Secepat kilat muncul sosok mengerikan di depan Joko. Ia mundur menepi ke pojok tempat tidurnya. “ Siapa kau!”, teriak Joko Tanpa menjawab mahluk tersebut langsung mencekik dan merobek-robek perut Joko, dengan kuku-kuku tajamnya. Isi perut Joko berhamburan, dan Joko langsung meregang nyawa. Kematian Joko segera menyebar ke seluruh pelosok desa Wonoglagah. Wargapun menghubung-hubungkan dengan kematian Brojo. Beberapa warga segera menuju ke rumah kepala desa, untuk merundingkan masalah tesebut. Warga langsung menemeui Pak Danuyekso selaku kepala desa Wonoglagah. Terlihat yang hadir Barja, Sudar, dan beberapa orang yang lain. Sementara Pak Sarmin selaku carik di desa Wonoglagah, juga terlihat baru hadir. “ Pak warga banyak yang mengaitkan kematian Joko tadi malam, dengan kematian Brojo!” , kata Barja “ Barja jangan mempunyai prasangka jelek dulu, kita lihat perkembangannya!” kata Danuyekso “ Betul Pak, mulai nanti malam kita, giatkan penjagaan kembali!”, kata Pak carik “ Iya Pak Carik, tolong sebarkan ke warga yang lain, termasuk semua yang hadir di sini tolong sebarkan berita ini!”, kata Danuyekso pada semuanya. Wargapun meningglkan balai desa untuk kembali ke rumah dan beraktifitas. **** Sesuai permintaan Pak Danuyekso selaku kepala desa Wonoglagah, agar semua warga terutama kaum lelaki untuk berjaga di malam hari. Malam ini terlihat lebih ramai dari malam kemarin, walaupun secara jujur semua warga dirundung rasa takut dan was-was. Terlihat Sudar, Truno dan empat pemuda lainnya berjalan mengelilingi area jalan sebelah utara desa Wonoglagah. Sebagian jalan utara desa ini merupakan hampaanr persawahan warga. “ Sebentar teman-teman saya mau buang air kecil!”, kata Truno “ Ya sudah sana, apa perlu ditemani semuanya , ha..ha..ha..!”, seru Sudarip sambil tertawa. “ Rip saya tidak berani, antar dong!”, “ Sudar temani Truno!”, kata Sudarip “ Sialan dasar penakut!”, jawab Sudar mengomel
Malam itu terasa panas, ke empat pemuda, itu berkusak-kusuk tentang perasaan mereka yang mendebarkan. Sementra Sudar dan Truno berjalan agak jauh, sambil menacari air. Mereka harus berjalan pelan-pelan karena tidak membawa alat penerangan. Belum lama kemudian terdengar suara orang tercekik. “ ekkkkk’...eeekkkk”, Sudarip yang membawa senter langsung mengarahkan, ke suara tersebut. Terlihat kedua pemuda itu bergeletakan tanpa nyawa. Naas nasib Sudar dan Truno, harus meninggal secara tragis juga. Sudarip dan ketiga temannya langsung lari, untuk minta pertolongan. Sudarip menceritakan kejadian tersebut kepada bebepara warga di pos kamling. Kentongan pos itu segera dipukul-pukul. Wargapun mulai berkumpul di depan pos tersebut. Setelah banyak warga yang berkumpul, segera mereka menuju jalan utara desa. Diperjalanan banyak juga warga lain yang bergabung. Warga dapat melihat kedua mayat pemuda tersebut, cara kematianya hampir sama dengan kematian Joko. Segera warga menolong kedua pemuda tersebut. “ Kenapa yang meninggal, hanya pemuda ya!”, kata seorang warga saat menolong Sudar dan Truno. “ Iya.ya..pasti ini berhubungan dengan..hiii!” “ Huuss Kang hati-hati kalau bicara!”, kata warga lain **** Semakin mencekam desa Wonoglagah, warga lebih gempar lagi atas kematian Sudar dan Truno. Semakin dihubung-hubungkan dengan kematian Brojo. Terlihat Barja dan Tono berjalan tergesah-gesah. Dia menuju ke rumah Suta. Diperjalanan mereka bertemu dengan Saiful, mereka segera memanggilnya. Barja pun bercerita tetang kejadian di desa Wonoglagah. Saiful yang baru pulang dai pesantren, hanya mengangguk-angguk mendengar cerita kedua temannya itu. Mereka mengajak Saiful ikut ke rumah Suta, namun Saiful tidak mau karena belum pulang ke rumahnya, dia kangen bertemu dengan emak dan adiknya. Ketiga pemuda inipun melanjutkan perjalanan masing-masing. Sesampai di rumah Suta, Barja pun langsung membahas permasalahan kematian teman-temanya. Diatara teman-temannya Suta-lah yang sudah menikah. “ Suta betulkan kematian teman-teman ada hungan dengan Brojo!”, kata Barja “ Suta kita berdelapan yang membunuh Brojo!”, Tono menambahi omongan Barja.
“ Iya mungkin betul!”, kata Suta setengah tidak percaya “ Bukan mungkin Suta, sudah tiga orang!”, kata Barja “ Iya Suta, apa langkah kita!”, kata Tono “ Baik kita cerita ke pak lurah!”, jawab Suta dengan serius Joko, Truno, Sudar, Tono, Barja, Suta, Sumardi dan Margono adalah delapan pemuda yang menghabisi nyawa Brojo. Mereka disuruh Suta, karena Brojo sudah mencabuli dan menggauli isteri Suta. Malam itupun mereka mengajak Brojo mabuk, setelah mabuk berat mereka bersama-sama menghajar Brojo hingga tewas. “ Ayo kita ke Balai desa!” , kata Suta. Ketiga pemuda itupun ke balai desa, Barja mengusulkan agar mengajak Saiful bergabung. Ia anak pesantren mungkin bisa mengusir roh jahat Brojo. Usulan Barja diterima teman yang lain, mereka menuju ke rumah Saiful terlebih dahulu. *** Pak Danuyekso segera mempersilahkan para pemuda itu masuk balai desa. Sementara Pak sarmin menambahkan kursi karena tidak cukup. “ Ini Saiful!”, sapa Danuyekso “ Iya Pak lurah!”, jawab Saiful malu-malu “ Kamu sudah besar, gagah dan tampan seperti mendiang Bapakmu!” Saiful semakin tersanjung mendapat pujian dari Pak Danuyekso selaku kepala desa Wonoglagah. Suta segera menceritakan rangkaiaan peristiwa matinya Brojo. Suta meresa marah dan tersinggung atas pelecehan terhadap isterinya. Mereka takut menjadi giliran berikutnya kebrutalan arwa gentayangan Brojo. Mereka berharap semua warga memberi perlindungan atau Pak Danuyekso segera mencari orang pintar. “ Kami sudah mendatangi orang-orang pintar!”, Kata Sarmin “ Iya betul kata Pak Sarmin, mereka tidak ada yang mampu, mengatasinya!”, lanjut Danuyekso “ Terus bagaimana nasib kami Pak!”, kata Barja “ Ini bukan hanya nasib kalian, tetapi nasib warga desa Wonoglagah!”, kata Dayekseso “ Maaf pak saya akan meminta pertimbangan Yai Syafii, beliau adalah Kiyai kami!”, kata Saiful
Pak Danuyekso mengiyakan permintaan Saiful, ia menyuruh segera ke pesantren, mumpung hari masih siang. Pak Danuyekso menyuruh agar Pak sarmin menemani Saiful ke pesantrenya. Saiful berpamitan pada ibunya, bahwa ia akan kembali ke pesantren di antar Pak Sarmin. Merekapun berangkat menuju pesantren agar tidak kemalaman di jalan. Menuju pesntren Saiful harus melaui tiga desa, sehingga diperlukan waktu jalan kaki selama 4 sampai 5 jam. Mereka harus menginap, karena harus istirahat dan berjalan malam hari penuh resiko, apalagi di desa Wonoglagah. Setelah sholat isya’ baru Pak Sarmin dan Saiful betemu Kiyai Syafii. Segera Pak sarmin bercerita tentang situasi yang gawat di desa Wonoglagah. Tak lupa ia bercerita mengenai delapan pemuda yang membunuh Brojo. Kiyai Syafii hanya mengangguk-angguk mendegar cerita tersebut, tetapi terlihat sangat serius. “ Baiklah nanti malam saya akan memintah petunjuk dari Allah SWT, lewat sholat istikharoh!”, kata Kiyai Syafii. “ Iya Kiyai!”, kata Sarmin sambil menunuduk. “ Kalian istirahat, Saiful ajak Pak carik ini ke kamar tamu!”, Merekapun setelah sholat isya’ langsung istirahat, karena habis jalan kaki cukup jauh. Pagi hari itu Pak Sarmin dan Saiful sudah menunggu kehadiran Kiyai Syafii. Mereka duduk bersilah dihamparan tikar yang digelar. Di ruang tamu pesantren tersebut, memang sengaja tidak ada kursi. Tak lama kemudian Kiyai Syafii muncul. Setelah mereka bersalaman Kiyai Syafii langsung mengatakan agar warga desa Wonoglagah menyiapkan potongan bambu runcing dan pohon kelor sebanyak mungkin. Kiyai Syafii mengatakan agar warga memberi potongan kayu tersebut di tempat tidurnya. “ Saya akan datang empat hari lagi!”, kata Kiyai Syafii “ Baik Kiyai kami pamit!!”, kata Sarmin “ Assalamu’alaikum!”, “ Walaikum salam!”, Pak Sarmin dan Saiful segera ke mbali ke desa Wonoglagah. **** Pak Sarmin dan Saiful langsung ke balai desa Wonoglagah sekitar pukul delapan malam. Pak Sarmin langsung menceritakan apa yang dikatakan oleh Kiyai Syafii, termasuk empat hari lagi ia akan ke desa Wonoglagah.
“ Besok pagi warga harus mencari pohon bambu dan kelor sebanyak-banyaknya Pak!”, kata Sarmin. “ Iya jangan sampai ditunda kalau perlu mala mini!”, kata Danuyekso “ bagaimana warga kita Pak Lurah!”, “ Pak Carik tadi malam giliran Margono yang jadi korban!”, kata Danuyekso kembali Pak Sarmin dan Syaiful mohon diri, mereka takut pulang kemalaman. Sementara di luar balai desa sudah ada beberapa warga yang berjaga. “ ahhh..ahhh.aahhh”, “ Pak..bangun..bangun..Pak!”, Bu Sutina membangunkan suaminya, sambil menghentakhentakkan pundak Pak Danuyekso. “ Makanya kalau tidur jangan di kursi!”, lanjut Bu Sutina Pak Danuyekso memang tertidur di atas kursi. Ia bermimpi sangat menakutkan. “ Mimpi apa sih Pak, sampai mengigau begitu!”, “ Ah entah Bu, sudah ibu tidur saja, sana!” Pak Danuyekso kemudian ke luar, menghampiri orang-orang yang sedang berjaga di balai desa. Sementara sebagian besar warga laki-laki desa Wonoglagah, berjaga secara bergantian. Bahkan beberapa warga sudah memotong pohon kelor dan bambu, sesuai yang umumkan oleh pak carik. Terutama Suta dan kawan-kawanya, seraya tak henti-hentinya berdoa demi keselamatan mereka dari Brojo. Semua warga desa Wonoglagah berharap mudah-mudahan malam ini tidak bertambah korban lagi. **** Menjelang maghrib Kiyai Syafii datang menuju rumah Saiful, ia ditemani dua orang. Yang satu adalah santrinya, sementara yang satunya adalah temanya. Yang usianya hampir sama dengan Kiyai Syafii. Mereka sholat di musholah dekat rumah Saiful, agak lama dua Kiyai tersebut berwirid dan berdoa. Keempat orang pesantren ini terus melanjutkan hingga sholat isya’. Mereka sengaja bermunajat sambil menunggu sholat isya’. Saiful mengantar Kiyai Syafii dan dua orang lainnya ke balai desa Wonoglagah. Sengaja Pak Danuyekso, Pak Sarmin dan beberapa warga Wonoglagah yang lain menunggu rombongan Kiyai Syafii. Setelah dipersilahkan masuk Pak Danuyekso, menceritakan keadaan desa Wonoglagah, hingga sekarang. Terus ia juga menceritakan mimpinya yang sangat
menakutkan. Dalam mimpinya Pak lurah hampir digigit ikan hiu besar, dengan taring-taring yang siap mencabik-cabik tubuhnya, namun ikan tersebut mati setelah terkena sabit, Pak Lurah. Semua yang hadir mendengarkan dengan penuh seksama cerita dari Pak Danuyekso. “ Pak Lurah persis dengan firasat yang saya peroleh!”, kata Kiyai Syafii. “ oh begitu pak Kiyai!’, kata Danuyekso “ Iya Pak Lurah, setiap sholat istikharoh, selama tiga hari terakhir ini firasat tersebut sama!”, Kiyai Syafii mengartikan makna, mimpi dari Pak Lurah Danuyekso. Ikan hiu, itu sama dengan ikan sura, atau orang Jawa menyebut suro. Menurut Kiyai Syafii, adalah pada bulan Suro, semua ilmu kanoragan, keris, pusaka harus diasah kembali. Makna dari sabit tersebut adalah bulan ketika tanggal satu bentuknya menyerupai sabit. Artinya orang yang memiliki kekuatan kanoragan, keris, pusaka dan lain-lain akan menjamas pusaka mereka atau mengasah kesaktian mereka pada tanggal satu Suro, sehingga mereka nyaris tiada daya. Semua yang hadir menghela napas legah. “ Terus apa hubungannya dengan arwah gentayangan Brojo, Pak Kiyai?” tanya Pak Sarmin “ Begini Pak Carik, menurut agama kita, orang yang mati tidak mungkin hidup lagi!” “ Terus arwa Brojo, kok?” tanya Saleh, “ Saya yakin ada orang yang sakti, sengaja memanfaatkan jasad Brojo, untuk dimasuki jin!”, jawab Kiyai Syafii Kiyai Syafii melanjutkan pembicaraannya, tentang rencana besok malam. Semua warga yang ingin ikut besok, mereka akan berangkat bersama-sama dari balai desa Wonoglagah, mereka harap membawa senjata apa saja, yang utama adalah batang bambu dan pohon kelor. Mereka harus sudah dalam keadaan suci, dengan cara berwudhu dulu. Semua yang hadir paham dengan apa yang dijelaskan Kiyai Syafii. **** Semua warga yang ikut Kiyai Syafii sudah membawa batang bambu dan pohon kelor. Pas menjelang tengah malam warga diajak sholat Hajat dilanjutkan sholat tahajut, dan berzikir agar diberi kemudahan oleh Allah SWT. Kegiatan tersebut dilaksanakan di lapangan dekat makam desa Wonoglagah. Sehabis kegiatan tersebut warga dipimpin Kiyai Syafii menuju makam desa Wonoglagah, semua batang bambu dan pohon kelor ditata berbentuk lingkaran. Ada dua lingkaran besar, lingkaran pertama dipimpin Kiyai Syafii. Lingkaran yang lain jaraknya sekitar 25 meter dipimpin Kiyai Musthofa.
Kedua Kiyai tersebut berdoa dan terus berdoa. Angin tiba-tiba menjadi semakin kencang, sehingga pakai gamis yang dipakai Kiyai Syafii dan Kiyai Musthofa berkibar-kibar dibuatnya. Angin semakin kencang sehingga obor yang digunakan sebagai penerangan banyak yang mati. tiba-tiba terlihat asap putih, semakin lama semakin tebal. Kumpulan asap itu berubah menjadi sosok mahluk mengerikan. Wajahnya pucat pasi, matanya merah, kuku dan taringnya sangat panjang. Warga mulai panik karena ketakutan. “ Jangan panik, jangan takut semua jangan sampai ke luar dari lingkaran!”, kata Kiyai Syafii dengan berteriak-teriak. Kedua Kiyai itu terus berdo’a dan bermunajat. Kiyai Syafii mengosok-gosokkan kedua telapak tangannya, sampai seakan-akan ke luar cahaya, lalu di dorongkan ke mahluk mengerikan itu. Makluk mengerikan itu terjungkal-jungkal, lalu terpelenkang. “ Cepat tusuk mahluk itu dengan bambu kalian!”, teriak Kiyai Musthofa. Beramai-ramai warga menusuk secara bergantian mahluk tersebut, namun mahluk mengerikan tersebut berhasil bangkit lagi. Saiful memukul kepala mahluk itu dengan batang pohon kelor, sekuat tenaga. Makluk itu pun jatuh kembali. “ Tusuk tepat jantungnya!”, teriak Kiyai Syafii Saiful pun menusuk dada mahluk itu dengan bambu runcing tepat pada jantungnya. Mahluk itupun mengelepar-gelepar selama beberapa saat, akhirnya diam dan tak bergerak lagi. Warga berteriak dan bersyukur “ Alhamdulillah!”, “ kita bebas.!”, teriakan warga Tiba-tiba terdengar ledakan, muncul sosok lain berambut panjang. Hal itu jelas terlihat karena obor warga banyak yang sudah dinyalakan kembali. Semakin lama semakin jelas terlihat sosok tersebut. “ Darmun, bukankah kau darmun!”, kata Danuyekso “ ha..ha..ha...betul Danuyekso, aku hadir memang untuk membuat rusuh Wonoglagah!”, kata Darmun “ Darmun jangan diteruskan niatmu!”, “ Sudah terlanjur basah Danuyekso, saya akan membunuhmu!” Teriak Darmun Darmun berusaha menyerang Dayekso, namun secapat kilat Kiyai Syafii, melompat dan menyambar Danuyekso.
“ Darmun kau ingat sekarang tanggal satu Suro, kekuatan dan kesaktianmu hanya tinggal setengahnya, bahkan tidak sampai!”, kata Kiyai Syafii Darmun pun panik ia lari ke arah makam, tetapi naas kakinya terpeleset dan jatuh. Jatuhnya tepat pada bambu warga yang sengaja ditata melingkar, dan ditata berdiri. Beberapa bambu runcing warga menembus dadanya. Hilang sudah ilmu kebal yang dimiliki Darmun. Darahnya mengalir lewat dadanya yang mengangah, lewat hidung dan mulunya. “ Maafkan aku sau-sau-dara sau-sau daraku!” kata Darmun terpatah patah. “ Daaa nu ye ye yekso!”, ucapan terakhir Darmun Ia pun mengehembuskan napas terekhir. Semua warga merasa lega. Sirna sudah mendung yang menyelimuti desa Wonoglagah. Kini datang harapan baru dan kedamaian baru. Saiful mendapat pujian dari beberapa warga. Selanjutnya warga menolong kedua jasad tersebut. ***** Tamat****