ke
MTs bisa sama-sama”, kata Irzam.
“Ada juga di kamar ini anak baru dari Bogor, namanya
si Deni. Dia masih ke kamar mandi”, kata Ali.
Sesaat Ia bisa mengabaikan kesedihan yang
dialaminya tadi dan melupakan keberadaan rumahnya. Ia
cepat beradaptasi dan bisa bergaul dengan santri-santri
yang ada di kamarnya. Kamar ini dihuni dua belas orang
santri. Mereka duduk kelas dua dan tiga MTs atau SMP.
Bahkan ada juga santri baru selain Irzam. Secara umum
santri-santri berasal dari luar kota. Setengahnya berasal dari
luar Jawa Timur. Beberapa ada yang dari Lampung dan
Jambi. Sungguh sebuah pesantren yang multikultural.
Di awal masuk ini belum banyak kegiatan karena MTs
juga belum masuk. Hanya Madrasah Diniyah (Madin) saja
yang sudah berjalan sebab tahun pelajaran barunya dimulai
Bulan Syawal. Hal ini membuat Irzam memiliki banyak waktu
luang dan sering dirundung rasa pilu manakala teringat
kedua orang tua. Tak jarang ketika rasa rindunya
memuncak, tangisnya kembali pecah. Teman-temannya
tidak sedikit yang menonton, namun ada pula yang
menghiburnya untuk lebih tenang, Irzam tak peduli dengan
orang-orang yang ada di sekitarnya. Dia menangis sejadi-
jadinya untuk melepaskan kegundahan hati dan berangsur
51
tenang setelah merasa lega. Kejadian ini terus berulang
selama tiga hari.
Hal ini bukan dialami Irzam saja, namun santri-santri
baru lainnya juga sama. Bahkan ada yang lebih histeris dari
Irzam. Menangis sampai menjerit-jerit karena ingin pulang
dan terjadi berhari-hari.
----------------------------------------
52
Tersesat di jalan yang benar
Sudah lebih satu minggu Irzam berada di pesantren. Ia
sudah mulai kerasan dan bisa membaur dengan teman-
temannya. Beberapa patah kata bahasa Jawa sudah mulai
dikuasainya seperti mangan, adus, turu, tangi, dan lainnya,
Bahkan untuk keseharian istilah “pesantren” yang selama ini
digunakannya, kini sudah berganti menjadi “pondok”
mengikuti istilah singkat yang digunakan di sana.
Namun meski sudah bisa menyesuaikan diri, Irzam
masih memiliki ganjalan dalam hati. Dijalani beberapa hari
namun ia masih belum menemukan jawabannya. Ketika
mencari tahu pun, hasilnya tetap tidak ada. Akhirnya suatu
ketika Irzam bertanya kepada temannya yang bernama
Basuki.
“Ini kan Pondok Gontor”, buka Irzam dengan percaya
diri. “Kok aku tidak menemukan secuil pun tulisan Gontor?
Kenapa nggak ada tulisannya di sini?”, kata Irzam terus
bertanya.
“Lho kata siapa ini Gontor?” kata Basuki balik bertanya
seraya mengernyitkan dahi.
Irzam menjawab, “aku dari rumah niat untuk masuk
Pondok Gontor, dan ketika aku bertanya di jalan orang-
orang menunjukkan ke sini?”. Dengan lugunya Irzam
menjawab demikian.
Basuki tertawa, “hehehe Gontor bukan di sini. Ini
bukan Gontor”.
Irzam kaget. “Haah.. Kalau gitu Gontor di mana?”,
tanya Irzam makin panik.
“Gontor itu di Ponorogo”, jawab Basuki.
“Jauh dari sini?” tanya Irzam penasaran.
53
“Ya jauh sekali”, kata Basuki. “Kalau berangkat dari
sini pagi sampai sana sore”, sambungnya.
“Lalu ini pondok apa?” tanya irzam, masih belum
hilang kagetnya.
“Pondok Pesantren Miftahul Huda. Biasanya orang-
orang menyingkatnya PPMH”,
Bagai disambar petir di siang bolong. Irzam kaget
bukan kepalang. Irzam baru menyadari kalau selama ini
pondok yang dia huni bukan Pondok Gontor seperti yang
direncanakan dulu. Ironisnya lagi adalah Pondok Gontor
ternyata juga jauh dari tempatnya sekarang. Untuk beberapa
saat Irzam termenung memikirkan kekeliruannya.
Sejak kejadian itu Irzam hanya bisa terdiam. Ada
keinginan untuk pindah menuju Pondok Gontor seperti cita-
citanya. Tetapi mengingat kembali perjuangan bapak dan
ibunya untuk memberangkatkan dia ke pondok ini, tak tega
rasanya jika dia mengutarakan itu. Tentu biaya pun akan
bertambah.
Kegundahan itu tidak bisa hilang dalam benaknya.
Bagaimanapun ia harus memberi tahu ayahnya tentang
pondok yang ia tempati sekarang. Irzam memutuskan harus
menelepon ayahnya Namun ia tidak tahu di mana telepon
terdekat yang ada di sana. Alat komunikasi yang ada satu-
satunya hanya berkirim surat lewat pos yang memakan
waktu sangat lama. Paling tidak satu minggu surat itu baru
sampai di tujuan. Akhirnya dengan memberanikan diri Irzam
bertanya ke Ustadz Mujib.
“Maaf Ustadz, saya mau menelepon Bapak saya. Di
mana ada wartel di sini?” tanya Irzam.
Ustadz Mujib menjawab, “Di sini tidak wartel. Kalau
mau telepon harus ke kota Gresik”.
54
“Jauh dari sini Ustadz?”, Irzam kembali bertanya.
“Jaraknya sekitar 25 km”, jawab Ustadz Mujib.
“Jauh ya!” gumam Irzam ternganga.
“Memangnya kamu ada perlu apa” selidik Ustadz
Mujib.
“Saya mau bilang kalau saya sudah betah di sini” kata
Irzam menyembunyikan keadaan sebenarnya. “Agar Bapak
dan Ibu tidak kepikiran”, sambung Irzam.
“Kalau memang begitu ayo saya antar!”, ajak Ustadz
Mujib.
“Iya Ustadz, mau saya diantar” kata Irzam merasa
senang.
Akhirnya mereka berdua pergi ke kota Gresik untuk
mencari wartel. Perjalanan ke kota Gresik ditempuh sekitar
45 menit dengan naik dua kali angkutan. Setibanya di wartel,
Irzam langsung menelepon nomor tetangga untuk
disambungkan ke ayahnya. Itu adalah satu-satunya telepon
yang ada di kampungnya. Setelah menunggu lima menit,
Irzam menelpon kembali dan tersambung dengan ayahnya.
“Hallo, assalamu alaikum”, terdengar suara ayahnya
mengangkat telepon.
“Wa alaikum salam”, jawab Irzam.
“Kamu sehat Irz? Betah di sana?” tanya ayahnya.
“Alhamdulillah Pak, Ibu sama adik gimana Pak?, Irzam
balik bertanya.
“Alhamdulillah semua sehat Irz, titip salam buat kamu”,
balas ayahnya.
Irzam mulai bercerita, “Pak pondok sekarang ini bukan
Pondok Gontor, bukan yang kita mau waktu berangkat”.
55
“Lho... bukan Gontor?”, Pak Ansori merasa kaget.
“Lalu apa namanya kalau bukan Gontor” sambung kata Pak
Ansori.
“Bukan Pak. Ini Pondok Miftahul Huda” jawab Irzam.
“Terus Gontor itu di mana?” tanya Pak Ansori.
“Pauh dari sini Pak” kata irzam. “Gontor ada di
Ponorogo kata temanku”, Irzam berusaha menjelaskan.
“Terus kamu gimana? Apakah kamu mau pindah?”,
Pak Ansori bertanya lagi.
Irzam terdiam sesaat. “Tidak Pak!”, kata Irzam.
“Beneran kamu di sana betah?” tanya Pak Ansori
memastikan. “Bagaimana keadaan di sana? Ustad-ustad
nya? Teman-teman kamu? Pelajarannya?”, lanjut Pak Ansori
bertanya satu persatu.
“Iya Pak” jawab Irzam meyakinkan Pak Ansori.
“Alhamdulillah Pak, Ustazd-ustadz sama teman-teman juga
baik. Pelajarannya baru Madrasah Diniyah yang mulai. Awal
masih sulit karena aku belum bisa bahasa Jawa” papar
Irzam.
“Alhamdulillah kalau kamu kerasan di sana” kata Pak
Ansori merasa lega. “Tidak apa-apa nak kamu ada di
pesantren itu. Yakin saja meskipun kamu tidak ke Gontor,
tapi Allah yang menuntun jalannya ke sana. Itu atas
bimbingan Allah”, nasihat Pak Ansori.
“Iya Pak” kata Irzam. “Kalau begitu sudah ya pak, ini
bayarnya sudah banyak”, Irzam mengakhiri bahasan.
“Iya Irz” jawab Pak Ansori. “Kalau perlu apa-apa kamu
minta tolong Ustadz kamu. Kalau uang kamu sudah habis
pinjam dulu tidak apa-apa, nanti bapak ganti. Baik-baik di
sana ya Irz”, pesan Pak Ansori.
56
“Iya Pak, salam sama Ibu dan Adik, sudah ya Pak,
assalamu alaikum”, pungkas Irzam.
“Wa alaikum salam”, tutup Pak Ansori di seberang
sana.
Setelah selesai menelepon, Irzam dan Ustaz Mujib
kembali pulang ke pondok mengendarai kendaraan umum.
Genap sudah dua minggu Irzam berada ada di tempat
barunya. Irzam sudah bisa menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Kegiatan pondok pun sudah bisa diikuti
dengan normal. Irzam harus sudah bangun pukul empat pagi
atau 30 menit sebelum adzan subuh berkumandang. Salat
subuh dilaksanakan secara berjamaah di mushalla yang
diimami oleh Kyai Hikam. Setelah salat subuh melakukan
kegiatan mengaji Al-Qur’an perkelas sesuai dengan
kemampuannya. Pukul enam pagi semua kegiatan selesai.
Setelah sarapan Irzam berangkat ke sekolah.
Salat Zuhur dilaksanakan berjamaah dengan teman-
temannya karena Irzam baru sampai pondok setelah
melewati waktu Zuhur. Setelah makan siang, Irzam bisa
istirahat atau tidur siang sampai menjelang salat Ashar.
Setelah salat Ashar, Irzam kembali mengaji Al-Qur’an.
Makan sore dilaksanakan sebelum salat Maghrib. Setelah
Maghrib para santri dipersilahkan belajar mandiri untuk
mengerjakan PR atau mengulas pelajaran sekolah.
Sebagian lain ada juga yang mengaji kitab kuning dibimbing
pengasuh pondok. Setelah salat Isya Irzam berangkat
menuju Madrasah Diniyah sampai 21.00. Masih ada waktu
satu jam untuk istirahat atau kegiatan pribadi. Jam 22.00
semua kegiatan berhenti dan seluruh santri harus tidur.
Di hari libur Jumat atau saat tertentu, kegiatan pun
bisa berubah. Semisal ada kegiatan membaca yasin dan
57
surat-surat pendek setelah Maghrib pada malam Jumat.
Pembacaan shalawat Nariyyah setelah Isya dan dilanjutkan
kegiatan Muhadloroh. Para santri diajari menjadi pembawa
acara, penceramah, dan pengembangan bakat lainnya.
Olahraga dilaksanakan Jumat pagi. Jumat sore para santri
bergantian belajar memimpin tahlil.
Sekilas kegiatan itu tampak padat. Setelah dijalani,
Irzam tidak mengeluh sama sekali. Namun layaknya santri
yang masih muncul jiwa kanak-kanaknya, Irzam pun tak
luput dari terlambat dan bolos. Tak jarang Irzam
bersembunyi di kamar mandi atau jemuran demi
menghindari hafalan yang belum dikuasainya. Jika
tertangkap, tentulah hukuman menanti dimulai dari
membaca al-Qur’an berlembar-lembar sampai dengan
membersihkan kamar mandi.
-----------------------------------------
58
Krem putih, bukan biru putih
Setelah melakukan kegiatan Penataran P4, Irzam
memulai hari awal masuk sekolah di MTs Kutubush Sholihin
atau biasa disebut MTs KS. Irzam berangkat bersama
teman-temannya yang berada dalam satu pondok. Teman-
temannya ada Ali, Zainal, Dedi, Samsul, Syukron, dan
lainnya sebanyak 15 orang. Di MTs Irzam juga bertemu
dengan teman-teman barunya yang berasal dari berbagai
daerah yang menempati pondok-pondok di sekitar sana.
Selain itu, Irzam juga mendapatkan teman baru dari anak-
anak asli warga sekitar.
Santri PPMH yang bersekalah di MTs KS tidak
dijadikan satu kelas. Tetapi kebanyakan masih ada teman
satu pondok di kelasnya, termasuk Irzam satu kelas dengan
Ali dan Samsul di kelas 1D sejumlah 40 siswa. Namun
sayangnya mereka berdua termasuk siswa yang memiliki
absen banyak dan nilai rendah. Bahkan di penghujung tahun
pelajaran mereka berdua hampir saja tidak naik kelas.
Sedangkan Irzam termasuk kategori siswa yang pandai di
samping ada Hadi, Heni, Wiwik, dan siswa-siswa lainnya
yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Bu Fatma
sebagai wali kelas mengawali tatap muka di kelas. Beliau
memandu perkenalan di kelas.
“Kenalkan nama Ibu, Bu Fatma, mengajar kesenian.
Rumah ibu dekat sini saja. Di perempatan sana ke barat 100
meter saja”, perkenalan bu Fatma. “Sebagai wali kelas, ibu
nanti membantu kesulitan keaslian selama kelas satu ini”,
kata Bu Fatma. “Sekarang kalian perkenalkan diri kalian satu
persatu meju ke depan. Dimulai dari ujung sana!” katanya
sambil menunjuk Irzam.
59
“Aduh!”, keluh Irzam. “Masa dari saya dulu bu?”, tanya
Irzam.
“Iya tidak apa-apa”, bujuk Bu Fatma.
Akhirnya tubuh mungil berpeci hitam itu maju ke depan
kelas. Sejenak menoleh kiri kanan sambil cengengesan.
Setelah menguasai diri, Irzam mulai mengeluarkan
suaranya. “Nama saya Irzam Yawah. Asal dari kota hujan
Bogor. Sekarang mondok di PPMH”, katanya. “Sudah bu?”,
tanya Irzam.
Sebelum Bu Fatma menjawab, tiba-tiba, “tanya, kok
bisa bule gitu?” celetuk Samsul.
“Udah dari sononya”, jawab Irzam cepat.
“Iya sudah tidak apa-apa, cukup”, kata Bu Fatma.
“Gantian sekarang sampingnya!” perintah Bu Fatma.
Perkenalan berlanjut hingga siswa duduk di deretan
bangku paling belakang. Irzam kini mengenal satu persatu
teman sekelasnya. Teman-temannya yang berada dalam
satu kelas berasal dari berbagai daerah seperti halnya siswa
sekolah itu pada umumnya. Perangainya pun berbeda-beda
ada yang lembut tapi banyak pula yang kasar. Di awal tak
jarang Irzam sering diganggu bahkan diolok-olok sampai
menangis dengan sebutan ‘si bule’ karena memang Irzam
memiliki kulit yang putih bersih layaknya orang barat.
Pada saat pemilihan pengurus kelas, Irzam terpilih
sebagai ketua kelas. Irzam tidak keberatan karena di SD pun
selalu menjadi ketua kelas sejak dari kelas tiga sampai
dengan kelas enam. Permasalahan kadang muncul di saat
mengatur teman-temannya yang berperawakan besar,
sedangkan Irzam bertubuh mungil.
Sekolah ini memiliki bangunan yang megah rata-rata
berlantai dua. Seluruh kelas satu ada tujuh kelas dimulai dari
60
kelas 1A sampai kelas 1G. Kelas dua dan tiga juga sama,
masing-masing memiliki tujuh kelas. Sehingga total
semuanya ada 21 kelas. MTs KS memiliki jumlah guru yang
banyak. Semuanya berpredikat sarjana bagi yang mengajar
pelajaran umum. Sedangkan bagi yang mengajarkan agama
adalah lulusan pondok pesantren, tidak sedikit pula yang
memangku Pondok Pesantren, Pelajaran yang dipelajari
Irzam sangat banyak meliputi pelajaran umum seperti halnya
di SMP, pelajaran agama seperti di MTs pada umumnya,
ditambah lagi muatan lokal pelajaran pondok pesantren
seperti nahwu, shorof, hadits, akhlak dan lain sebagainya.
Irzam menempati ruang kelas sebelah timur lapangan
upacara. Ia duduk berdampingan dengan Faisol berada di
depan sebelah kiri dekat pintu masuk. Rumah Faisol tidak
jauh dari sekolah. Sedangkan Ali dan Samsul duduk satu
bangku di bagian belakang.
Di bulan-bulan pertama Irzam mengalami kesulitan
dalam hal bahasa baik di pondok maupun di sekolah.
Selama ini Irzam selalu menggunakan bahasa Sunda dan
Indonesia untuk berkomunikasi. Banyak pelajaran agama
yang harus menggunakan bahasa Jawa. Pelajaran-pelajaran
tersebut menggunakan kitab berbahasa Arab yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa atau biasa disebut
ma’nani. Belum lagi kesulitan ketika harus menggunakan
tulisan Arab pego. Tetapi lambat laun Irzam bisa mengejar
ketertinggalannya dengan menerjemahkannya sendiri ke
dalam bahasa Indonesia agar menguasai pelajaran.
61
Selain Cerdas, juga Cermat ...
Suatu ketika di akhir tahun pelajaran setelah ujian
semester genap berlalu. Untuk mengisi waktu senggang,
sekolah mengadakan cerdas cermat antar kelas. Sebagai
ketua kelas Irzam harus menyiapkan anggota regunya. Naas
bagi Irzam, tak ada satupun yang mau mewakili kelas 1D
dalam lomba cerdas cermat tersebut. Mungkin karena masih
kelas satu mereka merasa malu tampil di hadapan orang
banyak.
“Ayo Sol, ikut cerdas cermat”, ajak Irzam kepada
teman sebangkunya.
“Gak ah, aku tidak bisa apa-apa” jawab Faisol.
“Ayo Hen, ajak Wiwik suruh ikut mewakili kelas!”, suruh
Irzam kepada Heni.
“Emoh, isin aku”, jawab Heni.
Akhirnya mau tidak mau Irzam harus mewakili
kelasnya. Hanya saja setiap kelas harus diwakili tiga orang,
tentu Irzam harus mencari dua orang lagi temannya yang
mau ikut mendampinginya. Irzam kebingungan mencari
teman yang mau menemaninya.
“Seluruh perwakilan kelas silahkan menempati meja
yang telah disediakan”, seru pembawa acara.
Irzam masih bingung ke sana ke mari mencari
temannya yang mau diajak ikut serta namun hingga kini tak
ada satupun yang bersedia.
“Mana ini kelas 1D belum ada sama sekali. Kelas 1C
dan 1F kurang satu orang saja”, ujar pembawa acara.
Irzam semakin bingung. Teman-temannya malah
berlari menjauh tatkala Irzam mendekat.
“Ya tinggal kelas 1D yang belum ada pesertanya sama
sekali. Kelas yang lain sudah lengkap. Apabila tidak
62
mengikuti maka satu kelas akan dikenakan denda”, ancam
pembawa acara. “Saya hitung mundur sepuluh, jika tidak
ada berarti kena denda. Sepuluh... sembilan... delapan...”
hitung pembawa acara membuat Irzam semakin panik.
Di kejauhan Irzam melihat Ali dan Samsul berjalan kaki
baru datang memasuki pintu gerbang. Tak membuang
waktu, saat itu juga mendatangi mereka berdua dan
menyeretnya ke meja peserta untuk kelasnya. Keduanya
serta-merta menolak ajakan Irzam. Alasan mereka tentu saja
karena kemampuan dan prestasi mereka yang rendah.
Sangat tidak mungkin harus ikut lomba cerdas cermat.
“Kelas 1D sudah ada dan lengkap semua peserta. Mari
kita mulai. Tepuk tangan semuanya!”, seru pembawa acara,
sontak semuanya bertepuk tangan.
Akhirnya Ali dan Samsul mati kutu tak berdaya
menolak. Irzam pun tenang yang penting kelasnya tidak
kena denda. Irzam menenangkan mereka. “Pokoknya kalian
cuma menemani saja dan pura-pura berpikir bantu jawab”,
bisik Irzam. Keduanya menyeringai dan mengangguk tanda
setuju. Bu Fatma tampak tersenyum kecut di kejauhan
menyaksikan kelasnya diwakili Ali dan Samsul.
Setelah semua peserta lomba cerdas cermat lengkap,
maka panitia pun memulai lomba tersebut. Irzam berada di
Regu D sesuai dengan kelasnya. Pertanyaan bervariasi
antara pelajaran umum dan pelajaran agama. Babak
pertama diawali dengan pertanyaan giliran per regu dengan
nilai 100 jika bisa menjawab dengan benar. Babak kedua
juga masih sama pertanyaan per regu dengan nilai 100 dan
jika tidak bisa menjawab maka diperebutkan regu lain
dengan nilai 50.
63
Tiba giliran Regu D, Irzam mampu melahap semua
soal yang diberikan.
“Soal pertama untuk Regu D. Di manakah Rasulullah
menerima wahyu pertama kali?”, tanya pembawa acara.
“Goa Hiro”, jawab Irzam cepat.
“Seratus!”, timpal dewan juri.
“Pertanyaan berikutnya soal IPA. Satuan besaran
pokok di dalam Sistem Internasional adalah?” tanya
pembawa acara.
Ali dan Samsul bergaya dengan aksi kocaknya. Ketika
ada soal yang diberikan, serempak keduanya merapatkan
badan ke tubuh Irzam. Mulut keduanya komat-kamit di
samping telinga Irzam yang berperan sebagai juru bicara.
Entah apa yang diucapkan, bahkan tak jarang telinga Irzam
ditiupnya.
“Meter, kilogram, sekon”, jawab Irzam.
“Betul, seratus!”, sahut dewan juri.
Tak sedikit para penonton yang tertawa menyaksikan
ulah ketiganya. Bahkan sempat mengundang perhatian
pembawa acara. “Ayo semangat Ali dan Samsul”,
komentarnya. Ali dan Samsul memang terkenal di kalangan
guru dan siswa. Keduanya sering bolos dan prestasi rendah
namun kali ini tampil pada cerdas cermat.
Nilai per regu saling berkejaran tak terkecuali Irzam
dan regunya. Meski Irzam berpikir sendiri tapi masih mampu
mengimbangi lawan-lawannya. Regu D masih bertahan di
empat besar saat memasuki babak rebutan. Semua regu
berlomba cepat dan menjawab benar untuk mendapat nilai
100. Sedangkan jika jawaban yang dilontarkan adalah salah,
maka regu tersebut dikurangi 100 nilainya.
64
Tibalah di penghujung lomba yang menyisakan satu
pertanyaan terakhir. Regu D mengumpulkan nilai 1.600
sama dengan Regu F, dan terpaut nilai 50 dari Regu A yang
berada di atasnya. Sementara Regu B membayangi di
bawahnya dengan nilai 1.550. Irzam menyimak angka-angka
yang dibacakan pembawa acara. Jika ingin menang maka
Irzam harus bisa menjawab benar soal terakhir ini. Jika tidak
menjawab sudah pasti kalah, bahkan bisa saja tersingkir dari
tiga besar. Pilihan tidak ada yang lain kecuali harus
menjawab benar.
Pembawa acara mulai membacakan soal penutup.
“Siapakah istri Rasulullah yang terkenal cerdas dan ..........”,
Pembawa acara tidak melanjutkan pertanyaannya karena
dipotong oleh bel yang dipencet Irzam.
“Silahkan regu D!”, dewan juri mempersilahkan untuk
menjawab.
Irzam sempat tertegun. Penonton pun terdiam
menunggu jawaban Irzam. Tak kalah paniknya Ali dan
Samsul yang hanya bisa memegang kepala sambil
tertunduk. Sejenak tak ada suara yang terdengar. Saat
penentuan pemenang sangat mendebarkan.
“Regu D silahkan dijawab!”, ulang dewan juri memecah
kesunyian.
Irzam meraih mic di hadapannya seraya mengucap
bismillah dalam hati dan menjawab dengan lantang, “Siti
Aisyah”.
Pembawa acara segera menyahut, “Hadirin, sebelum
kita nilai jawabannya dan menentukan pemenangnya, saya
bacakan dulu soal lengkapnya yang tadi sempat dipotong
oleh Regu D”. Pembawa acara melanjutkan “Siapakah istri
65
Rasulullah yang terkenal cerdas dan banyak meriwayatkan
hadits?. Bagaimana dewan juri jawaban Regu D tadi?”
“Jawaban benar dan nilai seratus”, jawab dewan juri.
“Hadirin para siswa semuanya, kita tunggu dewan juri
sedang menghitung total nilai yang dikumpulkan masing-
masing regu. Baiklah bagaimana dewan juri, siap dibacakan
nilainya?” tanya pembawa acara.
“Ya akan saya bacakan nilainya” jawab dewan juri.
Selanjutnya dewan juri membacakan total nilai masing-
masing regu. “Pemenangnya adalah Regu D dengan total
nilai 1.700”, tutup dewan juri.
Regu D dinyatakan menang setelah menang dramatis
dengan selisih nilai 50 dari Regu A. Sontak pengumuman
juri tadi membuat teman-temannya bersorak kegirangan tak
terkecuali Ali dan Samsul. Setelah dinyatakan sebagai
pemenang, Ali dan Samsul dielu-elukan seluruh temannya
bahkan diangkat-angkat. Hal itu bukan karena keduanya
pintar, justru sebaliknya karena keduanya ini terkenal sering
polos, jarang mengerjakan tugas, tidak pernah ikut ulangan.
Sekarang keduanya ikut cerdas cermat dan muncul sebagai
pemenangnya. Meskipun sebenarnya mereka tahu bahwa
yang berperan untuk memenangkan cerdas cermat tersebut
adalah Irzam. Tak urung keduanya tetap mendapat
sanjungan. Irzam hanya tertawa bahagia menyaksikan
kedua temannya mendapat perlakuan itu.
Beberapa hari kemudian tibalah acara pembagian
buku raport. Acara cerdas cermat lusa kemarin ternyata
memiliki hikmah sangat besar bagi Ali dan Samsul. Bu
Fatma sebagai wali kelas mengatakan bahwa keduanya
hampir saja tidak naik kelas karena nilainya rendah dan
sering bolos. Tetapi karena keduanya ikut menjadi peserta
66
cerdas cermat maka pada saat rapat kenaikan kelas, para
guru memiliki pertimbangan lain untuk keduanya, sehingga
keduanya dinaikkan ke kelas dua.
“Terima kasih Irzam, kamu sudah menyelamatkan dua
teman kamu”, kata Bu Fatma
“Sama-sama bu guru”, balas Irzam sambil berbinar-
binar. Irzam merasa senang secara tidak langsung telah
membantu kedua temannya agar bisa naik kelas.
Pada saat pembagian raport di kelas 1D tersebut
Irzam mampu meraih prestasi sebagai rangking dua di
bawah Heni, salah satu temannya. Bagi Irzam itu sebuah
prestasi yang bagus dan luar biasa mengingat dirinya masih
kesulitan berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Ia
lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia.
---------------------------------------
67
Akhir sanah, Akhir Tahun
Hampir genap satu tahun Irzam berada di pondok.
Pada bulan Sya'ban seluruh santri mengadakan ujian akhir
untuk kenaikan kelas. Irzam saat itu berada di kelas Shifir
Awal juga melaksanakan ujian kenaikan kelas. Pelajaran
yang diujikan ada yang tertulis dan ada yang dipraktekkan.
Pelajaran tersebut antara lain tauhid, tajwid, akhlak, fiqih,
nahwu dan shorof. Ujian itu dilaksanakan satu minggu
lamanya.
Setelah ujian dilaksanakan, pondok mengadakan
lomba untuk para santri. Lomba itu meliputi pidato, qiroah,
hafalan, membaca kitab kuning, menerjemah kitab, dan lain
sebagainya. Pondok juga mengadakan pertandingan
olahraga antar blok santri. Pertandingan itu antara lain sepak
bola, voli, dan bulu tangkis. Irzam mengikuti lomba pidato
dan qiroah. Selain itu, pondok juga mengadakan kegiatan
bazar makanan. Terakhir pondok mengadakan kegiatan
pentas seni sekaligus menutup seluruh kegiatan yang ada di
pondok. Rangkaian kegiatan itu dikenal dengan sebutan
kegiatan akhirus sanah. Kegiatan yang selalu ditunggu para
santri di penghujung tahun pelajaran.
Pada acara pentas seni, nama Irzam sempat dipanggil
dan dua kali naik panggung. Pertama sebagai peraih
rangking satu di kelas Shifir Awal dan kedua peraih santri
berprestasi nomor tiga dari lima besar.
“Hebat kamu Irz, bisa jadi santri berprestasi”, puji
Imron, salah satu teman Irzam di pondok.
“Alhamdulillah Im”, jawab Irzam.
“Padahal ya tidur tok kamu Irz, Hehe...”, kelakar Imron.
“Hahaha... Bukan tidur Im, hanya memejamkan mata,
aslinya itu berdzikir”, balas Irzam tak kalah sengitnya.
68
“Mulai besok, empat hari kita bebas tidur Irz, kalau
sudah puasa padat ngaji kitab”, kata Imron.
“Betul, kita manfaatin libur empat hari jelang puasa
buat santai. Ayo ke kamar, sudah selesai semua acaranya
ini”, ajak Irzam. Keduanya berlalu ke kamar masing-masing.
Tahun ini adalah puasa pertama Irzam berada di
pondok. Dia menjalani sahur dan berbuka jauh dari orang
tua dengan makan seadanya. Kegiatan mengaji kitab kuning
yang banyak sudah menanti di bulan puasa Ini. Selepas
salat Subuh mengaji kitab Safinatun Naja. Setelah salat
Dhuha lanjutkan dengan kitab Taisirul Kholaq dan kitab
Ta'limul Muta'alim hingga menjelang waktu Dhuhur. Setelah
istirahat siang dan salat Ashar kegiatannya adalah mengaji
Al-Quran. Menjelang berbuka para santri dipersilahkan
mencari udara segar di luar atau sekedar memberi takjil
persiapan berbuka. Setelah salat Maghrib, santri menyantap
makan berbuka. Terlihat wajah bahagia di antara para santri
saat menikmati hidangan berbuka meskipun ala kadarnya.
Setelah salat Tarawih dilanjutkan mengaji kitab Bulughul
Maram dan sebagian yang lain tadarus. Kegiatan seperti ini
berulang selama sembilan belas hari. Irzam tak sabar
menunggu datangnya hari kedua puluh, itu pertanda Irzam
bisa pulang dan bertemu dengan keluarganya.
-----------------------------------------
69
Saat yang dinanti
Hari itu Rabu, hari ke-20 di bulan Ramadhan. Hari
yang dinanti. Semua kegiatan pondok sudah berakhir. Sejak
Subuh sebagian santri sudah berkerumun di depan pondok
seperti ada yang ditunggu. Sebagian santri lain sedang
mengemasi barangnya. Mereka menunggu kedatangan
orang tuanya, tidak terkecuali Irzam. Sejak subuh ia sudah
duduk manis di depan pondok menunggu kedatangan
ayahnya. Namun yang dinanti tak kunjung tiba. Beberapa
temannya yang sudah melihat kehadiran orang tuanya
berteriak kegirangan dan beberapa saat kemudian akan
pulang ke rumahnya masing-masing.
Irzam masih tetap dalam kegelisahan, sebentar berdiri
sebentar duduk. Menengok gerbang ke arah jalan di luar
pondok tapi yang ditunggu masih belum kelihatan juga.
Sesaat dia pun duduk lagi.
“Belum datang Irz?”, tanya temannya.
“Belum”, jawab Irzam singkat.
Capek menunggu, Irzam masuk ke kamarnya sambil
menunggu kedatangan ayahnya. Ia pun tiduran sambil
membayangkan kehadiran ayahnya. Tiba-tiba saja
pandangannya kabur namun samar dari kejauhan ayahnya
datang membawa berbagai bingkisan. Irzam berlari
menyambut kedatangan ayahnya sambil berteriak, “bapak...
bapak...!”.
Pak Ansori langsung memeluk Irzam erat sekali.
Sesaat kemudian Pak Ansori berkata, “Irzam maafkan
Bapak ya. Kamu tahun ini tidak usah pulang. Sebagai
gantinya, ini Bapak bawakan berbagai kebutuhan kamu”.
Pak Ansori menyerahkan bingkisan yang dibawanya.
70
Irzam hanya bisa ternganga. Tak percaya apa yang
dialaminya. Sedari subuh tadi menunggu ayahnya untuk
dijemput pulang, namun kini ayahnya malah berkata
demikian.
“Bapak langsung balik ya, kamu hati-hati di sini!”, kata
Pak Ansori sambil berbalik meninggalkan Irzam.
Irzam tak tinggal diam. Ia langsung mengejar Pak
Ansori dan memeluknya dari belakang. “Bapak aku ikut
pulang. Aku ingin pulang Pak”, rengek Irzam.
Entah siapa tiba-tiba saja ada yang memegang bahu
Irzam seakan ingin memisahkan dari ayahnya. Irzam
semakin erat memeluk ayahnya. “Bapak... Bapak... Pulang
Pak.. Pulang Pak...!”, ratap Irzam.
“Iya Irzam, kamu pulang. Tapi jangan begitu. Ayo
bangun!”, kata Samsul sambil menggoyangkan badan Irzam.
Irzam seketika membuka matanya. “Gak ada kerjaan
apa, tas lu peluk-peluk sambil ngelantur”, kata Samsul.
Irzam mengerjapkan matanya, memandang sekeliling.
Ia baru sadar telah bermimpi. Ia masih berada di kamarnya
tengah memeluk tas yang akan dibawanya pulang.
“Ngapain lu?” tanya Irzam kepada Samsul.
“Lha, elu yang ngapain? Tidur pake acara peluk tas
sama ngomel”, Samsul balik bertanya.
Irzam terkekeh mendengar pertanyaan temannya. “Iya
saking kangennya aku sama bapakku”, katanya.
“Udah sana salat Dhuha dulu! Nanti berdoa biar
bapakmu datang setelah kamu salat Dhuha”, suruh Samsul.
“Siap!”, jawab Irzam sambil bergegas mengambil air
wudhu dan melaksanakan salat Dhuha.
71
Belum genap dua rokaat salat duha, saat masih sujud
yang kedua, temannya di bawah sana berteriak, “Irzam,
bapakmu datang. Ayo cepat turun”.
“Apa gue bilang? Percaya kagak?”, seloroh Samsul.
Tak urung ucapan Samsul yang ada di samping,
membuat konsentrasi Irzam buyar. Namun ia tetap berusaha
melanjutkan salatnya dengan baik.
Selepas salam, Irzam langsung berlari. Tak lupa
sajadah yang baru saja dipakainya dilempar ke arah Samsul.
“Sialan lu, bikin salat nggak khusyuk”, kata Irzam. Samsul
hanya menyeringai mendapat sajadah mendarat di
mukanya.
Irzam segera berlari turun menemui ayahnya. Serasa
mimpi, tapi ia yakin bukan mimpi yang baru saja dialaminya.
Setelah sekian lama tidak bersua, kini ayahnya berdiri tepat
dihadapannya. Tanpa membuang waktu Irzam langsung
memeluk Pak Ansori untuk melepas rindu. Tak terasa bulir
air mata menganak sungai di kedua belah pipi Irzam. Ia
terharu hampir setahun tak bertemu ayahnya.
“Bapak, aku kangen”, isak Irzam.
“Iya nak, Bapak juga sama”, jawab Pak Ansori, tak
kalah harunya dengan Irzam. “Kamu baik-baik saja kan di
sini nak?”, tanya Pak Ansori.
Irzam hanya mengangguk, tak kuasa menjawab
pertanyaan ayahnya.
“Ayo kita selesaikan dulu semuanya, biar kita lekas
pulang!”, jawab Pak Ansori.
“Iya Pak”, jawab Irzam sambil melepas pelukannya.
Mereka berdua masuk ke kantor pondok untuk
menyelesaikan urusan administrasi. Sesudah itu keduanya
sowan ke dalam rumah Yai Hikam. Setelah beberapa saat
72
dirasa cukup Pak Ansori segera berpamitan untuk mengajak
Irzam pulang ke rumahnya. Irzam dan Pak Ansori segera
meninggalkan pondok.
Sekarang mereka menuju ke kota Gresik untuk
membeli tiket bus sekalian menunggu busnya yang akan
membawa ke tanah kelahiran Irzam. Pukul dua siang, bus
yang ditunggu datang. Irzam dan Pak Ansori segera naik ke
dalam bus.
Perlahan bus mulai meninggalkan terminal Gresik.
Irzam akan menempuh perjalanan satu malam untuk
mencapai rumahnya. Barang yang dibawa tidak terlalu
banyak. Ia hanya membawa beberapa helai pakaian dan
perlengkapan yang dibutuhkan di rumah. Perjalanan satu
malam cukup membosankan dan melelahkan namun bagi
Irzam adalah hal yang sangat dirindukan. Ia akan segera
bertemu dengan ibu dan kedua adiknya. Ia juga sudah
membayangkan akan bertemu dengan saudara-saudaranya
dan bermain dengan teman-temannya dulu di kampung.
Kamis pagi Irzam sudah sampai rumahnya. Dari jauh
Irzam sudah berteriak, “Ibu... Ibu... aku datang!”.
Bu Nina segera keluar menyambut Irzam dengan suka
cita. Sesaat mereka keduanya hanya bisa berpelukan dalam
tangis haru. Hampir satu tahun mereka tidak bertemu.
Hanya berkirim kabar lewat surat dan itu pun jarang
dilakukan. Tak lama Pak Ansori datang sambil memanggul
barang bawaan Irzam. Ia hanya tersenyum bahagia melihat
anaknya bisa tiba di rumahnya. Begitu pun dengan kedua
adik Irzam, Yani dan Nurja. Mereka bahagia melihat
kakaknya ada di tengah mereka.
Bu Nina memapah ketiga anaknya untuk masuk ke
dalam rumah. Di sana mereka berbincang. Bu Nina ingin
73
mengetahui cerita Irzam di pondok. “Bagaimana kamu di
sana nak? Betah kan?”, tanya Bu Nina.
“Alhamdulillah bu betah banget”, jawab Irzam.
“Syukurlah kalau begitu nak”, balas Bu Nina. “Teman-
temanmu bagaimana? Ada yang nakal gak?” sambungnya
bertanya.
“Rata-rata baik semua bu. Tapi aku pernah berantem
bu”, kata Irzam.
“Lho mesantren kok malah berantem?”, tanya Bu Nina.
“Paling kamu nangis ya”, ledek Pak Ansori.
“Aku diganggu terus bu. Dibalas nggak mau. Ya
akhirnya berantem Bu”, cerita Irzam. “Nggak lah Pak. Aku
menang. Anaknya Bapak kok”, gurau Irzam.
“Hemmm...”, dengus Pak Ansori sambil tersenyum.
“Bapak sepeninggal kamu ke pesantren jadi jinak lho
Irz. Tidak pernah marahin anak-anak lagi”, sambung Bu
Nina.
“Jinak! Emangnya kambing”, balas Pak Ansori,
disambut tawa semuanya.
Irzam antusias menceritakan pengalamannya di
pondok. Pak Ansori dan Bu Nina mendengarkan dengan
berbinar. Tak jarang diselipi tawa mereka mendengar cerita
lucu Irzam. Di tengah obrolan, tiba-tiba kakek dan nenek
mereka muncul di pintu masuk. Beberapa saudara dan
tetangga yang lain juga mendengar Irzam datang sehingga
mereka segera menemui Irzam.
“Alhamdulillah, anak Gontor kapan datang?”, sapa
tetangganya sambil menyalami Irzam.
Mendengar kata Gontor, Irzam sempat tertegun. Ia
kembali ingat kenangan setahun yang lalu. Ketika ia
berangkat mondok tujuan Gontor dan ternyata baru disadari
74
salah alamat setelah beberapa hari. Irzam menoleh, Pak
Ansori paham segera menganggukkan kepalanya.
Irzam menjawab sapaan tetangganya, “iya Mang, tadi
datang. Kemarin dijemput Bapak ke sana”.
“Bagaimana kabar kamu di sana? Sehat saja kan?”,
tanya kakeknya.
“Alhamdulillah Ki, baik”, jawab Irzam. “Cuma pulang
bawa buduk sebadan sama bisul dua”, lanjut Irzam.
“Tidak apa-apa berarti mesantrennya lulus. Kalau tidak
buduk belum sah hahaha...!”, sahut yang lain membesarkan
hati Irzam. “Tapi senang kan tinggal di pesantren?”,
tanyanya.
“Ya Mang, seneng banget, banyak ketemu teman
baru”, jawab Irzam.
“Alhamdulillah kalau begitu, mudah-mudahan kamu di
sana kerasan, tambah pinter dan jadi orang yang
bermanfaat”, doa yang lain.
“Amin, terima kasih Mang”, pungkas Irzam.
Irzam tidak menjelaskan ke orang-orang bahwa dia
salah masuk pondok. Pondok yang dia tempati sekarang itu
bukan Gontor. Jika dijelaskan satu persatu malah akan
lama, pikirnya. Biarkan saja.
“Bapak pernah cerita kepada saudara dan
tetanggamu, kalai kamu bukan di pesantren Gontor. Tapi
tidak mudah mengubah pemahaman orang-orang. Tahunya
kamu itu di Pesantren Gontor. Biar saja Irz”, Pak Ansori coba
menjelaskan kepada Irzam.
Irzam betul-betul menikmati liburan Idul Fitri selama
tiga Minggu. Waktu tersebut dimanfaatkan untuk bertemu
dengan saudara, guru, dan teman bermainnya. Untuk
pelajaran tak pernah disentuh sama sekali. Pak Anssori dan
75
Bu Nina membiarkan saja dengan dalih di pontok tentu
Irzam sudah jenuh dengan pelajaran. Hanya saja kini ia rajin
ke masjid Al-Falah.
Ada kebiasaan baru yang ditemukan Bu Nina,
sepulang dari pondok Irzam senang sekali tidur, tidak seperti
dulu sebelum ia berangkat. Dengan senang hati Bu Nina
selalu memasakkan makanan kesukaannya, seperti tumis
teri campur jengkol. Mumpung di rumah, apa saja bisa
dimakan, pikir Bu Nina. Pak Ansori juga menyempatkan
membawa Irzam ke dokter untuk diobati penyakit gatal dan
bisulnya. Liburan berakhir Irzam kembali diantar ke pondok
oleh Pak Ansori dengan mengendarai bis umum seperti
halnya pulang kemarin.
-----------------------------------------
76
Paruh pertama perjalanan
Tiga tahun berlalu, tak terasa sudah Irzam menempuh
pendidikan di Jawa Timur. Sebuah daerah yang sangat jauh
dari rumahnya. Irzam sudah menyelesaikan semua ujian di
MTs KS. Setelah ujian Ebtanas, Irzam menyempatkan
pulang ke rumahnya. Kini ia sudah berani pulang tanpa
dijemput. Ia pulang bersama teman-temannya satu daerah.
Ada keinginan yang diutarakan kepada orang tuanya
untuk pindah ke pondok yang lebih dekat dengan rumahnya.
“Pak, aku ingin pindah pondok”, kata Irzam pada suatu
kesempatan.
“Kenapa Irz, kamu gak kerasan di Jawa?”, tanya Pak
Ansori.
“Bukan begitu Pak. Agar tidak terlalu jauh. Kasihan
Bapak kalau di Jawa kejauhan’, alasan Irzam.
“Kamu ingin pesantren di mana Irz?”, lanjut ayahnya
bertanya.
“Tidak tahu Pak. Tapi daerah sini aja Pak. Jangan
jauh-jauh”, pinta Irzam.
“Asalkan kamu sudah yakin, ya coba nanti kita cari”,
Pak Ansori memberi keputusan.
Pak Ansori mencari informasi pondok pesantren yang
sekiranya cocok untuk Irzam. Ia mencari di daerah yang
tidak terlalu jauh dari rumah. Setelah memperoleh
gambaran, mereka berdua menelusuri ke daerah Cianjur
dan Sukabumi. Penjajakan itu tidak cukup dilakukan sekali
jalan, namun sampai tiga hari dengan lokasi yang berbeda.
Setelah melakukan peninjauan ke beberapa
pesantren, Pak Ansori kembali bertanya kepada Irzam.
“Bagaimana Irz? Apakah sudah ada pesantren yang cocok
buat kamu?”, tanya pak Ansori.
77
Irzam menjawab sambil menggeleng, “belum Pak”,
“Yang di Cipanas Cianjur itu sepertinya bagus Irz”,
lanjut Pak Ansori mencoba mengarahkan.
“Bagus Pak. Sekolahnya bisa ke Aliyah Negeri. Tapi
pelajaran di sekolah hanya biasa. Beda dengan Aliyah di
Jawa lebih lengkap”, jawab Irzam memberi pertimbangan.
“Kalau yang di Cibadak Sukabumi bagaimana?”, tanya
Pak Ansori selanjutnya.
“Bagus juga Pak. Tapi sepertinya tidak sanggup kalau
masak sendiri Pak. Masih belum bisa. Cuci baju sendiri tidak
apa-apa, aku bisa”, jawab Irzam sambil tersenyum.
“Terus yang terakhir di Cianjur dekat Bandung,
cocok?”, Pak Ansori kembali bertanya.
“Tempatnya cocok benget Pak. Di pegunungan,
hawanya bersih, sejuk, dan pokoknya menyenangkan.
Pemandangannya indah...”, kata Irzam.
“Hehe tapi... Ada tapinya nggak?”, potong Pak Ansori
tertawa.
“Ada”, jawab Irzam. “Terlalu santai, pelajarannya lebih
mudah. Bisa-bisa aku hanya jalan-jalan rekreasi di sana
Hehe...”, balas Irzam.
“Iya Irz, memang tidak mudah untuk memasuki tempat
baru. Kalau Bapak sih terserah kamu saja. Mau pindah ya
nggak apa-apa, tetap di Jawa juga silakan”, ujar Pak Ansori
memberi kebebasan.
“Irzam masih bingung Pak. Coba menunggu beberapa
hari lagi ya Pak”, pinta Irzam.
“Iya tidak apa-apa Irz. Sambil kamu juga minta
petunjuk sama Allah ya agar ditunjukkan tempat terbaik”,
nasihat Pak Ansori.
“Iya Pak”, jawab Irzam.
78
Beberapa hari kemudian tak disangka, Pak Nur, salah
seorang guru MTs menelepon Pak Ansori. Kebetulan
memang setahun terakhir telepon sudah bisa dinikmati
masyarakat sekitar pondok Irzam dan Pak Ansori pun sudah
memasang saluran telepon sendiri. Tidak menumpang lagi
kepada tetangga seperti beberapa waktu lalu.
“Siapa yang menelepon Pak?”, tanya Irzam
penasaran.
“Guru kamu, Pak Nur”, jawab Pak Ansori.
“Lho tumben. Ada apa Pak?”, tanya Irzam merasa
kaget
“Rupanya kamu masih tetap harus di sana Irz”, kata
Pak Ansori. “Itu tadi Pak Nur bilang katanya kamu sudah
didaftarkan di sekolah aliyah”, lanjut Pak Ansori.
“Terus bagaimana Pak?”, tanya Irzam.
“Ya tidak apa-apa, nanti Bapak kan ke sana tinggal
mengurusi biayanya saja”, jawab Pak Ansori.
“Kok bisa didaftarkan langsung begitu Pak?”, tanya
Irzam masih penasaran.
“Katanya sayang prestasi kamu bagus. Kalau kamu
tidak melanjutkan di sana khawatir pelajarannya tidak
nyambung dan tidak menunjang pelajaranmu yang dulu.
Agar bisa terus baik, makanya kamu didaftarkan oleh Pak
Nur ke sekolah Aliyah”, ujar Pak Ansori.
“Iya Pak”, jawab Irzam.
“Mungkin ini sudah jalan dari Allah. Ke sana ke mari
kamu belum menemukan tempat yang sesuai dan sekarang
gurumu tiba-tiba menelepon mengatakan bahwa kamu
sudah didaftarkan di sekolah aliyah. Bismillah Irz”, lanjut Pak
Ansori memantapkan hati Irzam.
79
“Iya Pak, kalau begitu saya tetap di Jawa saja Pak”,
jawab Irzam mantap.
“Kamu pastikan kapan kamu kembali ke Jawa. Nanti
Bapak antar sekaligus persiapan sekolah di aliyah”, pungkas
Pak Ansori.
Seminggu kemudian Pak Ansori mengantar Irzam.
Perjalanan kali ini menggunakan kereta api jurusan Jakarta-
Surabaya. Setiba di sana, Pak Ansori segera mengurus
kebutuhan sekolah Irzam di Madrasah Aliyah (MA), yang
masih satu yayasan dengan MTs-nya yang lalu.
---------------------------------------
80
Calon pemimpin
Baru tiga bulanan Irzam menjadi siswa Madrasah
Aliyah Kutubus Sholihin (MAKS). Ia merasa nyaman di sana
karena sebagian besar temannya, yang dulu bersekolah di
MTs KS, juga banyak yang masuk di MAKS dan sebagian
lagi masuk di SMA-nya. Seperti halnya di MTs dulu,
pelajaran yang diterima tidak kalah banyaknya. Bahkan
melebihi yang diperoleh di MTs dulu. Seperti Madrasah
Aliyah pada umumnya, Irzam mendapatkan pelajaran umum
dan juga pelajaran agama sesuai dengan kurikulum
pemerintah. Di sini Irzam masih mendapat tambahan
muatan lokal keagamaan seperti nahwu, shorof, balaghoh,
mantiq, ushul fiqih, dan pelajaran agama lainnya berbasis
pondok pesantren. Irzam tidak sulit lagi untuk beradaptasi
dengan sekolah barunya ini. Ia sudah bisa menguasai
pelajaran-pelajaran tersebut karena juga didukung oleh
pendidikannya di pondok.
Suatu hari Irzam dan temannya, Hadi, dipanggil oleh
Pembina OSIS. Mereka berdua disodori sebuah surat dari
LP Ma'arif Kabupaten Gresik.
“Silakan dibaca!”, kata Pak Ghufron, sebagai pembina
OSIS.
“Apa isinya Pak?”, tanya Irzam.
“Ya dibaca saja dulu”, jawab Pak Ghufron sekaligus
mengulangi perintahnya.
Tanpa komentar lagi, Irzam dan Hadi membaca isi
surat tersebut sampai selesai. Selepas itu Irzam manggut-
manggut seolah memahami isinya.
“Kamu paham isinya?”, tanya Hadi kepada Irzam.
“Nggak!”, jawab Irzam.
81
“Gitu kok manggut-manggut kayak ngerti isinya”, kata
Hadi sambil menjitak kepala Irzam. Tapi Irzam lebih sigap
menghindar sambil nyengir.
Kemudian Irzam bertanya kepada Pak Ghufron, “untuk
siapa ini Pak?”.
“Ya buat kamu”, jawab Pak Ghufron.
“Maksudnya gimana sih Pak”, tanya Irzam sambil
mengernyitkan keningnya.
“Intinya kalian berdua besok harus berangkat diklat
OSIS di kabupaten”, ujar Pak Ghufron menjelaskan isi surat.
“Di mana itu Pak?”, tanya Hadi.
“Ya itu di kecamatan Benjeng”, jawab Pak Ghufron.
“Waaaduh!”, seru mereka berdua.
“Kok waduh?”, tanya Pak Ghufron merasa heran.
“Iya Pak mendadak sekali, terus bagaimana saya izin
ke pondok?”, tanya Irzam kebingungan.
“Ya surat itu dikasihkan ke pengurus pondok”, jawab
Pak Ghufron. “Terus kamu waduh kenapa Hadi”, tanya Pak
Ghufron sambil mengalihkan pandangan ke arah Hadi.
“Jauh Pak, saya tidak biasa”, jawab Hadi.
“Dasar anak mama”, ujar Irzam sambil mendaratkan
sikutnya di lengan Hadi.
“Besok berangkat jam sepuluh. Pagi kalian tidak usah
masuk sekolah. Jam setengah sepuluh saja datang ke sini.
Nanti diantar mobil sekolah. Kalian persiapkan segala
sesuatunya sesuai dengan yang ada dalam surat itu”,
perintah Pak Ghufron.
“Ya Pak insya Allah saya coba dulu untuk izin”, kata
Irzam.
“Saya juga Pak, Nanti minta izin orang tua”, sambung
Hadi.
82
“Ya sudah, sekarang kalian bisa kembali ke kelas
masing-masing”, timpal Pak Ghufron.
Sepulang sekolah, sesampainya di pondok Irzam
langsung menyampaikan surat tersebut kepada pengurus
pondok. Alhamdulillah ternyata Irzam diberikan izin selama
tiga hari untuk mengikuti kegiatan diklat pengurus OSIS itu.
Keesokan harinya Irzam dan Hadi diantar Pembina
OSIS menggunakan mobil sekolah ke lokasi kegiatan Diklat
OSIS. Perjalanan ditempuh lebih kurang satu jam. Setibanya
di lokasi dan melakukan pendaftaran, mereka berdua
mendapatkan buku panduan dan alat tulis. Selanjutnya
ditempatkan di salah satu rumah penduduk. Di rumah itu
mereka disatukan dengan peserta dari sekolah lain sehingga
berjumlah empat orang. Ternyata semua peserta satu
kabupaten yang mengikuti diklat ini ditempatkan di rumah-
rumah penduduk sekitar lokasi kegiatan.
Irzam tidak pernah membayangkan untuk ikut kegiatan
semacam ini. Kegiatan yang ia ikuti sangat padat. Acara
diawali dengan pembukaan sore hari setelah shalat Ashar.
Acara demi acara ia ikuti hingga malam hari. Belum lagi
tugasnya yang menumpuk, mengharuskan dilembur. Irzam
dan Hadi merasa kepayahan, namun tetap ia ikuti semuanya
karena bagaimanapun ia membawa nama baik sekolahnya
untuk mengikuti kegiatan itu. Akan tetapi ada saja beberapa
sesi kegiatan yang tidak ia ikuti karena terlalu lelap tidurnya,
sehingga acara terlewatkan. Irzam tidak memiliki target
terlalu tinggi. Ia ikuti saja semampunya kegiatan-kegiatan
yang ada.
Di hari ketiga sesi terakhir adalah post tes untuk
menguji kemampuan peserta sejauh mana bisa menyerap
materi yang telah diberikan. Setelah tes akhir, semua
83
peserta dipersilahkan kembali ke pemondokannya masing-
masing sambil menunggu sesi penutupan. Setibanya di
pemondokan ternyata Pembina OSIS sudah datang untuk
menjemput Irzam dan Hadi.
“Masih ada acara?” tanya Pak Ghufron.
“Terakhir Pak, penutupan”, jawab Hadi.
Pak Ghufron lanjut bertanya, “mau ikut penutupan atau
pada pulang?”.
“Pulang saja Pak, biar tidak kemalaman di jalan”,
jawab Irzam.
“Tapi nanti pas acara penutupan gak akan dipanggil
kan?”, tanya Pak Ghufron.
“Dipanggil apa Pak?” tanya Irzam.
“Ya barangkali menerima hadiah atau apa gitu”, kata
Pembina OSIS nya.
Ya Kak mungkin pak rumah saya kemampuannya pas-
pasan kata ejaan
oleh sudah kalau gitu kita siap-siap untuk langsung
pulang tapi masih
Iya Pak barang-barang saya tinggal masukkan ke
dalam tas kata Islam.
Dari kejauhan panitia terdengar memanggil para
peserta untuk berkumpul di aula guna mengikuti sesi
penutupan. Namun seperti yang disepakati di awal, Irzam
bersama teman-temannya ingin langsung pulang tanpa
mengikuti kegiatan penutupan tersebut. Mereka tak
mempedulikan acara penutupan yang sudah dimulai.
Mereka sibuk mengemasi barang-barangnya untuk
dimasukkan ke dalam tas. Setelah semuanya siap, segera
naik ke kendaraan dan segera pulang. Dengan perlahan
mobil yang ditumpangi mulai berjalan untuk kembali pulang.
84
Saat melewati tempat berlangsungnya penutupan diklat,
tiba-tiba terdengar pembawa acara memanggil nama irzam.
Sontak saja pembina OSIS-nya berseru, “kamu dipanggil tuh
Zam!!”
“Iya Pak, ada apa ya?”, tanya Irzam sambil
mengernyitkan dahinya.
“Mendingan kamu turun, kayaknya kamu mendapatkan
hadiah”, seloroh Pak Ghufron.
“Ah mana mungkin Pak”, balas Irzam sambil tertawa.
“Sudah jalan sana, jangan menunggu diperintah untuk
kedua kalinya Zam’, perintah pak Ghufron.
Setelah turun dari kendaraan, Irzam berlari ke dalam
aula penutupan. Setibanya di dalam, pembawa acara
memanggil namanya, “sekali lagi saya panggil Irzam dari
Madrasah Aliyah Kutubus Shalihin sebagai peserta terbaik
kedua dalam kegiatan diklat pengurus OSIS LP Ma'arif
Kabupaten Gresik tahun ini untuk naik ke panggung”.
Dengan sigap Irzam segera naik ke atas panggung.
Setelah lengkap peserta terbaik 1, 2 dan 3, Ketua LP Ma'arif
Kabupaten Gresik memberikan piagam dan piala
penghargaan sekaligus uang pembinaan. Irzam antara kaget
dan senang, ia tidak pernah menyangka akan terpilih
sebagai salah satu peserta terbaik. Selama mengikuti
kegiatan ini dia merasa biasa-biasa saja, tidak ada yang
aneh apalagi firasat akan berada di panggung ini sebagai
peserta terbaik. Hanya saja ia merasa nyaman mengikuti
kegiatan ini sehingga materi dan tugas bisa dilewatinya
tanpa beban.
Setelah selesai menerima penghargaan, Irzam segera
turun dan berjalan ke deretan kursi bagian belakang. Ia tidak
lantas duduk, melainkan menuju pintu keluar aula untuk
85
melanjutkan perjalanan pulangnya. Belumlah sempat ia
keluar dari aula itu, ternyata Pembina OSIS dan temannya,
Hadi, sudah menyambut, memberikan ucapan selamat
sekaligus pelukan hangat sebagai tanda ikut bahagia atas
prestasi yang diraihnya.
“Selamat ya Irzam! Kamu hebat bisa juara tingkat
kabupaten”, seru Pak Ghufron.
“Hehehe kebetulan aja Pak”, timpal Irzam.
“Warga sekolah pasti senang dan bangga mengetahui
prestasi ini. Besok pas upacara diumumkan agar menjadi
penyemangat untuk teman-temanmu semuanya”, tambah
Pak Ghufron.
“Hehehe Saya malu Pak”, kata Irzam lagi.
“Kenapa harus malu? Justru Ini bagus sekali menjadi
penyemangat untuk semua siswa. Hebat kamu”, tanya Pak
Ghufron sambil memberikan semangat.
“Semua juga berkat bimbingannya bapak dan ibu guru
Pak”, pungkas Irzam merendah.
Akhirnya mereka tidak jadi pulang, justru mencari
tempat duduk yang masih kosong untuk mengikuti acara
penutupan hingga selesai. Rasanya tidak enak setelah
mendapat penghargaan malah meninggalkan tempat lebih
awal, dan temannya menyepakati untuk mengikuti acara
hingga tuntas.
Setelah semua acara dipastikan usai, barulah Irzam
dan Hadi pulang. Nampak ada pancaran wajah bahagia
dalam mobil tersebut. Dalam benak mereka ada prestasi
yang bisa dibanggakan besok di hadapan teman-temannya
pada saat upacara. Kendaraan mulai merayap
meninggalkan area kegiatan untuk kembali pulang menuju
Irzam dan Hadi menuntut ilmu.
86
87
Berlatih dan bekerja
Irzam baru saja menyelesaikan ulangan umum
semester genap di kelas dua. Berarti sebentar lagi dia akan
naik ke kelas tiga. Liburan kali ini Irzam tidak bisa pulang ke
tanah kelahirannya karena karena ayahnya sudah berpesan
agar ia tetap tinggal di pondok. Ia tidak diperkenankan
pulang karena ayahnya tidak memiliki uang yang cukup
untuk ongkos Irzam di jalan. Akhirnya mau tidak mau Irzam
harus menerima kenyataan meskipun dia sangat
menginginkan agar bisa menikmati liburan di kampung
halamannya.
“Liburan ini kamu pulang Irz?” sapa Pak Sholeh, guru
BK di sekolahnya. Irzam
“Tidak Pak” jawab Irzam.
“Lho kenapa?” tanya Pak Sholeh ingin tahu.
“Tidak punya ongkos Pak hehe...” jawab
sekenanya.
“Kebetulan ini ada program BKM kalau kamu mau”,
timpal Pak Sholeh.
“Apa itu Pak?”, Irzam balik bertanya.
“Programnya Bravo Kaula Muda Jawa Timur.
Kegiatannya magang tapi nanti kamu akan dapat
penghasilan juga. Lumayan selain untuk mengisi liburan,
juga dapat uang”, jelas Pak Sholeh.
“Berapa hari itu Pak?”, Irzam mulai tertarik.
“Hanya dua minggu kok”, jawab Pak Sholeh.
“Ya Pak, kalo gitu saya mau Pak”, lanjut Irzam
menyanggupi.
“Baiklah, kalai begitu nanti Bapak daftarkan nama
kamu, sekalian juga beberapa teman kamu yang minat”,
kata Pak sholeh memberikan kepastian.
88
“Ya Pak. Terima kasih banyak Pak”, ucap Irzam seraya
undur diri.
“Sama-sama Irz”, balas Pak Sholeh.
Dua hari setelah pembagian raport, sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan maka magang BKM di mulai.
Setiap sekolah bisa mengirimkan lima siswanya untuk
mengikuti kegiatan tersebut. Pak Soleh selaku guru BK
mengantarkan siswanya ke kota Gresik untuk mengikuti
kegiatan ini. Setibanya di lokasi ternyata Irzam dan teman-
temannya disebar, tidak dijadikan satu tempat. Beberapa
temannya ditempatkan di Kantor kelurahan, kecamatan dan
tempat lainnya. Sementara Irzam ditempatkan di kantor
kabupaten.
Hari pertama itu belum mengerjakan apa-apa, hanya
perkenalan saja. Irzam masih dicarikan tempat yang cocok
untuk magang di bagian mana dalam kantor bupati Gresik.
Baru keesokan harinya Irzam ditempatkan di bagian
kepegawaian dan diminta untuk membantu mengetik
menggunakan komputer. Tentu Irzam sangat senang
mendapat pekerjaan ini. Komputer waktu itu masih jarang
sehingga Irzam memanfaatkannya untuk melatih diri dan
membiasakan menggunakan komputer.
Suatu ketika, pada hari Senin seluruh pegawai di
lingkungan Kantor Bupati Gresik melaksanakan apel pagi,
tak terkecuali irzam. Rupanya kehadiran Irzam mengundang
penasaran Bupati Gresik itu mendekatinya. Hal itu tidaklah
aneh karena seragam yang dikenakan Irzam memang tidak
sama dengan seragam pegawai lainnya. Di saat pegawai
lainnya menggunakan seragam keky setelan coklat,
sementara Irzam menggunakan kemeja kuning dan celana
hitam sesuai dengan seragam BKM.
89
“Kamu kok beda dari yang lain”, tanya Pak Bupati.
“Iya Pak. ini salah satu siswa tingkat SLTA yang
sedang magang melalui Bravo Kawula Muda Jawa Timur”,
jelas seseorang yang berada di sampingnya.
“Oh iya bagus itu. Siapa nama kamu nak?”, tanya Pak
Bupati sambil memegang bahu Irzam.
“Saya Irzam Pak”, jawab Irzam sambil membungkuk
menyalami Pak Bupati.
“Dari sekolah mana?”, lanjut Pak Bupati bertanya.
“Dari Madrasah Aliyah Kutubus Sholihin Sidayu Pak”,
jawab Irzam menjelaskan.
“Oh bagus itu, saya tahu. Semoga kamu kerasan ya di
sini”, kata Pak Bupati. “Disini adalah kantor pelayanan
masyarakat. Jadi kamu harus sungguh-sungguh bisa
melayani masyarakat. Pada saatnya nanti kamu pasti akan
seperti kami yang ada di sini, yang pekerjaannya melayani
masyarakat”, lanjut Pak Bupati memberikan nasihat.
“Iya Pak terima kasih banyak, mohon bimbingannya’,
kata Irzam sambil menunjukkan sikap rendah hati dan
hormatnya.
“Semoga di sini kamu bisa banyak belajar ya dari
bapak-bapak pegawai di sini”, lanjut Pak Bupati sambil
menepuk-nepuk bahu Irzam.
“Ya Pak terima kasih banyak”, kata Irzam dengan tetap
sambil menunduk-nunduk.
Hari berganti hari Irzam melaksanakan rutinitasnya di
kantor Bupati Gresik. Banyak hal baru yang ia peroleh di
sana. Hal baru yang belum diperoleh di bangku sekolah.
Satu lagi yang membuatnya senang di sana adalah
kedekatannya dengan teknisi komputer. Ia bisa belajar
banyak untuk mempelajari barang yang masih langka ini
90
pada saat itu. Ya betul komputer masih dimiliki kalangan
tertentu khususnya di perkantoran saja. Sekolah pun masih
jarang yang memiliki komputer, apalagi laboratorium
komputer seperti yang dimiliki oleh setiap sekolah saat ini.
Tak terasa Irzam sudah melaksanakan kegiatan
magang selama dua minggu di kantor Bupati Gresik. Pagi ini
Irzam menghadap kepala kepegawaian. Ia hendak
menyampaikan bahwa hari ini adalah terakhir ia magang di
sini sekaligus pamitan.
“Assalamu ‘alaikum”, ucap Irzam di depan pintu kepala
kepegawaian.
“Waalaikumsalam. Silakan masuk!”, balas kepala
kepegawaian. “Ayo ada apa ini?”, lanjutnya setelah
mempersilahkan Irzam duduk.
“Saya mau menyampaikan, hari ini adalah hari terakhir
saya magang Pak. Sekaligus nanti saya pamitan mohon
maaf kalau saya ada salahnya”, kata Irzam menyampaikan
tujuannya.
“Oh iya sama-sama, kami juga terima kasih. Tapi kamu
jangan pamitan hari ini!”, cegah kepala kepegawaian.
“Lho kenapa Pak?”, tanya Irzam campur kaget.
“Nanti senin kamu tetap ke sini ya”, kata kepala
kepegawaian.
“Ada apa Pak?” tanya Irzam masih penuh selidik.
“Pokoknya kamu ke sini aja tetap menggunakan
seragam seperti ini yang rapi ya”, jawab kepala kepegawan
sambil tersenyum menampakkan keramahannya.
“Iya Pak nanti senin saya masih tetap ke sini lagi.
Kalau begitu saya permisi Pak untuk melanjutkan
pekerjaan”, pamit Irzam.
91
“Ya mas silakan”, kata kepala kepegawaian sambil
menjabat tangan Irzam.
Irzam berlalu meninggalkan ruangan kepala
kepegawaian. Dalam benaknya masih bertanya-tanya ada
apa apa Senin disuruh masuk. Padahal hari ini adalah
terakhir dia melaksanakan magang. Berusaha mencaripun
tapi tak kunjung menemukan jawabannya. Akhirnya ia tidak
mempermasalahkan itu yang penting Senin ia datang lagi.
Hari Senin Irzam datang pagi-pagi sekali. Ia tahu kalau
hari Senin selalu ada apel. Karena itu ia tidak ingin datang
terlambat. Dan benar saja, tak lama berselang seluruh
pegawai berkumpul di lapangan untuk melaksanakan apel
pagi. Rupanya hari itu ada yang tidak biasa. Pembawa acara
mengumumkan para pegawai teladan yang berada di
lingkungan Kantor Bupati. Namun yang tidak kalah kagetnya
lagi adalah suara pembawa acara juga memanggil nama
Irzam, mempersilahkan untuk maju mengambil posisi di
samping pegawai teladan yang telah sebutkan sebelumnya.
Setelah yakin memang namanya dipanggil, tanpa
membuang waktu lama Irzam langsung maju sesuai dengan
arahan protokoler. Bapak Bupati Gresik menyalami
beberapa pegawai teladan sambil memberikan hadiah.
Begitu pula Irzam tak luput disalami dan mendapatkan
hadiah dari bapak bupati.
Irzam masih saja bertanya-tanya dalam benaknya
kenapa dia juga ikut mendapatkan hadiah tersebut. Padahal
dia bukanlah pegawai dan merasa selama magang tidak ada
yang yang dikerjakan lebih, hanya sesuai arahan dari
pimpinan saja. Namun pertanyaan itu terjawab ketika Bapak
Bupati menjelaskan dalam sambutannya. Penjelasan yang
bisa digarisbawahi oleh Irzam kenapa hadiah itu juga
92
diberikan kepada peserta BKM. Ini adalah bentuk
penghargaan kepada seorang pelajar yang mau
mengorbankan waktu liburannya guna mengembangkan
kemampuan dan menggali ilmu di dunia nyata melalui
magang yang dilaksanakan oleh BKM Jawa Timur.
“Oleh karena itu sepantasnyalah saya juga
memberikan penghargaan serupa kepada yang
bersangkutan”, kata Bupati Gresik di akhir sambutannya.
Dengan sambutan Bupati tersebut, terjawab sudah apa yang
menjadi pertanyaan Irzam sejak beberapa hari lalu, sesaat
setelah dia menghadap kepala kepegawaian.
Selepas apel Irzam kembali ke ruangannya untuk
berpamitan kepada kepala kepegawaian dan orang-orang
yang berinteraksi selama melaksanakan magang di kantor
tersebut. Sebelum meninggalkan Kantor Bupati Gresik, ia
menyempatkan diri masuk kamar mandi sekedar untuk
mengintip bingkisan yang dia peroleh. Isinya berupa pakaian
dan sarung serta amplop berisi uang lima ratus ribu rupiah.
Nominal yang cukup besar bagi Irzam, bahkan paling besar
dibandingkan peserta lainnya. Setelah dia merasa puas,
segera dia berlalu meninggalkan kantor tersebut dengan
wajah berbinar untuk pulang ke pondoknya.
-------------------------------------
93
Ajang unjuk diri
Menapak di kelas 3 MA adalah saat-saat
mendebarkan. Menentukan masa depan di mulai dari sini.
Tak terkecuali dengan Irzam. Ada kegiatan sakral yang
harus dilewati. Bukan saja sekedar lewat tetapi juga harus
terukur dan memuaskan. Ya kegiatan itu disebut ebtanas.
Pagi itu Pak Sholih, guru BP, menyampaikan
pengumuman try out ebtanas. Siswa yang yang berminat
dipersilakan mendaftar. Karena banyak temannya
mendaftar, Irzam pun tak ketinggalan untuk ikut serta.
“Berapa bayarnya Ben?”, tanya Irzam pada temannya.
“Goceng!!”, jawab Beni.
“Ayo daftar Ben!”, ajak Irzam.
“Iya ayo Zam”, balas Beni.
Keduanya pun beriringan ke ruang BP menemui Pak
Sholih untuk mendaftar. Setibanya mereka disodori formulir
pendaftaran untuk langsung diisi. Tanpa banyak cakap
mereka mengisi data satu persatu tanpa ada yang terlewat.
Setelah selesai lantas mengembalikannya kepada Pak
Sholih sambil menyertakan uang lima ribuan.
“Ingat ya hari minggu akan datang ini
pelaksanaannya”, kata Pak Sholih meningatkan.
“Baik Pak”, jawab Beni.
“Terus angkutannya bagaimana Pak?” tanya Irzam.
“Nanti disediakan sekolah. Kamu tinggal bayar
ongkosnya saja. Masing-masing empat ribuan”, kata Pak
Sholih menjelaskan.
“Baik Pak”, jawab mereka serempak.
“Nanti akan ada pemberitahuan lanjutan menjelang
pelaksanaan”, kata Pak Sholih lagi.
“Iya Pak”, kata Beni.
94
“Kalo begitu kami permisi Pak”, lanjut Irzam.
Keduanya lantas menyalami Pak Sholih sambil
mencium tangannya. Sejurus kemudian mereka keluar dari
ruang BP sambil membawa bukti pembayaran. Mereka
bergabung dengan teman-temannya yang telah terlebih
dahulu mendaftar try out.
Hari Minggu yang ditunggu. Seluruh siswa kelas 3
bersiap di sekolah untuk berangkat mengikuti try out. Mereka
antusias mengikuti kegiatan ini sebagai ajang latihan dan
mengukur kemampuan. Irzam dengan tas gendongnya
sudah tampak tak sabar ingin berangkat. Kegiatan seperti
ada nilai plusnya bagi Irzam, yaitu bisa untuk hiburan karena
anak pondok begitu sulitnya untuk keluar jika tidak ada
keperluan yang sangat penting. Tak terlalu menanti lama
mereka pun berangkat diantar mobil angkutan yang sudah
disiapkan sekolah.
“Lumayanlah bisa cuci mata”, seloroh Irzam pada
temannya sesama anak pondok.
“He eh... yang penting bisa keluar”, seringai temannya.
“Jarang-jarang bisa ke kota”, tambah Irzam.
Mobil yang mereka .... msh berlanjut
95