The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by dimdimm1701, 2022-10-25 12:03:11

Kelompok4 P5 Selesai.

Kelompok4 P5 Selesai.

PRANCIS

HAK CIPTA

Hak cipta dilindungi oleh Undang Undang.
Dilarang memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku
ini tanpa izin dari penulis atau penerbit
Penulis: Muhammad Fakhri Aushaf, Muhammad Alfi
Farid Herdawan, Febrian Rakha Hafidz Pramana, Faiz
Aditya Santoso, Maula Dimas Mahardika, Ammar
Fathurrahman, Muhammad Mihzam Fata Al-ghifari
Wijoyo, Daffa Hanif Mahdatullail.
Editor: Ammar Fathurrahman dan Maula Dimas
Mahardika.
Layout: Muhammad Alfi Farid Herdawan dan Faiz
Aditya Santoso
Ilustrator: Muhammad Fakhri Aushaf dan Ferbrian
Rakha Hafidz Pramana
Cover: Muhammad Mihzam Fata Al-ghifari Wijoyo dan
Daffa Hanif Mahdatullail
Kata Pengantar: Maula Dimas Mahardika

i

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, Sehingga kami dapat menyelesaikan proyek
P5 ini dengan judul "Hiasan Kepala".
Pada kesempatan kali ini kami ucapkan terima kasih
karena sudah diberikan kesempatan membuat cerita
pendek untuk proyek Kurikulum Merdeka. Kami ingin
mengucapkan terimakasih juga kepada pihak pihak yang
turut membantu dalam pengerjaan antologi cerpen ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa antologi cerpen
pendek ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami
miliki. Oleh karena itu kami mengharapkan segala bentuk
saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga antologi
cerpen pendek ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dan Pendidikan.

ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................... ii
Daftar Isi ................................................ iii
Hiasan Kepala........................................ 2
Segara .................................................... 9
Beralih ................................................... 16
Festival Menari...................................... 22
Pelestarian Budaya ................................ 28
Resep Rahasia........................................ 33
Ketertarikan ........................................... 38
Kenangan Yang Terlupakan.................. 44
Biodata................................................... 52

iii

iv

1

Hiasan Kepala

Muhammad Fakhri Aushaf

Pukul empat pagi, Beta terbangun dengan perasaan
tidak enak menyelimuti hatinya. Beta mengacuhkan
perasaan itu, memilih menyingkap selimut lalu
merapikannya lantas bergegas memulai aktivitas sehari-
hari.

Sinar matahari mulai terlihat ketika semburat
oranye menyiram sebagian ranah Desa Arimba. Beta
melukis senyum saat burung-burung melewati
pandangnya. Salah satu burung bertengger di pagar
cokelat rumah Beta, diikuti dua kawannya. Beta
menghampiri mereka dengan segenggam biji-bijian
kemudian ia sodorkan kepada burung tersebut.

“Mungkin ini alasan Ibu melahirkanku di dekat
pantai, aku menjadi penyuka binatang di kemudian hari,”
gumam Beta.

2

“Selamat pagi, Ape! Ayo kita main!” sahutan
lantang dari kejauhan. Suara familiar itu membuat Beta
menggerutu, sebab burung-burung yang sedang ia beri
pakan dengan gerak panik meninggalkan Beta karena
terkejut mendengar suara yang lantang.

Beta mendengus, “Sudah kubilang, panggil aku
Beta. Bukan Ape.”

“Hei, mengapa wajahmu seperti itu, kawan?
Lagipula Ape itu panggilan istimewa dariku, lho. Tidak
semua orang mendapatkan panggilan istimewa dariku,
Beta.”

“Terserah kau, Erika.”

Pernyataan menyerah dari Beta justru membuat
cengiran Erika semakin lebar. Beta dan Erika telah
berteman sejak mereka usia lima tahun. Semenjak itu Beta
mengambil kesimpulan, Erika orangnya pintar, penyuka
tanaman, dan pandai berbicara. Erika ini cerewet sekali
namun pintar dalam memberi solusi bila ada seorang
temannya atau penduduk desa mengalami kesulitan,

3

solusi dari Erika selalu efektif dalam memecahkan
masalah.

Tidak terasa lima menit mereka berjalan, keduanya
tiba di lokasi Hutan Sangkala seberang Desa Arimba.
Hari-hari biasanya, Beta dan Erika gemar menjelajahi
selasar hingga ke pojok sudut Hutan Sangkala. Pepohonan
berbaris rapi, daun-daunnya yang rimbun membentuk
kanopi, serta suasana sejuk menjadi alasan Beta sangat
menyukai tempat ini.

“Hutan ini sejuk seperti biasanya, ah rasanya aku
ingin tinggal di sini selamanya.” ujar Beta disahut Erika
mengangguk setuju.

Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di
atas pohon yang besar tepat di tengah Hutan Sangkala,
dengan kata lain pohon tersebut ialah jantung dari hutan
ini. Hari ini Beta tidak sabar menonton aktivitas
kehidupan para penghuni hutan.

Sudut mata kanan Beta menangkap gerak-gerik
mencurigakan. Satu alis Beta terangkat, terheran
mengetahui Kepala Desa Arimba sibuk memosisikan diri

4

di atas batang pohon. Ia menyikut Erika yang sedang
asyik memakan buah hasil petik di jalan.

“Eh, Rika, lihat di sebelah sana. Kepala Desa
sedang apa ya? Beliau terlihat sibuk.”

Erika dengan polosnya mengendikkan bahu lalu
menjawab dengan mulut penuh, “Entahlah, tunggu—
“Mengapa Kepala Desa menggenggam senapan? Apakah
ia sedang dikejar sesuatu?”

“Ayo jangan gerak ya, biar berhasil nih.” Beta dan
Erika samar-samar mendengar suara Kepala Desa di
seberang mereka. Beta tersadar Kepala Desa hendak
menembak salah satu penghuni Hutan Sangkala, Burung
Cenderawasih.

“Duh, gawat nih Bet. Kepala Desa ingin membunuh
burung itu! Kita harus bagaimana?”

Beta menghiraukan kecemasan Erika. Ia cekatan
menuruni pohon lalu menghampiri Kepala Desa.
Langkahnya seketika terhenti ketika suara nyaring
menggema ke penjuru sudut hutan. Tembakan Kepala
Desa telak mengenai Burung Cenderawasih yang

5

ditargeti, sorak dan gestur gembira Kepala Desa terlihat
jelas dari jauh.

Rupanya ini perasaan tidak enak yang Beta rasakan
tadi pagi. Kedua matanya bergetar, tangan dan kakinya
seperti mati rasa. Erika segera menghampiri Beta dan
menenangkannya. Usahanya sia-sia, ia membujuk Beta
kembali ke Desa Arimba untuk melupakan sejenak
kejadian ini.

Langkah keduanya berat, seakan mereka menyeret
sebuah batu yang sangat besar. Kepala keduanya
tertunduk dalam-dalam. Penyesalan besar mulai
menggerogoti hati. Hingga sebuah suara menarik atensi
mereka, “Beta! Erika! Ada apa dengan wajah kalian yang
tertekuk? Ayo sini! Ikut kami mementaskan Tari
Wutukala!”

Sedetik keduanya saling melempar pandang,
“Tunggu kami, paman!”

Sesampainya di sana, Beta menangkap sesuatu yang
ganjil nan familiar. “Kok bulu di hiasan rumbai kepala ini
terasa tidak asing, di mana aku pernah melihatnya ya?”

6

“Iya ya, aku juga merasa tidak asing.”

Lagi-lagi pandang keduanya bertemu. Kali ini
dengan mata membulat sempurna dengan keterkejutan
yang luar biasa. Memori Beta kembali ke beberapa menit
sebelumnya, ketika mereka gagal menyelamatkan Burung
Cenderawasih di Hutan Sangkala.

“Paman, ini bulu dari mana?” tanya Beta hendak
memastikan.

“Ooh itu bulu dari hasil tangkapan Burung
Cenderawasih, ada gerangan apa, Beta?” sahut salah satu
penduduk.

“Paman tidak tahu kalau Burung Cendrawasih itu
sekarang sudah jarang dilihat? Populasi mereka kian
menurun karena sering kita buru dan kita jadikan sebagai
baju adat kita, apakah kepedulian kita hanya semata
formalitas di pandangan mereka?”

Penduduk lainnya menjawab dengan tangan
melambai, “Ah kau tidak perlu mencemaskan itu, Beta.
Mereka kan bisa mencari pasangan lagi lantas bertelur.”

7

Nadanya yang kelewat santai cukup memancing amarah
Beta yang tidak kunjung ditahan.

Beta membanting keras hiasan rumbai kepala lalu
berlari menuju Hutan Sangkala. Melihat Beta yang sedih
bercampur-aduk kesal, Erika menyusul di belakang. Erika
berteriak sekuat mungkin, “Beta! Tunggu aku!”

Langkah Beta terhenti ketika ia menyadari ada
penduduk lain yang membawa senapan. Erika terengah-
engah, tangannya menepuk sebelah bahu Beta.

“Aduhh, kau lari cepat sekali! Tega
meninggalkanku di belakang lantas berhenti mendadak.”

Erika terenyak kaget. Kedua tangan Beta
menggenggam erat kedua bahunya lantas berkata dengan
parau, “Lihat di sana, Erika! Ada penduduk lain yang
hendak membius Burung Cenderawasih lainnya. Mereka
akan mengambil bulu burung tersebut lalu menjadikannya
mahkota! Kita harus bertindak cepat!”

Tepat di penghujung kata, Beta tersungkur di
pelukan Erika. Mimik panik di wajahnya berubah sekejap
menjadi datar. Keheranan Erika tidak berhenti di situ, ia

8

segera menyadari bahwa keduanya dalam bahaya. Tanpa
membuang waktu sedetik pun, Erika membawa Beta pergi
dari Hutan Sangkala ke desa.

Beberapa jam kemudian usai pengobatan Beta,
tabib desa memberi pesan kepada Erika untuk
memberikannya air minum selepas siuman. Erika
menatap khawatir sahabatnya yang terbaring lemas.
Tangannya menggenggam erat, berharap cemas Beta
terbangun cepat atau lambat.

Sungguh keberuntungan Dewi Fortuna berpihak
padanya. Kelopak mata Beta perlahan bergerak disusuli
jari-jemarinya. Erika mengambil gelas air minum dan
menyerahkannya pada Beta.

“Erika…,” panggil Beta. “Aku tadi bermimpi
seluruh penghuni Hutan Sangkala musnah. Mereka tiada,
jejak setapak pun ghaib. Aku tidak bisa menemukan
apapun disana selain hamparan ladang tandus dengan
panas menusuk kulit. Sungguh mengerikan.”

9

Erika bergeming, mengambil gelas di tangan Beta
dan mengembalikannya ke atas nakas. Lantas ia
tersenyum.

“Kau tidak perlu khawatir lagi, Beta. Sesepuh Desa
memutuskan mencabut jabatan Kepala Desa dan
menghukum para penduduk yang melakukan aktivitas
illegal di Hutan Sangkala. Sebagai gantinya, Kepala Desa
yang bijaksana mengisi posisi untuk selamanya.”

“Kau berhasil menyelamatkan Hutan Sangkala,
meskipun harus meminjam kesadaranmu sementara
waktu.”

Erika tergugu, kedua tangannya mendekap Beta
kuat. “Aku bangga kepada kau, Beta.”

10

11

Segara

Muhammad Alfi Farid Herdawan

Debur ombak terdengar menghantam lambung
Kapal, kesiur angin lembut menerpa wajah, kicau camar
menggema diangkasa. Sang mentari telah bertengger
diufuk barat, bersiap menghilang dan menunggu pagi tuk
kembali datang, menyinari bumi hingga waktu Petang.

Diatas geladak kapal berdiri gagah seorang pemuda.
Tampang rupawannya nampak cocok dengan pakaian
khas bangsawan yang ia kenakan. Di depannya terhampar
peta samudera yang bersanding dengan kompas yang tak
menentu arahnya.

“Arthur!” panggilan itu memecah lamunan pemuda
tersebut. Helen, salah satu sahabatnya memanggil dari
pintu kapal.

“Ayo masuk! Liza sudah menyiapkan makan.”
Sambungnya.

12

Helen adalah teman Arthur sedari kecil.
Perawakannya tinggi, dengan rambut merah yang
dikuncir ke belakang. Orang tua Helen adalah seorang
adipati kenalan keluarga Arthur. Mereka pertama kali
mengenal satu sama lain ketika orang tua Helen
mengadakan jamuan makan malam di kastil keluarganya.

***

Temaram lilin menerangi meja makan. Di ruangan
itu duduk tiga orang pemuda, usia mereka mungkin masih
terbilang belia, namun pengalaman mereka tidak bisa
dipandang sebelah mata. Tak bisa dipungkiri, ketiganya
mampu memperluas jangkauan peta dunia, dari hutan
belantara hingga ke luasnya samudera.

“Sudah tujuh hari sejak kita berlayar dari Jawa.”
Ucap Arthur kepada dua sahabatnya membuka
percakapan di meja makan malam itu.

“Sudah tujuh hari juga kita berlayar tanpa tujuan.”
Balas Liza.

Nama aslinya Elizabeth ia adalah anak dari
panglima tentara keluarga Arthur. Garis wajahnya tegas

13

dengan sorot mata yang tajam, sebagai anak dari seorang
panglima kekuatan fisik Liza jelas berbeda dari kedua
sahabatnya.

Helen dan Arthur pertama kali bertemu Liza saat
keduanya sedang latihan menggunakan pedang di kastil
keluarga Arthur. Mereka berdua kagum melihat Liza yang
begitu piawai memainkan mata pedang, mereka mengajak
berkenalan lantas meminta Liza mengajari mereka berdua
bagaimana agar bisa begitu handal mengendalikan
pedang.

***

Tiga bulan lalu mereka sampai di sebuah negeri
antah berantah. Betapa terkejut mereka melihat masih ada
peradaban yang belum terpetakan, dengan semangat
membara mereka memutuskan melepas jangkar di
pelabuhan setempat.

Dengan rasa antusias tinggi mereka menghadap
penguasa lokal. Membawa pesan damai dan meminta izin
menetap beberapa saat untuk mempelajari budaya
peradaban itu.

14

Malam harinya mereka diundang jamuan oleh
penguasa setempat, ketiganya diperkenalkan dengan
hidangan bangsawan khas Jawa yaitu gudeg manggar
yang terbuat dari bunga pohon kelapa.

Selama beberapa bulan rombongan itu mempelajari
budaya lokal negeri nirwana, bertemu pujangga istana
sampai bertamu ke empu sakti mandraguna. Ketiganya
begitu antusias memahami budaya disana.

***

Malam ini angkasa bak lukisan raksasa, dengan
rembulan yang ditemani ribuan gemintang. Namun
malam ini akan menjadi awal petaka bagi trio penjelajah.

Liza turun dari sarang gagak datang menghampiri
Arthur. “Badai itu akan segera tiba” lapor Liza kepada
Arthur yang tengah menulis jurnal perjalanan mereka.

“Hmm.. ternyata benar apa yang dikatakan Pak tua
itu kemarin. Kita harus segera bersiap” ujar Arthur.
Dibalas anggukan setuju Liza, matanya tak dapat
menyembunyikan rasa cemas yang ia rasakan.

15

Arthur bergegas merapikan peralatannya miliknya
lantas menuju kemudi kapal. Di lain sisi Liza berlarian
menuruni anak tangga menghampiri Helen untuk
memberitahunya lekas bersiap.

Langit yang semula indah kini telah berubah, kilau
gemintang sekarang tergantikan oleh kilau halilintar,
angin yang tadinya berhembus pelan sekarang ganas
bertiup ke segala arah.

Di kejauhan nampak pusaran besar terbentuk akibat
dari badai, mengakibatkan terbentuknya gelombang
tinggi. Di tengah tengah pusaran menjulang topan raksasa
bagai menara.

Salah satu gelombang besar terlihat menghampiri
kapal mereka. Arthur tengah berusaha membelokkan
haluan kapal sedang dua sahabatnya tengah berjibaku
mengendalikan layar kapal. “Awas!” Helen reflek berseru
melihat ombak raksasa itu kini berada tepat diatas kepala
mereka. DRAAK kapal mereka terbelah menjadi dua
lantas hancur ditelan badai.

***

16

Debur ombak menyapu pasir pantai. Udara hangat
menyelimuti sekitar. Diatas pasir terdampar tiga orang
pemuda yang tampak memprihatinkan. Di sekitar mereka
juga terdampar banyak puing kapal. Arthur terbangun
mengerjapkan mata dan berusaha bangun, ia mendongak
ke atas, nampak matahari hampir berada di posisi
puncaknya. Dengan susah payah ia berdiri untuk
membangunkan kedua temannya.

Saat hendak membangunkan Liza temannya
tersebut sadar dengan sendirinya. “Apa kau baik-baik
saja” tanya Arthur.

“Tak pernah merasa lebih baik” jawab Liza.
“Bagaimana denganmu” tanyanya kembali.

“Sama sepertimu” Balas Arthur yang kini tengah
berusaha menyadarkan helen.

Kondisi Helen paling buruk dari ketiganya, kakinya
pincang akibat tertimpa balok kayu.

“Dimana kita? Apakah ini negeri lain yang belum
kita ketahui?” tanya Helen.

17

“Belum tahu. Ayo lekas bersiap, kumpulkan segala
barang yang mungkin berguna.” Komando Arthur, dibalas
anggukan kedua rekannya.

Setelah berkelana di negeri dengan peradaban, kini
perjalanan mereka dimulai di negeri tak bertuan.
Petualangan mereka baru saja dimulai dan jauh dari kata
selesai.

18

19

20

Beralih

Febrian Rakha Hafidz Pramana

“Assalamu’alaikum Mah, Ayu pulang,” ucapku
sambil menyalami Mama.

Aku memang baru pulang dari latihan menari di
sanggar milik Kak Supeno.

“Wa’alaikumsalam. Ehh anak Mama, ayo masuk.
Oh ya, mulai hari ini Azzahra bakal tinggal disini,” jelas
Mama.

Aku membulatkan mulut dan mataku tanda kaget.
Azzahra, ia sepupu ku. Dari kecil, aku tidak pernah akur
dengannya.

“Az…” belum selesai aku berucap.
“Zahra…” potong Azzahra yang tiba-tiba muncul
dari belakang Mama.
Aku menampakan mimik wajah sebal dan melirik
nya sinis. Aku berdecak lidah, menghentakan kaki lalu

21

masuk ke dalam rumah, menabrakan bahuku dengan
bahunya.

BRAKK!!

Ku tendang pintu kamarku hingga tertutup rapat.
Menyebalkan sekali harus tinggal satu rumah dengan
Azzahra!! Aku tau ia penggemar K-POP. Tapi, apakah tak
bisa menghargai kegemaranku menari jaipong!?

Aku menari dengan iringan musik yang baru saja ku
nyalakan di tabletku. Ya, hitung-hitung sebagai
penghilang rasa kesalku.

Keesokan harinya…

Trang! Trang!

Suara sendok yang ku hentakan ke piring terdengar
nyaring. Nafsu makan ku menurun drastis.

“Ayu, kenapa makannya tak dihabiskan?” tanya
Mama.

“Aku gak nafsu makan, Ma. Aku mau ke rumah
Dina aja yaa.. Assalamu’alaikum,” alibi ku. Aku langsung
ke rumah Dina.

22

Belum sampai pintu, tiba-tiba… “Eehh!! Yu! Gue
ikut yaa?” pinta Azzahra dengan tampang muka memelas.

Aku memutar bola mata ku. “Ya udah, cepetan!”
sentak ku, daripada dapet ceramah dari Mama.


“Yu, selera lo gak oke banget sih? Apa bagusnya
coba tari jaipong? Kerenan juga modern dance!” ocehnya
sambil memasangkan earphone di telinganya,
Mendengarkan lagu Korea mungkin?
“Au ah!” aku mempercepat langkahku.
“Eeh! Yu! Tunggu Yu!!” ia berusaha mensejajarkan
langkahnya dengan langkah ku.



Ting Tong!

Ku tekan bel rumah Dina beberapa kali.
“Ehh Ayu, ayo masuk. Hmm, kamu juga masuk
yuk,” ajak Dina ramah.



23

“Kamu Azzah…” Dina belum selesai berucap.

“Ra…” lagi-lagi Azzahra memotong ucapan.
Sungguh menjengkelkan!

Dina hanya tersenyum miring. “Yu, nari yuk?
Praktekin yang kemarin diajarin Kak Supeno,”

“Yuk!” aku bersemangat.

Dina menyalakan tabletnya. Aku dan Dina mulai
menari walau tak menggunakan selendang. Azzahra
menganga. Terpesona, mungkin?

Prok Prok Prok! Azzahra bertepuk tangan. ia
tersenyum lebar. “Ayu, Dina, ajarin aku dong?” ia
tertunduk, pipinya menampakan rona merah karena malu.

“Serius kamu Zahra? Mau belajar tari jaipong!?
Selama ini kan kamu PALING ANTI SAMA BUDAYA
INDONESIA?” ucap ku dengan penekanan pada setiap
kata.

“Maafin aku Yu, aku emang salah. Ternyata budaya
Indonesia lebih keren daripada budaya luar,” Azzahra
masih tertunduk malu.

24

“Ya udah lah Yu, ajarin aja. Azzahra, kita harusnya
pelajari budaya kita dulu. Kalo kita udah bisa memaknai
arti budaya kita, kita jaga, jangan sampai diakui sama
negara lain,” nasihat Dina.

“Kalo suka sama budaya luar gak papa, tapi hargai
dulu budaya kita,” ucap Dina “lagi.”

“Maafin aku yaa. Aku udah ngejelek-jelekin Tari
Jaipong. Aku sadar. Maafin aku yaa, mau kan kalian
ngajarin aku?” pinta Azzahra.

“Iyaa, kita mau. Asalkan kamu mau janji akan
nerusin Tari Jaipong ini. Kan asik kalo kita bisa
ngewakilin Indonesia ke berbagai negara.
Memperkenalkan budaya-budaya Indonesia ke kancah
internasional,” ucapku tersenyum bangga.

“Iyaa, aku janji,” jawab Azzahra tersenyum manis
dengan mata berbinar.

“Ya udah, yuk latihan,” ajak Dina.
Lima tahun kemudian…

25

“Yu, ternyata seru yaa keliling dunia dengan
ngenalin budaya kita,” ucap Dina dengan wajah yang
berseri-seri.

“Iya. Seru banget. Kita bisa sekalian liburan,”
jawabku.

“Iyaa.. ternyata asik yaa jadi Penari Jaipong,” balas
Azzahra.

“Terimakasih ya Allah. Engkau telah menyadarkan
Azzahra akan pentingnya menjaga budaya yang kita
miliki” batinku.

“Ehh ayo! Jangan ngobrol aja. Habis ini kita yang
tampil!” ujar Dina.

“Iya,” aku mengangguk mantap.

“And further. We offer Jaipong Dance from
Indonesia!” ucap Pembawa Acara itu dengan bahasa
Inggris. *Translate: Dan selanjutnya. Kami
persembahkan Tari Jaipong dari Indonesia*

Sebenarnya sekarang kami sedang ada di Korea.
Negara yang diidam-idamkan Azzahra, dulu. Tetapi

26

karena tamunya banyak yang dari Eropa, maka Pembawa
Acara itu menggunakan bahasa Inggris. Sungguh
menyenangkan bila mengingat saat-saat itu. Selalu saja
aku tersenyum-senyum sendiri membayangkannya. Kini
aku bersama Dina melanjutkan sanggar milik Kak
Supeno. Sedangakan Azzahra masih berkeliling dunia
mengahrumkan nama Jaipong sebagai salah satu Budaya
Indonesia.

27

28

Festival Menari

Muhammad Mihzam Fata Alghifari Wijoyo

Ane, siapa yang tak kenal dia, tak hanya sekarang,
bahkan dulu anak ini cukup dikenal oleh orang-orang
karena dia kaya? karena dia cantik? karena dia anak
pejabat? Bukan, dia terkenal karena kenakalannya. Ya,
dia adalah perempuan yang sangat nakal tak sedikit orang
yang menyayangkannya itu karena dia sebenarnya
berbakat dalam bidang Tari anak itu tak punya ibu, konon
katanya saat dirinya masih bayi sang Ibu pergi
meninggalkannya.

Ane adalah anak dari seorang Sultan bernama
Salman. Laki-laki lansia yang sebenarnya lebih cocok
menjadi kakek Ane. Dingin laki-laki itu Sedingin Salju
Dia jarang ramah terhadap orang lain kecuali putrinya.

Hari ini adalah hari pertamanya sekolah. Sejak
pukul 05.00 subuh Ane sudah bersiap. Ane sangat tegang
karena gelisah membayangkan akan Seperti apa suasana

29

di sekolah, Ana berangkat ke sekolah dengan berjalan
kaki. Sesampainya di sekolah Ana upacara pagi di
lapangan sekolah. Pada saat upacara, Ana bertemu dengan
teman sekelasnya. Tiba-tiba Ana memukuli temannya
dengan tangan kosong, para guru pun langsung
memisahkan mereka berdua. Ana di bawa ke ruang guru
sedangkan temannya dibawa ke UKS.

Pada saat Ane ditanya oleh guru “Mengapa kamu
memukuli teman sekelasmu Ane?”

Ane pun menjawab “Dia menghina keluargaku dia
mengatakan dia benci orang aceh seperti ku aku pun tidak
tau mengapa dia mengatakan hal itu.”

Ayah Ane pun datang ke sekolah “Ayah tidak
marah Ane, hanya saja caramu salah, kamu ini masih
kelas 7 jangan berbuat semena-mena” ucap Ayah Ane di
ruang guru.

Hari pun berlalu sampai akhirnya Ane pulang
kerumah nya dia terus merenung dikamar nya karena hal
yang tadi dia lakukan di sekolah.

***

30

Esok hari pun tiba. Di ufuk timur, matahari mulai
menampakan cahaya. Ane terbangun dari tidurnya dengan
muka bantal nya ia pergi ke kamar mandi dan bersiap siap
untuk berangkat kesekokah. Singkat cerita, Ane pun
sampai di kelasnya. Tiba tiba ada pengumuman festival
menari. Ane pun turut serta dipilih menjadi peserta, dia
bertemu dengan Allena dia teman baru si Ane, ini
mungkin pertama kalinya bagi si Ane mempunyai teman.

“Hai, oh lu yang nama nya Ane salam kenal ya. Oh
iya lu juga dipilih pentas tari ya?” kata si Allena yang
tersenyum melihat Ane.

Ane pun menjawab “Iya gw juga dipilih sama guru
untuk pentas tari. Btw memang kita pentas tari apaan?”

Allena pun berkata “Kamu belum di beri tahu.
Hadeh kita pentas tari saman dari Aceh daerah asal lu.”

Mereka berdua pun pergi ke teras sekolah untuk
berlatih tari, ada Sekitar 10 orang yang ikut serta dipilih.
Mereka pun mulai berlatih mulai dari posisi, gerakan,
kostum, dll. Ane terlihat kesusahan saat berlatih gerakan-

31

gerakan. Hari demi hari, Ane dan teman temannya terus
berlatih sampai akhirnya kecelakaan pun terjadi,
pergelangan tangan Ane terjepit parah saat hendak
mengambil properti tari.

“Aaahh…. tanganku astaga” ucap Ane sambil teriak
kesakitan.

Para siswa dan siswi melihat kejadian tersebut, para
guru langsung melarikan Ane kerumah sakit. Saat dilihat
oleh dokter, pergelangan tangan Ane terkilir sangat parah.
Allena dan Ayah Ane pergi menjenguk Ane dirumah
sakit.

“Astaga Ane bagaimana bisa seperti ini kamu” kata
Allena dengan raut wajahnya yang cemas.

Ane pun menjawab “Saat aku hendak mengambil
barang tangan ku terjepit. Ngomong-ngomong kita pentas
tari saman kapan.”

“9 hari lagi Ane, tapi gapapa kamu istirahat aja
tanganmu terkilir parah” kata Si Allena.

32

Esok hari pun tiba hari ini Ane tidak bisa masuk
sekolah. Ane merenung di rumah sakit sambil
memikirkan pentas tari 9 hari lagi mungkinkah dia bisa
sembuh secepat itu? Pukul jam 4 sore Allena pergi
membawa buah-buahan untuk menjenguk Ane.
Sesampainya di rumah sakit, Ane pun meminta maaf ke
Allena karena dia tidak bisa ikut serta menari

“Sudah gapapa bukan salah kamu juga kok, yang
penting kamu sembuh dulu” ucap Allena yang menatap
Ane dengan mata yang berkaca-kaca.

Hari-hari berlalu sampai akhirnya pentas Tari
Saman akan diadakan, saat para peserta bersiap-siap
semuanya kaget.

“Ane kamu kenapa ada di sini bukannya tanganmu
sedang sakit” kata pak guru yang membimbing para siswi.

Ane pun menjawab “Tidak apa-apa pak saya sudah
mending kok. Saya masih bisa melakukan gerakan Tari
Saman.”

33

Pak guru pun menjawab “Baiklah kalau kamu tetap
memaksa ikut, sana bersiap-siap dengan teman-
temanmu.”

Saat masuk ke ruang property, teman-teman Ane
termasuk Allena sangat kaget. “Ane kamu k-k-kok ikut
serta menari padahal kan tangan mu-“

“Gapapa kok tangan ku sudah mendingan” kata Ane
sambil tersenyum.

Singkatnya tiba giliran mereka untuk menari Tari
Saman. Saat tiba diatas panggung para penonton
tercengang melihat Ane ikut serta menari. Musik mulai
terdengar Ane memulai gerakan tangannya, Ane terlihat
sangat lihai dalam mementaskan Tari Saman. Tak
disangka sangka Ane yang dulu tadinya nakal sekarang
pandai menari Tari Saman. Penonton pun kagum melihat
pertunjukannya seketika para penonton berdiri dan
memberikan tepuk tangan yang meriah untuk Ane dan
para pesertanya.

34

35

Pelestarian Budaya

Maula Dimas Mahardika

Adi, Davin, Pandu, dan Sultan di undang untuk
mementaskan Tari Rampak Bedug di acara pernikahan
seseorang, lalu merekapun menerima undangannya.
Beberapa jam kemudian merekapun berkumpul ditempat
latihannya, lalu mereka berlatih bersama-sama. Karena
waktu sudah Pukul 17.30 merekapun pulang ke rumahnya
masing-masing.

Keesokan harinya merekapun berkumpul di tempat
latihannya, namun Adi terlambat datang ke tempat
latihannya, lalu Sultan memarahinya

“Adi mengapa kamu terlambat?” ucap Sultan.
Adi pun menjawabnya ”Maaf aku terlambat karena
aku bangunnya telat.”
“Baiklah, lain kali jangan terlambat lagi ya” ucap
Sultan. Adi pun menjawabnya. “Oke.”

36

Setelah Sultan memarahi Adi, Davin dan Pandu
mengajak Adi dan Sultan untuk berangkat ke acara
pernikahannya.

“Ayo kita berangkat ke acara pernikahannya” Ucap
Davin dan Pandu. Adi dan Sultan Menjawabnya “Ayoo.”

Saat diperjalanan mereka terjebak macet,
“Bagaimana Ini? Kalo seperti ini kita akan terlambat ke
acara pernikahannya” ucap Pandu, Sultan pun
menjawabnya,

“Tenang saja kita tidak akan terlambat.”

“Baiklah” ucap Pandu.

Tidak lama kemudian, merekapun sampai ke tempat
acara pernikahannya, kemudian merekapun mengambil
peralatannya, setelah itu merekapun mementaskan Seni
Tari Rampak Bedugnya. Setelah selesai mementaskan
Seni Tari Rampak Bedugnya, ada seorang anak kecil yang
bertanya kepada Davin.

“Apa keunikan dari Seni Tari Rampak Bedug?”
Davin pun menjawabnya,

37

“Keunikan dari Seni Tari Rampak Bedug adalah
adanya Nuansa nada Islami di setiap pertunjukan yang
digelar.”

“Seperti itu ya, baiklah terimakasih sudah
menjawab pertanyaanku” ucap anak kecil itu.

Setelah itu Pandu mengajak untuk makan bersama
di acara pernikahannya “Ayo kita makan bersama-sama”
dan teman-temannya pun menjawabnya “ayoo.”

Setelah makan bersama-sama, merekapun
berterimakasih kepada pengundangnya karena sudah
mengundang kami untuk mementaskan Seni Tari Rampak
Bedug. Setelah itu mereka berpamitan dengan
pengundangnya, lalu mereka pulang ke tempat latihan
terlebih dahulu.

Saat mereka sampai di tempat latihan mereka
berkumpul dan mengucapkan “Alhamdulllilah acara
pementasan Seni Tari Rampak Bedug kita selesai” setelah
itu mereka pulang ke rumahnya masing-masing.

***

38

Besok adalah hari ulang tahun Adi, Adi pun
mengundang Pandu, Sultan, dan Davin untuk menghadiri
acara ulang tahun Adi. Pandu, Sultan, dan Davin
menerima undangan yang diberikan oleh Adi. Matahari
sudah terbit, Adi langsung bersiap-siap, tidak lama
kemudian Pandu dan Sultan sampai di Rumah Adi,

“Davin kemana yaa kok belum sampai juga” ucap
Adi, Pandu menjawabnya,

“Iyaa nih Davin kemana ya sepertinya dia
bangunnya terlambat”, tak lama kemudian Davin pun
sampai,

“Kamu kemana aja vinn? kok sampainya lama”
ucap Sultan.

“Maaf yaa aku bangunnya telat karena aku lupa
memasang alarm.”

“Baiklah, kalau begitu kita mulai saja yuk acara
ulang tahunnya.”

Pandu langsung memecahkan telur ke kepala Adi.

Plakkk “Aduh apa inii” ucap Adi.

39

“Selamat ulang tahun Adiii semoga panjang umur
dan sehat selalu” ucap Pandu, Sultan, dan Davin.

“Aduhhh terima kasih yaa Pandu, Sultan, dan
Davin” ucap Adi.

“Kalau begitu aku bilas sebentar ya kepala ku bau
amis nih” ucap Adi.

“Hahaha yaudah bilas saja dulu sana” ucap Pandu,
Sultan, dan Davin.

Setelah bilas Adi mengajak teman-temanya untuk
memakan makanan Khas Banten yaitu Pecak Bandeng.

“Yaudah yuk kita makan bareng” ucap Sultan.
“Wahh ternyata enak juga ya Pecak Bandengnya”
ucap Davin.
“Makanan Khas Banten emang enak rasanya, baru
tau ya hahaha.”

Setelah selesai makan Pandu, Sultan, dan Davin
berterimakasih Kepada Adi.

40

“Terima kasih yaa Adi sudah mengundang kita
untuk hadir diacara ulang tahunmu.”

“Yaa sama-sama, aku juga berterimakasih kepada
kalian yang sudah hadir diacara ulang tahunku.”

“Kalau begitu kita pamit yaa” ucap Pandu, Sultan
dan Davin.

“Iyaa hati-hati dijalan yaa.”
Pandu, Sultan, dan Davin pun sampai dirumahnya
masing-masing dengan selamat.

41

42

Resep Rahasia

Ammar Fathurahman

“Woww.... enak sekali” ucap pemuda yang
ternganga karena mencicipi makanan khas Sunda.
Pemuda tersebut bernama Arif. Arif memang menyukai
kegiatan memasak, bahkan dia memiliki cita-cita untuk
menjadi juru masak tetapi dia hanya pernah memasak
makanan rumahan. Ketika dia mencoba masakan khas
Sunda yaitu Nasi Liwet, dia langsung menyukainya.

“Nanti aku mau membuat Nasi Liwet ah...” tutur
Arif dalam hati.

Ketika di Akhir pekan, Arif mencoba membuat Nasi
Liwet dan melihat resep di handphonenya.

“Kok rasanya beda sekali ya, sama yang di restoran
itu??” ucap Arif kebingungan.

Keesokan harinya Arif mencoba membuat Nasi
Liwet lagi, dan gagal kembali. Karena Arif sudah tidak

43

ada motivasi membuat Nasi Liwet, Arif pergi ke restoran
yang membuat Arif suka kepada Nasi Liwet.

“Mas, maaf saya mau nannya, kalo chef yang masak
Nasi Liwet itu ada ga ya? Saya pengen ketemu” ucap Arif
dengan sopan.

“Maksud masnya Chef Hidayat? Ada mas tapi dia
sedang sibuk, masnya mau menunggu?” balas karyawan
restoran itu.

“Memang istirahatnya jam berapa mas?” ucap Arif.
“Sampai sepi sih mas biasanya” jawab karyawan
itu.
“Yaudah deh, saya tunggu sampai sepi” ucap Arif
saking senangnya.

Dua jam menunggu, restoran itu masih penuh,
kesabaran Arif masih ada. Satu jam setelahnya, pelanggan
restoran itu tinggal setengahnya dari sebelumnya, Arif
pun senang, karena pelanggannya tinggal sedikit. Setelah
empat jam menunggu, restoran itu sepi pelanggan. Arif

44


Click to View FlipBook Version