LEILA S. CHUDORI 241 Lintang mulai berpikir, seandainya yang berangkat adalah Hananto, ayahnya tak akan bertemu dengan ibunya. Dan Lintang tak akan lahir. Lintang menemukan satu surat yang tampak sudah begitu tua dan tinta yang terlihat mulai redup. Begitu tuanya surat itu, Dimas memasukkannya ke dalam sampul plastik bening. Lintang bahkan tak bisa membaca beberapa tulisan karena tinta yang sudah hilang. ...1968 Mas Dimas yang tercinta, Sekarang setelah kami pindah ke Jakarta, barulah aku bisa berkisah dengan cukup rinci apa yang terjadi di Solo. Aku terlalu paranoid untuk menulis panjang lebar tentang neraka di Solo selama prahara September 65. Memang tragedi ini terjadi hampir tiga tahun lalu, tetapi mengapa rasanya baru kemarin kami hidup dalam rasa takut? Rasanya baru kemarin aku melihat bagaimana kota kita, Solo terbelah dua, oleh pendukung PKI maupun yang anti PKI. Ingat kan aku bercerita padamu, sebelum kau berangkat ke Santiago, bagaimana pendukung PKI begitu agresif dan ganas menghajar lawannya? Setelah 30 September, saya kira bukan saja terjadi pembalasan dendam belaka, tapi rasa benci masyarakat dipompa habis-habisan sehingga perburuan dan pembantaian itu dianggap tindakan yang wajar. Aku ingat mungkin sekitar dua atau tiga pekan setelah 30 September, sepasukan militer mendarat di stasiun Balapan. Tentu saja mereka bukan hanya mencabik poster-poster yang berisi perang syaraf itu, tetapi bersama sebagian masyarakat membakar kantor-kantor partai, menghancurkan semua lam - www.boxnovel.blogspot.com
242 PULANG bang dan peralatan PKI. Rasanya semua kekuatan PKI di Solo sudah lumpuh total. Paling tidak itulah yang disampaikan melalui berita. Jadi aku pikir, selesailah sudah kegilaan ini. Ternyata tidak. Pada saat aku keluar rumah untuk mengetuk kawat, aku mendengar ada penangkapan terkoordinir terhadap seorang petinggi PKI yang konon bersembunyi di Sidorejo di daerah Sambeng. Aku sendiri belum jelas bagaimana kisahnya. Berita ini aku dengar dari Pakde No. Lalu setelah itu, perburuan masih saja terus terjadi. Kini giliran para simpatisan: termasuk para ibu, isteri, atau kerabat. Itulah yang membuat aku gemetar membayangkan Ibu ikut dikumpulkan di tengah lapangan. Ternyata Pakde No cukup sakti dan berwibawa. Karena ada beliau, Ibu dan aku tidak disentuh, meski beberapa kali diinterogasi. Kini di Jakarta, meski kami tetap merasa harus memiliki sepasang mata di balik punggung, paling tidak kami mengisi hari-hari dengan sedikit lebih tenang. Bukan karena Jakarta lebih aman. Tetapi kami ingin menjauhkan diri dari keriuhan di Solo. Paling tidak untuk sementara. Semoga engkau baik-baik saja. Kalau ada kabar dari Surti dan anak-anaknya, akan segera kuketuk kawat. Adikmu, Aji Suryo Lintang menggigil membayangkan betapa sintingnya hidup di masa itu. Untung saja kedua sepupunya belum lahir. Lintang kemudian membaca surat lainnya dari Om Aji yang lebih ‘baru’, tahun 1994. www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 243 Jakarta, Juni 1994 Mas Dimas yang kucintai, Aku baru saja menyaksikan berita televisi peristiwa yang menggetarkan sekaligus mencemaskan. Tiga media di Indonesia dibredel pemerintah bulan lalu, membuat masyarakat pers dan mahasiswa serta aktivis berang. Mereka mengadakan demonstrasi di muka Departemen Penerangan di Jalan Merdeka Barat. Itu sudah tinggal beberapa ratus meter lagi ke Istana. Rendra membaca puisi. Mahasiswa dan aktivis membawa spanduk perlawanan. Tentara datang. Korban jatuh. Rendra ditahan, Mas, meski kemudian dilepas lagi. Pelukis muda Semsar Siahaan dipukuli. Katanya kakinya retak atau patah, saya tak jelas. Saya tahu, Orde Baru semakin kuat. Tetapi pembredelan ketiga media ini sungguh suatu perbuatan yang arogan. Mereka melakukannya karena tahu tak akan ada pengaruhnya dalam kelangsungan hidup kekuasaan Orde Baru. Protes-protes akan berjalan terus bak gelombang, tapi mereka anggap seperti denging nyamuk yang gampang dikeplak. Gerutuan dunia (Barat) juga akan dibiarkan, telinga akan dibikin budeg. Sangat mudah. Hidup berlangsung terus dengan aman sentosa. Bagaimana kabarnya Lintang, Mas? Pasti sedang sibuk belajar untuk ujian akhir sekolahnya ya. Apakah Lintang jadi masuk ke Universitas Sorbonne sesuai yang dia rencanakan? Saya doakan sukses Mas. Andini juga sedang stres menghadapi ujian akhir. Rencananya dia ingin ikut ujian masuk untuk Fakultas Sastra. Sedangkan Rama....ini agak mengejutkan sekaligus mencemaskan. Dia berhasil diterima di salah satu BUMN bidang www.boxnovel.blogspot.com
244 PULANG konstruksi. Saya rasa, itu karena dia tidak menggunakan nama Suryo. Sejak bekerja di sana, dia hampir tak pernah mengunjungi kami kecuali pada hari Lebaran. Retno mengirim salam untuk Mas. Kalau ada yang ke Jakarta, tolong beritahu, nanti saya carikan cengkih untuk Mas. Juga jika membutuhkan buku-buku sastra yang baru terbit. Salam hormatku untuk Vivienne, Mas Nug, BungRisjaf dan BungTjai. Peluk rindu untuk Lintang. Wassalam, Aji Suryo Lintang tak pernah mengenal kedua sepupunya secara langsung: Rama dan Andini, kecuali dari cerita ayahnya dan dari surat-menyurat antara Lintang dan Andini. Om Aji juga pernah berkunjung ke Paris satu kali ketika ada pekerjaan kantornya yang mengirim dia ke Eropa. Saat itu, Om Aji menyempatkan diri mengunjungi kakaknya yang sudah puluhan tahun tak ditemuinya. Meski Lintang masih duduk di sekolah dasar, dia tak akan lupa bagaimana abang adik itu berpelukan begitu erat, berbincang sembari merokok dan minum kopi hingga pagi. Itulah satu-satunya saat Maman tidak menggerutu meski asbak ayahnya penuh dengan puntung rokok hingga abunya belepotan ke mana-mana. Saat itu pula, Lintang mendengar lebih banyak tentang kedua sepupunya: Rama dan Andini. Saat itu Rama sudah duduk masuk SMA sementara Andini juga duduk di sekolah dasar seperti Lintang. Menurut Om Aji, Andini pun senang membaca seperti Lintang. Sore itu juga, bersama Vivienne, mereka mencari beberapa buku anak-anak berbahasa Inggris di Shakespeare & Co. Lintang merelakan uang sakunya yang tak seberapa, karena dia ingin sepupunya juga membaca www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 245 buku-buku yang dia baca. Maka mereka membeli buku Little Women dari Louisa May Alcott, Le Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupéry terjemahan dalam bahasa Inggris, dan Les Misérables karya Victor Hugo versi yang lebih tipis dalam bahasa Inggris. Sejak itulah Andini menulis surat terima kasih atas buku-bukunya dan mereka rajin berkorespondensi. Lintang lebih senang lagi karena ternyata Andini, seperti juga Lintang adalah pembaca buku sastra yang fanatik. Ketika teknologi surat elektronik sudah mulai digunakan dua tahun lalu, maka surat-menyurat tradisional antar sepupu ini pun berubah menjadi pertukaran kabar melalui dunia maya. Lintang membayangkan pertemuannya dengan para sepupunya itu. Alangkah menyenangkan. Darah Lintang mengalir deras. Dia tak pernah mempunyai adik-kakak atau saudara. Alangkah bahagianya menemukan saudara dari sisi yang tak dikenalnya. Tentu saja Lintang mengenal sepupu jauh, anakanak dari sepupu ibunya. Tetapi Lintang tak punya sepupu dari Jean, kakak Vivienne yang memilih tidak menikah itu. Surat-surat di bawah surat Om Aji itu terlihat ada beberapa. Lintang mengais-ngais hingga mendapatkan tulisan tangan yang berbeda. Surti Anandari. Jari-jari Lintang bergetar. Warna kertas sudah menguning, tinta sudah memudar, tetapi Lintang masih bisa membaca kata demi kata dengan jelas. Jakarta, Desember 1968 Dimas yang baik, Saya tidak tahu apakah surat ini akan tiba di tanganmu atau tidak. Saat ini kami diperbolehkan pulang ke rumah setelah beberapa bulan kami ditahan di Budi Kemuliaan. Saya tidak tahu apalagi yang harus saya jawab setiap kali mereka bertanya tentang Hananto, karena saya betulwww.boxnovel.blogspot.com
246 PULANG betul tidak tahu dia ke mana. Saya tidak berbohong sekarang dan tidak akan berbohong kapan pun. Saya tak tahu rute perjalanan (politik atau asmara) Hananto. Tetapi mereka tak percaya. Atau tak ingin percaya. Sejak mereka menahan Hananto bulan April lalu, kami se - mua tak pernah mendengar kabar darinya secara langsung. Sejak dia menghilang Oktober 1965, saya hanya mendengar bagaimana dia bergerak seperti bayang-bayang dalam halimun. Dari desa ke desa. Kota ke kota, saya hanya mendengar kelebatannya melalui angin. Dan selebihnya: sunyi. Sejak tiga tahun lalu, kami menghadapi sebuah risiko. Risiko yang telah saya ambil mendampingi seorang Hananto, ayah dari ketiga anak saya. Saya dilontarkan pada serangkaian pertanyaan yang sama dari pagi hingga malam dengan jeda hanya beberapa menit, terkadang oleh interogator yang sopan. Tak jarang ada yang membentak-bentak dengan pertanyaan yang sama seperti mendengar vinyl yang sember: apakah saya mengetahui kegiatan Hananto; apa saja ke giatan kawan-kawan Hananto; apakah saya pernah mengetahui ra pat-rapat yang dihadiri Hananto. Tetapi kalau saya boleh memilih, interogator yang membentak galak lebih ‘aman’ daripada yang kurang ajar dan gemar mencoba mengecek kebiasaan saya dan Hananto di ranjang. Pernah ada satu interogator paruh baya yang sungguh menjijikkan. Hari itu giliran dia mengulik apakah mungkin Hananto bersembunyi di rumah keluarganya. Dia bertanya, sekaligus menyelipkan pertanyaan hubungan suami-isteri sembari perlahan memuaskan dirinya di balik celana. Begitu jijiknya, saya menolak meneruskan menjawab pertanyaan dia. Tetapi dengan tenang dia bertanya usia Kenanga dan apakah Kenanga sudah datang bulan. Dimas, itu teror mental terburuk yang pernah saya alami! www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 247 Saya tak terlalu khawatir dengan nasib Bulan dan Alam, karena mereka masih terlalu kecil. Bulan masih enam tahun, jadi dia masih melihat apa pun sebagai permainan yang lucu dan para tentara atau interogator malah memberi mainan untuknya. Alam masih senang ditimang-timang oleh semua orang. Wajahnya yang cakap, putih, dengan rambut ikal itu sering membuat orang-orang penghuni Budi Kemuliaan jatuh kasihan dan memberinya air tajin sebagai pengganti susu. Tapi Kenanga sudah mulai remaja. Dia sudah paham bahwa ayahnya sedang diburu dan kita ditahan di sana karena ‘sesuatu’ yang diperbuat, entah apa. Jika saya tak berhati-hati, mereka bisa mencederai Kenanga. Salah satu interogator, dengan sopan, menyampaikan mereka meminta Kenanga membersihkan salah satu ruangan di gedung itu. Saya hanya bisa menyetujui saja, meski belakangan saya baru tahu bahwa tugas Kenanga adalah mengepel bekas bercak darah kering yang melekat di lantai ruangan penyiksaan. Dia bahkan menemukan cambuk ekor pari yang berlumur darah kering. Kenanga baru bercerita sebulan kemudian sambil menangis tersedu-sedu, karena dia tak tega melihat saya didera demam tinggi untuk waktu yang lama. Dia membayangkan jika ayahnya ditangkap, itu lah yang akan terjadi padanya. Beberapa hari yang lalu, Kenanga telanjur melihat beberapa lelaki terseok-seok dengan badan penuh darah berjalan berbaris untuk pindah ruangan. Dimas, saya menulis ini hanya ingin berbagi dan sekaligus berterima kasih kau masih menyempatkan diri mengirim bantuan meski kalian pun juga dalam kesulitan menjadi pe - ngelana tanpa tujuan pasti. Apa pun kesulitan yang kami hadapi, kami semua tahu dan sadar kau dan juga Aji sangat membantu menopang jiwa kami. Saya ingin berterima kasih www.boxnovel.blogspot.com
248 PULANG sedalam-dalamnya, dari lubuk hati yang paling dalam. Pada saat ini, saya menyadari, engkau kawan sejati. Surti Anandari Lintang mulai paham betapa beratnya apa yang akan dihadapi di Jakarta nanti. Surat-surat itu sudah berusia puluhan tahun, tetapi pemerintah yang berkuasa masih sama. Sebuah surat lain dengan kertas berwarna putih dengan tulisan tangan yang rapi dan bersih. Lintang mengamati, tulisan tangan orang Indonesia amat rapi, di atas garis, dan seolah huruf-huruf itu keluar dari sebuah mesin karena cenderung berbentuk seragam. Lintang hampir curiga bahwa anak-anak Indonesia dididik oleh guru tulis halus yang sama, karena mereka memiliki tulisan tangan yang begitu mirip dan rapi. Berbeda dengan tulisan tangan Lintang atau kawan-kawannya yang menulis dan membentuk huruf ala kadarnya seperti anakanak yang sedang memain-mainkan gulali. Memutar-mutar jari seenaknya. Jakarta 18 Juni 1970 Om Dimas, Saya merasa langit Jakarta sudah retak. Lempengan besi hitam itu menghujani kami. Tak habis-habisnya segala yang menimpa kami, Om. Saya tak tahu apakah ini awal atau akhir dari penderitaan kami. Sebulan saya tak bisa berfungsi sejak mereka membunuh Bapak. Saya di kamar terus-menerus hingga akhirnya membusuk bersama tempat tidur dan lantai yang menemani sehari-hari. Saya merasa seperti sebuah kubis yang digelewww.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 249 takkan begitu saja, semakin hari semakin tanpa guna. Tepat sebulan lalu, kami semua diminta berkumpul di Rumah Tahanan Salemba untuk bertemu Bapak terakhir kali. Kami hanya diberi waktu dua jam untuk berbincang sebelum Bapak dieksekusi. Tapi, apa yang harus kami katakan dalam waktu dua jam dengan bayangan Bapak di hadapan sebaris lelaki dengan senapan yang diarahkan padanya? Bapak memangku Alam yang tertawa-tawa memainkan jari-jari Bapak. Tentu saja anak berusia lima tahun masih me - lihat langit yang menjanjikan pelangi. Bulan, meski dia baru delapan tahun, sudah memahami konsep ‘datang’ dan ‘pergi’. Bulan meneteskan air mata terus-terusan sembari ber - tanya berulang kali apakah dia akan bertemu Bapak lagi. Ibu mencoba kuat. Dia hanya memegang tangan kanan Bapak seerat-eratnya dan menahan air mata yang tumpah sembari sesekali membisikkan entah apa. Aku duduk sejauh-jauhnya menghindar dari segala kesedihan. Aku ingin kuat, Om. Aku tak tahu caranya untuk membuat tubuhku tegak jika harus meratap. Entah mengapa, aku malah bangga tak perlu meninggalkan jejak air mata. Aku bahkan semula enggan melihat wajah Bapak yang hari itu, dalam dua jam itu, terlihat tenang dan bijak. Apa yang ada dalam pikirannya? Menjelang 30 menit terakhir, Bapak menghampiriku. Sendirian. Dia berlutut dan memegang tanganku. “Kenanga, kamu adalah pohon yang melindungi seluruh isi keluarga. Kamu adalah urat nadi kita semua....” Aku masih menolak melihat wajah Bapak. Menatap sepasang sepatuku yang sudah dower, sepasang sepatu kets yang sudah bertahun-tahun kukenakan, dan aku mencoba mengingat di mana Ibu membeli sepatu itu? Apa warna aslinya? Merah muda? Jingga? Warna sepatu ini sekarang begitu www.boxnovel.blogspot.com
250 PULANG pudar hingga aku tak tahu lagi apakah kita menyebutnya cokelat kusam atau.... “Kenanga....” Bapak menggenggam tanganku seeratnya. “Bapak minta maaf sudah menyusahkan kalian semua. Bapak pamit dan hanya bisa minta pada Kenanga untuk tetap kuat. Untuk Ibu, Bulan, dan Alam....” Om. Saya benci air mata. Karena selalu datang dan mengalir seenaknya saat saya tak menginginkannya. Kenanga Prawiro Lintang merasa seluruh tenaganya habis diisap oleh suratsurat penuh darah ini. Bukan saja karena dia harus sibuk mengusir air matanya, menangisi keluarga-keluarga yang terpecah-belah yang tak dikenalnya. Tapi dia tiba-tiba merasa begitu dekat dengan mereka semua. Lintang merasa harus mencari surat lain yang bernada ‘alternatif’. Membaca surat berdarah membuat dia ikut berdarah. Sehelai surat berwarna biru muda dengan tulisan tangan yang sangat rapi dan kalimat pendek-pendek. Ah, mungkin ini dia Bang Amir. Jakarta, 1969 Dimas saudaraku, Saya menerima suratmu dan segera saat ini juga saya menuliskan padamu. Saya ikut berduka cita atas kepergiaan Ibunda, Dimas. Saya bersujud dan berdoa pada Allah agar Beliau segera memeluknya. Semoga engkau dan kawan-kawan lain sehat dan tetap kuat di negeri jauh. www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 251 Dimas, ingatkah kau pembicaraan kita tentang suatu ‘gelembung kosong’ di dalam kita, yang diisi hanya oleh kau dan Dia, untuk sebuah Persatuan antara kita dan Dia yang tak bisa diganggu oleh apa pun barang seusapan. Inilah saat yang tepat untukmu untuk melihat sepetak kecil dalam tubuhmu itu. Sendirian. Berbincang, jika kau ingin. Atau diam, jika kau ingin. Dia mendengarkan. Selalu mendengarkan. Sahabatmu, Moh. Amir Jayadi Tanpa sadar, Lintang memegang dadanya sendiri. Gelembung kosong. Sepetak kecil dalam tubuh. Pembicaraan kita dan Dia? Adakah itu di dalam dirinya? www.boxnovel.blogspot.com
252 PULANG www.boxnovel.blogspot.com
FLANEUR On ne voit bien qu’avec le cœur. L’essentiel est invisible pour les yeux. (Le Petit Prince, Antoine de Saint-Exupéry) Dengan menggunakan hati, kita bisa melihat dengan jernih. Sesuatu yang begitu penting justru tak terlihat kasat mata. Kalimat itu selalu diingat oleh Lintang sejak pertama kali ayahnya membacakan novel karya Antoine de Saint-Exupéry yang berkisah tentang seorang anak lelaki yang pesawatnya terjebak di gurun Sahara. Malam itu, Lintang mempunyai satu pertanyaan. Mungkin seribu pertanyaan. Namun satu pertanyaan itu, yang terusmenerus berpijar tanpa henti, ada di dalam hati: Apakah mungkin dia bisa melihat semua persoalan yang rumit itu nanti di Jakarta dengan jernih? www.boxnovel.blogspot.com
254 PULANG Lintang belum bisa menjawab. Tetapi malam itu, dan malam-malam berikutnya dia tak henti-hentinya mengetik dan mengetik seperti tak ada hari esok. Sesekali dia membuka buku, manuskrip, jurnal, kliping, makalah, mengamati foto-foto lama, lalu menulis lagi, mengetik lagi. Membaca lagi, menandai dengan stabilo kuning, menulis lagi. Bergelas-gelas kopi mengisi lambungnya yang sebentar lagi akan menjerit karena terlalu asam dan musik klasik karya Ravel sudah bolak-balik menggedor telinganya. Mata Lintang membelalak sebesar-besarnya menatap belasan lembar proposal yang ditulis dalam bahasa Prancis nyaris sempurna, yang menggunakan beberapa kutipan yang tepat dan efektif dari wawancara. Lintang menjelaskan betapa pentingnya menguak sesuatu yang selama ini dikubur dalam sejarah Indonesia; betapa pentingnya memberi ruang dan tempat bagi mereka yang selama ini dibungkam untuk bersuara. Lintang ingin meyakinkan, betapa pentingnya dia merekam itu semua di Indonesia, bukan di Paris atau Amsterdam. Nama-nama narasumber yang diwawancara diurut dari yang dikenal sampai yang dilupakan sejarah. Ini pagi keempat. Lintang menggeletak di atas sofa, mencoba memejamkan mata sebelum dia harus mandi, bersiap mengejar Profesor Dupont untuk menyerahkan proposalnya. Dia tertidur begitu lelap dan hampir saja terlambat saat sebuah ciuman selembut kapas membangunkannya. “Nara...,” Lintang mengusap-usap matanya. Dia mendadak merasa tenggorokannya kering betul. Jam berapa? Di manakah dia? “Aku khawatir karena kau tak mengangkat telepon. Aku tahu kau sedang menulis proposal. Dan aku tahu kau harus segera ke kampus.” Lintang meloncat dari sofa. Puluhan lembar proposal yang disusunnya terhambur ke udara, dan dia segera berlari ke kamar www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 255 mandi membanting pintu. Nara tersenyum menggelengkan kepala sambil memungut lembaran proposal itu satu persatu dan menyusunnya dengan rapi berurutan. Dia menuang jus jeruk ke dalam gelas dan mulai melipat lengan hemnya untuk memasak sarapan. Nara tahu betul kekasihnya pasti tidak makan dengan baik dan hanya mengkonsumsi bergalon kafein selama tiga malam berturut-turut. “Hm, omellette dan sausage? Dari mana pula kau dapat croissant? Aku belum belanja seminggu ini. Kamu todong boulangerie1 dari lantai dasar ya?” Lintang masih dalam kimono langsung mencomot seluruh makan pagi yang disediakan Nara dengan rapi di atas meja. “Mereka baru saja mengeluarkan croissant pertama dari oven di pagi ini, langsung aku beli,” kata Nara. “Kau memang malaikat,” Lintang mencium Nara, “itulah sebabnya aku memilih apartemen busuk ini. Karena tiap pagi aku bisa mencium bau croissant mereka.” “Tapi pagi ini kau bangun karena ciumanku,” Nara mencium Lintang tak henti-henti. “Masih ada waktukah untuk... membuatmu tidak tegang?” Lintang tertawa, menyentil telinga kekasihnya, lalu masuk ke dalam kamarnya untuk berganti baju. “Proposalmu sudah kurapikan, kumasukkan ke dalam map hijau,” Nara berseru. “Kau sudah baca?” “Sekilas. Kan aku menyiapkan sarapanmu. Kelihatannya lengkap dan sangat berisi. Aku yakin Monsieur Dupont akan terkesan.” Nara membereskan peralatan dapur Lintang yang kocar-kacir. Lintang sudah siap mengenakan celana panjang, kemeja, dan scarf batik tipis milik ibunya. “Apa yang saya baca 1 Toko roti. www.boxnovel.blogspot.com
256 PULANG beberapa pekan terakhir, apa yang saya baca dari manuskrip Ayah, surat-surat yang dia terima, film-film dokumenter resmi maupun buatan beberapa sineas dokumenter Australia dan BBC, ini adalah sejarah berdarah terbesar di Indonesia yang justru dikubur dalam-dalam,” Lintang lantas duduk di meja makan dapur sembari menyambar omelet dan sosis dengan semangat. Nara mendengarkan sambil mengangguk-angguk. “Pembantaian yang terjadi terus-menerus di berbagai bagian Indonesia, perburuan terhadap anggota komunis atau keluarganya adalah sebuah pengukuhan untuk kekuasaan yang kekal, yang kuat, dan abadi. Dan konsep Bersih Diri dan Bersih Lingkungan? Merde!” Lintang berbicara menerobos titik koma dan tanda seru sambil mengunyah omelete dan mengangkat garpunya ke udara hingga Nara harus menurunkan tangan kekasihnya agar garpu itu tidak mencolok matanya. “Bagus sekali, Sayang. Bersiaplah. Aku antar kau ke kantor Monsieur Dupont, setelah itu aku harus bertemu Prof. Dubois.” “Ah,” Lintang merasa bersalah tak memberikan perhatian sedikit juga pada kekasihnya, “dia akan memberi rekomendasi?” “Kelihatannya begitu. Ayo, setelah ini semua selesai, aku akan menculik dan mengurungmu selama tiga hari di dalam kamar,” kata Nara mencoba menyimpan hasratnya. Nara menyambar jaket Lintang dan mereka segera berlari menuju stasiun Metro. Pada saat itu, Lintang tak bisa tidak, malah berpikir: betapa mudah hidup yang dia lalui. Dia akan membuat tugas akhir. Kekasihnya akan melanjutkan pendidikannya ke Inggris. Paris akan memasuki musim panas sebentar lagi. Semua begitu tertata rapi dan apik. *** Dimas memasukkan amplop besar dan hasil X-ray ke dalam www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 257 sebuah tas besar yang diberikan oleh rumah sakit. Dia ingin sekali membuang semua hasil tes itu ke dalam tempat sampah. Plung! Tetapi itu itu terlalu dramatis dan kekanak-kanakan. Dimas duduk di stasiun Metro memandang tembok Metro bawah tanah dan tiba-tiba saja dia merasa merasa posterposter itu berisi serangkaian iklan dan peringatan untuk menjaga kesehatan: vaksin, penyakit kulit, kanker payudara, HIV. Dimas heran. Alangkah klise: dia bukan mati karena dieksekusi seperti Hananto, atau ditendang masuk jurang atau dilempar ke Bengawan Solo. Dia akan digerogoti perlahan-lahan oleh penyakit yang dengan kurang ajar tak bisa kasat mata. Begitu klise, begitu banal, begitu medioker hingga Dimas merasa untuk memikirkan atau membicarakan topik itu saja adalah bentuk pengkhianatan bagi umat manusia. Dimas memegang perutnya yang mulai terpilin-pilin. Dia mengeluarkan botol obat yang baru saja ditebusnya di rumah sakit. Dia menenggak sekaligus dua butir. Paris sudah ingin menyambut awal musim panas. Dimas menghitung berapa musim panas yang masih akan ditemuinya. *** Lorong ruangan kuliah umum Universitas Sorbonne selalu menjadi kenangan bagi Lintang ketika tahun pertama dia menjejakkan kaki di kampus ini. Kali pertama dia mengenal Narayana; pertama mengenal belajar bagaimana merekam daun jatuh di musim gugur dan angin di musim dingin; bagaimana harus sabar menanti kelopak bunga mekar hanya untuk sebuah satu rekaman beberapa detik; dan bagaimana mencari kutipan yang menarik dari orang-orang yang diwawancara untuk film dokumenter. Tetapi yang lebih penting lagi, berbeda dengan apa yang dialami di sekolah dasar, Lintang merasa Universitas www.boxnovel.blogspot.com
258 PULANG Sorbonne telah berhasil membuatnya menjadi bagian dari kehidupan akademis yang tak peduli dengan warna kulit atau penampilan mahasiswa. Hidup yang begitu bebas, begitu bebasnya, hingga Lintang merasa ia dan kawan-kawannya diajak terjun dan menukik langsung pada dunia intelektualisme. Asyik dan menggairahkan. Tantangan Monsieur Dupont untuk menggali sejarah dirinya lebih dalam telah membawa Lintang berdiri di sini. Di koridor ini. Berjalan dari lorong ke lorong menuju kantor Profesor Didier Dupont, Lintang merasa sedang melalui sebuah upaya mencapai satu titik tujuan yang asing bernama Indonesia. Pintu terbuka. Lintang mengatur nafas, mengetuk pintu, dan melongokkan kepala. Didier Dupont melihat wajah Lintang dan melambaikan tangan agar Lintang masuk. “Lintang....” “Monsieur Dupont.” Dupont tersenyum lebar. “Luar biasa!” Lintang menghela nafas lega. “Ah...oui?” Dupont mengangguk-angguk dan mengeluarkan proposal Lintang dari tumpukan map. “Topik menarik dan unik. Belum pernah dikerjakan mahasiswa sebelumnya. Sudut pandang yang kau ambil tajam. Meski kau bagian dari korban peristiwa ini....” “Attendez, Monsieur.2 Saya rasa, saya tak ingin memasukkan diri saya sebagai korban.” Didier Dupont memandang Lintang dengan matanya yang biru. Mata yang tersenyum, meski bibirnya tak menunjukkan emosi apa-apa. “Saya paham. Tapi di mata penonton yang menyaksikan, di mata orang luar, kau tetap korban. Karena 2 Tunggu, Monsieur. www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 259 kamu belum pernah mempunyai kesempatan untuk mengenal sebagian dari dirimu. Tanah air ayahmu.” Lintang terdiam. “Ini akan menjadi film dokumenter yang luar biasa, asal kau tepat waktu dan tetap setia pada fokus,” Didier Dupont menghentikan langkahnya. “Monsieur, poin saya yang terakhir...” “Saya tahu...kamu ingin merekam semua itu di Indonesia. Menurut saya tidak masalah. Akan saya rekomendasikan ke kepala departemen. Ada sedikit dana. Mungkin kamu harus tetap mencari sumber dana lain untuk tambahan.” Lintang ingin sekali memeluk dosen pembimbingnya eraterat. Tetapi tentu saja dia harus menahan diri. Dari sorot mata Lintang, Didier Dupont bisa melihat ada dua butir bintang yang berloncatan seperti ingin mencelat keluar dari kantong matanya. “Akan kuberikan pada mereka, tunggu sehari dua hari, kita bertemu lagi untuk mengurus hal-hal teknis.” “Merci, Monsieur,” Lintang meraup tangan Didier Dupont dan menyalaminya dengan girang. “Derien, Lintang.” Dupont memandang Lintang dengan serius, “Film dokumenter itu berkisah tentang manusia, suka-dukanya. C’est la vie et l’histoire de la vie. Jadi, kamu harus mengerjakan doku - menter ini bukan hanya karena ini tugas dari saya. Tapi harus dari sini (Dupont menunjuk dadanya). Jangan hanya menggunakan otak....” On ne voit bien qu’avec le cœur.3 “D’accord, Monsieur.” “Tolong, hati-hati. Indonesia sudah mulai bergolak. Mahasiswa dan aktivis di banyak kota besar sedang turun ke 3 Dengan menggunakan hati, kita bisa melihat dengan jernih. www.boxnovel.blogspot.com
260 PULANG jalan setiap pekan. Kamu harus tetap fokus. Dan yang lebih penting lagi, kamu harus tepat waktu. Kamu terlambat, artinya kamu tidak lulus. Vous comprenez?”4 “Je comprends. Merci Monsieur.”5 Lintang berlari-lari sepanjang koridor. Dia merasa seperti akan menggapai sesuatu. Menggapai sesuatu yang selalu asing di dalam dirinya. Memetik satu dari I.N.D.O.N.E.S.I.A.... *** Nasi kuning, ayam goreng kremes, kering tempe, sambal bajak teri, urap tabur kelapa. Memang sinting. Lintang akan ke Jakarta. Tapi dia toh melahap masakan ayahnya itu seperti seorang narapidana yang sudah dua tahun hanya makan nasi basi dan garam. Semua dicoba, semua dilahap nyaris tak dikunyah. “Makanya jangan berseteru dengan ayahmu sendiri, jadi kalap begini,” Om Nug tercengang melihat Lintang membuat dua piring licing tandas. Nara menggaruk kepala, karena baru saja menikmati sepiring kecil risol untuk makanan pembuka. Dimas keluar untuk mengecek dan menggaruk kepalanya melihat nasi kuning dan lauk-pauknya sudah tinggal piring belaka. “Mau tambah, Nak?” Lintang tersenyum lebar. “O Mon dieu,” Nara melotot. Dimas tertawa senang. Dia masuk lagi untuk mengambilkan makanan yang diinginkan anaknya. Hanya beberapa menit, masuklah tiga orang lelaki muda, tampan dan bersih, mengenakan jas, kemeja, dan dasi dengan 4 Kamu paham? 5 Saya paham. www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 261 map di tangan. Risjaf berdiri terpana karena dia tahu betul siapa mereka. Namun dia tak bergerak dari tempatnya karena tak tahu apakah dia harus mengeluarkan otot atau mempersilakan mereka. Roman wajah ketiga anak muda ini sungguh ramah dan bahkan...lapar. Mereka ke sini untuk makan siang? Nug menurunkan kacamatanya ke tengah hidung dan memandang mereka dengan was-was, sementara Tjai untuk sementara melupakan kalkulator kesayangannya saking terpesona. “Hai, Raditya, Yos...ayo ayo gabung sini. Sini Hans,” Nara berseru. Risjaf memberi jalan kepada ketiga pemuda ganteng ini, masih dengan wajah heran. Kecurigaannya semakin menipis melihat ketiganya bersalaman begitu akrab dengan Nara dan akhirnya pupus ketika Lintang malah mempersilakan mereka duduk dan menggabungkan dua meja menjadi satu sembari memberikan lembaran menu yang disodorkan Yazir. “Ini anak-anak KBRI, Sjaf? Mataku ndak salah?” Nug berbisik. “Yo Mas, aku juga sedang mengidentifikasi,” jawab Risjaf. “Selamat siang...bisa saya bantu?” tiba-tiba Tjai berdiri di hadapan meja mereka. Lho? Nug dan Risjaf saling memandang. Yazir langsung mundur teratur karena Tjai maju dengan perkasa. Sejak kapan Tjai tertarik menemui pengunjung dan menawarkan pelayanannya secara langsung? Tjai adalah makhluk yang mencintai kalkulator dan kedisiplinan transaksi agar pembukuan rapi dan tak ada garis merah. Apa gerangan pendorong Tjai, yang sukar berpisah dengan podium kasir dan kalkulatornya itu, untuk bergerak mendekati tiga pria yang sedang duduk-duduk mengelilingi ‘keponakan’ mereka yang cantik itu? “Nasi padangnya enak. Nasi padang saja ya? Kamu juga ya, www.boxnovel.blogspot.com
262 PULANG Nara? Supaya aku bisa comot dari kamu,” Lintang menguasai medan. “Nasi padang Om, empat. Minumnya es nangka ya? Begini,” Lintang mengacungkan jempolnya. Ketiga pemuda ganteng itu mengangguk-angguk seperti sapi bodoh. Nara tersenyum membiarkan Lintang memegang kemudi. Tjai masih berdiri di situ. Tak bergerak memandang Lintang, lalu memandang Hans, Yos, dan Raditya. “Oh, Om Tjai...ini Hans, Yos, dan Raditya,” Lintang segera paham bahwa ketiga pria ini harus kulonuwun pada para pemilik koperasi. Ketiganya berdiri dengan sopan dan bersalaman. “Itu Om Nug dan Om Risjaf. Satu lagi, ayahku di dalam sedang memasak. Merekalah Empat Pilar Tanah Air.” Ketiganya mengangguk sopan ke arah Risjaf dan Nug yang berdiri agak jauh memandang mereka. Risjaf dan Nug membalas anggukan itu. Tjai mencatat pesanan mereka dan pura-pura sibuk menuju dapur. Lintang sudah membayangkan dia kelojotan mela - porkan kepada ayahnya bahwa ada tiga diplomat muda KBRI yang sedang duduk satu meja dengan anaknya. Apalagi Om Nug dan Om Risjaf juga segera menghilang di balik pintu dapur. Lintang ingin sekali ikut menyelip ke dapur hanya untuk mendengarkan betapa ceriwisnya empat pilar itu untuk kali pertama melihat ada ‘unsur’ pemerintah Orde Baru yang menginjakkan kakinya ke restoran itu. Hans melemparkan pandangan ke seluruh dinding. Raditya membaca buku tamu yang tergeletak di depan, membaca pesan dan dukungan nama-nama besar yang sudah pernah berkunjung ke sana: Rendra, Arief Budiman, Abdurrahman Wahid dan Ny. Nuriah Abdurrahman Wahid, Daniélle Mitterrand. Hanya beberapa menit, tiba-tiba saja Dimas Suryo, ya, Dimas Suryo sang ayah datang membawa beberapa piring nasi padang. Lintang langsung paham, tentu sang ayah ingin yakin anaknya tidak akan dikuliti atau dicederai oleh ketiga pemuda www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 263 ini. Lintang menyimpan senyum geli dan membantu ayahnya meletakkan lima piring. “Ayah tahu kau pesan empat piring. Tapi kasihan Nara, kau pasti mengorek-ngorek piring dia,” kata ayahnya meletakkan piring-piring nasi padang itu ke hadapan anak-anak muda itu. “Ayah, ini Raditya, ini Hans, dan ini Yos...semua teman Nara.” Mereka berdiri serabutan seperti tiga serdadu yang bertemu dengan Bapak Jenderal. Dimas menyalami mereka satu persatu dan mempersilakan mereka duduk dan menikmati nasi padang. Tapi Dimas tak beranjak dari meja Lintang dan para tamunya. Dia berdiri dan melipat tangannya. Tanpa senyum. “Ayah...” “He?” Dimas mengangkat alis. “Mari makan...Pak Dimas.” Raditya dengan gugup mengangkat sendok dan garpunya dan belum berani menyantap. “O silakan, silakan,” Dimas melirik ketiga kawannya sudah berbaris melipat tangan di depan dapur. “Kalau ingin tambah, ada Yazir.” Dimas meninggalkan mereka, masuk ke dalam dapur. Tetapi ketiga om gayek tetap di sana, mencoba mencari kesibukan meski ekor mata mereka tetap waspada. “Sorry,” Lintang menggeleng kepala, “mereka agak protektif. Maklum belum pernah ada orang KBRI yang menginjak restoran ini.” “No problem. Sangat paham,” Yos melahap rendangnya tanpa ingin mengangkat wajahnya lagi. Daging rendang yang empuk itu lumer di lidahnya. Dia bahkan tak ingat apakah Raditya dan Hans juga sudah menyatukan wajah dengan piring di hadapannya. Ketiga diplomat muda itu tiba-tiba saja lupa di mana mereka berada. Rendang, kuah gulai ayam yang merayap pada nasi putih panas, dan sambal goreng ati yang dicampur www.boxnovel.blogspot.com
264 PULANG dengan kentang. Di pojok piring, Dimas memberikan sambal hijau padang. Mereka tak peduli mereka di Paris, tak peduli dengan sendok dan garpu. Mereka langsung melahapnya dengan tangan. Masya Allah,mengapa mereka dilarang ke sini? “Ayah masih ingin memasak sendiri, terutama kalau ada tamu penting,” kata Lintang mencoba membuka pembicaraan. “Aku sudah lama tak ke sini, makanya Ayah ngotot mau masak.” Ketiga diplomat mengangguk tak peduli dengan penjelasan itu. Yang penting rendang dan gulai ayam ini dahsyat. “Kalian bukannya dilarang makan di sini? Aku dengar ada selebaran resmi dari Jakarta?” Lintang terus bertanya seolah ingin mengganggu kenikmatan tiga pengunjung baru itu. Risjaf, Tjai, dan Nug langsung memasang telinga, ingin tahu jawaban mereka. Hans terpaksa mengangkat kepalanya. “I don’t give a damn!” jawabnya dengan bibir berminyak, “Siapa yang bisa menolak rendang yang dahsyat ini.” Hans kembali memasukkan wajah ke piring nasi padang. Raditya dan Yos sama sekali tak menjawab karena lebih sibuk dengan gulai ayam masing-masing. Lintang tertawa melihat Raditya mencopot jasnya karena dia mulai berkeringat. Lintang ikut melahap nasi padang itu meski sebelumnya dia sudah menghabiskan dua piring nasi kuning. “Seberapa besar lambungmu, Sayang?” Nara tertawa geli melihat kekasihnya tak berhenti makan sepanjang hari. Piring-piring sudah licin tandas. Ruangan sudah penuh asap rokok kretek. “Oh, aku tak ingin kembali ke kantor,” Yos bersender dan memandang asap rokok yang baru saja diembuskannya. Kecuali Lintang yang masih menikmati es nangka, mereka semua menikmati rokok seperti tengah menikmati liburan panjang. Ketika rokok sudah memendek, Hans mengambil sebuah map dari tasnya, dan mengeluarkan beberapa helai formulir. www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 265 “Isi saja formulir visa ini dan letakkan namamu Lintang Utara, tak perlu pakai Suryo.” Lintang mengerutkan kening. “Lalu, kotak nama keluarga ini?” “Gunakan nama Utara. For all we care, that is your last name,” kata Yos dengan nada enteng, “yang penting kau mau masuk Jakarta kan?” Lintang mengangguk dan mulai mengisi formulir visa. Risjaf dan Nug mulai tenang. Mereka mulai mondar-mandir keluar masuk ruangan itu mengurus tamu lain sementara Tjai sudah tenggelam dengan soal angka. “Aneh,” kata Lintang sembari menulis, “first name Lintang, family name Utara.” “Jangan khawatir,” Raditya mematikan rokoknya, “paspormu adalah paspor Prancis, jadi mereka tak akan terlalu waspada. Kalaupun mereka melihat nama Indonesia, mereka tak peduli juga. Apalagi orang Indonesia, terutama Jawa—kalau saya bilang Jawa, maksudku Jawa Tengah—jarang menulis nama keluarga. Di KBRI ada yang bernama Hesti Handayani. Teman kuliahku Retno Sulistyowati. Dan begitulah nama yang tercantum di KTP maupun paspor mereka.” Lintang terpana dengan informasi baru ini. Tetapi dia tak merasa punya cukup waktu dan energi untuk berdiskusi tentang kebiasaan “tidak menggunakan nama keluarga” di Indonesia. Pengisian formulir, foto, dan tanda tangan beres. Mereka kini menikmati pisang goreng sebelum pamit menggelinding kembali ke kantor. Dimas keluar dari dapur karena Lintang memanggil ayahnya agar bisa berterima kasih pada tiga diplomat baik ini. Tetapi Lintang masih penasaran. “Aku ingin tahu, Yos, Raditya, dan Hans...mengapa... mengapa kalian berani melakukan ini. Mengapa kalian mau membantuku?” Mereka bertiga memandang Narayana. Nara mengangguk. www.boxnovel.blogspot.com
266 PULANG Raditya yang semula sudah bersiap akan pergi, duduk kembali. Apalagi dia melihat Nug, Risjaf, Tjai, dan Dimas juga ikut menanti jawaban. “Entahlah.” “Alah...ceritalah.” “Yang mana?” “Ya semualah.” “Oke,” Raditya akhirnya mencoba mengumpulkan keberanian. “Aku merasa zaman harusnya sudah berubah. Sudah terlalu lama kita dipenjara oleh soal politik masa lalu. Seperti kau, Lintang, kami semua kan generasi baru yang lahir jauh sesudah tahun 1965. We have brains, we have our own minds, mengapa harus didikte.” “Maksudnya Raditya begini,” Hans menambahkan karena tidak sabar, “setiap diplomat muda, sebelum pos pertamanya ke luar negeri, harus melalui tes tertulis maupun lisan. Di dalam tes tertulis ada pertanyaan, ‘Apa yang akan kau lakukan jika lawan bicaramu mengatakan bahwa dia komunis?’” Lintang melotot. Nara terkesiap. Risjaf, Tjai, dan Nug mengangkat kepala. “Apa jawabmu?” Lintang tak sabar dengan gaya bercerita yang dipotong-potong. Raditya melirik pada kedua kawannya dan tertawa kecil, “Saya menulis ‘that’s none of my business. Everybody has the right to have their own political beliefs’.” Lintang menutup mulutnya saking terkejut. Dimas dan ketiga kawannya tertawa terbahak-bahak. Nug bahkan mengguncang-guncang bahu Raditya. “Gila! Lalu kau menjawab apa?” tanya Lintang pada Yos. “Aku mengosongkan bagian itu. Aku tidak menjawab.” “Aku menjawab: “Nothing. So?” Ruangan itu kembali penuh dengan tawa gelak mereka. Dimas tertawa hingga keluar air mata dan sakit perut. www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 267 “Lalu, kalian dihukum?” tanya Nug. “Ya, Pak. Kami bertiga tidak boleh berangkat tahun itu,” jawab Raditya. “Padahal angkatan kami sudah harus ke pos masing-masing. Tapi kami bertiga ditahan keberangkatannya selama dua tahun. Seharusnya saya ke Inggris, Yos ke Argentina, dan Hans dapat Kanada. Kami dihukum dua tahun di Jakarta dan mengerjakan hal-hal yang remeh-temeh. Disuruh ikut kelas P4.” Raditya berkisah bahwa dia mengambil studi politik di University of Toronto, Kanada ketika ayahnya menjadi diplomat di sana. “Siapa pun yang belajar politik dengan serius harus membaca semua buku politik dan ekonomi, termasuk karya Marx, Engels, dan semua penulis kiri sesudahnya yang jauh lebih modern. Tapi kami kan juga harus membaca pemikiran politik lainnya. Justru karena kami membaca, kami paham mengapa komunisme gagal di banyak negara. Buat saya,” Raditya berdiri mengenakan jasnya, “malah aneh melarang buku kajian komunisme di Indonesia. Karena itu menganggap masyarakat kita bodoh dan tak bisa menggunakan otaknya. Puluhan tahun masyarakat kita dianggap tolol, tak bisa berpikir sendiri.” Dimas kini paham mengapa para diplomat yunior itu berani datang ke Restoran Tanah Air dan tidak peduli larangan resmi dari Jakarta. Bukan hanya persoalan lezatnya rendang dan gulai ayam buatannya. Tetapi ini adalah generasi baru yang merasa tidak bisa didikte oleh sesuatu yang mereka anggap tidak rasional. Mereka adalah generasi baru yang cerdas, yang mulai berani berpikir mandiri. Hans dan Yos ikut berdiri. “Hans, kami mengikuti di tanah air...,” Nug mencoba menahan mereka sebelum pergi, “di beberapa kota besar sedang ada demonstrasi besar-besaran. Bukan hanya karena BBM naik, tapi rangkaian dari tahun lalu setelah dolar dilepas, kabiwww.boxnovel.blogspot.com
268 PULANG net dirombak.” “Ya, ada terminologi yang sedang populer: KKN,” kata Risjaf. “Apa Presiden tetap akan pergi ke Kairo?” tanya Dimas. “Kelihatannya begitu, Pak...situasi memang sedang kacau sekali. Lintang, hati-hati di Jakarta. Take care.” “Terima kasih Hans, Radit, dan Yos...terima kasih.” Raditya, Hans, dan Yos bersalaman dengan Dimas dan kawan-kawan, “Saya yakin suatu hari akan ada perubahan, Pak,” kata Yos ketika Dimas memeluk mereka satu persatu. Sekali lagi, Lintang merasa dia diberkahi begitu banyak kemudahan di antara absurditas I.N.D.O.N.E.S.I.A. *** Hanya seminggu kemudian, paspor Lintang sudah lengkap dengan visa Indonesia. Hari sudah senja. Dimas dan kedua hambanya sedang mempersiapkan makan malam untuk tamu. Risjaf dan Tjai sudah mulai bersiap untuk tamu-tamu yang ingin makan malam. Lintang baru saja minum kopi dan menikmati pisang rebus bersama Vivienne dan Nara. Nara menengok arlojinya lalu menghabiskan kopinya. “Lo, kau mau kemana? Tidak ikut makan malam?” Risjaf heran melihat Nara berberes-beres ransel. “Saya banyak paperwork, Om. Perihal ke Inggris. Besok harus bertemu tiga orang dosen.” “Jadinya ke universitas apa, Nak?” “Cambridge, Om.” Risjaf memperlihatkan jempolnya. Nara mencium pipi Lintang dan pamit dengan Vivienne. “Maman, apa Ayah juga bilang pada Maman dia hanya infeksi lever belaka?” Lintang berbisik-bisik. “Ya. Kenapa?” www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 269 Lintang mengangkat bahu, “Saya kurang percaya....” Vivienne menatap pintu dapur. Kepala Dimas terlihat dari jendela dapur. Dia juga merasa demikian. Dimas nampak menyembunyikan hasil tes kesehatan yang diterimanya.Namun Vivienne merasa tak berhak untuk mencampuri sikap Dimas dengan tubuhnya. Dia bukan lagi isterinya. Tapi... “Kau tunggu di sini. Maman akan coba gali sedikit. Mudahmudahan dia mau terus terang, meski Maman tak yakin,” Vivienne berdiri dan menuju dapur. Ketika Vivienne menghilang ke dapur, ketiga om langsung duduk melingkari Lintang dan menanti hingga gadis itu selesai dengan potongan terakhir pisang rebus kesukaannya. “Ini daftar nama dan alamat serta nomor telepon kawankawan kami dan ayahmu. Sebagian sudah Om email, sebagian lagi masih terlalu tradisional jadi terpaksa kami kirimi surat,” kata Tjai yang paling rapi dan teorganisir. Lintang membaca satu-persatu dan menandai beberapa nama yang sudah dia hubungi. “Lintang, ini daftar restoran yang harus kau kunjungi seandainya kau ada waktu,” kata Nug. “Dulu ada yang namanya restoran Padang Roda...coba tengok, masih adakah restoran itu. Juga kunjungi Pasar Senen, itu tempat kami semua duduk ngobrol dan ngopi.” “Ah, sudah hancurlah tempat itu,” kata Risjaf yang sudah pernah ke Indonesia beberapa kali, “sudah berbeda Mas Nug.” “Yang penting kunjungi keluarga Om Hananto almarhum, Lintang. Tante Surti....” “Kenanga, Bulan, Alam...ya sudah saya catat semua,” Lintang memotong kalimat Om Nug dengan sedikit hentakan yang untung saja tak disadari Nug yang terlalu sibuk mencari-cari alamat beberapa kawan yang akan diberikan pada Lintang. Lintang masih belum bisa memutuskan bagaimana perasaannya terhadap keluarga ini. Ada sesuatu yang rumit dan aneh www.boxnovel.blogspot.com
270 PULANG antara ayahnya dan keluarga itu. Hubungan ayahnya dengan Om Hananto almarhum; lantas hubungan ayahnya dengan Surti (bagaimana dia harus memanggilnya? Tante?). Ada apa dengan segitiga ini? Di mana letak Maman dan Lintang dalam segitiga yang aneh ini? Lalu, Kenanga, Bulan, dan Alam. Tiga nama itu terasa begitu dekat dengannya karena Lintang sudah membaca surat-surat mereka. Mengapa Ayah merasa jauh lebih bertanggung jawab atas kehidupan mereka dibanding, katakanlah, atas anak-anak keluarga tapol lainnya? Lintang masih mempelajari nama-nama dan alamat yang diberikan Om Tjai dan Om Nug ketika Dimas keluar dari dapur bersama Vivienne. Semua mata memandang mereka. Nug tak tahan tidak menggoda pasangan aneh yang masih saling mencintai ini. “Kalau kalian masih remaja, pasti sudah ada ratusan ejekan yang bisa kulontarkan pada kalian...misalnya, habis ngapain? Lama amat di dalam.” Dimas melambaikan tangannya menunjukkan bahwa tidak ada yang penting, “Vivienne menodong aku tentang hasil kesehatanku, menyangka aku sakit berat!” Dimas menggerutu, “Masakan dia tak terima, usia senja aku masih sehat, segar, dan ganteng?” Vivienne mengangkat bahu dan duduk kembali di samping Lintang. “Gagal,” bisik Vivienne. Lintang tersenyum, “Aku akan coba, Maman. Besok kami berjanji makan siang dan jalan-jalan ke warung buku Antoine Martin.” Vivienne mengangguk, meski tak banyak berharap. “Lintang, Om mau pesan, kalau kamu bertemu dengan siapa pun dari pihak pemerintah Orde Baru, jangan langsung antipati. Banyak sekali yang membantu kita. Banyak sekali, sama seperti tiga diplomat tadi, yang bahkan mengirim bantuan finansial, atau diam-diam mempekerjakan anak-anak www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 271 eks tapol di kantornya...jadi Lintang harus bersikap netral sebagai mahasiswa peneliti, oke?” Om Risjaf memberi petuah. Lintang mengangguk-angguk. “Om Aji akan menjelaskan pemetaan padamu,” Dimas mengelus rambut puterinya, “rata-rata anak-anak kawan kita banyak yang bekerja di media-media dengan nama samaran.” “Kau tak bercerita tentang Rama, puteri Dik Aji, Mas?” Mas Nug bertanya heran. Dimas menggosok dagunya yang tidak gatal, “Nanti biar Dik Aji saja yang bercerita. Lintang kan akan tinggal di sana.” Mereka semua terdiam. Lintang melirik kiri-kanan tak memahami apa yang terjadi dengan sepupunya. “Jadi, tiket dan visa beres? Kaset, tape recorder, laptop, notes, pena semua beres?” tanya Dimas membelokkan topik. Lintang mengangguk, “Tinggal mengepak.” “Sebelum mengepak,” Nug mengeluarkan sebuah amplop cokelat yang agak gemuk, “ini dari kami semua. Masih dalam franc, kamu nanti tukar sendiri di Jakarta ya.” “Iki opo to?” Dimas mengerutkan kening. “Jumlahnya tak terlalu banyak, Lintang,” kata Om Risjaf, “tapi lumayan buat jajan. Bagi kami semua, kamu adalah anak,” kata Risjaf. Lintang memandang ketiga wajah Om bergantian. Tjai mengangguk membenarkan ucapan Risjaf. Ini gila. Lintang tahu, mereka bukan orang yang kaya raya. “Om, saya sudah dapat dana dari sekolah. Saya juga punya tabungan kan saya bekerja part-time dan Maman...” “Kami tak bisa menginjak Jakarta, Lintang. Hanya Om Risjaf yang berhasil ke sana. Jadi Lintang akan menjadi mata dan telinga kami,” air mata Om Nug mengambang. Tenggorokan Lintang mendadak tercekat. Dia memegang tangan Om Nug. “Tolong Lintang, tengok Bimo dan ceritakan padanya bahwa Om sehat dan masih sama mudanya seperti saat Om meninggalkan dia 34 tahun yang lalu. Katakan Om masih sama www.boxnovel.blogspot.com
272 PULANG gantengnya seperti saat bertemu di Singapura 15 tahun yang lalu. Meski kami cukup rutin saling berbincang melalui telepon, saya tak bisa sering-sering bertemu dengannya. Terlalu mahal ke Eropa. Tolong foto dia sebanyak-banyaknya,” suara Om Nug semakin serak. Dimas ikut berkaca-kaca. Om Tjai dan Om Risjaf pura-pura sibuk mengambil gelas dan piring, dan mencoba tak terlihat mereka mengusap air mata sialan yang mengalir. Vivienne memegang tangan Om Nug. “Lintang pasti akan menemui Bimo. Dia bersahabat dengan Alam. Saya dengar mereka sedang berusaha datang ke Eropa untuk Konferensi Hak Asasi Manusia di Den Haag Desember nanti,” Vivienne yang selalu rasional biasanya bisa menenangkan hati. Nug mengangguk-angguk mengusap air matanya, lalu tertawa kecil, “Iya, iya, dia sudah bilang tanggal 10 Desember tahun ini, dia akan datang ke Den Haag bersama Alam dan beberapa kelompok LSM. Setelah itu dia akan meloncat kemari bersama Alam. Saya mencoret kalender setiap hari, menghitung berapa bulan dan berapa hari lagi aku akan bertemu dengan bocah lanangku.” “Dia sudah tidak bocah. Dia sudah menjadi lelaki muda yang ganteng seperti ayahnya,” kata Risjaf menepuk-nepuk bahu Nug. Dimas memeluk bahu Nug, tak berkata-kata. “Baik Om, saya pasti melaporkan isi Jakarta. Terima kasih untuk isi amplop ini,” Lintang memeluk ketiga pilar yang begitu kuat dan begitu teguh. Seandainya ia memiliki barang sehelai saja kekuatan mereka untuk memasuki Jakarta, Lintang merasa siap untuk meluncur ke sebuah dunia asing yang disebut sebagai tanah airnya. *** www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 273 Cimitière du Père Lachaise, Mei 1998 Dimas dan Lintang berjalan mengamati deretan makam yang cantik dan megah itu. Di depan makam penyanyi Édit Piaf yang sederhana (hitam dan bersalib), di depan makam Marcel Proust, mereka berjalan seolah mereka adalah flâneur yang tengah menikmati keindahan kematian yang diabadikan dalam bentuk yang cantik. Kematian yang dirayakan dengan puisi, bunga, dan pohon rindang yang meminjamkan bayangbayangnya untuk kesejukan. Dimas tak tahu mengapa mereka memilih mengunjungi pemakaman untuk mengisi hari perpisahannya dengan puterinya. Hari itu mereka memilih titik-titik Paris mana saja yang ingin mereka kunjungi. Tanpa rencana rapi, tanpa agenda, tanpa peta. Sebelumnya, mereka sudah menikmati makan siang yang sederhana di salah satu warung daerah Île StLouis sembari menertawakan kegilaan mereka yang bersedia membuang duit begitu banyak untuk menikmati makan siang atau makan malam di La Tour d’Argent yang dianggap sebagai restoran paling tua dan paling mahal di Paris. “Mengapa Balzac, Dumas, hingga penulis di masa modern menganggap La Tour d’Argent tempat yang penuh inspirasi, Ayah tak akan pernah paham,” Dimas menggelengkan kepala. Mereka berjalan-jalan dulu ke tepi Sungai Seine menemui Antoine Martin, berbincang sekaligus pamit sembari mengorek-ngorek buku bekas dan vinyl jualannya. “Kau akan pergi begitu jauh. Kucarikan bacaan untukmu,” kata Antoine sambil menggigit rokoknya dan mencari-cari sesuatu yang tepat untuk Lintang, lalu dia memberikan kumpulan puisi T.S Eliot, The Waste Land. “Gratis untukmu,” kata Antoine. Lintang tertawa. Dia sudah punya kumpulan itu, tetapi dia mengucapkan terima kasih. Mungkin dia akan membawanya, karena miliknya sudah busuk, penuh coretan dan berantakan. www.boxnovel.blogspot.com
274 PULANG Setelah membeli beberapa buku bekas itulah mereka perlahan berjalan menyusuri Sungai Seine dengan beberapa buku bekas di tangan, memikirkan betapa sungai ini, yang sudah digerayangi turis dan kamera para fotografer dan sineas, bisa bercerita bahwa begitu banyak cerita di antara desir air yang menjadi saksi tentang kedatangan Dimas dan kawan-kawannya ke kota itu. Kota besar yang berisi sastrawan, filsuf, sineas, desainer, model, arsitek terbesar dan terkemuka di dunia. Tetapi paling tidak Sungai Seine diperkosa seperti halnya Bengawan Solo. Betapa manusia telah mengkhianati alam dengan menggunakan sungai sebagai tempat pembuangan mayat, dan terlebih lagi telah mengkhianati kemanusiaan. “Ayah....” “Ya....” “Ayah betul-betul sehat?” “Ya.” “Apa hasil tes kesehatannya, Yah?” “Ya problem lever saja. Tinggal habiskan obat. Nanti periksa lagi.” Dimas menjawab sambil memandang Sungai Seine yang sekarang dilalui perahu turis. Lintang tahu betul kebiasaan ayahnya jika dia enggan membicarakan sebuah topik: dia membelokkan percakapan dengan manis. “Yah,” Lintang berhenti dan memegang tangan ayahnya, “aku ingin Ayah menyaksikan Lintang diwisuda, bekerja, mem - bangun rumah, punya anak.” Dimas memegang pipi anaknya dengan penuh sayang. Ada segumpal...entah segumpal apa yang menyangkut di tenggorokannya. “Lalu siapa yang ingin absen dari semua peristiwa penting itu, Sayang? Ayah pasti berada di baris terdepan. Pada pernikahanmu, katakan pada Nara dan orangtuanya, kami, orangtua Lintang yang akan merayakan. Ayah tak mau cara Eropa di www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 275 mana kami hanya menjadi tamu!” Lintang tertawa. “Ayah, pertama, yang mau menikah dengan Nara itu siapa? Saya sendiri belum tahu akan menikah dengan siapa. Saya bahkan tak tahu apakah saya berminat menikah. Saya ingin punya anak, tapi saya belum membayangkan sebuah perkawinan.” Dimas tertegun. Ini pengetahuan yang cukup baru dan asing? He? “Kau tidak serius dengan Nara? Bukannya kau marah padaku karena kau membelanya begitu rupa, karena kau merasa Ayah mengejek dia? Sekarang...” “Sudahlah, Yah!” Lintang memotong Ayahnya yang sudah berhasil mengemudikan topik, “tolong jangan belok-belok, Yah. Aku sedang bertanya tentang kesehatan Ayah.” “Dear Lady, can you hear the wind blow, and did you know Your stairway lies on the whispering wind...” Ya Tuhan. Lintang tahu, tak mungkin dia mengejek ayahnya jika dia sudah masuk ke dalam “Led-Zeppelin-Mode-on”. Jika Lintang mengejek musik rock-klasik yang sudah layak masuk ke museum bersama kenangan orangtuanya—kenangan ketika mereka menyaksikan konsernya di Inggris—itu berarti Lintang akan mendengarkan tiga jam kuliah-defensif. Ayahnya akan memberi ceramah tentang band Inggris terkemuka yang hingga kini, menurut ayahnya, adalah band yang paling berpengaruh di dunia. Ayah-ibunya hanyalah dua ekor semut dari milyaran semut pemuja mereka. Pandai sekali ayahnya memutar percakapan. Saat Lintang begitu jengkel, tiba-tiba saja dia tak sadar, begitu saja menyetujui usul Dimas untuk pergi ke pemakaman Père Lachaise. Dan begitulah lewat tengah hari, mereka sudah tiba di pemakaman itu tanpa rencana, tanpa tujuan, tanpa cita-cita. www.boxnovel.blogspot.com
276 PULANG “Hari ini kita benar-benar seperti flâneur.” “Tidak berarti perjalanan ini tak bermakna,” Dimas tersenyum. Dimas merasa begitu tenang dan tenteram di sini. Aneh. Tetapi itulah yang dia rasakan. Demikian pula Lintang. Itu pula yang kemudian menyatukan ayah dan anak. Ada kenangan mereka bersama menyusuri makam demi makam dan membahas tokoh-tokoh yang kini sudah tinggal tulang-belulang. Lintang kecil, saat pertama kali mengenal kamera dimulai di pemakaman ini. Lazimnya, pemakaman di Indonesia memang bukan sebuah tempat untuk berjalan-jalan, duduk, menatap senja kala, berpuisi dan mengenang kebesaran Tuhan. Bahkan di hadapan makam Chairil Anwar, yang bentuknya paling unik dibanding makam sekitarnya, Dimas tak pernah menganggap tempat itu cukup asyik dan menenteramkan seperti Cimitière du Père Lachaise. Tetapi, ada sesuatu, ada aroma, ada rasa kepemilikan, ada rasa penyatuan dengan seluruh pemakaman Karet. Ketika mereka melalui makam Jim Morrison yang megah, Dimas membungkuk dan mengambil tanah di pemakaman itu dan menciumnya. Dimas menggelengkan kepalanya. “Aromanya berbeda, Lintang.” Lintang ikut-ikutan mengambil tanah di samping makam Jim Morrison dan setengah bingung ikut menciumnya, “Apanya yang berbeda? Berbeda dengan tanah di mana?” “Di Karet...rumahku yang akan datang,” kata ayahnya tanpa perlu memberitahu asal kutipan itu, karena dia tahu Lintang sangat mengenal sajak-sajak Chairil Anwar. Seperti kebanyakan anak-anak di mana pun, Indonesia atau Prancis, Ghana atau Belgia, Meksiko atau Australia, Lintang tak pernah tenteram mendengar orangtuanya membicarakan kematian dan rencana rumah mereka yang terakhir. “Makam di Paris memang luar biasa. Dibangun bukan sewww.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 277 kadar untuk rasa ingin melanjutkan hubungan dengan mereka yang sudah ‘menyeberang’ ke alam yang tak kita ketahui, tetapi sekaligus untuk memelihara melankoli. Tetapi, Ayah rasa, Ayah akan lebih bahagia jika bisa dikubur di Karet, satu rumah dengan Chairil Anwar.” “Ayah, aku ingin Ayah hidup seribu tahun lagi. Jadi berhentilah membicarakan soal pemakaman.” “Oke,” Dimas mengangguk. “Ayah mau minta tolong satu hal saja, ” Dimas membuka jam tangan Titoni 17 Jewels yang sudah puluhan tahun memeluk pergelangan tangannya. “Tolong berikan ini untuk Alam, putera bungsu Om Han yang akan kau temui nanti. Sudah sangat tua dan antik. Tetapi masih berjalan dengan baik.” Lintang menerimanya dengan hati tergetar, “Ini milik Om Hananto?” Dimas mengangguk, “Dia memberikannya di hari terakhir kami bertemu, sebelum Ayah berangkat.” Lintang membungkusnya dengan skarf yang dia kenakan, seolah jam tua butut itu lebih berharga daripada berlian manapun. “Sebenarnya, Yah, ada apa dengan segitiga Om Hananto, Tante Surti, dan Ayah?” Lintang merasa lega bisa memuntahkan pertanyaan yang dia simpan bertahun-tahun di lapisan terbawah hatinya. Wajah Dimas sedikit tegang. Akhirnya dia memutuskan duduk di sisi makam Jim Morrison. Matahari sudah mulai menggelincir. Tapi karena Paris akan memasuki musim panas, hari masih lebih panjang. “Hanya cerita romansa mahasiswa saja, Lintang. Ayah berkawan dengan Om Hananto sejak kuliah.” Lintang menunggu cerita berikutnya. Tetapi ayahnya nampak mencoba memutuskan bagaimana caranya meringkas sebuah bola benang kusut itu menjadi sehelai benang yang www.boxnovel.blogspot.com
278 PULANG lurus, tipis, sederhana, dan tidak melahirkan pertanyaan yang cerewet. Dimas tidak tahu caranya meluruskan buntalan benang kusut itu. Bolehkah dia menguburkannya bersama tulang-belulang ini di Cimitière du Père Lachaise? “Lalu?” Lintang mencoba menekan nada tuntutan dalam pertanyaannya. “Ayah pernah...berkencan dengan Tante Surti di masa mahasiswa, tetapi akhirnya Tante Surti menikah dengan Om Hananto. Biasa saja, tak ada yang istimewa. Kisah romansa zaman dulu yang sudah dilupakan,” semakin Dimas menekankan kalimatnya, semakin dia tak yakin apa yang diucapkannya. Lintang membaca wajah ayahnya dan ada redup dalam mata lelaki itu yang membuat dia tak tega untuk mengejar dengan pertanyaan berikutnya. “Sama seperti Om Risjaf yang dulu tertarik pada Tante Rukmini, tetapi akhirnya Tante Rukmini memilih menikah dengan Om Nug. Itu kan kisah-kisah lucu masa mahasiswa yang sama sekali tidak penting dan tidak ada....” “Rasanya itu dua cerita yang berbeda, Ayah,” Lintang memotong tak sabar. “Aku sudah sering mendengar gurauan Om Risjaf dan Om Nug. Om Risjaf tak pernah berkencan dengan Tante Rukmini. Itu berbeda dengan situasi Ayah, Om Hananto, dan Tante Surti.” “Kenapa ini semua penting betul kau ketahui?” Dimas mulai merasa daerah pribadinya diguncang oleh anaknya. Sebuah daerah pribadi yang tak pernah bisa dia ungkapkan, bahkan pada Vivienne ketika isterinya menggugat kejujurannya tentang perasaannya. “Apa hubungannya ini semua dengan tugas akhirmu?” Lintang terdiam, mencoba memahami perasaan ayahnya. Ini memang ruang pribadi. Tapi dia harus tahu segala konteks dan latar belakang semua narasumbernya, apalagi keluarga Hananto Prawiro. www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 279 “Ayah, saya akan bertemu keluarga Hananto. Ada sesuatu yang khusus tentang mereka yang terkait dengan Ayah. Saya harus siap. Saya datang sebagai seorang mahasiswa peneliti yang merekam sejarah hidup mereka yang menjadi titik gelap sejarah tanah air Ayah, tanah air saya juga....” Dimas memandang Lintang, hatinya tercutik perih mendengar kata ‘tanah air saya juga’. “Tahukah kamu...kata flâneur begitu banyak arti?” Lintang menggelengkan kepala perlahan. “Kata flânerie pada abad 16 menunjukkan sebuah kebiasaan orang-orang yang menyusuri dan mengelus jalan, menikmati udara senja atau pucuk bunga yang mulai merekah di musim panas. Ada konotasi ini adalah aktivitas untuk kaum aristokrat yang kebanyakan waktu. Baru belakangan, kata flâneur memberi kesan ambivalen. Ada campuran arti citra rasa seseorang yang melakukan perjalanan untuk memenuhi keingintahuan dan keinginan mempelajari kebudayaan setempat. Ini kemudian berbeda dengan flâneur yang sebelumnya berarti pengelana yang berjalan ke mana saja, tanpa tujuan. Menyaksikan flâneur, seperti melihat gambaran bergerak dari sebuah kehidupan urban.” Lintang merasa ayahnya pasti punya tujuan untuk memberi kuliah tentang semantik flâneur. Dia mencoba memberi ruang toleransi karena mendengarkan ceramah kultural jauh lebih berguna daripada ayahnya ceramah soal kedahsyatan Led Zeppelin. “Tetapi, saya paling tertarik dengan penjelasan Charles Baudelaire, bahwa keramaian dalam perjalanan adalah rumah bagi flâneur, seperti ikan dengan airnya. Kegairahan dan pekerjaannya melebur menjadi satu di dalam keramaian. Seorang flâneur akan terus mencari, dan membangun rumah di dalam aliran dan gerakan perpindahan. Dia merasa telah meninggalkan rumah, tetapi berhasil membangun sebuah rumah www.boxnovel.blogspot.com
280 PULANG di dalam perjalanan.” “Seperti burung camar,” kata Lintang menyela. “Ya,” Dimas menoleh, seperti ditarik ke dunia nyata setelah tenggelam sejenak dalam lautan pemikiran dan semiotika, “itu kata Ibumu. Seperti burung camar.” Pada awal musim panas, matahari Paris tak selalu segera pensiun dari tugasnya. Pemakaman Père Lachaise masih terang-benderang, meski jam sudah menunjukkan senja. “Ayah masih berkelana, dengan atau tanpa tujuan, Ayah masih menjadi flâneur ketika Tante Surti meminta saya melempar jangkar dan berlabuh. Ayah rasa itu risiko yang wajar jika Tante Surti memilih seseorang yang sudah siap mendampinginya dan memberi janji untuk memayungi apa pun yang dicurahkan langit kepada dia dan anak-anaknya. Itu saja.” Lintang mengangguk perlahan, meski wajahnya masih penuh tanda tanya. “Ketika bertemu dengan Maman? Apakah Ayah sudah merasa siap? Atau masih juga merasa diri sebagai pengelana?” Dimas terdiam. Seluruh perasaan hatinya dia simpan, dan dikubur sedalam-dalamnya, karena dia tahu ada persoalan kebutuhan, kenyamanan, sekaligus ketidakadilan di sana. Apa yang dirasakannya pada Vivienne akan selalu tulus dan sejati. Tetapi hingga kini, dia tidak tahu apakah itu cinta atau rasa aman. Dimas ingin sekali bercerita pada anaknya, bahwa menetap di Paris dan membangun keluarga bersama ibunya dalam pengasingan bukan sebuah cita-cita yang dibangun. Bahwa Dimas tak akan pernah mengeluarkan kata ‘pengasingan’ di depan ibunya, karena bagi Vivienne: Paris adalah rumah. Apa yang dilakukan Dimas, Nugroho, Tjai, dan Risjaf berloncatan dari Santiago, ke Havana, lalu ke Peking untuk akhirnya mendarat ke Paris bukan karena ingin berkelana sebagai pilihan. Mereka bukan epigon dan bukan pula pengagum Generasi Beat yang berkeliling Amerika karena pilihan: www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 281 untuk menghirup udara kebebasan, eksperimen seks dan obat -obatan. Pada Dimas dan kawan-kawannya, ada rasa waswas yang abadi, bahwa mereka selalu dalam pengintaian dan perburuan sebagai risiko pilihan politik (atau untuk Dimas dan Tjai: sebagai risiko tidak memilih apa pun) “Aku mencintai ibumu untuk segala yang ada pada dirinya. Dan aku mencintai dia karena telah memberikan mutiara terindah seperti dirimu,” akhirnya Dimas menjawab setelah me - nemukan formula yang paling tepat untuk mengunci pembicaraan. Tapi Lintang adalah seorang mahasiswa yang penuh pertanyaan. Dia dididik oleh orangtua dan para dosennya untuk tidak begitu saja menelan jawaban atau buku yang dibacanya. “Kenanga, Bulan, dan Alam, apakah itu nama-nama dari Ayah?” Dimas hampir saja terjengkang mendengar pertanyaan itu. Mukanya berubah pucat. Sial. Mempunyai anak cerdas itu menyenangkan sekaligus menjengkelkan. “Ya,” Dimas menjawab dalam satu nafas yang panjang. “Itu nama-nama yang Ayah berikan jauh sebelum anak-anak itu lahir. Itu sebuah nama cita-cita sepasang remaja yang kasmaran. Tetapi Surti memutuskan memberi nama-nama itu pada anak-anaknya. Bagaimana kamu...” “Ah Ayah....jangan meremehkan aku,” Lintang tersenyum, “lihatlah namaku, lihat nama mereka. Itu semua ada sidik jarimu. Seandainya aku punya adik, pastilah Ayah akan menamakannya nama-nama seperti Bunga Seruni atau Laut Biru, semacam itulah....” Dimas tertawa terbahak-bahak. Seperti Vivienne, Lintang tak akan menyisakan ruang rahasia atau kegelapan. Segalanya harus terang-benderang. “Ayah, katakanlah, apakah Ayah masih seorang pengelana? Seorang flâneur yang masih selalu mencari, berjalan terus, dan tak ingin berlabuh?” www.boxnovel.blogspot.com
282 PULANG Kali ini Dimas menjawab dengan jujur dan ikhlas, “Aku ingin pulang ke rumahku, Lintang. Ke sebuah tempat yang paham bau, bangun tubuh, dan jiwaku. Aku ingin pulang ke Karet.” *** Au Petit Fer à Cheval, Le Marais, jam 9 malam. Setelah mengucapkan perpisahan dengan ayahnya di pintu apartemen, Lintang menemui Narayana di pojok kafe klasik Au Petit Fer à Cheval yang terletak di kawasan Le Marais. Lintang terlambat 10 menit, tetapi Nara menyambutnya dengan senyum mesra, setengah tak sabar ingin memiliki selama tiga hari tiga malam, seperti yang sudah diucapkannya berkalikali. Begitu Lintang tiba di meja yang sudah lama dipesannya, begitu pula Nara mengikuti hasratnya yang ditunda begitu lama. Ia langsung menyambar dan menciumi kekasihnya. Lin - tang membalas pelukan itu seadanya, dan duduk dengan manis sebaris dengan Nara. Di dalam pikirannya berkecamuk berbagai kosakata Indonesia yang sangat tidak cocok dicampur dengan kosakata Prancis: Karet, Surti, Hananto, Kenanga, Bulan, Alam, Karet, Bimo Nugroho, Karet, Chairil Anwar, Karet... “Ma chérie...” “Ayah berkali-kali menyebut Karet....” “Ka...?” “Itu pemakaman di Jakarta.” “Oh....” “Tidak semewah dan sebagus pemakaman di sini, kata Ayah. Ya pemakaman biasa. Tapi dia menyebut Karet sebagai tujuan pulang!” Lintang tak tahu kenapa dia menyentak kekasihnya berkali-kali, seperti ada kejengkelan tak berdasar melihat Nara seperti seorang priyayi muda yang tercengang dengan dunia www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 283 yang masih ada pengemis dan taik berleleran di jalan. “Aku tahu Karet. Aku tahu Karet adalah pemakaman di Jakarta,” Nara menjawab dengan tenang dan sabar, dan mencoba memahami Lintang yang lupa bahwa Nara sudah sering ke Jakarta. Lintang merasa bersalah dan ingin menangis. Dia memeluk Nara lantas mengambil minuman entah apa yang sedang dimi - numnya, “Maaf mon chérie, ayahku dalam suasana hati yang aneh hari ini.” “Mungkin karena beliau sedih akan berpisah denganmu.” “Berpisah? Aku hanya pergi beberapa pekan. Kalau diperpanjang, paling lama satu setengah bulan. Aku ada tenggat.” “Tapi, dia baru saja berbaikan denganmu. Sekarang harus berpisah lagi.” “Ah ya,” Lintang membenarkan teori kekasihnya, “mungkin kau benar.” “Aku pasti benar. Kedua orangtuamu sangat mencintaimu. Hubungan kalian tak hanya seperti orangtua dan anak, tetapi seperti sahabat. Ayolah. Malam sudah turun, Sayang. Kau pesan makan, kita makan, dessert, dan yuk kita pulang. Aku ingin menculikmu segera,” Nara mengelus-elus leher Lintang. Lintang tersenyum dengan mata berkilat. Dia menenggak semua minuman Nara hingga licin tandas, “Bagaimana kalau kita lupakan saja makan malam ini. Kita bawa sebotol anggur ke apartemenku.” Nara melotot mendengar ide brilian itu. “Tapi kau akan lapar. Aku tahu betul perutmu yang muat lima truk makanan,” Nara protes karena tahu betul apa yang bisa mengganggu percintaan dengan kekasihnya yang doyan makan enak itu. “Setelah acara penculikanmu, kita order makanan Cina saja. Yuk!” Lintang membereskan tasnya. Nara langsung membayar minumannya dengan penuh semangat. www.boxnovel.blogspot.com
284 PULANG Di trotoar, mereka berjalan sembari berpelukan, “Satu setengah bulan terlalu lama, ma chérie....Tiga minggu saja. Kalau sampai lebih, aku akan menyusul!” Nara menggigit telinga Lintang. Dia tak sabar membayangkan Metro yang begitu jauh dan lama dan segera memanggil taksi menuju Bellevile. “D’accord!” Untuk tiga jam yang membara—tiga hari tidak realistik nampaknya—Nara berhasil membuat Lintang melupakan kata “Karet”. Paling tidak untuk tiga jam Lintang mendesahkan kosakata yang berbeda, kosakata yang intim yang membuat Nara semakin panas. Berpekan-pekan hasrat yang ditundatunda itu harus ditunaikan seluruhnya malam itu juga. Mereka menyalakan musik sekencang-kencangnya agar tetangga mereka, yang hanya dibatasi tembok tipis, tak terganggu oleh bunyi berisik repetitif dari pasangan yang sedang bergejolak ini. Tetapi setelah tiga jam yang riuh dan berkeringat, ketika Nara tergeletak telanjang, Lintang terbangun menatap langitlangit. Dia bangun, menutup dirinya dengan sehelai seprai yang meneduhkan dan berjalan ke dapur. Kosakata ayahnya mulai mendera pikirannya. Lintang mencoba menenangkan dirinya dengan segelas air putih. Dari jendela apartemen yang besar, Lintang melihat lampu-lampu di area Belleville yang menyirami bangunan-bangunan tua dengan cahaya. Toko-toko bumbu, toko roti, lalu apartemen tua di sebelahnya. Tiba-tiba saja lampu itu padam satu persatu. Dan hanya dalam beberapa detik, semua bangunan itu menjelma menjadi barisan makam kecil, berderet, berbaris. Lintang memicingkan matanya. Tepat di tengah deretan makam itu, Lintang melihat sebuah gundukan tanah merah segar yang belum dibungkus semen, dengan papan dan nama yang sederhana: Dimas Suryo, 1930-1998. www.boxnovel.blogspot.com
SSEEGGAARRAA AALLAAMM www.boxnovel.blogspot.com
www.boxnovel.blogspot.com
SEBUAH DIORAMA Jakarta 1993 Mereka semua berdiri, penuh darah, penuh luka. Mereka adalah patung-patung yang dipasang, diatur, dan dikelola. Mungkin di sana ada beberapa fakta, mungkin sisanya hanyalah serangkaian pose. Patung-patung kecil itu seperti tengah memainkan sebuah lakon di balik kaca. Ada yang tertembak di sebuah ruang tamu. Ada yang disiksa di atas kursi. Berbagai kekejian itu dibentuk menjadi sebuah diorama panjang yang menjadi sejarah resmi negara ini selama 28 tahun. Lalu kulihat segerombolan muridmurid sekolah dasar berbaris dengan rapi mengikuti guru dan pemandu wisata yang menjelaskan bagaimana PKI menyeret para jenderal dan menyayat-nyayat tubuh mereka. Dua orang anak merekatkan jidat ke kaca dan melotot menyaksikan kekejian itu. Serombongan anak perempuan sekolah menengah atas menyusul. Serem ya. Takut. Hi. Jahat ya. Itu darah atau saus tomat, Bu? www.boxnovel.blogspot.com
288 PULANG Kalau di film ada yang menyanyi-nyanyi. Ayo jangan ribut, dicatet semua untuk laporannya ya.... Itulah komentar anak-anak sekolah dasar; komentar anak-anak sekolah menengah pertama yang membandingkan pemandangan di depan mereka dengan film yang wajib mereka tonton setiap tahun. Ini adalah sejarah. Mereka meniupkan kisah yang membuat masa kecilku berantakan, kumuh, dan berisik. Diorama ini mungkin mempunyai efek yang lebih dahsyat daripada film yang terlihat sangat teaterikal itu, karena bentuk seperti ini memberi ruang untuk imajinasi yang lebih berdarah. Siapa gerangan yang menciptakan diorama? Apakah sejak semula itu dibuat untuk alat informasi, pendidikan, propaganda, atau hiburan? Atau semuanya sekaligus? Apakah penciptanya kelak tahu bahwa diorama bisa digunakan secara efektif sebagai dongeng bagi anak-anak sekolah, tentang bagaimana negeri ini terbentuk menjadi sebuah negeri penuh luka dan paranoia? Aku mengambil buku, membuka ensiklopedia, dan keluarlah nama-nama Louis-Jacques-Mandé Daguerre dan Charles Marie Bouton, yang memamerkan diorama kali pertama di London pada abad ke-19 sebagai alat hiburan sekaligus pendidikan. Bukan untuk menyuntikkan sebuah sejarah yang harus dipercaya sebagai kebenaran. Kedua anak SD itu masih merekatkan jidat ke kaca. Mereka masih saja terpana dengan serangkaian adegan penyiksaan itu. Lalu aku teringat puluhan tahun silam, ketika Bimo dan aku duduk di kelas V sekolah dasar. Aku tak akan pernah melupakannya. Tanggal 30 September 1975. Kami dihalau naik ke atas bis warna kuning kunyit untuk mengunjungi Monumen Pancasila Sakti. Tiba di sana, kami—menyandang ransel di punggung www.boxnovel.blogspot.com
LEILA S. CHUDORI 289 berisi nota, pensil, roti, dan air minum—dihalau turun dan diperintahkan berbaris dengan rapi dan sikap takzim. Sekali saja mengunjungi Monumen itu, aku sudah hafal luar kepala. Ada patung-patung jenderal yang berdiri dengan gagah dan berwibawa. Kami harus mengelilingi Ibu Pemandu, mendengarkan kisah Ibu Pemandu yang menjelaskan hal yang sama, nama yang sama, peristiwa yang sama. Sesuai dengan sejarah: jenderal yang diseret dan disiksa, lalu dicemplungkan ke dalam Lubang Buaya. Dan itu salah Partai Komunis Indonesia. Juga salah keluarga PKI dan saudara-saudara PKI. Termasuk anakanak keluarga PKI yang baru lahir atau bahkan yang belum lahir tahun 1965. Semua dianggap berdosa. Aku takut. Bimo jeri. Entah mengapa kami gentar. Apa karena cerita yang terdengar begitu mengerikan. Atau kami takut karena Ibu pemandu akan tahu siapa Bapak kami. Untuk menangkal rasa gentar, Bimo dan aku menghitung tambahan garis putih pada rambut Ibu Pemandu. Hanya kumpulan uban itulah yang membuat kunjungan ini tidak membosankan. Suara sang Ibu Pemandu semakin tahun semakin bergetar dimakan usia. Aku sering bertanya-tanya, apakah dia hanya melakukan itu demi menambah uang belanja rumah tangganya atau karena memang dia sedemikian berdedikasi pada menara sejarah Orde Baru. Ada saat-saat aku merasa dia hanya bekerja saja tanpa paham apa yang sedang diucapkan. Aku yakin dia juga tak yakin siapa pemilik sejarah sesungguhnya. Sesudah menghitung uban, kami biasanya melanjutkan dengan kegiatan mengukur tinggi kami. Tentu saja aku lebih tinggi daripada Bimo, meski dia setahun lebih tua daripada aku. Sama seperti dua anak SD yang merekatkan jidat ke kaca ruang diorama di sebuah museum yang dibangun tahun ini. Tak hanya pameran diorama yang terbentang sepanjang lorong, museum ini juga memamerkan berbagai ruang penyiksaan dan ruang rapat-rapat pengkhianatan sebagai bagian dari sejarah. www.boxnovel.blogspot.com
290 PULANG Aku berdiri di sini menatap itu semua dan bertanya-tanya. Duapuluh delapan tahun yang lalu, pertanyaanku sederhana: sejauh apa lakon dalam diorama ini memang terjadi? Mungkin untuk membuat pertanyaanku lebih terdengar akademis dan filosofis: siapakah pemilik sejarah? Siapa yang menentukan siapa yang jadi pahlawan dan siapa yang penjahat? Siapa pula yang menentukan akurasi setiap peristiwa? Mereka, para sejarawan yang dipesan oleh pemerintah dan ditugaskan menulis peristiwa September? Atau mereka, sejarawan dan para intelektual yang nekat mempertanyakan berbagai hal yang tak tertulis dalam ‘sejarah’. Aku tahu, ada beberapa gelintir sejarawan Indonesia yang sudah lama gatal untuk menggali, mengulik, dan menggugat sejarah versi Orde Baru. Aku tahu, diam-diam mereka menggerundeng— tentu saja gerutuan ilmiah—tentang pembelokan sejarah dan amplikasi di sana-sini agar beberapa tokoh tampak seperti pahlawan. Salah satu sejarawan pernah menulis di jurnal ilmiah, menyatakan bahwa persoalan politik saat itu tidak hitam-putih seperti yang ditampilkan pada diorama Lubang Buaya dan film buatan pemerintah yang setiap tahun harus kami tonton sebagai kewajiban. Dan aku juga tahu, rekan-rekanku di media sudah lama mempersoalkan sejarah versi pemerintah yang dijejalkan ke tenggorokan anak-anak sekolah selama puluhan tahun. Yu Kenanga sering mengutip bahwa pemilik sejarah adalah penggenggam kekuasaan. Bukan hanya di Indonesia, di semua negara yang otoritarian. Negara Barat yang demokratis pun mempunyai kecenderungan membentuk sejarah. Namun sejarawan mereka cukup independen. Kalau terjadi pembelokan, kalangan akademis akan berteriak. Menurutku, pemilik sejarah adalah para perenggut kekuasaan dan kelas menengah yang haus harta dan tak keberatan duduk reriungan mesra bersama penguasa. Aku lebih suka www.boxnovel.blogspot.com