The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku Antologi Tentang Kepemiluan

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by panwaskabjepara10, 2019-10-06 21:59:57

Awas Ada Monolog

Buku Antologi Tentang Kepemiluan

Keywords: Pemilu,Antologi,Monolog,Sastra

Malam itu, saat Sopiah ikut mengais rejeki mencari
botol-botol bekas, ia mendengar suara tangis bayi di sebuah
lorong gang yang sempit. Di belakang rumah makan biasa ia
mengais sampah sisa makanan dan barang bekas. Sosok bayi
mungil berselimut kain tebal, kulitnya masih merah, seperti
baru dilahirkan.

Bayi laki-laki, entah siapa yang tega berlaku demikian.
Apakah bayi itu sengaja diterlantarkan ataukah sosok yang
tak diinginkan ataukah aib bagi sang pelaku. Rupanya masih
ada seorang yang tega melakukan itu. Hal itu justru berkah
bagi Kusmin dan Sopiah.

Kusmin dan Sopiah senang bukan kepalang. Mereka
bawa pulang, dan merawatnya sepertin anak sendiri. Mereka
memberinya nama Temon, yang berarti anak nemu, bahasa
jawa, ketemu, menemukan, atau arti yang pokoknya dipas-
paskan sajalah. Tentu saja, anak laki-laki itu sangat cocok
diberi nama Temon. Jadilah mereka keluarga kecil yang
bahagia. Kusmin, Sopiah dan Temon.

Sekalipun, Temon sudah besar, dan waktunya masuk
sekolah, Kusmin tidak mampu menyekolahkannya. Kusmin
hanya pendatang illegal di Ibu Kota. Tanpa tanda pengenal
dan identitas sebagai warga Negara. Sekalipun sudah dua
puluh tahun lebih di Jakarta. Mereka tetap tidak dapat
mengurus identitas. Takut dengan petugas penggusur dan
lain-lain. Apalagi, memang Kusmin dan Sopiah di besarkan
di kampung transmigrasi di luar pulau Jawa dan tanah rumah
orang tuanya ludes untuk membayar utang pada rentenir.
Lantaran, bapaknya Kusmin mencoba mengadu nasib pada
pertarungan Pildes atau pemilihan Kepala Desa.

Awas Ada Monolog | 91

Pildes yang berakhir ricuh, dan keluarga Kusmin
menjadi bulan-bulanan, uang modal kampanye hasil
pinjaman dari rentenir membumbung tak terbendung
lantaran sering terlambar dan berbunga-bunga. Hingga tanah
dan kebun Bapaknya Kusmin di sita dengan paksa.

Kacau balau, Kusmin yang aslinya dari Jawa
kemudian merantau ke Pulau Jawa, Jakarta, menjadi seorang
asing di negerinya sendiri, ditanahnya sendiri, di atas tanah
nenek moyangnya sendiri.

Bukan hanya soal KTP atau identitas Kusmin dan
Sopiah, Temon tidak bisa bersekolah, yang jelas masalah
biaya, ekonomi yang masih sulit buat Kusmin. Karena dia
tidak punya identitas yang jelas, jadi cari kerjanya juga yang
Ilegal. Jadilah Temon sang pemulung. Ikut jejak Bapak dan
Emaknya.

***

Dari pinggir jalan, Temon melihat banyak gambar
foto orang-orang berdasi. Entah bertuliskan apa, tentu saja
si Temon tidak dapat membaca apalagi menulis, karena tidak
diajarkan oleh Bapak dan Emaknya menulis. Siang itu,
Kusmin dan anaknya sedang istirahat di tempat teduh, tak
jauh dari tempat tinggalnya.

“Pak, itu foto siapa yah”
“Fotonya orang, to Mon!” menjawab sekenanya
sambil mengibas-ibaskan topi untuk mengusir lelah dan
panas.

92 | Awas Ada Monolog

“Iya, maksudnya orang siapa pak?”, Temon
melanjutkan pertanyaannya sambil menerawang dan
menebak-nebak foto, atau gambar siapa, dan maksudnya apa.

“Orang-orang sibuk, Pak!”
“Yah! Semacam itulah!”
“Sibuk Ngurusin apa, Pak?”
“Ngurus macem-macem, Mon! Bapak juga nggak tau.
Kata Lek Parjo, setahunya, yah mereka itu mau nyalon jadi
wakil rakyat”
“Lha kok gambarnya di pasang di jalan-jalan, Pak!
Kayak iklan, yah, Pak!”
“Hus!!! Itu beda, Mon!”
“Wakil rakyat itu apa to Pak?”
“Ah! Kamu itu banyak tanya ajah! Sudah ah! Istirahat
dulu, nanti kalau Emakmu sudah datang kita pulang sama-
sama”.

***

Saya sebenarnya prihatin sekaligus takjub dengan
orang seperti Pak Kusmin. Bagaimana tidak, mereka rela dan
sepertinya memang terpaksa ataukah memang harus
bersyukur dengan keadaannya. Saya sudah bertahun tahun
juga mengenal Pak Kusmin, dan biasanya saya membawakan
sejumput beras ataupun gula, teh, kopi, dan makanan-
makanan kecil.

Saya kenal Pak Kusmin saat pertama kali di Jakarta,
merantau dari kampung jadi kuli bangunan yang berada tidak
jauh dari tempat Pak Kusmin. Lalu, Pak Kusmin juga saat itu

Awas Ada Monolog | 93

ikut jadi kuli ngangkut pasir, ngangkut batu bata, semen.
Intinya pekerjaan kasar itu buat dia. Di waktu senggang, saat
istirahat, saya berbincang dengan Pak Kusmin.

Yah! Itu tadi, harta warisannya ludes saat ayahnya
yang kala dalam pertaungan pencalonan Kepala Desa, tanah
dan kebunnya di kampung halaman di sita oleh rentenir.
Utangnya sebenarnya tidak banyak. Tapi saat telat membayar
dan bunganya itu semakin lama semakin berkembang
menjadi tak terhingga, sampai-sampai keluarga Pak Kusmin
harus kehilangan segalanya.

Ayahnya jadi kepikiran karena hartanya ludes, dan
kalah dalam pertarungan demokrasi tingkat desa. Lama
kelamaan karena banyak pikiran ia mati ngenes, sakit-sakitan
dan ditinggal istrinya merantau ke negeri orang menjadi
tenaga kerja. Akhirnya, tinggal rumah satu-satunya yang
ditinggalin Kusmin dan bapaknya, juga Sopiah, istri Kusmin.
Lalu, Bapaknya Pak Kusmin meninggal, sampai ibunya
Kusmin juga tidak tahu rimbanya setelah memilih menjadi
TKI yaitu Tenaga Kerja Indonesia.

Bapaknya Kusmin sebenarnya cukup berhasil sebagai
petani coklat, ia memiliki beberapa hektar kebun kakau jatah
daripada sebagai warga yang ikut program transmigrasi.
Karena perhitungan yang salah dalam pesta demokrasi
tingkat desa, semuanya musnah. Kusmin menjual rumahnya,
mengajak istrinya merantau ke Jakarta, sekalipun modal pas-
pasan, dan tidak tahu sanak keluarga yang lain. Apalagi kabar
tentang ibunya di negeri orang.

***

94 | Awas Ada Monolog

Temon terbangun dari lamunannya. Lalu, bermain
mobil-mobilan dengan barang bekas yang ada disekitarnya.

“mBrummmm,,,,,,mbrummmm….bum…bum….tin
….tin, awas, awas, minggir!!”

Mendengar suara Temon, Pak Kusmin terbangun.
“Kamu itu ngapain to, Mon?”
“Belajar, nyetir, Pak?”
“Nyetir apa, nggak usah reka-reko?”
“Nyetir, Tin…..Tin……Pak!”
Sesaat itulah, Mak Ipeh, begitu orang orang sekitar
memanggilnya, padahal namanya Sopiah.
Mak Ipeh datang menghampiri mereka. Sedikit
tergopoh membawa barang rongsokan di dalam karung.
“Haduh, haduh! Anakku sing ngganteng dewe?”
“Mak, besok kalo sudah gede, Temon boleh nyetir
Tin-Tin nggak, Mak?”
“Boleh, to yah, Le! Siapa bilang tidak boleh”
“Tadi katanya Bapak Temon nggak boleh nyetir
Tin…Tin….”
“Halah! Bapakmu itu tau apa. Wong kok, yah! Ndak
dukung anaknya punya cita-cita mulia!”
“Kamu itu, ngomong apa to, Bu Ne”
“Yah, ngomongke masa depane Temon, anak kita!”
“Yah, kalau ngomongke itu sak wajarnya, ndak usah,
terlalu muluk-muluk, kita setiap hari cari uang buat makan
saja susah payah. Jungkir jempalik nggak karu-karuan, kok!
Pengin gaya-gayaan punya mobil! Rumah juga kaya begitu!
Sadar to Bu Ne”.

Awas Ada Monolog | 95

“Lho sing ndak sadar itu yah, Bapak! Wong anak
punya cita-cita baik kok nggak di dukung! Kalau mau nyopir
wae ndak perlu harus punya mobil sendiri. Kan bisa kerja
jadi sopir. Siapa tahu derajat kita juga bisa berubah”

“Berubah berapa derajat?”
Sementara, Temon masih asyik dengan permainannya
main sopir-sopiran sendiri.
“Nggak, apa-apa Le! Kamu besok Emak doakan jadi
orang yang pinter, bisa dapat pekerjaan yang layak, bisa buat
rumah yang bagus!”
“Sama bisa ngajak Bapak sama Emak jalan-jalan yah”
“Iya, le! Emak juga sudah lama ndak jalan-jalan”
“Emak duduk di belakang, Bapak duduk di depan,
Temon yang jadi sopirnya…..ngeeeeeeeng……..!!!!”
“Sudah! Sudah! Nggak usah terlalu tinggi
berkhayalnya, Mon!”
“Bapak itu, lho! Ndak tau orang lagi seneng!” sergah
Mak Ipeh, karena memotong khayalannya dengan Temon.
“Orang seperti kita itu harus sering berimajinasi Pak!
Berkhayal yang tinggi, itu hiburan kita satu-satunya. Tidak
ada yang lain lagi. Kalau berangan-angan saja Bapak larang,
lalu kita ini cari hiburan kemana. Wong kita juga ndak akan
mampu ngajak Temon jalan-jalan. Kita sudah lama melarat,
kalau saja dulu Bapaknya Bapak ndak nyalon Lurah dan
kalah, nasib kita tidak bakalan kaya begini to, Pak”.
“Lho kamu kok malah, nyalah-nyalahkan Bapakku itu
gimana! Itu kan nasib, urusan Bapakku dia mau ngapa-
ngapain aja!”

96 | Awas Ada Monolog

“Lha wong mau jadi Lurah kok pinjam uang
kampanye ke rentenir, lha nggak bisa mbayar malah ga karu-
karuan”.

“Kamu jangan asal nyalahkan orangtuaku seperti itu
to Bu Ne!”

“Lha iya, gara-gara itu kan nasib kita jadi seperti ini”
“Nyetak foto banyak-banyak, di temple-tempel, di
pasang di baliho yang paling gede, bagi-bagi amplop, kaya
orang punya duit banya. Padahal uangnya ngutang ke
rentenir. Lha pas hari H kalah, malah nggak jadi dandanan!”
“Itu sudah nasib, Bu Ne. nggak usah diungkit-ungkit
atau di sesali”.
Temon yang sedari tadi mendengar dan mengamati
perdebatan Bapak dan Emaknya, perhatiannya masih tertuju
pada sebuah foto yang terpampang di pinggiran jalan.
“Oh! Jadi gambar di foto itu simbah yah, Pak!”
“Mana?” tanya Pak Kusmin
“Itu, gambar orang yang pakai dasi!”
”Hussss!!! Ngawur!!! Sudah, sudah! Ayoh pulang! Kok
malah omonganmu ngelantur kaya Emakmu”. Sembari
mengemasi barang-barangnya oak Kusmin menggeret
Temon dan mengajak Mak Ipeh pulang ke rumah kardusnya
yang tak jauh dari tempat mereka beristirahat.
Tentu saja, dalam diri Temon masih bertanya-tanya
tentang gambar-gambar yang terpasang di pinggiran jalan di
baliho besar. Dalam hatinya, apakah itu benar Kakeknya, jika
memang benar mengapa Kakeknya menelantarkan mereka
yang hidup serba kekurangan. Dan Temon sendiri tidak
mendapatkan pendidikan yang layak.

Awas Ada Monolog | 97

Sambil melambaikan tangan ke arah gambar-gambar
itu, Temon digeret Pak Kusmin untuk cepat beranjak pulang.

Dalam hati dan bayangan si Temon, berucap “Dada
kakek!!!” sambil berharap dapat bertemu. Temon tetap
melambai-lambaikan tangan dan membelakangi Pak Kusmin
yang menarik erat tangannya.

§ SELESAI §

98 | Awas Ada Monolog

Plot

Siwigustin ®

Lampu perlahan menyorot panggung yang merupakan sebuah
ruang dengan dinding dari anyaman bambu. Beberapa ember berlumut
di letakan berdekatan satu dengan yang lainnya di lantai untuk
menampung air hujan yang menyelinap dari genting. Terdapat satu
meja kayu yang diatasnya terdapat teko, gelas plastik, piring plastik.
Di samping meja ada satu kursi plastik yang sudah mulai memudar
warnanya.

Tidak jauh dari meja, terlihat tikar tergelar dengan bantal
kumal dan sarung yang tidak terlipat di atasnya. Sedangkan di sudut
ruang ada tumpukan sembilan kardus.

Dari arah penonton muncul seorang laki-laki berusia 55
tahun mengenakan kaos lusuh dan celana kain yang kotor dengan

Awas Ada Monolog | 99

robekan dan lubang-lubang kecil. Ia menuju panggung. Rambut,
kumis dan jenggotnya sebagian besar berwarna putih. Ia memasuki
panggung dengan terengah-engah seperti baru saja melihat sesuatu.
Kemudian ia duduk di kursi dengan nafas tak teratur dan memegang
dadanya. Sesekali ia menengok sisi panggung tempatnya masuk,, lalu
bersandar di kursi dan menghela nafas beberapa kali.

Pak Tua : Untung saja dia tidak mengikutiku sampai
ke sini. (menghela nafas dan merogoh uang dari saku)

Pak Tua : Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh,
delapan–delapan ribu. (setelah menghitung beberapa lembar uang
seribuan, ia mulai menghitung uang koin)

Pak Tua : Satu, dua, tiga… empat belas… delapan
belas... Sial! Hanya delapan belas ribu yang kudapatkan hari
ini. Ada apa dengan hari ini? Bertemu dengannya dan hanya
mendapatkan delapan belas ribu saja. Seharusnya di siang
hari yang panas ini, mereka lebih mengasihiku! Manusia
jaman sekarang sepertinya sudah tak memiliki rasa iba!
Seharusnya mereka membagi uang mereka padaku yang
kurus dan keriput ini.

Aku harus bisa menyaingi para pengemis yang masih
begitu muda dan lincah. Mereka masih sanggup berjalan
berkilo-kilo di bawah terik matahari Mmereka masih mampu
mengolah ide bagaimana harus berdandan agar orang mudah
kasihan. Apalagi perempuan, mereka bisa dengan mudah
menyewa anak orang lain untuk diajak berbisnis, hanya
dengan sorotan mata anak yang masih polos mereka bisa
dengan mudah menurunkan kaca mobil dan memberi
selembar dua lembar ribuan. Mereka semua benar-benar

100 | Awas Ada Monolog

pembohong ulung! Ah! Sial! Sedangkan yang kudapat hanya
lambaian tangan yang berarti mereka tak kasihan padaku!
Sial! Hari ini aku benar-benar sial!

(mengumpat dengan keras kemudian bersandar pada kursi,
matanya berkeliaran hingga tehenti pada bungkusan plastik di atas
meja. Tidak lama ia buka bungkusan nasi itu sambil tersenyum sinis,
kemudian raut wajahnya berubah. Ia terlihat begitu sedih. Beberapa
menit kemudian tiba-tiba ia sesenggukan, menangis dan tak lama
tertawa terbahak-bahak)

Pak Tua : Setiap hari, nasi bungkus lauk tempe kering
ini mengisi lambungku. Seharusnya pemilik warung itu
kasihan padaku. Meskipun aku miskin dan mengemis, aku
selalu setia makan di warungnya. Seharusnya ia
menghadiahkan satu atau dua paha ayam padaku sekali
waktu. Tapi yang ada di otaknya itu hanya menghitung
jumlah hutangku padanya. Setiap kali aku datang, bibir
tebalnya yang berwarna merah darah itu selalu berteriak.

“Heh gelandangan! Bayar dulu hutangmu! Jangan
datang ke warungku jika tidak punya uang! Kau pikir aku ini
ibumu yang bisa secara gratis kau mintai makan? Kau kira
siapa yang mau membayar semua makananmu! Warungku
bisa bangkrut hanya karenamu! Apa kaupikir aku tidak tahu
kalau pengemis jaman sekarang lebih kaya dari PNS?”

Gila! Dipikirnya aku sama seperti Legiman. Pengemis
yang memiliki aset hampir 1 Milyar! Mata pemilik warung itu
tidak bisa membedakan mana pengemis sungguhan–mana
yang bukan! Jelek-jelek begini aku mengemis karena keadaan!
Bukan karena mental jadi pengemis!

Awas Ada Monolog | 101

Sialnya aku tetap datang padanya. Meminta
sebungkus nasi yang selalu kubawa pulang–gratis. (tertawa
terbahak-bahak)

Pak Tua : Mungkin aku memang harus menua di
jaman yang serba setingan sekarang ini. (ia mulai memakan nasi
di dalam bungkusan itu, kemudian kembali meracau)

Pak Tua : Aku bahkan tidak lagi bisa merasakan apa
nasi dan tempe ini manis atau busuk. (tersedak)

Pak Tua : Argh! Sial! Air dimana air minumku!
(terbatuk-batuk sambil mencoba meraih botol air di samping tikar)

Pak Tua : Apa? Habis? Baru seteguk saja sudah habis?
Oh betapa sial hidupku ini, Tuhan! Bahkan seteguk airpun
aku tak punya! (tiba-tiba terdengar bunyi gesekan plastik dari
tumpukan kardus)

Pak Tua : Hei, siapa itu?
(bunyinya masih berisik)
Pak Tua : Jangan membuatku naik pitam, Bodoh!
Siapa di sana? Bedebah mana lagi ini! (membuang botol
minumnya dan mengambil salah satu ember yang masih kosong,
kemudian menghampiri asal bunyi itu)
Pak Tua : Ssssttt... Diam. Jangan berisik! Aku akan
menghabisinya! (ditariknya satu kardus kemudian ember di
tangannya memukul di antara kardus-kardus lainnya)
Pak Tua : Tikus sialan! Masih saja kau mengganggu
hidupku hah! Rasakan ini! Heh, brengsek, mau lari ke mana
kau! Jangan lari! (dikejarnya tikus itu sambil melemparkan ember
ditanggannya)
Pak Tua : Sampai kapan kau akan mengambil harta
dari pengemis macam aku? Tikus tidak tahu diri! Kau itu

102 | Awas Ada Monolog

kecil tapi mampu membuat segalanya membusuk! Apa kau
tak juga lihat langit langit rumah semua orang hampir rubuh
karenamu? (nafasnya terengah-engah, tangan kanannya memegang
dada, kemudian ia terduduk di lantai)

Pak Tua : Jantungku–sakit sekali, jantungku–hampir
lepas... Aarrrghhh.... Tolong.... Aku hampir mati. A–ku
hampir tidak bisa ber–na–fas (tubuhnya ambruk, tidak bergerak
sesaat).

Pak Tua : Baaaaaaaaa!!!!!!!
(tertawa terbahak-bahak kemudian berdiri dengan gagahnya)
Pak Tua : Bagaimana aktingku? Menawan bukan?
Aku ini bukan laki-laki penyakitan. (tertawa terbahak-bahak)
Pak Tua : Sebetulnya aku ini sama saja dengan orang-
orang berdasi yang berjajar rapi di kursi singgasana. Hanya
pakaian yang membedakan kami.
Mereka–pengemis perlente yang memohon-mohon
agar dipercaya rakyat kecil dan setelah semua simpatik
mereka dapatkan, mereka akan dengan mudah mengambil
hak-hak orang kere sepertiku! Seharusnya mereka jadi orang
yang memberi, bukannya meminta segalanya dari kami.
Kalau mereka semua pintar dan tidak bertopeng, orang
orang sepertiku tak akan ada! Aku tak akan jadi pengemis!
Mereka tidak lebih baik dari seekor tikus bau! Dasi mereka
yang mencekik orang-orang sepertiku! (menendang satu ember
yang berisi air).
Pak Tua : Sepuluh tahun yang lalu, karena tikus
berdasi itu, aku kehilangan pekerjaanku sebagai mandor. Dia;
Partikno dalang dari semua kesusahanku! (menjadi Pratikno)

Awas Ada Monolog | 103

Pak Tua : Dirham–Sudirham, teman baikku. Aku
tahu semua ini tidak mudah. Tapi aku sungguh tidak dapat
berbuat apa-apa. Modalku sudah habis untuk merombak
pembangunan kantor di pusat kota. Kau tentu tahu semua ini
tidak akan terjadi jika kesalahan itu tidak terjadi. Penerapan
gambar perencanaan dengan kondisi nyata setelah
pembangunan sangat berbeda. Aku juga tidak habis pikir
mengapa kau seceroboh ini tidak meninjau proyek itu
dengan baik. Tapi semua itu sudah terjadi. Aku tidak akan
meminta ganti rugi padamu. Bagaimanapun, semua adalah
tanggung-jawabku sebagai pimpinan.

Tapi temanku, rekanan baruku ini ingin pekerja yang
berusia muda. Aku tak lagi jadi pemimpin utama ketika ia
masuk dengan modal besarnya. Jadi, kumohon terima saja
pemutusan kerja ini. (kembali menjadi Sudirham)

Pak Tua : Aku tidak mengerti apa yang ia katakan.
Penjelasannya omong kosong! Aku bahkan tidak pernah
melakukan kesalahan itu. Proyek itu sudah berjalan ketika ia
memintaku menggantikan mandor lain di sana. (tertawa
terbahak-bahak.)

Pemutusan kerja itu tidak hanya membuatku
kehilangan pekerjaan. Keputusan yang tidak adil itu
membuatku kehilangan segalanya! Segalanya! (berteriak histeris)

Pak Tua : Pratikno harus membayar semua
kesusahan yang menimpaku. Tanpa pikir panjang aku
menemui Mbah Djarot, dukun yang ahli dalam santet
menyantet. Aku meminta Mbah Djarot untuk membantuku
menghabisi Pratikno melalui jalur santet. Dengan sisa uang

104 | Awas Ada Monolog

yang kupunya saat itu, aku berhasil mendapatkan sebungkus
kain kafan yang berisi mantra dari Mbah Djarot.

Mantra yang akan menghabisi nyawanya tanpa aku
harus repot-repot mencekiknya.

(Tersenyum menyeringai. Tiba-tiba terdengar suara petir.
Sudirham terperanjat kaget. Hujan turun. Beberapa saat kemudian ia
bergerak mencari ember dan menempatkannya di bawah tetesan
hujan.)

Pak Tua : Hujan datang. Hujan datang. Di mana
emberku. Air. Aku punya stok air. Minum. Aku butuh
minum. Aku harus minum.

(Bergerak-gerak memposisikan diri di bawah tetesan hujan.
Menari kegirangan.)

Pak Tua : Seharusnya Tuhan lebih sering
menurunkan hujan untukku. Ah, segar! Segar! Segar sekali.
Tunggu dulu. Hari apa ini? Kenapa hujan tiba-tiba turun?
Kalender! Mana kalenderku!

(Mencari-cari kalender. Membongkar-bongkar kardus.)
Pak Tua : Apa? Selasa Kliwon? (Ketakutan dan
bersembunyi di balik kardus.)
Setan itu pasti akan mendatangiku lagi hari ini! Pergi!
Pergi! (meracau ketakutan)
(Sudirham beralih menjadi Mbah Djarot. Membacakam
mantra-mantra yang digunakan untuk menyantet Pratikno. Setelah
memeragakannya. Ia perlahan kembali menjadi Sudirham).
Pak Tua : Benar saja, keesokan harinya aku mendapat
kabar Pratikno ditemukan mati di kamar mandi. Santet Mbah
Djarot benar-benar tidak ada tandingannya. Aku puas,
dendamku terbalas.

Awas Ada Monolog | 105

(tertawa puas, tapi tiba-tiba wajahnya kembali murung)
Pak Tua : Tapi semua itu ternyata tidak membuat
hidupku semakin tenang. Sutini, perempuan sundal itu pergi
membawa Nuning, anakku, yang saat itu berusia enam belas
tahun. Mereka pergi entah ke mana.
“Nuning, kau harus ikut Ibu jika kau masih ingin
meneruskan sekolahmu. Tidak ada lagi masa depan di rumah
ini. Bapakmu telah dibutakan oleh dendamnya. Ia tidak lagi
menganggap kita penting dalam hidupnya. Hanya dendam
yang tak berkesudahan yang ada di darahnya! Hanya dendam
yang ada di otaknya!”
Pergilah! Sejauh apa pun kaubawa dia pergi. Darahku
tetap mengalir dalam tubuhnya.
Ia membuatku gelap mata! Aku kembali pada Mbah
Djarot, dengan membawa uang hasil menggadaikan sertifikat
rumah, kuminta Mbah Djarot untuk membuat hidup Sutini
susah–membuatnya kesakitan tapi tidak dengan mudah mati.
Setelah sebulan lebih tinggal sendiri, kuputuskan
untuk menjual rumah yang pernah kutempati bersama anak
dan isteri ku.
Semua isi rumah kujual, sebagian kenangan tentang
keluarga kubakar. Kemudian aku pergi membawa sisa uang
yang kupunya. Hingga sampailah aku di ruang sempit,
kumuh dan reot ini.
Tak ada lagi yang peduli padaku. Aku pun tak lagi
peduli seperti apa mereka sekarang. Aku tidak peduli. (terisak
dan satu tangannya memegang dada)
Pak Tua : Mengingat mereka selalu membuat hatiku
terasa perih

106 | Awas Ada Monolog

(matanya mengarah ke tumpukan kardus, perlahan
melangkah mendekati kardus-kardus. Membuka kardus paling atas,
diambilnya satu baju perempuan)

Pak Tua : Ini baju yang sering dipakai isteriku, aku tak
punya nyali untuk menahannya pergi, aku tak punya
keberanian untuk memintanya tetap tinggal. Aku
sesungguhnya juga tak pernah ingin menyakitinya. Tapi aku
tak pernah mengira ia tega meninggalkanku saat aku jatuh
miskin. Aku bahkan tak tahu sakit apa yang ia derita karena
santet yang dikirim Mbah Djarot

(diambilnya baju-baju lain)
Pak Tua : ini baju sekolah Nuning. Anakku...
Maafkan Bapak, Nak.(dipeluknya baju itu) .
Pak Tua : Siang ini, di perempatan lampu merah
tempatku duduk mengemis dan mengerang kesakitan jendela
mobil hitam mewah terbuka. Aku sudah bersiap akan
mrnangkap berapa receh yang akan terlempar dari jendela
mobil itu.
Mataku menyipit–menangkap wajah yang tak asing.
Kemudian suara keras terdengar di telingaku. "Bapak!" suara
yang juga tak asing itu menamparku. Sontak aku berdiri,
suara itu terdengar lagi di telingaku "Bapak, ini aku Nuning.
Bapak...."
Kaki ku gemetar. Bergegas aku membalikan badan,
berusaha pergi dari tempatku melihat anak yang sungguh ku
rindukan. Baru beberapa langkah kaki ku menjauh darinya,
suaranya masuk lagi di telingaku.
"Ibu sudah meninggal, Pak!"

Awas Ada Monolog | 107

Langkahku terhenti, sekujur tubuhku gemetar, aku
semakin tak sanggup lagi menatap matanya. Langkahku
sempoyongan.

Kudengar suaranya semakin dekat, “Pak... Bapak...”
Aku kemudian berlari secepat mungkin, masih
kudengar suaranya memanggil. Tapi aku tak sanggup
melihatnya. Begitu besar kesalahanku padanya, juga pada
ibunya.
(Menyusun kardus-kardus yang akan membentuk sketsa
wajah istrinya)
Sutini, aku sesungguhnya begitu mencintaimu. Tapi
waktu itu aku tidak sanggup melihatmu bahagia tanpaku.
Aku menyakitimu. Bahkan saat kaupergi, aku sama sekali tak
pernah mencoba mencarimu, tak pernah sekalipun aku
memintamu pulang.
Sutini, jawab aku! Apakah kematianmu karena santet
yang kukirim? Sutini, jawablah aku! Jawab aku, Sutini!
Lampu padam

§ SELESAI §

108 | Awas Ada Monolog

Orang-Orang
Bak Sampah

Ninik Zakiyah ®

(Lampu menyala)
(sebuah bak sampah di depan rumah Pak Culun juragan
Playstation, samping kiri rumah Pak Karto)

Pak Santoso : (seperti merapal, bahkan hapal baunya)
Botol kopi
Daging ayam, daging lele....
Tulang ikan, jeroan, usus...
Sayur, bosok,

Awas Ada Monolog | 109

(begitu berulang-ulang di ucapkan)
(Mengelilingi panggung, berputar sambil memainkan holahop)

Tiga ratus ribu sudah aku urus. (sambil membusungkan
perut, nada sombong dan bangga)

Paving melampui batas, bak sampah melenceng,
kenyang semuanya aku kenyang. (sambil mengusap perut, nada
sombong dan bangga)

(suara tossa angkutan sampah)

Tukang sampah : Sudah dua kali nunggak pak, jadi
total enam ribu sama hari ini.

Pak Karto: (tercengang) kali ke berapa sudah kita tidak
bertemu, Pak. Bukankah kita sepakat hanya di hari kamis?

Tukang Sampah : Kata Pak Santoso (sambil menunjuk
ke sebelah kanan, warung makan) itu semua sampah Pak Karto.

Pak Karto : Saya tidak pernah buang sampah di sana,
Pak.

Kalau begitu mari duduk dulu pak, saya buatkan kopi.

Bak sampah seberang sana memang saya yang
bangun, Pak. Tapi sampah saya di samping rumah. Lihat kan,
plastik besar warna hitam pemberian Bapak?

Tulang ayam, tulang ikan, jeroan, bapak bisa lihat
siapa dalang di ballik muntahnya Bapak? (sambil menunjuk
warung Pak Santoso)

110 | Awas Ada Monolog

Apa bapak tidak ingat perihal penyebab muntahnya
Bapak tiap kali mengangkut? Apakah muntahan bapak juga
sama hoaksnya kabar dari warung samping?

Bapak bisa lihat, saya punya apa di rumah? hanya
tumpukan kertas (meradang)

Tukang Sampah : Tapi ada cup coffe pak?
Pak Karto : Ada kedai kopi baru pak. Barusan saya
kroscek, dia selalu nitip uang sampahnya lima ribu per
minggu jika di rasa sampahnya banyak, kadang juga empat
ribu kepada Pak Santoso.
Tukang Sampah : Per minggu hanya empat ribu pak,
seminggu saya angkut dua kali
Pak Karto : Supaya bapak semangat, kata mas kopi
begitu, Pak.
Kalau mau bertemu dengan Mas Kopi datang saja ke
kedainya siang hari, Pak. Begitu pesannya.
Tukang Sampah : Tapi saya tidak pernah
menerimanya pak.
Pak Karto : Kalau begitu tanyakan ke pada nurani
Pak Santoso.

(tukang sampah keluar dari rumah Pak Karto)

(sambil memberikan uang dua ribu ke tukang sampah, Pak
Santoso melirik tajam ke rumah Pak Karto)

Pak Santoso : Pak Karto tidak mau bayar, Pak? Saya
sudah sering mengalah (jawabnya agak pilu) Itu semua sampah
mereka (sambil menuding rumah Pak Karto)

Awas Ada Monolog | 111

(Pak Santoso duduk di atas bak sampah)
Pak Santoso : (seperti merapal)
Botol kopi
Daging ayam, daging lele....
Tulang ikan, jeroan, usus...
Sayur, bosok
Tukang sampah : Apa faedahnya memanipulasi uang
sampah, kabar bohong, dan cacian. Kalau saja aku bukan
tukang sampah.
Maaf aku bukan bagian dari masa depan yang barusan
kalian bicarakan, kata sampah.
Pak Santoso hilang di telan sampah.

§ SELESAI §

112 | Awas Ada Monolog

BIOGRAFI PENULIS

® I GUSTI DWI PUTRA.
Lahir di kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal di

bulan Agustus tahun 1997, kini ia berbangku kuliah di
UIN Walisongo Semarang. Aktif berorganisasi, ia belajar
berkarya di Sanggar Teater Asa Semarang dan sempat ikut
pentas dalam beberapa garapan teater. Baginya, teater itu
merupakan salah satu wadah untuk bercermin.

® N. ARIEF BROJOL PALUPI
Pemuda asal Welahan yang mengadu nasib di Kota

Demak sebagai Designer salah satu percetakan ternama di
Demak Kota. Berkecimpung di dunia kesenian sejak di
bangku SMP 2 Welahan, saat mengikuti ekstrakurikuler
Teater Meteor dan melanjutkannya di Teater Bosas
SMKN 3 Jepara.

Salah satu pencapaian istimewa saat didaulat sebagai
Juara 1 Lomba Puisi tingkat Nasional diJakarta Timur
tahun 2014 silam serta mampu tampil apik dalam film
Bejo yang memerankan Tokoh Autis. Sekarang, selain
menjadi designer, ia aktif sebagai asisten pelatih di teater
Bosas sekaligus Dalang Wayang rotan bersama
Komunitas Pojok Kidul dan Rumah Aksara Wilis
Bersaudara. Motto hidup, Hidup terus berjalan,
berjalanlah selama hidup.

Awas Ada Monolog | 113

® WIKHA SETIAWAN
Bukanlah seorang penulis yang produktif. Ia mulai

mengenal dunia tulis menulis sejak mampir sinau di
Pondok Pesantren Salafiyah-Syafiiyah Situbondo Jawa
Timur 1998-2004 silam. Ketertarikannya di dunia sastra
kemudian bermetamorfosa ke ruang pertunjukan dengan
bergabung di Teater Asa Semarang.

Namun, saat itu ia masih beberapa kali menulis
cerpen, puisi, dan naskah drama. Bahkan beberapa karya
puisinya pernah nempel di halaman buku antologi. Seperti
“Berternak Penyair”, “Memo Anti Teroris”, “Kursi Yang
Malas Menunggu”, “Wasiat Debu”, “Membaca Jepara 3”
selain itu dua naskah drama karyanya “Cinta dan Episode
yang Terpenggal”, serta “Para Jahanam”.

Di usianya yang memasuki 33 tahun sekarang ini, pria
yang bekerja sebagai kontributor detikcom ini sedang asik
bermain dengan anak-anak lewat rumah baca yang
didirikannya di Desa Telukwetan, Kecamatan Welahan,
Kabupaten Jepara.

® ARIF KHILWA
Lahir di Pati 20 agustus 1981, menulis Lakon drama

dan puisi di sela-sela kesibukannya mengajar sebagai guru
di MA. Salafiyah Kajen Pati. semasa kuliah aktif di UKM
Sanggar ASMA (Aspirasi Seni Mahasiswa, 1999) di Univ.
Widya Gama Malang.

Setelah memutuskan pulang di Pati (2006) aktif
dibeberapa komunitas anatara lain: Linkar Study Warung
Kopi, Sanggar Sang, Melatih Teater Aliyah Salafiyah

114 | Awas Ada Monolog

(TEASA, 2009), mendirikan Teater Lintang Utara (2011),
salah satu pendiri Gandrung Sastra (2012), aktif di Teater
Minatani Pati (2013-2017).

Karya puisi dimuat media massa ( suara Merdeka, 26
Juni 2016 dan 31 Juli 2016) dan Antologi bersama dalam
The Painting Of Memories (Gandrung Sastra, 2014), Surau
Kampug Gelatik (Sibuku Media, 2015), Puisi Menolak Korupsi
4 (Forum Sastra Surakarta, 2015), Tifa Nusantara II
(Pusaka Senja, 2015), Memo Untuk Wakil Rakyat (Forum
Sastra Surakarta, 2015), Sapa Sira Sapa Ingsun (Gandrung
Sastra, 2015), Bunga Putra Bangsa (Nittramaya, 2016),
Sakarepmu (Sibuku Media, 2016), Memo Anti Terorisme
(Forum Sastra Surakarta, 2016), Ayo Goyang ( Yabawande,
2016), Memo Anti Kekerasan Terhadap Anak ( Forum Sastra
Surakarta, 2016), Santri Tolak Korupsi (PADI Production,
2016), Suara Yang Menyala (Buku Katta Taman Budaya
Jawa Tengah, 2017). Naskah drama dengan judul Makelar
dalam buku Kumpulan drama Dari Cempurung Ke Sunan
Panggung (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018), Naskah
drama: Makelar (2009), Tiban(2016), Tuyul (2016). Alamat
email: [email protected], Facebook: Arif khilwa

Awas Ada Monolog | 115

® FAIZ R
Adalah seorang jurnalis Radio Swara Kendal. Tiap

hari, ia berburu berita di Kabupaten Kendal. Tidak
banyak bicara, namun tak jarang ia menghiasi banyolan
saat berkumpul dengan sesaama jurnalis.

Ia sebenarnya kelahiran Brebes, namun tidak tahu
persisnya kapan. Sebab, baginya sebuah kelahiran hanya
perlu diperingati dengan laku hidup sehari-hari. Selain
menjadi jurnalis, ia juga hobi menonton seni pertunjukan.

® KARTIKA CATUR PELITA
Lahir tanggal 11 Januari 1971 d/a Perum

Kuwasharjo, Blok A No. 4 Jl. Padi 1, Rt 16 Rw 05
Kuwasen, Jepara, Jawa Tengah, menulis prosa dan puisi.
Sudah menulis 700 cerpen, dan ratusan tulisan dimuat di
puluhan media cetak dan daring.

Diantaranya : Suara Pembaruan, Suara Merdeka,
Bangka Pos, Metro Riau, Kendari Pos, Annida, Haluan
Padang, Analisa Medan, Banjarmasin Pos, Pikiran Rakyat,
Minggu pagi, Kedaulatan Rakyat, Solopos,
Soearamoeria.com. Okezone.com, Republika, Media
Indonesia. Buku fiksi: novel Perjaka, kumcer Balada
Orang-Orang Tercinta. Bermukim di Jepara, dan bergiat
pada komunitas Akademi Menulis Jepara(AMJ). Novel
terbarunya yang terbit : Kentut Presiden

116 | Awas Ada Monolog

® JUHENDRI CHANIAGO
lahir di Medan, Sumatera Utara, pada 1973. Sempat

kuliah Jurnalistik di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi
Pembangunan (STIKP) Medan. Selain beraktivitas sebagai
jurnalis freelance di Bitranet (media alternatif Yayasan Bitra
Indonesia), saat ini juga bergiat di Komunitas Sastra
Indonesia (KSI) Medan dan Sanggar Bale Marojahan.

Sebagai pegiat literasi, suka membaca puisi di
berbagai kegiatan seni budaya, baik di lintas komunitas
seni maupun di panggung-panggung rakyat. Pada 2018,
ikut sebagai peserta (jalur kurasi karya) Muktamar Sastra
2018 di Sukorejo, Jawa Timur.

Suka menulis puisi (meski lebih senang dibacakan
daripada diterbitkan), menulis esai, artikel, sesekali pernah
pula menggambar kartun dan karikatur. Beberapa karya
pernah dimuat di Analisa, Waspada, Sinar Harapan, Batak
Pos, Mimbar Umum, dan Posmetro Medan. Beberapa puisi
masuk dalam antologi puisi, seperti antologi “Gelombang
Puisi Maritim” (Dewan Kesenian Banten, 2016), antologi
“Monolog Medan” (AGBSI, 2018), dan antologi “Jazirah:
Jejak Hang Tuah dalam Puisi” (Yayasan Jembia Emas dan
Dewan Kesenian Kepri, 2018)

Awas Ada Monolog | 117

® AFIF KHOIRUDDIN
Lahir di Kudus, 16 Januari 1999, tempat tinggal di

Desa Gulang, Rt.08/Rw.04, Kecamatan Mejobo,
Kabupaten Kudus kode pos 59381, Nomor telepon
085.802.311.798.

Riwayat pendidikan : TK Pertiwi Gulang, SDN 02
Gulang, MI Qudsiyyah Kudus, MTs Qudsiyyah Kudus,
MA Qudsiyyah Kudus, Universitas Muria Kudus. Motto
hidunya “Belajar dari hidup”, Pekerjaan masih menjadi
Mahasiswa. Kutipan favorit “Sekali berarti, sudah itu
mati” – Chairil Anwar –

® AHMAD NUR MUZAYYIN
Lahir di Bondowoso, 08 Juli 1998, tempat tinggal di

Desa Klampokan, Kec. Klabang, Kab. Bondowoso,
Status sebagai Alumni Syalafiyah Syafi‟iyah Sukorejo
Situbondo nara hubung 082.141.606.182 (WA/Phone).
Media Sossial dan online akses sebagai berikut :
G-mail : [email protected]
Youtube : Chanel : Ahmad Nur Muzayyin
Instagram : ahmad_nur_muzayyin
Facebook : Ahmad Nur Muzayyin
Blogg : https://nurmuzayyin.blogspot.com/

Riwayat Kesenia : Juri lomba Musikalisasi Puisi
peringatan Hari Pahlawan dan Menyambut Hari Guru di
SMPN 4 Jember 2018, juri lomba membaca puisi setapal
kuda di TRANS STUDIO MINI Jember 2019, menulis
naskah drama daerah yang ber-judul “Ah....Bapak” dan
sekaligus sustradara ditampilkan pada MAPABA PMII

118 | Awas Ada Monolog

Rayon Syariah 2018. Menulis naskah teatrikal puisi

yang berjudul “Membumikan Pancasila” yang ditampilkan

pada acara seminar HTN (Hukum Tata Negara) IAIN

Jember. juara 2 Musikalisasi Puisi se-Kabupaten

Bondowoso sekaligus kolaborasi bersama KIAI

KANJENG diacara pengajian bareng CAK NUN Tahun

2015.

® ADAMIFA
Kini menulis sambil “momong” anak pertamanya

yang lucu-pintar-sholehah dan semoga cantik lahir
batinnya bernama Agni Assabriya, ibunya Agni bernama
Qoulul Latifah, cantik, pintar masak, pintar atur keuangan,
dan mengatur batin karena punya suami yang tega
menduakannya dengan sastra.

Diantara karyanya pernah dibukukan dalam
antologi cerpen oleh penerbit nasional, Camar Publishing,
Penerbit Arrahman, dan lainnya. Cerpennya pernah
dimuat di media massa. Purnasiaran dari Radio Idola
Jepara yang rebranding menjadi 100.9 FM Swara Jepara.
Menjadi penulis lagu dan penyanyi secara independent
maupun management di Edelweis Pagi. Semakin 2019 ini,
menekuni sinematografi di penulisan naskah,
penyutradaraan, hingga post production.

Awas Ada Monolog | 119

® EKO B SAPUTRO
Lahir di Jepara, pelaku seni teater dan menulis

beberapa naskah drama. Mengenal seni saat di SMK 1
Kasihan-Bantul (SMKI Yogyakarta) jurusan Seni Teater.
Menyelesaikan kuliah di UNY Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Pernah bekerja sebagai wartawan di media
surat kabar dan staff Taman Bacaan Natsuko Shioya di
Yogyakarta. Sempat berkomunitas di Sanggar Suto,
Komunitas Sarkem (Sanggar Kreatifitas Manusia),
Paguyuban Gojek Lesung, Forum Aku Anak Indonesia,
juga mendirikan Pondok Seni Peran.

Kini tinggal di Mantingan-Jepara dan beraktivitas
sebagai Guru Seni Lukis, Teater, Sastra, Pantomim dan
aktif sebagai salah satu Komite Teater di DKD
Kabupaten Jepara. Karya tulisnya cerpen dan puisi pernah
termuat di beberapa antologi yang dicetak independen.
Beberapa naskah drama dan ketoprak yang pernah di
tulisnya Bawang Merah- Bawang Putih (2003), Ande-Ande
Lumut(2005), Bhisma Mahawira(2007), Ontran-Ontran(2015),
Romantika Pulau Mandalika(2017), Joko Tambun(2018),
Rintik-Rintik Berdera (2018).

® SIWIGUSTIN
Lahir di Gunungkidul pada 1988. Perempuan dengan

dua anak yang mengisi waktu dengan belajar menulis dan
berteater. Aktif belajar seni peran di Teater Minatani Pati.
Beberapa naskah lakon anggitannya pernah dipentaskan
oleh beberapa kelompok teater. Email:
[email protected] IG: Siwigustin

120 | Awas Ada Monolog

® NINIK ZAKIYAH
Lahir di Demak, 03 Desember 1992, bertempat

tinggal di Ds. Bungo RT 02 RW 04 Kecamatan Wedung,
Kabupaten Demak, Nara hubung : 085.770.963.693 (WA)
Telpon 082243036988, Pekerjaan : Staff Administrasi di
KSPPS BMT NU Sejahtera KC. Jepara, Pengawas Pemilu
Desa Bungo, Pendidikan : S1 Hukum Pidana dan Politik
Islam UIN Walisongo Semarang, Pengalaman
Berkesenian: Teater Asa Semarang.

Pengalaman Menulis : ―Hazairin dan Penghapusan
Pidana Penjara Pendek‖, dalam Jurnal Al-Ahkam, Volume
26, Nomor 2, Oktober 2016, p-ISSN 0854-4603, e-ISSN
2502-3209, diterbitkan oleh: Konsorsium Sarjana Syari‟ah
Indonesia (KSSI) bekerja sama dengan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Walisongo Semarang.

Puisi “Tawanan Elit”, dalam Antologi Puisi Kritik
Sosial, “Kisi-Kisi Negeri Tanpa Telinga”, Teater Akar FKIP
Universitas Pancasakti Tegal, bekerjasama dengan Indiana
Books (Pustaka Senja Group), Yogyakarta, 2015, Edisi ke-
33. Cerpen “Kak, Ajari Aku Bernyanyi”, dalam “Tupai
Menabur Rindu”, Semarang:Liksa, 2015, Edisi XVI. Cerpen
“Udhet”, dalam “Sebatas Bambu Tua”, Semarang: Liksa,
2013, Edisi XIV

Awas Ada Monolog | 121

122 | Awas Ada Monolog


Click to View FlipBook Version