KUMPULAN KARYA
SUARA KAMI,
SANTRI
LIBRARY & TEAM
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Library Section period 2020-2021 proudly presents
Suara Kami,
SANTRI
LIBRARY & TEAM
SUARA KAMI,
SANTRI
Kumpulan Karya
Penulis: Library & Team
Penyusun: Bagian Perpustakaan Organisasi Santri
Darunnajah
Penerbit: Bagian Perpustakaan Organisasi Santri
Darunnajah
Redaksi:
Jakarta, Indonesia
Pemasaran:
Jakarta, Indonesia
Hak cipta dilindungi undang-undang
Cetakan pertama, Desember 2020
contents
01
KATA
PENGANTAR
02
UCAPAN
DALAM DOA
03
LINGKARAN
ASRAMA
contents
04
HARI LIBUR
SANTRI
05
INDAHNYA
MENJADI
SANTRI
06
WAKE UP
contents
07
MEDAN
FANTASI
08
INDRA
KEENAM
BONUS
-PUISI-
01
KATA
PENGANTAR
01
Alhamdulillah, puji serta syukur selalu saya
panjatkan kepada Allah SWT, yang telah
memberikan seluruh nikmat dalam kehidupan
tanpa pilih kasih, yang telah memberikan
kemudahan dan kelancaran bagi kami untuk
membukukan sebuah karya Santri Bersuara dari
tangan-tangan santri.
Shalawat bermahkotakan salam tak lupa kita
haturkan kepada kekasih Allah, atas Kasih-Nya
pula diutuslah Nabi dan Rasul akhir zaman,
Muhammad ﷺ. Nabi yang menjadi suri tauladan
umatnya hingga akhir zaman, senantiasa kita
dipertemukan dan dikumpulkan kepada beliau di
akhirat kelak.
Mulai berkarya sejak dini serta menanamkan
rasa cinta pada budaya pendidikan.
Karena salah satu budaya pendidikan adalah
membaca dan menulis. Membaca bertujuan
menanamkan pemahaman. Sedangkan menulis,
adalah ruang berkreasi dan menuangkan
pengetahuan yang di dapat. Dengan niat awal
mengembangkan keterampilan menulis santri,
02
timbullah keinginan untuk mengabadikan karya-
karya mereka dalam satu bundel buku yang akan
menjadi saksi lahirnya penulis-penulis muda
yang siap bersaing dengan penulis-penulis yang
kadung ternama.
Dengan penuh rasa syukur atas setiap keindahan
yang tercipta, kami mengucapkan terima kasih
kepada para santri, teman-teman kita, yang telah
menciptakan karyanya.
Semoga buku ini bisa menjadi motivasi dan
inspirasi bagi teman-teman yang juga memiliki
bakat menulis namun belum berani
menerbitkannya menjadi sebuah karya yang
dapat dibaca oleh khalayak serta bermanfaat bagi
siapa pun yang membaca buku ini.
Akhir kalam, mohon maaf bila terdapat banyak
kekurangan. Semua dikarenakan keterbatasan
yang ada pada diri penyusun sendiri.
Rona Jogi Sian Madina Lubis
Ketua Bagian Perpustakaan OSDN
03
02
UCAPAN
DALAM
DOA
02
“Ane mau pulang deh...”
“Iya, ane juga... tapi kalau keluar bentar sekedar
jajan juga gak papa, deh.”
“Kalau ane mau nonton film yang terbaru itu
loh...”
“Ooh, ane mah cuma butuh refreshing aja...”
Semua perkataan kita keluarkan dengan sekejap
sambil melihat ke atap masjid. Kami hanya butuh
refreshing, hanya karena pusing dengan tugas
yang diberikan terlalu banyak.
Entah mengapa, aku tak butuh semua itu. Aku
tak peduli seberapa banyak tugas, karena aku
terlalu mencintai pondok pesantren yang kuinjak
ini.
“Gimana kalau kita kabur aja?” tanya Isma.
"Hah? Kabur? Yakin ente?" Asha tak percaya.
"Atau gak, kita minta abang-abang dapur buat
beli thai tea depan aja!"
"Hahaha.." tawa kami meledak saat itu. Aku tak
habis pikir, mereke malah sibuk memikirkan
bagaimana caranya untuk keluar dari pesantren
ini.
05
Teng! Teng! Teng! Bel bertanda shalat ashar
dibunyikan.
Aku, Isma, Asha, dan Raya dengan sigap langsung
memakai mukena untuk bersiap
datang ke masjid. Seperti biasa, kami menunggu
para santriwati lain untuk segera datang.
“Kalian udah nyiapin buat perkemahan nanti?”
tanya Raya.
“Hmm, belum sih. Lagian ane juga belum pernah
ngerasain kemah,” jawabku santai.
“Serius?!”
“Emang kenapa? Dulu di SD ane gak ada
perkemahan sama sekali, jadi, ane belum
pernah ngerasain uji nyali. Hehe...”
"Kasian..."
"Oh iya, ulang tahun Sekar kan pas banget sama
tanggal perkemahan kita nanti!" teriak Isma tiba-
tiba.
"Syuuut!" tergurku.
"Hehe... maap..."
"Tapi bener kan?" tanya Isma memastikan.
"Iyaa..."
06
Sesampainya di kamar, Asha memintaku untuk
membantunya mengerjakan tugas
yang diberikan ustadzah pagi tadi. Sebuah stabilo
abu-abu miliknya membuat tanganku
merebutnya. Entah mengapa, aku menyukai
stabilo itu.
“Ente mau itu Kar?” tanya Asha tiba-tiba.
“Eh, uh, ehmm, maaf yaa,” jawabku merasa
bersalah.
“Nggak papa kok. Ente mau ane beliin?”
“Eh, gak usah. Lagian ane juga masih punya
stabilo, kok.”
"Gak papa lah, sekalian buat kado ulang tahun
nanti. Ya kan?" tanya Sekar lagi.
"Hmm, yaudah deh, terserah ente aja."
Setelah kejadian itu, aku menjadi merasa
bersalah sekaligus tak enak pada Asha. Dia
merupakan teman terbaikku sekarang. Entah
kenapa, dia semakin dekat denganku dan sering
membelikanku makanan. Bisa dibilang, dia anak
dari orang kaya. Tapi, kurasa dia selalu bersikap
yang tak biasa padaku.
"Eh, udah bel tuh, sana ke masjid!" perintahku.
07
"Emang ente gak shalat?”
“Ane lagi dateng bulan, maaf ya.”
“Oh, yaudah, ane siap-siap dulu ya.”
Selagi mereka shalat, aku bersama Raya (yang
memang sedang datang bulan), kami
mengobrol di ranjang kasur. Ranjang kami
berdekatan, dan letaknya di atas paling pojok
ruangan. Sambil bercanda tawa, tiba-tiba mataku
melirik ke sebuah buku catatan milik Isma.
Raya yang melihat itu pun mulai kebingungan.
Tanganku tak bisa diajak bekerja sama,
akhirnya aku memutuskan untuk mengambilnya.
"Ente ngapain Kar?" tanya Raya mulai
kebingungan.
"Eh, ehmm, emang ente gak penasaran?"
"Iya juga sih. Yaudah, coba buka," pintanya.
Tanpa diperintahkan pun tangan ini sudah
beranjak untuk membuka. Halaman pertama diisi
dengan coretan matematikanya yang hancur itu.
Lalu dilanjutkan beberapa lembar yang kosong,
dan diakhir buku ada beberapa kata-kata Korea
yang sudah dihafal olehnya, dan yang paling
mengejutkan adalah ada selembar kertas yang
dilipat. Setelah kubuka isinya adalah:
08
BUAT APAAN SIH PUNYA TEMEN SEKAMAR
KAYAK GINI, PENGKHIANAT, MAH! ISMA
MAU PULANG AJA!
Begitulah isi hati Isma? Hati Isma hanya bisa
bicara di dalam dan terluka? Ada apa
dengan kita? Anak kamar Isma?
“Apa maksudnya Kar? Maksud dia kita adalah
pengkhianat?” tanya Raya
kebingungan.
“Ane juga gak ngerti Ray, afwan...”
“Eh, ayo cepetan! Keburu dia dateng!” perintah
Asha.
“Iya, iya sabar, ini kan lagi dilipet!”
Rencananya, aku, Asha, dan Raya menjawab
semua perkataan Isma di bukunya langsung.
Kami merasa tidak pernah membuat kesalahan
yang berakhir menyakiti hati Isma.
Maka dari itu, terjadilah peperangan kecil di
kamar dan akhirnya terjadilah membuat kubu
sendiri. Isma sekarang sudah tidak bersama kami
lagi. Dia memutuskan untuk berteman dengan
Agni, yang kamarnya terletak di lantai 2.
09
Sesampainya Isma di kamar, kami langsung
menyibukkan diri masing-masing. Agni yang
terkenal ‘lebay’ itu, dibawanya masuk ke kamar
juga. Aku dan Asha benar-benar membenci Agni
hanya karena tata jalannya yang memang
berbeda dari kami. Terkadang, kami mengolok-
ngolok Agni untuk keluar dari kamar. Bagaimana
tidak? Dia selalu menceritakan pengalamannya
bertemu kakak kelas yang menurutku... ceritanya
sangat tak berguna bagi kami.
"Kak Rahma, ane izin masuk ya..." izin Agni pada
ketua kamarku.
"Jangan kak! Ribut dia mah di sini! Usir aja kak!"
canda Asha. Tapi bagiku, dia benar-benar
melakukannya dengan serius.
"Ish, apaan sih, Sha! Boleh, kan kak?" tanya Agni
memastikan.
"Iya, boleh..."
"Emang buat apaan sih ke sini? Palingan mau
ngomongin kakak kelas doang, kan?"
"Sirik banget sih, ente!" teriaknya.
Kami, aku dan Asha, termasuk orang yang suka
menyindir orang. Entah kenapa, Agni selalu
membuat kami sebal. Sehingga, sering terjadi
10
pertempuran mulut antara kami bertiga yang
diakhiri oleh nasehatnya Raya.
“Udah, udah...” tegur Raya.
“Bilangin tuh, ke Agni! Jangan mentang-mentang
anak ustadzah, jadinya bebas buat deketin semua
kakel!” kesalku. Ku beritahu sekali lagi. Agni
sangatlah cari perhatian kepada semua kakak
kelas di pondok kami. Aku benci sifatnya itu!
Tanpa pemberitahuan pun, aku dan Asha sudah
serentak pergi keluar kamar, entah kemana.
Rasis bagiku, jika memang kami sudah
mendekati kakak kelas 2. Itu semua karena
setiap kami mengantre di kantin, selalu didorong
hingga jatuh. Sampai suatu hari, aku terjatuh
karena dorongan kakak kelas di bawah masjid
sampai kakiku tak bisa berjalan selama 2 hari.
Saat itulah sifat kerasisanku muncul.
Teng! Teng! Teng! Bel masuk sekolah
dibunyikan.
Pelajaran pertama di kelas kami, yaitu tajwid.
Ustadzah Safitri, yang biasa dikenal dengan
Ustadzah Fitri, kali ini tidak mengajar seperti
biasa. Melainkan, ia memberitahu kami tentang
11
virus mematikan yang sudah datang di China
minggu ini. Beliau bilang, virus ini muncul
karena adanya orang yang memakan makanan
yang haram dan mengandung bahan yang tidak
diperbolehkan untuk tubuh. Bahkan, makanan
itu juga mengandung cacing yang aku tak tahu
tepatnya.
Beberapa anak di kelasku sudah tertidur pulas,
sedangkan ada beberapa yang penasaran dengan
asal-usulnya virus ini, termasuk aku. Ustadzah
Fitri memberikan video yang berisi tentang virus
mematikan ini, dan setelah kutonton, namanya
adalah virus corona.
Aku bingung, kenapa virus ini bisa begitu
mematikan.
Dan setelah beliau memutarkan video tersebut,
munculah video yang menjelaskan
tentang apa yang menyebabkan kita terjangkit
virus corona. Setelah melihat videonya langsung,
aku mulai bergidik ngeri. Mereka memakan anak
kelelawar secara mentah-mentah dengan kuah
yang aku tak kenal apa namanya. Dan lebih
parah lagi, setelah mereka terjangkit virus
mematikan ini, mereka juga bisa meninggal
12
dengan sekejap. Dengan langsung terjatuh di
lantai rumah sakit. Aku yang melihat semua
video yang ditayangkan Ustadzah langsung mual,
dan pergi ke kamar mandi karena takut muntah.
“Ente kenapa Kar?” tanya Asha yang baru
bangun dari tidur pulasnya.
“Hah? Oh, nggak papa,” jawabku bohong.
Kesimpulan dari video yang diberikan Ustadzah
Fitri, yang kupikir hanyalah virus
corona itu tidak akan datang ke Indonesia. Dan
aku masih belum mengerti bagaimana
munculnya virus ini.
“Eh, habis ini kita jam kos tau!” teriak Aya,
ketua kelas kami.
"Yeeeyy!" sorak satu kelas.
Sepulang sekolah, kami bersiap-siap untuk
shalat ashar. Tapi bagiku dan Raya, ini
merupakan jam istirahat kami karena masih
haid. Karena rencana kami belum tuntas, setelah
semuanya pergi ke masjid, aku dan Raya kembali
membuka buku milik Isma.
Ternyata, Isma sudah menjawab kalimat yang
sudah Asha tulis di bukunya.
13
‘Kalian nyadar gak? Kalau kalian tuh gak
punya hati, gak punya perasaan. Buku diari milik
orang lain itu seharusnya jangan dibaca. Ane
punya masalah sendiri, masalah keluarga, yang
disimpen lewat tulisan dibuku diari ini.
Seharusnya kalian semua tau, kalau diari itu
privasi!’
Aku dan Raya saling berpandangan. Setahuku,
Isma adalah orang yang baik, sabar, dan tidak
makan omongan seperti ini.
Dia sendiri pernah membuka buku diari milik
Asha. Aku takut, Asha malah membuat ulah yang
tidak pernah diduga sebelumnya. Kebalikannya
dengan Isma, Asha termasuk orang-orang yang
berani melawan. Apapun keadaannya. Bahkan dia
pernah melabrak orang yang mencuri baju
favoritku. Dia juga orang yang baik, dan suka
memberikan jajanan kepada kami, kecuali Agni.
Sifat aku dan Asha juga lumayan mirip, karena
memiliki sifat yang egois dan mental yang kuat.
Itu menurutku.
“Hah?! Dia nulis itu?!” tanya Asha tak percaya
setelah kuberi tahu yang sebenarnya.
“Sabar dulu Sha, banyakin istigfar.”
14
“Halah, emang dia gak ngaca? Dia sendiri kan
pernah baca diari ane, kan? Sampe ketahuan Kak
Rahma?” teriaknya seolah mencibir.
“Aduh, Sha...”
“Temenin ane beli kaca sekarang juga!” perintah
Asha.
Aku pun mengikutinya dari belakang. Entah apa
yang ingin dibuatnya sekarang, sampai-sampai
membeli kaca yang harganya lebih mahal dari
kacaku.
“Buat apaan Sha?” tanyaku bingung karena dia
membeli kaca seharga 35.000 di koperasi.
“Buat orang yang nggak pernah ngaca seumur
hidup!” kesalnya.
“Ya allah Sha... mending ente beliin buat ane aja,
deh,” pintaku sambil cekikikan.
Esok harinya, pagi-pagi sebelum kami berangkat
ke masjid (kecuali aku dan Raya), aku ditugaskan
Asha untuk menaruh kaca cermin tersebut yang
sudah diberikan tulisan yang menurutku... dapat
melukai hati Isma. Asha menuliskan beberapa
kalimat memakai spidol hitam langsung di atas
cerminnya.
15
Selepas mereka shalat shubuh, aku bersiap-siap
menuju sekolah bersama Asha. Aku yakin, Isma
akan menyadarinya saat ini juga. Saat kami
berdua telah memasuki area sekolah.
Ada sedikit rasa iba dariku untuk Isma, tapi
tertahankan oleh kepatuhanku pada Asha.
“Assalamualaikum temen-temen! Hari ini, aku
mau ngasih tau, kalau Ustadzah untuk pelajaran
pertama, lagi cuti! Dan, yang lebih enak lagi,
nggak ada yang gantiin Ustadzahnya! Sekian, dan
terima kasih,” seru Aya mengikuti model
bicaranya Ria Ricis.
“Yeeey!” seperti biasa, untuk jam-jam seperti ini,
sekelasku pun teriak tak karuan.
Kembali berulah, anak kelas kami ada yang
menggelar konser, ada yang tertidur pulas, dan
ada juga yang mencoret-coret papan tulis.
Kulihat, Isma bersama Verin sedang mencari
kata-kata indah untuk dituliskan di papan tulis
kelas kami. Nyatanya, yang Isma tuliskan
bukanlah kata-kata indah, namun menyakitkan
bagiku dan Asha. Tapi menurutku, kami pantas
mendapatkan kata-kata itu.
‘Makasih yang udah ngasih kaca seharga 35.000
16
yang udah bikin ane ngaca...' begitu tulisannya.
Asha yang mulai terbawa emosi segera kutahan
amarahnya itu. Kebetulan, seisi kelas banyak
yang tidak memperhatikan tulisan Isma di papan
tulis. Kebetulan, sore ini aku akan mandi wajib
dan akan menunaikan shalat ashar berjamaah di
masjid. Karena kupikir, Asha selalu menyendiri
jika aku tak sedang shalat. Setidaknya, dia akan
bersama Agni dan Isma walaupun dengan kondisi
menahan amarah.
Kak Suci dan Kak Amel yang tahu akan
keadaan adik kelasnya yang sekamar, segera
mengusulkan untuk bermaafan nanti malam.
Sedangkan Kak Rahma, ia hanya tahu bahwa
kami hanya benci Agni, bukan Isma.
Malemnya...
Ternyata haidku belum berhenti sore ini yang
menyebabkan Asha tak bisa menahan amarah
sendiri di masjid. Ia bahkan menjambak mukena
Agni karena tak tahan dengan amarahnya itu.
Mungkin, semua ini juga faktor karena Asha juga
belum baligh hingga sekarang ini. Kak Rahma
yang jarang sekali kami dengar akhir-akhir ini.
17
Pada saat itulah terdengar pengumuman dari
speaker asrama.
“Diumumkan untuk para santriwati untuk
datang ke masjid karena ada pengumuman
penting dari pimpinan, syukron
wassalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh.”
Aku dan Raya dengan sigap langsung memakai
gamis, sedangkan Asha masih mengenakan
mukena dan bergabunglah kami untuk pergi ke
masjid.
“Assalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh,” salam pimpinan pondok kami.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi
wabarakatuh.”
“Mohon maaf sebelumnya, karena saya telah
menganggu aktivitas kalian. Tapi, perkara yang
ingin saya bicarakan ini, sangatlah penting.
Bahwa, untuk dua minggu ke depan, saya mohon,
sangat memohon, untuk santriwan dan santriwati
dipulangkan ke rumah masing-masing. Karena, di
Indonesia ini, pemerintah sudah menyuruh kami,
para pimpinan sekaligus pendiri, untuk menutup
sekolah-sekolah berasrama yang akan
18
menularkan virus mematikan, yaitu virus corona.
Yang sudah kita ketahui, bahwa virus ini
sangatlah membahayakan, dan sudah menyebar
di negara China, bla bla bla...” terang pimpinan
kepada seluruh santri.
Aku yang mendengarnya sangat kaget, karena
yang terpikirkan olehku adalah virus ini tak
akan menyebar, dan hanya ada di negara Chia
saja. Namun, kenyataan telah berubah. Aku tak
mengerti apa yang harus kulakukan sekarang,
apa yang akan terjadi, dan apa maksud dari
semua ini.
Dua minggu kemudian...
“Bosen banget di rumah...”
“Ish, pengen balik lagi deh ke pondok...”
“Kapan kita balik siih?”
Bermula dari ketidaknyamannya kami di
pondok, sampai berakhir ketidaknyamannya
kami di rumah. Memang, semua yang kami
ucapkan di pondok menjadi nyata. Namun,
beralih darinya, membuat kita tak nyaman
berada di rumah.
19
Allah telah mengabulkan doa kami, Allah
mendengar keluhan kami, Allah memberi
kemauan kami. Tapi, kami lah yang tak pandai
bersyukur, kami lah yang tak mengerti ucapan,
kami lah yang tak tahu bahwa Allah telah
mendengar semua ucapan kami. Ucapan yang
keluar dari mulut kami, semua ucapan dalam
pondok kami. Kami tak bersyukur telah
diberikan kebebasan selama beberapa bulan
untuk beristirahat di rumah, kami tak lagi
membicarakan balik ke rumah, namun, yang
kami bicarakan hanyalah kapan kami tinggal di
pondok yang kami cintai lagi? Ya Allah, maafkan
kami telah mengucapkan beberapa kalimat yang
telah engkau berikan semau kami, maafkan kami
telah asal bicara semau kami. Ya Allah,
berikanlah kami waktu lagi untuk tinggal di
pondok yang kami cintai, tempat keberkahan
ilmu kami, yang selalu membawa cita-cita selama
ini. Ya Allah, janganlah engkau terus menguji
kami dengan cobaan ini, janganlah engkau
membebani kami dengan semua virus ini, yang
telah mempengaruhi bumi yang engkau ciptakan.
20
Tak apa jika kami bertemu lagi dengan Agni,
tak apa jika kami balik ke pondok dan memakan
makanan yang seadanya, tak apa jika tak ada
waktu untuk mandi. Setidaknya, kami ingin
melihat kembali pondok yang kami cintai.
Janganlah engkau menjauhi kami dengannya.
Aku mencitainya, dia adalah tempat berilmu
terindah dalam hidup kami.
Maafkan aku jika telah menyakiti hati kalian
semua selama di sana, aku hanya manusia biasa,
yang sering melakukan kesalahan tanpa diiringi
kebaikan. Salamku pada semuanya... teman-
teman, ustadz dan ustadzah, para pengurus, dan
semua orang yang menjadikanku lebih baik.
Oh pondokku
Tempat naung kita
Dari kecil sehingga dewasa
Rasa bathin damai dan sentosa
Dilindungi Allah ta’ala
Oh pondokku
Engkau berjasa
Pada ibuku Indonesia
21
Tiap pagi dan petang
Kita beramai sembahyang
Mengabdi pada Allah ta’ala
Di dalam kalbu kita
Wahai pondok tempatku
Lakasana ibu kandungku
Nan kasih serta sayang padaku
Oh pondoku...
I...bu...ku...
~Hymne Oh pondokku.~
22
Bionarasi
Dinda Fayza Fariha, atau biasa dipanggil
Fayza ini, lahir di Jakarta tanggal 17 Maret
2007. Santriwati Pondok Pesantren
Darunnajah yang sedang menduduki kelas 2J.
Saat berumur 12 tahun, Fayza mengikuti
program penulisan di Surabaya dan
menghasilkan karya The Story of Zevanna
sebagai buku pertamanya. Hobinya yang suka
membaca dan juga menulis seketika hilang di
Pesantren dan kembali muncul saat liburan
tiba.
23
03
LINGKARAN
ASRAMA
03
Berpindah dari zona nyaman yang masih terasa
palsu rasanya tidak buruk. Menuju ke tempat
dimana hanya ada duniaku sendiri dan beberapa
figuran hidup yang tak perlu aku risaukan.
Merupakan salah satu harapan bagiku untuk
berada jauh dari siapapun yang aku rasa
membuatku muak untuk tetap hidup. Maka dari
itu, aku putuskan untuk melanjutkan pendidikan
di tempat yang tidak diketahui oleh siapapun
yang mengenaliku. Asrama.
Aku akui bahwa sebelumnya memang aku
bukanlah orang yang cerdas. Menguasai satu
bidang pelajaran hanyalah hal normal yang
dimiliki banyak orang. Tidak peduli betapa
pentingnya nilai yang kumiliki, yang kuinginkan
hanyalah berada di luar rumah. Bermain
sepulang sekolah, mengikuti banyak
ekstrakulikuler, bergabung dalam organisasi,
sampai berlatih peran. Itu semua hanyalah alasan
agar aku tetap berada di luar.
Dan kini, mengetahui tempat selanjutnya
adalah kurunganku yang kedua awalnya
25
bukanlah hal yang buruk. Awalnya.
Seiring berjalannya waktu, aku tidak bisa lagi
menghitung berapa banyak setiap perlakuan
mereka yang bagiku tidak wajar sebab aku tidak
pernah menemukannya di tempatku yang
sebelumnya. Bahkan sampai saat ini, mungkin
aku masih belum terbiasa. Sikap para figuran
hidup itu terlalu brutal dan mengganggu. Sampai
aku tidak sadar telah menghiraukan mereka yang
dari awal aku berjanji pada diriku sendiri untuk
tidak menghiraukan mereka.
“Dih siapa dah itu.”
Salah satu kata yang benar-benar menjengkelkan
meskipun itu ditujukan bukan padaku. Siapa
yang tidak terganggu dengan kata itu. Karena
aku yakin, siapapun orangnya meski ia merasa
baik-baik saja pasti akan tersinggung. Walau
hanya secuil. Dan itu tidak baik.
“Baperan banget.”
Dan untuk kata tersebut, benar-benar
menyebalkan. Siapa yang akan tahan dibicarakan
26
seperti itu? Untuk kesekian kali perkataan yang
menyinggung itu tidak pantas diposisikan sebagai
sebuah pembelaan bagi si perundung. Yang
menindas baik dengan verbal maupun non verbal
tidak berhak diberi gelar sebagai penguasa. Mau
kukatakan yang lebih jelas ? Kau pengecut.
Merundung secara berkelompok dan melontarkan
kata yang menyakitkan tidak akan membuatmu
terlihat sebagai yang paling kuat. Hanya karena
mereka tidak patuh dan terlihat lemah, Itulah
kau! Pecundang hanya merundung yang terlihat
lemah. Karena mereka tidak mempunyai
keberanian untuk merundung mereka yang
terlihat kuat.
Dari sinilah, awal mula aku sadar betapa aku
terlalu ikut campur dengan urusan orang lain.
Padahal, aku hanya perlu menyingkirkan
siapapun yang menggangguku. Tapi, secara
perlahan, mendengar figuran hidup di kamarku
yang menceritakan detail setiap kejadian, dan
dengan mataku yang melihatnya secara langsung,
membuatku terlibat dalam setiap emosi yang
27
mereka rasakan. Entah ini empati, atau aku yang
terlalu emosional.
Bahkan, rasanya duniaku yang hanyalah sebuah
box kecil menjadi luas dalam hitungan menit.
Ya, mereka semua benar-benar merubah
hidupku.
Memang hal yang buruk itu tidak selalu berarti
buruk. Dan hal yang baik itu tidak selalu berarti
baik. Dan dari tempat itulah pula segalanya
terasa jelas dimataku. Yang bertopeng, berhati
malaikat, figuran yang hampa, dan masa lalu
yang kelam. Seakan mereka semua bukanlah lagi
berperan sebagai figuran kosong yang biasanya
aku abaikan dalam hidupku. Kini, maupun
terlihat hitam, putih, ataupun abu-abu, mereka
menjadi nyata. Membentuk sebuah benang lurus
yang mengikat satu sama lain. Apapun yang aku
lakukan, sekecil apapun akan berimbas pada
orang lain, dan juga sebaliknya.
“Ente kenapa?”
28
“Gak apa-apa. Cuma gaenak badan.”
“Udah makan? Makan bareng yuk, tadi ane
bawain.”
Hanya sekilas kata yang sanggup membuat setiap
rasa sakit seakan hilang sesaat.
“Cerita aja. Daripada dipendem, gak baik.”
Seketika aku bungkam. Walau mereka yang
entah benar peduli, atau hanya ingin tahu.
Aku pun akhirnya kelepasan. Rasa bergantung
kepada orang lain pun terjadi begitu saja. Inilah
apa yang seharusnya tidak terjadi. Sebab pada
akhirnya semuanya pun akan memiiki rasa
penyesalan bukan? Orang yang akan memberikan
luka paling dalam justru biasanya merupakan
orang yang paling dianggap dekat. Namun disini,
aku malah menaruh rasa percaya pada figuran
itu.
Apa aku harus berhenti? Ya, tentu saja.
Maka disinilah aku, mencoba memahami setiap
orang dalam sudut pandang yang berbeda. Agar
siapapun yang aku percayai, atau siapapun yang
29
memberikanku luka, akan selalu kuangggap
sebagai figuran. Berwarna abu-abu. Sebab aku
pun bukanlah si putih dan tidak mau dianggap
sebagai si hitam.
Kau hidup dalam dunia dimana setiap orang
sibuk dengan apa yang mereka miliki. Dan itulah
kesempatanmu mengambil alih hal lain yang
mereka abaikan. Hahaha!
30
Bionarasi
Yasmin Nailah yang sedang menduduki kelas
5F TMI. Kadang bernyanyi dan menulis.
31
04
HARI LIBUR
SANTRI
04
Pada suatu hari ketika saya bersama teman-
teman dikamar untuk membersihkan kamar
semuanya harus cepat-cepat karna harus kumpul
bersama untuk membaca surah al-mulk.
”Ayo cepat kita harus kumpul ” kata kakak
ketua kamar.
”Na’am ukhti” anak kamar menjawab bersama.
Setelah semua membersihkan kamar akhirnya
mereka kumpul mahja. Kakak kelas 6 sedang
mengumpulkan anak-anak kamar lain. Akhirnya
dimulai,
”Assalamualaikum ukhti ayo kita mulai baca
surah al mulk” kata kakaknya,
”Waalaiakumsalam naam ukhti.” Kami pun
menjawab. Setelah membaca surah al mulk, ada
pengumuman kalau besok ada pendaftaran untuk
ikut eskul. Setelah pengumuman akhirnya semua
masuk ke kamar masing-masing.
Ketika dikamar.....
“eh anti mau ikut eskul apa?” Safia bertanya ke
Putri.
“belum tau mungkin pramuka kan eskulnya
banyak banget”jawab Putri
33
“iya juga sih”jawab Safia.
Keesokan harinya..........jam 4 pagi
“eh put bangun ayo mandi”Safia membangunkan
Putri.
‘’iya ya bentar”jawab Putri.
Setelah mereka mandi, mereka langsung shalat
tahajjud. Setelah itu mereka pergi ke masjid
bersama untuk shalat subuh dan mengaji, setelah
mereka shalat subuh dan mengaji mereka
langsung ke kamar.
“oh iya hari ini kita libur yak? Pantesan “ kata
Putri.
“iya ya tapi kita kan senam”jawab Safia.
Setelah mereka siap-siap untuk senam mereka
langsung kelapangan, setelah mereka senam ada
muhadatsah bersama. Setelah muhadasah, santri
pergi ke dapur{matbah} untuk makan. Setelah
makan mereka langsung ke kamar.
Sekitar jam 8 mereka membersihkan kamarnya
karena disuruh bersih-bersih dan shalat dhuha
34
dikamar. Setelah shalat dhuha dan
membersihkan kamar, mereka keluar untuk
mendaftar eskul.
“anti mau eskul apa?”tanya Putri.
“belom tau pramuka aja kali ya”jawab Safia.
“yok pramuka aja biar sama” ajak Putri.
“ayolah”jawab Safia.
Akhirnya mereka berdua pergi untuk daftar
eskul pramuka. Ketika mau daftar...
“itu tulis nama, kelas, sama gudep yak”kata
ukhtinya.
“naam ukhti” jawab Putri sama Safia.
Setelah mereka selesai mendaftar, meraka
langsung kekantin untuk beli jajanan.
“Mau kemana?”tanya Safia.
“Kekantin ikut ga?”jawab Putri.
“Ok ana mau beli jajanan juga”jawab Safia.
Setelah mereka dari kantin, mereka ke kamar
dan memakan jajanan yang mereka beli. Setelah
lama mereka makan jajanannya mereka langsung
siap-siap pergi ke masjid untuk shalat jum’at.
35
Pada siang harinya setelah mereka shalat jum’at
mereka langsung kekamar.
“Saf, anti ga dimudif?’’tanya Putri.
“Gak, katanya sih hari minggu, anti?”jawab Safia
“Sama katanya juga hari minggu”jawab Putri.
Mereka berdua menghabiskan waktu siang untuk
tidur. Setelah beberapa jam mereka tidur
akhirnya terbangun karna mau shalat ashar.
Setelah shalat ashar mereka ke kamar.
“Pengen maskeran”kata Putri.
“Ngapa ga tadi pagi?”tanya Safia.
“sekarang ga ada kerjaan jadi pengen aja”jawab
Putri.
Putri lagi asyik maskeran dan Safia lagi membaca
buku karna besok ada ulangan. Setelah beberapa
menit putri membersihkan maskernya. dia
melihat Safia sedang membaca.
“Lagi baca apa?”tanya Putri.
“Baca buku ips, katanya besok ulangan”jawab
Safia.
“ooh’’ Putri sambil baring diatas kasurnya.
Sekitar jam 5 sore mereka pergi ke hamam untuk
36
mandi. Di hamam banyak sekali orang jadi
mereka nunggu.
“Yah rame”keluh Putri.
“Tunggu aja”jawab Safia.
Beberapa menit berlalu mereka baru masuk ke
hamam dan mandi. Setelah mereka mandi
mereka lanngsung siap-siap pergi ke masjid
untuk shalat maghrib dan mengaji. Ketika di
masjid mereka langsung duduk sambil menunggu
waktu magrib. Jam 18;00 akhirnya adzan magrib,
para santri langsung shalat bersama, setelah
shalat mereka mengaji bersama.
Setelah mereka shalat dan mengaji, mereka
langsung ke matbah untuk makan malam.
“Put kira-kira makanannya apaan yah?”tanya
Safia.
“Mungkin tempe kecap”firasat Putri.
Sesampai mereka di matbah dan makanannya
beneran tempe kecap, mereka langsung
mengambil makanannya dan memakannya,
setelah mereka makan langsung kekamar dan
37
mengambil mukenah untuk shalat isya. Setelah
shalat isya ada perkumpulan eskul.
“Ayo ukhti-ukhti kumpul eskul ya, yang baru
daftar langsung kumpul juga ya”kata kakak kelas
6.
Mereka langsung cepat-cepat ganti baju untuk
kumpul eskul.
“Yes, kumpul eskul”kata Putri sambil senang.
“Iya”jawab Safia.
Mereka langsung keluar setelah ganti baju.
Sampai mereka ketempat perkumpulan,
kakaknya langsung kasih pengumuman.
“Assalamualaikum ukhti ana bagian pramuka,
jadi ana akan memberitahu kalo kita latihannya
hari selasa sama hari jum’at ya?’’
“Waalaikumsalam naam ukhti”jawab mereka
semua.
Setelah pengumuman berakhir mereka kekamar
masing-masing dan jam setengah sepuluh mereka
kumpul mahja dan setelah kumpul mahja mereka
semua langsung beristirahat.
38
Bionarasi
Zela Amelia Putri, dikenal sebagai Zela.
Kelahiran 15 September 2006 ini, sekarang
masih berstatus santri di Pondok Pesantren
Darunnajah Ulujami Jakarta Selatan. Cita-
citanya adalah sebagai dokter dan menurutnya
menulis adalah bentuk suatu pelampiasan.
39
05
INDAHNYA
MENJADI
SANTRI
05
Assalamu ‘alaikum teman-teman,,. Perkenalkan
namaku Arsya Sania Nur. Aku duduk di kelas 2J.
Hobiku adalah menulis. Kali ini, aku akan
menceritakan pengalaman menjadi seorang santri.
Awalnya, aku tidak ingin melanjutkan sekolah di
pondok pesantren, karena aku berpikir bahwa
kita akan jauh dari orang tua, harus mengerjakan
semuanya sendiri, dan pastinya akan
mendapatkan kedisiplinan yang amatlah ketat.
Akan tetapi, berkat dukungan orang tua, kakak,
adik, dan keluarga, akhirnya aku memutuskan
untuk melanjutkan sekolah di pondok pesantren.
Orang tuaku bercerita bahwa kita akan memiliki
kehidupan yang berbeda saat menjadi seorang
santri. Mereka juga bercerita bahwa kita akan
memiliki banyak teman yang berasal dari seluruh
penjuru Indonesia, bahkan ada yang berasal dari
luar negeri juga. Setelah mendengar banyak
cerita dan pengalaman dari orang tua dan juga
kakakku, keinginanku untuk melanjutkan
sekolah di pondok pesantren semakin kuat.
41
Saat hari pertama aku menjadi seorang santri,
yang kurasakan adalah gugup dan takut, tetapi
mengingat kembali cerita dari orangtua dan
kakakku, akhirnya aku sedikit tenang.
Hari pertama menjadi seorang santri adalah hari
yang sangat menyenangkan bagiku. Aku memiliki
banyak teman yang berasal dari kota yang
berbeda-beda dari seluruh penjuru Indonesia.
Ada yang berasal dari Aceh, Maluku, Riau,
Kalimantan, Ternate, Ambon, Bekasi, dan masih
banyak lagi. Kami saling berkenalan dan mulai
berteman. Aku merasa memiliki keluarga baru di
pondok pesantren ini. Hidup di pondok pesantren
memanglah tidak mudah, tetapi juga tidak
seburuk apa yang selama ini kupikirkan. Oh iya,
rasa tidak betah yang muncul di dalam diri kita
memanglah tidak mudah untuk disingkirkan,
akan tetapi seiring berjalannya waktu, rasa tidak
betah itu perlahan mulai hilang.
Jika rasa tidak betah masih muncul dalam diri
kita, aku punya tips-nya nih teman.
Perbanyaklah teman di pondok pesantren agar
kita tidak merasa kesepian.
42
Carilah teman yang bisa membawa kita menuju
kebaikan. Jika kita memiliki teman seperti itu,
Insya Allah kita akan menjadi pribadi yang lebih
baik lagi.
Kemudian perbanyaklah mengikuti kegiatan
yang dapat menunjang akademik dan
keterampilan kita. Dengan mengikuti kegiatan
yang tersebut tentunya cepat atau lambat rasa
tidak betah itu akan hilang dengan sendirinya.
Jujur saja, sebagai seorang santri pastinya aku
juga merasakan kerinduan dengan keluarga,
suasana di rumah, kamar di rumah, fasilitas yang
lengkap, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, aku
selalu ingat tujuanku sekolah di pondok
pesantren. Aku ingin menimba ilmu sebanyak
mungkin, memperbanyak teman, menghafal Al-
Qur’an, mengasah bakat, dan pastinya
membanggakan kedua orangtua. Jika aku
mengingat kembali tujuanku tersebut, rasa rindu
itu akan hilang dalam sekejap dan tergantikan
oleh semangat membara dalam diri. Perlu diingat
ya teman, rasa rindu pada keluarga adalah hal
yang wajar karena para santri tinggal berjauhan
43