The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku Tahbisan Imam dan Diakon 26 Mei 2021 -UMAT-

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by pujiono, 2021-05-25 22:54:43

Buku Tahbisan Imam dan Diakon 26 Mei 2021 -UMAT-

Buku Tahbisan Imam dan Diakon 26 Mei 2021 -UMAT-

dan frater OSC yang tinggal di biara Pandu. Saya pikir, itu adalah salah
satu cara Allah untuk merawat dan memupuk benih panggilan dalam
diri saya. Ketika saya menjadi misdinar itu juga, untuk pertama kalinya
saya menginjakkan kaki di Seminari Menengah Mertoyudan. Saat itu,
misdinar Pandu sedang melakukan kegiatan ziarah dan rekreasi dan salah
satu tempat yang dituju adalah Seminari Mertoyudan. Ketika melihat
situasi di Mertoyudan: barak tempat tidur yang diisi oleh 70 bahkan 100
siswa, alas tidur yang hanya selembar matras, dan lain sebagainya, tidak
ada rasa takut atau enggan dalam diri saya. Siapa yang tahu bahwa di
kemudian hari, saya akan hidup di tempat itu selama empat tahun.

Seminari Mertoyudan:
Perjumpaan dan Pilihan menjadi Imam Projo

Setelah lulus SD, saya melanjutkan sekolah ke SMP Santa Maria
Bandung di Jl. Ahmad Yani. Lingkungan pergaulan yang baru membuat
saya agak menjauh dari aktivitas menggereja, khususnya misdinar. Saya
sudah mulai jarang bertugas dan lebih banyak pergi ke Gereja St.Gabriel
Gandarusa, paroki asal saya. Namun, saya memang merasa bahwa masa
SMP adalah masa di mana saya tidak terlalu menyenangi kegiatan gereja.
Saya lebih suka menyalurkan hobi saya berolahraga dengan mengikuti
sebuah club basket. Saya juga membuat sebuah band dengan teman-
teman sekolah. Dan memang pada masa itu, keinginan untuk menjadi
seorang romo sempat pudar.

Menjelang akhir masa SMP, ketika kami mulai memasuki persiapan
Ujian Nasional, seorang sahabat saya di SMP yang bernama Stefanus
Nata Yudha, mengingatkan saya akan keinginan untuk menjadi romo.
Mungkin dia adalah salah satu alat Tuhan untuk mengingatkan saya
pada panggilan yang pernah saya miliki sejak kecil. Ia mengajak saya
untuk bersama-sama mengikuti tes di Seminari, dan kami memang pergi
bersama untuk menjalani tes selama hampir satu minggu. Hasilnya, kami
berdua diterima sebagai seminaris di Seminari Menengah Mertoyudan.

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 49

50
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

Mungkin pada saat itu, ketika saya harus berangkat ke Mertoyudan,
untuk pertama kalinya saya belajar untuk meninggalkan kesenangan-
kesenangan saya sebagai konsekuensi dari pilihan untuk masuk seminari.
Selain basket dan band, tentu juga saya harus meninggalkan kenyamanan
dengan teman-teman yang sudah lama saya kenal, serta membiasakan
diri hidup jauh dari orangtua.

Kesenangan yang saya tinggalkan di masa SMP mendapat gantinya
ketika saya berada di seminari. Saya masih bisa menyalurkan hobi saya
untuk berolahraga dan bermain band. Namun lebih dari itu, di seminari
saya menemukan banyak hal baru yang membentuk saya, mulai dari
pola hidup teratur: bangun pagi, belajar, rekreasi; belajar berorganisasi,
memimpin rapat, belajar bicara di depan umum dengan baik, belajar hidup
berkomunitas; dan terutama belajar memaknai setiap pengalaman hidup
dalam kerangka hubungan dengan Tuhan dan hidup panggilan melalui
refleksi harian. Sebenarnya, sampai di tahun ke-dua di Mertoyudan,
saya belum memiliki gambaran yang jelas tentang pilihan menjadi imam
seperti apa. Di tahun pertama, saya sempat tertarik untuk menjadi seorang
Yesuit (imam religius Serikat Yesus) karena kagum pada seorang frater
yang bertugas sebagai sub-pamong di sana.

Pada tahun ke tiga, saya mulai memiliki ketertarikan untuk menjadi
seorang imam projo. Ketertarikan itu muncul dari pengalaman perjumpaan
dengan seorang imam projo Semarang yang pada saat itu menjadi
Pembimbing Rohani saya. Selain itu, di tahun yang sama, datang pula
seorang frater projo Bandung untuk bertugas sebagai frater pendamping,
yang kemudian mengenalkan saya dengan Fermentum (Seminari Tinggi
untuk calon imam Keuskupan Bandung). Memang sejak awal mula,
saya tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang Fermentum atau
imam projo karena saya berasal dari paroki yang dipimpin oleh tarekat
SSCC; dan saya tumbuh dalam lingkungan para biarawan OSC di Paroki
Pandu. Perjumpaan dengan “sosok-sosok projo” itulah yang akhirnya
menghantar saya pada pilihan untuk menjadi seorang imam projo, yang

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 51

lahir dari umat, tinggal di tengah umat, dan hadir untuk umat.
Perjalanan panggilan saya selama Seminari Mertoyudan tidak

selalu mulus dan lancar. Pada akhir tahun ke tiga itu, kami para seminaris
mengikuti retret electio, yaitu retret untuk memutuskan panggilan, apakah
akan melanjutkan proses sebagai calon imam atau tidak. Keraguan
muncul dalam diri saya ketika melihat situasi diri saat itu yang tidak amat
mantap dalam menghidupi panggilan. Selain itu, nilai akademis saya pun
dapat dikatakan pas-pasan. Saya selalu menjadi juru kunci di kelas, alias
peringkat paling bawah di antara teman-teman yang lain. Permenungan
yang sangat intens di dalam retret menghantar saya pada kesadaran
bahwa Allah yang memanggil saya sejak awal, tentu akan memberikan
pertolongan juga kepada saya. Allah memanggil saya sebagaimana diri
saya apa adanya, dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang saya
miliki. Dengan kesadaran itu serta kerendahan hati akan keterbatasan
diri, saya memutuskan untuk melanjutkan proses formasi sebagai seorang
calon imam. Keputusan itupun saya tegaskan dalam retret penegasan
di akhir tahun ke-empat dengan sebuah keputusan untuk melamar ke
Seminari Tinggi Fermentum sebagai calon imam diosesan (projo) untuk
Keuskupan Bandung.

Seminari Tinggi Fermentum: Dibentuk menjadi Pelayan

Tahun pertama di Seminari Tinggi Fermentum disebut sebagai
Tahun Rohani. Pada masa itulah, pada para frater diberikan dasar-dasar
hidup rohani untuk memantapkan panggilan mereka. Pengolahan hidup
rohani dan panggilan tidak terlepas dari pengolahan kepribadian sebagai
manusia yang utuh, oleh sebab itu pengolahan hidup dan panggilan selalu
beriringan dengan pembinaan aspek-aspek manusiawi. Dengan mengenali
diri secara utuh dan menerima serta berdamai dengan pengalaman masa
lalu, seorang frater diharapkan mampu mengarahkan diri secara lebih
total pada pengabdian dan pemberian diri pada Allah melalui pelayanan
bagi Gereja. Salah satu bentuk pengolahan kepribadian dalam kerangka

52
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

panggilan adalah melalui “Retret luka batin”, di mana para frater
diajak untuk menelusuri sejarah hidup dan panggilannya sejak ada di
kandungan untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan dasar manusiawi
yang dibawanya karena pengalaman-pengalaman masa lalu.

Demikian pula saya diajak untuk mengenali diri termasuk
pengalaman-pengalaman luka di masa lalu. Menghadapi, menerima, dan
mengolah pengalaman luka itu bukan hal mudah. Akan tetapi melalui
berbagai dinamika pengolahan dan proses terus menerus dari hari ke hari,
saya diajak untuk menemukan makna di balik pengalaman-pengalaman
tersebut, sehingga sejarah hidup itu menjadi sejarah keselamatan di
mana Allah menyematkan juga perutusan secara personal dan unik bagi
saya. Perutusan personal itu mendapat peneguhan ketika saya menjalani
Retret Agung 30 hari. Luka batin saya di masa lalu mengandung pesan
perutusan dari Allah bagi saya untuk menempatkan orang lain lebih
penting dari saya sendiri. Nilai itu didasari oleh spirit dari Yesus sendiri,
yakni semangat pengosongan diri (kenosis), pemberian diri sepenuh-
penuhnya.

Selama masa formasi di Fermentum, semangat itu terus saya
upayakan melalui berbagai dinamika yang ditawarkan oleh para staf
formator. Pengalaman pelayanan kebidelan (pelayanan internal di
seminari), kesempatan belajar pastoral (menjadi pendamping BIA,
mengajar anak SD, dan menjadi pendamping misdinar), pengalaman
berorganisasi sebagai ketua himpunan di kampus, dll, menjadi kesempatan
bagi saya untuk mengolah semangat tersebut dan meletakkannya dalam
kerangka pemberian diri dan pelayanan. Memang usaha itu tidak
selalu berhasil mulus. Ada kalanya, kebutuhan dasar untuk memenuhi
kepentingan diri masih mewarnai proses belajar seumur hidup itu.
Kejatuhan dan kegagalan dalam proses itu menjadi kesempatan bagi saya
untuk merasakan besarnya rahmat Allah yang mengasihi saya dengan
kasih yang demikian besar; dan dengan kerendahan hati dan harapan,
terus mengupayakan untuk mengarahkan diri kepada-Nya.

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 53

Semangat pelayanan dan pemberian diri dapat diwujudkan dalam
berbagai bentuk. Bentuk yang paling nyata dan terasa adalah ketika
menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki Tasikmalaya
dan Masa Diakonat di Paroki Ciamis, di mana saya mendapat kesempatan
untuk terjun langsung dalam berbagai bentuk pelayanan pada umat, mulai
dari anak-anak, OMK, keluarga, dan orangtua. Selain itu, dinamika hidup
dan bekerja dengan sesama rekan imam juga merupakan pengalaman
untuk membentuk diri saya menjadi seorang pelayan yang mampu bekerja
sama dengan imam yang lain. Semangat yang sama dapat diwujudkan
dalam hal lain, yaitu ketika saya mendapat perutusan untuk menjalani
studi di Italia. Meskipun tidak secara langsung terjun dalam pelayanan
umat, saya tetap meletakkan perutusan ini sebagai suatu kesempatan
untuk melatih semangat pemberian diri.

Kesempatan belajar di Italia sungguh di luar perkiraan saya. Tidak
pernah saya membayangkan akan dikirim untuk belajar di luar Indonesia.
Sejak awal saya menjalani proses formasi sebagai calon imam, saya
membayangkan akan menjadi seorang romo di paroki. Kesempatan ini
memang merupakan pengalaman luar biasa, namun juga menantang.
Belajar dan tinggal di negara lain, dengan bahasa lain, dengan kultur yang
berbeda, membuat saya belajar untuk beradaptasi dengan cepat. Saya juga
sempat mengalami kegagalan dalam proses studi tersebut, di mana saya
harus mengulang beberapa ujian. Pengalaman kegagalan itu sungguh
menempuh mental saya untuk memiliki daya tahan dan daya juang. Lagi-
lagi, studi bukan melulu soal dinamika intelektual, tapi semangat untuk
memberi diri pada perutusan yang diberikan dan mengupayakan yang
terbaik untuk menyelesaikannya.

Datang bukan untuk Dilayani, melainkan untuk Melayani

Ketika kami, para calon tertahbis, diminta mempersiapkan bacaan
untuk misa penahbisan, kami menemukan bahwa bacaan Injil pada hari
yang telah ditetapkan, bercerita tentang dialog antara Yesus dengan

54
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

Yakobus dan Yohanes. Dalam dialog itu, Yakobus dan Yohanes meminta
kepada Yesus agar kelak mereka boleh duduk di samping kanan dan kiri-
Nya, dalam kemuliaan-Nya. Namun Yesus mengakhiri dialog itu dengan
berkata kepada murid-murid-Nya, “...Barangsiapa ingin menjadi besar
di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa
ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi
hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk
dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya
menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mrk. 10: 43-45).

Masa diakonat yang saya jalani di Paroki St.Yohanes Pembaptis
Ciamis adalah bagian akhir dari formasi sebagai seorang calon imam.
Pada masa ini, sembari belajar dan mencicipi hidup sebagai seorang imam,
saya merasakan sungguh bahwa kehadiran seorang imam di paroki dan di
mana ia berada adalah untuk menjadi seorang pelayan. Dan itu menjadi
identitas bagi seorang imam karena Yesus sendiri yang menyatakannya.
Ketika merenungkan pengalaman masa formasi dan menariknya ke dalam
konteks saat ini, ketika saya menjalani masa diakonat, saya menarik
kesimpulan bahwa memang sungguh seluruh proses formasi yang telah
saya lakukan bermuara pada pelayanan bagi Gereja umat Allah. Lebih
dari itu, saya juga menyadari bahwa kebahagiaan seorang pelayan adalah
karena ia boleh ambil bagian dalam rencana besar Tuannya, yakni karya
keselamatan Allah; sukacita seorang pelayan adalah karena ia boleh
meneladani Yesus Sang Panutan, yang telah lebih dulu datang bukan
untuk dilayani, melainkan untuk melayani.

Terima kasih kepada siapapun yang telah menjadi bagian perjalanan
panggilan saya ini, sebagai teman perjalanan, pengajar, penyemangat, dan
penghibur. Semoga Allah senantiasa menganugerahkan rahmat kasih-
Nya bagi kita; bagi saya dalam melanjutkan perjalanan saya untuk terus
belajar menjadi pelayan yang semakin serupa dengan Yesus, di dalam
jalan panggilan sebagai seorang imam.

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 55

56
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

Kagum pada Imam yang Luwes

Ketertarikan menjadi imam bermula ketika saya mulai aktif
berkegiatan di gereja paroki saya, Setelah dibaptis pada usia 10 tahun
saya mulai ikut kegiatan putra altar di paroki. Semangat saya untuk
berkegiatan di putra altar mengalami pasang surut. Di awal saya merasa
bersemangat karena dapat bertemu dengan teman-teman baru. Seiring
berjalan waktu saya merasa malas untuk ikut pertemuan karena rasa
jenuh mengingat kegiatan yang hanya itu-itu saja.

Singkat cerita, saya dilantik sebagai seorang putra altar. Sebagai
anggota yang baru saja dilantik tentu saya merasa gembira sebab melalui
pelantikan itulah saya sudah mulai dapat bertugas dalam misa untuk
melayani imam sebagai seorang putra altar. Sejak pelantikan itu saya
mulai rajin untuk ikut perayaan ekaristi harian di gereja paroki. Setiap
pagi saya berangkat pkl. 05.30 dengan bersepeda untuk ikut perayaan
ekaristi. Usai perayaan ekaristi saya langsung menuju sekolah yang
memang berada satu komplek dengan gereja paroki.

Menjadi seorang putra altar merupakan kebanggan tersendiri.

57

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung

Sekurang-kurangnya saya dapat dekat dengan imam melalui tugas
pelayanan yang dijalani. Namun bukan kedekatan itulah yang membuat
saya tertarik untuk menjadi seorang imam, melainkan pribadi imam yang
dapat bergaul dengan semua kaum mulai dari anak-anak, remaja, orangtua
hingga lansia. Gambaran pribadi imam yang memiliki gaya yang luwes
ketika bergaul merupakan percikan awal tumbuhnya benih panggilan
imamat di dalam diri saya. Saya selalu merasa senang setiap kali melihat
pribadi imam yang dapat bergaul dengan semua orang. “Terlihat keren
dan saya mau sepertinya”, begitu pikir saya kala itu.


Ditangkap Allah Berulang Kali

Selama beberapa tahun hingga masuk ke Sekolah Menengah
Pertama (SMP) percikan awal benih panggilan itu hanya tersimpan
rapat di dalam diri. Seperti anak-anak seusia lainnya, saya memiliki cita-
cita bukan untuk menjadi imam. Oleh karenanya percikan awal benih
panggilan itu belum saya dengarkan secara sungguh.

Saat kelas 3 SMP keterlibatan saya di kegiatan putra altar semakin
penuh dalam pengertian, sebab waktu itu saya terpilih menjadi ketua
kelompok kategorial tersebut. Hal itu membuat saya semakin menaruh
hati pada pelayanan di gereja. Buahnya adalah saya semakin akrab
dengan gereja.

Menjelang ujian nasional (UN) SMP saya mulai memikirkan
Sekolah Menengah Atas (SMA) yang mau saya tuju. Bapak saya
menyarankan supaya melanjutkan di SMA katolik yang ada di kota
Tangerang. Saya tidak menginginkannya sebab merasa bosan jika harus
bersekolah di SMA yang notabene teman-temannya adalah mereka yang
sudah saya kenal sejak lama. Di sisi lain saya ingin belajar mandiri yakni
dengan bersekolah yang memiliki asrama di luar kota. Oleh karena itu
nama Seminari Menengah Mertoyudan muncul sebagai salah satu SMA
tujuan saya. Alasannya sederhana, berdasarkan informasi dari internet,
Seminari Mertoyudan ini menarik karena ada begitu banyak sarana dan

58
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

prasana yang menunjang aktivitas untuk mengembangkan diri.
Saya menyadari bahwa keinginan untuk bersekolah seminari

bukan pertama-tama karena ingin menjadi seorang imam. Tapi mungkin
ini cara Allah menangkap saya. Ketika waktu pendaftaran seminaris
baru semakin dekat saya semakin diingatkan untuk membangkitkan
kembali percikan awal benih panggilan menjadi imam yang saya miliki.
Pada akhirnya saya mendaftarkan diri ke Mertoyudan bersama dengan
seorang teman. Tapi ternyata saya gagal pada tes wawancara dan teman
saya diterima.

Pengalaman gagal saat mengikuti tes seleksi masuk seminari saya
terima dengan hati yang lapang. Mungkin karena saya kurang persiapan.
Saya tetap bersyukur karena melalui pengalaman tes tersebut saya boleh
sedikit mengenal lingkungan dan cara hidup seorang seminaris. Akhirnya
saya melanjutkan SMA di kota kelahiran saya Tangerang sambil tetap
aktif di pelayanan misdinar dan ikut perayaan ekaristi harian.

Masa SMA selama tiga tahun saya jalani seperti biasanya. Pikiran
untuk menjadi imam hilang begitu saja. Seperti anak-anak lainnya, saya
mulai memikirkan hendak menjadi apa ke depan. Saat kelas 3 SMA saya
mantap memutuskan untuk mendaftar kuliah di sebuah universitas di
Jakarta sampai sebelum Allah menangkap saya kembali.

Saya ingat betul, selepas pelaksanaan UN SMA saya memiliki
banyak waktu kosong sebelum memulai masa perkuliahan yang baru.
Saat masa-masa penantian kuliah itu, tiba-tiba saya mendapat pesan
di media sosial dari seorang teman yang dahulu mendaftarkan diri
bersama ke Seminari Mertoyudan. Teman tersebut menyapa saya seraya
menyampaikan, “Katanya mau masuk seminari lagi? Ayo saya tunggu!”
Saya membalas pesan tersebut dan menyampaikan bahwa saya telah
diterima kuliah di Jakarta. Meskipun begitu, entah mengapa di lain
kesempatan pesan seorang teman tersebut begitu menggema pada saya.
“Ah Tuhan bercanda nih! Masa iya kuliah sudah dibayar tapi malah
diminta ke seminari lagi”, begitu pikir saya saat itu. Akhirnya saya

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 59

menyiapkan segala berkas yang diperlukan serta meminta ijin kepada
orang tua untuk mengikuti tes di seminari lagi. Pada kesempatan ini saya
dinyatakan diterima. Inilah saat saya ditangkap Allah untuk kali kedua.

Kasih Allah sebagai Fondasi Hidup

Di Mertoyudan saya diterima sebagai seminaris Kelas Persiapan
Atas (KPA) bersama 15 orang lainnya yang mendaftar saat itu. Modal
hidup saya di seminari tidak banyak. Hanya rasa kagum pada pribadi
imam yang luwes ketika bergaul serta akrab dengan gereja sebagai buah
dari keterlibatan di kelompok putra altar. Tentu itu saja tidak cukup.

Masa KPA di Mertoyudan saya jalani selama satu tahun. Selama
satu tahun itu pula saya diajak untuk merenungkan secara lebih jelas
mengenai panggilan menjadi seorang imam. Ada ragam pengalaman
unik, gembira hingga pasang surut yang saya jumpai selama berdinamika
di Mertoyudan. Seperti misalnya, ketika baru saja menginjakkan kaki
selama satu minggu di Mertoyudan, saya dan seorang teman mendapat
hadiah dari pamong yakni diminta untuk lari mengelilingi lapangan
sepak bola saat malam hari sebanyak lima kali karena gaduh saat jam
studi pertama. Atau pada kesempatan yang lain, saat saya terlambat
pulang dari pendampingan iman anak di lingkungan sekitar karena
harus membelikan beberapa titipan teman, saya mendapat hadiah untuk
membersihkan tiang-tiang penyangga lorong jalan. Jika dipikir sejenak,
rasa-rasanya membersihkan tiang-tiang penyangga lorong jalan tidaklah
berguna sama sekali. Meskipun begitu, itulah cara Allah membentuk
diri saya. Dengan cara-cara yang sederhana, Allah mengajak saya untuk
belajar berkomitmen pada apa yang sedang saya hidupi.

Satu tahun berdinamika di Mertoyudan saya menyadari kenyataan
diri yang rapuh. Melalui kerapuhan itu saya merasa senantiasa diberi
kesempatan oleh Allah untuk memperbaiki diri melalui berbagai macam
pengolahan yang dijalani. Pengalaman tersebut merupakan bentuk kasih
Allah yang telah saya terima. Pengalaman dikasihi Allah menjadi fondasi

60
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 61

atas rahmat panggilan menjadi seorang imam hingga memberanikan
diri saya untuk melamar sebagai seorang calon imam diosesan untuk
Keuskupan Bandung.

Terbuka pada Rahmat Allah

Panggilan menjadi seorang imam diosesan secara khusus untuk
Keuskupan Bandung semakin saya kenali ketika menjalani masa
formasi di Seminari Tinggi St. Yohanes Pembaptis Fermentum. Di awal
perjalanan saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke paroki-paroki
yang ada di kota Bandung dengan berjalan kaki bersama dengan teman-
teman angkatan. Pengalaman unik, lelah dan menggembirakan mewarnai
pengenalan awal saya terhadap ‘secuil’ situasi imam diosesan dan gereja
yang ada di Keuskupan Bandung.
Nama Yohanes Pembaptis yang dipakai sebagai pelindung
Seminari Tinggi Fermentum merupakan semangat yang hendak
ditanamkan pada setiap calon imam diosesan Keuskupan Bandung.
Yohanes Pembaptis adalah seorang yang berseru-seru di padang gurun
untuk menyiapkan jalan bagi Tuhan. Pewartaan akan kedatangan Mesias
berangkat dari kesadaran dirinya yang terlebih dahulu mengenal Yesus
Putra Allah. Semangat yang sama itu diberikan kepada saya. Saya
diajak untuk berani menjadi nabi di zaman kini yakni orang-orang yang
mau mewartakan keselamatan Allah. Oleh karena itu, pengenalan dan
pengalaman akan kasih Allah menjadi dasar dari berbagai pengolahan
yang ada. Melalui beberapa kesempatan pengolahan, belajar pastoral
hingga perjumpaan dengan para imam saya merasa semakin dapat
mengenali sosok imam diosesan Keuskupan Bandung yang hadir di
tengah-tengah umat. Pengalaman itu menjadi kesempatan bagi saya
untuk membangun diri dan menghayati cara hidup sebagai seorang calon
imam diosesan Keuskupan Bandung.
Masa formasi di Seminari Tinggi Fermentum saya lalui dengan
aneka macam rasa. Ada kalanya saya merasa bersemangat, bergembira

62 dan ada kalanya juga saya menjumpai sedih hingga kecewa. Seluruh
pengalaman tersebut saya maknai sebagai miniatur hidup sebagai seorang

Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

imam kelak. Yang terpenting adalah kehendak dan upaya saya untuk mau
terbuka pada rahmat Allah dan kegembiraan pribadi. Dua hal tersebut
yang membuat saya semakin yakin akan pilihan untuk menjadi seorang
calon imam diosesan Keuskupan Bandung.


Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan Melayani
(Mrk. 10: 45)

Yohanes dan Yakobus, dua murid Yesus meminta suatu
permohonan yakni supaya kelak mereka diperkenankan duduk dalam
kemuliaan bersama dengan Yesus. Menanggapi permintaan tersebut
Yesus memberi jawab bahwa hal itu akan diberikan kepada orang-orang
yang kepadanya disediakan. Lebih jauh Yesus memberi pengajaran
terkait permintaan dua murid itu yakni mengenai ajakan untuk melakukan
pekerjaan Allah sebagai identitas seorang murid Yesus. Seperti Yesus
yang melayani Allah, demikian juga para murid yang akan menjadi
pewarta sabda Allah dan pemimpin-pemimpin umat kala itu hendaknya
memiliki jiwa sebagai seorang pelayan.

“Aku datang bukan dilayani, melainkan melayani”. Kata-
kata Yesus ini menginspirasi saya akan hidup sebagai seorang imam.
Seorang imam sejatinya hidup sebagai pelayan Allah dan umat-Nya
untuk mewartakan keselamatan yang berasal daripada-Nya. Oleh karena
itu, pelayanan seorang imam tidak hanya sebatas kata-kata, melainkan
juga melalui keseluruhan hidupnya yang sekiranya dapat menginspirasi
banyak orang dan membawa untuk semakin dekat dengan Allah.

Saya menyadari sebagai seorang imam, tugas untuk menjadi
pelayan Allah dapat terwujud apabila saya dengan segala kerendahan
hati rela dibentuk oleh-Nya dan mengalami kasih-Nya. Dengan
demikian, Allah senantiasa menjadi sumber semangat dan inspirasi dari
setiap pelayanan yang mengalir. Oleh karena itu, semoga melalui rahmat
tahbisan imamat ini saya semakin dapat menjadi pelayan Allah, pelayan
umat-Nya yang membawa pada keselamatan.

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 63

64
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

Pengantar

Pertama-tama puji dan syukur
kepada Tuhan atas segala penyertaan
dan bimbingan-Nya kepada saya hingga
saat ini. Tak terasa sepuluh tahun
lamanya menjalani pembinaan di rumah
formasi Ordo Salib Suci; mencari dan

mengagumi Allah yang baik hati. Dan kini saya diajak untuk semakin
berpasrah kepada-Nya melalui rahmat tahbisan yang akan saya terima
nantinya. Saya menyadari bahwa dalam pencarian yang panjang ini
ada begitu banyak pengalaman yang sungguh menguatkan saya; baik
secara jasmani maupun rohani. Saya bersyukur atas segala pengalaman
dan pengetahuan yang telah saya dapatkan di rumah formasi; baik di
Novisiat maupun di Skolastikat, yang akhirnya memampukan saya untuk
tetap setia di jalan panggilan Tuhan. Secara khusus saya ingin berterima
kasih kepada orangtua, para formator, dosen, serta seluruh umat yang
selama ini mendukung perjalanan panggilan saya. Semoga berkat Tuhan
senantiasa melimpah atas hidup anda sekalian. Saya yakin, bahwa segala
bimbingan dan pembelajaran yang anda berikan, sungguh berguna bagi
perjalanan hidup panggilan saya saat ini dan seterusnya.

Di bawah ini, saya akan mencoba membagikan rekam jejak
perjalanan hidup panggilan saya; mulai dari masuk Seminari hingga
memutuskan untuk mengikuti Tuhan dalam Ordo Salib Suci. Semoga
melalui sharing ini, saya semakin dikuatkan dalam panggilan dan
sungguh diberkati dalam setiap perjalanan hidup yang akan saya lalui. In
Cruce Salus!!!

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 65

Selayang Pandang: Sejarah Panggilanku

Jika melihat kembali perjalanan hidup panggilan saya; mulai
dari masuk seminari hingga saat ini, rasa-rasanya sulit untuk dipahami
dan dijelaskan. Saya sendiri masuk Seminari Menengah St Petrus Aek
Tolang, Pandan, Keuskupan Sibolga pada tahun 2007. Adapun motivasi
masuk seminari pada waktu itu hanya karena “penasaran” dengan
kehidupan di seminari. Selain karena telah mendengar dari beberapa
teman yang tinggal di seminari, juga kedekatan dengan para pastur dan
suster di paroki asal membuat saya tertarik untuk masuk seminari. Maka
setelah tamat SMP [2007], saya pun memberanikan diri untuk mengikuti
tes masuk seminari yang ada di Aek Tolang-Keuskupan Sibolga. Puji
Tuhan, atas “belaskasih” dari Pastor Koster Sihite, Pr (Rektor Seminari
Menengah St. Petrus Aek-Tolang) saya pun diterima di sana. Mengapa
saya katakan atas “belaskasih”, karena tanggal pendaftaran tes masuk
seminari sebenarnya sudah lama ditutup. Namun karena melihat niat
saya yang sungguh-sungguh ingin masuk Seminari, (bahkan sudah
membawa pakaian dari rumah hehe), maka saya pun diberi kesempatan
untuk mengikuti tes secara mendadak. Dalam waktu yang singkat
saya mencoba menjawab beberapa pertanyaan yang diberikan. Dan
setelah selesai hasilnya pun diumumkan pada hari itu juga. Saya masih
ingat bagaimana Pastor Koster Pr, mengumumkan hasil tes yang saya
lakukan saat itu. Sambil tersenyum beliau mengatakan “Ya… cukup-
cukup makanlah…” artinya hasil tes yang saya ikuti saat itu, “tidak
terlalu bagus” namun juga tidak terlalu jelek..hehe. Saya sendiri tertawa
ketika mendengar pengumuman tersebut. Namun setelah itu, pastor
Koster mengatakan “selamat datang dan selamat menikmati masa-masa
pembinaan di seminari, semoga betah dan kelak menjadi imam”. Waktu
itu saya merasa senang dan bahagia, karena meski dalam waktu yang
“mepet” sekalipun (bahkan sudah tutup pendaftaran di seminari) saya
masih diberi kesempatan untuk mengalaminya.

66
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

Masa-masa di Seminari hingga memutuskan masuk OSC

Setelah diterima di seminari Menengah St. Petrus Aek Tolang
saya pun berusaha mengikuti aturan yang berlaku. Jujur, awalnya saya
merasa canggung dengan aturan yang ada, sebab sungguh berbeda
dengan kehidupan saya yang sebelumnya. Jika sebelumnya saya hidup
“tanpa aturan dan batasan yang ketat”, namun di seminari saya harus
hidup dengan aturan-aturan yang tersusun rapi. Pada minggu-minggu
awal memang masih terasa sulit. Namun setelah beberapa minggu,
akhirnya saya bisa menyesuaikan diri dengan ritme kehidupan yang
ada di seminari. Jadwal doa, studi, kerja, dan kegiatan lain yang ada di
seminari saya ikuti dengan sebaik mungkin. Bahkan saya rela bangun
pagi-pagi untuk belajar agar bisa mengimbangi teman-teman lain yang
jauh secara akademik. Pernah seorang formator yang ada di seminari
mendapati saya mandi pukul 4.00 pagi hanya karena untuk belajar. Waktu
itu, pastor yang sedang patroli mengira saya “ngigo” karena mandi jam
empat. Hal tersebut diceritakan oleh pastor tersebut kepada para pastor
lainnya bahkan kepada anak seminaris sehingga semuanya menjadi tahu.
Memang beberapa pastor memuji tindakan tersebut, namun beberapa anak
seminaris malah mengejek dan menertawakan saya. Namun saya tidak
patah semangat. Malah saya semakin termotivasi dan mengembangkan
bakat-bakat yang ada dalam diri saya semaksimal mungkin. Dalam buku
harian saya tuliskan kalimat sederhana “sesuatu hal yang kita lakukan
belum tentu dilihat oleh orang lain secara baik dan benar. Namun apabila
itu dilakukan secara berulang-ulang dan dengan niat serta kemauan yang
tulus maka orang lain pun akan mengetahui kebenarannya”. Tentu masih
banyak pengalaman yang saya alami di seminari yang sunguh unik dan
tak terlupakan hingga saat ini. Namun sekurang-kurangnya itulah salah
satu perjuangan yang saya lakukan selama pendidikan di seminari yang
akhirnya membawa saya pada kematangan secara pribadi. Saya sendiri
berusaha terus menerus mengembangkan segala bakat dan kemampuan
yang saya miliki; baik di bidang akademik maupun rohani. Dalam bidang

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 67

rohani saya berusaha untuk menuliskan pengalaman sehari-hari dalam
buku harian dan mesharingkannya kepada pembimbing rohani secara
rutin. Melakukan bimbingan rohani secara rutin sungguh membantu saya
dalam melihat pengalaman secara terarah. Saya bisa melihat diri secara
utuh, baik kekuatan maupun kelemahan yang ada dalam diri.

Pengalaman empat tahun di Seminari Menengah St. Petrus, Aek-
tolang sungguh membentuk diri saya menjadi pribadi yang dewasa. Saya
merasa senang dan bahagia menghidupi terus menerus panggilan yang
telah diberikan kepada saya. Sehingga setelah empat tahun di seminari,
saya pun memberanikan diri untuk mengikuti Tuhan dalam Ordo Salib
Suci. Ketertarikan pada Ordo Salib Suci diawali dari perjumpaan dengan
para frater TOP OSC yang bertugas di seminari Menengah St. Petrus.
Adapun frater OSC saat itu ialah ; Fr. Felix Halawa OSC (2007-2008),
Fr. Postinus Guló OSC (2008-2009), Fr. Freday Sihombing OSC (2009-
2010), dan Fr. Hendrikus OSC (2010-2011). Saat ini, mereka semua sudah
menjadi imam OSC, kecuali Fr. Hendrikus OSC yang pada akhirnya
mengundurkan diri dan hidup sebagai awam. Saya bersyukur bahwa
melalui kehadiran mereka di seminari saya pun akhirnya bisa mengenal
sedikit demi sedikit tentang OSC. Sehingga pada akhirnya saya pun
tertarik mengikuti Kristus dalam Ordo Salib Suci. Maka bersama dengan
tiga orang teman dari seminari Menengah ; Karolus Lature, Hubertus
Hia, Sixtus Halawa, mengirimkan lamaran dan refleksi ke Provinsialat
Ordo Salib Suci Bandung, serta mengikuti tes wawancara di Paroki St.
Yosep Tebing Tinggi. Alhasil, kami bertiga: Karolus Lature, Hubertus
Hia, dan saya sendiri, diterima di OSC. Sementara Sikstus Halawa tidak
dapat melanjutkan pendidikan calon imam di OSC karena lamarannya
ditolak.

Masa Novisiat hingga Skolastikat

Pada tanggal 27 Juli 2011 saya pun tiba di Bandung dan mulai mengikuti
pembinaan di novisiat Pratista bersama dengan sembilan orang teman

68
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

angkatan; Fr. Juju OSC, Fr. Pranadi OSC, Fr. Tjatur OSC, Fr. Yustinus
OSC, Fr. Karolus Lature OSC, Fr. Hubertus Hia OSC, Fr. Marsono
Sihombing OSC, Fr. Heribertus Haki OSC, Fr. Agustinus Fahik OSC.
Selama kurang lebih dua tahun saya dibimbing oleh Pastor Agung
Rianto, OSC yang pada saat itu masih menjabat sebagai magister novisiat
OSC. Selama di novisiat saya dibimbing dan dibina untuk mengenali
diri secara integral serta melatih diri untuk tidak mudah berputus asa.
Saya masih ingat bagaimana pastur Agung mendidik kami dengan cara
yang keras namun penuh dengan kasih sayang. Awalnya saya merasa
jengkel dengan beliau, apalagi cara beliau dalam mendidik yang memang
sungguh keras dan tidak pilih kasih. Jika salah pasti akan dimarahi.
Itulah yang saya alami waktu itu. Namun saya baru mengerti bahwa
untuk menjadi seorang OSC yang militan, saya harus mampu bertahan
dalam menghadapi segala kesulitan ada. Saya harus rela dicaci maki,
dimarahi agar kelak menjadi imam yang kuat. Itulah yang saya alami

69

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung

ketika menjalani formasi atau pembinaan di novisiat yang serba disiplin.
Dengan pembinaan yang demikian, saya pun bertumbuh menjadi pribadi
yang matang. Hal inilah yang membuat saya untuk terus maju dan terus
melangkah dijalan panggilan Tuhan. Maka setelah dua tahun menjalani
masa novisiat saya pun dengan berani mengirarkan kaul perdana (28
Agustus 2013) dan melanjutkan pembinaan di Skolastika Sultan Agung.

Di Sultan Agung, saya tinggal bersama dengan berbagai macam
latar belakang; suku maupun karakter. Dengan emosi yang masih
meledak-ledak terkadang terjadi perkelahian dengan sesama komunitas;
baik itu adu mulut maupun adu fisik. Pengalaman-pengalaman semacam
ini sering terjadi di komunitas Skolastikat yang pada akhirnya membuat
saya bertumbuh menjadi pribadi yang matang dan dewasa. Pengalaman-
pengalaman di Skolastikat membuat hidup menjadi indah sebab disatukan
oleh tujuan yang sama yakni menuju Allah “Cor Unum Et Anima Una In
Deum”- Sehati Sejiwa Menuju Allah.

Saya beryukur atas segala pengalaman yang telah saya dapatkan di
rumah formasi; baik novisiat maupun skolastikat. Melalui pengalaaman
tersebut saya bisa bertumbuh menjadi pribadi yang dewasa dan matang.
Saya menjadi lebih mengenal diri saya secara utuh serta tidak mudah
menyerah manakala menghadapi kesulitan. Saya bersyukur atas rahmat
panggilan yang dianugerahkan Allah kepada saya. Sehingga pada tanggal
28 Agustus 2018 saya pun memberanikan diri untuk mengikrarkan kaul
kekal di kapel St. Helena Pratista bersama tiga (3) orang teman angkatan;
Fr. Juju OSC, Fr. Pranadi OSC, dan Fr. Tjatur OSC. Maka dengan nada
yang sama pula , saya juga ingin memasrahkan diri sepenuhnya kepada
Tuhan melalui tahbisan imam nantinya. Semoga Allah meresetui segala
rencana dan niat-niat tulus yang selama ini telah saya perjuangkan
dan usahakan di dalam formasi. Saya berharap agar dalam perjalanan
panggilan ini senantiasa membuka diri terhadap karya-karya Allah yang
akan saya terima di dalam perutusan sehari-hari.

70
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

Menghidupi semangat doa dalam Karya Perutusan

“Oleh sebab itu sesungguhnya, Aku ini akan membujuk dia,dan membawa dia ke

padang gurun, dan berbicara penuh cinta kepadanya ”(Hos. 2:13).

Doa merupakan cara manusia membangun hubungannya dengan
Tuhan. Melalui doa manusia mampu mendegar suara Tuhan di dalam
hidupnya. Sehingga ia mampu melihat segala kebaikan yang diberikan
Tuhan kepadanya. Doa memberikan kesegaran kembali bagi jiwa yang
kering. Ia membawa seseorang pada keutuhan hidup yang tidak dapat
terbagi-bagi. Ia menjadi utuh dan tak tergoncangkan. Saya masih ingat
beberapa pastur senior yang memiliki semangat doa yang tinggi. Mereka
senantiasa meluangkan waktu mereka untuk berdoa secara pribadi. Dalam
sharingnya, seorang pastur berkata bahwa doa yang dilakukan dengan
“setia” akan membentuk ketajaman hati untuk membaca situasi-situasi
yang terjadi. Melalui ketekunan secara terus menerus akan membawa
seseorang pada perjumpaan personal dengan Yesus. Perjumpaan yang
intim dengan Yesus setiap hari akan membawa seseorang pada kedamaian
dan sukacita hidup. Maka terinpirasi dari pastur tersebut saya pun mencoba
menghidupi semangat doa tersebut setiap hari, seperti hanya; doa brevir,

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 71

meditasi dan membaca kitab suci. Kadangkala saya juga mencoba
mengisi waktu-waktu kosong dengan membaca buku-buku rohani dan
merenungkannya secara sederhana. Melalui bacaan rohani saya dapat
menimba inspirasi dalam melaksanakan kehendak Tuhan sehari-hari.
Di samping itu, merayakan Ekaristi setiap pagi tentu membawa saya
pada kedekatan dengan Tuhan. Dalam Ekaristi saya mensyukuri rahmat
kehidupan yang saya terima sehari-hari. Melalui itu saya dimampukan
untuk menjalani kehidupan dengan penuh semangat dan sukacita serta
mampu mewartakan kabar sukacita kepada semua orang.

Dalam pengalaman hidup sehari-hari, saya memaknai doa sebagai
saat teduh di hadapan Tuhan. Doa mengarahkan hati saya pada Tuhan
dan tetap tertuju kepada-Nya. Dalam saat-saat doa, hati saya menjadi
lebih tenang dan damai. “Doa” menjadi saat penting untuk menarik diri
dari rutinitas, serta mencoba melihat dan merasakan kasih Tuhan sehari-
hari. Memang tak bisa dipungkiri bahwa ada saatnya hidup doa terasa
kering dan tak bermakna. Penyebabnya bermacam-macam. Kadang-
kadang karena alasan fisik yang kurang mendukung (sakit, capek) atau
suasana hati yang memang tidak baik (bad mood). Meskipun demikian,
saya tetap mencoba setia di dalam doa; baik pribadi maupun bersama.
Melalui kesetiaan itu saya pun pelan-pelan dihantar pada perjumpaan
dengan Tuhan.

Bagi saya, menarik diri dari rutinitas dan mengambil waktu hening
bersama Yesus menjadi suatu hal yang penting dalam hidup sehari-hari.
Di sana saya mampu menemukan kembali rasa sukacita dan kedamaian.
Dalam doa saya menampat kekuatan dari Tuhan agar tidak mudah
diombang-ambingkan oleh arus zaman. Banyak orang, karena terlalu
sibuk akhirnya lupa menjalin relasi dengan Tuhan. Maka akibatnya
pun hidup menjadi kacau dan hancur. Hal ini menjadi suatu tantangan
bagi saya yang saat ini hidup dalam dunia yang penuh kesibukan. Saya
ditantang untuk tetap setia menghidupi semangat doa. Bahkan sesibuk
apa pun saya harus tetap menyempatkan diri untuk berdoa; berdiam

72
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

diri sejenak dan menjalin relasi dengan Tuhan. Semoga semangat doa
yang telah saya hidupi selama ini sungguh-sungguh menjadi sebuah pola
hidup, khususnya di dalam mengemban tugas sebagai imam. Sebagai
seorang imam saya mesti menjalin relasi yang intim dengan Tuhan
sebagai sumber kekuatan. Dengan demikian, pelayanan kepada sesama
pun dapat terwujud dengan baik.

Komunitas Sebagai Kekuatan dalam karya kerasulan

Komunitas adalah tempat kerasulan yang paling utama dan
langsung (Konst. 21.1). Hal ini menegaskan bahwa setiap orang mau
bergabung dalam Ordo Salib Suci mesti menempatkan komunitasnya
sebagai bagian utama dalam karya kerasulannya. Di sana ia belajar untuk
menyelaraskan diri dengan nilai-nilai yang ada dalam hidup bersama. Ia
berusaha untuk hidup dalam semangat kebersamaan yang telah digariskan
dalam semangat Ordo “Cor Unum Et Anima Una In Deum”- Sehati sejiwa
menuju Allah. Dengan demikian semakin terciptalah suasana harmonis
dalam komunitas. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa selalu saja ada
orang yang tidak mau mengikuti aturan yang berlaku di komunitas; ia
hanya mementingkan kepentingannya sendiri tanpa memperhitungkan
orang lain. Dalam situasi demikian dibutuhkan kedewasaan dari masing-
masing anggota, agar tidak cepat menghakimi saudaranya manakala
melakukan kesalahan atau melangar aturan yang telah berlaku. Sebaliknya,
masing-masing pribadi diajak semakin menerima satu sama lain sebagai
saudara. Disitulah letak keunikan orang-orang yang terpanggil sebagai
religius. Orang yang memilih hidup sebagai religius mesti memiliki
sikap rendah hati terhadap sesama komunitasnya. Dengan demikian,
masing-masing pribadi mengalami sukacita di dalam hidup sehari-hari,
khususnya dalam komunitas. Sebab bagaimana pun komunitas menjadi
tempat pertama bagi seseorang untuk mengalami pertumbuhan iman dan
kasih yang akhirnya berbuah dalam pelayanannya.

Sebagai biarawan OSC, saya bersyukur bisa mengalami hidup

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 73

bersama dengan orang-orang yang berbeda secara kultur maupun
karakter. Melalui itu saya bisa belajar untuk mengenal nilai-nilai yang
terdapat dalam suatu kultur tertentu dan menjadikannya sebagai sarana
pembelajaran. Saya bersyukur bahwa semangat kebersamaan yang
terjalin dalam keluarga kecil sungguh berdampak positif dalam diri.
Keharmonisan yang terjalin dalam keluarga, secara tidak langsung
mempengaruhi diri saya saat ini.

Dewasa ini semangat kebersamaan dalam hidup karya kerasulan
menjadi begitu penting. Ketika dunia menawarkan berbagai macam
produk individualisme yang menggiurkan, maka komunitas religius
ditantang untuk mengcounter itu semua. Komunitas-komunitas religus
mesti menjadi alarm bagi dunia yang semakin hari semakin bersifat
individual. Dengan adanya teladan kebersamaan dalam komunitas religus,
dapat mempengauhi orang-orang yang kita layani. Komunitas-komunitas
Ordo Salib Suci kini telah menampilkan semangat kebersamaan yang
memang mesti dihidupi secara terus menerus oleh generasi berikutnya.
Sehingga Kharisma OSC yang menekankan semangat kebersamaan
sungguh-sungguh tampak di dalam kehidupan sehari-hari. Saya sendiri
mencoba belajar menghidupi semangat kebersamaan tersebut di dalam
karya pastoral sehari-hari. Meski tidak seoptimal yang ada di Biara
pada umumnya, namun sekurang-kurangnya saya tetap mengusahakan
semangat kebersaaman di paroki tempat saya tinggal. Misalnya saja,
doa bersama, makan bersama, dan lain sebagainya. Semoga semangat
kebersaaman yang sudah terjalin dalam komunitas-komunitas OSC
selama ini dapat terus bertumbuh dan menjadi inspirasi bagi banyak
orang.

Melayani dengan Rendah Hati

“Aku datang bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani”
(Markus 10:32-45) adalah tema tahbisan yang sengaja dipilih secara
bersama-sama. Kebetulan, pada tanggal 26 Mei 2021 Gereja universal

74
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

merayakan Peringatan Wajib Santo Filipus Neri, Imam, tepat di saat saya
dan teman-teman akan menerima rahmat tahbisan. Maka dari itu, seluruh
tema dan bacaan dalam tahbisan pun disesuaikan dengan peringatan
tersebut. Dalam Injil Markus 10:32-45, yang dibacakan pada perayaan
ini, Yesus mengungkapkan kepada murid-muridNya makna terdalam dari
misiNya. Yesus memberitakan dengan terus terang tentang maksud dan
tujuan perjalanan-Nya keYerusalem dan apa yang akan terjadi dengan diri-
Nya; juga tentang bagaimana para rasul-Nya harus menjalankan pelayan
mereka dengan penuh cinta kasih dan kerendahan hati. Terinspirasi
dari hal tersebut, saya pun diajak untuk memiliki sikap rendah hati di
dalam karya pelayanan umat nantinya. Namun sebelum mencapai hal
itu, saya perlu mengikuti Yesus secara total; membiarkan diri dipimpin
olehNya dalam setiap karya perutusan. Ketika Yesus berada di “depan”
tentu akan ada rasa aman dan nyaman yang muncul di dalam hati. Itulah
yang perlu saya hidupi saat ini, terutama ketika hendak menerima rahmat
tahbisan suci. Saya perlu menempatkan Yesus di garda terdepan. Dengan
demikian hidup pangilan pun menjadi terjamin dan tidak akan tersesat.
Saya bersyukur bahwa dalam perjalanan menuju imamat ini saya diberi
kesempatan untuk mengalami karya pastoral di Paroki Santo Yusuf
Cirebon. Dalam kesempatan tersebut saya mencoba ikut ambil bagian
dalam karya pelayanan kepada umat. Bersedia menerima penugasan dari
pimpinan menjadi salah satu wujud sikap rendah hati yang saya coba
terapkan. Di samping itu, menerima masukan, bahkan kritikan dari para
pastur adalah salah satu contoh dari sikap kerendah hati di dalam hidup
sehari-hari. Sebab melalui sikap rendah hati, saya bisa belajar terus
menerus menyerupai Kristus yang “merendahkan diri dan taat sampai
mati, bahkan mati di kayu salib “ (Flp. 2:8).
Melayani dengan rendah hati adalah sebuah amanat yang diberikan
oleh Yesus kepada para murid-Nya. Jika mau berkuasa, hendaklah menjadi
hamba dan pelayan bagi sesama. Amanat ini menjadi ajakan sekaligus
“keharusan” bagi saya yang akan menerima rahmat tahbisan imam.

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 75

Merendahkan diri di hadapan Tuhan dan tergerak untuk membagikannya
kepada sesama dengan kerendahan hati. Kerendahan hati adalah suatu
hati yang rela ditegur, rela dinasehati, rela menerima masukan untuk
membangun, rela dikoresi, rela dibongkar dengan cara Tuhan dan melalui
orang yang Tuhan tentukan, di mana semuanya itu untuk mengubah diri
saya secara pribadi. Semoga dengan mengemban tugas sebagai gembala,
saya pun akhirnya mampu bersikap rendah hati terhadap umat yang saya
layani. Bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani. Saya sendiri tetap
berjuang untuk tetap mengusahakan pelayanan yang rendah hati di setiap
karya dan perutusan. Maka menerima penugasan yang diberikan kepada
saya nantinya adalah salah satu wujud nyata di dalam sikap kerendahan
hati.

Penutup

Panggilan adalah misteri yang tidak bisa dipahami secara nalar,
tetapi sungguh dialami lewat pemberian diri secara total. Saya bersyukur
bahwa saya diberi kesempatan untuk mengenal dan mencicipi kebaikan
Tuhan itu lewat panggilan yang diberikan kepada saya sampai saat ini.
Dipanggil sebagai murid Tuhan di dalam Ordo Salib Suci merupakan
suatu kebanggaan tersendiri bagi saya, khususnya ketika hendak
menerima rahmat tahbisan. Sebagai calon Imam Ordo Salib Suci,
saya diajak untuk memikul salib setiap hari dan mengikutiNya dengan
sepenuh hati. Maka relasi yang intim denganNya merupakan syarat utama
di dalam menjalani hidup panggilan suci ini. Setia dalam doa (pribadi
dan bersama), membaca Kitab Suci setiap hari serta merenungkannya
secara teratur menjadi kunci di dalam hidup panggilan. Sehingga dengan
demikian kehidupan panggilan tetap bertumbuh dan berkembang di
dalam pemeliharaan Tuhan.
Semoga segala pengetahuan dan pengalaman yang saya dapatkan
selama ini baik di rumah formasi; novisiat dan skolastikat maupun
pastoral sungguh-sungguh menjadikan saya menjadi pribadi yang dewasa

76 di dalam iman. Dan semoga melalui rahmat tahbisan imam, saya pun
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

semakin mampu menyerupai Kristus di dalam hidup sehari-hari. Saya
beryukur bahwa melalui komunitas Santo Yusuf Cirebon saya dapat
menimba banyak pengalaman dalam pastoral maupun hidup bersama.
Semoga apa yang telah saya dapatkan selama ini sungguh-sungguh
menjadikan saya sebagai pribadi yang tangguh dan rendah hati. Semoga
Tuhan menyertai dan membimbing perjalanan hidup panggilan saya,
terutama dalam menerima rahmat tahbisan suci ini. Amin.

78
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

“IA BEGITU
SETIA”

“Pasang-surut” Menjawab Panggilan-Nya

Proses menjawab panggilan Tuhan yang saya alami berawal dari
sebuah ketertarikan terhadap jubah OSC dan sapaan-sapaan yang hangat
serta ramah dari para pastor OSC kala itu. Ada ungkapan yang sering
didengar, “cinta dimulai dari mata lalu turun ke hati”, begitupun proses
menjawab panggilan Tuhan pertama-tama dari ketertarikan secara visual
lalu berproses diolah dengan hati dan berbagai pengalaman.

Masa kecil saya tidak secara langsung diperkenalkam dengan apa itu
hidup membiara atau kehidupan religius. Tetapi secara tidak langsung,
saya mengenal cara hidup membiara dari pengalaman perjumpaan-
perjumpaan dengan pastor dan juga suster yang bertugas di tempat saya.
Ketika bertugas misdinar dan melihat pastor memakai jubah serta kasula
lengkap, rasa ketertarikan itu semakin kuat. Hingga suatu hari saya
mengungkapkan keinginan ini pada ayah saya, “Pa, Juju hoyong sapertos
Rama Rutten” (Juju ingin seperti Pastor Rutten). Ayah saya tersenyum
dan menjawab, “Nya sok atuh, kumaha kahayang Juju bae, bapa mung
saukur bisa ngadoakeun” (Ya silahkan, bagaimana keinginanmu saja,
bapa hanya bisa mendoakan). Spontanitas dan keinginan yang kuat
ini muncul tanpa dibarengi dengan bagaimana prosesnya supaya bisa
menjadi seorang pastor.

79

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung

Hari demi hari keinginan itu semakin kuat,pengenalan cara hidup
dan prosesnya untuk menjadi seorang pastor perlahan-lahan mulai
berkembang. Selain karena perjumpaan dengan kaum religius, proses
menjawab panggilan ini juga diperkaya oleh perjumpaan-perjumpaan
dengan orang lain ketika saya menjadi pemandu peziarah di Gua Maria
Sawer Rahmat.Pengalaman bersosialisasi dengan orang baru, bercerita,
memimpin doa, cara berkomunikasi, dan sebagainya melatih saya untuk
percaya diri dan memantapkan pilihan yang saya inginkan.

Panggilan dalam diri saya mulai terasa surut karena dibenturkan
dengan masalah ekonomi keluarga yang serba pas-pasan. Hal ini
berkaitan dengan sekolah/pendidikan.Sempat terpikir ingin melanjutkan
ke sekolah Kelas Pembangunan (KP), karena melihat lulusan-lulusan
KP biasanya memiliki keterampilan praktis dan langsung bekerja. Tetapi
keinginan untuk menjadi seorang pastor masih tetap ada walaupun
harapan untuk bisa melalui prosesnya semakin mengecil. Teringat akan
keinginan saya untuk menjadi seorang pastor, ayah saya menyarankan
untuk saya sekolah di SMP Yos Sudarso Cigugur saja. Ayah saya tanpa
banyak kompromi menemani saya untuk daftar di SMP Yos Sudarso.
Di satu sisi saya merasa khawatir dan takut tidak bisa membayar uang
sekolah, di sisi lain saya merasa didukung oleh orangtua untuk berproses
menjawab panggilan ini.

Masa-masa SMP, panggilan saya semakin tumbuh dan berkembang.
Saya cukup aktif dalam kegiatan-kegiatan menggereja dan sesekali
diajak oleh pastor untuk kunjungan umat serta misa di stasi-stasi.
Urusan keuangan sekolah dibantu oleh beasiswa dari Yayasan Salib
Suci, sehingga membuat saya tenang dan keluarga tidak khawatir lagi.
Saya menyadari ini sebagai bentuk cinta dan kebaikan Tuhan bagi saya
dalam proses menjawab panggilan-Nya. Panggilan saya yang ‘surut’ dan
berkurang harapannya pun menjadi naik, penuh harapan, dan ‘pasang’
kembali.

80
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

Benih itu Tumbuh di Tempat yang “sulit”.

Gambaran sebuah seminari yang ada dalam benak saya adalah
seperti sebuah asrama besar, memiliki lapangan yang luas, penghuninya
yang banyak, dan menyatu dengan sekolah. Ekspektasi saya rupanya
terlalu tinggi dan jauh untuk seminari yang saya pilih. Saya memilih
(lebih tepatnya diarahkan) untuk melanjutkan pendidikan di Seminari
Menengah Cadas Hikmat Bandung dan bersekolah di SMA Santa
Maria 1 Bandung. Kala itu ada dua orang lainnya yang mendaftar untuk
menempuh pendidikan di Seminari ini. Dua orang (saya salah satunya)
dari Paroki Kristus Raja Cigugur dan satu orang dari Paroki Hati Kudus
Yesus Tasikmalaya. Dari segi kuantitas saja tidak bisa disandingkan
dengan seminari-seminari lain yang ada di Pulau Jawa,tetapi saya
mensyukuri kehadiran dua teman angkatan ini di dalam proses perjalanan
panggilan saya.

Awal-awal masa SMA dan Seminari terasa sangat sulit bagi saya.
Pertama, pelajaran-pelajaran di sekolah terasa sulit dan berat untuk
dipahami. Saya hampir menyerah dan rasanya ingin pulang saja;tak
seindah yang dibayangkan. Kedua, butuh waktu yang cukup lama untuk
bisa menyesuaikan diri dengan ritme hidup seminari. Seringkali saya lalai
melaksanakan tugas dan kurang disiplin. Ketiga, saya sering kena marah
oleh rektor seminari karena kecerobohan dan kesalahan saya. Berbagai
situasi sulit tersebut mencoba menantang saya untuk tetap bertahan dan
setia. Motivasi dari teman-teman di seminari dan teman-teman sekolah
membuat saya bangkit untuk menyelesaikan apa yang telah saya mulai.
Di samping itu, yang membuat saya semangat kembali adalah perjuangan
orangtua yang mendukung secara penuh, baik doa maupun materi supaya
saya bisa bersekolah di Bandung dan menanggapi panggilan Tuhan.

Perlahan-lahan semangat saya semakin tumbuh dan berkembang.
Berbagai kesulitan di sekolah dan seminari saya lalui dengan penuh
tanggung jawab. Di samping kesulitan-kesulitan itu, ada juga berbagai
godaan yang saya alami terutama relasi dengan kaum hawa. Saya sungguh

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 81

mengalami pengalaman jatuh cinta dan sampai pada tahap menjalin
hubungan pacaran. Saya tahu bahwa ini salah dan sudah keluar jalur,
tetapi saya tak kuasa membendung perasaan itu. Pengalaman jatuh cinta
ini justru saya sadari sebagai bagian dari proses memurnikan panggilan
Tuhan. Sejauh-jauhnya saya lari dari Tuhan, Dia selalu punya cara untuk
mengajak saya kembali ke jalur-Nya.

Dari pengalaman-pengalaman di seminari dan sekolah, saya bertumbuh
menjadi pribadi yang semakin matang, dewasa,dan berkembang dalam
berbagai bidang. Meskipun seminari saya tak bisa disandingkan dengan
seminari lainnya, tetapi saya bersyukur bisa menjadi benih yang tumbuh di
seminari yang serba terbatas ini.Walaupun kecil yang penting “menggigit”;
walaupun sedikit dan terbatas yang penting tetap berkualitas.Di tengah
perjalanan, teman angkatan di seminari mengundurkan diri karena suatu
sebab, tinggallah saya berdua seangkatan. Kendati seangkatan tersisa
dua orang saja, tapi itu tak menyurutkan semangat dan daya juang saya
menapaki jalan panggilan ini.

Ketika tahun terakhir di seminari, saya harus mengambil keputusan
yang mantap untuk memilih seminari tinggi/tarekat/ordo.Tanpa pikir
panjang saya memilih OSC karena hanya OSC yang saya kenal dekat
dan jujur saja saya kurang mengenal tarekat/ordo lain. Kekhawatiran
tidak diterima di OSC muncul karena rektor memberikan rekomendasi
yang kurang baik. Namun saya tetap berusaha melakukan yang terbaik
dan percaya bahwa Tuhan yang punya rencana indah untuk hidup saya.
Kekhawatiran itu pun tergantikan dengan sukacita ketika saya dinyatakan
lolos seleksi dan diterima menjadi calon novis Ordo Salib Suci.

Masa Formasi:Menjadi Pribadi yang Mau Dibentuk

Pada tahun awal saya menempuh formasi sebagai seorang novis
OSC, saya mendengar ada beberapa pastor yang keluar meninggalkan
imamatnya. Sedih rasanya, karena salah satu pastor yang meninggalkan
imamatnya adalah pastor yang mendukung, membantu, dan menghantar

82
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

saya hingga menjadi novis OSC. Lalu apakah saya lantas goyah dan
ingin keluar juga? Tidak, karena panggilan Tuhan yang saya hidupi itu
sudah menjadi milik saya, bukan bergantung pada panggilan orang lain.
Selain itu, peristiwa tersebut justru semakin menguatkan motivasi dan
semangat saya dalam menjalani formasi untuk menjadi “pekerja” bagi
tuaian-tuaian yang banyak itu.

Dalam formasi OSC, saya tinggal bersama saudara-saudara dari
berbagai latar belakang suku dan budaya. Awalnya saya merasa kesulitan
karena belum pernah tinggal serumah dengan orang-orang dari latar
belakang suku dan budaya yang berbeda. Oleh karena itu, seringkali terjadi
‘gesekan-gesekan’, kesalahpahaman, dan konflik dalam rumah formasi.
Hal tersebut pasti akan selalu terjadi di manapun, namun tergantung
saya melihat dan memaknai setiap hal. Bagi saya ketidakcocokan dan
konflik itu hal biasa dalam hidup komunitas, tetapi yang terpenting bagi
saya adalah ‘apa yang saya pelajari dari peristiwa itu’. Saya mengalami
selama proses formasi bahwa konflik dan ketidakcocokan itu bisa
mendewasakan saya. Saya belajar untuk lebih terbuka; rendah hati; mau
dibentuk; dan sabar dalam menghadapi sesuatu. Di samping konflik dan
ketidakcocokan, kehidupan bersama yang beragam rupaya lebih banyak
memperkaya satu sama lain di komunitas; semakin membuka keindahan
hidup komunitas karena kekayaan dan keunikan masing-masing pribadi.

Menguji Kesetiaan Tuhan

Jubah OSC seperti memiliki daya magnetik yang mampu menarik
perhatian dan membuat orang kagum. Tidak hanya mereka-mereka yang
ingin jadi pastor saja, tetapi kaum hawa tak jarang melihat hal yang
berbeda ketika saya mengenakan jubah OSC. Jubah OSC ini sebagai
identitas luaran yang bisa dilihat pertama kali oleh orang. Umat atau
orang luar menghargai dan menghormati saya pertama-tama karena
identitas saya sebagai frater OSC/kaum berjubah. Jadi, identitas sebagai
kaum berjubah mesti saya hayati sebagai rahmat untuk melayani, bukan

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 83

sebagai power untuk memanfaatkan umat.
Sebagai seorang biarawan, saya mengikrarkan tiga kaul: ketaatan,

kemiskinan, dan kemurnian. Hidup membiara yang sudah saya jalani
hampir 10 tahun ini secara garis besar merupakan perjuangan menghidupi
ketiga kaul ini. Kenapa perjuangan? Karena selalu dihadapkan pada
pilihan-pilihan duniawi: Harta, Tahta, Wanita. Saya bisa memutuskan
untuk berkaul kekal dan tahbisan pun bukan karena saya tak pernah jatuh
dalam ketiga godaan duniawi itu. Pengalaman bergumul dengan godaan
duniawi itu justru membuat saya tersadar bahwa Tuhan selalu setia dalam
hidup saya.

Saya pernah menguji kesetiaan Tuhan ketika saya berada di situasi
sulit dan rohani terasa kering. Ketika itu hadirlah seorang mahasiswi yang
bisa membuat saya merasa dicintai. Ada ketertarikan hati juga sehingga
membuat saya lari dari Tuhan. Situasi ini cukup kuat membuat saya goyah
dan berpikir untuk keluar meninggalkan jubah OSC. Saat itu saya hanya
berdoa, “Jika Tuhan memang ingin saya tetap di jalan-Mu, tunjukkanlah
caranya.” Di pertengahan tahun 2016,Tuhan menunjukkan jawaban
doa, cinta dan kesetiaan-Nya dengan mengirim saya untuk bertugas di
Asmat, Papua. Situasi yang serba terbatas (terutama komunikasi) di
Asmat, membuat saya semakin dijauhkan dengan mahasiswi tadi.Hidup
komunitas dan pastoral di Asmat inilah yang justru menjadi titik balik
menyadari cinta dan kesetiaan Tuhan dalam jalan panggilan ini. Selama
ini saya yang selalu tidak setia dan tidak menyadari cinta Tuhan yang
lebih besar.

Rahmat Tahbisan: Bentuk Cinta Tuhan Untukku

Sebelum tahbisan diakon dan imam, saya menjalani ret-ret selama
beberapa hari, bahkan sebelum tahbisan diakon saya menjalani ret-ret
agung selama satu bulan. Dari pengalaman ret-ret ini, saya dibantu untuk
menyadari pengalaman-pengalaman kelemahan dan kerapuhan saya;
pengalaman menyakiti dan menambah penderitaan Tuhan; pengalaman

84
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

gelap dalam hidup. Sadar akan kelemahan dan kerapuhan manusiawi
dalam diri, saya menyatakan bahwa saya tidak layak menerima tahbisan
ini. Jauh dari kata sempurna dan layak. Tetapi selain pengalaman itu,
saya juga diajak untuk menyadari pengalaman cinta Tuhan yang luar
biasa besar dalam hidup saya. Ia tetap mencintai, tetap setia pada saya
sekalipun saya yang seringkali tidak setia. Ia memilih saya dengan segala
kelemahan dan kerapuhan yang saya miliki agar saya selalu sadar bahwa
cinta Tuhan itu terwujud dalam rahmat tahbisan ini.

Rahmat tahbisan ini adalah sebuah anugerah yang harus saya
syukuri karena Tuhan memilih dan mempercayakan tugas mulia ini
kepada saya. Saya menyadari tugas ini berat dan penuh tanggung jawab.
Tetapi dari berbagai pengalaman kesetiaan Tuhan dalam hidup saya, saya
percaya dan berserah pada kehendak-Nya. Sampai saat ini pun Tuhan
menunjukkan kehendak-Nya dalam hidup panggilan saya. Tepat empat
puluh hari yang lalu bapa saya dipanggil menghadap hadirat Allah.
Bapa adalah orang pertama yang mendukung dan membantu saya untuk
menanggapi panggilan Tuhan. Lalu kenapa Tuhan memanggilnya sebelum
menyaksikan saya tahbisan? Tugas bapa sudah selesai menghantar saya
hingga jalan imamat ini dan saya percaya bapa juga bahagia bisa melihat
saya setia di jalan panggilan ini. Saya percaya bahwa Tuhan sudah
merancang hidup panggilan saya sedemikian rupa untuk menunjukkan
sesuatu yang terbaik di balik semua peristiwa dan pengalaman yang
dialami.

Pada akhirnya, pengalaman tahbisan bukanlah akhir dari proses
menanggapi panggilan Tuhan ini. Rahmat Tahbisan ini justru menjadi
gerbang masuk bagi saya untuk menjalani proses formatio seumur hidup,
di mana Tuhan sebagai formator utama yang membentuk saya. Dengan
rahmat ini semoga saya semakin menyerupai Kristus dalam bertindak,
“Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani”. In Cruce
Salus.

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 85

86
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

AKU DIUTUS UNTUK
MELAYANI, BUKAN

DILAYANI:
SEBUAH REFLEKSI
KARENA DICINTAI

Hampir sepuluh tahun
lamanya saya menapaki hidup
panggilan sebagai biarawan

Ordo Salib Suci. Waktu yang tidak terasa cepat namun juga tak terasa
lambat, semuanya mengalir melewati masa pasang-surut, jatuh-bangun,
desolasi-konsolasi, bersemangat dan kadang mengendur. Pengalaman
itu datang silih berganti menjadi sepenggal perjalanan hidup yang tidak
dapat disangkal. Pengalaman hidup yang kurang baik yang semestinya
dihindari, saya ubah agar kembali menjadi baik dan yang sudah baik agar
semakin lebih baik. Pengalaman-pengalaman yang membentuk saya agar
semakin dewasa dan mantap bertekun untuk semakin memurnikan diri
dalam menjalani hidup panggilan ini.

Hidup panggilan saya tak lepas dari pengalaman dicintai Allah
melalui keluarga dan orang-orang di sekitar saya. Pengalaman yang
mengawali bertumbuhnya benih hidup panggilan untuk menjadi seorang
imam religius. Cinta adalah sebuah kata dan aksi nyata yang membuat
saya dapat menyadari bahwa apa yang sudah saya terima, hendaknya
saya berikan secara gratis pula. Pengalaman merasa dicintai ini terasa
sangat nyata ketika saya menyadari nafas kehidupan yang telah Allah
berikan lewat keluarga (baca: Gereja rumah tangga/ ecclesia domestica).
Pemeliharan Allah dalam diri keluarga kami inilah yang membuat saya
dapat berkembang dan bertekad hati untuk dapat membagikan berkat
cinta itu kepada yang lain. Motivasi awal itu yang mengarahkan saya
untuk tetap setia dan bertahan sampai saat ini hingga ajal tiba.

Saya merasakan bahwa semangat untuk dapat menjadi berkat

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 87

dengan penuh cinta semakin hari semakin berkembang. Pengalaman
merasa dicintai itu pulalah yang mendorong saya untuk dapat berani
mencintai orang-orang di sekitar saya, contohnya seperti pada saat
bersama anggota komunitas Krosier1 dan saat bersama umat yang saya
layani di manapun saya berada. Saya berusaha hadir dalam warna yang
bisa saya goreskan lewat apa yang saya lakukan secara sederhana namun
penuh makna.

Pada kenyataannya, saya menyadari bahwa cinta yang saya bagikan
lewat pelayanan pastoral atau kehadiran saya tidak selalu menyenangkan
atau membahagiakan bagi semua orang. Ada saja orang tertentu yang
tidak merasa puas, tidak merasa tersapa, tidak merasa diperhatikan dan
bahkan tidak merasa dianggap ada oleh saya. Padahal, besar kecilnya
pelayanan yang saya lakukan sesungguhnya saya upayakan dengan
sepenuh hati bagi siapapun juga tanpa pilih kasih dan pandang ’bulu’
bagi saya semua adalah sama, tiada yang berbeda dalam mendapatkan
berkat pelayanan saya.

Sebagai seorang Krosier kesaksian yang utama adalah
mewartakan cinta Kristus dalam hidup berkomunitas. Saya meyakini
bahwa usaha-usaha sebesar apapun yang saya lakukan jika tanpa
disertai dukungan, pertama-tama dari keluarga, pimpinan dan komunitas
tiada artinya. Kehidupan sebagai Krosier perlu saya perjuangkan guna
memelihara panggilan bukan sekedar siap memanggul salib sendiri tetapi
juga lebih mau menderita bersama Kristus melalui sikap peka merasakan
penderitaan sesama dan bersedia untuk membantunya.

Saya siap menjadi ‘penjaga fajar’ agar tetap memancarkan
kehangatan cinta Allah sebagai pribadi Krosier. Semangat in Cruce
salus (dalam Salib ada keselamatan) mendorong saya untuk semakin
berani menyebarkan pelayanan dan berkat kepada anggota komunitas
dan umat bukan sebatas suam-suam kuku tetapi pada totalitas yang
memerdekakan. Maksudnya bahwa hal-hal yang saya lakukan bukan

1 Krosier adalah sebutan untuk anggota Ordo Salib Suci (OSC).
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021
88

sebatas pada keinginan pribadi tetapi demi kepentingan bersama. Saya
berharap bahwa hal yang saya kerjakan itu dapat membawa pada kebaikan
bagi banyak orang karenanya saya berupaya bekerja secara total, utuh
dan menyeluruh. Dalam karya itu pulalah saya lakukan dengan sikap
merdeka; penuh kesadaran dan penuh sukacita.

Saya mengimani dan menghayati bahwa hidup liturgi (ekaristi,
ofisi, devosi, sakramentali-sakramentali lainnya) adalah bagian yang tak
terpisahkan dalam diri seorang religius Krosier. Kegiatan liturgi yang
dilaksanakan bukan semata-mata sebagai tindakan yang karena didasari
oleh keterpaksaan tetapi sungguh dilakukan secara aktif, sadar, dan
penuh penghayatan. Sebagaimana dalam ekaristi yang saya ikuti setiap
hari, bahwa saya semakin menemukan kehadiran Tuhan dalam seluruh
hidup saya lewat Sabda dan Sakramen Mahakudus. Ekaristi yang adalah
puncak perayaan menjadikan saya untuk bisa menjadi pribadi yang siap
diambil, diberkati, dipecah dan dibagi-bagi bagi Allah dan sesama.

Dalam tindakan spiritual, saya semakin ditantang untuk
menunjukan nilai-nilai hidup yang saya wartakan dalam kehidupan harian
saya. Saya sadar bahwa saya pernah alpa atau lalai dengan apa yang telah
saya sampaikan dalam mimbar sabda. Maka dalam permenungan, saya
menyadari akan cambuk yang saya ciptakan sendiri lewat sabda Allah
yang saya bacakan dan homili yang saya sampaikan; inilah ‘alarm’ atau
pengingat manakala saya terperosok pada ketidaksempurnaan itu juga
kesediaan menerima corectio fraterna dari sesama.

Sebagai seorang religius doa adalah karya yang terus menerus
digeluti dengan penuh kesetiaan. Saya menyadari bahwa dalam berdoa
saya harus konsisten dan konsekuen dalam pelaksanaannya. Hal ini
bukan karena saya kurang berdoa tetapi bagaimana saya perlu mengolah
pikiran dan badan agar terjadi kesinambungan sehingga saya tidak jatuh
pada keinginan daging seperti rasa kantuk, malas, lelah, dll. Di sisi lain
bahwa keahlian utama seorang religius adalah di bidang spiritual oleh
karenanya hal inilah yang terus menerus perlu diasah dan ditingkatkan,

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 89

sehingga dengan rendah hati dapat semakin bisa berbagi berkat cinta
Allah bagi sesama di manapun saya berada.

Sebagai Krosier, saya telah ditempa dalam rumah formasi. Pada
sarana belajar inilah saya berujuang untuk berani nyemplung pada
kegiatan pelayanan pastoral yang ditujukan agar saya semakin memahami
bahwa melayani Allah sesungguhnya juga melalui pelayanan terhadap
sesama. Pertanyaan sederhana namun cukup bermakna bagi saya, yaitu
“Bagaimana saya dapat melayani Allah Mahakuasa yang tak tampak
jika tidak dapat melayani sesama yang tampak di dunia ini?” Dengan
pelayaan kepada sesama inilah saya mengamini bahwa saya berupaya
melayani Allah yang hadir dalam diri mereka terutama bagi mereka
yang paling hina (lih. Mat. 25:40). Sebagaimana yang diteladankan oleh
Kristus sendiri, “Anak Manusia pun datang bukan untuk dilayani, tetapi
untuk melayani, dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan
bagi banyak orang.” (Mrk. 10:45).

Pada permenungan saya mengenai ambisi diri, tidak pernah
terbersit sedikit pun untuk melakukan pewartaan hanya demi
mementingkan ambisi pribadi sehingga mengabaikan misi yang lebih
penting, yaitu: misi Allah, misi Gereja dan misi Ordo. Sebab saya
menyadari bahwa adanya saya, pertama-tama bukan karena kuat dan
hebatnya saya melainkan karena kuasa Allah yang telah memanggil
untuk karya yang dipercayakan-Nya pada saya demi perkembangan dan
kebaikan bagi Gereja dan Ordo. Oleh karenanya, dengan bantuan rahmat
Allah, semoga saya semakin dimampukan untuk melepaskan diri dari
kelekatan yang fokus pada diri sendiri dalam melayani, dapat semakin
berkolaborasi sehati dan sejiwa dengan Allah, Gereja, dan komunitas
Krosier dimanapun berada sehingga kesadaran akan cinta yang saya
terima itu dapat terus saya bagikan kepada sesama.

 Akhirnya seperti dalam ungkapan berbahasa Sunda, leuleus
jeujeur liat tali landung kandungan laer aisan yang bermakna bahwa
hidup harus dijalani dengan bertekad kuat, dalam menghadapi tantangan

90
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

seberat apapun harus berjuang maka dalam menjalani hidup panggilan ini
saya akan senantiasa bersikap sabar dan menyandarkan diri sepenuhnya
kepada Allah terutama dalam menghadapi suatu masalah yang
memerlukan pertimbangan yang sangat bijak dalam memberikan suatu
keputusan. Oleh karenanya, hal itu sejalan dengan apa yang menjadi
harapan, niat dan cita-cita saya dengan bersandar pada kehendak Allah
dalam memutuskan dengan rendah hati bahwa saya siap menjadi gembala
yang mau melayani bukan untuk dilayani dan siap untuk menjadi berkat
(diambil, diberkati, dipecah dan dibagi-bagi) dalam Gereja-Nya yang
Kudus.***

“SemDogiaaTpuulhaalnahyyananggtealkaahnmmemenuyleami pkuarrnyaakbaaninkyian.i”,

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 91

92
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

Cukuplah Kasih
Karuniamu

Pada Mulanya

Ketika itu saya masih
duduk di bangku SMP. Suatu
malam saya datang kepada
ibu yang sedang duduk santai
di rumah. Saya berniat untuk

mengutarakan keinginan saya. “Bu, setelah saya pertimbangkan masak-
masak beberapa pilihan sekolah, akhirnya saya memutuskan untuk masuk
seminari saja.” Lantas ibu terdiam mendengar keputusan saya. Setelah
berpikir panjang beberapa hari kemudian ibu menjawab, “Ya sudah
jika itu keputusanmu jalanilah, yang penting kamu bisa bertanggung
jawab dan bahagia menjalaninya.” Mendengar restu ibu saya sungguh
lega meskipun waktu itu bapak belum ikhlas mendengar keputusan saya
karena status saya sebagai anak laki-laki pertama. Dalam perjalanan
waktu bapak mendukung penuh keputusan saya. Pada malam sebelum
berkaul kekal, pada saat ibadat malam bapak berkata dengan tenang, “Jika
Tuhan memanggilmu Bapak ikhlas. Ya sudah pasrahkan saja semuanya
pada Tuhan.” Mendengar perkataan itu hati saya sungguh lega. Tidak
ada beban lagi di hati saya karena orangtua mendukung penuh pilihan
hidup saya sebagai Biarawan Salib Suci. Doa, dukungan, dan kehadiran
orangtua sungguh menguatkan hati saya dalam menjalani panggilan.
Merekalah yang senantiasa mendoakan saya dari jauh sehingga saya bisa
terus berjuang menjalani hidup sebagai Krosier dengan bebas dan penuh
tanggung jawab. Perkataan ibu dan bapak menjadi sebuah doa sekaligus
berkat bagi anaknya. Itulah kenangan baik yang senantiasa saya ingat
dan menjadi penyemangat hidup.

Tiga tahun lamanya saya mencicipi kehidupan di Seminari
Menengah Cadas Hikmat, Bandung (2008-2011). Selama tinggal di

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 93

sana saya bersama teman-teman dibimbing oleh Pastor Th. Maman
Suharman, OSC dan para guru SMA Santa Maria 1. Setelah lulus SMA
dan Seminari pada bulan Juli 2011 saya mulai menjalani pembinaan di
Novisiat Ordo Salib Suci (OSC) didampingi oleh Pastor Agung, OSC,
Pastor Didi Tarmedi, OSC, dan Pastor Agus Seran, OSC. Itulah awal
mula hidup membiara saya. Tak terasa sudah sembilan tahun lamanya
mengalami jatuh bangun dalam hidup membiara. Sembilan tahun
bukan waktu yang singkat. Selama itu saya diajak untuk mengenal diri
-mengenal kelebihan dan kekurangan-, mengenal teman komunitas,
mendalami dan menghidupi spiritualitas ala Krosier, menjalani studi
formal filsafat dan teologi di universitas dan studi informal di lapangan,
mengenal dan mencicipi dunia pastoral yang luas di rumah retret Pratista
dan di tanah misi Asmat, mengalami dinamika hidup berkomunitas,
mengasah hidup rohani, dll. Itulah perjalanan panggilan yang saya
alami. Tanpa usaha, kerja keras, ketekunan, dan keseriusan mungkin
saya tidak akan pernah menjadi diri saya seperti sekarang ini. Semua
proses jatuh-bangun, sukacita dan dukacita, kesuksesan dan kegagalan
yang saya alami membentuk saya menjadi pribadi yang kuat dan pantang
menyerah. Saya sungguh berterima kasih kepada Ordo atas segala proses
yang telah diusahakan untuk mengembangkan diri saya menjadi pribadi
yang matang dalam berpikir, berkata, dan bertindak. Bagai tumbuhan
yang senantiasa dirawat dan dijaga dengan baik setiap saat. Ia tumbuh
perlahan, menjadi semakin kuat, dan berbuah baik. Pertumbuhan dan
perkembangan hidup: itulah yang saya alami. Perlahan tapi pasti saya
masih terus membayangkan potensi yang mungkin untuk dikembangkan
dalam diri. Saya masih terus belajar dan senantiasa introspeksi diri demi
pertumbuhan lebih lanjut.

Baik Hidup atau Mati, Akulah Milik-Mu

Suatu hari Gibran berbicara kepada perempuan cantik yang sedang
mengandung,

94
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

“Hai perempuan, Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu.
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka terlahir melalui engkau, tetapi bukan darimu.
Meskipun mereka ada bersamamu, tetapi mereka bukan milikmu.

Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tetapi bukan pikiranmu,
karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri.
Engkau bisa merumahkan tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka,
karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok,
yang tidak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi.

Engkau bisa menjadi seperti mereka,
tetapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu,
karena hidup tidak berjalan mundur
dan tidak pula berada di masa lalu. …..”

Sajak di atas mengingatkan kembali peristiwa masa lalu. Bapak
ingin saya masuk sekolah teknik perkayuan dan juga meneruskan
keluarga. Ibu sudah menyiapkan sekolah teknik yang bagus berkat relasi
dengan temannya. Tetapi toh keinginan mereka bukanlah keinginan
saya. Cita-cita mereka bukanlah cita-cita saya. Mereka tidak dapat
memaksakan pikiran dan keinginan mereka. Pada akhirnya sayalah yang
mengambil keputusan untuk menjalani hidup sesuai pilihan saya sendiri.
Saya memilih untuk menjawab panggilan Tuhan dan hidup sebagai
Krosier. Dalam perjalanan waktu kadang muncul ketakutan dan keraguan.
Tetapi berkat dukungan orangtua, para sahabat, dan teman-teman saya
senantiasa diteguhkan. Tuhan selalu hadir dalam diri mereka orang-orang
baik yang mendoakan dan mendukung perjalanan hidup saya.

Ketika membaca Kitab Suci entah kenapa saya selalu tertarik
dengan kisah hidup dan tulisan-tulisan Paulus. Kata-kata Paulus tampak

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 95

jujur, apa adanya, dan tak mengada-ngada. Apakah mungkin juga karena
nama penguatan saya adalah Paulus. Entahlah, tetapi saya mengagumi
tulisannya yang begitu mendalam. Ia menulis berdasarkan pergumulan
hidupnya. Dalam suratnya kepada orang-orang di Roma ia menulis, “Jika
kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk
Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan” (Roma 14:8).
Setelah bertahun-tahun bergumul saya memutuskan dengan bebas dan
tanpa paksaan memilih hidup untuk Tuhan. Suatu keputusan yang berani
sekaligus berarti. Dalam permenungan, saya sadar bahwa hidup dan
mati berada di tangan Tuhan. Demikian juga baik hidup atau mati saya
tetaplah milik Tuhan. Pada saat momen-momen penting saya berdoa.
Di saat-saat sulit saya juga berdoa dan mohon kekuatan kepada-Nya.
Saya duduk dengan tenang memandang salib. Dalam sunyi saya coba
dengarkan suara-Nya. Dalam sunyi saya berdoa, “Baik hidup atau mati,
Tuhan, akulah milik-Mu. Tuhan kasihanilah kami orang yang berdosa
ini. Kedalam tangan-Mu kuserahkan hidupku.” Doa menjadi nafas hidup
rohani sekaligus energi bagi jiwa saya yang rapuh. Doa menyempurnakan
segala karya yang telah saya perjuangkan. Dalam doa dan karya yang
seimbang saya dapat merasakan kasih karunia dan kebaikan Allah.
Setelah melalui berbagai macam peristiwa dalam hidup: jatuh-bangun,
kesulitan dan kemudahan, dukacita dan sukacita pada akhirnya saya
katakan pada Tuhan, “Cukuplah kasih karunia-Mu Tuhan bagi hidupku.”
Hanya Kasih-Mu itu sudah cukup.

Didiklah Dirimu Dengan Seribu Satu Rahmat

Suatu ketika di sela-sela waktu kosong saya menemukan sebuah
buku Kilasan Kisah Soegijapranata (G. Budi Subanar, 2012). Saya ambil,
baca, dan renungkan. Soegijapranata seorang patriot yang tangguh, pro-
rakyat, diplomatis, dan bersahaja. Hidup dan pemikirannya sungguh
inspiratif. Suatu ketika beliau berbicara kepada orang-orang muda,

96
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021

“Didiklah dirimu dengan seribu satu rahmat … baik yang bersifat rohani … berupa
bakat-bakat, tabiat, perangai, dan keadaan sekitarmu… agar bertumbuh dan
berkembang sebagai pemuda dan pemudi yang sehat jiwanya, sehat badannya,
hening budinya, murni hatinya, halus dan tulus perasaannya, utuh, ulet dan kuat
tubuhnya. Belajarlah dengan rajin, dengan sabar hati dan berbudi sesuai dengan
kedudukanmu, supaya cukuplah kecerdasan, kepandaian, dan pengetahuan. Perihal
Tuhan dan wahyunya, perihal manusia, perihal semesta alam dengan isinya: perihal
hubungan Tuhan dengan manusia, manusia dengan manusia, manusia dengan alam
semesta, pun pula perihal Gereja dengan bentuk, tugas dan sejarahnya.”

Ucapannya sungguh bernas, terungkap dari jati diri seseorang yang
sudah matang hati dan budinya berkat pengolahan hidup terus-menerus.
Beliau yakin bahwa ada begitu banyak rahmat hadir dalam hidup
manusia. Rahmat itulah yang mendidik manusia menjadi pribadi yang
utuh. Ia berkata, “Didiklah dirimu dengan seribu satu rahmat!” Ketika
merenungkan kembali perjalanan panggilan sejak Seminari Menengah,
Novisiat, Seminari Tinggi, dan terjun kembali di masyarakat saya yakin
ini adalah buah dari rahmat Tuhan. Tanpa rahmat dan doa-doa mungkin
saya tidak akan bertahan ketika menghadapi tantangan dalam panggilan.
Rahmat itulah yang menumbuhkan saya menjadi pribadi yang luwes, mau
belajar, rendah hati, mau mendengarkan orang, dan tangguh di segala
medan. Saya bersyukur atas banyak peristiwa hidup yang membentuk
diri saya sampai saat ini. Tidak lupa juga pada mereka yang berperan
aktif dalam membentuk saya seperti; orangtua, saudara, para guru dan
dosen, formator, para pastor dan frater, teman, sahabat, masyarakat, dan
handai taulan. Kehadiran mereka pun rahmat Tuhan bagi saya. Mereka
turut menumbuhkembangkan hidup saya.

Ada salah satu pengalaman rahmat yang sungguh meneguhkan
saya. Beberapa bulan yang lalu sekitar pertengahan bulan Oktober sampai
November 2020 saya mengikuti retret agung selama 30 hari bersama
seorang Jesuit muda. Sebagai OSC yang mendalami dan menghidupi

Katedral St. Petrus Keuskupan Bandung 97

spiritualitas salib saya dihantar kembali mendalami perjalanan panggilan
melalui sudut pandang spiritualitas Ignasian. Perjalanan hidup Ignasius
sendiri merupakan menjadi perjalanan rahmat. Saya membaca buku-buku
rohani sekaligus perjalanan hidup Ignatius. Ketika membaca salah satu
buku saya menemukan kutipan surat Ignatius kepada Fransiskus Borgias
(1555) yang menyentuh. Ia menulis, “Kita melayani Tuhan tidak hanya
ketika berdoa. Jika memandang bahwa melayani Tuhan hanya ketika
berdoa, maka semua doa yang berlangsung kurang dari dua puluh empat
jam akan terlalu singkat, karena memang setiap orang mesti memberikan
dirinya sepenuh mungkin pada Tuhan.” Surat ini sungguh membakar
semangat saya untuk lebih radikal dalam mencintai dan memberi diri
sehabis-habisnya pada Tuhan. Saya dihantar untuk mengkontemplasikan
perjalanan hidup Tuhan dari sejak lahir sampai kenaikan-Nya ke surga.
Salah satu yang yang membekas waktu itu adalah ikut serta dalam
perjalanan ke Yerusalem bersama Yesus di dalam kontemplasi. Selama
tiga hari saya tidak makan agar ikut merasakan perjalanan salib. Dalam
kondisi panas saya mendayung perahu kole-kole di danau. Selama
tiga hari pula saya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Emosi pun turut
bergejolak. Saya yakin bahwa di dalam perjalanan-salib Tuhan juga hadir
dan memberi kekuatan. Setelah melewati perjalanan retret agung saya
sungguh diteguhkan untuk tetap mencintai Tuhan apa pun keadaannya.
Setelah berakhir saya diberitahu pembimbing bahwa hari terakhir retret
menjadi hari awal retret yang sesungguhnya di tengah-tengah dunia.
Setelah retret saya kembali diutus menjalani situasi konkret seperti
halnya dalam penutup Ekaristi imam berkata, “Pergilah Anda diutus!”.
Pengalaman retret tersebut menjadi salah satu pengalaman bagaimana
saya dididik oleh rahmat Tuhan.

Didiklah dirimu dengan seribu satu rahmat! Ujar Soegijapranata
dalam pidatonya. Dalam kaitan dengan perjalanan panggilan, ungkapan
ini saya renungkan untuk membuka diri terus di hadapan Tuhan sumber
segala rahmat yang berkelimpahan. Rahmat itu kadang hadir tak

98
Tahbisan Diakonat dan Presbiterat 26 Mei 2021


Click to View FlipBook Version