TOXIC MASCULINITY PADA KEKERASAN DALAM PACARAN
SKRIPSI
Disusun Oleh:
Denis Tri Angga
F1C016064
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERITAS JENDERAL SOEDIRMAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAN
2020
i
ii
HALAMAN PENGINGAT
Hiduplah seperti garam, kehadirannya tidak terlalu dirasakan namun
ketidakhadirannya membuat air laut tawar
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Denis Tri Angga
NIM : F1C016064
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Pada : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan
hasil karya saya dan sumber yang dikutip serta dirujuk telah saya nyatakan dengan
benar.
Purwokerto, 27 Juli 2020
Yang Membuat Pernyataan
Denis Tri Angga.
F1C016064
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “TOXIC
MASCULINITY PADA KEKERASAN DALAM PACARAN”. Skripsi ini disusun untuk
memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S-1) jurusan Ilmu
Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih memiliki
banyak kekurangan. Hal ini tidak terlepas dari keterbatasan kemampuan dan
pengetahuan penulis, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dalam karya tulis ini untuk menjadi lebih baik lagi.
Semoga skripsi ini dapat digunakan dengan baik bagi pihak yang ingin
menjadikannya sebagai referensi, bahan bacaan yang dapat menambah pengetahuan
maupun penelitian lanjutan. Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan penulis juga
memohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penulisan yang
tidakdisengaja.
Purwokerto, Juli 2020
Penulis,
v
LEMBAR PERSEMBAHAN
Alhamdulillah, segala bentuk rangkaian penyusunan skripsi telah dilalui.
Dalam proses masa perkuliahan hingga tahap penyusunan skripsi penulis menyadari
banyak pihak yang terlibat dalam memberikan dukungan, kritik hingga saran. Oleh
karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak terkait
diantaranya :
1. Allah SWT, karena berkat rahmat, karunia, ridha, dan kuasa-Nya hingga saat ini
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Tanpa kuasa-Mu penulis
tidak akan mampu melewati berbagai godaan dan cobaan yang diterima penulis
pada proses kuliah hingga saat penulisan skripsi ini selesai. Terima kasih atas
semua kemudahan dan kelancaran baik dalam segi pikiran maupun perasaan
hingga terselesaikannya skripsi ini.
2. Ibu, Bapak, Mbah terima kasih atas semua jasa, pengorbanan, tenaga, materi yang
telah kalian berikan demi kelancaran pendidikan anakmu ini. Kalian merupakan
faktor utama yang saya jadikan motivasi untuk menyelesaikan ini. Maaf bila
sesekali terdapat benturan-benturan yang kerapkali terjadi. Terima kasih atas
setiap doa yang kalian panjatkan dari awal hingga skripsi ini selesai, terima kasih
atas setiap keringat yang telah kalian keluarkan. Berikutnya, untuk kedua kakak
saya. Nuke, Rosa. Terima kasih atas semuanya, atas doa, bimbingan, serta
dukungan yang sama-sama tiada hentinya kalian berikan. Terimakasi atas
dukungan moril dan materil yang kalian keluarkan demi kelancaran dari tahap
awal masa kuliah hingga penyelesian skripsi ini.
3. Ibu Dr. Mite Setiansah, M.Si. Bapak Drs. Chusmeru, M.Si dan Ibu Dr. Wiwik
Novianti, M.I.Kom selaku pembimbing dan penguji dalam proses penyusunan den
penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas dukungan, kritik hingga saran dalam
penyelesaian skripsi ini.
4. Vini Vahira, Terima kasih atas setiap bimbingan dari mulai bangku perkuliahan
hingga tahapan akhir dalam menyelesaikan skripsi. Terima kasih tidak pernah
berhenti mengarahkan dan menjelaskan setiap proses yang harus disiapkan dan
dijalani
vi
5. Ressa Putry Munggaran. Terima kasih telah menjadi pihak yang benar-benar
bekerja keras dalam membimbing, membantu, dan mengarahkan setiap langkah
demi langkah hingga berhasil menyelesaikan skripsi ini . Terima kasih sudah
membantu dengan amat tulus, terimakasih telah membagi kisah baik suka dan
duka dalam penyelesaian ini. Terima kasih telah ada.
6. Sahabat hingga keluarga besar Ilmu Komunikasi Unsoed 2016. Terutama kepada
Aldi, Wafi, Sarah, Eros, Niko, Rifqi, Kojot dan teman-teman lainnya terima kasih
telah memberikan warna dan kesan dalam masa-masa kuliah hingga
penyelesaian skripsi ini.
7. Sahabat-sahabat kontrakan diluar jurusan seperti Andre, Rama, Ntos, Maul dan
teman-teman kost pranacitra karena telah menemani dan memberikan banyak
cerita yang amat berkesan.
8. Fairuz Indra, Terima kasih sudah menjadi teman yang hadir untuk menemani,
mendengar keluh kesah, menahan emosi, dan mendukung serta mendoakan pada
proses ini.
9. Seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung selesainya skripsi ini
terimakasih banyak.
vii
ABSTRAKSI
Penelitian yang berjudul “Toxic Masculinity Pada Kekerasan Berpacaran” dianalisis
dengan menggunakan teori Hegemoni Maskulinitas milik Raewn Connell serta
menggunakan teori Standpoint Theory milik Harding dan Julia Wood. Dalam Teori
Hegemonik milik Connell menerangkan bahwa terdapat strata atau tingkatan dalam
budaya patriarki yang mana dalam teori ini terdapat pihak laki-laki yang
mendominasi dan adapula yang tersubordinasi. Sedangkan teori Standpoint milik
Harding dan Julia Wood menerangkan bahwa ada suatu sudut pandang dari
seseorang yang menilai dan muncul dari suatu permasalahan. Penelitian yang
menganalisis pemahaman yang terbentuk oleh masyarakat yang terkait dengan
konsep maskulinitas menjadi penyebab adanya maskulinitas toksik. Keluarga yang
berpengaruh dalam membentuk karakter anak dan memberikan pemahaman terkait
konsep gender, lewat pemahaman yang didapatkan tersebut maka akan terkonstruk
pandangan terkait maskulinitas. Dalam penelitian ini akan difokuskan pada
fenomena maskulinitas beracun yang terjadi dalam hubungan berpacaran hingga
kekerasan dalam berpacaran dengan menganalisa pola komunikasinya.
Kata-kata kunci: Maskulin, Toxic Masculinity, Pola Komunikasi, Kekerasan dalam
Pacaran
viii
ABSTRACT
The research entitled "Toxic Masculinity on Dating Violence" was analyzed using
Raewn Connell's Hegemonic Masculinity theory and using Harding and Julia Wood's
Standpoint Theory theory. In Connell's Hegemonic Theory, it explains that there are
strata or levels in a patriarchal culture where in this theory there are men who
dominate and there are those who are subordinated. Meanwhile, Harding and Julia
Wood's Standpoint theory explains that there is a point of view from someone who
judges and emerges from a problem. Research that analyzes the understanding formed
by society related to the concept of masculinity is the cause of toxic masculinity. The
family is influential in shaping the character of children and providing understanding
regarding the concept of gender, through the understanding obtained, views related to
masculinity will be constructed. This research will focus on the phenomenon of toxic
masculinity that occurs in dating relationships to dating violence by analyzing
communication patterns.
Key words: Masculine, Toxic Masculinity, Communication Patterns, Violence in Dating
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................................... ii
HALAMAN PENGINGAT ........................................................................................................iii
PERNYATAAN KEASLIAN.....................................................................................................iv
KATA PENGANTAR .................................................................................................................. v
LEMBAR PERSEMBAHAN.....................................................................................................vi
ABSTRAKSI......................................................................................................................................viii
ABSTRACT .................................................................................................................................. ix
DAFTAR ISI ................................................................................................................................. x
DAFTAR TABEL .......................................................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................................. xiii
BAB I.............................................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................... 1
B. RumusanMasalah.............................................................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian.............................................................................................................. 4
D. Manfaat Penelitian............................................................................................................ 4
BAB II ............................................................................................................................................ 5
A. Penelitian Terdahulu....................................................................................................... 5
B. Kajian Teoritis..................................................................................................................... 8
1. Hegemonic Masculinity Theory................................................................................ 8
2. Standpoint Theory.................................................................................................... 11
C. Kajian Konseptual.......................................................................................................... 13
1. Gender............................................................................................................................ 13
2. Kekerasan Dalam Hubungan Pacaran .............................................................. 13
3. Toxic Masculinity........................................................................................................ 14
4. Pola Komunikasi ....................................................................................................... 15
D. Kerangka Penelitian ....................................................................................................... 16
BAB III ....................................................................................................................................... 18
A. Paradigma Penelitian ................................................................................................... 18
B. Metode Penelitian............................................................................................................ 18
x
C. Sasaran Penelitian ........................................................................................................... 19
D. Jenis Data ............................................................................................................................ 19
E. Teknik Pengumpulan Data........................................................................................... 19
F. Teknik Pengumpulan Informan ................................................................................. 20
G. Metode Analisis Data....................................................................................................... 21
BAB IV........................................................................................................................................ 24
A. Proses Penelitian .............................................................................................................. 24
B. Profil Informan .................................................................................................................. 28
C. Hasil Penelitian .................................................................................................................. 31
1. Edukasi, Komunikasi, dan Keluarga.................................................................. 32
2. Menjadi Seseorang Laki-Laki : Maskulinitas yang Menyiksa ................. 36
3. Manfaat dan Dampak Komunikasi ................................................................... 41
4. Pola Komunikasi dalam Hubungan Pacaran yang Berakhir Pada
Toxic Masculinity ..........................................................................................................43
D. Pembahasan........................................................................................................................ 54
1. Peran Keluarga Sebagai Agen Gender Socialization ................................. 54
2. Pola Komunikasi Menciptakan Toxic Masculinity.........................................53
3. Konsep Maskulinitas dan Timbulnya Toxic Relationship ........................57
BAB V.......................................................................................................................................... 64
A. Kesimpulan......................................................................................................................... 64
B. Saran ..................................................................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 66
LAMPIRAN ............................................................................................................................... 71
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.................................................................................................................................... 6
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 .............................................................................................................................. 9
Gambar 2 ................................................................................................................................ 10
Gambar 3 ................................................................................................................................ 51
Gambar 4 ................................................................................................................................ 51
Gambar 5 ................................................................................................................................ 51
Gambar 6 ................................................................................................................................ 52
Gambar 7 ................................................................................................................................ 52
Gambar 8 ................................................................................................................................ 53
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gender merupakan atribut yang melekat pada laki-laki dan perempuan
yang dibentuk secara kultural. Gender berasal dari bahasa latin yaitu “genus” yang
berarti jenis. Gender membedakan struktur setiap aspek kehidupan manusia
berdasarkan perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Gender
merupakan konsep kultural yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan dari
segi perilaku, peran, sifat, tanggung jawab, fungsi, hak yang melekat pada perempuan
maupun laki-laki yang tercipta karena adanya bentukan budaya (Nasarudin Umar,
2001). Konsep gender yang terbentuk dalam masyarakat tersebut kemudian
dilanggengkan dengan adanya budaya patriarki, dimana dalam masyarakat
patriarkis perempuan dan laki-laki mempunyai strata yang berbeda yang disertai
dengan stereotif yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan.
Masyarakat menciptakan sikap dan perilaku berdasarkan jenis kelamin
melalui proses sosialisasi baik dalam keluarga, lingkungan sekitar, lembaga
pendidikan maupun agama yang akhirnya hal tersebut menjadi konstruksi terhadap
perempuan maupun laki-laki dalam menentukan sikap, peran, maupun kekuatan
mereka sehingga perempuan dan laki-laki mempunyai porsi yang berbeda dalam
sosial. Adanya konstruksi masyarakat terhadap gender tersebut banyak
menimbulkan permasalahan terkait bias gender di masyarakat. Dalam masyarakat
patriarkis, stigma yang terbentuk adalah perempuan menjadi subordinasi laki-laki
yang dipandang lebih rendah, sementara laki-laki dianggap sebagai pemegang
kekuasaan, sosok yang maskulin, lebih dominan dibanding perempuan. Hal tersebut
menciptakan beban laki-laki secara sosial lebih berat di masyarakat (Fakih, 2016).
Stigma terkait laki-laki yang identik dengan konsep maskulinitas tidak
selalu bercitra positif, namun terdapat stigma negatif yang muncul terutama dalam
kasus kekerasan dalam hubungan yang dijalin antara laki-laki dan perempuan dalam
penelitian ini lebih khusus meneliti terkait hubungan lawan jenis dalam ikatan
pacaran. Stenberg mendefinisikan pacaran sebagai orang yang dekat dengan
seseorang tetapi bukan saudara, dalam hubungannya tersebut terdapat cinta yang
bermuatan keintiman, nafsu dan komitmen (Stenberg, 1997). Seseorang menjalani
hubungan berpacaran didasari oleh beberapa tujuan menurut Lips motivasi
berpacaran adalah untuk memperoleh kesenangan, pemenuhan kebutuhan akan
1
kebersamaan, mengenal lebih jauh pasangannya, dan menguji cinta dan seks (Lips,
1988). Selain itu dalam pacaran terdapat ketertarikan secara emosional antara laki-
laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling mengenal dan melihat kesesuaian
antara satu sama lain sebagai pertimbangan sebelum menikah.
Disisi lain, hubungan pacaran ini juga bisa menjadi media terjadinya
kekerasan hubungan baik dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan terhadap
lawan jenisnya. Kekerasan dalam hubungan pacaran memiliki tiga klasifikasi yaitu
kekerasan verbal dan emosional, kekerasan fisik serta kekerasan seksual (Naffi,
2015). Tindakan kekerasan yang dilakukan dalam hubungan pacaran dampaknya
menimbulkan luka fisik atau psikologis pada korbannya (Hadi, 2002). Secara fisik
kekerasan dapat menimbulkan luka, cacat fisik atau bahkan kematian. Sedangkan
dari segi psikologis menimbulkan traumatik atau stress, depresi dan ketakutan. Hal-
hal umum yang biasanya mengakibatkan pertikaian atau perselisihan antara
pasangan tersebut disebabkan karena adanya pola komunikasi yang bermasalah,
trust issues, kecemburuan, atau permasalahan-permasalahan lainnya yang
diakibatkan karena kedua pasangan gagal menyelesaikan permasalahan yang terjadi
dengan cara-cara damai.
Mayoritas korban dari kekerasan dalam hubungan ini adalah perempuan.
Berdasarkan data yang dilansir resmi melalui website Komnas Perempuan oleh
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan terdapat beberapa data yaitu :
1. Dalam CATAHU (Catatan Tahunan) 2019, terdapat 406.178 kasus
kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama
tahun 2018 yang mana angka tersebut naik dari tahun sebelumnya
sebanyak 348.466.
2. Selain itu, ada temuan fenomena baru yang dilaporkan kepada Komnas
Perempuan yaitu kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis Cyber
atau dunia maya, yang pada Catahu 2018 sebesar 65 kasus, dalam tahun
2019 bertambah menjadi 97 kasus. Bentuk kekerasan terhadap
perempuan dalam bentuk siber diantaranya revenge porn (33%), malicious
distribution (20%), cyber harassment/ bullying/ spamming (15%),
Impersonation (8%), cyber stalking/ tracking (7%), cyber recruitment
(4%), sexting (3%) dan cyber hacking (6%) (komnasperempuan.go.id).
3. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh KemenPPPA dan Badan Pusat
Statistik pada tahun 2016 tercatat sebesar 42,7% kekerasan fisik dan
seksual dialami oleh perempuan belum menikah yang dalam hal ini terbagi
2
menjadi 34,4% kekerasan seksual dan 19,6% kekerasan fisik. Dalam
10.847 kasus 2.090 diantaranya pelakunya adalah pacar.
Dari data tersebut perempuan menjadi korban dari banyak jenis kekerasan
yang dilakukan oleh laki-laki, namun hal tersebut bukan berarti bahwa laki-laki
terbebas dari kekerasan dalam hubungan, dalam arti lain perempuan juga bisa
menjadi pelaku dari kekerasan tersebut. Sebagai contoh pada tahun 2019 artis
ternama Indonesia Nikita Mirzani ditetapkan sebagai pelaku kekerasan dalam rumah
tangga terhadap mantan suaminya Dipo Latief. ( Ahmad Zulfian, 2019 ). Selain itu,
artikel yang ditulis oleh Ikhawan Hastanto pada Januari 2020 lalu menjelaskan
bahwa ada laporan driver ojek online bernama Ahmad mendapatkan pelecehan
seksual ketika sedang mengantar pesanan milik costumernya. Ahmad diminta naik
untuk mengantarkan makanan dan dipaksa masuk kekamar guna melayani hasrat
dari costumer tersebut yang mana seorang wanita (Ikwan Hastanto, 2020 ).
Namun di tinjau dari segi jumlah, korban laki-laki tidak sebanyak korban
perempuan oleh sebab itu kekerasan terhadap laki-laki tidak terlalu terekspose.
Selain itu masyarakat Indonesia melihat kasus kekerasan yang terjadi pada laki-laki
menganggap sebagai candaan atau bahkan menilai bahwa laki-laki yang melaporkan
dianggap berlebihan dan bertingkah lemah. Pendapat-pendapat demikian
menciptakan konsep maskulin yang ada pada laki-laki menjadi diselewengkan,
sehingga hal tersebut menciptakan toxic masculinity dalam masyarakat yang
berdampak negatif terhadap laki-laki itu sendiri. Salah satunya yaitu dilakukannya
bunuh diri oleh laki-laki karena adanya beban dan tuntutan sosial yang lebih berat di
masyarakat sehingga mengakibatkan depresi. Berdasarkan laporan Badan Kesehatan
Internasional (World Health Organization) yang berjudul “Preventing Suicide: A
Global Imperative” yang dirilis pada tahun 2014, di negara-negara maju laki-laki
memiliki kemungkinan bunuh diri tiga kali lebih tinggi daripada perempuan. Hal
tersebut tidak terlepas dari tekanan social yang diterima laki-laki jauh lebih berat
dibandingkan dengan perempuan, maka dari itu konsep maskulinitas yang melekat
pada laki-laki disisi lain menyebabkan tekanan tersendiri terdahap laki-laki yang
tidak mampu memenuhi standar dari maskulinitas itu sendiri.
Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis konsep maskulinitas yang
diajarkan sejak dini tidak selamanya membangun efek positif melainkan dengan
adanya konsep maskulinitas beban yang dipegang dan tuntutan yang diberikan atas
dasar konsep maskulinitas justru dapat menjadi ancaman bagi sebagian laki-laki.
Penelitian ini juga akan meneliti pola komunikasi yang menyebabkan terjadinya toxic
3
masculinity pada kekerasan dalam pacaran. Penelitian ini akan menggunakan teori
hegemonic masculinity untuk menganalisis fenomena yang terjadi.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana pola komunikasi yang terjadi pada laki-laki dan perempuan yang
berpacaran sehingga menciptakan toxic masculinity terhadap korban kekerasan
dalam pacaran ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun disusunnya penelitian ini dengan tujuan utama yaitu menganalisis
dan memperoleh deskripsi yang lebih mendalam mengenai pola komunikasi dalam
hubungan pacaran yang dapat mengakibatkan munculnya permasalahan toxic
masculinity pada laki-laki. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan
ekplanasi bahwa kekerasan dalam hubungan tidak selalu terpaku pada laki-laki
sebagai pelaku dan perempuan sebagai korban. Namun dapat berlaku sebaliknya.
D. Manfaat penelitian
1. Manfaat Teoritis : hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat
menjadi referensi dalam kajian ilmu komunikasi terutama terkait tema toxic
masculinity pada kekerasan dalam pacaran
2. Manfaat Praktis : hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat
memberikan kontribusi pengetahuan, sumber dan pedoman data bagi para
pembaca, peneliti, maupun penulis yang akan melakukan penelitian dengan
tema terkait toxic masculinity pada kekerasan dalam pacaran.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Guna menunjang dilakukannya penelitian ini, peneliti telah merangkum
beberapa penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Beberapa
penelitian yang dilakukan sebelum ini menekankan pada konsep bias gender,
kekerasan dalam hubungan dan mengenai toxic masculinity. Adapun beberapa
penelitian yang dijadikan acuan dalam pembuatan penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Penelitian pertama yang dijadikan peneliti sebagai acuan adalah penelitian
yang dilakukan oleh Bhinnita Sukmawati yang berjudul “Hubungan Tingkat
Kepuasan Pernikahan istri dan coping strategy dengan kekerasan dalam rumah
tangga”. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2014 yang mana dalam penelitian ini
menjabarkan mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga sebagian besar
korbannya adalah kaum perempuan. Selain itu, dalam penelitian ini menjelaskan
bahwa kekerasan yang terjadi dapat berdampak buruk pada anak dari segi
psikologis maupun nonpsikologis.
Penelitian kedua yang dijadikan peneliti sebagai acuan adalah penelitian
yang dilakukan oleh Anugriaty Indah Asmarany pada tahun 2008 dengan judul “Bias
Gender Sebagai Prediktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga”. Penelitian ini
menitikberatkan pada aspek bias gender dan kekerasan dalam rumah tangga saling
berkorelasi satu sama lain. Pada penelitian ini, disimpulkan apabila masih adanya
bias gender yang terjadi di dalam kalangan masyarakat maka akan ada peluang
untuk terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Sebaliknya, bila bias gender tidak
terjadi dalam masyarakat maka akan mempengaruhi kurangnya atau tidak
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Penelitian ketiga berjudul “Kekerasan Dalam Pacaran Pada Remaja,
penelitian ini ditulis oleh Fenita Purnama pada tahun 2016”. Dalam penelitian ini,
Fenita Purnama menjelaskan bahwa kekerasan dalam pacaran terbentuk dalam
banyak prilaku yang mana dalam hal ini mengacu pada efek psikis maupun fisik. Efek
fisik yang mana diketahui dapat teridentifikasi dengan jelas sedangkan efek psikis
sangat sulit dikenali bahkan oleh perempuan sebagai korbanya sekalipun.
5
Penelitian keempat ditulis oleh Olivia Tostivint pada tahun 2019 dengan
judul “It’s a (Wo)Man’s World: An Analysis of Hegemonic Masculinity and It’s Myriad of
Decontructive Impactson Contemporary Society”. Jurnal ini menjelaskan bahwa
terjadinya bias gender tidak dapat dihindari dari adanya budaya partiarki yang
menempatkan laki-laki sebagai pihak yang dominan dan menjadi pemegang
kekuasaan sehingga budaya tersebut membentuk stigma masyarakat bahwa laki-laki
harus menjadi pihak yang kuat dan dominan. Dalam jurnal ini dijelaskan bahwa
untuk menghilangkan bias gender dalam masyarakat tahap pertama untuk
menghilangkan toxic masculinity adalah dengan menghilangkan budaya patriarki.
Penelitian kelima ditulis oleh Rachel Jewkes, Robert Morrel dkk. Penelitian
ini dilakukan pada tahun 2015 dengan judul “Hegemonic Masculinity : combining
theory and practice in gender intervensions”. Membahas terkait peran laki-laki dalam
lingkungan sosial terutama terkait dengan posisi dan peran laki-laki dalam
hubungan dengan pasangan. Dimana dalam jurnal ini dijelaskan bahwa laki-laki juga
dapat mengalami tekanan seperti stress yang disebabkan karena adanya tuntutan
bahwa laki-laki harus memegang dominasi atas hubungan dengan pasangannya.
Jurnal ini menekankan bahwa harus ada kajian kembali terkait posisi dan peran laki-
laki dalam masyarakat tradisional sehingga tidak terjadi kesenjangan gender yang
dapat mengakibatkan salah satu pihak menjadi korban kekerasan akibat adanya
kesenjangan gender yang diakibatkan konstruksi tradisional terutama terkait
budaya patriarkis.
Tabel 1. Matrik Penelitian Terdahulu
No Nama Penulis Judul Penelitian Persamaan Perbedaan Hasil
dan Tahun Metode
Penelitian
1. Bhinnita Hubungan Tingkat Kualitatif Subjek Subjek penelitian
Deskriptif Penelitian yang mana dalam
Sukmawati Kepuasan hal ini merupakan
(2014) Pernikahan istri wanita sudah
menikah
dan coping
mengalami tindak
strategy dengan kekerasan yang
rendah dan
kekerasan dalam
rumah tangga
6
cenderung puas
dengan
pernikahannya.
2. Anugriaty Bias Gender Teknik Subjek Kekerasan dalam
Indah Sebagai Prediktor Pengumpulan Penelitian rumah tangga
Asmarany Kekerasan Dalam Data terjadi karena
(2008) Rumah Tangga masih adanya
pemahaman yang
keliru mengenai
bias gender
3. Fenita Kekerasan Dalam Subjek Pendekatan Kejadian
Purnama Pacaran Pada Penelitian kuantitatif kekerasan dalam
(2016) Remaja pacaran terjadi
kepada remaja
yang frekuensi
pacaran lebih
daripada 4 kali
dan memiliki
harga diri rendah,
serta persepsi
tentang gender
rendah
4. Olivia Tostivint It’s a (Wo)Man’s Terkait budaya Penelitian ini Penelitian ini
(2019) World: An Analysis patriarki yang tidak menggambarkan
of Hegemonic harus menyoroti bagaimana konsep
Masculinity and dihilangkan mengenai maskulinitas
It’s Myriad of sebagai kunci permasalahan hegemonik adalah,
Decontructive utama tidak komunikasi dan dapat,
Impactson terjadinya toxic digunakan dalam
Contemporary masculinity intervensi untuk
Society membangun
kesetaraan gender
dan mengurangi
kekerasan
7
5. Rachel Jewkes, Hegemonic Penggunaan Metode berbasis gender
teori gender Penelitian terhadap
Robert Morrel Masculinity :
perempuan
dkk combining theory hegemoni
maskulinitas
(2015) and practice in adalah konsep
gender yang
mengakomodasi
intervensions
fluiditas dan
dinamisme,
tidakmudah untuk
mengidentifikasi
stasis atau
gerakan. Sebagian
besar intervensi
menghindari
masalah ini
dengan beroperasi
berdasarkan
proyek jangka
pendek yang
membahas
elemen-elemen
spesifik hegemoni
maskulinitas.
B. Kajian Teoritis
1. Hegemonic Masculinity Theory
Raewyn Connell merupakan tokoh yang memperkenalkan hegemonic
masculinity theory, Connell menjelaskan bahwa konsep maskulinitas sebagai
permasalahan tentang posisi laki-laki di dalam masyarakat. Menurutnya, gerakan-
gerakan atau ide yang berupa tentangan dari perempuan akan sistem patriarkal
8
seharusnya memberikan pengaruh seperti adanya perubahan dalam kehidupan laki-
laki. Dalam teori ini hegemoni maskulinitas dimaknai sebagai suatu wujud gender
yang menjamin terjadinya kelangsungan budaya patriarki yang menempatkan posisi
laki-laki lebih dominan dan adanya subordinasi atas perempuan. Selain perempuan
hegemoni maskulinitas juga menyebabkan adanya subordinasi atas kelompok laki-
laki tertentu. Maka dari itu meskipun laki-laki mendapatkan berbagai hak istimewa
dalam budaya patriarki, namun tidak semua laki-laki mendapatkan hak istimewa
tersebut (Connell,2005).
Teori ini merupakan teori menjelaskan mengenai kelas-kelas yang ada pada
laki-laki, Budyati beranggapan bahwa sebenarnya terdapat kelas-kelas pada laki-laki
antara mendominasi dan tersubordinasi (Budyati, 2016 ) . Hegemoni maskulinitas
ini bukan hanya soal perbedaan maskulin diantara kaum laki-laki melainkan bicara
mengenai seksualitas, ras, dan lain-lain yang tidak dapat disederhanakan dengan
batasan yang cukup jelas (Hidayatullah, 2017). Berikut ini adalah pola yang
menyebabkan terjadinya hegemonic masculinity menurut Connell:
Gambar 1. Pola Terjadinya Hegemonic Masculinity Menurut Connell
Sumber : Raewn Connell, Masculinities (2005)
Pola tersebut menggambarkan bagaimana hegemoni maskulinitas ini
diproduksi, direproduksi, dan diabadikan. Social reproduction of patriarchy ini
berarti masyarakat menciptakan kembali sebuah patriarki yang akhirnya
membentuk masyarakat patriarkis itu sendiri, dimana masyarkat patriarkis tersebut
menciptakan adanya hegemonic masculinity yang menetapkan bahwa laki-laki
merupakan pihak dominan dan perempuan adalah pihak yang tersubordinasi hal
9
tersebut kemudian melahirkan gendered socialization bahwa laki-laki dan
perempuan itu berbeda yang akhirnya menciptakan power inequality antara laki-laki
dan perempuan di masyarakat. Laki-laki dianggap lebih kuat dibandingkan dengan
perempuan, dan hal tersebut menimbulkan social/health inquality yang kemudian
kembali melanggengkan patriarki itu sendiri.
Connel juga menjelaskan Hirarki Maskulin yang digambarkan dalam
paradigm berikut :
Gambar 2. Hirarki Maskulin
Sumber : Sumber : Raewn Connell, Masculinities (2005)
Hegemonic Masculinity : merupakan bentuk dominan maskulinitas yang
diharapkan dalam masryarakat pada umumnya.
Complicit Masculinity : dimana seorang pria mungkin tidak cocok dengan semua
karakteriktik dari hegemoni maskulin mereka tidak menentang system gender yang
ada di dalam masyarakat.
Marginalized Masculinity : dimana seorang pria tidak memiliki akses hegemoni
maskulinitas karena karakteristik tertentu yang dimilikinya seperti ras. Contohnya
adalah pria kulit berwarna dan pria cacat mereka merupakan kelompok pria yang
mengalami kejantanan yang terpinggirkan.
Subordinate Masculinity : dimana pria menunjukan qualitis yang berlawanan
dengan yang dihargai maskulinitas hegemonic seperti laki-laki banci dan gay adalah
contoh pria yang menunjukan identitas maskulinitas bawahan.
10
Peneliti menilai bahwa teori ini relevan pada penelitian ini untuk
menjelaskan bahwa konsep maskulinitas yang melekat pada laki-laki dan
dilanggengkan oleh masyarakat tidak berlaku untuk semua golongan laki-laki.
Sedangkan selama ini masyarakat menganggap konsep maskulinitas tersebut
berlaku untuk semua laki-laki yang kemudian hal tersebut menciptakan toxic
masculinity toxic masculinity yang berangkat dari pemikiran-pemikiran konservatif
masyarakat terkait konsep maskulinitas itu sendiri.
2. Standpoint Theory
Standpoint Theory yang dikemukakan oleh Harding dan Julia Wood
membahas mengenai posisi seseorang yang didasarkan pada lokasi sosial.
Harding dan Wood mengatakan bahwa :
“ The social groups within we are located powerfully shape what we
experience and know as well as how we understand and communicate
with ourselves, others, and the world” (Griffin, 2009).
Dari kutipan tersebut dapat di pahami bahwa menurut standpoint theory
keadaan kehidupan seorang individu dapat berpengaruh terhadap bagaimana
individu tersebut memahami dan juga membangun dunia sosial disekitarnya.
Teori ini merupakan teori turunan dari beberapa teori sebelumnya. Salah
satunya adalah analisis mengenai master-slave relationship yang dikaji oleh
George Hegel yang merupakan seorang filsuf Jerman dimana hasil dari
analisisnya tersebut ia mengemukakan bahwa apa yang mereka tahu tentang
dirinya, orang lain dan juga lingkungan sosial mereka tergantung dari
kelompok mana mereka berada. Hegel mengemukakan :
“they are the ones who write the history books”
Dari kutipan tersebut kita dapat memahami bahwa menurut Hegel pihak yang
mempunyai dominasi kuat di masyarakat akan menentukan sejarah dalam
masyarakat itu sendiri. Selain analisis Hegel tentang hubungan majikan dan
11
pembantu terdapat teori lain yang menjadi induk dari standpoint theory yaitu
sudut pandang tentang proletaroian yang dikemukakan oleh Karl Marx dan
Frieddrich Engels yang mengatakan bahwa :
“ the improvished poor who provide sweat equity are society’s ideal
knowers, as long as they understand the class struggle in which they are
involved”
Dalam teori ini dikenal adanya pembagian kelas antara golongan yang
mendominasi yaitu kaum borjuis dan adanya kelompok yang termarginalisasi
yaitu kaum proletar. Dalam sistem patriarki kedudukan kaum proletar
digantikan oleh perempuan (Griffin, 2009).
Teori standpoint dalam kaitannya dengan gender mengungkapkan
anggapan bahwa gender merupakan hasil dari konstruksi sosial dan kultural
yang terbentuk dari sosial di masyarakat, gender juga bukan hanya sekedar
symbol biologis namun didalamnya terkandung nilai-nilai budaya yang di
konstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Terdapat asumsi dasar dari standpoint
theory yaitu:
a) Semua pengetahuan merupakan hasil produk dari adanya kegiatan
sosial yang kemudian menjadikan tidak adanya pengetahuan yang
benar-benar bersifat objektif. Karena pengetahuan juga dapat diyakini
secara subjektif oleh mereka yang memahaminya.
b) Kondisi budaya dalam kehidupan perempuan dan laki-laki akan
menghasilkan pemahaman dan pengalaman yang berbeda. Perbedaan
pemahaman tersebut kemudian dapat menimbulkan adanya
perbedaan pola komunikasi.
c) Pemahaman terhadap perbedaan pola komunikasi akan berguna untuk
memahami cirri khasnya.
d) Untuk memahami pengalaman wanita kita dapat melakukan
interpretasi dari pengalaman mereka.
Relasi standpoint theory dengan komunikasi adalah komunikasi
menjadi akar dari semua konsep dalam standpoint theory. Komunikasi dapat
12
membentuk sudut pandang yang dipelajari dari apa yang sudah terkonstruk
melalui interaksi dengan orang lain sehingga membentuk suatu pola
komunikasi. Teori ini relevan untuk menganalisis penelitian ini karena teori
ini mampu menjelaskan terkait sudut pandang yang muncul terhadap isu
toxic masculinity yang ada dalam hubungan pacaran, dan hal tersebut dapat
dianalisa dari pengalaman individu baik laki-laki maupun perempuan dengan
menginterpretasi pola komunikasi dalam keluarga yang membentuk suatu
pemahaman tertentu tentang maskulin.
C. Kajian Konseptual
1. Gender
Menurut Ferre yang dikutip dalam Llyod, Gender dalam hal ini dibagi
menjadi dua yaitu masculin dan feminis. Gender berbeda dengan jenis kelamin
biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian secara biologis contohnya kita
dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau perempuan berdasarkan jenis kelamin.
Sedangkan gender merupakan suatu ‘perlakuan’. Gender juga dapat terkonstruk dari
ide-ide dalam masyarakat dan diperkuat melalui diskusi dan prilaku, dimana
individu menyatakan suatu identitas gender dan mengumumkan pada yang lainnya
(Llyod, 2009).
Gender merupakan konsep hubungan sosial yang membedakan, memilahkan
atau memisahkan fungsi dan peran antara perempuan dan laki-laki. Perbedaan
fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan tersebut tidak ditentukan karena
keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat melainkan dibedakan menurut
kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai kehidupan. Adanya
pemisahan antara laki-laki dan perempuan tersebut kemudian memunculkan
permasalahan karena adanya ketidaksetaraan gender. Maka dari itu ide-ide yang
menggerakan adanya kesetaraan gender mulai banyak disuarakan. Karena pada
dasarkan gender ini adalah konstruksi dari masyarakat sehingga dapat diubah.
2. Kekerasan dalam Hubungan Pacaran
Tindak kekerasan dapat disamakan dengan penganiayaan, yaitu perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang
lain (Chawazi, 2001). Sedangkan DeGenova & Rice (2005) beranggapan bahwa
13
pacaran adalah menjalankan suatu hubungan dimana dua orang bertemu dan
melakukan serangkaian aktifitas bersama agar dapat mengenal satu sama lain.
Kekerasan dalam pacaran fenomena yang terjadi dalam kehidupan berpasangan
dimana dapat dilakukan secara sengaja ataupun tidak sengaja. Kekerasan dalam
pacaran adalah kekerasan secara psikologis dan fisik yang dilakukan oleh salah satu
atau kedua belah pihak dalam hubungan pacaran, yang mana perilaku ini ditujukan
untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya (Davis,
2008).
Kekerasan dalam hal ini merupakan kejadian yang tidak diinginkan oleh
setiap pasangan yang sedang berhubungan. Kekerasan dalam pacaran dapat terjadi
karena kurangnya komunikasi atau adanya ketidaksepahaman dalam komunikasi itu
sendiri yang kemudian memunculkan permasalahan. Selai itu juga bisa disebabkan
karena adanya pihak yang mendominasi dalam hubungan itu sendiri. Perasaan ingin
menguasai dan memiliki kendali penuh dapat menjadi factor utama terjadinya
kekerasan, apabila keinginan dari salah satu pasangan tidak terpenuhi maka
pasangan lainnya ada kecenderungan melakukan tidak kekerasan baik verbal
maupun fisik. Kekerasan yang terjadi dalam hal ini kebanyakan korban adalah
perempuan, namun laki-laki juga dapat menjadi korban kekerasan yang selama ini
tidak terlalu dipandang karena mengemban konsep maskulin.
3. Toxic Masculinity
Istilah toxic masculinity memang belum familiar di masyarakat luas. Toxic
masculinity merupakan suatu keadaan dimana ketika laki-laki tidak memenuhi
standar dari maskulin yang dipahami masyarakat dianggap sesuatu yang salah.
Persepsi yang tercipta di masyarakat terkait maskulin itu kemudian memberikan
beban dan batasan-batasan tersendiri terhadap laki-laki dalam kehidupannya.
Seperti laki-laki yang menangis atau sensitif kemudian mengekspresikannya
dianggap cengeng atau lemah hal tersebut karena laki-laki dianggap lebih kuat, lebih
mengedepankan logika dibandingkan dengan perasaan. Hal-hal semacam itu
kemudian menimbulkan adanya standar-standar tertentu yang harus selalu dipenuhi
oleh laki-laki dan apabila tidak maka masyarkat secara sosial menganggapnya
sebagai sesuatu yang salah.
Sedangkan disisi lain tidak semua laki-laki mampu untuk memenuhi standar
maskulin yang diciptakan oleh masyarakat tersebut, karena pada dasarnya laki-laki
juga terbagi menjadi berbagai kelas yaitu laki-laki yang mendominasi dan laki-laki
14
yang tersubordinasi. Maka dari itu adanya standar-standar yang ditetapkan oleh
masyarakat tersebut menciptakan toxic masculinity. Disisi lain penciptaan standar
maskulinitas dan feminitas itu sendiri sebenarnya tidak di khususkan siapa yang
harus maskulin dan siapa yang harus feminim, karena pada kenyataanya ada
sebagaian laki-laki yang menunjukan sifat-sifat feminim, dan ada pula perempuan
yang menunjukan sifat-sifat maskulin. Konstruksi masyarakat patriarkis lah yang
kemudian menetapkan bahwa maskulin adalah sifat dasar pria dan feminim adalah
sifat dasar perempuan (Terry A Kupers, 2005).
4. Pola Komunikasi
Komunikasi menurut Rogers & O. Lawrence Kincaid merupakan suatu
interkaksi dimana terdapat dua orang atau lebih yang sedang membangun atau
melakukan pertukaran informasi satu sama lain yang tujuannya adalah untuk saling
memahami dan mengerti akan tujuan dari informasi tersebut. Sedangkan menurut
Hafid Cangara komunikasi merupakan suatu aktivitas dimana komunikator atau
narasumber member respon secara timbale balik pada komunikator lainya, proses
tersebut kemudian saling mempengaruhi satu sama lain antara pemberi sumber dan
penerima (Hafid Cangara, 2002). Sedangkan pola komunikasi secara umum dipahami
sebagai proses atau bentuk hubungan interaksi yang dilakukan oleh dua orang atau
lebih guna menyampaikan pesan atau informasi yang hendak disampaikan.
Pada penelitian ini pola komunikasi yang akan dijadikan sebagai kerangka
konseptual adalah pola komunikasi keluarga dari remaja yang berpacaran baik pada
pihak laki-laki maupun perempuan yang akhirnya menimbulkan adanya toxic
masculinity pada saat mereka menjalin hubungan pacaran. Keluarga merupakan
tempat sosialisasi pertama bagi seorang anak. Pendidikan pertama seorang anak
juga datang dari keluarga, maka dari itu peran keluarga dalam proses pembentukan
moral anak sangat penting. Dalam keluarga, orang tua merupakan subjek yang
memberikan berbagai pendidikan, pemahaman, dan aktor yang menentukan untuk
membentuk pola prilaku anak sejak dini lewat pola komunikasi yang mereka
lakukan. Pola komunikasi orang tua merupakan suatu bentuk interaksi komunikasi
dalam keluarga yang dilakukan secara sistematis yang melibatkan ayah dan ibu
sebagai komunikator dan anak sebagai komunikan yang kemudian saling
mempengaruhi satu sama lain, selain itu juga ada timbale balik antara keduanya
yang di kenal dengan komunikasi dua arah.
15
Pola komunikasi yang dilakukan oleh orang tua dalam memberikan
pemahaman terkait nilai-nilai dasar, sifat-sifat dasar bagi seorang anak akan
berpengaruh pada pemahaman anaknya terkait nilai-nilai sosial yang berlaku di
masyarakat, dan hal tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung sudah
mengkonstruksi pola pikir dan pola perilaku anaknya. Dalam penelitian ini akan
lebih berfokus pada pola komunikasi yang menyebabkan adanya toxic masculinity
pada remaja yang berpacaran.
D. Kerangka Pemikiran
KETIDAKSETARAAN DALAM
HUBUNGAN PACARAN
KEKERASAN DALAM
HUBUNGAN
TOXIC MASCULINITY DEPRESI, STRESS, BUNUH DIRI
Terjadinya ketidaksetaraan dalam hubungan pacaran yang disebabkan
adanya stereotip bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai power yang berbeda,
pembagian tugas yang berbeda, sifat-sifat dasar yang berbeda menjadi suatu
pemahaman yang tidak selalu berdampak positif. Justru adanya ketidaksetaraan
tersebut dapat memicu terjadinya kekerasan dalam hubungan baik kekerasan verbal,
fisik, psikologis maupun ekonomi. Kekerasan tersebut dapat dilakukan oleh laki-laki
maupun perempuan. Namun kekerasan yang terjadi dalam hubungan pacaran
mayoritas masih menganggap bahwa laki-laki adalah pelaku dan perempuan adalah
korban, hal tersebut tidak terlepas karena adanya pandangan bahwa wanita lemah
dan laki-laki lebih kuat dan dominan.
Oleh karena itu kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan lebih sering
kita dengar. Sedangkan kasus kekerasan yang menjadikan laki-laki sebagai korban
sangat jarang terekspose karena kurang ketika hal tersebut terjadi justru laki-laki
16
mendapatkan beban lain dengan di capnya sebagai laki-laki yang lemah, yang sensitif
oleh masyarakat. Karena standar yang melekat dalam masyarakat bahwa laki-laki
adalah pihak yang dominan dan menjadi pemegang kekuasaan. Hal tersebut
kemudian menimbulkan adanya toxic masculinity yang dapat berdampak negative
terhadap laki-laki yaitu terjadinya depresi, stress, sampai pada tindakan yang lebih
ekstrim adalah dilakukannya bunuh diri.
17
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Paradigma Penelitian
Harmon dalam Moleong (2014) menjelaskan definisi dari paradigma adalah
cara mendasar untuk melakukan persepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang
berkaitan dengan sesuatu yang secara khusus tentang realitas. Paradigma dibatasi
sebagai tujuan atau motif filsofis pelaksanaan suatu penelitian. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa paradigma adalah suatu kaidah atau konsep atau metode yang
dijadikan suatu kerangka kerja pelaksanaan dalam sebuah penelitian. Paradigma
mempunyai beberapa varian diantaranya Positivis, Interpretif, dan Kritis (Bachri,
2010).
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Penelitian
konstruktivisme merupakan paradigma yang menganggap bahwa suatu kenyataan
merupakan hasil dari konstruksi atau buatan daripada manusia. Suatu kejadian yang
merupakan kenyataan dapat menjadi suatu konstruksi dengan karangan pemikiran
dari manusia yang melihat kejadian tersebut. Paradigma ini dirasa relevan dengan
penelitian ini dengan alasan kejadian yang terjadi dalam hubungan pacaran dalam
hal ini kekerasan membentuk konstruksi dalam masyarakat itu sendiri.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian inia adalah metode
penelitian kualitatif dengan bentuk deskriptif. Penelitian kualitatif ialah penelitian
yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistic, dan
dilakukan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah
(Moleong, 2005). Penelitian ini akan didukung dengan metode pendekatan penelitian
dengan jenis fenomenologi. Fenomenologi merupakan pendekatan yang
beranggapan bahwa suatu fenomena bukanlah realitas yang berdiri sendiri. Dunia
keseharian tempat manusia hidup senantiasa merupakan suatu yang intersubjektif
dan sarat dengan makna (Littlejhon, 2005). Penelitian dengan jenis fenomenologi
inilah yang mana nantinya peneliti akan melihat dan mengamati fenomena yang
18
terjadi dalam hubungan pacaran yang terfokuskan pada fenomena kekerasan dalam
pacaran yang menghasilkan toxic masculinity, kemudian akan di teliti berdasarkan
sudut pandang peneliti dengan berbagai metode yang disiapkan oleh peneliti yang
diantaranya observasi, wawancara ekslusif dan mengumpulkan dokumentasi.
C. Sasaran Penelitian
Sasaran yang di tuju dari adanya penelitian ini adalah mereka yang menjadi
korban kekerasan dalam pacaran, yang dalam hal ini akan lebih difokuskan kepada
laki-laki. Melihat dari beberapa kasus kekerasan yang terjadi dalam pacaran, laki-laki
cenderung disalahkan karena stigma mengenai kemaskulinan sudah dibentuk dalam
masyarakat sejak dini. Para korban kekerasan dan mereka yang mengalami toxic
masculinity sangat penting diteliti untuk diperhatikan karena mereka yang
mengalami ini cenderung sulit untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan.
D. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan
primer. Data sekunder yaitu berupa data - data yang diambil melalui buku - buku
literatur, data-data resmi pemerintah, jurnal ilmiah, laporan statistik dan data-data
tambahan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini (Sarwono, 2006). Sedangkan
data primer merupakan data yang lansung diberikan kepada pengumpul data oleh
sumber data ( Sugiyono, 2012).
E. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini
meliputi 2 aspek yaitu melalui studi kepustakaan berdasarkan buku-buku, jurnal
atau penelitian yang dapat dijadikan sumber dari penelitian yang akan di lakukan.
Selain itu, studi lapangan dengan cara pengambilan data langsung ke lapangaan akan
dilakukan dengan cara :
a) Wawancara
Wawancara merupakan teknik dalam pengumpulan data dalam
penelitian ini. Peneliti melakukan wawancara kepada beberapa informan
yang merupakan korban kekerasan dalam pacaran terutama adalah
19
korban laki-laki. Wawancara yang akan dilakukan adalah wawancara
yang mendalam yang mana nantinya peneliti mengajukan beberapa
pertanyaan yang sudah disiapkan oleh peneliti sebelumnya.
b) Observasi
Observasi merupakan teknik berikutnya yang akan digunakan peneliti
guna melihat secara langsung ekspresi, raut wajah, intonasi suara, atau
sampai memantau kegiatan keseharian yang dilakukan oleh informan.
Hal tersebut dilakukan guna menunjang keabsahan data yang diberikan
oleh informan sebagai sumber penelitian.
c) Dokumentasi
Dokumentasi merupakan bukti fisik berupa video, foto, ataupun audio
yang mendukung keabsahan sebuah penelitian.
F. Teknik Pengumpulan Informan
Informan dalam penelitian ini ialah orang-orang yang sudah menjadi
korban tindak kekerasan dalam hubungan pacaran. Informan merupakan orang yang
memberikan informasi terkait informasi penelitian yang akan dilakukan. Penelitian
ini nantinya akan mengambil beberapa informan yang berdomisili di daerah Bekasi
dan Purwokerto yang sedang atau telah menjadi korban kekerasan dalam pacaran.
Teknik pengumpulan informan dalam penelitian ini menggunakan teknis purposive
sampling yaitu teknik yang mengambil sample atas tujuan tertentu dimana pemilihan
informan tidak dilakukan secara acak tapi melalui pertimbangan terlebih dahulu
(Tongco, 2005). Informan yang akan digunakan dalam hal ini memiliki kriteria
sebagai berikut :
a) Laki-laki atau perempuan usia 18-25
b) Pernah/sedang menjalani hubungan pacaran
c) Pernah/sedang mengalami kekerasan dalam hubungan
d) Mengalami atau melakukan toxic masculinity
Dengan adanya acuan kriteria yang akan dijadikan sebagai informan,
diharapkan penelitian ini akan lebih terperinci dan memperoleh hasil yang
maksimal. Setelah mendapati acuan kriteria sebagai informan, langkah berikutnya
20
adalah mengadakan wawancara mendalam dan terstruktur yang mana nantinya
peneliti akan mengajukan beberapa pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya.
G. Metode Analisis Data
Menurut Miles dan Huberman, dalam menganalisis sebuah data terbagi
dalam tiga alur kegiatan yang terjadi bersamaan yaitu diantaranya reduksi data,
penyajian data, dan verifikasi atau tahap kesimpulan. Teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian kualitatif mencakup transkip hasil wawancara, reduksi
data, analisis, interpretasi data dan trianggulasi. Hadi hasil wawancara yang
kemudian ditarik kesimpulan.
a) Reduksi Data
Reduksi data yaitu proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstraksian dan
transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.
Reduksi data terus dilakukan selama pengumpulan data berlangsung. Dalam
reduksi data dilakukan analisis untuk menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data sedemikian
rupa sehingga dapat ditarik kesimpulan dan diverivikasi. Reduksi data juga
merupakan proses transformasi yang terus berlanjut setelah dilakukannya
penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun.
b) Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek
penelitian (Moleong, 2004). Triangulasi dapat dilakukan dengan teknik yang
berbeda yaitu wawancara, observasi dan dokumen. Fungsi dari teknik
trianggulasi selain untuk mengecek keabsahan data yang diperoleh yaitu untuk
memperkaya data.
Trianggulasi dibedakan menjadi empat macam sebagai teknik dalam
pemeriksaaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, peneliti dan
teori. Berikut ini empat macam triangulasi :
21
1. Triangulasi Sumber
Trianggulasi sumber adalah triangulasi yang membandingkan dan
mengecek ulang satu informasi yang diperoleh dari sumber yang
berbeda. Contohnya adalah dengan membandingkan sumber dari
jurnal, buku, internet maupun skripsi
2. Triangulasi Metode
Triangulasi metode adalah triangulasi dengan melakukan pengecekan
data atau temuan dalam penelitian yang dapat dilakukan dari satu
teknik pengumpulan data untuk mendapatkan data yang sama.
3. Triangulasi Peneliti
Triangulasi peneliti yaitu proses menggambarkan lebih dari satu
peneliti dalam melakukan obsevasi dan wawancara. Karena, dalam
setiap penelitan memiliki sikap, gaya, dan pendapat yang berbeda
dalam proses mengamati suatu fenomena dan hal tersebut akan
menghasilkan hasil yang berbeda pula meskipun fenomena yang
diteliti merupakan objek yang sama.
4. Triangulasi Teori
Triangulasi teori yaitu proses memanfaatkan dua teori atau lebih
untuk digabungkan atau dibandingkan. Oleh karena itu dibutuhkan
pengumpulan data penelitian yang lengkap agar mendapatkan hasil
yang komperhensif.
Tujuan umum dari dilakukannya triangulasi adalah untuk meningkatkan
kekuatan teoritis, metodelogis, maupun interpretative dari sebuah riset. Sehingga
proses triangulasi merupakan salah satu bagian penting dalam melakukan riset
kualitatif.
Adapun triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan triangulasi metode. Triangulasi metode dalam penelitian ini
digunakan dengan menyamakan satu data dengan teknik yang berbeda yaitu teknik
wawancara, observasi maupun studi kepustakaan. Hal tersebut digunakan untuk
menguatkan data yang telah diperoleh sebelumnya sehingga menjadi penguat
validnya hasil dari penelitian yang dilakukan.
22
c) Penarikan Kesimpulan
Proses penarikan kesimpulan dan verivikasi merupakan bagian akhir dalam
analisis data kualitatif. Kesimpulan akan muncul dari data-data yang yang sudah
melewati proses reduksi dan trianggulasi. Kesimpulan final akan muncul bergantung
pada besarnya kumpulan-kumpulan hasil studi lapangan. Kesimpulan juga akan
bergantung pada kecakapan peneliti dalam menyimpulkan hasil penelitian yang
telah dilakukan.
23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Proses Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu menganalisa seperti apa pola
komunikasi yang menjadi penyebab terjadinya toxic masculinity pada laki-laki pada
masa pacaran, selain itu peneliti juga berkesempatan meneliti salah seorang
narasumber perempuan yang melakukan toxic masculinity terhadap pasangannya
dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif. Penelitian ini akan memberikan
hasil mengenai pola komunikasi yang berawal di rumah yang dilakukan dengan
keluarga dalam hal ini orang tua kepada anak, lalu turun kepada pola komunikasi
yang dilakukan anak kepada pacarnya yang kemudian menghasilkan toxic
masculinity.
Penelitian ini berlandaskan dengan dua teori, pertama yaitu teori gender
yang diperkenalkan oleh Raewyn Connell (2005) yaitu hegemonic masculinity theory,
dalam teori ini menjelaskan mengenai adanya wujud gender yang menjamin
terjadinya budaya patriarki dalam masyarakat. Hegemonic masculinity menciptakan
adanya pembagian status dalam laki-laki antara mendominasi dan tersubordinasi.
Connell beranggapan walaupun ada hak istimewa yang diterima laki-laki dengan
adanya budaya patriarki, namun ada juga pihak laki-laki yang terbebani dengan
adanya budaya patriarki, dalam teorinya Connell menjelaskan bahwa terdapat kelas-
kelas tertentu pada laki-laki, sehingga laki-laki tidak dapat disamakan kedudukannya
dan juga digeneralisasi terkait sifat dan perannya didalam sosial. Berkaitan dengan
penelitian ini hegemonic masculinity theory ini relevan untuk menjelaskan dan
menganalisa konsep maskulinitas yang berkembang di masyarakat dimana konsep
tersebut melekat pada laki-laki yang kemudian dilanggengkan oleh masyarakat lewat
culture yang dikonstruk oleh masyarakat itu sendiri. Sedangkan posisi laki-laki
dalam masyarakat ini terbagi atas kelas-kelas yang berbeda antara laki-laki yang
mendominasi dan laki-laki yang tersubordinasi, sedangkan konsep maskulinitas
yang berkembang tidak mengenal kelas-kelas tersebut sehingga ekspektasi
masyarakat terhadap konsep maskulinitas ini adalah berlaku bagi semua golongan
laki-laki secara keseluruhan oleh karena itu terciptalah toxic masculinity dalam
masyarakat tersebut.
Teori kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori komunikasi
milik Harding dan Julia Wood yaitu yang mana tertera dalam Griffin (2009)
24
Standpoint Theory yang mana teori ini menilai bahwa sudut pandang mampu
menilai permasalahan atau kasus-kasus sekitar kita secara lebih kritis dan
mendalam. Standpoint Theory dapat digunakan dengan alasan laki-laki dan
perempuan mempunyai perspektif terpisah, dan tidak dipandang sebagai
suatu yang setara. Dalam kasus menengai kekerasan dalam hubungan
pacaran yang menciptakan toxic masculinity cenderung dipandang dari satu
sisi dan cenderung mengesampingkan sisi lainnya. Berdasarkan teori yang akan
digunakan, penelitian ini akan menganalisis mengenai pola komunikasi yang
dihasilkan di keluarga, kemudian menciptakan pola komunikasi baru dalam
hubungan pacaran yang menghasilkan toxic masculinity.
Penelitian ini diawali berdasarkan pengalaman lingkungan sekitar yang pada
masa pacaran cenderung memiliki permasalahan yang disebabkan adanya toxic
masculinity dalam hubungan pacarannya. Dalam kehidupan sehari-hari peneliti
melihat bahwa konstruksi terkait maskulinitas dan feminism masih melekat dalam
berbagai segi kehidupan, melihat dari lingkungan sekitar peneliti kaum laki-laki
masih banyak yang berusaha untuk memaksakan diri agar terlihat maskulin dengan
melakukan atau menerapkan konsep-konsep maskulin yang ada di masyarakat
karena ketika ia tidak mampu untuk menjadi seperti yang dikehendaki maka tidak
jarang mereka mengalami diskriminasi baik melalui verbal maupun non-verbal.
Maka dari itu banyak kaum laki-laki yang akhirnya memaksakan diri untuk terlihat
maskulin di lingkungan sekitarnya untuk menghindari adanya beban lain yang
terjadi ketika ia memperlihatkan dirinya berbeda dengan konsep maskulin yang
berlaku di masyarakat. Dari fenomena tersebut peneliti melihat adanya
permasalahan yang diakibatkan dari konstruksi akan maskulinitas dan feminism
tersebut. Laki-laki yang memang tidak bisa bersikap atau berperan maskulin seperti
yang berlaku di masyarakat karena memang mereka tidak mempunyai sifat-sifat
alamiah tersebut merasa menjadi kurang dipandang dalam sosialnya dan hal
tersebut adalah salah satu dampak dari maskulin yang menyebabkan adanya toxic
masculinity.
Fenomena toxic masculinity di masyarakat masih kurang dipandang sebagai
permasalahan yang serius. Karena stigma yang berkembang sudah sangat kuat dan
melekat dalam sendi-sendi kehidupan, hal tersebut juga tidak terlepas dari
langgengnya budaya patriarki itu sendiri. Sedangkan dampak dari permasalahan ini
dapat berujung serius bagi para laki-laki yang tidak mampu bertahan dari tuntutan-
25
tuntutan maskulin yang berlaku di masyarakat. Hal tersebut kemudian membawa
peneliti untuk mengangkat isu tersebut menjadi sebuah penelitian yang ilmiah dan
diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan yang berangkat dari
realita dalam sosial.
Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling dalam menentukan
narasumber penelitian. Purposive sampling menurut Sugiyono adalah teknik
penentuan sampel dengan melakukan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2016).
Peneliti menggunakan teknik purposive sampling karena tidak semua sampel
memiliki kriteria yang sama dengan yang dibutuhkan oleh peneliti, oleh karena itu
peneliti menggunakan teknik tersebut agar narasumber dalam penelitian ini sesuai
dengan kriteria yang ditentukan sehingga tujuan dari penelitian ini dapat
tersampaikan. Peneliti dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan
fenomenologi agar informasi yang diperoleh dari narasumber lebih realistis dan
lebih mendalam. Sebelum menentukan narasumber penelitian dan juga melakukan
wawancara terhadap narasumber yang terpilih, peneliti sebelumnya sudah
melakukan observasi terkait fenomena toxic masculinity ini dalam masyarakat,
observasi juga dilakukan dengan mengamati pola-pola berpacaran beberapa
pasangan yang dilihat dari bagaimana mereka saling berkomunikasi, bagaimana
problem solving dalam hubungannya, dan juga mengamati terkait pembagian tugas
yang lebih mengarah pada gender, dan apakah hal tersebut menjadi suatu masalah
ketika satu pihak tidak mampu untuk memenuhi pembagian tugas tersebut.
Langkah selanjutnya adalah proses menentukan narasumber dan
pelaksanaan wawancara. Narasumber yang terpilih dalam penelitian ini sebagian
besar merupakan teman dekat peneliti yang memiliki kedekatan secara personal
dengan peneliti, sehingga dalam memperoleh informasi narasumber dapat lebih
terbuka sehingga wawancara dilakukan secara mendalam. Jumlah narasumber yang
terpilih total 5 narasumber, dengan rincian 4 narasumber laki-laki dan 1 narasumber
perempuan. Semua narasumber yang terpilih sudah memenuhi kriteria yang telah
ditentukan oleh peneliti sebelumnya. Narasumber pertama dan kedua merupakan
teman satu jurusan dari peneliti. Peneliti mengenal dengan baik secara personal
dengan narasumber pertama dan kedua. Pada narasumber yang pertama, peneliti
melaksanakan wawancara secara online menggunakan Google Meet dikarenakan
yang bersangkutan sedang tidak berada di Purwokerto, wawancara dilakukan pada
tanggal 25 Juni 2020, wawancara berjalan dengan lancar dengan durasi 1 jam 5
menit. Selanjutnya pada tanggal 26 Juni 2020 peneliti melakukan wawancara
26
dengan narasumber kedua, wawancara dilakukan dengan tatap muka secara
langsung yang dilakukan di kostan peneliti.
Selanjutnya narasumber ketiga merupakan perempuan, untuk mendapatkan
kesediaanya untuk dijadikan narasumber peneliti melewati banyak usaha karena
yang bersangkutan memiliki banyak kesibukan. Setelah mendapatkan waktu yang
tepat, wawancara dilakukan pada tanggal 27 Juni 2020 lewat Google Meet karena
yang bersangkutan tidak berdomisili di Purwokerto dan terhalang oleh pandemi.
Wawancara terlaksana dengan lancar dengan durasi sekitar 50 menit. Pada saat
dilakukan wawancara pada narasumber ketiga ini peneliti banyak mendapatkan
pandangan-pandangan yang berbeda karena narasumber yang bersangkutan
menggunakan sudut pandang perempuan dalam permasalahan toxic masculinity
tersebut.
Selanjutnya peneliti memperoleh narasumber keempat yang memenuhi
kriteria untuk dijadikan narasumber dari penelitian ini, yang bersangkutan juga
bersedia untuk menjadi narasumber. Pada tanggal 29 Juni 2020 wawancara
terlaksana yang bertempat di kosan peneliti. Kemudian narasumber yang terakhir,
peneliti mencoba untuk menanyakan kesediaanya untuk menjadi narasumber
karena peneliti sempat berada di kosan yang sama dengan narasumber kelima dan
pernah secara langsung melihat yang bersangkutan beberapa kali mendapatkan
kekerasan fisik dari pasangannya pada saat itu ketika terjadi pertengkaran. Setelah
narasumber kelima menyatakan bersedia untuk menjadi narasumber dari penelitian
ini, peneliti melaksanakan wawancara pada tanggal 30 Juni melalui WhatsApp
dikarenakan narasumber sedang berada di luar kota. Wawancara terlaksana secara
lancar.
Kendala yang dirasakan peneliti pada saat melakukan wawancara dengan
narasumber adalah menyesuaikan waktu dengan narasumber, karena setiap
narasumber mempunyai kesibukan masing-masing. Selain itu, dikarenakan pandemi
yang ada di Indonesia dan mengikuti imbauan pemerintah, maka kendala berikutnya
wawancara dilakukan dengan cara jarak jauh menggunakan media komunikasi
online yaitu aplikasi Whatsapp dan menggunakan video teleconference Google Meet
dengan salah satu fiturnya yaitu videocall, pada saat melaksanakan wawancara
melalui video call kendala yang muncul hanya berupa beberapa gangguan yang
disebabkan jaringan, selain itu tidak ada kendala yang berarti pada saat proses
berlangsungnya wawancara, sehingga wawancara penelitian berlangsung lancar
27
meskipun wawancara yang dilakukan dengan beberapa narasumber dilakukan
melalui video call namun esensi dari wawancara itu sendiri tetap tersampaikan.
Setelah melaksanakan wawancara dengan kelima narasumber, peneliti
memperoleh data hasil dari wawancara yang kemudian selanjutnya dari data
tersebut peneliti melakukan reduksi data dengan melakukan pemilahan-pemilahan
dan kategorisasi dari informasi yang di dapat kemudian dirangkum dan difokuskan
pada hal-hal yang penting yang dapat menjadi substansi dari penelitian, contohnya
peneliti meng-hilight jenis-jenis kekerasan yang dialami oleh narasumber yaitu
secara verbal dan fisik. Selama melaksanakan penelitian sampai pengolahan dan
analisis data peneliti melakukan diskusi yang intens dengan Ressa yaitu salah satu
teman dekat peneliti dengan tujuan untuk mendapatkan kritik yang membangun
serta memberikan masukan-masukan pada ranah substansi penelitian sehingga
penelitian yang dilakukan menjadi lebih kaya akan informasi.
Proses selanjutnya untuk menguji keabsahan data penelitian, peneliti
melakukan triangulasi sumber dengan melakukan wawancara dan observasi. Selain
itu peneliti juga melakukan triangulasi metode dengan meminta dokumen
pendukung seperti foto atau video untuk mendukung informasi yang telah
disampaikan oleh narasumber pada saat dilakukan wawancara, pada proses ini
peneliti memperoleh banyak video dan foto yang ditujukan oleh informan kelima
terkait kasus kekerasan yang ia alami akibat toxic masculinity. Setelah
dilaksanakannya reduksi data peneliti kemudian memberikan draft hasil penelitian
yang telah direduksi kepada para informan, hal tersebut bertujuan untuk memeriksa
kembali informasi yang telah terkumpul hal tersebut juga termasuk upaya peneliti
untuk memastikan keabsahan data lewat metode triangulasi penyidik. Langkah
selanjutnya setelah semua rangkaian proses penelitian mulai dari dilaksanakannya
wawancara mendalam, observasi, reduksi data, triangulasi telah
dilaksanakan,langkah akhir yang dilakukan peneliti adalah penarikan kesimpulan
yang diperoleh dari sumber primer dan didukung pula oleh sumber sekunder seperti
dokumen dan jurnal yang kemudian dianalisis menggunakan teori dan konsep
sehingga diperoleh kesimpulan penelitian.
B. Profil Informan
Semua informan dalam penelitian ini tidak merasa keberatan untuk
disebutkan identitasnya. Namun, guna menjaga privasi dari informasi dan identitas
28
narasumber maka beberapa nama dan instansi akan disamarkan. Adapun profil
informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Iqi / RI
RI merupakan mahasiswa salah satu Universitas Negeri yang berada di
Purwokerto, ia yang berasal dari Jakarta. RI atau yang akrab dipanggil pesut
merupakan mahasiswa ilmu komunikasi angkatan 2016. RI dalam masa studi
menetap di perumahan Saphire Resident, Karangwangkal, Purwokerto. Ia
dikenal sebagai sosok yang humoris, baik hati dan cekatan dalam melakukan
berbagai hal. RI memiliki hobi menyanyikan lagu-lagu bergenre RnB. Saat
pandemi seperti sekarang ia berada di kediamannya dia di daerah Jakarta
Selatan. Berdasarkan dari hasil wawancara ia merupakan anak pertama dari
dua bersaudara, kedua orangtuanya bekerja.
Peneliti memilih RI sebagai informan penelitian berawal dari kedekatan
peneliti dengan RI selama kuliah, RI sering menceritakan permasalahan-
permasalahan pada saat ia bertengkar dengan mantannya. Ia juga
menceritakan bahwa mantannya ini sering menganggap dirinya kurang
laki,dan hal tersebut bukan hanya dari mantannya saja namun juga dari
orangtua mantannya sehingga pada saat peneliti mengangkat isu terkait toxic
masculinity dalam hubungan pacaran, peneliti menghubungi Rifqi
menanyakan kesediaannya untuk menjadi narasumber, RI sangat merespon
dengan positif tawarannya tersebut karena ia merasa isu ini memang sudah
seharusnya disuarakan.
2) FI ( Botak )
FI atau yang biasa di panggil botak merupakan mahasiswa Universitas Negeri
di Purwokerto jurusan ilmu komunikasi tahun angkatan 2016. FI lahir di
Pekalongan dan berdomisili di Majenang, Jawa Tengah. FI merupakan anak
ketiga dari tiga bersaudara yang mana kedua kakaknya merupakan
perempuan. FI dikenal sebagai pribadi yang humoris didalam pergaulan
perkuliahannya, namun FI sempat beberapa kali menghilang dan jarang
dijumpai karena menurut pengakuannya ia menjalin hubungan dengan
seorang perempuan domisili Semarang, dan karena hubungan itu ia
menghilang dari pergaulannya. Selain itu, ia memiliki hobi balap motor ( road
race ), gym dan juga menyanyi.
Peneliti memilih FI sebagai narasumber karena FI memiliki kedekatan
dengan peneliti dan dalam kesehariannya FI dikenal sebagai sosok yang
29
humoris, periang dan tidak terlihat seperti memiliki beban. Namun beberapa
waktu belakangan FI sempat menghilang dari kehidupan kampus. Karena
kedekatan peneliti, FI terbuka dengan peneliti dan sesuai dengan ceritanya
yang ia berikan terdapat beberapa masalah besar berkaitan dengan
hubungan percintaannya. Ia mengaku pada peneliti bahwa ia sempat depresi
karena hal tersebut. Maka dari itu, ia bersedia untuk menjadi narasumber
pada penelitian ini. Menurut temannya yang lain ia dapat dijadikan
narasumber karena ia dinilai oleh kebanyakan temannya adalah laki-laki
yang mudah takluk dengan perempuan dan rela melakukan hal apapun demi
perempuan yang sedang berpasangan dengannya.
3) SH
SH atau yang biasa di panggil SH merupakan mahasiswi Universitas Negeri
yang berada di Kota Tasikmalaya. SH merupakan teman dari teman peneliti
yang mana pada saat itu dijumpai peneliti pada saat berkunjung ke Kota
Tasikmalaya dan hingga saat ini berhubungan baik dengan peneliti. SH lahir
di Tasikmalaya dan berdomisili di Tasikmalaya. Ia merupakan anak pertama
dari tiga bersaudara. SH dikenal sebagai pribadi yang apa adanya, jujur dan
juga berkarakter. SH memiliki hobi yaitu masak dan bersepeda. Peneliti
memilih SH karena ia memiliki kedekatan dengan peneliti dan dikenal pula
sebagai sosok yang berani berpendapat, dan juga apa adanya. Beberapa
kasus diluar kasus hubungan percintaannya ia pula berkali-kali bercerita dan
meminta saran dari peneliti. Kemudian ia merupakan narasumber
perempuan yang berani terbuka ditengah sulitnya mencari narasumber
seorang perempuan. Peneliti sempat mencari narasumber perempuan
lainnya namun beberapa pihak yang ditanyakan ketersediaannya
menyatakan tidak bersedia untuk menjadi narasumber.
4) FA
FA atau yang biasa dipanggil FA merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara
yang mana ketiganya adalah laki-laki. Ia merupakan mahasiswa Universitas
Negeri yang berada di Purwokerto jurusan Sosiologi angkatan tahun 2015.
Saat ini ia sedang dalam tahap penyusunan skripsi atau tugas akhir. FA lahir
di kota Riau, kedua orang tuanya pekerja dan saat ini telah dalam masa
pensiun. FA dipilih peneliti sebagai narasumber karena peneliti mengenal FA
sebagai pribadi yang pendiam, dan dan sulit dalam bergaul. Kedekatan
peneliti dengan FA diawali karena satu komunitas dalam permainan game
30
mobile yang mana keanggotaannya merupakan mahasiswa Universitas
Negeri tersebut. Berdasarkan kedekatan dengan peneliti, ia hanya berani
terbuka dan dapat berkomunikasi dengan baik hanya dengan beberapa orang
yang ia kenal dekat.
5) OI
OI atau yang biasa akrab dipanggil OI merupakan mahasiswa Universitas
Negeri yang berada di Purwokerto dengan jurusan hukum angkatan tahun
2016. Ia merupakan teman kost peneliti yang dikenal cukup pendiam dan
jarang berbincang dengan teman-teman kost. Ia merupakan anak pertama
dari tiga bersaudara yang mana kedua adiknya merupakan perempuan. Ia
lahir dan berdomisili di Kroya. Ia dipilih menjadi narasumber karena ia
merupakan korban kekerasan baik dalam bentuk fisik maupun psikis yang
mana kasusnya sudah banyak diketahui oleh teman-temannya. OI dirasa
layak untuk menjadi informan karena kasus yang dimiliki OI dirasa jarang
dialami oleh kebanyakan orang lainnya yang memiliki permasalahan dalam
hubugan. Selain itu ia dikenal sebagai pribadi yang santai, lembut dan rendah
hati terutama dalam kasus yang ia alami. Peneliti merasa kasus yang ia alami
harus disadari oleh semua pihak karena laki-laki juga dapat mendapatkan
kekerasan dan butuh dilindungi layaknya kaum perempuan. Peneliti
menghubunginya lewat telepon untuk menanyakan kesediaannya untuk
menjadi narasumber dalam penelitian ini, dan OI bersedia, ia juga
menyatakan masih menyimpan beberapa dokumentasi pada saat mantannya
membakar kos nya karena marah.
C. Hasil Penelitian
Dari wawancara yang telah dilakukan dengan kelima narasumber yang
empat merupakan laki-laki dan satu orang perempuan terdapat beberapa informasi
yang dapat dikaji diantaranya mengenai pola komunikasi yang terbentuk dirumah,
kemudian mengarah pada konsepan maskulin yang diedukasi oleh orang tua, lalu
mengenai pemahaman konsep maskulin secara pribadi dan problematika yang
terjadi dalam hubungan pacaran mengenai permasalahan kemaskulinan hingga pola
komunikasi yang terjadi dalam hubungan akibat adanya permasalahan maskulinitas,
dari poin-poin tersebut peneliti menjabarkannya melalui poin-poin berikut ini :
31
1. Edukasi, Komunikasi, dan Keluarga
Dewasa ini, setiap umat manusia menyadari bahwa komunikasi merupakan
hal yang dibutuhkan dalam segala hal. Dalam menjalani kehidupan tidak bisa
dilepaskan dari peranan komunikasi antara satu orang dengan orang yang lain.
Komunikasi juga tidak terbatas pada komunikasi secara verbal namun komunikasi
juga dapat dilakukan lewat mimik, tindakan dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini
secara khusus meneliti terkait pola komunikasi yang terjadi dalam keluarga
narasumber. Keluarga merupakan wadah edukasi mengenai pembentukan karakter
bagi seseorang anak yang dibentuk dari komunikasi yang dilakukan dalam keluarga
tersebut. Pola komunikasi dalam keluarga dapat membentuk berbagai pemahaman
dan membentuk pola perilaku anak oleh karena itu dalam penelitian ini pola
komunikasi keluarga juga diteliti untuk mengetahui pemahaman yang dibentuk oleh
keluarga terhadap anaknya terkait konsep maskulinitas.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan kelima narasumber, peneliti
mendapatkan informasi mengenai keluarga mereka yang mana rata-rata dari
keluarga mereka adalah seorang pekerja. Dengan kata lain, waktu yang diluangkan
orang tua kepada anak hanya ada pada malam hari dan waktu libur kerja. Namun,
dalam waktu senggang keluarga mereka meluangkan waktu ruang untuk berkumpul
walaupun hanya sekedar bercengkrama dirumah bersama hingga keluar atau
hangout seperti makan keluar, bertamasya, dan lain sebagainya. dengan kata lain
komunikasi tetap terjaga dengan lancar meskipun waktu yang dihabiskan tidak
terlalu banyak.
Dari kelima narasumber yang diteliti masing-masing mempunyai kedekatan
tersendiri yang berbeda-beda dengan keluarganya, hal tersebut juga mempengaruhi
keterbukaan narasumber terhadap keluarganya terhadap hal-hal yang dialami dalam
kehidupan sehari-harinya termasuk pada saat pacaran. Narasumber yang pertama
yaitu RI mengungkapkan kedekatannya dengan ibunya mempengaruhi keterbukaan
dia dalam kejadian-kejadian yang dia alami dengan kata lain ibunya menjadi media
curhat dari anaknya, jika dibandingkan kedekatan yang ia jalani antara ibu dan
ayahnya RI cenderung lebih dekat pada sosok seorang ibu dibandingkan ayah karena
kesibukan dan pemahaman ayahnya dalam mendengar cerita dan keluh kesahnya
berbeda dengan yang ia dapati dengan ibunya, dalam wawancara yang dilakukan RI
mengungkapkan :
32
“ya kalo ngobrol ringan si pasti sering ya, Cuma kalo obrolan yang deep gua
lebih dominan ke mamah sih yaa, soalnya kek lebih terbuka aja gitu, lebih
nyantai gitu, open minded gitu, papah gua kan sibuk proyekan pulangnya
malem, udah gitu ya tanggepannya kalo gua curhat pasti beda”.
Dari penuturannya tersebut, terlihat bahwa RI lebih melihat sosok seorang ibu
sebagai sosok yang lebih nyaman dan lebih komunikatif, hal tersebut juga
dikarenakan menurutnya sosok seorang ibu lebih mengandalkan perperasaan
dibandingkan dengan logika. Intensitas komunikasi yang terjalin antara orangtuanya
menghasilkan banyak pandangan dan edukasi mengenai sudut pandang perempuan
baik dalam hal sikap, sifat hingga pola pikir perempuan dalam menjalani kehidupan.
Sedangkan narasumber kedua yaitu FI memiliki anggapan yang sedikit
berbeda ketika ditanya mengenai pola komunikasi dengan orang tua dirumah.
Menurut FI, pola komunikasi yang dijalin dirumah dapat dikatakan sedikit karena
kesibukan kedua orangtuanya yang merupakan pekerja dan pengusaha. Berdasarkan
penuturan yang dikatakan FI ia lebih cenderung dekat ke ayahnya karena walaupun
kesibukan yang dijalani oleh ayahnya padat, ia lebih mendapati sosok panutan yang
mengerti ketika permasalahan terjadi, hal tersebut disebabkan karena ayahnya
memiliki pemikiran muda yang tidak jauh dengan pemikiran yang dimilikinya. Pada
wawancara yang dilakukan FI menuturkan,
“kalo pas gua di Semarang, bokap gua kan suka mancing, paling kalo lagi libur
kita keluar mancing abis itu ikannya kita masak bareng-bareng, sambil
ngumpul bareng sama kakak-kakak gua yang udah berkeluarga. Kalo bosen
mancing kita biasa jalan-jalan ke ungaran, ke tempat-tempat dingin lah
pokoknya kalo keluarga gua sukanya. Bokap selalu punya ide-ide yang buat
gua sama keluarga seneng sih, gua suka sama bokap juga karena dia orangnya
kek apa adanya suka bikin ngakak juga, pemikirannya masih muda juga kayak
anak-anaknya.”
Berdasarkan penuturan tersebut dijelaskan bahwa ayahnya merupakan sosok yang
humoris dan memiliki pengaruh besar dalam keluarga baik dalam hal permasalahan
keluarga hingga bersikap dalam keluarga, FI menilai kedekatannya dengan bapaknya
lebih cenderung karena faktor pemikiran yang sama dengan apa yang ia pikirkan.
33
Pada kesempatan mewawancari narasumber yang bernama SH yang
merupakan perempuan satu-satunya yang bertindak sebagai narasumber, peneliti
mendapati bahwa komunikasi yang dijalin antara SH dan orangtuanya cenderung
berlangsung terjalin setiap hari dengan ibunya. Hal tersebut terjadi karena ayah dari
SH bekerja di luar kota. Sedikit
berbeda dengan narasumber yang lain, SH mengatakan meskipun ayahnya
bekerja di luar kota dan jarang pulang kerumah justru kedekatannya lebih
cenderung terjalin dengan ayahnya. Hal itu diutarakan SH dengan anggapan bahwa
ayahnya merupakan sosok yang mengerti keadaan perempuan, mengerti bagaimana
bersikap pada perempuan, dan mampu memberikan solusi atas setiap permasalahan
yang ia ceritakan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan perkataannya,
“sering sekali, karena kebetulan aku adalah anak yang sangat terbuka kepada
orangtua jadi banyak hal yang aku ceritakan, begitupun dengan orang tua aku
yang memang terbuka juga ke anak-anaknya. Tapi aku lebih suka cerita ke
ayah aku si soalnya aku ngeliat gimana dia bersikap, gimana
tanggungjawabnya ke perempuan kayak ibu aku, aku sama ade aku. Terus kek
enak aja gitu, masuk aja kalo cerita. Walaupun jauh gini, jarang ketemu aku
suka cerita by phone.”
Berikutnya, berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan
narasumber keempat yang bernama FA memiliki kesamaan dengan narasumber
kelima yang bernama OI. Keduanya mengungkapkan bahwa pola komunikasi yang
terjalin antara mereka berdua sebagai anak dengan orang tuanya kurang berjalan
karena posisinya orang tuanya yang memiliki kesibukan dalam bekerja. Keduanya
mengatakan bahwa orangtuanya bekerja saat pagi hari dan pulang pada malam hari,
komunikasi yang terjalin hanya pada saat malam hari dan tidak berlangsung lama.
Selain itu kebiasaan dari yang mereka akui adalah mereka lebih sering berada di
dalam kamar menyendiri mengerjakan kesibukannya masing-masing. Hal tersebut
dapat dibuktikan melalu perkataannya yang berkata :
34
“jarang sih kalo gua den, gua lebih sering dikamar aja sihh main game gitu
deh. Kalo ngobrol paling kayak izin mau keluar atau biasa aja sih, kayak minta
duit hahaha” -FA
“jarang sih den, soalnya aku kan ngekos, baliknya paling seminggu sekali dua
kali, paling kalo dirumah ya ngobrol ringan pas malem doang itu juga dari
dulu emang aku suka dikamar sambi nonton film atau buka youtube” - OI
Kedua pernyataan tersebut terbukti pada saat peneliti mengenal mereka,
mereka memang cenderung terlihat seperti pribadi yang jarang berkomunikasi
dengan orang baru, serta pendiam. Pada kenyataan yang terlihat secara langsung,
peneliti melihat bahwa memang benar adanya OI dan FA adalah pribadi yang jarang
berkomunikasi dan berhubungan dengan dunia sosial, mereka cenderung pendiam
ketika tidak ditanya. Dari secara keseluruhan dapat ditarik beberapa kesimpulan
bahwa adanya perbedaan dari pola komunikasi yang dibentuk orang tua dan
anaknya di dalam rumah, ada yang cenderung keduanya merasa dekat, ada yang
cenderung dekat ke salah satu orang tuanya, dan bahkan ada pula yang biasa saja
tidak terlalu dekat dengan keduanya. Hal-hal tersebut menjadi acuan pembentukan
karakter dan pola komunikasi anak dengan dunia sosial.
Peneliti mendapati suatu pengakuan dari OI yang mengalami kekerasan
dalam hubungan, menurut OI ia mendapati kekerasan yang dilakukan oleh mantan
pasangannya karena ia lahir dari keluarga yang keras baik dari ayah maupun ibunya.
Ia merasa bahwa keluarga perempuannya kedapatan memperlakukan anak
perempuannya dengan keras baik secara fisik dan verbal. Hal tersebut kemudian
menjadikan mantan pasangannya tersebut mempunyai watak yang arogan juga, pada
saat menjalani hubungan dengan OI tidak jarang ia melakukan kekerasan mulai dari
kekerasan verbal sampai kekerasan fisik yang mengancam nyawa. Selain itu mantan
pasangannya tersebut yang tumbuh dan berkembang di keluarga yang arogan
menjadikan ia kurang bisa mengontrol perasaan serta emosinya dan hal tersebut
menjadi efek buruk terhadap hubungan yang ia jalani. Selain itu menurut penuturan
OI, mantan pasangannya ini juga merupakan seorang yang introvert yang sulit
bergaul, tidak memiliki teman cerita, sehingga yang ia alami dirumah terlampiaskan
ketika memiliki masalah dengan pasangannya. Secara garis besar, dapat disimpulkan
bahwa faktor keluarga mampu membentuk karakter bagi anak dalam bersikap
ataupun bersosialisai dengan pihak luar.
35
2. Menjadi Seorang Laki-Laki : Maskulinitas yang Menyiksa
Konsep maskulin adalah konsep yang berlaku di masyarakat sejak lama,
Adanya budaya patriarki yang kemudian mendorong adanya sosialisasi terkait
gender yang mengenalkan adanya istilah maskulin yang identic dengan laki-laki dan
feminim yang identic dengan perempuan. Konsep maskulin yang berlaku di
masyarakat adalah konsep dimana laki-laki itu mendominasi dalam segala aspek
kehidupan dan perempuan pada aspek ini menjadi subordinasi dari laki-laki. Adanya
anggapan tersebut membuat adanya tuntutan-tuntutan dasar oleh masyarakat
terhadap laki-laki baik secara sifat maupun perilaku. Beberapa sifat dan perilaku
laki-laki yang dianggap maskulin di masyarakat adalah laki-laki yang secara sifat dan
perilaku bijaksana, dermawan, mampu melindungi orang-orang disekitarnya,
mampu mengontrol emosi, kuat, tangguh, tidak mudah untuk menyerah,
bertanggung jawab, mampu berada pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan
dengan perempuan baik itu dalam segi karir, ekonomi, pendidikan. Dalam
masyarakat patriarki juga dikenal bahwa laki-laki adalah tulang punggung keluarga,
dimana ia bertanggung jawab terhadap segala sesuatu baik materil maupun non-
materil. Oleh sebab itu tuntutan-tuntutan yang diemban seorang laki-laki di
masyarakat sangat berat dengan adanya konsep maskulin ini.
Setelah melakukan wawancara yang mendalam dengan para narasumber,
pada realitanya laki-laki dalam hal ini empat dari lima narasumber yang
diwawancarai oleh peneliti mengatakan bahwa mereka memiliki perasaan dan hati
sebagaimana layaknya perempuan dan manusia pada umumnya namun terbentur
dengan konsep maskulin yang ada dalam masyarakat luas. Mereka menyadari bahwa
laki-laki itu memang harus maskulin, tetapi menurut pandangan mereka sebenarnya
laki-laki juga berhak untuk menunjukan sisi emosionalnya, namun pada realitanya
ketika laki-laki menunjukan emosionalnya tidak jarang mereka mendapatkan
diskriminasi dengan wacana bahwa laki-laki itu harus maskulin.
Berdasarkan data yang dihasilkan melalui wawancara secara mendalam
antara narasumber dan peneliti, ditemukan adanya perbedaan antara narasumber
laki-laki dan perempuan yang terletak pada pemahaman konsep maskulin menurut
laki-laki cenderung pada sifat dan sikap yang melekat pada laki-laki itu sendiri yang
mana berdasarkan jawaban-jawaban dari narasumber laki-laki dapat disimpulkan
bahwa laki-laki yang maskulin itu merupakan laki-laki yang jujur, berani
bertanggungjawab, dapat dipercaya, dan dari sikap berlaku seperti layaknya laki-laki
36
pada umumnya, berpakaian seperti laki-laki. Menurut penuturan narasumber
pertama yaitu RI ia mendapatkan pemahaman mengenai maskulin melalui
pendidikan dirumah dan berdasarkan pendapat masyarakat yang beredar luas. RI
menuturkan bahwa
“mmm, maskulin tau sihh, sependapat gua kan ya? Kalo menurut gua sih
Maskulin kek stigma yang dikasih masyarakat ke laki-laki konteksnya jenis
kelamin laki-laki yaa kek contohnya laki-laki harus berprilaku dalam tanda
kutip macho, harus kuat, kek gitu gak sih maskulin itu..”
Menurutnya, maskulin sendiri berasal dari stigma yang dibentuk dari
masyarakat tentang pemahaman mengenai seperti apa menjadi seorang laki-laki.
Selain itu, RI selalu dididik oleh orang tuanya untuk menjadi laki-laki yang bisa
dipegang kata-katanya, lebih daripada itu tidak ada tuntutan yang diberikan
orangtuanya mengenai laki-laki maskulin. RI menyimpulkan dan memiliki
pemahaman tersendiri soal itu. Menurutnya ukuran fisik seseorang tidak dapat
menjadi tolak ukur apakah orang tersebut maskulin atau tidak, selain itu
menurutnya maskulin punya sisi lain tidak hanya terletak secara fisik atau terlihat
dari luar saja.
“ menurut gua iya sihh, karena yaa jatohnya karena ada stigma yang berasal
dari konsep maskulin ngebuat laki-laki jadi dituntut untuk sesuai dengan
stigma yang beredar. Sekarang gini, wajar ga sih manusia punya perasaan, kek
emosional, marah, sedih, seneng, menurut gua sih itu “okeey” lo gadituntut
untuk menolak ituu, kalo lagi liat laki-laki nangis ya muncul pertanyaan “laki-
laki kok nangis?” dia kan cuma ngutarain perasaannya, emosi jiwanya, jadi
ketika dituntut buat jadi gimana-gimana, gaboleh gimana-gimana, jatohnya
jadi beban sendiri sih buat laki-laki kalo menurut gua. “
Berdasarkan penuturannya tersebut pandangan atau konsep maskulin yang
ada di masyarakat justru malah membebani sisi laki-laki ketika terlalu banyak
tuntutan yang diberikan oleh masyarakat akan hal tersebut. Berdasarkan
pengakuannya ia pernah dianggap dan dinilai kurang maskulin karena permasalahan
emosional, pada suatu kejadian ia menangis dimana dalam konsep maskulin laki-laki
37