AMBARAWA 1989 Sebelum tidur istriku menyulam di bawah lampu temaram. Sebuah bunga biro dengan la"tar kelabu yang akan diberi pigura dan digantungkan di dinding. Aku menyempatkan diri mengikuti berita terakhir di koran yang belum dapat kubaca pagi hari. Kami sudah lupa bahwa di kota ini pernah teIjadi revolusi dengan kekejaman dan kematian. Keluarga lari mengungsi ke gunung dan aku turut bergerilya mengejar Belanda. Berapa peluru sudah kutembakkan di malam buta menyerang musuh yang menghadang dengan senjata. Pikiran tegang selalu oleh cemas dan curiga. Kini peperangan hanya teIjadi di roman petualangan yang kubaca dan yang kulihat di layar TV, jauh entah di negeri mana. Nampak tak nyata dan hampir tak bisa dipercaya. Ah, biarlah kedamaian berlanjut begini. Semua - bunga, dinding, lampu, kursi, istri - terliput dalam kabut puisi. Suling mengalun menembus malam. Aku tak tahan lagi melihat darah. 101
MATA PENYAIR Ketika terbuka jendela, terdengar hiruk-pikuk kohl.. "Ap::! saja yang sudah kuberikan kepadamu," kata penyair, "kecuali nyawaku ini yang teraniaya." Rakyat yang miskin merangsak kemuk::l.. "Kami ingin matamu!" teriak mereka. "Kami ingin matamu, yang bisa merobah butir pasir yang tercecer dari karung menjadi emas di jalan. Beri matamu, matamu!" Ada yang masih mau membela penyair itu. "Ingat, tanpa mata penyair menjadi buta!" Tetapi rakyat yang putusasa tidak peduli. Mereka renggut mata penyair dari lubang matanya, dan lewat kedua bola matanya mereka melihat dunia sekelilingnya. Tptapi pasir yang tercecer tidak menjadi emas. Mereka menjacli kecewa dan merebus dan melahap kedua bola m::!t::! itu. Dan tidak teIjadi apa-apa. Penyair yang buta itu duduk di jendela dim tertawa menghadap ke kota. Tanpa mata dilihatnya semua beg"itu indahnya. Begitu indahnya!
KATA PENUTUP Oleh: Bakdi Soemanto Walaupun dilahirkan pada tahun 1924, Sub agio Sastrowardoyo baru mulai dikenal sebagai penyair pada tahun 1957, tatkala kumpulan sajaknya terbit pertama kali, yang oleh Ajip Rosidi (1971) dikatakan bahwa "hanya dalam jumlah yang sangat terbatas". Linus Suryadi AG (1987) meneatat, pada masa revolusi Sub agio aktif dalam bidang seni musik dan melukis. Dari data ini bisa dibayangkan, kepenyairannya baru muneul belakangan, sesudah kegiatan menyanyi dan berseni-rupa. Akan tetapi kemudian, puisi tampaknya menjadi wahana ungkap kehadirannya, yang baginya, paling pas. Seperti tertulis dalam data biografinya, Subagio juga menulis sejuinlah buku tentang sastra, kebudayaan umum, dan bahkan sejumlah eerita pendek. Oleh karena itu, ia juga dikenal luas sebagai pemikir kritik dan sastra. N amun, mungkin, pada dasarnya, Sub agio adalah seorang penyair. Kesejatiannya sangat teras a dalam sajak-sajaknya. Dalam sebuah risalahnya yang disampaikan di Padang, "Meneari Jejak Teori Sastra Sendiri", Sub agio (1988) menunjukkan dirinya sebagai seorang yang sangat menguasai berbagai baeaan tentang teori sastra yang rupanya dibaeanya lewat berbagai bahasa asing. Namun, seperti tampak dalam buku Sosok Pribadi dalam Sajak, Subagio (1980), yang dalam hal ini tampil sebagai ahli sastra, tidak membawakan dirinya sebagai seorang text book thinker. Dalam telaah puisi-puisi penyair Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Toto Sudarto Baehtiar, dan Rendra, ia sarna sekali tidak menyebut teoriteori yang sangat dikuasainya, tetapi berkonfrontasi langsung dengan fenomena literer, dan juga melakukan penjelajahan latar belakang situasi sosialnya serta biografi pengarangnya (seperti tatkala mengulas puisi Chairil Anwar). Sajak yang dihadapinya, dengan eara itu, tak berdiri berjarak dan dingin, tetapi berada hangat dalam dialog lewat suatu perjumpaannya yang pribadi. Dengan demikian, hasilnya adalah ungkap137