The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by soedito, 2018-09-11 16:36:23

006_PROSIDING SEMNAS PERSEPSI 2016_127

006_PROSIDING SEMNAS PERSEPSI 2016_127

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

merupakan pionir yang sudah dikenal diantaranya Usaha Rendang Yolanda, Usaha Rendang
Erika, dan Usaha Rendang Dapoer Riry Family. Masih banyak lagi usaha rendang lainnya yang
terdapat di kawasan Kampung Rendang Payakumbuh. Selain mempunyai outlet/gerai di
kampung rendang ketiga usaha rendang ini melakukan kerjasama dengan toko pusat oleh-oleh di
luar kota, yaitu di Kota Padang seperti Christine Hakim, Sherly, Mahkota, bahkan toko pusat
oleh-oleh di luar propinsi, seperti Jakarta, Bandung, Batam, Surabaya, dan lain-lain.

Namun persoalannya muncul karena beberapa toko pusat oleh-oleh mempunyai
persyaratan untuk memasarkan rendang tersebut harus dengan menggunakan merek dagang toko
pusat oleh-oleh tersebut, bukan menggunakan merek dagang usaha rendang yang memproduksi.
Hal ini merupakan salah satu kelemahan produsen rendang, karena tidak berupaya keras untuk
membangun merek. Selain itu, hal ini juga merugikan produsen rendang, karena akan sulit
mengidentifikasi produk mana yang lebih memiliki kualitas rasa yang enak, sehingga bisa
membangun merek. Kelemahan lainnya yaitu, jika ada salah satu produk yang mendapatkan
testimoni tidak bagus dari konsumen maka akan merusak citra makanan khas Payakumbuh
secara keseluruhan. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kualitas rendang sangat ditentukan
oleh waktu, jika terjadi perputaran penjualan yang lama, menyebabkan menurunnya kualitas
rasa.

Idealnya faktor utama/atribut yang biasanya dipertimbangkan konsumen untuk
memutuskan melakukan pembelian terhadap produk makanan adalah rasa. Apalagi produk
rendang merupakan makanan khas yang kaya bumbu dan teknis pembuatan yang sedikit rumit,
sehingga sangat menentukan dan mempengaruhi rasa. Takaran bumbu yang kurang tepat ataupun
teknis memasak yang berbeda akan mempengaruhi rasa dan tampilan rendang yang diproduksi.
Termasuk dalam hal baru diproduksi dan sudah lama diproduksi, karena kualitas rasa yang sudah
lama jeda waktu produksi dengan waktu konsumsi akan sangat terasa, dan otomatis akan
menurunkan minat konsumen untuk melakukan pembelian ulang. Rasa juga terkait dengan ada
tidaknya zat yang berbahaya bagi tubuh misalnya terlalu terasa penyedap makanan dan lain-lain.
Apalagi rendang paru, paru memiliki tekstur yang lembek sehingga sulit membuat rendang paru
yang renyah. Dan paru juga merupakan jenis makanan yang tidak familiar direndang dan belum
tentu disukai banyak orang. Akan tetapi teknis memasak yang tepat dengan takaran bumbu yang
akan menghasilkan citarasa yang enak.

Oleh karena itu strategi pemasaran yang paling tepat untuk langkah awal bagi produk
makanan adalah dengan mempertahankan kualitas produk, karena produk makanan terkait
dengan citarasa konsumen. Hal ini sangat diperlukan oleh produsen untuk melakukan evaluasi
terhadap produk yang diproduksi sehingga bisa lebih meningkatkan kualitas dan memenangkan
pasar. Menurut Peter & Olson (1999), Engel, et.all,.(1994), Schiffman & Kanuk (1994), sikap
diartikan evaluasi dari seseorang, menunjukkan penilaian langsung dan umum terhadap suatu
produk. Riset pasar atau riset konsumen merupakan salah satu kegiatan penting untuk
mengetahui sikap konsumen terhadap suatu produk.

MATERI DAN METODE

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 44

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

Penelitian ini menggunakan desain survai dengan jumlah seluruh responden adalah 60
orang. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara tertulis disertai penjelasan sebelum
responden mengisi kuisioner dan mengisi kuisioner sebelum dan sesudah melakukan uji
organoleptik untuk beberapa atribut produk yang dievaluasi.

Peubah penelitian adalah atribut produk yang paling menonjol yang biasa dijadikan
penilaian bagi konsumen dalam keputusan pembelian, yaitu terdiri dari dua kelompok variabel.
Yang pertama variabel ei adalah variabel kepentingan terhadap enam atribut produk yaitu :
(Variabel ei)
(a) Tekstur renyah, empuk
(b) Rasa sesuai selera, enak, gurih
(c) Tidak ada zat berbahaya (misal terlalu terasa penyedap)
(d) Warna/bentuk menarik
(e) Kandungan gizi/parunya masih terasa
(f) Kemasan menarik
Setiap responden diminta untuk menyatakan sikapnya dalam 5 angka skala :

Sangat penting +2 +1 0 -1 -2 Sangat tidak penting
Variabel kelompok kedua, variabel bi yaitu variabel evaluasi tingkat kepercayaan, bahwa
rendang telur dari tiga merek tersebut memiliki ke enam atribut pada variabel kepentingan
(variabel ei) sebelumnya. Setiap responden diminta untuk menyatakan sikapnya terhadap
pernyataan apakah semua jenis rendang dari 3 merek tersebut memiliki atribut di atas dalam 5
angka skala :
Sangat baik +2 +1 0 -1 -2 Sangat buruk
Skor rata-rata setiap variabel digunakan untuk menghitung skor Model Sikap Multiatribut
Fishbein. Untuk setiap merek perlu menilai kepercayaan konsumen untuk masing-masing atribut
(Eugene dan Israel, 1984).
Model Sikap Fishbein yang digunakan pada penelitian ini adalah menghitung Ao
(Attitude toward the object), yaitu sikap seseorang terhadap sebuah objek, yang dikenali lewat
atribut-atribut yang melekat pada obyek tersebut. (Engel, et.al, 1994). Pengukuran sikap
dilakukan dengan mengukur keseluruhan atribut (multiatribut), dengan rumus (Fishbein, 1963) :

Ao = Σ(bi x ei)
Dimana :
Ao = sikap terhadap produk rendang paru
bi = tingkat kepercayaan konsumen terhadap atribut i pada rendang paru
ei = tingkat kepentingan konsumen terhadap atribut i pada rendang paru
Σ = penjumlahan dari sejumlah atribut i

Penilaian dengan metode ini diambil dari perhitungan nilai rataan atribut seluruh
responden, lalu diformulasikan ke dalam Metode Analisis Fishbein. Hasil formulasi tersebut
berupa nilai dari varibel-variabel Fishbein yang ditampilkan dalam suatu tabel. Setelah itu semua
hasil analisis Fishbein untuk setiap rendang akan dilihat perbandingan perolehan nilai setiap

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 45

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

merek yaitu yang diproduksi oleh Usaha Rendang Dapoer Riry Family, Usaha Rendang Erika,
Usaha Rendang Yolanda.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis tingkat kepentingan dan tingkat kepercayaan responden terhadap rendang

paru dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1. Hasil analisis sikap multiatribut Fishbein terhadap produk rendang telur untuk ketiga

merek (n=60)

Skor Tingkat Kepercayaan

Evaluasi Rendang Riry Rendang Rendang

Kepentingan Family Erika Yolanda

No. Atribut (ei) bi ei.bi bi ei.bi bi ei.bi

1 Tekstur 1,83 0,63 1,15 1,73 3,17 0,1 0,18

2 Rasa 1,85 0,65 1,20 1,2 2,22 -0,23 -0,43

3 Aman 1,6 0,78 1,25 0,95 1,52 0,48 0,77

4 Tampilan 1,48 0,92 1,36 1,32 1,95 0,12 0,18

5 Gizi 1,6 1,28 2,05 1,28 2,05 0,8 1,28

6 Kemasan 1,18 1,1 1,30 1,1 1,30 0,85 1,00

ei.bi 8,31 12,21 2,99

Dari hasil evaluasi tingkat kepentingan, responden berpendapat bahwa atribut yang

paling penting adalah rasa, karena terlihat dari perolehan skor tertinggi adalah rasa yaitu 1,85.

Sedangkan yang terendah adalah kemasan rendang. Ini artinya konsumen akan

mempertimbangkan atribut rasa sebagai atribut terpenting dalam memilih produk rendang telur.

Sumarwan (2000), dalam penelitiannya menyatakan bahwa dalam memilih produk makanan

konsumen akan lebih mementingkan atribut internal dibandingkan dengan atribut eksternal

(kemasan). Kemasan merupakan atribut eksternal yang dimiliki oleh semua produk makanan,

salah satu fungsi penting dari kemasan adalah untuk melindungi produk tetap aman dan higienis

untuk dikonsumsi. Namun dengan semakin tingginya tingkat persaingan setiap produsen

mencoba merancang kemasan semenarik mungkin agar menarik minat konsumen sehingga

berfungsi sebagai alat pemasaran yang efektif. Walaupun skor kepentingan kemasan adalah

paling rendah bukan berarti responden menganggap kemasan tidak penting, hanya saja tingkat

kepentingannya lebih kecil dibandingkan atribut lainnya. Puspita dan Nugrahani (2014), hasil

penelitiannya (produk obat) juga memperoleh skor tingkat kepentingan internal (kualitas khasiat)

lebih tinggi dibandingkan atribut eksternal (layanan).

KESIMPULAN

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa konsumen memiliki sikap positif terhadap
produk rendang paru, ini terlihat dari perolehan total skor positif untuk semua merek. Ini artinya
konsumen memiliki preferensi yang positif terhadap produk rendang paru yang diproduksi di
Kampung Rendang Kota Payakumbuh.

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 46

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih kepada banyak pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian.
Terimakasih juga kepada LPPM Unand yang telah mendanai pelaksanaan penelitian ini, artikel
ini merupakan bagian dari penelitian skim Dosen Muda Tahun 2015.

DAFTAR PUSTAKA

Engel, J.F., Roger D.B., Paul W.N. 1994. Perilaku Konsumen Edisi Keenam Jilid 1. Binarupa
Aksara. Jakarta

Eugene, D.J., Israel, D.N. 1984. Alternative Questionnare Formats for Country Images Study.
Journal of Marketing Reseacrh 21, November : 463-471.

Fishbein, M. 1963. An Investigation of the relationship between beliefs about an object and the
attitude toward that object. Human Relations 16, Agustus : 233-240.

Peter & Olson. 1999. Consumer Behaviour and Marketing Strategy. 5th Edition. Boston, MA :
Irwin

Puspita dan Nugrahani. 2014. Analisis Sikap Multiatribut Fishbein Mengenai Atribut Obat
Herbal Merek Tolak Angin Sido Muncul di Kota Bandung. Jurnal Sosioteknologi
Volume 13, Nomor 1, April 2014

Schiffman, L & Kanuk, L.L. 2008. Consumer Behaviour 7th Edition
Sumarwan, U. Analisis Sikap Multiatribut Fishbein Terhadap Produk Biskui Sandwich Coklat.

Media Gizi dan Keluarga, Desember 2000, XXIV (2) : 79-85.

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 47

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

TINGKAT DAYA SAING USAHA PETERNAKAN AYAM PETELUR DI
KABUPATEN MAROS, PROPINSI SULAWESI SELATAN

Sitti Nurani Sirajuddin1, Ilham Rasyid1, dan Nurul Ilmi Harun2

1Departemen Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin
Jl.Perintis Kemerdekaan Km.10 Tamalanrea,Makassar 90245, 2Mahasiswa PascaSarjana Ilmu
dan Teknologi Peternakan, Fakultas peternakan,Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerkaan

Km 10 Tamalnrea, Makassar 90245
Alamat korrespondensi: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat daya saing usaha ayam ras petelur di
Kabupaten Maros,Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilakukan pada bulan September
hingga bulan November di Kecamatan Bantimurung,Kabupaten Maros dengan menggunakan
sumber data primer dan data sekunder.Analisis data yang digunakan yaitu metode pAM (Policy
Analysis Matrix). Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha ayam ras petelur di Kabupaten
Maros mempunyai tngkat daya saing akan tetapi kebijakan pemerintah daerah masih perlu
dilakukan agar pendapatan peternak ayam ras petelur dapat meningkat.
Kata kunci : daya saing, usaha ayam ras petelur, peternak, kebijakan

ABSTRACT

This study aimed to determine the level of business competitiveness laying chicken in Maros,
South Sulawesi Province. This research was conducted in September to November in
Bantimurung , Maros Regency using primary data sources and secondary data. The analysis
used the method of PAM (Policy Analysis Matrix). The results showed that businesses laying
chicken in Maros regency has competitiveness but government policy still needs to be done so
that the laying chicken farmer incomes can be increased.
Keywords: competitiveness, businesses laying chicken, farmers, policy

PENDAHULUAN

Prospek usaha peternakan ayam ras petelur di Indonesia dinilai sangat baik dilihat dari
pasar dalam negeri maupun luar negeri, jika ditinjau dari sisi penawaran dan permintaan. Di sisi
penawaran, kapasitas produksi peternakan ayam ras petelur di Indonesia masih belum mencapai
kapasitas produksi yang sesungguhnya (Abidin, 2003). Hal ini terlihat dari masih banyaknya
perusahaan pembibitan, pakan ternak, dan obat-obatan yang masih berproduksi di bawah
kapasitas terpasang. Artinya, prospek pengembangannya masih terbuka. Di sisi permintaan, saat
ini produksi telur ayam ras baru mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri sebesar 65%. Sisanya
dipenuhi dari telur ayam kampung, itik, dan puyuh. Iklim perdagangan global yang sudah mulai
terasa saat ini, semakin memungkinkan produk telur ayam ras dari Indonesia untuk ke pasar luar

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 48

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

negeri, mengingat produk ayam ras bersifat elastis terhadap perubahan pendapatan per kapita per
tahun dari suatu negara.

Meskipun potensi usaha budidaya ayam ras petelur sangatlah menarik, namun sejumlah
tantangan bisa menjadi penghambat usaha yang bisa mengubah potensi keuntungan menjadi
kerugian. Menurut Yupi (2011), tantangan dan hambatan dalam usaha peternakan ayam ras
petelur antara lain manajemen pemeliharaan yang lemah, fluktuasi harga produk, fluktuasi harga
sarana produksi, tidak ada kepastian waktu jual, marjin usaha rendah, serta sarana produksi yang
sangat tergantung pada impor dan persaingan global yang semakin ketat.

Kabupaten Maros sebagai salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan sangat berperan dalam
pengembangan usaha peternakan. Daerah ini merupakan daerah yang berbatasan dengan kota
metropolitan dimana banyak tenaga kerja yang datang di kota tersebut untuk mencari pekerjaan,
salah satunya adalah pekerjaan di bidang usaha peternakan ayam petelur. Sebagaimana diketahui
ayam merupakan ternak penghasil daging dan telur yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat.
Namun pihak pengusaha mempunyai kendala dalam pengembangan usahanya yaitu masalah
modal. Selain faktor modal yang sangat perpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja pada
usaha peternakanayam pedaging dan petelur yaitu tingkat upah dan skill juga sangat berpengaruh
terhadap penyerapan kerja. Oleh karena itu perlu mengetahui tingkat daya saing usaha ayam ras
petelur di kabupaten Maros.

METODE ANALISA DATA

Penelitian ini dilakukan pada ulan September hingga bulan November 2016 di Kabupaten
Maros. Pengumpulan data mencakup data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari
responden sebanyak 3 orang peternak ayam petelur di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi
Selatan dengan wawancara langsung dan indepth interview dan menggunakan kuisioner yang
berisikan karakteristik peternak, biaya produksi mencakup biaya tetap, biaya variable, dan
pendapatan. Data sekunder diperoleh dari jurnal hasil penelitian di Kecamatan Kedungpring
Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur.Analisis data yang digunakan yaitu Policy Analysis
Matrix (PAM) (Pearson, Gotsch and Bahri, 2005).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada pembahasan kali ini, peternakan ayam petelur di Kabupaten Maros dianggap sebagai
data aktual/privat dan data dari Kabupaten Lamongan dianggap sebagai data social. Berdasarkan
asumsi tersebut, maka diperoleh sebuah data perbandingan dalam bentuk Matrix pada Tabel 1.

Tabel 1. Policy Analysis Matrix (PAM) usaha peternakan ayam petelur di Kabupaten

Maros

Pendapatan Input Tradable Biaya Keuntungan
Domestik

Privat Rp 35.112.000 Rp 21.050.000 Rp 2.950.000 Rp 11.112.000

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 49

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

Social Rp 38.821.128 Rp 19.008.631 Rp 2.965.037 Rp 16.847.460

Divergency Rp (3.709.128) Rp 2.041.369 Rp (15.037) Rp (5.735.460)

Sumber: Data Primer (2015).

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan pendapatan memberikan divergensi negatif pada

usaha ayam petelur di Kabupaten Maros. Total pendapatan diperoleh dari hasil penjualan telur.

Pendapatan peternak dapat berubah berdasarkan harga jual telur. Besarnya pendapatan

dipengaruhi oleh jumlah produksi telur. Penerimaan usaha peternakan ayam petelur sangat

fluktuatif disebabkan oleh harga DOC dan harga jual telur yang bersifat fluktuatif akan

tetapi tingkat keuntungan usaha ayam ras petelur di Kabupaten Maros rendah disebabkan harg

pakan dan DOC rendah sementara harga jual telur tetap,hal tersebut diatas sejalan dengan

pendapat Rasyaf (2005) bahwa salah satu kegagalan yang gampang terjadi dalam usaha

peternakan ayam petelur adalah manajemen pemeliharaan yang mengakibatkan input produksi

sangat meningkat akibat dari kekurang telitian peternak. Menurut Mila (2011), karena harga

bahan baku pakan yang tinggi sangat mempengaruhi biaya yang dikeluarkan peternak dimana

biaya pakan 60-70% dari biaya keseluruhan produksi peternakan.

Pada faktor domestik terjadi divergensi negatif, hal ini menunjukkan bahwa manajemen

kurang efesien dalam penggunaan tenaga kerja padahal upah tenaga kerja factual lebih mahal

dibandingkan upah kerja sosial. Pada usaha privat, tenaga kerja dengan populasi ayam petelur

diberikan gaji Rp.200.000/bulan sedangkan pada usaha sosial diberikan gaji sekitar

Rp.192.000/bulan. Peningkatan gaji tenaga kerja disesuaikan dengan jumlah populasi ayam

petelur yang dipelihara.

Kegagalan dalam manajemen sumberdaya ditingkat privat berimbas pada kurangnya

keuntungan yang diperoleh. Divergensi keuntungan yang negatif adalah merupakan bukti hal

tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Pearson (2005) bahwa penawaran, produksi nasional

dibatasi oleh keterbatasan sumber daya (lahan, tanaga kerja, dan modal), harga input dan

kemampuan manajemen. Parameter-parameter ini merupakan komponen dari fungsi produksi

sehingga membatasi kemampuan perekonomian dalam menghasilkan komoditas peternakan.

Tingkat Daya Saing Usaha Ayam Ras Petelur

Untuk mengetahui tingkat daya saing usaha ayam ras petelur di Kabuaten Maros dapat

dilihat pada Tabel 2

Tabel 2. Ratio analisis model PAM usaha ayam petelur Kabupaten Maros, Sulawesi

Selatan

Indikator Analisis Model PAM Nilai

Koefisien Proteksi Output (NPCO) 0,9

Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 1,11

Rasio Nilai Privat (PCR) 0,21

Rasio Nilai Sumber Domestic (DRC) 0,15

Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 0,71

Koefisien Keuntungan (PC) 0,66

Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) -0,15

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 50

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

Sumber : Data Primer (2015).
Tabel 2 menunjukkan bahwa usaha ayam rs petelur mempunyai daya saing yang

cukup,hal ini dapat dilihat Nilai keunggulan komparatif atau efisiensi ekonomi dapat diukur
menggunakan Rasio Nilai Privat (PCR) dan Rasio Nilai Sumber Domestik (DRC). Nilai PCR
yang diperoleh adalah 0,21%. Hal ini menunjukkan bahwa usaha petenakan ayam petelur di
Kabupaten Maros memiliki nilai kompetitif yang baik, karena PCR < 1, dengan nilai yang kecil,
maka daya kompetitif usaha peternakan ayam petelur di Kabupaten Maros cukup besar.

Nilai DRC usaha peternakan ayam petelur di Kabupaten Maros adalah 0,15%, yang
berarti nilai DRC < 1. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha tersebut efisien dalam
menggunakan sumber daya domestik artinya memiliki daya saing sehingga mampu berproduksi
sendiri.sementara kebijakan pemerintah masih diperlukan,hal ini dapat dilihat pada, koefisien
proteksi output nominal (NPCO) menunjukkan nilai 0,9%. Apabila nilai NPCO lebih kecil dari
satu (NPCO<1), maka yang terjadi adalah produsen tidak menerima subsidi atas output dari
pemerintah

Nominal Protektion Coefisien on Inputs (NPCI) yaitu 1,11% nilai rasio ini tinggi yang
dipengaruhi oleh harga DOC dan pakan yang digunakan pada peternakan ayam petelur
Kabupaten Maros lebih tinggi dibandingkan dengan harga DOC dan pakan yang digunakan
pembanding sosial. Nilai Koefisien proteksi input nominal yang lebih besar dari satu (NPCI > 1)
berarti pemerintah tidak menurunkan harga input asing tradable dipasar domestik dibawah harga
dunia sehingga biaya produksi tinggi dan menghasilkan keuntungan yang lebih kecil.

Pengaruh kebijakan input-output dapat dijelaskan melalui analisis Koefisien Proteksi
Efektif (Effective Protection Coefficient atau EPC), Koefisien Keuntungan (PC) dan Rasio
Subsidi bagi Produsen (SRP). Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah
bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik (Hidayat, 2009).

Nilai EPC usaha peternakan ayam petelur di Kabupaten Maros adalah 0,71%, yang
berarti nilai koefisien proteksi efektif yang lebih kecil dari satu (EPC<1) menunjukan bahwa
dampak kebijakan pemerintah tidak memberikan dukungan terhadap aktivitas produksi dalam
negeri. Nilai koefisen keuntungan (PC) merupakan indikator yang menunjukan dampak insentif
dari semua kebijakan output, kebijakan input asing (tradeable) dan input domestik. Nilai yang
diperoleh adalah 0,66%, dimana PC < 1. Nilai tersebut mencerminkan bahwa keuntungan yang
diterima produsen lebih kecil.Nilai SRP yang membuat perbandingan tentang besarnya subsidi
perekonomian bagi suatu sistem komoditas. Nilai SRP yang diperoleh adalah -0,15 yang berarti
lebih kecil dari 0 yang berarti Nilai SRP negatif (SRP < 0) bahwa kebijakan pemerintah yang
berlaku selama ini menyebabkan pelaku usaha peternakan ayam petelur di Kabupaten Maros
mengeluarkan biaya lebih tinggi dari biaya sosialnya.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan Policy Analysis Matrix (PAM) maka tingkat daya saing usaha
ayam ras petelur cukup tinggi akan tetapi kebijakan pemerintah belum mendukung dalam

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 51

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

penentuan harga telur dan harga pkan yang perlu disubsidi agar keuntungan peternak ayam ras
petelur dapat meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2003. Meningkatkan Produktivitas Ayam dan Itik Ras Petelur. PT Agromedia
Pustaka. Jakarta.

Asnawi, A. 2009. Perbedaan Tingkat Keuntungan Usaha Peternakan Ayam Ras Petelur antara
Sebelum dan Sesudah Memperoleh Kredit PT. BRI di Kabupaten Pinrang. Buletin Ilmu
Peternakan dan Perikanan, Vol. XIII(1), Januari 2009.

Eviana, B., Hartono, B., dan Fanani, Z. 2014. Analisis Finansial Usaha Peternakan Ayam Petelur
di Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan. Universitas Brawijaya. Malang.

Mila, F. 2011. Analisis Ekonomi Perusahaan Peternakan Ayam Petelur UD. Jaya di Desa
Bululawang Kecamatan Bululawang Kabupaten Malang. Universitas Brawijaya. Malang .

Pearson, R. Scott., Gotsch, Carl dan Bahri, Sjaiful. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada
Pertanian Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Pemerintah Kabupaten Maros. 2010. Potensi Peternakan. http://maroskab.go.id. Diakses pada
tanggal 15 Oktober 2015.

Rasyaf, M. 2005. Berternak Ayam Petelur Cetakan ke-20. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.
Yupi. 2011. Analisis Usahatani Ayam Ras Petelur (Studi Kasus Peternakan Ayam Ras Petelur

Jaya Abadi Farm Desa Tegal Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor Jawa Barat). Fakultas
Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 52

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

MODEL ALTERNATIF UNTUK PENGEMBANGAN EKONOMI
PRODUKTIF BAGI PETERNAK KAMBING DI KABUPATEN MAJENE,

SULAWESI BARAT

Tanri Giling Rasyid, Sitti Nurani Sirajuddin, dan Sofyan Nurdin Kasim

Departemen Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin
Jl.Perintis Kemerdekaan Km.10 Tamalanrea,Makassar 90245

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model alternatif untukpengembangan ekonomi
produktif untuk peternak kambing di kabupaten Majene,propinsi Sulawesi Barat. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan September 2015 hingga Oktober 2015, dan tempat penelitian adalah di
Desa Bababulo, kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene Sulawesi Barat.Sedangkan penentuan
sampel dilakukan secara purposive sampling dan analisis data yang digunakan yaitu statistik
deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan model intervensi pelatihan partisipatif dengan pola
learning by doing perlu dilakukan bagi peternak kambing dan kelompok eksperiment sangat
puas dengan pengetahuan yang diperolehnya melalui model intervensi pelatihan partisipatif
dengan pola learning by doing, jika dibandingkan dengan kelompok control
Kata kunci; model intervensi,ekonomi produktif, peternak kambing.

ABSTRACT

This study aimed to find out an alternative model of economic for development of productive
goat breeders in Majene regency, West Sulawesi province. This research was conducted in
September 2015 until October 2015, and the research is in the village of Bababulo, sub
Pamboang, Majene Sulawesi Barat.Sampling was done by purposive sampling and data analysis
used is descriptive statistics. Results showed participatory training intervention models with
patterns of learning by doing, and experiment group was very dissatisfied and knowledge not
improve with model or pattern of participatory training intervention approaches when
implemented
Keywords: intervension model,economic produktif,goat farmers

PENDAHULUAN

Kabupaten Polman, ppropinsi Sulawesi barat merupakan salah satu daerah yang
mengembangkan komoditas unggulan yaitu ternak kambing akan tetapi dalam pengembangan
usaha tersebut menghadap beberapa permasalahan yaitu pakan bagi ternak kambing pada waktu
tertentu berlimpah akan tetapi lain waktu mengalami kekeringan(Tanrigiling et al,2015) sehingga
perlu pengolahan pakan pada saat berlimpah misalnya pembuatan silase, hal ini senada dengan
pendapat Okine, dkk., bahwa (produk silase dapat dihasilkan dengan baik dengan menggunakan

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 53

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

beberapa bahan sebagai penyerap air (absorbant) seperti dedak dan kulit kacang kedele untuk
menurunkan kadar air. Produk silase yang dihasilkan dapat digunakan selama empat hari setelah
silo dibuka, dan silase mulai mengalami pelapukan setelah hari ke lima. Dengan demikian,
teknologi silase ini dapat digunakan sebagai cara preservasi terutama untuk melakukan
penyimpanan pakan dalam jumlah besar.Kemudian Wahyono.(2015), menyatakan bahwa banyak
calon peternak ataupun investor peternakan kambing mengurungkan niatnya ketika harus
berhitung dengan permasalahan hijauan pakan ternak, karena mereka menjadi ragu ketika harus
menyediakan luasan lahan tertentu untuk menanam hijauan pakan ternak dengan segala
permasalahan tata laksana pemeliharaan. Bahkan di tingkat peternak kecilpun tidak jarang ketika
musim kemarau tiba terpaksa harus menjual sebagian ternaknya untuk mengatasi terbatasnya
hijauan yang tersedia. Apakah hal seperti ini harus terjadi selamanya maka jawabannya disinilah
diperlukan teknologi pakan fermentasi, pakan komplit atau lengkap (complete feed) maka ternak
tidak perlu lagi diberikan hijauan makanan ternak.

Ditambahkan Wahyono (2015), bahwa keunggulan complete feed adalah mengandung
nutrisi yang seimbang juga bahan pakan compleet feed murah harganya. Hal ini dimungkinkan
karena bahan bakunya berasal dari limbah pertanian dan agroindustri ditambah perlakuan
suplementasi bahan bahan bernilai nutrisi tinggi. Keunggulan lainnya seperti hemat dalam
penggunaan tenaga kerja (1 orang tenaga kerja untuk 100 ekor – 150 ekor), mudah diaplikasikan,
waktu penggemukan relatif pendek (3 bulan – 4 bulan) pertumbuhan bobot badan cukup tinggi
100 gram – 150 gram/ekor/hari, praktis dan ekonomis (1 ekor kambing membutuhkan 1 kg/hari)
dan harga relatif lebih murah Rp.1100,00/kg. Juga dijelaskan agar ternak dapat beradaptasi dapat
diberi jamu yang dibuat dari bahan ekstrak bahan organik yang dilanjutkan dengan proses
fermentasi yang ditambahkan mikroorganisme efektif. Manfaat dari jamu ternak tersebut yaitu
mempercepat adaptasi ternak menggunakan pakan kering, merangsang nafsu makan ternak dan
meningkatkan efisiensi pencernaan, meningkatkan kesehatan ternak dan mengurangi bau kotoran
ternak. World Bank, (2003), menyatakan bahwa guna kelanjutan usaha masyarakat miskin
sebaiknya mereka dibentuk dalam kelompok serta diberdayakan. Waseko Tirta Consultant dan
Disiplan Consultant (2003), menyatakan bahwa perlunya masyarakat perdesaan dan perkotaan
diberdayakan ,utamanya yang tergolong miskin melalui pendeteksian kemiskinan dan sebaiknya
mereka dibina dalam satuan kelompok.Nuch (2001), menyatakan demi keberhasilan anggota
masyarakat terjaring dalam kelompok maka aspek yang sangat penting diperhatikan sebelum
pembekalan pembinaan aspek bina social,bina ekonomi,fisik dan lingkungan maka perlu
dilakukan pengamatan awal dari aspek social ekonomi yang merupakan masalah bagi mereka,
dan akan terjawab melalui pembinaan masyarakat akan aktif berpartisipasi karena materi yang
diberikan adalah sesuai dengan kebutuhan sasaran.Sehingga Koesnadi (2000), menyatakan
bahwa sasaran akan mudah menerima suatu hal yang baru (inovasi) jika materi yang diberikan
adalah sesuai kebutuhannya dan dapat diaplikasikan.
Materi dan Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2015 hingga Oktober 2015, dan tempat
penelitian adalah di Desa Bababulo, kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene Sulawesi

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 54

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

Barat.Sedangkan penentuan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan alasan bahwa
sampel yang terpilih adalah merupakan sampel yang berasal dari masyarakat perdesaan yang
berada di Desa Palipi , kecamatan Banggae sebanyak 15 orang, dan juga sebanyak 15 orang
yang berasal dari Desa bababulo, Kecamatan Pamboang Kabupaten majene Sulawesi Barat,
sehingga total responden adalah 30 orang. Sumber data yang digunakan pada penelitian ini
adalah data primer sedangkan data sekunder yang digunakan pada penelitian ini adalah bersasal
dari Dinas pertanian dan peternakan Kabupaten majene, data dari Kantor kelurahan/desa,
BP3K,Bappeda, data kelompok tani dan data yang bersumber pada Biro Pusat Statistik.Metode
analysis yang digunakan adalah analysis kontribusi (persentase) atau analysis statistic deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian terhadap kelompok control dan kelompok eksperiment yaitu terdiri dari 15

orang kelompok control dan 15 orang responden kelompok eksperiment yang berasal dari

kelompok peternak kambing desa palipi,kecamatan Banggae, Kabupaten Majene, dan kelompok

peternak kambing yang berasal dari peternak kambing desa bababulo,kecamatan Pamboang,

Kebupaten Majene melalui pre-test dan post-test sebagai dasar yang diharapkan dalam

pembentukan model alternative pengembangan usaha ternak kambing yang dapat dijadikan

acuan bagi pihak peternak dan pemerintah setempat untuk perbaikan usaha masyarakat di tingkat

perdesaan. Pre-test dan Post-test pada responden yang diteliti pada penelitian tersebut

menunjukkan terjadi perbedaan yang nyata antara kelompok control (tanpa intervensi pelatihan

partisipatif) dengan kelompok eksperiment (intervensi pelatihan partisipatif), dan untuk lebih

jelasnya tampak pada Tabel.1

Tabel.1. Perbandingan Hasil Pre Test dan Post Test pada Responden kelompok control dan

Kelompok Eksperiment

No Materi Kelompok Kelompok Hasil capaian Hasil Capaian

kontrol Eksperiment kelompk control kelompok

(%) Eksperiment (%)

1. Pre Test 15 15 0,00 0,00

a. Bina Pakan - - 0,00 0,00

(konsentrat,fermentasi)

b. Bina Kesehatan - - 0,00 0,00

(vaksinasi)

2. Post Test 15 15 0,00 100,00

a. Bina Pakan - - 0,00 100,00

(konsentrat,fermentasi)

b. Bina Kesehatan - - 0,00 100,00

(vaksinasi)

Sumber : Data Primer yang diolah,2015

Tabel.1menunjukkan bahwa kelompok eksperimen dan kelompok control sebelum diberikan

intervensi pelatihan partisipatif ternyata pengetahuannya dalam hal pakan konsentrat dan

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 55

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

fermentasi dan vaksinasi ternak kambing adalah rendah, dan setelah dilakukan intervensi

pelatihan partisipatif pada kelompok eksperimen ternyata terjadi perubahan yang sangat

signifikan atau berbeda sangat nyata jika dibandingkan dengan kelompok control, hal ini

ditunjukkan oleh hasil post test yang menunjukkan kelompok control pengetahuan pre test dan

post test tidak terjadi perubahan nilai yaitu tetap nihil (0,00%), sedangkan kelompok eksperiment

progressnya yaitu pre test adalah 0,00%, dan setelah dilakukan intervensi pelatihan partisipatif

dan dilakukan post test hasilnya adalah mengerti apa yang diberikan atau dapat dinyatakan

100,00% terjadi penambahan Pengetahuan bina pakan, dan bina kesehatan.Ini berarti bahwa

sentuhan intervensi pelatihan partisipatif dengan metoda learning by doing dapat merubah

pengetahuan peternak kambing dari belum tahu menjadi sangat tahu atau dari pengetahuan

0,00% menjadi 100,00%.

Jika ditinjau dari aspek tingkat kepuasan responden yang mendapatkan intervensi pelatihan

partisipatif atau kelompok eksperiment dan yang tidak mendapatkan pelatihan intervensi

pelatihan atau kelompok control yang diperoleh pada penelitian ini,dapat dilihat pada Tabel 2

Tabel.2. Tingkat Kepuasan Responden Kelompok Eksperiment dan Kelompok Kontrol dengan

Adanya Intervensi Pelatihan Partisipatif

No Materi Responden Kepuasan Kelompok Kepuasan Kelompok

Eksperimen (%) Kontrol (%)

1. Bina Pakan 30 15 (100,00) 15 (0,00)

(konsentrat,fermentasi)

2. Bina Kesehatan 30 15 (100,00) 15 (0,00)

(Vaksinasi)

Sumber : Data Primer yang Diolah, 2015

Tabel 2. tampak bahwa secara rata rata responden yang mengikuti pelatihan intervensi

partisipatif bina pakan dan bina kesehatan atau kelompok eksperiment menyatakan sangat puas ,

sedangkan bagi responden yang tidak mengikuti intervensi pelatihan bina pakan dan bina

kesehatan atau kelompok control menyatakan belum puas karena perkembangan pengetahuan

responden tampa intervensi pelatihan tidak mengalami perubahan jika dibandingkan dengan

kelompok yang mengikuti intervensi pelatihan.

KESIMPULAN

Pendekatan pembinaan kelompok peternak kambing guna pengembagan usaha ternak kambing
untuk mencapai ekonomi produktif dapat dilakukan melalui intervensi pelatihan partisipatif
dengan pola learning by doing sementara tingkat Kepuasan yang dicapai oleh kelompok yang
mengalami intervensi pelatihan atau kelompok eksperimen secara rata rata merasakan sangat
puas dengan adanya pelatihan, sedangkan kelompok peternak kambing tanpa intervensi pelatihan
partisipatif atau kelompok control secara rata rata merasakan tidak puas dengan tidak adanya
pengetahuan yang diberikan kepadanya.

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 56

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Bulu G.Y, (2014). Pengembangan ternak Kambing pada Lahan Kering di Kabupaten Lombok
Timur,BPPT,Nusa Tenggara barat.
Disnak Kalsel,(2014).Membuat pakan Fermentasi ternak Kambing,Disnak Kalsel.
Nuch M, (2001). Konsep Dasar dan Perencanaan Program pemberdayaan masyarakat,RSI,World
Bank, Jakarta.
Koesnadi,(2000).Penyuluhan dan Aplikasinya, Brawijaya University, Malang Jawa Timur.
Tanri Giling Rasyid, Syamsuddin Hasan,Sjamsuddin Rasjid, Sitti Nurani Sirajuddin., (2015).
Accessibility Goat Livestoct Cooperation With The Government, Merchant Banking and
Collecting in Majene Regency, West Sulawesi Province, American-Eurasian Journal of
Sustainable Agriculture.Vol.(9); page 13-18.
Wahyono .E,(2015).Teknologi Pakan lengkap Solusi Bagi Permasalahan Pakan Ternak
kambing,UPTD,Jatinangor, Jawa Barat.
Waseko Tirta Consultant,(2003). Pemberdayaan Kemiskinan Perkotaan,PT Waseko Tirta
,Jakarta
World Bank, (2001). Business Development in Distrct South Sulawesi,PCO, Jakarta.

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 57

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

TANGGAPAN PETERNAK SAPI POTONG TERHADAP LEMBAGA
PEMBIAYAAN FORMAL DAN INFORMAL DI PEDESAAN

Aslina Asnawi, A. Amidah Amrawaty, Hastang, dan Ikrar Mohammad Saleh

Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar
Email: [email protected]

INTISARI

Salah satu hal yang menghambat perkembangan usaha peternakan khususnya sapi potong adalah
rendahnya kepemilikan modal. Oleh karena itu peternak memilih pembiayaan yang berasal dari
pembiayaan eksternal yaitu lembaga informal maupun formal. Diantara kedua lembaga tersebut
masing-masing memiliki karakteristik atau perbedaan. Studi ini mengidentifikasi tanggapan
peternak terhadap kedua lembaga tersebut. Dengan perbedaan tersebut memungkinkan peternak
untuk memilih salah satu sumber pembiayaannya apakah dari lembaga formal maupun informal.
Data dikumpulkan melalui instrumen kuesioner dalam pendekatan survei. Analisis statisitik
yang meliputi statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga informal lebih
fleksibel karena cukup hanya kepercayaan antara peternak dengan pemberi pinjaman,
prosedurnya lebih mudah dan sederhana, waktunya lebih cepat, jumlah dana yang diterima sama
dengan yang diinginkan, tingkat suku bunganya relatif lebih tinggi. Sedangkan pada lembaga
formal mensyaratkan collateral, prosedurnya rumit dan panjang, waktunya relatif lama, jumlah
dana yang diterima tidak sama dengan yang diusulkan dan tingkat suku bunga relatif lebih
rendah.

Kata Kunci: Lembaga Formal dan Informal, Peternak Sapi Potong

ABSTRACT

The low financial capacity to encourage beef cattle farmers seek external financing whether from
formal financing such as bank or government and informal financing. This study aims to
determine the response of beef cattle farmers to formal and informal institutions in rural areas .
Data were collected using a questionnaire and analyzed using descriptive statistics . The results
showed that the response of farmers tend to side with informal institutions than formal
institutions because there is no collateral requirement , the procedure is not long, fast realization
time, the amount of funds received is equal to that proposed and location of informal institutions
in the rural area.
Key Words: Beef Cattle Farmers, Formal and Informal Institutions

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 58

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

Peran lembaga pembiayaan dalam menyediakan kredit sangat membantu petani pada
umumnya terutama bagi peternak sapi potong. Rendahnya kepemilikan modal mengharuskan
peternak harus mencari alternatif pembiayaan selain pembiayaan yang bersumber dari kas
peternak. Hal ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dalam usaha peternakan sapi potong
yang dilakukan.

Pembiayaan eksternal menjadi alternatif pembiayaan bagi peternak karena terkendala
pada pembiayaan internal. Keterbatasan akses pendanaan eksternal pada peternak mandiri
merupakan salah satu implikasi dari pecking order theory (Myers, 1984). Pembiayaan eksternal
dapat berasal dari dua sumber yaitu: lembaga pembiayaan formal dan informal. Pembiayaan
formal seperti bank dan pemerintah sedangkan informal bisa berasal dari teman, keluarga,
sesama peternak, rentenir, atau Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yaitu lembaga keuangan yang
dibentuk oleh sekelompok petani/peternak di daerah pedesaan. (Wahab and Abdesamed, 2012;
Asnawi, 2013a). Selain itu pedagang input pertanian, pedagang hasil-hasil pertanian dan juga
para pedagang yang berfungsi kedua-duanya, yaitu pedagang input dan pedagang output
(Nurmanaf et al., 2006).

Salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah kendala pembiayaan pada lembaga
formal seperti perbankan. Determinan akses pembiayaan bagi peternak pada lembaga formal
sebagaimana yang dijelaskan Asnawi (2013b) yaitu: relationship yang relatif rendah antara
peternak dan pemberi pinjaman, ketersediaan informasi tentang pembiayaan masih rendah,
prosedur dan collateral yang memberatkan peternak serta lokasi yang relatif jauh dari tempat
peternak. Hal ini dipertegas oleh Nurmanaf (2007) bahwa aksesibilitas sebagian besar petani
terhadap lembaga pembiayaan formal sangat rendah karena di pihak lembaga formal diterapkan
standar perbankan komersial dengan prinsip kehati-hatian. Pemilihan pembiayaan antara
lembaga formal dan informal tentunya memiliki pertimbangan tertentu bagi peternak terkait
dengan karakteristiknya masing-masing (Asnawi dan Hastang, 2015).

Namun keberadaan salah satu lembaga tersebut diharapkan bisa saling melengkapi dan
bukan saling mematikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan peternak sapi
potong terhadap lembaga pembiayaan formal dan informal yang ada di daerah pedesaan.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Yang menjadi objek
penelitian adalah peternak yang telah menerima bantuan dari pemerintah atau dari perbankan
yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut peternak non mandiri karena mereka memiliki
kewajiban untuk mengembalikan bantuan maupun kredit yang diterima. Selain itu peternak
mandiri yaitu peternak tidak memperoleh bantuan kredit. Jumlah peternak non mandiri di
kabupaten Bone sebanyak 1.416 orang sedangkan peternak mandiri sebanyak 90.441 orang.
Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 88 orang masing-masing 44 peternak mandiri dan 44
orang peternak non mandiri (Metode penentuan sampelnya diadopsi dari Asnawi, 2013a). Dalam
penelitian ini menggunakan instrumen kuesioner dan tidak ada pemisahan antara peternak

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 59

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

mandiri dan non mandiri. Data dikumpulkan dan dianalisis dengan menggunakan analisis
statisik deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian tentang tanggapan peternak sapi potong terhadap lembaga pembiayaan
formal dan informal setelah dimatriks dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tanggapan Peternak Sapi Potong terhadap Lembaga Informal dan

Formal

Tanggapan Peternak

Karakteristik Pembiayaan Informal Pembiayaan Formal

Persyaratan Lebih fleksibel, cukup Harus ada agunan

kepercayaaan (collateral)

Prosedur Mudah dan simpel Rumit, banyak tahapannya

Waktu realisasi Cepat Lama

Jumlah dana yang diterima Sesuai yang diinginkan Tidak sesuai yang diusulkan

Tingkat suku bunga Relatif lebih tinggi Relatif lebih rendah

Sumber: Data Primer, 2013.

Berdasarkan Tabel 1. terlihat bahwa secara umum ciri dari pembiayaan yang bersumber

dari lembaga informal relatif lebih berpihak kepada peternak. Hal ini disebabkan oleh

pembiayaan ini lebih fleksibel karena biasanya tidak mengharuskan ada jaminan atau agunan

yang harus diserahkan kepada pemberi pinjaman. Sedangkan pada pembiayaan formal, pihak

perbankan mensyaratkan harus ada collateral atau agunan yang diserahkan kepada perbankan

yang selanjutnya dinilai kelayakan jumlah kredit yang dapat diberikan kepada peternak. Hal ini

sesuai dengan Bougheas (2005) bahwa collateral dapat mengurangi risiko dari kredit yang

diberikan oleh lembaga pembiayaan karena akan mengkalim collateral tersebut jika terjadi

masalah. Namun persyaratan ini tentunya sangat memberatkan bagi peternak karena umumnya

merek tidak memiliki asset yang secara fisik dapat diajaminkan. Sementara pada lembaga

informal, kepercayaan (trust) antara peternak dan pemberi pinjaman sangat penting dan dianggap

sudah cukup. Hal ini memungkinkan mengingat bahwa antara peternak dan pemberi pinjaman

berada di daerah pedesaan dan diantara mereka sudah kenal satu sama lain.

Prosedur atau tahapan yang harus dilalui oleh peternak dalam mengusulkan kredit juga

menjadi salah satu pembeda antara lembaga informal dan formal. Pembiayaan formal relatif

membutuhkan waktu yang agak lama karena ada beberapa prosedur yang harus diurus seperti

mendapatkan surat keterangan dari pemerintah setempat dan tahapan lainnya. Selain itu pihak

pemberi pinjaman butuh waktu untuk melakukan survei ke lokasi peternak untuk melihat kondisi

ril dari usaha yang dijalankan apakah layak atau tidak diberikan pinjaman. Nurmanaf (2007) juga

menjelaskan bahwa rumitnya prosedur dan waktu yang lama menjadi salah satu penghambat bagi

peternak untuk mengakses pendanaan dari perbankan. Sementara pada pembiayaan informal,

lebih mudah dan sederhana prosedurnya, terutama apabila sudah kenal satu sama lain maka

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 60

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

kadang-kadang tidak membutuhkan prosedur dan tidak mengharuskan harus ada surat
keterangan, surat rekomendasi dari instansi terkait. Oleh karena tidak memiliki prosedur yang
panjang maka peternak dapat memperoleh pinjaman dengan cepat sesuai dengan kapan dana
tersebut dibutuhkan. Sedangkan pada pembiayaan formal, karena prosedurnya cukup panjang,
maka dana yang dibutuhkan oleh peternak kadang-kadang diterima di saat tidak dibutuhkan lagi.

Jumlah dana yang diterima pun terdapat perbedaan. Penerima pinjaman dalam hal ini
peternak, biasanya akan menerima pinjaman tidak sama jumlahnya dengan yang dibutuhkan.
Hal ini disebabkan oleh adanya biaya administrasi dan biaya lainnya yang timbul selama
pengurusan, dan biaya-biaya laiinya. Namun pada pembiayan informal, jumlah dana yang
diterima sama dengan jumlah dana yang dibutuhkan karena dalam tidak ada biaya administrasi,
provisi dan biaya lainnya.

Dari tingkat bunga yang dibebankan kepada peternak, mereka beranggapan bahwa tingkat
bunga pada pembiayaan formal memang relatif lebih rendah dibandingkan pembiayaan informal.
Namun karena membutuhkan persyaratan administrasi yang banyak dan membutuhkan waktu
yang lama sehingga peternak lebih merasa cocok pada pembiayaan informal. Hal ini disebabkan
oleh bunganya memang lebih tinggi pada lembaga informal tapi karena lebih simpel dan dananya
segera dapat diterima maka pembiayaan ini lebih dipilih dibandingkan dengan pembiayaan
formal.

Hasil penelitian ini sejalan dengan Nurmanaf (2007) bahwa sumber-sumber pembiayan
informal “sangat mengerti” kondisi dan kebutuhan petani. Pinjaman diberikan tanpa agunan dan
dengan prosedur sederhana. Realisasi dilakukan dengan cepat, dekat, tepat waktu dan jumlah
sesuai kebutuhan, walaupun harus membayar dengan bunga yang lebih tinggi. Menurut
Krisnamurti (2005) bahwa lembaga informal lebih fleksibel dibandingkan dengan lembaga
formal karena tidak memerlukan prosedur administrasi yang rumit, lebih mudah diakses dan
biasanya didasarkan pada prinsip kepercayaan karena sudah saling mengenal antara debitur dan
kreditur seperti hubungan saudara, tetangga, mitra kerja dan hubungan kekerabatan yang lain,
dana yang dibutuhkan dapat segera diperoleh sesuai kapan waktu dibutuhknnya.

KESIMPULAN

Kendala pembiayaan internal mendorong peternak mencari alternatif pembiayaan
eksternal baik dari perbankan maupun bantuan pemerintah. Tanggapan peternak cenderung
berpihak pada lembaga informal karena berada di daerah pedesaan, tidak membutuhkan
persyaratan yang banyak namun cukup kepercayaan antara peternak dan pemberi pinjaman,
prosedurnya tidak panjang, waktu relasiasinya lebih cepat dan jumlah dana yang diterima sama
dengan yang mereka butuhkan. Sedangkan pada pembiayaan formal masih mensyaratkan
adanya collateral, prosedurnya panjang sehingga waktu realisasinya memakan waktu yang lama.

DAFTAR PUSTAKA

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 61

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

Asnawi, A. 2013a. Financing, Working Capital Management, Cash Conversion Cycle and
Business Performance in Beef Cattle Breeding Business in South Sulawesi. Dissertation.
Faculty of Economics and Business. Airlangga University. Surabaya.

Asnawi, A. 2013b. Determinant of Funding Accessibility and its Impacts to the Performance of
Beef-Cow Breeding Enterprises in South Sulawesi Province, Indonesia. European Journal
of Business and Management., 5(29): 77-84.

Asnawi, A dan Hastang. 2015. Financing Preferences of Beef Cattle Farmers in Bone Regency
South Sulawesi. Advances in Environmental Biology. 9(24) November. Pages: 411-413.

Bougheas, S., Mitzen, P., and Yalcin, C. 2005. Access to External Finance: Theory and
Evidence on the Impact of Monetary Policy and Firm-Specific Charactersitics. Journal
of Banking and Finance, 30(1), 199-227.

Krisnamurti, B. 2005. Pengembangan Keuangan Mikro Bagi Pembangunan Indonesia. Media
Informasi Bank Perkreditan Rakyat, Edisi IV Mret 2005.

Myers. 1984. Capital Structure Puzzle. Journal of Finance, 39 (1), 572-592.
Nurmanaf, A.R., E.L. Hastuti., Ashari, S. Friyatno dan B. Wiryono. 2006. Analisis Sistem

Pembiayaan Mikro dalam Mendukung Usaha Pertanian di pedesaan. Analisis Kebijakan
Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Departemen
pertanian.
Nurmanaf, A.R. Lembaga Informal Pembiayaan Mikro Lebih Dekat dengan Petani. Analisis
Kebijakan Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Vol. 5
No. 2. Juni 2007. Pp 99-109.Wahab and Abdesamed, 2012
Wahab, K., Abdesamed, K.H. 2012. Small ND Medium Enterprises (SMEs) Financing Practice
and Accessing Bank Loan Issues-The Case of Libya. World Academy of Science, Enginering
and Technology. 72.

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 62

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

PERANAN PENYULUH TERHADAP ADOPSI INOVASI INSEMINASI BUATAN (IB)
PADA USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG DI DAERAH TRANSMIGRASI
KABUPATEN DHARMASRAYA

Ediset, A. Anas dan E. Heriyanto

Bidang Kajian Pembangunan dan Bisnis Peternakan , Program Studi Peternakan, Fakultas
Peternakan Universitas Andalas
Email : [email protected]

INTISARI

Kondisi Eksisting daerah Transmigrasi Kabupaten Dharmasraya Sumatera Barat adalah
tidak seimbangnya antara permintaan akan daging sapi dengan jumlah populasi sapi yang
tersedia, oleh karena itu diperlukan intervensi pemerintah melalui program yang relevan.
Program pemerintah sala satunya adalah program penyuluhan dalam proses adopsi inovasi
Inseminasi Buatan (IB) yang membutuhkan peranan penyuluh serta kualifikasi penyuluh yang
memadai sehingga katersediaan jumlah populasi ternak sapi terjaga. Penelitian ini dilakukan di
Daerah Transmigrasi Kabupaten Dharmasraya dengan tujuan untuk : 1) mengetahui peranan
penyuluh dalam adopsi inovasi Inseminasi Buatan (IB) pada usaha peternakan sapi potong. 2)
mengetahui kualifikasi penyuluh yang berperan dalam adopsi inovasi Inseminasi Buatan (IB).

Penelitian ini menggunakan pendekatan metode survey dan pendekatan analisa data
sekunder, jumlah sampel dalam penelitian sebanyak 50 orang ditentukan dengan teknik quota
sampling atas dasar peternak sapi potong yang telah menerapkan Iseminasi Buatan (IB). Data
yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Analisis data secara deskriptif
kuantitatif yang dihitung dengan menggunakan skala likert. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa peranan penyuluh sebagai edukasi, diseminasi inovasi, fasilitasi dan konsultasi sudah
berperan baik, sebagai advokasi penyuluh berperan sedang kemudian sebagai supervisi dan
evaluasi peranan penyuluh masih kurang. Kualifikasi penyuluh dilihat dari kemampuan
berkomunikasi, sikap dan adaptasi sosial budaya sudah baik, namun dilihat dari pengetahuan
penyuluh masih kurang. Kesimpulan peranan penyuluh belum optimal dan kualifikasi penyuluh
sudah baik.
Kata kunci : Penyuluh, Peranan, Kualifikasi, Adopsi Inovasi, Inseminasi Buatan

ABSTRACT

This research was conducted at the Regency Dharmasraya in order to: 1) determined the
role of extension in innovation adoption Artificial Insemination (AI) . 2) determined the
qualifications agents whose role in the innovation adoption Artificial Insemination (AI).
Research this approach survey method and approach to the analysis of secondary data, the
number of samples in this study were determined by quota sampling technique based on the
homogeneity of the population, namely farmers beef cattle that have implemented Artificial

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 63

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

Insemination (AI) on their cattle, so the sample set as many as 50 people. The data collected are
primary data with the help of questionnaires and secondary data with the literature study and
related agencies. Descriptive analysis of quantitative data which is calculated using a Likert
scale. The results showed that the role of extension is not optimal, especially on the role of
advocacy, the role of supervision and evaluation role. Qualifications extension seen from the
ability to communicate, attitude and socio-cultural adaptation was good, but the views from the
extension of knowledge about innovation was counseled still lacking.
Keyword: Role, Instructor, Innovation Adoption dan Artificial Insemination

PENDAHULUAN

Program pemerintah untuk mengantisipasi pengurangan jumlah populasi ternak sapi di
Kabupaten Dharmasraya diantaranya adalah program penyuluhan. Implementasi dari program
penyuluhan ini diharapkan dapat membantu peternak dalam mencarikan solusi dari permasalahan
yang berkaitan dengan penerapan inovasi. Adopsi inovasi pada usaha peternakan sapi potong
tidak terlepas dari penyuluh, baik itu peranannya maupun kualifikasi penyuluhnya. Inovasi
Inseminasi Buatan (IB) merupakan bagian dari inovasi bidang peternakan yang harus di adopsi
oleh peternak, maka dalam proses adopsi inovasi IB dibutuhkan peranan penyuluh serta
kualifikasi penyuluh yang memadai.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di daerah transmigrasi Kabupaten Dharmasraya. Penelitian ini
merupakan penelitian survey. Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer
dan data sekunder sesuai dengan kebutuhan penelitian. Populasi adalah seluruh peternak sapi
potong yang ada di transmigrasi sitiung I, sampel di quotakan menjadi 50. Teknik sampling
adalah Accidental Sampling. Analisa data secara deskriptif kuantitatif. Analisa ini dihitung
dengan menggunakan skala likert. Selanjutnya nilai skor yang diperoleh akan dibandingkan
dengan kategori yang telah ditetapkan oleh Ditjen Peternakan (1992).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Peranan Penyuluh dalam Adopsi Inovasi Inseminasi Buatan (IB)

Peranan Indikator Persentase (%) Hasil Peranan

Edukasi Setuju 97.2 Baik

Diseminasi Inovasi Setuju 96.5 Baik

Fasilitasi Setuju 97.2 Baik

Konsultasi Setuju 92.5 Baik

Advokasi Setuju 79.0 Sedang

Supervisi Setuju 31.3 Kurang

Evaluasi Setuju 29.8 Kurang

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 64

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

Peranan Penyuluh sebagai Edukasi
Peran edukasi sudah berjalan dengan baik, dimana 97,2% peternak sapi potong didaerah ini

menyatakan setuju kalau penyuluh telah menjalankan peranan edukasi tersebut dalam adopsi
inovasi. Kondisi ini menandakan bahwa penyuluh sudah mampu berperan sebagai pendidik.
Mosher (1968) dalam Mardikanto (2010) menyatakan bahwa fasilitator/penyuluh harus mampu
melaksanakan peranan ganda, baik sebagai penyuluh itu sendiri maupun sebagai guru bagi
sasaran penerima manfaat.
Peran Penyuluh sebagai Diseminasi Inovasi

Penyuluh sudah menjalankan peranan diseminasi inovasi dengan baik, dimana sebesar
96.5% peternak setuju dengan peranan tersebut, itu tidak terlepas dari kemampuan penyuluh
untuk memberikan penyadaran dan meyakinkan para peternak sapi potong bahwa inovasi yang
ditawarkan merupakan suatu inovasi yang memiliki keunggulan. Anwar dkk (2009) menyatakan
bahwa persyaratan utama agar suatu pesan (inovasi) dapat diterima dengan jelas oleh sasaran
adalah mengacu pada kebutuhan masyarakat,mudah dipahami, biaya rendah, peluang
keberhasilan tinggi dan sesuai dengan lingkungan.
Peran Penyuluh sebagai Fasilitasi

Peran fasilitasi (penghubung) telah dilakukan dengan baik oleh penyuluh, dimana 97.2%
peternak menyatakan setuju bahwa penyuluh telah menjalankan peranan fasilitasi, ini
membuktikan bahwa penyuluh selalu memberikan kemudahan dan sumber kemudahan yang
diperlukan oleh peternak sapi potong sehingga terjadi adopsi inovasi Inseminasi Buatan (IB).
Suhardiyono (1990) mengatakan bahwa penyuluh mesti berperan sebagai jembatan penghubung
antara peternak dengan pemangku kepentingan pembangunan, baik itu untuk perbaikan-
perbaikan teknologi maupun untuk perbaikan organisasi.
Peran Penyuluh sebagai Konsultasi

Peternak sapi potong di daerah penelitian cukup puas (92.5% setuju) dengan peranan
penyuluh sebagai konsultasi. Berperan baiknya penyuluh sebagai konsultan/penasehat ini
disebabkan oleh para penyuluh didaerah ini memanfaatkan media antar-pribadi dalam
memecahkan setiap permasalahan yang dihadapi oleh peternak. Mardikanto (2010)
mengungkapkan bahwa media antar pribadi merupakan media yang memungkinkan para pihak
yang berkomunikasi dapat berkomunikasi secara langsung, baik dengan tatap muka (percakapan
antar individu) ataupun dengan menggunakan alat (telepon).
Peranan Penyuluh sebagai Advokasi

Peternak sebesar 79.0% menyatakan setuju kalau peranan advokasi telah dilakukan
penyuluh, peranan ini hanya berada pada kategori sedang yang disebabkan oleh penyuluh jarang
mengikutsertakan peternak sapi potong dalam perencanaan dan pengambilan keputusan kegiatan
penyuluhan. Coley (1971) dalam Anwar dkk (2009) memberikan acuan untuk mengefektifkan
komunikasi dalam penyuluhan harus diupayakan adanya kepentingan yang sama (Overlaping of
Interest) antara kebutuhan yang dirasakan oleh peternak dengan informasi yang ditawarkan oleh
penyuluh.

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 65

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

Peranan Penyuluh sebagai Supervisi
Peranan supervisi masih kurang dilakukan oleh penyuluh, dimana 31.4% saja peternak

yang setuju kalau peranan ini sudah berjalan, hal ini disebabkan oleh terbatasnya jumlah
penyuluh dan kurang komitmen penyuluh terhadap profesinya sebagai penyuluh. Rogers (1995)
mengatakan bahwa kunci keberhasilan penyuluh diantaranya adalah kerja keras dan
beremphaty/bertenggang rasa, memahami dan menempatkan diri sebagai penerima manfaat.
Peran Penyuluh sebagai Evaluasi

Penyuluh masih kurang berperan dalam hal evaluasi, dimana hanya 28.9% peternak yang
setuju kalau penyuluh sudah menjalankan peranan tersebut, ini membuktikan bahwa penyuluh
belum melakukan evaluasi terhadap kegiatan yang sudah dilakukan. Mardikanto (2010)
mengungkapkan bahwa fasilitator/penyuluh yang profesional harus memiliki kumpulan laporan
keberhasilan kegiatan penyuluhan, himpunan tantangan yang menyangkut keterkaitan:
penyuluhan dan peternak, antar institusi dan antar wilayah serta daftar sumber daya yang
digunakan dan alat peraga yang digunakan dalam kegiatan penyuluhan.

Tabel 2. Kualifikasi Penyuluh Indikator Persentase (%) Hasil Kualifikasi
Kualifikasi Setuju 99.3 Baik
Kemampuan Berkomunikasi Setuju 93.0 Baik
Sikap Penyuluh Setuju 43.2 Kurang
Pengetahuan Penyuluh Setuju 89.3 Baik
Karakteristik Sosial Budaya

Kemampuan Berkomunikasi
Peternak sebanyak 99.3% setuju kalau penyuluh sudah memiliki kemampuan

berkomunikasi yang baik, ini dikarenakan para penyuluh sering dikirim untuk mengikuti
kegiatan pelatihan. Swanson (1997) mengatakan bahwa untuk pengembangan profesionalisme
penyuluh, perlu dilakukan pelatihan-pelatihan baik itu menyangkut teori belajar maupun yang
menyangkut semangat belajar.
Sikap Penyuluh

Penyuluh sudah bersikap baik dalam proses adopsi inovasi Inseminasi Buatan (IB), ini
disetujui oleh 93.0% peternak. Kondisi ini terjadi karena penyuluh berdomisili di daerah stempat
dan mengetahui kelbihan dari inovasi yang disampaikan. Mardikanto (2010) menjelaskan bahwa
sikap penyuluh juga ditentukan oleh keyakinan penyuluh terhadap inovasi yang disampaikan
telah teruji manfaatnya, serta memiliki peluang keberhasilan untuk diterapkan pada kondisi alam
wilayah kerjanya.
Pengetahuan Penyuluh

Pengetahuan penyuluh masih kurang, hanya 43.2% peternak saja yang setuju dengan
pengetahuan penyuluh, hal ini disebabkan oleh pendidikan formal penyuluh masih rendah yaitu
SLTA. Berlo (1960) dalam Mardikanto (2010) mengatakan bahwa pengetahuan tentang

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 66

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

isi,fungsi, serta nilai yang terkandung dalam suatu inovasi adalah bagian dari kualifikasi dari
seorang penyuluh.
Karakteristik Sosial Budaya Penyuluh

Penyuluh memiliki karakteristik sosial budaya yang baik, dimana 89.3% peternak setuju
jika penyuluh sudah memahami bahasa, kebiasaan dari masayarakat sasaran. Mardikanto (2010)
menjelaskan bahwa penyuluh sejauh mungkin harus memiliki latar belakang sosial budaya yang
sesuai dengan keadaan sosial budaya masyarakat penerima manfaat.

KESIMPULAN

Penyuluh belum berperan optimal dalam proses adopsi inovasi Inseminasi Buatan (IB) di
daerah Dharmasraya meskipun kualifikasi penyuluhnya sudah baik.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, S; Madariza, F. dan Anas, A. 2009. Ilmu penyuluhan pertanian. Buku Ajar. Fakultas
Peternakan Universitas Andalas, Padang.

Ditjen Peternakan . 1992. Pedoman Identifikasi Faktor Penentu Teknis Peternakan . Proyek
Peningkatan Produksi Peternakan . Diklat Peternakan. Jakarta

Mardikanto. 2010. Komunikasi Pembangunan. Acuan Bagi Akademisi, Praktisi dan Peminat
Komunikasi Pembangunan. UNS Press. Surakarta.

Rogers EM, Schoemaker FF. 1995. Communication of Innovations: A Cross Cultural Approach.
Revised Edition. New York: The Free Press.

Suhardiyono, L. 1990. Penyuluhan. Petunjuk Bagi Penyuluh Pertanian. Penerbit Erlangga.
Jakarta.

Swanson, B.E., 1997. Improving Agricultural Extension. Rome: FAO

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 67

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

ANALISIS SEKTOR PEREKONOMIAN MENGGUNAKAN LOCATION
QUONTIENT (LQ) DI PROPINSI JAWA TENGAH

Nurdayati dan Bambang Sudarmanto

Jurusan Penyuluhan Peternakan, STPP Magelang
Email Korespondensi: [email protected]

INTISARI

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi sub sektor perekonomian basis dan non
basis, dan untuk mengidentifikasi pertumbuhan sektor perekonomian dari tahun 2010 – 2015 di
Provinsi Jawa Tengah. Data dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan lain-lain yang
diterbitkan literatus mengenai penelitian ini, Location Quotient (LQ) dan Dynamic Location
Quotient (DLQ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari delapan sektor diketahui bahwa
sektor Pertanian, indostri pengolahan, Perdagangan hotel dan restoran, komunikasi dan
pengangkutan beserta keuangan persewaan adalah sektor dasar. Sementara itu, yang lain
penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dasar dan sektor non basis dari 2010 – 2015
yang berfluktuasi.
Kata kunci : Location Quotient (LQ), sektor basis

ABSTRACT

This study was conducted to identify the sectors of basic and non-basic and basic to
identify growth sectors - basic and non-basic from years 2010 - 2015 in the province of Central
Java. Data collected from the Central Bureau of Statistics (BPS). analysis of the research to use
Location Quotient (LQ) and Dynamic Location Quotient (DLQ). The results showed that out of
the eight sectors is known that the Agricultural sector, Tanaman processing, hotel and restaurant
trade, communication and transport sectors as well as financial leasing is basic. Meanwhile,
another study showed that the growth of basic and non-sector basis from 2010 - 2015 fluctuating.
Kata kunci : Location Quotient (LQ), basic sector.

PENDAHULUAN

Pembangunan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kondisi masyarakat dari
yang kurang baik menjadi lebih baik. Untuk meningkatkan kondisi masyarakat perlu adanya
kerjasama antara semua elemen yang terkait sehingga dapat berjalan dengan lancar dan dapat
mencapai sasaran yang diinginkan. Pembangunan adalah sebuah perubahan yang direncanakan
sehingga perlu dengan pertimbangan yang lebih matang. Arsyad (2001) dijelaskan bahwa
pembangunan daerah merupakan upaya daerah untuk menekankan pelaksanaan kebijakan-
kebijakan pembangunan yang bertumpu pada keiklhasan daerah dengan menggunakan potensi
sumber daya manusia yang ada dan potensi alam yang menjadi cirikhas daerah. Adanya
pemertaan pembangunan sedikit banyaknya akan berdampak pada perubahan daerah baik secara

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 68

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

fisik maupun non fisik. Perubahan fisik akan nampak dengan adanya perubahan dari adanya
peningkatan pendapatan pada suatu daerah, perluasan kesempatan kerja serta peningkatan sektor
ekonomi. Salah satu kebijakan untuk meningkatkan pendapatan daerah adalah dengan
mengidentifikasi sektor yang merupakan sektor basis dan non basis. Pemerintah pada suatu
wlayah selalu berupaya untuk mendorong masing-masing daerah pada suatu wilayah untuk
mengembangkan sektor ekonomi yang merupakan sektor basis dan mendorong sektor ekonomi
non basis agar menjadi basis.

Pertumbuahan sektor pertanian suatu daerah pada dasarnya dipengaruhi oleh keunggulan
kompetitif suatu daerah, spesialisasi wilayah serta potensi pertanian yang dimiliki oleh daerah
tersebut. Adanya potensi pertanian disuatu daerah tidaklah mempunyai arti bagi pertumbuhan
pertanian apabila tidak ada upaya memanfaatkan dan mengembangkan potensi pertanian secara
optimal. Untuk itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sub sektor perekonomian
basis dan non basis serta untuk mengetahui laju pertumbuhan dari sektor-sektor perekonomian
di Propinsi Jawa Tengah.

MATERI DAN METODE

Materi yang diginakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan data sekunder

dengan metode studi kepustakaan yaitu pengumpulan informasi dan pengetahuan yang

diperlukan untuk penelitian . Data yang dikumpulkan adalah data runtun waktu (time series)

berupa data tahunan dari tahun 2010 sampai dengan 2013 (5 tahun) yang bersumber dari (1)

Statistik Jawa Tengah, Statistik Indonesia, Internet, SUSENAS berbagai jurnal majalah literatur

dan sumber lain. Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

diskriptif analitis, yaitu menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-

data. Data disajikan, dianalisis dan diintepretasikan (Narbuko dan Achmadi, 1997).

Alat analisis yang digunakan pada Penelitian ini adalah Analisis Location Quontient(LQ)

dan Dynamic Location Quotient ( DLQ). Untuk menentukan beberapa sektor perekonomian di

termasuk wilayah basis aata non basis menggunakan Analisis Location Quontient(LQ)adalah

sbb:

= /
/

Keterangan

LQ = Location Quotient

vi = Output sektor i di suatu daerah

vt = Output total daerah tersebut

Vi = Output sektor i nasional

Vt = Output total nasional

Kriteria :
1. Bila LQ>1 menunjukkan sektor tersebut tergolong sektor basis di suatu wilayah .
2. Bila LQ<1 menunjukkan sektor tersebut tergolong sektor non basis di suatu wilayah.
3. Bila LQ = 1 menunjukkan keswasembadaan (self-sufficiency) sektor tersebut di suatu

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 69

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

wilayah.

Untuk mengetahui perubahan posisi yang terjadi pada sektor perekonomian di Propinsi

Jawa Tengah digunakan analis Dynamic Location Quotient ( DLQ) sbb:

= 1 + gij /(1 + gj)
(1 + Gi)/(1 + G)

Keterangan

DLQ = Dynamic Location Quontient

gij = Laju pertumbuhan PDRB sektor perekonomian wilayah Provinsi Jawa

Tengah

gj = Laju pertumbuhan PDRB wilayah Provinsi Jawa Tengah

Vi = Laju pertumbuhan PNB sektor perekonomian

Vt = Laju pertumbuhan PNB total

Kriteria :
1. Bila LQ>1 menunjukkan sektor tersebut tergolong sektor basis di suatu wilayah .
2. Bila LQ<1 menunjukkan sektor tersebut tergolong sektor non basis di suatu wilayah.
3. Bila LQ = 1 menunjukkan keswasembadaan (self-sufficiency) sektor tersebut di suatu

wilayah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perekonomian regional dapat dibedakan menjadi dua sektor basis dan sektor non basis.
Sektor basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hasil produksinya dapat untuk
melayani pasar baik di dalam maupun di luar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan
(Wijaya dan Hastarini, 2006). Sektor tersebut dikatakan basis apabila memiliki nilai Indeks
Location Quotient lebih dari satu (LQ>1). Sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan
ekonomi yang hanya mampu menyediakan barang serta jasa yang dibutuhkan masyarakat yang
bertempat tinggal didalam batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan (Wijaya dan
Hastarin, 2006). Sektor tersebut merupakan sektor non basis apabila memiliki nilai Indeks
Location Qoutient kurang dari satu (LQ < 1).

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Location Quetient di Propinsi Jawa Tengah

Lapangan Usaha 2010 2011 2012 2013

Pertanian 1.39533 1.41078 1.40158 1.36699
Pertambangan 0.09254 0.08025 0.08116 0.08756
Industri pengolahan 1.49231 1.50314 1.52705 1.12949
Listrik gas dan air bersih 0.04743 0.04631 0.04721 0.0359
Bangunan 0.66831 0.64743 0.63979 0.46244
Perdagangan hotel dan restoran 1.45442 1.42656 1.53185 1.06327
Komunikasi dan pengangkutan 1.65546 16.3185 1.62526 1.1018

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 70

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

Keuangan persewaan dan jasa

perusahaan 1.02444 1.00946 0.96345 0.66577

Sumber : Data Terolah

Suatu cara untuk mengetahui apakah suatu sektor merupakan sektor basis atau non basis.

Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa ada 4 ektor yang merupakan sektor basis yaitu

sektor pertanian, sektor industri, sektor perdagangan, sektor komunikasi dan pengangkutan dan

keuangan persewaan dan Jasa Perusahaan. Artinya kelima sektor tersebut menjadi basis atau

menjadi sumber pertumbuhan , memiliki keunggulan komperatif, dan hasilnya tidak saja dapat

memenuhi kebutuhan di Propinsi Jawa Tengah akan tetapi juga dapat diekspor ke luar wilayah.

Untuk sektor pertambangan, sektor Industri pengolahan dan sektor bangunan termasuk

non basis. Produksinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan wilayah sendiri dan tidak

mampu untuk memenuhi kebutuhan wilayah sendiri . Sektor pertambangan sektor listrik gas

dan air bersih serta sektor bangunan termasuk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan

wilayahnya sendiri atau dalam kategori non basis , sedangkan sektor keuangan persewaan dan

jasa perusahaan juga termasuk non basis tidak memiliki keunggulan komparatif. Produksinya

hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan wilayah sendiri dan tidak mampu untuk diekspor.

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Dynamic Location Quetient di Propinsi Jawa Tengah

Lapangan Usaha 2010 2011 2012 2013

Pertanian 0.257246 0.21486 0.185517 0.000172

Pertambangan 0.004742 0.01792 0.037989 0.249705

Industri pengulahan 0.366024 0.622771 0.693485 0.621453

Listrik gas dan air bersih 0.005576 0.03789 0.056013 0.013381

Bangunan 0.063238 0.072471 0.08446 0.078579

Perdagangan hotel dan restoran 0.17925 0.459442 0.325098 0.35217

Komunikasi dan pengangkutan 0.066544 0.068976 0.058938 0.053685

Keuangan persewaan dan jasa

perusahaan 0.039169 0.030381 0.042041 0.068462

Sumber Data Terolah

Pada Tabel 2. diperoleh hasil dari analisis metode Dynamic Location Quotient terhadap

sektor perekonomian di Propinsi Jawa Tengah dapat diketahui bahwa untuk semua sektor

kedepannya tidak bisa menjadi basis akan tetapi jika dilihat dari pertumbuhannya sektor

Industri pengolahan dan , dapat menjadi basis karena jika dilihat dari pertumbuhan yang dari

tahun 2010 s.d 2013 mengalami peningkatan, sedangkan untuk pertanian justru akan mengalami

penurunan. Hal ini akan berdampak buruk berantai pada pencapaian sasaran pembangunan di

Jawa Tengah untuk itu sangat perlu untuk diperbaiki. Prospek pencapaian sasaran =sasaran

utama pembangunan Propinsi Jawa Tengah akan sangat dipengaruhi oleh dinamika lingkungan

baik internak daerah Jawa Tengah maupun lingkungan eksternal. Dampak krisis di Eropa dan

pelambatan arus perdagangan global merupakan ancaman eksternal yang bisa mengganggu

kinerja perekonomian daerah.

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 71

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

KESIMPULAN

1. Sektor perekonomian yang menjadi sektor basis bagi perekonomian di wilayah Propinsi Jawa
Tengah adalah dari sektor pertanian, Industri Pengolahan, Perdagangan hotel dan restoran,
komunikasi dan pengangkutan beserta keuangan persewaan.

2. Beberapa sektor pertanian yang menjadi basis mengalami perubahan yang semula menjadi
basis maka akan menjadi non basis.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, L. 1999 Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, Edisi ke 1 BPFE –
UGM Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik, 2015 . Jawa Tengah Dalam Angka 2010 s.d 2014 . Badan Pusat Statistik
Jawa Tengah

Badan Pusat Statistik, 2015. Pendapatan Nasiaonal Indonesia 2010 – 2015. Badan Pusat
Statistik Indonesia

Narbuko, C., dan A. Achmadi, 1997, Metodologi Penelitian. Bumi Aksara . Jakarta

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 72

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

PENGETAHUAN PETERNAK SAPI POTONG TENTANG
PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN TERNAK
(STUDI KASUS DI KECAMATAN MAIWA, KABUPATEN ENREKANG,

SULAWESI SELATAN)

Veronica Sri Lestari, Djoni Prawira Rahardja, Hastang, Muhammad Ridwan, Ahmad
Ramadhan Siregar, Tanrigiling Rasyid, Kasmiyati Kasim, Wachniyati Hatta, dan Jamila

Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis
Kemerdekaan Km. 10 Makassar 90245, Sulawesi Selatan, Indonesia
Email: [email protected]

INTISARI
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengetahuan peternak sapi potong
tentang pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak. Penelitian ini dilakukan dari bulan
September sampai Oktober 2015 dikecamatan Maiwa, kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.
Populasi adalah seluruh peternak sapi potong yang telah mendapatkan penyuluhan pemanfaatan
limbah pertanian sebagai pakan ternak. Sebanyak 36 peternak sapi potong dipilih secara acak.
Data diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner dan observasi. Jumlah pertanyaan
ada 10 buah dengan jawaban tertutup dan diberi skor 1 untuk jawaban benar dan 0 untuk
jawaban salah. Nilai tertinggi adalah 10 dan nilai terendah adalah 0. Data yang telah
dikumpulkan dianalisa secara deskriptif. Hasil penelitan menunjukkan bahwa pengetahuan
peternak sapi potong tentang pemanafatan limbah pertanian sebagai pakan ternak termasuk
kategori rendah.
Kata-kata kunci: limbah pertanian, pengetahuan, peternak sapi potong

ABSTRACT
This study was conducted to determine the knowledge of beef cattle farmers on the use of
agricultural waste as animal feed. This study was conducted from September to October 2015 in
Maiwa subdistrict, Enrekang regency, South Sulawesi. The population of this research consisted
of beef cattle farmers who have received extention of using agricultural waste as animal feed. A
total of 36 cattle farmers were selected randomly. Data were obtained through interviews using
questionnaires and observation. There were 10 number of questions. The score for a correct
answer was 1, while the score for wrong answer was 0. The highest value was 10 and the lowest
score is 0. The collected data were analyzed descriptively. The results showed that beef cattle
farmers knowledge on the use of agicultural waste as animal feed was low.
Key words: agricultural waste, knowledge, cattle farmers

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 73

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

PENDAHULUAN

Limbah pertanian merupakan limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan pertanian,
contohnya sisa daun-daunan, ranting, jerami, kayu dan lain-lain (Haghi, 2010). Untuk memenuhi
kebutuhan energi dan protein pada ternak sapi potong diperlukan hijauan dan konsentrat.
Menurut Syamsu dan Karim (2013), jerami padi adalah salah satu limbah pertanian yang sering
dipakai untuk pakan ternak, tetapi beberapa peternak belum memanfaatkannya secara optimal.
Lima (2012) mengatakan bahwa pemanfaatan limbah pertanian tanaman pangan sebagai pakan
ternak masih sangat rendah yaitu 5%, disamping itu peternak belum mengetahui dan menerapkan
teknologi pengolahan limbah pertanian sebagai pakan ternak.

Kabupaten Enrekang merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang terkenal
dengan hasil pertanian, perkebunan dan hortikultura. Tentunya limbahnya dapat dimanfaatkan
untuk pakan ternak. Namun dalam kenyataannya para peternak sapi potong belum mengetahui
dan belum memanfaatkannya secara optimal, sehingga ternak sapi dimusim kemarau kekurangan
pakan.

Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengetahuan
peternak sapi potong tentang pemanfatan limbah pertanian sebagai pakan ternak, sehingga dapat
ditentukan kebijakan pemerintah selanjutnya dalam mengatasi kekurangan pakan ternak sesuai
potensi setempat.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dari bulan September sampai Oktober 2015 di kecamatan Maiwa,
kabupaten Enrekang. Data diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner, dan observasi.
Sampel adalah 36 peternak sapi potong yang telah mendapatkan penyuluhan pemanfataan limbah
pertanian. Data yang diambil terdiri dari identitas responden meliputi: jenis kelamin, umur,
pekerjaan, jumlah sapi, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman beternak. Data
pengetahuan peternak sapi potong tentang pemanfaatan limbah pertanian diperoleh satu minggu
setelah dilakukan penyuluhan pemanfaatan limbah pertanian. Adapun indikator pengetahuan
terdiri dari: a. Pengertian Jerami Padi; b. Pengertian Jerami Jagung; c. Kelebihan Jerami Padi; d.
Kelebihan Jerami Jagung; e. Nilai Gizi Bahan Pakan; f. Perlakuan Amoniasi; g. Pakan Alternatif;
h. Pakan Ternak Sapi Potong; i. Hambatan Pemanfaatan Jerami.

Untuk mengukur variabel penelitian yang digunakan maka dilakukan pengukuran dengan
cara menguraikan indikator-indikator variabel dalam bentuk item-item pertanyaan yang disusun
dalam kuesioner dengan menggunakan skala Guttman. Skala Guttman ialah skala yang
digunakan untuk jawaban yang bersifat jelas (tegas) dan konsisten. Misalnya benar – salah, ya –
tidak, positif – negatif, pernah – belum pernah (Riduwan, 2009). Jumlah pertanyaan ada 10 buah
dengan jawaban tertutup. Apabila nilai yang diperoleh lebih kecil atau sama dengan 5, maka
pengetahuan peternak adalah rendah apabila nilainya lebih besar dari 5, maka pengetahuannya
tinggi. Benar : 1 ketika peternak tahu dan memahami pemanfaatan limbah pertanian sebagai
pakan ternak sapi potong. Salah : 0 ketika peternak tidak tahu dan tidak memahami pemanfaatan
limbah pertanian sebagai pakan ternak sapi potong. Data dianalisa secara deskriptif.

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 74

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik responden
Secara umum, mayoritas peternak berada pada usia produktif 17 orang (47%), pendidikan

rendah karena lulus SD 23 orang (64%), pengalaman beternak kurang karena 27 orang ( 75%)
berpengalaman antara 1-10 tahun, jumlah sapi yang dimiliki skala kecil karena 21 orang (58%)
memelihara antara 1-5 ekor, dan jumlah tanggungan keluarga kecil yaitu 1 – 4 orang pada 17
orang peternak (47%).

Pengetahuan peternak
Berdasarkan hasil penelitian, pengetahuan peternak dalam pemanfaatan limbah pertanian

sebagai pakan ternak sapi potong di Kabupaten Enrekang termasuk kategori rendah, karena nilai
skor pengetahuan adalah 5. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Lestari dkk (2015) yang
mengatakan bahwa pengetahuan peternak sapi potong di kabupaten lain di Sulawesi Selatan
yaitu di kabupaten Sinjai dalam memanfaakan limbah pertanian sebagai pakan ternak masih
rendah. Kebanyakan limbah jerami padi dan jerami jagung ditumpuk ataupun dibakar.

Peternak di kecamatan Maiwa sebagian besar tidak memanfaatkan limbah pertanian yang
cukup banyak tersedia disekitarnya. Hanya 8 responden (22%) yang mengetahuinya dan
memanfaatkannya. Hal ini disebabkan karena peternak kurang telaten atau kurang motivasi
untuk memberikan limbah pertanian pada ternaknya. Apabila peternak mencoba memberikan
limbah pertanian sekali pada ternak sapinya dan ternaknya menolak, maka peternak tersebut
tidak akan mencobanya lagi. Hal ini sesuai dengan pendapat Febrina dan Liana (2008) yang
mengatakan bahwa hanya 20% responden yang memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan
ruminansia.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan peternak sapi potong
tentang pemanfaatan limbah pertanian termasuk kategori rendah. Oleh karena itu diperlukan
penyuluhan yang intensif oleh instansi terkait supaya peternak sapi potong termotivasi
memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan ternak.

DAFTAR PUSTAKA

Haghi, A.K. 2010. Waste Management. Canada :Nova Science.
Febrina, D. dan M. Liana. 2008. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ruminansia pada

peternak rakyat di kecamatan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu. Jurnal Peternakan
5(1): 28 – 37.
Lima, D. 2012. Produksi limbah pertanian dan limbah peternak serta pemanfaatannya di
kecamatan Huamual Belakang dan Tanimel Kabupaten Seram Bagian Barat. Jurnal
Agroforestri VIII(1): 1-7.
Riduwan. 2009. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Alfabeta. Bandung.

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 75

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

Syamsu, J. dan H. Karim. 2013. The Policy strategy of rice straw utilization as feed for
ruminants. Asian Journal of Agriculture and Rural Development. 3(9): 615-621.

Lestari, V. S., D.P. Rahardja., dan M. B. Rombe. 2015. Pengetahuan dan sikap peternak sapi
potong terhadap teknologi pengolahan limbah pertanian sebagai pakan ternak. Jurnal Ilmu
dan Teknologi Peternakan, 4(2): 90-92.

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 76

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

THE PERCEPTION FARMERS ABOUT INTEGRATION SYSTEM OF
BEEF CATTLE ON OIL PALM PLANTATION IN DHARMASRAYA

REGENCY

Ir. Amna Suresti, M.Si., Prof. Dr. Ir. Asdi Agustar, M.Sc., dan Nilsen Oktafiardi

Animal Husbandry Faculty, Andalas University, Padang.
[email protected]

ABSTRACT

The main objects of this research were to determine the perception farmers about integration
system of beef cattle on oil palm plantation and to determine factors that influence the perception
farmers about integration system of beef cattle on oil palm plantation. Survey was conducted.
Fourty respondents were collected accidentally and interviewed using instrument that had been
prepared. Perception was measured using a likert scale and was analyzed descriptively. To
determine the factors that influence the perception of farmers conducted multiple linear
regression analysis with respondents perceptions about the integration beef cattle on oil palm
plantation as the dependent variable and then age, education, experience palm gardening, raising
cattle experience, and experience in raising cattle in oil palm plantations of respondent as an
independent variable. The results obtained from the calculation by way of scoring on a Likert
scale, a score was the average score of 105.30 in the 2nd interval of 71 - 110. The Interval
categorize the perception of the category quite well. It explained that the assessment and
understanding given or owned by farmers, cattle ranchers on system integration with palm oil
plantations was good enough. That was, the understanding of farmers about the integration
system of beefcatle on oil palm plantation was not fully understand the concept of integration
cattle - palm-ideally yet.

Keywords : Perception, Integration, Beef Cattle, Palm Oil.

PENDAHULUAN

Dalam konsep SISKA, pemeliharaan sapi dengan kelapa sawit akan terjadi
simbiosismutualisme, dimana sapi dengan kelapa sawit akan saling memberikan keuntungan atau
manfaat untuk kelestariannya. Ternak sapi akan mendapatkan sumber hijauan dari lingkungan
kelapa sawit, baik itu rumput-rumput yang tumbuh mengganggu terhadap tanaman (gulma)
ataupun limbah dari hasil pemangkasan kelapa sawit seperti daun, pelepah, dan tandan kosong
untuk memenuhi kebutuhan serat kasarnya. Sebaliknya kelapa sawit dapat tumbuh subur akibat
dari sumbangan ternak sapi berupa pupuk organik yang mampu mengubah sifat fisik tanah
dengan meningkatkan unsur hara tanah dan memperbaiki struktur tanah sehingga menjadi lebih
baik. Dengan adanya peningkatan sifat fisik tanah diharapkan tanaman kelapa sawit mengalami

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 77

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

peningkatan produksi. Selain itu, ternak sapi berpotensi digunakan untuk mengangkut buah
kelapa sawit dari dalam areal perkebunan hingga tempat pengumpulan sementara. Adanya ternak
sapi yang dipelihara di dalam kebun kelapa sawit dapat meringankan penggunaan tenaga kerja
manusia, sehingga usaha berlangsung efisien. Dengan demikian SISKA merupakan suatu pola
dalam usaha tani – ternak dengan kebun kelapa sawit. Apabila pola tersebut dilakukan dengan
baik akan dapat meningkatkan efisiensi usaha. Selanjutnya usaha tani yang efisien diharapkan
mampu meningkatkan penghasilan petani yang pada gilirannya dapat meningkatkan
kesejahteraan petani yang melakukannya (Manti dkk, 2003)

Kabupaten Dharmasraya merupakan suatu wilayah yang mayoritas penduduknya adalah
petani, khususnya petani sawit. Menurut data Profil wilayah (2010) penduduk yang
matapencarian utamanya bertani ialah sebanyak 60.75%, dan lebih dari 50% luas daerah
dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit. Selain dari berkebun kelapa sawit mereka juga
beternak sapi pada lahan yang sama. Hal tersebut sesuai dengan pola integrasi sapi dengan
kelapa sawit. Tetapi pada pelaksanaan pola integrasi yang dilakukan oleh petani – peternak
belumlah sesuai dengan konsep integrasi yang sebenarnya. Pada umumnya mereka hanya
memanfaatkan gulma yang tumbuh di areal perkebunan, tanpa memanfaatkan hijauan dari
limbah perkebunan seperti daun, pelepah, dan tandan kosong kelapa sawit yang diberikan
perlakuan khusus agar kemudian dijadikan sebagai makanan ternak.

Berdasarkan keterangan di atas, ada pertanyaan umum yang harus dicarikan jawabannya,
yaitu apakah petani sawit yang memelihara sapi di dalam kebun kelapa sawit didasari oleh
persepi yang baik tentang sistem integrasi sapi – sawit. Pertanyaan ini perlu dijawab berdasarkan
pada pemahaman bahwa tindakan seseorang terhadap sesuatu hal didasari oleh persepsinya yang
berkenaan dengan hal tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukanlah penelitian dengan judul “Persepsi Peternak
Tentang Sistem Integrasi Sapi – Sawit di Kabupaten Dharmasraya.”dengan rumusan masaah
adalah‖Bagaimana persepsi peternak tentang sistem integrasi sapi – sawit di Kabupaten
Dharmasraya?‖
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui persepsi peternak tentang sistem integrasi sapi – sawit di Kabupaten
Dharmasraya.

MATERI DAN METODE

Jenis penelitian ini merupakan survei (survey studies) dengan metoda pengumpulan
wawancara (interview).
Variabel Penelitian

Untuk menjawab tujuan penelitian pertama, persepsi peternak tentang sistem integrasi sapi –
kelapa sawit dilihat dari tiga aspek, yaitu:
(1) Aspek ekonomi pada sistem integrasi sapi – sawit
(2) Aspek ekologi pada sistem integras sapi – sawit
(3) Aspek efisiensi memelihara sapi di dalam kebun kelapa sawit

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 78

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

Analisis Data Penelitian

Pengukuran persepsi berdasarkan skor yang ditentukan dengan menggunakan skala

Likert. Berdasarkan pada jarak interval skor yang diperoleh dapat ditentukan kategori persepsi
peternak tentang sistem integrasi sapi – sawit adalah

Interval Skor Kategori
31—70 Tidak Baik
71—110 Cukup Baik
111—150 Baik

Jika dilihat persepsi peternak pada masing-masing aspek, maka interval skor adalah

selisih antara skor tertinggi dalam satu aspek, yaitu 50 dengan skor terendah dalam satu aspek,

yaitu 10.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persepsi Peternak Tentang Sistem Integrasi Sapi – Sawit
Persepsi peternak tentang sistem integrasi sapi – sawit ini ditinjau dari aspek ekonomi,

aspek ekologi, dan aspek efisiensi memelihara sapi di dalam kebun kelapa sawit. Dari masing-

masing aspek tersebut memberikan penjelasan terhadap penilaian dan pemahaman yang

diberikan oleh narasumber (responden) tentang sistem integrasi sapi dengan tanaman kebun

kelapa sawit. Berdasarkan pada hasil yang didapatkan dari hasil perhitungan dengan cara skoring
pada skala Likert, didapatkan nilai rataan skor 105,30 dalam interval ke-2, yaitu 71 – 110.
a. Persepsi Peternak Tentang Sistem Integrasi Sapi – Sawit dari Aspek Ekonomi

Dari hasil pengukuran persepsi dengan menggunakan skala Likert, didapatkan persepsi
responden tentang sistem integrasi sapi – sawit berdasarkan pada aspek ekonomi tergolong baik.

Persepsi yang baik dari responden tersebut ditunjukkan dari rataan skor skala Likert, yaitu 37.5
yang berada pada tepi bawah interval 37 – 50 yang dikategorikan sebagai persepsi yang baik.

Persepsi yang baik dari responden tentang pola integrasi sapi dengan kelapa sawit terhadap aspek

ekonominya muncul dari penilaian yang baik pula dari responden. Di samping itu, responden
yang dilakukan wawancara, juga menyatakan bahwasanya dengan pola integrasi sapi – sawit

mereka merasakan adanya keuntungan yang diperoleh dari segi ekonomi dari sistem integrasi.
b. Persepsi Peternak Tentang Sistem Integrasi Sapi – Sawit dari Aspek Ekologi

Berdasarkan hasil pengukuran skala Likert mengenai persepsi peternak tentang sistem
integrasi sapi – sawit dari aspek ekonomi, didapatkan persepsi responden tentang pola integrasi
sapi – sawit yang ditinjau dari aspek ekologi tergolong cukup baik. Persespi responden yang
cukup baik didasarkan pada rataan skor, yaitu 32,08 (80%) yang berada pada interval skor 24 –

36. Dapat diartikan bahwa pada umumnya responden tidak memahami sepenuhnya manfaat yang
dapat diperoleh dari sistem integrasi sapi – sawit. Hanya sebagian dari sistem integrasi yang

dapat dipahami responden terhadap manfaat ekologi pola integrasi sapi dengan kelapa sawit.

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 79

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

c. Persepsi Peternak Tentang Sistem Integrasi Sapi – Sawit dari Aspek Efisiensi
Memelihara Sapi di dalam Kebun Kelapa Sawit
Berdasarkan dari pengukuran skala Likert mengenai persepsi peternak tentang sistem

integrasi sapi – sawit dari aspek efisiensi memelihara sapi di dalam kebun kelapa sawit,
didapatkan persepsi peternak tentang sisem integrasi sapi – sawit tergolong cukup baik. Persepsi
cukup baik tersebut dijelaskan dari rataan skor yang diperoleh dari skala Likert, yaitu 33,38 yang
berada pada interval 24 – 36. Artinya responden belum sepenuhnya memahami manfaat yang
dapat diberikan oleh sistem integrasi sapi – sawit dari aspek efisiensi memelihara sapi di dalam
areal perkebunan kelapa sawit dengan baik.

Pemahaman responden yang demikian disampaikan di atas terlihat pada hasil wawancara
peneliti dengan responden. Sebanyak 85% responden setuju dengan integrasi pemeliharaan sapi
dengan sawit dapat terjadi penghematan penggunaan tenaga kerja. Bahkan 2,5% menyatakan
sangat setuju dengan hal tersebut. Tetapi pada pernyataan pemeliharaan sapi di dalam kebun
kelapa sawit tidak akan menghemat tenaga kerja, karena pekerjaannya masing-masing
memperlihatkan ketidakkonsistenan responden dengan pernyataan sebelumnya. Dari tabel 8
menjelaskan bahwa responden penelitian mempunyai persepsi cukup baik tentang sistem
integrasi sapi – sawit bila dilihat dari aspek efisiensi memelihara sapi di dalam kebun kelapa
sawit, yaitu sebanyak 77,5%. Sedangkan responden yang mempunyai persepsi baik tentang
sistem integrasi sebanyak 22,5%. Dapat disimpulkan bahwa pada umumnya dari aspek efisiensi
memelihara sapi di dalam kebun kelapa sawit responden tidak memahami dengan baik atau tidak
memahami dengan baik pola integrasi sapi – sawit secara menyeluruh.

Dari ketiga aspek yang dilihat dari pola integrasi sapi dengan kelapa sawit menunjukkan
peternak yang ada di Kkabupaten ini mempunyai persepsi yang cukup baik tentang sistem
integrasi sapi – sawit. Persepsi peternak yang cukup baik menggambarkan bahwa pemahaman
peternak tentang sistem integrasi sapi dengan kelapa sawit masih kurang. Sehingga pandangan
peternak tentang pola integrasi didapatkan hanya dari pengalamannya dalam memelihara sapi di
areal perkebunan kelapa sawit. Informasi yang diterima peternak untuk melakukan usaha tani
terpadu ini tidak didapatkan dari Dinas terkait yang selayaknya memberikan penyuluhan
mengenai sistem integrasi ini. Mereka melakukan pemeliharaan sapi di areal perkebunan atas
dasar inisiatif atau melihat peternak lain yang merasakan keringanan yang dapat diperoleh dari
memelihara sapi di dalam kebun sawit. Namun mereka tidak memahami secara keseluruhan
manfaat yang dapat diperoleh dari pola integrasi sapi dengan kelapa sawit. Hal itulah yang
menyebabkan kuranganya pemahaman peternak mengenai sistem integrasi sapi – sawit.

KESIMPULAN

Persepsi peternak Nagari Padang Laweh Kecamatan Padang Laweh cukup baik tentang
sistem integrasi sapi – sawit. Hasil yang didapatkan dari hasil perhitungan dengan cara skoring
pada skala Likert, didapatkan nilai rataan skor 105,30 dalam interval ke-2, yaitu 71 – 110.
Interval tersebut mengkategorikan persepsi pada kategori cukup baik. Hal tersebut menjelaskan
bahwa penilaian dan pemahaman yang diberikan atau dimiliki petani-peternak tentang sistem

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 80

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

integrasi sapi dengan kebun kelapa sawit ialah cukup baik. Artinya, pemahaman petani-peternak
mengenai sistem integrasi sapi –sawit belumlah memahami sepenuhnya konsep integrasi sapi –
sawit se-idealnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2009. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
BPS. 2011. Dharmasraya Dalam Angka – Dharmasraya In Figures. Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah Kabupaten Dharmasraya. Dharmasraya.
Diwyanto, K, Prawiradiputra B.R., dan Lubis D. 2001. ―Integrasi Tanaman Ternak Dalam

Pengembangan Agribisnis Yang Berdaya Saing‖, Berkelanjutan Dan Berkerakyatan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Manti, I., Azmi, Priyotomo E. Sitompul D. 2003. ―Kajian Sosial Ekonomi Sistem Integrasi Sapi
Dengan Kelapa Sawit (SISKA)‖. Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit – Sapi. Balai
Pengkajian Teknlogi Pertanian Bengkulu, PT Agricinal.
.Profil Nagari Padang Laweh. 2010. Gambaran Profil Nagari Padang Laweh Tahun 2010. Wali
Nagari Padang Laweh. Kecamatan Padang Laweh. Kabupaten Dharmasraya.
Psychologymania. 2011. ―Persepsi‖. http://www.psychologymania.com/2011/08/pengertian-
persepsi.html. Diunduh 03 Maret 2013.
Sarwono, S. W. 2011. Teori-teori Psikologi Sosial. Cetakan Ke-15. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.Pasuruan. 67184.
Wikipedia.Org. 2013. ―Persepsi‖. http://id.wikipedia.org/wiki/persepsi. Diunduh 26 Maret 2013.

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 81

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

ADOPSI INOVASI PADA TEKNIS PEMELIHARAAN USAHA
PETERNAKAN DI SITIUNG, SUMATERA BARAT

Winda Sartika, Basril Basyar dan Ediset

Fakultas Peternakan Universitas Andalas
Email : [email protected]

ABSTRAK

Peningkatan jumlah populasi ternak pada dasarnya ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya
penerapan aspek teknis pemeliharaan pada usaha peternakan seperti bibit, pakan, tatalaksana
pemeliharaan, pencegahan penyakit dan pemasaran. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
adopsi inovasi pada teknis pemeliharaan usaha peternakan di Sitiung. Metode yang digunakan
adalah metode survey, sampel ditentukan dengan formula slovin berdasarkan teknik Cluster
random sampling sehingga diperoleh sampel sebanyak 98 peternak. Analisa data dilakukan
secara deskriptif dengan bantuan tabel untuk tabulasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
adopsi inovasi pada aspek teknis pemeliharaan usaha peternakan di Sitiung masih perlu
ditingkatkan. Penerapan inovasi tertinggi terlihat pada teknis pakan ternak (72,93%) sedangkan
penerapan inovasi terendah berada pada sistem pemasaran (0,22%).
Kata kunci : adopsi inovasi, usaha peternakan, Sitiung

PENDAHULUAN

Sitiungm erupakan salah satu desa atau daerah transmigrasi yang terletak di Provinsi
Sumatera Barat yang mata pencarian penduduknya rata-rata berasal dari usaha pertanian seperti
bertani dan beternak. Pada umumnya pemeliharaan ternak di kabupaten Dharmasraya baik itu
ternak besar maupun ternak kecil dilakukan secara semi intensif dan bersifat usaha sambilan
sehingga pertambahan populasi ternak dari tahun ke tahun masih rendah. Kondisi usaha
peternakana yang seperti ini perlu mendapatkan dukungan dari stakeholders terkait agar dapat
meningkatkan jumlah populasi ternak yang mereka pelihara.

Peningkatan populasi pada dasarnya ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya penerapan
inovasi baru pada usaha peternakan seperti inovasi yang berkaitan dengan teknis pemeliharaan
ternak seperti inovasi bibit, inovasi pakan, inovasi perkandangan, tatalaksanan pemeliharaan dan
pemasaran. Dengan adanya inovasi-inovasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan jumlah
populasi serta kesejahteraan peternak.

Penerapan inovasi diatas juga perlu di dukung oleh program pemerintahan yang sesuai.
Salah satu program yang biasa dilakukan dalam membangun sub sektor peternakan adalah
penyuluhan. Penyuluhan diartikan sebagai suatu sistem pendidikan luar sekolah untuk para
peternak dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu, sanggup berswadaya untuk
memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya sendiri serta masyarakat (Syahyuti,
2006). Penyuluhan merupakan salah satu upaya pemerintah yang memiliki peranan penting

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 82

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

dalam meningkatkan pengetahuan peternak dalam pembangunan pertanian khususnya
peternakan. Peranan penyuluh tidak hanya menyampaikan informasi kepada petani-peternak
tetapi juga harus mampu menambah, mengubah, dan membangun aspek-aspek pengetahuan
(Kognitif), sikap (Afektif), dan keterampilan petani-peternak (Pyhsikomotorik) sehingga mampu
beternak dan berusaha ternak yang lebih baik dan menguntungkan.

Proses penyuluhan yang dilakukan pada peternak pada gilirannya adalah bertujuan untuk
merubah perilaku peternak itu sendiri atau mengadopsi inovasi yang ditawarkan, artinya dari
tidak menerima suatu inovasi menjadi menerima inovasi atau dari tidak menerapakan akhirnya
menerapakan inovasi yang ditawarkan baik itu pada tingkatan pengetahuan (Kognitif), sikap
(Afektif) maupun pada tingkatan keterampilan (Physikomotorik).

MATERI DAN METODA

Penelitian ini dilaksanakan di Nagari Sitiung Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat pada
tahun 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Rumah Tangga Peternak di Kecamatan
Sitiung berdasarkan populasi terbanyak dan Rumah Tangga Peternak terbanyak (RTP). yaitu
5.425 RTP. Dari populasi 5.425 RTP akan diambil sampel sebanyak 98 sampel, pengambilan
besarnya sampel ditentukan dengan formula Slovin ( Agustar, 1996 ) sebagai berikut :

n= N n= 5.425 = 5.425 = 5.425 n = 98,2

1 Ne2 1  (5.425)( 0,1)2 1  54,25 55,25

Dimana :
n = Jumlah Sampel
N = Jumlah Populasi keseluruhan peternak
e = Batas ketelitian yang diinginkan (10% )

Penelitian ini menggunakan metode survei. Data primer dikumpulkan melalui wawancara
langsung dengan petani peternak yang menjadi sampel dengan menggunakan daftar pertanyaan
yang terpola dan terstruktur tentang usaha ternak apa saja sudah mendapat inovasi pada teknis
pemeliharaan usaha peternakannya (bibit, pakan, kandang dan tatalaksana pemeliharaan,
pencegahan penyakit serta pemasaran). Analisa data dilakukan dengan tabulasi (persentase dan
angka), gambar dan kalimat kemudian dilakukan analisis secara deskriptif kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Adopsi Inovasi pada Bibit
Penerapan inovasi yang terkait dengan bibit dilihat berdasarkan jenis ternak yang

diusahakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh peternak ayam ras (broiler) sudah
menerapkan inovasi pada bibit, seperti seleksi bibit, varietas unggul, kesehatan fisik bibit, serta
bangsa asal dari bibit tersebut berasal. Peternak ayam ras broier juga melakukan adopsi inovasi
yang berkaitan dengan bibit tidak terlepas dari tujuan usaha dan skala usaha peternakan yang
mereka lakukan, di Sitiung usaha peternakan ayam ras dilakukan untuk tujuan orientasi bisnis
dan sudah dalam skala yang besar.

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 83

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

Adopsi inovasi yang paling rendah penerapannya pada bibit berdasarkan hasil penelitian
adalah pada usaha ternak kambing yaitu sebesar 44.44%. Hal ini disebabkan sebagian besar
usaha peternakan yang dilakukan masih bersifat semi intensif, itu artinya usaha peternakan
kambing yang dilakukan masih kurang mengandalkan curahan tenaga manusia dalam
mengurusnya serta rendahnya penggunaan inovasi-inovasi yang berkaitan dengan aspek bibit.
Rasyaf (2004) mengemukakan bahwa penduduk di pedesaan banyak melakukan sistem
pemeliharaan ekstensif dan semi intensif, hal ini dipengaruhi oleh faktor sosial dan pengetahuan
masyarakat desa yang masih kurang dalam memahami cara pemeliharaan ternak.

Tabel 1. Penerapan Inovasi pada Aspek Teknis Pemeliharaan Usaha Peternakan

No Jenis Penerapan Inovasi Sapi Ayam Kambin Kerba Ayam Rata-
(%) Buras g (%) u (%) Ras rata (%)

(%) (%) 66.14
72.93
1 Bibit 54.84 61.43 44.44 70 100
58.11
2 Pakan 65.81 88.84 40 70 100 55.56
Perkandangan dan 58.06 71.79 62.50 56.25 100 0.22

3 Tatalaksana

4 Pencegahan Penyakit 50.00 29.17 52.78 62.50 83.33

5 Pemasaran 1.08 0 0 00

Adopsi Inovasi Pada Pakan
Hasil penelitian memperlihat bahwa inovasi pada pakan banyak diterapkan pada usaha

peternakan ayam ras (broiler) dimana semua peternak sudah menerapkan inovasi yang terkait
dengan pakan seperti jenis pakan, kandungan unsur pakan, cara pemberian pakan serta frekuensi
pemberian pakan. Kondisi ini membuktikan bahwa bila suatu usaha sudah bersifat komersil,
maka usaha tersebut akan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan didukung oleh penerapan
inovasi yang relevan. Usaha peternakan ayam ras (broiler) yang dilakukan didaerah penelitian
sudah bersifat komersil dan berorientasi profit, oleh karena itu pada aspek pakan sudah dilakukan
adopsi inovasi yang sesuai, karena secara teoritis biaya pakan merupakan salah satu biaya
produksi yang cukup besar dan harus benar-benar diperhatikan..

Inovasi pada aspek pakan yang masih rendah penerapannya di temui pada usaha ternak
kambing, dimana penerapan inovasi yang berkaitan dengan pakan pada usaha peternakan
kambing sebesar 40%. Rendahnya penerapan inovasi pada aspek pakan adalah disebabkan oleh
sistem pemeliharaan yang masih sederhana, disamping itu peternak beranggapan bahwa pakan
untuk ternak kambing bisa dipenuhi dengan melepaskan ternak keluar kandang dengan
memanfaatkan hijauan yang tersedia.
Adopsi Inovasi Pada Kandang dan Tatalaksana Pemeliharaan

Kandang pada dasarnya bertujuan untuk melindungi ternak yang dipelihara dari musuh,
dari sinar matahari yang terik dan untuk memberikan kenyamanan pada ternak yang dipelihara.
Keberadaan kandang sangat penting artinya bagi ternak yang dipelihara, oleh karena itu kandang
merupakan bagian penting dalam melakukan suatu usaha peternakan.

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 84

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada usaha peternakan ayam ras (broiler), adopsi
inovasi terkait dengan kandang, seperti jarak kandang, konstruksi, bahan, serta ukuran kandang
sudah diterapkan oleh sebagian besar peternak, sedangkan pada usaha peternakan kerbau tingkat
penerapan inovasi yang berkaitan dengan kandang tingkat penerapannya masih rendah.
Rendahnya penerapan inovasi pada ternak kerbau karena pemeliharaan yang bersifat sambilan.
Inovasi untuk tatalaksana pemeliharaan pada usaha peternakan kerbau juga masih rendah, karena
ternak kerbau pada siang hari selalu dilepas dipadang penggembalaan tanpa dicarikan rumput
tambahan untuk pakan pada malam hari. Sistem perkawinan yang dilakukan belum mengadopsi
inovasi Inseminasi Buatan (IB) dan masih menggunakan perkawinan alami dengan pejantan.
Adopsi Inovasi Pencegahan Penyakit

Penyakit pada suatu usaha peternakan adalah faktor penting yang harus mendapat
perhatian serius, karena apabila faktor ini tidak diperhatikan akan menyebabkan kerugian secara
ekonomis. Penyakit pada ternak biasanya akan cepat menular dari satu ternak ke ternak
berikutnya karena ternak pada dasarnya hidup berkoloni. Kondisi ini bisa diantisipasi dengan
penerapan beberapa inovasi, seperti sanitasi, vaksinasi, karantina dan isolasi. Inovasi sanitasi,
vaksinasi dan karantina dapat diterapkan sebagi upaya untuk pencegahan terhadap serangan
penyakit sedangkan isolasi dilakukan sebagai tindakan untuk menghindari penularan suatu
penyakit dari satu ternak yang terjangkit terhadap ternak yang lain.

Hasil penelitian terhadap inovasi yang berkaitan dengan kesehatan ternak ini berbeda
berdasarkan jenis ternak yang dipelihara, dimana penerapan inovasi yang paling tinggi terjadi
pada usaha peternakan ayam ras (broiler) yaitu sebesar 83.33%, hal ini disebabkan karena usaha
yang dilakukan sudah dikelola dengan baik serta pengetahuan peternak yang cukup baik terhadap
berbagai macam jenis penyakit. Fakta yang ada pada usaha peternakan ayam ras (broiler) diatas
bertolak belakang dengan kondisi yang ada pada usaha peternakan ayam buras/ayam kampung,
dimana pada usaha peternakan ayam buras penerapan inovasi yang berkaitan dengan pencegahan
penyakit masih rendah yaitu 29.17%. Hal ini dikarenakan usaha yang dilakukan hanya bersifat
sambilan, sehingga ternak ayam yang sakit akan diberi obat secara tradisional saja.

Peternak dapat menghindari terjadinya serangan penyakit pada ayam tersebut dengan
melakukan tindakan pencegahan seperti dengan penerapan inovasi vaksinasi yang dilakukan
secara berkala, penerapan inovasi sanitasi dengan membersihkan kadang ternak secara periodik
serta penerapan kandang karantina secara konsisten terhadap ternak yang baru datang. Hal ini
sesuai dengan pendapat Abidin (2006) bahwa pencegahan penyakit dilakukan dengan kandang
karantina, menjaga kebersihan sapi bakalan dan kandang, serta melakukan vaksinasi secara
berkala.
Adopsi Inovasi Pada Pemasaran

novasi pada pemasaran seperti penjualan melalui koordinasi kelompok, pertukaran,
mengidentifikasi pelanggan serta basis pelanggan dapat diterapkan oleh peternak guna
meningkatkan penghasilan usahanya. Hasil penelitian di daerah penelitian memperlihatkan
bahwa penerapan inovasi yang berkaitan dengan pemasaran masih sangat rendah bahkan pada
beberapa jenis usaha peternakan seperti usaha ternak kerbau, usaha ternak kambing, usaha ternak

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 85

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

ayam ras (broiler) dan ayam buras belum diterapkan sama sekali, sedangkan pada usaha
peternakan sapi meskipun sudah diterapkan namun masih sangat minim yaitu sebesar 0.22%.
Jika hal ini berlangsung terus menerus maka kesejahteraan peternak akan sulit untuk
ditingkatkan. Kotler (2002) pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial dimana individu
dan kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan menciptakan, menawarkan dan bertukar
produk yang bernilai dengan pihak lain. Menurut Bulu et al. (2009) dalam Anggriyani et al
(2012) menyatakan bahwa kepercayaan petani terhadap inovasi yang disampaikan sumber
informasi akan lebih kuat jika inovasi yang di introduksi itu tersedia dan mudah dijangkau petani
serta tersedia pasar yang dapat menampung hasil produksi.

KESIMPULAN

Penerapan inovasi pada aspek teknis pemeliharaan usaha peternakan di Sitiung masih perlu
ditingkatkan. Nilai rata-rata penerapan inovasi pada aspek pakan dan bibit cukup baik yaitu
72,93% dan 66,14%. Sedangkan penerapan inovasi pada aspek perkandangan dan tatalaksana
pemeliharaan sebesar 58,11% pencegahan penyakit (55,56%) dan pemasaran (0,22%) masih
cukup rendah serta perlu diperhatikan lebih lanjut oleh peternak guna untuk meningkatkan masa
depan usaha serta kesejahteraan peternak.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2006. Penggemukan Sapi Potong. PT Agromedia Pustaka, Jakarta.
Agustar, A. 1999. Paradigma Baru Pembangunan Peternakan dan Kendala Penerapan

Kebijaksanaan Pemerintah. Makalah Pada Seminar Pembangunan Peternakan Sumatera
Barat Di POLITANI. Universitas Andalas .anggal 1 Desember.
Anggriyani, E, Trisakti H, dan Suharjono T. 2012. Pengetahuan, Afeksi, dan inovasi Pengolahan

Kotoran Ternak Menjadi Kompos pada Kelompok Peternak Sapi Potong di Kabupaten
Bantul. Buletin Peternakan Universitas Gajah Mada, Vol. 36 (2), hal 141-149,
Kotler, Philip. 2002. Manajemen Pemasaran. PT Prebalindo, Jakarta.
Rasyaf, M. 2004. Beternak Ayam Kampung, cetakan ke-28. Penebar Swadaya, Jakarta.
Syahyuti. 2006. Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. PT. Bina Rina
Pariwar, Jakarta

UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Hibah Bersaing Tahun 2014 yang di danai
dengan Dana DP2M dari Dikti Tahun Anggaran 2014. Penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Dikti, LPPM Unand dan Fakultas Peternakan Unand yang telah
memberikan kepercayaan untuk melaksanakan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini bisa
memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Amin

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 86

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

PENGARUH KARAKTERISTIK PETERNAK TERHADAP KEPUTUSAN
PEMBIAYAAN USAHA BROILER MELALUI KEMITRAAN DI
KABUPATEN PADANG PARIAMAN

(The Influence of Breeders Characteristics Against Decision Business Financing Through
Partnership System in Padang Pariaman)

Dwi Yuzaria, Ikhsan Rias, dan Mulina Wati

Pembangunan & Bisnis Peternakan Fakultas Peternakan Unand
Email korespondensi: [email protected]

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik peternak yaitu umur, pendidikan,
pengalaman usaha (lama usaha), kemampuan mengambil resiko dan sikap tentang manfaat
hutang terhadap keputusan pembiayaan melalui kemitraan dengan PT Ciomas Adisatwa di
Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam. Penelitian ini dilakukan dengan metoda survey secara sensus
terhadap 50 orang peternak broiler di lokasi penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan (1)
menggunakan kuesioner yang sebagiannya dengan menggunakan skala likert untuk faktor
kemampuan mengambil resiko dan sikap terhadap manfaat hutang, (2) wawancara mendalam
dan (3) observasi pada satu periode produksi selama 32 hari (1Agustus-1September 2015). Alat
analisis menggunakan rentang skala dan penetapan score untuk variable kualitatif dan
menggunakan alat analisis regressi logit untuk melihat pengaruh masing-masing karakteristik
terhadap keputusan pembiayaan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa faktor pendidikan,
pengalaman usaha dan sikap terhadap manfaat hutang berpengaruh positif, sementara umur dan
kemampuan mengambil resiko berpengaruh negative terhadap keputusan pembiayaan melalui
kemitraan atau mandiri.

Kata kunci: Broiler, Kemitraan, karakteristik peternak, Keputusan pembiayaan

ABSTRACT

The aimed of this study to analyze the characteristics of breeders such as age, education,
business experience (old business), the ability to take risks and attitudes towards the benefits of
debt to finance decisions through a partnership with PT Ciomas Adisatwa in District of Kayu
Tanam. This research was conducted by survey methods, census of 50 broiler breeder at the sites.
The data collection is done in 3 ways: (1) using a questionnaire that partly by using Likert scale
factor for the ability to take risks and attitudes towards the benefits of debt, (2) in-depth
interviews and (3) observation on a production period of 32 days from 1 August to September 1,
2015. The analysis tool uses a range of scales and determining scores for qualitative variables
and using a logit regression analysis to see the effect of each characteristic on financing
decisions. The study concluded that the factors of education, business experience and attitudes

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 87

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

towards the benefits payable positive effect, while the age and ability to take the risk of a
negative effect on financing decisions through a partnership or independently.
Keywords: Broiler, partnership, farmer characteristic, financing decisions

PENDAHULUAN

Usaha mikro subsektor peternakan unggas pedaging (broiler) di Kabupaten Padang
Pariaman pada umumnya bercirikan pengusaha dan pekerja berpendidikan rendah, penguasaan
lahan sempit, kepemilikan ayam broiler sedikit, alat produksi sederhana, sering menghadapi
kendala permodalan dan tidak mempunyai akses terhadap permodalan perbankan konvensional.
Sumber pembiayaan melalui kemitraan usaha mempunyai peluang cukup besar bagi peternak
sebagai sumber pembiayaan. Menurut Hafsah (2000) kemitraan merupakan suatu strategi bisnis
yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan
bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan.

Ada beberapa perusahaan produsen input yang melakukan sistem kemitraan di Kabupaten
Padang Pariaman, antara lain PT. Japfa Comfeed dengan beberapa anak perusahaannya dan PT.
Charoen Pohkpand. Peternak unggas di daerah ini cukup sulit menentukan perusahaan mana
yang akan dipilih sebagai mitra, karena masing-masing perusahaan menawarkan keunggulan dan
persyaratan yang berbeda. Suatu keputusan yang diambil seseorang akan sangat bergantung
pada keluasan wawasannya terhadap sesuatu hal. Menurut Cassar (2004), keputusan yang
diambil seseorang yang melekat sangat berpengaruh seperti umur, tingkat pendidikan, jenis
kelamin dan pengalaman. Sedangkan menurut Romano et al (2000) keputusan pembiayaan
dipengaruhi oleh jiwa kewirausahaan, tanggap terhadap resiko, skala usaha dan struktur usaha
yang dimiliki.

Peternak broiler di lokasi penelitian Kecamatan 2x11 Kayu Tanam, rata-rata berusia
muda, diduga belum memiliki pengalaman manajemen usaha yang cukup untuk berproduksi
baik. Peternak dengan usia muda dan pengalaman yang rendah pada umumnya kemampuan
kerjanya masih rendah, serta pola pikir yang masih rancu dalam mengambil keputusan
pembiayaan, apakah akan menggunakan biaya sendiri atau dengan kemitraan sebagai sumber
permodalan usahanya. Menurut Hidayat (2007) semakin lama pengalaman seorang peternak
maka semakin terampil dalam menjalankan dan mengelola usahanya. Peternak berpendidikan
rendah, SMP dan SMA, dan belum memiliki pemikiran matang dan wawasan yang luas dalam
berusaha. Oleh karena itu peternak kurang berani dalam menghadapi resiko dan kurang
memahami tentang manfaat dari hutang. Kondisi ini diduga berpengaruh terhadap pengambilan
keputusan pembiayaan untuk pengembangan usahanya.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilakukan dengan metode survey dan menggunakan kuesioner sebagai
instrument utama untuk mengumpulkan data. Responden diambil secara sensus artinya semua
peternak ayam broiler yang ada di Kecamatan 2x11 Kayu Tanam, baik peternak dengan sistim
kemitraan maupun peternak dengan pembiayaan mandiri diambil sebagai sumber data primer.

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 88

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

Peternak ayam broiler sistim kemitraan yang diambil adalah peternak yang bermitra dengan PT.

Ciomas Adisatwa. Hal ini dilakukan karena perusahaan inti lainnya tidak bersedia dijadikan

responden. Jumlah peternak yang menjadi responden sebanyak 50 peternak. Untuk variable X4
(kemampuan mengambil resiko dan X5 (sikap terhadap manfaat hutang) data menggunakan skala
likert yang dibagi dalam 3 rentang skala yaitu menghindari, menghadapi dan menantang resiko

serta menghindari hutang, berhutang dengan resiko kecil dan berani berhutang. Analisis data

menggunakan regressi logit dengan rumus (Kuncoro 2004) sebagai berikut :

Prob = 0 = 1
1+exp + 1 1+ 2 2+ 3 3+ 4 4+ 5 5

Y = Peluang Keputusan penggunaan sumber pembiayaan 0=tidak bermitra, 1=bermitra

b1-n = Delta kenaikan atau penurunan X (koefisien regresi)
X1 = Umur
X2 = Tingkat pendidikan
X3 = Pengalaman Beternak
X4 = Kemampuan mengambil risiko
X5 = Sikap terhadap manfaat hutang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Populasi ayam yang dipelihara peternak mandiri di Kecamatan 2x11 Kayu Tanam
Kabupaten Padang Pariaman paling tinggi berkisar 1000-6.200 ekor, sedangkan peternak yang
bermitra berkisar 3.500-10.000 ekor. Menggunakan bentuk kandang panggung, berlantai dua
untuk menghemat biaya pembuatan kandang. Hasil analisis data menggunakan SPSS diperoleh
hasil yang terlihat pada Tabel 1, yang merupakan gambaran pengaruh karakteristik peternak
terhadap keputusan pembiayaan dengan kemitraan.

Tabel 1. Variables in the Equation 95.0% C.I.for EXF (B)
B S.E Wald Df Sig. Exp (B)
Lower Upper
Step1a X1 -.037 .047 .615 1 .433 .964
X2 .439 .202 4.702 1 .030 1.551 .880 1.056
X3 .961 .392 5.997 1 .014 2.613
X4 -3.287 1.500 4.805 1 .028 .037 1.043 2.306
X5 3.367 1.304 6.669 1 .010 28.990
1.211 5.637
Constant -5.136 3.302 2.420 1 .120 .006
Sumber : Hasil Pengolahan data penelitian dengan SPSS .002 .706

2.251 373.282

Berdasarkan Table 1 dapat dituliskan persamaan:

Prob y=0 = 1

1+exp (-5,136-0,037X1+0,439X2+0,961X3-3,287X4+3,367X5)

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 89

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

Dan persamaan regressi logitnya seperti berikut ini :

Ln Y= -5,136 - 0,037 X1 + 0,439 X2 + 0,961 X3 -3,287 X4 + 3,367 X5

Faktor umur (X1) tidak berpengaruh terhadap keputusan pembiayaan dilihat dari angka
odd ratio 0,964<1, sehingga koefisien regressi bertanda negatif -0,037 dan angka signifikansi
0,433>0,05 atau dengan kata lain peternak memiliki kebebasan untuk memilih bermitra atau
tidak bermitra. Faktor pendidikan (X2) yang dilihat dari lama mendapatkan pendidikan formal
menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembiayaan terlihat dari angka odd
ratio sebesar 1,551>1, koefisien regresi 0,439 artinya 43,9% pendidikan berpengaruh terhadap
keputusan pembiayaan bermitra dengan tingkat signifikansi 0,030<0,05. Artinya, peternak yang
lebih tinggi tingkat pendidikannya akan cenderung memilih sumber pembiayaan kemitraan,
sesuai dengan pendapat Gebru (2009), semakin tinggi tingkat pendidikan pemilik usaha akan
menggunakan hutang yang berasal dari pihak luar di dalam membiayai usahanya. Faktor
pengalaman usaha berpengaruh signifikan (sig 0,014<0,05) dengan angka odd ratio 2.613>1,
sehingga koefisien regresi + 0,961, artinya 96,1% pengalaman usaha berpengaruh terhadap
keputusan bermitra.

Kemampuan mengambil resiko berpengaruh nyata (sig 0,028<0,05), dengan angka odd
ratio sebesar -0,037<1 dan koefisien regressi -3,287, artinya 328,7% menghindari resiko
sehingga memilih untuk bermitra. Menurut Kasmir (2007), kemampuan menghadapi resiko turut
mempengaruhi keputusan dalam pendanaan perusahaan dan ini merupakan salah satu ciri jiwa
kewirausahaan yang melekat pada sebagian besar pengelola usaha kecil.

Faktor sikap terhadap manfaat hutang berpengaruh nyata (sig 0,010< 0,05) dengan odd
ratio sebesar 28,990>1, koefisien regresi +3,367 artinya 336,7%, peternak mengambil sikap
bahwa kemitraan memberikan manfaat terhadap perkembangan usaha. Sesuai dengan pendapat
Romano el al (2000), sikap pengusaha terhadap hutang juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi keputusan pendanaan bagi pengelola usaha mikro, kecil dan menengah. Semakin
peternak memanfaatkan hutang kredit (bermitra) dalam usaha peternakan ayam broiler dan
menambah skala usahanya maka keuntungan yang diperoleh juga semakin besar. Kasmir (2007)
menyatakan bahwa salah satu peranan kredit adalah meningkatkan pendapatan para debitur
apabila kredit tersebut digunakan sebagai modal dalam mengelola usahanya.

KESIMPULAN

Karakteristik peternak yang tidak berpengaruh terhadap keputusan pembiayaan melalui
kemitraan hanya faktor umur, sementara pendidikan, pengalaman usaha, kemampuan
menghadapi resiko dan sikap terhadap manfaat hutang sangat berpengaruh dalam memutuskan
sumber pembiayaan melalui kemitraan untuk mengembangkan usaha ayam broiler di Kecamatan
2x11 Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman.

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 90

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Cassar, G. 2004. The financing of business start-ups. Haas School of Business, University of
California at Berkeley. Berkeley

Gebru, GH. 2009. Financing preferences of micro and small enterprise owners in Tigray: does
POH hold?. Mekelle University.Ethiopia

Hafsah, 2000. Kemitraan Usaha Konsepsi dan Strategis. Penerba Swadaya, Jakarta.
Hidayat, Aceng 2007. Modul Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Kelembagaan. Departemen

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi Manajemen Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Kasmir. 2007. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Edisi enam. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta

Kuncoro, Mudrajad, 2004, Metode Kuantitatif. Edisi kedua.UPP AMP YKPN Yogyakarta.
Romano, C A., Tanewski, G.A., and Smyrnios, K.X. 2000. Capital Struktur Decision Making :

A Model For Familiy Business. Journal of Business Venturing. 16 : 285 – 310.

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 91

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

PRODUKTIVITAS USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG RAKYAT
BERDASARKAN BANGSA SAPI DI JAWA TENGAH

(Beef Cattle Fattening Productivity Based on Cattle Breed in Central Java)

Edy Prasetyo, Titik Ekowati, Wiludjeng Rossali, dan Mukson

Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Kampus Tembalang, Semarang
50275, Indonesia.

E-mail Korespondensi: [email protected]

INTISARI

Penggemukan sapi potong rakyat banyak diusahakan di Provinsi Jawa Tengah dan pada
umumnya belum memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi usaha. Kondisi tersebut apabila
berlanjut akan berdampak negatif terhadap kuantitas produksi yang dihasilkan, dan pendapatan
peternak. Tujuan penelitian adalah: (i) mengkaji kuantitas produksi (pertambahan bobot badan
ternak) pada usaha penggemukan sapi potong rakyat; dan (ii) menganalisis faktor-faktor
produksi yang mempengaruhi kuantitas produksi pada usaha penggemukan sapi potong rakyat.
Penelitian dilakukan pada lima wilayah kabupaten sentra pengembangan sapi potong di Jawa
Tengah (yaitu Kabupaten Blora, Rembang, Grobogan, Wonogiri, dan Kabupaten Boyolali), dan
sebagai elementer unitnya adalah usaha penggemukan sapi potong rakyat. Penelitian
menggunakan metode survai, sedangkan penentuan sampel sebanyak 165 responden dilakukan
menggunakan metode multi stage quota sampling. Data dianalisis menggunakan statistik
deskriptif dan analisis regresi linear berganda (fungsi produksi model Cobb-Douglas). Hasil
penelitian menunjukkan, bahwa rata-rata produktivitas usaha penggemukan sapi potong rakyat
pada bangsa Peranakan Ongole (PO) sebesar 0,41 kg/hari, Persilangan Simental - PO (SPO)
sebesar 0,84 kg/hari, dan Persilangan Limousine – PO (LPO) sebesar 0,94 kg/hari. Kuantitas
produksi (pertambahan bobot badan ternak) dipengaruhi oleh jumlah sapi yang diusahakan,
bobot badan bakalan, lama waktu penggemukan, dan curahan tenaga kerja, sedangkan jumlah
hijauan pakan ternak, dan pakan konsentrat tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot
badan ternak. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa produktivitas usaha penggemukan
sapi potong rakyat masih dalam katagori rendah, hal ini karena usaha penggemukan sapi potong
rakyat masih diusahakan secara tradisional yang tercermin dari jumlah faktor-faktor produksi
yang dialokasikan belum optimal.
Kata kunci: produktivitas, faktor-faktor produksi, sapi potong rakyat.

ABSTRACT

Beef cattle fattening farm most operate in Central Java and farmers commonly have not
been thought yet economically. If that condition is not managed continuously, it will be negative
impact to the quantity and farm income. Aims of research are: 1) to analyze beef cattle quantity
of production (weight gain), 2) to analyze some factors influencing the quantity of production.

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 92

Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia

The research was held in five regions as a center of beef cattle development, namely Blora,
Rembang, Grobogan, Wonogiri and Boyolali. The elementary unit of research is beef cattle
fattening farm. The method of research was survey and the determination of 165 respondents
used multi stage quota sampling. Data were analyzed statistical descriptive and analysis of
multiple linear regression with Cobb Douglas model. The result of research showed that the
productivity of Ongole Grade (PO) beef cattle fattening was 0.41kg/day, Simmental – Ongole
Grade Crossbred (SPO) was 0.84kg/day and Limousine – Ongole Grade Crossbred (LPO)
0.94kg/day. The production quantity (weight gain) was influenced by beef farm scale, the initial
body weight, time of fattening and outflow of working time, while number of forage,
concentrage (dry matter) were not influence to weight gain. Based on the reserch result can be
concluded that productivity of beef cattle fattening was still low. It can be happen because beef
cattle fattening was stiil manage traditionally which it shown from the allocation production
factors have not be optimal yet.
Keywords: Productivty, factors of production, beef cattle.

PENDAHULUAN

Eksistensi usaha penggemukan sapi potong mempunyai arti yang penting, khususnya
dalam rangka pemenuhan pangan hewani asal ternak bagi masyarakat. Penggemukan sapi potong
banyak diusahakan di Provinsi Jawa Tengah, dan lokasinya tersebar dari dataran rendah sampai
dengan dataran tinggi. Sapi potong pada tingkat peternak rakyat pada umumnya diusahakan
sebagai usaha sambilan, sehingga prinsip-prinsip ekonomi termasuk di antaranya penggunaan
faktor-faktor produksi belum/tidak dialokasikan secara efisien. Menurut Prasetyo et al. (2012),
kelemahan yang lain pada sistem peternakan rakyat ialah orientasi usaha yang dilakukan oleh
peternak pada umumnya belum mengarah kepada komersialisasi, sehingga sistem agribisnis
belum diterapkan secara baik. Kondisi tersebut bila berlanjut akan berdampak negatif terhadap
kuantitas produksi, dan pendapatan.

Menurut Lestari et al. (2011), produktivitas usaha sapi potong dapat dilihat dari rata-rata
pertambahan bobot badan (PBB). Tinggi dan rendahnya kuantitas produksi usaha ternak sapi
potong sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas faktor-faktor produksi yang digunakan,
karena faktor-faktor produksi tersebut akan berinteraksi satu sama lain untuk menghasilkan
jumlah produk tertentu. Hubungan faktor-faktor produksi dalam menghasilkan produk
diwujudkan dalam bentuk fungsi produksi. Jumlah produk tertentu dapat dihasilkan dari
penggunaan faktor-faktor produksi dalam berbagai kombinasi. Kombinasi faktor-faktor produksi
yang optimal, akan didapatkan efisiensi usaha yang paling baik.

Tujuan penelitian adalah: (i) mengkaji kuantitas produksi (PBB) pada usaha
penggemukan sapi potong rakyat; dan (ii) menganalisis faktor-faktor produksi yang
mempengaruhi kuantitas produksi pada usaha penggemukan sapi potong rakyat. Hasil penelitian
ini dapat dimanfaatkan sebagai teori (utamanya bidang sosial ekonomi peternakan) dan dapat
diaplikasikan sebagai rekomendasi untuk meningkatkan produktivitas usaha penggemukan sapi
potong pada tingkat peternak rakyat.

Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 93


Click to View FlipBook Version