The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Kromo Aji, 2023-04-12 01:45:26

cerpen Gugus

cerpen Gugus

Keywords: cerpen

Akad Karya : Kromo Aji Bagian 1 Aku tidak begitu gembira setelah melihat pengumuman hasil rekrutmen manajer di perusahaan BUMN itu, dari empat posisi manajer yaitu : manajer devisi teknik, manajer devisi keuangan, manajer devisi umum dan manajer devisi marketing. Manajer devisi marketinglah yang paling aku sukai dan aku minati. Teman-temanmu juga menyarankan memilih bagian ini. Dari 36 perserta yang mengikuti seleksi aku berhasil lulus. Aku mengikuti tes semacam ini sudah 4 kali berturut-turut, karena ini adalah tahun keempatku seteleh lulus dari Politeknik kenamaan di kota Malang. Aku merasa yang paling berbeda dari pesertayang lain, karena dari uraian list yang aku baca. Aku peserta tes yang paling tua dan paling banyak mengikuti tes seleksi. Aku langsung menuju ke kantin persusahaan tersebut. Tidak begitu ramai kantin tersebut, hanya ada dua orang yang ada. Dari baju putih dan celena hitam yang mereka pakai jelas mereka juga merupakan peserta tes seleksi di perusahaan ini. Satu orang yang duduknya berada di pojok terlihat sibuk menyiapkan berkas. Aku memilih duduk di sampingnya. “ Pesan apa, Mas!”, terdengar suara penjaga kantin “ Kopi hitam bu !”, jawabku Aku mengeluarkan sebatang rokok, lalu aku langsung sulut dan ku hisab dalamdalam. “ Maaf Mas, ikut tes manajer ya tadi?”, tanyaku “ Iya Mas”, jawab pria berkaca mata itu “ Saya Ardi! “, aku mengenalkan diri “ Saya Andhika Mas!”, jawab ia seraya melepas jabatan tangan kami “ Lulus Mas? “, tanyaku sambil kembali menghisab rokokku “ Iya, Alhamdullih, Emas sendiri?”, “ Iyaahh! “ jawabku singkat “ Oh ya, tadi saya sempat membaca nama Fahmi Dwi Ardian?” “ Mas Andhika ikut berapa kali tes?” “ Baru satu kali”, “ ohhh....”, seruku, sambil mengupat dan menyumpah dalam hati. Bagus banget nasib lelaki kurus itu. kembalikan aku menghisab rokokku. Saya tahu bahwa di atas kasir kantin itu ada tulisan dilarang merokok, karena penjaga kantin itu diam saja, maka aku lanjutkan saja merokokku. “ Ayo Mas Ardi kita ke ruang pertemuan , ini sudah adah whatsapp untuk pengarahan dari pihak perusaan!”, ajak Andhika. Aku langsung berdiri dan mengikuti pria tersebut.


Bagian 2 Aku lihat jam tangan sport yang kupakai sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Sementara batinku masih digelayuti puncak kecemasan. Aku menggikuti seleksi manajer perusahaan BUMN ini sudah lulus dan berhasil. Aku ingat perkataan ayahku, bahwa kalau kamu ingin berhasil dalam berkarir dan berhasil secara ekonomi, maka kamu harus menikah dulu. Ibarat orang memikul, maka harus ada dua unsur, sehingga memikulnya akan berhasil. Ayahku memang sangat percaya dengan hal-hal, semacam itu. Buktinya setahun aku menikah akupun berhasil sesuai dengan apa yang aku inginkan,tetapi aku menganggap ini biasa-biasa saja, dan memberatkan langkah dan batinku. Karirku segera beruba dari sebelumnya yang hanya menjadi karyawan bagian produksi di perusahaan garmen. Pertarungan batinku berhenti saat terdengar handphonku berbunyi. Aku lihat isteriku menelpon. “ Assalamu’alaikum, haloo ma!”, sapaku “ Pa..bagaimana hasilnya?” “ Aku berhasil !” “ Alhamdulillah, wah berarti aku ditraktir dong!”, lanjut iteriku. “ Beres ...”, jawabku mengakhiri percakapan Isteriku adalah seorang PNS yang dinas di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten. Dia sendiri sudah memilki kedudukan yang bagus di tempat kerjanya. Sebagian besar kehidupan keluarga kecilku selama ini ditopang oleh isteriku. Aku sudah setahun menikah, tetapi belum dikaruniahi anak. Terbayang wajah jelas isteriku yang berwajah bulat.Terus terang pernikahanku bukan berdasar cinta. Aku menikah agar aku bisa segera memperoleh kedudukan yang mapan di perusahaan BUMN ini, seperti kata ayahku. Alasan yang kedua karena ekonomi isteriku sudah mapan, sehingga aku tidak perlu sengsara. Aku berharap masa depan anak-anakku nanti tidak akan sengsara seperti waktu masih kecil. Aku sendiri hadir dari keluarga papasan dengan 5 orang bersaudara. Semakin lama maka semakin kencang degup jantungku. Pikiranku semakin bertarung antara senang diterima sebagai karyawan BUMN sesuai yang aku citacitakan selama ini dan ikatan kuat ucapan batinku. Aku terus berpikir untuk mencari solusi. “Ya Tuhan mudah-mudahan ada solusi terbaik, untuk pertentangan batinku ini”, ucapan batinku. Paling tidak ada alasan yang kuat dan logis yang harus saya sampaikan pada isteriku ketika sampai di rumah nanti. Bagian 3 Sekitar pukul 18.45 menit aku menuju rumah sahabatku, Hariyanto namanya, setelah aku menelpon isteriku dengan alasan ada pembekalan dari perusahaan hingg sekitar pukul 22.00 WIB. Hariyanto sahabat ketika kami masih menjadi mahasaiswa. Sampai saat ini kami masih sangat dekat, bahkan sesama isteri kami juga saling kenal dekat. Yanto panggilan akrabnya tinggal lain kota kalau aku naik motor seperti saat ini biasanya butuh waktu 45-60 menit. Yanto sudah dikarunia 1 anak laki-laki yang sudah sekolah kelas 1 SD, karena dia lebih dahulu menikah.


Aku langsung dipersilahkan masuk ke rumah Yanto. Rumah tipe 45 perumahan Bumi Persada II, sangat banyak unit rumahnya. Rumah Yanto berda di blok M 17, rumahnya sangat rindang, karena ditanami beraneka tanaman. “ Wauuu, keren...ayo duduk dimanapun tersera!”, kata Yanto di depan pintu. Aku langsung masuk dan menuju lantai dua, karena seperti biasanya kami sering ngobrol di tempat tersebut sambil merokok, maklum anak Yanto tidak suka bau rokok. “ Kok sepi Yan?”, kataku seraya merebahkan badan “ Iya, isteri dan anakku ke rumah budenya, termasuk pembantu, buat kopi ya?”, sahut Yanto “ Ok boleh, ingat ya agak pahit!”, “ Beres brow!”, Aku merebahkan tubuh yang terasa capek sekali, sambil berpikir memilih kalimat yang enak memulai menceritakan masalah kepada Hariyanto. Yanto datang sambil membawa dua cangkir kopi yang masih panas. Diapun mempersilahkan minum. Kami mulai cerita ngalor-ngidul. Membahas masalah, keluarga, teman, bercerita masa-masa kuliah dan tak lupa tentang grup whatsapp. Obrolan kita mulai masuk pada masalah seius. Akupun menceritakan, bahwa aku hari ini diterima sebagai manajer di perusahaan BUMN. Pandangan mata Hariyanto melai menatap tajam padaku, ketika aku bercerita masalahku yang cukup menguras pikiranku seharian ini. Aku minta saran dan solusi padanya, aku tahu dia juga berpikir keras untuk memberikan jawaban dan solusi padaku. Hal tersebut bisa aku lihat Hariyanto berkali-kali menarik napas panjang. Kami diam beberapa saat. Ruang atas tersebut sudah penuh dengan kepulan asap rokok kami berdua. Tidak terasa dalam waktu singkat aku sudah menghabiskan dua batang rokok. “ Gila , kamu di!”, Kata Hariyanto sambil menggaruk-garuk kealanya. “ Aku sendiri, waktu itu tidak berpikir panjang Yan!”, jawabku “ Aduuhh bagaimana, ini!”, Kata yang menepuk-nepuk keningnya. Kembali kami terdiam beberapa saat sehingga hening ruang tersebut. Kami terbawa dalam suasana tegang dan kaku. Hariyanto kembali manarik napas panjang, demikian juga aku. “ Ardi, begini saranku kamu tanya saja pada ahlinya!”, suara Hariyanto memecahkan keheningan “ Maksudmu?”. Tanyaku, walaupun aku sudah tahu arah pembicaraan Hariyanto “ Ke Ustad atau Kiyai, karena masalahmu ini masuk ke ranah agama!”, “ Kamu punya kelanan, ustad?”, “ Tidak, kamu kan punya tetangga ustad!” “ Malu dong, kalau masalahku diketahui, tetanggaku!”, “ terus gimana lagi Di”, tanya Hariyanto agak kesal “ Makanya aku ke sini cari solusi Yan!”, “ Ok besok malam sore kita ke ustad kenalanku, tetapi rumahnya agak jauh!”, kata Hariyanto Kami mengakhiri pembicaraan, karena aku melihat jam dinding di ruang tersebut sudah menunjukan pukul 21.30 WIB. Aku pulang dengan memacu kendaraanku agak kencang. Malam semacam ini kendaraan mulai terlihat lengang


Bagian 4 Seperti biasanya aku langsung membuka pintu pagar dan masuk rumah, karena aku membawa kunci sendiri. Isteri terlihat masih belum tidur, itu terlihat dari lampu kamar masih menyala. “ Selamat sayang!”, kata isteriku sambil menghapiri aku “ Kok belum tidur?”, balasku “ Sengaja aku menunggu dsuamiku!” “ Oh..ya...”, Segera aku menuju kamar mandi untuk cuci kaki dan muka. Aku menuju kulkas mengambil air dingin, untuk melepas dahaga. “ Ma..coba ke mari, aku pingin ngomong!”, kataku “ Ngomong aja, biasanya kan langsung ngomong!”, “ Ini serius ma!”, “ Ok!”, seraya isteri menuju ruang tengah Aku berusaha menjelaskan dengan kalimat yang bijak, kepada isteriku. Aku mencari kata dan memilih kalimat yang tidak menyinggung perasaan isteriku. Aku menarik napas panjang. Isteriku mulai bingung dan mengerutkan wajah melihattingkahku. “ Ada apa, sih pa? “, tanya isteriku “ Ma maaf, besok aku tidak ikut pelantikan!”, kataku hati-hati “ Maksud Papa?”, Tanya isteriku penataran Isteriku mengatakan bukankah menjadi manajer di BUMN menjadi impianku selama ini. Terlihat alur wajah isteriku mulai memerah. Aku mulai menjelaskan alasanku. Dengan penuh kehatian-hatian aku berusaha tidak menyinggung perasaan isteriku dengan penjelaskanku. Aku mengatakan hal yang sebenarnya mengenai hubungan dengan isteriku. Awal aku harus menikahi isteriku. Sampai aku berhasil lulus menjadi tes seleksi manajer di BUMN. Isteriku hanya terdiam, dan mulai menagis. Aku mendekati isteriku. Aku berusaha meyakinkan posisiku sekarang pada isteriku. Isteriku mengambil handphon, dia menelpon ayahnya. Isteriku minta pertimbangan pada ayahnya mengenai apa yang barusan aku ceritakan tadi. Kemudian handphon itu diberikan ke Aku. “ Assalamu’alaikum ayah!”, kataku agak gemetar “ walaikum salam, Ardi benar apa yang diceritakan isterimu?”, tanya Ayah penasaran “ Iya Ayah!”, jawabku “ Sekarang tergantung niatmu, lebih meyakinkan tanyakan ustad!”, kata ayah langsung menutup pembicaraan. Isteriku langsung menuju kamar, sambil tetap menangis, tetapi sekarang tangisnya mulai redah. Hatiku terus bertarung antara melawan cita-citaku selama ini dengan mencintai isteriku. Aku duduk bersimpuh di depan isteriku. Sementara isteriku duduk di tepi spring bed berseprei warna jingga. Aku tak kuasa menatap lembut mata isteriku. Sekarang ganti aku yang mulai menitikan air mata.


“ Ma ternyata aku sekarang benar-benar mencintaimu!”, kataku mengibah “ Aku tahu itu Pa!”, jawab isteriku Aku mengulangi rangkaian kalimat yang sama kepada isteriku, bahwa aku tidak akan mengikuti acara besok pagi di BUMN yang telah menerimaku. Aku dulu menikah dengan isteriku lantaran aku ingin mempunyai pasangan hidup seprti nasihat ayahku. Dengan memiliki pasangan hidup inilah aku akan sukses. Ibarat orang memikul tidak hanya sebelah, tetapi penuh keseimbangan. Oleh karena itu dulu aku berniat jika diterima dan berhasil meraih cita-citaku aku akan menceraikan isteri. Sekarang cita-caita tercapai takut hal ini menjadi talak. “ Sudah Pa..besok ikuti acara di BUMN itu, untuk masalah niatmu dulu ketika akan menikahi aku, kita tanyakan saja pada yang lebi mengerti, yaitu ustad!” kata isteri pelan “ Iya, Ma maafi aku ya!”, Tidak terasa jam dinding di kamarku sudah menunjukan pukul 1. 25 Dini ahari. Isteri tidak langsung tidur, tetapi menyiapkan pakain dan kebutuhan untuk acara besok di perusahaan BUMN. Tamat


ANIN...DIA Bagian 1 Seperti biasanya sore sekitar pukul 17.15 sampai menjelang azan isya’ jalan Darmo selalu macet, hal ini disebabkan karena mayoritas pegawai atau karyawan kantoran dan beberapa perusahaan pulang kerja. Setiap pulang kerja aku selalu lewat tol dari gerbang Tol Darmo Satelit menuju Bangil, tetapi sore ini aku lewat jalan bawa karena menurut informasi dari radio yang selalu memantau perkembangan jalan raya, ada kecelakaan yang mengakibatkan jalur tol Surabaya – Bangil macet total. Kecelakaan tersebut adalah ada truk gandeng bermuatan tepung terguling menutupi seluruh badan jalan, di arah menjelang gerbang tol Waru, sehingga seluruh kendaraan yang menuju arah Bangil, Malang dan Banyuwangi diarahkan ke luar dari tol Darmo Satelit. Seluruh sopir mobil di depanku hampir semua turun dan mematikan mesinnya, akupun turun dari mobil Phanter LS Turbo warna silver buatan tahun 2003 itu. Aku turun dan mencari bateri untuk camera DSLR-ku yang mulai soak. Kebetulan di kiri jalan tempat aku berhenti ada toko kamera dan perlengkapannya lumayan bersar dan komplit. Aku memilih dan menayankan harga baterai tersebut, belum sempat aku memutuskan untuk membeli betapa terkejutnya aku “ Anindia...!!”, kata ku spontan segera perempuan itu menoleh dan menjawab, “ Iya..benar, kamu kok kenal aku?”, jawab wanita itu “ Ayo coba ingat-ingat aku, masak lupa?” “ Akbar ya..Kakak kelasku SMP dulu?, kata Anindia setengah berteriak, sehingga para pembeli nlain, termasuk karyawabn di toko itu menoleh kea rah kami. “ Kau dari mana, bagaimana kabarnya?, tanya Anindiya “ Aku dari Darmo, aku kerja di perkantoran daerah tersebut!”, jawabku “ Wauuu sudah 28 tahun kita tidak bertemu, kau tampak berwibawa banget!” kata Anindia nerocos begitu saja. Tanganku ditarik diajak masuk ke dalam toko. Rupanya toko besar ini milik Anindia.


Aku diperkenalkan pada suaminya, yang kebetulan sedang duduk di tempat kasir. Kembali aku terkejut bak disambar petir. “ Itu Winaryo Tulus?”, kataku dalam hati Winaryo Tulus adalah sahabat SMP ku, teman paling akrabku, dia sekitar kelas 9 ikut ayahnya transmigrasi ke Lampung. “ Haaii...bengong, ini suamiku!”, kata Anindia membuyarkan lamunanku. “ Hai saya Faiz suami Anindia!”, kata lelaki itu yang tak lainadalah suami Anindia. “ Gila mirip banget dengan Winaryo Tulus!”, kata ku dalam hati Akupun bergegas pamit, setelah mengobrol hampir 25 menit, dan memilih baterai yang ku maksud, malah aku dapat baterai gratis. Sementara beberapa mobil mulai bergerak pelan. akupun men-stater mobil dan perlahan melaju. Aku gugup bercampur emosi, cemburu melihat Anindia, sehingga ketika dia meminta nomor HP-ku aku tidak begitu menghiraukan. Dalam mobil aku mendengarkan lagu Always dari Bon Jovi kegemaranku, sengaja musik tersebut aku keraskan. Aku kembali membayangkan wajah Anindia. dengan senyum dan logat cara bicaranya yang tidak berubah sejak SMP dulu. Senyum dan tawanya renya, dia tipe wanita pendiam tapi cukup ramah, dan mudah bergaul pada siapa saja. “ Kenapa Suaminya,mirip banget sama Tulus ya?”, kata-kata itu sudah berpuluh-puluh kali melintas dalam benak dan pikiranku. Kenapa dia memilih suami tidak mirip aku. Gila banget, sialan. Bukankah ketika SMP dia naksir aku, bukan naksir Tulus Winaryo. Pikiran jadi melantur ke mana-mana. Kenapa aku harus ketemu Anindia tadi, kenapa harus macet jalanan tadi, kenapa aku beli baterai. Pikiranku semakin kacau dan kalut, aku berusaha memikirkan hal lain, tetapi selalu saja wajah Anindia yang kembali muncul dan terus-menerus muncul. Ayo ke luar engkau dari lamunanku, jangan datang lagi menggangguku ku. Tak terasa sudah dua jam perjalanan, dan kini aku sudah memasuki pintu ke luar Tol Sidowayah Bangil. Jarak rumah ku dengan jalan tol, memang tidak begitu jauh, hanya sekitar 10 menit. Aku memasuki kompleks perumahan, klakson mobil ku bunyikan. Terliah Mbak Minah muncul dan membuka pagar rumah. Aku masuk rumah Pukul 21.45 WIB. Anakku yang kecil sudah tidur dengan boneka kesayangannya. Sementara isteri dan anakku yang besar sedang sholat isya’ berjamaah. Biasa habis belajar anakku selalu sholat berjamaah bersama mamanya. Akupun juga bergegas ambil air wudlu dan sholat isya’. “ Sudah makan Mas?”, tanya Hesti isteriku “ Sudah tadi di jalan!”, jawabku berbohong, karena aku tidak merasa lapar kali ini. “ Kalau begitu, cepat istirahat, jangan buka laptop lagi!”, kata isteriku seraya masuk kamar.


Bagian 2 Aku justru menghidupkan laptopku dan segera menuju media sosial. Aku membuka facebook dan segera mencari nama Anindia. Lebih dari 25 nama tersebut muncul mengurut ke bawah. Tapi nama Anindia Mustika Rini tidak ada. Satu-persatu ku buka nama tersebut, dan kubaca biodata serta foto status yang ada, tetapi semua tidak kutemukan. Sudah pukul 01. 25 WIB, tapi facebook Anindia belum aku temukan. Sekarang aku coba lewat nama Faiz suaminya. Hal yang sama terjadi. Deretan nama Faiz tidak ada yang menjadi nama Facebook Ainindia. “ Apakah dia tidak mempunyai facebook ,masak zaman gini tidak memiliki akun facebook !” kataku dalam hati. Aku hampir kehilangan cara mencarinya. Aku coba mengingat-ingat sebutan dia ketika SMP. “ Ya aku ingat dia dulu dipanggil juga dengan Gita!”, kataku sedikit girang. Anindia di panggil Gita karena suka bernyanyi. Kembali aku mencari di akun facebook nama Gita Mustikarini. Dan hasilnya benar bahwa dia menggunakan nama itu. Aku lihat foto profil yang dipasang adalah gambar Anindia bersama suami dan dua anak lelakinya. Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 02.15 WIB, tetapi aku belum mengantuk dan aku berusaha mencari terus kegiatan Anindia lewat akun facebook-nya. Beberapa foto aku lihat, rata-rata foto yang Dia pasang adalah moment bersama keluarganya. Ada yang foto ulang tahun anaknya, foto di tempat lesehan, di tempat wisata dan lain-lain. Anin dia sekarang berusia 45 tahun, tetapi dia tetap cantik sepertri dulu. Aku ingat betul bahwa tanggal lahir dia adalah 27 Nopember 1979. Aku mematikan laptopku, walaupun mataku belum bisa terpejam. Aku besok akan membeli nomor handphone, untuk membuat akun dan profil facebook dan berkenalan dengan Gita Anindia Mustika Rini.


Bagian 3 Agak telat aku bangun, kedua anakku sudah berangkat sekolah bersama jemputannya. Mobil kejalankan agak kencang, kebetulan jalan tol yang selalu kulewati ini agak lengan. Mobil kuparkirkan dan langsung menuju meja kerjaku. terlihat di meja kerjaku sudah ada beberapa agenda yang disusun oleh Rini sekretarisku. “ Rin tolong untuk metting dan ketemu klien nanti kamu gantikan dulu!”, kataku “ Kenapa Pak?”, balas Rini bertanya “ Aku harus ke dokter mata, karena mata ini ganjal banget!”, jawabku berbohong. “ Baik, Pak!”, Aku segera membuka laptopku, tetapi bukan mengerjakan pekerjaan kantorku melainkan membuat akun baru. Akun dan facebook baru sudah kubuat dan aku segera meminta kenalan dan menjadi teman di facebook Anindia. Selain facebook aku memiliki nomor HP Anindia yang tentu saja di dalamnya ada whats App. Aku mengerjakan beberapa pekerjaan kantor yang tidak membutuhkan pikiran yang berat, sambil menunggu permintaan pertemananku facebook ku diterima oleh Anindia. Bener memang setelah aku tungguh sekitar 4 jam dia menerima pertemananku. Dalam facebook tersebut percakapanku lemayan hangat, lewat obrolan pribadi. Aku pura-pura menggukan nama Surya. “ Ani aku Surya temanmu dulu”, “ Macak chiii” Jawab Anin doi facebook “ Iya, tmn SMP dulu, dulu di SMP Nasionalkan?” “ Iya, ft profil yg asli dooonggg jng ft anaknya!” “ Beres dulu prasaan namax gak pkai Gita ?” “ iya itu pnggilan sayng tmnq, shg ku pakai smpai skrg!” “ wow keren, itu panggilan dari pcarmu dulukan?” “ iiihhh tdk deh, memang aku sngat.....pdnya, dia pun kyaknya gitu, tp tdk trsmpaikan!” “ smpai skr tdk ketmu dia ya, hihihih...kaciyan!” Aku pura-pura tertawa padahal dalam hatiku sebal dan kecewa banget. Aku bisa menebak bahwa laki-laki yang dimaksud Anindia adalah Winaryo Tulus. “ iya ..orgnya sejak kelas 3 SMP dl kan transmigrasi, ke luar pulau!”


Aku mengakhiri obrolan kami, dengan alasan sibuk dan nanti kita sambung lagi. Betul dugaanku Anindia ternya lebih menyukai Winaryo. Apa alasan Anindia padahal aku lebih pandai, lebih kaya dan lebih segala-galanya dari Winaryo. Bagian 4 Aku teringat saat itu aku kelas 2 SMP Nasional. Aku sebagai ketua OSIS setelah memimpin rapat untuk kegiatan HUT sekolah yang dibarengkan dengan HUT RI. Sebenarnya sekolahku berdiri pada bulan Juli, tepat pada tahun ajaran baru waktu itu. Guna menghemat anggaran dan tidak menyitah pelajaran setiap tahun selalu dibarengkan dengan HUT RI atau hari kemerdekaan. Tulus sebagai seksi seni mengusulkan adanya pentas seni sebagai penutupan kegiatan. Akupun mengiyakan usulan itu termasuk beberapa seksi dan pengurus yang lain. Sementara Anindia sebagai seksi penggalangan dana. Aku sengaja Anindia selalu aku libatkan dengan urusanku dalam kegiatan OSIS. Hal ini bertujuan, agar aku selalu deklat dengan dia. Sering aku dengar lewat sahabat Anindia yaitu Lilik Handayani, bahwa Akbar kamu dapat salam dari Anindia. Selain sering kirim salam lewat sahabatnya tersebut Anindia sering kepergok sedang mnecuri pandang ke arahku. Aku, Anindia, Helmi dan Nita pergi mencari dana untuk paggelaran acara yang sudah kita rancang. Beberapa orang tua murid yang mempunyai usaha, mempunyai toko, salon, persewaan kelengkapan pernikahan tak luput jadi sasaran kami ,selain itu orang tua murid yang menjadi pegawai, polisi, TNI atau yang memiliki ekonomi lebih kami datangi. Aku sengaja menjalankan motorku agak pelan agar terpisah dengan Hilmi dan Nita. Aku menghentikan motorku di depan penjual es kelapa muda. Aku melihat tempat itu sangat asyik untuk mengbrol, tempatnya bersih dan rindang. Ada beberapa kursi panjang di bawah pohon beringin yang sangat berar itu. “ Nin minum es kelapa muda dulu ya? “, aku menawarkan “ Boleh !”, kata Anindia sambil melepas helmnya lantas diletakkan di atas spion motorku. Anindia dengan rambut ikal sebahu, memakai kaos merah dan celana jeans biru tua, tahi lalat di tas bibir kanannya sungguh manis banget. “ Nin a-a aku..mau ngomong se-serius ni, bolehkan? “ kata agak terpatah-patah “Ngomong aja kenapa sih, kau tegang !”,


“ Tiadak aku takut kamu tersinggung dan marah padaku!” Aku akan ngomong cinta padanya, aku tak mau menyimpan kalimat itu terlalu lama, karena sungguh sangat menyiksa. “ Aku...!” “ Tiiiinnnn..tinnnn”, suara bel sepeda motor sangat kencang. Sialan Hilmi dan Nita datang langsung menghampiri kami. “ Hey dasar ...kalau beli es tidak ajak-ajak !” kata Hilmi setengah berteriak, lalu duduk menghampiriku. “ Kamu naik motor tidak tengak-tengok, nyelonong aja Hel!”, jawabku “ Akbar ayo dong lanjutin tadi mau ngomong apa?” Tanya Anindia Aku agak keragapan mendengar pertanyaan Anindia, aku harus cari alasan yang tepat. “ Oh anu apa itu..eh!” aku berfikir keras mencari alasan “ Aku cinta kamu Nin...ha..ha..ha!” sahut Hilmi sambil tertawa ngakak “ Sialan Kamu Hil!”, aku pura-pura marah, padahal memang kata itu yang mau kuucapkan “ Kalian kalau jadian sangat cocok!”, kata Nita “ Sudah jangan ngacau!”, jawab Anindia dengan wajah memerah “ Anu Nin nama ayah kamu termasuk aku tulis sebagai donator!”, kataku Aku lega menemukan alasan yang tepat dan masuk akal, aku tahu padahal ayah Anindia tidak termasuk donator. “ Oh itu, baiklah nanti aku sendiri yang meminta pada ayah!”, Jawaban Anindia mengakhiri obrolan kami, kami segera melanjutkan perjalanan. Kata cinta kepada Anindia belum aku ucapkan hingga kini. Memang aku sering mengucapkan Anindia aku cinta kamu, tapi aku ucapkan saat aku sendirian. Bagian 5 Aku mulai tergabung dengan group Whats App teman SMP ku, dengan nama Group Alumni SMPNAS. Aku memang tidak begitu aktif di group, hanya rajiun membaca dan mehilat foto yang sering di shere teman-taman. Sering aku lihat ketika Tulus muncul selalu Anindia juga muncul. Group ini selalu ramai dari pada group SMA atau group Kuliahku.


Sesuai rencana hari Minggu, 10 Nopember 2013. Group SMPNAS mengadakan pertemuan kecil, di Lesehan Ikan Bakar Kumis. Mayoritas teman-teman akan dating, bahkan banyak yang datang bersama keluarganya. Termasuk dalam postingannya Anindia akan datang bersama keluarganya. Tulus juga jauh-jauh dari Lampung akan hadir dalam pertemuan tersebut. Aku akan datang tanpa anak dan isteriku. Hal ini agar isteriku tidak melihat wajah kecewa dan sebalku saat menemui Anindia terutama Tulus. Aku sengaja datang terlambat, agar tidak begitu banyak menanggung marah dan kebencian. Terlihat beberapa teman sudah ada yang pulang. “ Assalamualaikum!”, Sapaku pada teman-teman “ Walaiku salam!”, terdengar mereka kompak menjawab “ Hai...ini..Akbar dating!”, Kata Hilimi berteriak “ Semua masih ingatkan!, “ Jawan Linda “ Ingat dong ini kan ketua OSIS kita!”, Jawab Anindia Teman-teman segera mempersilahkan aku makan, tapi aku menolaknya karena aku tidak berselera. “ Bar gak makan?”, kata Anindia “ Sudah tadi!”, jawabku “ Bar Tulus, tidak japri kamu, kok belum datang ya?”, tanya Anindi sambil celingukkan “ Mungkin, tidak bisa datang !” “ Pasti dia datang, sudah belikan dia tiket pesawat pulang-pergi kok!”, “ Oh ..yaaa!”, Aku tersentak kaget, tidak sengaja aku setengah berteriak Aku segera pergi dari hadapan Anindia dengan alasn ke teman-teman yang lain, padahal aku muak mendengar cerita dia. Anindia sampai mau-maunya membelikan karcis. Hampir dari separuh teman-teman sudah mohon diri berpamitan. Aku lihat jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 14.15 WIB. Tak lama berselang Anindia dan keluarganyapun balik. Dari jauh dia berteriak dan melambaikan tangannya untuk berpamitan padaku. Aku hanya menganggkat kedua jempolku. Aku jelas melihat kekecewaan yang berat di wajah Anindia, mungkin dia keceewa hingga saat ini, Winaryo Tulus belum datang juga. Aku berpikir keras kenapa sih semua begitu kebetulan. Kebetulan Aku bertemu Anindia di toko itu, aku kebetulan bergabung dengan goup teman-teman SMPku, apakah semua hidup ini semua serba dengan kebetulan. Aku menoleh kesekelilingku semua teman-temanmu sudah balik.


Bagian 6 Aku memasuki mobilku, dari kejauhan ada suara yang memanggilku. Lelaki yang dibonceng sepeda motor. “ Akbar...akbar, masih ingat aku...iya ini aku Tulus!”, kata Tulus Jujur dalam aku memang lupa pada wajahnya, dia berubah banget, lebih kurus dan beberapa giginya yang depan sudah mulai lepas. “ Tulus....!”, aku segera turun dari mobil dan bersalaman dengan dia. Tulus memeluku dengan keras, jelas dia sangat kangen dan bercampur gembira bertemu dengan aku. “ Akbar baca ini!”, kata Tulus sambil menyodorkan HP-nya “ Tulus kalau nanti ketemu sama Akbar, tolong sampaikan salamku padanya. Terus katakan Akbar kok berubah, sekarang angkuh banget, aku sangat kaget dan kecewa tadi!” kalimat dalam HP Tulus aku baca dengan seksama. “ Maksudnya apa Lus?”, tanyaku bingung pada kalimat tersebut “ Akbar sejak dulu Anindia menyukai kamu, tapi dia sebagai wanita malu mengatakannya!”, “ Ohhh gitu!’, kataku datar “ Kamu berteman dengan facebook Anindia?”, tanya Tulus serius “ Tidak!”, jawabku pura-pura. Padahal secara diam-diam aku berteman dengan nama samaran. Menurut Tulus nama Gita yang melekat pada Anindia itu gara-gara dari aku. Awalnya aku bingung, tetapi Tulus menjelaskan bahwa dia berbohong pada Anindia, jika nama Gita itu pemberianku. “ Gila kamu Tulus, kenapa bawa namaku?’, tanyaku dengan perasaan yang senang. “ Iya Bar, Anindia sangat senang kalau aku berita tentang kamu, dia langsung memberiku sebatang cokelat!’, jawab Tulus. Tulus menjelaskan lebih dalam bahwa setelah lulus SMP, hingga perguruan tinggi Anindia selalu mencari aku. Hingga dia memutuskan menikah lalu bercerai dengan suami pertamanya dan menikah lagi dengan suami keduanya Faiz. Tak lama kemudian terlihat handphone-ku ada whats App. Aku membaca japri dari Anindia


“ Akbar, kamu sudah ketemu Tulus!”, aku tidak menjawab. Aku hanya menghela napas panjang “ Tulus ayo ke rumahku!”, aku menawarkan diri “ Tidak terimah kasih, aku harus ke rumah saudara-saudaraku!’, jawab Tulus “ Ok, yuk aku antar, sekalian aku juga mampir ke rumah ayah!,” Aku dan Tulus segera naik mobil, di sepanjang perjalanan kami menyambung cerita-cerita lama, salah satunya tentang Anindia. Dalam hati aku berkata, kenapa aku baru tahu sekarang. Whats App dari Anindia belum juga aku balas. Aku teringat wajah anak-anakku.


Cerita Buku Harian Karya : Kromo Aji Kehadiran Hesti Cahyaning Sekar memang agak terlambat, karena suaminya telat pulang dari kantornya. Faktor lain biasa jika sorehari jam pulang kantor Surabaya kota terbesar kedua setelah Jakarta, jalanan macetnya minta ampun. Hesti anak terakhir dari keluarga Bapak Asto Prasojo dengan Ibu Sulistianing Warni, yang belum dikaruniai anak karena masih baru sekitar enam bulan menikah. Anak pertama Pak Asto Prasojo adalah Dia Candra Pitaloka yang dikaruniai tiga anak laki-laki semua, anak keduanya adalah Endro Pangestu Aji yang dikaruniai dua anak, anak pertama laki-laki dan adiknya perempuan. Malam itu tanggal 7 Nopember 1998 adalah hari ulang tahun Pak Asto Prasojo yang ke60 tahun. Sengaja perayaan yang biasanya dilaksanakan di luar rumah, malam hari ini cukup di rumah besar Pak Asto Prasojo, rumah elit yang berada di kawasan jantung kota Surabaya. Tepuk tangan dan ucapan selamat ulang tahun dari isteri ,anak dan cucunya membuat pipi Pak Asto Prasojo dibasahi air mata bahagia. Hadiahpun diberikan pada Pak Asto Prasojo, bahkan Hesti memberi hadiah istimewa yaitu paket umroh bagi papa dan mamanya. “ Terima kasih semua, isteriku, anak-anakku juga cucu-cucuku!”, kata Pak Asto Prasojo, dengan terbata-bata karena haru. “ Kalian semua sudah dewasa, sudah berkeluarga dan sudah mapan, sengaja papa meryakan ulang tahun ini di rumah!”, lanjut Pak Asto Prasojo mulai lancar ngomongnya. Jelas terlihat kegugupan, ketidaktenagan, bahkan Pak Asto Prasojo beberapa kali menghelah napas dalam. “ Ada apa, sih Pa, kok bikin pesaran!”, Kata Hesti “ Iya segera ngomong Pa!”, Lanjut Pitaloka Pak Asto Prasojo, menoleh pada isterinya yang sejak tadi menunduk dan mulai meneteskan air mata. Sementara Endro mulai mendekati mamanya, dan memberikan tisu. “ Pa ada apa? ayo, katakana!”, pinta Endro. “ Saya harus menceraikan Mamamu!”, kata Pak Asto Prasojo Semua yang mendengarkan langsung matanya terbelalak. Perkataan Pak Asto Prasojo ibarat petir yang menyambar begitu keras pada hati anak-anak Pak Asto Prasojo.


“ Papa sadar!”, kata Endro agak keras “ Pa apa maksudnya!”, lanjut Hesti sambil bersimpuh di depan papanya. “ Pa dalam agama kita, seorang suami yang mengucapkan kata cerai, maka jatuhlah talak, baik itu serius, bergurau bahkan mengigau sekalipun!”, kata Pitaloka yang sudah tidak sabar mendengar ucapan papanya. Dia sebagai saudara tertua mengatakan, seharusnya diusia 60 tahun, keluarga itu harus lebih beristropeksi, lebih mendekatkan diri pada tuhan. Anak-anak Pak Asto Prasojo, jelas merasa kaget, karena selama ini pernikahan papa dan mamanya baikbaik saja, tidak ada permasalahan yang berarti. Sementara ibu Sulistianing hanya bisa menangis tanpa mengucapkan sepatah katapun. **** Pak Asto Prasojo, masuk ke kamarnya lalu ke luar lagi dengan membawa buku yang lumayan tebal, bersampul cokelat dan bermotif batik. Buku itu adalah buku harian, Pak Asto Prasojo menyerahkan pada Pitaloka untuk membacanya. Semua yang hadir jadi tidak banyak bicara karena terbawa suasana. Sementara para cucu Pak Asto Prasojo, bermain di halaman rumah bersama tiga pembatu rumah. Pitaloka mulai membuka buku itu, terlihat tangannya gemetar, seolah mengangkat beban yang berat. Surabaya, 26 Pebruari 1961. Asto Prasojo seperti biasa pulang sekolah menuju ke terminal Joyoboyo, untuk mencari angkutan menuju ke rumahnya di derah Wonosari Lor Surabaya. Langkanya terhenti ketika dipanggil seorang perempuan yang sedang, mrnutun motornya karena mogok. “ Mas bisa minta tolong, hidupkan motor, saya!”, kata perempuan itu. Asto Prasojo hanya menagguk, dia lalu melepas busi motor tersebut. Beberapa saat busi itu dibersihkan. Asto Prasojo memang sedikit paham masalah motor, karena jika pulang sekolah dia sering membantu servis motor tetangganya. Beberapa saat kemudian mootor tersebut dapat dihidupkan. Saraswati nama perempuanpemilik motor itu, memberikan uang, namun di tolak oleh Asto Prasojo. Kedua remaja itu saling berkenalan. Kedua pelajar kelas 3 SMA tersebut melanjutkan hubungan mereka sampai berpacaran.


Surabaya, 12 Juni 1962. Setelah pengumuman lulus SMA, Asto Prasojo tidak melanjutkan kuliah, karena orang tuanya tidak mampu membiayai. Ayahnya terbelit hutang yang jumlahnya mencapai Rp. 850 juta pada Pak Gatot Sanusi, rekan bisnisnya. Ayah Asto Prasojo bisnis dibidang garmen, karena kalah saingan ia bangkrut. Beberapa bulan kemudian ayahnya Asto Prasojo terkena serangan jantung dan meninggal. Saraswati sendiri melanjutkan kuliah kedokteran di Universitas swasta di kota Surabaya. Asto Prasojo menunggu agak lama kedatangan Saraswati, mereka berjanji bertemu di tempat biasa mereka bertemu, yaitu di Taman Remaja Surabaya. Asto Prasojo masih memakai baju seragam kerjanya, dia bekerja di PT. Barata Surabaya, yaitu pabrik alat-alat berat. Saraswati datang dengan menggunakan mobil yang biasa dia pakai yaitu Honda Civic warna silver. Dia memakai t-sirt, bermotif garis-garis kombinasi warna biru dan putih, dengan bawahan celana jeans. Alangkah cantiknya wanita itu. Sebenarnya Asto Prasojo minder berpacaran dengan Saraswati. Pernah ia mengungkapakan perasaan tersebut, tetapi dengan lantangnya Saraswati mengatakan, bahwa keluarganya tidak ada yang materialistis. “ Asto jangan sekali-kali mengatakan minder!”, Kata Saraswati “ Ehhh..iya dech!”, jawab Asto Prasojo “ Kau seriuskan berpacaran dengan ku!”, “ Iya Saraswati, aku sangat serius!’, “ Aku bersumpah tidak akan menikah, jika bukan dengan kamu!”, Ucapan Saraswati tidak main-main. “ Jangan pakai sumpah-sumpahan deh!”, “ Betul Asto aku serius!” Saraswati sangat kagum dengan kerja keras, tanggung jawab dan ketaatan dalam beragama Asto Prasojo. Menjelang malam kedua remaja yang kasmaran ini pulang. Surabaya, 18 Maret 1963. Asto Prasojo dipanggil ibunya, untuk membiacarakan hal penting. Ibunya sering sakitsakitan semenjak ditinggal oleh suaminya. Kehidupan Ibu Shinta dan dua adik laki-lakinya menjadi tanggung jawab Asto Prasojo. “ Nak ibu ingin bicara, serius tolong dengarkan!”, kata Ibu Shinta


“ Iya Bu!”, jawab Asto Prasojo “ Ini berat nak!”, “ Apa sih, bu?”, “ Bagaimana hubunganmu dengan Saraswati?”, “ Kami serius Bu, setelah Saraswati jadi dokter, kita menikah!” Ibu Shinta mulai menangis, ada beban berat yang menggantung di bibirnya sehingga ia sulit mengatakan pada Asto Prasojo. Tagis ibu Shinta semakin pecah, tangannya menepuk-nepuk pundak Asto Prasojo. “ Ada apa sih, ayo ibu ngomong?”, pinta Asto Prasojo “ kau tahu hutang ayahmu pada Pak Gatot sanusi!”, “ Iya Bu 850 juta, kenapa?”, “ Hutang itu akan dibebaskan, jika...”, “ Jika apa bu!” “ kau menikahi anaknya!” , kata Bu Shinta dengan menangis terseduh-seduh. Asto Prasojo berdiri dari tempat duduknya, dia lalu menolak permintaan ibunya. Dia merasa dijual pada orang kaya tersebut. Kalau dipikir dengan gaji Rp. 57.000 perbulan, berapa tahun ia harus mengumpulakan agar mencapai Rp. 850. 000.000. Gaji dia sendiri habis hanya dipakai untuk hidup selama satu bulan, itupun sudah dibantu dengan ibunya yang berjualan gadogado di rumahnya, bahkan kadang masih kurang. Pernikahan tersebut harus dilakukan, karena anak perempuan Pak Gatot Sanusi yang bernama Sulistianing Warni hamil tiga bulan. Alexander pacarnya kabur entah ke mana, sehingga untuk menetup aib keluarga tersebut Asto Prasojo harus menikahinya. “ Ini hanya pura-pura, Nak, setelah bayinya lahir kau ceraikan dia!”, kata Ibu Shinta “ Ibu dalam agama kita menikah tidak boleh pura-pura!”, “ terus bagaimana Nak!”, “ Baik akan aku bahas dengan Saraswati!”, “ Jawabanya besok nak!”, “ Saya pamit dulu!” , kata Asto Prasojo mengakhiri percakapan ibu dan anak ini Surabaya, 18 Maret 1963. Sekitar pukul 20.00 WIB, motor Asto Prasojo, berjalan kencang menuju rumah Saraswati. Tidak sampai 30 menit Asto Prasojo sudah sampai di rumah Saraswati. Setelah


diterima oleh Saraswati, Asto Prasojo segera menceritakan kemelut yang menimpah batinya. Saraswati langsung menangis, mendengarkannya. Beberapa saat keduanya terdiam. “ Saras maafkan aku, ayo beri masukan!” kata Asto Prasojo. Saraswati belum bisa mengatakan apa-apa. Dia hanya diam dan menangis. “ Ayo dong Saras, seandainya posisimu jadi saya apa yang kamu lakukan!”, desak Asto Prasojo. Sementara Saraswati belum bisa berkata-kata. Asto Prasojo mempunyai pikiran kalau meminjam uang pada Ayah Saraswati. “ Ayah tidak punya uang sebanyak itu!”, kata Saraswati “ Saras betul sumpah mati aku sangat berharap dapat hidup bersamamu, cintaku tidak bisa kuberikan pada yang lain”, kata Asto Prasojo. “ Baik, Asto, nikahi dia sampai anaknya lahir!”, kata saraswati terbata-bata. “ Saras saya, akan dosa besar jika main-main dalam pernikahan ini!” , kata Asto Prasojo. “ Baik , Mas nikahi aku nanti saat umurmu 60 tahun!”, “ Maksudmu Saras?”, kata Asto Prasojo bingung “ Aku ingin mengakhiri hidup bersama orang yang aku cintai!”, “ Baik Saras aku akan tepati janjiku!”, kata Asto Prasojo. Surabaya, 3 April 1963. Asto Prasojo menikahi Sulistianing Warni, di Hotel Shangri-La Surabaya. Pernikahannya bahkan dihadiri oleh beberapa orang pejabat di kota Surabaya. “ Aku langsung memiliki dua anak dalam pernikahan itu, yaitu Dia Chandra Pitaloka, dia adalah anak Mbak Astri, Mbak dari isteriku, karena dia meninggal dunia, saat anaknya umur 3 tahun. Dan satunya anak yang dikandung isteriku “ Surabaya Asto Prasojo ***


Sesaat suasana jadi hening, semua anak-anak Asto Prasojo menangis dan yang paling keras tentu Pitaloka, karena dia yang membaca buku harian tersebut. Dia baru tahu kalau dia adalah anak dari Ibu Astri kakak dari Mamanya. Ayahnya sendiri menikah lagi, dan keberadaanyan entah di mana. Pitaloka baru sadar hal itu, karena saat menikah yang menjadi wali, bukan papanya tetapi justru pamannya. “ Maafkan aku, anak-anakku!”, kata Ibu Sulistianing “ Papa juga minta maaf!”, kata Pak Asto Prasojo, terbata-bata. Pak Asto Prasojo bercerita, awalnya dia tidak mencintai mamanya tetapi seiring dengan berjalannya waktu, cinta itupun bersemi. Demikian juga sebaliknya, bahkan Sulistianing warni lebih dahulu mencitai Asto Prasojo, karena dia sangat baik ,penuh pengertian dan sabar. Lain denagn laki-laki brengsek yang menghamili dan meninggalkan aib pada dirinya. “ Anak-anakku, karena cinta kami, maka lahirlah Hesti!” kata Pak Asto Prasojo. Hesti Cahyaning Sekar lalu berdiri dan merangkaikan tangan-tangan mereka. Endro mendekat dan memeluk Pak Asto Prasojo. “ Terima kasih Papa!”, kata Endro sambil memeluk Pak Asto Prasojo “ Pa tolong jangan ceraikan Mama!”, kata Hesti “ Iya Pa benar !”, kata Pitaloka “ Anak-anakku, mungkin ini jalan hidup kita, pada mama khususnya!”, kata Ibu Sulistianing Dia menjelaskan, jika papanya mempunyai prinsip, jika ia berjanji maka harus ia tepati. Termasuk harus menikahi Saraswati. Tidak terasa jam dinding di ruang itu menunjukkan pukul 24.30 WIB. **** Pak Asto Prasojo pagi sekitar 08.00 WIB sudah ke luar dari rumahnya, untuk menuju rumah Saraswati di daerah Darmo Simpang Surabaya. Ia sengaja meneyetir sendiri mobil sedan BMW-nya. Jalanan lumayan lancar tidak terlalu padat, karena orang yang bekerja dan anak-anak sekolah sudah masuk. Hanya butuh waktu 30 menit Pak Asto Prasojo sampai daerah Darmo Simpang. Sekitar 25 tahun Pak Asto Prasojo tidak pernah ke daerah tersebut, banyak hal yang sudah berubah. Yang jelas rumah Saraswati bersebelahan dengan toko elektronik, mudah-mudahan toko tersebut masih ada, pikiran Pak Asto Prasojo mulai berkecamuk.


Ternyata toko ekeltronik itu masih ada. Saat sampai pada alamat yang dimaksud Pak Asto Prasojo mulai bertanya, pada seorang perempuan yang sedang menyapu halamanya. “ Permisi, rumah yang di sebelah toko itu, apa rumah seorang dokter Bu!”, tanya Pak Asto Prasojo “ dokter, saya sudah 10 tahun lebih di sini, tidak ada dokter!”, jawab ibu tersebut sambil menggaruk-garuk kepalanya, tanda ia tidak tahu. Ibu tersebut kemudian menanyakan pada tetangga sebelah rumahnya. Ternyata menurut tetangga ibu tersebut, rumah yang dimaksud sudah ditempati oleh keponakannya. Saraswati pindah ke Depok Jawa Barat sekitar 12 tahun yang lalu. Pak Asto Prasojo pun menuju rumaah tersebut. Ia teringat masa lalu, saat bertemu dengan Saraswati, selalu bercanda di teras rumah yang berukuran luas tersebut. Pak Asto Prasojo menekan bel di pintu pagar, dari dalam terlihat seorang pembantu setengah berlari membukakan pintu pagar. Pak Asto Prasojo duduk di kursi teras menunggu pembantu tersebut memanggil tuan rumahnya. Wanita cantik berumur sekitar 35 tahun ke luar dari dalam rumah. “ Assalamu’alaikum!”, Pak Asto Prasojo memberi salam “ Waalaikum salam!”, jawab watina itu “ kalau boleh berkenalan, saya Pak Asto Prasojo!”, sambil menyodorkan tangan. “ Saya Susan Pak!”, Ternyata Susan adalah isteri dari Anton Bastian keponakan Saraswati, dia kenal dengan Anton kecil waktu itu. Pak Asto Prasojo menceritakan maksud kedatangannya, ia ingin bertemu dengan Saraswati. Susan pun memberikan alamat dan nomor telepon Saraswati. Setelah dianggap cukup Pak Asto Prasojo berpamitan pulang. **** Pak Asto Prasojo rumah berangkat menuju Bandara Juanda, sekitar 07.00 WIB, karena pesawat yang akan dinaikinya berangkat sekitar pukul 09.15 WIB. Ia harus bording pukul 08.00 WIB. Sesuai perkiraan Pak Asto Prasojo, ia sampai di Juanda sekitar 35 menit dari rumahnya. Pesawatpun berangkat sesuai dengan jadwal. Setelah ke luar dari Bandara Soekarno-Hatta. Pak Asto Prasojo mencari taxi. Ia segera meluncur ke daerah Cimanggis


Depok. Menurut Susan, bahwa rumah dr . Saraswati, berada di Perumahan Bukit Cengkeh Depok, sementara kliniknya berada di daerah Kelapa Dua, setelah Markas Komando Brimob. Taxi yang dinaiki Pak Asto Prasojo berhenti di depan Klinik Mitra sehat. Pak Asto Prasojo langsung masuk ke klinik tersebut, setelah memastikan Saraswati Praktik, ia mendaftarkan antrean sebagai pasien. Satu-persatu pasien masuk sesuai urutannya. Pak Asto Prasojo mendaptkan giliran masuk ke ruang praktik dr. Saraswati. “ Siang Pak, sakit apa!”, sapa dr. Saraswati “ Hati saya yang sakit Bu dokter!”, “ Jangan bercanda, Pak, banyak yang antre!” “ Saras kau lupa aku!” Saras berusaha mengenali wajah laki-laki di depannya. “ Ya ampun Asto!”, kata Saras sambil menepuk-nepuk pundak Pak Asto Prasojo. “ Kamu ingat tanggal 7 kemarin aku berusia 60 th, dan kau ingat janji kita?”, “ Tentu saja aku ingat Asto!”, Saraswati ingin berbicara banyak dengan Pak Asto Prasojo nanti malam di rumahnya, karena saat ini masih banyak pasien yang harus ditanganinya. Malam itu Pak Asto Prasojo datang ke rumah dr. Saraswati, ia sudah menunggu di teras rumahnya. Setelah dipersilahkan duduk, Pak Asto Prasojo langsung berbicara pada pokok permasalahan. “ Aku melamarmu, Saras, dan segera menikahimu!”, “ Isterimu, sudah meninggal!”, Pak Asto Prasojo hanya menggelengkan kepala tanpa menjawab. “ Aku sudah menceraiakan, karena aku harus menempati janji!”, kata Pak Asto Prasojo dengan wajah serius. “ Gila kamu Asto!”, “ Saras aku tetap mencintaimu seperti dulu!”, “ kau tidak mencitai isterimu sedikitpun?”, Saras menatap tajam ke arah Pak Asto Prasojo. “ ya aku mencintai isteriku, tapi tidak seperti kepadamu!”, dr. Saraswati mulai menjelaskan tentang perasaan wanita, ia merasa dosa besar kalau menceraikan pasagan suami isteri tersebut, ia berharap agar Asto Prasojo kembali ke isterinya.


“ Saras, aku ingin akhir hidupku berakhir bahagia, dengan orang yang benar-benar aku cintai!”, kata Pak Asto Prasojo memelas. Saraswati sudah mulai tadi siang ingin menangis berteriak-teriak. Ia tidak bisa memungkiri bahwa perasaannya masih sangat cinta pada Asto Prasojo. Di satu sisi ia akan menjadi wanita yang maha tega, jika harus menghancurkan rumah tangga yang sudah puluhan tahun dibina oleh Asto Prasojo. “ Besok kita ke Surabaya, aku tidak bisa menjawab sekarang!”, kata Saras. Kalimat terakhir dari Saras tersebut sangat membuat hati Pak Asto Prasojo bertanya-tanya. **** Mulai dari Bandara Soekarno-Hatta sampai ke Juanda, Saraswati tidak mau berada dalam satu taxi. Ia memilih naik taxi, sendiri-sendiri. Dalam Pak Asto Prasojo bertanya-tanya, apa Saraswati tetap mencintainya seperti dulu. Kenapa harus naik taxi sendiri, apa ia lebih bijak dan tingkat religiusnya lebih tinggi. Batin Pak Asto Prasojo mulai berperang. Sampai di rumah Pak Asto Prasojo, langsung masuk rumah. Terlihat di rumah hanya ada isterinya dan Pitaloka. Maka Pitaloka segera menelpon dua saudaranya yaitu Endro dan Hesti. Sambil menunggu anak-anaknya datang, Pak Asto Prasojo pergi mandi, untuk menghilangkan kepenatannya. Dalam hati dia berkata apakah taxi Saraswati ke sasar, padahal dia sudah diberi alamat lengkap atau mungkin mampir ke rumah keponakannya. Kedua anak Pak Asto Prasojo datang hampir bersamaan. Sore sekitar pukul 16.00 WIB taxi Saraswati datang, ia langsung dipersilahkan masuk ke rumahnya. Anak-anak Pak Asto Prasojo tidak ada yang mengenal Saraswati. “ Perkenalkan ini dr. Saraswati!”, Pak Asto Prasojo Ketiga anak Pak Asto Prasojo langsung memperkenalkan diri, demikian juga dengan Sulistianing Warni. Setelah berbasa-basi Saraswati memulai pembicaraan inti, ia bercerita hal didibahas antara Pak Asto Prasojo dengan dirinya. Termasuk keinginanan Pak Asto Prasojo menikahi dirinya. Ibu Sulistianing Warni dan anak-anaknya mendengarkan dengan wajah yang serius, mereka sangat tegang ibarat seorang pesakitan yang menunggu vonis dari hakim. “ Maaf Asto, aku tidak bisa menikah denganmu!” “ Bukankah Mbak Saras sudah mengikat janji?”, kata Sulistianing lirih. “ Itu dulu Sulis, saat aku masih muda, memang kuakui sakit hatiku menerima kenyataan waktu itu!”, kata Saraswati dengan pelan, terlihat matanya mulai berkaca-kaca. Ia menjelaskan


hampir saja kuliah kedokterannya gagal gara-gara Asto Prasojo menikah, tetapi ia harus tegar dan menerimah kenyataan hidup. “ Maaf Mbak Saras!”, kata Sulistianing Warni sambil menghapiri dan mememeluk Saraswati. “ Sudah Lis, aku tidak mau ada yang luka hatinya kembali, cukup aku!”, kata Saras, juga memeeluk Sulistianing Warni. “ kalau begitu, aku rela Mbak Saras di madu Mas Asto!”, “ Huus kau ngawur Saras!”, “ Mbak takut Mas Asto tidak adil?”, “ Tidak Sulis, sekarang kita sudah tua, aku tinggal di depok, kalian di Surabaya, kasihan Mas Asto!”, kata Saraswati sambil tersenyum getir. “ Iya tante, betul kata Mama, jadilah tante keluarga kami!”, sahut Hesti, sambil berdiri dari tempat duduknya. “ Tidak Hesti, tante sudah punya keluarga di DepoK!”, kata Saras menjelaskan. Saraswati memang mengadopsi dua anak yatim piatu, sebagai anaknya. Sekarang kedua anaknya tersebut sudah menjadi dokter. Anak yang pertama perempuan dinas di Depok, dan membantu di klinik Saraswati jika sore hari, sedangkan adiknya dinas di Parung Bogor. Saraswati sudah punya dua cucu dari anak pertama dan satu cucu dari anak keduannya. “ Maaf semuanya, tertutama Asto, mungkin kita tidak jodoh, mungkin jodoh saya sudah meninggal dan akan dipertemukan kelak setelah kematian!”, kata Saraswati mulai berhenti dari kesedihannya. Semua mengangguk. “ Asto kau harus rujuk dengan isterimu, jika sudah terlanjur talak tiga, maka isterimu harus menikah lagi, dan bercerai dengan suami barunya, baru kau boleh menikahi lagi, itu yang aku ketahui, atau tanyakan pada ustad yang kau kenal!”, kata Saraswati menutup percakapan malam itu. Pak Asto Prasojo, hanya terdiam. Saraswati berpamitan pulang, dia baru besok pagi kembali ke Depok, sementara malam itu ia menginap di rumah keponakannya. Endro menawarkan untuk mengantar ke Darmo, tetapi dr. Saraswati menolaknya. Saat berada di dalam taxi, kembali tumpah tangis Saraswati, jujur batinnya berkata hanya Asto Parojo laki-laki yang ada di hatinya. ***Tamat***


Pertengkaran Bantal Karya : Kromo Aji “ tokek” “ mujur” “tokek” “sial” “ tokek” “ mujur” “tokek” “sial” “ tokek” “ mujur” “tokek” “sial” “ tokek” “ mujur” Sauara tokek di atap perkantoran Bank Perkreditan Rakyat itu jelas terdengar di telinga para karyawan bank tersebut. Kebiasaan menghitung bunyi tokek selalu dilakukan Antoni saat, mendapat permasalahan yang membutuhkan pemusatan pikirannya. Memang tidak banyak orang yang percaya pada sekedar suara tokek binatang melata tersebut untuk mempertaruhkan nasib, tetapi Antoni adalah salah satu orang yang sangat percaya dan meyakini terhadap hal itu. Jam dinding di belakang pintu kantor kerjanya menunjukkan pukul 10.00 WIB. Tangan Antoni masih membolak-balik amplop warna coklat. Jelas terlihat pengirim surat tersebut adalah top manager di kantor pusat Jakarta. “ hhuuuuuu!”, Antoni menghela napas panjang. “ Apa isinya..ya?” tangan, Antoni bergetar, dalam hati dia bertanya-tanya, teguran apa yah? Padahal dia merasa tidak pernah merasa bersalah selama ini. Bak mengangkat barbell 50 kg, berat tangan Antoni membuka amplop surat tersebut.


“ Mohon, kehadiran anda ke Hotel Shangri-La Surabaya, besok :Hari Sabtu, pukul 07.30 WIB, tepat! Selamat ada dipromosikan jabatan baru, menjadi manajer diperwakilan Jawa Timur” Dalam amplop tersebut juga terdapat selembar kertas boking kamar hotel. Jelas tertera kamar nomor 716. Wajah Antoni, tidak mengekspresikan kesenangan, dalam pikiran mulai berkecamuk perdebatan. Dia memprediksi pasti butuh penjelasan yang panjang pada isterinya. Terbayang wajah isterinya yang tambun, dan semakin tambun karena sedang mengandung lima bulan anak pertamanya. Dia sendiri sudah tersiksa dengan semakin manja dan bawel isterinya. Memang cukup beralasan karena hampir selama 15 tahun pernikahan, baru akan dikaruniai anak. “ kriiiinggg”, suara telepon di meja kerjanya, membuyarkan lamunan Antoni. “ Halo kantor BPR Vikratama di sini, bisa kami bantu?” “ Pak Antoni, ini Pak Amirul dari kantor perwakilan Jatim, hanya memastikan, apa surat dari pusat sudah diterima?” “ sudah Pak, sudah!” “ Baik, harus tepat waktu Pak!, karena Pak Budi Arrto Mulyono, harus kembali ke Jakarta pukul 10.00WIB, setelah melantik 20 pejabat baru dari kabupaten dan 3 orang dari perwakilan Jawa Timur!” “Baik Pak, terima kasih!” “ Iya terima kasih kembali!” *** Pukul 17.20 WIB, Antoni ke luar dari kantornya, sepanjang perjalanan pulang dalam mobil, dia merangkai kalimat, untuk menjelaskan pada isterinya. Sebelum sampai di rumah dia mampir ke supermarket, membeli roti dan susu cair. Dia juga membeli buah-biahan untuk memudahkan dia nanti akan bercerita. Antoni masuk ke dalam ruang tamu, setelah beberapa saat dia berada di teras. Seperti biasanya dia selalu menggunakan kaos oblong dan celana pendek, untuk mengatasi rasa gerah di rumahnya. Di rumah itu sengaja tidak dipasang AC, disamping untuk mengirit biaya listrik juga karena isterinya alergi terhadap AC. Di mobil, dia tidak pernah menggunakan AC, saat


berdua dengan sang isteri. Terlihat di ruang tengah isterinya sedang menonton sinetron kesukaannya di televisi. “ Mas kok mondar-mandir aja!” “ ah tidak apa-apa kok, Mas punya kabar gembira buat isteriku tercinta!” “ Kabar apa?” “ Ini coba baca!”, kata Antoni sambil menyodorkan amplop surat. Antoni sambil melirik ke wajah sang isteri , dia ingin mengetahui ekspresi wajahnya. Seperti dugaan Antoni, isterinya tidak berekpresi, wajahnya hanya datar saja. “ Masmu akan dilantik menjadi manajer perwakilan di Jawa Timur, saya akan berkantor di Surabaya!” Jelas Antoni sambil merentangkan kedua tangannya. “ Sayang inilah yang aku damba-dambakan selama ini, Lilis Setyowati akan menjadi ibu manajer !” “ Iya selamat Mas!” kata Lilis sambil menepuk-menepuk pipi suaminya. “ Tapi untuk urusan menginap ini, memang harus!” tanya Lilis “ Iya itu harus Sayang!” Jawab Antoni “ Acaranya kan pukul 07. 30!” “ Iya betul, isteriku!” “ Kita kan bisa berangkat dari Bangil, kalau takut telat kita berangkat pagi-pagi, mungkin pukul 04.00 WIB!” “ Masalahnya, malam hari ada metting, semua kepala kantor cabang, di Jawa Timur ini, harus melaporkan, hasil kerjanya!” dengan wajah serius Antoni menjelaskan pada isterinya. “ Baik Mas kalau terpaksa harus menginap saya harus membawa bantal sendiri!” “ Isteriku hotel itu, hotel bintang lima!” “ Terus, kenapa?” “ Tidak boleh dong kita bawa bantal kumal ini!” “ Saya tidak bisa tidur tanpa bantal itu!” “ Cobalah mungkin itu hanya perasaannmu sayang!” “ Tidak bisa!, karena ini bawaan bayi!” kata Lilis keras, sambil matanya melotot ke arah suaminya. “ Baik-baik, nanti kita atur bagaimana cara membawa bantal itu!” Perkataan tersebut mengakhiri perdebatan Antoni dengan isterinya.


**** Lebih awal Antoni pulang dari tempat kerjanya, karena dia harus berkemas untuk acara pelantikan di Surabaya. Sepanjang perjalanan pulang dia beripikir keras bagaimana caranya agar isterinya tidak jadi membawa bantal kumal itu. Apalagi gara-gara alasan karena sang bayi dalam perutnya. Antoni pernah mengusulkan kalau bantal itu dicuci dan diberi pewangi, tetapi isterinya menolak. Antoni juga pernah mengusulkan agar bantal tersebut diberi cover atau sarung bantal yang baru, isterinyapun juga menolaknya. Sampai di rumah Antoni langsung menuju kamar, terlihat Lilis sang isteri sedang melipat beberapa pakaian, lalu dimasukkan di dalam koper yang berukuran besar. “ Sayang apa tetap, bantal ini dibawa?”, kata Antoni, sambil menjinjing bantal kesayangan isterinya. “ Iya, Mas, harus berapa kali sih aku ngomong?” “ Sayang, kita dapat anugerah, yang pertama bayi dalam perutmu itu, yang kedua aku naik jabatan!” “ Terus!”, Lilis mulai suram dan wajahnya memerah. “ eeehh...maksudku!” “ Bantal itu tidak usah dibawa..ya kan!”, Lilis mulai menangis, sambil berlari kecil, dia masuk kamar. Antoni mengikuti isterinya. Lilis tidur menghadap ke cendela yang selalu tertutup di kamarnya. Antoni menyentuh pundak kiri isterinya. Lilis sudah biasa, jika ada masalah selalu membelakagi Antoni. “ Mas , apakah engkau merasa tersiksa, dengan kehamilanku?”, semakin keras tagis Lilis. “ Aku, sendiri, juga tidak mau membuatmu kecewa, ini bukan main-main Mas, ini bukan kemauan saya!”, lanjut Lilis “ Baik..baik sayang, jangan kita perpanjang masalah ini, ayo kita lanjutkan, berkemas!”, Kata Antoni, jelas dia menahan marah dan kecewa, tetapi dia simpan, demi kebaikan isteri juga jabang bayi yang dikandung isterinya. Amarah Antoni selalu redam, saat mengingat kehamilan sang isteri, yang memang terhitung lama menanti kehamilan itu. Antoni mencari kardus bekas yang berukuran besar, untuk memasukkan bantal kumal itu. Kardus bekas tersebut setelah diisi bantal, Antoni membukus dengan kertas warna cokelat bermotif batik. Kardus itu diikat dengan pita warna merah, sehingga menyerupai hadiah, ulang tahun. “ Coba lihat ini, bagus bukan!”, kata Antoni, sambil menunjukkan bungkusan besar tersebut.


“ Ayo, senyum dong!”, lanjut Atoni, kali ini isterinyapun tersenyum. *** Di halaman lobby hotel Shangri-La, setiap mobil yang masuk harus melewati pemeriksan security. Hal ini terkaitan dengan beberapa peristiwa teroris yang meledakan hotel dengan bom rakitanya. Antoni melihat dengan seksama pemeriksaan mobil yang ada di depannya, mobil mewah itupun tak luput dari pemeriksaan metal detector. Rata-rata mobil yang masuk di hotel ini, adalah mobil mewah. Setiap mobil diperiksa sekitar tiga sampai lima menit, karena barang-barang bawaanpun juga pemeriksa. “ Sore Pak!”, sapa salah satu security berbadan tegap. “ Sore!”, jawab Antoni Dua security memeriksa mobil, Antoni, yang satu memeriksa dengan metal detector bagian bawah mobil , sementara yang satu lagi memeriksa, barang bawaan yang berada dalam mobil. “ Tolong buka bagasi mobil Pak!”, kata security itu lagi. Antoni langsung membuka bagasi mobilnya, dua oramg security, langsung memeriksa bagian begasi, koper dan dua tas kecil sudah diperiksa. Antoni harus turun menghadap kepalas security di pos keamanan, karena bukusan bantal tersebut menurut security bebadan tegap itu mencurigakan. Sementara mobil Antoni di pakir oleh security yang lain, agar tidak terjadi antrean panjang. Lilis Setyowati harus menunggu di resepsionis hotel. Dia melihat dari kejauhan suaminya sedang berbicara dengan menunjuk-nujuk ke arah bungkusan bantal itu, atau mungkin sedang berdebat dengan kepala security. Kepala security berusaha memeparkan aturan yang ada di hotel tersebut. “ Pak bungkusan itu harus kami buka!”, kata kepala security “ Jangan Pak, ini cuma hadiah, untuk atasan saya, ini nomor boking kamar saya!”, kata Antoni sambil menunjuk surat dan kertas boking kamar. “ Saya dipromosikan jabatan, ini suratnya!” “ Tetap Pak harus dibuka, jangan-jangan isinya narkoba atau bahan-bahan bom!” “ Pak security jangan ngawur, anda harus mengohormati privasi customer!”, jawab Antoni bernada agak tinggi. Pedebatan mereka cukup panjang, akhirnya Antoni menjelaskan bahwa isinya adalah bantal, karena isterinya sedang ngidam dalam kehamilannya. Aturan hotel tersebut tetap tidak bisa ditembus dengan bujuk rayu Antoni. Bantal tersebut harus tetap berada di pos security, tidak


boleh dibawa masuk. Waktu semakin sore, bahkan dari kejahuan sudah terdengar suara adzan maghrib. Sementara pertrmuan Antoni di hall hotel tersebut akan berlangsung pukul 19.00 WIB. Antoni mengajak isterinya ke kamar hotel sesuai dengan nomor kamarnya yaitu 716. Di sepenjang perjalanan menuju kamar mereka tidak begitu banyak bicara. Antoni selalu mengatakan beres ketika isterinya bertanya masalah bantal tersebut. Dia harus berbohong pada isterinya, bahwa nanti malam batal kumal itu boleh diambil, ketika sudah tidak banyak tamu di hotel Shangri-La tersebut. Padahal sebenarnya pihak security hotel, menahan bantal tersebut, dan boleh diambil ketika cek out. Dalam benak Antoni, dia harus fokus pada laporan dan pelantikan jabatan besok pagi. “ Sayang kamu di kamar dulu, nanti saya metting hanya sebentar, mungkin pukul 20.00 WIB, sudah seledai!”, kata Antoni membujuk isterinya, begitu sampai di kamar. ” Tapi, nanti setelah metting tolong ambil bantal tersebut!”, Jawab Lilis “ Beres, saya mandi dulu ya!” “ Iya, jangan terlalu lama!” “ Oke sayang, air hangat sudah menanti!”, Antoni selesai metting, tepat pukul 23.15 WIB, biasa kalau laporan semacam malam ini selalu molor dari agenda kegiatan, apalagi banyak para kepala cabang yang mencari muka di depan top menejer bank tersebut. “ Belum tidur!”, sapa Antoni, karena melihat isterinya masih duduk menonton acara televisi. “ Katanya selesai pukul 20.00 WIB?” “ Biasalah kalau rapat begini!” “ Bantalnya mana?” “ Sayang.. di hotel ini, tidak boleh bawa bantal sendiri!’ “ Gila kau kenapa tadi ngomong beres, dasar suami pembohong, gombal!”, kata Lilis sambil melemparkan remote control televisi yang masih dipegangnya. Antoni berusaha menghidar, tetapi masih kena juga mukanya. “ Sayang sudah...sudah cukup aku bersabar!”, bentak Antoni keras. “ Ini demi masa depan kita, termasuk anak kita juga!”, lanjut Antoni. Lilis langsung membalikkan mukanya dan menagis keras. “ Sayang kita menginap hanya satu hari, bersabar dan tahan diri dong, jangan egois!”, kata Antoni dengan suara bergetar karena menahan amarah.


“ Saya tidak mau tahu, kalau memang bantal itu tidak boleh masuk kamar ini, carikan saya taksi, saya mau pulang!”, kata Lilis keras dengan disertai isakan tangisnya. “ Kalau kamu tidak mau panggil taksi, baik ayo kita ke luar cari, penginapan, losmen atau apa namanya!”, lanjut Lilis. “ Baik kita cari penginanapan di sekitar sini, ayo kita ke luar!” Jawab Antoni mengalah. Merekapun ke luar, setelah Antoni mengambil, perlengkapan dari hotel, termasuk bantal yang ditahan pihak security hotel. **** Di sepanjang perjalanan keduanya terdiam seribu bahasa. Di Surabaya mencari losmen atau penginapan, memang tidak susah, tetapi yang susah adalah jalanannya, walaupun dekat harus ditempuh berputar-putar karena peraturan jalur lalu lintas, belum juga jebakan kemacetan. Surabaya adalah kota terbesar kedua setelah Jakarta. Hampir 75 menit perjalanan mereka mencari penginapan. Sampai dipenginapan Lilis langsung masuk kamar , sementara Antoni setelah mengeluarkan barang secukupnya dari dalam mobil lalu dibawa ke kamar. Antoni ke luar lagi, dia duduk di kursi depan kamarnya. Dia merenungi dan bersuraha mengendalikan emosinya. Sementara Lilis di dalam kamar juga belum dapat tidur, dia masih menahan tangisnya, dia kecewa berat kepada suaminya yang sangat dicintai ternyata harus berbohong demi naik jabatan. Dia berpikir mungkin ini rahasia Tuhan, kenapa dia lama tidak kunjung hamil. Dia dan suaminya masih belum bisa sabar serta belum pandai mengendalikan diri. “ Apakah aku egois!”, ucap Lilis dalam hati, “ Apa betul Kata Mas Antoni?”, lanjut Lilis berkecamuk dalam hati, sesekali dia buka tirai kamar, untuk melihat suaminya. Dalam hati kecilnya dia merasa kasihan, pada suaminya. Bukankah susminya sudah berkerja keras dan bersusah paya mencari nafkah, juga bekerja keras meniti karier demi masa depan keluarga. Batin Lilis terus berkecamuk dan berdebat panjang sampai pukul 04.20 WIB dia tertidur dengan bantal kumalnya. Sementara di luar kamar kepala Antoni terantuk-antuk tanda dia juga sudah mengantuk. Tak lama kemudian dia juga tertidur ****


Pagi itu hari Sabtu tanggal 27 Mei 1998, pukul 07.20 WIB. Sinar pagi yang cerah mewarnai kota Surabaya. Perlahan-lahan mata Antoni terbuka karena tersorot sinar matahari, dan telinganya samar-samar mendengar percapakan orang, ada yang menawarkan nasi bungkus, kopi hangat atau makanan yang lain. “ Waaa Bapak sudah bangun!”, kata Ibu tua penjual nasi bungkus. “ Nyenyak betul tidurnya, Pak apa beli nasi bungkus?”, “ Iya...iya...dua bungkus, kalau ada nasi campur saja!” kata Antoni sambil menguap dan mengucek-ucek kedua matanya. “ Ini pukul berapa, Bu?”, “ Baru pukul 08.00 WIB, Pak!” “ Apa..!”. kata Antoni langsung bangun, ibu penjual nasi bungkus itu, sampai terkejut. Antoni langsung masuk kamar. Lilis masih tertidur, Antoni setengah memaksa membangunkan isterinya. Ibarat tokoh super hero The Flash, kedua orang itu terburu-buru, bahkan Antoni hanya sekedar gosok gigi dan cuci muka saja. Keduanya langsung berangkat ke hotel ShangriLa. **** “ Tiiiiinnnnn....tiiiinnn”, bel mobil Antoni selalu meraung-raung. Entah berapa kali bel mobil itu sudah dipencet oleh Antoni. Jarak dari hotel ke losmen tempat Antoni menginap memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar 6 KM. Kota Surabaya lah yang membuat lama, karena macet dan harus melauli sekitar 6 sampai 7 trafight light. Dalam mobil Lilis Setyowati mulai gelisa. Dia kasihan pada suaminya, dia merasa bersalah karena terlalu egois. Berkali-kali dia berkata, “ Sabar Mas...hati-hati!”, “Ya Tuhan mudahkanlah segala urusan suamiku!”, dalam hati Lilis selalu berdoa. Mobil minibus berwarna hitam itu terus melaju, walaupun tersendat-sendat oleh kemacetan. Antoni langsung menuju tempat parkir. Mobilnya tidak mengalkami proses pepmeriksaan yang panjang dari pihak security seperti kemarin. Antoni hanya cukup menunjukkan kunci kamarnya. Antoni sampai di hotel tersebut sekitar pukul 09.30 WIB. *** Antoni setengah berlari menuju hall hotel Shangri-La, sementara Lilis tertinggal cukup jauh. Bak disambar petir hati Antoni ketika melihat ruang itu sepi, hanya terlihat beberapa petugas hotel sedang merapikan dan membersihkan sampah berserahkan, yang berupa kotak dan boto air mineral.


“ Maaf , Pak apakah di sini ada kegiatan?” Tanya Antoni “ Ya ..baru saja rampung, kayaknya pelantikan !” “ Pelantikan?”, tanya Antoni seakan tidak percaya. “ Ya pelantkan jabatan, kayaknya dari bank!” “ Ya..ya.. terima kasih Pak!”, kata Antoni lemas. Antoni segera bergegas ke luar hall. Lilis mencegat suaminya. “ Mas kenapa?”, tanya Lilis “ Semua sudah berakhir Lis!”, jawab Antoni lemas. Antoni duduk di depan hall, dia duduk di bawah, karena depan hall tersebut memang tidak disediakan tempat duduk. Lilis mengeluselus pundak suaminya, diapun berusaha keras menenangkan hati suaminya. “ Pak Antoni!”, sapa seseorang dari belakang. “ Pak Barata, ada apa pak?”, tanya Antoni “ ohh.. saya mengambil tas, kayaknya tertinggal di ruang ini!”, jawab Pak Brata. Pak Brata nama lengkapnya adalah Antonio Subrata di Komisaris di Bank di perwakilan Jawa Timur. Antoni kenal cukup baik, termasuk Pak Bratalah yang mempromosikan dirinya menjadi calon mamajer perwakilan Jawa Timur. “ Kenapa kau tidak datang Antoni, saya kecewa!!” “ Maaf Pak Barata tapi..!” “ Sudah saya tidak mau berdebat, padahal kamu saya anggap paling baik kinerjamu, dari pada cabang-cabang kabupaten yang lain!” Lanjut Pak Brata “ Pak..pak..eh mak ..maksud saya!”, Antoni terbata-bata “ Sudah ya..saya ada keperluan lain, oh ya jabatanmu di BPR Bangil sudah diganti oleh wakilmu, maaf!” Pak Bratapun langsung pergi dari hadapan Antoni. Antoni tenaga terkuras habis mendengar ucapan terakhir Bapak Antonio Subrata. Antoni hanya bisa duduk tertunduk dan diam seribu bahasa. Sementara Lilis sudah tidak bisa menahan tangis dan membendung air matanya. Lilis merasa kasihan pada suaminya dan dia merasa sangat bersalah. Apa daya nasi telah menjadi bubur, penyesalan hanyalah tinggal penyesalan. **** Senin sekitar pukul 10.00 WIB, Antoni, mengambil barang-barang di kantornya, sekaligus dia berpamitan. Antoni melihat Hariono yang dulu adalah wakiln dirinya sudah menempati meja kerjanya. Antoni paham bahwa Hartono sangat ambisi pada jabatan tersebut.


Posisi Hartono diganti oleh Andi Sebastian. Antoni sendiri tidak di-PHK dari BPR tersebut, ada jabata staf yang kosong ditawarkan padanya, tetapi karena gengsi dia menolak, sehingga dia tidak mendapatkan pesangon karena dianggap mengundurkan diri. Selesai berpamitan Antoni balik ke rumahnya. Sebelum pulang dia ke rumah teman SMA-nya, untuk membeli minuman keras. Oleh temannya dia hanya diberi cuma-Cuma, bahkan diberi lima botol sekaligus. **** Antoni berada di ruang atas lantai dua rumahnya. Sementara itu Lilis isterinya sudah tertidur pulas sejak beberapa waktu yang lalu. Antoni dengan hati yang ragu-ragu mengeluarkan barang haram tersebut yaitu lima botol minuman yang diberikan oleh teman akrabnya siang tadi. Masa muda Antoni ketika SMA, memang bukan peminum atau pemabuk, tetapi dia juga sering minum dengan teman-temannya. Antoni tergolong laki-laki perokok berat, bahkan ketika ada pekerjaan yang berat atau menumpuk dia bisa menghabiskan dua pak rokok putih tanpa cengkeh tersebut. Dia bersumpah dalam hati kecilnya,nanti ketika menikah dia akan meninggalkan hal buruk tersebut, termasuk merokok. Apalagi ketika isterinya hamil seperti sekarang ini. Keadaan semacam ini yang paling tidak disukai. Dia harus berhadapan dengan permasalahan yang rumit. Hampir selama dua jam Antoni menunggu suara tokek di atas atap lantai dua rumahnya. Degub jantungnya ibarat genderang perang yang secara bertalu-talu dipukulkan. “ tokek” “ minum” “tokek” “ tidak “ “ tokek” “ minum” “tokek” “ tidak” “ tokek” “ minum” Bergetar tangan Antoni memegang botol itu. ***Tamat***


Nyanyian Sedap Malam Karya : Kromo Aji Sekitar pukul 10.00 WIB, kelompok mahasiswa Universitas Airlangga Surabaya atau yang disingkat Unair datang ke desa Sekarsari, kegiatan mereka akan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata. Mahsiswa Fakultas pertanian tersebut terdiri dari Aditya, Panji Hutomo, Putri Aji, Naifah Khansah, Purnomo Dwi, dan Moh.Fahmi. Mereka akan melaksanakan KKN selama tiga bulan. Mereka sengaja datang membawa motor, karena desa yang mereka tuju selain tempatnya agak terpencil, kendaraan umum tidak ada. Warga sekitar jika ingin ke kota mereka harus naik mobil bak terbuka, yang sengaja dijadikan sebagai angkutan meraka. Mobil inipun hanya dua kali angkut pulang pergi dalam sehari. Kehadiran Aditya dan kawan-kawan, diterima oleh kepala desa Sekarsari. Pak Haryo Santoso sebagai kepala desa memberikan sambutan dengan baik, terhadap kelompok mahasiswa tersebut. Aditya sebagai ketua kelompok, langsung mengenalkan kawankawannya kepada pihak kepala desa dan semua perangkat desa, demikian juga sebaliknya. Aditya dan kawan-kawan diberi tempat di sebelah rumah Pak Sukardi selaku sekretaris desa Sekarsari. Bagunan di sebelah rumah Pak Sukardi tersebut, biasanya digunakan sebagai kantor karang taruna dan perpustakaan desa. Sebagai pendamping untuk menemani aktifitas Aditya dan kawan-kawan selama KKN, kepala desa menunjuk Fitri selaku warga desa tersebut. Fitri sendiri adalah wakil ketua Karang Taruna Arum Dalu, desa Sekarsari. Dia adalah anak Pak Sukardi. Setelah dianggap cukup pertemuan di balai desa tersebut berakhir. Fitri langsung mengajak ke tempat yang sudah disediakan oleh desa tersebut untuk mereka selama melaksanakan KKN. Fitri selanjutnya mengajak Aditya dan kawan-kawan ke rumah Saiful, dia adalah ketua Karang Taruna Arum Dalu. Fitri juga mengenalkan pada pemuda dan pemudi yang lain. **** Keesokan harinya Aditya dan kawan-kawan mulai melakukan aktifitas. Aditya dan Panji datang ke balai desa, untuk meminta data-data yang mereka perlukan. Sementara Purnomo


dan Fahmi menyusun jadwal kegiatan yang akan dilaksanakan selama KKN di desa Sekarsari. Putri dan Khansah dibantu Fitri membuat undangan untuk beberapa warga yang sengaja diundang Pak Haryo Santoso, untuk dikenalkan kepada Aditya dan kawan-kawan, kemudian pemaparkan kegiatan mahasiswa tersebut selama di desa Sekarsari nanti malam di balai desa. Adit dan Panji setelah dari balai desa mampir ke rumah Saiful. Saiful sedang membuat pagar di bekang rumahnya. “ Assalamu’alaikum!”, Panji memberi salam “ Walaikum salam, ayo-ayo sini!” kata Saiful Setelah berbasa-basi , Aditya langsung menanyakan masalah sumber air yang diceritakan oleh Kepala Desa, tadi di balai desa. Menurut Saiful, katanya memang ada, tetapi tidak tahu seberapa besar. Tempatnya sendiri sangat angker, warga Sekarsari menyebut tempat tersebut Gerumbul, karena tempatnya sangat rimbun tidak teratur. Menurut cerita beberapa warga Sekarsari, ada dua orang warga Pandanwangi, yang meninggal dan gila, setelah mereka dari Gerumbul tersebut, bahkan ada warganya yang hilang hingga sekarang. Warga ini tidak percaya sehingga ia nekat ke Gerumbul tersebut dan dia tidak kembali sampai saat ini. Desa Pandanwangi adalah desa tentangga. Aditya meminta Saiful mengantarkan dirinya ke desa Pandanwangi, untuk menengok orang yang gila setelah dari Gerumbul. Saiful mengiyakan permintaan Aditya. **** Pertemuan di balai desa malam itu dihadiri oleh seluruh perangkat desa dan beberapa undangan lainnya. Pak Haryo Santoso selaku Kepala Desa , memperkenalkan dan menjelaskan kepada warga tentang kedatangan Aditya dan kawan-kawan. Warga sangat ramah dan hangat menyambut kehadiran mereka. Kepala desa juga mengenalkan keluarganya kepada Aditya dan kawan-kawan, walaupun kedua anaknya tidak ada ditempat. Anak yang pertama adalah Agus Eko Utomo yang sampai sekarang berada di Jakarta sebagai pengusaha giling beras dan pengepul beras. Anak keduanya Dwi Puteri Mayang sedang kuliah di Malang. Berikutnya secara bergantian Aditya, Panji dan Putri memaparkan agenda kegiatannya. Program Aditya dan kawan-kawan akan meningkatkan produktifitas ekonomi warga Sekarsari. Mereka akan mengajarkan cara mengelola bunga sedap malam agar berniai ekonomis lebih tinggi. Mulai dari cara penanaman, perawatan dan yang paling penting yang belum diketahui warga adalah pewarnaan bunga sedap malam. Bunga sedap malam bisa diberi warna-warni, dengan cara memasukkan pewarna pada air, lalu batang pohon sedap malam yang sudah dipotong tersebut


direndam selama minimal 2 jam, maka bunga-bunga akan berwarna sesuai dengan warna yang diinginkan. Warga yang hadir bertepuk tangan dan sangat antusias terhadap program para mahasiswa tesebut. Sekitar pukul 22.00 WIB pertemuan diakhiri. **** Sesuai rencana kemarin Aditya dan Panji menuju desa Pandanwangi, meraka ditemani Saiful. Mereka berangkat dengan jalan kaki melalui jalan pematang sawah desa. Jarak kedua desa itu memang tidak terlalu jauh karena berdampingan. Dalam perjalanan mereka terihat lebih akrab walaupun Saiful baru berkenalan dengan Aditya dan Panji. Kedua desa tersebut keadaanya sangat gersang. Sawah-sawah penduduk hanya bisa ditanami dengan bungan sedap malam, karena tanaman ini termasuk jenis tanaman yang tahan panas. Ada juga beberapa sawah yang terbengkalai tidak digarap oleh pemiliknya. Langkah mereka terhenti ketika melihat sekelompok orang sedang berkumpul, ada sekitar 15 orang. “ Saiful sebentar, apa yang mereka lakukan?” , Tanya Aditya. “ Biasa orang-orang kampung sini setiap Kamis Kliwon dan Jumat Legi berjudi!”, jawab Saiful. “ Kenapa begitu?” “ Mereka lagi banyak uang, karena setiap Kamis Kliwon dan Jumat Legi, harga bunga sedap malam mahal naik hingga 10 kali lipat!” “ Semua warga, Saiful?”, tanya Panji penasaran “ Tidak sebagian saja, sebagaian ada yang dari kampung lain!” “ Saiful mereka rata-rata hidupnya, kekurangan, tapi masih berjudi, bahkan ada beberapa anak muda!” “ Sangat sulit menghilangkan kebiasaan jelek ini, Panji!”, Jawab Saiful. “ Hey saiful, ayo gabung sini, kapan datang?’, sapa Barno. “ Mas Barno, tidak terima kasih!”, “ Ayo, jangan buru-buru, cari hiburan di sini, warga sini kan jarang mendapat hiburan!”, ajak Barno, entah basa-basi atau serius. “ Terima kasih Mas, aku tidak bisa cara mainkan kartu itu!” “ Hey bukannya dua temanmu yang menginap di Pak Majid?”, “ Iya Mas!”, jawab Panji dan Adit serentak sambil menanggukan kepalanya tanda sapaan hormat. Aditya dan Panji berjabat tangan dengan Barno lelaki berambut kuncir teraebut, merekapun berkenalan.


“ Baik kami mohon diri, Bapak-bapak mari semua!” Saiful berpamitan, semua lelaki itu melambaikan tangan. “ Hey Dit, Panji, kapan-kapan aku ke rumah Pak Majid, untuk ngobrol dengan kalian!”, kata Barno setengah berteriak, yang masih tetap melanjutkan permainannya. **** Saiful langsung mengajak Aditya dan Panji menuju rumah Bahri. Bahri adalah pemuda Pandanwangi, yang lumayan akrab dengan Saiful. Mereka berdua kenal ketika ada acara pembekalan dari Dinas Tenaga Kerja, dan Kepemudaan ke Jakarta. Yang mewakili kecamatan mereka tentang pemuda dalam wira usaha. Dalam hati Saiful berdoa, mudah-mudahan Bahri tahu banyak mengenai peristiwa matinya warga Pandanwangi, setelah mencari rumput di Gerumbul ujung desa tersebut. Mereka sudah lima kali megetuk pintu, baru ibunya membukakan pintu. Ibu setengah tua itu memberitahukan, bahwa Bahri sedang pergi ke sawah belakang rumahnya. Segera mereka bertiga mencari Bahri di sawah belakang. Terlihat dari kejauhan Bahri sedang menyiangi rumput di sekitar bunga sedap malamnya. sawah Bahri ukurannya tidak begitu luas, tetapi memanjang. “ Assalamualaikum!”, sapa Saiful “ walaikum salam, wah Saiful, angin apa yang membawa kalian ke mari!”, Saiful lalu mengenalkan Aditya dan Panji, mereka berbasa-basi ngomong sana-sini. Bahri sendiri terhitung pemuda yang pandai, karena dia sekolah di SMA Negeri Favorit di kota Malang saat ikut pamannya. Cita-cita Bahri ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, cita-cita itu kandas saat pamannya meninggal dunia. Saiful langsung masuk pada persoalan inti, kenapa harus datang ke rumah Bahri. Saiful menjelaskan keperluan mereka, Bahri mendengarkan dengan seksama. Cerita dilanjutkan oleh Aditya dan Panji mengapa mereka harus datang ke desa Sekarsari, hingga bercerita ingin memakmurkan warga desa di sana. Ganjalan yang membuat rencana Aditya dan Panji, kesulitan mengajak warga memasang bambu atau pipa dari ujung bukit untuk menyalurkan air menuju ke dua desa di bawahnya yaitu Sekarsari dan Pandanwangi. Termasuk penasaran mereka terhadap Gerumbul yang ada di bukit tersebut. Dalam hati Aditya dan Panji seberapa angker Gerumbul tersebut. Aditya menceritakan pada Bahri cerita Fitri, mengenai warga desa yang pernah ke Gerumbul tersebut.


“ Aditya Memang benar cerita Fitri!,” Jelas Bahri “ Jadi benar dua warga yang pergi kegerumbul itu mati?”, Panji bertanya untuk menegaskan. “ Yang meninggal satu, mayatnya ditemukan warga di bawah bukit!”, “ Terus satunya?”, tanya Panji dengan wajah penasaran. “ Hilang sampai sekarang!”, Jawab Bahri. “ Apakah warga tidak mencarinya?”, giliran Aditya yang bertannya. Bahri menjelaskan semuanya, sebatas yang ia ketahui. Warga desa tidak ada yang berani ke Gerumbul itu. Gerumbul itu sudah berpuluh-puluh tahun tidak tersentuh oleh manusia. Bahri juga cerita Pakdenya yang menjadi gila setelah masuk Gerumbul tersebut. “ Bahri kamu yakin semua disebabkan keangkeran Gerumbul itu?”, tanya Aditya lagi. “ Hal itu aku tidak bisa menjawab!”, “ Saiful kamu percaya keangkeran itu?” ganti Saiful menjadi sasaran pertanyaan Aditya. “ eeehh gimana ya?”, kata Saiful sambil mengulik-ngulik bibir dengan ujung jarinya. “ Teman-teman, terus terang aku bukan warga sini, tapi sangat kasihan dengan kemiskinan warga sini!”. Kata Aditya sambil menepuk-nepuk pundak Saiful dan Bahri. Hati Bahri terenyu melihat kertulusan hati Aditya dan Panji untuk mengubah nasib warga Sekarsari dan Pandanwangi. “ Aditya, Panji, juga Saiful saya akan membantu sepenuh hati keinginan kalian!”, kata Bahri. Aditya menginginkan Saiful mengajak pemuda tau pemudi di sana yang berpikiran sama, yaitu ingin memajukan desanya. Kehidupan warga Sekarsari dan Pandanwangi sangat miskin. Sawah mereka sangat kekurangan air, bahkan sudah banyak warga yang sudah menjual sawahnya dengan harga sangat murah. “ Bahri bisa kamu mengantarkan kami ke Pakdemu?”, tanya Panji “Pakde ku yang gila!”, “ Maaf iya..Bahri!” “ Baik Ayo kita ke sana!” Keempat pemuda tersebut langsung bergegas menuju rumah Pak Darmato, yaitu Pakdenya Bahri. ****


Terlihat walaupun sederhana tetapi rumah Pak Darmato Pakde dari Bahri ini tetapi paling bagus diantara warga yang lain. Di belakang rumah tersebut terliha ada enam ekor lembu berukuran besar, dan ada sekitar duapuluh lima kambing, belum ayam dan itiknya. Menurut cerita Bahri, Pakdenya sudah lama tidak bekerja, bahkan akalnya menjadi gila sudah dua tahun lebih. Pak Darmanto tinggal bersama isteri dan dua anak perempuannya yang sekolah di luar kota. Isteri Pak Darmanto menceritakan peristiwa suaminya ketika itu akan mencari sumber mata air di Gerumbul untuk mengairi sawahnya. Naas benar nasib suaminya waktu itu selama dua hari tidak pulang. Warga Pandanwangi, menjumpainya di tengah sawah. Pak Darmanto selalu berteriak-teriak ketakutan. Sampai sekarang sekarang kadang-kadang dia berteriak ketakutan. “ Sudah dibawa ke dokter Bu?”, Tanya Panji “ Orang sini paling takut pada dokter, termasuk Pak Denya Bahri!”, jawab Bu Dewi isteri dari Pak Darmanto, sambil melirik kea rah Bahri. “ Bahri ajak makan teman-temanmu!”, “ Iya Bude!”, Merekapun langsung makan, setelah makan di tempat Pak Darmanto Aditya, Panji dan Saiful langsung berpamitan, pada Bu Dewi dan Bahri. **** Malam hari itu seperti biasanya, Aditya, Panji, Putri, Naifah, Purnomo dan Fahmi membahas perkembangan pelatihan yang diberikan kepada masyarakat Sekarsari bagaimana cara pengolahan sawah dan bunga sedap malam agar dapat meningkatkan penghasilan. Sesaat kemudian Fitri datang. Fitri malam itu menggunakan kaos lengan panjang berwarna coklat mudah, sehingga semakin terlihat manis. Sesekali Panji melirik pada Fitri, demikian juga sebaliknya. Sejak pertemuan mereka Panji menyimpan perasaan tersendiri terhadap Fitri anak semata wayang Pak Sukardi ini. Selang beberapa saat berikut Saiful datang. Mereka membahas hasil kunjungan Aditya, Panji dan Saiful ke desa Pandanwangi. Aditya dan Panji memaparkan pada teman-temannya, bahwa Pak De Bahri yang bernama Pak Darmanto itu mungkin tidak gila. Sebelum berkunjung ke desa Pandanwangi Panji telah menelpon pamannya yang menjadi dokter jiwa. Menurut pamannya pandangan orang yang terganggu ingatannya itu tidak bisa fokus, dan biji mtanya cenderung ke atas. Yang lain mendengarkan dengan seksama, sambil sesekali mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu


Aditya bertanya pada Saiful mengenai keseriusan Bahri dalam membantu mereka apa sungguh-sungguh. Saifulpun meyakinkan pada Aditya dan kawan-kawan Bahri sangat serius. Saiful sangat paham terhadap karakter Bahri. “ Mas Barno sendiri, bagaimana Ful?”, tanya Aditya. “ Aku tidak kenal betul, terhadap Mas Barno!”, jawab Saiful dengan pelan-pelan, seperti anak kecil yang mengeja tulisan. Menurut Saiful Barno bukan orang asli Pandanwangi. Dia pendatang, dia adalah pengepul bunga sedap malam milik warga, untuk dikirim ke kota-kota besar. Menurutnya dia mengenal Barno sekitar dua bulan yang lalu, waktu itu ada pertandingan sepak bola antar desa , dan hampir saja terjadi keributan. Barno berusaha melerai dan meredam emosi beberapa pemuda Pandanwangi. Saiful sendiri sebagai kapten di kesebelasan kampungnya, juga berusaha meredam emosi teman-temannya. Waktu semakin larut merekapun akhirnya mengakhiri pertemuan malam itu. *** Aditya dan Panji ke kantor kecamatan, untuk membeli beberapa keperluan, karena di sekitar kantor kecamatan tersebut banyak anc-toko. Keperluan utama Aditya adalah ke telepon umum untuk menelpon ayahnya. “ Assalamu’alaikum Ayah !”, “ Walaikum salam, ada apa Dit?”, “ Ayah cepatlah ke sini, saya sudah banyak menemukan, kejanggalan, ayo bantu warga sini, ayahkan polisi!” “ Tidak semudah itu Dit, ada prosedurnya, baiklah ayah akan datang!” “ Ayah harus menyamar!”, kata Aditya “ Tentu, tugasmu adalah beritahu teman-temanmu agar pura-pura tidak mengenal ayah!” “ Siap Pak komandan Hari Protomo!”, jawab Aditya seolah-olah menirukan gaya seorang prajurit polisi. Kasus di desa Sekarsari tersebut kebetulan menjadi tanggung jawab Hari Protomo, ayah dari Aditya. Aditya dan Panji setelah membeli beberapa keperluan, merekapun kembali ke desa Sekarsari. Dengan motor jenis tril milik Aditya, sekitar satu jam setengah sampai ke desa tersebut. Fahmi memberitahukan pada Aditya bahwa tadi Barno mencarinya, tapi karena Aditya dan Panji tidak ada maka Barno pulang. Nanti malam Barno akan berusaha datang kembali untuk menemui Aditya dan Panji. Aditya menanyakan ada keperluan apa Barno mencarinya. Fahmi mengatakan tidak tahu.


“Aditya, kamu harus hati-hati, bergaul dengan orang!”, kata Purnomo. “ Memang kenapa, Pur?”, “ Benar Aditya, kelihatannya Barno itu tabiatnya kurang baik!”, Lanjut Putri menasihati Aditya. “ Pur dan Putri saya bisa menjaga diri, percayalah tidak ada apa-apa!” Aditya mengumpulkan teman-temannya untuk makan siang, dia tadi bersama Panji membeli beberapa potong ayam goreng , kentang dan es buah. **** Aditya, membantu Naifah untuk segera menyelesaikan laporan bulanannya. Sementara Fahmi dan Purnomo sibuk mengetik laporan kelompok. Terdengar suara motor di luar tempat mereka berkumpul. Tak lama mendengar ketukan pintu dan suara orang laki-laki. Panji segera membukakan pintu. Rupanya yang datang adalah Barno. Barno terlihat mematikan rokok dan melepas jaket kulitnya lalu diletakan di atas spion motor sepeda GL Max keluaran tahun 1990. Panji mempersilahkan Barno masuk, sementara yang lain tetap melanjutkan aktifitas. “ Mas Barno, wahh betul menepati janji rupanya!” “ Iya aku kapan itu kan ngomong kalu ingin ke mari!” “ Mas tidak ada kegiatan, ada perlu apanih?”, sapa Panji “ Tidak... saya aktifitasnya kalau bunga sedap lagi mahal!” kata Barno sambil membetulkan kuncir rambutnya. Intinya Barno mengingatkan agar, Aditya dan kawan-kawan membatalkan keinginannya untuk pergi ke Gerumbul. Resikonya sangat besar, Barno juga berkata bahwa tempat tersebut sangat angker. Terlalu bahaya kalau Aditya dan kawan-kawan memaksakan diri. “ Ingat tujuan kalian ke sini adalah KKN, kasihan orang tua kalian, kalau ada apa-apa, dari kalian!”, Barno tegas mengingatkan mereka. “ Mas tapi..!”, Penji Menyelah pembicaraan. “ Sudah, tolong jaga dan ikuti kata-kata saya!”, Tak lama kemudian Barno mohon diri, suasana menjadi kaku. Fahmi dan Purnomo menghampiri Aditya, mereka mengatakan mungkin ada benarnya perkataan Barno. Tujuan merka datang ke desa ini adalah KKN. Sebelum mereka tidur Aditya, Panji dan Purnomo berencana menemui Saiful dan Bahri. Mereka akan membicarakan masalah kedatangan Barno. ****


Dari rumah Saiful sekawanan anak muda ini, akan ke Desa Pandan wangi untuk menemui Bahri. Tinggal Putri dan Naifah yang masih tetap di rumah perkumpulannya. Kedua gadis cantik ini berencana akan ke rumah Bu Lurah bersma Fitri. Mereka langsung ke rumah Bahri, tetapi kata ibunya Bahri sedang ke rumah Pak Denya, maka Aditya dan kawan-kawanya langsung menuju ke rumah Pak Darmanto, Pakde Bahri. Terlihat ada empat motor di depan rumah Pak Darmanto. Mata Aditya dan Panji terbelalak ketika melihat salah satu dari motor itu adalah mirip motor Barno. “ Assalamu’alaikum!”, Saiful mengucapkan salam Panji melihat pak Darmanto buru-buru masuk kamarnya, jelas tadi terlihat ngobrol santai dengan Barno. “ Walaikum salam!”, jawab Bahri Setelah mempersilahkan masuk, Aditya dan kawan-kawan duduk bersebelahan. Barno langsung menyambut dengan mulai pembicaraan. Dalam rumah Pak Darmanto , ada empat orang lain selain Barno dan Bahri. “ Anak-anak muda, kenalkan ini Pak Lurah Pandanwangi, namanya Pak Darmojo, di sebelah, Tarmun dan Rusman!” kata Barno, seolah-olah membanggakan diri. Terlihat tubuh Tarmun dan Rusman sangat besar. “ Yang satu ini adalah Mbah Marjono dia adalah dukun hebat!”, lanjut Barno “ Aditya, Panji dan yang lain ingat kata-kata saya!”, kata Barno. Aditya menjelaskan kedatangan mereka, dia beralasan mengajak Bahri untuk membetulkan motor milik Putri yang sedang rusak. Segera Bahri mengiyakan dan meninggalkan rumah Pak Darmanto. Mereka segera bersama-sama ke rumah Fitri. Sebelum sampai di tujuan mereka berhenti di gubuk sawah yang suananya cukup teduh. Mereka mematangkan rencana mereka. Mereka memutuskan akan ke Gerumbul tersebut, hari Kamis malam Jumat Legi. Awalnya Fahmi dan Bahri tidak setuju, karena konon kalau malam itu setan dan hantu pada ke luar. Panji memberikan ancer yang kuat, karena warga desa malam itu sedang sibuk berdagang bunga sedap malam mereka. **** Naifah bercerita pada Aditya, bahwa tadi di balai desa bertemu dengan ayah Aditya dan dua temannya. Seperti yang diperintahkan Aditya kalau bertemu dengan ayahnya agar berpura-pura tidak mengenal, maka mereka dapat bersandiwara dengan baik. Menurut Putri ayah Aditya berpura-pura mencari tanah untuk temannya, sementara teman yang satunya


berpura-pura menjadi paranormal, bertugas bagian melihat keadaan tanah yang akan dicarinya. “ Wah hebat...Ayah!”, kata Aditya “ Yang membuat aku menahan tawa, adalah saat Pak Kades mengenalkan aku pada ayahmu!” Kata Putri “ Padahal kitakan sudah kenal baik!”, tambah Naifah “ Baik terima kasih teman-teman, telah bersandiwara dengan baik!” Ayah Aditya dan dua temannya menginap di rumah pak carik, karena dalam dua hari ke depan meraka akan di kenalkan dengan para pemilik tanah. Ayah Aditya yaitu Pak Hari Sulaiman berpura-pura mencari tanah untuk berternak ayam, dia membutuhkan tanah yang cukup luas. Dalam pikiran Aditya dan kawan-kawannya mudah-mudahan semua berjalan dengan baik dan lancar. Aditya sendiri masih memikirkan kata-kata Barno, tetapi segera dibuang jauh-jauh dari benak Aditya. **** Sesuai rencana malam Jumat Legi, habis sholat isya, Aditya dan kawan-kawan akan menuju Gerumbul. Mereka membawa dua motor untuk, Aditya membonceng Purnomo, sementara Fahmi membonceng Panji. Motor mereka akan dititipkan di rumah Saiful. Mereka sengaja tidak membawa alat penerangan untuk menuju Gerumbul tersebut. Mereka hanya membawa dua tas ransel yang berisi alat-alat ringan, tang, catut, tambang, dan satu pisau. Mereka sengaja memakai jaket berwarna gelap. Saiful sudah menunggu, setelah memasukkan motor ,mereka berjalan kaki. Di perempatan desa sudah ramai orang tawar-menawar bunga sedap malam, bahkan hampir berdesak-desakan. Dari keramaian warga tersebut, muncul Bahri yang langsung bergabung dengan rombongan Aditya. Bahri mengajak mereka agar memilih jalan agak memutar ke bukit ujung kampung tersebut. Memilih lewati pematang sawah yang sempit. Hal ini bertujuan agar sedikit kemungkinan berpapasan dengan warga. Mereka mulai merasakn tantangan. Jalanya menanjak dan mereka tampa alat penerangan. Bahri berada paling depan, karena dia sangat hafal dengan sawah-sawah desa Pandanwangi. Sementara Saiful berada barisan paling belakang. Jalan semakin sulit dan menanjak, Bahri beberapa kali memotong rumput-rumput yang sudah tinggi menutupi pematang sawah tersebut. Dari kejauhan terlihat kerlap-kerlip lampu jalan, sesekali terlihat lampu-lampu motor. Jarak mereka dari jalan kampung sekitar 6


KM, tetapi karena di hamparan persawahan jalan tersebut dapat dilihat. Mereka sudah berada di badan bukit, tingginya sekitar 400-500 meter. Masalah terjatuh dan kaki tersandung batu, sudah tidak mereka hitung lagi, karena mulai tanjakan tadi pematang tersbut berbatu-batu. Mereka berjalan sekitar satu jam setenga. Aditya menepuk-nepuk pundak Bahri dari belakan. Bahri menoleh dan berhenti. “ Berkilau-kilau di depan itu?”, kata Aditya setengah berbisik. “ Aku tidak tahu!”, kata Bahri juga setengah berbisik, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Aditya menoleh pada Saiful, tetapi saiful juga menggeleng-gelengkan kepalanya. **** Mereka berjalan hampi satu setengan jam. Betapa terkejutnya mereka. Mata mereka terbelalak dan mulut mereka menganga terbuka. Ternyata yang terlihat berkilau-kilauan tersebut adalah sebuah danau yang jernih. Belun selesai kekaguman Aditya dan kawan-kawan. Dari kejauhan terlihat beberapa sorot-sorot lampu senter. “ Kami mohon semua menyerah, karena tempat ini sudah kami kepung!”, terdengar suara dari megapun “ Sekali lagi kami mohon semua menyerah, karena tempat ini sudah kami kepung!” Belum selesai suara himbauan itu terdengar, terdengar suara letusan-letusan. “ door...dor...dor...” Suara letusan tersebut saling berbalas dari dua arah yang berlawanan. Terlihat kilatan-kilatan api. “ Teman-teman tetap bertiarap di sini!” kata Panji seperti berbisik. “ Sampai kapan!”, balas Fahmi juga berbisik. “ Tidak tahu, sampai keadaan aman!”. BerMargono ada pohon yang besar, mereka bertiarap di balik akar pohon besar tersebut. Mereka dapat melihat dengan jelas baku tembak tersebut. Dalam hati Aditya, berkata mungkin itu ayah dan anak buahnya ,yang sedang berbaku tembak dengan para preman. Sekitar 45 menit baku tembak itu berlangsung, sekarang hanya terdengar teriakan-terikan anggota polisi, agar para preman tersebut tetap bertiarap untuk diikat tangan-tangan mereka.


Matahari sudah bersinar cerah, sementara Aditya dan kawan-kawan masih belum beranjak dari tempatnya. Aditya memastikan bahwa lelaki tegap itu adalah ayahnya. Dia berdiri berteriak-teriak sambil melambaikan tangan. “ Ayah...ayah...ini Aditya!”, tiga kali dia berteriak dengan kalimat yang sama. “Aditya...betul itu Aditya!”, balas tersebut terdengar menggunakan megaphone. “ Iya Aditya Rahmansyah, Ayah!” “ Baiklah ayo cepat ke mari!”, Seketika itu Aditya dan kawan-kawannya langsung berdiri dan berlari ke arah ayah Aditya. “ Hebat ternyata kalian sampai juga di sini!”, kata Ayah Aditya, “ Iya dong!” , kata Aditya “ Dit lihat itu Mas Barno, kan?”, kata Panji “ Siap...!”, Kata Barno Sambil berdiri tegap dan member hormat, kepada Aditya dan kawankawan. “ Ayah kenal dia?”, Lanjut Aditya “ Iya dia anak buah Ayah, nama aslinya Hadi Santoso!”” “ Mas Barno saya kira, akan memusuhi dan mencelakai saya, karena dia seakan-akan membenci kami!” “ Berarti penyamaran saya sukses!”, Kata Hadi Santoso sambil tertawa. Sementara itu Bahri melihat Pak De Darmanto juga menjadi kawanan orang-orang yang diikat tangannya oleh polisi. “ Pak De!”, sapa Bahri “Sudah Bahri, maafkan Pak De!”, “ Pak De tidak gila?”, Pak Darmanto hanya mengelengkan kepala, Bahri dapat melihat bahwa pak de nya sedang menangis. Sekarang jelas sudah bahwa kelompok orang-orang ini berusaha menyebarkan rasa takut warga terhadap Gerumbul itu. Dibuat seolah-olah Gerumbul tersebut memang angker, yang datang mendekat ke Gerumbul itu bisa bisa gila bahkan mati. Ternyata Pak Darmanto selama ini berpura-pura gila. Saiful mengatakan bahwa Pak Parmin yang selama ini menghilang, ternyata berada di area Danau ini. Danau ini sendiri di sekitarnya sudah dibangun berapa petak kamar. Baberapa orang yang terlihat bukan asli penduduk kedua ini.


Menurut Pak Hari Pratomo, petugas kepolisian yang menjadi ketua operasi penyergapan di Gerumbul, bahwa di danau tersebut akan dibangun perusahaan air mineral. Air di danau tersebut mengandung mineral cukup tinggi. Menurut Pak Hari Pratomo dalang dari peristiwa iini adalah kepala Desa Pandanwangi yaitu Daromojo, dan yang satu lagi Agus Eko Utomo, anak dari kepala desa Sekarsari. Kelompok ini sudah lama membuat renacana ini. Sawah dibiarkan kekeringan agar tidak pernah digarap dan akan dijual dengan harga murah. Menurut kelompok Pak Darmojo ini, mereka sudah menjual sawah warga yang dibeli dengan murah, ke pihak perusahaan air mineral tersebut. Pak Darmojo sudah tertangkap, tinggal Agus Eko Utomo yang belum, karena dia pergi ke Jakarta, menemui boss air mineral. Menurut Pak Heri Protomo ayah Aditya pihak polisi sudah menegetahui keberadaan Agus Eko Utomo , pihak kepolisian sudah saling koorninasi, tinggal menangkap saja. “ Nah Adit, dan teman-teman, impianmu, mungkin segera terwujud ”, Kata Pak Heri Pratomo “Apa itu ayah?”, tanya Adit “ menyalurkan air, dari danau itu, kedua desa di bawahnya!”, lanjut Pak Hari Pratomo. Setelah kepolisian dari Polres setempat tiba, maka seluruh preman tersebut di bawah ke Polres, untuk menajalani proses hokum. Adit dan kawan-kawannya merasa lega dan bangga, mungkin hal ini juga dirasakan oleh kedua warga desa tersebut ***Tamat***


Mendung di Atas Wonoglagah Karya : Kromo Aji Pagi itu masih terlihat gelap, fajar belum muncul. Tampak puluhan orang sedang berkerumun. Ternyata kerumunan warga tersebut melihat sesosok mayat pemuda. Hampir wajahnya tidak dapat dikenali, karena lebam dan berlumuran darah. Beberapa warga Wonoglagah akhirnya dapat menganali mayat tersebut dia adalah Brojo. Brojo adalah seorang pemuda yang dikenal sebagai pemuda brandalan, dia pemabuk, penjudi, bahkan sering merusak rumah tangga orang lain. Dia menjadi berandalan detelah di tinggal ayahnya entah ke mana, sekitar tujuh tahun yang lalu. Dia memang tergolong anak orang kaya di desa tersebut. Warga mulai mengungkap kejelekan tabiat Brojo, bahkan ada yang mensyukurkan dia mati dalam keadaan mengenaskan. Terliahat di antara kerumunan warga, sesosok lelaki berambut gondrong acak-acakan, terlihat dekil dan kumal, mirip seorang gelandangan. Warga yang berkerumunan tidak menghiraukan kehadiran lelaki tersebut, seakan-akan tidak ada yang mengenalnya. Mata lelaki gembel tersebut tajam menatap mayat yang seakan-akan memang sengaja dibiarkan oleh warga. Tatapannya menyimpan dendam yang besar. “ Brojo kau belum waktunya meninggal, nanti malam kau akan kuhidupkan kembali!” kata lelaki gembel tersebut, seraya meninggalkan kerumunan warga. Warga Wonoglagah segera membawa mayat Brojo ke rumahnya. Ia sekarang hanya tinggal bersama ibunya. Kabar kematian tersebut terus menyebar ke semua telinga warga Wonoglagah. Sebagian merasa lega atas kematian pemuda berandal tersebut, terutama para wanita muda. Brojo memang memiliki ilmu silat yang hebat, sehingga banyak warga yang gentar menghadapinya. Entah siapa tadi malam yang berhasil membunuhnya. Dia mati karena dikeroyok atau duel satu lawan satu.


**** Kuburan Brojo masih terlihat basah, kuburan di ujung selatan desa Wonoglagah tersebut sangat sepi. Malam baru beranjak setelah terdengar adzan maghrib. Terlihat sosok lelaki berambut godrong, mendekati makam Brojo. Lelaki gembel tersebut adalah Darmun, ayah Brojo, dia menghilang sekitar tuju tahun yang lalu, setelah kalah dalam pemilihan kepala desa. Darmun bertapa untuk memperoleh kesaktian. Ia sengaja datang untuk membuat onar desa tersebut. Kebetulan anaknya, baru saja meninggal. Terlihat Darmun duduk bersila di makam Brojo, ia duduk tepat di sisi nisan kepala Brojo. Mulutnya terus berkomat-kamit, semakin lama semakin cepat, cepat dan semakin cepat. Tak lama kemudian dari makam tersebut muncul asap putih tipis, semakin lama semakin tebal. Kepulan asap itu lambat laun menjadi sosok mahluk yang mengerikan. “ Brojo balas kematianmu nak, bunuh siapa saja yang menyakitimu!”, ucap Darmun setegah berbisik dengan suara yang parau. Mahluk mengerikan itu berjalan dan menghilang begitu ditelan kegelapan malam. **** Malam itu tidak seperti biasanya lebih panas dari malam-malam sebelumnya. Burung gagak terus saja berbunyi, seakan-akan ada kematian lagi. Angin berhembus dengan kencang. Desa Wonoglagah seolah desa mati tiada satupun warga yang ke luar rumah. Malam sudah larut , Joko masih belum tidur, ia membolak-balikan badannya sesekali bangun lagi. “ klaaak!”, terdengar suara benda jatuh. “ Emak..emak!”, Joko memanggil ke arah suara tersebut “ Apa Jok, kamu belum tidur?”, kata Emaknya “ Belum , silahkan Mak tidur dulu!”, Emak Joko langsung menuju ke kamarnya. Rumah Joko hanya terbuat dari anyaman bambu, seperti sebagaian besar rumah warga desa Wonoglagah. Mayoritas warga desa Wonoglagah memang kurang mampu secara ekonomi. Hampir satu jam Joko juga belum bisa memejamkan matanya. “ klaaak!”, terdengar lagi suara benda jatuh. “ Emak..emak!”, Jokopun memanggil ke arah suara tersebut


Click to View FlipBook Version