The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku Antologi Tentang Kepemiluan

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by panwaskabjepara10, 2019-10-06 21:59:57

Awas Ada Monolog

Buku Antologi Tentang Kepemiluan

Keywords: Pemilu,Antologi,Monolog,Sastra

terngiang dikepala saya. Selalu saya abaikan hanya karena
ingin dapat uang. (menuju bagian pojok kiri panggung)

Lakon : sesampai disawah, saya tanya sana-sini.
(menghadap kiri) pak, mau Tanya Karjo itu yang mana ya?
(berganti hadapan) ohh itu yang sedang macul disawah paling
ujung mas (mununjuk satu arah, lalu berganti posisi lagi) yang
pake caping itu ya pak?, terimakasih.

(Musik makin tegang ditambah suara pukulan-pukulan dan
mengerikan)

Lakon : langsung saya lari menuju Karjo (berlari kecil
menuju kursi) tak pikir lama, langsung saya pukuli karjo. Prak..
prakkk.. prakk.. tolong.. tolong.. tolong...., saya salah apa
massss?.. teriak Karjo saat itu.

Lakon : (seolah mencekik leher binatang) sampe bonyok
dia saya pukuli, saya teriak kepadanya, aku orangnya Waluyo.
Karjo kaget sekali, bisa saya lihat dari matanya dan ekspresi
mukanya yang sangat sedih, badannya yang kurus kering
saya hajar sampai habis dengan tangan mengepal gagah besar
saat itu.

(Suara musik bertambah mengerikan ditambah bunyi-bunyi tusukan
yang menyayat hati)

Lakon : (mengambil koran seolah memegang pacul)
mendengar Karjo yang ba.. bi..bu.. mengucap kata, langsung
saya tebaskan cangkul kelehernya, sampe saya cincang
tubuhnya hingga menjadi 6 bagian. (tertawa lepas) bodoh,
orang kere kok berani ngutang sama rentenir (meludah)

Awas Ada Monolog | 41

(Musik perlahan lirih, tapi masih berirama tegang)
Lakon : (kembali duduk) potongan tubuh Karjo saya

kubur tersebar di lading sawahnya sendiri. Akibat
kecerobohan saya, 5 hari kemudian tertangkap polisi karena
pacul bekas pembunuhan yang masih berlumur darah itu
saya buang dipinggir sawah, jelas masih ada sidik jari saya.
Sempat saya melarikan diri, sampai didepan gang rumah,
dorrr.... kaki saya tertembak oleh polisi dan takberdaya.
(tertunduk).

(Musik dan bunyi-bunyian melirih lalu diam)
Lakon : (melamun sejenak) hidup dipenjara itu tidak

enak, kami manusia yang ditahan di bui bagaikan berada
dikandang ayam. Kerap kali adu pukul dengan sesama
tahanan. (tertawa kecil) keras sekali rasanya hidup didalam
suatu tempat yang mengharuskan kita untuk belajar dari
perbuatan yang keji.

Lakon : (berdiri) sampai 15 tahun saya dipenjara,
bebas.. menghirup udara dijalanan, sempat saya berpikir
setelah melangkahkan kaki keluar sel. enak sekali kasus saya
ini, nyawa korban saya dibayar dengan hanya sebatas
kurungan jangka waktu pada saya.

(Musik bersuara mengeluarkan bunyi yang menakutkan)
Lakon : (melangkah pelan menuju depan, memandangi atas)

aaaaaaahhhhhh.. (memukul-mukul dirinya) kenapa hidupku jadi
tak berguna begini.., bagaimana aku bisa makan tiap hari?,
anak istri entah kemana, kerabat dan orang-orang tak ada lagi
yang percaya, pandangan sebelah mata bahkan ketakutan

42 | Awas Ada Monolog

kepadaku merajalela dimana-mana, woeeee... Tuhan... kau
yang telah menakdirkanku seperti ini, matikan saja aku
sekarang, biar aku disiksa para korbanku di nerakamu yang
panas seperti yang dibicarakan orang-orang.. ahhh bedebah,
bunuh diri saja aku tak mampu, kenapa tega sekali
menghabisi diri orang lain bedebah.. (tertunduk, lalu berjalan,
berdiri didepan kursi)

(Suara lirih, berganti suara keramaian, bunyi-bunyian gaduh)
Lakon : kira-kira seperti itu dulu saya menyesal. Mana

ada guna lagi sekarang. Pernah dulu saya kembali ke
kampung. Dilempari batu saya oleh warga. Malu rasanya

Lakon : untung ada pak kades saat itu beliau bilang
(naik kursi) warga sekalian, tak baik menghakimi seperti ini,
kita tau pak codet ini alumni penjara. Tapi tidak seharusnya
kita sebagai warga tanah air yang budiman bertindak semena-
mena, marilah kita belajar menerima walaupun sakit
diujungnya. (turun dari kursi) maaf pak kades yang budi
pekerti, orang seperti codet ini kalo dibiarkan, bisa
menghancurkan generasi bangsa pak kades yang budi pekerti.
(bergeser posisi) semua warga meneriaki Saya dan mengusir
secara paksa. Saya diam tertunduk malu dan pergi dari
kampung halaman. (kembali duduk)

(Musik lirih dan perlahan diam)
Lakon : hancur sekali hidup saya saat itu. Bertahun-

tahun saya hidup dikolong jembatan, cari makan dari hasil
belas kasihan orang, bahkan tak jarang menunggu sisa dari

Awas Ada Monolog | 43

orang diwarteg dan restoran kecil pinggir jalan. Sampai
sekarang..

Lakon : (menghela nafas panjang) sering saya kena
razia GEPENG oleh satpol pp, beberapa kali saya lolos, ya
karena sistem keamanan simpel menurut saya. Dipaksa naik
mobil, duduk, nah dilampu merah biasanya saya meloncat
dan lari (ketawa kecil)

Lakon : pernah saya mencari barang bekas untuk
menyambung hidup, berjalan sana sini, lewat didepan masjid
saat itu. Saya melihat dan mendengar anak-anak kecil mengaji
gembira sekali. (merenung) saya ingat waktu kecil lagi..
rasanya kotor sekali diri ini. Sejak saat itu kadang saya tiba-
tiba menangis, marah, melamun bahkan ingin bunuh diri tapi
tak berani (ketawa kecil)

(Musik perlahan berbunyi lirih menyedihkan)
Lakon : (berteriak sambil berdiri, menatap tajam

kedepan dan sekeliling) woe.. orang-orang.. saya keji saya tau,
saya pembunuh saya tau, saya jahat saya tau, menyesal tiada
guna saya tau, tidak pantas dikasihani saya tau. Tak
berperikemanusiaan pun saya tau... tapi bagaimana jika ini
terjadi pada diri anda masing-masing sekalian?, bolehkah kita
tukar kehidupan sebentar saja?, ini tak enak, anda sekalian
pasti tak mau dan tak betah.. mana peran keadilan sosial?,
mengapa dulu tak dihukum bunuh saja saya ini?,

ohhhhh..... ternyata saya tau.. ini adalah bagian
hukuman yang sebenarnya sebelum akan ada hukuman yang
ada setelah kematian nanti. (tertunduk) Ya.... ini adalah
hukuman bagi saya.. (menegakkan kepala dan menoleh atas)

44 | Awas Ada Monolog

saya mantan tahanan. Memusnahkan korban tanpa berfikir
tentang sakitnya balasan.. !! (mejatuhkan diri hingga tersungkur)
(Lampu meredup diiringi musik yang kian lirih dan berhenti)

§ SELESAI §

Awas Ada Monolog | 45

46 | Awas Ada Monolog

Sablon
Roy Karmin!

Juhendri Chaniago ®

Roy Karmin, usia 40-an tahun, mantan aktivis yang jadi
pengusaha sablon dan pernah jadi pengurus partai politik. Usaha
sablonnya sempat bangkrut gara-gara uang tabungannya habis untuk
membiayai berbagai kegiatan di partai politiknya, termasuk ketika
menjadi caleg (tapi gagal).

Panggung (studio sablon milik roy karmin) kosong,
musik terdengar sendu. (Roy Karmin masuk ke panggung sambil
bicara di telepon)

Awas Ada Monolog | 47

Masbro, kan sudah kubilang sejak kemaren kemaren,
aku ini netral. Aku tak ingin memihak siapa pun. Jadi,
tolonglah, kalau kalian desak-desak lagi aku untuk memilih
calon kalian itu, aku betul-betul nggak bisa. Bahkan mau dari
partai dunia akhirat sekalipun, aku tetap malas milih. (Roy
menyimak teman bicaranya di telepon). Apa? Keuntungan
besar? (Roy tertawa) Sudahlah, Masbro. Sikap netral ini sudah
harga mati bagiku. (Roy menyimak sambil berjalan melihat
peralatan sablonnya).

(Roy terkejut, masih dengan teman bicaranya di telepon).
Wah, kalau gara-gara sikapku ini kalian tidak suka lagi
padaku, ya apa boleh buat. Tipis kulit bawang, lebih tipis lagi
rupanya pertemanan kita ya? (Roy tertawa). Ya sudahlah,
bagiku, semua itu bullshit, nonsens, omong kosong, dan
cuma buang waktu saja. Apa? Nasib? Kalau soal nasib, kita
sendiri yang harus berjuang demi nasib kita masing-masing,
Masbro. Okey-lah ya? Aku mau kerja dulu. (Roy menutup
telepon).

(Roy Karmin memandang lampu yang berkedap-kedip).
Hmmm... lihatlah, untuk mengurus listrik saja kalian nggak
becus. Apa pernah kalian memikirkan soal listrik ini? Jangan-
jangan listrik di rumah kalian juga hasil mencuri. Ufs... (Roy
menutup mulutnya). Makanya, aku tak mau repot-repot
mikirin politik lagi. Apalagi masuk parpol, banyak bohongnya
(Roy tertawa menghadap penonton).

Arus listrik kembali normal.
(Roy Karmin melihat lampu yang masih berkedap-kedip)

48 | Awas Ada Monolog

Nah, ini lagi, hidup segan, mati tak mau. Agaknya,
seperti inilah semangat masyarakat kita sekarang. Dibilang
tak ada harapan, ternyata masih ada saja yang pura-pura
nyala. Mau pula diajak teriak-teriak “ayo berjuang!”. Apalagi
kalau ada ininya, bro (menghadap penonton, Roy menggesek-gesek
jempol dan telunjuknya sambil tertawa). Padahal, kalau mereka
ingin berhasil bagus, ya banyak berdoa sajalah. Kan katanya
beragama. (Roy terkekeh). Terkadang, aku pikir-pikir, apa tidak
letih mereka membujuk orang lain agar mendukung pilihan
mereka itu? Anehnya, ada pula yang sampai memaksa. Bah!
Memang keblinger! (Roy lalu tertawa).

(Roy menghadap penonton, berorasi seakan di depan podium).
Ingat, saudara-saudara. Kita ini orang bebas merdeka. Kita
pun netral dan independen. Tak mungkin, bahkan tak boleh
terbuai janji-janji palsu, apalagi janji yang membabibuta
berselimut hoax. Kita tidak butuh itu semua. (Roy menerawang
dan memandang langit-langit panggung seolah mendengar gema
suaranya sendiri).

(Roy menghela nafas, lalu duduk di kursi)
Dulu, istriku bilang, (meniru suara perempuan) kalau
Bang Roy jadi pejabat, wah makin asyik hidup kita, Bang.
Bisa naik pamor dan kesohor. Orang-orang terhormat
pastilah banyak jadi teman kita. Dan usaha abang yang
kembang-kempis ini pasti makin maju. Kita bisa beli mesin
cetak yang baru dan mahal. Bisa beli mobil. Dan jalan-jalan
ke luar negeri.
(Kembali ke suara Roy) Nah, saudara, (Roy menghadap
penonton) mungkin saudara juga berpikiran yang sama seperti
istri saya itu. Ya, sebagai manusia biasa, siapa yang tidak ingin

Awas Ada Monolog | 49

sukses, hidup mewah, dan bermartabat. Apalagi kalau makin
kaya makin bertambah... (Roy terkekeh). Hush! Kalian ini.
Jangan sampai tahu istriku ya. Sssttt... (Roy menempelkan ujung
jari telunjuknya di bibirnya).

Tapi, aku bilang, hei Mirna, suamimu ini Roy
Karmin, mantan aktivis. Bukannya abang mau berlagak suci,
ya, tapi sikap idealis abang ini tidak akan bisa dibeli.
Bukankah dikau sayang padaku karena suamimu ini aktivis?
Plus romantis tentunya (Roy terkekeh). Ingat, Mirnaku sayang,
kita harus berani mengubah nasib kita sendiri. Jangan
bergantung pada orang lain, apalagi terhadap janji para
politisi itu. Basi. Kita ini sudah merdeka dan bebas untuk
memilih siapa pun, bahkan bebas tak memilih siapa pun (lalu
hening).

(Roy tampak lesu)
Tapi, siapa yang tak sayang pada Mirna, istri jelita
yang setia. Sungguh, tak ada niatku untuk beristeri lagi. (Roy
menghela napas). Dan laki-laki mana yang tak ingin
membahagiakan istri seperti dia yang telah memberiku anak-
anak yang cerdas. Tapi, begitulah. Sehebat apa pun suami
berargumentasi dengan istrinya, tetap saja seorang istri punya
logikanya sendiri. Dan rasa (Roy menunjuk ke dadanya).
(Roy lalu memandang ke arah penonton, seolah melihat
kerumunan orang-orang) Aku memang pernah bilang, masuk
politik itu bikin kita jadi hipokrit. Tetapi, apa aku harus
menolak semua rejeki ini. (Roy memperlihatkan mug, kaos,
spanduk, dan berbagai pesanan orang-orang parpol). Mau tak
mau aku harus kerjakan ini semua.

50 | Awas Ada Monolog

(Roy menghela napas lalu duduk di kursi). Tak lama lagi
anak-anakku akan kuliah. Istriku juga ingin mengembangkan
bisnis onlinenya. Ya, cita-cita kami masih banyak yang belum
terwujud. (Roy tersenyum lalu meniru suara Mirna) Jadi, Bang,
selama rejeki itu halal, apa salahnya kita mencoba.

(Roy tampak bersemangat sambil memegang hasil kaos sablon
sebuah parpol)

Ya, kita memang tak butuh pujian. Dan, membantu
teman, apa salahnya kan. Bukankah niat mereka itu baik?
(Roy seolah mikir). Ah, sudahlah, soal niat pun, cuma mereka
dan Tuhan yang tahu. Kita hanya bisa menilai dari luarnya
saja. Yang penting, kita tetap belajar jadi warga negara yang
baik. Soal orang lain? Masa bodohlah. (Roy terkekeh dan
menyalakan sebatang rokok).

Tapi, pernah nasib kami sempat berubah sedikit.
Waktu usaha sablon ini lumayan berhasil, dan dengan
semakin banyaknya orang parpol yang memesan alat peraga
kampanye mereka pada kami, kami untung besar. Dan dari
“proyek-proyek” pemilu ini kami bisa beli mobil dan rumah
bertingkat. Dan, bukan karena serakah, hanya saja, yang
namanya rejeki kan nggak boleh ditolak. (Roy terkekeh, lalu
menghisap rokoknya lagi).

Nah, suatu hari seorang kader parpol mengajakku
bergabung. Ya, teman semasa kuliah dulu. Hmm...mantan
aktivis juga. Dan kalian tentu bisa menebaknya kan,
mendengar kabar ini, istri dan anak-anakku kembali antusias.
Belum lagi orang tuaku, mertuaku serta keluarga lainnya.
Tetangga kami pun malah ikutan senang bila aku ikut
kompetisi para caleg itu.

Awas Ada Monolog | 51

(Roy meniru suara lelaki, mertuanya). Coba sajalah Roy,
mana tau keberuntunganmu makin moncer di situ. Lagipula,
setahu bapak, gaji anggota dewan itu kan lumayan, bisa
puluhan juta per bulan. Hmm, maksud bapak, kamu kan
sangat paham bicara politik. Lagipula, kapan lagi saatnya
menantu bapak jadi anggota dewan. (Roy tertawa).

Setelah itu, aku tidak tahu, entah kenapa dan entah
dapat bisikan dari mana, aku mau saja jadi pengurus salah
satu partai. Lalu aku diajak mengikuti berbagai macam rapat
dan diskusi-diskusi rutin bagaimana memenangkan suara
parpol. Bahkan aku didukung untuk maju jadi caleg. Eh,
sialnya, usaha sablon kami jadi tidak stabil. Beberapa orang
dari bermacam parpol itu, yang biasanya menempa alat
peraga kampanyenya, kini mulai menghindar. Bahkan ada
yang terang-terangan bilang, tidak akan berurusan lagi
dengan kami karena kami dianggap tidak netral.

(Roy nampak kesal)
Mulanya mereka bilang kreasiku tak bagus. Bah!
Ngerti apa mereka soal sablon-menyablon. Bangsat! Tapi,
sudahlah, sudah terlanjur masuk. Aku harus punya sikap.
Sekarang bukan soal cari duit lagi. Ini soal berjuang.
Lagipula, kawan-kawan di parpolku punya tekad baik. Jadi ya
soal rejeki kan sudah ada Tuhan Yang Maha Mengatur.
Tapi saudara, jadi orang parpol ternyata bukan
gayaku. Aku pun mulai bosan. Namun istriku bilang, (meniru
suara Mirna) bertahan saja dulu, Bang, kan masih butuh
proses, katanya. Ah! (kembali ke suara Roy) Nampaknya dia
ingin sekali aku duduk jadi anggota dewan.

52 | Awas Ada Monolog

Ya, aku memang belajar bertahan. Tapi, istriku belum
paham juga kalau uang tabungan kami sedikit demi sedikit
mulai terkuras. (Roy menghela napas) kalian tentu tahu, sebagai
orang partai, apalagi didukung jadi caleg, aku kan harus loyal.
Apalagi demi tujuan untuk membela rakyat kecil, masyarakat
marjinal, tak apalah berkorban. Makanya, teman-teman di
partai sangat senang padaku karena aku banyak menyumbang
dan memberi ide-ide baru. Lalu berbagai alat peraga
kampanye teman-teman separtai, mereka pesan pada kami.
Tapi, ya begitulah, selalu minta diskon besar, malah minta
bon kosong. Sial memang! Kalau kutolak, bisa-bisa aku
dituding tak setia teman. (Roy terkekeh).

Panggung hening sejenak. Lalu Roy memutar musik
slow country.

(Roy makin kesal)
Politik betul-betul memuakkan. Bukan uang kami saja
yang terkuras, akal pikiranku dan hati nuraniku pun mulai
ikut terkuras. (Roy menahan geram) Bayangkan, di saat kita
bicara soal etika politik, eh malah teman-teman banyak yang
bikin visi misi bohongan. Bikin gosip politik murahan hanya
agar mereka bisa menang. Bah! Betul-betul memuakkan.
Ngejek suku dan nyerang keyakinan orang lain, hanya untuk
cari simpati di kalangan yang fanatik. Dan untuk itu mereka
pun rela keluar duit banyak. Bagi-bagi sembako dan uang.
Sementara untuk bayar pesanan sablon mereka, masih
nunggak. Sial memang!
(Roy memandang kursi, setelah itu memandang ke penonton)
Mungkin saudara-saudara berpikir aku ini lagi
membangun citraku, lalu suka menyampaikan berita bohong

Awas Ada Monolog | 53

atau fitnah karena sudah tidak di parpol itu lagi. Berkhianat!
Bukan, bukan karena itu. Aku muak pada mereka karena
mereka saling menyerang sampai lupa visi misi mereka
sendiri. Mereka sibuk perang opini sampai mereka lupa solusi
apa yang harus dikerjakan untuk memperbaiki keadaan
negeri ini. Dan kalian tahu, (Roy terkekeh), ternyata istriku
mulai nyerah setelah melihat buku tabunganku yang kian
menipis saldonya.

(Roy menatap cermin dan meniru suara Mirna)
Sebenarnya Abang ini gagah dan layak jadi anggota
dewan. Hanya saja, Abang terlalu jujur dan sedikit bodoh.
Orang idealis seperti Abang cuma jadi bahan tertawaan. Cita-
cita untuk rakyat terlalu tinggi, maka cepat bangkrut bila
berpolitik.
(Roy geram, tapi terhibur)
Nah, saudara, dulu disokong-sokongnya aku jadi
anggota dewan. Sekarang, dikatainya aku bodoh. (Roy
terkekeh). Tapi, tak mengapa. Meski kami sempat bertengkar
soal ini, aku lekas sadar dan ambil hikmahnya. Aku anggap
saja ini semua cobaan.
(Roy kembali menatap cermin)
Mungkin ini bukanlah diriku yang sebenarnya. Hanya
tiruan. (Roy terkenang masa mudanya ketika masih jadi
mahasiswa—ilustrasi musik country).
(Roy lalu menghadap penonton)
Menjelang hari pencoblosan, aku selalu mengasah
kemampuan orasiku di depan cermin itu. Ya. Mana tau aku
betul-betul terpilih jadi anggota dewan. Tapi dasar keblinger.
Aku kalah dan keuangan kami kandas. O tidak! Keuangan

54 | Awas Ada Monolog

kami tidak kandas, tetapi hampir bangkrut. O Tuhan! Kami
memang bangkrut! (Wajah Roy tampak geram, lalu cemas—musik
bernuansa muram)

(Roy tampak sedih)
Sejak itulah istriku uring-uringan dan murung.
Wajahnya selalu kalut. Di saat usaha sablon kami hancur,
orang-orang parpol itu entah kemana. Berbagai pesanan
cetakan mereka tidak dibayar. Ya, bagaimana bisa aku tega
minta bayaran dari temanku yang nasibnya juga sama
sepertiku. Sama-sama kalah. Bahkan masih beruntung diriku.
Aku masih waras.
(Roy menendang kaleng cat sablon ke sudut ruangan). Lihat!
Setiap pemilu usai selalu ada yang menendang-nendang
kaleng seperti ini. Kata orang-orang, ini ciri-ciri stres atau
gila. (Roy tertawa). Nah, aku juga menendang kaleng.
Gilakah aku? Tidak. O tidak! Tidak mungkin aku gila. Aku
ini kan lelaki tegar dan sabar. (Roy terkekeh). Jadi, begitulah,
meski bangkrut, aku masih tetap waras dan berani memulai
dari nol lagi.
(Roy bicara ke penonton)
(Meniru suara Mirna) Oh ya, bagaimana kalau kita
berbisnis suara saja, Bang, kata istriku suatu hari. Kita buat
lembaga survei, pastilah kita bisa untung besar. Dengan
catatan, jangan memihak siapa pun. Kita harus netral. Kita
pesankan kepada para pemilih itu agar mereka betul-betul
memilih karena hati nuraninya. Tentu bisnis ini akan
mengundang simpati dari banyak orang. (Kembali ke suara Roy)
Tapi istriku cemberut saat kubilang, bisnis lembaga survei itu
tak jelas. Cuma menipu publik saja. (Roy lalu tertawa).

Awas Ada Monolog | 55

Panggung sunyi sejenak. Roy Karmin duduk di kursi
dan merenung. Pada saat ilustrasi musik diputar, Roy seolah
menyimak teman bicaranya.

(Roy Karmin meniru suara lelaki, tamunya)
Begini, Bung Roy, seperti yang saya sampaikan tempo
hari, partai kita ini partai yang selalu memperhatikan aspirasi
masyarakat kecil. Kita selalu berjuang, sampai orang-orang
kecil betul-betul mendapatkan segala kebutuhannya. Dan
saya lihat, Bung Roy ini orang yang idealis. Bung adalah
orang yang tepat untuk menjadi penyambung lidah rakyat
dan visi misi parpol kita. Selain dermawan, Bung Roy juga
orang yang cerdas dan berani berkata tidak terhadap segala
penindasan. Sikap Bung Roy ini juga sejalan dengan
semangat parpol kita. Saya yakin, adanya orang kreatif seperti
Bung Roy ini di parpol kita, tentu akan banyak anak bangsa
yang termotivasi untuk bangkit dan maju.
(Roy Karmin menatap tamunya)
Apa Tuan berani menepati janji Tuan ini kepada
rakyat, lebih-lebih lagi janji Tuan kepada Tuhan? Apa Tuan
berani untuk mengatakan tidak terhadap segala manipulasi?
Apa Tuan berani berjanji untuk selalu menghargai semua
orang? Apa Tuan berani berjanji untuk tidak ber-money politic?
Apa Tuan berani berjanji untuk selalu mengatakan yang
benar?
Panggung sunyi sejenak. Roy Karmin seolah menatap
tajam mata tamunya. Lalu Roy Karmin seperti mendengar
suara-suara.
Sudahlah, Bung, tak usah belagak idealis kali... Ah,
menantu bagaimana ini, tak memikirkan masa depan anak

56 | Awas Ada Monolog

dan cucu kita... Hei kawan, kau perlu menikmati hasil
reformasi ini... Bang, apa salahnya kita mencoba lagi... Jangan
sok alimlah... Yah, anak mana sih yang tidak bangga kalau
ayahnya jadi orang terhormat... Kami siap dukung, asal
NPWP, nomor piro wani piro... Sesama etnis dan seagama,
kita harus saling dukung. Yang penting, jangan lupa, kalau
sudah duduk, ingat-ingat kami... Ah, bohong-bohong dikit
tak apalah... Diam! (Roy lalu teriak dan panggung kembali
sunyi sejenak).

(Roy Karmin membelakangi tamunya, dan menghadap
penonton)

Saya sudah punya prinsip, Tuan. Kalau Tuan bisa
menjawab semua pertanyaan saya tadi, dan sanggup
memenuhi janji-janji itu, saya siap bergabung ke partai Tuan.
Tapi, kalau tidak ada lagi hal-hal yang perlu Tuan yakinkan ke
saya, silakan Tuan cari orang lain.

(Roy mendengar teriakan dari dapur, dari Mirna)
Ya, sayang, bentar lagi ya. Bentar lagi Abang ke situ.
Tamu? Hmmm... Tamunya sudah pergi. (Roy bergegas menuju
dapur—ke luar panggung)

§ SELESAI §

Awas Ada Monolog | 57

58 | Awas Ada Monolog

Demokrasi
Yang Salah

Ahmad Nur Muzayyin ®

Selepas sholat Isya' saya melihat berita di televisi
tentang debat kandidat calon presiden dan wakil presiden di
rumah tetangga. Saya berkata "saya harus jadi seperti mereka.
Tapi karena saya rakyat kecil, saya tidak kelihatan sebagai
pejuang, apalagi pahlawan, bagaimana saya bisa? Kehidupan
saya hanya sebatas anak dari pemulung sampah, pendidikan
saya tertunda lantaran tidak memiliki biaya untuk membayar
uang SPP, tapi saya tetap berusaha untuk tetap melanjutkan
studi saya ke jenjang perguruan tinggi. Setiap hari saya

Awas Ada Monolog | 59

membantu orang tua memulung sampah, dengan cara apa
lagi agar saya mendapatkan penghasilan dan saya dapat
melanjutkan studi?

Di musim pemilu semua orang sibuk dengan dirinya
sendiri, sibuk memperjuangkan calon kebanggaannya untuk
duduk di kursi terhormat. Di simpang jalan di penuhi baliho-
baliho bakal calon, "haruskah sebanyak ini?" Gumamku
dalam hati... "ah... sekarang ini nilai demokrasi sudah di
junjung tinggi, semua orang sudah bisa mencalonkan dirinya
sebagai pemimpin, Saya melihat semua sudah kompak kalau
sudah membela demokrasi.

Terdengar seruan warga yang bersemangat dengan
adanya demokrasi "Hidup demokrasi!" Tapi, yang sangat di
sayangkan. Mereka belum mengetahui apa arti demokrasi.
Coba kita lihat, mereka berkata "hidup demokrasi!...
pokoknya, domokrasi itu bagus. Dengan demokrasi Negara
kita akan makmur, adil dan sejahtera."
Saya kira itu sudah cukup.

Saya tidak akan menjelaskan panjang lebar mengenai
apa itu demokrasi, sebab yang ditakutkan apabila terjadi
kesalah pahaman. ya... maklum, orang desa tidak semua
berpangkat sarjana yang mengenal secara pasti apa itu
demokrasi.

Pada suatu hari, datang salah seorang pejabat ke desa
kami memberitahukan bahwasanya akan ada penggusuran
rumah yang bertempat di rt. 6 rw. 2 Petugas itu
menghimbau, agar kami, merelakan kehilangan itu, demi
kepentingan bersama. Seru seorang petugas. “Walaupun
hanya beberapa rumah, sumbangan saudara-saudara sangat

60 | Awas Ada Monolog

penting artinya bagi pengembangan dan kepentingan kita

bersama di masa yang akan datang. Lahan disini akan di

bangun proyek besar dan atas nama kemanusiaan kami harap

saudara-saudara mengerti.”

Wargapun nampak bingung Kemudian berkata

"Pembangunan siapa? Dan ke tempat man kami

akan berteduh?" Kontan kami tolak. "Tidak bisa itu tidak

mungkin!" “Tapi ini sudah merupakan keputusan bersama,

lagian bagi rumah yang digusur pasti akan dapat pengganti

yang lebih baik" kata petugas tersebut.

Kami memberontak "Bagaimana mungkin membuat

keputusan bersama tentang rumah kami, tanpa rembukan

dengan kami."

“Soalnya masyarakat di sebelah sana,” lanjut petugas

itu sambil menunjuk ke kampung di sebelah, “mereka

semuanya adalah karyawan kami, dan mereka juga setuju atas

penggusuran ini" "Kami tidak pernah ditanya apa-apa?

Tanah ini milik kami" bantah saya. Tak lama kemudian,

sejumlah warga dari kiri kanan kami datang. Mereka

menghimbau agar kami mengerti persoalan kami. Mereka

mengatakan dengan sedikit pengorbanan itu, ratusan kepala

keluarga dari kiri kanan kami akan tertolong dan rumah yang

akan digusur akan di ganti oleh pemerintah.

"Jika saudara sekalian menolak adanya penggusuran

ini, maka bahaya akan melanda" tegas seorang petugas

"Bahaya bagaimana? Kami belum berembuk masalah

penggusuran ini, kalian seenaknya saja mengambil

keputusan"

Awas Ada Monolog | 61

Kemudian terdengar suara mesin. Tanpa banyak
basa-basi dan tanpa izin lagi, sebuah bulldozer
menghancurkan salah satu rumah. Warga kembali panik.
"Jangan! Jangan! Ini rumah kami. Sejak nenek-moyang kami
sudah di sini. Dulu kakek-kakek kami memiliki tanah yang
luas, tiap orang punya dua sampai empat rumah dan juga
lahan-lahan kosong. tapi semua itu sudah dibagi-bagi, dan
juga ada yang dijual. Tapi ini rumah warisan".
Sekeras apapun mereka menolak Bulldozer itu tetap tidak
peduli. bulldozer itu terus juga menghancurkam dengan
buas. Sopirnya juga tidak peduli. Dia hanya menjalankan
tugasnya.

Pada akhirnya Kami semua terpaksa melawan. Dari
bapak-bapak hingga anak-anak mereka berdiri di hadapan
bulldozer itu. "Ini rumah kami, jika rumah kami digusur
kemanakah kami akan berteduh? akan kami pertahankan
rumah kami mati-matian. Dibeli ratusan jutapun kami tidak
sudi, sebab kami tidak mau pindah dari tempat nenek
moyang kami".

Baru bulldozer itu berhenti. Mereka kembali
berunding. Dan kami menunggu apa yang akan terjadi.
Selang beberapa menit mereka selesai berunding. bulldozer
kembali dihidupkan. Kami kembali deg-degan. Waktu itu
sebuah mobil mercedes datang. Dua orang berseragam
dengan dasi yang melingkar di lehernya. Kami besorak,
melihat akhirnya aparat datang untuk melindungi rakyat. Tapi
berbareng dengan itu, bulldozer kembali menerjang rumah-
rumah warga. Warga terserentak berteriak. Beberapa anak
jatuh, Keadaan menjadi kacau. Tanpa diberi komando lagi,

62 | Awas Ada Monolog

kami melawan. Anak-anak mengambil batu dan melempar.
Terjadilah pertikaian yang tidak di inginkan banyak dari
mereka berlurumuran darah.

Tak dapat dikatakan penguasa jika tak pandai
bermain licik selicin basa. Banyak penguasa terjun ke rakyat,
mengayomi pun mengayami di selingi rayuan maut memukau
perhatian kami semua. Tak lupa dengan janji janji palsu
tentang rencana indah usai penggusuran ini. Tak sedikit
orang yang terbuai. Yaaa maklumlah, sudah saya katakan
diawal bahwa tak semua warga didesa berpangkat sarjana.

Lihatlah Bulldozer itu tetap memporak porandakan
rumah satu persatu, Bermodal tuli yang tipu, si sopir manut
atasan. Untuk apa lagi kita melawan, sudah banyak para
pejuang yang memagari desa dari penggusuran, yang kini
sudah berlumur tangis melihat desa yang kini merata bagai
lapangan sepak bola.

Bukan kami tidak murka. Kami amat murka. Ada
sesepuh desa yang mendoakan agar mereka dapat balak dari
nenek moyang. Ada juga yang melapor kepada pihat
berwajib, namun hampa, tiada respon dari mereka. Dimana
keadilan sang penguasa. Mengambil hak yang jelas-jelas milik
kami. Bukan perihal korupsi yang amat kasat, tapi sungguh
ini amat dhohir terlihat. Usut demi usut ketika saya tanya
dengan aparat desa, sebelumnya sudah diadakan rapat
musyawarah mengenai penggusuran ini, tapi karena aparat
desa kalah suara dan tak bisa mempertahankan, maka
habislah sudah. "Loh kan negara kita demokrasi? Nah...
keputusan yang paling banyak pendukungnya itu yang
menang" kata saya pada salah seorang warga.

Awas Ada Monolog | 63

"Apa-apaan ini, demokrasi macam apa ini, jika tau
demikian saya tidak akan pernah mendukung adanya
demokrasi" teriak salah seorang warga desa. Sejak saat itu
semuanya benci kepada demokrasi. Hanya tinggal saya
sendiri, yang tetap berdiri di sini. Teguh dan tegar. Saya tetap
kukuh tegak di atas kaki saya, apa pun yang terjadi siap
mempertahankan demokrasi, sampai titik darah penghabisan.

Habis mau apa lagi? Siapa lagi kalau bukan saya?
Semenjak kejadian yang demikian itu. Terlebih orang awam
sungguh tak lagi percaya tentang demokrasi.
Sebagian kecil orang yang amat menekuni perihal politik, ia
masih mempercayai kebaikan demokrasi itu ada. Apalagi
yang harus aku argumenkan perihal demokrasi. Melihat
realita sekitar yang dulu menjadi tempat mengadu, sudah
menjadi perpetakan tanah lahan yang akan dijadikan pabrik.
Yaaaa pabrik. Untuk apa di jadikan pabrik, jika merampas
tempat kita berteduh

§ SELESAI §

64 | Awas Ada Monolog

Air dan Minyak

Adamifa ®

(Adegan pembuka langsung menggebrak dengan suasana
pertempuran senjata api. Lakon harus mempersiapkan pernafasan
yang baik karena harus bernarasi disela-sela aksi berguling, terlontar,
tersungkur, mencitrakan kekacauan dari dua pasukan yang saling
bertempur. Suara letusan senjata bersahutan, menari di lantai
pekikan, teriakan, juga erang kesakitan. Ini pertempuran antara
pasukan minyak dan pasukan air, terjadi di sebuah rumah mewah
milik Jendral Air. Pasukan minyak misinya membunuh jendral
pasukan air, pasukan air misinya mengamankan segala kekacauan
ini).

"Ini pertempuran kecil... tapi menentukan nasib
bangs, Ah!..." (terlontar karena tertembak)

Awas Ada Monolog | 65

Kalau mereka tak mati, kami yang mati. Jadi,
seraaaaaang!." (Menembaki musuh sambil memekik)

(Terjadi pula pertempuran tangan kosong. Saat salah satu
telah mati, lakon bernarasi lagi.)

"Kami adalah kelompok yang pemaaf... tapi
memaafkan itu urusan nanti... Saat ini fokus kami hanyalah
membunuh, atau dibunuh."(Tiarap, merangkak dengan sisa-sisa
nafas)

"Hidup Minyaaaak!"
(Mematahkan leher - menghabisi musuh)
"Hidup Aiiiiiir!"

(Lakon Jendral Air, berbicara kepada para penonton)
Kalian harus belajar jadi wadah... Heh dengarkan!. Ini
Jendral bicara. (menyindir penonton). Jangan merokok terus!,
Itu malah ada yang bisik-bisik, bikin forum sendiri. Kamu!.
Heh kamu! Jangan main hape di sini!
Dengarkan!... Kalian harus belajar mejadi wadah.
Jangan hanya jadi air, jangan hanya jadi minyak, jangan jadi
batu. "Belajarlah jadi wadah!".......Sejak subuh kami mendapat
serangan ini. Para minyak itu memang tak pernah menyerah.
Setelah kami berhasil menguasai negeri ini, dan berhasil
membuktikan kerja kami - membawa negara ini menjadi
bangsa nomer 1 di dunia, ternyata para minyak itu masih
merongrong negeri. Apa sebenarnya yang mereka cari?!.
Dulu... Ah, sebentar. Lebih baik ini disampaikan
langsung oleh beliau... (Menelefon seseorang dengan telepon
tombol putar di mejanya) "... / Pak Presiden... Saatnya telah
tiba, Pak / .... / Iya, Pak/.... / Iya./

66 | Awas Ada Monolog

(Jenderal Air hormat kepada orang yang baru datang,
karakter presiden. Lalu bersenandung bagian lagu "bagimu negeri,
jiwa raga, kami..." secara dalam, penuh penghayatan, mengerti
mungkin ini kesempatan terakhir menyanyikan lagu itu. Mengusap
sedikit titik air di sudut mata.)

"Pak Presiden... silahkan!"
(Dilanjutkan dengan bahasa isyarat, Jendral Air
mempersilahkan presiden berbicara kepada penonton. Lakon berganti
menjadi sosok presiden. Karakternya energik dan kekinian, namun
tetap berwibawa)
Saya hanya seorang yang dinilai cerdas, cakap
berbicara, banyak wawasan, banyak teman, tampan, gagah.
Banyak hal yang saya kuasai.. Berorganisasi, merancang
strategi, olahraga, seni, bisnis, fashion. Dengan itu semua,
saya dianggap sebagai orang yang tepat.... Untuk "dijadikan"
presiden.
Jika anda semua merasa orang Indonesia... Ini
Presiden kalian bicara. Dengarkan ini baik-baik!. Terutama
kalian yang bukan pihak kami, kalian yang tidak pro
pemerintah. Yang kiri. Yang golput. Dengarkan!...
"Bila kalian masih butuh uang rupiah, jangan bilang
kalian tak butuh pemerintah. Bila suara kalian dikendalikan
rupiah, jangan harap kalian punya "pemerintah"."
Yang terstruktur di birokrasi, di masa sebelum ini itu
bukan pemerintah... Lintah. Mereka lintah. Ya tidak
semuanya. Tapi darah segar yang masuk di kolam penuh
lintah, akan bagaimana nasibnya?!. Renungkan!. Orang-orang
baik di sana dulu itu kasihan sekali. Lalu, diinisiatori oleh
Jendral Air. (Menunjuk Jenderal Air; Jendral Air tabik kepada

Awas Ada Monolog | 67

presiden juga kepada para penonton) Kami memutuskan untuk
bergerak merebut kekuasaan. Untuk memperbaiki sesuatu,
kita perlu memegangnya dulu. Kita harus memegang
pemerintahan, kalau ingin memperbaikinya. Orang lintah
dulu itu harus disingkirkan, dimusnahkan. Mereka seperti
bukan bangsa kita sendiri.

Mereka lebih kejam daripada orang asing yang
menjajah kita dulu. Kubu ini, kubu itu, masing-masing punya
skenario. Skenario luar biasa. Tapi asal kalian tahu, di atas
skenario itu ada skenario lagi. Lalu ada lagi, lagi, skenario lagi,
skenario lagi... (sampai emosi dan tersengal). Satu skenario
yang kami pegang, adalah, skenario Tuhan. Sekarang, banyak
kelompok bersatu memusuhi kami, memusuhi kita. Inilah
yang terjadi. Di balik semua yang nampak baik-baik saja ini,
ini terjadi.

Kami, Partai Air menghimpun kekuatan tetap
berlandaskan Pancasila. Memohon dan selalu ingat kepada
Yang Maha Kuasa. Terkumpulah orang-orang baik, ahli di
bidangnya masing-masing. Ada ilmuan, cendikiawan, para
spiritual, pemuka agama, orang-orang super kaya, orang-
orang IT - cyber, militer, juga seniman dan budayawan,
bahkan para ahli supranatural.... dukun. Nah, potensi
terbesar negara kita sesungguhnya ya itu... Spiritual, seni,
budaya, dan supranatural. Dengan negara-negara lain kita tak
kan menang bersaing dalam saint, bersaing urusan digital,
bersaing dalam etos kerja.

Dalam persaingan internasional, kita bisa menang
dengan jati diri kita. Potensi kita sesungguhnya, yang murni,
bukan yang ikut-ikutan bangsa asing. Dalam interaksi sosial

68 | Awas Ada Monolog

universal... spiritual, seni, budaya, dan supranatural adalah
yang mendekati itu, kekuatan sejati bangsa kita. Itu yang
membuat kita seperti menemukan inti dari kemurnian,
kemurnian dari segala ilmu, ilmu dari segala kekuatan,
kekuatan murni dari segala ilmu.

Dan itu telah dibuktikan oleh Partai Air.
Pemerintahan berhasil kami rebut, lalu Indonesia kita bawa
menjadi negara adi daya, mengalahkan negara-negara maju...
Indonesia jadi negara nomor satu di dunia.

Pertama, kita mengendalikan uang di seluruh dunia.
Bagaimana bisa?. Dengan para ahli di bidangnya, di tambah
bersatunya semua dukun seluruh Nusantara. Itu bisa terjadi.

Selanjutnya keamanan, ekonomi, keadilan sosial, juga
bisa terjadi dengan cara seperti tadi. Kunci tersederhananya
adalah: kita menjaga dan memperjuangkan apa yang kita
imani, dan percaya kepada orang yang berbeda iman dengan
kita. Yang terjadi adalah perbedaan yang indah. Percayalah!,
Kami sudah mengalaminya.

Oh ya, saya ingat juga... Kami dulu memulainya dari
hal kecil tapi tepat di sumber penyakitnya, secara bersama-
sama, baik produsen maupun konsumennya, yaitu...
"hentikan hoax".

(Seorang pasukan, dalam keadaan sekarat merangkak
masuk ruangan).

Kami tak bisa menghentikannya... Maaf, (menangis).
Maafkan kami Pak Presiden. Maafkan kami Jendral... Jayaaa!.
Indonesia tetap jayaaa!. Allahuakbar!. Laailaa haillallah.
Muhammad darrasuulullah..." (Pasukan itu mengembuskan nafas
terakhir)

Awas Ada Monolog | 69

(Jendral Air, sigap menelepon seseorang lagi dengan telepon
tombol putarnya. Gugup.)

Mereka... Mereka semua yang benci kita itu bersatu
untuk serangan ini. Kita dalam keadaan genting....

(Masuklah karakter seseorang supranaturalis)
Sudah, Jendral, sudah!... Aku sudah tahu kau
membutuhkanku.. ini, aku sudah di sini. Aku sebenarnya
tidak suka kau hubungi dengan telepon yang berputar-putar
itu, Jendral... aku lebih suka berkomunikasi dengan aplikasi
kuno ini, lihat ini!.
(Jendral Air membaca, yang disodorkan si supranaturalis
lewat smartphonenya)
WhatsApp??.... Ah, sudah!, serius!. Jangan buang
waktu lagi... Kumpulkan pasukanmu!. Segera halau serangan
ini.
(Supranaturalis menanggapi)
Pasukan minyak benar-benar sudah siap menyerang
kali ini. Ini akan butuh pengorbanan lagi...
(Presiden angkat bicara, suasana menjadi semakin genting,
gugup.)
Kita sudah berkorban banyak saat merebut
pemerintahan ini. Apa lagi?
(Supranaturalis menjawab)
"Mereka ingin Pulau Lombok...."
(Presiden menegaskan)
Cukup!. Kita sudah kehilangan Irian jaya,
Kalimantan, Sumatera, DIY, bahkan Jakarta. Lama-lama
negara ini wilayahnya tinggal serumah ini saja?!.

70 | Awas Ada Monolog

(Jendral meminta instruksi)
Lalu, apa yang harus kita lakukan, Pak?.
(Presiden mondar-mandir, berpikir keras... Lalu tersentak
menangkap ilham, seketika menatap para penonton dengan penuh
harapan.)
Ya... Ya!. Kita masih punya mereka (menunjuk
seluruh penonton, lalu bertanya lantang...) Kalian orang
Indonesia, kan?. Kalian cinta negeri ini?. Jawab dengan
keras!. Kalian orang Indonesiaaaa?...
Kalian adalah masa depan bangsa ini. Bersiaplah
"menjadi wadah", apapun yang masuk ke wadah, bentuknya
akan menyesuaikan bentuk wadah. Kalian sudah mendengar
rahasia kepemimpinanku tadi. Olah dengan hati dan pikiran
kalian. Bersatulah!, jangan tercerai berai. Suarakan masa
depan Indonesia! Jangan mau suara kalian dibeli!. Teruskan
perjuangan.
(Presiden bicara kepada Jendral).
Kita lawan pasukan air sampai titik darah
penghabisan!., Ini mungkin perintah terakhirku, Jendral!.
(Jendral Air merespon perintah dengan berlinang air mata)
Siap, laksanakan, Presidenku!... Seraaaaaang!
(Gaduh. Suara tembakan dan ledakan bersahutan. Lampu
padam dan pijar, juga menyorot secara liar. Spiritualis membakar
kemenyan.)

§ SELESAI §

Awas Ada Monolog | 71

72 | Awas Ada Monolog

Si Kotak

Adamifa ®

(Di sebuah kamar berantakan, di atas spring bed karakter si
Kotak menyandar, curhat kepada para penonton dengan ekspresi datar
- dingin).

Aku disentuh sesukanya, lalu hanya diupahi
sogokan...

Samar, tapi masih bisa kugambarkan... bukan di dunia
ini, tapi di alam sebelum ini, dalam gelap yang tak ada rasa
sakit, dalam material yang berai dan tubuh ini belum
berbentuk, aku melayang. Di alam setelah ini mungkin juga
akan begitu. Kalian pasti juga pernah membayangkan yang
seperti itu. Iya kan?

Awas Ada Monolog | 73

Di kehidupan ini, terlahir dengan tubuh begini...
kaku, kotak saja. Tapi ada denyut, ada aliran-aliran, ada
pendar, bisa kurasakan itu di dalam tubuh ini, meski aku tak
bisa merabanya dengan tangan seperti kalian. Aku hidup.
Dengan tubuh begini, atas imanku, aku yakin memang
beginilah sehatku. Bahkan, dengan tubuh seperti ini aku
sangat produktif bekerja. Kadang aku risih melihat kalian
yang pinginnya kerja enteng, bahkan malah tidak mau kerja...
tapi ingin uang banyak.

Sudah dua kali aku berganti juragan, mengabdi. Para
juragan itu yang melamarku. Dasar orang kalau sudah
bermental juragan, dengan tubuh kaku, mengotak -
membosankan begini ini, mereka masih bisa saja melihat
peluang. Ketika sudah hafal alur kerjanya, dia malah bisa
memanfaatkan aku seperti aku ini senjata nuklir saja.
Juraganku ini... ia bekerja untuk orang yang mengincar
kekuasaan, di gedung di Senayan yang dari sana bisa
mengendalikan pemerintahan. Hemh... di atas juragan, masih
ada juragan.

Nah, itu dia orangnya datang. "Aah..." (si Kotak
disogok. Lampu memendar lebih terang)

***

(Karakter juragan datang dan langsung menyogok si Kotak.
Lalu, di atas spring bed itu ia bergumam, suaranya berat, tiba-tiba
tertawa histeris, sesekali memaksa menghela napas dalam, nampak
sedang stres dengan pekerjaannya.)

Hah...
haaargh!.

74 | Awas Ada Monolog

Aaaaaaa... Hahaha.
(Ada dering telepon menyalak. Mengangkat telepon yang
berbunyi dari kantong di celananya yang tergantung di dinding,
mondar-mandir lalu duduk di tepi spring bed)
Oke, oke... Siap bosku. Iya, iya... Siap.
(Lalu ada yang mengetuk pintu dengan keras)
Sebentar bos... (Pergi meghampiri tamu yang datang, keluar
panggung)

***

(Karakter si kotak merem melek habis disogok.
Sepeninggalan juragannya ke luar kamar, ia curhat lagi)

Uuh.. aku baru saja disogoknya lagi. Meski enak,
dikira ini tak membuatku sakit?!. Huh!.

Juraganku itu... memang cerdas, tapi hatinya sudah
mati. Pertama aku direkrutnya, ia memang membayar... tapi
yang menikmati uangnya ya juragan-juragan lain, juraganku
yang dulu juga sedikit kecipratan untung. Nasibku kini hanya
dituntut kerja, melakukan tugas yang waktunya tidak jelas.
Tidak jelas ini bukan berarti bisa suka-suka, seperti kalian
yang frelance. Tapi sebaliknya, aku disuruh tugas siang
malam, dua puluh empat jam, seharian. Ya, dengan tubuh
begini ini... Dia mungkin sudah tak melihat aku punya cacat.
Dia lupa kalau aku ini tidak sempurna. Aku diforsir habis-
habisan oleh tuntutan kerja demi entah apa...

Kemenangan, kekuasaan, uang terus dikejar meski
jika sudah dapat mereka tak benar-benar menikmatinya.

Hah, aku sampai seperti cenayang... Kayak dukun.
Mungkin malah kayak jin.

Awas Ada Monolog | 75

(Bicara lebih sungguh-sungguh kepada penonton)
Eh, maaf... aku mau selesaikan kerjaan sebentar.
Kalian jangan kemana-mana ya. Aku masih pingin
curhat sama kalian...

***

Musik muncul secara fade in (saat menulis ini, penulis
teringat lagu sejenis Jalang dari Efek Rumah Kaca, juga Chop
Suey milik System of A Down. Tentu saja interpretasi boleh
sebebasnya, akan luar biasa bila ciptakan musik sendiri).
Lampu tiba-tiba terang maksimal, putih, kemudian warna-
warni. Dari proyektor, muncul slide cepat dari banyak
gambar yang biasanya tampil di internet.

Dari gambar yang indah-indah, relijius, penuh cinta,
macam-macam wajah tersenyum dari orang lintas zaman,
lintas ras, lintas suku, lintas agama, lintas profesi, lalu suasana
formal, rumah kumuh, rumah real estate, laut, gunung,
satwa-satwa, jalanan, lapangan bola, simbol-simbol, gedung
DPR, alam semesta, alien dan UFO, tulisan-tulisan aneh
aksara bukan Bahasa Indonesia, sampai gambar-gambar
seram, sadis, sensual juga muncul bergantian dengan cepat.
Kadang gambar tumpang tindih secara kontras, misalnya
gambar perang dengan gambar makanan lezat di restoran,
kebakaran hutan dengan aksi seorang selebgram cantik. Di
panggung (acara) yang tepat, berani saja campurkan gambar
pemakaman dengan adegan ranjang.

Si Kotak meliar, antusias sekali bekerja, sorot
matanya menajam, jalang, tetap dengan tubuh kakunya. Dari
balik bajunya yang hitam polos gombor, nampak ada kilatan-

76 | Awas Ada Monolog

kilatan cahaya dari lampu LED yang meliliti di dalam
tubuhnya. Sekejap dia nampak menari, lalu kaku lagi.

(Si Kotak berorasi dengan bermacam-macam ekspresi, senang,
sedih, marah, semangat, tenang, histeris, membeku tanpa kata, dan
lainnya, dengan tempo cepat, seperti membaca berita)

"Undang-undang kekerasan seksual sudah masuk di
DPR dan akan disahkan, ternyata isinya sangat berbahaya. Di
sana mengatur bahwa yang disebut kekerasan seksual adalah
yang menimbulkan rasa tidak suka. Bila itu dilakukan dengan
suka sama suka, bukan pasangan sah, hubungan sesama jenis
pun tidak digolongkan sebuah kekerasan seksual, tapi... si
Unyil perlu pendidikan seksual. Mana dinas kekerasan? Mana
dinas seksual?... Oh, memang tidak ada ya?!

"Ibu ini dipukuli 6 orang misterius. Kondisinya
sungguh mengenaskan. Bibir, hidung, mata, banyak sekali
luka-luka di kepalanya. Rambut lurusnya pun berubah seperti
mie ramen. Dan luka yang paling dalam adalah: suaminya
menolak memberi jatah uang untuk rebonding lagi."

"Tiga calon legislatif dari partai berbeda, membentuk
gerakan bersama untuk pemenangan mereka di pemilu. Hasil
penyelidikan, ketiga caleg itu bernomer urut urut 6. Dari
gambar bendera yang ditangkap oleh kamera netizen,
gerakan itu bernama "Coblos 666". Banyak masa dengan
pakaian serba hitam yang terkumpul. Menurut data, music
satanic - metal, adalah alasan mereka berbondong-bondong
mengikuti gerakan ini. Salah satu programnya adalah merebut
unicorn anak bangsa dari tangan makhluk asing, makhluk
asing dari planet Namec"

Awas Ada Monolog | 77

"Ternyata si bapak itu adalah anak dari seorang PKI.
Beredar foto-foto ketika ia menjadi PKI bersama ratusan
orang yang di berangkatkan ke Korea. Mereka di sana
bekerja dengan palu dan arit sebagai asisten rumah tangga di
negara itu. Tercatat, para asisten rumah tangga PKI itu turun
ke jalan untuk bermain ular tangga, yang disebut aksi 292.
Karena dilakukan di tanggal 29 Februari. Mereka akan
melakukan reuni di setiap tanggal kabisat."

(Lampu dan musik mati sekejap, menyala kembali dengan
adegan si Kotak berhenti melakukan tugas, instrospeksi)

Ada apa ini?. Kualitas tulisan juraganku biasanya tidak
seperti ini. Memang... juraganku memang tukang membuat
berita gak bener... Tapi yang barusan kusebarkan tadi bener-
bener gak bener. Apa juraganku sudah lupa kaidah-kaidah
penulisan hoax?!. Ah, apa ini kesalahan pada program
sistemku... Oh, mungkin juraganku bekerja untuk juragan
lain lagi?!

(Lampu mati lakon berganti karakter lain, virus)
Hey Kotak!. Smartphone dengan OS Android...
Cukup sudah ulahmu menyebar hoax. Aku virus yang
ditugaskan menjadi pencabut nyawa untukmu. Perkenalkan,
namaku Paejan.
(Lampu mati lakon berganti karakter juragan. Sambil
menelpon juragannya, juragan si Kotak menangis gugup kalang kabut
masuk ke kamar didatangi orang-orang misterius bersenjata api.)
Bos... Tolong saya. Ada orang datang, bawa senjata.
Tolong say, 'dooor!'.

78 | Awas Ada Monolog

(Terkena di lengan kirinya. Seketika ia menggapai selimut,
menutupi sekujur tubuhnya, menggigil berteriak minta ampun
memilukan diantara luapan amarahnya).

Katamu menjamin keselamatanku?!. Katamu setelah
ini negara ini akan super maju?!. ('dorr, dor' suara tembakan
mendekat). Ampuuun!. Haaaah... Tolong ampuni saya!.

(Lalu tembakan semakin membabi buta, 'dooor, dor,
dododododr'. Cairan merah merembes dari dalam selimut, banyak
sekali)

***

(Lampu mati, musik transisi ke nuansa lain mengiringi
adegan sendu penuh darah ini. Saat ini penulis terpikir konsep
paradoks, bertentangan: musik ceria jazz atau reggae misalnya, untuk
mengiringi adegan mencekam ini. Lakon berganti karakter si Kotak)

Hey virus... Aku diciptakan untuk netral. Para
manusia yang menggunakan aku saja yang membuat aku
menjadi penyebar hoax. Aku tak sedih, aku tak takut, bahkan
aku pun tak bahagia. Lakukan saja tugasmu, seperti aku
melakukan saja tugasku.

(Lampu mati lakon berganti karakter virus)
Wahai Kotak, si Smartphone, manusia tak seperti
yang kita kira... Prosesormu, programku, tak ada apa-apanya
dibanding otak cemerlang mereka.
(Lampu mati lakon berganti karakter si Kotak)
Siapa yang tak tahu soal itu, virus Paejan!. bahkan
merekalah yang menciptakan kita, mereka tuhan kita. Tapi
tak jarang, diantara mereka, tuhan kita itu, malah
menuhankan kita... Hahaha

Awas Ada Monolog | 79

(si Kotak tertawa sekeras yang ia bisa, lampu LED di
tubuhnya menyala. Lampu panggung mati, transisi lakon berganti
karakter virus)

Itu tawamu yang terakhir, Smartphone... Tertawalah
sepuasnya!

(Lampu panggung mati, lakon berganti karakter si Kotak)
Dasar manusia, di masa pemilu... Aku diperalat untuk
menyebar hoax. Tapi... Siapa yang sebenarnya diperalat?.
Ha?, Siapa yang sebenarnya diperalat?. Hahaha. Mereka mati-
matian untuk hidup sampai lupa artinya hidup. Hahaha...
Lewat kaumku banyak manusia yang mendadak pandai dan
bijak, terkenal, merasa dunia dalam genggaman. (Tiba-tiba
sangat sedih, perihatin. Jasad di balik selimut berdarah
dielusnya, dipeluknya.) Manusia, selalu primitif...
Sumber adanya kejadian rayu merayu, pemarah
sekaligus pemaaf, inti dari damai dan kacau. Suara dibeli,
dipecah belah, tak mau tahu bahayanya. Memutar terus
bahaya itu, masa bodoh, sekarang tergilas - terseret bingung
bagaimana menghentikannya. Dasar manusia... dengan
semesta di tubuhnya masih bisa takut lapar juga. Hahahaha...
Katanya percaya Tuhan, tapi.... Hahahahhahahahahahaha.
Katanya tidak percaya Tuhan, tapi.... Huahahahahahahaha.
Selamat tinggal kabel USB, sogokkanku.
(Si Kotak kaum Smartphone itu tertawa sampai mati.
Memegangi kabel USB chargernya, penghidupannya selama ini. Dan,
selesai)

§ SELESAI §

80 | Awas Ada Monolog

Alai-Belai

M. Khoirun Nadzif ®

Panggung kosong, lampu mulai menerangi Sulaiman
yang sudah berada di panggung. Bukan aku, bukan aku,
bukan aku.

(Suara keras terdengar sampai menyakitkan telinga).
Bukan aku, bukan aku, bukan aku. (Terjatuh dan
pelan-pelan berdiri).
Perkenalkan namaku Sulaiman aku dilahirkan di
sebuah desa kecil dekat pesisir pantai utara. Sebuah desa
yang sejuk dan sangat damai. Namun diriku jarang
merasakan hiruk pikuk desa, karena semenjak umur tujuh
tahun aku sudah mengenyam pendidikan di pesantren dan
menjadi abdi dalem pesantren.

Awas Ada Monolog | 81

Setelah aku lulus dari dunia pesantren aku mencoba
keberuntunganku untuk melanjutkan di perguruan tinggi.
Aku mendapatkan beasiswa di salah satu perguruan tinggi di
ibu kota, tak disangka dengan latar belakang keluargaku yang
kurang, aku bisa menyelesaikan sekolahku. Namaku semakin
dikenal oleh masyarakat desaku semenjak aku menjadi
sarjana.

Namun bukan itu yang ingin aku sampaikan kepada
kalian. Pada suatu malam terdengar suara ketukan pintu
gubug orang tuaku. Aku bertaya siapa diluar? Mereka
menjawab aku Pak Darso dan Pak Hadi. Lalu aku
persilahkan kedua orang itu masuk, mereka adalah salah satu
perangkat desa di daerahku. Aku tidak tahu apa tujuan
mereka bertamu ke gubuk orang tuaku. Hampir sejam
mereka berbicara kesana-kemari terkait pemerintahan, tiba-
tiba mereka menawarkan kepada diriku untuk menjadi
pemimpin desa.

Seketika itu badanku tersa membeku, aku tidak tahu
harus mengatakan apa. semenjak itu aku bingung dengan
jawaban yang akan aku berikan kepada mereka. akupun
bertanya kepada mereka kenapa mereka memilih diriku yang
notabene dari keluarga yang kurang mampu untuk menjadi
pemimpin dan juga diriku kurang mapan karena diriku belum
berkeluarga.

Mereka menjawab dengan lantang bahwasanya
sebuah pemimpin bukan dilihat dari orang itu sudah
berkeluarga atau dari kalangan kurang mampu. Mereka
melihat diriku dari latarbelakang pendidikan dan mengatakan
kalau aku bisa menjadi pemimpin yang amanah. Aku semakin

82 | Awas Ada Monolog

binggung dengan tawaran mereka, kedua orang tuaku juga
kaget dengan tawaran mereka. namun semua jawaban itu aku
kembalikan kepada orang tuaku. Kedua orang tuaku terdiam
sejenak, tiba-tiba celetukan dari ibuku terdengar olehku. Aku
menyetujui kamu untuk mencalonkan dirimu menjadi
pemimpin, asal kamu bisa menjadi pemimpin yang
mengayomi masayarakt desa.

Semenjak itu aku mulai menyusun rencana untuk
pemilihan diriku yang dibantu oleh Pak darso dan Hadi.
Mereka banyak memberi masukan terkait bagaimana
memenangkan kursi. Namun mereka seringnya memilih
dengan menyogok masyarakat untuk memberikan suaranya
kepada diriku, aku yang notabene dari kalangan kurang
mampu langsung menolak usulan mereka karena aku melihat
sudah sering pemimpin memeberikan sogokan untuk
mendapatkan suara, aku tidak mau menggunakan sogokan
atau fitnah untuk mendapatkan suatu tujuan. Ternyata
usulanku disetujui oleh mereka, aku hanya memasang fotoku
disetiap gang dan juga bersilaturrohmi kemasyarakat desa
dari pintu kepintu. Karena aku mempunyai pandangan
bahwa pemilihan itu tidak dengan paksaan.

Acara puncakpun dimulai, acara yang ditunggu-
tunggu oleh masyarakat desa termasuk diriku. Karena bukan
aku saja yang menjadi kandidat pemimpin desa, ada empat
calon termasuk diriku yang merebutkan kursi tertinggi.
Kebanyakan dari mereka menggunakan sogokan untuk
mendapatkan suara, hanya diriku seorang yang tidak
menggunkan sogokan untuk mendapatkan suara. Berhenti,
berhenti, bukan aku, bukan aku.....

Awas Ada Monolog | 83

Suara itu terus mengganggu pikiranku.
Petugas pemilihan mulai membuka kotak suara,
diriku terasa kaku dan tidak mau mendengarkan suara
pertama kali yang dibacakan oleh petugas. Tiba-tiba suara
keras mengganggu konsentrasiku. (sah), masyarakat teriak
lalu aku melihat ke papan penghitungan suara, aku melihat
coretan di namaku, aku terkejut.
Semenjak itu aku mulai sedikit lega dan terus berdoa
kepada sang kuasa. Tak terasa penghitungan suara hampir
selesai, tinggal satu suara yang dipegang oleh petugas namun
penghitungan belum dilakukan aku hanya melihat papan
dengan coretan yang lumayan banyak di samping namaku.
Kertas suara terakhirpun menyebutkan namaku. Setelah itu
aku terpilih menjadi pemimpin desa dengan suara tertinggi.
Aku terus menjalani setatusku yang baru dengan
menjadi diriku yang sama seperti dulu yang tidak
menghilangkan visi dan misiku apalagi pesan dari orang
tuaku. Sudah dua tahun aku menjadi pemimpin desa. Pada
suatu waktu pemerintahan di kabupaten memanggil semua
pemimpin desa terkait pembagian dana desa. Aku bertemu
dengan pemimpin-pemimpin di kabupaten.
Semenjak pertemuan di kabupaten aku sangat akrab
dengan Pak Hakam, dia adalah salah satu pegawai di
Kabupaten, dia terlihat sopan, jujur, dan bijaksana. Aku
sangat menggumi beliau aku sering dinasehati terkait
percintaan bahkan sampai ke masalah pemerintahan. Dia
mengatakan kalau saya disuruh untuk mencalonkan diri lagi
ditingkat lebih tinggi namun aku menolaknya, karena aku
merasa belum bisa menjadi pemimpin yang baik di desaku.

84 | Awas Ada Monolog

Meskipun sudah banyak Parpol yang datang ke rumahku
dengan tujuan agar diriku mau menjadi anggotanaya namun
aku tetap saja menolak mereka.

Setelah tiga tahun aku menjabat sebagai pemimpin
desa................... ah.... bangsat ternyata.

Suara itu lagi, berhenti, sudah aku katakan bukan aku
yang melakukannya.

Maafkan saya bapak hakim yang budiman, aku tidak
pernah melakukan tuduhan itu bapak hakim, aku tak pernah
menggelapkan dana desaku sendiri aku hanya menjadi
kambing hitam dari para ular-ular itu. Namun semua
pembelaanku tak berpengaruh apa-apa terhadap keputusan
hakim. Aku difonis penjara seumur hidup. Namun ingat
bapak hakim yang budiman, semoga engkau dibukakan mata
hatimu dan menjadi hakim yang bijak dalam mengambil
keputusan. Semoga juga para pemimpin di negeri ini terbuka
mata hatinya juga.

Iya bapak hakim, memang saya yang melakukan itu
karena saya dituduh dan selalu disudutkan, setiap orang
mempunyai tingkat kesabarannya bapak hakim kita ini
manusia jadi wajar kalau setiap manusia itu mempunyai
tingkat kesabarannya.

Tiba-tiba terdengar suara yang menyakitkan telinga.
Bukan aku, bukan aku, bukan aku. (menggeliat).

Ah...... (teriak).
Semenjak itu aku menjadi orang yang diasingkan oleh
masyarakat desa bahkan keluargaku. Aku dituduh
menggelapkan dana desa oleh penguasa di atasku, padahal
aku takpernah melakukan hal sekeji itu. Ah... bangsat,

Awas Ada Monolog | 85

bagaimana bisa? Ahhhhh..... maaf aku kurang bisa
mengontrol emosiku kalau aku membayangkan wajah-wajah
para ular itu.

Namun aku tidak pernah menyesali perbuatanku
meskipun aku tahu kalau yang kulakukan adalah dosa besar.
Ah..... Hahahahaha, semenjak aku menjadi tersangka aku
mulai menggila, aku menjadi orang yang arogan dan
seenaknya. aku tidak pernah mendengarkan nasehat dari
orang tuaku dan juga aku mulai melupakan semua ajaran
yang telah aku dapatkan.

Benar memang aku, memang aku. Hahahahaha,
silahkan. Aku sudah bisa menerima semuanya. Hahahaha

Semenjak aku mendapatkan bisikan yang selalu
menasehatiku aku, aku melupakan semua orang yang ada di
dekatku yang kubayangkan hanyalah bagaimana melakukan
apa yang dibisikan oleh suara itu. Hahahaha aku mencoba
memikirkan cara dan akhirnya aku medapatkannya. Lalu aku
menelfon orang itu dan kuajak keluar untuk makan malam,
dia tidak tahu kalau minumanya sudah saya kasih obat tidur.

Aku tertawa sendiri melihat wajahnya yang polos dan
sedikit keriput. Suara bisikan itu semakin mempengaruhilku
untuk melakukannya, tak perlu pikirlama aku langsung
menggorok leher orang itu dengan pisau dapur yang sudah
aku bawa dari rumah. Sebelum aku gorok lehernya aku cekik
dan pukul kepalanya dengan batu yang ada disampingku.

Hahah, benar memang aku, memang aku.
Hahahahaha, suara bisikan itu terus memepengaruhiku aku
semakin taksadarkan diri, lalu aku congkel kedua bola

86 | Awas Ada Monolog

matanya dan mengkuliti kulitnya. Lalu aku tinggalkan
mayatnya begitu saja ditengah hutan. Hahahaha

Setelah dua hari berita tersebar luar seantero negeri.
Semenjak itu aku menjadi terkenal dan mendapatkan sorotan
dari banyak kalangan. Hahahaha, namun aku takpernah
menyesali perbuatanku. Hahahaha.

Benar memang aku, memang aku.
Lampu perlahan padam.

§ SELESAI §

Awas Ada Monolog | 87

88 | Awas Ada Monolog

Si Temon

Eko B Saputro ®

Barang-barang tampak berserakan. Di situ hidup sekeluarga
orang ayah, ibu dan anak. Tempat tinggalnya terbuat dari kardus-
kardus dan plastik terpal seadanya.

Kusmin selaku kepala rumah tangga bekerja
serabutan. Kerjanya paling sering mengumpulkan barang-
barang bekas, botol plastik, kertas, seng, besi, dan lain-lain.
Bisa dikatakan Kusmin si Pemulung. Pemasukannya tidak
menentu. Sopiah sang istri juga bekerja, kadang menyetrika,
kadang mencuci pakaian, kadang memasak dan bersih-bersih
rumah di rumah-rumah sekitar tempat tinggalnya. Hidup di
kota besar memang menjadi hal yang berbeda bagi tingkat

Awas Ada Monolog | 89

perekonomian Kusmin keluarga. Segala sesuatu harus cepat,
yang lambat pasti terlindas.

Hidup berumahtangga bertahun-tahun, Kusmin dan
Sopiah belum juga punya momongan. Sebab itu dua puluh
tahun lamanya mereka mengharapkan hadir sang buah hati.
Entah kenapa, belum tahu sebabnya karena mereka juga
tidak konsultasikan ke dokter spesialis kandungan. Setelah
mereka selesai menggelar acara pernikahan. Ekonomi
keluarga Kusmin, di kampungnya, tiba-tiba jatuh dan ludes
terampas oleh rentenir. Ia kemudian memutuskan mengadu
nasib ke Ibu Kota, Jakarta. Kota besar yang ta seramah bagi
para pendatang sekelas Kusmin yang tidak bekal memiliki
ketrampilan khusus, apalagi sanak saudara. Ada yang
member pekerjaan saja sudah sangat disyukuri oleh Kusmin.
Jadilah dia kuli, pengemis jalanan, kerja seadanya dan
mengais rejeki dengan mengorek-orek sampah jadi
pemulung.

Lima tahun sudah mereka hidup berpindah-pindah
tempat, kucing-kucingan dengan petugas keamanan yang
suka menggusur anak jalanan, gelandangan, pengemis,
pemulung dan orang-orang seperti Kusmin yang tak jelas
hidupnya juga identitasnya. Kusmin dan istrinya kadang tidur
dan tinggal di kolong jembatan, di kolong jalan layang.
Kadang dimana saja asal bisa tidur. Sopiah, istri Kusmin,
sekalipun suka ngomel-ngomel tapi tetap setia padanya dan
mengikuti kemana suaminya pergi. Kecuali kalau dia
mendapat pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga.

***

90 | Awas Ada Monolog


Click to View FlipBook Version