yang maskulin tidak mudah untuk mengekspresikan emosinya termasuk menangis,
oleh karena itu muncul kalimat “gak manly”.
Berbeda dengan narasumber kedua, FI merupakan orang yang menganggap
bahwa maskulin itu dapat dilihat melalui banyak hal seperti kondisi fisik, hobi,
kebiasaan, hingga pola pikir. FI menilai bahwa laki-laki memang seperti itu
seharusnya, seperti dalam wawancara ia menuturkan :
“kalo menurut gua, maskulin adalah ketika gua dipandang sama cewe gua
itu laki. Contohnya kayak cara gua jalan lah, cara gua ngomong, cara gua bergaul,
kalo gua gaul sama anak JKT48, atau sama anak-anak korea-koreaan kan gua
dianggap kurang maskulin. Beda kalo gua gaul sama anak band lokal, band
hardcore , metal, gua bisa dikatakan maskulin. Kalo dari segi hobi kayak motor,
mobil,, olahraga, gym, pasti pandangan ke gua bakal beda. Jadi kalo menurut gua,
secara fisik dia normal cowo, kalo dari psikologis dari segi pemikiran. Gitu sih.”
Menurutnya, laki-laki memang harus maskulin. Ia menekankan bahwa
maskulin ini adalah bagaimana laki-laki itu bersikap, bagaimana laki-laki itu
mengontrol emosinya, bagaimana laki-laki itu mempunyai pola pikir yang dewasa.
Berdasarkan pengakuannya, ia selalu dididik untuk jadi laki-laki maskulin baik
secara fisik maupun psikologis, ia dididik untuk jadi laki-laki yang kuat dan tidak
lemah, tidak cengeng dan mudah mengeluh. Selain itu ada wejangan yang diberikan
orangtuanya untuk menjadi laki-laki yang maskulin yaitu
“ada, dari bokap lagi, “de kalo kamu mau jadi cowo yang dipandang maskulin
sama orang, kamu harus bisa sukses, biar kamu dikejar-kejar cewe. Ketika kamu
ngejar-ngejar cewe harga dirimu jatuh, tapi ketika kamu di kejar-kejar cewe
harga dirimu naik” berikutnya “ kamu tuh cowo, yang dipegang itu omongan,
yang kedua itu uang, cowo gapunya uang mau dikatain apa sama orang.” Disitu
kan kata bokap gua menekankan bahwa cowo itu harus kerja keras, kayak
contohnya cewe kan rajin nah cowo harus bisa lebih rajin. “
Menurut FI secara fisik seorang laki-laki yang maskulin itu adalah laki-laki yang
kokoh yang tangguh, berbadan bagus dan kekar menurutnya hal tersebut merupakan
hal yang bisa dibentuk dengan kebiasaan dan kesadaran. Jadi dapat disimpulkan
38
bahwa menurut FI laki-laki itu harus maskulin, dan untuk laki-laki yang tidak
maskulin bisa dipelajari dengan membiasakan diri.
Narasumber ketiga yang merupakan perempuan memiliki pemahaman dan
edukasi seperti apa itu laki-laki melalui keluarga dirumah. Ia, merupakan anak
pertama perempuan dan memiliki satu adik laki-laki. Setelah ditanyakan mengenai
konsep maskulin yang ia dapati dirumah ia menuturkan bahwa laki-laki merupakan
seseorang yang harus mampu mengayomi perempuan, bertanggung jawab, bijaksana
dalam bersikap. Hal tersebut diutarakan melalui perkataannya :
“yang aku pahami ketika mendengar kata maskulin itu pertama adalah hal
tersebut identic sekali dengan laki-laki yaa. Cuman kalo pehamanan aku yang aku
peroleh dari keluarga laki-laki itu harus yang bertanggung jawab, omonganya
bisa di percaya, yang bisa membimbing. Simplenya orangtua aku selalu
menekankan bahwa laki-laki itu harus mampu menjadi pelindung bagi
perempuan, selain itu laki-laki itu harus mampu mengayomi dan bertindak
bijaksana dalam segala hal”.
Berdasarkan penuturan dari SH dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
pemahaman yang didapatkan SH lebih cenderung berdasarkan pemahaman yang
diberikan oleh orang tuanya. Selain itu, menurut pengakuan SH sebagai seorang
perempuan ketika menemukan laki-laki yang tidak atau kurang maskulin itu harus
ditegur karena itu diluar daripada konsep maskulin pada umumnya. Menurutnya
ayahnya mengajarkan banyak hal mengenai bagaimana mencerminkan sosok laki-
laki seperti ketangkasan, kedewasaan, kejujuran, keberanian, kekuatan sampai pada
secara fisik yang ia ketahui melalui kedekatannya dengan ayahnya. Ia memiliki
anggapan dan penilaian bahwa laki-laki harus menyerupai apa yang ia temui dan ia
lihat melalui sosok ayahnya. Hal itu di dukung oleh perkataannya yang mengatakan :
“sering bangett, kan memang sudah tau kan kedekatan aku sama orang tua
sepertiapa, nahh itu si kadang jadi acuan aku buat ngarahin pacarku, aku
pengen juga laki-laki seperti sosok bapak aku, soalnya aku liat gimana bapak
memberlakukan ibu aku secara baik banget seperti laki-laki. Contohnya kayak
ibu lagi cape, bapak langsung pijetin, kayak gitu deh yang saya pengen.”
39
Pada saat melakukan wawancara dengan narasumber perempuan ini, peneliti
melihat bahwa sudut pandang perempuan lebih menjadikan sosok ayah sebagai role
model dari definisi maskulin.
Selanjutnya, menurut pengakuan narasumber laki-laki berikutnya yang
bernama FA, menyampaikan bahwa pemahaman laki-laki juga didapatkan dari
orangtuanya dan dari masyarakat pula. FA mengatakan bahwa :
“ ya gua selalu diajarin jadi laki-laki yang sopan, yang kuat, ga males gitu yang
bisa ngelindungin diri sendiri dan orang di sekitarnya, sering banget
diceramahin juga soal itu ya ntah pas lagi keluar, pas lagi ada saudara kalo
main kerumah.”
Selain pemahaman yang diberikan dari orangtuanya, ia pun memiliki kesimpulan
bahwa laki-laki maskulin itu cenderung pada sikap dan sifat dan tidak bisa dikaitkan
dengan kondisi fisik dari seseorang. Menurutnya banyaknya pemahaman yang ada
dimasyarakat yang terlalu berebihan juga dapat menjadikan efek negatif pada laki-
laki yaitu beban secara psikologis.
Pemahaman maskulin berikutnya datang dari narasumber kelima yaitu OI.
Menurut OI, orangtuanya memberikan pemahaman menjadi laki-laki maskulin
melalui sikap dan sifat pula yang tidak jauh berbeda dengan narasumber FA.
Menurutnya sifat dan sikap dalam artian bijaksana, berani dalam mengambil
keputusan dan bertanggung jawab. OI merupakan pribadi yang tidak begitu setuju
dengan anggapan maskulin terkait dengan fisik. Menurutnya pula orang yang
maskulin atau tidak berawal dari pemahaman maskulin yang diberikan orangtua
dirumah serta didapatkan dari segi pergaulan. Hal tersebut diutarakan OI dengan
mengatakan :
“ harus lah, terus tanggepan aku tentang itu si ya harus di perbaiki, ya
normalnya seperti laki-laki aja. Cuma kan kalo orang-orang yang kurang
maskulin atau ga maskulin itu biasanya tergantung daripada pergaulan juga
sama pendidikan dirumah sih den.. ntah orangtuanya menekankan soal itu
atau ngga. “
40
Berdasarkan jawaban yang di peroleh melalui narasumber, peneliti menarik sebuah
kesimpulan bahwa pembelajaran atau pemahaman mengenai konsep maskulin
didapat dari keluarga dirumah sebagai unit pertama pendidikan seorang anak.
Setelah ia mendapatkan pemahaman pertama dari keluarga khususnya orang tua, ia
akan mulai bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya dengan melakukan kegiatan
sosial, dari pergaulan yang dijalaninya tersebut ia akan terus mempelajari
bagaimana norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Dimana seorang anak itu
berada kemudian akan mempengaruhi bagaimana anak tersebut melihat kehidupan
sosialnya dengan sudut pandangnya yang terkonstruksi dari pendidikan keluarga
dan lingkungan sekitar.
Dari kelima narasumber yang di wawancarai ada kesamaan pandangan
terkait konsep maskulin itu adalah bentukan dari masyarakat yang kemudian
dilanggengkan oleh masyarakat itu sendiri, dari wawancara yang dilakukan,
maskulin yang narasumber pahami lebih kepada sifat dan sikap laki-laki, dalam hal
ini fisik tidak menjadi tolak ukur kemaskulinan laki-laki. Namun setelah peneliti
menanyakan terkait konsep maskulin yang berlaku di masyarakat empat
narasumber laki-laki menyatakan bahwa mereka merasa terbebani dengan konsep
maskulin yang ada di masyarakat, seperti adanya standar bahwa laki-laki tidak se
emosional perempuan dalam meluapkan emosinya, sehingga pada saat laki-laki
menangis ada teguran dari lingkungan yang melarang menangis karena mereka
lelaki. Itu merupakan salah satu contoh dari berbagai tekanan yang diberikan
masyarakat terkait konsep maskulin yang akhirnya membenani laki-laki dalam
sosial. Konsep maskulin yang membenani pihak laki-laki tersebut kemudian
menjadikan adanya toxic masculinity.
3. Manfaat dan Dampak Komunikasi
Komunikasi merupakan hal yang dibutuhkan terutama dalam berjalannya
sebuah hubungan yang baik. Ketika dalam pemaknaan konsep maskulinitas antara
laki-laki dan perempuan yang sedang menjalin hubungan kurang terjalin komunikasi
yang baik dengan satu sama lain maka konsep maskulin akan menjadi akar dari
permasalahan yang terjadi seperti pertengkaran hingga berakhirnya hubungan
tersebut. Pola komunikasi dalam hal ini yang terkait konsep maskulinitas harus
41
benar-benar diselaraskan antara laki-laki dan perempuan yang berpacaran melalui
pemahaman, dan perbincangan-perbincangan sebelum hubungan berjalan dengan
baik.
Berdasarkan hasil dari wawancara yang dilakukan peneliti dengan
narasumber, peneliti mendapatkan beberapa temuan melalui pengakuan dari
narasumber bahwa komunikasi merupakan bagian terpenting dalam menjalani
hubungan. Komunikasi disini mereka pahami sebagai salah satu kunci dalam
suksesnya suatu hubungan namun menurut mereka juga dapat menjadi sebuah
boomerang hancurnya sebuah hubungan. Mereka mengutarakan pendapatnya
mengenai komunikasi dengan penggalan perkataan mereka yang mengatakan :
“wah penting banget si. Karena hal apapun kan butuh komunikasi, dan dengan
komunikasi juga lu lebih ngenal satu sama lain baik buruknya. Kalo lu udah tau
baik buruknya pasanganlu terus kemungkinan lu nemuin konflik didepan bisa di
minimalisir sejak dini dengan adanya komunikasi. “ –RI
“penting banget si komunikasi, jadi gini, kalo gua dulu ldr selalu ngabarin baik via
telfon atau videocall tapi dari situ bisa ngejaga hubungan jadi erat. Ya semua
orang itu butuh komunikasi sih kalo kata gua”-FI
“ya penting banget lah, sekarang gini , pacaran kan mengaitkan dua orang yang
berbeda dengan perbedaan aktivitas, kepentingan dan keperluan yang berbeda,
kalo gadilandasi dengan komunikasi bakalan terjadi banyak permasalahan sih
menurut aku” –SH
“ya gua rasa semua orang pasti bilang penting yaa, jangankan ngejalanin
hubungan, dalam segala hal komunikasi itu faktor utama kesuksesan si kalo
menurut gua. kalo gaada komunikasi pasti bakal banyak miss. Contohnya paling
kalo lagi berantem nih, kalo misal komunikasinya gaberes, ya bisa sampe putuss.
Ya penting banget lah kalo kata gua.” -FA
“penting banget den, gabisa digambarin secara gamblang sih den.. cuma menurut
aku pentingnya komunikasi itu bisa nyambungin beberapa hal, bisa nyelesein
segala macam permasalahan juga”-OI
42
Berdasarkan perkataan mereka, memang terdapat perbedaan dari
pemahaman pentingnya komunikasi. Namun, pada kesimpulannya dalam
menjalani sebuah hubungan harus dilandasi dengan komunikasi yang baik
didalamnya. Kurang berjalannya komunikasi dalam hubungan akan memicu
terjadinya kekerasan hingga berdampak kandasnya hubungan tersebut.
Pernyataan tersebut disampaikan kelima narasumber melalui wawancara yang
dilakukan oleh peneliti.
4. Pola Komunikasi Dalam Hubungan Pacaran yang Berakhir Pada Toxic
Masculinity
Kekerasan dalam berpacaran tentu menjadi suatu hal yang buruk dalam
menjalani hubungan. Kekerasan disini tidak hanya terkait kekerasan secara fisik saja,
namun terdapat bentuk lain dari kekerasan seperti kekerasan verbal, kekerasan
ekonomi, kekerasan psikologis. Dari wawancara yang dilakukan oleh peneliti semua
narasumber yang di wawancarai telah memenuhi kriteria yang ditentukan oleh
peneliti yaitu pernah mengalami atau melakukan toxic masculinity pada saat
berpacaran. Adanya konsep maskulin yang berlaku di masyarakat, serta edukasi
yang diberikan oleh keluarga kemudian membentuk karakteristik dan pemahaman
anak terkait konsep maskulin itu sendiri, hal tersebut kemudian berpengaruh
terhadap bagaimana anak tersebut bersikap pada saat menjalani hubungan
berpacaran.
Setelah melakukan wawancara yang mendalam dengan kelima narasumber,
peneliti memperoleh informasi bahwa keempat narasumber laki-laki pernah
mengalami kekerasan pada saat menjalani hubungan pacaran. Kekerasan dalam
pacaran yang terjadi dan dialami oleh narasumber yang diwawancarai oleh peneliti
merupakan kekerasan yang terjadi akibat adanya permasalahan mengenai
komunikasi yang diantaranya :
a) berkaitan dengan pemahaman konsep maskulin yang diemban secara
personal. Kemudian, permasalahan yang terjadi mengenai komunikasi
diantaranya adalah kesalahpahaman mengenai makna maskulin sehingga
menimbulkan pertengkaran baik dengan skala kecil maupun besar.
43
b) Adanya pihak ketiga dalam hubungan komunikasi antara laki-laki dan
perempuan yang sedang berpacaran yang mana dalam hal ini adalah
keluarga.
Narasumber pertama yang bernama RI mengaku pernah mengalami
permasalahan terkait konsep maskulinitas, permasalahan ini berawal dari
pertengkaran yang terjadi dengan pasangannya, singkat cerita ketika pertengkaran
tengah berlangsung RI tak kuasa menahan rasa sedih dan kemudian menangis.
Melihat hal tersebut orang tua dari pasangannya keluar dan menghampiri RI dan
juga anaknya. Bukaannya support dan dukungan secara psikologis yang diberikan
tapi malah judging yang mengarah pada konsep maskulin yaitu larangan untuk
menangis. Hal tersebut diceritakan RI melalui perkataannya :
“ jadi waktu itu kek ada konflik gitu kan masalah sama mantan gua, terus
mantan gua tuh cerita ama nyokapnya. Terus pas gua dateng kerumahnya gua di
omongin sama nyokapnya “masa laki nangis sii, kalo ada masalah ya diselesain
jangan malah nangis” dan itu ngomongnya bener-bener langsung didepan muka
gua, dimana menurut gua kek itu langsung ngejatuhin gua secara emosional.
Karena menurut gua sebenernya wajar aja gua ngelampiasin namanya sayang
kan, sama saking emosinya yaudah gua nangis. Nah disitu gua udah coba nahan
tuh, tapi ya gimana kedengeran kan sm nyokapnya, terus nyokapnya nyamperin
gua sm dia sambil ngomong kek gitu. Mungkin niatnya nengahin, tapi kan ga elok
aja malah sambil ngejudge gitu kan..”
Berdasarkan dari apa yang di terangkan oleh RI, ia cenderung mengalami
kekerasan secara psikis karena permasalahan konsep maskulin yang dipahami oleh
pasangan dan juga oleh orangtuanya. Tidak hanya psikis, ia merasa mendapatkan
kekerasan secara ekonomi ketika masa dia pacaran, hal itu ia utarakan melalui
perkataannya yang menerangkan dalam suatu kesempatan yang ia lakukan dengan
pasangannya dengan pergi makan keluar, karena faktor kebiasaan ia selalu yang
mengorbankan keuangannya dalam hubungan. Tapi dalam hal itu ia lupa membawa
dompet beserta isinya, yang ia lakukan adalah meminta pasangannya untuk
membayarnya pada saat itu. Setelah keesokan harinya ia mendapatkan berita tidak
baik dari adik pasangannya yaitu pasangannya curhat dengan adiknya bawha dia
merasa sudah dimanfaatkan oleh RI pada saat pergi karena ia harus mengorbankan
44
uangnya untuk membayar jalan-jalannya dimana ia mengutarakan hal tersebut
harusnya dilakukan oleh RI.
“Gua juga pernah nih ngalamin kekerasan secara ekonomi. Jadi dulu tuh gua
punya kebiasaan buat bayarin kalo kita jalan keluar terus sempet waktu itu gua
lupa bawa dompet nahh gua akhirnya minta tolong buat bayarin, nah yaudadeh
dibayarin tuh cuman lucunya dia kek kaget gitu kan seakan-akan dia mikir “kok
gue yang bayar sih” terus udah deh tuh kelar. Trus besokannya gua kerumahnya
gua ketemu sama adeknya kan, nah mantan gua tuh ngomong ke adeknya
ternyata kalo kemaren gua nyuruh dia bayarin pas jalan. Nah ternyata dia bete.”
Menurut pengakuannya RI setelah kejadian tersebut pasangannya cenderung
memeras RI dalam segi ekonomi. Berdasarkan kedekatan antara peneliti dan
narasumber, peneliti melihat bahwa RI memang merupakan orang yang sederhana
dan tidak pernah menghambur-hamburkan uang di dalam dunia perkuliahannya,
namun pada kenyataannya hal yang selama ini tidak terlihat oleh teman-temannya
justru dihabiskan pada saat ketika bersamaan dengan pasangannya. Hal tersebut
sejalan dengan pemahaman mengenai maskulin dimasyarakat bahwa laki-laki
cenderung dipandang sebagai pihak yang harus membiayai pasangannya secara
materil dalam konsep keluarga nantinya juga terkait asumsi bahwa laki-laki adalah
pencari nafkah dan hal tersebut kemudian membangun persepsi bahwa laki-laki
menjadi pihak yang membiayai.
Hal terkait emosional yang menyangkut pada perasaanpun diungkapkan
oleh narasumber kedua yang bernama FI. Pada kasus serupa FI ditempatkan pada
long distance relationship atau hubungan jarak jauh antara dirinya dan pasangannya,
dalam wawancara yang dilakukan FI mengungkapkan :
“pernah sih, gua kan LDR sama dia, gua tuh nangis karena gua kangen dan
gabisa kesana terus cewe gua bilang “kamu tuh cowo, jangan nangis lah, ya kalo
bisa mikir, kerja kek apa kek biar punya uang buat kesini ketemu aku” gua
sering banget dulu kalo gabisa kesana dikatain cowo lemah yang gamau
berjuang. Dia ngomong kek gitu via telfon sama gua.”
Kemudian pada suatu kesempatan ia menghampiri pasangannya yang berada
di Semarang dengan menggunakan sepeda motor, ketika sampai disana ia merasa
45
lelah dan ingin agar pasangannya mengerti akan dirinya yang lelah untuk bergantian
dalam membawa motor, bukannya satu bentuk perhatian yang ia dapatkan tapi yang
ia dapatkan adalah salah satu bentuk toxic masculinity. Hal tersebut diunggkapkan
dia melalu percakapan dengan mengatakan :
“Adalagi pas gua nyamperin dia ke Semarang bawa motor, sampe sana gua
minta dia yang bawa motor, gua cape banget soalnya bawa motor. Dia malah
ngomong, “kamu kan cowo, jangan gampang cape lah, kamu jg cowo masa aku
yang bawa motor””
FI merupakan korban kekerasan dalam hubungan pacaran yang disebabkan
oleh toxic masculinity. Kekerasan yang ia dapatkan cenderung kepada kekerasan
secara verbal dan secara ekonomi. Pasalnya, keadaan dan kebutuhan pasangannya
yang bergantung pada pribadi FI membebankan dirinya sendiri, dalam
perjalanannya peneliti melihat keadaan ekonomi yang awalnya baik-baik saja
menjadi tidak baik-baik saja karena beberapa barang seperti televisi, playstation.
Beberapa kali ketika peneliti temui, raut wajah FI terlihat bahwa seperti orang yang
sedang memiliki permasalahan dalam kehidupannya, ketika ditanyakan ternyata
benar ia memiliki permasalahan dengan pasangannya terkait hal-hal yang diinginkan
oleh pasangannya tidak terpenuhi dan kemudian selalu dikaitkan dengan pandangan
cowo maskulin pada umumnya yang ada terdapat dalam masyarakat pula. Kekerasan
yang ia dapati di utarakan melalui perkataannya yang mengatakan :
“gua lebih sering ngalamin secara psikologis ya bentuknya verbal, kayak gua
kadang di tolol-tololin, kadang juga gua ngerasa disakitin ketika dia main
sama temen cowonya dan ga ngabarin gua. Kalo kekerasan secara ekonomi
gua pernah ngalamin sampe ngejual tv gua, ps sampe beberapa barang kosan
buat menuhin kebutuhannya dia kayak jalan-jalan, gitu. Ya gitu sih den”
Berdasarkan penuturan yang dikatakan oleh FI, dapat dibuktikan bahwa ia
mendapatkan bentuk kekerasan secara verbal dan juga kekerasan dalam bentuk
ekonomi dengan segala bentuk tuntutan yang diberikan oleh pasangannya.
Berikutnya berdasarkan kesempatan yang didapatkan oleh peneliti, peneliti
berhasil mewawancarai seorang perempuan yang pernah melakukan toxic
masculinity dengan pasangan dan juga beberapa temannya, selain itu ia merasa
46
pernah melakukan kekerasan secara verbal dengan membawa konsep maskulin
kepada pasangannya. Narasumber ketiga yang bernama SH mengatakan bahwa pada
awal kenal dengan pasangannya ia melihat sosok laki-laki layaknya ayahnya dan
karena hal itu ia menjalin hubungan dengan pasangannya. Namun, pada
kenyataannya ketika hubungan itu berjalan semakin lama ia semakin melihat sosok
asli yang kurang maskulin seperti tingkahnya yang sering menangis baik ketika
bertengkar, maupun hingga pada saat menonton film dengan genre yang sad ending.
Hal itu didukung melalu perkataannya yang berkata :
“pernah sih, aku pernah pacaran sekitar 9 bulan. Nah pas dulu ngedeketin, si
cowonya ngasih treat secara maskulin kayak mendahulukan segala sesuatu ke
aku, seperti masuk mobil dia bukain mobil, pas pacaran sekitar lima sampai 6
bulan kelihatan sifat aslinya kelihatan. Contohnya dulu pas nonton bioskop dia
itu emosionalnya main banget sampe dia tuh nangis pas lg nonton larut sm
filmnya. Kan buat aku apa banget gitu ya.. terus juga pernah pas berantem
sama aku dia itu nangis-nangis minta maaf sambil ngerengek-ngerengek gitu,
sebenernya sih gamasalah ya, cuma dia nunjukin gitu kan kayak gimana gitu
males banget kan ngeliatnyaaa, ya aku langsung ngomong aja “ apaansi kok
nangis, bisa gak si apa-apa itu ga nangis “ terus beberapa kali dia ngajak jalan,
tapi kok yang bayar saya”
Lalu sikap yang menunjukan bahwa ia pernah melakukan toxic masculinity yang
menimbulkan kekerasan secara verbal disalurkan melalui perkataannya :
“mungkin pernah sih yaaa, kayak permasalahan pribadi aku yang aku certain
tadi terjadi karena permasalahan komunikasi, komunikasi dalam hal ini kan
tadi dia gangabarin kalo dia lagi gaada uang, tapi disisi lain dia pengen jalan,
nah disitu kan berarti komunikasi kita kurang berjalan. Mungkin dari kejadian
itu udah terjadi kekerasan secara ekonomi kali ya yang aku lakuin, sama
beberapa hal kayak masalah nonton tadi mungkin emang emosionalnya dia
main banget tapi akunya yang terlalu nganggep apa banget kalo laki-laki itu
nangis. Sejujurnya aku emang sering ngomong laki kok gitu sih laki kok gini,
semisal dia keluar daripamda konsep maskulin yang aku pegang. bukan hanya
kepacar, tapi kadang emang ke temen-temen aku juga”
47
Dari pernyataan yang diungkapkan SH, peneliti melihat sudut pandang
narasumber perempuan ini menekankan ayahnya sebagai role model dalam menilai
laki-laki itu maskulin atau tidak. Hal tersebut juga adanya pengaruh didikan dari
keluarga yang memberikan edukasi terkait gender, keluarganya yang melakukan
sosialisasi terkait gender baik itu maskulin maupun feminis dan hal tersebut
mengkonstruksi anaknya akan nilai-nilai gender yang kemudian ia bawa di
masyarakat. Pada saat SH melakukan toxic masculinity terhadap pasangannya lewat
verbal peneliti mengamati hal tersebut terjadi karena ia merasa itu bukan
merupakan sifat-sifat dasar yang mencerminkan seorang laki-laki, dan ia juga tidak
mendapati sifat-sifat tersebut di sosok ayahnya yang ia jadikan sebagai role model.
Pada saat melakukan wawancara dengan SH peneliti mengamati bahwa wajah dari
Shela terlihat amat yakin dengan pernyataan yang ia ungkapkan.
Kemudian, narasumber keempat yang bernama FA juga pernah mendapatkan
kekerasan secara verbal karena permasalahan toxic masculinity, dimana
pasangannya menganggap ia kurang bisa diandalkan sebagai laki-laki, dan
pasangannya ini terlalu bergantung kepadanya. Sementara menurut FA perempuan
juga tidak dapat sepenuhnya mengandalkan laki-laki, pada intinya perempuan juga
harus bisa mandiri dalam mengelola kehidupannya. Menurutnya kata-kata “laki-laki
kok…” itu menjadi satu perkataan yang diskriminatif, seakan-akan laki-laki dituntut
harus sempurna, dan adanya konsep maskulinitas ini di satu sisi jadi beban
tersendiri. Kemudian kekerasan yang dirasakan FA pada kejadian yang terjadi dalam
hal tersebut merupakan kekerasan secara verbal. Hal tersebut diutarakan FA melalui
penuturannya :
“ya kalo menurut gua sih iyaa yaa, soalnya balik lagi kalo masalah komunikasi
itu kan sebenernya bisa dibilang permasalahan rumit yang harus bener-bener
di benerin kan. gua pernah sih waktu itu ngalamin, ya gua dikatain lemah,
banyak ngel uh, buat gua itu salah satu kekerasan secara verbal sih. Menurut
gua pun dia ga ngehargain apa yang gua lakuin dan gua rasain juga.”
Kemudian dalam wawancara yang dilakukan oleh narasumber terakhir yaitu
OI, ia mengatakan bahwa ia merupakan korban toxic masculinity dan sehingga
menimbulkan kekerasan baik secara verbal, fisik, maupun ekonomi. Berdasarkan
observasi yang dilihat peneliti dengan realita yang ada ombing memang sering
kedapatan bertengkar dengan pasangannya, kebetulan narasumber OI merupakan
48
teman kost daripada peneliti, sehingga peneliti benar melihat secara langsung serta
melihat efek dari pertengkaran yang terjadi seperti luka pada fisik OI. Pada beberapa
kasus yang di jelaskan oleh OI banyak permasalahan yang terjadi akibat pemaknaan
maskulin yang dipegang oleh pasangannya. Hal tersebut diutarakan OI dengan
perkataan :
“pernah den, aku sering disebut kurang tegas, lelet kalo diajak ngomong ga
kaya laki-laki biasanyaa, terus pernah aku janji mau jemput terus kelupaan,
dia bilang “kamu kok jadi laki ga nepatin janji sih”
Kemudian pada kasus lain ia mengutarakan bahwa ia pernah mendapatkan
kekerasan secara fisik maupun verbal yang ia utarakan pada wawancara :
“sering den, setiap aku buat kesalahan dia selalu bilang aku laki-laki yang
gagal, yang gabisa nepatin janji, yang lelet dan segala macemnya lah, dia
selalu bandingin aku sama laki-laki yang lain yang sesuai pemikiran dia. Kalo
berantem atau bertengkar sih sering, bahkan sampe kekerasan fisik sampe aku
di jedotin ke tembok, kamarku di berantakin , verbal juga dari kata-kata
kasarnya, kebun binatang keluar semua. Nanggepin itu aku cuma bisa diem,
den, aku nenangin diriku, satu sisi aku sadar aku laki-laki gabisa ngerasin dia
juga, terus juga aku mikir background keluarganya bukan dari orang yang
biasa aja, orang tuanya preman, keluarganya tuh keras.”
“Aku ngalamin sendiri soalnya, aku pernah lupa ngabarin dia kalo aku mau
pulang ngampus, dia marah-marah nelfon aku nyuruh aku balik lagi buat demi
ngabarin doang, bodohnya aku aku balik lagi ke kampus buat ngefoto aku
perjalanan pulang, sambil videocall. Terus besokannya aku ketiduran, ga
ngabarin dia pas mau tidur, nah aku ajak dia makan maksudku biar dia gak
marah, tapi pas makan dia masih marah dan ketika aku bahas dia malah
nyiram aku pake air jeruk. Ya aku emang orangnya gabisa marah jadi aku
diem aja sampe aku tenang sendiri. Pernah juga kamar kost aku di bakar den
isinya, soalnya dulu pas KKN aku bawa mobil dan di dalem mobil itu isinya ada
cewe, dia marah-marah sama aku terus dia kekosan aku dan bakar isi lemari
termasuk lemari kain aku, terus kamar aku berantakan banget den.. “
“banyak dennn, kalo secara fisik ya aku pernah di tampar, pernah di jedotin ke
tembok karena dia marah sama aku sampe kepalaku memar, kalo non fisik
49
banyak juga dari omongan dia marah sambil bentak, ngatain goblok, tolol dan
segala macem. Dia keras bukan Cuma ke aku, tapi dia juga sering ngelakuin ke
temen-temen cowonya juga. Alhamdulillah sekarang udah putus”
Berdasarkan penuturan dari OI, ia menyatakan bahwa dirinya pernah
menjadi korban daripada toxic masculinity oleh pasangannya, kemudian dari hal
tersebut banyak menimbulkan kekerasan baik secara fisik, verbal, maupun psikogis
kepada dirinya. Menurut OI, hal yang dialaminya tersebut merupakan buah dari
bentukan keluarga pasangannya yang merupakan orang yang keras baik secara
verbal maupun fisik pula. Bahkan, menurut pengakuannya, pasangannya adalah
orang yang tertutup, tidak pandai bergaul, dan juga pendiam. Ia pun mendukung
pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa orang tua pasangannya sering
bersikap kasar kepada pasangannya baik secara fisik seperti melempar garpu yang
mengenai mata dari pasangannya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep maskulin
yang beredar dimasyarakat baik dalam hubungan tidak selalu berjalan lurus dengan
realita yang ada, ke empat laki-laki yang diwawancarai oleh peneliti mengatakan
bahwa tidak seharusnya perempuan berada pada posisi yang terlalu terpaku pada
konsep maskulin yang beredar dimasyarakat karena itu jelas merugikan bagi mereka
yang belum bisa sesuai dengan presepsi masyarakat.
Pada saat melakukan wawancara dengan OI peneliti mengobservasi dari
mimik mukanya terlihat OI seperti sedang mengingat kejadian buruk yang
membuatnya tidak nyaman, dari mimik muka dan intonasi suaranya ketika
menjelaskan kejadian-kejadian kekerasan yang dilakukan oleh mantan pasangannya
tersebut terdengar intonasi marah namun raut mukanya terlihat sedih. Dari
keseluruhan wawancara mendalam yang dilakukan oleh peneliti dengan
narasumber, peneliti melihat bahwa semua narasumber mengetahui bahwa konsep
maskulin itu sangat dekat dengan masyarakat dan dilanggengkan pula oleh
masyarakat. Namun dari keempat narasumber yang diteliti mereka menyebutkan
bahwa laki-laki tidak selalu mampu untuk memenuhi standar dari maskulinitas yang
dijadikan standar oleh masyarakatnya. Karena pada hakikatnya ada juga laki-laki
yang memang sifat-sifat dasarnya tidak sesuai atau berlawanan dengan asumsi
maskulin di masyarakat. Dengan adanya konsep maskulin ini laki-laki merasa banyak
terbebani dengan adanya tuntutan-tuntutan yang selalu dibarengi dengan kata-kata
“harusnya kamu sebagai laki-laki…”, “kamu kok jadi laki-laki….”. perkataan-perkataan
tersebut justru menimbulkan toxic masculinity.
50
Berikut ini beberapa gambar yang diberikan oleh OI kepada peneliti pada
saat mantan pasangannya membakar kamar kosan milik OI:
Gambar 3. Pembakaran Lemari dan Pakaian Gambar 4. Pembakaran Barang
Sumber : Dokumen Pribadi OI Sumber : Dokumen Pribadi OI
Gambar 5. Barang-Barang yang Dirusak dan Dibakar
Sumber : Dokumen Pribadi OI
51
Berdasarkan dokumen yang didapatkan peneliti melalui narasumber OI,
peneliti menyimpulkan kekerasan yang dialami OI adalah salah satu bentuk
penindasan melalui ancaman dan perusakan. Menurut narasumber OI ia dipaksa
untuk menemui pasangannya yang berada di kamar kost milik OI, jika hal itu tidak
segera dilaksanakan maka akan semakin banyak ancaman yang terjadi.
Selain mengkaji dan menganalisa isu ini melalui wawancara dengan informan
peneliti juga melakukan riset lewat sosial. Peneliti menemukan di media sosial dan
internet bahwa isu ini sudah mulai banyak disuarakan berikut beberapa capture dari
media sosial:
Gambar 6. Tagar Toxic Maculinity Gambar 7. Tagar Toxic Masculinity
Sumber: Instagram Sumber : Twitter
Munculnya tagar toxic masculinity di instagram tersebut berisi gambar-
gambar yang informatif membahas toxic masculinity merupakan isu yang tidak bisa
dianggap sepele, karena dapat memunculkan mental health issues kepada korbannya
yaitu laki-laki. Selain di sosial media Instagram, tagar toxic masculinity ini juga
beberapa waktu yang lalu sempat trending di Twitter, para pengguna Twitter banyak
menyuarakan aspirasinya lewat cuitan-cuitan singkat atau gambar-gambar anekdot
di Twitter.
52
Gambar 8. Artikel Berita Australia
Sumber : Theconversation.com
Berdasarkan beberapa temuan peneliti dari sosial media tentang ramainya
tagar toxic masculinity dibahas. Peneliti menyadari bahwa isu ini mulai banyak di
angkat terutama karena dapat menyebabkan mental issues terhadap para korbannya
dan hal tersebut menunjukan sudah adanya kesadaran akan seriusnya dampak toxic
masculinity ini. Hal tersebut juga selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan
peneliti lewat wawancara dengan narasumber laki-laki bahwa adanya konsep
maskulinitas ini membebani mereka,sehingga ada border-border tertentu terhadap
laki-laki dan hal tersebut membebani. Namun peneliti menyayangkan dari temuan-
temuan di sosial media mayoritas yang berargumen dan memberikan edukasi adalah
orang-orang luar dalam hal ini bukan di Indonesia. Maka dari itu peneliti melihat
masyarakat Indonesia ini masih kurang awareness nya terhadap adanya isu toxic
masculinity dan adanya ancaman mental health issues. Oleh karena itu, dengan
adanya penelitian ini diharapkan pembaca memperoleh informasi yang informative
dan edukatif.
53
D. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan melakukan
teknik wawancara dengan narasumber yang terbagi atas empat orang laki-laki dan
perempuan menghasilkan beberapa poin-poin pembahasan yang akan menjadi tolak
ukur dalam penelitian ini. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
pendekatan deskriptif mengenai pola komunikasi yang menciptakan toxic
masculinity sehingga menyebabkan kekerasan dalam pacaran.
1. Peran Keluarga Sebagai Gender Socialization
Keluarga merupakan pihak utama yang berperan membentuk karakteristik
anak. Dalam hal ini terjalin hubungan antara orang tua dan anak mengenai
penanaman nilai-nilai kehidupan terutama mengenai konsep gender. Penelitian ini
berlandaskan teori komunikasi yang bernama teori sudut pandang atau yang akrab
dikenal standpoint theory. Menurut Hartsock pada tahun 1998 yang dikutip dalam
West dan Turner pada tahun 2017 disampaikan bahwa sudut pandang terbentuk
berdasarkan pengalaman seseorang berdasarkan hierarki sosial. Dalam hal ini sudut
pandang muncul setelah seseorang berpikir, berkomunikasi, dan berusaha. Dengan
kata lain, sudut pandang harus dicari secara aktif dan dimiliki oleh orang yang telah
mengalami penindasan ( West dan Turner, 2017 ). Menurut hasil wawancara peneliti
menemukan adanya temuan dimana orang tua mereka berperan dalam mengambil
sikap dan membentuk pemahaman dalam memaknai konsep maskulin. Edukasi yang
diberikan oleh orang tua kepada anak dalam hal pemahaman konsep maskulinitas
merupakan faktor utama munculnya pemikiran dan pemahaman mengenai konsep
maskulinitas oleh anak yang dalam hal ini laki-laki dan perempuan. Berdasarkan
edukasi yang diberikan oleh orang tua keempat laki-laki dalam yang menjadi
narasumber dalam penelitian ini menghasilkan beberapa sudut pandang mengenai
adanya konsep maskulinitas dalam masyarakat. Hasil dari wawancara yang
diperoleh oleh peneliti menerangkan bahwa keempat laki-laki yang menjadi
narasumber berada dalam sudut pandang yang berbeda dalam memahami konsep
maskulin yang berkembang dimasyarakat ataupun dari apa yang ditanamkan sejak
kecil. Narasumber bernama RI, FI, FA dan OI menerangkan bahwa adanya konsep
maskulin yang beredar dan berkembang di masyarakat berbeda dengan konsep yang
mereka pikirkan, kemudian dengan adanya konsep maskulin yang ada di masyarakat
menjadikan laki-laki berada pada posisi yang terbebani akan konsepan tersebut.
54
Kemudian menurut narasumber yang merupakan satu-satunya narasumber
perempuan mengutarakan sudut pandangnya mengenai laki-laki yang dikaitkan
dengan konsep maskulin yang beredar dan berkembang di masyarakat. Ia
menyampaikan bahwa dari sudut pandang perempuan, laki-laki memang harus
berada dalam posisi maskulin sebagaimana konsep maskulin itu berkembang di
masyarakat.
2. Pola Komunikasi Menciptakan Toxic Masculinity
Peranan komunikasi dalam merupakan faktor terpenting dalam berjalannya
suatu hubungan yang baik. Menurut penuturan dari narasumber mereka
menyebutkan bahwa komunikasi yang terjalin dalam suatu hubungan dapat
menjamin kualitas dari hubungan tersebut. Mengingat dalam berpacaran
pemahaman mengenai gender terutama konsep maskulinitas harus benar-benar
dipahami oleh kedua pihak baik laki-laki dan perempuan, apabila tidak berjalan
dengan baik maka permasalahan seperti toxic masculinity akan dirasakan oleh
beberapa pasangan.
Berdasarkan hasil dari wawancara dengan kelima narasumber, dapat diambil
sebuah gambaran bahwa pola komunikasi yang biasa mereka lakukan adalah pola
komunikasi pada umumnya dilakukan kebanyakan orang seperti mengobrol,
hangout, telfon, videocall, ataupun saling mengirim pesan melalui media-media sosial
yang mereka gunakan. Selain itu, komunikasi mereka gunakan untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang mereka alami. Melalui komunikasi, seseorang
dapat mendapatkan pembelajaran hidup bagaimana bersosialisasi, maupun
bagaimana menyelesaikan masalah. Gambaran pola yang rutin dilakukan oleh kelima
narasumber memiliki sebuah penjelasan dimana komunikasi yang dijalin harusnya
bukan hanya sebatas kabar dan menjalin kedekatan secara emosional. Salah satu hal
yang luput dari mereka adalah komunikasi dari hal-hal kecil yang mungkin menjadi
besar dan pernah dialami oleh mereka yaitu pemahaman mengenai konsep maskulin
dan pembagian peran dalam pacaran. Memahami konsep maskulin harusnya tidak
hanya dilakukan oleh laki-laki melainkan harus dipahami oleh perempuan. Hal
tersebut setidaknya akan meminimalisir permasalah terkait maskulinitas yang salah
satunya adalah Toxic Masculinity.
55
Berdasarkan temuan melalui wawancara, peneliti menemui beberapa pola
komunikasi yang dialami oleh narasumber yang mana dalam hal ini terbagi atas
empat orang laki-laki dan satu orang perempuan, yang mana dalam hal ini terdapat
pola komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah. Menurut Effendy, komunikasi
terdiri atas tiga macam yaitu pola komunikasi satu arah yang merupakan
penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan media ataupun
tanpa media yang mana didalamnya tidak terdapat umpan balik dari komunikan,
kemudian komunikasi dua arah yang merupakan komunikasi yang terjalin antara
komunikator dan komunikan yang menghasilkan feedback dari keduanya, dan yang
terakhir komunikasi multi arah yang mana merupakan pola komunikasi yang terjalin
antara komunikator dan komunikan yang kemudian bertukar pikiran melalui dialog
( Effendy, 1989 ) Pola komunikasi yang terbentuk dimana terbagi menjadi dua itu :
a) Pola Komunikasi dalam keluarga
Pola komunikasi dalam keluarga pada penelitian ini terdapat pola
komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah. Pola komunikasi satu arah
dalam hal ini dilakukan oleh narasumber FA dan OI dimana setiap
mendapatkan arahan dari orang tua, mereka cenderung diam hanya
mendengarkan tanpa memberikan respon dari omongan kedua orang tuanya.
Kemudian pola komunikasi dua arah dialkukan oleh narasumber RI, FI, dan
SH dimana mereka bertiga memberikan respon dari komunikator berikan
yang mana dalam hal ini adalah kedua orang tuanya.
b) Pola Komunikasi dalam pacaran
Berdasarkan temuan dan pengakuan yang didapatkan melalui proses
wawancara, peneliti melihat bahwa keempat pasangan dari keempat laki-laki
yang menjadi narasumber cenderung mengarah pada pola komunikasi satu
arah. Hal itu terbukti melalui sikap dan sifat dari pasangannya yang
cenderung mendominasi dan pihak narasumber cenderung diam dan tetap
berada pada posisi tersubordinasi.
Berdasarkan temuan diatas maka pola komunikasi yang terjalin dengan satu
arah cenderung mengarah pada terjadinya toxic masculinity yang berdampak pada
kekerasan dalam hubungan. Pola demikian banyak dialami dalam hubungan pacaran
baik yang terekspose maupun tidak.
56
3. Konsep Maskulinitas dan Timbulnya Toxic Relationship
Berdasarkan pemahaman konsep maskulinitas yang didapati dirumah
melalui edukasi yang diberikan oleh orang tua, serta dengan konsep maskulinitas
yang berkembang maka timbulah pemahaman atau sudut pandang mengenai beban
daripada konsepan tersebut. Sudut pandang yang berbeda yang berbeda antara satu
sama lain merupakan hal yang wajar terjadi. Kemudian, dengan adanya konsep
maskulinitas yang terbentuk dalam masyarakat tentunya menghasilkan dampak
tersendiri dalam hubungan khususnya pada hubungan pacaran.
Budaya patriarki yang saat ini masih relative digunakan sebagian besar
masyarakat di Indonesia menciptakan pemaknaan mengenai konsep laki-laki
maskulin. Secara tidak langsung, dengan adanya budaya patriarki menghasilkan
adanya hegemoni maskulinitas. Menurut Budyati 2016, ia menerangkan bahwa
hegemoni maskulinitas merupakan teori yang membahas adanya strata atau kelas
pada kaum laki-laki, yang mana dalam hal ini terdapat pihak laki-laki yang dianggap
mendominasi dan adapula yang tersubordinasi. (Budyati 2016).
a) Kelas-Kelas dalam Kosep Maskulinitas
Connel dalam bukunya mengenai hegemony masculinity mengutarakan
bahwa terdapat kelas-kelas dalam memahami maskulinitas. Kelas-kelas tersebut
didapati melalui adanya budaya patriarki yang menganggap bahwa laki-laki
merupakan pihak yang mendominasi dan perempuan ada pada posisi yang
tersubordinasi.
Namun, pada kenyataannya terdapat kaum laki-laki yang tersubordinasi dari
pihak-pihak yang mendominasi tersebut, pembagian kelas-kelas menurut Connel
terbagi atas Hegemonic Masculinity yang mana merupakan kelas yang dominan yang
sesuai dengan harapan di masyarakat. Kemudian berikutnya adalah Complicit
Masculinity yang mana merupakan posisi laki-laki tidak sesuai dengan karakteristik
maskulin namun berada pada posisi tidak menentang adanya sistem gender yang
ada dalam masyarakat. Kemudian yang ketiga adalah Marginalized Masculinity yang
mana merupakan posisi laki-laki yang memang tidak dapat berada dalam posisi
hegemonik pada umumnya karena permasalahan ras seperti kulit maupun pihak
penyandang disabilitas. Kemudian yang terakhir adalah Subordinate Masculinity yang
merupakan posisi terbawah karena memiliki qualitis berlawanan dengan maskulin
pada umumnya seperti laki-laki gay atau banci.
57
Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan menggunakan metode
wawancara, peneliti menganalisis dan melihat bahwa benar adanya kelas-kelas
terhadap konsep maskulin. Melalui jawaban narasumber peneliti melihat bahwa
kelas-kelas menurut Connell dalam kategori Hegemonic Masculinity diterapkan oleh
narasumber SH, sedangkan Complict Masculinity diterapkan dan dilakukan oleh
narasumber laki-laki yang berinisial OI, kemudian sisanya yaitu RI,FI,dan FA berada
pada posisi menentang konsep maskulin yang berlaku dan berkembang
dimasyarakat.
b) Perbedaan Konsep Maskulinitas
Berbicara mengenai konsep maskulinitas yang diajarkan dari rumah maupun
melalui konstruksi dalam masyarakat maka banyak pemikiran atau sudut pandang
dari setiap orang atau individu dalam memaknai konsep maskulinitas. Perbedaan
dalam memaknai konsep maskulinitas tidak selalu terlihat positif melainkan
terdapat sebuah akar dari permasalahan terutamanya dalam hubungan. Pada
kenyataannya, Standpoint theory sangat relevan bilamana disangkutkan dalam
penelitian ini karena benar adanya sudut pandang atau pemikiran dari kelima
narasumber yang saling berbeda satu sama lain.
Diskusi ringan mengenai gender terutama konsep maskulin dengan pasangan
harus sering dilakukan guna meminimalisir permasalahan-permasalahan yang akan
terjadi baik berskala kecil atau besar. Hal-hal tersebut dapat bermanfaat dan
berguna bagi pembagian tugas yang ada dalam hubungan baik kepada laki-laki
maupun perempuan. Namun, apabila hal tersebut tidak terkontrol dengan baik maka
akan menimbulkan masalah gender seperti toxic masculinity.
c) Toxic Masculinity yang Menyebabkan Kekerasan
Toxic Masculinity dalam penelitian ini terfokuskan pada anggapan bahwa
adanya kaum laki-laki yang melakukan tindakan baik sikap dan sifat yang tidak
manly dan ini dijadikan permasalahan dalam masyarakat maupun dalam hal
berpacaran. Permasalahan yang terjadi dikalangan laki-laki pada penelitian ini
terletak pada terjebaknya akan permasalahan konsep maskulin yang beredar dan
berkembang dimasyarakat. Hal tersebut diawali dari pemahaman atau pemaknaan
konsep maskulin yang beda satu sama lain yang kemudian tidak diselaraskan melalui
58
komunikasi yang baik sehingga munculnya toxic masculinity yang kemudian
berdampak hingga menjadikan kekerasan baik secara fisik, verbal, ekonomi, maupun
psikologis. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari narasumber, keempat laki-
laki menyatakan terjebak dengan adanya konsep maskulin yang beredar dan
berkembang di masyarakat. Selain merasa terjebak, rasa keberatan dan rasa
membebani diutarakan oleh narasumber RI, FI dan FA. Empat orang laki-laki
tersebut mengakui pernah mendapatkan kekerasan secara verbal, psikologis,
ekonomi hingga fisik.
Hasil wawancara yang dilakukan dengan narasumber RI dan FI ia merasakan
adanya kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya baik dalam segi psikologis
maupun secara ekonomi. Menurut penuturan mereka, apa yang dilakukan oleh
pasangannya merupakan suatu tuntutan yang sebenarnya memberatkan pihak laki-
laki karena adanya konsep maskulin yang pasangannya terapkan dalam
kehidupannya. Sedangkan hal yang menimpa narasumber yang bernama FA
merupakan kekerasan yang hanya berupa kekerasan psikologis dimana dirinya
merasa dilecehkan terhadap perkataan dari pasangannya.
Kemudian, berdasarkan hasil wawancara dengan perempuan satu-satunya
yang menjadi narasumber yang bernama SH, ia menuturkan bahwa laki-laki yang
menjadi pasangannya sudah seharusnya mengikuti tuntutan yang ia berikan untuk
terlihat sebagai laki-laki pada umumnya. Namun, pada satu kejadian ia merasa telah
melakukan toxic masculinity dan melakukan kekerasan secara psikologis melalui
perkataannya karena ia merasa dan melihat pasangannya terlalu melankolis pada
saat menonton sebuah tayangan di bioskop hingga pasangannya tersebut menangis.
Kemudian narasumber yang terakhir bernama OI merasa dirinya mendapatkan
tindak kekerasan secara fisik dan psikologis oleh pasangannya seperti di tampar, di
benturkan kepalanya ke tembok, di lempar barang hingga minuman pada saat makan
di rumah makan. Kekerasan bentuk fisik yang dialami OI biasanya menimbulkan luka
seperti memar, hingga goresan-goresan yang membutuhkan waktu beberapa hari
untuk sembuh. Kemudian, kekerasan secara psikologis yang di alami OI berupa kata-
kata kasar yang dilontarkan oleh pasangannya hingga bentakan yang diberikan oleh
pasangannya. Berikut ini beberapa gambar yang diberikan oleh OI kepada peneliti
pada saat mantan pasangannya membakar kamar kosan milik OI:
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, pengamatan dan pengumpulan data yang dilakukan
oleh peneliti terhadap narasumber penelitian. Maka dapat di tarik kesimpulan
dengan masalah penelitian ini yaitu :
1. Keluarga sebagai unit pertama pendidikan yang didapatkan oleh anak sejak
lahir dapat menentukan karakteristik baik sifat dan prilaku seorang anak.
Pendidikan yang dilakukan oleh keluarga menjadi nilai-nilai dasar seorang
anak untuk dijadikan bekal pada saat sosialisasi di masyarakat, maka dari itu
dalam sebuah keluarga perlu terjalinnya komunikasi yang baik antara orang
tua dan anak, Pola komunikasi yang terjalin antara orang tua dan anak dapat
dilakukan dengan satu arah maupun dua arah. Dalam penelitian ini yang
diteliti adalah terkait pola komunikasi orang tua kepada anak terkait gender
socialization, didapatkan hasil dari wawancara yang mendalam dengan
narasumber bahwa narasumber yang di teliti ada yang pola komunikasinya
terkait gender socialization dengan satu arah dan ada pula yang terjadi dua
arah.
2. Maskulin yang dipahami adalah terkait sifat dan perilaku dari laki-laki, dalam
hal ini fisik tidak menjadi tolak ukur. Namun definisi tersebut tergantung dari
konstruksi mereka dari keluarga dan lingkungan sosial hal tersebut juga
diperkuat dengan teori standpoint yang menjelaskan bahwa sudut pandang
seseorang tergantung hierarki sosialnya. Namun dalam hegemony masculinity
dijelaskan terkait konsep maskulin yang menjadi standar di masyarakat dan
hasil dari penelitian ini narasumber laki-laki setuju bahwa konsep maskulin
dalam hegemonic masculinity membebani mereka sebagai laki-laki. Karena
pada dasarnya laki-laki tidak semuanya mampu mendominasi dalam hal ini
ada pula laki-laki yang tersubordinasi
3. Pola komunikasi yang monoton dan cenderung mengarah pada hubungan yang
toxic dapat memicu kekerasan dalam hubungan itu sendiri. Konsep maskulin
yang membenani laki-laki tersebut kemudian menimbulkan adanya toxic
masculinity dan hal tersebut tidak jarang membatasi laki-laki dalam berprilaku
seperti meluapkan emosionalnya dengan menangis. Dalam penelitian ini
60
secara khusus melihat toxic masculinity pada kekerasan dalam pacaran, hasil
dari wawancara yang dilakukan narasumber laki-laki pernah mengalami toxic
masculinity sampai pada terjadinya kekerasan dalam pacaran dari kekerasan
verbal ekonomi, sampai kekerasan fisik.
4. Toxic Masculinity merupakan kasus yang harus dipandang karena tidak hanya
terjadi oleh segelintir orang melainkan terjadi secara massif.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka peneliti memberikan
saran/rekomendasi sebagai berikut :
1. Komunikasi yang dijalin dalam rumah baiknya terjaga dengan baik, baik
itu orang tua kepada anak maupun anak kepada orang tua. Keterbukaan
terhadap hal-hal yang dialami akan menjaga komunikasi dalam rumah
tetap harmonis serta keluarga pun dapat menjadi wadah solusi utama
sejak dini maupun hingga dewasa.
2. Keluarga dalam hal ini orang tua baiknya memberikan perhatian dan kasih
sayang dalam bentuk percakapan atau waktu kepada anak karena keluarga
menjadi tempat atau wadah edukasi pertama anak dalam berbagai hal
setelah lahir.
3. dalam hubungan berpacaran harus ada komunikasi antara dua pihak baik
dari laki-laki maupun perempuan terkait konsep maskulin, hal tersebut
berguna agar tidak adanya toxic masculinity dalam hubungan tersebut
yang dapat berakibat buruk terhadap hubungan pacaran.
4. sebaiknya dalam hubungan yang didalamnya terjadi kekerasan baiknya di
perbaiki melalui pemahaman dan pendekatan dengan komunikasi.
5. Posisi yang belum ada pada tahapan memiliki keuangan atau memiliki
penghasilan sendiri belum layak untuk dituntut layaknya seorang pria
atau laki-laki yang sudah berpenghasilan.
61
DAFTAR PUSTAKA
A. Supratiknya. (1995). Tinjauan Psikologi Komunikasi Antar Pribadi.
Yogyakarta: Kanisius
Adami Chawazi, 2001, Hukum Pidana Bagian I Stelsel Pidana, Tindak Pidana,
Teori - teori Pemidanaan, dan Batas - batas Berlakunya Hukum Pidana,
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Asmarany, Anugriaty Indah. “Bias Gender Sebagai Prediktor Kekerasan Dalam
Rumah Tangga”. Jurnal Psikologi. Vol.35. No.1-20.
Ayu, Suci Musvita, Mohammad Hakimi., dan Elli Nur Hayati. 2012 “Kekerasan
Dalam Pacaran dan Kecemasan Remaja Putri di Kabupaten Purworejo”.
Jurnal Kesmas UAD. Vol 6. No.1-74.
Bachri, Bachtiar S. 2010. Meyakinkan Validitas Data Melalui Triangulasi Pada
Penelitian Kualitatif. Jurnal Teknologi Pendidikan Vol 10 No 1
Budyati, Laily E. (2016). Konstruksi tubuh maskulin laki-laki. Universitas
Diponegoro.
Cangara, Hafid. (2002). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Connell, Raewyn. (2005). Masculinities. Los Angeles: University of California
Press
Davis, A. (2008). Interpersonal and physical dating violence among teens.
Oakland: National Council on Crime and Delinquency.
Effendy, Onong Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung : PT. Mandar Maju
Fakih, M., 2016, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Insist Press
Hadi, M. S. & Aminah, S. 2002. Kekerasan Di Balik Cinta. Yogyakarta; Rifka Annisa
Women’s Crisis Centre.
Hastanto, Ikwan. 2020. “Pelecehan Seksual Kerap Menimpa Driver Ojol Lelaki,
Tapi Mereka Malu Melaporkannya”
.https://www.vice.com/id_id/article/wxedg5/driver-ojol-lelaki-indonesia-
kerap jadi-korban-pelecehan-tapi-mereka-malu-melapor diakses
pada 5 Juni 2020
Jewkes Rachel, Roberto Morrel, dkk. 2015. Hegemonic Masculinity : combining
theory and practice in gender intervensions. Cultur, health & sexuality
96-111
62
Juliano P, Sangra. 2015. Komunikasi dan Gender : Perbandingan Gaya
Komunikasi Dalam Budaya Maskulin dan Feminim. Jurnal Ilmu Politik
dan Komunikasi. Vol 5. No 1.
Karsner, L. (2001). Belief about Patners Personal Qualities that Facility Intimacy.
Journal of Marriage and Family, 35 - 75.
Kupers, Terry A. 2005. Toxic Masculinity as a Barriel to Mental Health
Treatment in Prison. Jurnal of Clinical Psychology, 61, 713-724
Little John, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication: Eighth edition,
Canada,ThomsonWardsworth
Lips, H.M. 1988. Sex & Gender: An Introduction. California: Mayfield Publishing
Company.
Lexy J. Moleong. 2005. metodologi penelitian kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya
Moustakas, C. (1994). Phenomenological Research Methods. London: SAGE
Pub.119-153)
Moleong, L., J., 2014, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta :
Paramadina, 2001,h.35)
Purnama, Fenita. 2016. Kekerasan Dalam Pacaran Pada Remaja. Jurnal Media
Komunikasi Islam Tentang Gender dan Anak, Vol 12, 161-170.
Puspitawati, Herien. 2013. Konsep Teori dan Analisis Gender. Bogor. Institut
Pertanian Bogor
Robert M., dan Leslie J. Briggs, Principles of Instructional Design (New York: Holt,
Rinehart and Winston, Inc, 1974)
Santrock (2003) John W. Adolescence. Perkembangan Remaja. Edisi Keenam.
Jakarta: Erlangga.
Sarwono, J., 2006, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Seelau, S. M., & Seelau, E. P. 2005. Gender role stereotypes and perceptions of
heterosexual, gay and lesbian domestic violence. Journal of Family
Violence, 20, 363‐370.
Sternberg, R. J. 1997. Construct validation of a triangular love scale. European
Journal of Social Psychology. Volume 27, 313-335.
63
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sukmawati, Bhennita. 2014. “Hubungan Tingkat Kepuasan Pernikahan Istri dan
Coping Strategy Dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga”. Jurnal Sains
dan Praktik Psikologi.Vol 2.
Tongco, ma Dolores C. 2005. Purposive Sampling as a Tool for Informant
Selection. Ethnobotany Research & Applications.
Tostivint, Olivia. 2019. “It’s a (Wo)Man’s World: An Analysis of Hegemonic Masculinity
and It’s Myriad of Decontructive Impactson Contemporary Society”.
Newcastle Business School Student Journal. Vol. 2, Issue 1, pp. 21-30. ISSN
2207-3868
West, Richard & Lynn H. Turner. 2017. Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan
Aplikasi, Jakarta. Salemba Empat
Zulfian, Ahmad. 2019. Laki-Laki Juga Bisa Jadi Korban Kekerasan.
https://mojok.co/terminal/laki-laki-juga-bisa-jadi-korban-kekerasan/
diakses pada 5 Juni 2020.
64
Pedoman Wawancara
1. Identitas Informan :
Nama Lengkap / Inisial :
Usia :
Jenis Kelamin :
Alamat Asal :
Jurusan / Angkatan
2. Keterangan :
Hari :
Tanggal :
Waktu
3. Pertanyaan
1) Di keluarga anda, anda anak ke berapa dari berapa bersaudara?
2) Apakah kedua orang tua anda bekerja?
3) Seberapa sering orang tua anda berada dirumah?
4) Dalam waktu senggang bersama keluarga, biasanya aktifitas apa yang
dilakukan?
5) Apakah anda sering berdiskusi atau ngobrol ringan dengan orang tua?
6) Di keluarga anda siapa yang lebih dominan dalam pengambilan
keputusan?
7) Apakah anda mengetahui apa itu maskulin?
8) Apa yang anda ketahui tentang maskulin?
9) Bagaimana orang tua anda memberikan pemahaman mengenai konsep
maskulin pada laki-laki? Lalu setelah mendengar pemahaman yang
diberikan oleh orang tua anda, respon anda seperti apa?
10) Menurut anda, sifat dan sikap yang seperti apa yang mencerminkan
maskulin?
11) Menurut anda, apakah laki-laki harus maskulin? Kemudian apa
tanggapan anda mengenai laki-laki yang tidak maskulin?
12) Apakah menurut anda dengan adanya konsep maskulin menjadikan laki-
laki merasa terbebani?
13) Apakah anda pernah berpacaran?
65
14) Apakah anda diperbolehkan pacaran oleh orang tua anda?
15) Apakah ada kriteria yang diberikan orang tua anda dalam menentukan
pacar? Jika ada seperti apa?
16) Apa motivasi anda dalam melakukan pacaran?
17) Menurut anda, hal apa yang dibutuhkan dalam pacaran?
18) Berdasarkan beberapa hal yang dibutuhkan dalam pacaran tersebut,
apabila salah satu atau beberapa hal tidak berjalan dengan baik maka
menurutmu apa yang akan terjadi?
19) Pernahkah dalam hubungan yang kamu jalani kamu dianggap tidak atau
kurang maskulin?
20) Apakah pasanganmu pernah mengaitkan konsep maskulin sehingga
menyebabkan pertengkaran? Jika pernah seperti apa dan apa yang kamu
kamu lakukan?
21) Menurut kamu, seberapa penting peranan komunikasi dalam pacaran?
22) Menurutmu, apakah dalam suatu hubungan yang tidak terjalin
komunikasi yang baik didalamnya akan memicu terjadinya kekerasan
dalam pacaran?
23) Dari beberapa jenis kekerasan tersebut, apakah kamu pernah mengalami
kekerasan dalam pacaran? Jika pernah seperti apa?
24) Menurutmu bagaimana cara memelihara komunikasi yang baik dalam
pacaran?
66
LAMPIRAN : RI
HASIL WAWANCARA : 22 tahun
: Laki-laki
1. Identitas Informan : Jakarta
Nama Lengkap / Inisial : Ilmu Komunikasi/ 2016
Usia
Jenis Kelamin : Kamis
Alamat Asal : 25 Juni 2020
Jurusan / Angkatan : 17.00 WIB
2. Keterangan
Hari
Tanggal
Waktu
Penliti : Makasih banyak nih atas waktunya ya qi udah bersedia
diwawancara
RI : Iya den, sama-samaa, selaw ajaa
Peneliti : Secara garis besar kan lu udah tau nih tentang apa yang mau gua
teliti,nah kalo boleh tau nih ya, lu anak ke berapa dari berapa
bersaudara?
RI : okee, dikeluarga gua, gua anak pertama dari dua bersaudara
Peneliti : nah dari dua bersaudara itu, laki-laki dua-duanya atau laki-laki
perempuan?
RI : laki dua-duanya hahaha
Peneliti : okeee, apakah kedua orang tua lu kerja?
RI : iyaa orang tua gua kerja dua-duanyaa
67
Peneliti : okee berikutnya, seberapa sering si orang tua lu ada dirumah?
RI : hmm, kalo hari-hari biasa jarang ya, paling kek pagi langsung cabut
pulang malem kan, paginya tuh kek jam 8 gitu kalo nyokap ngikutin
jadwal kelas soalnya dia ngajar kan. kalo bokap gua kan kerja di
proyek jadi tetep masuk ngecek proyek. Paling pulang abis maghrib.
Peneliti : Di waktu senggang sama keluarga lu ngapain aja sm keluarga?
RI : Kalo lagi ngumpul?
Peneliti : iyakk bener
RI : emm, kadang-kadang sih kalo keluarga suka ada jadwal rutin sih
dulu kalo pas lagi normal. Kek biasanya keluar random, nonton film
gajelas, makan, kek gitu sih..Cuma kalo sehari-hari biasa ya diem
dirumah aja soalnya pada kerja juga sih ya..
Peneliti : hmm iyakk okee, terus lu sendiri sering ga ngobrol ringan sama
orang tua?
RI : ya kalo ngobrol ringan si pasti sering ya, Cuma kalo obrolan yang
deep gua lebih dominan ke mamah sih yaa, soalnya kek lebih terbuka
aja gitu, lebih nyantai gitu, open minded gitu. , pulangnya malem,
udah gitu ya tanggepannya kalo gua curhat pasti beda papah gua kan
sibuk proyekan
Peneliti : ohh lebih ke nyokap karena santai gitu yak, terus didalem keluarga
nih yang lebih sering ngambil keputusan tuh siapa?
RI : emm, sebenernya kalo dikeluarga gua lebih demokratis sih kek
ditanyain satu- satu gitu, cuma mungkin bokap tetep yang megang
kuasa lebih besar sih gitu.
Peneliti : contohnya kek gimana tuh?
68
RI : ya kek contohnya kayak pas baru lulus SMA tuh, gua kan tertariknya
lebih kek soshum gitu kan, yaa gua masuk SMA ambil IPA kan cuma
buat nyenengin bokap gue juga kann haaha, karena bokap gue orang
teknik yaudah gua masuk IPA dah biar dia senengg. Cuma kan gua
kuliah rebel den, pas les malah gua ngambilnya les yang buat soshum
bukan buat saintek hahaha. Akhrinya bokap marah dah tuh pas ituu
Peneliti : akhirnya jadi ada cekcok gitu ya?
RI : iya berantem debat-debatan kecil gitu. Cuma pada akhirnya mamah
yang nenangin yang nengahin.
Peneliti : oh hoke ada nyokap ya berarti..
RI : he’eh iyaa gitu ditengahinn
Peneliti : tapi ujungnya bapak lu iya aja gitu manut gitu ya ke mamah lu?
RI : iyaa sih tepet ngedengerin nurut sm nyokap pada akhirnyaa
Peneliti : emm teruss, masuk ke topik berikutnya ya. Sebelumya lu tau ga apa
si itu maskulin? Nah kalo tau kek gimana tuh?
RI : mmm, maskulin tau sihh, sependapat gua kan ya? Kalo menurut gua
sih Maskulin kek stigma yang dikasih masyarakat ke laki-laki
konteksnya jenis kelamin laki-laki yaa kek contohnya laki-laki harus
berprilaku dalam tanda kutip macho, harus kuat, kek gitu gak sih
maskulin itu..
Peneliti : hmm okee, orang tua lu pernah ngajarin gak sih apa itu maskulin,
bagaimana jadi cowok yang maskulin? Ntah dari nyokap ntah dari
bokap, terus setelah dapet arahan itu respon lu seperti apa?
69
RI : bokap gua selalu bilang si selalu bilang laki-laki omongannya harus
bisa dipegang, harga diri lu juga kalo omongan lu gabisa di pegang ya
harga diri lu ngga ada gitu. Kek itu sih yang gua masih pegang sampe
sekarang. overall ngga ada yang berlebihan gitu sih. Cuma kalo lagi
gua sedih gua gua cerita ke nyokap karena lebih santai, kalo ke bokap
pasti dipikirmya ngapain sih lu sedih, galau -galauin cewe. Kayak gitu
lahh, terus tadi apa lagi? Respon ya, gua sih lebih cenderung cerita
duluan ya den jadi setelah gua cerita permasalahan gua, banyak hal
yang diajarin mereka tentang itu.
Peneliti : Menurut lu, sikap dan sifat yang mencerminkan maskulin tuh
gimana sih menurut lu pribadi gitu
RI : menurut gua pribadi sih ya, ada benernya sih omongan bokap gua.
Kek lo nantinya bakal jadi pemimpin keluarga dan didalem
keputusan lo ada konsekuensinya yang bisa diambil, jadi kalo lo ga
sesuai dengan omongan lo atau gimana ya lo kurang laki. Menurut
gua maskulin itu yang omongannya bisa dipegang,
Peneliti : nah kalo soal fisik nih ya qi, kek badannya gede, keker, sixpack atau
mungkin sorry kayak pendek, kecil itu menurut lu gimana tuh tentang
itu?
RI : kalo gua pribadi sih ga menganggap itu suatu hal yang penting ya,
maksud gua size doesn’t metter untuk mengarah kearah sana. Ga
terlalu penting sih, karena pun kita gabisa ngukur kadang ke lakian
seseorang atau kewanitaan sekalipun berdasarkan ukuran. Seperti
contoh, maaf nih maaf, kayak misalnya wanita yang payudaranya
tidak terlalu besar kan kita gabisa bilang bukan perempuan.
Peneliti : iyaa okehh, berarti secara fisik gabisa menentukan tingkat
kemaskulinan menurut lu yaaa
RI : betull iyak. Lebih mengarah kepada sikap sih.
70
Peneliti : okee, terus apa menurut lu semua laki-laki harus maskulin?
RI : kalo pengertian maskulin menurut gua tadi yang gua pegang ya
mungkin iya semua laki-laki harus maskulin, karena kita kan sebagai
manusiapun juga setiap keputusan yang kita ambil ada
konsekuensinya, ga semerta-merta selalu sesuai dengan omongan
kita. Merubah omongan atau keputusan yang kita udah keluarin kan
ga bagus juga. Cuma kalo patokan maskulin di masyarakat yang
seperti ukuran fisik dll, gamesti sih menurut gua soalnya kalo
memang khodratnya seperti itu kan sulit juga.
Peneliti : berarti lu sedikit kurang setuju sm stigma yang ada di masyarakat?
RI : iyaa den, karena menurut gua kan maskulin punya sisi lain ga hanya
terletak secara fisik atau dari luarnya aja.
Peneliti : okee, terus apa tanggapan lu tentang laki-laki yang kurang atau ngga
maskulin?
RI : kalo secara umum yang ada dimasyarakat ya menurut gua
sebenernya kurang etis kalo kita bicara mengenai konsep maskulin di
masyarakat, apalagi secara fisik yang menjurus kepada stigma,
karena stigma nantinya kan akan mempengaruhi sm psikologis si
orang yang di omonginnya, mungkin bisa sampe stress atau ya
mungkin bunuh diri. Kalo saran gua sih sebaiknya gausah ngasih
stigma tentang maskulin karena tiap orang-orang bakal beda dari segi
penangkapannya. Kalo menurut gua jg sih maskulin lebih ke konsep
pribadi masing-masing, yauda di keep masing-masing ajaa. Gausah
terlalu ngurusin orang.
Peneliti : oke, berikutnya menurut lu qi, apa konsepan maskulin yang ada
dimasyarakat ngebuat laki-laki jadi terbebani?
RI : menurut gua ya jelas membebani sihh, karena yaa jatohnya karena
ada stigma yang berasal dari konsep maskulin ngebuat laki-laki jadi
71
Peneliti dituntut untuk sesuai dengan stigma yang beredar. Sekarang gini,
wajar ga sih manusia punya perasaan, kek emosional, marah, sedih,
seneng, menurut gua sih itu “okeey” lo gadituntut untuk menolak
ituu, kalo lagi liat laki-laki nangis ya muncul pertanyaan “laki-lakikok
nangis?” dia kan cuma ngutarain perasaannya, emosi jiwanya, jadi
ketika dituntut buat jadi gimana-gimana, gaboleh gimana-gimana,
jatohnya jadi beban sendiri sih buat laki-laki kalo menurut gua.
: iya iyaa, paham gua. Kalo bicara soal hal itu, lu pernah ga sih
ngalamin atau merasa diri lu terbebani dengan konsep maskulin itu?
RI : kalau ngomong pernah atau engga, beruntungnya gua gak ngalamin
di keluarga gua sih yaa.. cuman paling dari masyarakat sekitar kek
temen, bahkan gua pernah ngalamin dari nyokapnya mantan gua
Peneliti : oh iya pernah ? gimana tuh ceritain ?
RI : jadi waktu itu kek ada konflik gitu kan masalah sama mantan gua,
terus mantan gua tuh cerita ama nyokapnya. Terus pas gua dateng
kerumahnya gua di omongin sama nyokapnya “masa laki nangis sii,
kalo ada masalah ya diselesain jangan malah nangis” dan itu
ngomongnya bener-bener langsung didepan muka gua, dimana
menurut gua kek itu langsung ngejatuhin gua secara emosional.
Karena menurut gua sebenernya wajar aja gua ngelampiasin
namanya sayang kan, sama saking emosinya yaudah gua nangis. Nah
disitu gua udah coba nahan tuh, tapi ya gimana kedengeran kan sm
nyokapnya, terus nyokapnya nyamperin gua sm dia sambil ngomong
kek gitu. Mungkin niatnya nengahin, tapi kan ga elok aja malah
sambil ngejudge gitu kan..
Peneliti : mungkin masuk ke bagian berikutnya kali ya qi, berarti itu kan udah
ngejelasin lu pernah pacaran kan, nah itu kan sama mantan orang tua
dari mantan lu, pernah ga sama pacar lu?
RI : iyaa pernah, tapi sama yang dulu yang sekarang sih gua ngerasa diri
gua jadi lebih baik.
72
Peneliti : haahah bagus dah kalo gitu kan hahaha, kalo boleh certain dong
yang lu alamin sama mantan lu?
RI : iya den, kalo ada masalah gitu kan ya, kan wajar ga sih kalo kita
cerita ke temen? Ya kan kita butuh temen cerita juga kan walaupun
cuma ngedengerin. Tapi ini beda, nah mantan gua nih kalo gua cerita
pasti ngomong “ngapain sih cerita-cerita ke orang?” kayak gabisa
diselesain sendiri, laki-laki kok rempong banget, ribet banget. Ya itu
salah satu pemicu gua sama di pisah juga sih.
Peneliti : oh jadi itu bisa dikatakan salah satu faktor yang ngebuat lu pisah
juga?
RI : iya bisa dibilang gitu sihh
Peneliti : okkeeyy, tapi lu sendiri sebenernya dibolehin pacaran ga sama
kedua orang tua lu?
RI : orang tua gua sih gapernah ngelarang, gapernah masalah kalo gua
pacaran. cuma yang selalu di ingetin kan ya konsekuensinya pasti
ada, kalo gua pacarannya kearah yang negatif ya gua harus tanggung
sendiri, lebih selalu ngingetin ke konsekuensinya sihh.
Peneliti : okeehh, terus ada gak sih kriteria yang dikasih orang tua lu buat
nentuin pacar?
RI : paling seiman sihh, selagi dia sayang sama keluarga gua, sayang
sama gua. gaada yang lebih sih daripada itu, semua diserahin ke
guanya sihh
Peneliti : terus berikutnya, motivasi lu pacaran tuh apa sih ?
RI : gua orangnya gabisa den kalo ada apa-apa dipendem sendiri,
ditahan sendiri. Gua tetep butuh sosok yang bisa diajak berbagi
segala hal tentang yang gua alamin, kek lagi seneng gua cerita dan
73
berbagi kesenengan gua, kalo gua sedih gua bisa ngadu bisa ngobrol
kedia. Gua lebih mikir kedepan sih buat nyari orang yang bisa sesuai
sama keinginan gua bukan cuman sekedar tentang fisik doang.
Karena kalo kita ngomongin masa depan kan bukan cuman tentang
seksualitas doang, tapi kita butuh teman buat ngabisin waktu bareng-
bareng sampe mati hehee
Peneliti : menurut lu apasih yang dibutuhkan dalam pacaran ?
RI : keterbukaan sih den, sama komunikasi maksud gua kek jujur
dengan keterbukaan itu biar kita sama-sama ngerti sama-sama
paham, jadi ya menurut gua keterbukaan itu sangat penting.
Peneliti : oke keterbukaan, selain itu ada lagi gak selain keterbukaan ?
RI : yang lainnya percaya sih, karena kapercayaan itu bener-bener core
dalam hubungan. Kalo gaada saling percaya agak sulit untuk
membangun hubungan yang baik-baik aja. Selain itu juga
ketidakpercayaan jelas mengundang permasalahan.
Peneliti : okee.. berdasarkan dari beberpaa hal yang dibutuhkan dalam
pacaran tadi, kalo semisal salah satu atau beberapa hal tidak berjalan
dengan semestinya. Kira-kira apa sih yang bakalan terjadi ?
RI : bakalan ada konflik sih.. yang bisa nimbulin perdebatan yang
Peneliti akhirnya yaa jadi berantem
: dari yang lo udah sampaikan, kira-kira apa yang mau lo sampaikan
dari adanya toxic masculinity ini ?
RI : ya paling yang mau gua sampaikan ke masyarakat, ayolah kita
mandang orang itu dari perpektif bahwa di aitu manusia. Maksud
gua bukan berdasarakan jenis kelamin atau kemampuan dan segala
macem juga. Ya kita selama ini teriak permasalahan hak asasi
manusia, kesetaraan gender, bahwa terkadang masyarakat lupa kalo
laki-laki itu juga terkedilkan karena permasalahan ini. Makusd gua
74
“kenapa harus menganggap kuat?” oke secara fisik laki-laki terlihat
kuat cuma kan hal-hal kayak gitu gabisa di jadiin tameng juga. Tolong
lah, semua manusia baik itu laki-laki atau perempuan kita sama-sama
punya perasaan jadi jgn saling memberikan penilaian sendiri
terhadap orang lain. Paling gitu sih den.
Peneliti : okeyy, itukan pandangan lu terhadap orang yang ngelakuin nih, nah
kalo ke orang yang ngalamin gimana ?
RI : men.. let’s speak what you feel lohhh, kalo lo sedih ngomong aja sedih
cuekk, gaperlu lah lu bohongin diri lu, gausah lah lu batesin diri lu.
Jangan jadiin permasalahan-permasalahan yang terjadi sama lu
malah ngebuat lu semakin ngebebanin lu. Ayolah kita bikin dunia ini
jadi lebih terbuka, buat semua orang jadi enjoy. Pada intinya ya tetap
tenang aja jangan takut dibilang gimana-gimana toh yang ngejalanin
hidup lo adalah diri lo sendiri bukan orang lain.
Peneliti : terus selanjutnya, menurut lu seberapa penting si peranan
komunikasi dalam pacaran tuh ?
RI : wah penting banget si. Karena hal apapun kan butuh komunikasi,
dan dengan komunikasi juga lu lebih ngenal satu sama lain baik
buruknya. Kalo lu udah tau baik buruknya pasanganlu terus
kemungkinan lu nemuin konflik didepan bisa di minimalisir sejak dini
dengan adanya komunikasi.
Peneliti : terus, ketika dalam suatu hubungan komunikasi lu tuh kurang
RI berjalan dengan baik. Menurut lu akan memicu kekerasan dalam
pacaran gak sih ? kekerasan yang dimaksud disini bentuknya bisa
macem-macem ada kekerasan verbal, fisik, ekonomi, maupun
psikologis
: ya bisa micu kekerasan juga sih yaa dengan pengertian kekerasan
dalam bentuk-bentuk yang tadi disebut. Gua juga pernah nih
ngalamin kekerasan secara ekonomi. Jadi dulu tuh gua punya
kebiasaan buat bayarin kalo kita jalan keluar terus sempet waktu itu
75
gua lupa bawa dompet nahh gua akhirnya minta tolong buat bayarin,
nah yaudadeh dibayarin tuh cuman lucunya dia kek kaget gitu kan
seakan-akan dia mikir “kok gue yang bayar sih” terus udah deh tuh
kelar. Trus besokannya gua kerumahnya gua ketemu sama adeknya
kan, nah mantan gua tuh ngomong ke adeknya ternyata kalo kemaren
gua nyuruh dia bayarin pas jalan. Nah ternyata dia bete.
Peneliti : Terus abis itu gimana ?
RI : ya abis itu, gua ngobrol sama dia. Ya itukan baru pertama kalinya
gue gak bayarin dia. Semenjak kejadian itu dia tuh jadi semakin
sering mandang kearah segi ekonomi sih menurut gua. kek contoh
lainnya gua pernah ngajak dia jalan make motor Astrea yang jadul,
dan motornya tuh mati mogok gitu. Yaudah pasti bete lagi sih dia.
Trus lucunya nih besokannya dia gamau ketemu gua lagi, gatau gua
kenapa. Sampe gua dateng kerumahnya dia gamau keluar nemuin
gua, akhirnya nyokapnya keluar dan ngomong kalo mantan gue ini
gamau jalan sama gua lagi karena motor gua itu.
Peneliti : wahhh segitunya yaa hahaha.. yaudah lanjut pertanyaan terakhir nih
menurut lu bagaimana cara menjalin komunikasi yang baik dengan
pasangan lu nih ?
RI : paling ya menurut gua ngejalanin komunikasinya dengan penuh
perhatian juga, karena kita gabisa nuntut pasangan kita untuk terus
komunikasi dengan kita selama 24/7, setiap orang kan punya
kesibukannya masing-masing juga it’s not just about quantity but it’s
also about quality.
76
HASIL WAWANCARA : FI
: 22 tahun
1. Identitas Informan : Laki-Laki
Nama Lengkap / Inisial : Majenang
Usia : Ilmu komunikasi/ 2016
Jenis Kelamin
Alamat Asal : Jumat
Jurusan / Angkatan : 26 Juni 2020
: 20.00 WIB
2. Keterangan
Hari
Tanggal
Waktu
Peneliti : sebelumnya makasih banyak nih ya ndra udah nyempetin buat jadi
FI narasumber di penelitian gua.
Peneliti
: iya den sama-samaa
FI
Peneliti : langsung ke pertanyaan pertama aja kali ya, di keluarga lu, lu anak
FI keberapa dari berapa bersaudara? Terus jumlah laki-laki dan
Peneliti perempuannya berapa?
FI
: kalo gua anak ke tiga dari bersaudara. Kalo gua anak laki-laki
sendiri, kakak gua cewe dua-duanya.
: oohhh okeyy, apakah kedua orang tua lu kerja?
: kalo kerja bapak gua kerja, ibu gua usaha di rumah
: oke terus, mengenai permasalahan waktu nih, seberapa sering sih
orang tua lu ada dirumah?
: kalo bisa gua certain dari awal gua dari lahir sampe SMP gua bareng
sama orang tua. Karena bokap gua dinas di region Jawa Tengah, gua
lahir di pekalongan, gua pernah tinggal di Banyumas, di Cilacap, Solo
77
Peneliti pernah, Sragen pernah. Nah begitu SMP gua dititipin sama nenek gua,
FI bapak sama ibu gua udah di Semarang, dines di Semarang. Bokap
nyokap gua nitipin gua karena pergaulan di Semarang kan rentan
Peneliti menurut mereka. Nah gua SMA, gua ikut bapak ibu lagi ke Semarang,
FI gua sekolah di Semarang. Tapi bapak sering dinas di luar kota. Bisa
Peneliti dibilang kalo ketemu bokap itu jarang, paling seminggu dua kali dan
FI waktunya malem karena sampenya malem tapi kalo sama nyokap
Peneliti tiap hari ketemunya.
: okee, biasanya kalo waktu senggang sama keluarga ngapain aja?
: kalo pas gua di Semarang, bokap gua kan suka mancing, paling kalo
lagi libur kita keluar mancing abis itu ikannya kita masak bareng-
bareng, sambil ngumpul bareng sama kakak-kakak gua yang udah
berkeluarga. Kalo bosen mancing kita biasa jalan-jalan ke ungaran, ke
tempat-tempat dingin lah pokoknya kalo keluarga gua sukanya.
Bokap selalu punya ide-ide yang buat gua sama keluarga seneng sih,
gua suka sama bokap juga karena dia orangnya kek apa adanya suka
bikin ngakak juga, pemikirannya masih muda juga kayak anak-
anaknya.
: oh okee, selanjutnya seberapa sering sih lu diskusi atau ngobrol
ringan sama keluarga lu?
: setiap hari den, biasanya pas sambil makan.. kayak contohnya kalo
ngasih tau gua nasehatin gua, itu dilakuin pas lagi makan soalnya kalo
kata bokap biar makanannya keserep sama makanan.
: bagus juga ya filosofinya hahaha, terus kalo dirumah itu yang
biasanya ngambil keputusan siapa?
: nyokap sih biasanya lebih ngasih saran tapi biasanya akhirnya itu
bokap yang finishing nya
: jadi bokap adalah orang terakhir ya yang ngambil keputusan, oke
berikutnya masuk ke topik selanjutnya. Sebelumnya lu tau ga apa itu
maskulin? Kalo lu tau apa yang lu ketahui tentang maskulin?
78
FI : kalo menurut gua, maskulin adalah ketika gua dipandang sama cewe
Peneliti gua itu laki. Contohnya kayak cara gua jalan lah, cara gua ngomong,
FI cara gua bergaul, kalo gua gaul sama anak JKT48, atau sama anak-
anak korea-koreaan kan gua dianggap kurang maskulin. Beda kalo
Peneliti gua gaul sama anak band lokal, band hardcore , metal, gua bisa
dikatakan maskulin. Kalo dari segi hobi kayak motor, mobil,,
olahraga, gym, pasti pandangan ke gua bakal beda. Jadi kalo menurut
gua, secara fisik dia normal cowo, kalo dari psikologis dari segi
pemikiran. Gitu sih.
: okee, terus pernah gak sih lu dikasih tau sama bokap nyokap lu atau
keluarga lu tentang bagaimana jadi cowo yang maskulin? Terus
giman respon lu tentang arahan orang tua lu?
: sering bokap gua ngasih tau soal itu. Dari kecil waktu itu gua lagi
main kelereng, karena gua anak baru pindahan jadi gua di peloncoin
sama temen gua, kayak di toyor-toyor kepala gua. terus gua pulang
nangis, yang ada bapak gua malah marahin gua sambil ngomong
“balik lagi, kamu tuh cowo. Jadi cowo yang kuat, dipukul pukul lagi.”
nyuruh gua balik lagi buat nampolin anaknya itu. Gua gaboleh pulang
den sebelum mukul anak itu. Namanya anak kecil takut sama orang
tua jadi gua lakuin aja sambil nangis juga, bokap gua ngeliatin dari
depan rumah tuh. Terus kasus lain, beberapa waktu lalu gua putus
sama cewe gua, gua galau gua nangis. Gua sayang kan sama dia, galau
gitu dah pokoknya, begadang gajelas, bengong, ga napsu makan. Ya,
gua dimarahin bokap, dibilang kamu tuh cowo, cowo gaboleh
cengeng, apalagi masalah cewe, baru gitu aja, ngapain cengeng
nangis-nangis. Terus ada lagi, ketika gua lagi bantu kerja bokap kayak
misal nebang pohon gua ngerasa cape, gua itu sebisa mungkin
gaboleh ngomong capek. kalo bokap gua tau gua capek gua bisa di
hajar sambil ngomong “ kamu tuh cowo. Baru segitu aja capek. bapak
nih jauh lebih capek dari pada kamu.” Ya itu si den beberapa hal yang
diajarin bokap.
: okee, ada gak sih wejangan dari orangtua lu bagaimana jadi cowo
yang maskulin? Terus setelah itu lu diem aja atau gimana?
79
FI : ada, dari bokap lagi, “de kalo kamu mau jadi cowo yang dipandang
maskulin sama orang, kamu harus bisa sukses, biar kamu dikejar-
Peneliti kejar cewe. Ketika kamu ngejar-ngejar cewe harga dirimu jatuh, tapi
FI ketika kamu ngejar-ngejar cewe harga dirimu naik” berikutnya “
kamu tuh cowo, yang dipegang itu omongan, yang kedua itu uang,
Peneliti cowo gapunya uang mau dikatain apa sama orang.” Disitu kan kata
FI bokap gua menekankan bahwa cowo itu harus kerja keras, kayak
Peneliti contohnya cewe kan rajin nah cowo harus bisa lebih rajin. Kalo
ngomongin respon gua pasti dengerin dia ngomong dulu, tapi
gasedikit si gua debatin omongannya dia, kayak misalnya gua kan
punya pengalaman juga, punya pemikiran juga, nah itu yang kadang
jadi debat sih.
: ooo, iya iyaaa. Terus menurut lu secara pribadi, sifat dan sikap apa
yang mencerminkan maskulin?
: pertama dari sifat, kalo menerut gua sifat maskulin dia memahami
dirinya sebagai laki-laki dari kecil, kemudian orang yang
memposisikan diri dimasyarakat sebagai laki-laki contohnya sebagai
laki-laki harus memiliki sifat tanggung jawab, menghargai
perempuan, bekerja keras. Kemudian dari segi sikap, laki-laki itu
menunjukan kalau dirinya kuat, gagah, berpenampilan layaknya laki-
laki gak lembek, gak gampang ngeluh dan yang terpenting tegar kuat
secara fisik maupun psikologis.
: okeeyy, terus menurut lu apakah laki-laki harus maskulin?
Kemudian pandangan lu tentang laki-laki yang kurang atau tidak
maskulin itu gimana?
: ya jelas harus maskulin lah. Laki-laki yang kurang maskulin menurut
gua ya apa ya, ngapain hidup udah jelas kodrat laki-laki ya ikutin
tuntutan aja sebagaimana layakny laki-laki.
: okee, pertanyaan berikutnya, menurut lu dengan adanya konsep
maskulin, ngebebanin pihak laki-laki ga sih?
80
FI : ya iyalahh. Sekarang buat jadi cowo maskulin itu ga gampang, harus
ngikutin fashion cowo maskulin, badan harus kebentuk,olah raga
Peneliti kayak gym, butuh pengorbanan. Sekarang kalo kita ngomongin
FI masyarakat, dalam masyarakat kan banyak tuntutan-tuntutan, ya
Peneliti walaupun ada yang berat ataupun ringan itu kan butuh pengorbanan
FI yang secara ga langsung ngejadiin beban buat laki-laki juga.
Peneliti : okeee gitu yaa, paling masuk topik berikutnya ya, lu pernah
FI pacaran?
Peneliti
FI : pernah lah, sering.
Peneliti : lu dibolehin ga si pacaran sama orang tua lu?
FI
: bolehin, sejak umur 17 tahun gua dibolehin malah sampe gua
disuruh kenalin sama orang tua gua, kadang gua pamerin juga kalo
gua udah punya pacar.
: kan lu dibolehin pacaran, ada ga sih kriteria yang dikasih sama
orang tua lu bagaimana lu cari pacar?
: adaa, yang pertama seiman, berhijab, dia sayang sama gua sama
keluarga gua. paling itu aja sih sisanya mah gimana gua sendiri
: ooo, terus apa sih motivasi lu buat pacaran itu?
: motivasi gua kalo dulu sih gua punya cewe ya buat pamer, buat
panjat sosial, tapi semakin kesin gua lebih kepengen cewe yang
ngebawa hidup gua lebih baik yang nemenin gua sampe bawah
sampe gua sukses.
: okee terus, menurut lu hal apa aja sih yang dibutuhkan dalam
pacaran itu?
: ya kalo menurut gua yang pertama itu rasa saling percaya, yang
kedua itu komitmen, ya jujur, sama komunikasi sih penting banget
menurut gua. pacaran kalo komunikasinya gaberes pasti
hubungannya gaberes sih kalo menurut gua.
81
Peneliti : okeeyy, menurut lu kalo dari beberapa hal yang lu sebut tentang apa
FI yang dibutuhkan kurang berjalan dengan baik apa yang akan terjadi?
Peneliti
FI : ya kalo menurut gua hubungannya pasti crash, pasti berantem, kalo
urusan putus atau tidak bagaimana komitmen yang dibuat dari awal.
Peneliti Kalo komitmen yang udah dibentuk dari awal nikah apapun
FI masalahnya dihadapi, apapun keretakannya diperbaiki.
: terus kemudian apa semasa pacaran pernah dianggap kurang atau
tidak maskulin?
: pernah sih, gua kan LDR sama dia, gua tuh nangis karena gua
kangen dan gabisa kesana terus cewe gua bilang “kamu tuh cowo,
jangan nangis lah, ya kalo bisa mikir, kerja kek apa kek biar punya
uang buat kesini ketemu aku” gua sering banget dulu kalo gabisa
kesana dikatain cowo lemah yang gamau berjuang. Dia ngomong kek
gitu via telfon sama gua. ya mau gimana ya den, disini kan gua kuliah,
gua harus ngirit duit buat makan, tapi dia bilang gua gamau berjuang
padahal gua cowo. Adalagi pas gua nyamperin dia ke Semarang bawa
motor, sampe sana gua minta dia yang bawa motor, gua cape banget
soalnya bawa motor. Dia malah ngomong, “kamu kan cowo, jangan
gampang cape lah, kamu jg cowo masa aku yang bawa motor” paling
kek gitu sih den
: wah, gitu yaaa.. terus berikutnya pernah ga sih pacar lu ngebawa-
bawa konsep maskulin yang akhirnya berhujung pertengkaran?
Terus apa yang lu lakukan?
: pernah sih beberapa kali. Kayak waktu itu gua minjem duit sama dia
buat makan kan, lima puluh ribu doang. Terus malah ngegas. “ kamu
kan cowo ya kamu kerja lah biar dapet uang “ gua kan nungguin
transferan tapi malah gitu jawabannya, akhirnya jadi berantem kan
debat gitu sama dia ya waktu itu tiga harian cuek-cuekan. Ya itu salah
satu contohnya, berikutnya gua pernah jalan sama dia, terus dia liat
cowo badannya bidang sixpack gitu kan, terus dia ngomong “itu cowo
maskulin banget deh, badannya bagus gitu. Kamu kayak gitu dong,
gaboleh males olahraga kalo jadi cowo itu” ya gua rada emosi ya gua
82
Peneliti dibilang jarang olahraga, seolah-olah gua dibilang males gitu ya gitu
FI den debat lagi akhirnya.
Peneliti : hahah gokil si, oke terus lanjut ke topik berikutnya, menurut lu
FI seberapa penting peranan komunikasi dalam hubungan? Kalo
Peneliti penting seperti apa?
FI
: penting banget si komunikasi, jadi gini, kalo gua dulu ldr selalu
Peneliti ngabarin baik via telfon atau videocall tapi dari situ bisa ngejaga
FI hubungan jadi erat. Ya semua orang itu butuh komunikasi sih kalo
kata gua
: menurut lu kalo dalam satu hubungan tidak terjalin komunikasi
yang kurang baik maka akan memicu kekerasan dalam pacaran ga?
: pasti ada si kalo menurut gua, contohnya ketika gua gaada kabar ke
cewe gua dulu dia sering main sama temen cowonya, ya gua sakit
hati, gua ngerasa dilukain aja, ya kekerasan secara psikologis sih itu.
: okeyy, berikutnya dari beberapa macam bentuk kekerasan yang ada,
pernah gak lu ngalamin kekerasan selama lu pacaran? kalo pernah
seperti apa?
: gua lebih sering ngalamin secara psikologis ya bentuknya verbal,
kayak gua kadang di tolol-tololin, kadang juga gua ngerasa disakitin
ketika dia main sama tmn cowonya dan ga ngabarin gua. Kalo
kekerasan secara ekonomi gua pernah ngalamin sampe ngejual tv
gua, ps sampe beberapa barang kosan buat menuhin kebutuhannya
dia kayak jalan-jalan, gitu. Ya gitu sih den
: pertanyaan terakhir, gimana sih menurut lu ngejaga komunikasi
yang baik?
: yak kalo dari gua kita harus nanemin dalam pikiran kita pentingnya
komunikasi, dengan komunikasi kita bisa melakukan banyak hal, kita
bisa menyelesaikan berbagai macam permasalahan. Ya kalo menurut
gua ngejaga itu bisa diawali dari pemahaman. Kalo kita udah faham
kita gaakan kesulitan dalam menjaga komunikasi
83
HASIL WAWANCARA
1. Identitas Informan : SH
Nama Lengkap / Inisial : 22 tahun
Usia : Perempuan
Jenis Kelamin : Tasikmalaya
Alamat Asal : Ilmu Politik/ 2016
Jurusan / Angkatan
2. Keterangan : Sabtu
Hari : 27 Juni 2020
Tanggal : 18.30 WIB
Waktu
Peneliti : langsung saja pada pertanyaan pertama ya mba .. kamu anak ke
berapa dari berapa bersaudara ?
SH : aku anak pertama dari 3 bersaudara, cuman kebetulan jaraknya
sangat jauh jadi adek-adekku masih kecil-kecil
Peneliti : oh gitu yaa.. dari 3 bersaudara tersebut ada berapa laki-laki dan ada
berapa perempuan ?
SH : perempuan ada 2, laki-laki ada 1
Peneliti : pertanyaan selanjutnya, apakah kedua orangtua kamu bekerja ?
SH : ya ayah sama ibu sama-sama kerja
Peneliti : oh jadi dua duanya kerja yaa, seberapa sering sih orangtua kamu ada
dirumah ?
SH : sebenernya untuk waktu quality time gitu agak jarang sih, karena
kebetulan ayah aku kerja diluar kota jadi beliau pulang kerumah
biasanya paling dalam dua minggu hanya satu kali pulang, terlebih
kalo ayah lagi ada dinas dan sibuk biasanya akhir bulan baru bisa
pulang kerumah dan itupun biasanya cuman ngabisin waktu
weekend aja. Cuman kalo ibu meskipun kerja tapi setiap hari ada
84
Peneliti dirumah, jadi dia pergi di jam kantor aja. Tapi ya kita tetep selalu
SH menyempatkan untuk tetap keep in touch.
Peneliti : ohh, nah biasanya nih kalo lagi kumpul-kumpul gitu aktivitas apa aja
SH sih yang biasanya dilakuin ?
Peneliti : kebetulan ayah dan ibu aku kan bekerja, jadi ketika ada waktu luang
SH biasanya kita kumpul-kumpul dirumah aja kayak ngobrol bareng,
masak bareng hal-hal yang ringan aja yang bisa dilakuin dirumah.
Peneliti Kalo jalan-jalan keluar agak jarang karena biasanya waktu-waktu
tersebut dimanfaatin ayah ibu buat istirhat sih..
: apakah kamu sering diskusi atau ngobrol ringan sama orang tua ?
: sering sekali, karena kebetulan aku adalah anak yang sangat terbuka
kepada orangtua jadi banyak hal yang aku ceritakan, begitupun
dengan orang tua aku yang memang terbuka juga ke anak-anaknya.
Tapi aku lebih suka cerita ke ayah aku si soalnya aku ngeliat gimana
dia bersikap, gimana tanggungjawabnya ke perempuan kayak ibu
aku, aku sama ade aku. Terus kek enak aja gitu, masuk aja kalo cerita.
Walaupun jauh gini, jarang ketemu aku suka cerita by phone.
:lalu, di keluarga siapa yang paling dominan dalam mengambil
keputusan ?
: kalo dikeluarga aku sebenernya yang dominan mengambil
keputusan itu relative dalam artian terkadang ibu aku berperan lebih
tapi terkadang ayah aku juga berperan lebih jadi kayak lebih balik
lagi ke konteks dari sesuatu hal yang diputuskannya, intinya mereka
lebih bagi porsi aja si. Cuman kalo urusan mendidik anak yang lebih
dominan dalam mengawasi, mengotrol dan juga lebih teliti lebih ke
ibu sih
: apakah kamu sebagai perempuan mengetahui atau pernah
mendengarkan omongan orangt tua mu ketika memberikan
pandangan tentang konsep maskulin kepada adikmu ?
85
SH : kalo dari orang tua pernah mungkin ya beberapakali, orangtuaku
ngomong ke adikku karena adikku kan satu-satunya anak laki-laki
Peneliti dirumah. Paling yang aku dapet ya laki-laki itu harus yang
SH bertanggung jawab, omonganya bisa di percaya, yang bisa
Peneliti membimbing. Simplenya orangtua aku selalu menekankan bahwa
SH laki-laki itu harus mampu menjadi pelindung bagi perempuan, selain
Peneliti itu laki-laki itu harus mampu mengayomi dan bertindak bijaksana
SH dalam segala hal. Kalo yang aku pahami secara pribadi ketika
Peneliti mendengar kata maskulin itu pertama adalah hal tersebut identic
SH sekali dengan laki-laki yaa berkaitan mengenai sikap dan sifat laki-
laki.
: kemudian setelah mendengar arahan atau pandangan orang tuamu
apa yang kamu lakukan? Apakah diam saja atau menambahkan?
: balik lagi sih ya, aku orangnya emang speak up banget apalagi sama
keluarga, jadi beberapa hal aku tambahin sih mungkin dari
permasalahan pribadiku yang aku certain hahhaha.
: kalo secara fisik ada gak sih yang mencerminkan maskulin menurut
kamu ?
: kalo menurut aku secara fisik sih paling ya fisik pada umumnya laki-
laki aja sihh.
: jadi menurut kamu laki-laki yang maskulin itu seperti apa ? secara
pribadi
: menurut aku laki-laki yang maskulin adalah laki-laki yang bisa me
leader, laki-laki yang kuat, tanggung, bisa menjadi sosok yang bisa di
andalkan dan bertanggung jawab sih
: jadi menurut kamu apakah laki-laki itu harus maskulin ?
: ya harus dongg. Karena sejatinya laki-laki dan perempuan memiliki
peranan tersendiri yang memang sudah terbentuk dari dulu, jadi mau
tidak mau, suka tidak suka ya memang harus.
86
Peneliti : jadi bagaimana pendapat kamu terhadap laki-laki yang tidak
SH maskulin?
Peneliti : kalau aku sih tergantung posisi laki-laki itu dihidup aku ya, misal dia
SH hanya sekedar temen ya mungkin aku akan lebih cuek biasa saja dan
Peneliti bisa menerima-menerima saja. Cuman kalo konteksnya laki-laki itu
SH adalah pasangan aku aku menuntut agar laki-laki itu harus maskulin
Peneliti : sebelumnya apakah kamu pernah berpacaran ? dan apakah
SH orangtua kamu mengizinkan kamu untuk berpacaran
Peneliti
SH : ya pernah, orangtua aku boleh boleh aja sih karena aku tidak pernah
mendapatkan pengekangan dari keluarga masalah pribadi
: lalu ada gak sih kriteria yang diberikan oleh orangtua terhadap laki-
laki yang ingin atau akan berpacaran dengan kamu ?
: ya paling hal yang selalu berulang kali dibicarakan orangtua
terhadap aku terkait laki-laki adalah aku harus memilih laki-laki yang
bertanggung jawab yang bisa memp protect , bisa me leader aku ke
arah yang lebih baik, dan laki-laki ini baik secara personality ataupun
psikologis harus sudah harus lebih matang, karena harapan dari
orangtua aku adalah ketika pacaran aku juga harus belajar menjadi
lebih baik. Oleh karena itu laki-laki yang dekat dengan aku istilahnya
minimal harus sudah setingkat lebih tinggi diatas aku.
: apa motivasi kamu menjalani pacaran ?
: yang pertama aku sih berpacaran adalah suatu kebutuhan psikologis
karena aku butuh orang yang bisa aku jadikan someone to lying on,
shoulder to crying on istilahnya seperti itu lah hehe
: hal apa aja sih yang dibutuhkan dalam pacaran tuh ?
: kepercayaan, kesetiaan, kejujuran, sama kerjasama dalam artian
saling melengkapi terkait kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Kerjasama disini juga dalam artian saling memperbaiki, saling
mengingatkan dan saling belajar menjadi lebih baik dari versi
sebelumnya
87