The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by nink.mart, 2022-06-19 22:35:49

14. Modul Budaya Anti KOrupsi APBDES

49






Analisis unsur pasal Tipikor

Dugaan Kerugian Negara Pasal 2:

No Unsur Keterangan
1. Setiap orang Kepala desa BA.

2. Secara melawan hukum Laporan pertanggung jawaban menggunakan
SPJ fiktif.
Catatan:
Untuk analisis unsur melawan hukum dapat
dilanjutkan dengan melakukan penelaahan
pada pelanggaran aturan perundangan terkait
Pengadaan Barang dan Jasa, Larangan Kepala
Desa dalam UU Desa dll.
3. Melakukan perbuatan Perbuatan yang dilakukan oleh Kepala Desa
yaitu, meminta Z (Humas LPMD) untuk mem-
buat laporan pertanggungjawaban keuangan
dengan membuat SPJ fiktif. Padahal tugas ini
bukan merupakan tugas pokok dari Humas
LPMD.
4. Memperkaya diri sendiri, atau orang Dugaan memperkaya diri sendiri karena Se-
lain, atau korporasi tiap pencairan dana APBDes, Kepala desa BA
selalu meminta dana tersebut untuk disimpan
sendiri tanpa melibatkan perangkat desa.
Catatan:
Untuk analisis unsur pasal lebih lanjut dapat
dilanjutkan dengan melakukan penelaahan
pada bertambahnya kekayaan Kepala Desa
yang berhubungan dengan berkurangnya ke-
kayaan negara. Penelaahan juga dapat dilaku-
kan terhadap bertambah kekayaan kerabat
atau teman dekat Kepala Desa teramsuk kor-
porasi yang dikuasai atau dimiliki Kepala Desa.
5. Dapat merugikan keuangan atau pereko- Dugaan Kerugian negara sebesar Rp. 111 juta
nomian negara Catatan:
Untuk analisis unsur pasal lebih lanjut da-
pat dilanjutkan dengan meminta perhitu-
ngan kerugian negara kepada BPKP sesuai de-
ngan pasal 3 huruf e Perpres No. 192 Tahun
2014, fungsi BPKP antara lain melakukan au-
dit investigatif terhadap kasus-kasus penyim-
pangan yang berindikasi merugikan keuangan
negara/daerah, audit penghitungan kerugian
keuangan negara/daerah, pemberian kete-
rangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi.

50






Dugaan Gratifikasi Pasal 12 B:

No Unsur Keterangan
1. Setiap gratifikasi Perhiasan senilai 3 juta.
2. Kepada pegawai negeri atau penyeleng- Kepala Desa BA.
gara
3. Berhubungan dengan jabatan dan berla- Gratifikasi diberikan oleh CV. Y yang berpo-
wanan dengan kewajiban atau tugasnya tensi konflik kepentingan dengan kepala desa
yang memegang kuasa pengelolaan anggaran.
4. Penerimaan gratifikasi tidak dilaporkan Kepala desa BA tidak melaporkan gratifikasi
kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari yang diterimanya kepada KPK dalam jangka
kerja sejak diterimanya gratifikasi waktu 30 hari kerja sejak diterimanya gratifi-
kasi.


Teori Korupsi dan Faktor Penyebab Korupsi APBDes


Untuk memahami penyebab tindak pidana korupsi APBDes dapat dilakukan
dengan menggaunakan teori teori sebagai berikut:
1. Teori korupsi menurut Robert Klitgaard, sering juga disebut sebagai CDMA Theory.

Menurut teori ini, korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan monopoli
yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas (ditambahkan?)



Corruption = Discretion + Monopoly – Accountability

(CDMA)






2. Teori korupsi menurut Jack Bologne, sering disebut sebagai GONE Theory. Dikata-
kan, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi adalah keseraka-
han (greed), kesempatan (opportunity), kebutuhan (needs), dan pengungkapan
(expose). Dalam teori ini, faktor keserakahan potensial dimiliki setiap orang dan
berkaitan dengan individu pelaku korupsi. Faktor kesempatan, berkaitan dengan

keadaan organisasi, instansi, atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga
terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan. Faktor kebu-
tuhan berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan individu untuk menunjang

hidupnya yang wajar. Dan, faktor pengungkapan berkaitan dengan tindakan atau
konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan
melakukan kecurangan.

51









CORRUPTION = GREED + OPPORTUNITY + NEED + EXPOSE

(CORRUPTION = GONE)





3. Teori korupsi menurut Donald R Cressey, dikenal juga sebagai Fraud Triangle
Theory. Menurut teori tersebut, tiga faktor yang berpengaruh terhadap fraud (ke-
curangan) adalah kesempatan, motivasi, dan rasionalisasi. Ketiga faktor tersebut,
menurut Cressey, memiliki derajat yang sama besar untuk saling mempengaruhi.

4. Teori Willingness and Opportunity to Corrupt. Menurut teori ini, korupsi terjadi
jika terdapat kesempatan/peluang (kelemahan sistem, pengawasan kurang, dan
sebagainya) dan niat/keinginan (didorong karena kebutuhan & keserakahan).



Banyaknya kasus korupsi APBDes akan mencederai semangat penyusunan UU
ini dan akan mengakibatkan tidak tercapainya tujuan UU Desa. Oleh karena itu, kasus
tindak pidana korupsi APBDes dapat dicegah antara lain dengan cara:
a. Membentuk individu masyarakat desa, yang berintegritas dengan mengedapan-

kan nilai – nilai integritas yang dipromosikan oleh KPK yaitu :
1. Tanggung jawab
2. Disiplin
3. Jujur

4. Sederhana
5. Kerja keras
6. Mandiri
7. Adil

8. Berani
9. Peduli


b. Mengoptimalkan pengawasan dari Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) maupun

masyarakat Desa terhadap pengelolaan APBDes;
c. Memberdayakan musayarawah desa.

52






A.3. Mekanisme Pengawasan dan Pemantauan Pembangunan Desa


a. Pengawasan dan Pemantauan Pembangunan Desa
Pasal 82 UU Desa telah memberikan jaminan hukum masyarakat dalam melaku-

kan pengawasan dan pemantauan pembangunan Desa. Pasal ini menyatakan secara
tegas bahwa masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi dan terlibat aktif men-
gawasi pelaksanaan pembangunan. Agar hak masyarakat ini dipenuhi dengan baik,
maka pasal ini juga memuat kewajiban pemerintah desa untuk memberikan informasi

rencana pembangunan apa saja yang akan dilaksanakan, sehingga berdasarkan infor-
masi ini, masyarakat desa memiliki hak untuk melakukan pemantauan terhadap pelak-
sanaan pembangunan desa.
Pemberian informasi ini juga dipertegas dalam Pemendagri No. 20 Tahun

2018 Pasal 39, yaitu Kepala Desa menyampaikan informasi mengenai APBDes kepada
masyarakat melalui media informasi, dan Permendagri No. 114 tahun 2014 Pasal 59,
yakni Kepala Desa menginformasikan dokumen RKP Desa, APBDes dan rencana kegia-
tan kepada masyarakat melalui kegiatan sosialisasi.

Adanya pernyataan yang jelas mengenai hak masyarakat desa untuk mendapat-
kan informasi dan terlibat aktif mengawasi pelaksanaan pembangunan Desa merupa-
kan upaya untuk memastikan pembangunan Desa dilaksanakan secara transparan dan
akuntabel, tanpa korupsi. Jika pengawasan dan pemantauan oleh masyarakat dilaku-

kan secara optimal, maka berbagai kasus penyimpangan dan terjadinya tindak pidana
korupsi di Desa dapat dicegah.


A.4. Potensi Permasalahan dan Rumusan Solusi dalam Pengawasan Pembangunan

Desa

Tahap Permasalahan Solusi: Tujuan Pengawasan
Pembangunan dan Pemantauan

1. Perencanaan • Pelibatan unsur masyarakat Memastikan:
pembangunan desa yang minim, Musdes di- • Kelompok perempuan,
dominasi aparat desa, RT/ kelompok disabilitas, dan
RW. sektoral dilibatkan dalam
• Penentuan prioritas pem- Musdes dan Musrenbang
bangunan tidak sesuai kebu- RKP Desa.
tuhan masyarakat dan tidak • Kebutuhan masyarakat dan
mengacu ke program/priori- prioritas pembangunan desa
tas yang ada di RPJM Desa. yang ada dalam RPJM Desa
• Penyelenggara Musyawarah diakomodir di dalam doku-
Desa bukan BPD. men RKP Desa.

53





Tahap Permasalahan Solusi: Tujuan Pengawasan
Pembangunan dan Pemantauan

• Kegiatan yang masuk dalam • Tidak adanya “kegiatan titi-
RKP Desa tidak sesuai de- pan” dari pihak-pihak ter-
ngan hasil Musdes. tentu.
• Masuknya kegiatan “titipan”
dari pihak-pihak tertentu.
• Penentuan tim penyu-
sun RKP Desa yang tidak
transparan.

2. Penyusunan RAPB Desa • Penyusunan RAB yang tidak Memastikan:
sesuai dengan standar harga • Kebutuhan masyarakat dan
barang (mark-up harga ba- prioritas pembangunan
rang). dianggarkan dalam RAPB
• Penyusunan RAB yang tidak Desa.
sesuai dengan standar harga • RAB sesuai dengan standar
barang (mark-up harga ba- harga barang.
rang). • Draft RAPB Desa disosial-
• Peran BPD yang lemah, ada isasikan oleh Kepala Desa
semacam “ancaman” bila kepada masyarakat.
tidak menyetujui tidak akan • Tidak adanya alokasi angga-
mendapatkan alokasi ang- ran yang tidak jelas perun-
garan. tukannya, seperti bantuan
• BPD tidak diberikan waktu sosial, dll.
dan ruang untuk memberi- • Fungsi review atas draft
kan review dan masukan RAPB Desa dijalankan oleh
atas draft RAPB Desa. BPD.
• Ada “pemaksaan” terhadap • Penetapan RAPB Desa di-
BPD untuk menetapkan dan lakukan tepat waktu.
menyetujui RAPB Desa.
3. Evaluasi RAPB Desa oleh • Ada kongkalingkong dengan • Memastikan tidak ada-
Bupati/Camat pejabat di kecamatan/ka- nya kongkalingkong antara
bupaten untuk meloloskan pejabat kecamatan/kabu-
proses evaluasi RAPB Desa. paten untuk memuluskan
proses evaluasi RAPB Desa.
4. Pelaksanaan pembangu- • Penentuan pelaksana kegia- Memastikan:
nan desa tan yang tidak transparan. • Tidak adanya kegiatan fiktif.
• Pelaksanaan kegiatan • Kegiatan pembangunan
yang tidak melibatkan sesuai dengan standar dan
masyarakat. rencana pembangunan.
• Tidak adanya pengawasan • Kegiatan diterima oleh
pelaksanaan kegiatan oleh masyarakat dan atau pene-
masyarakat. rima manfaat langsung.
• Tidak optimalnya peran BPD
dalam melakukan penga-
wasan.

54






Tahap Permasalahan Solusi: Tujuan Pengawasan
Pembangunan dan Pemantauan

5. Pelaporan dan pertang- • Laporan kegiatan dan ang- • Memastikan tidak adanya
gungjawaban APB Desa garan yang dibuat fiktif. laporan SPJ fiktif yang dibuat
oleh pemerintah desa.



A.5. Informasi Publik Desa yang Wajib Disampaikan Kepada Pemangku Kepentingan


Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,
Pasal 1 mendefinisikan Informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan,

dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan
penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyeleng-
garaan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi
lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Peraturan Komisi Informasi Pusat Nomor 1 Tahun 2018 tentang Standar Layanan
Informasi Desa, menjelaskan pengertian dari informasi publik desa adalah informasi
yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh Pemerintah Desa
yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pelaksanaan Pembangu-

nan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan Desa, dan Pemberdayaan Masyarakat Desa.
Informasi publik Desa terdiri dari 4 jenis, yaitu:


1. Informasi Publik Desa yang Wajib Disediakan dan Diumumkan Secara Berkala;

2. Informasi Publik Desa yang Wajib Diumumkan Secara Serta Merta;
3. Informasi Publik Desa yang Wajib Tersedia Setiap Saat; dan
4. Informasi yang Dikecualikan.



Informasi Publik Desa yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala,
terdiri dari:
a. profil Badan Publik Desa yang meliputi alamat, visimisi, tugas dan fungsi, struktur
organisasi, dan profil singkat pejabat;



b. matriks Program atau kegiatan yang sedang dijalankan yang meliputi; nama pro-
gram/kegiatan, jadwal waktu pelaksanaan, penanggungjawab sumber dan besaran
anggaran;



c. matriks Program masuk Desa yang meliputi program dari Pemerintah Pusat, Dae-
rah Provinsi, Daerah Kabupaten/Kota, dan pihak ke 3 (tiga) serta data penerima
bantuan program;

55






d. dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, Rencana Kerja Pemerin-
tah Desa dan Daftar Usulan Rencana Kerja Pemerintah dan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa;



e. peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa tahun berjalan;


f. Laporan Kinerja Pemerintah Desa yang meliputi paling sedikit:

1. laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa akhir tahun anggaran; dan/atau
2. laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa akhir masa jabatan;


g. Laporan Keuangan Pemerintah Desa yang paling sedikit terdiri atas:

1. laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
2. laporan realisasi kegiatan;
3. kegiatan yang belum selesai dan/atau tidak terlaksana; sisa anggaran; dan
4. alamat pengaduan;



h. daftar peraturan dan rancangan peraturan Pemerintah Desa; dan


i. informasi tentang hak dan tata cara mendapatkan Informasi Publik Desa.



Sedangkan informasi publik desa yang wajib tersedia setiap saat paling sedikit
terdiri atas:
a. Daftar Informasi Publik Desa yang paling sedikit berisi ringkasan isi informasi,

pejabat/unit yang menguasai informasi, penanggungjawab pembuatan/penerbi-
tan informasi, waktu dan tempat pembuatan informasi, format informasi yang ter-
sedia, jangka waktu penyimpanan atau masa retensi arsip;
b. Informasi tentang Peraturan Desa, Peraturan Bersama Kepala Desa, Peraturan

Kepala Desa, Keputusan Badan Permusyawaratan Desa yang paling sedikit terdiri
atas:
1. Dokumen pendukung kajian atau pertimbangan yang mendasari terbitnya
peraturan dan/atau keputusan tersebut;

2. Peraturan dan/atau keputusan dari berbagai pihak;
3. Risalah rapat dari proses pembentukan peraturan dan/atau keputusan tersebut;
4. Rancangan peraturan dan/atau keputusan tersebut;
5. Tahap perumusan peraturan dan/atau keputusan tersebut; dan

6. Peraturan dan/atau keputusan yang telah diterbitkan.

56






c. seluruh dokumen Informasi Publik Desa Berkala wajib disediakan;
d. profil lengkap Kepala Desa dan Perangkat Desa;
e. profil Desa;

f. surat perjanjian dengan pihak ketiga berikut dokumen pendukungnya;
g. surat menyurat pimpinan atau pejabat Pemerintah Desa dalam rangka pelaksa-
naan tugas pokok dan fungsinya;
h. data perbendaharaan atau inventaris.





Dalam rangka menyediakan informasi publik Desa, KPK telah membangun
aplikasi JAGA yang dapat digunakan oleh Pemerintah Desa.



Alur Layanan Informasi Publik Desa
Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2018, juga mengatur tentang tataca-
ra pemberian layanan informasi desa. Pemerintah desa sebagai Badan Publik wajib

membentuk dan menetapkan Pejabat Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi (PPID)
adalah pejabat yang bertugas dan bertanggung jawab melakukan pengelolaan dan pe-
layanan informasi publik meliputi proses pengumpulan, penyediaan, pengklasifikasian,
penyimpanan, pendokumentasian, dan pelayanan informasi. Pejabat PPID merupakan

pejabat yang tugaskan oleh Kepala Desa kepada Sekretaris Desa atau perangkat desa
lainnya, bila berhalangan.


FUNGSI PPID


• Penghimpunan informasi publik dari seluruh unit kerja di badan
publik;

• Penataan dan penyimpanan informasi publik yang diperoleh dari
seluruh unit kerja di lingkungan badan publik;
• Penyeleksian dan pengujian informasi publik yang termasuk dalam
kategori dikecualian dari informasi yang terbuka untuk publik;

• Pelayanan informasi publik;
• Penyelesaian sengketa pelayanan informasi.



Dalam menjalankan fungsi pelayanan informasi publik. PPID Desa bertugas:
a. memberikan Informasi Publik Desa yang dapat diakses oleh publik setelah berkoor-

dinasi dengan Badan Publik Desa;
b. melakukan pengujian tentang konsekuensi yang timbul sebagaimana diatur dalam

57




Pasal 19 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik sebelum menyatakan In-

formasi Publik tertentu dikecualikan;
c. menyertakan alasan tertulis pengecualian Informasi Publik secara jelas dan tegas,
dalam hal permohonan Informasi Publik ditolak; dan
d. menghitamkan atau mengaburkan Informasi Publik yang dikecualikan beserta ala-

sannya.


Alur Pelayanan Informasi Publik Desa dapat dilihat di gambar berikut ini




Gambar 1. Alur Pelayanan Informasi Publik Desa











Layanan Informasi
Publik





Melalui Melalui
Pengumuman Permohonan




Tertulis Tidak


Lampiran I
Peraturan KI Form Permohonan
No.1 Tahun 2018



Pengisian
Nomor Buku Registrasi *Diisi pemohon 10 hari kerja untuk
*Diisi petugas
pemberitahuan
tertulis
Lampiran VII 7 hari kerja untuk
Peraturan KI Menginginkan Melihat perpanjangan
No.1 Tahun 2018 Pemberitahuan salinan Dokumen
Tertulis





Sumber: Presentasi Didik Prasetiyono tentang Perkembangan Implementasi UU No. 14 tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik.

58






BOKS 1


Desa Jangan Takut untuk Terbuka




Desa Ngabab (Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur) dan Desa Tan-
jung Harap (Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatra Utara) ada-
lah Desa yang telah menerapkan Standar Layanan Informasi Publik
(SLIP) Desa. Praktik pelayanan informasi dilakukan baik melalui pen-

gumuman maupun pemberian informasi berdasarkan permintaan. Pe-
ngumuman informasi tetap dipersiapkan karena selama ini memang
diinstruksikan oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah

Desa (DPMPD).


Proses penyediaan pengumuman informasi ini di bawah tanggung
jawab Sekretaris Desa (Sekdes) dengan memanfaatkan tenaga opera-
tor desa yang selama ini bekerja untuk menjalankan berbagai sistem

yang diterapkan di desa, antara lain Sistem Keuangan Desa (Siskeudes).
Proses pelayanan informasi berdasarkan permintaan telah dilakukan
oleh dan Tanjungharap. Di dua desa tersebut telah ada permintaan

informasi dari pihak luar yang mengatasnamakan LSM. Para pemohon
informasi kemudian diarahkan kepada petugas di meja layanan untuk
mengisi form permohonan informasi yang telah disiapkan oleh Pem-
des. Di Desa Ngabab pemohon informasi bersedia mengisi form, teta-
pi di Desa Tanjungharap pemohon informasi menolak untuk mengisi

form tersebut dan mengancam akan melaporkan kepada Komisi Infor-
masi Daerah.



Mekanisme pelayanan informasi menurut SLIP Desa memang diarah-
kan untuk melalui prosedur, antara lain untuk mengisi form permo-
honan informasi. Namun demikian, permintaan informasi secara lisan
tetap dilayani dengan cara menjawab langsung kepada yang bersang-
kutan. Dengan demikian, pelayanan informasi secara lisan tetap di-

lakukan oleh Pemdes, baik oleh Kepala Desa maupun perangkat desa.
Pemerintah desa tidak perlu khawatir dengan pemohon informasi
publik. Kejadian pemohon di Desa Tanjungharap yang tidak bersedia

mengisi form permohonan informasi, hal ini menandakan pemohon

59











tidak serius dalam melakukan permohonan. Ancaman pemohon tidak
beralasan karena pengaduan kepada komisi informasi harus memiliki
legal standing berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP).




Sumber: Laporan PATTIRO Program SLIP Desa tahun 2017 diolah.


Jika ada pihak yang meminta informasi, namun Pemerintah Desa tidak bersedia
memberikan informasi tersebut, maka ada terjadilah sengketa informasi. Sengketa in-

formasi dapat diselesaikan melalui mediasi dan/atau adjudikasi non litigasi sesuai de-
ngan pasal 17 Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2018 tentang Standar Layanan
Informasi Publik Desa.


a. Keterampilan yang Diperlukan dalam Menjelaskan Pengawasan Pembangunan

Desa, Transparansi Informasi dan Potensi Permasalahannya.


1. Menjelaskan Siklus Pembangunan Desa.

2. Menjelaskan Modus Tindak Pidana Korupsi (TPK) terkait APBDes.
3. Menjelaskan Mekanisme pengawasan dan pemantauan pembangunan Desa.
4. Menjelaskan Potensi permasalahan dan rumusan solusi dalam pengawasan pem-
bangunan Desa dan pengelolaan informasi publik.
5. Menjelaskan Informasi Publik Desa yang wajib disampaikan kepada pemangku

kepentingan.


b. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Menjelaskan Pengawasan Pembangunan

Desa, Transparansi Informasi dan Potensi Permasalahannya.


1. Cermat dan teliti dalam:
• Menjelaskan Siklus Pembangunan Desa.
• Menjelaskan Unsur Pasal dan Modus Tindak Pidana Korupsi (TPK) terkait APB-

Des.
• Menjelaskan Mekanisme pengawasan dan pemantauan pembangunan Desa.
• Menjelaskan Potensi permasalahan dan rumusan solusi dalam pengawasan

pembangunan Desa.
• Menjelaskan Informasi Publik Desa yang wajib disampaikan kepada pemangku
kepentingan.

60






2. Analitis dan evaluatif dalam
• Menjelaskan Siklus Pembangunan Desa.
• Menjelaskan Unsur Pasal dan Modus Tindak Pidana Korupsi (TPK) terkait APB-

Des.
• Menjelaskan Mekanisme pengawasan dan pemantauan pembangunan Desa.
• Menjelaskan Potensi permasalahan dan rumusan solusi dalam pengawasan
pembangunan Desa.

• Menjelaskan Informasi Publik Desa yang wajib disampaikan kepada pemangku
kepentingan.



62





A. Pengetahuan yang diperlukan dalam Mendeskripsikan Langkah-langkah
Menggunakan Pendekatan Budaya dalam Mencegah Korupsi APBDes.



1. Konsep budaya dalam Masyarakat Desa dan Ragam budaya di Indonesia.


Pengertian dan Unsur Budaya

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan budaya sebagai suatu pe-
mikiran, adat istiadat, dan akal budi.
Koentjaraningrat dalam Sudarsono dan Ranuwiyanto (1999 : 12) dalam Yulianus
(2012) menjelaskan bahwa budaya adalah keseluruhan sistim gagasan, tindakan, dan

hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri ma-
nusia dengan belajar. Budaya dapat memberi arah kepada masyarakat untuk berfikir
dan bertindak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang terpelihara secara turun
temurun.

Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa budaya
merupakan sesuatu yang disepakati bersama dan mengandung nilai- nilai luhur sebagai
gambaran hidup bermasyarakat, dan berbangsa. Dapat juga dikatakan bahwa budaya
mencakup seluruh norma-norma yang mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat

dalam suatu komunitas termasuk aturan-aturan yang tidak tertulis namun merupakan
kesepahaman masyarakat yang dipegang secara terus menerus. Norma-norma terse-
but antara lain keyakinan, aturan-aturan, hukum, kebiasaan-kebiasaan yang secara tu-
run temurun dijadikan pijakan dalam bertindak, bersikap, dan berperilaku.

Koentjaraningrat menjelaskan bahwa terdapat tujuh unsur kebudayaan univer-
sal, yaitu :
1. Bahasa
2. Sistem pengetahuan

3. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial, meliputi kekerabatan, perkumpulan,
sistem kenegaraan, dan sistem kesatuan hidup.
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi. Unsur teknologi yang paling menonjol adalah
kebudayaan fisik, misalnya alat-alat produksi, senjata, wadah, makanan dan minu-

man, pakaian dan perhiasan, tempat tinggal atau rumah serta alat transportasi.
5. Sistem mata pencaharian hidup, yaitu adalah segala usaha manusia untuk menda-
patkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhannya.
6. Sistem religi disini adalah sebuah sistem yang terpadu antara keyakinan dan pe-

rilaku keagamaan, meliputi sistem kepercayaan, nilai dan pandangan hidup, komu-
nikasi dan upacara keagamaan.
7. Kesenian diartikan sebagai segala hasrat manusia terhadap keindahan yang mun-

63






cul dari imajinasi kreatif manusia. Ada banyak kesenian yang umumnya dihasilkan
oleh suatu komunitas masyarakat semisal kerajinan batok kelapa, pahat, dan masih
banyak lainnya. Kesenian dibagi menjadi tiga bentuk yaitu seni rupa, seni suara dan
seni tari.

Ketujuh unsur di atas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pranata
sosial, item budaya, dan pemimpin budaya yang akan dibahas lebih lanjut.


Budaya Demokratis Masyarakat Desa



Dalam berbagai literatur yang menjelaskan tentang kehidupan masyarakat Desa
(Mattulada 1977; Suparlan 1977; Koentjaraningrat 1984), masyarakat Desa memiliki
karakter budaya sebagai berikut:

• Memiliki ikatan sosial yang kuat. Masyarakat Desa memiliki ikatan antar individu
yang kuat. Ikatan ini terbentuk oleh rasa solidaritas yang tinggi karena memiliki
persamaan dalam berbagai aspek, terutama mata pencaharian. Ikatan sosial yang
kuat ini kemudian membentuk masyarakat Desa sebagai masyarakat komunal, yang

menjalankan urusan kolektif secara bersama-sama.
• Memiliki semangat kekeluargaan dan gotong royong yang tinggi. Pada umumnya
masyarakat Desa masih mempertahankan perkawinan “endogamy”, yaitu perka-
winan di antara sesama warga Desa. Oleh karena itu, meskipun warga Desa telah

berkembang sedemikian rupa dari generasi ke generasi, namun perasaan memiliki
ikatan kekerabatan di antara warga Desa masih cukup kuat. Tidak mengherankan
kemudian jika dalam kehidupan masyarakat Desa berkembang semangat kekeluar-
gaan yang kuat, yang kemudian berkembang menjadi semangat gotong royong. Se-

mangat kekeluargaan dan gotong royong ini kemudian mendasari masyarakat Desa
dalam menjalankan urusan kolektif yang dihadapinya.
• Mengedepankan musyawarah dalam mengambil keputusan. Adanya ikatan sosial
yang kuat dan semangat kekeluargaan dan gotong royong yang tinggi, mendorong

masyarakat Desa untuk mengedepankan konsensus atau musyawarah mufakat
dalam proses pengambilan keputusan. Musyawarah mufakat ini dilakukan untuk
mencari titik kompromi sehingga tidak ada warga yang merasa “kehilangan muka”
(Higgins 1956).



Karakteristik budaya tersebut di atas dipandang sebagai ciri masyarakat demo-
kratis yang telah berkembang sangat lama (Hatta 1966). Dalam konsep ini, masyarakat
Desa dipandang sebagai masyarakat egaliter, yang memandang satu individu terhadap

individu lainnya dalam posisi yang setara. Mengacu pada konsep tersebut, dapat dika-

64





takan bahwa pada dasarnya budaya yang berkembang dalam masyarakat desa adalah
budaya demokrasi.



Manipulasi Budaya Demokrasi Menjadi Budaya yang Mendukung Praktik Korupsi.


Pada dasarnya budaya masyarakat desa adalah budaya demokrasi yang menga-
nut prinsip egaliter. Pada tataran ideal, budaya demokrasi ini semestinya menjadi bu-
daya yang mendukung terbentuknya sistem antikorupsi pemerintahan Desa. Namun,

jika data dan fakta menunjukkan banyaknya praktik korupsi APBDes, maka dapat di-
simpulkan terdapat masalah dalam implementasi budaya demokrasi di Desa.
Masalah ini terjadi karena adanya manipulasi budaya, yaitu praktik penyim-

pangan dari budaya yang bertujuan positif menjadi budaya yang memiliki dampak
negatif. Dalam konteks ini, manipulasi budaya yang terjadi di Desa adalah dari penyim-
pangan dari budaya demokratis yang mendukung sistem antikorupsi menjadi budaya
yang mendukung praktik korupsi dijelaskan dalam diagram berikut ini.






Diagram 2.
Manipulasi Budaya Demokrasi Menjadi Budaya yang Mendukung Praktik Korupsi






BUDAYA DEMOKRATIS MASYARAKAT DESA

- Ikatan Sosial yang Kuat
- Semangat Kekeluargaan dan Gotong Royong
- Musyawarah untuk Mufakat








Hormat kepada Patron - Client Elite Capture/
Tokoh/Tetua Praktik Korupsi




Manipulasi
Budaya

65






Diagram di atas menunjukkan adanya problem relasi yang tidak setara antara
warga dengan para pimpinan atau tokoh. Hal ini karena dalam pranata kehidupan
masyarakat desa dikenal suatu penghormatan kepada kaum tetua (Higgins 1956). Re-
lasi yang tidak seimbang antara warga biasa dengan para tokoh di desa inilah yang

disebut dengan istilah patron-client atau tuan-kawula.
Patron-client merupakan hubungan antara para tokoh yang memiliki sumber
daya ekonomi dengan warga biasa, yang memiliki hubungan imbal balik (resiprokal)
yang saling memanfaatkan. Patron menyediakan sumber daya untuk dimanfaatkan

oleh client, sementara client memberikan loyalitas yang penuh kepada patron (Scott
1972).
Dalam konteks relasi patron-client tersebut, dalam berbagai kajian tentang pem-
bangunan menggunakan pendekatan komunitas (community-driven development),

muncul suatu fenomena yang disebut dengan elite capture (Bardhan dan Mookherjee
2000; Dasgupta dan Beard 2007; Dutta 2009).
Elite capture merupakan suatu fenomena di mana para elit atau tokoh meman-
faatkan kedudukannya untuk mendapatkan sumber dana publik secara tidak sah untuk

kepentingan pribadinya. Dalam konteks ini, terjadi manipulasi budaya penghormatan
kepada para tetua menjadi elite capture yang mendukung berkembangnya praktik-
praktik koruptif.
Praktik elite capture ini membawa konsekuensi minimnya pengawasan dan

kondisi ini menjadi faktor pendukung terjadinya praktik korupsi. Teori CDMA dari Ro-
bert Klitgaard menjelaskan bahwa korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan
monopoli yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas.





Corruption = Discretion + Monopoly – Accountability (CDMA)







Berdasarkan teori ini, relasi patron-client yang memunculkan elite capture
mengakibatkan kekuasaan dari Kepala Desa dan Perangkat Desa menjadi sangat besar
yang tidak diimbangi dengan pengawasan dari warga Desa dan BPD. Hal ini terjadi ka-

rena warga menghormati tetua (Kepala Desa dan Perangkat Desa) dan merasa enggan
jika bersikap kritis, termasuk mengingatkan Pemerintah Desa untuk transparan dan
akuntabel di dalam mengelola APBDes.

66





Beberapa contoh manipulasi budaya yang mendukung tindak pidana korupsi,
antara lain:
• Budaya gotong royong, yang pada dasarnya merupakan budaya positif untuk me-

laksanakan pembangunan Desa dimanipulasi dengan melakukan pembiaran tinda-
kan penyimpangan terhadap pengelolaan APBDes, dan hal ini dilakukan oleh ba-
nyak orang, bukan satu atau dua orang saja.
• Budaya sirri (menjunjung tinggi harga diri), merupakan budaya positif yang men-
dukung antikorupsi. Namun, budaya ini dapat dimanipulasi dimana harga diri diar-

tikan sebagai gengsi yang akan memunculkan rasa malu jika tidak bisa ‘memberi’.
Contohnya: anggota DPRD yang didatangi oleh tim sukses atau keluarga yang me-
minta bantuannya. Kondisi ini akan memaksa anggota DPRD tersebut untuk bisa

membantu tim sukses/keluarganya, bagaimanapun kondisinya yang akan mening-
katkan potensi untuk melakukan tindak pidana korupsi.
• Budaya memberi, yang pada dasarnya merupakan budaya positif untuk membantu
“sesama” yang didasarkan pada nilai “tanpa pamrih” dimanipulasi menjadi tinda-
kan gratifikasi yang termasuk kategori tindak pidana korupsi,. Contohnya, pembe-

rian parcel kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) menjelang hari raya.
• Ewuh pekewuh yang pada dasarnya merupakan budaya positif memunculkan rasa
malu untuk bertindak di luar nilai-nilai budaya dimanipulasi menjadi tindakan eng-

gan untuk mengingatkan pelaku korupsi.
• Mikul dhuwur mendhem jero yang pada dasarnya merupakan budaya positif dalam
bentuk penghormatan kepada tetua dan mendahulukan prasangka baik. Budaya ini
dimanipulasi dalam bentuk “menutupi” kesalahan (termasuk korupsi) dari orang
yang dituakan. Manipulasi budaya ini akan menghambat munculnya whistle blower

karena whistle blower akan dianggap sebagai pengkhianat.


A.2. Pendekatan budaya untuk Mencegah Korupsi APB Desa

Transformasi dari Elite Capture menjadi Benevolent Capture


Dalam masyarakat desa, elite capture seringkali terjadi dalam relasi antara war-
ga dan para elit (tokoh, pimpinan). Dalam rangka membangun akuntabilitas budaya,
elite capture (praktik para elit dalam memanfaatkan sumber daya publik untuk kepen-

tingan mereka) perlu ditransformasikan menjadi elite control, yaitu praktik para elit
dalam mengendalikan sumber-sumber daya publik agar tetap ter-deliver kepada warga
yang menjadi sasaran pembangunan. Elite control akan mengakibatkan perubahan re-

lasi antara warga dan para tetua menjadi benevolent capture, atau elite capture yang
bersifat baik. Transformasi dari elite capture menjadi benevolent capture dapat dilihat
pada diagram berikut ini.

67






Diagram 3.
Transformasi dari Elite Capture menjadi Benevolent Capture








BENEVOLENT
ELITE CONTROL
ELITE CAPTURE CAPTURE
Tindakan tokoh desa yang
Tindakan tokoh desa yang menguntungkan karena Suatu kondisi
merugikan, karena mengambil memanfaatkan dimana elite
sumber daya dan sumber dana posisinya sebagai tokoh atau tokoh
publik untuk kepentingan untuk mengendalikan sum- di desa dapat
pribadinya. ber daya dan sumber dana memberikan
publik untuk kepentingan manfaat bagi
masyarakat desa. masyarakat desa.







Selama ini akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan desa menggunakan

pendekatan pada akuntabilitas struktural, dimana akuntabilitas yang dikembangkan
didasarkan pada relasi-relasi struktural sebagaimana diatur dalam peraturan perun-
dang-undangan. Misalnya, setiap akhir tahun Kepala Desa menyusun laporan pertang-
gungjawaban (LPJ) dan dilaporkan kepada pemerintah kabupaten serta disampaikan

kepada BPD. BPD sebagai wakil masyarakat Desa biasanya juga tidak secara kritis me-
lakukan review terhadap laporan tersebut. LPJ tidak disampaikan kepada masyarakat,
sehingga masyarakat tidak mengetahui pertanggungjawaban kinerja Kepala Desa. Pa-
dahal, karakteristik asli budaya di Desa adalah budaya demokratis yang mendukung

lingkungan antikorupsi. Manipulasi budaya yang terjadi telah membentuk lingkungan
yang mendukung tindak pidana korupsi.
Untuk memberantas korupsi APBDes, pendekatan budaya perlu digunakan,
dengan memperkuat nilai-nilai budaya positif, menghilangkan manipulasi budaya yang

terjadi sesuai konteks lokal serta mengembalikan karakter budaya demokratis di Desa
yang diharapkan akan meningkatkan elemen “Akuntabilitas” dari teori CDMA Robert
Klitgaard. Pembangunan ‘akuntabilitas budaya’ seperti itu dilakukan untuk mengubah
perilaku elit capture yang merugikan menjadi benevolent capture (elit capture yang

bersifat baik).
Pelaksanaan pendekatan budaya dilakukan dengan cara:
i. mengoptimalkan pranata sosial yang ada di Desa.
ii. menggunakan item-item budaya yang berkembang di Desa.

iii. memperkuat peran pemimpin budaya.

68





Pranata sosial yang ada di Desa.
Langkah pertama untuk melakukan pendekatan budaya dalam membentuk ling-
kungan antikorupsi adalah mengidentifikasi pranata sosial yang ada dan berkembang

di Desa, termasuk nilai-nilai yang berkembang, norma, etika, termasuk sanksi-sanksi
sosial.
Contoh pranata sosial adalah organisasi Karang Taruna, Persatuan Amal Kema-
tian (PAKAM), Ikatan Remaja Mesjid (IRMAS), Majelis Taklim, pertemuan rutin gereja,
perkumpulan pemuda, kelompok arisan dan lain-lain.

Selanjutnya, pranata sosial yang telah diidentifikasi digunakan untuk melaku-
kan upaya penyadaran kepada warga terkait apa itu korupsi, modus korupsi, bahaya
korupsi, dan apa yang bisa dilakukan warga untuk menjadi agen perubahan dalam me-

ningkatkan akuntabilitas pembangunan Desa dan pengelolaan APBDes serta mencegah
korupsi.
Secara umum, pranata sosial yang ada akan dioptimalkan untuk membentuk
lingkungan antikorupsi, antara lain:
a. Menggunakan pertemuan-pertemuan yang ada untuk menyampaikan informasi

terkait perkembangan pembangunan Desa, anggaran dan pengelolaan APBDes.
b. Menggunakan pertemuan-pertemuan untuk mendapatkan informasi terkait aspi-
rasi warga yang selanjutnya akan disuarakan oleh pemimpin budaya.

c. Menggunakan pertemuan-pertemuan yang ada sebagai sarana untuk mengatasi
konflik (misalnya, jika terjadi sengketa informasi terkait APBDes).


Pemimpin budaya di Desa.
Pranata sosial yang telah diidentifikasi memiliki pemimpin, yang disebut de-

ngan pemimpin budaya. Pemimpin budaya ini secara khusus akan diajak menjadi mo-
tor aktor perubahan dengan memimpin agen perubahan di tingkat warga yang telah
tergerak untuk meningkatkan akuntabilitas pembangunan Desa dan pengelolaan APB-

Des serta mencegah korupsi.
Selanjutnya, pemimpin budaya akan didorong untuk membentuk lingkungan
antikorupsi dan menjadi kekuatan penyeimbang pemimpin struktural, misalnya:
a. Melakukan klarifikasi ketika ada dugaan kasus korupsi
b. Mengingatkan Kepala Desa, Perangkat Desa, dan BPD untuk menjalankan aman-

ahnya berdasarkan nilai-nilai antikorupsi
c. Mengikuti proses Musyawarah Desa dan menyampaikan aspirasi warga Desa, un-
tuk memastikan APBDes memenuhi kebutuhan seluruh lapisan masyarakat, ter-

masuk kebutuhan kelompok perempuan, anak, dan disabilitas.

69






Item-item Budaya yang Masih Hidup di Desa.
Dalam masyarakat desa biasanya berkembang item-tem budaya dalam bentuk
ritual seperti pertemuan warga, rembug desa, kegiatan majelis taklim, jamiahan, dan
sebagainya. Item budaya berupa kesenian juga banyak berkembang di desa seperti

wayang, drama rakyat, kuda lumping, sintren, kuntulan, dan sebagainya. Pada dasar-
nya seluruh ritual dan kesenian merupakan tempat berkumpulnya warga.
Setelah pranata sosial dan pemimpin budaya berhasil diidentifikasi, maka lang-
kah selanjutnya adalah mengidentifikasi item-item budaya yang akan digunakan seba-

gai sarana melaksanakan aksi anti korupsi kepada masyarakat Desa secara luas. Warga
dan pemimpin budaya yang telah menjadi agen perubahan dimotivasi untuk mengop-
timalkan item-item budaya ini untuk membentuk lingkungan antikorupsi dengan me-
lakukan penyadaran kepada masyarakat Desa, Pemerintah Desa dan BPD terkait pen-

tingnya pembangunan Desa dan pengelolaan APBDes dapat dilaksanakan antara lain
dengan cara:
a. Menggunakan ritual kesenian sebagai sarana untuk menyampaikan pesan transpa-
ransi dan antikorupsi.

b. Menyusun narasi drama rakyat dengan tema antikorupsi dan mendorong war-
ga Desa untuk mau menjadi aktor perubahan yang melakukan pengawasan atas
pelaksanaan pembangunan Desa.



A.3. Musyawarah Desa sebagai Manifestasi Budaya Demokratis Desa
Dalam proses transformasi elite capture menjadi benevolent capture, satu hal
yang harus dilakukan adalah mengembalikan jati diri musyawarah Desa sebagai rep-
resentasi budaya demokratis Desa yang akan terwujud jika UU Desa dan turunannya

terkait musyarawah Desa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Hal ini karena para pe-
nyusun UU Desa memandang pentingnya melestarikan budaya demokratis di Desa,
dimana keputusan tertinggi dilakukan dalam Musyawarah Desa.
Dalam ketentuan umum UU No.6 tentang Desa, Musyawarah Desa atau yang

disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa,
Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusya-
waratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.
Hal-hal strategis menurut UU Desa adalah:

1) penataan Desa
2) perencanaan Desa;
3) kerja sama Desa;
4) rencana investasi yang masuk ke Desa;

5) pembentukan BUM Desa;

70





6) penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan/atau
7) kejadian luar biasa.



Terkait poin nomor 2, perencaaan Desa, setidaknya dilakukan Musdes setahun
sekali untuk menyusun bahan awal RKP Desa yang sekaligus menjadi ruang bagi Kepala
Desa untuk menyampaikan Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Desa.
Unsur masyarakat menurut PP Desa adalah tokoh adat, tokoh agama, tokoh
masyarakat, tokoh pendidikan, perwakilan kelompok tani, perwakilan kelompok ne-

layan, perwakilan kelompok perajin, perwakilan kelompok perempuan, perwakilan
kelompok pemerhati dan pelindungan anak, perwakilan kelompok masyarakat miskin
dan unsur masyarakat lain yang disesuaikan dengan kondisi Desa.

PP juga menegaskan bahwa penyelenggara Musdes adalah BPD dan difasilitasi
oleh Pemdes.
Secara teknis, penyelenggaraan musdes telah diatur melalui Peraturan Menteri
Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permendesa) No. 2/2015. Hal
– hal yang perlu diperhatikan menurut Permendesa tersebut yaitu:



BPD harus membentuk kepanitiaan yang diketuai oleh sekretaris BPD dan
anggotanya terdiri dari anggota BPD, kader pemberdayaan masyarakat
desa, unsur masyarakat desa dan perangkat desa.



Dalam persiapan pelaksanaan Musdes, panitia harus aktif menyebarkan
undangan kepada seluruh peserta termasuk unsur masyarakat. Selain un-
dangan, panitia juga harus menyampaikan pengumuman sebagai undangan
tidak resmi melalui media yang mudah dijangkau oleh masyarakat desa,
seperti melalui pengeras suara di masjid, papan mengumuman, pesan sing-
kat melalui telepon seluler, surat elektronik (e-mail), situs laman (website)
desa. Upaya ini dilakukan agar Musdes diketahui secara luas oleh warga
Desa, sehingga warga Desa yang tidak mendapatkan undangan resmi me-
miliki kesempatan untuk mendaftarkan diri sebagai peserta.


Warga yang tidak mendapatkan undangan resmi namun berkeinginan un-
tuk hadir dapat mendaftarkan kepada panitia tujuh hari sebelum pelaksan-
aan, kemudian panitia mencatatnya sebagai peserta dan memiliki hak su-
ara yang sama dengan peserta yang mendapat undangan resmi, pada saat
pengambilan keputusan.



Musdes merupakan forum yang sangat penting. Permendesa menegaskan
bahwa kesepakatan Musdes menjadi dasar bagi BPD dan Pemerintah Desa
dalam menetapkan kebijakan dan Peraturan Desa.

71






Jika seluruh aturan Permendesa ini dilaksanakan dengan baik, maka Musyawa-
rah Desa yang dilakukan dapat dijadikan indikator suatu Desa demokratis, dengan be-
berapa kriteria:



BPD menjalankan perannya selaku penanggung jawab penyelenggaraan
Musdes dengan baik yang mengindikasikan adanya check and balance anta-
ra Pemerintah Desa dan BPD sehingga Musdes yang diselenggarakan adalah
Musdes yang berkualitas dan bukan Musdes yang berkualitas rendah dan
hanya formalitas saja.


Panitia Musdes menginformasikan seluas-luasnya rencana penyelengga-
raan Musdes melalui berbagai saluran agar seluruh warga Desa tanpa ke-
cuali dapat mengetahui.


Musdes dihadiri oleh seluruh pemangku kepentingan Desa, baik dari unsur
Pemerintah Desa, BPD dan unsur masyarakat.


Musdes bisa dihadiri oleh warga yang tidak diundang, dengan cara warga
yang berminat mengikuti Musdes secara proaktif mendaftarkan diri. Dengan
demikian, sesungguhnya seluruh warga Desa, baik laki-laki maupun perem-
puan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi peserta Musdes. Hal
ini merupakan perwujudan dari karakter asli budaya Desa yang demokratis.


Keputusan diambil atas dasar kesepakatan (konsensus) yang selanjutkan
dijadikan dasar bagi Pemerintah Desa dan BPD dalam menetapkan kebija-
kan dan peraturan Desa. Dengan demikian, Pemerintah Desa merupakan
1/3 aktor pengambil keputusan sehingga semestinya Pemerintah Desa tidak
mendominasi Musdes yang akan menurunkan kualitas demokrasi Desa.



Seluruh agen perubahan (pemimpin budaya dan masyarakat Desa) proaktif
melakukan sosialisasi pelaksanaan Musdes, termasuk dengan mengguna-
kan item budaya yang ada.



Seluruh pemimpin budaya mendiskusikan dengan anggota masng-masing
terkait isu/permasalahan/usulan yang akan disampaikan di Musdes.



Seluruh agen perubahan (pemimpin budaya dan masyarakat Desa) proaktif
mendaftarkan diri untuk mengikuti Musdes.



Seluruh agen perubahan (pemimpin budaya dan masyarakat Desa) aktif
berpartisipasi dalam Musdes.

72






Seluruh agen perubahan (pemimpin budaya dan masyarakat Desa) me-
ngawal agar proses pengambilan keputusan tidak didominasi oleh salah
satu unsur saja.



Pelaksanaan Musdes secara transparan dan partisipatif dapat mendorong ter-
ciptanya akuntabilitas dalam pelaksanaan Musdes, dimana ketiga unsur Desa (BPD,
Pemerintah Desa dan unsur masyarakat terlibat dalam Musdes tersebut. Sebaliknya,

pelaksanaan Musdes yang tidak transparan dan partisipatif dapat membentuk ling-
kungan koruptif karena proses-proses pengambilan keputusan yang didominasi oleh
elit saja. Pelaksanaan Musdes yang tidak berkualitas memiliki ciri-ciri sebagai berikut:



BPD tidak menjalankan perannya selaku penanggung jawab penyelengga-
raan Musdes dengan baik, sehingga Musdes yang diselenggarakan adalah
Musdes yang berkualitas rendah dan hanya formalitas saja untuk melegal-
kan keinginan Pemerintah Desa.



Panitia Musdes tidak menginformasikan seluas-luasnya rencana penye-
lenggaraan Musdes melalui berbagai saluran sehingga hanya sebagian
kecil masyarakat Desa yang mengetahui informasi penyelenggaraan. Hal
ini berdampak tidak semua masyarakat Desa memiliki kesempatan untuk
mendaftarkan diri sebagai peserta Musdes.


Peserta Musdes tidak mewakili seluruh pemangku kepentingan Desa kare-
na tidak seluruh unsur masyarakat hadir


Relasi kuasa yang tidak seimbang antara BPD, Pemerintah Desa dan unsur
masyarakat yang mengakibatkan salah satu aktor mendominasi (biasanya
Pemerintah Desa).





Dalam praktiknya, setidaknya ada 4 (empat) kemungkinan kondisi terkait pe-
rilaku antikorupsi dari pemimpin budaya, masyarakat Desa, Kepala Desa dan BPD.
Strategi yang dikembangkan untuk menciptakan Musyawarah Desa demokratis dan
lingkungan antikorupsi di Desa disesuaikan untuk masing-masing kondisi, yang dapat
dilihat pada tabel matriks strategi antikorupsi menggunakan pendekatan budaya beri-

kut ini.

Pemimpin Budaya Pemimpin budaya dan kepala desa bersama sama membangun jeja- ring antikorupsi. Kegiatan jejaring antikorupsi antara lain dapat berupa mengi- nisiasi kegiatan silatura- him budaya dengan desa tetangga Penguatan kelembagaan melalui kegiatan monito- ring dan evaluasi secara berkelanjutan Agen perubahan be- kerjasama dengan pendamping kecamatan/ kabupaten/provinsi untuk mengajak pemimpin bu- daya dan kepala des




Strategi antikorupsi dengan menggunakan pendekatan budaya





• • •






Item Budaya Memelihara dan mengopti- malkan kegiatan - kegiatan dalam item budaya untuk melestarikan nilai – nilai budaya yang antikorupsi melalui kegiatan seni, sosial, olah raga, kepemudaan, lingkungan dll. Memelihara dan mengop- timalkan pendidikan dan kampanye anti korupsi Item budaya digunakan sebagai sarana konsolidasi masyarakat Desa untuk mau melakukan aksi antikorupsi Item budaya digunakan se- bagai sarana mengi










• • • •





Pranata Sosial Memelihara dan mengopti- malkan peran pranata sosial dalam melestarikan nilai – nilai budaya yang antikorupsi melalui masyarakat desa maupun melalui agen peru- Memelihara komitmen dan semangat antikorupsi Mengidentifikasi masyarakat Desa untuk menjadi agen perubahan sebagai bagian dari pranata sosial Melakukan peningkatan ka- pasitas kepada agen peruba- han di masyarakat Desa Agen perubahan didorong untuk sec











• bahan • • • •



Masyarakat partisipatif bersifat akuntabel sosial, item budaya dan pemimpin budaya men- dukung antikorupsi Nilai – nilai budaya an- dengan efektif Tidak ada keterbukaan sosial, item budaya dan pemimpin budaya cen- terhadap antikorupsi


Indikasi Keterbukaan Informasi dan informasi yang disampaikan Masyarakat desa, pranata tikorupsi relatif terpelihara dengan baik dan diimple- mentasikan dalam modal Ketetapan dalam musdes merupakan hasil musyawa- rah dan mufakat bersama Pelaksanaan fungsi penga- wasan oleh BPD berjalan- Masyarakat tidak partisipatif Informasi dan informasi yang disampaikan tidak akuntabel Masyarakat desa, pranata derung tidak mendukung antikoru








• • • • budaya • • • • •



Kondisi Musdes Musdes dengan kondisi pemimpin budaya dan Kepala Desa berperilaku Musdes dengan kondisi pemimpin budaya dan Kades berperilaku koruptif





Kondisi 1: antikorupsi Kondisi 2:

Pemimpin Budaya Pemimpin budaya men- dorong pemberdayaan musdes untuk menjalan- kan fungsi sebagai forum advokasi budaya sebagai salah satu media untuk melestarikan nilai – nilai budaya yang mendukung antikorupsi. Forum ini diharapkan dapat me- nguatkan independensi dan objektifitas pemimpin budaya. Forum budaya ini juga dapat dijadikan media untuk melakukan advokasi kepada kepala desa atau perangkat desa




Strategi antikorupsi dengan menggunakan pendekatan budaya






• •





Item Budaya Item budaya digunakan sebagai sarana konsolidasi pemimpin budaya, agen perubahan dan masyarakat desa untuk bersama – sama melakukan aksi antikorupsi. Item budaya digunakan oleh pemimpin budaya dan agen perubahan sebagai sarana untuk mengingatkan Kepala Desa agar tidak berperilaku koruptif. Pemimpin budaya sepenuhnya berinisiatif untuk menghadirkan Kepala desa dalam setiap kegiatan item budaya











• •





Pranata Sosial Agen perubahan mengad- vokasi pemerintah Desa untuk transparan dan mem- buka ruang partisipasi dalam pembangunan Desa. Agen perubahan mengingat- kan pemimpin budaya agar tidak berperilaku koruptif. Mengoptimalkan dan mem- berdayakan peran pranata - pranata sosial sebagai wadah bagi masyarakat desa untuk bersama – sama mencegah Mendorong tiap pranata sosial untuk membentuk agen perubahan yang dapat membantu pengawa










• • • korupsi. •




Nilai – nilai budaya an- hanya formalitas lan secara efektif oleh kepala desa Pemimpin budaya telah dirinya/ kelompoknya

Indikasi tikorupsi tidak terpelihara dengan baik dan tidak diim- plementasikan dalam modal Ketetapan dalam musdes Pelaksanaan fungsi penga- wasan oleh BPD tidak berja- Partisipasi masyarakat desa tidak berjalan dengan baik karena telah dikondisikan Kepala Desa menghambat keterbukaan Informasi dan informasi yang disampaikan diragukan akuntabilitasnya Pemimpin budaya dan seba- gian dari masyarakat desa, pranata sosial dan item bu- d









• budaya • • • • • • desa •



Kondisi Musdes Kondisi 3: Musdes dengan kondisi Kepala Desa berperilaku koruptif dan pemimpin budaya berperilaku antikorupsi

Pemimpin Budaya antikorupsi yang seluas- luasnya untuk membuka kesadaran warga akan bahaya korupsi dan me- munculkan keberanian warga untuk mengoreksi tindakan koruptif Kepala Pemimpin budaya dapat bekerjasama dengan pendamping kecama- tan/kabupaten/provinsi untuk mengajak kepala desa agar mendukung antikorupsi Para pemimpin budaya dapat saling bekerjasama untuk membangun jeja- ring antikorupsi. Kegia- tan jej




Strategi antikorupsi dengan menggunakan pendekatan budaya





• Desa. • •






Item Budaya Item budaya digunakan sebagai sarana konsolidasi Kepala desa, agen peruba- han dan masyarakat desa untuk bersama – sama me- lakukan aksi antikorupsi.
















Pranata Sosial Mengoptimalkan dan mem- berdayakan peran pranata - pranata sosial sebagai wadah bagi masyarakat desa untuk bersama – sama mencegah Mendorong tiap pranata so- sial untuk membentuk agen perubahan yang dapat mem- bantu pelestarian nilai – nilai budaya yang antikorupsi.











• korupsi. •
Kepala desa berupaya untuk pengawasan yang dilakukan Partisipasi masyarakat desa Pemimpin budaya berupaya untuk menghambat proses





Indikasi menghambat efektifitas oleh BPD tidak berjalan dengan baik karena adanya rasa takut kepada pemimpin budaya penyampaian informasi pembangunan desa








• • •



Kondisi Musdes Kondisi 4: Musdes dengan kondisi pemimpin budaya berpe- rilaku koruptif dan Kades berperilaku antikorupsi

Pemimpin Budaya media untuk melakukan advokasi kepada pe- mimpin budaya Kepala desa menginisiasi untuk melakukan kon- solidasi masyarakat desa dan melakukan kampa- nye antikorupsi yang untuk membuka kesa- daran masyarakat desa akan bahaya korupsi dan memunculkan keberanian masyarakat desa untuk mengoreksi tindakan ko- ruptif pemimpin budaya, termasuk mengoreksi tin- dakan pemimpin budaya yang mengabaikan nilai – nil




Strategi antikorupsi dengan menggunakan pendekatan budaya





• •






Item Budaya

















Pranata Sosial















Kepala desa dan sebagian dari masyarakat desa, pra- nata sosial dan item budaya Kepala desa telah berupaya budaya antikorupsi namun belum sepenuhnya diimple- mentasikan oleh pemimpin mendukung proses musdes efektifitas pengawasan yang



Indikasi mendukung antikorupsi melestarikan nilai – nilai budaya dan kelompoknya Pempimpin budaya tidak Pempimpin budaya beru- paya untuk menghambat dilakukan oleh BPD








• • • •



Kondisi Musdes

77






Strategi antikorupsi dengan menggunakan pendekatan budaya seperti yang di-
uraikan dalam matriks diatas diharapkan dapat mendukung proses transformasi dari
elite capture menjadi benevolent capture.



Norma dan Sanksi Budaya
Pelaksanaan pendekatan budaya dalam mencegah korupsi APBDes perlu di-
dasari dengan semangat menegakkan norma dan sanksi budaya.
Masyarakat memiliki pranata budaya dalam menghadapi tindakan-tindakan

koruptif, terlepas dari siapa pelakunya. Dalam menjalankan kehidupan komunalnya,
masyarakat desa tidak hanya sebatas menjalankan urusan kolektif, tetapi juga men-
ciptakan aturannya sendiri, termasuk dalam memberikan sanksi bagi warganya yang
dianggap melanggar. Aturan ini tidak mesti terlembagakan secara formal, tetapi dapat

berupa aturan informal dalam kehidupan sehari-hari (Ostrom, 1992). Model-model
sanksi informal dapat ditemukan dalam ragam budaya yang selama ini telah berkem-
bang di Indonesia.
Bagi para elit yang melakukan tindakan pelanggaran, warga perlu dimotivasi un-

tuk membangun mekanisme untuk memberikan sanksi. Dari studi kasus yang dilaku-
kan di sebuah desa di Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Untung 2018), warga memberikan
sanksi kepada Kepala Desa yang dianggap tidak menjalankan kewenangannya dengan
baik, tidak transparan dalam mengelola APBDes, dan tidak membuka ruang partisi-

pasi publik dalam pengambilan keputusan. Sanksi yang diberikan oleh warga berupa
deligitimasi kekuasaan Kepala Desa dengan “mengangkat” tokoh agama sebagai pe-
mimpin informal mereka. Tokoh ini seringkali dijadikan rujukan bagi warga ketika hen-
dak melakukan kegiatan-kegiatan bersama di dalam lingkungan desanya. Tindakan

warga ini sudah cukup mengganggu kedudukan Kepala Desa dan kemudian mengeluh-
kan tokoh agama tersebut yang dianggapnya sebagai saingan.
Di sisi lain, perlu dipromosikan nilai-nilai yang mendukung integritas, akuntabili-
tas dan antikorupsi. Dalam ragam budaya Indonesia, nilai-nilai mengayomi oleh para

pemimpin kepada warganya perlu dikedepankan untuk mendorong proses pencega-
han korupsi di desa. Sebagai contoh, dalam masyarakat Sunda dikenal istilah kokolot,
atau karuhun untuk sebutan orang tua. Karuhun ini dalam masyarakat Sunda dikenal
sebagai Anu Ngayuga, yang tinggi rendahnya derajat tergantung pada tingkat penga-

yomannya kepada warga (Wessing 1987).
Dari penjelasan di atas, terjadi proses sanksi kepada kepala desa yang berpe-
rilaku koruptif dengan cara melakukan “deligitimasi”. Kasus lain sanksi deligitimasi ada-
lah dengan cara tidak mengundang dalam acara-acara di desa.

78





Contoh praktik baik membangun Desa antikorupsi menggunakan pendekatan pen-
dekatan budaya dapat dilihat di boks berikut ini.



BOKS 2


Praktik yang Baik, Desa Antikorupsi
Menggunakan pendekatan Pendekatan Budaya



Desa Gondowangi merupakan salah satu Desa di Kabupaten Malang

Provinsi Jawa Timur yang telah menggunakan pendekatan budaya di
dalam mencegah praktik korupsi di Desa. Desa Gondowangi memiliki
luas wilayah 418,6 Ha dan jumlah penduduk 7889 jiwa.


Pada saat memulai jabatannya, Danis, Kepala Desa terpilih, mengiden-

tifikasi beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Desa Gondowangi,
yaitu:
• Adanya relasi patron-client yang berdampak masyarakat seolah-

olah sulit mengakses sumber daya Desa dalam bidang apapun.
• Pengambilan keputusan dilakukan hanya oleh Kepala Desa yang
berdampak masyarakat sangat apatis atau pasif dalam proses
pembangunan Desa.
• Tidak ada keterbukaan informasi APBDes.

• Pemuda tidak diberikan ruang dan tempat, karena perangkat desa
takut terhadap kritik atau protes.
• Masyarakat desa cenderung urban dan konsumtif sehingga tidak

ada kepekaan terhadap lingkungan dan nilai – nilai budaya.
• Nilai budaya lokal tidak diperlihara dan tidak diimplementasikan
dengan baik.


Rumusan solusi untuk mengatasi masalah disusun secara partisipatif

yang menghasilkan konsensus untuk melakukan perubahan dengan
cara :
1. Transparansi untuk menigkatkan kepercayaan publik terhadap

pemerintah desa (pelaporan).
2. Memberi ruang dan tempat untuk pemuda dan komunitas.
3. Membuat forum budaya (rumah budaya) dimana ada komunikasi
oleh sesepuh dan pemuda (economic and cultural affairs).

79















Konsensus yang dihasilkan adalah Desa Gondowangi melakukan pem-
bangunan Desa menggunakan pendekatan budaya, yaitu:
• Budaya diartikan sebagai nilai inti dalam masyarakat yang dimiliki
bersama oleh masyarakat desa.

• Masyarakat desa sebagai pengawas harus mampu mengidentifi-
kasi dan mengeliminasi risiko terjadinya korupsi dengan meng-
gunakan piranti antara lain kelembagaan desa, komunitas, papan
informasi publik.

• Menjadikan budaya sebagai point of interest untuk distribusi infor-
masi APBDes.


Pembangunan Desa menggunakan pendekatan Budaya yang dilaksa-

nakan di Desa Gondowangi, antara lain:
• Meningkatkan transparansi melalui pembuatan poster APBDes
yang dipasang di tempat terbuka dan menyusun animasi APBDes.
• Mengembangkan branding Desa, dengan membuat kegiatan (item

budaya) untuk menampilkan budaya lokal yang bertujuan untuk
melestarikan dan menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap nilai
– nilai budaya.
• Menyediakan ruang-ruang kreasi dan inovasi bagi kelompok pe-

muda dan komunitas.
• Menjamin pluralitas masyarakat Desa.
• Melaksanakan Musyawarah Desa untuk melestarikan budaya lokal.
• Pelestarian budaya melalui buku “Desa Gondowangi”

80






4. Langkah-langkah Menggunakan Pendekatan Budaya untuk Mencegah Korupsi
APBDes.



Langkah-langkah Pendekatan Budaya untuk Mencegah Korupsi APBDes.
Berikut ini langkah-langkah menggunakan pendekatan budaya dalam mencegah
korupsi APBDesa yang dapat dilakukan oleh Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat

(Pusat dan Provinsi), Tenaga Pendamping Teknis (Kabupaten), Tenaga Pendamping Desa
(Kecamatan) dan Pendamping Lokal Desa. Langkah-langkah ini hanya merupakan pan-
duan dasar saja untuk memberikan gambaran bagaimana pendekatan budaya dapat
digunakan untuk mencegah korupsi APBDes. Pada pelaksanaannya, Tenaga Ahli Pem-
berdayaan Masyarakat (Pusat dan Provinsi), Tenaga Pendamping Teknis (Kabupaten),

Tenaga Pendamping Desa (Kecamatan) dan Pendamping Lokal Desa dapat melakukan
pengembangan-pengambangan strategi dan langkah-langkah sesuai dengan konteks
yang ada.

Langkah-langkah menggunakan pendekatan budaya dalam mencegah korupsi
APBDesa dilakukan dengan menggunakan alur sebagai berikut:
















Identifikasi Identifikasi modal Rumuskan Rencana Laksanakan
Permasalahan budaya di Desa Aksi Pencegahan Rencana Aksi
Pembangunan (pranata sosial, Korupsi Pencegahan
Desa dan item budaya dan menggunakan Korupsi
Pengelolaan pemimpin budaya) menggunakan
pendekatan budaya










Evaluasi Rencana
Aksi Pencegahan Korupsi
menggunakan pendekatan budaya

81






1 Langkah Pertama:
Identifikasi Permasalahan atau potensi permasalahan dalam Pembangunan Desa dan
Pengelolaan APBDes.
1. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Desa melalui Badan Permusyawara-

tan Desa (BPD), Musyawarah Desa (Musdes), Musrenbang Desa.
Dapatkan informasi terkait pelaksanaan BPD/Musdes/Musrenbang Desa, un-
tuk memastikan, apakah BPD/Musdes/Musrenbang Desa telah menjalankan ke-
wenangannya atau tidak, yaitu dengan cara menelaah notulen rapat dan tindakan

pengawasan apa saja/rekomendasi apa saja yang telah dilakukan BPD/Musdes/
Musrenbang Desa terhadap Kepala Desa/perangkat Desa unatuk memastikan apa-
kah BPD/Musdes/Musrenbang Desa bertindak sesuai kewenangan atau hanya me-
legitimasi keinginan Kepala Desa.

2. Transparansi informasi dalam Pembangunan Desa.
Observasi apakah keterbukaan informasi publik sudah dilaksanakan, antara lain
dalam bentuk pemasangan poster APBDes, pemasangan papan informasi proyek,
penyediaan informasi publik di website, dan lain-lain.

3. Potensi korupsi dan modus korupsi
a) Dapatkan data APBDes dan lakukan analisis sederhana untuk memastikan:
• Ada tidaknya proyek fiktif dengan cara membandingkan realisasi APBDes tahun
berjalan dengan realisasi fisik.

• Ada tidaknya pembiayaan ganda terhadap realisasi proyek tahun berjalan de-
ngan mendapatkan data tambahan berupa pembiayaan oleh donor/hibah/APB-
Des tahun lalu/sumber selain APBDes tahun berjalan.
b) Dapatkan informasi proses pengadaan barang/jasa untuk memastikan:

• Ada tidaknya potensi konflik kepentingan, yaitu dengan cara memverifikasi kon-
traktor pelaksana apakah memiliki atau tidak memiliki hubungan kekerabatan
dengan Kepala Desa,
• Ada tidaknya dugaan gratifikasi yaitu dengan cara memverifikasi/mencari infor-

masi lainnya terhadap kontraktor pelaksana apakah pernah atau tidak pernah
memberikan gratifikasi kepada Kepala Desa/keluarga Kepala Desa
• Ada tidaknya dugaan memperkaya diri sendiri/kelompoknya, yaitu dengan cara
membandingkan harga satuan proyek dengan harga pasar (ada mark up atau

tidak)
• Ada tidaknya kebutuhan terhadap infrastruktur yang dibangun yaitu dengan cara
membandingkan hasil kesepakatan dalam RKP Desa dengan realisasi APBDes.
4. Elit capture

• Dapatkan dan kumpulkan nilai – nilai luhur budaya desa setempat, kemudian
bandingkan dengan implementasi nilai – nilai budaya tersebut oleh kepala desa/

82






pemimpin budaya/masyarakat desa, untuk memastikan apakah nilai – nilai luhur
tersebut terpelihara dengan baik atau bahkan telah dimanipulasi.
5. Faktor penyebab terjadinya masalah dengan melakukan identifikasi terhadap

faktor – faktor yang menjadi penyebab dari permasalahan yang timbul pada butir
1-4 diatas dengan berdasarkan teori korupsi.



(Opsional)
Untuk lebih mendalami permasalahan dalam tata kelola APBDes dapat dilaku-
kan langkah berikut (opsional):
• Rencana kerja Pemerintahan Desa (RKP Desa), penyusunan RAPB Desa, penetapan
dan pengesahan APBDes.

Dapatkan informasi proses penyusunan RKP Desa, proses penyusunan RAPB Desa,
proses penetapan dan pengesahan APBDes, untuk memastikan apakah proses
tersebut telah mematuhi aturan perundangan Permendagri No. 114 tahun 2014

tentang Pedoman Pembangunan Desa dan Permendagri No. 20 tahun 2018 ten-
tang Pengelolaan Keuangan Desa.




2 Langkah Kedua:

Identifikasi modal budaya berupa pranata sosial, item budaya dan pemimpin
budaya.
1. Identifikasi pranata sosial berupa organisasi/perkumpulan/kelompok/majelis;

2. Identifikasi item budaya berupa kegiatan yang bersifat ritual adat/keagamaan/
sosial, kesenian, olah raga dll;
3. Identifikasi pemimpin budaya dari setiap pranata sosial yang teridentifikasi.




3 Langkah Ketiga:

Rumuskan Strategi dan rencana aksi pencegahan korupsi APBDes menggunakan
pendekatan budaya.

1. Pilihan strategi dapat menggunakan referensi pada tabel matriks pencegahan
korupsi dengan menggunakan pendekatan budaya.
2. Mendiskusikan rumusan Strategi/Rencana Aksi pencegahan korupsi APBDe-
menggunakan pendekatan budaya dengan pemimpin budaya dan mendorong
dilaksanakan Musdes untuk menetapkan Rencana Aksi Pencegahan Korupsi

menggunakan pendekatan budaya. Dalam Musdes, ditetapkan juga tim moni-
toring dan evaluasi Strategi/Rencana Aksi Pencegahan Korupsi menggunakan

83






pendekatan budaya. Beberapa rencana aksi yang umum dilakukan yaitu:
- Komitmen,
- Kampanye dan pendidikan antikorupsi,
- Penyusunan/pembuatan buku kumpulan nilai budaya,

- Pembangunan jejaring,
- Monitoring dan evaluasi.


Tuangkan hasil identifikasi langkah pertama, kedua dan ketiga dalam kertas

kerja sebagai berikut :

Kertas Kerja
Strategi Pencegahan Korupsi APBDes menggunakan

pendekatan budaya
Nama Desa : ………………………………………………..
Kabupaten : ………………………………………………..



1.Masalah terkait Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Desa
………………………………………………..
2. Masalah terkait Transparansi dalam Pembangunan Desa
………………………………………………..

3. Masalah terkait potensi korupsi dan modus korupsi
………………………………………………..
4. Masalah terkait elite capture
………………………………………………..
5. Faktor Penyebab terjadinya masalah:

a. Kepala Desa dan Perangkat Desa
………………………………………………..
b. BPD

………………………………………………..
c. Unsur masyarakat
………………………………………………..
6. Identifikasi Modal Budaya
a. Identifikasi pranata sosial berupa organisasi/perkumpulan/kelom-

pok/ majelis;
………………………………………………..
b. Identifikasi item budaya berupa kegiatan yang bersifat ritual adat/

keagamaan/sosial, kesenian, olah raga dll;
………………………………………………..

84






c. Identifikasi pemimpin budaya dari setiap pranata sosial yang
teridentifikasi

………………………………………………..
7. Strategi dan rencana aksi pencegahan korupsi APBDes
menggunakan pendekatan budaya
………………………………………………..




4 Langkah Keempat:
Laksanakan Strategi dan Rencana Aksi Pencegahan Korupsi menggunakan

pendekatan budaya.
1. Pelaksanaan strategi dan rencana aksi yang telah disepakati.
2. Tim Monitoring melakukan rapat reguler untuk memantau perkembangan
pelaksanaan strategi dan rencana aksi.

Langkah Kelima:
Evaluasi Rencana Aksi Pencegahan Korupsi menggunakan pendekatan budaya.
1. Evaluasi realisasi dan capaian
2. Penyampaian hasil evaluasi masyarakat desa melalui Musdes.


Contoh Format Evaluasi Pelaksanaan Rencana Aksi Pencegahan Korupsi menggunakan
pendekatan budaya:


Evaluasi Pelaksanaan Rencana Aksi Pencegahan Korupsi
Menggunakan pendekatan Budaya



Nama Desa : ………………………………………………..
Kabupaten : ………………………………………………..

Kegiatan Menggunakan pendekatan Budaya
No. Rencana Realisasi









Capaian:
………………………………………………..
Pembelajaran (Lesson learned) :
………………………………………………..

Rekomendasi :
………………………………………………..

85




STUDI KASUS





Kasus berikut ini merupakan kasus sebenarnya dengan pengembangan narasi
sesuai kebutuhan untuk memperjelas substansi materi.



Kejaksaan Negeri Z berhasil menangkap AY seorang kepala desa di suatu dae-
rah di Kalimantan Selatan, yang menjadi tersangka kasus dugaan korupsi Dana
Desa setelah buron dan masuk dalam daftar pencarian (DPO) sejak Januari 2019.
Penangkapan terhadap Kepala Desa ABC, Kabupaten DEF tersebut dilakukan Tim

Pidana Khusus bersama Tim Intelejen pada Kejaksaan Negeri Y. Kasus yang men-
jeratnya terkait dugaan penyimpangan Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa
(DD) pada Desa ABC tahun anggaran 2016 yang merugikan keuangan negara
sebesar Rp284 juta. Berawal ketika pada 2016, Desa ABC menerima alokasi ang-

garan sebesar Rp1,135 miliar terdiri dana Desa sebesar Rp.595 juta, alokasi dana
Desa sebesar Rp534 juta dan bagi Hasil Pajak Restribusi sebesar Rp5 juta. Dari
ketiga pos mata anggaran ternyata ada enam item kegiatan yang tidak dilaksana-
kan tersangka. “Tetapi telah dicairkan tersangka untuk kepentingan pribadi.”



Akibat perbuatannya itu, AY sebagai tersangka. Dalam kasus ini tersangka dijerat
dengan pasal 2 ayat (1) jo pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pembe-
rantasan Korupsi jo UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi.

Kasus ini memprihatinkan seluruh warga Desa dan pemimpin budaya. Warga
merasa malu, prihatin dan juga marah atas tindakan Kepala Desanya. Di sisi lain,
warga juga merasa lega karena tindakan korupsi Kepala Desa mereka dapat di-
hentikan.



Selama ini warga merasa resah karena pengelolaan APBDes dilakukan secara
tertutup, hanya orang dekat Kepala Desa yang mengetahui rencana kegiatan
pembangunan Desa. Musdes dan Musrenbangdesa dilaksanakan, namun hanya

formalitas saja karena keputusan sudah “dikondisikan” (anggota BPD diberikan
honor dan fasilitas oleh Kepala Desa) untuk memuluskan kepentingan Kepala
Desa. BPD hanya menjadi pelegitimasi kemauan Kepala Desa. Sebenarnya, prak-
tik koruptif Kepala Desa ini sudah diingatkan oleh Ketua Majelis Taklim dan juga

Ketua Kelompok Tani, namun nasehat dua pemimpin budaya ini tidak digubris
oleh pak Kades. Selain itu, ada pula Kelompok Pemuda, namun cenderung tidak
peduli terhadap kondisi Desa mereka. Namun, setiap pekan kelompok pemuda

86








ini melakukan pertemuan rutin untuk berolahraga. Dalam acara-acara Desa,

semisal pertunjukan wayang dan juga kegiatan gotong royong membersihkan ja-
lan Desa, warga saling berbagi keresahan atas mandeknya pembangunan di Desa
mereka, namun warga sungkan untuk bersuara dan cenderung apatis.



Berdasarkan kasus di atas, contoh hasil pemetaan permasalahan, modal budaya,
strategi dan rencana aksi sebagai berikut:


Kertas Kerja
Strategi Pencegahan Korupsi APBDes menggunakan pendekatan
budaya



Nama Desa : ABC
Kabupaten : Z
Masalah terkait partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa

• Warga sungkan untuk bersuara dan cenderung apatis (minim partisipasi)
• Musdes dan Musrenbangdesa dilaksanakan, namun hanya formalitas saja
karena keputusan sudah “dikondisikan” untuk memuluskan kepentingan
Kepala Desa.

• BPD hanya menjadi pelegitimasi kemauan Kepala Desa.


Masalah terkait Transparansi dalam Pembangunan Desa
• Pengelolaan APBDes dilakukan secara tertutup, hanya orang dekat Kepala

Desa yang mengetahui rencana kegiatan pembangunan Desa.


Masalah terkait potensi korupsi dan modus korupsi:
• Anggota BPD menerima honor dan fasilitas dari kepala desa sehingga BPD

diduga tidak dapat menjalankan fungsi pengawasannya secara independen
dan cenderung BPD hanya melegitimasi kemauan Kepala Desa, sehingga
tidak ada check and balance dari warga maupun BPD.



Masalah yang terkait elit capture:
• Di daerah kalimantan selatan terdapat konsepsi budaya berelaan yang meru-
pakan nilai ikhlas dan syukur yang semata-mata untuk ibadah dan mendapat
ridho Tuhan yang maha Esa. Kepala Desa ABC diduga sengaja mengkondisi-

87








mengkondisikan kegiatan musdes dan musrenbang desa untuk mencari
ridho dari Musdes dan Musrenbang desa bukan mencari ridho Tuhan yang
maha Esa, karena pada akhirnya pelaksanaan Musdes dan Musrenbang
hanya formalitas saja dan peran BPD hanya melegitimasi kemauan kepala

desa.
• Selain konsepsi budaya berelaan, derah kalimntan selatan juga memiliki
konsepsi gawi manuntung, dalas balangsar dada yang maknanya berjuang/
bekerja dengan sungguh sungguh, dengan semangat dan pengorbanan.

BPD Desa ABC seharusnya menerapkan konsepsi budaya gawi manuntung,
dalas balangsar dada yaitu sungguh - sungguh dalam melaksanakan we-
wenangnya yaitu melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Pera-
turan Desa dan Peraturan Kepala Desa. Namun dalam kenyataannya nilai

luhur tersebut dimanipulasi dengan hanya melakukan legitimasi terhadap
apa yang diinginkan oleh kepala desa ABC.


Identifikasi Pranata Sosial :

1. Majelis Taklim.
2. Kelompok Tani.
3. Kelompok pemuda.



Identifikasi Item Budaya :
a) Ritual: Pengajian pekanan/mingguan.
b) Kesenian/olahraga : Pertunjukan wayang dan olahraga pekanan Kelompok
Pemuda.



Identifikasi Pemimpin Budaya :
a) Ketua Majelis Taklim.
b) Ketua Kelompok Tani.

c) Ketua Kelompok pemuda.


Faktor Penyebab terjadinya masalah:
a. Kepala Desa dan Perangkat Desa:

• Greed/serakah, adanya dugaan bahwa kepala desa ABC memperkaya diri

88








sendiri/kelompoknya (Lihat teori GONE).
• Adanya kesempatan karena BPD tidak sepenuhnya melaksanakan fungsinya
sebagai pengawas pelaksanaan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa
(Lihat teori GONE).

• Tidak mengedepankan nilai budaya berelaan dan gawi manuntung, dalas
balangsar dada.
b. BPD :
• BPD tidak menjalankan fungsi pengawasan yang menjadi kewenangannya.

c. Masyarakat:
• Masyarakat belum sepenuhnya melestarikan nilai – nilai luhur budaya be-
relaan dan gawi manuntung, dalas balangsar dada.



Strategi pencegahan korupsi dengan menggunakan pendekatan budaya


Pranata Sosial
a. Mengoptimalkan majelis taklim, pertemuan pekanan pemuda, pertemuan

kelompok tani sebagai sarana untuk melakukan pendidikan penyadaran an-
tikorupsi sekaligus memotivasi masyarakat desa untuk menjadi agen peru-
bahan/agen transformasi budaya;



Item Budaya
a. Konsolidasi pemimpin budaya, masyarakat desa dan agen perubahan untuk
bersama – sama melakukan aksi antikorupsi melalui pertunjukan wayang,
pertemuan pemuda dan pertemuan kelompok tani.

b. Pelestarian nilai – nilai budaya antara lain berelaan dan gawi manuntung,
dalas balangsar dada melalui kegiatan – kegiatan dalam item budaya.


Pemimpin Budaya

a. Pemimpin budaya menginisiasi pemberdayaan musdes sebagai forum ad-
vokasi budaya sebagai salah satu media untuk melestarikan nilai – nilai bu-
daya yang mendukung antikorupsi. Forum ini bertujuan untuk menguatkan
independensi dan objektifitas pemimpin budaya termasuk memberikan ad-

vokasi kepada Kepala Desa/perangkat desa dan anggota BPD tentang pen-

89








pentingnya menjalankan amanah dengan baik dengan mengedepankan nilai
– nilai luhur budaya berelaan dan gawi manuntung, dalas balangsar dada;
b. Pemimpin budaya dan/atau agen perubahan bekerjasama dengan pendam-
ping kecamatan/kabupaten/ provinsi untuk mengajak kepala desa/perang-

kat desa untuk dapat bersikap antikorupsi.
c. Para pemimpin budaya dari setiap pranata sosial dapat saling bekerjasama
untuk membangun jejaring antikorupsi. Kegiatan jejaring antikorupsi anta-
ra lain dapat berupa menginisiasi kegiatan silaturahim budaya dengan desa

tetangga yang antikorupsi.
d. Pemimpin budaya melakukan konsolidasi masyarakat desa dan melakukan
kampanye antikorupsi yang seluas-luasnya untuk membuka kesadaran
warga akan bahaya korupsi dan memunculkan keberanian warga untuk me-

ngoreksi tindakan koruptif Kepala Desa;


Rencana Aksi
1. Panitia BPD menginisiasi musdes dengan mengundang agen perubahan

(pemimpin budaya dan masyarakat Desa) untuk bersama – sama berkomit-
men bahwa setiap pranata sosial dan item budaya diberdayakan untuk
mendukung upaya pencegahan korupsi dan melestarikan nilai – nilai bu-
daya. Hasil dari komitmen tersebut dituangkan dalam suatu risalah/tulisan

yang menjadi buku kumpulan budaya yang disebarluaskan kepada seluruh
masyarakat desa dan ditampilkan secara permanen di kantor pemerintahan
desa, di BPD dan di setiap balai pertemuan pranata sosial;
2. Pemimpin budaya dan masyarakat desa menginisiasi dan mengkoordinasi-

kan penyusunan buku kumpulan budaya yang antara lain berisi nilai – nilai :
- gawi manuntung, dalas balangsar dada yang maknanya berjuang/bekerja
dengan sungguh sungguh, dengan semangat dan pengorbanan
- berelaan, merupakan nilai ikhlas dan syukur dan semata-mata untuk ibadah

dan mendapat keridhoan Allah SWT.
- bedingsanakan : persaudaraan
- betutulungan : tolong menolong
- bisa-bisa maandak awak : untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan

- bakalah bamanang : mau saja kalah menang, maksudnya mau memberi

90








memberi dan menerima.
Buku kumpulan nilai budaya ini yang menjadi tanggungjawab bersama
masyarakat desa untuk dilestarikan.



3. Agen perubahan (pemimpin budaya dan masyarakat Desa) mendorong
optimalisasi fungsi musdes sebagai forum advokasi budaya yang berfungsi:
• Sebagai sarana advokasi kepada anggota BPD dan masyarakat desa/pe-
rangkat desa.

• Mendukung penguatan BPD untuk senantiasa independen dan objektif
dalam menjalankan fungsi pengawasan dengan selalu mengedepankan
nilai – nilai budaya antikorupsi.
• Menguatkan masyarakat desa termasuk perangkat desa untuk selalu

mengedepankan nilai – nilai budaya antikorupsi (termasuk transparansi
informasi yang akuntabel).
• Melestarikan nilai – nilai budaya.
4. Pemimpin budaya tiap pranata sosial menyelenggarakan kampanye dan

pendidikan antikorupsi melalui kegiatan pekan/musiman kebudayaan de-
ngan tema nilai - nilai budaya misal, nilai berelaan dan gawi manuntung,
dalas balangsar dada dalam kajian majelis taklim, nilai betutulungan (tolong
menolong) dalam kegiatan kelompok pemuda, nilai bedingsanakan (persau-

daraan) dalam kegiatan kelompok tani dll.
5. Menyelenggarakan festival budaya antikorupsi misalkan melalui lomba pe-
nulisan budaya antikorupsi dengan nilai berelaan dan gawi manuntung, da-
las balangsar dada, lomba dakwah para pemuda, dll ;

91






B. Ketrampilan yang Diperlukan dalam Mendeskripsikan Langkah-langkah Menggu-
nakan Pendekatan Budaya dalam Mencegah Korupsi APBDes.


1. Menjelaskan konsep budaya dalam masyarakat Desa dan Ragam budaya di Indone-

sia.
2. Menjelaskan pendekatan budaya secara generik yang dapat digunakan untuk
mencegah korupsi APBDes dan contoh praktik baiknya.
3. Mengidentifikasi unsur pasal, modus korupsi dan modal budaya (pranata sosial,

item budaya, pemimpin budaya).
4. Menyusun Strategi dan Rencana Aksi Pencegahan Korupsi APBDes Menggunakan
pendekatan Budaya.



C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Mendeskripsikan Langkah-langkah Menggu-
nakan Pendekatan Budaya dalam Mencegah Korupsi APBDes.


1. Cermat dan teliti dalam mendeskripsikan langkah-langkah Menggunakan Strategi

Pendekatan Budaya dalam Mencegah Korupsi APBDes.
2. Berpikir analitis dan evaluatif pada saat mengidentifikasi unsur pasal, modus ko-
rupsi dan modal budaya (pranata sosial, item budaya, pemimpin budaya).
3. Berpikir kreatif di dalam Menyusun Rencana Aksi Pencegaha Korupsi APBDes Meng-

gunakan pendekatan Budaya.

92





DAFTAR REFERENSI




Bardhan, Pranab dan Dilip Mookherjee. 2000. Capture and Governance at Local and
National Levels. The American Economic Review, Vol. 90, No. 2, Papers and

Proceedings of the One Hundred Twelfth Annual Meeting of the American
Economic Association. (May, 2000), pp. 135-139.


Barth, Fredrik, et all. 2005. One Discipline, Four Ways: British, German, French, and

American Anthropology. Chicago: University of Chicago Press.


Dasgupta, Aniruddha dan Victoria A. Beard. 2007. Community Driven Development,
Collective Action and Elite Capture in Indonesia. Development and Change

38(2): 229–249.


Hatta, Mohammad. 1966. Demokrasi Kita. Jakarta: Pustaka Antara.



Higgins, Benjamin. 1956. Indonesi a’s Develop ment Plans and Problems. Pacific
Affairs, Vol. 29, No. 2 (Jun., 1956), pp. 107-125.


Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.


Mansuri, Ghazala dan Vijayendra Rao. 2004. Community-Based and -Driven
Development: A Critical Review. The World Bank Research Observer, vol. 19,

no. 1.


Mattulada. 1986 (1977). Demokrasi dalam Tradisi Masyarakat Indonesia dalam Amien
Rais [Ed]. Demokrasi dan Proses Politik. Jakarta: LP3ES



Scott, James C. 1972. Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia. The
American Political Science Review, Vol. 66, No. 1 (Mar., 1972), pp. 91-113



Suparlan, Parsudi. 1986 (1977). Demokrasi dalam Tradisi Masyarakat Pedesaan Jawa
dalam Amien Rais [Ed]. Demokrasi dan Proses Politik. Jakarta: LP3ES.


Wessing, Robert. 1987. Electing a Lurah in West Java, Indonesia: Stability and Change.

Ethnology, Vol. 26, No. 3 (Jul., 1987), pp. 165-178.

93






Komisi Pemberantasan Korupsi, 2015. Pedoman Pengendalian Gratifikasi, pp.10-16.


Komisi Pemberantasan Korupsi, 2018. Modul Tindak Pidana Korupsi dan Komisi
Pemberantasan Korupsi, pp.19-46.





Perundang-undangan



Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi



Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi


Undang-udang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi



Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme


Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik



Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa


Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang
Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara


Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan

94






Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa


Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

(Permendesa) Nomor 17 Tahun 2019 tentang Pedoman Umum Pembangunan
dan Pemberdayaan Masyarakat Desa


Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

(Permendesa) 16 Tahun 2019 tentang Musyawarah Desa


Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan
Keuangan Desa



Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2018 tentang Standar Layanan Informasi
Publik Desa



Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pembangunan Desa

95





Tentang Penulis




MAYA ROSTANTY. Saat ini menjabat sebagai Direktur Pusat Telaah dan Informasi Re-
gional (PATTIRO). Maya menempuh pendidikan Strata 1 di Program Studi Akuntansi

Universitas Gadjah Mada dan S2 Administrasi Publik UI memiliki pengalaman lebih
dari 12 tahun dalam bidang kebijakan publik dengan keahlian profesional di Public Fi-
nance Management, Intergovernmental Fiscal Relations dan Perencanaan Pengangga-
ran Responsif Gender. Buku yang ditulisnya terkait tata kelola Desa antara lain Anotasi

UU Desa: Kluster Keuangan Desa dan Pengelolaan Aset (2015), dan Modul bagi Fasilita-
tor Pelatihan Perencanaan Penganggaran Responsif Gender di Tingkat Desa (2018) dan
menjadi reviewer Modul Pelatihan Pengawasan Pembangunan Desa dan Keuangan
Desa (2015).



BEJO UNTUNG. Aktif sebagai peneliti PATTIRO. Lulusan Magister Antropologi Univer-
sitas Indonesia ini berpengalaman bekerjasama dengan berbagai pemangku kepenti-
ngan ; pemerintah pusat, daerah, lembaga donor, dan berbagai lembaga lainnya terkait

dengan isu Desa. Aktif mendorong penguatan tata kelola Desa yang baik melalui pe-
nguatan berbagai kebijakan baik di tingkat nasional maupun daerah. Bejo produktif
dalam menghasilkan produk pengetahuan berupa hasil penelitian, policy paper, dan
modul. Bejo juga terpilih sebagai salah satu Trainer Kementerian Desa, Pembangunan

Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan melatih Tenaga Ahli tingkat Provinsi di Tahun
2017.


AGUS SALIM. Aktif sebagai peneliti PATTIRO, Lulusan Program Pasca Sarjana Admi-

nistrasi Publik Untirta Banten ini berpengalaman melakukan penelitian dan advokasi
terkait tema pengelolaan keuangan publik dan Desa. Terlibat aktif dalam kerja bersa-
ma dengan berbagai pemangku kepentingan; pemerintah pusat, daerah, lembaga do-
nor, dan berbagai lembaga lainnya terkait dengan isu Desa. Produktif dalam melakukan

penyusunan produk pengetahuan berupa laporan penelitian, policy paper, dan modul.
Agus juga terpilih sebagai salah satu Trainer Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi dan melatih Tenaga Ahli tingkat Provinsi di Tahun 2017.



FITRIA MUSLIH. Saat ini menjabat sebagai Senior Operations Manager PATTIRO. Ber-
pengalaman pada isu pengelolaan keuangan publik sejak tahun 2006. Fokus pada pem-
buatan produk pengetahuan dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah, termasuk
Kepala Desa, Aparatur Desa dan masyarakat melalui asistensi dan pelatihan di Desa,

96






kerjasama dengan pemerintah pusat dan daerah. Beberapa publikasi yang dihasilkan di
isu Desa, antara lain Anotasi UU Desa (tim penulis), Modul Pengawasan Pembangunan
Desa (2015) Modul Advokasi Pendanaan Industri Rumahan dalam APB Desa (2018).



WAWANUDIN. Saat ini beraktivitas sebagai Peneliti di PATTIRO. Memiliki perhatian
terhadap isu desa. Lulusan Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Per-
desaan (PDW) Institut Pertanian Bogor ini juga fokus pada pembuatan produk pe-
ngetahuan dan peningkatan kapasitas aparatur dan masyarakat Desa melalui asistensi

dan pelatihan.


YULIUS HENDRA. Saat ini sebagai Senior Advisor PATTIRO. Berpengalaman pada bidang
antropologi masyarakat Desa dan perencanaan penganggaran responsif gender. Ber-

pengalaman dalam menyusun kurikulum pelatihan maupun menjadi pelatih.

97





Daftar Alat dan Bahan





Nama Alat/Barang Spesifikasi Keterangan
1. Laptop Microsoft word dan ppt Untuk presentasi hasil


2. LCD Projector Standar untuk presentasi Untuk presentasi hasil
3. Flash Disk 8 GB Untuk rekaman bahan
presentasi
4. Printer Cartridge atau laser Untuk satu kelas


BAHAN
1. Print out soal kasus Dibagikan kepada setiap kelom-
pok
Modul Pelatihan Pendekatan Buku Informasi dan Buku Kerja
Budaya dalam Penyuluhan untuk dibagikan kepada peserta
Antikorupsi APBDesa
• Buku Informasi Buku Informasi, Buku Kerja
• Buku Kerja dan Rencana Detail Pembelaja-
• Buku Penilaian ran untuk Pengajar/Pelatih
• Rencana Detail Pembela-
jaran


2. Kertas HVS A4


Click to View FlipBook Version