51 Hari-hari selanjutnya setelah kejadian tersebut, aku terus memikirkan hal itu. Bahkan ketika di sekolah pun teman-temanku banyak membicarakan tentang apa yang selanjutnya akan mereka lakukan setelah lulus sekolah ini. Akupun masih bingung akan apa yang selanjutnya aku lakukan setelah lulus. Sebenarnya menjadi penyanyi memang keinginanku dari lama, namun aku masih tidak yakin jika aku akan hidup jauh dari orang tuaku, pasalnya kebanyakan agensi-agensi di Jakarta mengahruskan para peserta audisinya untuk trainee cukup lama. Satu minggu telah berlalu, Ayah tak mengingkari perkataannya. Tiba-tiba Ayah menghampiriku yang saat itu sedang bersantai di ruang keluarga. “Ayah sudah mendaftarkan namamu ke JIM Entertainment, teman Ayah yang bantu mendaftarkan”. “Tak apa-apa, Ayah yakin kamu akan baik-baik saja disana, dan Ayah yakin bakatmu itu akan berkembang jauh lebih baik lagi, daripada hanya membuat bising di rumah, kan?” Ucap Ayah seraya meyakinkan ku dan sedikit meledek. Yaa, aku pasrahkan saja semua deh.Aku melihat surat pendaftaran yang Ayah berikan kepadaku. Tertera disana bahwa tepat sehari setelah hari kelulusanku, aku harus berangkat ke Jakarta untuk memulai mengikuti trainee disana. Di hari-hari sebelum kelulusan, aku berpamitan kepada teman-temanku. Rasanya sedih sekali jika harus berpisah dengan orang-orang terdekat. Tapi bagaimanapun juga ini sudah menjadi keputusanku untuk bisa meraih cita-cita dan masa depan yang baik. Tepat satu hari setelah hari kelulusan, aku sudah bersiap dengan barang-barang bawaanku untuk segera terbang ke Jakarta. Aku diantar kedua orang tuaku menuju Bandara Jaunda, disana aku berpamitan dengan mereka. Setelah lamanya satu jam setengah berada di udara, aku tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, aku segera memesan taxi online untuk menuju
52 gedung penginapan milik agensi yang aku daftar. Banyak sekali orang-orang baru disana, banyak yang seusiaku, banyak juga yang lebih tua atau lebih muda sedikit dariku. Hari itu juga para staff membagi pembagian dari kamar kami. Satu kamar berisi empat orang, hal baiknya, aku satu kamar dengan orang-orang yang terkesan baik dan ramah, ada Yuna, Firly, dan Bey. Selain menjadi teman satu kamar, kami berempat juga akan digabungkan dalam satu group ketika nanti saatnya trainee dan menunjukkan bakat kami masing-masing. Setiap harinya, kami berempat saling mengakrabkan satu sama lain. Tiada hari tanpa berlatih bagi kami, tak hanya kami berempat, semua peserta trainee juga begitu. Kami semua terus berlatih untuk dapat menunjukkan yang terbaik ketika nanti audisi di depan petinggi dari JIM Entertainment. Kami berempat sangat beruntung, pasalnya group kami sangat pas dan saling melengkapi satu sama lain. Yuna, ia sangat berbakat dalam hal menari atau dancing. Firly, selain wajahnya yang sangat cantik, ia juga memiliki suara yang sangat lembut dan stabil. Bey, orang yang memiliki kepercaraan diri tinggi, tatapannya yang tajam, ia juga bakat dalam bernyanyi dan memainkan gitar. Dan aku, seperti yang orang-orangku bilang, suaraku sangat merdu dan berbakat dalam memainkan alat musik. Tak mudah bagi kami semua menjalani masa-masa trainee ini, banyak sekali ujian-ujian yang tidak jarang membuat semangat kita menurun. Mulai dari penampilan yang tidak memuaskan, tantangan yang tidak dijalani dengan benar, ditambah lagi keadaan yang membuat kami semua jauh dari orang-orang tersayang kami. Tak jarang kami berlatih di ruang audisi hingga larut malam. Disamping itu semua, kami harus tetap menjaga kesehatan dan menjaga berat badan dengan gym dan berusaha makan-makanan yang sehat.
53 Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, tak terasa sudah kami lewati dengan angin dan badai yang menyertai perjalanan kami. Jika dihitung-hitung, kurang lebih sudah 4 tahun lamanya aku menjalani masa trainee ini. Tinggal bersama orang-orang yang semula asing sampai sekarang sudah menjadi seperti keluarga. Hingga tiba hari dimana penentuan para peserta trainee yang akan debut, dalam artian akan dijadikan sebagai girl group dan siap terjun ke dunia entertainment. Penentuan itu diumumkan langsung oleh CEO dari JIM Entertainment, “Saya umumkan, group yang layak untuk debut yaitu group Clara, Yuna, Firly, dan Bey”. Aku langsung tercengang dan sangat tidak menyangka, begitu juga dengan ketiga temanku. Senang sekali rasanya perjuanganku selama kurang lebih tiga setengah tahun ini ternyata tak sia-sia, siapa yang tidak senang jika hal yang selama ini ia perjuangkan dan harapkan dapat tercapai. Hatiku tak sabar lagi untuk segera memberi tahu Ayah dan Ibuku, aku akan memeluk mereka sangat erat dan sangat berterima kasih kepada mereka. Satu minggu setelah pengumuman debut, group kami berempat siap tampil dan diperkenalkan pada khalayak umum. Grup kami telah diberi nama dengan sebutan “Flower Power” cocok dengan kami berempat yang cantik nan elegan namun penuh dengan power dan semangat. Tak pernah kusangka, penampilan pertamaku sebagai girl group mendapat banyak pujian dari orang-orang. Dua bulan sudah setelah penampilan pertama group kami, sekarang nama Flower Power semakin dikenali dan digemari banyak orang. Aku sangat puas sekali dengan pencapaianku saat ini. Siapa yang akan menyangka, seorang anak tunggal yang bisa dibilang tidak bisa hidup jauh dari kedua orang tuanya, ia bisa melewati itu semua demi meraih cita-cita yang ia inginkan. Berawal dari kebisingan yang aku buat di rumah, hingga membuat orang di rumahku terganggu. Kalau boleh aku bilang sih, aku bisa sampai di
54 titik sekarang berkat Ayahku yang mengusirku secara halus dengan mendaftarkanku ke satu agensi di Jakarta yang sekarang benar-benar menjadi jalan untuk aku meraih mimpiku. Teringat akan kejadian yang lalu, seketika aku ingat akan lagu yang ku nyanyikan malam itu, lagu yang sampai sekarang masih menjadi lagu kesukaanku, “If ain’t got you”. Bagaimana jika aku tak mendapatkanmu? Bagaimana jika aku tidak mendapatkan ini? Bagaimana jika aku tidak ada diposisi sekarang? Bagaimana jika saat itu aku tidak menuruti perkataan Ayah?. Ah, sudah, tak usah memikirkan banyak bagaimana. Yang terpenting, aku sangat bangga dengan diriku yang sekarang. Aku juga sudah bertemu dengan Ayah dan Ibuku, tentunya mereka sangat bangga denganku. Sekarang aku hanya perlu memikirkan untuk kedepannya akan menjadi lebih bersinar lagi.
55 Kau Abadi Karya : Rachel Wardhati Aliyah Untuk mengabadikanmu, Kakak tersayang. Seperti yang kau ketahui, Kak. Aku memang tak pandai dalam berkomunikasi, maka aku memilih untuk menuliskan ini untukmu, agar kau abadi di dalamnya. Selamanya. Aku Nilam Martiza, panggil saja Nilam. Lahir dan besar dalam keluarga yang bisa dibilang cemara. Kedua orang tuaku lengkap, dan aku memiliki satu saudara kandung perempuan bernama Putri Martiza, ia menderita penyakit jantung yang mengharuskan ia setiap bulannya kontrol ke dokter spesialis. Selisih umur aku dan dia hanya dua setengah tahun. Jadi, ketika Putri berumur 2 tahun 6 bulan, Ibuku melahirkanku. Sekarang aku menginjak usia 20 tahun, dan kalian bisa menabak kan umur Putri berapa?. Usia yang tak jauh berbeda mengharuskan kami untuk sering bertemu, baik di rumah maupun di sekolah, meskipun Putri satu tingkat lebih tinggi dariku. Tapi itu sudah berlalu, sekarang kami sudah melanjutkan kuliah masing-masing, kami mengambil kampus yang sama namun berbeda fakultas dan jurusan. Jadi, waktu kami bertemu hanya ketika kami sedang di rumah saja. Dan hal itulah yang membuat kami berdua menjadi sangat amat jarang untuk mengobrol. Walaupun aku akui, memang sedari dulu kami berdua juga tidak terlalu dekat layaknya sepasang kakak beradik, atau kalau zaman sekarang sering disebut dengan istilah ‘siblings goals’ bisa dibilang mencerminkan persaudaraan yang akur dan diidam-idamkan kebanyakan orang. Kami berdua sangat jauh dari hal itu. Bukan, bukan maksudku seperti saudara yang tidak akur dan sering bertengkar. Namun, kami berdua lebih ke jarang mengobrol, jarang bercerita satu sama lain atau curhat, bercandapun juga jarang, bertengkarpun kami hanya meributkan
56 hal-hal kecil. Mungkin bisa dibilang kami sama-sama cuek dengan saudara kandung masing-masing, ya. Aku ingat satu kejadian ketika kami berdua meributkan hal yang bisa dibilang masalah kecil, jika dalam persaudaraan mungkin itu sangat sering terjadi. Putri tiba-tiba masuk ke dalam kamarku tanpa permisi dan tanpa mengetok pintu, aku paling tidak suka jika hal itu terjadi. “Dek, kamu pakai bajuku yang biru motif bunga-bunga, ya?”. Aku yang sudah dibuatnya kesal karena ia membuka pintu kamarku tanpa mengetoknya, ditambah ia malah menuduhku bahwa aku memakai baju miliknya. “Enggak, ih. Lagi dicuci kali” aku menjawab dengan nada agak ketus, karena memang hal yang ia tanyakan dan seakan-akan menuduh itu tidak benar. Kejadian lain, saat itu kami sama-sama bangun terlambat dan hari itu kami harus masuk sekolah. Kamar mandi yang ada di rumah hanya satu, dan terjadilah pertikaian kami berdua untuk merebutkan siapa dulu yang akan masuk kamar mandi. “Dek, awas ih. Kakak duluan” ucap Putri dengan nada agak tinggi. “Apaansih, Kak. Aku yang bangun lebih awal dari Kakak” aku membela diri karena memang benar, aku yang bangun lebih dulu daripada Putri, ya meskipun hanya selang sedikit. Masih banyak sekali kejadian pertengkaran-pertengkaran antara aku dan kakakku, hingga aku sendiripun sulit untuk mengingat semuanya. Namun, ada satu kejadian yang akan selalu aku ingat dan tak akan pernah bisa dilupakan. Saat itu, malam hari ketika hari ulang tahunku. Aku berencana untuk pergi ke pesta bersama dengan teman-temanku. Putri mengetahui hal tersebut karena diberi tahu secara tidak sengaja oleh salah satu sahabatku yang kebetulan ia mengenal Putri, tentunya Putri tidak mengizinkanku untuk pergi berpesta. Aku sama sekali tak memperdulikannya, malam itu aku tetap pergi dengan mengendarai
57 mobil sendiri. Menikmati pesta bersama sahabat-sahabatku ditambah dengan sebotol anggur merah yang menemani kami malam itu, membuatku menjadi sedikit kehilangan kesadaran. Terlalu larut karena efek dari alkohol, sampai-sampai aku tetap meminumnya berulang-ulang. Kepalaku terasa sangat berat, namun aku memilih untuk tetap pulang ke rumah dan menyetir mobil sendirian. Perjalanan pulang yang disertai dengan pusing dan mual, aku tak menyadari jika ada truk besar yang melintas di depan ku. Derrr. Benturan yang amat keras membuatku tak sadarkan diri selama tiga hari di rumah sakit. Ketika tiba hari dimana aku sudah siuman, aku melihat sekelilingku ada Ayah dan Ibu yang senantiasa menjagaku di rumah sakit. Tapi, aku rasa ada yang kurang, aku kebingungan dan bertanya-tanya. “Bu, Kak Putri kemana?” “Ayah, Kak Putri sedang apa, Yah?”. Aku terus bertanya-tanya dan berpikir, tidak mungkin ia tidak akan menjenguk saudara kandungnya yang terbaring selama tiga hari di rumah sakit, walaupun kami memang jarang akur, tapi hal itu sangat tidak mungkin terjadi, kan?. Lalu kemana ia pergi?. Ayah dan Ibu awalnya hanya mematung mendengar pertanyaanku. Sampai akhirnya aku terus bertanya dan seisi ruangan itu menjadi saksi tangis pecah kami bertiga. Aku terus menangis, dengan perasaanku yang tidak karuan, kekhawatiran yang semakin besar, memikirkan apa yang terjadi pada Kak Putri, peristiwa apa yang sudah terjadi selama tiga hari saat aku tak sadarkan diri. Pagi hari setelah tangisan pecah itu, aku sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Melihat lalu lalang kendaraan dari dalam mobil ketika perjalanan pulang, aku tersadar bahwa mobil yang Ayah kendarai tidak menuju ke rumah, jalanan yang dilewati terlihat asing di mataku. Tiga puluh menit perjalanan berlalu, Ayah memberhentikan mobilnya di area parkir gedung bertuliskan
58 ‘Rumah Duka’. Perasaanku semakin tak karuan, bingung, cemas, gelisah, sedih, takut, dan ditambah rasa lemas dari tubuhku masih ku rasakan karena memang aku belum sembuh total. Aku tetap mengikuti langkah Ayah dan Ibu, sampai akhirnya tiba di lantai 4, Ruang Flamboyan nomor 32. Terpajang jelas disana foto Putri yang sangat cantik, terdapat satu buah peti dengan bunga-bunga segar yang menghiasinya. Aku memandangi Ayah dan Ibuku seakan tak percaya. Tangisan hening seketika menyelimuti ruangan itu. Pelukkan Ibu langsung menghampiriku. Ibu memberikan sebuah surat kepadaku. Nilam, adik Kakak yang paling cantik dan paling baik. Kakak minta maaf kalau selama ini banyak sekali kesalahan yang Kakak lakukan ke kamu. Tiada hari bagi kita berdua untuk meributkan hal-hal kecil. Tiada hari juga bagi Kakak untuk tidak menyayangimu. Walaupun Kakak sudah nggak di samping kamu, tapi Kakak akan selalu bersamamu. Kakak titipkan hati Kakak untuk kamu. Titip juga Ayah dan Ibu. Berjanji pada Kakak kalau kamu tidak akan mengecewakan mereka, ya. Sudah, tak usah bersedih, sekarang kamu bisa mendapatkan semua hal tanpa perlu berbagi denganku, kamu bebas memakai baju-bajuku sepuasnya. Jaga diri baik-baik, adikku. Kakak percaya kamu kuat dan bisa menjaga Ayah dan Ibu. Untuk yang pertama dan terakhir kalinya aku mengucapkan ini padamu ‘I love you, adikku, Nilam’. Putri Martiza Tangisanku semakin tak bisa terbendung lagi. Mengapa ia rela memberikan hatinya padaku?. Apakah ia tidak memikirkan dirinya sendiri?. Aku rasa semua sudah terlambat jika aku ingin mengucapkan kalimat-kalimat sayang padanya. Terlambat jika aku ingin membuat memori-memori indah dengannya. Sudah terlambat juga jika aku ingin mengulang semuanya. Sekarang aku hanya perlu melanjutkan hidupku dengan pesan yang telah ia titipkan. Aku
59 melanjutkan hidupku dengan hatinya di dalam tubuhku. Dan disanalah aku mengabadikannya.
60 Merindu Haribaan Karya : Rachel Wardhati Aliyah Semesta sengaja menarikku tuk tersesat jauh dari tanah tumpah darah. Setiap harinya dibuat rindu, rindu pulang untuk sekedar berteduh di pangkuannya. Hiruk pikuknya kehidupan tak pernah lepas dari pikiran. Tak terlihat, namun sangat bisa dirasakan. Jakarta, 26 Maret 2019. Terdengar suara announcement airport, pertanda penumpang harus segera melakukan boarding. Garuda Indonesia GA714 menembus lautan awan, terbang dengan ketinggian 38.000 kaki di atas langit yang cerah menuju Kota Seattle, Washington. Kedua kalinya aku naik pesawat, dan tetap membuatku kagum bahwa dunia sangat indah dan sangat luas. Aku Sierra. Mendapat beasiswa pendidikan di Bellevue College, hal itulah yang membuatku harus terbang dari Jakarta ke Seattle. Berat sekali rasanya harus jauh dari kampung halaman. Namun, itu semua aku lakukan demi meraih masa depanku. Setelah lamanya kurang lebih 17 jam 20 menit berada di udara, tiba juga akhirnya aku menapakkan kaki di tanah Amerika Serikat, tepatnya di Seattle, tanah yang sebelumnya belum pernah ku datangi, tanah yang sangat jauh sekali dari rumah, tanah yang bahkan sebelumnya tak pernah terlintas dipikiranku. Aku memesan taxi online untuk segera bergegas ke rumah kos-kosan ku. Melihat jalanan sekeliling dari kaca jendela mobil, batinku seolah-olah berkata “Ah, jauh sekali ternyata aku dari rumah”. Setibanya di kamar kos-kosan, aku membereskan barang-barangku, mengeluarkannya satu persatu dari koper, lalu ku tempatkan pada tempat yang semestinya. Merebahkan badanku di kasur, berbaring melihat langit-langit atap di kamarku, pikiranku
61 mulai melayang, kembali memikirkan keluarga di rumah, memikirkan disini nantinya aku akan bagaimana. Hari pertama masuk kuliah. Aku berangkat menaiki bus umum. Udara di sana sangat sejuk, banyak daun-daun berjatuhan saat musim gugur ini. Bertemu banyak orang-orang baru, ku tanyakan pada gadis berambut pirang yang tengah duduk sendirian. Meskipun aku belum begitu pandai dalam berbahasa Inggris, tapi aku terus belajar dan mencoba. “Hi, can I sit here?” “Of course, you can” “I’m Sierra, by the way. What’s your name? “I’m Kania. Where do you come from” “I’m from Indonesia. And you?” Setelah percakapan tak lama, aku dan Kania berteman baik, ia berasal dari Washington. Jam perkuliahan telah selesai, aku memutuskan untuk langsung pulang ke kos. Sore harinya, aku mendapat pesan chat dari nomor tak dikenal. “Sier, nanti malam kita pergi keluar, mau? Kania”. Begitulah kiranya arti dari pesan tersebut yang ternyata dikirim oleh Kania. Karena baru awal memasuki perkuliahan, jadi aku masih punya banyak waktu luang, aku pikir daripada berdiam diri sendirian di kamar kos, mending aku terima saja ajakan Kania, tidak enak juga menolak ajakan teman pertamaku di sini. Kania memintaku untuk menemuinya di salah satu caffe bar sekitar kampus. Rupanya ia sudah duduk menungguku sembari meminum red wine dan memegang sebatang rokok yang menyala. Aku agak terkejut, namun berusaha ku tutupi. Berjalan menghampirinya, lalu duduk bergabung bersama dia dan satu teman perempuannya serta tiga teman laki-lakinya. Kania memperkenalkanku kepada teman-temannya. Mereka mengobrol,
62 tertawa, merokok, dan meminum wine terus menerus. Disuguhkannya setengah gelas red wine kepadaku. Mereka terus berkata padaku “Ayo minumlah”. Dengan sangat terpaksa aku meneguk minuman itu, minuman yang belum pernah aku coba, bahkan aku sentuh. Tak lama, aku merasakan rasa mual dan pusing. Aku segera pergi ke toilet, berkumur di sebuah wastafel, terdapat kaca juga di sana. Aku berkaca, menghadap diriku sendiri seraya berkata “Kebodohan apa yang sudah ku lakukan, mengapa aku melakukan ini, apakah mereka menjebakku? Atau hal semacam ini memang sudah biasa?”. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang, tak lupa berpamitan dengan Kania dan teman-temannya. Dinding- dinding kamar kos dan seisinya menjadi saksi tangisanku untuk pertama kalinya ketika berada di Seattle. Terus memikirkan kejadian yang telah terjadi, juga memikirkan kejadian apa yang akan terjadi selanjutnya. Menangis dengan hanya dipeluk diri sendiri, ditemani malam dingin yang sepi sunyi. Aku sangat merindukan kedua orang tuaku, merindukan keluarga, rindu tempat asalku, sangat rindu. Menantikan hari di mana aku bisa segera pulang dan kembali ke pangkuan Ayah-Ibu. Mungkin aku hanya tercengang melihat kultur budaya di sini, yang sebelumnya terkesan tabu bagiku. Apa aku hanya perlu sedikit demi sedikit beradaptasi dengan budaya mereka, atau aku perlu menjaga pertemanan dengan siapapun orang yang baru dikenal. Aku pikir keduanya sama-sama benar. Ya, aku harus terus belajar di sini. Belajar menerima sekitar, tak semua yang datang pada kit aitu baik.
63 Perjuangan Hidup Karya : Rachel Wardhati Aliyah Jihan merupakan anak tunggal dari pasangan Efendy dan Risma. Keluarga mereka sangat berkecukupan dan harmonis. Mereka selalu menikmati kehidupan bersama dan tak pernah merasakan kekurangan dalam hidup mereka. Namun, kebahagiaan keluarga mereka terputus tiba-tiba ketika pandemi COVID-19 menyerang Indonesia pada tahun 2020. Efendy dan Risma, orang tua Jihan, menjadi korban dari pandemi tersebut. Mereka meninggal hanya selang beberapa hari. Jihan sangat terpukul dan merasa kesepian tanpa kedua orangtuanya. Dia merasa seakan-akan kebahagiaannya yang selama ini telah diperjuangkan, tiba-tiba berakhir begitu saja. Namun, Jihan tidak membiarkan kesedihan tersebut mengalahkan dirinya. Jihan terus berjuang dan melanjutkan hidupnya. Dia tahu bahwa kedua orangtuanya pasti ingin melihatnya terus maju dan berprestasi dalam hidupnya. Jihan memutuskan untuk melanjutkan kuliah di salah satu universitas di Jawa Timur, meskipun terpaksa harus tinggal jauh dari keluarganya. Pada awalnya, Jihan merasa kesepian dan tidak nyaman tinggal di kota yang baru. Namun, dia bertemu dengan teman-teman yang baik di kampus. Mereka membantu Jihan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru dan memberikan dukungan moral bagi Jihan dalam menghadapi kehidupan yang baru. Selama kuliah, Jihan menunjukkan prestasi yang luar biasa. Dia mendapatkan nilai yang sangat baik dalam setiap mata kuliahnya dan menjadi salah satu mahasiswa terbaik di kelasnya. Selain itu, dia juga aktif dalam organisasi kampus dan sering terlibat dalam kegiatan sosial di sekitar kampus.
64 Meskipun hidupnya berubah drastis setelah kehilangan kedua orangtuanya, Jihan tetap memiliki semangat yang kuat untuk terus maju. Dia tahu bahwa kedua orangtuanya pasti bangga melihatnya menjadi wanita yang kuat dan mandiri. Meskipun begitu, Jihan sering merasa kesepian dan merindukan kedua orangtuanya, terutama pada saat-saat sulit dalam hidupnya. Namun, Jihan tetap terus berjuang dan berusaha untuk mencapai mimpi-mimpinya. Dia tahu bahwa hidup tidak selalu mudah, tetapi dia belajar untuk menghadapi tantangan dengan kepala tegak dan semangat yang kuat. Setelah lulus dari universitas, Jihan bekerja di salah satu perusahaan besar di Jakarta dan menjadi salah satu pegawai terbaik di perusahaan tersebut. Ketika Jihan melihat kembali perjalanan hidupnya, dia tahu bahwa tidak mudah untuk melewati kesulitan yang dia alami setelah kehilangan kedua orangtuanya. Namun, dia juga tahu bahwa semangat dan keberanian yang diberikan oleh kedua orangtuanya, adalah yang membuatnya bisa berhasil di mana dia berada sekarang. Dan dia selalu bersyukur bahwa dia telah memperjuangkan hidupnya dengan penuh semangat.
65 Mengikhlaskanmu Karya : Rachel Wardhati Aliyah Hari itu, Rama duduk di sebuah kafe, menatap kosong menu di hadapannya. Dia merasa gugup, tidak yakin apakah keputusannya benar atau tidak. Rama menunggu seseorang - seseorang yang sudah lama tidak dia temui. Seseorang yang dulu pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Seseorang yang dulu mengisi ruang di hatinya. Dan seseorang yang kerap membuat kehidupannya penuh dengan cerita-cerita indah. Tiba-tiba, seorang wanita tinggi dengan rambut hitam dan mata coklat masuk dan duduk di hadapannya. Rama tersenyum, merasa lega bahwa dia datang. "Rama!" kata wanita itu, tersenyum lebar. "Lama tidak bertemu!" "Vita!" jawab Rama, tersenyum. "Apa kabarmu?" "Aku baik-baik saja," jawab Vita. "Kamu sendiri?" "Ya, aku baik-baik saja," kata Rama. "Ada yang ingin aku bicarakan denganmu." Vita menatap Rama dengan serius. "Apa itu?" "Aku jatuh cinta padamu, tetap jatuh cinta padamu, dan itu akan selalu" kata Rama tegas. "Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku ingin kamu menjadi milikku." Vita terdiam, menatap kosong ke arah Rama. "Rama, kamu tahu bahwa aku sudah menikah, dan punya anak?" Rama merasa terkejut. Dia tidak tahu bahwa Vita sudah menikah. Dia merasa bodoh karena tidak memeriksa status Vita terlebih dahulu. "Tapi aku tidak bahagia," lanjut Vita. "Aku merasa terikat, dan aku tidak tahu bagaimana caranya untuk keluar dari pernikahan ini. Aku merasa hampa, dan aku merasa aku tidak bisa hidup tanpamu. Tapi
66 aku tidak bisa meninggalkan keluargaku dan menyakiti mereka. Aku tidak bisa membuat mereka menderita." "Vita" kata Rama, meletakkan tangannya di tangan Vita. "Aku mengerti. Aku tidak ingin merusak kebahagiaanmu. Aku hanya ingin kamu tahu betapa aku mencintaimu." Vita tersenyum, merasa terharu. "Aku tahu Rama. Aku juga merasa cinta padamu. Tapi kita harus tetap di tempat yang kita berada sekarang dan tetap melanjutkan hidup yang sudah kita jalani." Rama mengangguk, sedih tapi mengerti. Mereka duduk di kafe itu, mengobrol tentang masa lalu mereka, dan ketika waktu makan siang berakhir, mereka berpisah dengan janji untuk tetap menjaga kontak. Rama pulang dengan hati yang berat. Dia merasa sakit hati, karena tidak bisa memiliki orang yang dia cintai. Dia merasa bersalah, karena mencoba untuk memisahkan Vita dari keluarganya. Tapi dia juga merasa lega, karena setidaknya dia telah mengungkapkan perasaannya. Minggu berlalu dan mereka tetap dalam kontak. Rama dan Vita sering mengobrol dan bertemu untuk minum kopi, atau makan malam bersama. Mereka tidak pernah membahas cinta mereka lagi, tetapi Rama masih merasa seperti dia mencintai Vita lebih dari apapun.
67 Senja, Ayah, dan Arkan Karya : Nur Isna Sabrina Putri Senja Arnanta. ya, itu namaku. Aku merupakan siswi pindahan dari Bandung, dari SMA 1 KARTANA BANDUNG. Dan sekarang aku akan menjadi siswi SMA 3 JAKARTA. Hal seperti ini sudah biasa aku lakukan, bahkan dalam 2 tahun ini aku sudah pindah sekolah sebanyak 3 kali, bukan karna di keluarkan dari sekolah tapi karna aku harus mengikuti ibuku yang selalu bekerja di beberapa kota. Aku sudah merayu ibu agar aku gak selamanya ikut dengannya, capek banget aku harus selalu beradaptasi dengan lingkungan-lingkungan baru. Tapi ya semua itu percuma, ibu tidak setuju dengan pendapatku, ibu masih menganggapku sebagi anak kecil. "Buuuu, Senja capek tau pindah-pindah sekolah terus". "Aduh Senjaaaa, kamu itu harus terus ikut ibu kemanapun, ibu gak mungkin ninggalin kamu sendirian nak". Sahut ibunya yang sedang bebenah merapihkan barang-barang. Mendengar jawaban ibunya, Senja seketika menghela napas panjang sembari memejamkan matanya. Nampaknya Senja sedikit kesal tapi yaaa mau bagaimana lagi, dia hanya tinggal bersama ibunya tanpa seorang ayah. Ayah Senja sekarang berada di eropa sudah 9 tahun lebih ayahnya menetap disana namun sangat di sayangkan Senja benar-benar tidak mengetahui asal usul ayahnya pergi ke luar negeri dengan waktu yang begitu lama. Setiap kali senja bertanya tentang ayahnya kepada ibunya, ibunya selalu mengalihkan pembicaraan dan memilih untuk meninggalkan Senja yang terus menerus menanyakan ayahnya.
68 "Buu, ayah kapan pulang? mungkin kalo ayah pulang Senja gak perlu pindah-pindah sekolah kaya gini". Ucap Senja yang sedang duduk setelah merapihkan barang-barangnya di kardus. Seketika ibunya berhenti membereskan baju dan terdiam sejenak, dengan pelan ibunya menghampiri Senja dan berkata dengan lembut kepada Senja sembari membenarkan rambut Senja yang sedikit berantakan. "Nak...., lebih baik kita gak usah bahas tentang ayahmu dulu ya, ibu masih belum bisa untuk bercerita semua ke kamu, tapi ibu janji ibu akan cerita semua tentang ayahmu". Jawaban ibunya membuat Senja sedikit tenang, dan merekapun saling menatap, dengan penuh kasih sayang ibunya langsung memeluk Senja. "Sabar ya sayang, ibu juga sebenarnya nggak mau kaya gini terus". "Iya bu, Senja paham". jawab Senja sembari melepaskan pelukan ibunya, setelah itu merekapun kembali menata barang-barang yang perlu di bawa. Sore itu Senja dan ibunya suda sampai di jakarta, setelah turun dari mobil mereka segera menurunkan barang-barangnya dan membawanya masuk, Senja yang sudah sangat capek di perjalanan memutuskan untuk bergegas ke kamarnya dan membawa barang-barangnya ke kamar. "Bu, Senja langsung ke kamar ya, pegel banget badan Senja nih". "Iya nak, ada di lantai dua yah kamar kamu". "Iya bu, bayyy". Sampai di kamar Senja membereskan barang-barangnya dan diapun menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur, dengan posisi terlentang Senja menarik napas panjang sembari menatap langit-langit.
69 "Tuhan, aku bosan dengan kehidupanku, bayangkan saja aku harus selalu beradaptasi dan beradaptasi terus menerus". Keluh Senja dengan nada kesal. Tiga hari setelah pindahan, Senja sudah siap untuk masuk ke sekolah barunya, yaps! SMA 3 JAKARTA. Dengan semangat Senja berangkat ke sekolah menggunakan motor balap warna hitam kesayangannya. yaaa begitulah Senja, tomboy namun sangat cantik dan berkarisma. Sampai di sekolahnya dia langsung masuk kedalam kelas dan memperkenalkan dirinya di depan kelas. "Hallo semua, kenalin gue Senja, lebih tepatnya Putri Senja Arnanta, gue pindahan dari Bandung, terima kasih". "Eh ada neng geulis di sini, boleh minta wa nya dong". ucap salah satu cowok di kelas itu yang terkenal dengan ke playboyannya, namun Senja tak menanggapi hal itu, dan dia langsung duduk di kursi yang sudah di siapkan. Ketika jam istirahat Senja di datangi oleh gerombolan cowok SMA 3 JAKARTA, yang katanya jagoan sekolah, mereka menggoda Senja dan mengajaknya berkenalan. "Cewek, swit swit hahahaha" "Waduh-waduh kayaknya akan ada mangsa baru nih buat kita, hahaha" "Kenalan dulu dong neng, denger-denger lu pindahan dari bandung ya?!". Kira-kira begitulah godaan-godaan dari para jagoan itu. "Eh, emangnya kenapa kalo gue pindahan dari bandung?!". Jawab Senja dengan nada keras dan langsung menatap mata ketua geng tersebut. "Wahhh, santai aja bro, kita gak masalahin itu ko, tenang aja, kita cuma mau liat seberapa besar nyali anak dari bandung, iya gak?". Jawab ketua geng tersebut dengan muka mengejek.
70 "Gilakkk lo semua, awas aja kalo sampe berani macem-macem sama gue, abis lo semua!". Jawab Senja sembari mendorong Arkan, ketua geng tersebut. Setelah itu Senja bergegas pergi meninggalkannya. Singkat cerita sudah satu minggu lebih Senja berada di sekolah barunya, dan dia sudah memiliki teman dekat yang begitu akrab dengannya, fira namanya. Mereka berdua selalu pergi bersama dan fira pun sudah pernah main ke rumah Senja. Suatu ketika fira dan Senja sedang makan di kantin sekolah dan lagi-lagi geng Arkan menghampirinya. Dan yaaa benar saja mereka kembali menggoda dua gadis itu. "ekhem-ekhem, ada jagoan kita ni kan" Ucap salah satu anak dari geng Arkan. Dengan pd nya Arkan dan teman-temannya langsung duduk di meja Senja dan fira, mereka langsung merebut minum dari tangan fira, dan hal tersebut membuat Senja sangat marah. Dengan spontan Senja menggebrak meja yang ada di depannya. "Anjing lo semua! maksudnya apa si anjing dateng-dateng bikin rusuh! gak capek apa jadi sampah kaya kalian!". ujar Senja dengan nada tinggi. Fira yang mendengar dan melihatnya langsung mencoba menenangkan Senja dan menyuruhnya duduk kembali, "Udah Senja, sabar dulu aja, orang kaya mereka gak perlu diladenin". ucap fira kepada Senja dengan menarik tangannya. Senjapun akhirnya duduk kembali dengan menahan emosi. Setelah Senja sedikit tenang Arkan pun kembali berbicara, namun kali ini Arkan berbicara dengan nada yang sangat lembut. "tenang aja kali ini kita gak bakal ganggu kalian, kita cuma mau damai aja ko, lagian gak ada gunanya juga kita ngurusin kalian". Setelah Arkan mengungkapkan niatnya itu teman-temannya pun bergegas pergi dan meninggalkan Arkan sendirian di situ.
71 "btw, alasan lo pindah ke jakarta apa?". Tiba-tiba Arkan mengalihkan pembicaraannya, Senja yang mendengarnya pun heran dengan sikap Arkan, mengapa dia bisa berubah kaya gini, namun Senja juga tak mau lagi ada masalah dengan geng Arkan, dan Senja menjawab semua pertanyaan yang Arkan berikan kepadanya. Tak di sangka setelah kejadian itu, Senja merasa Arkan bukanlah cowok yang seburuk dengan apa yang dia pikirkan, dia ternyata tau cara menghargai seseorang lewat cara menatapnya ketika Senja bercerita. Dan setelah itu Arkan dan Senja pun berteman baik. Di sisi lain ternyata Arkan punya maksud tersendiri dengan dia mendekatkan dirinya kepada Senja, Arkan merasa tak asing dengan nama putri Senja Arnanta, rasanya Arkan pernah mendengar nama itu sebelumnya, dan benar saja setelah dia mengingat ingat, ternyata nama itu adalah nama yang di sebutkan oleh ayahnya, dan nama itu merupakan nama dari adiknya, terlebih ayahnya mengatakan kalau adiknya yang bernama Senja juga seumuran dengannya. Namun Arkan tidak mudah percaya begitu saja, hal ini yang menjadikan Arkan ingin berdamai dengan Senja, yaitu untuk memastikan kecurigaannya selama ini. Singkatnya hari demi hari Arkan dan Senja semakin membaik mereka sering berolahraga bersama dan bermain basket bersama, sampai suatu ketika setelah Senja dan Arkan bermain basket, Arkan pun ingin mengantarkan Senja pulang ke rumah. "Udah sore banget nih, gue pulang dulu ya". ucap Senja kepada Arkan. "Iya nih, gue juga mau pulang kayaknya". jawab Arkan, tak sampai disitu Arkan pun melanjutkan ucapannya
72 "Eeee, gimana kalo gue anterin balik aja?". Tawar Arkan kepada Senja dengan senyum yang seakan-akan membujuk Senja untuk bisa menerima tawarannya. "Mmmmm boleh deh". Tak lama senja pun menjawab dengan sedikit malu, dan pipi yang memerah. Akhirnya Senja pun pulang bersama Arkan, dan dalam perjalanan tersebut mereka berdua saling bercerita dan tertawa. Keduanya merasa nyaman dan mulai tumbuh rasa cinta dia antara mereka, namun Arkan masih teringat dengan bayang-bayang nama Senja yang di ceritakan oleh ayahnya, Arkan pun merasa bimbang dengan perasaanya, bagaimana jadinya ketika dugaan Arkan benar, dan bagaimana mungkin dia jatuh cinta pada adiknya sendiri. Tak lama merekapun sampai di rumah Senja, dan Senjapun mengajak Arkan masuk untuk bertemu dengan ibunya, arkan tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, diapun turun dari motor dan berjalan masuk ke rumah Senja. "Aku bakal kenalin kamu ke ibu, biar ibu tau kalo aku punya temen sebaik kamu, hehehe". ucap Senja kepada Arkan sembari keduanya berjalan masuk. "Semoga aja ibu kamu gak galak ya, hehehe". Gurau Arkan dengan sesikit tertawa. Setelah masuk Arkan pun duduk di ruang tamu, dan betapa terkejutnya Arkan ketika melihat ibu Senja, ternyata dugaannya selama ini benar, kalau Senja adalah adik yang selama ini dia cari. Arkan mengenali muka ibu Senja dari ayahnya, ayahnya memberikan sebuah foto dimana foto tersebut adalah foto Senja dan ibunya. Di situ Arkan benar-benar bingung dan tak bisa berkata-kata, namun dirinya masih bisa menahan air mata dan berusaha untuk tetap tenang.
73 "Eh ada temennya Senja ya, waduh ganteng banget kamu, siapa namamu nak?". "Arkan tante, tante juga cantik banget hehe" jawab Arkan dengan sedikit tergesa-gesa. Mereka pun duduk bersama dan mengobrol banyak hal. Dan di akhir obrolan mereka Arkan memutuskan untuk mengungkapkan semuanya. "Tante, Senja... sebenernya ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, tapi aku takut kalo hal ini gak bisa kalian trima". Seketika suasana menjadi sangat hening dan merekapun saling menatap satu sama lain. "Apa itu Arkan? katakkan saja, jangan sungkan". jawab ibu senja dengan rasa penasarannya. Arkan pun mengambil sebuah foto dari dompetnya dan menunjukannya kepada mereka. "Ini adalah foto tante dan Senja ketika senja masih berusia 5 tahun, Ayah memberikan foto ini ketika dia sedang terbaring sakit di eropa dan ayah sekarang". Ketika Arkan sedang melanjutkan ceritanya tiba-tiba Senja memotong cerita Arkan dan langsung berkata: "Ayah? lu bilang ayah?! ngaco deh lu!" "Bu, ibu jelasin semuanya bu, jelasin!". "Lu sebenernya siapa si anjing?! kenapa lo bisa dapet foto itu dan kenapa lo bisa kenal sama ayah gue, jawab kan, jawab!"
74 Semua kata-kata itu keluar dari mulut Senja dengan tangisan. Ibunya benar-benar tidak percaya dengan semua kejadian ini. Dan Arkan? dia hanya bisa menunduk dan menangisi semua kenyataan yang ada pada dirinya. "Senja... tenang nak, tenang. Ibu akan menjelaskan semuanya......., ayahmu meninggalkan kita ke eropa ketika ibu dan ayah sedang bertengkar hebat, dan semenjak itu ayahmu tak pernah lagi mengabari kita, namun setelah itu ibu mengetahui semuannya, ternyata ayahmu selama ini memiliki istri 2, dan istri keduanya adalah ibunya Arkan". Senja yang mendengar penjelasan ibunya benar-benar tidak percaya, dan terus menyalahkan Arkan. "Sekarang ayah dimana Arkan?! ayah dimana!?". Dengan berat hati Arkan pun menjawab: "Ayah sudah meninggal senja, ayah meninggal ketika di eropa, ayah mengidap penyakit gagal ginjal". Setelah semuanya di jelaskan oleh Arkan, akhirnya Senja pun paham dan bisa menerima semua kenyataan. Senja yang tadinya menaruh perasaan kepada Arkan kini dia hanya bisa menguburnya dalam-dalam karena dia tau kalau Arkan adalah kakaknya.
75 Mimpiku Mimpinya Karya : Nur Isna Sabrina Kita memiliki satu impian yang sama dan mungkin sebagian orang pun pernah merasakannya, aku dan dia bermimpi untuk bisa lolos di salah satu Universitas terbaik di Indonesia. Aku Meyisa dan teman terbaiku, Nolan. Sebenernya aku dan Nolan bisa dikatakan Sahabat yang saling memiliki rasa, tapi kita sama-sama gengsi untuk ngungkapin perasaan kita hehe, ah sudahlah disini aku hanya ingin bercerita tentang mimpiku dan dia. Aku pertama kali mengenal Nolan ketika kita masih duduk di bangku SMA kelas XI, awalnya aku tidak terlalu akrab dengannya, namun setelah kita menjadi satu tim di salah satu lomba tingkat nasional, aku menjadi sering berkomunikasi dengannya, bahkan setiap hari. Aku akui kalau Nolan memang satu-satunya cowok ter pinter dan ter disiplin di sekolahku. Kala itu aku dan Nolan mewakili sekolah untuk pekan lomba karya tulis ilmiah di jakarta. “Semoga kita bisa mengharumkan SMA Permata ya!” seru Nolan kepadaku. “Aamiin, semoga saja apa yang kita inginkan bisa terwujud”. Ujarku kepada Nolan Kita pun mengikuti perlombaan tersebut dengan sangat tenang, dan teliti. Kita saling membantu satu sama lain. Ketika perlombaan telah selesai kita pergi ke kantin terlebih dahulu sembari menunggu hasil perlombaan keluar. Aku dan Nolan sangat khawatir dengan hasil perlombaan itu, namun di balik rasa kekhawatiran itu kita tetap optimis untuk bisa menjadi juara di tingkat nasional ini. “Aduh kira-kira masih lama gak yah pengumuman pemenangnya?”. Ucapku dengan sedikit tergesa-gesa. “Harusnya sih sekarang mey karna ya ini emang udah waktunya”. Jawab Nolan yang ikut terbawa suasana dariku.
76 Tak lama seluruh peserta pun akhirnya di himbau untuk masuk kedalam ruangan kembali, aku dan Nolan segera berlari dan mencari tempat duduk paling depan, di situ kita saling berpegangan tangan dan berharap nama kitalah yang akan di panggil maju kedepan. “Baik, langsung saja kita umumkan juara lomba karya tulis ilmiah tingkat nasional dimenangkan oleh...”. Ucap Mc di atas panggung degan di iringi musik tegang. “SMA Permata Jakarta!!!!! Silahkan kepada kak Nolan dan kak Meyisa bisa menuju ke panggung”. Suara tepuk tangan begitu meriah dan suasana di panggung menjadi sangat meriah, aku dan Nolan sangat senang mendengar itu dan kami pun langsung menuju ke panggung untuk penyerahan piala. Setelah acara selesai aku dan Nolan di ajak makan bersama guru-guru yang mendampingi di salah satu restoran tersekat, kita berbincang banyak hal ketika itu, dan ketika aku akan pulang secara tiba-tiba Nolan menawarkan dirinya untuk mengantarku, tak banyak bicara dan tanpa rasa gengsi aku menerima tawarannya untuk pulang bersamanya. “Makasih ya udah mau nganterin balik”. Ucapku kepada Nolan sembari melepas helm. “Iyah sama-sama mey, Oh iya congrats ya! Udah bisa bawa nama baik SMA kita”. Ucap Nolan sembari mengulurkan tangannya seraya mengajakku untuk bersalaman. Dengan cepat aku langsung menggapai tangannya dan tersenyum kepadanya “Congrats juga lan!”. Jawabku sembari tersenyum ke arahnya. Setelah lomba itu aku dan Nolan menjadi lebih akrab di sekolah, bahkan hampir setiap jam istirahat kita memutuskan untuk pergi ke perpustakaan dan berbagi ilmu disana, rasanya senang sekali bisa mengenal dia, dia benar-benar merubah hidupku,
77 dia mewarnai hari-hariku di sekolah, dan ketika itu aku sedang duduk di meja perpustakaan sembari membaca buku tentang salah satu Universitas terbaik di Indonesia, tiba-tiba Nolan datang menghampiriku dan dia tertarik dengan buku yang sedang aku baca. “Wah UI ya mey?”. “Eh kamu lan, iya nih lagi pengin baca-baca aja, kali aja aku bisa masuk sini hehehe”. Gurauku kepadanya. “Bentar-bentar kayaknya kita bisa nih masuk UI bareng? Ayahku juga kebetulan pengin aku masuk situ”. Ujar Nolan. “Mmmmm mungkin bisa sii tapi aku nggak begitu yakin lan, kecuali kalau kamu mau bantu aku buat bisa masuk UI bareng”. Jawabku dengan sedikit menggoda Nolan. “Ah tenang aja, kita kan bisa belajar bareng mey!”. Ucap Nolan dengan senyumnya. Setelah itu aku dan Nolan sibuk belajar bersama untuk bisa masuk ke UI, Kadang kita belajar di rumahku dan kadang kita juga belajar di rumah Nolan. Semua itu kita jalani sampai akhirnya kita ada di waktu ujian untuk masuk ke perguruan tinggi. Aku dan Nolan memutuskan untuk mengikuti tes di UI, namun sayangnya jadwal tes aku dan Nolan berbeda jadi kita gak bisa berangkat bareng kesana. Singkat cerita, tibalah waktu pengumuman kelolosan ujian UI tersebut dan tak di sangka aku mendapatkan peringkat ke 3 dan Nolan mendapat peringkat ke 2, lebih tak di sangka lagi ternyata aku dan Nolan satu jurusan di kedokteran, saat melihat namaku dan namanya kita langsung berpelukan dan saling mengucapkan selamat satu sama lain, tapi di situ rasanya ada yang berbeda, pelukannya membuatku merasa nyaman dan sedikit canggung, pipiku langsung memerah kala itu. Akhirnya aku dan Nolan pun satu kampus, di kampus Universitas Indonesia. Kita berdua sebenarnya
78 saling memiliki rasa, tapi kita sama-sama gengsi untuk mengungkapkan. Tapi alasan utamanya bukan gengsi, aku dan Nolan punya pendirian untuk tidak terjun terlebih dahulu ke dunia “percintaan”.
79 Miko Karya : Nur Isna Sabrina Ketika Miko masih kecil, Miko selalu menemani ibunya bekerja sebagai pengamen di pinggir jalan. Miko harus mencari uang seadanya dengan bermain gitar dan bernyanyi, sementara ibunya menabuh drum dan menyanyi. Mereka hanya bisa menghasilkan uang yang cukup untuk membeli makanan sehari-hari. Namun, Miko memiliki cita-cita yang besar. Ia bercita-cita menjadi musisi terkenal dan membantu keluarganya keluar dari kemiskinan. Oleh karena itu, setiap kali ia memiliki kesempatan, ia selalu berlatih gitar dan mencoba menulis lagu-lagu sendiri. “Bu, Miko ingin menjadi musisi besae yang terkenal bu”. Ungkap miko yang sedang beristirhat di kolong jembatan bersama ibunya. “Nak, apapun yang kamu inginkan ibu hanya bisa mendoakanmu”. Jawab ibu Miko dengan senyum tipis di bibirnya. Suatu hari, ketika sedang mengamen, Miko dipergoki oleh seorang produser musik yang kebetulan lewat di dekat mereka. Produser tersebut terkesan dengan bakat Miko dan meminta Miko untuk datang ke studio rekaman untuk mencoba merekam beberapa lagu. Setelah melakukan beberapa rekaman, Miko mulai mendapat tawaran kontrak dari beberapa label musik. Dan setelah beberapa bulan, ia merilis album pertamanya yang langsung menjadi hit. Ia menjadi terkenal di seluruh Indonesia dan sukses membawa keluarganya keluar dari kemiskinan. Namun, kesuksesan Miko tidak membuatnya lupa dengan masa lalunya. Ia masih sering mengamen di pinggir jalan, meskipun sudah menjadi musisi terkenal. Ia ingin menginspirasi anak-anak lain yang seperti dirinya dulu, bahwa dengan kerja keras dan tekad yang kuat, mereka juga bisa meraih impian mereka. Bahkan, Miko sering
80 memperkerjakan anak-anak pengamen lain untuk membantu dalam tur konsernya. Ia ingin memberikan kesempatan pada mereka untuk mengembangkan bakat mereka dan mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Setiap kali ia bertemu dengan anak-anak pengamen, ia selalu memberikan semangat dan nasihat agar mereka terus berjuang dan tidak kehilangan harapan. Miko terus menjadi sukses dalam karir musiknya. Namun, ia tidak pernah melupakan masa-masa sulit di masa kecilnya. Ia selalu ingat bahwa setiap pengalaman buruk bisa menjadi pelajaran berharga dan motivasi untuk meraih impian. Ia terus memperjuangkan hak-hak anak-anak pengamen, dan membantu mereka untuk mendapatkan akses pendidikan dan fasilitas yang layak. Ia juga menggalang dana untuk membantu anak-anak pengamen yang kurang beruntung. Kesuksesan Miko bukan hanya mengubah hidupnya, tetapi juga membuka jalan bagi anak-anak pengamen lainnya untuk meraih mimpi mereka. Miko menjadi inspirasi bagi banyak orang, dan bukti nyata bahwa kerja keras dan tekad yang kuat bisa meraih sukses.
81 Sadar Karya : Nur Isna Sabrina Adakalanya mereka merasa dekat dan akrab, namun ada juga kalanya mereka merasa canggung dan tidak cocok satu sama lain. Hal itu dialami oleh Alif dan Aisha, sepasang kakak beradik yang tumbuh di keluarga yang berbeda perlakuan kasih sayangnya. Alif adalah anak sulung dari pasangan suami istri yang sibuk bekerja. Ia tumbuh menjadi anak yang mandiri dan tidak terlalu membutuhkan perhatian orangtuanya. Sejak kecil, ia sudah terbiasa merawat adik-adiknya dan membantu pekerjaan rumah. Meski jarang mendapatkan pujian atau perhatian khusus dari orangtuanya, Alif tetap merasa senang bisa membantu dan merawat keluarganya. Sementara itu, Aisha adalah anak bungsu dari pasangan suami istri yang sangat mencintainya. Sejak kecil, Aisha selalu mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang berlimpah dari orangtuanya. Ia selalu dipuji dan dihargai, bahkan ketika ia melakukan kesalahan kecil sekalipun. Hal itu membuat Aisha menjadi anak yang manja dan sulit mandiri. Ketika Alif dan Aisha tumbuh dewasa, perbedaan perlakuan orangtua terhadap mereka semakin terlihat jelas. Alif sering dianggap sebagai anak yang kuat dan mandiri, sehingga orangtuanya tidak terlalu khawatir atau memberikan perhatian khusus padanya. Sedangkan Aisha selalu mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang berlimpah, sehingga ia terbiasa merasa istimewa dan diprioritaskan oleh orangtuanya. Hal itu mempengaruhi cara mereka berinteraksi dan bersikap satu sama lain. Alif seringkali merasa kesal dan cemburu terhadap adiknya yang selalu mendapatkan perhatian dan kasih sayang lebih.
82 Ia merasa bahwa adiknya kurang mandiri dan terlalu manja karena selalu diurus oleh orangtua. Sedangkan Aisha seringkali merasa kesepian dan merindukan perhatian kakaknya yang lebih tua dan lebih mandiri. Suatu hari, Alif dan Aisha bertengkar hebat karena masalah kecil yang sebenarnya bisa diatasi dengan mudah. Alif merasa kesal dan tidak sabar dengan sikap manja adiknya, sementara Aisha merasa kesepian dan merindukan perhatian kakaknya yang lebih tua dan lebih mandiri. Namun, setelah mereka berbicara dengan jujur dan terbuka, keduanya mulai memahami perbedaan perlakuan kasih sayang yang diberikan oleh orangtua. Alif mulai memahami bahwa adiknya memang membutuhkan perhatian dan kasih sayang lebih karena ia adalah anak bungsu yang masih belajar mandiri. Ia pun mulai lebih sabar dan mau mendengarkan curahan hati adiknya. Sementara itu, Aisha mulai memahami bahwa kakaknya sebenarnya merindukan perhatian dan apresiasi dari orangtua, meski ia terlihat kuat dan mandiri. Ia pun mulai belajar untuk lebih menghargai dan menghormati perjuangan kakaknya dalam merawat adik-adik dan membantu pekerjaan rumah. Merekapun mulai merubah sikap dan perlakuan satu sama lain. Alif mulai memberikan perhatian dan kasih sayang yang lebih pada adiknya, seperti membantunya belajar dan mengajaknya bermain bersama. Sedangkan Aisha mulai belajar mandiri dan tidak lagi bergantung pada perhatian orangtuanya. Ia mulai membantu pekerjaan rumah dan merawat adik-adiknya, sehingga kakaknya merasa terbantu dan dihargai.
83 Perubahan sikap dan perlakuan tersebut membuat hubungan antara Alif dan Aisha semakin baik dan dekat. Mereka saling mendukung dan membantu satu sama lain, sehingga keluarga mereka menjadi lebih harmonis dan bahagia.
84 Kenapa Aku? Karya : Nur Isna Sabrina Katanya masa SMA itu menyenangkan, dan katanya di masa-masa itu adalah waktu dimana aku, kamu, kita semua bisa dengan bebasnya mengekspresika diri kita? Ahhhh semua itu bohong aku tidak merasakan satupun berada di posisi itu. Aku benci hidupku, aku benci usiaku, dan aku benci masa-masa itu. Masa dimana seharusya aku bisa merasakan kebahagiaan bersama teman-temanku, tapi mereka semua jahat, mereka sama sekali tidak memberikan kebahagiaan itu untuk ku mereka hanya membuatku selalu malu, dan mengucilkan keberadaanku, kenapa??!! Kenapa harus aku?! Arrgghhhh, sial!! “ Woiii tengil, kucel amat tu muka. Gak pantes lu sekolah disini, meniding jadi tukang kebun aja tuh gantiin rohadi. Hahahaha (suara tertawaan Anas dan gengnya) Yaaaa, dia Anas. Ketua geng disekolahku, aku sudah terbiasa dengan semua ejekan yang anas dan gengnya lontarkan kepadaku, itu semua tidak lagi membuatku goyah atau pesimis untuk terus bersekolah di SMA FAVORIT KARTAYANA. Sebenarnya ada alasan yang paling kuat untuk aku bisa bertahan selama ini, ibuku. Dia adalah sosok yang selalu menjadi penyemangat hidupku, ibuku selalu memberikan kasih sayang yang begitu besar dan benar-benar bisa aku rasakan, rasa sabarnya membuat mataku terbuka bahwa dunia ini tidak akan selalu berpihak pada kita. Bayangkan saja di usiaku yang masih 7 tahun, ayah meninggalkan aku dan ibuku. Tanpa alasan, tanpa kabar, dan tanpa meninggalkan pesan apapun. Tapi hal itu tidak membuat ibuku putus asa dalam menjalani hidup. Brengsek memang lelaki itu, bisa-bisa nya dia meninggalkan istri dan anaknya dalam keadaan yang sebenarnya kita sangat membutuhkan sosok ayah.
85 Dulu aku pernah melihat ayah dan ibuku bertengkar, tapi sayangnya aku tidak cukup kuat untuk melindungi ibuku dari pria brengsek itu. Melihat kejadian dulu aku menjadi sadar dan berfikir bahwa rumah yang nyaman ga selamanya tercipta dengan dua sosok penting dalam hidupmu. Tapi ahhhhhh,,,, sudahlah pria brengsek itu tak pantas aku bahas. Rasanya kalau aku bertemu dengannya akan aku pukul berkali-kali sampai babak belur. Pagii itu aku sedang menyemir sepatu sekolahku, sepatu yang ibu belikan sejak aku duduk di bangku SMP, Sebenarnya sepatu ini sudah sangat jelek dan kecil tapiii rasanya masih cukup jika aku gunakan untuk bersekolah. “ ndokk, bekalnya ketinggalan ini ndokk” (terdengar suara triakan ibu sembari berlari menuju kedepan pintu) “ oh iyaa buuu gata lupaaa “ Ketika gata ingin mengambilnya dan berbalik badan ternyata dengan senyum tipis ibu sudah berada tepat di belakangnya sembari mengulurkan tepak makan yang isinya tentu bekal untuk sekolah gata. “ ahhhh aku keduluah sama ibu” sahut gata sembari membalas senyuman ibunya. “ terima kasih bu, joni berangkat dulu ya” pamit gata kepada ibunya dengan di akhiri mencium tangan ibunya. Gata berlari dengan kencang dalam keadaan hati yang begitu gembira, Gata merasa bersyukur memiliki ibu yang sangat menyayanginya, sepanjang perjalanan Gat selalu tersenyum dan tertawa sendiri teringat masa-masa bersama ibunya. Yaaa,,, aku adalah Gata. Anagata, Ibuku memeberikan nama itu bukan hanya sekedar nama, ibu bilang Anagata artinya masa depan. Mungkin ibu berharap kelak aku akan menjadi emas untuk masa depanku, dan masa depa ibu. __________________
86 Ketika itu, aku sedang duduk di kantin, membuka tutup makan berwana biru dengan sedikit garis yang mengukir inisial namaku dan menikmati bekal dari ibuku. lauknya sederhana tapi begitu enak di mulutku,,, dengan memejamkan mata aku sangat menikmati masakan ibu yang rasanya tak pernah berubah sedari dulu. (brakkkkkkkkkkkk!!!!!!!)
87 Dokter Cantik dan TNI yang Gagah Karya : Nur Isna Sabrina Alisha adalah seorang wanita muda yang sangat cantik dan anggun. Dia adalah seorang dokter anak yang bekerja di sebuah rumah sakit terkenal di kota. Alisha sangat menyukai pekerjaannya sebagai dokter anak karena ia bisa membantu anak-anak yang membutuhkan perawatan medis dan melihat senyum kebahagiaan di wajah mereka. Suatu hari, saat Alisha sedang bertugas di rumah sakit, dia bertemu dengan seorang pemuda tampan yang membawa adiknya yang sedang sakit untuk berobat. Pemuda itu bernama Gibran, dan ternyata dia adalah seorang anggota TNI yang sedang berada di kota untuk melaksanakan tugas. Alisha merasa terkesan dengan kebaikan hati Gibran yang begitu perhatian terhadap adiknya. Ketika adik Gibran diperiksa oleh Alisha, dia merasa senang karena bisa bertemu dengan dokter yang begitu baik hati dan ramah seperti Alisha. Setelah periksaan selesai, Gibran berterima kasih kepada Alisha dan mengatakan bahwa dia sangat menghargai pekerjaan Alisha sebagai dokter anak. Setelah pertemuan itu, Gibran sering kali membawa adiknya ke rumah sakit untuk bertemu dengan Alisha. Setiap kali dia datang, dia selalu mencari Alisha dan berbincang dengannya. Mereka berdua mulai mengenal satu sama lain dan menemukan bahwa mereka memiliki banyak kesamaan. Mereka sering berbicara tentang pekerjaan dan hobi mereka. Alisha sangat terkesan dengan Gibran yang sangat berdedikasi pada pekerjaannya sebagai anggota TNI. Dia sangat mengagumi keberanian dan keuletan Gibran dalam menjalankan tugasnya. Sementara itu, Gibran juga mulai menyukai Alisha. Dia merasa bahwa Alisha adalah seorang
88 wanita yang luar biasa, pintar, dan cantik. Dia merasa bahwa Alisha adalah wanita yang tepat baginya. Suatu hari, ketika Gibran mengantar adiknya ke rumah sakit, dia memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya pada Alisha. Setelah adiknya diperiksa, Gibran menemui Alisha dan mengatakan bahwa dia telah jatuh cinta pada Alisha sejak pertama kali bertemu dengannya. Alisha merasa terkejut dan gugup mendengar pernyataan Gibran. Dia tidak pernah membayangkan bahwa seorang pemuda tampan dan berdedikasi seperti Gibran akan tertarik padanya. Namun, dia merasa senang dan terharu dengan pernyataan Gibran. Setelah itu, mereka mulai berpacaran dan semakin dekat satu sama lain. Mereka sering menghabiskan waktu bersama dan berbicara tentang masa depan mereka. Gibran sangat menyukai Alisha dan merasa bahwa dia adalah wanita yang tepat baginya. Namun, hubungan mereka diuji ketika Gibran harus pergi menjalankan tugas sebagai anggota TNI. Alisha sangat merindukan Gibran dan merasa cemas setiap kali dia berada di medan perang. Dia sering mengirim pesan dan menelepon. Gibran setiap saat untuk memastikan keadaannya dan meminta kabar dari medan perang. Waktu terus berjalan dan Alisha semakin merindukan Gibran. Dia terus berdoa dan berharap agar Gibran selalu dalam keadaan yang baik dan selamat. Meskipun mereka berdua saling merindukan, mereka tetap saling mendukung dan berusaha untuk tetap berhubungan. Setelah beberapa bulan berlalu, Gibran akhirnya kembali ke kota dan bertemu kembali dengan Alisha. Mereka sangat senang bisa bertemu lagi dan memulai kembali hubungan mereka. Gibran berjanji bahwa dia akan selalu ada untuk Alisha dan akan selalu melindunginya.
89 Hari demi hari mereka lewati bersama, mereka selalu mengalami suka dan duka. Namun, mereka selalu bisa mengatasi semua masalah tersebut karena mereka saling mencintai dan selalu berusaha untuk saling mendukung. Suatu hari, Gibran memutuskan untuk melamar Alisha. Dia ingin menjadikan Alisha sebagai pasangan hidupnya dan membangun masa depan yang indah bersama. Alisha sangat terharu dan merasa bahwa Gibran adalah orang yang tepat untuk dijadikan pasangan hidupnya. Dia menerima lamaran Gibran dan mereka berencana untuk menikah. Pernikahan mereka sangat meriah dan dihadiri oleh keluarga dan teman-teman terdekat mereka. Mereka sangat bahagia bisa bersama dan merayakan pernikahan mereka. Setelah menikah, mereka memulai hidup baru bersama dan membangun keluarga yang bahagia. Alisha tetap bekerja sebagai dokter anak dan Gibran tetap menjalankan tugasnya sebagai anggota TNI. Mereka saling mendukung dan berusaha untuk menjadi pasangan yang saling membangun. Walaupun mereka mengalami banyak tantangan dan rintangan dalam hidup mereka, mereka selalu bisa mengatasinya karena mereka saling mencintai dan saling mendukung.
90 Kehilangan Maya Karya : Nur Isna Sabrina Dua orang sahabat, Lia dan Maya, telah menjadi teman baik sejak mereka kecil. Mereka selalu melakukan segala hal bersama-sama dan tak pernah berpisah satu sama lain. Mereka seringkali bercanda dan tertawa bersama, menangis dan berpelukan dalam kesedihan, dan bersama-sama menjalani kehidupan. Namun, suatu hari Maya mulai menunjukkan gejala-gejala yang aneh. Dia mulai kehilangan nafsu makan dan terlihat lebih lelah dari biasanya. Lia merasa khawatir dan bertanya-tanya tentang kesehatan Maya, tetapi Maya selalu menolak untuk membicarakannya. Lia mencoba untuk memaksa Maya agar menceritakan apa yang sedang terjadi, tetapi Maya selalu menghindari pertanyaan tersebut. “Maya? Kamu sakit? Kamu kenapa may? Cerita sama aku, aku ada di aini untuk kamu may”. Ucap Lia. “Ah apaan si li, kayak gak biasanya aja, tenang aja aku gak papa ko”. Jawab Maya sembari tersenyum dan menyenggol bahu Lia. Namun hal itu membuat Lia merasa semakin khawatir dan mencari tahu apa yang sedang terjadi pada Maya, dengan cara yang salah dia memeriksa ponsel Maya dan menemukan sebuah pesan dari dokter yang memberitahunya bahwa Maya memiliki kanker. Lia sangat terkejut dan sedih mengetahui bahwa sahabatnya mengalami penyakit yang sangat serius. Dia merasa terkejut dan kesal karena Maya tidak memberitahunya tentang kondisinya yang sebenarnya. Namun, Lia akhirnya memutuskan untuk mendukung Maya sebanyak yang dia bisa. “Kenapa gak bilang si may kalo kamu sakit? Aku ada loh may, aku sahabat kamu, kita udah kayak saudara may, jangan sungkan untuk hal apapun may...”. Ucap Lia dengan meneteskan air mata dan tatapan yang penuh kasih sayang kepada Maya.
91 “Aku... aku takut li, aku takut kalo kamu tau semua ini kamu gak mau deket-deket aku lagi”. “May... aku gak mungkin ninggalin kamu dalam kondisi kaya gini may..”. Ucap Lia dengan menggenggam erat tangan Maya. “Liat aku may, Aku yakin kamu bakal sembuh, kamu bisa lewatin semua ini may”. Ucap Lia kembali dengan tatapan yang sangat tulus dan penuh kasih sayang. Mendengar semua jawaban Lia, Maya merasa sangat lega dan bersyukur memiliki sahabat seperti Lia, namun dilain sisi Maya takut kalau kondisinya sekarang diketahui banyak orang, Maya meminta Lia untuk tidak mengatakan apapun pada siapapun tentang penyakitnya. Maya tidak ingin menjadi beban bagi orang lain, termasuk Lia. Lia merasa sangat sulit untuk menjaga rahasia ini, tetapi dia memahami keinginan Maya dan berjanji untuk tidak memberitahu siapapun tentang penyakitnya. Waktu terus berjalan dan Maya semakin lemah. Dia mulai kehilangan rambut dan kulitnya terlihat semakin pucat. Lia sangat khawatir dan berusaha untuk membantu Maya sebanyak mungkin, tetapi Maya selalu menolak bantuan tersebut. Akhirnya, setelah beberapa bulan berjuang melawan penyakitnya, Maya meninggal dunia. Lia sangat terpukul dan merasa kehilangan sahabatnya yang sangat berarti baginya. Dia merasa bersalah karena tidak dapat melakukan lebih banyak untuk membantu Maya, dan merasa sedih karena dia tidak bisa melihat Maya menjadi sehat lagi. Namun, Lia belajar dari persahabatan yang indah dengan Maya. Maya mengajarkannya untuk selalu berjuang untuk kebahagiaan dan kehidupan yang lebih baik. Lia belajar untuk menghargai setiap momen bersama teman-temannya dan untuk selalu mendukung orang yang dia cintai. Meskipun Maya sudah pergi, Lia tahu bahwa kenangan indah tentang persahabatan mereka akan selalu ada dan terus menginspirasi Lia untuk hidup lebih baik dan menjadi lebih baik.
92 Tak Semuanya Rumah adalah Rumah Karya : Mailil Hasanah Rumah. Suatu bangunan yang digunakan untuk melakukan aktivitas sehari hari, berlindung dari sengatan matahari hingga derasnya hujan, dan tempat untuk tidur. Namun tak hanya itu, rumah adalah tempat untuk pulang dari segala hiruk pikuk dan peliknya kehidupan. Tempat untuk mengistirahatkan dan merecharge energy yang sudah dikeluarkan selama seharian penuh. Namun masalahnya tak semua rumah bisa menjadi tempat untuk pulang. Bagi segelintir orang rumah adalah hal yang paling dihindari dan paling dibenci. Bagi mereka lebih baik tidak pulang daripada harus menghadapi suasana yang justru membuat hati semakin tidak nyaman. Hal itulah yang dirasakan oleh gadis kecil berumur 14 tahun bernama Clea. Gadis kecil berambut pendek dan berkulit putih itu sudah dipaksa dewasa bahkan saat umurnya masih belia. Sang ibu yang sudah lebih dulu meninggalkannya 2 tahun silam membuat ia hanya hidup berdua dengan sang ayah. Setiap harinya Clea dituntut untuk bekerja dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Setiap pukul 4 pagi, ia selalu terbangun untuk menyiapkan makanan sang ayah, membersihkan rumah, dan mencuci pakaian mereka berdua. Setelah semuanya selesai, ia bergegas pergi ke desa sebelah untuk mengambil donat yang akan ia jualkan keliling kampung. “donat donat… donatnya tiga ribuan ajaa…” Ucapnya sambil menenteng satu box donat. Ia berkeliling dari satu kampung ke kampung lain hingga donatnya habis. Biasanya ia akan pulang saat sore hari atau menjelang maghrib. Dengan badan mungilnya itu, setiap hari Clea berjalan beberapa kilometer untuk mencari sepeser uang untuk bertahan hidup.
93 Hidup berdua dengan ayahnya yang juga tidak memiliki penghasilan, membuatnya selalu dituntut sang ayah untuk bekerja lebih keras. Uang hasil kerja keras Clea itu bukan digunakan untuk keperluan Clea, melainkan digunakan judi oleh sang ayah. Mabuk, judi, makan, dan tidur adalah rutinitas sehari-hari yang dilakukan oleh sang ayah. Ia selalu pergi saat malam hari dan pulang saat adzan subuh berkumandang. Sifat tempramen sang ayah juga membuat Clea setiap hari mendapatkan amarah bahkan pukulan. Tubuh Clea yang putih selalu dihiasi dengan bercak-bercak merah keunguan yang selalu bertambah setiap harinya. Ditemani matahari yang mulai terbenam di ufuk barat, Clea berjalan dengan sisa-sisa tenaganya. Lelah dan lapar bercampur menjadi satu. Lelah karena setiap hari harus berjalan berkilo-kilo meter demi menjual donat dan juga lelah batin karena selalu menjadi sasaran amarah dari sang ayah. Semenjak ibunya tiada, ia sudah tidak memiliki tempat untuk bersandar dan berkeluh kesah. Setiap malam ia selalu menangis meratapi nasibnya yang tidak seperti orang-orang diluar sana yang bisa hidup enak tanpa beban sedikitpun. Rasa ingin ikut menyusul ibundanya selalu ia panjatkan disela-sela doa sujudnya. Raga dan batinnya terasa sangat lelah dalam menghadapi semua ini. Gadis seusianya yang seharusnya masih sekolah dan bebas bermain kesana kemari justru dituntut untuk mencari nafkah dan melakukan segala hal. Entah dimana letak hati nurani sang ayah yang tega memperbudak anak kandungnya sendiri. Sampainya didepan rumah, langkah Clea terhenti sejenak. Melihat rumahnya yang bukan terasa rumah melainkan neraka. Kapan aku bebas dari semua ini? Batin Clea menjerit. Setelah menghela nafas panjang, Clea pun berjalan perlahan memasuki rumah. “Assalamualaikum” ucap Clea sembari membuka pintu
94 Seperti biasa hal yang selalu ia dapati saat masuk rumah adalah keadaan rumah yang berantakan dan bau asap rokok yang menguar. Dengan perlahan ia membersihkan kembali meja ruang tamu yg penuh dengan sampah kulit kacang, piring kotor diatas kursi, dan puntung rokok berceceran di lantai. Setelah semuanya bersih, ia masuk ke dalam kamar untuk mengitirahatkan badannya yang terasa sangat capek dan lemas karena belum makan sedari pagi.“CLEAAA CLEAAA” teriak ayah Clea “Iya yah” “Mana uangnya. Aku mau beli rokok”seru ayah Clea dengan nada tinggi “ Ini yah” jawab Clea sembari menyerahkan uang 50 ribu “Kok Cuma segini? Kamu umpetin ya sisanya? Ngaku!” “engga yah, emang dapetnya Cuma segitu. Soalnya donatnya ngga habis” jawab Clea dengan lemas “halah alasan” Plakk… plakkk…. Kembali ia dapatkan pukulan pukulan itu. Tubuh Clea yang sudah dipenuhi luka lebam kini semakin bertambah. Tubuhnya yang sudah lemas membuatnya tak mampu melawan. Ia hanya bisa menangis sambil memanggil ibunya berulang kali, berharap ibunya masih disini dan membawanya pergi saat ini juga. Setelah ayahnya pergi, Clea berusaha bangkit dengan tertatih kemudian berjalan perlahan menuju kamar. Sekujur tubuhnya terasa amat sakit , badannya terasa lemas, dan kepalanya berkunang-kunang. Setelah sampai kamar, ia langsung merebahkan diri dan kembali menangis meratapi nasibnya hingga tertidur. Pagi harinya, Clea kembali dibangunkan oleh ayam-ayam yang berkokok merdu. Ia bergegas bangun dan bersiap untuk mengambil
95 donat. Badannya masih terasa sakit dan lemas karena kemarin seharian tidak makan nasi. Setelah mengumpulkan tenaga, Clea pun berjalan ke kampung sebelah dan langsung menajajakan donat yang ia ambil. Dengan tubuh yang lemas, sekuat tenaga Clea tetap berjalan menjajakan donatnya. Melawan teriknya matahari dan segala hiruk pikuk ibukota. Hari ini terasa sangat berat bagi Clea. Badanya sungguh terasa lemas dan pandangannya mulai kabur. Hingga tanpa ia sadari, sebuah mobil melaju sangat kencang ke arahnya. Clea yang tidak menyadari akan hal tersebut pun tak mampu menghidar. Bahkan orang-orang yang berada disekitanya sudah berteriak namun Clea tidak mendengarnya. Hingga akhirnya Braakkkkk……. Suara hantaman itu terdengar sangat keras. Mobil itu menabrak Clea dan menabrak pohon. Badan mungil Clea terpental hingga berlumur darah. Mata yang masih setengah sadar itu merasakan betapa sakitnya badannya saat itu. Dengan sisa-sisa kesadarannya, ia berucap lirih. “Selamat tinggal, ayah” Orang – orang disekitar kejadian itu berbondong-bondong mengerumuni tubuh Clea. Salah satu dari mereka mencoba mengecek apakah denyut nadinya berdetak atau tidak. setelah beberapa saat orang tersebut menggelengkan kepala. “Innalillahi” ucap orang orang yang berada disana Kabar kecelakaan Clea sudah sampai ditelinga ayahnya. Salah seorang warga mendatangi rumah Clea dan memberitahukan pada ayahnya bahwa Clea mengalami kecelakaan dan meninggal ditempat. Kabar tersebut membuat tubuh ayah Clea meluruh dengan air mata yang mengalir dari kelopak matanya. Ia menyesal telah memperlakukan putri semata wayangnya dengan tidak
96 berperikemanusiaan. Ia melampiaskan seluruh kesedihannya setelah ditinggal oleh sang istri kepada putrinya. Dan saat ini, putrinya telah meninggalkannya. Saat ini ia sendiri. Sendiri.
97 Roda Berputar Karya : Mailil Hasanah Di zaman yang serba mudah ini, tentu banyak manusia yang menginginkan hidup yang serba instan. Bukan lagi cuci pakaian, melainkan laundry. Bukan lagi masak, melainkan shoppe food. Bukan lagi bayar cash, melainkan qris. Serta bukan lagi makan di warung, melainkan di café. Semua hal itu bukanlah hal yang aneh pada zaman sekarang ini. Bahkan banyak sekali anak-anak muda yang lebih mementingkan gengsi daripada kebutuhan dan kemampuan orangtua. Seperti halnya yang terjadi pada kehidupan mahasiswa perantauan. Hidup memang sebuah pilihan. Seperti halnya seorang mahasiswa perantauan yang merantau ke Ibukota hanya untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Ia memilih meninggalkan kampong halaman dan keluarga untuk mencari suasana dan pengetahuan baru. Setiap bulannya ia selalu mendapatkan transferan dari orangtua dengan jumlah yang tidak sedikit. Namun hal itu tidak membuatnya puas hati. Ia selalu meminta uang lebih dengan alasan-alasan yang mengatasnamakan kebutuhan kuliah. Ya, santi namanya. Mahasiswa semester 4 di salah satu universitas di ibukota. Dia adalah mahasiswa perantauan yang berasal dari lampung. Anak kedua dari dua bersaudara. Hidupnya yang terbiasa dimanja sejak kecil membuatnya susah untuk mengontrol gaya hidup. Sifat gengsi yang mencuat dalam dirinya membuat ia selalu saja melakukan hal-hal yang menyeleweng. Memiliki teman yang bergaya hidup hedon membuat Santi mau tidak mau harus mengimbangi gaya hidup mereka. Nongkrong di café dan clubbing adalah hal yang sudah menjadi rutinitas mereka. Di suatu pagi
98 “Iya, pa. Soalnya ini lagi butuh banget, kemarin ditegur karena belum beli.” Ucap seorang gadis dengan nadamerengek “Kan minggu kemarin baru papa transfer, nak.” Balas seseorang diseberang sana “Masih kurang, pa. Soalnya harga bukunya mahal” “yasudah nanti papa transfer lagi” ucap seseorang itu dengan nada pasrah “Oke, pa. Makasih banyak, ya.” Ya, dua orang tersebut adalah Santi dengan papanya. Dia menelfon untuk meminta uang dengan alasan untuk membeli buku, padahal pada kenyataannya uang itu akan digunakan Santi untuk pergi liburan bersama teman-temanya ke Jogja. Hal itu sudah biasa ia lakukan. Beralasan ada tugas untuk membeli sesuatu padahal sebenarnya akan digunakan untuk foya-foya. Hal ini dilakukan Santi karena kalau dia tidak ikut dengan agenda yang akan dilakukan oleh teman-temannya, maka ia akan dijauhi dan berakhir tidak punya teman. Dia tidak mau semua hal itu terjadi. Oleh karena itu, dia menghalalkan segala cara untuk dapat mengikuti gaya hidup mereka. “Gimana, San? Lu ikut ngga ke Jogja?” ucap gadis berambut merah bernama Bianca “Ikut dong, masa ngga ikut sih” balas Santi “Okesip. Bagus bagus” Kemudian berlanjutlah obrolan mereka bersama lima orang lainnya yang sedang berkumpul di kos Bianca. Semua terlihat asyik mengobrol sambil ketawa-ketiwi seolah-olah tidak memiliki beban. Padahal jauh disana, terdapat orangtua mereka yang sedang berusaha sekeras mungkin untuk mendapatkan pundi-pundi uang demi mempermudah hidup mereka diperantauan. Hingga hari itu tiba. Ke tujuh gadis itu akhirnya berangkat ke Jogja untuk berlibur. Mengunjungi berbagai destinasi hingga
99 tempat kuliner serta tidak lupa untuk party. Mereka amat bersenang-senang menikmati hari-hari di Jogja. Melupakan semua hal yang menjadi beban. Setelah 5 hari berada di Jogja, mereka memutuskan untuk kembali ke ibukota. Selain karena uang yang sudah menipis, mereka juga sudah membolos kuliah selama tiga hari.Sepulang dari Jogja Santi kembali menelfon ayahnya untuk meminta uang, karena uangnya telah habis untuk kebutuhan saat di Jogja. Namun, jawaban yang diberikan oleh sang ayah sungguh membuatnya terkejut. Bukan langsung mengirimkan uang melainkan Santi diminta untuk mencari sampingan pekerjaan untuk membantu biaya hidupnya karena usaha yang dikelola sang ayah sedang di ujung tanduk. Hal itu membuat Santi berpikir keras. “Masa aku harus kerja? Apa kata mereka nanti? Nanti aku gapunya temen dong. Ngga ngga gamau” Ucap Santi di keheningan kamar kosnya. Lelah memikirkan hal itu, Santi pun memutuskan untuk pergi nongkrong bersama teman-temannya. Saat nongkrong ia terlihat diam sambil memainkan gadget. Ditengah isi kepala yang tersa sangat penuh tiba-tiba ada iklan yang muncul di salah satu media sosial. Hal itu membuatnya tersenyum bahagia. “Daripada gue kerja mending ikut ini aja” Batin Santi Akhirnya dia menghubungi nomor yang tertera dalam iklan tersebut untuk konfirmasi pinjaman yang akan ia lakukan. Dengan waktu yang singkat ia mengirimkan beberapa persyaratan untuk melakukan transaksi tersebut. Ting Suara notifikasi membuat ia secara cepat membuka gadget. Melihat itu ia tersenyum sumringah karena merasa hal yang menjadi permasalahannya seharian ini dapat teratasi tanpa ia
100 harus bekerja keras. Ya, ia melakukan pinjaman oline atau biasa dikenal dengan sebutan pinjol. Cara alternatif yang ia lakukan untuk mendapatkan uang demi menuruti gengsi dalam dirinya. Beberapa bulan berikutnya pada suatu pagi di hari sabtu Santi terbangun dengan muka yang kusut. Semalaman ia tidak bisa tidur karena memikirkan pembayaran pinjaman online yang sudah amat melebihi batas waktu. Sudah berkali-kali pula ia ditagih bahkan dijemput di kos. Ia semakin bingung karena ayahnya juga tidak bisa membantu karena usaha mereka yang sudah gulung tikar sehingga harus mencari sampingan. Bahkan uang bulanan yang dikirim pun hanya seperempat dari yang sebelumnya. Meminta bantuan kepada teman-temannya pun percuma. Mereka sudah menjauhi Santi karena selama satu bulan ini Santi sudah tidak pernah ikut nongkrong karena tidak memiliki uang. Kepalanya terasa penuh memikirkan semua masalah. Hidupnya yang awalnya serba mudah dalam hitungan hari bisa berubah sedemikian rupa. Untuk berangkat kuliah pun ia tidak bisa karena uang yang harusnya ia bayarkan untuk UKT sudah ia gunakan untuk berfoya-foya. Ditengah-tengah kegaduhan isi kepalanya, terbesit solusi yang sudah ia rencanakan jauh-jauh hari untuk membuatnya terbebas dari seluruh jeratan masalah. Ia berpikir mungkin sudah saatnya mengakhiri semua ini. Dengan santai ia berjalan kea rah meja belajar dan meminum cairan yang terdapat diatas meja. Dengan cepat, rasa panas menjalar ke seluruh tubuh hingga membuatnya berteriak kesakitan. Dalam hitungan detik deru nafasnya perlahan berhenti dan tubuhnya luruh ke lantai dengan mata terpejam.