HALAMAN COVER DEPAN
LAPORAN INTERIM TINJAUAN TENGAH
WAKTU PELAKSANAAN KERANGKA SENDAI
UNTUK PENGURANGAN RISIKO BENCANA
2015-2030
BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA
JAKARTA, MEI 2022
LAPORAN INTERIM TINJAUAN TENGAH WAKTU
PELAKSANAAN KERANGKA SENDAI UNTUK
PENGURANGAN RISIKO BENCANA 2015-2030
Tim Pengarah:
Deputi Sistem dan Strategi BNPB, Dr. Raditya Jati
Direktur Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana BNPB, Dr. Agus Wibowo
Tim Kerja:
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Badan
Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Dalam Negeri,
Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, Platform Nasional Pengurangan
Risiko Bencana, SIAP SIAGA DFAT
Tim Penulis:
Pratomo Cahyo Nugroho, Valentinus Irawan, Djuni Pristiyanto, Tri Utami
Handayaningsih, Rizky Tri Septian
Desain Grafis:
Elvira Yubelta
Sumber Foto:
Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB (2015). Cerita Dibalik Lensa.
Tahun Cetak:
2022
Copyright:
Direktorat Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana BNPB
Jakarta, INDONESIA
ii
SAMBUTAN KEPALA BNPB
Sebagai negara anggota PBB, Indonesia telah
menunjukkan komitmen yang kuat dalam
mengimplementasikan kesepakatan, kerangka
kerja dan instrumen pembangunan lainnya yang
diadopsi oleh PBB. Dalam bidang penanggulangan
bencana, Majelis Umum PBB mengadopsi Sendai
Framework for Disaster Risk Reduction (SFDRR) 2015-
2030 pada Konferensi Dunia Perserikatan Bangsa-
Bangsa Ketiga di Jepang pada tahun 2015. SFDRR
menguraikan tujuh target dan empat prioritas aksi
untuk mencegah dan mengurangi risiko bencana.
Tujuh target SFDRR meliputi pengurangan kematian akibat bencana global,
pengurangan jumlah orang yang terkena dampak bencana, pengurangan kerugian
ekonomi akibat dampak bencana langsung, pengurangan kerusakan akibat bencana
pada infrastruktur kritis dan gangguan layanan dasar, peningkatan jumlah negara
dengan strategi pengurangan risiko bencana di tingkat nasional dan lokal, peningkatan
kerja sama internasional dengan negara-negara berkembang, dan peningkatan
ketersediaan dan akses ke sistem peringatan dini multi-bahaya serta informasi dan
penilaian risiko bencana. Target tersebut akan dicapai selama lima belas tahun ke depan.
Sementara itu, prioritas aksi SFDRR meliputi: (1) Memahami risiko bencana; (2)
Penguatan tata kelola risiko untuk mengelola risiko bencana; (3) Berinvestasi dalam
pengurangan bencana untuk ketangguhan dan (4) Meningkatkan kesiapsiagaan
bencana untuk respons yang efektif, dan untuk "Membangun Kembali Lebih Baik" dalam
pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Negara diharapkan dapat mengembangkan
kebijakan dan strategi pengelolaan risiko bencana mereka sesuai dengan prinsip, nilai
dan norma yang telah digariskan SFDRR dalam mencapai target dan
mengimplementasikan prioritas aksi.
SFDRR telah membantu Indonesia dalam mengembangkan strategi pengurangan
risiko bencana, membuat keputusan kebijakan berdasarkan informasi risiko dan
mengalokasikan sumber daya untuk mencegah risiko bencana baru. Dua tahun lalu,
Indonesia memberlakukan rencana penanggulangan bencana jangka panjang melalui
Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan
Bencana (RIPB) Tahun 2020-2044. Rencana induk dikembangkan dengan
menggunakan SFDRR 2015-2030, Perjanjian Paris, dan Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (SDGs) 2020-2030 sebagai acuan.
iii
Bahkan sebelum berlakunya rencana induk ini, Indonesia telah mengintegrasikan
PRB ke dalam rencana pembangunan nasional jangka menengah dan tahunan sejak
masa Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework for Action/HFA). Hal ini diikuti dengan
lahirnya berbagai kebijakan dan regulasi yang mendukung upaya PRB di tanah air.
Indonesia telah mencapai kemajuan signifikan dalam mengubah paradigma
penanggulangan bencana dari paradigma responsif-reaktif menjadi paradigma yang
lebih preventif yang menekankan pada investasi PRB dan upaya membangun ketahanan
terhadap bencana dan perubahan iklim.
Laporan Interim Tinjauan Tengah Waktu Implementasi SFDRR 2015-2030 ini
menggambarkan kemajuan yang telah dicapai Indonesia dalam penerapan SFDRR
antara periode 2015-2021. Laporan juga akan menggambarkan kesenjangan dan
tantangan yang masih ada dalam mencapai pembangunan yang tangguh dan
berkelanjutan di negara ini. Saya berharap publikasi ini dapat berkontribusi pada
wacana global tentang PRB dan menginspirasi negara-negara anggota PBB untuk terus
maju dalam mengintegrasikan PRB ke dalam pembangunan berkelanjutan. Terima
kasih.
Jakarta, 17 Mei 2022
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Letjen TNI Suharyanto
iv
PENGANTAR DEPUTI BIDANG SISTEM DAN STRATEGI BNPB
Indonesia telah berkomitmen untuk mengimplementasikan
Sendai Framework for Disaster Risk Reduction (SFDRR)
2015-2030 sejak diadopsi pada Konferensi Dunia PBB
Ketiga di Sendai, Jepang pada 18 Maret 2015. Indonesia
telah berupaya untuk mengarusutamakan SFDRR ke dalam
kerangka peraturan dan perencanaan dan melaporkan
kemajuan secara teratur ke UNDRR. Selain melaporkan
kemajuan secara berkala melalui Sendai Framework Monitoring Dashboard, Indonesia
telah menyampaikan tiga laporan, yaitu Laporan Status Baseline Negara SFDRR tahun
2016, Laporan Negara Indonesia dalam penerapan SFDRR di Global Platform for Disaster
Risk Reduction (GPDRR) Jenewa, Swiss tahun 2019, dan Laporan Implementasi Target E
SFDRR tahun 2020.
Dua mitra non-pemerintah juga telah melaporkan kemajuan dalam penerapan
SFDRR di bidang mereka, yaitu laporan oleh U-Inspire Indonesia dan Arbeiter Samariter
Bund (ASB) sebagai bagian dari Disability-inclusive Disaster Risk Reduction Network
(DiDRRN). U-Inspire Indonesia adalah platform pemuda dan profesional muda di bidang
sains, teknik, teknologi, dan inovasi untuk PRB yang bertujuan untuk mempercepat
implementasi SFDRR dengan mendukung kebijakan dan aksi di tingkat lokal, nasional,
dan internasional. ASB adalah organisasi yang bekerja dengan penyandang disabilitas
dan mengadvokasi inklusi disabilitas dalam manajemen risiko bencana. Kedua
organisasi tersebut telah mengirimkan laporan rutin tentang kegiatan mereka ke
UNDRR sebagai bagian dari komitmen sukarela mereka untuk mengimplementasikan
Kerangka Sendai.
Laporan Interim Tinjauan Tengah Waktu Implementasi SFDRR 2015-2030 ini
menggambarkan perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai serta kesenjangan
dan tantangan yang masih dihadapi Indonesia dalam penerapan SFDRR. Ini mencakup
periode antara 2015 dan 2021 dan menguraikan kemajuan dan tantangan dalam
berbagai aspek penanggulangan bencana termasuk kebijakan, pengaturan
kelembagaan, perencanaan pembangunan yang peka terhadap risiko, peningkatan
kapasitas, kolaborasi di antara para pemangku kepentingan, dan upaya untuk
meningkatkan ketahanan terhadap bencana di semua sektor.
v
Laporan ini disusun secara partisipatif, melibatkan kementerian dan lembaga,
dan mitra non-pemerintah. Prosesnya meliputi serangkaian lokakarya sosialisasi,
lokakarya pengumpulan data, FGD online dan offline, wawancara mendalam dengan
responden kunci terpilih, dan lokakarya penyusunan dan finalisasi. Karena Indonesia
akan menjadi tuan rumah Platform Global untuk Pengurangan Risiko Bencana pada Mei
2022 di Bali, penyelesaian laporan ini sangat tepat waktu, karena Indonesia ingin
menunjukkan kemajuannya dalam menerapkan SFDRR kepada masyarakat
internasional. BNPB dan Pemerintah Indonesia berharap laporan ini dapat
berkontribusi pada wacana global tentang PRB dan menginspirasi negara-negara
tetangga dalam memajukan agenda PRB dalam pembangunan pada semua tingkatan.
Terima kasih.
Jakarta, 17 Mei 2022
Deputi Bidang Sistem dan Strategi
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Dr. Raditya Jati
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Direktorat Pengembangan Strategi Penanggulangan
Bencana BNPB mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
terlibat dalam penyusunan Laporan Interim Tinjauan Jangka
Menengah SFDRR ini. Laporan disusun melalui proses
partisipatif yang panjang yang melibatkan kementerian dan
lembaga pemerintah serta pemangku kepentingan non-
pemerintah terkait. Kami mengucapkan terima kasih kepada
semua rekan-rekan, baik dari dalam BNPB maupun pihak
eksternal, yang telah membantu kami dalam pengumpulan
data statistik, desk review, FGD dan wawancara mendalam
untuk meninjau kemajuan Indonesia dalam mencapai target SFDRR.
Dari mitra pemerintah, kami secara khusus mengucapkan terima kasih kepada
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Koordinator Bidang
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Luar Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Sosial,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, Badan Pusat Statistik, Badan Informasi Geospasial, Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, serta
kementerian dan lembaga lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu (total ada
23 lembaga pemerintah).
Dari mitra non-pemerintah kami ingin mengucapkan terima kasih kepada
lembaga non-pemerintah nasional dan internasional seperti YEU, Muhammadiyah
Disaster Management Centre, Plan Indonesia, MPBI, Platform Nasional PRB, Asia Pacific
Alliance for Disaster Management Indonesia, ASB, Oxfam, dan LSM lain yang telah
berpartisipasi dalam FGD dan pertemuan online kami. Terima kasih juga untuk mitra
donor dan Badan PBB seperti DFAT, JICA, UNDP, UNICEF, WFP, OCHA, dan lain-lain
yang mungkin belum tercatat dalam catatan pertemuan kami.
Kami menghargai dan mengucapkan terima kasih kepada semua anggota tim
penyusun dari BNPB dan program SIAP SIAGA DFAT. Terima kasih juga atas dukungan
program SIAP SIAGA dalam menerjemahkan dan menyusun tata letak laporan. Semoga
laporan ini dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan PRB lebih lanjut di tingkat
global. Terima kasih.
Jakarta, 17 Mei 2022
Direktur Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Dr. Agus Wibowo
vii
DAFTAR ISI
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Kejadian Bencana Tahun 2010-2019............................................................................ 6
Tabel 2: Jumlah Orang Meninggal Dunia dan Orang Hilang Akibat Bencana
pada Tahun 2010-2019....................................................................................................... 7
Tabel 3: Jumlah Orang Meninggal Dunia dan Hilang Akibat Bencana per
100.000 Populasi Tahun 2010-2020............................................................................. 8
Tabel 4: Jumlah Orang Luka-Luka dan Mengungsi Terdampak Bencana pada
Tahun 2010-2019............................................................................................................... 11
Tabel 5: Jumlah Rumah Rusak Berat dan Rusak Sedang Akibat Bencana pada
Tahun 2010-2019............................................................................................................... 12
Tabel 6: Jumlah Rumah Rusak Ringan dan Rumah Terendam Akibat Bencana
pada Tahun 2010-2019.................................................................................................... 13
Tabel 7: Nilai Kerusakan dan Kerugian Akibat Bencana Tahun 2013-2020 ............... 17
Tabel 8: Nilai Kerusakan dan Kerugian Sektor Perumahan Akibat Gempabumi,
Tsunami dan Likuifaksi Sulawesi Tengah Tahun 2018 ........................................ 18
Tabel 9: Dampak Banjir dan Kekeringan pada Tanaman Pangan
Tahun 2010-2020............................................................................................................... 19
Tabel 10: Dampak Serangan OPT pada Tanaman Pangan Tahun 2010-2020............... 20
Tabel 11: Kerusakan Fasilitas Kesehatan Akibat Bencana Tahun 2010-2019.............. 23
Tabel 12: Kerusakan Fasilitas Pendidikan Akibat Bencana Tahun 2010-2019 ............ 24
Tabel 13: Dampak Kejadian Bencana pada Cagar Budaya pada 2010-2020 ................. 24
Tabel 14: Bantuan Pemerintah Indonesia kepada Negara-Negara Sahabat
yang Mengalami Bencana................................................................................................ 34
Tabel 15: Kementerian/Lembaga Pelaku Peringatan Dini Bencana.................................. 49
Tabel 16: Daftar SNI Lingkup Komite Teknis 13-08 Penanggulangan Bencana ........... 69
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Dampak Erupsi Gunung Merapi Tahun 2010 pada Candi Borobudur .......... 25
Gambar 2: Sebaran LEWS dan FEWS yang Dipasang BNPB ................................................... 45
Gambar 3: Platform Sistem Peringatan Dini Ancaman Bencana yang Ada dengan
Potensi Integrasi dalam Platform Payung MHEWS.............................................. 48
Gambar 4: Roadmap Rencana Induk Sistem Peringatan Dini Multi Ancaman
Bencana .................................................................................................................................. 53
Gambar 5: Gerakan Pengurangan Risiko Bencana Tahun 2015-2018 ............................... 57
Gambar 6: Perkembangan Dana Cadangan Penanggulangan Bencana Alam
Tahun 2016-2020............................................................................................................... 64
ix
DAFTAR SINGKATAN
AADMER ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response
ACDM ASEAN Committee on Disaster Management
AHA Center ASEAN Coordinating Center for Humanitarian Assistance on Disaster
AMCDRR Management
APBD Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
API Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional
ASEAN Adaptasi Perubahan Iklim
Bappenas Association of Southeast Asian Nations
BMD Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BMKG Barang Milik Daerah
BMN Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
BNPB Barang Milik Negara
BPBD Badan Nasional Penanggulangan Bencana
BPS Badan Penanggulangan Bencana Daerah
CAP Badan Pusat Statistik
CCA Common Alerting Protocol
Covid-19 Climate Change Adaptation
DAC Corona Virus Disease 2019
DFAT Development Assistance Committee
Destana The Australian Department of Foreign Affairs and Trade
DIBI Desa Tangguh Bencana
DRFI Data dan Informasi Bencana Indonesia
DRR Disaster Risk Financing and Insurance
DRSF Disaster Risk Reduction
ERAT Disaster-Related Statistics Framework
GIS ASEAN Emergency Response and Assessment Team
GPDRR Geographic Information System
HFA Global Platform for Disaster Risk Reduction
IMF Hyogo Framework for Action 2005-2015
InaCEWS International Monetary Fund
InaCIFS Indonesia Climate Early Warning System
InaMEWS Indonesia Coastal Inundation Forecasting System
InaSAFE Indonesia Meteorological Early Warning System
InaTEWS Indonesian Scenario Assessment for Emergencies
InAWARE Indonesia Tsunami Early Warning System
J-FEWS Indonesia All Hazards Warning, Analysis and Risk Evaluation
Jitu Pasna Jakarta Flood Early Warning Systems
K/L Pengkajian Kebutuhan Pascabencana
Kemen PUPR Kementerian/Lembaga
Kemenag Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Kemendagri Kementerian Agama
Kemendikbud Kementerian Dalam Negeri
Kemenkes Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kemenkeu Kementerian Kesehatan
Kemenlu Kementerian Keuangan
Kemen PPN Kementerian Luar Negeri
Kemensos Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
Kementerian Sosial
x
Kementan Kementerian Pertanian
KLHK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
KPB Konsorsium Pendidikan Bencana Indonesia
KRB Kajian Risiko Bencana
KTT Konferensi Tingkat Tinggi
LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
MAGMA Multiplatform Application for Geohazard Mitigation and Assessment
MHEWS Multi-Hazard Early Warning System
MPBI Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia
NTB Nusa Tenggara Barat
NTT Nusa Tenggara Timur
ODA Official Development Assistance
OECD Organisation for Economic Co-operation and Development
OPD Organisasi Perangkat Daerah
OPDis Organisasi Penyandang Disabilitas
PARB Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
PDB Produk Domestik Bruto
PDNA Post Disaster Need Assessment
PEN Pemulihan Ekonomi Nasional
POLRI Kepolisian Negara Republik Indonesia
PRB Pengurangan Risiko Bencana
PRBBK Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas
Pusdalops Pusat Pengendalian Operasi
Pusdatin KK Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB
PVMBG Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
R3P Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana
Renas PB Rencana Nasional Penanggulangan Bencana
RIPB Rencana Induk Penanggulangan Bencana
RKP Rencana Kerja Pemerintah
RPB Rencana Penanggulangan Bencana
RPBD Rencana Penanggulangan Bencana Daerah
RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RPJPN Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
SDBI Satu Data Bencana Indonesia
SDGs Sustainable Development Goals
SDI Satu Data Indonesia
SFDRR Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030
SFM Sendai Framework Monitoring
SNI Standar Nasional Indonesia
SPM PB Standar Pelayanan Minimal Penanggulangan Bencana
TNI Tentara Nasional Indonesia
UNDP United Nations Development Programme
UNDRR United Nations Office for Disaster Risk Reduction (menggantikan UNISDR)
UNESCAP United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific
UNFPA United Nations Population Fund
UNISDR United Nations International Strategy for Disaster Risk Reduction
Unit LIDi PB Unit Layanan Inklusi Disabilitas Penanggulangan Bencana
WB World Bank
WCDRR World Conference on Disaster Risk Reduction
xi
Halaman sekat 1
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar dunia dan
menjadi bagian dari Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire), suatu kawasan yang
sangat rawan ancaman bencana geologis dan hidrometeorologis. Bank Dunia
memberi rangking Indonesia sebagai nomor ke-12 diantara 35 negara-negara paling
rawan bencana di dunia. Populasi Indonesia menduduki rangking ke-4 terbanyak di
dunia dengan jumlah total mencapai 278.609.967 berdasarkan data proyeksi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan jumlah penduduk yang sangat besar,
apabila terjadi bencana, potensi jumlah korban yang timbul juga akan sangat besar. Pada
tahun 2020-2021 Indonesia turut terdampak pandemi Covid-19 yang terjadi secara
global.
Upaya penanggulangan bencana saat ini sudah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari pembangunan di Indonesia. Pemerintah Indonesia bertanggung jawab
untuk mencegah dan mengurangi risiko bencana dan memastikan bahwa
penanggulangan bencana menjadi urusan bersama dari pemerintah pusat dan daerah,
serta pemangku kepentingan terkait. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) 2005-2025 serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2010-2014, RPJMN 2015-2019 dan RPJMN 2020-2024 menggarisbawahi perlunya
mengarusutamakan pengurangan risiko bencana ke dalam perencanaan pembangunan.
Dari delapan misi pembangunan nasional yang tertuang dalam RPJPN 2005-
2025, topik penanggulangan bencana masuk ke dalam Misi 2 Mewujudkan Bangsa yang
berdaya-saing, Misi 5 Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan, Misi 6
Mewujudkan Indonesia asri dan lestari, dan Misi 7 Mewujudkan Indonesia menjadi
negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional.
Dari sebelas Prioritas Nasional dalam RPJMN 2010-2014, upaya
penanggulangan bencana berada pada Prioritas No. 9, yaitu Lingkungan Hidup dan
Pengelolaan Bencana. Konservasi dan pemanfaatan lingkungan hidup untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang keberlanjutan, disertai
penguasaan dan pengelolaan risiko bencana untuk mengantisipasi perubahan iklim.
Sementara itu dalam RPJMN 2015-2019 berada pada Prioritas No. 7: Mewujudkan
kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi
domestik.
Dalam RPJMN 2020-2024 ada empat agenda pembangunan yang terkait dengan
penanggulangan bencana yaitu Agenda 2 mengembangkan wilayah untuk mengurangi
kesenjangan dan menjamin pemerataan; Agenda 3 meningkatkan sumber daya manusia
yang berkualitas dan berdaya saing; Agenda 5 memperkuat infrastruktur berketahanan
bencana termasuk jalur evakuasi, standar bangunan; dan Agenda 6 membangun
lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana, dan perubahan iklim. RPJMN
2020-2024 antara lain menekankan perlunya peningkatan ketahanan bencana dan
iklim dengan indikator-indikator untuk mengurangi persentase potensi kehilangan
produk domestik bruto (PDB) akibat dampak bencana menjadi 0,10% PDB pada tahun
2024 dan meningkatkan kecepatan penyampaian informasi peringatan dini bencana
kepada masyarakat dari lima menit (2019) menjadi tiga menit pada tahun 2024.
2
Arah penanggulangan bencana Indonesia sangat sesuai dengan isi dan semangat
Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana atau Sendai Framework for Disaster
Risk Reduction (SFDRR) 2015-2030. SFDRR 2015-2030 atau secara singkat disebut
Kerangka Sendai ditetapkan dalam Konferensi Dunia PBB Ketiga untuk Pengurangan
Risiko Bencana (3rd World Conference on Disaster Risk Reduction/WCDRR) di Sendai,
Jepang pada 18 Maret 2015. Kerangka Sendai ini menggantikan Kerangka Aksi Hyogo
(Hyogo Framework for Action/HFA) 2005-2015. Pemerintah Indonesia menyetujui dan
berkomitmen penuh terhadap implementasi Kerangka Sendai.
Pelaporan Pelaksanaan Kerangka Sendai
Sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban implementasi SFDRR,
Pemerintah Indonesia dalam kurun waktu 2015 hingga 2020 telah
membuat empat laporan kepada United Nations Office for Disaster Risk
Reduction (UNDRR), yaitu:
1. Laporan Status Dasar Pengelolaan Risiko Bencana Indonesia 2015 yang berjudul
Indonesia’s Disaster Risk Management Baseline Status Report 2015: Towards
Identifying National and Local Priorities for the Implementation of the Sendai
Framework for Disaster Risk Reduction (2015-2030) pada bulan Oktober 2016.
Laporan ini memuat implementasi dan pencapaian PRB pada tahun 2015-2016.1
2. Indonesian Country Report pada Global Platform for Disaster Risk Reduction
(GPDRR) di Jenewa, Swiss, 13-17 Mei 2019. Laporan ini memuat implementasi
dan pencapaian PRB pada tahun 2015-2018.
3. Pelaporan pelaksanaan SFDRR melalui Dashboard Pemantauan SFDRR atau
Sendai Framework Monitor (SFM) (https://sendaimonitor.undrr.org/) pada tahun
2019, 2020, dan 2021.
4. Laporan Pelaksanaan Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana
tahun 2015-2030 dengan Fokus Capaian Target E pada tahun 2020.
Pada tahun 2022 ini Pemerintah Indonesia membuat Laporan Interim Tinjauan
Tengah Waktu SFDRR 2015-2030 yang akan disampaikan dalam acara GPDRR Tahun
2022 di Bali. Selain pelaporan pelaksanaan SFDRR oleh Pemerintah Indonesia ada pula
pelaporan oleh lembaga-lembaga non-pemerintah secara sukarela, yaitu oleh U-
INSPIRE Indonesia2 dan Arbeiter-Samariter-Bund (ASB) Indonesia yang tergabung dalam
DiDRRN3.
1 BNPB (2016). Indonesia's Disaster Risk Management Baseline Country Status Report 2015 (https://www.preventionweb.net/publications/view/50832), diakses pada 19 April 2021.
2 UNDRR (2021). Voluntary Commitments SFDRR. https://sendaicommitments.undrr.org/commitments/20190830_001, diakses pada 26 Oktober 2021. U-INSPIRE Indonesia
adalah platform Pemuda dan Profesional Muda di bidang Sains, Teknik, Teknologi, dan Inovasi untuk PRB. Hal ini bertujuan untuk mempercepat implementasi Sendai Framework
for Disaster Risk Reduction dengan mendukung kebijakan dan tindakan di tingkat lokal, nasional, dan internasional.
3 UNDRR (2021). Voluntary Commitments SFDRR. https://sendaicommitments.undrr.org/commitments/20190219_001, diakses pada 26 Oktober 2021. Disability-inclusive Disaster
Risk Reduction Network (DiDRRN) berkomitmen untuk mengurangi risiko yang tidak proporsional dari penyandang disabilitas dalam bencana dengan memastikan komitmen
Sendai Framework tentang inklusi disabilitas dilaksanakan secara praktis dan tercermin dalam strategi regional dan nasional. DiDRRN beranggotakan Arbeiter-Samariter-Bund
(ASB) Indonesia dan Philippina, CBM International, Centre for Disability in Development, Humanity & Inclusion, Malteser International, Pacific Disability Forum, dan South Asian
Disability Forum.
3
Tujuan dan Keluaran
Ma) Tujuan
elakukan peninjauan pelaksanaan SFDRR terutama pada tujuh target
global, empat prioritas aksi, peran para pihak yang berkepentingan dan
kerja sama internasional untuk menilai capaian, hasil dan manfaat,
serta pemetaan isu dan permasalahan/hambatan yang dihadapi. Selain untuk
melakukan peninjauan pencapaian Indonesia dalam Kerangka Sendai, proses ini
diharapkan akan dapat semakin menggalang komitmen dan partisipasi berbagai
pemangku kepentingan dalam PRB di Indonesia.
b) Keluaran
Keluaran yang diharapkan dari kegiatan penyusunan Laporan Interim Tinjauan
Tengah Waktu Pelaksanaan SFDRR ini adalah:
1. Penilaian capaian, hasil dan manfaat, serta pemetaan isu,
permasalahan/hambatan yang dihadapi dan pembelajaran dalam pelaksanaan
SFDRR.
2. Mendapatkan data dan bukti kemajuan menuju hasil SFDRR 2015-2030.
3. Laporan resmi pemerintah tentang capaian SFDRR di Indonesia yang akan
disampaikan pada masyarakat internasional dalam acara GPDRR tahun 2022 di
Bali.
Metodologi
Pelaksanaan penyusunan Laporan Interim Tinjauan Tengah Waktu
Pelaksanaan SFDRR dikoordinasikan oleh BNPB dengan melibatkan
seluruh pemangku kepentingan, baik dari unsur Pemerintah, pemerintah
daerah, lembaga non pemerintah dalam dan luar negeri, lembaga usaha dan lembaga-
lembaga lokal. Data dan informasi untuk penyusunan laporan berasal dari kajian
pustaka, masukan dari kementerian/lembaga, internal BNPB dan lembaga-lembaga
non-pemerintah yang bergerak dalam bidang PRB. BNPB melaksanakan beberapa
lokakarya sosialisasi, diskusi kelompok terfokus/FGD dan lokakarya akhir, sebelum
finalisasi dokumen laporan ini.
Data yang terutama dikaji adalah data kejadian bencana tahun 2010-2019 dari
basis data Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI) yang dikelola oleh Pusat Data,
Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, data situasi perkembangan pandemi
Covid-19 dari Sub Direktorat Penyakit Infeksi Emerging Kementerian Kesehatan,
dokumen perencanaan pembangunan baik perencanaan pembangunan jangka
menengah maupun tahunan, laporan kinerja K/L, laporan hasil riset, dan lain-lain.
Proses FGD sebagai bagian dari penyusunan Laporan Interim Tinjauan Tengah
Waktu Pelaksanaan SFDRR dikoordinasikan oleh BNPB dengan melibatkan K/L terkait
dan lembaga-lembaga non-pemerintah. FGD ini mendiskusikan kemajuan-kemajuan
yang dicapai Indonesia dalam memenuhi empat prioritas aksi dan tujuh target global
SFDRR serta tantangan dan kesenjangan yang masih ada. Topik FGD antara lain dampak
bencana pada bidang pendidikan, cagar budaya, kesehatan, perdagangan-jasa-
pariwisata, infrastruktur penting, pertanian-kehutanan-perikanan, sistem peringatan
dini, dan topik strategi PRB daerah. Diskusi tentang topik strategi PRB daerah
melibatkan instansi pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
4
Halaman sekat 2
5
BAB II
PENCAPAIAN TARGET A
Pencapaian Target A: Mengurangi Tingkat Kematian Akibat Bencana
Implementasi Target A di Indonesia ditinjau dari upaya untuk mengurangi
kematian dan orang hilang akibat bencana secara nasional pada tahun 2010-
2019, yang dibagi antara periode 2010-2014 dan 2015-2019. Pembagian
periode ini disesuaikan dengan kerangka waktu pelaksanaan pembangunan nasional
melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang
dilaksanakan dalam lima tahunan. Tiap periode RPJMN mempunyai visi-misi-target
pembangunan tersendiri, termasuk bidang pembangunan penanggulangan bencana.
Setiap kejadian bencana pasti berdampak pada manusia dan hasil-hasil
pembangunan. Di Indonesia kejadian bencana dapat dibedakan menurut penyebabnya,
yaitu bencana geologis dan hidrometeorologis. Bencana geologis meliputi gempa bumi,
gempa bumi dan tsunami, letusan gunung api, dan tsunami. Sedangkan bencana
hidrometeorologis antara lain banjir, banjir bandang, gelombang pasang/abrasi,
kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kekeringan, puting beliung, dan tanah longsor.
Data kejadian bencana selama tahun 2010-2019 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1: Kejadian Bencana Tahun 2010-2019
Tipe dan Jenis Bencana Kejadian Bencana
2010-2014 % 2015-2019 % 2010-2019 %
304 1,32%
Geologis 97 1,08% 207 1,47% 181 0,79%
1 0,00%
Gempa Bumi 64 0,71% 117 0,83% 116 0,50%
6 0,03%
Gempa Bumi dan Tsunami 0 0,00% 1 0,01% 98,68%
22.744 32,63%
Letusan Gunung Api 28 0,31% 88 0,63% 7.521 0,98%
225 7,80%
Tsunami 5 0,06% 1 0,01% 1.797 3,81%
877 30,94%
Hidrometeorologis 8.874 98,92% 13.870 98,53% 7.131 22,53%
5.193 100,00%
Banjir 3.538 39,44% 3.983 28,29%
23.048
Gelombang Pasang / Abrasi 114 1,27% 111 0,79%
Kebakaran Hutan dan Lahan 204 2,27% 1.593 11,32%
Kekeringan 598 6,67% 279 1,98%
Puting Beliung 2.510 27,98% 4.621 32,83%
Tanah Longsor 1.910 21,29% 3.283 23,32%
Grand Total 8.971 100,00% 14.077 100,00%
Sumber: Data dan Informasi Bencana Indonesia.
Selama tahun 2010-2019 telah terjadi 23.048 kejadian bencana di Indonesia
yang didominasi oleh bencana hidrometeorologis sebanyak 22.744 kejadian (98,68%)
dan bencana geologis sebanyak 304 kejadian (1,32%). Walaupun kejadian bencana
geologis hanya sebesar 1,32%, dampaknya sangat besar, yaitu sebanyak 7.250 (53,68%)
orang meninggal dunia dan 781 (48,93%) orang hilang. Sementara itu, bencana
hidrometeorologis sebesar 98,68% dari total kejadian bencana mengakibatkan 6.257
(46,32%) orang meninggal dunia dan 815 (51,07%) orang hilang.
6
Tabel 2: Jumlah Orang Meninggal Dunia dan Orang Hilang Akibat Bencana
pada Tahun 2010-2019
Meninggal Dunia Orang Hilang
Tipe dan Jenis Bencana 2010- 2015- 2010- % 2010- 2015- 2010- %
2014 2019 2019 2014 2019 2019
48,93%
Geologis 953 6.297 7.250 53,68% 60 721 781 0,00%
Gempa Bumi 75 832 907 6,72% 0 0 0 44,17%
Gempa Bumi dan 0 4.141 4.141 30,66% 0 705 705 0,25%
Tsunami 4,51%
51,07%
Letusan Gunung Api 419 428 847 6,27% 4 0 4 31,52%
Tsunami 459 896 1.355 10,03% 56 16 72 2,94%
Hidrometeorologis 2.318 3.939 6.257 46,32% 440 375 815 0,00%
Banjir 1.104 1.870 2.974 22,02% 280 223 503 0,00%
2,44%
Gelombang Pasang/ 17 21 38 0,28% 46 1 47 14,16%
Abrasi 00 100,00%
5 46 51 0,38% 0
Kebakaran Hutan dan
Lahan
Kekeringan 2 2 4 0,03% 0 0 0
Puting Beliung 171 304 475 3,52% 34 5 39
Tanah Longsor 1.019 1.696 2.715 20,10% 80 146 226
Grand Total 3.271 10.236 13.507 100,00% 500 1.096 1.596
Sumber: Data dan Informasi Bencana Indonesia.
Pada tahun 2020 dan 2021 terjadi pandemi Covid-19 di seluruh dunia dan
melanda 34 provinsi di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per
tanggal 25 Oktober 2021 kasus konfirmasi Covid-19 di seluruh Indonesia tahun 2020-
2021 sebesar 4.240.019 dengan kasus pada tahun 2020 sebesar 743.198 dan tahun
2021 sebesar 3.496.821. Jumlah total kasus sembuh mencapai 4.082.454 (tahun 2020
sebesar 611.097 dan tahun 2021 sebesar 3.471.357). Sementara itu kasus meninggal
dunia sebanyak 143.205 (tahun 2020 sebesar 22.138 dan tahun 2021 sebesar 121.067).
Angka meninggal dunia akibat Covid-19 tahun 2020-2021 sebesar 143.205 lebih dari
10,6 kali lipat daripada jumlah seluruh kematian akibat bencana alam tahun 2010-2019
yang sebesar 13.507 jiwa.4
Pemerintah Indonesia telah melaporkan pelaksanaan SFDRR melalui dashboard
Sendai Framework Monitor (SFM) pada: https://sendaimonitor.undrr.org/ sebanyak tiga
kali, yaitu tahun 2018, 2019 dan 2020. Data bencana yang dilaporkan dalam SFM ini
adalah metadata dan data kejadian bencana Indonesia dari DIBI selama tahun 2005-
2020 untuk mengisi Target A-G. Pada bagian Target A dashboard SFM berisi: (1) A1:
Jumlah kematian dan orang hilang akibat bencana, per 100.000 penduduk, (2) A2:
Jumlah kematian akibat bencana, per 100.000 penduduk, (3) A-2a: Jumlah kematian
akibat bencana (multihazard), (4) A-3: Jumlah orang hilang akibat bencana, per 100.000
penduduk, dan (5) A-3a: Jumlah orang hilang yang dikaitkan dengan bencana.
4 Kementerian Kesehatan (2021). Situasi Terkini Perkembangan Coronavirus Disease (COVID-19) 01 Januari 2021. https://infeksiemerging.kemkes.go.id/situasi-infeksi-
emerging/situasi-terkini-perkembangan-coronavirus-disease-covid-19-01-januari-2021, diakses pada 13 Agustus 2021; dan Situasi Terkini Perkembangan Coronavirus Disease
(COVID-19) 25 Oktober 2021. https://infeksiemerging.kemkes.go.id/situasi-infeksi-emerging/situasi-terkini-perkembangan-coronavirus-disease-covid-19-25-oktober-2021,
diakses pada 27 Oktober 2021.
7
Tabel 3: Jumlah Orang Meninggal Dunia dan Hilang Akibat Bencana
per 100.000 Populasi Tahun 2010-2020
Tahun Meninggal Dunia Orang Hilang Meninggal Dunia dan Orang Hilang
Data Per 100.000 Populasi
2010 0,683384 0,116133 0,799517
2011 0,148353 0,028513 0,176866
2012 0,114903 0,015483 0,130386
2013 0,188089 0,017684 0,205773
2014 0,210973 0,028553 0,239526
2015 0.085685 0,022302 0,107987
2016 0.186463 0,037138 0,223601
2017 0.118230 0,026401 0,144631
2018 1,275356 0,547014 1,822370
2019 0,178309 0,041406 0,219715
2020 8,332226 0,015544 8,347770
Jumlah Orang Meninggal Dunia dan Hilang per 100.000 Populasi Tahun 2005-2014 0,673832
Baseline 2005-2014: 0,67 <=> Decade 2011-2020: 0,37 (-45,07%)
Sumber: Diolah dari Dashboard Sendai Framework Monitor (SFM)
Perkembangan, Tantangan dan Peluang
Selama 2010-2019 bencana geologis hanya sebesar 1,30% dari total
kejadian bencana tetapi menimbulkan korban sebanyak 7.250 (53,68%)
orang meninggal dunia. Gabungan kejadian bencana gempa bumi dan
tsunami sangat mematikan dan merusak. Jumlah terbesar kematian akibat bencana
geologis adalah gabungan antara gempa bumi dan tsunami, yaitu 4.141 (30,66%) jiwa
meninggal dunia, selanjutnya disusul oleh tsunami 1.355 (10,03%) jiwa, gempa bumi 907
(6,72%) jiwa, dan erupsi gunung berapi 847 (6,27%) jiwa.
Dari "Tabel 3: Jumlah Orang Meninggal Dunia dan Hilang Akibat Bencana per
100.000 Populasi Tahun 2010-2020", jumlah orang meninggal dunia pada tahun 2010,
2018 dan 2020 perlu mendapat perhatian khusus. Tahun 2010 jumlah kematian per 100
ribu penduduk masih di bawah nilai 1 tetapi di atas 0,5, yang tergolong sangat besar,
akibat bencana gempa bumi dan tsunami Mentawai serta letusan Gunung Merapi.
Apabila tidak terjadi bencana besar, rata-rata nilai jumlah kematian per 100 ribu
penduduk berada di bawah angka 0,2. Nilai jumlah orang meninggal dunia per 100 ribu
penduduk tahun 2018 adalah 1,28. Hal ini disebabkan adanya kejadian bencana besar,
yaitu bencana gempa bumi NTB, gempa bumi-tsunami-likuifaksi Sulawesi Tengah, dan
tsunami Selat Sunda. Sementara itu tahun 2020 ditandai dengan adanya pandemi
Covid-19.
Pada 25 Oktober 2010 terjadi gempa bumi di Kepulauan Mentawai Provinsi
Sumatra Barat yang memicu kejadian tsunami. Per tanggal 22 November 2010, korban
jiwa akibat gempa dan tsunami ini adalah 509 orang meninggal dunia, 17 orang luka-
luka, dan masyarakat mengungsi sebanyak 11.425 jiwa. 5 Pada 26 Oktober 2010
Gunung Merapi mengalami erupsi hingga awal November 2010. Rangkaian erupsi
Gunung Merapi ini menimbulkan korban jiwa total sebanyak 339 meninggal dunia.6
Tanggal 23 Februari 2010 terjadi bencana tanah longsor di kawasan perkebunan di
Desa Tenjolaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat yang mengakibatkan 46 orang
meninggal dunia dan 13 orang tidak ditemukan.7
5 Bappenas dan BNPB (2010). Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana serta Percepatan Wilayah Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat Tahun 2011-2013, hal. i.
6 Bappenas dan BNPB (2011). Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Erupsi Merapi di Wilayah Provinsi di Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011-2013, hal.
i.
7 Kompas.com (2020). 23 Februari 2010, Duka di Tenjoloyo, 70 Buruh Kebun Teh Tertimbun Longsor. https://www.kompas.com/tren/read/2020/02/23/110043165/23-februari-2010-duka-di-
tenjoloyo-70-buruh-kebun-teh-tertimbun-longsor?page=all, diakses pada 23 Oktober 2021.
8
Pada tanggal 29 Juli 2018 sampai dengan 19 Agustus 2018 terjadi rangkaian
gempa bumi di Nusa Tenggara Barat yang mengakibatkan 564 jiwa meninggal dunia,
1.584 orang luka-luka, dan 396.032 mengungsi. 8 Pada tanggal 28 September 2018
wilayah Sulawesi Tengah dan sekitarnya diguncang gempa yang menyebabkan tsunami
dan fenomena likuifaksi. Jumlah korban meninggal dunia akibat rangkaian kejadian
bencana ini sebanyak 2.096 jiwa, 4.438 orang luka berat, 83.122 orang luka ringan,
1.373 orang hilang, dan terdapat 173.552 pengungsi.9 Pada tanggal 22 Desember 2018,
tsunami yang disebabkan oleh longsor bawah laut akibat letusan Anak Krakatau di Selat
Sunda menghantam daerah pesisir Banten dan Lampung. Sedikitnya 426 orang tewas
dan 7.202 terluka dan 23 orang hilang.10
Tantangan yang dihadapi adalah masih tingginya tingkat kerentanan penduduk
di Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia sangat besar dan setiap tahun semakin
bertambah banyak, dengan tingkat pertumbuhan sepanjang 2010-2020 sebesar rata-
rata 1,25%. Jumlah penduduk yang besar ini berada di beberapa pulau utama saja,
terutama Pulau Jawa yang sangat subur dan telah menjadi pusat pertanian,
perdagangan dan pemerintahan sejak zaman dulu. Sekarang ini semakin banyak
penduduk memilih tinggal terkonsentrasi di wilayah perkotaan, yang banyak
berkembang di dekat daerah aliran sungai, delta sungai atau di pesisir pantai yang rawan
berbagai ancaman bencana.
Berdasarkan kajian BNPB, UNFPA dan BPS pada tahun 2015 dengan memakai
data penduduk hasil sensus tahun 2010, dari penduduk yang terpapar ancaman bencana
alam, lebih dari 97% tinggal di daerah rawan bencana. Dari enam jenis bencana (gempa
bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, longsor, badai dan cuaca ekstrem), gempa
bumi merupakan bencana dengan jumlah penduduk terpapar terbesar pada kategori
tinggi dan sedang. Jumlah penduduk yang terpapar lebih dari 148 juta atau 62,4% dari
total penduduk Indonesia. Jumlah yang besar mengingat 92,2 juta hektar atau 48,5%
dari total wilayah Indonesia rawan terkena gempa tingkat tinggi dan menengah. Dalam
hal ancaman lain, lebih dari 4,2 juta orang terpapar ancaman tsunami, 3,9 juta orang
terpapar ancaman aktivitas gunung berapi, 63,7 juta orang terpapar banjir, 40,8 juta
orang terpapar ancaman tanah longsor, dan 11,1 juta orang terpapar ancaman
gelombang ekstrem dan abrasi.11
Selain itu tantangan terbesar untuk mengurangi jumlah kematian akibat bencana
adalah bahwa banyak korban jiwa diakibatkan oleh rumah-rumah sederhana yang
roboh akibat gempa bumi. Saat ini masih terdapat jutaan rumah sederhana (rumah nir-
rekayasa teknik atau non-engineered) yang tidak tahan gempa. Uraian lebih detail terkait
rumah tahan gempa dapat ditemui pada Target B.
Berkaitan dengan peluang, ke depan pemerintah perlu mengkampanyekan lebih
lanjut konsep “rumah aman gempa”. Masyarakat perlu disadarkan bahwa gempa bumi
tidak membunuh manusia, tetapi bangunan runtuhlah yang menimbulkan korban jiwa.
Untuk itu masyarakat perlu membangun rumah dan bangunan dengan struktur yang
aman gempa. Selain itu, pemerintah juga sudah semakin mendorong pengaturan tata
ruang (RTRW) yang mencegah pendirian bangunan di kawasan yang rawan banjir,
longsor, tsunami, abrasi, dan aliran lava atau lahar hujan, dan di beberapa tempat
merelokasi warga ke tempat yang lebih aman. Di masa depan upaya-upaya seperti ini
perlu semakin ditingkatkan lagi.
8 Bappeda Provinsi Nusa Tenggara Barat (2018). Ringkasan Eksekutif Rencana Aksi Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Pasca Bencana Alam Gempa Bumi Provinsi Nusa Tenggara Tahun 2018-2020, hal. 1.
9 Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (2018). Rencana Induk Pemulihan dan Pembangunan Kembali Wilayah Pascabencana Provinsi Sulawesi Tengah, hal. 4 dan 13.
10 Wikipedia (2021). Tsunami Selat Sunda 2018. https://id.wikipedia.org/wiki/Tsunami_Selat_Sunda_2018, diakses pada 8 November 2021.
11 BNPB, UNFPA, BPS (2015). Population Exposed to Natural Hazards a Study Based on the 2010 Population Census. Jakarta, hal. vi.
9
Halaman sekat 3
10
BAB III
PENCAPAIAN TARGET B
Pencapaian Target B: Mengurangi Jumlah Orang Terdampak Bencana
Orang terdampak bencana dalam Target B SFDRR meliputi orang luka-
luka (sakit), mengungsi, dan terdampak. Pengertian terkena dampak
langsung adalah orang yang menderita cedera, sakit, atau dampak
kesehatan lainnya; yang dievakuasi, mengungsi, direlokasi; atau telah mengalami
kerusakan langsung terhadap mata pencaharian, aset ekonomi, fisik, sosial, budaya dan
lingkungan mereka. Dalam Data dan Informasi Bencana Indonesia dipilah antara orang
luka-luka, mengungsi dan terdampak. Dalam uraian laporan ini jumlah orang mengungsi
dan jumlah orang terdampak dijadikan satu. Orang terdampak bencana ini juga meliputi
orang yang mengalami kerusakan rumah tinggal, baik rumah rusak berat, rumah rusak
sedang, rumah rusak ringan, ataupun rumah terendam.
Tabel 4: Jumlah Orang Luka-Luka dan Mengungsi
Terdampak Bencana pada Tahun 2010-2019
Tipe dan Jenis Orang Luka-Luka Mengungsi dan Terdampak
Bencana
2010- 2015- 2010- % 2010- 2015- 2010- %
2014 2014
2019 2019 48,93% 2019 2019 6,65%
0,00% 2,98%
Geologis 60 721 781 782.070 1.506.920 2.288.990
44,17% 0,64%
Gempa Bumi 000 0,25% 71.918 951.930 1.023.848 2,87%
0 705 705 4,51% 0,17%
Gempa Bumi dan 0 221.450 221.450 93,35%
Tsunami 51,07% 694.732 291.215 985.947 44,51%
31,52%
Letusan Gunung Api 404 15.420 42.325 57.745 0,43%
2,94% 9.018.054 23.104.453 32.122.507
Tsunami 56 16 72 5581.970 15.316.474 1,47%
0,00% 9.734.504 45,58%
Hidrometeorologis 440 375 815 0,00%
2,44% 0,62%
Banjir 280 223 503 14,16% 18.835 130.733 149.568 0,73%
46 1 47 100,00% 100,00%
Gelombang Pasang/ 000 442.052 63.642 505.694
Abrasi 2.798.369 12.886.565 15.684.934
Kebakaran Hutan
dan Lahan 108.716 104.525 213.241
68.112 184.484 252.596
Kekeringan 000 24.611.373 34.411.497
9.800.124
Puting Beliung 34 5 39
Tanah Longsor 80 146 226
Grand Total 500 1.096 1.596
Sumber: Data dan Informasi Bencana Indonesia
Selama tahun 2010-2019 terjadi 23.048 kejadian bencana di Indonesia yang
didominasi oleh bencana hidrometeorologis sebanyak 22.744 (98,68%) kejadian dan
bencana geologis sebanyak 304 (1,32%) kejadian. Walaupun hanya sebesar 1,32%
dalam periode 2010-2019 dampak bencana geologis sangat besar, yaitu sebanyak 781
(48,93%) orang luka-luka. Sementara itu jumlah bencana hidrometeorologis sebesar
98,68% dengan akibat 815 (51,07%) orang luka-luka. Kejadian bencana pada 2010-
2019 ini menyebabkan lebih dari 34 ribu orang terdampak langsung (34.411.497 orang
tepatnya).
11
Sejumlah 32.122.507 orang terdampak bencana hidrometeorologis dan
2.288.990 orang terdampak bencana geologis. Jumlah terbesar orang terdampak
bencana sepanjang tahun 2010-2019 karena kekeringan mencapai 15.684.934 orang,
selanjutnya banjir 15.316.474 orang, gempa bumi 1.023.848 orang, letusan gunung api
985.947 orang, dan karhutla 505.694 orang. Untuk faktor bencana yang lain hanya
kurang dari 1% antara lain tanah longsor 252.596 orang, gempa bumi dan tsunami
221.450 orang, puting beliung 213.241 orang, tsunami 57.745 orang, dan gelombang
pasang/abrasi 149.568 orang. Detail jumlah orang luka-luka dan mengungsi-terdampak
akibat bencana tahun 2010-2019 dapat dilihat pada Tabel 4.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per tanggal 25 Oktober 2021, ada
4.240.019 kasus konfirmasi positif Covid-19, 4.082.454 kasus sembuh, 143.205 kasus
meninggal dunia, 14.360 kasus aktif.12 Angka kesakitan Covid-19 mencapai 4.096.814
kasus. Angka ini diperoleh dari kasus konfirmasi positif Covid-19 dikurangi kasus
meninggal dunia. Angka kesakitan Covid-19 tahun 2020-2021 ini lebih dari 21 kali lipat
dari jumlah seluruh orang luka-luka akibat bencana alam tahun 2010-2019 yang
sebesar 1.596 jiwa
Tabel 5: Jumlah Rumah Rusak Berat dan Rusak Sedang
Akibat Bencana pada Tahun 2010-2019
Tipe dan Jenis Rumah Rusak Berat Akibat Bencana Rumah Rusak Sedang Akibat Bencana
Bencana
2010- 2015- 2010- % 2010- 2015- 2010- %
2014 2019 2019 2014 2019 2019
Geologis 29.402 127.843 157.245 65,44% 6.478 78.271 84.749 59,22%
Gempa Bumi 13.988 92.087 106.075 44,14% 6.320 49.302 55.622 38,87%
0 34.166 34.166 14,22% 0 28.899 28.899 20,19%
Gempa Bumi dan
Tsunami
Letusan Gunung Api 14.880 7 14.887 6,20% 158 0 158 0,11%
Tsunami 534 1.583 2.117 0,88% 0 70 70 0,05%
Hidrometeorologis 52.723 30.323 83.046 34,56% 27.264 31.095 58.359 40,78%
Banjir 26.092 12.782 38.874 16,18% 8.966 9.997 18.963 13,25%
1.087 293 1380 0,57% 409 117 526 0,37%
Gelombang Pasang / 106 1 107 0,04% 5 0 5 0,00%
Abrasi
Kebakaran Hutan
dan Lahan
Kekeringan 0 0 0 0,00% 0 0 0 0,00%
Puting Beliung 19.282 11.060 30.342 12,63% 16.434 16.365 32.799 22,92%
Tanah Longsor 6.156 6.187 12.343 5,14% 1.450 4.616 6.066 4,24%
Grand Total 82.125 158.166 240.291 100,00% 33.742 109.366 143.108 100,00%
Sumber: Data dan Informasi Bencana Indonesia
Kejadian bencana telah banyak menimbulkan kerusakan pada rumah tinggal.
Data kerusakan rumah rusak berat dan rusak sedang akibat bencana dapat dilihat pada
tabel berikut. Dalam hal ini pengertian rumah rusak berat adalah bangunan roboh atau
sebagian besar komponen rusak. Sedangkan pengertian rumah rusak sedang adalah
bangunan masih berdiri, sebagian kecil komponen struktur rusak, dan komponen
penunjangnya rusak. Pengertian rumah rusak sedang adalah bangunan masih berdiri,
sebagian komponen struktur retak (struktur masih bisa difungsikan). Sedangkan rumah
terendam adalah rumah yang terendam air akibat bencana banjir, banjir bandang,
abrasi, cuaca ekstrem, atau gelombang pasang.
12 Kementerian Kesehatan (2021). Situasi Terkini Perkembangan Coronavirus Disease (COVID-19) 01 Januari 2021. https://infeksiemerging.kemkes.go.id/situasi-infeksi-emerging/situasi-
terkini-perkembangan-coronavirus-disease-covid-19-01-januari-2021, diakses pada 13 Agustus 2021; dan Situasi Terkini Perkembangan Coronavirus Disease (COVID-19) 25 Oktober 2021.
https://infeksiemerging.kemkes.go.id/situasi-infeksi-emerging/situasi-terkini-perkembangan-coronavirus-disease-covid-19-25-oktober-2021, diakses pada 27 Oktober 2021.
12
Kejadian bencana pada tahun 2010-2019 telah menyebabkan 240.291 rumah
rusak berat, 143.108 rumah rusak sedang, 515.956 rumah rusak ringan, dan 3.492.179
rumah terendam. Walaupun bencana geologis hanya sebanyak 304 kejadian (1,32%)
tapi kerusakan rumah tinggal yang disebabkannya sangat besar, yaitu 157.245 (65,44%)
rumah rusak berat, 84.749 (59,22%) rumah rusak sedang, dan 210.174 (40,73%) rusak
ringan.
Tabel 6: Jumlah Rumah Rusak Ringan dan Rumah Terendam
Akibat Bencana pada Tahun 2010-2019
Rumah Rusak Ringan Akibat Bencana Rumah Terendam Akibat Bencana
Bencana 2010- 2015- 2010- % 2010- 2015- 2010- %
2014 2019 2019 2014 2019 2019
Geologis 25.811 184.363 210.174 40,73% 0 0 0 0,00%
Gempa Bumi 19.860 136.114 155.974 30,23% 0 0 0 0,00%
Gempa Bumi dan
Tsunami 0 47.149 47.149 9,14% 0 0 0 0,00%
Letusan Gunung Api 5.725 1 5.726 1,11% 0 0 0 0,00%
Tsunami 226 1.099 1.325 0,26% 0 0 0 0,00%
Hidrometeorologis 190.740 115.042 305.782 59,27% 2.065.099 1.427.080 3.492.179 100,00%
Banjir 94.598 36.149 130.747 25,34% 2.057.861 1.399.715 3.457.576 99,01%
1.555 204 1.759 0,99%
Gelombang Pasang / 12 2 14 0,34% 7.238 27.365 34.603 0,00%
Abrasi
0,00% 0 0 0
Kebakaran Hutan
dan Lahan
Kekeringan 0 0 0 0,00% 0 0 0 0,00%
Puting Beliung 84.050 71.969 156.019 30,24% 0 0 0 0,00%
Tanah Longsor 10.525 6.718 17.243 3,34% 0 0 0 0,00%
Grand Total 216.551 299.405 515.956 100,00% 2.065.099 1.427.080 3.492.179 100,00%
Sumber: Data dan Informasi Bencana Indonesia
Sementara itu bencana hidrometeorologis yang menjadi dominan kejadian
bencana sebesar 22.744 kejadian (98,68%) telah menyebabkan 83.046 (34,56%) rumah
rusak berat, 58.359 (40,78%) rusak sedang, 305.782 (59,27%) rumah rusak ringan, dan
3.492.179 rumah terendam. Dalam hal ini rumah terendam disebabkan oleh banjir, rob,
gelombang pasang/abrasi, atau banjir bandang. Bila ditinjau secara lebih mendalam
dampak bencana geologis pada rumah rusak berat pada tahun 2010-2019 terutama
diakibatkan oleh gempa bumi sebanyak 106.075 (44,14%) serta gabungan antara gempa
bumi dan tsunami 34.166 (14,22%).
Perkembangan, Tantangan dan Peluang
Upaya untuk melindungi warga dari ancaman bencana maupun warga yang
terkena bencana adalah dengan melakukan mitigasi bencana. Ada empat
hal penting dalam mitigasi bencana, yaitu: (1) Tersedia informasi dan peta
kawasan rawan bencana untuk tiap jenis ancaman bencana, (2) Sosialisasi untuk
meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat dalam menghadapi bencana, (3)
Peningkatan pengetahuan akan apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta cara
penyelamatan diri jika bencana timbul, dan (4) Pengaturan dan penataan kawasan
rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana (tata ruang).
13
Berdasarkan survei atas gempa-gempa bumi merusak selama 50 tahun, dari
tahun 1954 gempa bumi Sumbawa s.d. 2013 gempa bumi Aceh Tengah, Bener Meriah,
hampir semua bangunan yang rusak adalah rumah-rumah rakyat, yang biasa disebut
kontruksi nir-rekayasa. Indonesia masih memiliki banyak bangunan nir-rekayasa yang
tidak aman.13 Kontruksi nir-rekayasa adalah bangunan rumah tinggal dan bangunan
komersial sampai dua lantai yang dibangun dengan menggunakan tenaga tidak terlatih
dan tanpa campur tangan arsitek atau ahli teknik/ahli struktur dalam perencanaan dan
pembangunannya. Kontruksi nir-rekayasa biasanya dibangun dengan biaya yang
terbatas dan menggunakan bahan-bahan yang tersedia di tempat.14
Ke depan perlu diupayakan untuk memastikan agar semua kontruksi nir-
rekayasa yang baru dibuat berkonstruksi tahan gempa. Untuk rumah dan bangunan nir-
rekayasa yang sudah berdiri, perlu dilakukan upaya-upaya penguatan (retrofitting) agar
tahan gempa. Upaya retrofitting ini perlu dibuat sederhana, artinya teknik retrofitting
harus mudah dipahami dan tidak rumit serta dapat dilakukan oleh tukang setempat
dengan pelatihan minimal dan dengan menggunakan bahan bangunan setempat serta
peralatan setempat. Retrofitting harus mudah ditiru dan disesuaikan dengan berbagai
kontruksi nir-rekayasa, dengan konfigurasi bangunan dan tingkat kelapukan bangunan
yang berbeda. Selain itu, penting juga untuk memastikan agar dari segi biaya retrofitting
dapat terjangkau, artinya bisa meningkatkan kekuatan bangunan dengan biaya
serendah mungkin yang terjangkau oleh kelompok masyarakat dengan pendapatan
rendah dan menengah.15
Pemerintah telah mengeluarkan banyak regulasi dan panduan terkait rumah dan
bangunan tahan gempa. Walaupun demikian, tampaknya masih perlu upaya ekstra
untuk menegakkan dan melaksanakan peraturan-peraturan ini. Begitu pula dengan
perencanaan tata ruang, pemerintah telah semakin mengembangkan sistem
perencanaan tata ruang berbasis pengurangan risiko bencana. Upaya-upaya ini perlu
lebih ditingkatkan lagi untuk melindungi masyarakat dari dampak bencana yang
merusak, tidak hanya dari gempa bumi, melainkan juga dari ancaman-ancaman lainnya
seperti longsor, banjir, tsunami, abrasi laut, dan lain sebagainya.
13 Teddy Boen (2016). Belajar dari Kerusakan Akibat Gempa Bumi: Bangunan Tembokan Nir-Rekayasa di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, cetakan
pertama, hal. 47-51.
14 Teddy Boen (2016), hal. 1.
15 Teddy Boen (2016), hal. 52-53.
14
Halaman sekat 4
15
BAB IV
PENCAPAIAN TARGET C
Pencapaian Target C: Mengurangi Kerugian Ekonomi Langsung Akibat Bencana
Target C SFDRR adalah mengurangi kerugian ekonomi langsung akibat
bencana dalam kaitan dengan produk domestik bruto (PDB) pada tahun
2030. Kerugian ekonomi langsung yang dikaitkan dengan bencana dalam
hubungannya dengan produk domestik bruto termasuk kerugian dalam bidang
perumahan dan pertanian langsung yang dikaitkan dengan bencana. Kerugian ekonomi
langsung merupakan nilai moneter dari kehancuran total atau sebagian dari aset fisik
yang ada di daerah yang terkena dampak bencana. Kerugian ekonomi langsung hampir
setara dengan kerusakan fisik. Sedangkan kerugian ekonomi tidak langsung adalah
penurunan nilai tambah ekonomi sebagai akibat dari kerugian ekonomi langsung
dan/atau dampak manusia dan lingkungan.
Kejadian bencana menimbulkan kerusakan dan kerugian yang akan berdampak
luas pada sistem perekonomian. Pada tahun 2016 Pemerintah Indonesia menderita
kerugian ekonomi lebih dari Rp7 triliun akibat bencana. Nilai tersebut setara dengan
0,08% dari PDB Indonesia. Pada tahun 2017, kejadian bencana masih menimbulkan
dampak kerugian ekonomi yang mencapai hampir Rp4,7 triliun atau 0,05% dari PDB.16
Rata-rata kerugian yang diakibatkan bencana alam mencapai Rp22.850,0 miliar
per tahun. Apabila ditambahkan jenis bencana non-alam, dalam hal ini pandemi Covid-
19 pada tahun 2020, tentunya kerugian tersebut akan meningkat signifikan. Sebagai
gambaran awal, biaya penanganan Covid-19 pada tahun 2020 diperkirakan mencapai
Rp695,2 triliun. Biaya tersebut antara lain untuk pendanaan sektor kesehatan, jaring
pengaman sosial, dukungan ke industri, dan dukungan pembiayaan anggaran dalam
rangka program Pemulihan Ekonomi Nasional .17
Dalam dokumen ini yang dimaksud dengan kerusakan adalah perubahan bentuk
pada aset fisik dan infrastruktur milik pemerintah, masyarakat, keluarga dan badan
usaha sehingga terganggu fungsinya secara parsial atau total sebagai akibat langsung
dari bencana. Misalnya, kerusakan rumah, sekolah, pusat kesehatan, pabrik, tempat
usaha, tempat ibadah dan lain-lain dalam kategori tingkat kerusakan ringan, sedang dan
berat. Sedangkan pengertian kerugian adalah meningkatnya biaya kesempatan atau
hilangnya kesempatan untuk memperoleh keuntungan ekonomi karena kerusakan aset
milik pemerintah, masyarakat, keluarga dan badan usaha sebagai akibat tidak langsung
dari bencana, misalnya, potensi pendapatan yang berkurang, pengeluaran yang
bertambah selama periode waktu hingga aset dipulihkan.18
Penentuan nilai kerusakan dan kerugian mengacu pada Peraturan Kepala BNPB
Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengkajian Kebutuhan Pasca Bencana. Hasil
penghitungan Jitu Pasna disusun dalam dokumen perencanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi pascabencana. Untuk bencana skala besar biasanya disusun rencana
rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana yang diajukan kepada pemerintah pusat
untuk mendapatkan dukungan pendanaan dari APBN. Sementara itu untuk bencana
skala sedang dan kecil disusun proposal rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana
yang diajukan kepada BNPB untuk mendapatkan dukungan pendanaan.
16 Kementerian PPN/Bappenas (2019). Peluncuran Buku UN-ESCAP Asia-Pacific Disaster Report 2019: The Disaster Riskspace Across Asia Pacific. https://www.bappenas.go.id/id/berita-
dan-siaran-pers/peluncuran-buku-un-escap-asia-pacific-disaster-report-2019-disaster-riskspace-across-asia-pacific/, diakses pada 23 Oktober 2021.
17 Pemerintah Republik Indonesia (2021). Buku II Nota Keuangan Beserta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021, hal. 6-49.
18 Perka BNPB No. 15/2011, hal. 5.
16
Tabel 7: Nilai Kerusakan dan Kerugian Akibat Bencana Tahun 2013-2020
Tahun Nilai Kerusakan Nilai Kerugian Total Nilai Nilai Kerusakan dan Total
2013 Bencana Sedang dan Kecil Bencana Sedang Kerusakan dan Kerugian Bencana 71.249.578.371
428.750.000 dan Kecil Kerugian Besar
333.000.000 761.750.000 70.487.828.371
2014 69.500.400.000 128.969.725.000 198.470.125.000 2.546.401.961.940 2.744.872.086.940
2015 480.473.632.360 152.241.392.350 632.715.024.710 1.804.436.482.773 2.437.151.507.483
2016 3.354.024.274.400 1.524.534.538.414 4.878.558.812.814 3.015.168.863.494 7.893.727.676.308
2017 5.237.397.414.308 2.000.016.464.862 7.237.413.879.170 1.130.000.000.000 8.367.413.879.170
2018 13.149.915.463.680 7.428.098.344.299 20.578.013.807.979 38.379.078.572.209 58.957.092.380.188
2019 2.470.616.353.120 591.683.460.454 3.062.299.813.574 4.353.247.885.197 7.415.547.698.771
2020 2.374.280.459.767 720.145.601.318 3.094.426.061.085 948.284.242.304 4.042.710.303.389
Total 27.136.636.747.635 12.546.022.526.697 39.682.659.274.332 52.247.105.836.288 91.929.765.110.620
Sumber: Direktorat Perencanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB
Menurut estimasi BNPB berdasarkan dokumen Rencana Rehabilitasi dan
Rekonstruksi dari daerah, dampak kerusakan akibat bencana sedang dan kecil tahun
2013-2020 adalah senilai lebih dari Rp27 triliun, sementara nilai kerugian lebih dari
Rp12,5 triliun. Total nilai kerusakan dan kerugian ini mencapai Rp39,6 triliun.
Sementara itu, total nilai kerusakan dan kerugian akibat bencana skala besar tahun
2013-2020 mencapai lebih dari Rp52 triliun. Untuk bencana skala sedang dan kecil,
rata-rata nilai kerusakan per tahun mencapai Rp6 triliun dan nilai kerugian Rp2,8 triliun.
Rata-rata nilai kerusakan dan kerugian akibat bencana skala besar, sedang dan kecil
mencapai Rp20,4 triliun per tahun. Data nilai kerusakan dan kerugian sektor perumahan
yang lengkap sekarang ini hanya terdapat dalam rencana rehabilitasi dan rekontruksi
pascabencana pada kejadian bencana skala besar.
Erupsi Gunung Merapi tahun 2010 mengakibatkan kerusakan dan kerugian
sektor perumahan sebesar Rp. 626,651 miliar (17,27%) dari total Rp. 3.628 Triliun.
Diperkirakan total kebutuhan pendanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana
erupsi Merapi ini mencapai Rp.247,15 Miliar (18,30%) dari total kebutuhan rehabilitasi
dan rekonstruksi Rp.1,35 Triliun. 19 Gempa dan tsunami Mentawai tahun 2010
mengakibatkan kerusakan dan kerugian pada sektor perumahan sebesar Rp.115,82
miliar (33,2%) dari total nilai kerusakan dan kerugian sebesar Rp.348,92 miliar. Nilai
kebutuhan pemulihan sektor perumahan mencapai Rp.250,54 miliar (50%) dari total
kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi Rp.486,40 miliar. Nilai kebutuhan pemulihan
ini menjadi sangat besar karena perlu dilakukan relokasi pemukiman serta
pembangunan sarana dan prasarana pendukungnya baru yang cukup jauh dari pantai
yang sangat rentan bahaya gempa bumi dan tsunami.20
Gempa bumi di Provinsi Aceh pada tahun 2013 menimbulkan nilai kerusakan dan
kerugian sektor perumahan (permukiman) sebesar Rp.679,33 miliar (47,87%) dari total
sebesar Rp.1,419 triliun. Kebutuhan biaya pemulihan sektor permukiman mencapai
Rp.530,951 miliar (52,51%) dari nilai total pemulihan di wilayah terdampak yang
sebesar Rp.1,011 triliun.21
Pada tahun 2018 terjadi gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di Provinsi Sulawesi
Tengah yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian dengan nilai seperti ditampilkan
pada Tabel 8.
19 Bappenas dan BNPB (2011). Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Erupsi Merapi di Wilayah Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah Tahun
2011-2013, hal. i-ii.
20 BNPB (2013). Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi dan Percepatan Pembangunan Wilayah Pasca Bencana Gempa Bumi dan Tsunami di Kabupaten Kepulauan
Mentawai Provinsi Sumatera Barat, hal.
21 BNPB (2013). Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Bencana Gempa Bumi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah Tahun 2013-2014, hal. iii-iv.
17
Tabel 8: Nilai Kerusakan dan Kerugian Sektor Perumahan Akibat Gempabumi, Tsunami dan
Likuifaksi Sulawesi Tengah Tahun 2018
Kabupaten/Kota Kerusakan (Miliar) Kerugian (Miliar) Jumlah
Kota Palu 3.863 396,76 4.259,76
Kabupaten Donggala 1.305 227,49 1.532,49
Kabupaten Sigi 2.540 558,12 3.098,12
Kabupaten Parigi Moutong 468,6 51,42 520,02
Jumlah Total 8.176,6 1.233,79 9.410,39
Sumber: Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (2019).
Hitung cepat kerusakan dan kerugian yang dilakukan oleh BNPB, BPBD
terdampak dan UNDP memperkirakan nilai kerusakan sebesar Rp 15,8 triliun dan
kerugian sebesar Rp.2,89 triliun untuk semua sektor, sehingga total kerusakan dan
kerugian mencapai Rp.18,48 triliun. Kerugian dan kerusakan terbesar berasal dari
sektor perumahan yaitu Rp.9,41 triliun dengan rincian kerusakan sebesar Rp.8,18
triliun dan kerugian Rp.1,23 triliun.22
Bencana gempa bumi di Provinsi Nusa Tenggara Barat pada 2018 menyebabkan
kerusakan dan kerugian sebesar Rp.18,20 triliun. Total nilai kerusakan dan kerugian
sektor perumahan mendominasi dengan nilai Rp.13,30 triliun yang terdiri dari nilai
kerusakan sebesar Rp. 8,75 triliun dan nilai kerugian mencapai Rp.4,55 triliun.23
Selama tahun 2015 hingga 2020 telah terjadi kebakaran hutan dan lahan
(karhutla) seluas 5.514.317 Ha. Luas karhutla terbesar tejadi pada tahun 2015 sebesar
2.611.411 Ha; dan kemudian disusul pada tahun 2019 sebesar 1.649.258 Ha, 2018
sebesar 529.267 Ha, 2016 sebesar 438.363 Ha, 2017 sebesar 165.484 Ha dan 2020
sebesar 120.534 Ha.
Berdasarkan laporan Bank Dunia Februari 2016 yang berjudul Kerugian dari
Kebakaran Hutan: Analisis Dampak Ekonomi dari Krisis Kebakaran tahun 2015,
kerugian akibat karhutla tahun 2015 diperkirakan mencapai Rp221 triliun (16,1 miliar
dolar AS) atau setara dengan 1,9% dari PDB tahun 2015. Analisis ini menghitung
dampak terhadap pertanian, kehutanan, perdagangan, pariwisata, dan perhubungan.
Efek jangka pendek dari paparan kabut asap terhadap kesehatan dan penutupan
sekolah juga disertakan. Biaya lainnya yang diketahui mencakup biaya terkait
lingkungan hidup, tanggap darurat, dan pemadaman kebakaran. Namun, perkiraan ini
belum sepenuhnya mengidentifikasi dampak kesehatan jangka panjang akibat
keterpaparan yang berkelanjutan terhadap kabut asap, maupun hilangnya layanan
ekosistem, serta tidak menyertakan kerugian secara regional maupun global.24
Lebih dari 2,6 juta hektar hutan, lahan gambut dan lahan lainnya terbakar pada
tahun 2015. Dampak pada wilayah yang terbakar termasuk hilangnya kayu atau produk
non-kayu, serta sebagai habitat satwa. Meski belum dianalisis secara penuh, kerugian
lingkungan terkait keanekaragaman hayati diperkirakan bernilai sekitar USD 295 juta
pada tahun 2015. Dampak jangka panjang terhadap kehidupan alam bebas dan
biodiversitas belum sepenuhnya dikaji. Ribuan hektar habitat orangutan dan hewan
yang hampir punah lainnya pun ikut hancur.
22 Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (2019). Lampiran Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 10 Tahun 2019 Tentang Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Pascabencana, hal. 17-18.
23 Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (2018). Ringkasan Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Alam Gempa Bumi Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tahun 2018-2019, hal. 7-9.
24 Bank Dunia (2016). Kerugian dari Kebakaran Hutan Analisa Dampak Ekonomi dari Krisis Kebakaran tahun 2015.
https://openknowledge.worldbank.org/bitstream/handle/10986/23840/Forest%20Fire%20Notes%20-%20Bahasa%20final%20april%2018.pdf?sequence=6&isAllowed=y, diakses
pada 2 November 2020.
18
Pada tahun 2016, 2017 dan 2018 kejadian karhutla turun cukup signifikan, akan
tetapi pada 2019 meningkat lagi hingga dua per tiga bencana karhutla tahun 2015.
Berdasarkan laporan Bank Dunia pada akhir 2019, tahun 2019 mencatat kebakaran
hutan dan lahan yang disebabkan oleh manusia paling luas di Indonesia sejak krisis
kebakaran hutan dan lahan tahun 2015, yang mengeluarkan kabut tebal dan
menyelimuti setidaknya delapan provinsi dan menghambat kegiatan ekonomi baik di
dalam negeri maupun di luar negeri.25 Secara keseluruhan, total kerusakan dan kerugian
ekonomi di delapan provinsi yang terkena dampak sepanjang Juni-Oktober 2019
diperkirakan mencapai USD 5,2 miliar, setara dengan 0,5% dari PDB, terutama melalui
sektor pertanian, transportasi, perdagangan, industri, dan lingkungan hidup.
Kebakaran hutan dan lahan, serta kabut asap yang ditimbulkannya,
menyebabkan dampak negatif ekonomi yang signifikan, yang diperkirakan mencapai
USD 157 juta dalam kerusakan langsung terhadap aset dan kerugian sebesar USD 5,0
miliar dari kegiatan ekonomi yang terkena dampaknya. Angka ini diperkirakan dari,
antara lain, sektor infrastruktur, pertanian, industri, perdagangan, pariwisata,
transportasi, dan lingkungan hidup. Secara gabungan, sektor pertanian dan lingkungan
hidup menyumbang lebih dari setengah perkiraan kerugian, karena kebakaran merusak
tanaman perkebunan yang berharga dan melepaskan emisi gas rumah kaca yang
signifikan ke atmosfer.
Kementerian Pertanian memiliki dokumentasi kerusakan dampak bencana pada
tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, dan ubi
jalar). Perubahan iklim sangat berpengaruh dalam pertanian. Oleh karena itu dampak
perubahan iklim (DPI) mendapat perhatian tersendiri oleh Kementerian Pertanian,
khususnya banjir dan kekeringan. Selama tahun 2010-2020 banjir pada lahan pertanian
pangan seluas 1,4 juta hektar dan lebih dari 445 ribu hektar menjadi puso sehingga tidak
dapat dipanen. Selain itu lebih dari 2,7 juta hektar tanaman pangan terkena kekeringan
dan lebih dari 668 ribu hektar mengalami puso sebagai dampak kekeringan. Dengan
demikian jumlah total lahan pertanian pangan yang terkena dan puso akibat dampak
banjir dan kekeringan mencapai sekitar 5,3 juta hektar.
Tabel 9: Dampak Banjir dan Kekeringan pada Tanaman Pangan Tahun 2010-2020
Tanaman Pangan Banjir (Ha) Kekeringan (Ha) Jumlah
(Ha)
Terkena Puso Terkena Puso
Padi 1.138.348,00 329.991,20 2.211.278,50 575.859,90 4.255.477,60
Jagung 179.164,00 73.153,00 460.819,00 81.444,00 794.580,00
Kedelai 62.265,80 34.738,10 35.609,00 7.433,00 140.045,90
Kacang Tanah 6.846,60 2.483,10 13.420,00 1.645,00 24.394,70
Kacang Hijau 32.358,80 13.537,80 5.577,75 1.956,75 53.431,10
Ubi Kayu 3.553,05 1.254,45 4.048,90 207,50 9.063,90
Ubi Jalar 357,80 64,65 107,00 0,00 529,45
Jumlah Total 1.422.894,05 455.222,30 2.730.860,15 668.546,15 5.277.522,65
Sumber: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian (s.d. 30 Juli 2020)
25 Bank Dunia (2019). Perkembangan Triwulanan Perekonomian Indonesia: Membangun Manusia.
https://openknowledge.worldbank.org/bitstream/handle/10986/33033/144221BA.pdf?sequence=5&isAllowed=y, diakses pada 2 November 2020.
19
Dampak perubahan iklim juga meningkatkan serangan organisme pengganggu
tanaman (OPT), seperti penggerek batang, wereng batang coklat (WBC), Blas, penyakit
hawar daun bakteri (bacterial leaf blight - BLB)/kresek, tungro, penggerek tongkol, ulat
grayak, lalat bibit, bulai, penggulung daun, lalat kacang, penggerek polong, dan ulat
jengkal. Selama tahun 2010-2020 serangan OPT menyebabkan tanaman pangan padi,
jagung dan kedelai terkena seluas 2,5 juta hektar dan yang mengalami puso seluas 36,6
ribu hektar. Dengan demikian jumlah total kerusakan tanaman padi, jagung dan kedelai
akibat serangan OPT mencapai 2,6 juta hektar.
Tabel 10: Dampak Serangan OPT pada Tanaman Pangan Tahun 2010-2020
Tanaman Pangan Serangan OPT (Ha) Jumlah
(Ha)
Terkena Puso
Tanaman Padi 2.086.743,00 34.451,02 2.121.194,02
Tanaman Jagung 386.803,60 1.900,40 388.704,00
Tanaman Kedelai 57.649,39 211,31 57.860,70
Jumlah Total 2.531.195,99 36.562,73 2.567.758,72
Sumber: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian (s.d. 30 Juli 2020)
Perkembangan, Tantangan dan Peluang
Dari tahun ke tahun tampak bahwa nilai kerusakan dan kerugian akibat
bencana cenderung meningkat, walau tidak konsisten dan sangat
tergantung pada ada tidaknya bencana besar. Indikator nilai kerugian
langsung akibat bencana terbagi dalam beberapa sub-indikator, yakni kerugian
langsung pada sektor pertanian (gagal panen, ternak mati, perikanan rusak, kerusakan
hutan, dll.), kerugian ekonomi langsung pada aset produktif (kehancuran alat produksi,
kehancuran industri jasa, dll.), kerugian ekonomi langsung pada sektor perumahan,
kerugian ekonomi langsung pada hancurnya infrastruktur penting, dan kerugian
ekonomi langsung pada benda atau bangunan warisan budaya.
Tantangan utama dalam pengukuran pencapaian pada target ini adalah belum
lengkapnya data dan informasi kerusakan dan kerugian per sektor/bidang yang
dikumpulkan dari setiap kejadian bencana. Ke depan pemerintah akan meningkatkan
sistem pencatatan ini agar pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana
dapat dilaksanakan dengan lebih terarah. BNPB, Badan Pusat Statistik (BPS) dan
beberapa instansi pemerintah utama telah memulai pengembangan konsep Satu Data
Bencana Indonesia (SDBI). Diharapkan upaya ini akan juga mendukung pencatatan
statistik kerusakan dan kerugian akibat bencana, serta data statistik lainnya yang
berkaitan dengan SFDRR.
Salah satu perkembangan positif dalam upaya mengurangi kerugian langsung
akibat bencana adalah adanya komitmen pemerintah untuk mengupayakan
peningkatan ketahanan bencana dan iklim untuk mengurangi persentase potensi
kehilangan produk domestik bruto (PDB) akibat dampak bencana menjadi 0,10% PDB
pada tahun 2024 dalam RPJMN 2020-2024. Komitmen ini diwujudkan melalui
program-program mitigasi fisik/struktural maupun non-struktural di berbagai daerah di
Indonesia. Bagian ini akan dibahas secara lebih terinci pada bab IX di bawah, terutama
pada bagian investasi pengurangan risiko bencana.
20
Mengingat kerugian ekonomi langsung akibat bencana pada sektor perumahan,
infrastruktur penting, sektor pertanian-peternakan, dan sektor usaha masih relatif
tinggi, tampaknya upaya transfer risiko melalui asuransi harus ditingkatkan. Pemerintah
sudah memulai program asuransi gedung dan infrastruktur barang milik negara (BMN),
walaupun mungkin cakupan asuransi BMN ini belum menyeluruh sampai menjangkau
ke kabupaten/kota di daerah-daerah yang jauh dari pusat. Yang perlu menjadi perhatian
adalah asuransi untuk rumah-rumah penduduk yang berada di kawasan-kawasan yang
sangat rawan bencana. Pemerintah perlu mengedukasi masyarakat yang terpapar
ancaman ini agar mau mengasuransikan rumah dan bangunan mereka serta
mengembangkan skema asuransi yang tidak memberatkan warga.
Dalam sektor pertanian-peternakan dan sektor usaha sudah ada beberapa
prakarsa yang didukung pemerintah seperti asuransi usaha tani padi dan asuransi Usaha
Mikro, Kecil dan Menegah (UMKM). Pemerintah pada tahun 2020 mengalokasikan
asuransi usaha tani untuk lahan seluas 1.000.000 Ha dengan pagu Rp147.424.200.000.
Pemerintah juga telah memulai asuransi Usaha Ternak Sapi/Kerbau sejak tahun 2016
dengan total capaian jumlah sapi yang dilindungi asuransi hingga tahun 2020 ssebanyak
460.694 ekor. 26 Namun sejauh mana penetrasi asuransi ini di masyarakat, sampai
sejauh ini masih sulit mengumpulkan data-data yang dapat diandalkan.
26 Kementerian Pertanian (2021). Laporan Kinerja Kementerian Pertanian Tahun 2020, hal. 69.
21
Halaman sekat 5
22
BAB V
PENCAPAIAN TARGET D
Pencapaian Target D: Mengurangi Kerusakan Akibat Bencana pada Infrastruktur
Penting dan Gangguan pada Layanan Dasar
Target D SFDRR adalah secara substansial mengurangi kerusakan akibat
bencana pada infrastruktur penting dan gangguan pada layanan dasar,
serta pengembangan ketahanan mereka pada tahun 2030. Infrastruktur
penting yang dimaksud di sini mencakup fasilitas kesehatan, pendidikan dan cagar
budaya. Menurut Panduan Teknis UNDRR, Target D mengacu pada dua situasi yang
terpisah tetapi saling berhubungan. Yang pertama adalah situasi di mana infrastruktur
kritis rusak atau hancur (tanpa gangguan layanan) dan yang kedua adalah ketika layanan
dasar terganggu (yang terjadi dengan atau tanpa kerusakan).
Kejadian bencana selama tahun 2010-2019 telah menyebabkan 1.830 fasilitas
kesehatan rusak, dengan rincian tahun 2010-2014 sebanyak 948 fasilitas kesehatan
rusak dan tahun 2015-2019 sebanyak 882 fasilitas kesehatan. Penyebab kerusakan
pada fasilitas kesehatan ini cukup imbang antara bencana geologis sebesar 938 dan
bencana hidrometeorologis sebesar 892.
Tabel 11: Kerusakan Fasilitas Kesehatan Akibat Bencana Tahun 2010-2019
Tipe dan Jenis Bencana Kerusakan Fasilitas Kesehatan Akibat Bencana
2010-2014 2015-2019 2010-2019 %
Geologis 456 482 938 51,26%
Gempa Bumi 425 297 722 39,45%
Gempa Bumi dan Tsunami 0 185 185 10,11%
Letusan Gunung Api 24 0 24 1,31%
Tsunami 7 0 7 0,38%
Hidrometeorologis 492 400 892 48,74%
Banjir 431 321 752 41,09%
Gelombang Pasang / Abrasi 3 0 3 0,16%
Kebakaran Hutan dan Lahan 0 0 0 0,00%
Kekeringan 0 0 0 0,00%
Puting Beliung 47 57 104 5,68%
Tanah Longsor 11 22 33 1,80%
Grand Total 948 882 1.830 100,00%
Sumber: Data dan Inforrmasi Bencana Indonesia
Kejadian bencana selama tahun 2010-2019 telah menyebabkan 12.495 fasilitas
pendidikan rusak, dengan rincian tahun 2010-2014 sebanyak 5.269 fasilitas pendidikan
rusak dan tahun 2015-2019 sebanyak 7.226 fasilitas pendidikan rusak. Penyebab
kerusakan pada fasilitas pendidikan ini cukup imbang antara bencana geologis sebesar
5.686 dan bencana hidrometeorologis sebesar 6.809.
23
Tabel 12: Kerusakan Fasilitas Pendidikan Akibat Bencana Tahun 2010-2019
Tipe dan Jenis Bencana Kerusakan Fasilitas Pendidikan Akibat Bencana
2010-2014 2015-2019 2010-2019 %
Geologis 2.426 3.260 5.686 45,51%
Gempa Bumi 1.803 1.958 3.761 30,10%
Gempa Bumi dan Tsunami 0 1.299 1.299 10,40%
Letusan Gunung Api 617 0 617 4,94%
Tsunami 6 3 9 0,07%
Hidrometeorologis 2.843 3.966 6.809 54,49%
Banjir 2.359 3.293 5.652 45,23%
Gelombang Pasang/Abrasi 19 5 24 0,19%
Kebakaran Hutan dan Lahan 1 3 4 0,03%
Kekeringan 0 0 0 0,00%
Puting Beliung 391 503 894 7,15%
Tanah Longsor 73 162 235 1,88%
Grand Total 5.269 7.226 12.495 100,00%
Sumber: Data dan Informasi Bencana Indonesia
Kejadian bencana juga berdampak pada cagar budaya, yang mengakibatkan
kerusakan dan kerugian sangat besar bahkan bisa dikatakan tak ternilai karena
hilangnya cagar budaya berarti hilangnya juga pusaka budaya bangsa. Kejadian bencana
pada cagar budaya seperti gempa bumi 2006 di Daerah Istimewa Yogyakarta-Jawa
Tengah (kerusakan pada Candi Prambanan), erupsi Gunung Merapi (dampak debu
erupsi pada Candi Borobudur), erupsi Gunung Agung (dampak pada situs-situs cagar
budaya di Bali), gempa bumi 2018 di NTB (dampak pada situs-situs cagar budaya di NTB
dan Bali). Kejadian kebakaran di cagar budaya pada tahun 2018 yaitu di Rumah Gadang
di Sumpur Tanah Datar, Rumah Adat Desa Tarung di Sumba Barat, Bangunan Cagar
Budaya di Kawasan Pecinan Siak, dan Bangunan Museum Bahari.27
Tabel 13: Dampak Kejadian Bencana pada Cagar Budaya pada 2010-2020
Bencana 2010 2014 2016 2017 2018 2019 2020 Jumlah
1
Abrasi 1 1
1
Banjir 1 1
Kebakaran 1 7
1
Abrasi 1 6
6
Angin puting beliung / angin 4
kencang 7 9
1
Banjir 1 18
56
Gempa Bumi 24
Kebakaran 1 32
Pohon tumbang 11 11
Tanah Longsor 252
Tanah Longsor (Tanah labil) 1
Erupsi Gunung Api 2 10 1 5
Jumlah Total 2 11 4 5 11 14 9
Sumber: Direktorat Pelindungan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
27 Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (2018). Bencana Kebakaran Pada Bangunan Cagar Budaya dan Rumah Adat.
http://sim.ciptakarya.pu.go.id/kotapusaka/artikel/151-bencana-kebakaran-pada-bangunan-cagar-budaya-dan-rumah-adat, diakses pada 2 November 2020.
24
Selama tahun 2010-2020 kejadian bencana merusak 56 cagar budaya di seluruh
Indonesia. Tingkat kerusakan cagar budaya ini sangat bervariasi seperti Candi
Borobudur yang ditutupi abu vulkanik akibat erupsi Gunung Merapi tahun 2010, Lantai
Candi Setyaki melesak karena longsor, Atap bangunan pelindung Candi Losari rusak,
dan lain-lain. Kerusakan paling banyak adalah dampak abu vulkanik erupsi Gunung
Merapi, Gunung Kelud dan Gunung Agung sebanyak 18 cagar budaya.
Gambar 1: Dampak Erupsi Gunung Merapi Tahun 2010 pada Candi Borobudur
Sumber: Direktorat Pelindungan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Perkembangan, Tantangan dan Peluang
Pemerintah dan lembaga-lembaga non-pemerintah telah meningkatkan
upaya untuk mengurangi risiko bencana pada rumah sakit dan sekolah
melalui program rumah sakit aman bencana (manajemen kesiapsiagaan
bencana pada rumah sakit atau fasilitas kesehatan) dan program satuan pendidikan
aman bencana. Selain meningkatkan struktur fisik bangunan rumah sakit dan sekolah,
program-program ini juga berisi peningkatan informasi kebencanaan dan sistem
peringatan dini, upaya membangun budaya keselamatan, dan pengembangan
pengetahuan kebencanaan serta kapasitas untuk merespons kedauratan bencana.
Dengan adanya program-program ini diharapkan dampak kerusakan dan kerugian
akibat bencana pada dua sektor penting ini dapat diminimalisir.
25
Kejadian bencana telah mengganggu layanan kesehatan dan merusak fasilitas
kesehatan, seperti Pondok Bersalin Desa, Pos Kesehatan Desa, Pos Pelayanan Terpadu,
Puskesmas Pembantu, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Rumah Sakit, dll.
Dengan demikian fasilitas kesehatan, khususnya rumah sakit di Indonesia harus sudah
berpikir tentang rencana kesiapsiagaan untuk menghadapi bencana karena Indonesia
berada di daerah yang rawan bencana. Pemerintah telah mengeluarkan beberapa
regulasi terkait fasilitas kesehatan, termasuk kekuatan struktural untuk menjaga agar
aman gempa dan kebakaran. Program Rumah Sakit Aman juga telah diterapkan di
berbagai daerah baik oleh instansi pemerintah maupun lembaga non-pemerintah, tetapi
data terkait ini masih tidak mudah didapatkan.
Program Satuan Pendidikan Aman Bencana merupakan perkembangan terakhir
dari program yang telah dimulai pada tahun 2006. Beberapa kebijakan telah
dikeluarkan terkait hal ini, pertama adalah Surat Edaran Menteri Pendidikan Nasional
No. 70a/MPB/SE/2010 mengenai pengarusutamaan PRB di sekolah. Kebijakan ini
diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 Tahun 2012
tentang Penerapan Sekolah/Madrasah Aman Bencana (SMAB) yang menjadi landasan
pelaksanaan penerapan pendidikan kebencanaan hingga saat ini. Program ini bertujuan
untuk melindungi nyawa dan keselamatan warga sekolah dan menjaga agar
sekolah/madrasah secara struktural dibangun sesuai ketentuan keamanan dan
keselamatan yang telah ditetapkan.
Selanjutnya Kemendikbud mengeluarkan Permendikbud No. 33 tahun 2019
tentang Penyelenggaraan Program SPAB. Berdasarkan data Kemendikbud, hingga
tahun 2018 tercatat sekitar 9% sekolah di Indonesia telah mendapatkan pendidikan
kebencanaan. Di Indonesia terdapat 497.576 satuan pendidikan di 34 provinsi di mana
sekitar 70% atau 250 ribu sekolah di antaranya berada pada lokasi rawan bencana. Pada
tahun 2019 pemahaman tentang program SPAB di Indonesia semakin meluas. Secara
umum, pelaksanaan implementasi Peta Jalan Sekolah Aman 2015-2019 telah mencapai
80% atau 38 dari 46 indikator kegiatan. Dalam rangka optimalisasi penyelenggaraan
Program SPAB, ada beberapa hal yang masih perlu diperkuat, antara lain meningkatkan
koordinasi dan kolaborasi di antara pemangku kepentingan, mengoptimalkan
pengelolaan sumber daya, mengimplementasikan kebijakan dan strategi secara efektif
serta melakukan monitoring dan evaluasi secara terpadu, sistematis dan berkala.28
Dalam hal cagar budaya, Indonesia memiliki 99.458 warisan budaya yang bersifat
kebendaan. Sementara peninggalan bersejarah yang telah ditetapkan sebagai cagar
budaya berjumlah 1.635 objek. Jumlah ini sangat mungkin bertambah mengingat masih
terdapat 49.777 objek yang diduga sebagai cagar budaya. Merujuk data dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun 2020 terdapat 176 cagar budaya
nasional yang tersebar pada 25 provinsi di Indonesia. DKI Jakarta (43 cagar budaya),
Jawa Tengah (24), dan Sumatera Barat (21) adalah tiga wilayah dengan jumlah cagar
budaya nasional terbanyak di Indonesia. Cagar budaya nasional adalah peninggalan
bersejarah yang telah ditetapkan oleh menteri sebagai prioritas nasional dalam upaya
pelestarian cagar budaya. Cagar budaya yang termasuk dalam peringkat nasional terdiri
dari benda, bangunan, situs, struktur, dan kawasan bersejarah.
28 Sekretariat Nasional SPAB, Kemendikbub, BNPB (2020). Pendidikan Tangguh Bencana: Mewujudkan Satuan Pendidikan Aman Bencana di Indonesia, hal. ii.
26
Puluhan cagar budaya peringkat nasional di Indonesia berada pada wilayah
berisiko tinggi terdampak bencana alam. Pemetaan cagar budaya di zona bencana
menjadi hal penting untuk mempercepat tindakan preventif dan kuratif demi menjaga
dan memelihara warisan leluhur untuk masa depan bangsa. Oleh sebab itu, pemetaan
cagar budaya di lokasi bencana menjadi hal penting yang perlu diperhatikan untuk
menentukan langkah-langkah pelindungan khusus bagi objek cagar budaya di berbagai
daerah.
27
Halaman sekat 6
28
BAB VI
PENCAPAIAN TARGET E
Pencapaian Target E: Meningkatkan Jumlah Pemerintah Daerah dengan Strategi
Pengurangan Risiko Bencana pada Tahun 2020
Target E SFDRR adalah secara substansial meningkatkan jumlah negara
dengan strategi pengurangan risiko bencana nasional dan lokal pada tahun
2020. Target ini menghitung peningkatan persentase pemerintah daerah
yang mengadopsi dan menerapkan strategi nasional dan lokal untuk pengurangan risiko.
Unsur-unsur strategi PRB antara lain mengadopsi dan menerapkan strategi dan rencana
PRB nasional dan lokal, dengan berbagai skala waktu, dengan target, indikator dan
kerangka waktu, yang bertujuan untuk mencegah timbulnya risiko, pengurangan risiko
yang ada dan penguatan ekonomi, sosial, kesehatan dan lingkungan. Strategi PRB
dilaksanakan oleh pemerintah nasional dan pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten/kota).
Strategi nasional dan/atau rencana pengurangan risiko bencana terdapat dalam
Rencana Induk Penanggulangan Bencana Tahun 2020-2044 yang ditetapkan melalui
Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 dan rencana nasional penanggulangan
bencana (Renas PB). Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RPIB) Tahun 2020-2044
adalah pedoman nasional untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana yang
menjadi acuan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam perencanaan dan
penyelenggaraan penanggulangan bencana untuk mencapai ketangguhan masyarakat
yang berkelanjutan.29
RIPB mengacu secara eksplisit pada Kerangka Sendai, Persetujuan Paris atas
Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (Paris
Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change)30, dan Tujuan-
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) 2015-
2030.31
Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) adalah rencana penanggulangan
bencana yang meliputi seluruh tahap/bidang kerja kebencanaan (pra-saat-
pascabencana). RPB disusun berdasarkan analisis risiko bencana. Rencana
penanggulangan bencana ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah untuk
jangka waktu 5 (lima) tahun. RPB di tingkat nasional disebut Rencana Nasional
Penanggulangan Bencana (Renas PB), dan RPB di tingkat daerah disebut Rencana
Penanggulangan Bencana Daerah (RPBD) provinsi/kabupaten/kota. Program-program
dari Rencana Penanggulangan Bencana yang terkait dengan pencegahan, mitigasi dan
kesiapsiagaan masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) maupun
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan.
Arah kebijakan Renas PB 2020-2024 sejalan dengan Visi Penanggulangan
Bencana 2020-2044, yaitu "Mewujudkan Indonesia Tangguh Bencana untuk
Pembangunan Berkelanjutan". Arah kebijakan penyelenggaraan penanggulangan
bencana periode 2020-2024 adalah: “Peningkatan Ketangguhan Bencana Menuju
29 Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (2020). Perpres No. 87/2020 tentang RIPB Tahun 2020-2044. https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176230/Perpres_Nomor_87_Tahun_2020.pdf, diakses pada 2
November 2020.
30 Disahkan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim). File PDF UU No. 16/2016 dapat diunduh di: https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/37573/uu-no-16-tahun-2016
31 Disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. File PDF UU No. 59/2017 dapat diunduh di:
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/72974/perpres-no-59-tahun-2017
29
Kesejahteraan yang Berketahanan untuk Pembangunan Berkelanjutan”. Sesuai dengan
arah kebijakan penanggulangan bencana nasional 2020-2024 yang berfokus kepada
kesejahteraan masyarakat untuk pembangunan yang berkelanjutan, maka sasaran
penanggulangan bencana diukur dengan penurunan kerugian ekonomi terhadap PDB.
Sasaran Nasional Penanggulangan Bencana adalah: “Menurunnya Kerugian Ekonomi
Terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Akibat Dampak Bencana”.
Berkaitan dengan strategi pengurangan risiko bencana di daerah, berdasarkan
Perpres No. 87/2020 tentang RIPB Tahun 2020-2044 Renas PB menjadi acuan bagi
pemerintah daerah dalam menyusun dan menetapkan rencana penanggulangan
bencana daerah (RPBD) provinsi yang ditetapkan oleh gubernur dan berlaku untuk
jangka waktu lima tahun. Pemerintah Kabupaten/Kota menyusun RPBD
kabupaten/kota yang mengacu pada RPBD Provinsi dan berlaku untuk lima tahun.
Pada tahun 2011 BNPB memfasilitasi penyusunan kajian risiko bencana dan
rencana penanggulangan bencana daerah di 34 provinsi. Sedangkan untuk tahun 2015
BNPB hanya memfasilitasi penyusunan kajian risiko bencana di semua provinsi di
Indonesia. Tahun 2017 Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur secara mandiri
melakukan penyusunan rencana penanggulangan bencana daerah yang berlaku untuk
2018-2023. Pada tahun 2019 Pemerintah Provinsi Jawa Tengah meluncurkan dokumen
Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi Jawa Tengah 2019-2023. Sementara itu
Provinsi Jawa Barat melangkah lebih jauh dengan menetapkan cetak biru ketangguhan
hidup dengan bencana yang berlaku untuk 10 tahun (2019-2028) melalui Peraturan
Gubernur Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Peningkatan Kapasitas Budaya
Masyarakat Tangguh Bencana di Daerah Provinsi Jawa Barat pada 16 Januari 2020.
BNPB memfasilitasi penyusunan kajian risiko bencana (KRB) dan Rencana
Penanggulangan Bencana Daerah (RPBD) di tingkat kabupaten/kota. Terkait dengan
kajian risiko bencana di tingkat kabupaten/kota, ada 153 kabupaten/kota sudah
menyusun dan masih berlaku, 97 kabupaten/kota sudah menyusun dan masa
berlakunya habis, serta 264 kabupaten/kota belum menyusun. Selain itu untuk rencana
penanggulangan bencana daerah ada 107 kabupaten/kota sudah menyusun dan masih
berlaku, 79 kabupaten/kota sudah menyusun dan masa berlakunya habis, serta 328
kabupaten/kota belum menyusun.
Perkembangan, Tantangan dan Peluang
Sebagai strategi pengurangan risiko bencana nasional, Rencana Nasional
Penanggulangan Bencana (Renas PB) menjadi acuan bagi penyusunan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Rencana Strategis
Kementerian/Lembaga (K/L). Sampai saat ini hampir semua K/L telah menggunakan
Renas PB sebagai masukan dalam penyusunan Rencana Strategis dan Rencana Kerja
tahunan mereka.
30
Pada tahun 2016 BNPB melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
program dan kegiatan penanggulangan bencana pada 30 K/L. 32 Kesimpulan dari
pemantauan dan evaluasi tersebut antara lain: (1) Total nilai alokasi anggaran dalam
belanja K/L untuk mendukung penyelenggaraan penanggulangan bencana sebesar
Rp16 Triliun; (2) Total nilai alokasi anggaran untuk penanggulangan bencana tahun
2016 naik dibandingkan alokasi anggaran tahun 2015 sebesar Rp15 Triliun.
Dengan penerapan desentralisasi dan otonomi daerah, penanggulangan bencana
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Pemerintah menetapkan penanggulangan
bencana sebagai urusan wajib dasar bagi pemerintah daerah melalui Permendagri No.
101/2018. Dengan keluarnya Permendagri ini, tanggung jawab penyusunan dokumen
KRB dan RPB, dua dokumen utama dalam pengelolaan risiko bencana, berada di tangan
pemerintah daerah. Dokumen KRB, RPB dan Perencanaan Kontingensi wajib dimiliki
oleh Pemerintah Daerah sebagai bentuk pelayanan minimal yang berhak diterima
masyarakat dalam bidang penanggulangan bencana. Pelaksanaan penyusunan
dokumen-dokumen ini dilaksanakan oleh BPBD dengan pembiayaan berasal dari APBD.
Pemerintah pusat melalui BNPB dan para mitra nasional dan daerah dapat mendukung
penyusunan dokumen-dokumen ini di daerah, baik melalui dukungan pendanaan
maupun penyediaan tenaga pendukung teknis.
Strategi pengurangan risiko bencana di daerah dituangkan dalam Rencana
Penanggulangan Bencana Daerah. Dalam hal penyusunan dokumen tersebut, tantangan
yang dihadapi antara lain adalah ketidakselarasan antara waktu penyusunan dokumen
dengan waktu proses musyawarah perencanaan pembangunan/Musrenbang daerah
untuk menyusun RPJMD. Dokumen pendukung utama seperti pengkajian risiko
bencana seringkali baru ada setelah RPJMD tersusun, sehingga penyusunan RPBD
menjadi terlambat dan program-program serta kegiatan yang diusulkan dalam RPBD
tidak dapat diintegrasikan ke dalam RPJMD. Selain itu, sampai saat ini baru sedikit
kabupaten/kota yang menyusun indeks risiko bencana dengan menggunakan data lokal
dengan skala yang tepat untuk tingkat kabupaten/kota, dan sebagian besar
kabupaten/kota masih harus merujuk pada indeks risiko bencana tingkat provinsi.
Walaupun ada beberapa kemajuan dalam pengembangan strategi PRB di daerah,
masih ada tantangan untuk mengatur waktu penyusunan dokumen/data pendukung
(pengkajian risiko bencana, indeks risiko bencana, indeks ketangguhan daerah, dll.) yang
dibutuhkan untuk menyusun RPBD agar selesai semua sebelum penyusunan RPJMD
supaya komponen pengurangan risiko yang diusulkan dapat diintegrasikan ke dalam
RPJMD untuk membuat pembangunan daerah menjadi tangguh bencana. BPBD dan
pemangku kepentingan PRB di daerah perlu berperan lebih aktif dalam perumusan
substansi RPJMD agar RPBD menjadi salah satu dokumen utama yang menjadi acuan
bagi RPJMD. Perlu dipastikan juga agar pemangku kepentingan PRB di daerah turut
mengawal agar RPBD juga terakomodasi dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang
disusun setiap tahun.
32 BNPB (2017). Laporan Pemantauan dan Evaluasi Program Penanggulangan Bencana Nasional Tahun 2016. Ke-30 K/L itu antara lain: Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan; Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Kelautan; Kementerian Dalam Negeri; Kementerian Luar Negeri; Kementerian Pertahanan; Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia; Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM); Kementerian Perindustrian; Kementerian Perdagangan; Kementerian Pertanian; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
Kementerian Perhubungan; Kementerian Kelautan dan Perikanan; Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Kementerian Kesehatan; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; Kementerian
Sosial; Kementerian Agama; Kementerian Komunikasi dan Informatika; Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi; Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi; Kementerian Agraria dan Tata Ruang
/ Badan Pertanahan Nasional (BPN); Badan Informasi Geospasial (BIG); Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); Badan SAR Nasional (BASARNAS); Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG); Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT); Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN); Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN); dan BNPB.
31
Ke depan ada peluang besar untuk meningkatkan kapasitas dalam penyusunan
strategi pengurangan risiko bencana di daerah, terutama dengan adanya Standar
Pelayanan Minimum dalam Penanggulangan Bencana seperti diamanatkan dalam
Permendagri No. 101 tahun 2018. Regulasi ini mengatur agar daerah menyusun
dokumen pengkajian risiko bencana dan rencana penanggulangan bencana daerah,
termasuk mewajibkan penganggaran untuk itu. Ini tentunya perlu didukung juga dengan
koordinasi dan kerja sama yang lebih baik dengan organisasi-organisasi pemerintah
daerah lainnya, agar program-program pengurangan risiko bencana dapat dimasukkan
ke dalam perencanaan pembangunan daerah dan program-program tahunan semua
organisasi pemerintah daerah.
32
Halaman sekat 7
33
BAB VII
PENCAPAIAN TARGET F
Pencapaian Target F: Meningkatkan Kerja Sama Internasional dalam
Mengimplementasikan SFDRR
Target F SFDRR adalah secara substansial meningkatkan kerja sama
internasional dengan negara-negara berkembang melalui dukungan yang
memadai dan berkelanjutan untuk melengkapi aksi nasional mereka dalam
mengimplementasikan kerangka ini pada tahun 2030. Implementasi kerja sama di
bidang penanggulangan bencana dan diplomasi kemanusiaan Indonesia dilaksanakan
melalui pendekatan bilateral, regional maupun multilateral.
Berdasarkan data dari Kemen PPN/Bappenas, BNPB dan Kemenlu, nilai dana
hibah/hutang dari kerja sama bilateral di bidang penanggulangan bencana pada tahun
2019 dan 2020 adalah USD 966,4 juta + JPY 19.396 juta + EUR 75 juta. Sementara itu
nilai dana hibah/hutang dari kerja sama multilateral di bidang penanggulangan bencana
pada tahun 2019 dan 2020 adalah USD 1344,9 juta. Lembaga-lembaga multilateral
tersebut antara lain World Bank, Asian Development Bank (ADB), UNDRR, UNDP, United
Nations World Food Programme (WFP), WHO.
Pemerintah Indonesia menyampaikan bantuan untuk penanggulangan bencana
kepada negara-negara sahabat yang mengalami kejadian bencana dan kemanusiaan.
Daftar bantuan Pemerintah Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 14: Bantuan Pemerintah Indonesia kepada Negara-Negara Sahabat yang Mengalami
Bencana
Waktu Tujuan Bentuk Bantuan
24 Penanganan bencana alam di • USD 400.000 untuk Kamboja.
Oktober negara-negara ASEAN antara • USD 400.000 untuk Laos.
2011 lain: Kamboja, Laos,
• USD 400.000 untuk Myanmar.
Myanmar, Filipina, Vietnam, • USD 400.000 untuk Filipina.
dan Thailand • USD 500.000 untuk Vietnam.
• USD 1.000.000 untuk Thailand
2018 Pengungsi warga Rakhine di Rp.1.296.894.200,- untuk pengungsi warga Rakhine
Cox Bazar (Bangladesh) baik yang berada di Cox Bazar (Bangladesh) maupun
maupun yang masih di yang masih di Myanmar.
Myanmar. Di Myanmar
terjadi konflik sosial dengan
dampak terusirnya jutaan
warga etnis Rohingnya yang
mengungsi ke Bangladesh
yang terutama kemudian
tinggal terkonsentrasi di Cox
Bazar.
Februari Penanganan karhutla Jumlah personil sebanyak 38 orang yang terdiri atas 26
2020 (bushfires) di New South orang Satuan Setingkat Peleton Zeni TNI Angkatan
Wales, Australia Darat, 6 orang Marinir, 4 orang dari Fasilitas Konstruksi
TNI Angkatan Udara, dan 2 orang dari Pusat Kesehatan
TNI. Tim bantuan dari TNI tersebut diterjunkan di
wilayah Blue Mountain, New South Wales, untuk
membantu penanganan dan pembersihan lahan yang
terbakar akibat bencana kebakaran lahan tersebut.
34
Waktu Tujuan Bentuk Bantuan
26 Penanganan pandemi Covid- Bantuan kemanusiaan di warehouse Myanmar Red Cross
19 di Myanmar Society (MRCS) pada 26 September 2021. Paket-paket
September bantuan Indonesia terdiri dari masker KN95, alat
2021 pelindung diri (APD), dan sarung tangan medis senilai
USD 200.000. Kontribusi Indonesia yang termasuk
dalam skema ASEAN Humanitarian Assistance. MRCS
memastikan bahwa semua bantuan akan diserahkan
langsung kepada rumah sakit dan komunitas-komunitas
yang membutuhkan di seluruh Myanmar.
Indonesia melaksanakan kerja sama dengan banyak pemerintah dan lembaga
donor antara lain Agence Française de Développement (AFD), Japan International
Cooperation Agency (JICA), Pemerintah Jerman melalui Bank KfW, Pemerintah Amerika
Serikat melalui United States Agency for International Development (USAID), Pemerintah
Australia melalui Program SIAP SIAGA dengan Department of Foreign Affairs and
Trade (DFAT), Pemerintah Perancis melalui Bank Natixis, Pemerintah Republik Rakyat
Cina melalui Ministry of Science and Technology, Pemerintah Singapura melalui program
Disaster Risk Management lewat Singapore Civil Defence Force, Pemerintah Fiji,
Pemerintah Selandia Baru melalui Ministry of Foreign Affairs and Trade (MFAT), dan
Caritas Germany.
Kerja sama bilateral antara BMKG dengan beberapa pemerintah asing dan
lembaga-lembaga di bidang meteorologi, klimatologi dan geofisika antara lain: (1)
Development Of Maritime Meteorological Information System (MMS). Kerja sama untuk: (a)
Pengadaan perangkat sistem observasi meteorologi; (b) Pengadaan sistem analisis,
pengolahan, dan diseminasi informasi cuaca dan iklim; (2) Scaling-Up BMKG Climate And
Weather Service Capacity (SUS). Kerja sama untuk: (a) Pengadaan perangkat sistem
observasi meteorologi; (b) Pengadaan sistem analisis, pengolahan, dan diseminasi
informasi cuaca dan iklim; (3) Kerja sama BMKG dengan Scripps Institution of
Oceanography of the University of California San Diego, United States of America. National
Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), Korea Meteorological Administration
(KMA), China Meteorological Administration (CMA), Japan Meteorological Agency (JMA),
dan Bureau of Meteorology (BoM) Australia.
Kerja sama BMKG dengan organisasi terkait meteorologi, klimatologi, dan
geofisika dan/atau penyedia bantuan peningkatan kapasitas baik di dalam maupun luar
negeri, diantaranya dengan: (1) World Meteorological Organization (WMO); (2) Global
Framework for Climate Services (GFCS; (3) International Consortium on Landslides; (4)
Intergovernmental Coordination Group for the Indian Ocean Tsunami Warning and
Mitigation System (ICG/IOTWMS) UNESCO, yang merupakan organisasi yang
mengkoordinasikan pelaksanaan kerja sama di bidang mitigasi dan peringatan dini
tsunami di wilayah Samudera Hindia, dimana BMKG berperan sebagai salah satu
Tsunami Service Provider di wilayah Samudera Hindia bersama dengan Australia dan
India; (5) APEC Climate Center (APCC); (6) ASEAN Sub Committe on Meteorology,
Climatology, and Geophysics (SCMG), dalam kerja sama ini, BMKG berperan sebagai
Pusat Informasi Gempa ASEAN atau ASEAN Earthquake Information Center (AEIC) yang
melayani informasi kegempaan kepada negara-negara di wilayah ASEAN serta menjadi
pusat data dan informasi iklim di wilayah Asia Tenggara/South East Asia Climate
Assessment and Dataset (SACAD); (7) Southeast Asia Regional Climate Downscaling
(SEACLID); (8) The Comprehensive Nuclear-Test Ban Treaty (CTBTO); (9) Japan
International Cooperation Agency (JICA); (j) Deutsche Gesellschaft für Internationale
35
Zusammenarbeit (GIZ GmbH); (10) International Aeronomy Geomagnetism Association
(IAGA); (11) International Atomic Time (TAI) dan International Earth Rotation and
Reference System (IERS); (12) Korea International Cooperation Agency (KOICA).
Pada tahun 2018, BMKG melakukan Training of Trainers On Tsunami Emergency
Maps, Plans And Procedures yang bertujuan untuk melatih negara-negara di Samudera
Hindia untuk mempersiapkan informasi inundasi tsunami menggunakan sebagai
persiapan informasi layanan level 3 untuk peringatan tsunami di Samudera Hindia serta
pembuatan peta inundasi tsunami di negara-negara sekitar Samudera Hindia.
ASEAN menderita kerusakan rata-rata lebih dari USD 4.4 miliar setiap tahun
sebagai akibat dari bencana alam. Indonesia bekerja sama dengan ASEAN dalam bidang
penanggulangan bencana melalui ASEAN Committee on Disaster Management (ACDM)
yang dibentuk tahun 2003, ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency
Response (AADMER) yang dibentuk tahun 2005, ASEAN Coordinating Center for
Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Center) yang dibentuk pada
2011, serta ASEAN Declaration on One ASEAN One Response yang ditandatangani oleh
seluruh Kepala Negara ASEAN pada bulan September 2016. Sekretariat AHA Centre
berada di Indonesia.
Beberapa negara ASEAN termasuk Indonesia telah mengembangkan strategi
pembiayaan bencana yang mulai dikembangkan melalui inisiatif ASEAN+3 yang pada
akhir tahun 2018 menyepakati pembentukan Southeast Asia Disaster Risk Insurance
Facility (SEADRIF). Pembiayaan risiko bencana diangkat sebagai salah satu isu utama
kerja sama ASEAN dalam pertemuan ASEAN Finance Ministers and Central Bank
Governors (AFMGM) 2019 di Chiang Rai, Thailand. Pertemuan ini membahas tantangan
kerja sama keuangan negara-negara ASEAN dalam mencapai visi ASEAN Economic
Community (AEC) pada tahun 2025 mendatang.33 Salah satu hasil pertemuan itu adalah
para menteri keuangan ASEAN menyepakati ASEAN Disaster Risk Finance and Insurance
fase 2. Kesepakatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kawasan dalam
melakukan pendanaan risiko bencana.
ASEAN menyadari pentingnya membangun kekuatan kolektif negara-negara
anggota ASEAN di bidang pemulihan pascabencana. Untuk itu, ASEAN berkumpul dua
kali setahun dalam kerangka Pertemuan ASEAN Committee on Disaster Management
(ACDM) dan pertemuan pendukung lainnya guna menciptakan kawasan yang tangguh
terhadap bencana. Indonesia bersama dengan Myanmar ditunjuk sebagai Co-Chair
ACDM on Recovery Working Group. Agenda penanggulangan bencana di ASEAN antara
lain: (1) Pertemuan ke-7 ACDM di Vientiane, Laos PDR, pada tanggal 3 April 2017, dan
dilanjutkan dengan pertemuan ke 30 ACDM tanggal 4-6 April 2017, yang membahas
tentang Social Protection Guidelines bersama Asian Development Bank (ADB); ASEAN
Disaster Recovery Reference Guide (ADRRG); Cross Learning and Exchange
Programme;Indonesia Sister City Programme for Resilient Recovery; (2) ASEAN Recovery
Forum tanggal 26–27 Juli 2017 di Manila, Filipina membahas inisiatif pemulihan
bencana pada level daerah, nasional, dan regional, serta keterlibatan sektor swasta pada
saat dan setelah bencana dan peningkatan kapasitas dan keahlian ASEAN dalam
pemulihan bencana; dan (3) Senior Disaster Management Officials Forum (SDMOF) APEC
ke - 11 di Vinh City, Vietnam tanggal 20-22 September 2017, membahas tentang
peningkatan penerapan teknologi dan ilmu pengetahuan guna menfasilitasi dan
koordinasi untuk pengambilan keputusan dalam pengurangan risiko bencana.
33 CNBC Indonesia (2019). Ini Hasil Pertemuan Menkeu dan Gubernur Bank Sentral se-ASEAN. https://www.cnbcindonesia.com/market/20190409095716-17-65367/ini-hasil-pertemuan-menkeu-dan-
gubernur-bank-sentral-se-asean, diakses pada 23 November 2020.
36
Indonesia menjadi tuan rumah acara Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018,
the 2018 Annual Meetings of International Monetary Fund and World Bank Group di Nusa
Dua, Bali, tanggal 8-14 Oktober 2018, yang antara lain membahas Strategi Penanganan
Bencana (Skema Disaster Risk Financing and Insurance/DRFI), dan Penanganan
Perubahan Iklim. Indonesia meluncurkan strategi pembiayaan dan asuransi bencana
untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang tangguh bencana dan terjamin
keberlangsungan pembangunannya. Prioritas DRFI Indonesia meliputi perlindungan
terhadap aset negara, rumah tangga dan masyarakat, pemulihan kehidupan sosial dan
usaha masyarakat, kolaborasi peran pemerintah pusat, daerah dan swasta, serta
pemberdayaan industri asuransi dalam negeri. Skema DRFI juga menjadi prakarsa nyata
Indonesia sebagai hasil dari Pertemuan Tahunan IMF-WB 2018 dan juga termasuk
dalam Bali Initiative.
Perkembangan, Tantangan dan Peluang
Sebagai salah satu negara paling rawan terhadap bencana, Indonesia
memiliki kepentingan dalam memajukan isu pengelolaan dan pengurangan
risiko bencana, baik di tingkat global maupun nasional. Selain itu dengan
mempertimbangkan pengalaman Indonesia dalam menghadapi bencana berskala besar,
masyarakat internasional juga berharap agar Indonesia dapat terus berkontribusi
terhadap upaya memajukan pengelolaan dan pengurangan risiko bencana di tingkat
global. Indonesia memberikan perhatian penting dan terlibat aktif dalam berbagai kerja
sama, baik regional maupun internasional, di bidang penanggulangan dan pengurangan
risiko bencana.
Dalam hal ini, kepemimpinan Indonesia tercermin melalui sejumlah capaian
penting Indonesia di bidang penanganan bencana, antara lain:34 (1) Penganugerahan
Global Champion on Disaster Risk Reduction atas kontribusi pemerintah dalam
mengadvokasi dan memajukan tujuan dan prioritas HFA, serta mengintegrasikan HFA
ke dalam rencana nasional penanggulangan bencana; (2) Keberhasilan Indonesia
sebagai tuan rumah pelaksanaan AMCDRR ke-5 di Yogyakarta yang menghasilkan
Deklarasi Yogyakarta di mana negara-negara berkomitmen untuk meningkatkan
penguatan ketangguhan (resilience) pada tingkat lokal untuk mengurangi risiko bencana;
dan (3) Peran aktif Indonesia menjadi bridge builder di dalam menjembatani perbedaan
mendasar antara negara-negara maju dan negara berkembang dalam negosiasi
dokumen SFDRR pada pertemuan WCDRR ke-3 di Sendai, Jepang pada bulan Maret
2015.
Keberhasilan Indonesia dalam pertemuan WCDRR ke-3 tersebut antara lain: (1)
Diterimanya konsep "disaster-prone countries with specific characteristic, such as
archipelagic countries, as well as countries with extensive coastlines"; (2) Pentingnya
peningkatan kapasitas lokal dalam penanggulangan bencana, termasuk implementasi
dan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana pada tingkat lokal; dan (3)
Pengakuan terhadap pentingnya pengembangan traditional knowledge dan local wisdom
dalam kegiatan penanggulangan bencana.
Dalam kapasitas sebagai salah satu co-chair Group of Friends for Disaster Risk
Reduction (GoF DRR), sejak tahun 2012 Indonesia aktif dalam memajukan isu
pengurangan risiko bencana di tingkat global, terutama dalam kerangka PBB. Beberapa
34 Kemenlu (2019). Isu-Isu Kemanusiaan. https://kemlu.go.id/portal/id/read/88/halaman_list_lainnya/isu-isu-kemanusiaan, diakses pada 27 November 2021.
37
capaian utama GoF DRR diantaranya: (1) Narasi yang kuat bagi integrasi pengurangan
risiko bencana dalam kerangka Rio+20; (2) Pengarusutamaan pengurangan risiko
bencana dalam kerangka Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan; (3)
Integrasi dan koherensi pengurangan risiko bencana dalam berbagai kerangka
pembangunan paska 2015 seperti Paris Climate Agreement, Addis Ababa Action Agenda
dan The New Urban Agenda.
Beberapa hal yang dikedepankan Indonesia secara konsisten terkait isu
pengurangan risiko bencana antara lain: (1) Pentingnya untuk menginklusi agenda
pengurangan risiko bencana ke dalam agenda pembanguna berkelanjutan, (2)
Mendorong peningkatan kerja sama di tingkat regional dan global dalam rangka
memperkuat kapasitas pengurangan risiko dan penanggulangan bencana negara-
negara, dan (3) Mendorong penguatan koordinasi dalam implementasi agenda
pengurangan risiko dan penanggulangan bencana baik di tingkat nasional maupun lokal
dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait.
Tantangan dan risiko bencana tersebutlah yang telah membentuk kebijakan
Indonesia di bidang kebencanaan yang inklusif, berperspektif pembangunan, dan
ditempatkan sebagai investasi. Sebagai salah satu negara unggul dan berpengalaman
dalam isu pengelolaan penanggulanan bencana di Kawasan Asia Pasifik, kepemimpinan
Indonesia dalam menghadapi perluasan lanskap risiko bencana dilakukan melalui
strategi penguatan komitmen politik, pengurangan risiko bencana berbasis komunitas,
peningkatan literasi kebencanaan dan implementasi kebijakan yang adaptif dalam
situasi pandemi Covid-19.35
Di bidang diplomasi kemanusiaan di tingkat global, Indonesia terus berkontribusi
terhadap beberapa entitas kemanusiaan dalam sistem PBB, diantaranya Central
Eemergency Response Fund (CERF) yang dikelola UNOCHA dan UN Relief and Works
Agency for Palestine Refugees. Indonesia secara konsisten menyampaikan kontribusi
sukarela tahunan kepada CERF yang jumlahnya terus ditingkatkan hingga USD 220.000
mulai tahun 2017. Total Kontribusi Indonesia pada CERF mencapai lebih dari USD 1
juta, dan menjadikan Indonesia sebagai negara kontributor CERF terbesar di Asia
Tenggara. Pengakuan komunitas internasional terhadap kepemimpinan Indonesia
dalam diplomasi kemanusiaan juga ditunjukkan dengan ditunjuknya perwakilan
Indonesia sebagai salah satu anggota Advisory Board for CERF tahun 2019 – 2020, yaitu
Rahmawati Husein.36
Pengalaman Indonesia menangani bencana-bencana besar tahun lalu, khususnya
bencana Palu dan Donggala, banyak dijadikan pembelajaran dan model dalam
pengelolaan bencana. Indonesia telah mengambil banyak pembelajaran dari bencana-
bencana yang terjadi sebelumnya. Selain itu penting untuk meningkatkan kapasitas
aktor kemanusiaan yang terlibat dan pemahaman atas keperluan bantuan kemanusiaan
yang berkelanjutan (sustainable) serta penguatan kerja sama, baik antarinstansi di
dalam negeri maupun antara instansi lokal dengan mitra internasionalnya.37
35 Kemenlu (2019). Kontribusi Indonesia dalam Kerja Sama Global Pengurangan Risiko Bencana Diakui Dunia. https://kemlu.go.id/portal/i/read/265/berita/kontribusi-indonesia-dalam-kerja-sama-global-
pengurangan-risiko-bencana-diakui-dunia, diakses pada 27 November 2021.
36 Kemenlu (2019). Isu-Isu Kemanusiaan. https://kemlu.go.id/portal/id/read/88/halaman_list_lainnya/isu-isu-kemanusiaan, diakses pada 27 November 2021. Catatan: Rahmawati Husein adalah anggota Unsur
Pengarah BNPB, juga menjabat sebagai Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Wakil Ketua Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan
Bencana (LLHPB) Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, dan dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) serta sangat aktif di bidang kemanusiaan dan penanggulangan
bencana.
37 Kemenlu (2019). Model Penanganan Bencana Indonesia Menjadi Best Practice dalam Humanitarian Networks and Partnerships Week 2019. https://mission-
indonesia.org/2019/02/08/model-penanganan-bencana-indonesia-menjadi-best-practice-dalam-humanitarian-networks-and-partnerships-week-2019/, diakses pada 27 November
2021.
38