Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
MATERI DAN METODE
Penelitian dilakukan pada pertengahan 2012 pada lima wilayah kabupaten sentra
pengembangan sapi potong di Jawa Tengah (Kabupaten Blora, Rembang, Grobogan, Wonogiri,
dan Kabupaten Boyolali), dan usaha penggemukan sapi potong rakyat dibakukan sebagai
elementer unit. Penelitian menggunakan metode survai, sedangkan penentuan sampel
menggunakan metode multi stage quota sampling. Jumlah sampel keseluruhan yang diambil
pada lima wilayah kabupaten sebanyak 165 responden. Data empiris dikumpulkan dari sumber
primer yang merupakan data cross section. dan dikumpulkan menggunakan cara wawancara
kepada responden yang berpedoman pada kuesioner yang telah dipersiapkan. Di samping data
primer juga didukung data dari sumber sekunder yang mempunyai relevansi dengan tujuan
penelitian. Data hasil penelitian diolah dengan tahapan editing, koding, dan tabulating sehingga
siap untuk dianalisis. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan analisis regresi linear
berganda (fungsi produksi model Cobb-Douglas).
Pertambahan bobot badan (PBB) ternak merupakan selisih antara bobot badan akhir
penggemukan dengan bobot badan awal penggemukan (bobot badan bakalan). Sedangkan
untuk menganalisis pengaruh penggunaan faktor-faktor produksi terhadap kuantitas produksi
usaha penggemukan sapi potong, dianalisis menggunakan Multiple Linear Regression yang
ditransformasikan menjadi fungsi produksi model Cobb-Douglas.
Fungsi Produksi Model Cobb-Douglas :
Yi = α X1 β1 X2 β2 X3 β3 …………………….. X6 β6 E
Keterangan:
Yi : Pertambahan bobot badan ternak (kg).
α : Konstanta (intercept).
βi : Pada regresi linier berganda βi adalah koefisien regresi.
X1 : Jumlah ternak sapi yang diusahakan (ekor).
X2 : Bobot badan awal (bakalan) sapi potong (kg).
X3 : Lama waktu penggemukan sapi potong (bulan).
X4 : Hijauan pakan ternak sapi potong (ton Bahan Kering/periode).
X5 : Konsentrat sebagai pakan ternak (ton Bahan Kering/perode).
X6 : Pencurahan tenaga kerja (hok).
E : Simpangan stokastik (disturbance term).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penggunaan faktor-faktor produksi pada usaha penggemukan sapi potong adalah penting,
sebab faktor-faktor produksi dalam suatu proses produksi akan memberikan imbalan hasil yang
berupa output bagi pelaku proses produksi. Semakin tinggi kualitas faktor-faktor produksi yang
dialokasikan dalam proses produksi, semakin tinggi pula kuantitas produk usaha ternak yang
dihasilkan. Identifikasi penggunaan faktor-faktor produksi secara rinci seperti pada Tabel 1.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 94
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Tabel 1. Penggunaan Faktor-faktor Produksi pada Usaha Penggemukan Sapi Potong
Rakyat/Periode Produksi
No. Unsur-unsur Identifikasi Bangsa Sapi LPO Rata-
PO SPO 4,40 rata
1. Rata-rata jumlah sapi/ 3,08
usaha penggemukan (ekor) 2,18 3,38
2. Bobot badan awal sapi 272,53 315,67 350,70 310,81
bakalan (kg)
10,34 6,78 6,68 7,82
3. Rata-rata lama waktu peng-
gemukan/periode (bulan) 7,28 9,05 10,65 8,38
4. Rata-rata hijauan pakan 1,62 2,14 3,17 2,02
ternak/periode (ton BK)
91,04 117,36 154,32 109,93
5. Rata-rata konsentrat/ perio-
de (ton BK)
6. Rata-rata curahan tenaga
kerja/periode (hok)
Imbangan pemberian pakan dalam bentuk bahan kering pada usaha penggemukan sapi
potong tingkat peternak rakyat adalah sebesar 80,55% (BK hijauan pakan ternak) berbanding
19,44% (BK pakan tambahan/konsentrat), dan apabila dirinci berdasarkan masing-masing
bangsa sapi adalah sebesar 78,57% berbanding 21,43% pada sapi LPO, 79,52% berbanding
20,48% pada sapi SPO, dan 81,76% berbanding 18,24% pada sapi PO. Hasil penelitian tersebut
berbeda dengan hasil penelitian Sutopo dan Karyadi (2008) yang melaporkan, bahwa usaha
penggemukan sapi potong pada peternak rakyat yang tidak tergabung dalam kelompok tani
ternak di Kecamatan Gunungpati Semarang mempunyai imbangan hijauan pakan dengan
konsentrat sebesar 86,00% berbanding 14,00%, sedangkan pada peternak anggota kelompok tani
ternak sebesar 60,00% berbanding 40,00%.
Identifikasi kuantitas produksi usaha penggemukan sapi potong rakyat disajikan pada
Tabel 2. Tingginya PBB pada sapi LPO bila dibandingkan dengan sapi SPO maupun sapi PO,
adalah sebagai akibat dari potensi genetik individu di antara bangsa sapi yang tidak sama.
Tabel 2. Identifikasi Produktivitas Usaha Ternak Sapi Potong.
No. Unsur-unsur Identifikasi Bangsa Sapi LPO Rata-
PO SPO 350,70 rata
1. Rata-rata bobot awal/ekor 272,53 315,67 310,81
ternak (kg) 536,33
398,91 485,54 469,52
2. Rata-rata bobot akhir/ekor 185,63
ternak (kg) 126,38 169,87 160,53
0,93
3. Rata-rata Pertambahan bo- 0,41 0,84 0,68
bot badan ternak (kg)
4. PBB ternak (kg/hari)
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 95
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Berdasarkan konsumsi pakan, secara berurutan pada sapi LPO mengkonsumsi hijauan
pakan sebanyak 12,08 kg BK/ekor/ hari dan konsentrat sebanyak 3,59 kg BK/ekor/hari, pada
sapi SPO sebanyak 13,16 kg BK/ekor/hari dan 3,11 kg BK/ekor/hari, dan pada sapi PO sebanyak
10,76 kg BK/ekor/hari dan 2,40 kg BK/ekor/hari. Dari jumlah fisik bahan kering yang
dikonsumsi dan produk yang dihasilkan (PBB per hari), dapat disimpulkan bahwa pada sapi LPO
dapat memanfaatkan pakan lebih efisien bila dibandingkan dengan sapi SPO maupun PO, yang
ditunjukkan oleh besarnya nilai konversi pakan yaitu secara berurutan sebesar 16,85 pada sapi
LPO, 19,37 pada sapi SPO, dan sebesar 33,00 pada sapi PO. Perbedaan konversi pakan tersebut
diduga disebabkan karena jenis imbangan pakan dan bangsa sapi yang juga berbeda.
Hasil penelitian ini bila dibandingkan dengan hasil penelitian De Carvalho et al. (2010),
bahwa pada sapi LPO lebih baik dengan nilai konversi pakan 16,85 berbanding 18,47, namun
pada sapi PO tidak lebih baik dengan nilai konversi pakan 33,00 berbanding 22,55. Pakan
mempunyai peranan penting pada peningkatan produksi, baik untuk pertumbuhan maupun untuk
proses produksi yang lain. Besarnya nilai konversi pakan merupakan cerminan dari jumlah pakan
yang dikonsumsi untuk meningkatkan PBB sebanyak 1,00 kg/ekor/hari, yaitu perbandingan
antara pakan yang dikonsumsi (BK) dengan PBB per hari yang dihasilkan. Konversi pakan yang
ideal untuk sapi dengan bobot badan 300 kg adalah sebesar 9,00.
Ditinjau dari PBB sapi potong, hasil penelitian ini relatif berbeda bila dibandingkan
dengan beberapa hasil penelitian laboratorium. Menurut Ngadiyono (1995), pada sapi Sumba
Ongole yang diberi pakan berupa konsentrat dan rumput raja (85% : 15%) menghasilkan PBB
0,85 kg/ekor/hari. Hasil penelitian Hamdan (2004) dalam Ngadiyono et al. (2008), pada sapi PO
dengan pakan konsentrat dan jerami padi fermentasi (JPF) menghasilkan PBB 0,78 kg/ekor/hari.
Hasil penelitian Daryanti et al. (2002) menunjukkan, bahwa pada penggemukan sapi PO dengan
pakan dasar jerami padi teramoniasi ditambah konsentrat 4 kg/ekor/hari, menghasilkan PBB
sebesar 0,72 kg/ekor/hari.
Pengaruh penggunaan faktor-faktor produksi terhadap PBB sapi potong rakyat dianalisis
menggunakan paket program SPSS (Statistical Package for Social Sciences) dan diperoleh nilai-
nilai koefisien regresi, t hitung dan probabilitas kesalahan seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Koefisien Regresi.
Unstandardized Stand.
Coefficients Coef.
Model B Std. Error Beta T Sig.
0,000
1 Konstanta 16,234 1,077 15,077 0,030*
0,000*
Jumlah sapi (ekor) 0,236 0,108 0,170 2,183 0,000*
0,425
Bobot badan awal (kg) -3,156 0,188 -2,526 -16,765 0,946
0,000*
Lama wkt pengg (bl) -3,924 0,208 -2,228 -18,860
HPT (ton BK) 0,126 0,157 0,103 0,800
Konsentrat (ton BK) -0,007 0,102 -0,006 -0,068
Tenaga kerja (hok) 3,942 0,247 3,312 15,978
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 96
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Unstandardized Stand.
Coefficients Coef.
Model B Std. Error Beta T Sig.
0,000
1 Konstanta 16,234 1,077 15,077 0,030*
0,000*
Jumlah sapi (ekor) 0,236 0,108 0,170 2,183 0,000*
0,425
Bobot badan awal (kg) -3,156 0,188 -2,526 -16,765 0,946
0,000*
Lama wkt pengg (bl) -3,924 0,208 -2,228 -18,860
HPT (ton BK) 0,126 0,157 0,103 0,800
Konsentrat (ton BK) -0,007 0,102 -0,006 -0,068
Tenaga kerja (hok) 3,942 0,247 3,312 15,978
Dependent Variable: Pertambahan Bobot Badan ternak (kg).
Berdasarkan Tabel 3, dapat disusun persamaan model Cobb-Douglas sebagai berikut:
Y = 16,236 X1 170 X2 -2,526 X3 -2,228 X4 0,103 X5 -0,006 X6 3,312
Menurut Ghozali (2007), jika satuan ukuran variabel independen tidak sama, maka
sebaiknya interpretasi persamaan regresi menggunakan standardized beta, karena akan mampu
mengeliminasi perbedaan unit ukuran pada variabel independen. Hasil persamaan model Cobb-
Douglas menunjukkan, bahwa faktor-faktor produksi jumlah sapi yang diusahakan (X1), hijauan
pakan ternak (X4), dan curahan tenaga kerja (X6) mempunyai hubungan yang positif (searah)
terhadap PBB sapi potong (Y). Sedangkan faktor-faktor produksi bobot badan awal sapi potong
(X2), lama waktu penggemukan (X3), dan pakan konsentrat (X5) berhubungan negatif
(berlawanan arah) terhadap PBB sapi potong (Y).
Secara serempak faktor-faktor produksi yang digunakan berpengaruh nyata terhadap
kuantitas produksi usaha ternak sapi potong (PBB). Kondisi ini ditunjukkan oleh F hitung sebesar
488,152 dengan nilai signifikansi 0,000 (P < 0,01 < 0,05). Dari Tabel 3, dapat diketahui, bahwa
secara parsial jumlah sapi yang diusahakan (X1), bobot badan bakalan (X2), lama waktu
penggemukan (X3), dan curahan tenaga kerja (X6) berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap
kuantitas PBB sapi potong, sedangkan hijauan pakan ternak (X4), dan pakan konsentrat (X5)
tidak berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap kuantitas PBB sapi potong (Y). Koefisien korelasi
diperoleh sebesar 0,974, yang berarti faktor-faktor produksi yang dibakukan sebagai variabel
independen mempunyai keeratan hubungan kuat dengan kuantitas PBB sapi potong (variabel
dependen). Koefisien determinasi diperoleh sebesar 0,947; yang berarti bahwa variasi yang
terdapat pada faktor-faktor produksi sebesar 94,70% dapat menerangkan variasi yang terjadi
pada kuantitas PBB sapi potong (Y), sedangkan sebesar 5,30% diterangkan oleh faktor-faktor
lain yang tidak dimasukkan dalam model.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 97
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa produktivitas usaha penggemukan sapi
potong rakyat masih dalam katagori rendah, hal ini karena usaha penggemukan sapi potong
rakyat belum diusahakan secara intensif dan tercermin dari jumlah faktor-faktor produksi yang
dialokasikan belum optimal. Sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas usaha
penggemukan sapi potong rakyat, perlu memperhatikan penggunaan faktor-faktor produksi yang
secara signifikan berpengaruh nyata terhadap kuantitas produksi sapi potong.
DAFTAR PUSTAKA
Daryanti, S., M. Arifin, dan Sunarso. 2002. Respon produksi Sapi PO terhadap aras pemberian
konsentrat dan pakan basal jerami padi fermentasi. Prosiding Seminar Nasional Inovasi
Teknologi dalam Mendukung Agribisnis. BPTP Yogyakarta – UMY Yogyakarta. Hal.
263 – 268.
De Carvalho, M.C., Soeparno, dan N. Ngadiyono. 2010. Pertumbuhan dan produksi karkas sapi
peternakan Ongole dan Simmental peranakan Ongole jantan yang dipelihara secara
feedlot. Buletin Peternakan. 34(1): 38 – 46.
Prasetyo, E., Sunarso, P.B. Santosa, and E. Rianto. 2012. The influence of agribusiness
subsystem on beef cattle fattening farm’s profit in Central Java. J. Indonesian Trop.
Anim. Agric. 37(2): 121-126.
Ghozali, I., 2007. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang.
Lestari, C.M.S., R. Adiwinarti, M. Arifin and A. Purnomoadi. 2011. The performance of java
and ongole crossbred bull under intensive feeding management. J. Indonesian Trop.
Anim. Agric. 36 (3): 109 – 113.
Ngadiyono, N. 1995. Pertumbuhan serta Sifat-sifat Karkas dan Daging Sapi Sumba Ongole,
Brahman Cross, dan Australian Commercial Cross yang dipelihara secara Intensif pada
berbagai Bobot Potong. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ngadiyono, N., G. Murdjito, A. Agus, dan U. Supriyana. 2008. Kinerja produksi sapi peranakan
ongole jantan dengan pemberian dua jenis konsentrat yang berbeda. J. Pengemb.
Peteranakan Tropis. 33 (4): 282 – 289.
Sutopo, dan Karyadi. 2008. Studi komparasi pemeliharaan usaha penggemukan sapi potong di
Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang. Agromedia. 26(2): 55 - 62.
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosoekojo. 1998.
Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke 6. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 98
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
IDENTIFIKASI PENGETAHUAN LOKAL PADA PETERNAK SAPI BALI
DI KABUPATEN BARRU, PROPINSI SULAWESI SELATAN
A. Amidah Amrawaty, Sitti Nurani Sirajuddin, Aslina Asnawi, and Hastang
Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar
Email : [email protected]
INTISARI
Pengetahuan lokal berdasar pada pengalaman dan percobaan yang berulang-ulang sesuai
kemampuan masyarakat sehingga mudah diterapkan, oleh karena itu diperlukan kajian mengenai
pengetahuan lokal dalam mendukung program pemerintah dan kesuksesan pembangunan
peternakan. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi dan mengkaji sistem pengetahuan lokal
yang sudah berkembang di kalangan masyrakat, khususnya peternak sapi Bali. Pendekatan yang
digunakan adalah penelitian kualitatif (qualitative research). Strategi yang digunakan adalah
studi kasus, dilaksanakan di kawasan Agropolitan di Kecamatan Barru, Kabupaten Barru.
Kawasan Agropolitan dipilih 4 desa, yaitu Desa Palakka, Desa Tompo, Desa Galung dan Desa
Anabanua yang merupakan pusat pengembangan komoditas unggulan lokal yang berbasis Sapi
Potong (sapi Bali). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi pengetahuan lokal dalam
praktek pengembangan sapi Bali berlangsung dalam konteks yang menyeimbangkan aspek ritual
spiritual dan kalkulasi rasional. Praktek pengetahuan lokal dalam pemeliharaan sapi Bali adalah
pengetahuan yang menyangkut tentang pemeliharaan dan perkandangan, pakan, seleksi, sistem
bagi hasil, pengendalian penyakit, reproduksi, dan penjualan.
Kata Kunci : pengetahuan lokal, peternak sapi bali
ABSTRACT
The aim of this study was to identify and analyze local knowledge in Bali cattle development.
The paradigm used was constructivism paradigm with a qualitative approach. descriptive type of
research using case study method. The study was conducted in four villages subjected to
Agropolitan Program, i.e. Palakka, Tompo, Galung and Anabanua in Barru District, province of
South Sulawesi. The results indicated that the local knowledge of the farmers were : a)
knowledge of animal housing, b) knowledge of the prevention and control disease, c) knowledge
of the feed, d) knowledge of breed selection, e) knowledge of sharing arrangement, f)
knowledge of marketing, Application of local knowledge in the development of Bali cattle takes
place within the context of balancing the spiritual and ritual aspects of rational calculation
Key word : local knowledge, farmer
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 99
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan sistem pengetahuan lokal merupakan pengetahuan lokal spesifik dan
praktis di dalam segala aspek kehidupan. Pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan
kompleks, kepercayaan dan praktis dari pengerahuan umum (Ciran, 1993). Dalam bidang
peternakan misalnya, Sapi Bali merupakan salah satu ternak lokal yang telah dipelihara oleh
peternak secara turun temurun. Program pencapaian swasembada pangan di Sulawesi Selatan
menempatkan komoditi ini sebagai komoditi utama dalam pembangunan peternakan.
Berkaitan dengan pengetahuan lokal, Titilola (1990), mengingatkan bahwa transfer
teknologi dari negara maju ke negara sedang berkembang bisa menghambat pengembangan
teknologi lokal dan menciptakan ketergantungan.
Masyarakat peternak sendiri sebetulnya sudah ada teknologi asli atau indigenous
teknologi (IT) sebagai milik masyarakat yang sudah diterapkan dan menyatu dengan budaya
setempat (Warren, 1992, dan Walker, et al, 1999). Masyarakat dengan mudah menerapkan
teknologi asli karena menurut De Walt (1994) inputnya relatif rendah, resiko kecil dan cukup
ramah lingkungan, sedangkan teknologi introduksi umumnya menggunakan input tinggi, resiko
besar dan sering tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu diperlukan kajian mengenai
pengetahuan loal dalam mendukung program pemerintah dan kesuksesan pembanguan
peternakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menggali sistem pengetahuan
lokal yang sudah berkembang di kalangan masyrakat, khususnya peternak sapi Bali.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah penelitian kualitatif
(qualitative research). Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang
merupakan salah strategi dalam penelitian kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan April-
September 2015 di kawasan Agropolitan di Kecamatan Barru, Kabupaten Barru. Kawasan
Agropolitan dipilih 4 desa, yaitu Desa Palakka, Desa Tompo, Desa Galung dan Desa Anabanua
yang merupakan pusat pengembangan komoditas unggulan lokal yang berbasis Sapi Potong (sapi
Bali).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengetahuan lokal, baik yang bersumber dari ajaran agama maupun kearifan lokal, dalam
banyak hal telah memberi tuntunan bagi masyarakat, termasuk dalam bidang peternakan. Usaha
yang dijalani peternak melahirkan banyak kombinasi usaha. Keberhasilan kombinasi usaha ini
melahirkan prinsip-prinsip tertentu dalam masyarakat yang kemudian mengakar menjadi budaya
dan kemudian diwariskan transgenerasi kepada masyarakat lain. Salah satu ungkapan prinsip
tersebut adalah :“…..jika ingin bekerja di sawah, peliharalah sapi”.
Hal senada juga diungkapkan oleh S Said (salah saeorang petani di lokasi penelitian)
bahwa pesan secara lisan yang disampaikan orang tuanya yang berkaitan dengan pemeliharaan
sapi adalah “memelihara sapi banyak rezeki”. Pengalaman peternak tersebut membuktikan
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 100
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
bahwa ternak sapi mampu memberikan beberapa ketahanan dalam rumah tangga petani, bahkan
proporsi beberapa pengeluaran petani yang memerlukan biaya yang cukup besar pada umumnya
diandalkan dari sapi. Hal ini juga diungkapkan oleh salah seorang informan, H. Muh Tang (58
Tahun):
“….Saya beternak sejak tahun 50 an, prinsip saya sederhana, jika harga gabah sudah 10
tahun tidak berubah maka harga sapi dengan rentang waktu yang sama sudah
mengalami kenaikan beberapa kali, bahkan pada waktu-waktu tertentu, harga sapi akan
melonjak. Inilah keuntungannya memelihara sapi. Untuk biaya naik haji dan berkurban
pada pada hari raya Idul Adha sepenuhnya saya andalkan dari hasil memelihara sapi”
(Wawancara di Desa Tompo Tgl 9 Juni 2014).
Pada pengetahuan lokal, beberapa anjuran dan pantangan yang diwariskan secara
transgenerasi tetap dilakukan oleh petani peternak. Ciri tindakan tradisional masyarakat
terpresentasekan dalam pelaksanaan acara-acara yang hampir seluruhnya dilakukan atau
berhubungan dengan rasa syukur mereka terhadap keberhasilan usaha ternaknya. Selain
meneruskan kebiasaan leluhur yang terkait dengan kepercayaan yang transgenerasi, pelaksanaan
upacara tersebut juga mengalami reinterpretasi yang bukan hanya meneruskan kebiasaan tetapi
ada makna lain yang menjadi dasar motivasinya. Dalam perkembangannya terjadi pergeseran
praktek budidaya sapi Bali yang awalnya berdasarkan pertimbangan ritual spiritual berkembang
menjadi praktek yang berlandaskan pertimbangan kalkulasi rasional. Misalnya ternak Ternak
sapi kemudian mengalami perkembangan dan diakui oleh masyarakat sebagai barang yang
bernilai ekonomis. Selain digunakan dalam upacara adat, juga dapat ditukar dengan barang
berharga lainnya. Setelah menyadari bahwa sapi bernilai ekonomi, maka mulailah mereka
melakukan kegiatan pemeliharaan dengan mengusahakan bagaimana ternak yang dipelihara
dapat meningkat nilai ekonominya.
Pengetahuan lokal yang menyangkut pemeliharaan sapi Bali yang telah dikembangkan
oleh peternakan secara turun temurun antara lain dapat dilihat pada Tabel berikut :
Tabel 1. Pengetahuan Lokal dalam Pengembangan Sapi Bali di kabupaten Barru
No. Praktek Pengetahuan Lokal
1. Pemeliharaan dan Penanaman pohon Lokal, pengembalaan
Perkandangan ekstensif
2. Pakan Rumput lapangan, batang pisang, daun bila,
jerami segar, garam
3. Seleksi Penelusuran silsilah, jumlah lingkaran
tanduk, panjang ekor, bentuk tanduk
4. Sistem bagi Hasil Tesang (sistem gaduh sapi)
5. Pengendalian Penyakit Penggunaan kunyit, sabuk kelapa, tampa’
lorong (brotowali)
6. Reproduksi Kawin Alam
7. Penjualan Berdasarkan taksiran
Sumber: data primer diolah, 2015
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 101
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
KESIMPULAN
Dari uraian hasil penelitian pada bab-bab sebelumnya, dapat dirumuskan beberapa proposisi
sebagai berikut :
1. Aplikasi pengetahuan lokal dalam praktek pengembangan sapi Bali berlangsung dalam
konteks yang menyeimbangkan aspek ritual spiritual dan kalkulasi rasional.
2. Praktek pengetahuan lokal dalam pemeliharaan sapi Bali adalah pengetahuan yang
menyangkut tentang pemeliharaan dan perkandangan, pakan, seleksi, sistem bagi hasil,
pengendalian penyakit, reproduksi, dan penjualan.
DAFTAR PUSTAKA
Ciran. 1993. Indegenious Knowledge and Development Monitor. International Development
Research Centre. Ottawa Canada.
De Walt,B.R. 1994. Using Indigenous Knowledge to Improve Agriculture and Natural Resource
Management. In : Human Organization Vol.53. No. 2. Center for Latin American
Studies.
Titilola, S.O. 1990. The Economic of Incorporating Indigenous Knowledge System Into
Agricultural Development. A Model and Analytical Framework. In : Studies in
Technology and Social Change, No.17. Iowa State University Research Foundation.
Walker, D.H., P.J. Thorne, F.L. Sinclair, B. Thapa C.D. Word, D.B. Subba. 1999. A System
Approach to Comparing Indogenous and Sientific Knowledge : Consistency and
Discriminatory Power of Indigenous and Laboratory Assesment of The Nutrive Value of
Tree Fodder. Journal of Agricultural Systems 62 (87-103).
Warren. 1993. Using IK for Agriculture and Rural Development. Current Issues and Studies. In :
Indigenous knowlede and Development Monitor Vol. 1 No. 1 CIKARD.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 102
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
ANALISA EKONOMI USAHA PETERNAKAN AYAM PETELUR
JANTAN DI DESA BALESARI KECAMATAN NGAJUM KABUPATEN
MALANG
Dimas Pratidina Puriastuti Hadiani1), Henny Leondro2), dan Sri Wahyudi3)
1,2) Dosen Fakultas Peternakan Universitas Kanjuruhan Malang, 3) Mahasiswa Fakultas
Peternakan Universitas Kanjuruhan Malang, Jl. S. Supriyadi 48 Malang Indonesia
Email: [email protected] 1)
INTISARI
Penelitian ini dilaksanakan di peternakan milik Bapak Muktiono di Desa Balesari
kecamatan Ngajum Kabupaten Malang pada tanggal 25 September 2015 sampai 10 Desember
2015. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan usaha peternakan ayam petelur
jantan secara finansial.
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai ekonomi usaha peternakan ayam
petelur jantan jenis lohman dengan populasi sejumlah 24.000 ekor per periode. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan pendekatan kuantitatif. Data yang
diperoleh dianalisis secara deskriptif dan finansial. Variabel yang diamati dalam penelitian ini
adalah: biaya total produksi, penerimaan, keuntungan, BEP, dan R/C rasio.
Hasil penelitian menunjukan bahwa total biaya produksi sebesar Rp. 335.995,920 dengan
persentase terbesar didapat dari biaya pakan sebesar 78,67 %. Penerimaan Rp. 459.134.112
dengan persentase terbesar didapat dari penjualan ternak sebanyak 99,65 %, dan keuntungan
sebesar Rp. 123.138.192, sedangkan BEP harga diperoleh apabila harga jual ternak senilai Rp.
18.764 per Kg, dan BEP produksi sebesar 13.150 Kg, dengan R/C rasio sebesar 1,37.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa usaha peternakan ayam petelur jantan
milik Bapak Muktiono di Desa Balesari Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang ini layak untuk
dikembangkan karena memenuhi kriteria R/C rasio lebih dari 1.
Kata kunci: Analisa Ekonomi Usaha, BEP, Ayam Petelur Jantan
ABSTRACT
ECONOMIC ANALYSIS OF BUSINESS MALE LAYING CHICKEN FARM IN THE
BALESARI VILLAGE NGAJUM SUB DISTRICT MALANG
This research was carried out on a farm owned by Mr. Muktiono in the Balesari village Ngajum
subdistrict Malang on September 25 through December 10, 2015. The purpose of this study was
to determine the feasibility of male laying chicken financially. The material used in this study is
the economic value of farm types lohman male laying chicken with a population of 24,000
chicken per period. The method used in this research is survey method with quantitative
approach. Data were analyzed descriptively and financially. The variables were observed in this
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 103
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
study are: the total cost of production, revenues, profit, BEP, and R/C ratio. The results showed
that the total cost of production Rp. 335,995.920 largest percentage obtained from feed costs
amounted to 78.67%. Acceptance Rp. 459 134 112 largest percentage of turnover derived from
bird as much as 99.65%, and a profit of Rp. 123 138 192, while the price BEP obtained if the
selling price of bird worth Rp. 18 764 per kg, and BEP production amounted to 13 150 kg, with
R / C ratio of 1.37. From the results of this study concluded that male laying chicken farm owned
by Mr. Muktiono in the Balesari village Ngajum subdistrict Malang is feasible to be developed
because it meets the criteria of the R/C ratio of more than 1.
Keywords: Ekonomic Analysis, BEP ,Male Laying Chicken
PENDAHULUAN
Ayam ras petelur merupakan hewan yang populer untuk diternakkan di Indonesia dengan
populasi mencapai lebih dari 110 juta ekor (Data Direktorat Jenderal Peternakan thn. 2011).
Banyak orang memilih usaha tersebut karena telur dan daging ayam merupakan sumber protein
hewani yang terjangkau.
Ayam petelur diperoleh dari usaha penetasan ayam petelur yang dilakukan oleh breeder.
Hasil penetasan tersebut tentunya tidak kesemuanya ayam betina. Jika presentase diasumsikan
50% ayam betina, maka 50% akan dihasilkan produk yang berupa ayam petelur dengan jenis
kelamin jantan.
Ayam pejantan memiliki nilai lebih tersendiri, tekstur daging yang lebih padat dibanding
jenis ayam pedaging lainnya menjadikan ayam jantan memiliki pangsa pasar tersendiri. Perlu
juga diketahui bahwa harga jual ayam pejantan ini lebih mahal dari ayam pedaging. Karena
ayam pejantan ini biasanya juga dijadikan pengganti ayam kampung oleh warung-warung
makanan. Hal inilah yang menjadikan peluang usaha ternak ayam pejantan memiliki potensi
yang cukup bagus.Usaha peternakan ayam petelur jantan milik Bapak Muktiono yang ada di
Desa Balesari, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang merupakan salah satu upaya untuk
memanfaatkan peluang bisnis yang ada. Oleh karena itu perlu adanya penelitian yang
menganalisa usaha peternakan ayam petelur jantan tersebut, salah satunya dengan analisa
ekonomi yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengambilan kebijakan usaha selanjutnya.
MATERI DAN METODE
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di peternakan milik Bapak Muktiono di Desa Balesari,
Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang. Pengambilan data dilaksanakan pada tanggal 25
September 2015 sampai 10 Desember 2015.
Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai ekonomi usaha peternakan ayam
petelur jantan tipe medium jenis lohman dengan jumlah populasi 24.000 ekor per periode
pemeliharaan (2,5 bulan).
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 104
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan pendekatan
kuantitatif.
Variabel Penelitian
Biaya Total Produksi
Biaya total produksi adalah semua pengeluaran proses produksi sebagai hasil penjumlahan
biaya tetap dan biaya tidak tetap. Soekartawi (2006) menggambarkan biaya total dengan rumus
:TC = TFC + TVC
Penerimaan
Penerimaan adalah perkalian jumlah unit yang dijual dengan harga per-unit produk
tersebut. Soekartawi (2006) menggambarkan penerimaan dengan rumus sebagai berikut: TR =
PXQ
Keuntungan
Keuntungan adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya yang telah dikeluarkan
oleh peternak. Soekartawi (2006) menggambarkan secara sistematis sebagai berikut: Π = TR –
TC
BEP
Break even point (BEP) adalah suatu keadaan dimana sebuah perusahaan tidak mengalami
kerugian atau memperoleh keuntungan (Syukur, 2008). Secara sistematis dapat ditulis sebagai
berikut:
BEP produk = TC/P
BEP harga = TC/Q
R/C Rasio
R/C rasio (Revenue Cost Ratio) yaitu perbandingan antara penerimaan dengan biaya
(Soekartawi, 2006). Rumus ini dapat ditulis secara sistematis sebagai berikut: RC Rasio =
TR/TC
HASIL DAN PEMBAHASAN
Total Biaya Produksi
Tabel 1. Total Biaya Produksi Per Periode Pemeliharaan
Uraian Jumlah (Rp.) Persentase
(%)
Biaya Tetap
Penyusutan kandang dan peralatan 4.500.000 1,34
Sub Total (I) 4.500.000 1,34
Biaya Tidak Tetap
Tagihan listrik PLN 000 2.500.000 0,74
Bibit 6.760.000 7,96
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 105
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Pakan 264.299.800 78,67
Tenaga kerja 11.124.120 3,31
Sekam 1,19
Koran 4.000.000 0,09
OVK 300.000 0,48
Gas LPG 4,64
Biaya transportasi 1.612.000 1,58
Sub Total (II) 15.600.000 98,66
Total Biaya Produksi (I + II) 100
Sumber : Data Primer Diolah 2015 5.300.000
331.495.920
335.995.920
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa biaya pakan merupakan biaya produksi terbesar, hal
ini sesuai dengan pernyataan Santoso (2010) bahwa pakan merupakan faktor yang paling banyak
membutuhkan biaya dalam usaha peternakan ayam pedaging yaitu mencapai 75% dari seluruh
biaya produksi.
Penerimaan Usaha
Tabel 2. Penerimaan Usaha Per Periode Pemeliharaan
Uraian Jumlah (Rp.) Persentase
(%)
Penerimaan
Penjualan Ternak 457.534.112 99,65
Penjualan kotoran + karung bekas 1.600.000 0,35
Total Penerimaan 459.134.112 100
Sumber : Data Primer Diolah 2015
Dari total penjualan ternak mendapatkan hasil sebesar Rp. 457.534.112, hasil ini diperoleh
dari total bobot panen sebesar 17.906 Kg dengan harga Rp. 25.552/Kg berat hidup. Populasi
ternak ayam dari peternakan milik Bapak Muktiono ini adalah 24.000 ekor dengan angka
kematian 552 ekor atau 2,3 % sehingga yang terjual adalah 23.448 ekor, dari perhitungan ini
dapat diketahui bahwa berat rata-rata ternak adalah 0,76 Kg/ekor. Angka kematian ini cukup
baik, hal ini sesuai dengan pernyataan Bell dan Weaver (2002) yang menyatakan bahwa
pemeliharaan ayam pedaging dinyatakan berhasil jika angka kematian secara keseluruhan kurang
dari 5%.Sedangkan untuk hasil dari penjualan kotoran ternak dan karung bekas kemasan pakan
mendapatkan hasil sebesar Rp. 1.600.000, angka ini didapat dari total korotan yang dijual
sebanyak 800 karung dengan harga Rp. 2.000 per karung.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 106
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Keuntungan Usaha
Tabel 3. Keuntungan Usaha Per Periode Pemeliharaan
Uraian Jumlah (Rp.)
Total Penerimaan 459.134.112
Biaya Total Produksi 335.995.920
Total Keuntungan 123.138.192
Total Keuntungan Per ekor 5.252
Sumber : Data Primer Diolah 2015
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa keuntungan usaha peternakan ayam petelur jantan
milik Bapak Muktiono periode ini adalah sebesar Rp. 123.138.192 dan keuntungan per ekor
adalah Rp. 5.252.
Titik Impas/BEP
Tabel 4. Titik Impas/BEP Per Periode Pemeliharaan
Uraian Perhitungan Riil
BEP harga (Rp.) 18.764 25.552
BEP Produksi (Kg) p 13.150 17.906
Sumber : Data Primer Diolah 2015
R/C rasio
R/C rasio yang diperoleh dari usaha peternakan ayam petelur jantan milik Bapak Muktiono
adalah sebesar 1,37. Artinya setiap pengeluaran sebesar Rp. 1,- dapat menghasilkan keuntungan
sebesar Rp. 0,37. R/C rasio > 1, usaha peternakan ayam petelur layak dikembangkaR/C rasio
digunakan untuk mengukur tingkat kelayakan suatu usaha dan untuk mengetahui sejauh mana
usaha tersebut layak dikembangkan atau tidak. Kriteria penilaian R/C rasio sebagai berikut :
R/C rasio > 1, usaha peternakan ayam petelur layak dikembangkan.
R/C rasio = 1, usaha peternakan ayam petelur tersebut tidak untung tidak rugi.
R/C rasio < 1, usaha peternakan ayam petelur tidak layak dikembangkan (Soekartawi, 2006).
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa usaha peternakan ayam petelur jantan
milik Bapak Muktiono di Desa Balesari Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang ini layak untuk
dikembangkan karena memenuhi kriteria R/C rasio lebih dari 1.
DAFTAR PUSTAKA
Bell, D. D., and W. D. Weaver. 2002. Comercial Chicken Meat and Egg Production. 5 th
Edition. Springer Science and Business Media, Inc, New York.
Santoso, H. 2010. Pembesaran Ayam Pedaging Hari Per Hari di Kandang Panggung Terbuka.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Soekartawi , 2006. Teori ekonomi produksi. Penerbit Rajawali, Jakarta.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 107
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN MODEL SISTEM INTEGRASI
TERNAK SAPI˗TANAMAN DI KABUPATEN MINAHASA
(KASUS DI KECAMATAN LANGOWAN SELATAN)
Bonny F.J. Sondakh dan Richard E.M.F. Osak
Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado, 95115
[email protected]
INTISARI
Pengusahaan ternak sapi dengan tanaman sudah ada integrasi (integration) tapi belum
terintegrasi (integrated), artinya usaha pokok petani yaitu tanaman jagung dan padi, sedangkan
usaha ternak sapi hanya sebagai usaha sampingan terutama fungsinya sebagai sumber tenaga
pengolah pertanian. Penelitian ini bertujuan: (1) mengetahui sejauh mana usaha ternak sapi dan
tanaman tanpa pola sistem integrasi ternak sapi–tanaman; dan (2) melakukan kajian kebijakan
Pola Sistem Integrasi Ternak Sapi–Tanaman. Penelitian menggunakan metode survai dengan
pengambilan sampel secara sengaja (Purposive Sampling) sesuai petunjuk Singarimbun dan
Effendi (1989) dengan kriteria utama, yaitu memiliki usaha ternak sapi dan usaha tanaman
pangan, memiliki jumlah ternak sapi yang dipelihara sebanyak minimal dua ekor ternak sapi
dewasa, dan memiliki pengalaman lama beternak minimal lima tahun. Hasil penelitian
disimpulkan bahwa peternakan sapi yang diintegrasikan dengan tanaman memberikan tambahan
peningkatan pendapatan bagi petani peternak, dengan memberi kontribusi pada konservasi
kesuburan lahan secara organik (non kimiawi). Berdasarkan rumusan strategi-strategi yang
dianalisis melalui analisis SWOT, direkomendasikan suatu program yaitu : Program
pemberdayaan peternak melalui pola Sistem Integrasi Sapi dan Tanaman (SISTA) meningkatkan
pendapatan keluarga peternak dan ramah lingkungan.
Kata kunci: Strategi, Pengembangan, Integrasi, Sapi, Tanaman
ABSTRACT
The existing cattle and plant integration have not integrated farming, meaning that the
main farming are maize and rice farm, while the cattle farming is only as a sideline functions as a
source of agricultural processing power. This study aims to (1) determine the extent to which the
cattle farm integration with crops cultivated without pattern of crops-livestock integration
system, and (2) conduct policy research to Cattle-Plants Integration System Model. This study
usesd survey method and purposive random sampling with the main criterias are has a cattle
farming and food crops farming, has kept the number of cattle at least two beef cattle, and has
minimum of five years long experience of cattle farm. The research concludes are dairy farm that
integrated with crops give additional income for farmers, by reducing the rate of degradation of
the environment, and contribute to the conservation of soil fertility by organic (non-chemical).
Based on the formulation of the strategies analyzed through a SWOT analysis, a program is
recommended: Program of the farmers empowerment in developing cattle production that
environmentally and sustainable based through patterns Cattle and Crop Integration Farming
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 108
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
System (CCIFS), for to increase the income and welfare of farmers household in the district of
Minahasa.
Keywords: Strategy, Integration, Cattle, Crops, Minahasa.
PENDAHULUAN
Potensi pengembangan produksi peternakan di antaranya dengan usahatani sistem integrasi
sapi–tanaman di Indonesia sangat besar, didukung oleh potensi sumberdaya lahan untuk
pengembangan pertanian yaitu: 100,7 juta ha yang limbahnya dapat mencukupi biomassa pakan
sapi sepanjang tahun (1-3 ekor sapi/ha). Bila tidak dimanfaatkan, limbah pertanian akan menjadi
masalah dan kendala dalam agribisnis, karena pada saat panen terbuang dan menjadi pencemar
(Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, 2009).
Konsep pertanian terpadu, yang melibatkan tanaman dan ternak telah diterapkan di
Indonesia sejak lama sebagaimana terjadi di negara-negara Asia Tenggara. Devendra (2011)
menjelaskan bahwa beberapa penelitian dan pengembangan sistem integrasi ternak ruminansia
dengan tanaman di Asia Tenggara menunjukkan peningkatan produktivitas ternak, peningkatan
nilai tambah pada tanaman, pengembangan keberlanjutan, serta berdampak ekonomi, di mana
terjadi peningkatan pendapatan sekitar 30%, penghematan biaya sekitar 47-60% dan
memberikan kelayakan finansial yaitu internal rate of return (IRR) sebesar 19% per tahun.
Roughsedge, Amer dan Simm (2003) menjelaskan bahwa melalui simulasi model integrasi
ternak dan tanaman menunjukkan peningkatan keuntungan finansial dikarenakan terjadi
penghematan biaya produksi dalam usaha ternak sapi. Franzluebbers (2007) menjelaskan bahwa
peluang untuk mengintegrasikan tanaman dan ternak dapat menghasilkan tanaman yang berbeda
sepanjang tahun, melalui sistem integrasi hijauan dan ternak dengan tanaman bisa mendapatkan
keuntungan baik untuk tujuan produksi maupun lingkungan.
Awal pengembangan konsep pertanian terpadu dimulai dengan sistem pertanian yang
melakukan pertanaman kombinasi beberapa jenis tanaman dalam satu lahan yang sama (multiple
cropping). Selanjutnya berkembang lagi dengan memasukan komponen ternak dalam sistim
usahatani yang dikenal dengan sistim usaha tani (farming system) dan terakhir sistem integrasi
tanaman-ternak (crop livestock system). Sistem integrasi ternak dan tanaman, pada prinsipnya
teknologi yang diintroduksikan mencakup teknologi pengolahan limbah tanaman untuk pakan
ternak dan pengelolaan kotoran ternak untuk pupuk organik bagi tanaman.
Inovasi dan teknologi pertanian yang baik dapat mengubah limbah pertanian menjadi
sumberdaya yang bagus sebagai pakan ternak, yakni peternakan yang menghasilkan pupuk dapat
diolah menjadi sumber energi alternatif seperti biogas dan limbah padat dapat diolah menjadi
kompos untuk menyediakan pupuk organik bagi tanaman sehingga ramah lingkungan. Dengan
sistem terintegrasi ini, asumsi sederhananya 25% dari 26,8 juta hektar lahan tanam dapat
digunakan untuk menambah kapasitas penggunaannya untuk 1 ekor ternak per hektar.
Diharapkan ke depan akan ada penambahan 6,7 juta ekor ternak sapi yang setara dengan 1,2 ton
daging sapi (Sujana, 2009).
Usaha ternak sapi di Kabupaten Minahasa umumnya diusahakan dengan usahatani
tanaman pangan dan palawija, di mana tanaman pangan yang diusahakan di antaranya jagung
dan padi. Namun dalam pengusahaan ternak sapi dengan tanaman sudah ada integrasi
(integration) tapi belum dilakukan secara terintegrasi (integrated), artinya petani dalam usaha
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 109
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
pokoknya yaitu tanaman jagung dan padi, sedangkan usaha ternak sapi hanya sebagai usaha
sampingan terutama fungsinya sebagai sumber tenaga pengolah pertanian.
Di Kecamatan Langowan Selatan terdapat beberapa kelompok tani peternak sapi, yang
mengusahakan ternak sapi bersamaan dengan tanaman jagung dan padi. Usaha ternak sapi selain
usaha tanaman jagung dan padi merupakan tumpuan rumahtangga anggota. Usaha tanaman
jagung bagi peternak merupakan sumber pakan bagi ternak sapi yang mereka usahakan, yaitu biji
jagung dan jerami jagung segar untuk diberikan pada ternak sapi, sedangkan jerami padi belum
termanfaatkan kareta ketidak tahuan cara pemanfaatannya sebagai pakan ternak sapi.
Permasalahannya selama ini dalam usaha ternak sapi mengalami kendala dalam mencukupi
pakan ternak sapi karena keterbatasan lahan baik untuk penanaman hijauan (rumput dan legume)
maupun untuk tanaman jagung dan padi. Di saat panen jagung, kebutuhan pakan relatif tercukupi
dari tambahan biji jagung dan jerami segar, namun manakala menunggu panen berikutnya
(paceklik) peternak kesulitan dalam penyediaan pakan, yang harus dipenuhi dengan membeli dari
petani lain atau luar desa sehingga mengurangi pendapatan usahanya.
Di sisi lain, pada saat panen jagung petani memperoleh produk samping dari tanaman
yaitu: daun, batang dan tongkol jagung, serta jerami padi yang dapat menjadi sumber pencemar
lingkungan dan tidak termanfaatkan karena belum mengetahui pengolahan, pengawetan dan
pemanfaatannya sebagai pakan ternak sapi. Sedangkan ternak sapi menjadi input sebagai sumber
tenaga kerja dalam usaha tanaman baik untuk pengolahan tanah maupun transportasi hasil, juga
limbah ternak sapi yaitu feses dapat digunakan sebagai pupuk organik dan kompos bagi tanaman.
Berdasarkan pemikiran di atas maka penelitian bertujuan untuk: (1) Mengetahui sejauh
mana usaha ternak sapi dan tanaman tanpa pola sistem integrasi ternak sapi–tanaman; dan (2)
Melakukan kajian kebijakan pengembangan Pola Sistem Integrasi Ternak Sapi–Tanaman.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Langowan Selatan Kabupaten Minahasa.
Pengambilan sampel dilakukan secara sengaja (Purposive Random Sampling) sesuai
Singarimbun dan Effendi (1989) berdasarkan tujuan tertentu. Penelitian ingin mengkaji sistem
integrasi ternak sapi dan tanaman, sehingga peternak sampel harus memenuhi kriteria utama
penelitian, yaitu memiliki usaha ternak sapi dan usaha tanaman pangan, memiliki jumlah ternak
sapi yang dipelihara sebanyak minimal dua ekor ternak sapi dewasa, dan memiliki pengalaman
lama beternak minimal lima tahun.
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan
melalui wawancara terhadap responden dengan mengisi kuisioner dan pengamatan langsung
pada usahanya. Data sekunder diperoleh melalui instansi terkait dalam penelitian ini, yaitu data
statistik yang relevan dengan penelitian ini. Selain variabel-variabel kuantitatif, juga akan diteliti
mengenai variabel-variabel kualitatif deskriptif untuk melengkapi data kuantitatif yang akan
dianalisis melalui Analisis SWOT.
Analisis yang digunakan untuk potensi sistem integrasi peternakan sapi dan tanaman
kelapa dilakukan dengan Analisis SWOT (Strenghts atau Kekuatan, weakness atau kelemahan,
Opportunities atau peluang dan Threats atau ancaman), menurut petunjuk Hunger dan Wheelen
(2003), Rangkuti (2001) dan Umar (2001) sebagai suatu alat analisis yang digunakan secara
umum dalam merumuskan suatu Strategi Pengembangan. Analisis SWOT dilakukan terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan agribisnis peternakan sapi yang terdiri dari dua
bagian besar, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor-faktor
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 110
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
kekuatan (Strenghts) dan kelemahan (Weakness) dalam integrasi peternakan sapi dengan
tanaman itu sendiri, sedangkan faktor eksternal merupakan faktor-faktor peluang (Opportunities)
dan ancaman (Threats) yang berada di luar sistem integrasi peternakan sapi dan tanaman
pangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk perumusan strategi menurut Rangkuti (2008) dapat mengunakan Analisis SWOT
(strengths, weaknesses, opportunities, threats) yang mengidentifikasi berbagai faktor internal
dan eksternal secara sistematis. Aspek-aspek internal dan eksternal dianalisis untuk mendapatkan
informasi yang akurat untuk dievaluasi serta merumuskan strategi pengembangan Sistem
Integrasi Ternak Sapi dengan Tanaman.
Proses identifikasi dilakukan dengan menggunakan daftar matriks sederhana berdasarkan
data-data dan informasi serta kajian literatur dalam penelitian ini. Faktor internal dan eksternal
hasil identifikasi selanjutnya akan dievaluasi untuk menentukan faktor-faktor strategis yang
paling menentukan pengembangan Sistem Integrasi Ternak Sapi dengan Tanaman.
Hasil Proses identifikasi faktor internal dan eksternal pengembangan agribisnis
Sistem Integrasi Ternak Sapi dengan Tanaman di Kecamatan Langowan Selatan Kabupaten
Minahasa sebagai bahan evaluasi untuk penentuan perumusan strategi diuraikan sebagai berikut:
A. Kekuatan (strengths)
a) Pengalaman beternak sapi responden rata-rata antara 6-10 tahun (69.82)
b) Tingkat pendidikan petani peternak responden rata-rata SMA (61,11%)
c) Umumnya umur peternak tergolong produktif rata-rata 28-37 tahun (62.5 %)
d) Memiliki lahan untuk pengembangan skala usaha dan perluasan tanaman hijauan di areal
tanaman dan perkebunan rata-rata 0.26-0.50 ha (53.22%)
e) Usaha agribisnis sistem integrasi ternak sapi dengan tanaman dengan kepemilikan ternak
sebanyak 2 ekor, menguntungkan sekitar Rp.17.012.860 per tahun atau Rp.1.417.738 per
bulan.
f) Harga daging sapi berkisar Rp.70.000-Rp.80.000/Kg (Rata-rata Rp.75.000)
g) Terdapat fasilitas pendukung rumah potong hewan (RPH) dan pengolahan hasil ternak sapi
= 1 unit.
h) Ketersediaan pakan konsentrat bijian terutama jagung produksi 32 kw/ha.
i) Ketersediaan by product pertanian sebagai sumber pakan alternatif terutama jerami jagung,
serta jerami dan dedak padi.
B. Kelemahan (weaknesses)
a) Tingginya biaya modal untuk investasi, saat ini rata-rata investasi peternak responden
sebesar Rp.4,176,625
b) Harga sumberdaya input relatif tinggi sehingga biaya pokok relatif besar yaitu rata-rata
Rp.7.917.458/ekor untuk fattening dan Rp7.503.853/ekor untuk starter-finisher.
c) Dominasi peternak adalah skala kecil dengan kepemilikan rata-rata < 4 ekor
d) Tujuan usaha umumnya hanya untuk sumber tenaga kerja ternak sebesar 97%
e) Produk bijian sebagai sumber pakan penguat masih bersaing dengan kebutuhan manusia
baik jagung muda maupun jagung kering, dikonsumsi manusia > 89 persen.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 111
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
f) Ketrampilan pengolahan limbah tanaman menjadi pakan = 0
g) Kelompok peternak kurang aktif, kelompok aktif hanya 10.98 persen
h) Peternak belum melakukan mitra usaha dengan pengusaha atau lembaga sebagai sumber
modal maupun pemasaran hasil, jumlah pemitra = 0
C. Peluang (opportunities)
a) Kebijaksanaan pembangunan pertanian cukup mendukung dengan program ketahanan
pangan dan program swasembada daging 2014.
b) Kebijakan pemerintah daerah dengan crash program jagung yang mendukung ketersediaan
bahan pakan konsentrat.
c) Permintaan pasar ternak sapi lokal yang tinggi baik pasar lokal maupun antar pulau.
d) Terdapat sarana dan lembaga pemasaran, perkreditan dan penyuluhan.
e) Terdapat sarana dan prasarana infrastuktur transportasi dan komunikasi yang baik dan
lancar.
D. Ancaman (threats
a) Masuknya ternak sapi dan hasilnya dari daerah dan negara luar (impor).
b) Alokasi anggaran pembangunan pemerintah pusat dan daerah diprioritaskan ke sektor lain.
c) Alat pertanian dan alat transportasi modern mulai menggantikan tenaga kerja ternak sapi.
Berdasarkan deskripsi kualitatif dan kuantitatif identifikasi faktor internal dan eksternal
pengembangan agribisnis Sistem Integrasi Ternak Sapi dengan Tanaman di Kabupaten
Minahasa, dapat dianalisis Internal Factor Analysis Summary (IFAS) dan External Factor
Analysis Summary (EFAS) berdasarkan petunjuk David (2006).
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 112
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Tabel 1. Internal Factor Analysis Summary (IFAS)
Kekuatan (Strengtness) Bobot Ranking Skor Total
Skor
(1) (2) (3) (2)x(3)
2.62
S.1. Pengalaman beternak sapi responden rata- 0.15 4 0.60
rata antara 6-10 tahun (69.82) 0.10 4 0.40 Total
0.10 4 0.40 Skor
S.2. Tingkat pendidikan petani peternak 0.05 5 0.25
responden rata-rata SMA (61,11%) (4)
0.10 4 0.40
S.3. Umumnya umur peternak tergolong
produktif rata-rata 28-37 tahun (62.5 %) 0.05 5 0.25
0.05 2 0.10
S.4. Memiliki lahan untuk pengembangan skala 0.06 3 0.18
usaha dan perluasan tanaman hijauan di 0.04 1 0.04
areal tanaman dan perkebunan rata-rata
0.26-0.50 ha (53.22%)
S.5. Usaha agribisnis sistem integrasi ternak
sapi dengan tanaman dengan kepemilikan
ternak sebanyak 2 ekor, menguntungkan
sekitar Rp.17.012.860 per tahun atau
Rp.1.417.738 per bulan.
S.6. Harga ternak sapi rata-rata Rp.28.500/Kg
Berat Hidup dan Rp.70.000/Kg Daging.
S.7. Terdapat fasilitas pendukung rumah potong
hewan (RPH) dan pengolahan hasil ternak
sapi = 1 unit.
S.8. Ketersediaan pakan konsentrat bijian
terutama jagung dengan jumlah rata-rata 32
kw/ha
S.9. Ketersediaan by product pertanian sbg
sumber pakan alternatif terutama jerami
jagung, serta jerami dan dedak padi.
Kelemahan (Weakness) Bobot Ranking Skor
(1) (2) (3) (2)x(3)
W.1. Tingginya biaya modal untuk investasi, 0.05 5 0.25
saat ini rata-rata investasi peternak
responden sebesar Rp.4,176,625 0.05 3 0.15
W.2. Harga sumberdaya input relatif tinggi 0.08 3 0.24
sehingga biaya pokok relatif besar yaitu
rata-rata Rp.7.917.458/ekor untuk
fattening dan Rp7.503.853/ekor untuk
starter-finisher.
W.3. Dominasi peternak adalah skala kecil
dengan kepemilikan rata-rata < 4 ekor
W.4. Tujuan usaha umumnya hanya untuk 0.03 2 0.06
sumber tenaga kerja ternak sebesar 97%
W.5. Produk bijian sebagai sumber pakan 1.06
penguat masih bersaing dengan kebutuhan
manusia baik jagung muda maupun 0.02 4 0.08
jagung kering, dikonsumsi manusia > 89
persen.
W.6. Ketrampilan pengolahan limbah tanaman 0.01 2 0.02
menjadi pakan = 0
W.7. Kelompok peternak kurang aktif, 0.02 1 0.02
kelompok aktif hanya 10.98 persen
W.8. Peternak belum melakukan mitra usaha
dengan pengusaha atau lembaga sebagai 0.04 6 0.24
sumber modal maupun pemasaran hasil,
jumlah pemitra = 0
Total Bobot Faktor Internal 1.00
( Kekuatan + Kelemahan)
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 113
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Tabel 1. External Factors Analysis Summary (EFAS)
PELUANG (OPPORTUNITY) Bobot Ranking Skor Total
Skor
(1) (2) (3) (2)X(3)
(4)
O.1. Kebijaksanaan pembangunan pertanian 0.15 3 0.45
cukup mendukung dengan program 2.1
ketahanan pangan dan program swasembada 0.10 4 0.4
daging 2014. 1.4
O.2. Kebijakan pemerintah daerah dengan crash
program jagung yang mendukung
ketersediaan bahan pakan konsentrat.
O.3. Permintaan pasar ternak sapi lokal yang 0.20 5 1
tinggi baik pasar lokal maupun antar pulau.
O.4. Terdapat sarana dan lembaga pemasaran, 0.05 1 0.05
perkreditan dan penyuluhan.
O.5. Terdapat sarana dan prasarana infrastuktur 0.10 2 0.2
transportasi dan komunikasi yang baik dan
lancar
TREATHS (ANCAMAN)
T.1. Masuknya ternak sapi dan hasilnya dari 0.10 5 0.5
daerah dan negara luar (impor). 0.20 3 0.6
T.2. Alokasi anggaran pembangunan pemerintah
pusat dan daerah diprioritaskan ke sektor lain.
T.3. Alat pertanian dan alat transportasi modern 0.10 3 0.3
mulai menggantikan tenaga kerja ternak sapi. 1.00
Total Bobot Faktor Eksternal
(Peluang + Ancaman)
Berdasarkan Diagram Strategic Choice pada Gambar 1, maka strategi pengembangan
berada pada 4 (empat) pilihan sebagai berikut:
Strategi S-O berada pada posisi pertumbuhan cepat atau Rapid Growth (kuadran ungu)
Strategi W-O berada pada posisi strategi memelihara pilihan atau Agresive Maintenance
Strategy (kuadran kuning)
Strategi S-T berada pada posisi Concentric Diversification Strategy (kuadran hijau muda)
Strategi W-T berada pada posisi strategi bergerilia atau Guerilla Strategy (kuadran biru
muda)
Faktor internal dan eksternal strategis yang diuraikan di atas selanjutnya dianalisis
dengan menggunakan matriks SWOT untuk menentukan beberapa strategi yang dapat
diterapkan. Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman
eksternal yang dihadapi usaha agribisnis dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki perusahaan. Metode perumusan strategi dilakukan berdasarkan Matriks SWOT dapat
menghasilkan beberapa kemungkinan alternatif strategis (David, 2006).
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 114
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Gambar 1. Diagram Pilihan Strategis Untuk Pengembangan
Berdasarkan analisis kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang
(opportunities), dan ancaman (threats) dalam pengembangan peternakan Sistem Integrasi Ternak
Sapi dengan Tanaman, berdasarkan Matriks SWOT, maka strategi kebijakan yang dapat
dilaksanakan melalui program, dapat dirumuskan sebagai berikut :
I. Strategi S-O :
1.1. Peningkatan kualitas dan kuantitas produksi dan skala usaha
1.2. Peningkatan investasi di tingkat peternak (budidaya) dan fasilitas pendukung
II. Strategi W-O :
2.1. Pemberdayaan peternak skala kecil melalui program kemitraan peternak dan pengusaha
/peternak besar melalui kebijakan regulasi pemerintah
2.2. Fasilitasi pemerintah bagi swasta dalam industri sarana produksi
III. Strategi S-T :
3.1. Peningkatan stándar produksi sesuai standar impor
3.2. Peningkatan produksi di tingkat peternak melalui peningkatan proporsi alokasi anggaran
pemerintah
IV. Strategi W-T :
4.1. Peningkatan efisiensi produksi untuk menghasilkan output yang mampu bersaing dengan
produk luar
4.2. Pemberdayaan peternak kecil melalui kebijakan dan alokasi anggaran pemerintah melaui
kelompok peternak
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 115
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 116
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Pelaksanaan strategi-strategi tersebut harus dilaksanakan secara sinergi, sinkron, dan
komprehensif karena rumusan strategi tersebut terkait satu dengan yang lainnya membentuk
suatu hubungan yang saling mendukung, saling membutuhkan, dan saling menarik dan
mendorong (pull-push factors). Untuk melaksanakan masing-masing strategi tersebut baik secara
parsial, sebagian, ataupun komprehensif maka direkomendasikan suatu program yaitu : Program
pemberdayaan peternak dalam mengembangkan produksi dan pemasaran melalui integrasi
ternak sapi dan tanaman.
Berdasarkan hasil analisis maka Implikasi Pengembangan Sistem Integrasi Sapi dan
Tanaman di Kabupaten Minahasa, yaitu:
1) Pengembangan kawasan agribisnis sebagai basis dan sumber perekonomian dasar penduduk
dengan peningkatan teknologi pertanian dan peternakan agar dapat memacu serta
meningkatkan produktivitas.
2) Menciptakan kondisi daerah yang berdaya saing, memiliki nuansa yang proinvestasi dan
bisnis, pro-lingkungan melalui penataan institusi, sistem, dan prosedur yang transparan serta
regulasi-regulasi investasi di daerah.
3) Pengembangan perdagangan dan industri dengan mengutamakan pengembangan
agroindustri daerah berbasis sumber daya lokal yang dapat menyerap tenaga kerja dalam
jumlah relatif.
4) Mendorong dan melibatkan Pemerintah Pusat dan Provinsi untuk secara langsung membantu
dalam bentuk asset dan/atau modal serta mendukung pihak swasta dalam mengelola
kegiatan-kegiatan investasi strategis bagi masyarakat di Kabupaten Minahasa.
5) Mendorong pemerintah Pusat dan Provinsi untuk menfasilitasi fasilitas yang masih
dihadapkan dengan kendala-kendala internal dan eksternal seperti manajemen, teknologi,
modal kerja, informasi, pemasaran, dan ketenagakerjaan.
Sedangkan strategi yang dapat diaksanakan yaitu:
1) Pengembangan usaha agribisnis pertanian peternakan dengan pendekatan kewilayahan
terpadu dengan konsep pengembangan agribisnis, agroteknologi serta agroriset dan
pengembangan industri daerah berorientasi nilai tambah seperti industri produk turunan
jagung, industri pengolahan produk daging (bakso, nugget, sosis, dll).
2) Mengembangkan praktek-praktek budidaya pertanian dengan menggunakan teknik
tepatguna dan usaha non pertanian yang ramah lingkungan dan sesuai dengan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan sebagai bagian dari upaya mempertahankan daya dukung
lingkungan dan pengembangan usaha pertanian dengan pendekatan kewilayahan terpadu
dengan konsep pengembangan agribisnis/agropolitan di wilayah Tompaso, Kawangkoan,
Kakas, dan Langowan.
Langkah selanjutnya yaitu mengkaji kelima subsistem agribisnis ini dalam model
pengembangan kelembagaan, model pengembangan infrastruktur dan model pengembangan
Agribisnis SISTA (Sistem Integrasi Sapi-Tanaman) dalam bentuk model investasi kawasan yang
kemudian akan menjadi dasar untuk kompilasi model dinamik. Secara komprehensif perlu
mengembangkan infrastruktur yang menunjang sistem agribisnis pada kawasan. Dengan
berkembangnya sistem dan usaha agribisnis maka di kawasan tersebut tidak saja membangun
usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga off farm-nya yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 117
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa
penunjangnya.
Di sisi lain pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis serta penguatan kelembagaan
kelompok petani peternak agar mampu meningkatkan produksi, produktivitas komoditas
pertanian serta produk-produk olahan pertanian, merupakan prioritas utama yang harus
disiapkan. Kemudian diikuti dengan peningkatan sarana-prasarana meliputi: jaringan jalan
termasuk jalan usaha tani (farm road), irigasi, pasar, air bersih, pemanfaatan limbah, dan
pengolahan sampah (zero waste).
Pengembangan sistem integrasi tanaman ternak (sapi) bertujuan untuk: 1) mendukung
upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan pertanian melalui penyediaan pupuk organik
yang memadai, 2) mendukung upaya peningkatan produktivitas tanaman, 3) mendukung upaya
peningkatan produksi daging dan populasi ternak sapi, dan 4) meningkatkan pendapatan petani
atau pelaku pertanian. Melalui kegiatan ini, produktivitas tanaman maupun ternak menjadi lebih
baik sehingga akan meningkatkan pendapatan petani-peternak.
KESIMPULAN
Peternakan sapi yang diintegrasikan dengan tanaman memberikan tambahan peningkatan
pendapatan bagi petani peternak dan memberi kontribusi pada konservasi kesuburan lahan secara
organik (non kimiawi). Berdasarkan analisis SWOT, direkomendasikan suatu program yaitu:
Program pemberdayaan peternak dalam mengembangkan produksi peternakan sapi yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan melalui pola Sistem Integrasi Sapi dan Tanaman
(SISTA), dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak di Kabupaten Minahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 2009. Perspektif Daya Dukung Lahan
Pertanian dan Inovasi Teknologi dalam Sistem Integrasi Ternak Tanaman Berbasis
Sawit, Padi dan Kakao. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem
Integrasi Ternak–Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor.
David, F.R., 2006. Managemen Strategis. Terjemahan. Salemba Empat, Jakarta.
Devendra, C., 2011. Integrated Tree Crops-ruminants Systems in South East Asia: Advances in
Productivity Enhancement and Environmental Sustainability. Asian-Aust. J. Anim. Sci.
24(5):587-602.
Ditjennak, 2007. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
Franzluebbers, A. J., 2007. Integrated Crop-Livestock Systems in the Southeastern USA. Agron. J.
99:361–372.
Hadi, P.U. dan N. Ilham, 2002. Problem dan Prospek Pengembangan Usaha Pembibitan Sapi
Potong Di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 21(4):148−157.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 118
Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional I PERSEPSI
Peran Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan dalam Pembangunan Peternakan Indonesia
Hunger, J.D. dan Th.L. Wheelen, 2003. Manajemen Strategis. Terjemahan. Penerbit Andi,
Yogyakarta.
Rahardi dan R. Hartono, 2003. Agribisnis Peternakan. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rangkuti, F., 2008. Analisis SWOT Tekhnik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pustaka
Umum Jakarta.
Roughsedge, T., P.R. Amer and G. Simm, 2003. A Bio-Economic Model For The Evaluation Of
Breeds And Mating Systems In Beef Production Enterprises. Animal Science 77: 403-416
Singarimbun, M. dan S. Effendi, 1995. Metode Penelitian Survey. LP3S. Jakarta.
Sujana, Tj. D., 2009. Sistem Integrasi Ternak-Tanaman Pangan Menuju Swasembada Daging
2014. Makalah Dirjen Peternakan sebagai keynote speech dalam International Seminar on
Animal Industry 2009 di IPB International Convention Center (IICC).
http://www.ipb.ac.id/?b=1373
Suryana, 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis Dengan Pola
Kemitraan. Jurnal Litbang Pertanian, 28(1).
Umar, H., 2001. Strategic Manajemen in Action. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta | 12 - 13 Februari 2016 119
174