LEILA S. CHUDORI 341 Dia juga sedang mencoba untuk wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer,” kata Andini tak menyadari, atau tak peduli, dengan perubahan wajah abangnya. Rama mencoba menekan jantungnya yang bergeruduk. Dia membersihkan kerongkongannya, tetapi sama sekali tak bisa memulai kalimat apa pun. “Rama, kok berhenti? Ayo, nanti dihabiskan adikmu itu lo,” ibunya menyodorkan beberapa bungkus nasi uduk. Rama mengangguk lemah, “Masih ada, Ma.” Dia mengorek-ngorek nasi uduk itu tanpa menyuapkannya, “Jadi tugas akhir Lintang apa, harus wawancara Tante Surti segala?” “Tentang korban 30 September 1965 dan akibatnya pada keluarganya. Tentu Tante Surti salah satu sumber penting dong,” kata Andini dengan enteng. Rama mencoba menelan nasi uduk kesukaannya dengan susah payah. Dia ingin mencoba menghormati upaya ibunya. Sementara Andini merepet terus tentang buku-buku yang dibawa Lintang, betapa senangnya dia akhirnya bertemu dengan sepupunya yang sudah lama berkorespondensi dengan dia melalui surat, pertukaran buku, dan belakangan dengan surat elektronik. “Dulu saya harus menunggu sekitar sepuluh hari sampai dua minggu untuk satu pucuk surat dengan perangko yang cantik dari Prancis. Sekarang hanya dalam bilangan detik melalui surat elektronik. Luar biasa,” Andini ngoceh dan mencoba membuat ibunya yang gagap teknologi itu ikut merayakan kehebatan jaringan komunikasi masa kini. Namun sang Ibu sedang memperhatikan Rama yang menyudahi makan siang itu. Ketika ditawarkan untuk melanjutkan piring kedua, Rama menolak dengan sopan dan membawa piring bekas makan ke dapur. Ayah dan ibunya tercengang melihat Rama mendadak sopan dan bisu. Andini pun mulai www.boxnovel.blogspot.com
342 PULANG mengerem celotehnya. Rama kembali ke ruang makan dengan wajah murung. “Rama mau buah?” tanya ibunya. “Ada pepaya, pisang, dan semangka di lemari es.” “Terima kasih, Ma. Saya perlu bicara.” “Ayo, ayo kita dengarkan, ada apa Nak.” “Aku harus pergi? Ini wilayah pribadikah?” Andini bertanya dengan polos. “Ah, tidak. Kau juga harus di sini.” “Oke, ada apa Rama,” Aji akhirnya tak tahan juga dengan tingkah laku anaknya. “Tadi saya sudah menyampaikan pada Papa bahwa saya ingin memperkenalkan Rininta pada Mama dan Papa. Juga pada Dini,” kata Rama dengan nada perlahan. “Sounds so serious,” Andini tertawa kecil tak tahan mendengar betapa formal cara bicara abangnya. Ibunya mengedipkan mata agar Andini memberi ruang pada Rama. “Tetapi ini bukan sekadar perkenalan biasa. Sebetulnya saya sudah lama berhubungan dengan Rininta. Sudah lebih dari tiga tahun.” Ayah dan ibunya saling memandang, kaget. Jantung Aji mulai berdebar. “Sejak saya bekerja di PT Cita Karya, saya berkenalan dengan dia.” “O, teman kerja?” tanya Dini. “Bukan. Dia anak Pak Pri.” “Pak Pri?” “Ya, Pa. Pak Priasmoro, direktur.” “Bukan Pak Dirjen, kan?” “Di bawahnya Pa, Pak Priasmoro adalah atasan saya di bidang konstruksi.” “Ooo....” Mereka semua terdiam. Baik Aji, Retno, maupun Andini www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 343 sudah tahu bahwa sejak empat tahun terakhir Rama bekerja sebagai salah satu akuntan tepercaya di BUMN yang bergerak di bidang konstruksi. Mereka juga mafhum bahwa bila Rama bisa lolos litsus memasuki BUMN, itu berarti dia pasti tak menggunakan nama Suryo dan berbohong tentang latar belakangnya. Aji tahu betul untuk masuk ke dalam sebuah perusahaan milik negara harus melalui birokrasi yang luar biasa yang memastikan calon pegawainya betul-betul bebas dari ‘kekotoran’ hubungan darah dengan tahanan politik atau eksil politik. Tiba-tiba saja tumpukan nasi uduk berbungkus daun itu tak lagi segar. Seolah begitu layu dan sia-sia. Irisan telur dadar dan bawang goreng itu mendadak terlihat kehitaman. Mengapa warna makanan bisa mengikuti suasana hati? Aji, Retno, maupun Andini tak tahu bagaimana harus bereaksi terhadap pernyataan Rama. Apakah mereka harus berbangga hati bahwa Rama memadu kasih dengan puteri direktur sebuah BUMN? Apa implikasi itu semua? “Lalu, kapan kau bawa Rininta ke sini untuk diperkenalkan pada Mama, Papa, dan Dini?” akhirnya Ibu bersuara. “Kalau Rininta itu gampang. Kapan saja Mama, Papa, dan Dini ada waktu, akan Rama ajak ke sini.” Aji merasa masih ada anak kalimat setelah pernyataan itu, “Tetapi...?” “Selain memperkenalkan Rininta, saya rasa sudah waktunya Mama Papa berkenalan dengan orangtua Rininta.” Itu dia. Itu dia kalimat yang sejak tadi dia telan-telan. Itu dia yang mendorong Rama datang ke sini dan membuat Retno pontang-panting membuat nasi uduk dan lauk-pauknya. Rama ingin keluarganya berkenalan dengan Bapak dan Ibu Priasmoro! “O, My God, O My God!” Andini mengangkat piringnya ke dapur. “O My God, O My God!” www.boxnovel.blogspot.com
344 PULANG “Would you stop it!” Rama menyentak kesal. Andini tertawa tertawa terkekeh-kekeh sembari mencuci tangan. Dari ruang makan, mereka bisa mendengar suara Andini yang tak bisa menghentikan cekakaknya seperti bunyi burung kakak-tua yang tak mau berhenti ngoceh. Sungguh anak itu seperti mercon. Ribut dan pedas. Aji berdiri dari meja makan sementara Retno mengatur Mbak Irah agar mengangkat sisa makanan ke dapur. Rama kemudian membuntuti ayahnya kembali ke ruang tengah dengan jantung berdegup. Andini mengambil handuk dan pergi mandi sembari mulutnya masih saja merapal “O My God, O My God, O My God” yang semakin membuat abangnya jengkel. Aji menengok jam dinding, sudah jam setengah dua. Kepalanya mendadak terasa kencang, seolah ada saraf yang mengikat. Bola matanya terasa ditarik ke berbagai arah. Ini pasti gejala psikis. Mendengar pernyataan Rama tadi, itu artinya Rama sebentar lagi akan menikah dengan anak Direktur BUMN itu. Kalau tidak, buat apa Rama ingin mempertemukan mereka. “Iraaaah!” tiba-tiba saja suara Aji menggelegar. Irah yang baru saja mau menyimpan makanan sisa brunch itu tergopoh-gopoh datang. Jarang-jarang majikannya menjerit histeris seperti itu. “Tolong bikinkan susu hangat buat saya.” “Baik, Pak.” Susu hangat biasanya minuman jika Aji sedang tidak enak badan. Rama mulai merasa tak nyaman. Aji memijit-mijit keningnya. Rama masih belum berani meneruskan pengumuman beritanya yang belum selesai. Retno datang dengan segelas susu hangat sembari menatap Rama dengan pandangan sedemikian hingga Rama paham, dia tak boleh membuat ayahnya semakin mumet. www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 345 “Papa mau istirahat dulu?” Aji meminum susu itu seteguk demi seteguk, dan perlahan dia merasa kepala dan perutnya lebih nyaman dan hangat. Retno duduk di samping suaminya. Kini sepasang orangtua itu mencoba menyiapkan diri mendengarkan berita yang tidak enak. Retno mengangguk. Rama duduk di hadapan mereka. “Papa, Mama, saya tahu ini terdengar terlalu mendadak.” “Apa yang mendadak?” “Ya ini, pertemuan ini.” “Lo Rama, sebetulnya kamu ini minta kami bertemu dengan orangtua Rininta itu mau berkenalan saja kan?” “Ya bukan hanya berkenalan Pa, tentu saja....” “Masya Allah!” Aji menenggak susu hangatnya sampai habis. Susu itu berleleran keluar gelas dan bibirnya. Retno melotot dan mendadak pusing. “Maksudmu....” “Ya maksud kami, Rininta dan saya, akhir tahun ini kami akan menikah.” “O My God, O My God, O My God!!” terdengar suara Andini dari kamar mandi melengking lalu tertawa terbahak-bahak. Bagaimana dia bisa mendengar pembicaraan itu sembari mandi? “Sebentar, sebentar,” Retno kini mulai ikut naik darah, “kau sudah setahun tidak datang, sekarang kau kemari menyampaikan untuk menikah dengan anak direkturmu?” “Masih lama, Mama. Masih akhir tahun.” Aji masih bersandar dengan leleran susu di tepi bibirnya menatap nanar ke depan. Retno lantas mengambil tisu dan membersihkan bibir suaminya. “Yang penting,” Aji berbicara dengan suara menekan, “bukan kapan kau kawin. Kawin besok pun tidak masalah buat Papa. Yang penting, ketika kau berkenalan, berkencan, dan www.boxnovel.blogspot.com
346 PULANG menjadi bagian dari keluarga Priasmoro itu, apakah mereka tahu kita siapa?” Wajah Rama memucat. Dia tahu, inilah bagian tersulit dari misinya. Andini keluar dengan handuk yang diubet-ubet menutupi rambutnya yang baru dikeramas dan bergabung dalam keriuhan sirkus keluarganya. Dia bertolak pinggang depan abangnya. “Is she pregnant?” Wajah Dini mirip sekali dengan ibunya: berdagu lancip, putih, bermata kecil, dan berambut lurus dan panjang. Dengan mengucapkan kalimat pedas seperti itu, di mata Rama, dia mirip setan yang menakutkan. “Shut up, you. Of course not,” Rama menggerutu. Andini melepas handuknya dan mengibas-ngibas rambutnya yang basah, menciprat-ciprat wajah abangnya. “Kalau begitu jawab tuh pertanyaan Papa. Apa keluarga pacarmu itu tahu kita semua dikategorikan oleh pemerintah sebagai tidak bersih lingkungan? Kita keluarga E.T.? E.T. itu bukan singkatan Extra-Terrestrial, juga buka Entertainment Tonight. E.T. itu... Eks Tapol. Meski Pakde Dimas belum sempat ditahan, ya namanya tapol juga. Nah, tapol itu singkatan dari....” “Ya ya ya. Aku tahu!!” Rama menyentak adiknya. Andini berdiri tegak dengan rambut basah yang awutawutan ke segala penjuru. Matanya yang kecil membesar seperti Retno jika sedang marah. “Gile lu ya. Menghilang begitu saja bertahun-tahun, tiba-tiba datang mau kawin biar merasa punya keluarga. Sekarang berani-beraninya bentak gue?” Rama terdiam. Tetapi dia juga tak bisa menahan gejolak emosinya. Dia juga merasa harga dirinya diinjak. Rama tak tahu bagaimana caranya menjelaskan pada keluarganya bahwa dia juga tak ingin mengelabui kawan-kawan dan keluarga www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 347 kekasihnya. “Jadi...,” Aji sudah menebak cara berpikir anaknya, “kau belum pernah berterus terang pada mereka tentang latar belakang keluargamu? Selama beberapa tahun kau pacaran dengan Rininta, kau sengaja kau sembunyikan identitas kita?” Rama menunduk. Bagi Aji dan Retno itu adalah jawaban. Jadi selama ini Rama menyembunyikan identitas keluarganya. Meski Rama tak mengucapkannya, Aji tahu karakter putera sulungnya: keinginan Rama adalah, keluarganya juga ikut menguburkan semua kisah dan sejarah keluarga itu sedalam-dalamnya. Aji berdiri dan pamit ingin rebahan di kamarnya. Andini memandang abangnya seperti memandang seekor ular sawah yang dengan mudah bisa dibelah dengan golok. Retno berdiri dengan tubuh yang mendadak dikalahkan oleh rasa kecewa. Dia menuju dapur, tempat mencari pelipur lara. “Ma....” Ibunya hanya menggeleng, tak ingin berbicara lebih lanjut. Paling tidak untuk sementara. Andini kembali ke kamarnya dan hanya dalam beberapa detik terdengar gabungan suara pengering rambut dan musik rock Deep Purple yang menggebrak dinding. Rama terdiam di ruang tengah sendirian. Dia sudah menduga bakal ada drama dan keributan. Tetapi Rama tidak menyangka justru ayahnya akan menyudahinya dengan diam. Rama merasa lebih sulit untuk bertempur jika lawan bicaranya tak bersedia mengutarakan apa pun. Sejak empat tahun lalu, ketika Rama akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan perusahaan BUMN Cita Karya, dia tahu dia harus menghapus jejak keluarganya. Paling tidak untuk sementara. Bahwa dia sama sekali tidak menggunakan nama Suryo dan bisa lolos tes tanpa diutak-atik soal keluarganya saja sudah sebuah keajaiban. Rama tahu isu www.boxnovel.blogspot.com
348 PULANG Bersih Lingkungan sudah agak mereda dibanding sepuluh tahun silam, tapi kebijakan itu masih berlaku secara resmi dan masih berlangsung dengan kencang di beberapa wilayah profesi, terutama pekerjaan yang berhubungan dengan publik seperti: guru, pimpinan agama yang resmi, wartawan. Mereka yang dianggap bisa ‘mempengaruhi’ masyarakat. Dia tahu ada beberapa kawan Alam yang bekerja di media harus menggunakan nama samaran. Rama adalah seorang akuntan yang berurusan dengan angka dan mesin hitung. Tetapi dia tak mau mengambil risiko. Meski akhirnya berhubungan dan jatuh cinta pada anak direkturnya adalah sebuah risiko besar. Rama memejamkan mata dan tak menyadari berapa lama dia rebahan di atas sofa. Matahari meluncur begitu lekas hingga tiba-tiba saja sudah Asar. Rama membuka mata dan samar-samar melihat ayahnya duduk di hadapannya, menatap dia dengan sorot mata yang membuat hatinya terbelah. Seperti ada rasa sedih, kecewa, sekaligus tersinggung. Rama perlahan bergerak, bangun dan duduk berhadapan dengan ayahnya. “Rama,” ayahnya memulai dengan suara bergetar. “Ya, Pa.” “Papa tidak akan menghalangi niatmu menjalin masa depan dengan siapa saja yang baik dan mencintaimu. Tetapi Papa tak akan pernah membohongi dunia, apalagi diri sendiri tentang identitas keluarga ini. Jadi, kau hanya punya dua pilihan.” Aji sengaja berhenti mengambil nafas karena dia bukan orang yang biasa memberikan ultimatum. Seluruh tubuh Rama menjadi tegang. “Kamu berterus terang tentang keluarga ini atau silakan kau lamar sendiri kekasihmu. Papa dan Mama tak akan terlibat sama sekali dalam pernikahanmu.” Rama memandang Aji tanpa berkata-kata. Dia tak pernah www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 349 menyangka ayahnya akan mengeluarkan ancaman seserius itu. “Papa tidak mau ikut dalam permainan kebohonganmu, merunduk-runduk tidak keruan di usia Papa yang sudah senja seperti ini.” “Selama ini kita juga sudah hidup merunduk, Pa!” tiba-tiba Rama menyela tak tertahankan. Begitu kerasnya hingga Retno tergopoh-gopoh datang menyangka ada perang. “Merunduk dari tentara dan pemerintah itu satu hal. Merunduk dari calon besan dan calon menantu itu namanya kamu mengajak kami jadi penipu!” kini Aji betul-betul marah. “Kau kira suatu hari kalau Pak Priasmoro itu tahu tentang pakdemu, dia akan menghormatimu? Kau kira dia akan paham mengapa kau menyembunyikan itu selama bertahun-tahun mengencani anaknya?” “Dia tak akan tahu.” Aji menggeleng-gelengkan kepala, “Kau sudah keblinger sampai tidak bisa berpikir, Nak. Lebih baik sekarang terus terang saja. Saya yakin, kalau memang ayah si Rininta, bosmu itu orang baik, dia tak akan mempersoalkan. Ini sudah bukan zamannya untuk menilai orang dari sejarah kerabatnya, tapi lebih dari hati dan jiwa kita, dari perilaku kita sehari-hari.” “Pak Pri itu sangat patuh dengan peraturan,” suara Rama mulai meninggi. “Biar soal Bersih Lingkungan sudah lama tidak dipedulikan, tapi di berbagai Departemen dan BUMN masih ada litsus. Rama setuju, ini bukan zamannya untuk mengutakatik sejarah orang, tapi nyatanya Rama masih belum nyaman untuk berterus terang dengan...” “Lo, itu persoalanmu,” suara Aji ikut meninggi, “bukan masalah Papa dan Mama. Kalau sejak awal kau sudah terbuka pada Rininta dan keluarganya, kan kau bisa menilai apakah mereka memang layak untukmu atau tidak. Apakah mereka www.boxnovel.blogspot.com
350 PULANG bisa menerima kamu apa adanya seperti halnya kau juga menerima mereka apa adanya.” “Begini, Rama,” Retno yang selama ini selalu berusaha akomodatif terhadap anaknya dan kini berupaya memasukkan pemikiran ke batok anaknya yang luar biasa keras itu. “Sebuah perusahaan, kantor, instasi, lembaga apa pun wajar mengecek track-record kita kalau itu berkaitan dengan kompetensi pekerjaan atau soal pidana, misalnya jika dia pernah membunuh, memperkosa, korupsi. Itu pun, menurut Mama, harus diberi kesempatan kedua. Tetapi selama ini yang tidak masuk akal kan soal keterkaitan kita dengan Pakde Dimas? Wong Pakde Dimas juga tidak salah apa-apa. Kita juga tidak berbuat apa-apa, tetapi seumur hidup kita selalu ada cap di jidat kita: keluarga tapol. Nah, sekarang kau masuk ke lingkungan itu, lingkungan yang menganggap hubungan kita dengan Pakde sebagai sebuah cacat sejarah.Mau berapa lama kau bersandiwara dengan calon isterimu dan calon mertuamu? Rumah tangga macam apa yang nanti akan kau bangun? Perkawinan yang diawali dengan kebohongan besar?” Aji tercengang mendengar ceramah isterinya yang brilian. Masuk ke tema rumah-tangga! Itu sungguh brilian. Rama menelan ludah, “Sudah saya pikirkan semuanya, Ma. Nanti pada waktunya saya akan membuka siapa saya pada Rininta.” “Dini benar, Nak. Tak ada orang, lelaki atau perempuan, yang sudi ditipu.” “Aku tidak membohongi, Ma. Hanya merasa belum waktunya untuk mengungkap semua. Papa dan Mama seharusnya bersyukur Rininta bisa menerima Rama yang...,” Rama mendadak berhenti. “Yang apa?” tiba-tiba Retno meradang. “Ayo, yang apa? Teruskan kalimatmu! Kenapa kamu harus meletakkan dirimu www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 351 lebih rendah daripada siapa pun? Rama tak berani meneruskan kalimatnya. Kemarahan ibunya jauh melebihi raungan seekor singa daripada bentakan ayahnya. Dia mencoba menenangkan keduanya. Dia ingat, misi harus berhasil agar keluarganya bersedia diundang makan malam ke rumah keluarga Priasmoro. “Mama dan Papa kan tahu, aku tak ada masalah dengan keluarga kita. Yang membuat masalah kan sebetulnya Pakde Dimas yang berpolitik tidak keruan, yang egoistis hingga....” “Selamat sore.” Jantung Rama melompat ke leher. Alam, Bimo, dan seorang perempuan cantik yang tinggi, langsing, putih tibatiba saja sudah meluncur ke ruang tamu mereka. “He...ayo, ayo masuk, duduk,duduk,” tiba-tiba saja wajah Aji menjadi hangat. Retno langsung saja memeluk Alam dan Bimo sementara Rama menyaksikan itu semua dengan wajah masam. Ketegangan sejenak menurun. “Lintang, ini Rama, sepupumu yang selama ini hanya kau dengar namanya saja. Rama, ini puteri Pakde Dimas,” Retno memegang bahu anaknya agar Rama berdiri dan bersalaman dengan Lintang. Rama berdiri dan mencoba membentuk senyum, Lintang menyambut jabatan tangannya dan mencium pipi Rama tiga kali, “Ini cara Eropa, Rama.” Mereka semua tertawa dan saling menyilakan duduk. Pembicaraan jadi berputar soal unjuk rasa, harga BBM yang pasti diumumkan Senin depan, dan kabar terakhir rencana perjalanan Presiden ke Kairo. “Bagaimana dengan wawancaramu, Lintang? Sudah berhasil dapat narasumber?” Retno bertanya melihat Lintang berkeringat dan berpipi merah. “Belum, Tante. Ternyata susah,” Lintang melirik Alam dan Bimo. “Saya harus mengikuti saran mereka. www.boxnovel.blogspot.com
352 PULANG “Bisa, mudah-mudahan bisa,” Alam tersenyum, “kalau mereka masih susah, paling tidak wawancara Ibu saja dulu yang paling gampang.” “Waduh, itu yang paling susah, galak banget,” Bimo bergurau. Mereka semua tertawa mengingat betapa galaknya Surti pada wartawan asing yang sering mewawancarainya. Selama mereka berbincang, Rama jarang memberi komentar dan nampak menyembunyikan kegelisahan karena diskusi mereka terpotong. Pada saat itulah Andini masuk membawakan pesan itu. “Lintang...baru datang ya?” “Hei Din.” “Ibumu menelepon.” “Oh.” Semua terdiam. “Ah...,” Lintang mengibaskan tangan, “paling mau tanya kabar saja, Om. Jangan khawatir. Maman kan memang begitu.” Lintang berdiri mengikuti Andini ke meja telepon di belakang. Alam dan Bimo lantas bercerita semua perguruan tinggi dan LSM bersatu dan bergerak, “juga universitas swasta seperti Trisakti, UKI, Atmajaya....” Alam melirik Rama karena dia adalah alumni Trisakti. Rama tak bereaksi apa-apa. “Hampir semua kampus akan bikin mimbar bebas soal BBM ini, Om,” kata Bimo juga melirik pada Rama. Lintang dan Andini masuk dan bergabung kembali dengan wajah agak serius. “Kenapa Lintang?” “Maman bertanya kabar di Jakarta. Tapi juga memberitahu, Ayah problem lagi levernya tapi dia menolak ke dokter atau ke rumah sakit. Jadi Maman minta saya yang membujuk Ayah.” “Lo, Mas Dimas levernya kenapa to?” Aji terkejut. “Tempo hari Ayah jatuh di stasiun, Om. Sudah ke rumah sakit dan diberi obat. Sudah cek semuanya.” www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 353 “Lalu?” “Ya dalam pengobatan jalan. Tapi rupanya itu tidak cukup. Saya sendiri terus terang tidak tahu apa hasil tes-nya, karena Ayah tidak suka membicarakan kesehatannya,” Lintang menyampaikan itu dengan wajah mendung. “Masih sama keras kepalanya sejak dulu,” Aji menggerutu. “Nanti saya telepon dia. Lintang, Alam, Bimo, kalian makan malam di sini ya.” Aji berdiri dan mengajak Rama mengikutinya ke ruang makan. “Ingat kata-kata Papa tadi. Hanya dua itu saja pilihanmu.” “Pa, saya ingin menikah dengan Rininta. Dan saya hanya ingin meminta Papa dan Mama menjadi orangtuaku.” “Dan Papa juga ingin meminta kamu menjadi anak Papa. Akui sebagai anak Papa, Aji Suryo. Keponakan Dimas Suryo.” “Pa!” Rama mencoba menahan Aji yang kelihatan berniat menelepon abangnya di Paris. “Ya?” “Selain pemberitahuan tadi, saya juga ingin menyampaikan undangan makan malam orangtua Rininta.” Aji mengerutkan kening, “Kapan?” “Seluruh keluarga, Pa. Besok, Pa. Maaf mendadak, mereka sudah memberitahuku sejak pekan lalu, tapi aku....” “Kamu ragu untuk mengundang keluargamu,” Aji memotong. Dia sudah tak tahu lagi apakah harus marah, tersinggung, atau kecewa. Atau sama sekali tak perlu merasakan apa-apa. Bukankah dia sudah biasa mengebalkan perasaan? Aji melirik kalender dan hanya ingat: hancurlah harapan menikmati akhir pekan yang tenang. Dia menghela nafas karena tahu isterinya, meski marah, tetap akan mencoba mengakomodasi keinginan anaknya. “Tanya ibumu. Syarat Papa hanya satu. Kau sudah harus terus terang tentang kita semua. Dan kedua, Lintang juga ikut.” www.boxnovel.blogspot.com
354 PULANG “Tapi Pa....” “Lintang ikut! Dia keluarga!” Aji meninggalkan Rama yang berdiri sendirian dengan segala kegalauannya. Aji lebih merasa penting untuk menelepon Dimas di Paris dan meyakinkan abangnya agar ke dokter. Rama menunduk. Dia tak bisa membayangkan hanya dalam beberapa hari dia harus menguak semua sejarah keluarganya kepada kekasihnya. *** Aji menghentikan mobilnya tepat di muka sebuah rumah bertingkat dua di ujung jalan kawasan Lebak Bulus. Dia tak segera mencabut kunci mobil. Retno yang biasanya sebelum turun dari mobil mengecek wajahnya di cermin kali ini hanya memainkan cincinnya sembari berpikir. Andini dan Lintang yang duduk di belakang menanti mereka bergerak. Aji dan Retno mengenali mobil sedan Rama yang diparkir persis di depan mobil Kijang yang mereka kendarai. Dari jendela, Lintang memandang rumah keluarga Priasmoro, yang tampak paling mewah, berpagar tinggi dengan kebun luas, air mancur pemanis, dan pos satpam yang terletak tepat di pojok jalan. “Turun nggak, Pa?” Aji menghela nafas. “Rama sudah kelihatan?” Andini menunjuk. Dari kejauhan dia bisa melihat tubuh abangnya yang sedang berdiri di teras rumah itu. “Dini, kau jaga mulutmu ya.” Dini tersenyum, “Back to you, Pa.” Aji tersenyum menggelengkan kepalanya. Puteri bungsunya ini cerdas dan nyelekit. Mereka semua membuka pintu dan turun perlahan seperti ada rantai besi yang menggandul pergelangan kaki masing-masing. Demi melihat keluarganya, Rama hampir ingin terbang, tetapi dia menahan diri. Rininta www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 355 yang malam itu mengenakan celana panjang hitam dan blus satin putih tampak cantik bak vas porselen yang mulus, licin, tanpa cacat. “Mama, Papa, ini Rininta.” Rininta langsung saja menyambut tangan Aji dan Retno dan menciumnya. Andini dan Lintang saling melirik. “Rin, ini adikku, Dini, dan ini sepupuku Lintang.” “Hai, kata Rama baru datang dari Paris ya?” “Ya,” Lintang tersenyum sopan. “Saya pernah ke Paris dua kali waktu tur ke Eropa dengan Mama, Papa. Nanti kita ngobrol ya,” kata Rininta ramah. Lintang tersenyum mengangguk. Mereka semua dipersilakan masuk ke dalam rumah yang mendadak terasa begitu luas dan sangat tinggi. Lintang merasa mereka adalah sekumpulan semut yang dicemplungkan ke dalam ember besar yang kering. Mereka hanya berdiri di sana, tak tahu apakah harus menganga melihat lampu chandelier yang berjuntai itu, atau terjengkang melihat foto keluarga yang mendominasi seluruh tembok, atau harus bingung karena sepatu mereka menginjak karpet yang tebal dan empuk. Tetapi sebelum Lintang sibuk mengira-ngira betapa kaya rayanya keluarga calon isteri sepupunya itu, datanglah Bapak dan Ibu Priasmoro yang langsung menyapa dan bersalaman dengan akrab. Ibu Priasmoro yang wangi dan berambut licin itu segera menyalami dan mencium pipi kiri kanan Tante Retno. Mereka dipersilakan duduk di ruang tamu yang luas nian, mungkin setengah luas lapangan sepak bola. Lintang tak yakin dengan kemampuannya mengukur. Tetapi sejak memasuki rumah itu, dia bingung mengapa dari luar rumah ini tak tampak besar betul. Para orangtua saling berbincang dengan hangat. Lintang langsung ikut mendengarkan perbincangan mereka karena topiknya adalah hal-hal yang selalu dipersoalkan sejak dia tiba di Jakarta beberapa hari lalu: soal jalanan semakin www.boxnovel.blogspot.com
356 PULANG macet karena ada unjuk rasa, atau harga-harga yang sudah semakin naik meski kenaikan BBM belum diumumkan secara resmi. Justru saat Rininta bertanya soal Paris, Lintang tak tahu bagaimana cara menjawabnya. Pertanyaan itu berkisar “mengapa di Paris jarang ada diskon untuk tas dan sepatu branded:” (Ha?); “Bagaimana sih caranya agar bisa mendapatkan tempat duduk terdepan di acara fashion show musim semi” (Apaan?); atau “kapan-kapan kalau Rininta ke sana lagi, kita jalan-jalan ya? Foto saya di depan Menara Eiffel kurang memuaskan posenya.” (?). Lintang khawatir sekali wajahnya akan memperlihatkan ketololan karena tak paham dengan semua pertanyaan Rininta. Lebih kacau lagi, Andini bukannya membantu agar komunikasi ini lebih lancar, malah terus tertawa cekikikan hingga tubuhnya terbungkuk-bungkuk. Andini pasti segera melihat betapa tragisnya memperoleh seorang calon ipar yang sangat menaruh perhatian pada pose di depan Menara Eiffel atau tempat duduk di acara mode di Paris. Sementara Andini mencoba menahan rangkaian tawanya yang sukar dia hentikan, Rama tampak jengkel dan tersinggung. Dia melirik pada adiknya, memberi kode agar berlaku sopan. Tetapi Andini memang gadis yang jahil. Dia sengaja bertanya soal perjalanan Rininta di Eropa dan berlagak terpesona mendengarkan kegiatan Rininta belanja baju, sepatu, dan perhiasan di semua negara-negara yang dikunjunginya. “Jadi, di London, Amsterdam, Berlin, Bonn, Paris, Milan, Brusel itu semuanya Rininta belanja terus?” Andini sengaja menghidupkan diskusi banal itu agar malam itu menjadi meriah. “Iya, soalnya mumpung murah. Kalau branded kan di sini mahal dan model yang paling baru lama masuknya. Kemarin saja tas LV yang limited itu Mama beli di sana. Aku ikutan pakai. Mama dan aku hobi banget ke Champs-Élysées!” Rininta www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 357 tersenyum manis. Apa maksudnya branded? Apa maksudnya mempunyai brand tersendiri? Atau...O Mon Dieu, apakah LV singkatan dari Louis Vuitton? Lintang kini sudah belajar tersenyum manis meski hatinya bergeruduk. Champs-Élysées? Apakah dia sedang membicarakan merek luar biasa mahal yang hanya bisa dikenakan oleh selebriti ternama atau anak keluarga bangsawan atau isteri konglomerat kelas dunia? Lintang tahu memang ada semacam ironi (atau parodi) di sini. Dia selalu mempelajari bahwa Indonesia adalah negara sedang berkembang yang terjerat begitu banyak utang, tetapi sekian persen di pucuk atas piramida penduduknya berbelanja tas dan sepatu Louis Vuitton di Paris. Tetapi Lintang anak yang santun. Dia tetap tak ingin menghakimi. Sementara Andini justru melebarkan mata penuh kagum mendengarkan kisah perjalanan Rininta dari satu butik ke butik lain bersama lima orang kawannya. Lintang tahu sepupunya sedang menyiksa Rininta tanpa disadari gadis cantik itu. Untung saja pengumuman makan malam tiba. Lintang merasa lega karena mengira sirkus itu sudah selesai. Makan malam yang mereka sediakan di atas meja panjang itu sungguh fantastis: ikan besar—Lintang tak tahu itu ikan apa—bumbu kuning, ayam balado, daging steak gulung, capcay, cah asparagus hijau, sambal tiga rupa, nasi dua warna (nasi putih dan nasi goreng), kerupuk empat macam (keriting, panjang, berwarna cokelat, dan warna-warni), bebek goreng mentega, sate kambing saus kecap, cumi isi, udang bumbu bakar, sambal goreng petai.... Astaga, berapa asisten dan koki yang mengerjakan ini semua? Lintang membayangkan ayahnya, Yazir, dan Bahrum, pasti harus jumpalitan jika harus menyajikan makan malam sebesar dan semewah ini. Pak Pri mempersilakan mereka mengambil tempat masing-masing. Tentu saja di Indonesia, makan malam seresmi www.boxnovel.blogspot.com
358 PULANG apa pun tak perlu meletakkan kartu nama tamu. Lintang malah menyukai cara yang begitu kekeluargaan. Dia tak merasa diatur-atur harus duduk di sebelah orang yang tak dikenalnya. Di sebelah kiri dia Rininta dan sebelah kanannya adalah Tante Retno. Di hadapannya adalah Rama dan Om Aji. Sedangkan di ujung sana adalah Bu Pri dengan Andini. Di ujung meja kanan tentu saja Pak Direktur Priasmoro yang malam itu tampak berkilat dengan batik sutera bermotif burung ungu. “Mari, mari...ayo, Lintang. Ini makanannya tidak seperti di Prancis ya, apa adanya.Mungkin agak pedas buat Lintang,” Ibu Pri dengan suaranya yang merdu membuai tamu-tamunya. Mereka semua saling menyendok nasi, mengambil lauk, bertukar lauk dengan tetangga di sebelahnya—sibuk menyusun isi piring masing-masing. Lintang sudah mantap dengan pilihannya: nasi putih, ikan bumbu kuning, sambal cabai hijau, cumi isi, dan cah asparagus. Sembari menikmati makanan, Lintang dengan sopan mendengarkan celoteh Rininta tentang London yang selalu hujan dan orang Prancis yang menolak berbahasa Inggris. Lintang tak terlalu memperhatikan celotehnya dan mencoba mengingat-ingat bumbu ikan yang dia lahap karena ia ingin melapor pada ayahnya. Ikan bumbu kuning ini sungguh berbeda. Enak, fantastis, tapi berbeda bumbu. “Ikannya enak sekali,” kata Lintang tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Oh, itu ikan kerapu, Lintang. Hati-hati cabe rawitnya pedas sekali.” “Hot, hot...,” Rininta mencoba menerjemahkan pada Lintang seolah Lintang tak bisa berbahasa Indonesia. “Oh, saya sudah biasa makan pedas, Bu. Ayah saya sering masak, dia seorang chef.” Lintang menyuapkan ikan itu dengan semangat. “Saya ingin tahu resep ikan ini.” “Oooo Ayah Lintang seorang chef? Hebat. Di Paris?” Ibu www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 359 Pri menatap kagum. “Bistro di Paris itu kan terhebat di dunia. Di mana bistro ayahmu?” Tak terbayangkan! Tak terbayangkan! Rama tampak pucat dan kaku. Dia berhenti mengunyah dan menatap Lintang, tak percaya mendengar dialog yang baru saja terjadi. Aji dan Retno juga ikut-ikutan menyadari mereka memasuki kawasan sensitif. Tapi bukankah Rama seharusnya sudah memberitahu mereka tentang sejarah keluarga Suryo yang di sebuah masa dianggap ‘musuh’ negara? “Bukan bistro, Bu. Restoran Indonesia, tapi ada bar juga, di Prancis selalu harus ada anggur, Bu,” jawab Lintang dengan polos. “Oh restoran Indonesia? Bagus, bagus,” Pak Priasmoro mengangguk-angguk. “Artinya makanan Indonesia memang disukai bule-bule ya Bu. Mereka sudah jauh-jauh di Eropa tetap saja yang dicari nasi,” Pak Priasmoro terkekeh-kekeh menceritakan perjalanan keluarganya ke Eropa beberapa tahun lalu. Rama agak lega melihat pembicaraan agak membelok. “Akhirnya ke Chinatown ya, Pak,” Rama semakin percaya diri untuk mengemudi pembicaraan. Aji semakin yakin anaknya sama sekali belum berbicara apa pun kepada calon mertuanya. “Iya, iya...lha sebetulnya ada itu restoran Indonesia, di mana to Bu? Rue de...apa?” “Rue de Vaugirard,” Bu Pri mengingatkan sambil menawarkan sate kambing pada Lintang. Lintang menerima piring sate kambing itu tanpa menyadari ketegangan baru yang terjadi. Dia takjub melihat daging gemuk dengan lemak yang disiram sambal kecap dan irisan bawang merah itu. “Nah, itu si Rininta sudah ndak sabar mau makan nasi. Baru seminggu sudah merengek. Lha gimana, itu kan restorannya PKI-PKI itu. Yang bener!” Pak Pri mengoceh tanpa menyadari perubahan wajah tamu-tamunya. Begitu terkejut, piring sate www.boxnovel.blogspot.com
360 PULANG itu hampir saja jatuh. Lintang meletakkan piring panjang itu dengan tangan gemetar. “Iya kita akhirnya ke kafe lagi, makan Prancis lagi,” kata Rininta dengan suara manja. “La piye, itu sarang komunis ndak bisa disentuh-sentuh. Kamu gak paham politik, maunya makan nasi saja,” Pak Pri menggerutu seolah Rininta masih berusia 12 tahun. “PKI-PKI itu malah jadi terkenal, sukses, ditulis di mana-mana, padahal makanannya begitu-begitu juga. Cuma nasi goreng dan telur ceplok,” dia tertawa berderai-derai. “Ayo, ayo, Pak Aji, Bu Retno, ditambah makannya.” “Bukan hanya nasi goreng!” tiba-tiba Lintang menyela dengan mata menyala. O My God, O My God! Andini berbisik dengan sinar mata bergairah. “Ya Sayang?” Bu Pri tak paham situasi memberi arena bagi Lintang. Rama kelihatan ingin meluncur ke bawah meja. “Bukan hanya nasi goreng, bukan hanya telur ceplok. Mereka juga punya menu Indonesia yang lengkap dan lezat. Ada rendang padang, paru goreng, sambal goreng udang, nasi kuning lengkap dengan tempe kering dan teri balado serta urap. Juga ada gulai anam dan bahkan ikan pindang serani yang luar biasa lezatnya, hingga rumah makan itu selalu penuh setiap jam makan siang dan makan malam. Penuh!” Lintang berbicara begitu lantang dengan air mata yang mengambang di pelupuk matanya. Rama tak tahu apakah dia harus marah atau bersembunyi merosot ke dalam tanah untuk tak kembali lagi. Aji dan Retno saling berpandangan karena sudah jelas puteranya tak menunaikan janjinya untuk berterus terang tentang mereka. Andini tersenyum-senyum sembari terus merapal O My God dan menggigit sate dengan nikmat. “Oh, begitu ya?” Pak Pri menatap Lintang dengan takjub. “Suka ke sana, Nak?” www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 361 “Tentu saja saya sering ke sana. Bukan hanya sering, saya ikut menyaksikan berdirinya restoran itu. Ayah saya adalah pendiri dan koki di Restoran Tanah Air.” Lintang berdiri dengan air mata mengalir sambil mengucapkan permisi untuk ke kamar mandi. Ibu Pri menganggukangguk tergopoh menunjuk arah kamar mandi sementara suasana meja makan seperti sebuah adegan televisi dengan tombol jeda sedang ditekan. Freeze. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berkata-kata. Lintang masuk menghambur ke muka wastafel dan mencuci mukanya. Antara air mata dan air keran itu bercampur baur menjadi satu. Lintang menggosok-gosok wajahnya begitu keras dan berkali-kali hingga seluruh pipi dan dahinya menjadi merah dan lebam. Dia menatap wajahnya ke cermin. Wajah yang merah, marah, dan garang. Dia tak mengenal wajah itu. Lantas berkelebatlah surat-surat berdarah yang dibacanya di Le Marais bercampur dengan bayangan gundukan tanah merah segar dengan nama ayahnya: Dimas Suryo 1930-1998. Air matanya terasa panas merembes. “Lintang, ” Andini mengetuk pintu kamar mandi. “Ya,” Lintang mencoba menyembunyikan suaranya yang parau. “Are you okay, couz?” “Oui…yes,” Lintang berdehem karena suaranya masih saja pecah. Lintang tak pernah peduli jika orang meremehkan dia. Tetapi seorang anak selalu merasa lebih tersinggung jika ada yang menghina orangtuanya di depan publik. “Lintang…aku masuk ya.” Lintang tak menjawab. Dia mendengar bunyi pintu dibuka. Lintang baru sadar dia tak mengunci pintu kamar mandi. Andini berdiri di sampingnya dan mengelus-ngelus bahunya. “You go girl!” Andini berbisik, “Gue bangga sama lu.” Lintang melirik, dan akhirnya dia tertawa bersama-sama www.boxnovel.blogspot.com
362 PULANG sepupunya yang sinting itu. “Ah gila, Om Aji dan Tante Retno pasti pusing menghadapi ini semua. Aku harus minta maaf pada mereka, merusak acara ini,”Lintang mencari-cari tisu untuk mengeringkan wajahnya. “Oh jangan takut. Terdakwa malam ini adalah Rama. Kau adalah pahlawan. Ayo, kita pulang!” Andini menggenggam tangan Lintang yang masih gemetar. Mobil Kijang keluarga Aji Suryo melintasi jalan Jakarta yang masih saja padat oleh orang-orang yang tak betah berdiam di rumah. Aji, Retno, Lintang, dan Andini tenggelam dalam pikirannya masing-masing. “Musik dong, Pa,” Andini seperti biasa memecah kebekuan. Ibunya mencari-cari kaset di laci. Waljinah. “Jangan Waljinah. Jangan keroncong,” Dini berubah jadi diktator. “Lo terus apa?” Dini lantas memajukan tubuhnya dan mengobrak-abrik tumpukan kaset di laci depan. “Nah!” Lagu “Everything’s Gonna Be Alright” Bob Marley kemudian mengguncang kijang, mengacak-acak kebekuan. Aji mengge lengkan kepalanya, menggerutu. “Keroncong ndak boleh, Waljinah bersuara emas ndak boleh. Yang boleh kok lagu nandak-nandak begini.” Tapi Aji tersenyum. Lintang memegang bahu pamannya, “Om Aji, pardon...maaf sekali saya merusak makan malam yang penting ini.” Om Aji menyetir sembari memegang tangan Lintang di bahunya. Akhir pekan ini memang tidak setenang dan sedamai yang dia inginkan. Tetapi sikap Lintang telah membuka semua jalan yang gelap menjadi terang. Rama, dengan segala rasa sakit, akan belajar untuk jujur dan berani bersikap. Aji belum pernah merasa lega seperti malam itu. Dia semakin www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 363 menghormati abangnya yang telah membesarkan puteri yang cerdas dan memiliki kepal tangan yang keras. “Sama sekali tidak, Nak. Kamu sama sekali tidak merusak apa-apa. Kamu malah membuat segalanya jadi terang benderang. Jangan sekali-kali meminta maaf untuk mempertahankan prinsip!” Lintang tersenyum menahan air mata. Dia menggenggam tangan pamannya dengan erat. Andini melihat keluar jendela sembari mengikuti lirik Bob Marley. “Don’t worry about a thing, ‘Cause every little thing gonna be all right!” www.boxnovel.blogspot.com
www.boxnovel.blogspot.com
POTRET YANG MURAM Le coup de foudre. Itu yang dikatakan Maman ketika pertama kali ia bersirobok mata dengan Ayah di kampus Universitas Sorbonne Mei 1968. Mereka selalu menceritakannya dengan penuh sentimentalitas revolusi, kemerdekaan, keadilan, dan kebebasan. Yang belakangan itu, menurutku, pasti soal kebebasan seks, karena sebelum revolusi Mei 1968, aku dengar dari cerita Maman, asrama lelaki dan perempuan di kampus di Prancis masih dipisah. Buatku sejarah menggambarkan revolusi Mei 1968 dengan gagah, sedangkan aku membaca buku sejarah dengan perasaan tergelitik geli karena generasi itu nampak terlalu serius dengan dirinya sendiri. Setelah mengenang-ngenang revolusi itu, Maman mengucapkan le coup de foudre. Aku hampir tersedak karena air yang sedang kuminum muncrat melalui hidung. Di dalam bahasa Prancis, secara harafiah tentu istilah un coup de foudre saja berarti halilintar atau petir. Tetapi jika dua pasang mata bersirobok hingga membuat detak jantung berhenti, maka le coup de foudre berurusan dengan emosi (yang bisa membahayakan keseimbangan jagat): jatuh cinta pada pandangan pertama. www.boxnovel.blogspot.com
366 PULANG Setiap kali Maman mengisahkan romantika pertemuan mereka, bahkan setelah mereka bercerai, aku tak pernah tidak tertawa terkekeh-kekeh. Seperti Maman sebelum bertemu dengan Ayah, aku tak percaya pada le coup de foudre. Untukku segalanya sederhana saja. Kita bertemu, saling mengenal, merasa cocok, merasa nyaman. Itulah cinta. Cinta pada pandangan pertama itu kalimat yang diciptakan perusahaan kartu ucapan yang menjual kartu Valentine atau studio film Hollywood yang selalu melakukan berbagai cara untuk menjual cinta dalam bentuk visual. Menurutku, Maman dan Ayah mengenang Mei 1968 sebagai sebuah peristiwa monumental untuk Prancis dan untuk mereka berdua. Karena gayaku yang kurang ajar, Maman selalu mengatakan, “Hati-hati, akan datang saatnya kau terjerat oleh kata-katamu sendiri.” Tampaknya inilah saat aku terjerat oleh kata-kataku sendiri. Aku pernah yakin tak akan bernasib seperti Maman yang langsung tergeletak tak berdaya saat diserang halilintar itu. Aku sudah memiliki Narayana, yang sama sekali bukan halilintar atau petir dalam hidupku. Nara adalah sebuah payung besar yang melindungi hidupku dari hujan dan badai. Jadi, apa peduliku dengan halilintar atau petir. Ternyata le coup de foudre itu menghantamku dalam bentuk seorang Alam. Segara Alam. Lelaki tinggi, berambut ikal, berkulit cokelat gosong karena jilatan matahari, dan berwajah kasar oleh bekas jenggot yang dicukur. Aku bisa melihat otot tangan, dada, dan perutnya di balik kemeja. Mungkin dia seorang atlet atau mungkin dia rajin berlari pagi, entahlah. Kami bertemu di Kantor LSM Satu Bangsa yang dipimpin Gilang Suryana. Inilah salah satu nama dari sejumlah kawan yang direkomendasikan Om Nug sebelum aku datang ke Jakarta. Alam tampak tidak terlalu antusias dengan kedatanganku. www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 367 Matanya yang tajam seperti elang itu sebentar-sebentar melirik arloji, lalu menengok telepon selulernya yang tak bisa diam. Aku susah membentuk kalimat. Mungkin karena matanya yang hitam berkilat dan bicaranya yang serba cepat dan tegas seperti pisau Ayah saat memotong bawang dengan gesit tanpa banyak cincong. Atau mungkin sikapnya yang acuh tak acuh, yang menganggap kehadiranku sama sekali tak penting dan mengganggu agenda acaranya. Aku berbicara begitu bodoh dan setiap ucapanku dibantah dengan kesigapan dan kecerdasan seorang aktivis yang sudah berpengalaman. Ketika aku mulai merajuk—sesuatu yang sama sekali memalukan—karena jengkel dengan bantahan-bantahannya, Alam sama sekali tak goyah. Dengan Nara aku bisa memperoleh apa pun yang kuinginkan: kemenangan dalam perdebatan (karena dia selalu mengalah, bukan karena aku selalu benar); pilihan restoran, pilihan menu, pilihan bermalam di tempatnya atau di tempatku, hingga pilihan posisi dan lokasi kami bercinta. Mengapa aku teringat Nara di hadapan lelaki muda sialan ini, aku tak tahu. Kelihatannya Alam gemar sekali memotong kalimat orang jika dia tak sabar, atau kalau dia tak suka pada lawan bicaranya. Dia menolak aku sapa dengan sebutan ‘Mas’, meski Ayah berpesan aku harus memanggil ‘Mas’ pada Alam dan Bimo karena mereka sepuluh tahun lebih tua daripadaku. Untuk beberapa saat aku merasa Alam tengah menguji pengetahuanku tentang Indonesia, seolah-olah aku mahasiswa pemalas yang hanya menerima apa saja yang tersaji di atas nampan. Akhirnya aku mengambil kesimpulan, dengan tingkah Alam yang tengil dan situasi Jakarta yang panas yang membuat jadwalnya padat, aku harus bekerja sendiri. Kenapa aku harus meminta tolong dia? Siang itu, setelah kutunaikan pesan Ayah untuk memberikan jam tangan Titoni dari almarhum Om Hananto kepadanya, aku melesat ke luar kantor Satu Bangsa. Bunyi desing kenwww.boxnovel.blogspot.com
368 PULANG daraan umum beroda tiga yang berisik itu dan mobil-mobil di pinggir trotoar yang banyak lubang itu membuatku tersandung beberapa kali. Ah, sial betul. Mengapa air mata ini meluncur begitu saja. Aku bukan perempuan cengeng. Aku ingin meninggalkan kantor ini dengan penuh harkat. Merde! “Maafkan saya....” Itu kalimatnya ketika dia menyusulku ke pinggir jalan yang penuh debu. Aduh, aku malu sekali dengan air mata, ingus, dan keringat yang mengalir pada wajahku yang terasa panas. Dan tisu selalu susah sekali ditemukan saat seperti ini, di hadapan lelaki cakep yang tengil ini. Saat itu. Saat itu dia menyebut namaku sekali lagi sambil menyentuh lenganku. Apakah namanya setrum, petir, atau halilintar. Aku tak tahu dan aku lupa semua bahasa yang sudah kukuasai: Prancis, Indonesia, Inggris. Melalui sentuhan yang menyengat itu, aku merasa ada sesuatu dalam dirinya yang berpindah ke tubuhku. Sesuatu yang membuat darahku mengalir dengan deras. Kemampuanku untuk berceloteh dalam segala bahasa, lumpuh seketika. Mungkin itulah sebabnya dia mencari cara agar aku mau berbicara lagi. Dengan mengajakku ke sebuah museum di Lubang Buaya. Siang itu matahari sangat menggigit. Bahkan Alam yang lahir dan besar di Jakarta tampak terus-menerus mengeringkan keringat di tengkuk dan pelipisnya. Apalagi aku yang mengenal matahari yang garang hanya selama empat bulan dalam setahun. Itu pun tak sepanas dan tak selembab matahari Jakarta. Dengan udara yang begini menyiksa, aku mencoba membaca buklet yang menjelaskan isi lahan seluas sembilan hektar tempat museum itu berada. Aku merekam semuanya sesuai daftar isi: monumen pahlawan, serangkaian diorama, berbagai ruangan yang diabadikan, termasuk ruang rapat dan penyiksaan, Lubang Buaya, dan juga beberapa tank tentara. www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 369 Aku paham mengapa Alam mengajakku ke sini. Segalanya harus ada garis awal. Orde Baru menganggap, inilah fondasi kekuatan mereka. Aku merekam semua ruangan dan diorama yang menggambarkan peristiwa demi peristiwa yang begitu detil, begitu rinci, seperti sebuah adegan film. “Oh itu memang ada filmnya,” kata Alam yang berdiri agak jauh menyender ke salah satu tiang museum. Dia khawatir, jika berdiri terlalu dekat di belakangku rekamanku akan memantulkan bayangannya pada kaca diorama. “Ya, aku ingin sekali menyaksikannya,” jawabku setelah mematikan rekaman. Beberapa rombongan anak-anak sekolah dasar dan seko - lah menengah tampak berbaris dan mencatat. Alam memandang mereka dan bermain dengan satu-dua anak SD yang tampak bosan. Selagi merekam semua itu, aku sempat mewawancarai beberapa guru yang tengah mengantar murid-muridnya. Menurut dua orang guru perempuan—namanya sudah kucatat—kunjungan itu adalah bagian dari pelajaran Sejarah. Di sekolah menengah pertama, mereka bahkan wajib menyaksikan film yang tadi disebut-sebut Alam. “Aku betul-betul harus menyaksikan film ini,” kataku menghampiri Alam. “Guru tadi, Ibu Rahma, mengatakan diorama itu persis dengan adegan-adegan film.” Aku memasukkan video ke dalam tas, tak menyadari wajahku sudah matang seperti baru saja direbus. Panas dan basah. Alam memandangku dengan intens, dan ini menggangguku sejak tadi, sejak dia mengejarku ke pinggir Jalan Diponegoro. Pandangan Alam seperti seorang yang siap menembus masuk tubuh siapa saja, menerobos benteng pertahanan apa pun, dan dengan mudah kilatan matanya itu menancap masuk. Aku terganggu dan gelisah karena merasa pandangan Alam tak akan menyisakan sepetak atau bahkan setitik wilayah pribadi di dalam diriku. Dia mendekat dan mengambil tisu dari saku www.boxnovel.blogspot.com
370 PULANG celananya. Aku begitu takut akan kekuatan Alam, kuputuskan untuk menyambar bungkusan tisu itu dan buru-buru mengucapkan terima kasih. “Wajahmu seperti kepiting rebus,” katanya tersenyum, “merah dan menggairahkan.” Aku tertawa mendengar metafora itu. Kami berjalan menuruni tangga dan aku masih mengambil beberapa rekaman jarak jauh untuk mendapatkan footage museum ini dari luar. “Jadi kepingin kepiting saus padang,” kata Alam pada diri sendiri. Itu cara berbelok paling aneh yang pernah kudengar. Aku bertanya di manakah makanan laut yang paling enak di Jakarta. Dia menyebut beberapa tempat, selain di dekat Ancol, katanya ada juga kepiting dan udang rebus yang diberi saus nanas di Kamel (rupanya itu singkatan dari Kampung Melayu). Di sana juga ada kepiting saus padang terlezat di seluruh jagat, katanya hiperbolik. Tapi tetap saja ucapannya menerbitkan air liurku. Aku belum pernah mencoba kepiting saus padang, jawabku bernafsu. Alam mengatakan kalau aku nanti mampir ke Restoran Roda, memenuhi permintaan Om Nug, dia akan mengajakku ke Kamel suatu hari. Tetapi saat itu, setelah selesai merekam, Bimo dan Gilang sudah menantinya di lokasi unjuk rasa. Telepon selularnya yang berbunyi setiap 20 menit itu membuatku berulang-ulang meminta maaf sudah merebut dia dari janji dengan Bimo dan kawan-kawannya. “Tidak apa. Hari ini sudah unjuk rasa beberapa kelompok dan perguruan tinggi. Unjuk rasa yang besar nanti kalau harga BBM diumumkan. Dan pasti BBM akan naik,” katanya sambil melihat ke arah jalanan. “Lagi pula, kau harus berkenalan dengan Bimo. Om Nug kan juga ingin laporanmu,” Alam tersenyum. Mendengar itu, aku segera menyatakan sudah selesai dengan rekamanku hari itu dan Alam segera memanggil www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 371 taksi untuk menyusul kawan-kawannya di bundaran Hotel Indonesia. Perjalanan yang cukup jauh, lama, dan macet. Aku sudah mendengar reputasi kemacetan Jakarta dan Bangkok, tapi aku tak mengira kita bisa menyelenggarakan seminar di atas taksi saking lamanya durasi kemacetan di kota ini. Kami sama-sama memberi komentar tentang museum itu. Tentang bagaimana pemerintah Orde Baru begitu perkasanya bisa terus-menerus menghidupkan imaji kejahatan musuhnya dan berhasil menumbuhkan serta menyuburkan kebencian masyarakat terha - dap hantu bernama komunisme. Bagaimana semua literatur asing mencoba mengungkap teori siapa sesungguhnya di belakang peristiwa ini. “Komunisme hanya satu kata yang manjur untuk dijadikan musuh bersama. Kecuali jika mereka membaca diam-diam, mahasiswa di Indonesia belum pernah membaca buku-buku Karl Marx atau tafsirnya karena ada larangan pemerintah. Paranoia itu malah membuat anak-anak muda tertarik mencarinya,” kata Alam mengeluarkan sebungkus rokok, tapi hanya memegang-megangnya. Aku tahu dia ingin betul merokok, tetapi menahan diri. “Dan seandainya mereka tahu, toh itu teori yang gagal di mana-mana. Tak akan ada yang tertarik. Aku saja tidak. Bimo juga tidak. Dan bukan karena apa yang menimpa keluarga kami, tetapi justru karena kami membacanya sebagai mahasiswa, dan menggunakan nalar.” “Aku ingin sekali bertemu dengan Bimo. Om Nug sering sekali bercerita tentang dia,” aku mendengar nama itu disebut berkali-kali, “pasti kau karib dengannya.” “Sejak kecil kami seperti abang adik. Dalam soal menghadapi anak jalanan, saya abangnya. Dalam soal perempuan, dia menjadi kakak saya,” Alam melirikku. “Kenapa?” www.boxnovel.blogspot.com
372 PULANG “Oh kalau menghadapi anak jalanan, Bimo sangat pengalah,” jawabnya tersenyum. “Bukan itu. Pernyataanmu yang kedua. Mengapa Bimo jadi kakakmu dalam soal perempuan.” “Oh...itu.” Alam tidak menjawab. Tangannya masih saja memegang sebungkus rokok dengan gelisah. “Kalau kau mau merokok, aku tak keberatan. Asal buka jendela sedikit,” kataku kasihan juga melihat dia bolak-balik memegang bungkusan rokok itu. “Kamu kelihatan gelisah. Aku sudah biasa dengan asap. Orang Prancis adalah perokok,” aku membuka jendela di bagianku sedikit, lalu menyeberangi tubuhnya untuk membuka jendela di sisi Alam. Dia tampak mengkerut ketika aku tak sengaja menyentuhnya. “Sorry,” kataku tak enak. “Merokoklah.” “Aku gelisah bukan karena tidak merokok,” katanya menutup kembali jendela-jendela yang sudah kubuka. “Aku gelisah karena sejak tadi aku ingin menciummu.” Tentu saja darahku berdesir. Tentu saja jantungku berdebur. Tentu saja seluruh organ tubuhku bereaksi dengan girang mendengar kalimat semacam itu. Dari Alam, seseorang yang baru saja kukenal beberapa jam lalu, tetapi mampu membuat jantungku blingsatan. Saat itu aku segera tahu. Bimo menjadi ‘kakak’ bagi Alam dalam soal perempuan karena Alam gemar sekali menebarkan kalimat-kalimat yang menyengat seperti ini. Oh Maman. Betapa aku telah mengejekmu. Kulihat supir taksi melirik melalui spion untuk mengecek apa yang tengah terjadi pada kami. Aku hanya diam tak bereaksi. Alam tertawa kecil. Jari-jarinya menyentuh bibirku. Itu saja sudah menyengat. Le coup de foudre. *** www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 373 Upayaku untuk mewawancarai sastrawan Pramoedya Ananta Toer mengalami kesulitan karena jadwalnya cukup padat. Alam berjanji membantu mencari tahu kegiatan Pak Pram. “Biasanya, kalau beliau memberi ceramah tentang bukunya, kita bisa coba minta wawancara di lokasi,” kata Alam. Aku sudah berhasil mendapatkan janji dengan tiga orang bekas tapol yang bersedia diwawancara besok dan lusa. Karena hari itu jadwalku kosong, sementara harga BBM sudah diumumkan, Alam mengusulkan agar aku berbincang dengan ibunya, sementara dia, Bimo, dan Gilang harus pergi mengawal unjuk rasa besar di titik-titik penting Jakarta. “Kau bisa ke rumah ibuku sendiri? Atau perlu kujemput?” “Don’t be ridicilous. Pergilah untuk urusan unjuk rasa, aku biasa ke mana-mana sendiri,” tiba-tiba aku menikmati perhatian Alam meski hanya melalui telepon. “Tadi Andini cerita insiden semalam.” “Oh.” “Are you alright?” “Aku baik-baik saja. Justru aku khawatir dengan keadaan Rama. Bagaimana kalau pekerjaan dan hubungan dengan kekasihnya terganggu akibat mulut harimauku itu,” aku mengingat drama semalam yang sungguh memalukan. “Sudahlah. Rama sudah lama membuat keluarga Om Aji terluka karena tingkahnya. Biar dia belajar,” Alam membalas dengan garang. “Ya tapi tingkahku semalam sebetulnya bukan aku.” “Jangan terlalu sering menyalahkan diri sendiri,” Alam menukas, “Rama sudah tahu apa yang dia hadapi. Aku tidak menjawab. “Jadi kita bertemu di rumah Ibu?” suara Alam mulai melunak. “Sampai jam berapa rencananya? Mungkin seusai urusanku, aku bisa jemput kamu ke Percetakan Negara.” www.boxnovel.blogspot.com
374 PULANG Aku menahan rasa girang mendengar dia ingin bertemu lagi hari itu. Betapa centilnya, dan betapa pubernya. Persis seperti remaja di masa pancaroba. Lazimnya aku akan lebih tertarik dengan proses wawancara dan jawaban narasumberku. Tetapi aku malah mencoba mencocokkan jam wawancara dengan jadwal Alam. Ini bukan hanya gawat, tapi konyol. Apa yang terjadi dengan Nara? Aku harus segera meneleponnya, meski ongkosnya akan sangat mahal. “Kau selesai jam berapa? Wawancaraku mungkin hanya dua atau tiga jam.” Alam tertawa, “Kau belum kenal ibuku. Kau akan diajak makan atau mungkin diajak masak. Diajak ngobrol sebelum akhirnya kau bisa mewawancarai dan merekam dia. Pasti akan seharian.” “Jadi kau akan menemuiku di rumah ibumu?” Alam terdiam, “Begini saja, nanti kita saling telepon. Kalau kau selesai lebih cepat, kita bertemu di tengah saja. Kau sudah pegang ponsel Andini?” “Ya, dia meminjamkan satu untukku. Aku juga masih ada ponsel nomor Prancis,” kini aku menahan kecewa. “Oke. Aku harus pergi sekarang. Take care. Bye.” Aku menutup telepon rumah Om Aji. Jadi belum tentu aku bertemu dengan Alam. Atau mungkin bertemu, tetapi belum jelas kapan dan di mana. Dengan kecamuk unjuk rasa, bagaimana mungkin kami bisa bertemu? Ah, kenapa bertemu dengan lelaki tinggi dengan dagu biru bekas cukur jenggot itu penting betul. Aku menguburkan segala kegelisahanku karena ada kerepotan yang lain. Aku harus memenuhi pesan Ayah untuk membawa bunga melati. “Din, cari bunga melati di mana ya?” “Bunga Melati? Memangnya siapa yang koit?” “Koit?” Andini tertawa, “ Repot betul anak Sorbonne ini. Koit, mati, www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 375 meninggal, berpulang, wafat.” Aku mengambil agendaku dan mencatat kata aneh itu. Koit. Sejak aku tiba di Jakarta, aku mencatat berbagai kosakata yang aneh di telingaku, yang tak tercantum dalam kamus. Andini terkekeh melihatku bergaya seperti seorang notulen yang obsesif. “Memangnya kau mau melayat? Atau mau kawin? Melati itu untuk orang kawin atau meninggal, Lintang.” Hm. Mengapa Ayah memintaku membawakan melati untuk Tante Surti? “Sudahlah. Di mana aku bisa membeli bunga melati? Aku perlu besok.” “Apa boleh buat, di kuburan. Ayo aku anter, kan kamu bilang kamu suka mengunjungi makam untuk jalan-jalan...seperti flâneur,” Andini tersenyum mengedipkan mata. Aku melempar bantal ke arah Dini, sungguh menyenangkan mempunyai sepupu yang sebaya untuk anak tunggal seperti aku. “Titip si Irah saja besok subuh dia kan ke pasar,” Om Aji menyela, “untuk Tante Surti ya? Pesanan Ayahmu?” Aku mengangguk heran. Om Aji sebetulnya cocok menjadi staf intelijen karena terlalu tahu segalanya. Rumah keluarga Hananto Prawiro di Percetakan Negara Salemba tampak seperti bangunan lama yang sudah butuh renovasi. Warna putih—yang lebih layak disebut kecokelatan— dengan kebun kecil yang terdiri dari rumput hijau yang terpelihara dan dibingkai tanaman lantana ungu dan kuning. Aku sengaja membawa kamera video di dalam ranselku, dan beberapa ronce melati di dalam kotak plastik (Tante Retno mengatakan agar tetap segar). Pintu pagar rumah Tante Surti yang tak dikunci berderit ketika kubuka. Aku membayangkan Kenanga, Bulan, dan Alam semasa kecil pasti sering bermain di halaman rumah ini. Aku mengetuk pintu. Seorang perempuan tua membuka pintu dan mempersilakan aku masuk dan duduk www.boxnovel.blogspot.com
376 PULANG di ruang tengah. Aku bisa mendengar suara mesin jahit dari ruang sebelah. Alam pernah bercerita ibunya mempunyai dua asisten untuk usaha jahitan. Sebuah kursi rotan panjang dan sebuah kursi malas tua yang sudah saatnya pensiun. Puluhan potret lama yang sudah menguning di atas rak buku. Sebuah jambangan berisi kembang anyelir putih yang membuat ruangan itu lebih segar. Potret keluarga Hananto yang besar itu diletakkan di dinding. Om Hananto yang masih muda, tampan, memangku bayi lelaki –pasti itu Alam—yang didampingi anak-anak perempuannya. Aku menebak itu adalah Kenanga dan Bulan. Di samping mereka semua, O Mon Dieu, inikah Tante Surti? Pantas saja Ayah dan Om Hananto berjibaku saling berebut perhatian. Mengapa sutradara Indonesia seperti Usmar Ismail tak menemukan dia? Bukan hanya jelita dengan rambutnya yang tebal dan ikal yang membungkus wajah oval bermata kenari dan berhidung lancip. Tetapi, bibir itu. Sungguh alamiah bentuk bibir itu. Zaman sekarang perempuan sering memanipulasi bentuk bibirnya dengan melukis tepi bibir agar bibir tebal tampak lebih tipis, dan bibir tipis menjadi sepotong daging steak seperti bibir Brigitte Bardot saat dia masih muda. Bibir Tante Surti terlihat alamiah, sudah berbentuk sempurna seperti bukit yang kenyal dan penuh tanpa harus dimanipulasi. Seperti Maman, Tante Surti adalah perempuan yang tampaknya tak tergantung pada kosmetika. Dia hanya mengenakan bedak dan seulas lipstik yang tipis. Tanpa maskara, tanpa pemerah pipi. Di sebelah foto keluarga itu, aku hampir terjengkang melihat foto Alam dalam seragam karate (atau taekwondo? Aku tak tahu bedanya). Mungkin dia masih duduk di sekolah dasar. Tapi sejak kecil, tubuh Alam sudah terlihat lebih tinggi dan tegap dibanding rekan-rekannya. Ada beberapa foto dia saat bertanding karate dengan sabuk hitam. Barangkali dari sanalah dia memperoleh serangkaian otot yang tampak menonjol di www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 377 balik kemejanya. Alam jelas mewarisi wajah Om Hananto: ganteng, keras, dan jantan. Kenanga dan Bulan adalah gadisgadis yang memperoleh kecantikan sang ibu. Kenanga dalam setiap foto, meski manis, nyaris tak pernah tersenyum. Serius dan terkadang sedih. Sementara sang adik justru selalu bergaya dan menatap kamera dengan ramah. “Halo Lintang....” Seorang perempuan berusia 60-an berdiri di hadapanku. Inilah Surti Anandari yang masih saja tetap cantik di usianya yang sudah senja. Yang membedakan dia dengan Surti pada potret muram itu adalah rambut yang sudah diselimuti uban dan kulitnya yang berubah tekstur. Untuk seorang perempuan yang sudah melalui begitu banyak siksaan hidup, Tante Surti terlihat tangguh. Sinar mata elang Alam mungkin diperoleh dari ibunya: berkilat dan menyengat. Aku menyodorkan tanganku dan sedikit menunduk. Dia memelukku dan mencium pipiku dengan hangat. Dengan mata yang agak berkaca dia mengelus rambutku. “Cantik sekali puteri Dimas ini...ayo duduk. Mau minum apa, Lintang?” Aku duduk perlahan, masih terpesona oleh sosok Tante Surti. Dia betul-betul ‘hadir’ dan menguasai ruangan. “Apa saja Tante. Air putih juga boleh.” “Tante baru saja membelah kelapa muda. Mau ya, dengan es?” Es kelapa muda di siang hari? Siapa pun yang menolaknya pasti gila. Dingue. Aku mengangguk dengan semangat. Sambil menikmati es kelapa muda yang luar biasa segarnya itu, kami memulai pembicaraan dari hal yang remeh temeh. Tentang persahabatan Ayah, Om Nug, Om Hananto, dan Om Tjai di masa muda. Tentang kuliah di Universitas Indonesia masa Bung Karno menjadi presiden. Tentang buku-buku yang sulit diperoleh, tapi mereka selalu saja mendapatkannya dari orangwww.boxnovel.blogspot.com
378 PULANG orang Belanda kawan ayah Tante Surti. Kemudian keluarlah nama-nama klasik itu, Lord Byron, T.S. Eliot, hingga Whalt Whitman dan Allen Ginsberg, juga berbagai penyair Indonesia yang begitu melekat pada lidahnya seperti Chairil Anwar dan Rivai Apin. Tante Surti berbicara dengan penuh kehangatan terhadap kata-kata yang dia kutip dari penyair-penyair itu. Tetapi wajah itu redup saat menyebut September 1965 sebagai batas akhir di mana puisi menjadi benda asing. “Sejak saat itu, yang hanya saya pikirkan adalah bertahan dan melindungi anak-anak,” katanya memandangku, kembali ke Jakarta masa kini. Aku merasa sudah waktunya dia berbicara untuk direkam. Tiba-tiba saja dia kembali ke suasana yang lebih riang karena dia mengajak aku makan siang dan aku sama sekali tak boleh boleh menolak. Alam memang benar. “Kenanga memasakkan ikan pindang serani, dia akan kirim ke sini sebentar lagi,” kata Tante Surti sambil menyiapkan piring, sendok, dan garpu. Aku membantu menutup meja sembari mendengarkan cerita bahwa Kenanga bersama suami dan anak-anaknya tinggal tidak jauh dari sini. Karena ibunya sudah tinggal sendirian—dengan seorang pembantu dan dua orang asisten penjahit yang pulang sore hari—maka Kenanga sering memasakkan ibunya, meski si ibu sendiri juga senang memasak. Bulan sudah bekerja di sebuah perusahaan agen iklan dan memilih kos di daerah Setiabudi dekat dengan kantornya di daerah Rasuna Said. Menurut Tante Surti, walau sangat sibuk, Alam selalu mengunjunginya pada akhir pekan. Sembari melirikku sambil tersenyum kecil, Tante Surti mengatakan hingga kini Alam tak pernah memperkenalkan kawan perempuannya. Dia satusatunya anak yang belum juga berniat membuhulkan hubungannya dengan siapa pun, kata Tante Surti sembari meletakkan gelas dan tersenyum. Aku tak tahu bagaimana bereaksi dengan informasi seperti itu. Bukankah itu hal yang biasa saja? Belum www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 379 menikah pada usia 33 tahun? Atau apakah di Indonesia usia 30-an adalah usia sensitif jika belum menikah? Aku bahkan tak tahu apakah aku tertarik untuk menikah atau tidak. Aku masih belum sempat menjawab pertanyaanku sendiri ketika seorang perempuan muda bertubuh liat dan berwajah sangat mirip dengan Tante Surti masuk terengah-engah dengan dua buah panci dan sekotak makanan. Aku segera menghampirinya dan mengambil satu panci yang besar dan panas. “Kenanga, sini saya bantu.” “Ah, terima kasih, kau pasti Lintang. Astaga cantiknya.” Aku segera mengambil rantang di tangan kiri Kenanga, membebaskan dia dari seluruh beban yang memenuhi kedua tangan dan dagunya yang menjepit kotak plastik berisi bawang goreng. “Kok semua-semua kamu yang masak, Ibu nganggur dong,” Tante Surti segera memindahkan masakan yang dibawa anak sulungnya. “Sekalian Bu.” Kenanga memandangku dari atas ke bawah, “Hm, pantas saja Alam mengajak kamu ke sini. Mungkin bukan sekadar untuk wawancara ya, Bu.” “Iya,” Tante Surti menjawab, “tadi Ibu sudah bilang, Alam itu tidak pernaaaaah memperkenalkan kawan perempuan. Nah ini baru sekali ini....” “Lo, Rianti itu, Bu?” “Ah...,” Tante Surti mengibaskan tangannya, “Rianti itu datang ke sini karena si Alam seperti biasa menghilang seperti hantu. Dia tahu Alam sering ke sini akhir pekan.” Aku ingin sekali meniru kebiasaan Andini dengan ‘O My God, O My God, O My God’ jika ada sesuatu yang terlalu lucu atau absurd. Tetapi aku tak keberatan dengan dialog antar ibu dan anak yang begitu saja ‘menobatkan’ posisiku sebagai ‘satu-satunya teman perempuan Alam yang diajak ke rumah www.boxnovel.blogspot.com
380 PULANG Ibu’. Aku tidak tahu apakah aku harus menggaruk kepala atau tersipu dalam hati. Ah, sial betul. “Saya bertugas wawancara Tante Surti,” kataku seadanya, “bukan usul Alam.” Tante Surti menatapku, memegang pipiku dengan jarinya yang lembut, lalu dia melirik Kenanga. “Pipinya merah merona, Kenanga.” “It’s called: Alam effect,” Kenanga membawa air putih dan gelas ke meja dengan santai. Alam benar, bagaimana caranya melawan dua perempuan yang berdialog begitu mantap tanpa bisa kita interupsi. Dan Alam juga benar. Di rumah itu, sama seperti di rumahku, makan bersama keluarga selalu menjadi momen penting. Kami bertiga berbincang sembari menikmati nasi putih panas, ikan pindang serani, sambal tempe bakar, dan tumis buncis udang. Kenanga tampak terpesona melihat aku makan menggunakan tangan dengan begitu nikmat. “Siapa yang mengajar kau makan dengan tangan?” tanya Kenanga menyodorkan tempat nasi agar aku mengisi piringku yang sudah licin. “Ya tentu saja Ayah,” jawabku. “Pindang serani ini luar biasa, Kenanga. Ayah juga jago masak ini, di Restoran Tanah Air, ini salah satu favorit.” Kenanga melirik pada ibunya yang menikmati makan siangnya dalam sunyi. “Ini memang resep dari ayahmu,” kata Kenanga. “Oh.” “Kamu tahu kan ayahmu dan ibuku dulu pasangan hot?” Ini sungguh melegakan karena ternyata anak-anak Tante Surti bisa melihat hubungan antar orangtua kami dengan santai. “Untung saja mereka gagal bersatu. Kalau tidak kau dan Alam tak akan bertemu,” kata Kenanga berdiri membawa www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 381 piringnya ke dapur. Tante Surti tersenyum melihat Kenanga terus-menerus menggodaku. Aku berlagak tenang. “Alam akan sibuk seharian ya?” “Ya Tante, katanya begitu.” Kenanga harus menghadiri pertemuan orangtua murid di sekolah puteri sulungnya. Sebelum pergi, dia melihat kotak bunga melatiku, “Untuk sebagian orang, itu bunga kematian. Tetapi untuk Ibu...,” Kenanga menunjuk ibunya yang sedang membuat kopi untuk kami berdua, “itu adalah bunga kehidupan.” Nampaknya hubungan Kenanga dan ibunya sangat dekat hingga Kenanga tahu betul kisah lama Tante Surti. Kenanga mendekatiku, “Lintang, di usiaku yang masih terlalu muda, aku mengenal begitu banyak kematian hingga aku cepat jengkel pada mereka yang tak bisa menghargai hidup. Itulah sebabnya kami sering memarahi Alam jika dia berjalan di tepi bahaya. Sudah cukup kami hidup tanpa Ayah dan tanpa kehidupan sosial yang normal.” “Kenanga, aku harus merekam wawancaramu,” aku memegang lengannya. “Ibu saja dulu. Dialah tiang jiwa kami. Kapan-kapan kita bisa berbincang lagi. Aku harus pergi,” Kenanga mencium pipiku. Kami menikmati kopi di ruang depan menghadap teras. Kali ini Tante Surti siap menghadap kamera. Aku mengingatkan, jika dia merasa tak nyaman, dia harus mengutarakannya agar aku menyetop rekaman. Hanya dengan pancingan satu pertanyaan, Tante Surti bercerita kepada kamera, seolah kamera itu adalah seseorang yang dikenalnya. Seseorang yang ditunggunya bertahun-tahun: “Aku memutuskan menikah dengan Hananto Prawiro di Jakarta pada tahun 1953 karena cinta dan keyakinan. Aku www.boxnovel.blogspot.com
382 PULANG mengenal Hananto sebagai seorang pria yang bertanggungjawab dan mencintai keluarganya. Tentu saja, aku tak pernah tahu apa aspirasi politik Mas Hananto, apalagi kegiatankegiatannya. Seperti banyak isteri tahanan politik lain, tentu saja saya tahu profesi Mas Hananto sebagai wartawan Kantor Berita Nusantara. Saya tahu dia memegang Desk Luar Negeri. Tetapi saya tak tahu apa yang dilakukannya di luar jam kantor. Dan sepanjang tiga tahun ketika kami diinterogasi, hanya itulah yang mereka ingin ketahui: apa yang dilakukan Mas Hananto, apakah dia anggota Lekra, pertemuan apa saja yang pernah dihadiri, siapa saja yang hadir, itu pertanyaan yang diulang-ulang oleh interogator yang berbeda-beda, dengan nada yang berbeda-beda....” Tante Surti berhenti sebentar. Dia mereguk kopinya. Meng ambil nafas. “Ceritakan bagaimana mereka menahan seluruh keluarga....” “Sebetulnya bukannya mereka menahan seluruh keluarga, tetapi kami didera rasa takut dan tak ingin berpisah. Semuanya diawali dari Mas Hananto yang berpamitan di pagi hari 2 Oktober karena situasi di kantor tak menentu, katanya. Dia meminta aku tak keluar rumah jika tak perlu. Atau, jika merasa tak aman, kembali berdiam ke rumah orangtuaku lagi di Bogor untuk sementara. Karena aku baru saja mengungsi ke sana untuk alasan yang berbeda, alasan kekisruhan rumah tangga, tentu saja aku menolak untuk pergi. Aku tak menyadari betapa meningkatnya suhu politik Indonesia saat itu. Mas Hananto berangkat dengan wajah cemas tetapi tetap tenang seperti biasa. Dia hanya mengingatkan aku www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 383 jangan terlambat memberikan susu untuk Alam, karena si bungsu rewel betul. Aku menjawab bahwa aku akan mencoba memberikan air susuku selama mungkin. Tentu saja kami tak pernah tahu bahwa itu adalah pertemuan terakhir kami sampai saat Mas Han dieksekusi beberapa tahun kemudian. Ketika Mas Han tidak pulang malam itu, aku belum waswas karena menyangka keesokan pagi dia akan muncul dan mengeluh betapa banyak pekerjaan yang belum selesai. Tetapi sekali lagi, ini situasi yang berbeda. Ini bukan masalah tenggat berita. Ketika Mas Han tak muncul juga sampai malam, aku mulai menelepon ke kanan kiri. Tentu saja ke kantor, yang tidak dijawab sama sekali. Ke rumah beberapa kawan dan kerabat. Dengan membawa Kenanga, dan menitipkan Bulan dan Alam ke pasangan tua yang baik hati di sebelah rumah, aku menyusul Mas Han ke Kantor Berita Nusantara. Dia juga tak ada di sana. Aku tak bisa menemui Pemimpin Redaksi yang katanya juga tak kelihatan. Hari-hari berikutnya, aku diliputi rasa cemas dan paranoia. Aku berupaya bersikap tenang agar Kenanga dan Bulan bisa bersekolah dengan baik, meski mereka sering pulang agak dini karena “sekolah diliburkan”. Ibuku menelepon, menyentakku agar aku segera membawa anak-anak ke Bogor sambil mengumpat Mas Hananto sebagai seorang suami yang tak memikirkan keselamatan keluarganya. Mendengar celaan seperti itu, tentu saja dengan defensif aku bertahan untuk tetap di rumahku. Rumah kami. Menjelang pekan ketiga, di sebuah malam, aku mendapat kunjungan salah seorang wartawan Kantor Berita Nusantara, bernama Kusno. Ayahmu pasti mengenalnya. Pemimpin Redaksi dan sebagian orang Kantor Berita Nusantara ditahan. Sebagian yang lain diinterogasi. Kusno termasuk yang diinterogasi, tetapi boleh pulang. Dia mengatakan, menghampiri rumah Hananto juga sebuah risiko. Dengan www.boxnovel.blogspot.com
384 PULANG terburu-buru, Kusno menyampaikan pesan bahwa Mas Han sedang diburu. Dia sedang merunduk dan tak bisa dihubungi. Sebaiknya, menurut pesan Mas Han, aku dan anak-anak mengungsi ke rumah Bogor. Begitu saja dia menghilang sehingga aku tak percaya baru saja mendapatkan pesan yang menjadi sumbu kecemasan hidupku bertahun-tahun. Di manakah Mas Han, ke mana dia berlari, berlari dari apakah, mengapa dia sampai tak bisa menelepon atau menghampiriku barang sebentar saja? Itu pertanyaan seorang isteri yang sama sekali tak memahami betapa hari-hari itu ternyata menandai nasib banyak orang Indonesia, bukan hanya anggota PKI dan keluarga serta kerabatnya, tetapi juga mereka yang sekadar bersimpati atau terlibat dalam organisasi yang bertautan dengan PKI. Hanya beberapa hari setelah kedatangan Kusno, sekelompok orang berpakaian sipil mendatangi rumah kami mencari barang-barang Mas Hananto. Mereka masuk ke kamar kami, kamar anak-anak yang lantas saja membuat Alam menjerit, kamar tamu diobrakabrik, entah apa yang mereka cari. Mereka menanyakan hal yang sama berulang-ulang: mana Hananto Prawiro, sejak kapan dia menghilang; apa yang dibawa; kemana biasanya dia bersembunyi, apa ibu tahu dia punya perempuan simpanan, apakah aku tahu tempat tinggal pacar Pak Hananto....” Di sini Tante Surti berhenti. Matanya tampak berkacakaca dan bibirnya menunjukkan kemarahan. Aku menawarkan untuk beristirahat dulu, tetapi Tante Surti bersikeras untuk menyelesaikan semuanya. Saat itu juga. “Malam itu, kami tak ditahan. Baru beberapa hari kemudian, mereka meminta aku ikut untuk diinterogasi di www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 385 Guntur. Saat itu sulit untukku meninggalkan anak-anak, karena orangtuaku tidak tinggal di Jakarta. Dengan naif, aku menyangka mereka akan membiarkan kami pulang setelah aku memberikan keterangan. Jadi, akhirnya kami memutuskan boyongan ke Guntur....” Selanjutnya kisah Tante Surti tentang pengalaman mereka di Guntur persis seperti surat-surat Kenanga dan Tante Surti yang kutemukan di apartemen Ayah. Dia bercerita hingga mereka dipulangkan, lantas ditahan lagi di Budi Kemuliaan. Yang berbeda dengan membaca surat-surat itu, kini aku mendengarnya sendiri dari suara yang sudah lama ditimbun oleh 32 tahun yang menekan. Suara itu sesekali terdengar tenang dan mantap. Tapi saat menceritakan tentang Kenanga yang mulai menyaksikan kekejian di usia terlalu dini, Tante Surti mulai parau. “Saya selalu bertahan kalau sekadar dibentak-bentak, diberi makanan seadanya, tidur di atas tikar untuk kemudian diinterogasi lagi keesokan harinya. Itu semua bisa saya hadapi.” “Apa yang paling sulit dihadapi selama tiga tahun mereka memburu Om Hananto?” “Yang paling berat justru pada tahun terakhir ketika kami dipindahkan ke Budi Kemuliaan. Perlakuan apa pun terhadap saya bisa saya lawan dalam diam. Saya patuhi apa yang mereka inginkan: memasak, bebersih kakus, menggosok kamar mandi berdua dengan Kenanga untuk kemudian diinterogasi lagi berjam-jam. Tetapi yang paling menakutkan seorang ibu, yang kemudian membuat jiwaku nyaris lepas dari tubuh, adalah apabila ada sesuatu yang mengancam anak. Suatu pagi, saya melihat Kenanga tengah memijit-mijit www.boxnovel.blogspot.com
386 PULANG bahu salah seorang interogator. Wajah Kenanga begitu polos dan tak paham kekejian dunia. Adalah satu hal jika mereka meminta Kenanga membersihkan ruang penuh darah kering tempat mereka menyiksa. Tetapi jika mereka mulai menyentuh Kenanga, meski ‘hanya’ permintaan memijit, ini membuat darahku naik ke kepala. Kenanga sudah berusia 14 tahun. Dia tumbuh menjadi gadis remaja yang memasuki pubertas di sebuah tahanan. Kulit Kenanga kusam, warna mata yang selalu merah dan tubuhnya kurus kering. Tapi dia tetap seorang gadis manis yang payudaranya mulai tumbuh. Aku mencoba menahan diri. Aku tahu, melihat cara mereka menelanjangi Kenanga dengan pandangan mata yang menjijikkan. Aku segera memanggil Kenanga untuk membantuku masak. Hanya beberapa menit kemudian, salah seorang opsir memanggilku ke ‘tengah’. Itu artinya aku harus ke ruang interogasi yang hanya ada dua buah kursi, satu meja, dan satu lampu neon panjang yang cahayanya sesekali bergelepar. Aku masuk. Kulihat Pak R, sebut saja begitu, salah seorang interogator yang paling kami benci dan Pak A yang seluruh wajah dan matanya berwarna hitam. Dia tak pernah membentak, tak pernah memukul, tak pernah mencabut kuku atau menginjak jempol dengan kaki kursi, apalagi menyetrum. Semula kami semua, para perempuan yang ditahan sementara di sini—konon akan dipindahkan— menyangka dia interogator yang lumayan lebih manusiawi daripada Pak A, Pak T, apalagi Pak M yang jarang bicara dan gemar menabok tahanan lelaki. Namun, belakangan kami segera mengerti: kebuasan Pak R diformat dalam bentuk kekerasan seks.” Kini aku yang menekan tombol jeda. Aku tak berani merekam pengalaman buruk ini. Aku teringat surat Tante Surti www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 387 di apartemen Ayah. Hanya dua baris kalimat, tetapi cukup membuat aku traumatik dan melotot sepanjang malam sambil mengutuk-ngutuk kemanjaanku. Biarlah aku dikatakan sineas dokumenter yang dungu. Tapi aku tak tahan menghadapi hati yang gerudukan. Tante Surti menatapku. Dia mengangguk dan dari sinar matanya, dia meyakinkan aku bahwa ia perlu mengungkap kisah hitam ini. “Pak M memberi kode agar aku duduk di kursi. Dia berdiri dan masih menguar-nguar pertanyaan dengan nada keras dan membentak-bentak. Sesekali jika aku menjawab dengan suara lirih, dia akan berteriak sembari memajukan wajahnya yang besar, kotak, dan gelap itu tepat lima sentimeter di depan hidungku. Dia berteriak, “apa!!!!!”, sedemikian keras hingga ludahnya bermuncratan ke wajahku. Aku tetap menjawab tidak tahu. Dan saat itulah, Pak R maju menyingkirkan tubuh raksasa Pak M. Dia mengeluarkan sapu tangan putih kepadaku agar aku mengusir ludah Pak M dari wajahku. Sambil mengusap wajah, aku masih bisa melihat bagaimana pandangan Pak R memerintahkan Pak M untuk keluar. Apakah dia ingin melindungiku? Tentu saja tidak. Itu semua sekadar sebuah perkenalan pada kekejian sesungguhnya....” Aku mulai tegang. Hatiku mengerut dan ada keinginan berhenti saja. Ponsel milik Andini yang sedang kupinjam berbunyi. Alam menelepon. Aku matikan, karena Tante Surti masih akan melanjutkan kisahnya. “Pak R duduk kembali di hadapanku. Lantas dia meminta aku membuka dua kancing teratas blousku. Aku terperangah dan sama sekali tidak memenuhi permintaannya. Dia tersenyum, dengan tenang dia berdiri dan mendekatiku. Ketika tangannya ingin meraih, tentu saja aku mundur hingwww.boxnovel.blogspot.com
388 PULANG ga kursi berderit. Pak R menggeleng perlahan dan membuka kancing pertama dan kedua blus-ku. Sesudah itu dia kembali ke kursinya. Tetapi aku tak bisa lega. Semula pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan adalah pertanyaan yang membosankan yang sudah pasti tidak bisa aku jawab. Terkadang aku tergoda untuk mengarangngarang saja di mana Mas Hananto bersembunyi. Tetapi dengan tiga anak yang kini mereka gunakan seperti ‘senjata’, aku tak berani bertindak serampangan. Seperti biasa, aku menjawab: tidak tahu. Tiba-tiba keluarlah pertanyaan itu, “Bagaimana gaya Hananto di ranjang? Apa yang kamu sukai?” Aku terpana untuk beberapa saat. Mulailah kekejian Pak R terkuak. Dia mengulang pertanyaannya, kali ini dia membuka sabuk dan ritssluiting celananya. Matanya memandang kancing blusku. Aku tetap diam tak menjawab. Suara Pak R menekan. Tidak membentak, tidak mencaci. Menekan. “Apa yang kalian lakukan di ranjang?” Dia mengulang pertanyaan itu. Tersenyum. Karena aku tak kunjung menjawab, Pak R menyebut nama Kenanga. Bagaimana Kenanga yang sangat polos dan cantik itu dengan patuh memijit bahunya. Bagaimana Kenanga akan mudah dia perintah untuk memijat pahanya. Dan kalau Kenanga sudah mulai datang bulan, pasti dia akan cepat tumbuh sebagai perempuan dewasa. Mendengar kalimatkalimat horor itu, segera saja aku menuruti keinginannya menceritakan rincian kisah ranjang dengan asal-asalan supaya neraka ini cepat selesai. Penyiksaan gaya Pak M ini terjadi berkali-kali. Hampir dua hari sekali. Terkadang dia berdiri tepat di hadapanku, tetapi lebih sering duduk. Kenanga selalu dijadikan senjata. Dan jangan tanya betapa menyesalnya aku membawa anakwww.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 389 anak ke tempat gila ini.” Wajah Tante Surti tegak, menatap kamera dengan keras dan marah sementara air matanya mengalir sederas-derasnya. Dia seperti sebuah lukisan abad ke-19 yang sering menggambarkan perempuan yang cantik, nyaris sempurna, kecuali matanya yang memperlihatkan kesedihan dan penderitaan. Aku mematikan tombol rekaman. Aku ambil kotak plastik berisi beberapa ronce melati. Kuambil beberapa untai dan aku berlutut di depannya. Kuselipkan melati itu di tangannya. Kami berpelukan sesaat. Tetapi Tante Surti tak ingin berlama-lama mengingat masa buruk itu. Dia membersihkan wajahnya dengan lekas. Seluruh air mata seolah ingin diusap sekering mungkin. “Aku ingin... ketika aku mati, pipiku tak ada jejak air mata. Aku ingin mati dalam keadaan tenang dan bahagia,” katanya dengan nada yakin. Kami duduk bersama di kursi panjang sambil berbincang hal-hal yang remeh temeh. Tentang Alam yang akan melahap segalanya, Bulan yang agak pemilih (tak mau lemak dan tak suka segala yang amis), Kenanga yang sudah sangat dewasa sebelum waktunya dan selalu mengingatkan adik-adiknya untuk menulis surat dengan rutin kepada Om Dimas dan omom lain di Paris yang begitu baik menjadi “paman angkatnya”. Kenanga juga selalu mengingatkan Bulan dan Alam untuk selalu berterima kasih pada Om Aji yang sudah seperti ayah bagi mereka bertiga. Tante Surti juga menceritakan bagaimana Kenanga dan Bulan gemar menggoda Alam yang disukai begitu banyak perempuan dan tak kunjung memilih pendamping. Yang paling memusingkan Tante Surti adalah betapa seringnya dia dipanggil kepala sekolah sejak SD, SMP, hingga SMA karena ada saja gerombolan anak lelaki yang dihantam Alam, meski itu semua dalam rangka membela Bimo yang sering menjadi www.boxnovel.blogspot.com
390 PULANG sasaran. Begitu seringnya nama Alam muncul dalam percakapan, sehingga ketika nama yang disebut muncul di hadapan kami dengan tubuh kuyup oleh keringat, aku baru menyadari hari sudah menjelang Magrib. Dia kelihatan gembira melihat aku masih duduk di sofa bersama ibunya. “Tunggu sebentar, aku mandi, lalu kuantar kau pulang.” Aku mengangguk. Tante Surti memegang tanganku, “Terimakasih sudah datang dan membawa untaian melati ini. Inilah salah satu yang membuat saya selalu bisa bertahan. Anak-anak, harum melati, dan pindang serani. Mungkin itu hanya sekadar melankoli. Tapi aku tak keberatan bersandar pada sesuatu yang sudah berlalu, jika itu bisa membuatku kuat.” Aku berterima kasih juga karena dia dengan tabah menuturkan sebuah cerita yang begitu kelam. Aku memeluk Tante Surti seerat-eratnya. *** “Bagaimana suasana wawancaramu?” Aku memandang Alam yang kini sudah bersih dengan harum sabun mandi dan wajahnya disiram pantulan cahaya mobil. Kami berdua duduk di bangku belakang taksi. “Kamu tahu pasti suasananya muram sekali,” jawabku perlahan. Topik pembicaraan ini bukan narasumber yang berjarak. Kami sedang membicarakan ibunya dan seluruh kehidupan mereka yang muram yang telah membentuk mereka menjadi manusia yang kuat, tabah, tapi sekaligus garang karena harus menekan dendam. “Bagaimana seseorang harus membicarakan kembali bagian-bagian buruk dalam hidupnya, bagian di mana kemanusiaan dia dikecilkan dan dilecehkan? Berkali-kali aku www.boxnovel.blogspot.com