41 BAB 5 Tantangan dan Hambatan Pendidikan Multikultural PENDIDIKAN multikultural memegang peranan sentral dalam menanggapi tantangan yang timbul dari keberagaman budaya, etnis, dan agama di Indonesia. Setidaknya terdapat lebih dari 300 suku bangsa yang membentuk mosaik budaya unik di negeri ini. Dan menjaga keharmonisan di tengah keberagaman ini menjadi suatu keharusan. Sebagai suatu pendekatan, pendidikan multikultural tidak sekadar menciptakan pemahaman terhadap perbedaan, tetapi juga memperjuangkan pengakuan dan penghargaan terhadap keberagaman yang menjadi identitas utama bangsa. Pernyataan ini diperkuat oleh (Wahyuni et al., 2022), yang menekankan bahwa dampak pendidikan multikultural di Indonesia tidak hanya sebatas pada retorika atau slogan,
42 melainkan menjadi fondasi nyata dalam membentuk dan merawat keberagaman. Studi (Adon, 2021) menyoroti tujuan pendidikan multikultural yang mencakup pencapaian kedamaian, kerjasama, kemajuan, dan kesejahteraan bersama. Hal ini memberikan landasan filosofis bagi implementasi pendidikan multikultural sebagai upaya membangun masyarakat yang tidak hanya toleran terhadap perbedaan, tetapi juga menghargai dan memanfaatkannya sebagai sumber kekuatan bersama. Kendati Bhinneka Tunggal Ika menjadi semboyan nasional yang mengusung semangat keberagaman, sayangnya, operationalisasi motto ini dalam dunia pendidikan masih terbilang kabur (Raihani, 2018). Pentingnya pendidikan multikultural dalam menanggapi konflik yang mungkin timbul akibat keberagaman di Indonesia menjadi semakin jelas (Kamal, 2013). Dengan memberikan landasan pemahaman dan toleransi terhadap perbedaan budaya, pendidikan multikultural bukan hanya menjadi solusi untuk meredakan konflik, tetapi juga mengubah paradigma masyarakat yang mungkin rentan terhadap konflik menjadi masyarakat yang kuat dan bersatu dalam keberagaman. Meskipun demikian, penerapan pendidikan multikultural di Indonesia tidak berjalan tanpa hambatan. Studi yang dilakukan (Efendi and Lien, 2021) menggambarkan tantangan seperti pemahaman multi-etnis, multi-agama, multi-bahasa, dan multikultural yang memerlukan konstruksi baru terhadap prinsip keadilan, kesetaraan, dan masyarakat demokratis. Untuk itu, pendidikan multikultural di Indonesia perlu mampu memberikan landasan yang kokoh bagi nilai-nilai ini agar dapat membentuk masyarakat yang tidak hanya menghargai, tetapi juga merayakan keberagaman.
43 Dengan menggabungkan upaya-upaya penerapan pendidikan multikultural, pemahaman terhadap dampaknya dalam membentuk keberagaman aktual, dan upaya mengatasi tantangan yang dihadapi, diharapkan pendidikan multikultural dapat menjadi pilar utama dalam membangun masyarakat Indonesia yang inklusif dan berlandaskan pada nilai-nilai persatuan dalam keberagaman. Oleh karena itu, Bab ini akan membahas secara rinci tantangan-tantangan yang dihadapi pendidikan multi-kultural di Indonesia dan mencari solusi yang konstruktif untuk meningkatkan efektivitasnya, menjadikan Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya sebagai semboyan, tetapi juga sebagai panduan dalam pembentukan identitas pendidikan Indonesia yang sejati. A. Tantangan Pendidikan Multikultural di Indonesia Tantangan dan hambatan dalam penerapan pendidikan multikultural di Indonesia merupakan isu yang kompleks dan memerlukan pemahaman mendalam. Beberapa studi menyoroti berbagai aspek yang menjadi kendala dalam implementasi pendidikan multikultural di Indonesia. Berikut ini akan diuraikan beberapa isu yang menjadi tantangan Pendidikan multikultural di Indonesia. 1. Keragaman Budaya Yang Kompleks Keragaman budaya yang kompleks menjadi tantangan signifikan dalam pendidikan multikultural di Indonesia, dengan lebih dari 300 suku bangsa yang membawa keberagaman adat istiadat, bahasa, dan kepercayaan. Integrasi berbagai aspek budaya ini ke dalam sistem pendidikan menjadi tantangan yang membutuhkan pendekatan yang adil dan inklusif. Perbedaan budaya tidak hanya menciptakan keanekaragaman visual tetapi juga memengaruhi pola pikir, nilai,
44 dan norma di kalangan masyarakat, menuntut pendekatan pendidikan yang komprehensif. Menurut (Ibrahim, 2015), pendidikan multikultural di Indonesia perlu mampu mengakomodasi keragaman budaya agar setiap individu merasa dihargai dan diterima dalam lingkungan pendidikan. Pendekatan ini menekankan pentingnya keadilan, kesetaraan, dan keberagaman dalam proses pembelajaran. Selain itu, pendidikan multikultural juga diharapkan dapat membentuk sikap toleransi, saling pengertian, dan kerjasama antarbudaya, menciptakan masyarakat yang harmonis dan inklusif. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan interkultural menjadi relevan, (Cushner, 2013) menyatakan bahwa pendekatan interkultural menitikberatkan pada saling pengertian antarbudaya, menghargai perbedaan, dan mempromosikan dialog antarbudaya. Pendekatan ini sejalan dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika, semboyan nasional Indonesia, yang mengandung makna tentang pentingnya persatuan dalam keragaman. Dalam mengatasi tantangan keragaman budaya, pendidikan multikultural di Indonesia harus mengadopsi pendekatan yang holistik dan inklusif. Integrasi keragaman budaya dalam sistem pendidikan memerlukan perubahan paradigma untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung setiap individu. Pendidikan multikultural harus menjadi wahana untuk meresapi nilai-nilai keadilan dan kesetaraan, sehingga setiap siswa merasa diakui dan dihargai. Pentingnya pendidikan multikultural juga tercermin dalam nilai-nilai yang diusung oleh Bhinneka Tunggal Ika. Konsep ini bukan hanya menjadi semboyan nasional
45 tetapi juga panduan untuk menciptakan harmoni dalam keberagaman. Pendidikan multikultural harus menjadi agen perubahan yang mampu menciptakan lingkungan belajar yang mencerminkan prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Pendekatan interkultural, seperti yang dijelaskan oleh (Cushner, 2013), memberikan landasan untuk membangun pemahaman dan menghargai perbedaan antarbudaya. Pendidikan multikultural yang menganut pendekatan interkultural dapat menciptakan siswa yang tidak hanya pandai akademis tetapi juga memiliki keterampilan interpersonal yang kuat dalam berinteraksi dengan beragam latar belakang budaya. Pendidikan multikultural Indonesia ditantang tidak hanya bertujuan untuk menyatukan keberagaman budaya tetapi juga untuk menciptakan generasi yang memiliki pemahaman mendalam, toleransi, dan keterampilan untuk berkolaborasi dalam masyarakat yang semakin global dan kompleks. Melalui pendekatan ini, diharapkan pendidikan multikultural dapat menjadi pilar utama dalam membentuk identitas pendidikan Indonesia yang inklusif dan progresif. 2. Pemahaman Tentang Pendidikan Multikultural. Pemahaman guru dan calon guru mengenai pendidikan multikultural menandai tantangan berat dalam panorama pendidikan Indonesia. Sebagian besar dari mereka mungkin belum sepenuhnya menyadari kompleksitas keragaman budaya dan dampak yang dihasilkannya dalam proses pembelajaran. Kurangnya kesadaran terhadap urgensi pendidikan multikultural dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
46 cara guru memandang dan mendidik siswa mereka. Adanya kecenderungan membawa stereotip dan prasangka terhadap kelompok budaya tertentu dapat menjadi penghambat dalam upaya menciptakan lingkungan belajar yang benar-benar inklusif (Agustian, 2019). Tidak hanya itu, keterbatasan keterampilan interkultural juga menjadi salah satu rintangan utama. Guru dan para calon guru perlu memiliki kemampuan untuk memahami dan merespon kebutuhan beragam siswa, serta memfasilitasi dialog antarbudaya di kelas. Selain itu, ketidakintegrasian konsep multikultural dalam kurikulum menimbulkan risiko pemahaman yang dangkal terhadap keberagaman budaya. Guru perlu mampu mengintegrasikan konsep multikultural dalam materi ajar sehingga siswa dapat benar-benar meresapi nilai-nilai keberagaman sejak dini. Kendala lainnya adalah kurangnya pelatihan dan dukungan dari lembaga pendidikan. Pelatihan yang memadai dan dukungan dari lembaga dapat membantu guru dan calon guru mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Tanpa pelatihan yang memadai, guru mungkin kesulitan mengimplementasikan pendekatan yang mendukung keberagaman dalam kelas (Azzahra et al., 2023). Selain itu, resistensi terhadap perubahan juga menjadi rintangan serius. Beberapa guru mungkin enggan mengubah metode pengajaran atau strategi evaluasi yang sudah ada, terutama jika perubahan tersebut terkait dengan aspek multikultural. Selain faktor tersebut, kurangnya sumber daya multikultural juga mempersulit guru dalam menerapkan
47 pendekatan yang mendukung keberagaman. Materi pengajaran dan sumber daya pendidikan yang tidak mencerminkan keberagaman budaya masyarakat Indonesia dapat menyulitkan guru untuk menciptakan pengalaman belajar yang beragam dan bermakna bagi siswa. Situasi ini memerlukan usaha bersama dari pemerintah, lembaga pendidikan, dan guru sendiri. Pelatihan yang intensif, integrasi konsep multikultural dalam kurikulum, dan pemberian sumber daya yang memadai dapat membantu meningkatkan pemahaman dan penerapan pendidikan multikultural di kalangan guru dan calon guru di Indonesia. 3. Kurikulum Pendidikan Mulitikultural Dalam penerapan pendidikan multikultural di Indonesia, peran kurikulum menjadi elemen sentral. Kurikulum dapat membentuk arah dan implementasi nilainilai multikultural dalam proses pendidikan. Menurut (Rosyada, 2014), keberlanjutan pembahasan mengenai pendidikan multikultural sejalan dengan dinamika demokratisasi yang terus berkembang di Indonesia. Dalam pandangan ini, pendidikan multikultural tidak hanya dilihat sebagai respons terhadap keberagaman budaya, tetapi juga sebagai instrumen untuk memperkuat civil society dan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM). Ini menggarisbawahi pentingnya menciptakan lingkungan pendidikan yang tidak hanya memahami, tetapi juga meresapi nilai-nilai kemanusiaan dan keberagaman budaya. (Limbong et al., 2022) menyoroti bahwa kurikulum, sebagai kombinasi dari berbagai mata pelajaran yang harus diselesaikan oleh peserta didik, memegang peran
48 sentral dalam membentuk landasan pendidikan multikultural. Integrasi kurikulum pendidikan berbasis multikultural menjadi esensial untuk memastikan bahwa nilai-nilai tersebut tidak hanya bersifat terisolasi dalam satu mata pelajaran, melainkan meresap ke dalam berbagai aspek pembelajaran. Dengan kata lain, pengajaran tentang keberagaman budaya tidak boleh terbatas pada satu ruang lingkup pembelajaran saja, tetapi harus menjadi wreadlengkap, menjangkau dan mengenalkan aspek-aspek keberagaman dalam setiap bidang studi. (Fajrussalam et al., 2020) memberikan sorotan pada integrasi pendidikan multikultural dengan mata pelajaran yang diampu oleh pendidik. Dengan eksplisitnya penyediaan pendidikan multikultural dalam kompetensi inti kurikulum, terdapat kebutuhan untuk mengintegrasikannya secara nyata dalam setiap mata pelajaran. Ini mencerminkan prinsip bahwa pembelajaran tentang keberagaman budaya bukanlah tanggung jawab eksklusif satu mata pelajaran atau guru, melainkan merupakan tanggung jawab bersama seluruh bidang studi. Integrasi ini harus dilakukan secara menyeluruh untuk memastikan bahwa setiap aspek pembelajaran mencerminkan nilai-nilai multikultural yang diusung. Dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural dalam kurikulum, proses integrasi harus menyeluruh dan selaras dengan kompetensi inti kurikulum. Hal ini bertujuan untuk menciptakan landasan yang kokoh, memastikan bahwa nilai-nilai multikultural tidak hanya menjadi elemen terpisah dan terbatas pada satu area tertentu, melainkan menjadi bagian yang terpadu dalam seluruh proses pembelajaran. Dengan
49 demikian, pengintegrasian pendidikan multikultural dalam kurikulum dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang holistik dan mendukung pembentukan pemahaman yang lebih dalam tentang nilai-nilai multikultural bagi setiap peserta didik. Integrasi ini menjadi pondasi utama untuk menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga mampu berkompeten dan menghargai keberagaman dalam menghadapi realitas masyarakat yang semakin kompleks dan multikultural. 4. Ketidaksetaraan Fasiltitas Pendidikan Ketidaksetaraan fasilitas pendidikan menjadi tantangan utama dalam upaya implementasi pendidikan multikultural di Indonesia. Tantangan ini mencakup beberapa aspek kritis, mulai dari aksesibilitas hingga kualitas dan kesetaraan dalam penyelenggaraan pendidikan. Untuk memahami dampak ketidaksetaraan fasilitas pendidikan, perlu dieksplorasi lebih lanjut. Dari sisi aksesibilitas, disparitas signifikan tampak antara fasilitas pendidikan di perkotaan dan pedesaan, bahkan di berbagai pulau di Indonesia. Fasilitas pendidikan yang kurang memadai di pedesaan dan daerah terpencil dapat menciptakan hambatan serius dalam akses pendidikan multikultural bagi masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Terbatasnya infrastruktur pendidikan bisa menciptakan kesenjangan dalam kesempatan belajar dan mengakses pengetahuan multikultural, sehingga menghambat pencapaian tujuan pendidikan multikultural yang inklusif (Yansen, 2014). Ketidaksetaraan dalam kualitas fasilitas pendidikan juga menjadi fokus perhatian. Sekolah-sekolah di daerah
50 perkotaan cenderung memiliki fasilitas yang lebih baik dibandingkan sekolah-sekolah di pedesaan. Kondisi ini dapat berdampak langsung pada kualitas pendidikan yang diterima oleh siswa (Sidik et al., 2021). Tidak hanya itu, kesenjangan kualitas fasilitas juga dapat mempengaruhi implementasi pendidikan multikultural, karena kurangnya sumber daya dan fasilitas dapat membatasi kemampuan sekolah untuk menyediakan pengalaman belajar multikultural yang mendalam dan bervariasi. Pentingnya kesetaraan dalam pendidikan menjadi sorotan penting, terutama dalam konteks pendidikan multikultural. Ketidaksetaraan akses pendidikan antar kelompok etnis, agama, dan budaya bisa menjadi hambatan utama dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan multikultural. Hal ini tidak hanya menciptakan ketimpangan dalam pemahaman dan apresiasi terhadap keragaman budaya, tetapi juga dapat memperkuat ketidaksetaraan sosial yang sudah ada dalam masyarakat (Suryana, 2020). Diperlukan upaya yang komprehensif dari pemerintah. Alokasi sumber daya yang adil dan merata perlu menjadi perhatian utama untuk memastikan bahwa semua sekolah, terutama di daerah pedesaan, memiliki fasilitas yang memadai. Selain itu, program-program pendidikan multikultural perlu diintegrasikan dalam kurikulum nasional dan disediakan secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap siswa, tanpa memandang latar belakang geografis atau etnisnya, memiliki kesempatan yang sama untuk belajar tentang dan merayakan keragaman budaya Indonesia. Ketidaksetaraan fasilitas
51 pendidikan bukan hanya menjadi kendala teknis, tetapi juga menjadi isu yang memerlukan perhatian serius dan solusi konkret untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif, merata, dan berkualitas pada penguatan pendidikan multikultural di Indonesia. 5. Streotipe Dan Prasangka Stigma dan prasangka merupkan dua elemen krusial yang menyulitkan pencapaian efektivitas pendidikan multikultural di Indonesia. Kedua aspek ini bukan hanya sekadar konsep abstrak, melainkan memiliki dampak konkret yang dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk, termasuk stereotip berdasarkan ras, etnis, dan budaya. Stereotip tersebut menjadi penghalang serius dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, adil, dan mendukung pertumbuhan setiap individu di tengah keberagaman budaya yang melimpah di Indonesia. Dampak dari stereotip dan prasangka ini sangat signifikan dalam konteks pendidikan multikultural. Salah satu dampaknya adalah terhambatnya terciptanya lingkungan belajar yang inklusif. Siswa yang menjadi korban stereotip rasial atau etnis dapat merasa tidak dihargai dan kurang termotivasi untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran (Masri, 2020). Hal ini berdampak negatif pada dinamika kelas, di mana potensi setiap individu tidak dapat teroptimalkan karena adanya batasan-batasan yang ditimbulkan oleh stereotip tersebut. Selain itu, dampaknya juga terasa pada ketidakadilan dalam perlakuan di dalam kelas. Guru yang terpengaruh oleh prasangka mungkin tidak memberikan
52 perhatian yang sama terhadap semua siswa, sehingga tercipta ketidaksetaraan dalam pendekatan pembelajaran. Hal ini dapat menyulitkan siswa yang berasal dari kelompok minoritas untuk meraih kesempatan dan sumber daya pendidikan dengan optimal, merugikan pertumbuhan akademik dan perkembangan pribadi mereka. Lebih jauh, (Pebriansyah, 2020) melihat dampak stigma dan prasangka ini menciptakan kendala serius dalam mendukung pertumbuhan setiap individu. Siswa yang merasa dicap atau dihakimi berdasarkan stereotip mungkin mengalami penurunan kepercayaan diri dan motivasi, yang pada akhirnya dapat menghambat prestasi akademik mereka. Lingkungan belajar yang seharusnya menjadi tempat pertumbuhan dan pengembangan menjadi terancam karena adanya prasangka dan stereotip yang menghalangi proses tersebut. Sejumlah penelitian telah menyoroti ancaman dari streotipe dan prasangka ini, (Steele and Aronson, 1995) melihat konsep ancaman stereotip, yang mengacu pada risiko terkonfirmasinya stereotip negatif tentang kelompok sosial seseorang. Fenomena ini dapat mempengaruhi kinerja intelektual individu, khususnya dalam lingkungan akademik yang menantang. Dalam konteks pendidikan multikultural, ancaman stereotip dapat melemahkan kepercayaan diri dan prestasi akademik siswa dari berbagai latar belakang. Selanjutnya penelitian (Urbiola et al., 2018) menekankan peran ancaman dari luar kelompok dalam membentuk bias. Adanya persepsi ancaman dari kelompok luar dapat memperburuk stereotip dan
53 prasangka, sehingga menghambat pengembangan perspektif multikultural yang sesungguhnya. Hal ini menggarisbawahi pentingnya mengatasi ketegangan antarkelompok dan meningkatkan pemahaman dan empati di antara kelompok budaya yang berbeda. (Abduloh et al., 2022) menjelaskan tentang urgensi pendidikan multikultural dalam menumbuhkan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia. Mereka menekankan perlunya inisiatif pendidikan yang meningkatkan keterampilan kepemimpinan, kemampuan sosial, dan internalisasi nilai-nilai yang berkaitan dengan persatuan dan keberagaman. Hal ini sejalan dengan gagasan bahwa pendidikan multikultural dapat berfungsi sebagai alat untuk mengurangi stereotip dan prasangka dengan memupuk sikap inklusif dan menghormati latar belakang budaya yang berbeda. Selain itu, studi (Supa et al., 2021) menggarisbawahi pentingnya pemberdayaan anak-anak sebagai warga kosmopolitan yang mampu melakukan kerja sama transnasional. Dengan mengembangkan pendekatan pedagogi yang mendorong literasi media dan kolaborasi lintas budaya, pendidik dapat berupaya menantang hegemoni dan stereotip budaya, sehingga mendorong lingkungan pembelajaran yang lebih inklusif dan multikultural. 6. Perkembangan Teknologi dan Informasi Perkembangan Teknologi dan Informasi (TI) menjadi tantangan signifikan dalam konteks pendidikan multikultural di Indonesia. Perkembangan TI membawa berbagai kemajuan dan manfaat, pengaruhnya juga menciptakan beberapa aspek tantangan yang perlu
54 diatasi agar pendidikan multikultural dapat efektif dan inklusif. Penggunaan teknologi informasi dalam pendidikan juga memunculkan tantangan terkait dengan pengaruh globalisasi, pertentangan nilai-nilai multikultural, dan perubahan pola pikir masyarakat (Sumbulah and Hawari, 2021). Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan teknologi informasi tidak hanya memengaruhi masyarakat perkotaan, tetapi juga masyarakat pedesaan, sehingga dampaknya terhadap pendidikan multikultural dapat dirasakan secara luas. Pertama-tama, aksesibilitas TI tidak merata di seluruh wilayah Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Ketidaksetaraan dalam akses ini dapat menyulitkan implementasi pendidikan multikultural secara merata, karena beberapa siswa mungkin tidak memiliki akses yang sama terhadap teknologi. Hal ini bisa menciptakan kesenjangan pendidikan yang dapat memperburuk disparitas antara kelompok-kelompok budaya atau etnis (Mbato and Sungging, 2022). Selain itu, konten digital yang tidak selalu mencerminkan keberagaman budaya dan latar belakang siswa dapat menjadi tantangan. Kurangnya representasi dan keragaman dalam materi pembelajaran digital dapat menyebabkan ketidakmengertian atau bahkan perasaan eksklusi bagi siswa dari kelompok minoritas. Oleh karena itu, perlu pengembangan dan kurasi konten TI yang lebih inklusif dan memperhatikan keberagaman budaya Indonesia. Tantangan lainnya adalah potensi untuk penyebaran informasi yang tidak akurat atau prejudis melalui platform TI. Dengan mudahnya penyebaran informasi di
55 era digital, adanya konten yang tidak mendukung pendidikan multikultural dapat memperkuat stereotip dan prasangka. Penting untuk membekali siswa dengan keterampilan kritis dalam mengonsumsi dan mengkritik informasi digital agar mereka dapat menyaring informasi yang sesuai dengan nilai-nilai multikultural. Selanjutnya, penggunaan platform pembelajaran online dan teknologi sering kali tidak sesuai dengan konteks budaya lokal. Pendidikan multikultural di Indonesia perlu memastikan bahwa teknologi yang digunakan dapat diintegrasikan dengan konteks budaya setempat agar relevan dan efektif. Adopsi teknologi harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kekhasan setiap kelompok budaya untuk mencegah eksklusi atau alienasi (Hidayat, 2021). Meskipun terdapat tantangan, pengelolaan teknologi dengan bijak dan terintegrasi dalam pendidikan multikultural dapat memberikan peluang untuk mem-perkuat pengajaran dan pembelajaran. Pemanfaatan teknologi dapat mendukung inovasi dalam penyampaian materi yang mencakup keberagaman budaya, memung-kinkan partisipasi siswa dari berbagai latar belakang, dan menciptakan pengalaman belajar yang lebih beragam dan inklusif. Untuk mengatasi tantangan ini, kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan sektor swasta diperlukan. Perlu adanya investasi dalam infrastruktur teknologi untuk memastikan aksesibilitas yang merata. Selain itu, pelatihan bagi pendidik mengenai integrasi TI dalam konteks multikultural serta kurasi konten digital yang mencerminkan keberagaman budaya dapat menjadi
56 langkah-langkah strategis dalam memanfaatkan teknologi untuk mendukung pendidikan multikultural di Indonesia. Tantangan dan hambatan dalam implementasi pendidikan multikultural di Indonesia menciptakan kompleksitas yang memerlukan perhatian dan upaya bersama. Keragaman budaya yang kompleks, menuntut pendekatan yang adil dan inklusif dalam mengintegrasikan keberagaman ke dalam sistem pendidikan. Diperlukan pendekatan holistik yang memahami dan menghormati setiap latar belakang budaya. Stigma dan prasangka yang mungkin muncul dalam bentuk stereotip dapat menghambat terciptanya lingkungan belajar yang inklusif. Penanggulangan stereotip dan prasangka membutuhkan upaya bersama untuk membangun pemahaman, toleransi, dan penghargaan terhadap perbedaan di antara siswa. Perkembangan teknologi dan informasi menjadi tantangan tersendiri, terutama dalam hal aksesibilitas dan representasi budaya dalam konten digital. Penting untuk mengatasi ketidaksetaraan akses dan memastikan konten pendidikan mencerminkan keberagaman budaya Indonesia. Selain itu, keterbatasan pemahaman guru dan calon guru tentang pendidikan multikultural menciptakan hambatan dalam menerapkan pendekatan yang mendukung keberagaman. Pelatihan dan peningkatan kesadaran di kalangan pendidik dapat membantu mengatasi tantangan ini. Dibutuhkan penyesuaian dalam sistem Pendidikan melalui edukasi dan pembentukan pemahaman bahwa pendidikan multikultural adalah langkah menuju kemajuan yang positif. Untuk mengatasi tantangan ini, dibutuhkan perluasan aksesibilitas teknologi, pengembangan kurikulum yang mencerminkan keberagaman budaya, pelatihan intensif untuk guru, serta kampanye kesadaran dan promosi nilai-nilai
57 multikultural di masyarakat. Kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung, inklusif, dan sesuai dengan semangat keberagaman di Indonesia.
58 BAB 6 Literasi Budaya Indonesia LITERASI budaya adalah pemahaman dan kemampuan seseorang untuk mengenali, memahami, dan berpartisipasi dalam berbagai aspek budaya dalam masyarakatnya. Ini mencakup pemahaman tentang seni, musik, sastra, tradisi, bahasa, nilai-nilai, dan normanorma yang membentuk identitas budaya suatu kelompok atau komunitas (Modood, 2013; Alzanaa and Harmawati, 2021). Dalam konteks literasi budaya, seseorang dapat: 1. Memahami Budaya: Ini melibatkan pemahaman tentang sejarah, asal-usul, perkembangan, dan karakteristik budaya tertentu. Seseorang harus mampu mengidentifikasi unsur-unsur penting dari budaya seperti simbol-simbol,
59 ritual, dan mitos yang mungkin ada dalam masyarakat tersebut (May and Sleeter, 2010). 2. Menghargai Keragaman Budaya: Literasi budaya juga melibatkan penghargaan terhadap keragaman budaya yang ada di dunia ini. Ini melibatkan kesadaran dan penghormatan terhadap perbedaan dalam bahasa, agama, etnis, dan tradisi budaya (Alzanaa and Harmawati, 2021; Simatupang and Arifianto, 2022). 3. Berpartisipasi dalam Budaya: Literasi budaya tidak hanya tentang pemahaman, tetapi juga tentang berpartisipasi aktif dalam budaya. Ini bisa berarti berkontribusi pada seni, musik, sastra, atau mempraktikkan tradisi budaya tertentu. Orang yang memiliki literasi budaya yang baik juga dapat berkomunikasi secara efektif dalam bahasa dan konteks budaya yang berbeda (Putranto, 2010) . 4. Kritis terhadap Budaya: Literasi budaya juga melibatkan kemampuan untuk mengkaji dan memahami budaya secara kritis. Ini mencakup kemampuan untuk melihat peran budaya dalam pengambilan keputusan sosial, politik, dan ekonomi, serta mengenali stereotip atau prasangka budaya yang mungkin ada. Pentingnya literasi budaya adalah untuk mempromosikan pemahaman yang lebih baik antara berbagai kelompok budaya dalam masyarakat, mengurangi konflik budaya, dan memungkinkan kolaborasi yang lebih baik dalam dunia yang semakin terhubung. Selain itu, literasi budaya juga membantu individu menjadi lebih terbuka dan inklusif terhadap berbagai perspektif dan pengalaman budaya yang berbeda (Wuryanta, 2018). Literasi budaya adalah kemampuan memahami dan bersikap terhadap kebudayaan sebagai identitas bangsa. Literasi budaya mencakup pemahaman terhadap berbagai aspek
60 kebudayaan (Najmina, 2018; Simatupang and Arifianto, 2022), seperti: 1. Nilai-nilai budaya, yaitu nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, seperti nilai-nilai gotong royong, musyawarah, dan toleransi (Putranto, 2011). 2. Tradisi dan adat istiadat, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat, seperti adat pernikahan, adat kematian, dan adat istiadat lainnya. 3. Seni dan budaya, yaitu karya-karya seni dan budaya yang dihasilkan oleh masyarakat, seperti seni tari, seni musik, seni rupa, dan seni sastra. Literasi budaya penting untuk dikuasai oleh setiap orang, baik sebagai warga negara maupun sebagai bagian dari masyarakat global. Literasi budaya dapat membantu kita untuk memahami dan menghargai keberagaman budaya yang ada di dunia. Selain itu, literasi budaya juga dapat membantu kita untuk membangun identitas diri dan bangsa. Berikut adalah beberapa manfaat literasi budaya: 1. Meningkatkan pemahaman dan apresiasi terhadap budaya Literasi budaya dapat membantu kita untuk memahami berbagai aspek budaya, seperti nilai-nilai, tradisi, dan seni budaya. Dengan pemahaman yang baik terhadap budaya, kita dapat lebih menghargai dan mengapresiasi budaya. 2. Membangun identitas diri dan bangsa Literasi budaya dapat membantu kita untuk memahami identitas diri dan bangsa. Kita dapat mengetahui nilai-nilai, tradisi, dan seni budaya yang menjadi ciri khas bangsa kita. Dengan pemahaman yang baik ter-
61 hadap identitas diri dan bangsa, kita dapat lebih bangga dan cinta terhadap bangsa kita (Naim, 2017; Najmina, 2018; Simatupang and Arifianto, 2022). 3. Meningkatkan toleransi dan pemahaman terhadap keberagaman budaya Literasi budaya dapat membantu kita untuk memahami keberagaman budaya yang ada di dunia. Kita dapat mengetahui nilai-nilai, tradisi, dan seni budaya dari berbagai suku bangsa dan negara. Dengan pemahaman yang baik terhadap keberagaman budaya, kita dapat lebih toleran dan memahami orang-orang dari berbagai budaya. 4. Mengembangkan kreativitas dan inovasi Literasi budaya dapat membantu kita untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi. Kita dapat terinspirasi oleh nilai-nilai, tradisi, dan seni budaya untuk menciptakan karya-karya baru. 5. Mendukung pembangunan ekonomi dan sosial Literasi budaya dapat mendukung pembangunan ekonomi dan sosial. Kita dapat memanfaatkan nilai-nilai budaya untuk mengembangkan potensi ekonomi dan sosial. Berikut adalah beberapa contoh kegiatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan literasi budaya: 1. Mengunjungi museum atau situs budaya 2. Membaca buku atau artikel tentang budaya 3. Mengikuti kegiatan seni dan budaya 4. Berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai budaya
62 5. Dengan meningkatkan literasi budaya, kita dapat menjadi warga negara yang lebih memahami dan menghargai budaya bangsanya, serta lebih menghormati keberagaman budaya yang ada di dunia. Unsur literasi budaya melibatkan pengakuan bahwa literasi budaya adalah konsep yang kompleks dan terus berkembang yang tidak selalu memiliki batasan yang jelas. Beberapa unsur literasi budaya yang perlu dipertimbangkan secara kritis meliputi: 1. Konteks Budaya yang Dinamis: Budaya adalah sesuatu yang selalu berubah dan berkembang. Sebuah budaya tidak stagnan, dan pemahaman tentang budaya suatu kelompok dapat berubah seiring waktu. Oleh karena itu, literasi budaya harus mampu beradaptasi dengan perubahan dalam budaya (Suryanto, 2013). 2. Konstruksi Sosial Budaya: Budaya adalah konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sejarah, politik, ekonomi, dan sosial. Oleh karena itu, literasi budaya perlu mempertimbangkan bagaimana kuasa dan kekuatan memengaruhi pembentukan budaya serta bagaimana budaya itu sendiri memengaruhi dinamika sosial dan politik. 3. Konteks Globalisasi: Dalam era globalisasi, budayabudaya dari berbagai negara dan komunitas semakin saling terkait. Literasi budaya tidak hanya berkaitan dengan pemahaman budaya lokal, tetapi juga dengan bagaimana budaya lokal berinteraksi dengan budaya global. Ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana individu dapat mempertahankan identitas budaya mereka sambil terlibat dalam budaya global (Haynes, Hough and Pilbeam, 2023).
63 4. Isu Kekuasaan dan Ketidaksetaraan: Budaya seringkali berdampak pada isu-isu kekuasaan dan ketidaksetaraan dalam masyarakat. Literasi budaya yang kritis harus mampu mengidentifikasi dan mengkritisi ketidaksetaraan sosial dan politik yang mungkin ada dalam budaya tertentu serta bagaimana budaya tersebut dapat digunakan untuk mempertahankan atau menantang status quo (‘Digitalisasi Masyarakat: Menilik Kekuatan dan Kelemahan Dinamika Era Informasi Digital dan Masyarakat Informasi’, 2013). 5. Pertimbangan Etis: Dalam memahami dan berpartisipasi dalam budaya, individu harus mempertimbangkan pertanyaan etis, terutama ketika ada perbedaan budaya yang signifikan. Ini melibatkan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lain, tanpa melanggar hak asasi manusia atau prinsip-prinsip universal seperti kesetaraan dan keadilan (Faiz, 2017). 6. Dinamika Komunikasi: Literasi budaya juga melibatkan pemahaman tentang bagaimana komunikasi dan bahasa berperan dalam budaya. Ini mencakup pertimbangan tentang bagaimana bahasa dan simbol-simbol budaya dapat memengaruhi pemahaman dan interaksi antarindividu dan kelompok(Wuryantai, 2004). Unsur keterampilan dalam literasi budaya meliputi: 1. Keterampilan memahami budaya, yaitu keterampilan untuk memahami berbagai aspek budaya, seperti nilainilai, tradisi, dan seni budaya. 2. Keterampilan mengapresiasi budaya, yaitu keterampilan untuk menghargai dan mengapresiasi budaya.
64 3. Keterampilan mengkomunikasikan budaya, yaitu keterampilan untuk menyampaikan informasi tentang budaya kepada orang lain. Berikut adalah beberapa penjelasan kritis mengenai unsurunsur literasi budaya: 1. Pengetahuan tentang nilai-nilai budaya Pengetahuan tentang nilai-nilai budaya penting untuk dimiliki oleh setiap orang, baik sebagai warga negara maupun sebagai bagian dari masyarakat global. Nilai-nilai budaya merupakan pedoman hidup yang dapat membantu kita untuk berperilaku yang baik dan beretika. Di Indonesia, terdapat berbagai macam nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat, seperti nilai-nilai gotong royong, musyawarah, dan toleransi. Nilai-nilai tersebut perlu dipahami dan dilestarikan oleh setiap orang Indonesia, agar dapat menjadi pedoman hidup yang baik dan beretika. 2. Pengetahuan tentang tradisi dan adat istiadat Tradisi dan adat istiadat merupakan bagian dari budaya yang perlu dipahami dan dilestarikan. Tradisi dan adat istiadat merupakan warisan budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Di Indonesia, terdapat berbagai macam tradisi dan adat istiadat yang berbeda-beda di setiap daerah. Tradisi dan adat istiadat tersebut perlu dipahami dan dilestarikan, agar dapat menjadi identitas bangsa Indonesia.
65 3. Pengetahuan tentang seni dan budaya Seni dan budaya merupakan bagian dari budaya yang dapat memperkaya kehidupan manusia. Seni dan budaya dapat memberikan hiburan, pendidikan, dan nilai-nilai moral. Di Indonesia, terdapat berbagai macam seni dan budaya yang beragam. Seni dan budaya tersebut perlu dipahami dan dilestarikan, agar dapat menjadi kekayaan bangsa Indonesia. • Keterampilan memahami budaya Keterampilan memahami budaya dapat dilatih dengan berbagai cara, seperti membaca buku atau artikel tentang budaya, mengunjungi museum atau situs budaya, dan mengikuti kegiatan seni dan budaya. Keterampilan memahami budaya penting untuk dimiliki, agar dapat lebih memahami berbagai aspek budaya, seperti nilai-nilai, tradisi, dan seni budaya. 1. Keterampilan mengapresiasi budaya Keterampilan mengapresiasi budaya dapat dilatih dengan cara menghargai dan menghormati budaya lain, serta berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan. Keterampilan mengapresiasi budaya penting untuk dimiliki, agar dapat lebih menghargai dan menghormati keberagaman budaya yang ada di dunia. 2. Keterampilan mengkomunikasikan budaya Keterampilan mengkomunikasikan budaya dapat dilatih dengan cara menulis artikel atau buku tentang budaya, serta berbicara di depan umum tentang budaya.
66 Keterampilan mengkomunikasikan budaya penting untuk dimiliki, agar dapat menyampaikan informasi tentang budaya kepada orang lain. Kesimpulannya, literasi budaya merupakan kemampuan yang penting untuk dimiliki oleh setiap orang, baik sebagai warga negara maupun sebagai bagian dari masyarakat global. Literasi budaya dapat membantu kita untuk memahami dan menghargai budaya, serta meningkatkan toleransi dan pemahaman terhadap keberagaman budaya yang ada di dunia (Crowder, 2013; Modood, 2013). Dengan demikian, literasi budaya yang kritis tidak hanya melibatkan pemahaman budaya dalam konteksnya yang luas, tetapi juga kemampuan untuk mempertimbangkan isu-isu sosial, politik, etis, dan global yang terkait dengan budaya. Ini memungkinkan individu untuk mengembangkan wawasan yang lebih mendalam dan berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik tentang kompleksitas budaya dalam masyarakat modern. Tantangan dalam Meningkatkan Literasi Budaya Indonesia yang Plural Meskipun literasi budaya Indonesia yang plural memiliki makna yang penting, namun masih terdapat beberapa tantangan dalam meningkatkan literasi budaya tersebut. Tantangan-tantangan tersebut antara lain: 1. Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya literasi budaya 2. Banyak masyarakat yang belum menyadari pentingnya literasi budaya. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya sosialisasi tentang literasi budaya. 3. Ketersediaan sumber daya yang terbatas
67 4. Sumber daya yang dibutuhkan untuk meningkatkan literasi budaya, seperti buku, artikel, dan kegiatan budaya, masih terbatas. Hal ini dapat disebabkan oleh keterbatasan anggaran dan tenaga ahli. Masyarakat perlu berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan budaya Masyarakat perlu berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan budaya, seperti kegiatan kesenian, kegiatan adat istiadat, dan kegiatan keagamaan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut secara langsung atau dengan mendukung kegiatan-kegiatan tersebut. Literasi budaya Indonesia yang plural merupakan hal yang penting untuk dikuasai oleh masyarakat Indonesia. Dengan meningkatkan literasi budaya Indonesia yang plural, kita dapat menjaga dan melestarikan kekayaan budaya Indonesia, meningkatkan toleransi dan pemahaman antarbudaya, meningkatkan daya saing bangsa di dunia internasional, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Masyarakat multikultural dan transformasional yang inklusif adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, ras, agama, dan latar belakang budaya yang berinteraksi secara harmonis. Keberagaman ini tidak hanya diterima, tetapi juga dirayakan sebagai sumber kekayaan dan pembelajaran. Masyarakat semacam ini menekankan pada pentingnya dialog dan pertukaran budaya untuk memperkaya pengalaman bersama (Siswoyo, 2013). Dalam masyarakat multikultural yang transformasional, terdapat pengakuan akan kesetaraan dan hak asasi manusia yang universal. Setiap individu, tanpa memandang perbedaan, diberikan kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi. Hal ini menciptakan lingkungan yang kondusif
68 bagi inovasi dan kreativitas, seiring dengan pertumbuhan pemahaman dan toleransi yang lebih besar (May and Sleeter, 2010; Kymlicka, 2012). Dalam konteks ini, transformasional merujuk pada perubahan yang terjadi tidak hanya di tingkat individu tetapi juga secara struktural dalam masyarakat. Hal ini termasuk perubahan dalam sistem hukum, ekonomi, dan sosial yang mempromosikan kesetaraan dan keadilan bagi semua anggota masyarakat. Keberhasilan masyarakat multikultural dan transformasional yang inklusif sangat bergantung pada partisipasi aktif dari semua anggotanya. Ini mencakup keterlibatan dalam dialog sosial, pendidikan, dan kebijakan publik, serta upaya-upaya untuk memahami dan menghargai perspektif yang berbeda. Melalui kerja sama dan keterbukaan, masyarakat semacam ini dapat berkembang menjadi lebih kuat, adil, dan sejahtera (Gozdecka, Ercan and Kmak, 2014).
69 BAB 7 Media Digital dalam Pendidikan SISTEM pendidikan Indonesia mengalami transformasi signifikan dalam menghadapi era globalisasi dan Revolusi Industri 4.0. Pemerintah telah mendorong adopsi teknologi digital melalui inisiatif seperti Gerakan Literasi Digital dan Program Indonesia Pintar, untuk meningkatkan aksesibilitas dan efektivitas pendidikan. Meskipun terdapat kemajuan, tantangan utama melibatkan kesenjangan akses dan kualitas konten digital. Pentingnya pelatihan bagi pendidik dan pembangunan infrastruktur digital yang inklusif diakui sebagai langkah kritis.(Aptika, 2021) Keberlanjutan pendidikan digital juga bergantung pada pemberdayaan siswa dan partisipasi aktif orang tua. Untuk
70 mewujudkan masa depan pendidikan terhubung, Indonesia perlu menumbuhkan budaya inovasi dan kolaborasi melibatkan pemerintah, bisnis, dan lembaga pendidikan. (Akhmad Sudirman, 2023) Dengan langkah-langkah kreatif seperti platform pembelajaran interaktif, realitas virtual, dan aplikasi pembelajaran, Indonesia dapat menjadi pelopor pendidikan digital yang inklusif. Kolaborasi berkelanjutan dan pendekatan inovatif dapat membekali generasi mendatang dengan keterampilan dan kepercayaan diri untuk mengatasi tantangan global. Dengan mengatasi hambatan dan mengadopsi kebijakan inklusif, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pemimpin dalam menciptakan lanskap pendidikan era digital. A. Dampak Media Digital terhadap Transformasi Pendidikan Media digital telah mengubah paradigma pendidikan secara signifikan dengan dampak positif pada aksesibilitas, metode pengajaran, dan pengalaman belajar. Pemanfaatan platform online dan sumber daya digital meningkatkan akses pendidikan, mengatasi keterbatasan geografis dan ekonomi. (Utomo, 2023) Teknik instruksional yang interaktif, seperti simulasi dan permainan instruksional, meningkatkan keterlibatan siswa dan menciptakan lingkungan belajar yang dinamis. Media digital juga memungkinkan pembelajaran yang dipersonalisasi melalui algoritma cerdas, menyesuaikan sumber daya sesuai kebutuhan siswa. Kolaborasi antara siswa dan guru ditingkatkan melalui platform online, mendukung proyek kolaboratif dan pertukaran ide. Proses penilaian menjadi lebih dinamis dengan umpan balik langsung dari pendidik dan analitik data.
71 Integrasi teknologi VR dan AR meningkatkan pengalaman belajar dengan memungkinkan eksplorasi dunia digital. Secara keseluruhan, media digital menciptakan lingkungan inklusif, interaktif, dan relevan, membawa pendidikan ke masa depan yang ditandai oleh peningkatan adaptabilitas dan relevansi. 1. Latar Belakang Sejarah Perjalanan media digital dalam pendidikan Indonesia menggambarkan evolusi dari penggunaan perangkat keras hingga transisi ke pemanfaatan internet dan platform online. Pemerintah, melalui Program Pendidikan Teknologi Informasi dan Komunikasi, telah memimpin upaya meningkatkan literasi digital dan infrastruktur teknologi di lembaga pendidikan. Munculnya platform pembelajaran online pada 2010- an, didukung oleh Gerakan Literasi Digital dan program Indonesia Pintar, mencerminkan tonggak penting dalam pengintegrasian media digital dalam kurikulum. Respons terhadap pandemi COVID-19 mempercepat transformasi digital, dengan pemerintah dan lembaga pendidikan mengadopsi pembelajaran online sebagai solusi alternatif. (Susilo et al., 2022) Meskipun progres positif, tantangan berlanjut terkait dengan ketidaksetaraan akses dan literasi digital, terutama di wilayah terpencil. Lintasan sejarah ini mencerminkan proses dinamis yang membutuhkan perhatian terus-menerus untuk mencapai pendidikan yang adil dan komprehensif di era digital saat ini. Perjalanan ini menggambarkan sejumlah hambatan dan prospek yang memerlukan perhatian, tetapi juga menyoroti potensi untuk mencapai lanskap
72 pendidikan yang lebih inklusif dan kompetitif di masa depan. 2. Dampak Kemajuan Teknologi Kemajuan pesat dalam teknologi informasi, seperti internet dan perangkat pintar, telah mengubah paradigma pendidikan. Aksesibilitas pendidikan meningkat melalui platform pembelajaran online dan sumber daya digital, memungkinkan pengalaman belajar yang inklusif dan ekonomis. Media digital juga menghadirkan pembelajaran interaktif, melibatkan siswa melalui simulasi dan permainan edukatif, meningkatkan kualitas pengalaman belajar.(Messaris, Paul and Humphreys, 2007) Teknologi memungkinkan penyesuaian pembelajaran dengan menggunakan algoritma cerdas, memberikan pengalaman yang disesuaikan dengan kebutuhan dan preferensi siswa. Kolaborasi antara mahasiswa dan profesor ditingkatkan melalui platform online, memfasilitasi proyek berbasis kolaborasi dan komunikasi yang inklusif. Proses penilaian menjadi dinamis dengan umpan balik real-time dan analisis data. Penggunaan teknologi VR dan AR memperkaya pengalaman pembelajaran dengan interaksi otentik dan integrasi informasi tambahan dalam lingkungan fisik. Meskipun dampak positifnya, tantangan seperti kesenjangan akses dan literasi digital perlu diatasi agar semua siswa dapat merasakan manfaat dari evolusi ini. Keseluruhan, teknologi media digital membawa paradigma baru yang dinamis, keterbukaan, dan inklusivitas dalam dunia pendidikan.
73 B. Paradigma Pendidikan yang Berkembang Paradigma pendidikan saat ini, dipengaruhi oleh kemajuan media digital, menekankan inklusivitas, penyesuaian, dan kolaborasi. Aksesibilitas pendidikan diperluas melalui platform online, mengatasi hambatan geografis dan ekonomi. Penyesuaian pembelajaran, didukung oleh teknologi, memungkinkan kurikulum dan metode pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan dan kecepatan belajar individu. Siswa diberikan otonomi dalam mengelola pembelajaran mereka, memilih pendekatan dan kecepatan yang sesuai. Pendidikan kolaboratif ditekankan melalui platform online, memungkinkan pertukaran ide dan pembelajaran dari komunitas global. Peran pendidik melibatkan lebih dari sekadar penyampaian informasi, mereka memfasilitasi eksplorasi siswa, memberikan umpan balik konstruktif, dan membimbing akses sumber daya digital. Penggabungan teknologi VR dan AR memperkaya pengalaman pembelajaran dengan memberikan paparan langsung terhadap konsep abstrak dan interaksi dengan elemen virtual. Secara keseluruhan, paradigma ini menciptakan kerangka kerja pendidikan yang inklusif, individualisasi, dan berorientasi pada kolaborasi, mencerminkan kebutuhan masyarakat yang semakin terhubung dan kompleks di era digital.(Fr & Ohlich, n.d.) 1. Kustomisasi Pengalaman Belajar Media digital memungkinkan kustomisasi pengalaman pendidikan melalui adaptasi kurikulum, metode pembelajaran, dan penilaian. Algoritme cerdas merancang rencana pembelajaran yang dipersonalisasi, menyesuaikan konten dan kesulitan materi. Fleksibilitas teknik pembelajaran memungkinkan siswa memilih metode
74 sesuai preferensi, sementara kustomisasi berbasis proyek memberikan peluang penelitian lebih dalam. Penilaian personalisasi memberikan umpan balik fokus, memungkinkan pemahaman yang lebih baik. Kesempatan ini memfasilitasi pengembangan keterampilan sesuai minat dan karier, menciptakan pendidikan inklusif dan responsif. 2. Pembelajaran Kolaboratif Pembelajaran kolaboratif di era media digital memfasilitasi kerja sama siswa tanpa batasan geografis atau waktu. Platform online menyediakan alat kolaborasi seperti papan diskusi dan grup proyek, meningkatkan komunikasi siswa-profesor dan memajukan ide secara kolektif. Ini tidak hanya meningkatkan keterampilan interpersonal siswa tetapi juga mencerminkan dinamika dunia kerja modern. Teknologi VR dan AR juga meningkatkan pengalaman kolaboratif. Pentingnya pendekatan ini semakin terlihat selama pandemi COVID19, mendorong adaptasi cepat ke platform kolaboratif untuk memastikan kelangsungan pembelajaran. Perkembangan teknologi akan terus membentuk pendidikan, mendorong inklusivitas dan relevansi global. C. Pengaruh Media Digital di Berbagai Tingkat Pendidikan Media digital memiliki dampak signifikan di berbagai tingkatan pendidikan. Pada tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Sekolah Dasar (SD), media digital meningkatkan keterlibatan siswa melalui aplikasi interaktif dan permainan edukatif. Di tingkat pendidikan menengah, sumber daya digital meningkatkan kurikulum, sementara integrasi media sosial memfasilitasi keterlibatan siswa.
75 Pendidikan tinggi mendapatkan akses global melalui publikasi akademik digital dan teknologi konferensi video. Pendidikan profesional ditingkatkan melalui pelatihan online dan sumber daya digital. Pendidikan online semakin diterima, memungkinkan pembelajaran jarak jauh di seluruh dunia. Meskipun manfaatnya, tantangan literasi digital dan kesenjangan akses tetap relevan. 1. Pentingnya Pendidikan Dasar dan Menengah Pendidikan dasar dan menengah, sebagai tahap penting dalam pembentukan individu, menyediakan landasan kuat untuk pertumbuhan kognitif dan pengembangan keterampilan hidup. Di sini, siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan akademis tetapi juga keterampilan kolaborasi, berpikir kritis, dan komunikasi. Fase ini menekankan pengembangan potensi unik siswa, persiapan untuk masa depan pendidikan atau karir. Selain itu, pendidikan di tingkat ini juga berperan dalam membentuk nilai dan moral. Pentingnya kesetaraan dan aksesibilitas dalam sistem pendidikan dasar dan menengah menciptakan dasar untuk kemajuan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan. Ini adalah investasi strategis untuk masa depan yang lebih cerah. 2. Pentingnya Pendidikan Tinggi Pendidikan tinggi mengalami transformasi melalui integrasi media digital seperti kursus online dan penelitian kolaboratif. Fungsi kunci pendidikan tinggi melibatkan pengembangan profesional, inovasi, dan penelitian. Perguruan tinggi juga mendukung pengembangan keterampilan lunak, pemimpin masa depan, dan meningkatkan aksesibilitas pendidikan. Peningkatan daya saing global dicapai melalui lulusan
76 yang berkompeten. Selain itu, pendidikan tinggi menekankan pengembangan karakter, tanggung jawab sosial, dan kontribusi terhadap kemajuan masyarakat. Secara keseluruhan, peran pendidikan tinggi melampaui pemberian gelar, menciptakan individu yang siap menghadapi kompleksitas masyarakat kontemporer. 3. Pengembangan Profesional Dalam pelatihan profesional, media digital memainkan peran utama melalui kursus online dan webinar, memungkinkan pengembangan keterampilan dan peningkatan kinerja. Pengembangan profesional melibatkan upaya berkelanjutan untuk meningkatkan kompetensi dan keahlian individu, dengan fokus pada keterampilan khusus pekerjaan. Ini mencakup akuisisi kemahiran baru, pengembangan keahlian dalam bidang tertentu, dan pemahaman terhadap perkembangan industri. Dampaknya tidak hanya pada kinerja individu, tetapi juga pada manfaat organisasi, termasuk peningkatan produksi dan keunggulan kompetitif. Pertumbuhan profesional juga meningkatkan motivasi dan kesejahteraan psikologis di tempat kerja, sambil mempersiapkan individu menghadapi perubahan. D. Kesulitan yang terkait dengan integrasi media digital dalam konteks pendidikan Integrasi media digital dalam pendidikan menghadapi tantangan, termasuk kesenjangan akses, kurangnya pelatihan guru, dan ketidaksesuaian dengan kurikulum. Keamanan dan privasi data siswa menjadi prihatin, sementara dampak kesehatan mental dan perilaku perlu diperhatikan. Evaluasi pembelajaran digital dan perubahan budaya pendidikan juga menantang. Mengatasi hambatan ini memerlukan investasi
77 dalam pelatihan, perlindungan data, penyesuaian kurikulum, dan pendekatan yang bijaksana terhadap waktu di depan layar. Solusi holistik diperlukan untuk memastikan integrasi media digital bermanfaat dan inklusif dalam pendidikan. 3. Kesenjangan dalam Kemajuan Teknologi Kesenjangan dalam kemajuan teknologi menciptakan tantangan etika dan kesetaraan. Faktor-faktor seperti infrastruktur terbatas, ketidaksetaraan keterampilan digital, dan kurangnya sumber daya pendidikan berkontribusi pada kesenjangan tersebut. Globalisasi ekonomi digital juga dapat memperburuk ketidaksetaraan ekonomi. Perlunya literasi digital dan pendidikan teknologi yang merata menjadi kunci mengatasi kesenjangan. Dukungan keuangan dan infrastruktur yang memadai diperlukan untuk memastikan inovasi teknologi yang merata di seluruh dunia. Penanganan masalah keamanan siber dan pertimbangan etika juga esensial. Kolaborasi lintas-sektor diperlukan untuk mencapai inklusivitas teknologi yang sejati. 4. Memastikan Keamanan dan Privasi Penting bagi lembaga pendidikan untuk menjaga keamanan dan privasi data siswa di era kontemporer. Langkah-langkah kunci termasuk penerapan enkripsi data, kepatuhan terhadap undang-undang privasi, pendidikan dan kesadaran pengguna, manajemen akses pengguna, audit keamanan teratur, penggunaan perangkat lunak keamanan, transparansi privasi, pengembangan kode yang aman, dan pertimbangan keamanan fisik. Dengan langkah-langkah ini, lembaga dapat menciptakan lingkungan yang aman dan membangun kepercayaan. Konsistensi dan kerjasama yang berke-
78 lanjutan menjadi kunci untuk mengatasi risiko ancaman keamanan yang terus berkembang. E. Potensi Kemajuan dan Kebaruan Media digital memungkinkan akses lebih luas, penyesuaian pengalaman pendidikan, dan penerapan pendekatan instruksional inovatif. Keberadaannya memfasilitasi pembelajaran tanpa batas geografis dan memungkinkan pengalaman belajar yang disesuaikan. Analitika teknologi mendukung pemantauan kemajuan dan umpan balik yang tepat waktu. Integrasi elemen interaktif, simulasi, dan permainan edukatif menciptakan lingkungan belajar dinamis. Keterampilan digital yang ditekankan dalam kurikulum menciptakan persiapan yang lebih baik untuk ekonomi modern. Meskipun potensi positifnya, tantangan seperti peningkatan keterampilan guru dan keamanan digital harus diatasi. Transformasi ini, jika dielola dengan bijak, akan menghasilkan siswa yang mahir, inovatif, dan siap menghadapi masa depan. 1. Pengembangan Platform Pembelajaran Munculnya platform pembelajaran interaktif, adaptif, dan berbasis kecerdasan buatan telah membuka peluang besar dalam meningkatkan pengalaman belajar. Platform ini memungkinkan aksesibilitas dan fleksibilitas yang lebih besar, memfasilitasi belajar seumur hidup tanpa batasan geografis. Kemampuan personalisasi yang ditawarkan oleh teknologi analitik memungkinkan pendidik menyelaraskan materi dengan kebutuhan unik setiap siswa. Inovasi dalam metodologi pengajaran, seperti penggunaan permainan dan simulasi, mendorong keterlibatan siswa.
79 Dalam konteks ekonomi digital, pentingnya keterampilan digital menekankan perlunya platform pembelajaran fokus pada pengembangan kemampuan teknis dan literasi digital. Namun, tantangan seperti pelatihan guru, aspek keamanan data, dan pemastian akses yang adil perlu diatasi. Dengan mengatasi kendala ini, perkembangan platform pembelajaran memiliki potensi untuk merevolusi pendidikan, membentuk individu yang mahir dan siap menghadapi masa depan. 2. Pemanfaatan Realitas Virtual (VR) dan Realitas Tertambah (AR) Integrasi teknologi Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR) memperkaya pengalaman pendidikan melalui lingkungan belajar yang imersif dan simulasi kehidupan nyata. VR menciptakan simulasi kontekstual yang memungkinkan siswa mengatasi situasi sulit, seperti eksplorasi bumi. Di sisi lain, AR memperkaya dunia fisik dengan menyajikan data tambahan, seperti model 3D di atas buku pelajaran. Dalam konteks pelatihan profesional, VR digunakan untuk simulasi skenario berbahaya, sementara AR menciptakan pengalaman belajar interaktif di ruang kelas. Meskipun tantangan seperti biaya dan pelatihan guru perlu diatasi, teknologi ini berpotensi merevolusi pendidikan dengan dinamisme, interaktivitas, dan keterlibatan yang ditingkatkan. 3. Studi Pengembangan Aplikasi Penelitian dan pengembangan aplikasi pendidikan yang inovatif dan disesuaikan dengan kebutuhan siswa dapat meningkatkan keterlibatan dan efektivitas pembelajaran. Studi mendalam tentang desain antarmuka peng-
80 guna, integrasi fungsi baru, dan metode pengajaran efisien membentuk dasar untuk menciptakan lingkungan belajar yang dinamis. Penelitian juga harus menekankan penyelarasan dengan kurikulum dan penilaian dampaknya terhadap kinerja siswa. Dengan memahami dampak teknologi pada pendidikan, penelitian ini tidak hanya memperbaiki aplikasi tetapi juga mengarah pada pemahaman yang lebih baik tentang peran teknologi dalam masa depan pembelajaran. ringkas dalam 100 kata Sebagai kesimpulan, pembentukan fondasi yang kuat untuk masa depan pendidikan sangatlah penting. Pengantar ini menyoroti dampak transformasional media digital pada pendidikan, menciptakan prospek untuk masa depan inklusif dan berdaya saing. Meskipun ada kendala, kolaborasi pemangku kepentingan dapat membentuk masa depan pendidikan yang menjanjikan. Fondasi media digital mencakup penelitian, pengembangan aplikasi, peningkatan kapasitas guru, dan penyesuaian kurikulum. Penelitian dan pengembangan aplikasi penting untuk memahami kebutuhan siswa dan guru, sementara pembangunan kompetensi guru melibatkan pelatihan berkelanjutan. Integrasi media digital ke dalam kurikulum memerlukan adaptasi metode instruksional. Proses ini, dengan fokus pada hasil praktis, memungkinkan pendidikan untuk menjadi kekuatan mendorong kemajuan dan kesiapan di era teknologi. ringkas dalam 100 kata
81 BAB 8 Relevansi Nilai Budaya Lokal Hukum Adat Larvul Ngabal dalam Pendidikan Multikultural BANGSA Indonesia dikenal sebagai bangsa yang multi etnik, multikultural, multi aksara, dan multi bahasa yang mencapai ratusan bahkan ribuan dengan segala kekayaan pemikiran, sikap dan perilaku yang tertuang dalam berbagai wujud kebudayaan. Desentralisasi kebudayaan diyakini tidak hanya akan memberikan ruang terhadap sentra-sentra kebudayaan yang tersebar luas di kepulauan nusantara untuk tumbuh subur, namun juga akan menumbuhkan kreatifitas bangsa. Hal ini pada gilirannya akan menciptakan ketahanan budaya dari gempuran globalisasi. Nilai-nilai budaya yang ada harus dilihat sebagai bagian dari masa depan, dikembangkan secara kreatif dan dalam suatu proses perubahan eksistensial.
82 Konsep multikulturalisme merupakan konsep kehidupan berbangsa dan bernegara, serta pengakuan terhadap eksistensi nilai-nilai demokrasi. Konsep tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman, melahirkan suatu pola atau pemikiran baru yang dapat memperkokoh dan mempersatukan serta mengakui eksistensi keragaman budaya. Konsep ini pada gilirannya mesti diejawantahkan dalam praksis melalui pendidikan sebagai bentuk penanaman nilai. Pendidikan multikultural merupakan suatu bentuk penanaman kesadaran hidup dalam kebudayaan yang beragam. Pada prinsipnya, pendidikan multikultural ini dapat dilaksanakan pada berbagai lingkungan, baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat, sehingga kesadaran akan keberagaman akan dipahami secara unih dan menyeluruh. Multikultural dipahami sebagai kehidupan yang berdekatan antara satu atau beberapa budaya. Dengan kata lain, multikultural dikatakan sebagai keberagaman budaya. Keberagaman budaya yang sebagai hasil pemikiran dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Keberagaman dalam konteks multikultural harus dipahami sebagai diferensiasi sosial secara horizontal. Artinya, semua budaya memiliki nilai luhur masing-masing dalam tata laksananya. Dengan demikian, perbedaan dalam keberagaman tersebut tidak membicarakan eksistensi budaya satu daerah terhadap daerah yang lain, karena kebudayaan masing-masing daerah pada dasarnya adalah komposisi dari kebudayaan masional Indonesia yang dijamin pemerintah keberadaannya. Seperti yang tertuang dalam Pasal 32 UUD 1945 bahwa "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia". Pada dasarnya masing-masing kebudayaan memiliki nilai kearifan lokal yang memiliki kesamaan makna dalam konteks kebudayaan nasional. Suku Kei adalah salah satu suku yang ada di
83 Propinsi Maluku, yang dikenal sebagai salah satu komunitas masyarakat adat yang masih kuat memegang teguh hukum adat mereka. Suku Kei memiliki Hukum Adat Larwul Ngabal yang memiliki banyak nilai kearifan lokal serta memiliki kesamaan makna dalam konteks kebudayaan nasional. Sebagai contoh, budaya kehidupan bertoleransi yang menjadi falsafah kehidupan masyarakat Masyarakat Kei yang dikenal dalam filisofi "Ain ni Ain" yang menekankan pada aspek tentang kebersamaan hidup antar sesama atas dasar saling menghormati dan menghargai untuk membangun sinergitas lintas agama, lintas budaya bersama semua pihak untuk menciptakan menciptakan suasana yang damai dan saling menghargai. Untuk memberi konteks maka saya akan membeikan sedikit gambaran tenang Suku Kei yang mendiami Kepualaun Kei. Gugusan kepulauan Kei, yang oleh penduduk setempat disebut Nuhu Evav (Kepulauan Evav) atau Tanat Evav (Negeri Evav), merupakan bagian administratif daerah kekuasaan Provinsi Maluku. Kepulauan ini terletak di selatan jazirah kepala Burung, Irian Jaya (Papua), di sebelah barat Kepulauan Aru, dan di timur laut Kepulauan Tanimbar. Kepulauan Kei terdiri dari beberapa pulau, diantaranya Kei Besar (Nuhu Yuut atau Nusteen), Kei Kecil (Nuhu Roa atau Nusyanat), Tanimbar Kei (Tnebar Evav), Kei Dulah (Du), Dulah Laut (Du Roa), Kuur, Taam, dan Tayandu (Tahayad). Selain itu, masih terdapat sejumlah pulau kecil yang tidak berpenghuni. Total luas area daratan Kepulauan Kei adalah 1438 km² (555 mil²). Berdasarkan sejarah lisan atau Tom Tad–dalam bahasa Kei, masyarakat Kei mula-mula adalah ren-ren mereka adalah penduduk asli Kei–pemilik Nuhu Evav, yang kemudian ‚berjumpa‛ dengan para pendatang yang dikategorikan sebagai mel-mel. Konsensus awal antara dua kelompok inilah yang kemudian membentuk kebudayaan masyarakat asli Kei, yakni,
84 kekerabatan Utan Lor sebagai kehidupan sosial budaya yang khas di Kei, tatanan pemerintahan tradisional, serta Hukum Adat Larvul Ngabal mencapai bentuk akhir kurang lebih pada abad ke16 (Pattikayhatu, dkk, 1993; Kudubun, 2012). Secara umum, masyarakat Kei terklasifikasi dalam tiga persekutuan adat, yakni Lor Siw/ Ur Siw (Siw Ifaak); Lor Lim (Lim Itel); dan Lor Labay. Secara etimologis Lor berarti kumpulan orang yang mendiami wilayah/Ratschap atau kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan faktor geneologis dan faktor teritorial, sedangkan Siw dan Lim menunjuk pada angka 9 dan 5 yang dipahami sebagai lambang institusi persekutuan adat. Artinya kuantitas massa yang banyak terorganisir dalam institusi tersebut, yang diikat dalam hukum adat Larvul Ngabal (Ter Haar, 1953; Pattikayhatu, 1993). Hukum adat Larvul Ngabal merupakan gabungan dari dua hukum adat, yaitu hukum Larvul yang ditetapkan di desa Elaar, Kei Kecil oleh sembilan orang Rat (raja) yang kemudian dikenal dengan nama Ur Siw/Lor Siw, dan hukum adat Ngabal ditetapkan di desa Lerohoilim, Kei Besar oleh lima orang Rat (raja) yang kemudian bernama persekutuan Lor Lim. Selanjutnya, akibat proses perang, penahklukan dan perluasan wilayah kekuasaan, kedua persekutuan masyarakat adat ini kemudian bersepakat untuk berdamai dengan menggabungkan kedua hukum adat tersebut menjadi Larvul Ngabal (Kudubun, 2012). A. Memahami Multikulturalisme Menurut Azyumardi (2005) secara sederhana multikulturalisme bisa dipahami sebagai pengakuan, bahwa sebuah Negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Atau dapat pula diartikan sebagai ‚kepercayaan‛ kepada normalitas dan penerimaan keragaman. Sedangkan menurut H.A.R Tilaar (2004) pengertian tentang multikulturalisme
85 setidaknya mengandung dua pengertian yang sangat kompleks yaitu ‚multi‛ yang berarti plural, ‚kulturalisme‛ berisi pengertian kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan berarti seekedar pengakuan akan adanya hal-hal yang berjenis, namun pengakuan yang memiliki implikasiimplikasi politis, sosial dan ekonomi. Oleh sebab itu pluralisme bersangkutan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Selain itu, Tilaar (2004) juga menjelaskan bahwa multikulturalisme juga berkaitan dengan epistemologi, namun pengertian perkembangan ilmu pengetahuan di dalam kaitannya dengan kehidupan sosial. Multikultural secara sederhana dapat dikatakan pengakuan atas pluralisme budaya. Pluralisme budaya bukanlah suatu yang ‛given‛ tetapi merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai di dalam suatu komunitas. Dalam realitas sosial strategi multikulturalis juga memerlukan citra positif namun tidak memberikan persyaratan bagi asimilasi. Namun, suku bangsa diyakini memiliki status setara, memiliki hak untuk menjaga warisan budaya mereka. Chris Barker (2000) menjelaskan multikulturalisme bertujuan untuk ‚merayakan perbedaan‛. Dalam pendidikan misalnya pengajaran multi-agama, pertunjukan ritual dan promosi makanan etnis menjadi aspek kebijakan pendidikan. Kemudian Chris Barker pada tahap perkembangan selanjutnya paham multikultural telah menampung berbagai jenis pemikiran baru sebagaimana berikut: 1. Pengaruh studi kultural. Studi cultural (cultural studies) antara lain melihat secara kritis masalah-masalah esensial di dalam kebudayaan kontemporer seperti identitas kelompok, distribusi kekuasaan di dalam masyarakat yang diskriminatif, peranan kelompok-
86 kelompok masyarakat yang termarginalisasi, feminisme, dan masalah-masalah kontemporer seperti toleransi antarkelompok dan agama. 2. Poskolonialisme. Pemikiran poskolonialisme melihat kembali hubungan antara eks penjajah dengan daerah jajahannya yang telah meninggalkan banyak stigma yang biasanya merendahkan kaum terjajah. Diantara pandangan poskolonialisme adalah ingin mengungkap kembali nilai-nilai indigenous di dalam budaya sendiri dan berupaya untuk melahirkan kembali kebanggaan terhadap budaya asing. 3. Globalisasi. Globalisasi telah melahirkan budaya global yang memiskinkan potensi-potensi budaya asli. Revitalisasi budaya local adalah salah satu upaya menentang globalisasi yang mengarah kepada monokultural. 4. Feminisme dan postfeminisme. Gerakan feminisme yang semulanya berupaya untuk mencari kesejahteraan antara perempuan dan laki-laki kini meningkat ke arah kemitraan antara laki-laki dan perempuan. Kaum perempuan juga menuntut sebagai mitra yang sejajar dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan dalam masyarakat. 5. Teori ekonomi politik neo-Marxisme. Teori ini terutama memfokuskan kepada struktur kekuasaan di dalam suatu masyarakat yang didominasi oleh kelompok kuat. Teori neo-Marxisme dari Antonio Gramsci mengemukakan mengenai hegemoni yang dapat dijalankan tanpa revolusi oleh intelektual organis yang dapat mengubah suatu masyarakat. 6. Post strukturalisme. Pandangan ini mengemukakan mengenai perlunya dekonstruksi dan rekonstruksi
87 masyarakat yang telah mempunyai struktur struktur yang telah mapan yang biasanya hanya untuk melanggengkan struktur kekuasaan yang ada. Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat seperti Indonesia, maka menurut Malik Fajar (2016) pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan. Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar. Multikultural secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan, bahwa sebuah negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya, tidak ada satu negara pun yang mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal. Dengan demikian, multikultural merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak bagi setiap negara atau bangsa di dunia ini. B. Pentingnya Multikulturalisme dalam Pendidikan Sebagai sebuah cara pandang sekaligus gaya hidup, multikulturalisme menjadi gagasan yang cukup kontekstual dengan realitas masyarakat kontemporer saat ini. Prinsip mendasar tentang kesetaraan, keadilan, keterbukaan, pengakuan terhadap perbedaan adalah prinsip nilai yang dibutuhkan manusia di tengah himpitan budaya global. Oleh karena itu, sebagai sebuah gerakan budaya, multikulturalisme adalah bagian integral dalam berbagai sistem budaya dalam masyarakat yang salah satunya dalam pendidikan, yaitu melalui pendidikan yang berwawasan multikultural. Pendidikan dengan wawasan multikultural dalam rumusan
88 James A. Bank (2021) adalah ‚konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatankesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara‛. Jenis pendidikan ini menentang bentuk rasisme dan segala bentuk diskriminasi di sekolah, masyarakat dengan menerima serta memahami pluralitas (etnik, ras, bahasa, agama, ekonomi, gender dan lain sebagainya) yang terefleksikan diantara peserta didik, komunitas mereka, dan guru-guru. Menurutnya, pendidikan multikultural ini harus melekat dalam kurikulum dan strategi pengajaran, termasuk juga dalam setiap interaksi yang dilakukan diantara para guru, murid dan keluarga serta keseluruhan suasana belajar mengajar. Karena jenis pendidikan ini merupakan pedagogi kritis, refleksi dan menjadi basis aksi perubahan dalam masyarakat, pendidikan multikultural mengembangkan prisip-prinsip demokrasi dalam berkeadilan sosial. Sementara itu, Bikhu Parekh (2021, )mendefinisikan pendidikan multikultur sebagai ‚an education in freedom, both in the sense of freedom from ethnocentric prejudices and biases, and freedom to explore and learn from other cultures and perpectives‛. Dari beberapa dua defini diatas, hal yang harus digarisbawahi dari diskursus multikulturalisme dalam pendidikan adalah identitas, keterbukaan, diversitas budaya dan transformasi sosial. Identitas sebagai salah satu element dalam pendidikan mengandaikan bahwa peserta didik dan guru merupakan satu individu atau kelompok yang merepresentasikan satu kultur tertentu dalam masyarakat. Identitas pada dasarnya inheren
89 dengan sikap pribadi ataupun kelompok masyarakat, karena dengan identitas tersebutlah, mereka berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain, termasuk pula dalam interaksi antar budaya yang berbeda. Dengan demikian dalam pendidikan multikultur, identitas-identitas tersebut diasah melalui interaksi, baik internal budaya (self critic) maupun eksternal budaya. Oleh karena itu, identitas lokal atau budaya lokal merupakan muatan yang harus ada dalam pendidikan multikultur. H.A.R. Tilaar (2004) menggaris bawahi bahwa model pendidikan yang dibutuhkan di Indonesia harus memperhatikan enam hal, yaitu, pertama, pendidikan multikultural haruslah berdismensi ‚right to culture‛ dan identitas lokal. Kedua, kebudayaan Indonesia yang menjadi, artinya kebudayaan Indonesia merupakan weltanshauung yang terus berproses dan merupakan bagian integral dari proses kebudayaan mikro. Oleh karena itu, perlu sekali untuk mengoptimalisasikan budaya lokal yang beriringan dengan apresiasi terhadap budaya nasional. Ketiga, pendidikan multikultural normatif yaitu model pendidikan yang memperkuat identitas nasional yang terus menjadi tanpa harus menghilangkan identitas budaya lokal yang ada. Keempat, pendidikan multikultural merupakan suatu rekonstruksi sosial, artinya pendidikan multikultural tidak boleh terjebak pada xenophobia, fanatisme dan fundamentalisme, baik etnik, suku, ataupun agama. Kelima, pendidikan multikultural merupakan pedagogic pemberdayaan (pedagogy of empowerment) dan pedagogik kesetaraan dalam kebudayaan yang beragam (pedagogy of equity). Pedagogik pembedayaan pertama-tama berarti, seseorang diajak mengenal budayanya sendiri dan selanjutnya digunakan untuk mengembangkan budaya
90 Indonesia di dalam bingkai negara-bangsa Indonesia. Dalam upaya tersebut diperlukan suatu pedagogik kesetaraan antarindividu, antar suku, antar agama dan beragam perbedaan yang ada. Keenam, pendidikan multikultural bertujuan mewujudkan visi Indonesia masa depan serta etika bangsa. Pendidikan ini perlu dilakukan untuk mengembangkan prinsip-prinsip etis (moral) masyarakat Indonesia yang dipahami oleh keseluruhan komponen sosial budaya yang plural. C. Implementasi nilai-Budaya Ain Ni Ain dalam Pendidikan Multikulturalisme 1. Konteks Ain ni Ain Dalam tradisi masyarakat Kei dikenak istilah Ratschap. Istilah Ratschap ini digunakan oleh Belanda untuk menyebut wilayah kekuasaan setiap raja di Kei. Saat ini, persekutuan adat Lor Lim berkembang menjadi sepuluh Ratschap, dan persekutuan adat Lor Siw-Ur Siw juga sepuluh Ratschap (Kudubun, 2012). Itu artinya pada wilayah kepulauan Kei terdapat lebih dari 20 Raja yang memimpin wilayahnya masing-masing. Selanjutnya, di dalam masing-masing Ratschap itu terdapat beberapa desa (Ohoi), dan masing-masing Ohoi memiliki Woma (pusat ohoi/desa) sendiri. Woma terdiri dari dua kata, yakni: ‚wo’o‛ (panggil) dan ‚ma‛ (datang), jadi woma adalag tempat dimana proses pemanggilan dan penerimaan orang-orang (marga-marga) untuk datang menerima pendelegasian fungsi dan tanggungjawab dalam kehidupan bersama di Ohoi. Woma juga dipahami sebagai berlangsungnya tempat upacara adat (Pattikayhatu, 1993; Laksono, 2002; Kudubun, 2012).