91 Realitas persekutuan adat itu menjadi lebih kompleks ketika dalam perkembangan ren-ren (penduduk asli) dan mel-mel (pendatang), ‚melahirkan‛ kelompok lain yang disebut iri-ri.. Ketiga kolompok masyarakat ini yang disebut ‚sistem kasta‛ di Kei yang sering diasosiasikan sama dengan sistem kasta pada masyarakat Hindu, namun penyamaan ini tentu tidak benar, karena pembagian ini tidak berhubungan dengan pembagian kerja seperti halnya pada masyarakat Hindu di India maupun di Bali (Milner, 1994; Kudubun, 2012). Bahkan sebenarnya hubungan hierarkis antara kelompok-kelompok kasta di Kei masih dipertanyakan; namun yang jelas perkawinan campur antara mereka dilarang (Laksono, 1990). Bertambah kompleks lagi ketika sistem yang telah terbentuk itu dikaitkan dengan perbedaan agama yang dianut oleh masyarakat Kei (konflik SARA yang terjadi 1999, kakak-adik yang diikat ain ni ain itu saling membunuh), maka akan tampak semakin plural masyarakat itu. Dalam konteks pluralitaskemajemukan masyarakat Kei. 2. Makna Filosofi Ain Ni Ain Nilai budaya Ain ni Ain yang dimiliki orang Kei setara maknanya dengan ‚persatuan‛ yang menjadi ruh sila ketiga Pancasila, sekaligus menjadi fabric of society Kepulaun Kei. ‚Ain‛ dalam bahasa Kei berarti ‚satu‛, namun bukan satu yang tunggal tetapi satu dalam arti jamak. Hal ini dikarenakan dalam bahasa Kei, satu (tunggal) itu adalah ‚Sa‛, dalam perhitungan selalu disebut: ain sa, ain ru, ain tel (satu-satu=satu, satudua=dua, satu-tiga=tiga, dan seterusnya); sedangkan Ni berarti ‚punya atau memiliki‛. Dengan demikian ain ni
92 ain secara harfiah berarti ‚satu memiliki satu‛. Seseorang atau sekelompok orang menempatkan/memandang orang lain (liyan) sebagai saudaranya. Atau dengan makna lain, ain yang sudah ada (yang asli) menempatkan menerima dan menempatkatkan ain ‚yang datang‛ sebagai saudaranya, bahkan sebagai saudara kandung. Mengingat kemajemukan dan kompleksitas, struktur, fungsi, ideologi, yang tampak dalam interaksi bentuk-bentuk sosial: Yanur-Mangohoi dan Koi Maduan, Teabel, dan sistem Kasta di Kei, maka, konsep fabric of society (jalinan tenun masyarakat) dari Azra akan digunakan sebagai alat analisis, yang disejajarkan maknanya dengan konsep Ain Ni Ain untuk ditelaah apakah sistem nilai masyarakat Kei itu mampu bertahan dan mengintegrasikan masyarakat Kei atau bahkan akan membuatnya menjadi tercabik dan retak. Peneliti mengasumsikan bentuk-bentuk sosial di atas sejajar dengan argumentasi Merton tentang level analisis fungsional. Harapannya analisis terhadap bentuk-bentuk sosial dengan konsep Ain Ni Ain dalam masayakat Kei dapat dikonstruksi sebagai ‚keseimbangan mapan‛ yang mampu mempertahankan integrasi bangsa dalam dinamika perubahan sosial. D. Hukum Adat Larwul Ngabal dan Penghargaan Terhadap Perbedaan dalam Konteks Persatuan Hukum adat ini dalam sejarah lisan, dikatakan terbentuk dari dua persekutuan adat, yakni Lor Siw/Ur Siw membentuk hukum Larwul dan Lor Lim membentuk hukum adat Nabal. Larvul Bermula dengan hadirnya seorang musafir yang bernama Kasdew dan kelurganya yang mendarat diteluk Sorbay bagian barat pulau Kei Kecil. Mereka kemudia
93 diterima penduduk setempat dan diberi hak untuk ikut memimpin. Selanjutnya putri Kasdew, yakni Ditsakmas melakukan perjalanan untuk bertemu dengan tunangannya, Arnuhu di Ohoi Danar tidak berhasil akibat semua barangnya dicuri oleh dalam perjalanan akibat masih berlakunya hukum rimba. Dalam perjalanan kedua melalui desa Wain di pesisir timur bagian tengah pulau Kei Kecil, Ditsakmas akhinya menjumpai dan kawin dengan Arnuhu. Keberhasilan perjalanan kedua ini, dikarenakan ada bentuk larangan (sasi) yang digunakan oleh Ditsakmas, ia mengikatkan daun kelapa putih8 (janur) disetiap perbekalannya. Dalam perjalanan tersebut, ada seekor kerbau yang dinamakan Kerbau Siw yang dibawa oleh sang Putri. Kerbau ini kemudian disembeli di desa Elaar Ngursoin, antara Wain dan Danar, yang dibagi kepada 9 Halaai (Rat) yang hadir saat itu. Ungkapan adat yang digunakan dalam penyembelihan Kerbaw Siw adalah Larvul In Turak (darah merah membakar). Ungkapan ini melahirkan kesepakatan 4 pasal hukum Larvul (Rahail, 1993; Kudubun, 2012), yakni: 1. Uud entauk atvunad: berarti ‚kepala bersatu, bertumpu di atas pundak‛ artiya dimana kepala pergi maka seluruh badannya ikut. Maknanya, kalau kepala berpikir, bermaksud, dan bergerak, maka seluruh bagian tubuh yang lain ikut melaksanakan apa yang dipikirkan oleh kepala (dalam pengertian partisipasi). Kepala dalam konteks ini, adalah Duad atau Yang Mahakuasa; para leluhur (moyang-moyang); dan tokoh-tokoh adat, pemerintah dan orang tua. Kepala masyarakat atau kepala keluarga harus dihormati, karena mereka bertugas untuk melindungi keluarga dan juga masyarakat.
94 2. Lelad ain fo mahiling: berarti:"Leher bersifat luhur, suci dan murni" pengertian kata-kata ini bermaksud bahwa hidup dan kehidupan diluhurkan dan bersifat jujur. Leher bagi orang Kei danggap sebagai pusat hidup dan kehidupan yang bernafas, dan yang harus dilindungi atau dijaga. 3. Ul nit envil rumud : berarti ‚kulit membungkus tubuh kita‛, ungkapan ini memiliki dua arti, yakni pertama, harkat dan martabat manusia harus dilindngi; dan kedua, nama baik orang lain harus dijaga dan dijunjung tinggi, serta kesalahan yang dilakukan oleh setiap individu harus segera dipulihkan dan ditebus. Hal ini juga dapat diartikan sebagai kemampuan merahasiakan sesuatu tentang orang lain dan diri sendiri. 4. Laar nakmut naa ivud: berarti ‚darah beredar atau terkurung di dalam perut/tubuh‛ makna dari pasal ini adalah penghargaan terhadap kehidupan, karena itu, keselamatan setiap orang harus dilindungi. Hal ini berarti dilarang melakukan tindakan penganiayaan, kekerasan, dan kekejaman kepada orang lain atau diri sendiri, yang dapat mengakibatkan keluarnya darah dari dalam tubuh. Bersamaan dengan terbentuknya Hukum Larwul di Kei Kecil, hukum Ngabal pun sedang mengalami proses pembentukan di Kei Besar. Ditandai dengan pemotongan seekor ikan Paus (naga laut), yang terdampar waktu itu, para Rat berhasil menyepakati tiga pasal dasar hukum yang disebut dengan hukum Ngabal (Tombak dari Bali). Ungkapan adat yang menyertai pemotongan ikan paus itu adalah Ngabal in Adung (Tombak sebagai penjaga perdamaian dan keluhuran martabat manusia). Tiga dasar hukum yang disepakati itu adalah:
95 1. Reek fo kelmutun: ambang kamar atau kesucian kaum wanita diluhurkan‛ ungkapan ini memiliki dua arti, yakni, pertama, bahwa kamar tidur dari suami-isteri tidak boleh dimasuki oleh orang lain yang tidak berhak– keluhuran perkawinan; kedua, perempuan yang sudah menikah dilambangkan seperti tanda sasi (larangan) yang tidak boleh diperlakukan semena-mena: bersiul, mengedipkan mata, mencolek, dan bersuara keras kepadanya, di depan umum. 2. Moryaian fo mahiling : ‚tempat tidur wanita bujang (gadis) adalah agung mulia‛ hal ini juga berkaitan dengan pasal 5. Bahwa orang lain tidak boleh masuk ke kamar seorang gadis menggunakan tempat tidur seorang gadis, jika ini dilakukan maka perkawinan adat otomatis terjadi. 3. Hirani ntub fo ih ni, it did entub fo it did: Milik orang lain tetap jadi miliknya dan milik kita tetap jadi milik kita. Pasal ini mengakui kepemilikan pribadi, maupun kolektif selama kepemilikan itu mempunyai bukti (Tad) atau ada sejarah (argumentasi-Tom) yang dapat membuktikan kepemilikan tersebut. Untuk menghindari peperangan yang terus berlangsung antara dua persekutuan adat ini, maka kedua hukum tersebut disatukan: Larvul menjadi pasal 1-4 dan Ngabal menjadi pasal 5-7 dalam hukum adat Larvul Ngabal. Mendalami makna hukum adat itu, dapat ditemukan kesejajarannya dengan hukum Musa-Sepuluh Perintah Allah12, juga dapat disejajarkan maknanya dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dikatakan demikian, sebab ketika hukum adat itu ‚diterjemahkan‛ dalam tiga bentuk turunan hukum, maka: pasal 1-4 termaktub dalam Hukum Nevnev (perikemanusiaan/penghargaan terhadap kemanusiaan); pasal 5-6 termaktub dalam Hukum Hanilit (penghargaan
96 terhadap perempuan dan lembaga perkawinan, dan pasal 7 termaktub dalam Hukum Hawear Balwarin (penghargaan terhadap hak milik dan keadilan sosial). Penghargaan kepada perbedaan dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan itulah yang dimaksud dengan ain ni ain. E. Praksis Ain ni Ain Dalam Konteks Hidup Bermasyarakat Guna mengeratkan persatuan dan persaudaraan dengan tetap mempertahankan perbedaan, maka penggabungan hukum adat Larvul dan Ngabal membuktikan bahwa ain ni ain meningkat levelnya pada persatuan satu bangsa, yakni bangsa Kei–Evav. Artinya ain ni ain sebelum penggabungan hukum adat ini hanya sebagai nilai perekat persatuan dalam persekutuan adat, baik lor lim maupun lor siw, namun setelah hukum itu digabungkan, bangsa Kei terbentuk sebagai satu kesatuan hukum adat dengan semangat persaudaraan yang tetap menjunjung tinggi perbedaan. Bentuk-bentuk sosial dalam masyarakat Kei memiliki beberapa kesamaan gagasan dasar yakni sikap hidup kolektif, semangat solidaritas, dan kekeluargaan, mengutamakan suatu persaudaraan yang diikat dalam keluarga. Perjanjian adat mengkondisikan semua orang untuk saling membantu dan mengaggap orang lain sebagai keluarga sendiri. Semua orang terikat dalam relasi kekeluargaan tanpa membedakan agama. Dalam memaknai semangat ain ni ain itu, ditemukan dua bentuk gagasan dasar kekeluargaan orang Kei (Ohoitimur, 1996), yaitu: Pertama, kebersamaan yang berpusat pada keluarga. Hubungan antar pribadi selalu didasarkan atas hubungan ‚saudara‛. Semua orang dilihat sebagai saudara dari satu keluarga. Hal ini jelas lewat istilah ‚Teen fo teen, yanyanat fo
97 yanyanat, yaan fo yaan, warin fo warin, yanur fo yanur, mangohoi fo mangohoi‛, artinya bahwa keluarga Kei memiliki struktur yang memaksa setiap anggota keluarga untuk memiliki status sendiri. Inti dari struktur ini adalah menempatan orang tua sebagai atasan dan anak sebagai bawahan. Satu kecenderungan dasar masyarakat Kei dalam menelusuri hubungan kekeluargaaa dalam pergaulan, misalnya, lewat pertanyaan ‚siapa orang tuamu‛, kesimpulan yang selalu diambil adalah ‚kamu dan saya adik-kakak‛, meskipun sebenarnya tidak ada hubungan darah dalam arti sempit. Cara seperti ini sama dengan menepatkan orang lain dalam struktur keluarganya. Kedua, sikap kolektif orang Kei. Dalam tindakan kolektif (sosial) orang Kei selalu memprioritaskan aspek hukum, bahkan memutlakannya. Di dalam kehidupan bersama, hukum adat selalu dijunjung tinggi di atas segalanya. Keataatan terhadap hukum ini didasarkan pada cita-cita agar kekerabatan semakin terwujud. Itulah suatu kecenderungan dalam sikap kolektif orang Kei. Namun perlu dipahami bahwa kekerabatan karena ketaatan kepada hukum bukan berarti sikap legalistis, yang berarti taat kepada hukum demi hukum itu, tetapi ketaatan orang Kei kepada hukum demi kekerabatan. Apabila aturan atau hukum adat dilanggar, maka akibatnya kekerabatan atau kekeluargaan menjadi ‚ternodai, renggang, bahkan bisa hilang/terputus. Gagasan kehidupan kekeluargaan itu merupakan realisasi nilai Larwul in Turak yang bermakna menjaga keamanan, ketertiban, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjaga dan menghormati hak-hak asasi, yang berfungsi sebagai membatasi kewenangankewenangan. Dalam perpaduan nilai itu dengan Ngabal in Adung yang berisi nasihat dan petunjuk, yang kemudian
98 berfungsi sebagai pengatur dan pelindung bagi hak-hak dasar dari setiap individu berimplikasi pada pembentukan gagasan (ide) yang termanivestasi dalam interaksi keseharian atas dasar kekelurgaan. Nilai hidup itu mampu bertahan sebagai mekanisme penyelesaian konflik yang telah teruji ketika konflik bernuansa SARA melanda Maluku tahun 1999. Masyarakat Kei memang merasakan getirnya ‚kakak‛ dan ‚adik‛ yang saling mencaci-maki dan saling membunuh di ruang-ruang publik maupun privat. Namun ‚hentakan‛ itu memberi kesadaran bagi para pemimpin adat untuk bertindak cepat, melakukan rekonsiliasi dengan kembali pada Larvul Ngabal dengan semangat ain ni ain. Konflik pun berakhir. Praksis ain ni ain memang tidak hadir dalam ruang kosong, konsep itu dipikirkan dan diimplementasikan sebagai mekanisme kontrol untuk menjaga dan membangun hubungan-hubungan bermakna dengan sesamanya. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, ain ni ain itu menjadi ruh atau fabric of society bagi falsafah wuut ain mehe ni ngifun, manut ain mehe ni tilur, yang bermakna bahwa tatanan kehidupan orang Kei didasarkan pada perbedaan bentuk yang disatukan (persatuan dalam perbedaan), antara kelompok yang datang dari laut dan kelompok yang hidup ‚didarat‛. Falsafah itu lalu disimbolkan dengan ‚ikan‛ (wuut) yang memiliki ‚insang‛ (ngifun) untuk bernafas, sedangkan mereka yang ‚di darat‛ disimbolkan dengan ‚burung‛ (manut) yang ‚bertelur‛ (ni tilur) untuk melanjutkan kehidupan, dia adalah ren (induk). Karenanya nilai wuut ain mehe ni ngifun itu bermakna semua yang datang itu (pendatang) berasal dari satu keturunan, sedangkan nilai manut ain mehe ni tilur bermakna semua yang telah menetap dan melanjutkan kehidupan di darat juga berasal dari satu
99 keturunan. Burung dan Ikan inilah yang disepakati sebagai simbol ain ni ain. F. Relevansi Hukum Adat Larwul Ngabal dalam konteks Multikulturalisme Pemaknaan budaya masyarakat Papua tentang nilai Kearifan lokal Hukum adat Larwul Ngabal sangat erat kaitannya dengan arti kehidupan. Hidup berdampingan ditengah keaneka ragamana masyarakat yang ada di tanah Kei tentu menjadikan hukm adat ini sebagai dasar hidup yang pantas dipertahanankan. Penanaman nilai dari kebudayaan Satu Tungku Tiga Batu ini pun dimulai sejak dini dengan harapan dapat menjaga hubungan sosial di tengah kehidupan masyarakat secara yang plural secara berkesinambungan juga menjaga esensinya sebagai warisan budaya. Sejatinya kebudayaan mempunyai nilai yang akan terus diwariskan, ditafsirkan, dan diterapkan seiring dengan berkembangnya zaman yang sejalan dengan perubahan realitas sosial kemasyarakatan. Proses dari penerapan naan nilai-nilai kebudayaan merupakan manifestasi, dan legitimasi masyarakat kepada budaya itu sendiri. Dan dari situ eksistensi setiap kebudayaan dan keragaman dari nilai kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan aspek yang dapat membangun karakter warga negara, mulai dari yang berkaitan dengan individual maupun secara kelompok. Pemaknaan inilah yang menyusun struktur kebudayaan. Pendapat dari Geertz mengenai kebudayaan yaitu "pola dari pengertianpengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai konsep-konsep yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara
100 tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikap mereka terhadap kehidupan". Geertz menekankan bahwa kebudayaan merupakan hasil karya manusia yang dapat mengembangkan sikap mereka terhadap kehidupan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui proses komunikasi dan belajar agar generasi yang diwariskan memiliki karakter yang tangguh dalam menjalankan kehidupan Budaya adalah sebuah sistem yang mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya. Bentuk simbolis yang berupa bahasa, benda, musik, kepercayaan serta aktivitas-aktivitas masyarakat yang mengandung makna kebersamaan merupakan cakupan budaya. Selai itu diungkapkan pula oleh Kluchohn dan Kelly yang berpendapat bahwa kebudayaan adalah pola untuk hidup yang tercipta dalam sejarah yang explisit, implisit, rasional, irasional dan non rasional yang terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia. Makna kearifan lokal (local wisdom) yakni merupakan satu perangkat pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan strategi kehidupan yang berwujud dalam aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal, yang mampu menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal menjadi pengetahuan dasar dari kehidupan, didapatkan dari pengalaman ataupun kebenaran hidup, bisa bersifat abstrak atau konkret, diseimbangkan dengan alam serta kultur milik sebuah kelompok masyarakat tertentu. Kearifan lokal juga dapat ditemukan, baik dalam kelompok masyarakat maupun pada individu. Kearifan lokal digunakan oleh masyarakat sebagai pengontrol kehidupan sehari-hari dalam hubungan keluarga, dengan sesama saudara, serta dengan orang-orang dalam lingkungan yang lebih luas. Oleh
101 karena cakupannya adalah pengetahuan, budaya, dan kecerdasan pengetahuan lokal, maka kearifan lokal dikenal juga dengan istilah local knowledge, local wisdom, atau genious local. Andersen dan Cusher berpendapat bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan yang membahas keragaman dari suatu kebudayaan. Makna dari definisi ini mengandung nilai yang dapat diartikan lebih luas lagi. Meskipun demikian, posisi kebudayaan masih sama, yaitu mencakup keragaman dari kebudayaan itu sendiri dan menjadi sesuatu yang dipelajari sebagai objek kajian. Senada dengan itu pendapat James Banks yang mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believes) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam bentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi. kesempatan pendidikan dari individu, kelompok, ataupun negara. la mendefinisikan pendidikan multikultural adalah ide, gerakan. pembaharuan per idikan, dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah tuk mengubah struktur lembaga pendidikan agar siswa laki-laki dan perempuan, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacammacam memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah. Kaitannya dalam pendidikan Multikultural juga digambarkan perbedaan atau pluralitas masyarakat Indonesia yang majemuk dengan perbedaan suku, agama, atau abngsa yang tentu akan melahirkan sebuah kebudayaan yang ada di tengah kehidupan. Dari pemaknaan perbedaan yang ada itulah kemudian budaya yang lahir atau yang berlaku ditengah masyarakat akan memiliki standar norma atau
102 tingkah laku yang nantinya akan diterapkan dalam kehidupan sosial masyarakat. Kemudian dari norma yang berlaku tersebutlah nilai yang terkandung didalamnya akan terus berputar dalam komunitas masyarakat-masyarakat di Indonesia seperti yang ada dalam masyakat Kei. Jika ditinjau kehidupan sosial yang ada dalam masyarakat hendak menggambarkan makna dari nilai lokal Ain Ni Ain dimana salah satunya adalah sebagai perwujudan dari hidup berdampingan ditengah keberagaman. Makna nilai ini sangat dekat dengan hidup masyarakat Kei sehingga upaya untuk membentuk karakter masyarakat yang dapat menghargai dan menghormati sesama dalam keluarga dan masyarakat yang berbeda agama, budaya, suku bangsa dan status sosial. Tujuannya adalah menanamkan semua nilai ini agar nantinya dapat melahirkan masyarakat yang tangguh, dan berjiwa kebangsaan. Mengingat pentingnya proses menstransfer nilai kebudayaan ain ni ain ini kepada melalui proses pembelajaran yang ada di kepada masyarakat ini dianggap sangat penting karena Nilai dari kebudayaan tersebut mampu diterima oleh seluruh masyarakat khususnya di dunia pendidikan. Menurut Farida Hanum, nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural berupa demokratis, humanisme, dan pluralisme. 1. Demokratisasi Nilai demokratisasi atau keadilan merupakan sebuah istilah yang menyeluruh dalam segala bentuk, baik keadilan budaya, politik, maupun sosial. Keadilan merupakan bentuk bahwa setiap insan mendapatkan sesuatu yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan. 2. Humanisme
103 Nilai Humanisme atau kemanusiaan manusia paila dasarnya adalah pengakuan akan pluralitas, heterogenitas, dan keragaman manusia. Keragaman itu dapat berupa ideologi, agama, paradigma, suku bangss, pola pikir, kebutuhan, tingkat ekonomi, dan sebagainya. 3. Pluralisme Nilai pluralisme bangsa adalah pandangan yang mengakui adanya keragaman dalam suatu bangsa, seperti yang ada di Indonesia. Istilah plural mengandung arti berjenis-jenis, tetapi pluralisme bukan berarti sekadar pengakuan terhadap hal tersebut, melainkan memiliki implikasi-implikasi politis, sosial, dan ekonomi. Oleh sebab itu pluralisme berkaitan dengan prinsipprinsip demokrasi. Banyak negara yang menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi, tetapi tidak mengakui adanya pluralisme dalam kehidupannya sehingga terjadi berbagai jenis segregasi. Pluralisme berkenaan dengan hak hidup kelompok-kelompok masyarakat yang ada dalam suatu komunitas. Dari pendapat Max Weber dalam Bryan S. Turner juga mengatakan bahwa: mendekati budaya berkaitan dengan cara-cara budaya menempatkan tujuan dan tindakantindakan tersusun bukan hanya melalui kepentingan, melainkan juga melalui norma. Jhon M. Ivancevich, Robert Konopaske dan Michael T. Matteson, mengatakan bahwa: nilai adalah pedoman dan keyakinan yang digunakan seseorang ketika dikonfirmasi dengan sebuah situasi dimana suatu pilihan harus diambil. Nilai merupakan keinginan efektif, kesadaran atau keinginan yang membimbing perilaku. Nilai merupakan ide masyarakat tentang apa yang salah dan apa yang benar. Karena nilai bersifat ideal dan tersembunyi dalam setiap
104 kalbu insan. Pelaksanaan nilai tersebut harus disertai niat. Niat merupakan itikad seseorang yang mengerjakan sesuatu dengan kesadaran. Dengan niat itu seseorang dikenai nilai, karena niatlah yang mendasari apakah aktivitas yang dilakukan subyek itu baik atau buruk. Aktivitas yang menyalahi kehendak, ide, atau gagasan semula seseorang, maka keberlakuan nilai bukan terletak pada realitas yang ada, tetapi terletek dibalik realitas tersebut. Dari proses penafsiran hingga penerapan nilai kearifan lokal Larwul Ngabal inilah yang kemudian membentuk kebiasaan hidup berdampingan seluruh masyarakat yang berada di Kei. Karena telah menjadi kebiasaan dalam menjalani kehidupan yang beragam. Sebagai sebuah cara pandang sekaligus gaya hidup, multikulturalisme menjadi gagasan yang cukup kontekstual dengan realitas masyarakat kontemporer saat ini. Prinsip mendasar tentang kesetaraan, keadilan, keterbukaan, pengakuan terhadap perbedaan adalah prinsip nilai yang dibutuhkan manusia di tengah himpitan budaya global. Oleh karena itu, sebagai sebuah gerakan budaya, multikulturalisme adalah bagian integral dalam berbagai sistem budaya dalam masyarakat yang salah satunya dalam pendidikan, yaitu melalui pendidikan yang berwawasan multikultural. Pendidikan dengan wawasan multikultural dalam rumusan James A. Bank adalah ‚konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara‛. Jenis pendidikan ini menentang bentuk rasisme dan segala bentuk diskriminasi di sekolah, masyarakat dengan
105 menerima serta memahami pluralitas (etnik, ras, bahasa, agama, ekonomi, gender dan lain sebagainya) yang terefleksikan diantara peserta didik, komunitas mereka, dan guru-guru. Menurutnya, pendidikan multikultural ini harus melekat dalam kurikulum dan strategi pengajaran, termasuk juga dalam setiap interaksi yang dilakukan diantara para guru, murid dan keluarga serta keseluruhan suasana belajar mengajar. Karena jenis pendidikan ini merupakan pedagogi kritis, refleksi dan menjadi basis aksi perubahan dalam masyarakat, pendidikan multikultural mengembangkan prisip-prinsip demokrasi dalam berkeadilan sosial. Sementara itu, Bikhu Parekh mendefinisikan pendidikan multikultur sebagai ‚an education in freedom, both in the sense of freedom from ethnocentric prejudices and biases, and freedom to explore and learn from other cultures and perpectives‛. Dari beberapa dua defini diatas, hal yang harus digarisbawahi dari diskursus multikulturalisme dalam pendidikan adalah identitas, keterbukaan, diversitas budaya dan transformasi sosial. Identitas sebagai salah satu element dalam pendidikan mengandaikan bahwa peserta didik dan guru merupakan satu individu atau kelompok yang merepresentasikan satu kultur tertentu dalam masyarakat. Identitas pada dasarnya inheren dengan sikap pribadi ataupun kelompok masyarakat, karena dengan identitas tersebutlah, mereka berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain, termasuk pula dalam interaksi antar budaya yang berbeda. Dengan demikian dalam pendidikan multikultur, identitas-identitas tersebut diasah melalui interaksi, baik internal budaya (self critic) maupun eksternal budaya. Oleh karena itu, identitas lokal atau budaya lokal merupakan
106 muatan yang harus ada dalam pendidikan multikultur. Sehingga pada prinsipnya, penerapan pendidikan Multikultural sangat mendukung proses pembelajaran dengan menjalankan Norma-norma Hukum adat Larwul Ngabal yang syarat dengan hidup berdampingan di tengah keberagaman.
107 BAB 9 Peran Media dalam Pendidikan Multikultural PENDIDIKAN multikultural tidak hanya mengajarkan tentang beragam budaya tetapi juga memberikan fondasi untuk memahami dan merangkul perbedaan dalam lingkungan sosial (Hadi, 2014). Pendidikan multikultural mengajarkan peserta didik untuk memberikan kontribusi positif dalam praktik keadilan sosial dan memahami masyarakat dari sudut pandang atau perspektif yang beragam (Zakiah, 2018). Namun, kesulitan untuk mendapatkan akses ke media dan teknologi masih terus menjadi hambatan di sebagian masyarakat. Usaha mencapai inklusivitas dan keberhasilan pendidikan multikultural dihadapkan pada kenyataan adanya kesenjangan
108 dalam akses ke media digital terkoneksi, sosial-ekonomi, dan geografis. Sangat penting bagi pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat untuk bekerja sama dalam mengatasi kendala kesenjangan ini. Salah satu langkah krusial untuk mengatasi masalah ini adalah memperluas infrastruktur teknologi, memberikan akses yang adil, dan memberikan pelatihan tentang teknologi dan media. Fokus utama perluasan media literasi adalah menyajikan konten yang menunjukkan keragaman budaya Indonesia dan memberikan pemahaman tentang adanya keterbatasan akses pada teknologi, sosial-ekonomi, dan pendidikan sebagai kenyataan. Memastikan adanya representasi budaya sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragam di dalam pendidikan. Representasi ini penting agar program pendidikan multikultural sesuai dengan situasi otentik dalam masyarakat. Keterlibatan komunitas budaya, ahli budaya, dan agen-agen sosial penggerak di dalam masyarakat sangat penting untuk keberhasilan pendidikan multikultural. Literasi media juga sangat penting di era informasi. Media sangat penting untuk meningkatkan literasi multikultural, membantu peserta didik memahami dan menghargai keberagaman, dan membantu membentuk masyarakat global yang kompleks. Perluasan akses, pembuatan konten yang representatif, dan peningkatan literasi multikultural di Indonesia sangat didorong oleh integrasi teknologi dan media. Konten-konten positif yang dibuat secara independen oleh para agen-agen sosial dan budaya dapat dengan lebih mudah tersebar luas dengan adanya perluasan akses digital terkoneksi dan literasi digital.
109 A. Masyarakat Modern, Media, dan Pendidikan Multikultural Perkembangan media dan pendidikan multikultural di Indonesia mendukung proses transformasi berbagai aspek kehidupan menuju masyarakat modern. Ketika negara maju, perpaduan teknologi media yang terus berkembang dengan nilai-nilai multikulturalisme menjadi pendorong utama untuk kemajuan masyarakat kontemporer. Ini menunjukkan bahwa keberagaman budaya dan kemajuan teknologi tidak dapat dipisahkan untuk mencapai perubahan yang berkelanjutan. Indonesia, dengan keragaman budaya, etnis, dan bahasanya, mencerminkan kehidupan yang multikulturalis. Di tengah perubahan dunia saat ini, kesadaran akan keberagaman dianggap sebagai nilai sosial dan strategi penting untuk kemajuan negara. Media memainkan peran penting dalam membangun fondasi pendidikan multikultural, yang menghasilkan masyarakat modern yang inklusif (Al-Ma’ruf, 2003; Pustikayasa, 2020). Meskipun revolusi digital telah membuka lebih banyak koneksi dan informasi, kesenjangan masih ada, terutama di daerah terpencil. Perluasan infrastruktur digital dan peningkatan akses sangat penting untuk mengatasi perbedaan ini. Literasi media di Indonesia diperlukan terutama untuk mengajarkan masyarakat menjadi kritis dalam menerima dan menyebarkan informasi (Restianty, 2018). Seiring dengan kemajuan teknologi dan distribusi informasi, semakin banyak pula penyebaran informasi yang menyesatkan dan informasi yang tidak benar (Gumgum et al., 2017). Literasi media dapat memberikan keterampilan kepada masyarakat untuk menyeleksi informasi yang sampai pada perangkatnya (Restianty, 2018). Masyarakat dapat melawan disinformasi
110 dan berkembang secara berkelanjutan menjadi masyarakat yang cerdas dan terbuka terhadap beragam budaya (Musfirowati Hanika et al., 2020). Jika sebagian besar anggota masyarakat dapat menganalisis konten secara kritis dan membedakan informasi yang benar dan yang keliru, maka mereka dapat menjadi benteng untuk segala bentuk disinformasi (Gumgum et al., 2017). Di tengah segala tantangan kehidupan modern, masyarakat modern Indonesia perlu menjadikan inklusi budaya dan kemajuan teknologi terhubung secara ideal untuk mendukung kehidupannya. Media, baik tradisional maupun digital, berperan penting dalam menyajikan narasi positif yang merayakan kekayaan budaya sambil membendung arus informasi negatif yang datang bersamaan dengan kemajuan teknologi tersebut. Selain itu, penting juga untuk menekankan demokratisasi media melalui platform digital, yang memberikan ruang bagi suara-suara kelompok yang terpinggirkan (Katharina, 2018). Platform ini memungkinkan penguatan perspektif dan cerita yang beragam, mendorong tersebarnya cerita yang lebih inklusif bagi masyarakat, dan merayakan keberagaman. Perjalanan menuju masyarakat modern Indonesia melalui media dan pendidikan multikultural memerlukan kerja sama kolektif. Kerja sama antara sektor swasta, pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat menjadi landasan untuk terciptanya kerangka kebijakan yang mendorong akses yang adil terhadap media dan pendidikan. Indonesia memiliki peluang luar biasa untuk menciptakan masa depan yang menggabungkan teknologi dan inklusi budaya dengan memanfaatkan media sebagai sarana
111 untuk memperkuat kompetensi budaya, mendorong narasi inklusif, dan meningkatkan literasi media. Dengan memanfaatkan media sebagai sarana untuk memperkuat kompetensi budaya, Indonesia berada di jalur menuju masyarakat modern yang adil, empati, dan inklusif. B. Peran Media, Pendidikan Multikultural dan Masyarakat Demokratis Keberagaman dan multikulturisme merupakan kekayaan budaya, bahasa, dan tradisi Indonesia. Media dan pendidikan multikultural sangat penting untuk mengingatkan warga masyarakat tentang kekayaan ini. Dengan kesadaran tersebut, partisipasi membangun masyarakat demokratis yang beragam ini secara toleransi dan terbuka pada informasi akan terjadi secara lebih luas. Pendidikan multikultural mengajarkan peserta pendidikan menghargai keberagaman dan membangun persatuan di antara lebih dari 300 kelompok etnis yang ada di Indonesia. Namun, nilai-nilai ini menghadapi tantangan di luar ruang kelas, tetapi juga di masyarakat secara keseluruhan. Media berfungsi secara strategis sebagai representasi masyarakat, penyampai pendapat umum, dan penggerak diskusi publik. Media mengajarkan toleransi, inklusi, dan empati dalam pendidikan multikultural (Restianty, 2018). Media turut membuka akses ke berbagai perspektif, memungkinkan suara dari berbagai latar belakang budaya untuk terdengar, dan menciptakan lingkungan yang ramah. Peran penting media ini membantu meningkatkan pemahaman lintas budaya, memerangi stereotip, dan membangun persatuan di tengah keberagaman (Gumgum et al., 2017).
112 Literasi media adalah dasar masyarakat demokratis. Di Indonesia, disinformasi adalah masalah besar, literasi media memungkinkan masyarakat mengkritisi informasi secara rasional, menemukan bias, dan menentang disinformasi. Namun, sensasionalis, bias media, dan ketimpangan akses digital di banyak wilayah Indonesia masih menghalangi simbiosis antara media, pendidikan multikultural, dan masyarakat demokratis. Sangat penting bahwa pemerintah, sekolah, media, masyarakat sipil, dan teknologi bekerja sama untuk mengatasi masalah ini. Kebijakan secara bertahap mendorong keberagaman media, literasi media dalam kurikulum sekolah, dan praktik media yang moral dan inklusif. Media berfungsi sebagai sarana untuk menghubungkan pendidikan multikultural dengan prinsip masyarakat demokratis Indonesia. Media memainkan peran penting dalam memperkuat perspektif, mendorong pikiran kritis, dan membangun platform untuk cerita yang inklusif. Indonesia memiliki potensi untuk membangun masyarakat demokratis yang lebih kohesif, terinformasi, dan terlibat yang menghargai keberagaman sambil menjunjung tinggi toleransi, pemahaman, dan inklusi dengan memanfaatkan kekuatan transformatif media. C. Media Inovatif dan Pendidikan Multikultural di Indonesia Media kreatif sangat penting untuk mengubah narasi masyarakat, meningkatkan inklusi, dan mendorong kemajuan bangsa. Pendidikan multikultural dan media bekerja sama untuk memperkuat pluralisme, menjembatani perbedaan budaya, dan menuju masa depan yang menghargai keberagaman sebagai fondasi kemajuan.
113 Indonesia mengakui pentingnya multikulturalisme sebagai negara yang memiliki keragaman budaya, bahasa, dan tradisi. Strategi penting untuk pembangunan nasional adalah mempertahankan keberagaman ini. Teknologi media mengubah perspektif, meningkatkan pemahaman budaya, dan mempercepat kemajuan Indonesia. Media baru memulai era yang belum pernah terjadi di mana warga masyarakat dapat berkoneksi satu sama lain di seluruh dunia (Celik et al., 2021). Yang terpinggirkan mendapatkan suara melalui demokratisasi informasi melalui saluran digital. Pendidikan multikultural dapat mengambil manfaat dari demokratisasi ini untuk lebih dekat dengan berbagai komunitas di Indonesia. Pendidikan multikultural semakin penting di tengah kompleksitas globalisasi dan kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi memberikan dasar bagi pertumbuhan manusia dalam dunia yang saling terhubung. Pendidikan multikultural di Indonesia harus diintegrasikan, karena persatuan di tengah keberagaman adalah nilai bangsa. Pengalaman pembelajaran yang transformatif dihasilkan oleh pendidikan multikultural dan media inovatif. Ruang kelas virtual, cerita mendalam, dan pertukaran budaya digital mengubah paradigma pendidikan tradisional. Metode ini memungkinkan keterlibatan dengan berbagai budaya sekaligus meningkatkan apresiasi terhadap warisan budaya Indonesia. Di era informasi saat ini, literasi media sangat penting karena memungkinkan untuk menilai konten secara kritis dan membedakan informasi yang tidak benar. Literasi digital di Indonesia sangat penting, tetapi akses yang tidak merata ke teknologi media canggih merupakan masalah besar. Kebijakan yang mendukung pembangunan infrastruktur digital,
114 memberikan akses yang merata terhadap teknologi, dan memasukkan media inovatif ke dalam kurikulum adalah penting untuk mengatasi masalah ini. Sangat penting untuk memadukan era digital, kekuatan media inovatif, dan pendidikan multikultural. Indonesia memiliki potensi besar untuk menggabungkan kekayaan budayanya dengan teknologi untuk meningkatkan pemahaman dan pengakuan keberagaman. D. AI dalam Media Pendidikan Multikultural Penggunaan media saat ini telah berubah signifikan karena kecerdasan buatan (AI), terutama dalam hal pendidikan multikultural. AI memiliki kemampuan untuk menyebarkan cerita budaya, meningkatkan pengalaman belajar lintas budaya, dan menyesuaikan konten pendidikan (Stewart et al., 2020). Namun, dampak AI dalam media juga menimbulkan tantangan yang memerlukan perhatian lebih lanjut, terutama dalam hal menjaga keberagaman budaya, menghindari bias, dan memastikan bahwa konten pendidikan disesuaikan dengan budaya lain. Dengan mengadaptasi konten pendidikan untuk berbagai latar belakang budaya dan gaya pembelajaran, AI dapat membuat pengalaman belajar yang inklusif dan menarik (Burns et al., 2023). Namun, ada kekhawatiran bahwa jika algoritme AI tidak dirancang dan dipantau dengan cermat, itu dapat memperkuat stereotip atau bias budaya. Tantangan AI dalam media pendidikan multikultural semakin kompleks di Indonesia, negara yang kaya akan keragaman budaya. Di seluruh kepulauan Indonesia, akses yang tidak memadai ke infrastruktur digital dan teknologi berbasis kecerdasan buatan juga dapat menghalangi akses yang merata ke pendidikan multikultural. Ada kemungkinan bahwa kecer-
115 dasan buatan dapat menciptakan gelembung budaya yang dapat memecah masyarakat multikultural seperti Indonesia. Untuk memastikan bahwa pengalaman pembelajaran yang dipersonalisasi tidak membatasi paparan terhadap berbagai budaya dan perspektif, perhatian khusus diperlukan. Selalu ada tantangan untuk memastikan bahwa AI konsisten dengan tujuan pendidikan dan nilai budaya Indonesia. Untuk memastikan bahwa konten pendidikan AI menghormati keragaman budaya Indonesia, diperlukan pendekatan yang sensitif terhadap budaya. Penting sekali bagi pemerintah, pendidik, ahli teknologi, dan masyarakat untuk bekerja sama satu sama lain untuk mengatasi masalah ini. Pengembangan infrastruktur digital yang lebih luas, peningkatan literasi AI, representasi budaya dalam algoritma AI, dan penerapan pedoman etika AI yang sesuai dengan konteks keberagaman Indonesia adalah semua kemajuan yang perlu dilakukan. AI memiliki banyak potensi untuk membantu pendidikan multikultural, tetapi penggunaannya harus mempertimbangkan etika, sensitivitas budaya, dan keberagaman (Elliott & Soifer, 2022). Untuk menggunakannya di Indonesia, inovasi teknologi, penghargaan terhadap nilai-nilai budaya, dan kesadaran akan keragaman yang ada. AI telah membawa revolusi dalam media pendidikan multikultural, membawa tantangan dan peluang yang perlu diperhatikan. AI juga dapat menyebarkan cerita budaya dan meningkatkan pengalaman belajar lintas budaya, tetapi juga membawa bahaya bias dan risiko representasi budaya yang sensitif. Meskipun AI dapat menyesuaikan konten pendidikan dengan latar belakang budaya dan gaya pembelajaran siswa, risiko terkait penguatan stereotip dan bias budaya menjadi
116 perhatian utama. Di Indonesia, tantangan AI dalam media pendidikan multikultural semakin kompleks. Akses terhadap pendidikan berbasis AI menjadi lebih sulit karena banyak wilayah Indonesia tidak memiliki konektivitas digital yang baik. Selain itu, ada kekhawatiran tentang kemampuan AI untuk memperkuat gelembung budaya yang memecah masyarakat multikultural. Untuk memastikan konten pendidikan AI merepresentasikan penghargaan terhadap keragaman budaya Indonesia, diperlukan pendekatan yang sensitif terhadap budaya untuk menyesuaikan AI dengan tujuan pendidikan dan nilai budayanya. Pemerintah, pendidik, ahli teknologi, dan masyarakat harus bekerja sama satu sama lain di berbagai sektor. Ke depan membutuhkan infrastruktur digital yang lebih luas, peningkatan literasi AI, representasi budaya dalam algoritma AI, dan pedoman etika AI yang sesuai dengan keberagaman Indonesia. AI dapat bermanfaat dalam pendidikan multikultural, tetapi itu harus digunakan dengan moral dan berhati-hati terhadap keragaman budaya. Nilai budaya, inovasi teknologi, dan kesadaran akan keragaman yang ada harus dipertimbangkan saat menerapkannya dalam pendidikan multikultural di Indonesia. E. Penutup Media memainkan peran penting dalam pendidikan multikultural di dunia yang penuh dengan keberagaman. Ini tidak hanya berfungsi sebagai jalur informasi, tetapi juga berfungsi sebagai jembatan untuk menghubungkan budaya, meningkatkan pemahaman, dan merayakan keberagaman. Media dapat mengubah budaya dengan meningkatkan keterampilan, mendukung narasi yang beragam, dan
117 mendorong pengalaman pembelajaran inklusif. Perannya telah ditunjukkan sebagai peran yang sangat penting dalam membangun masyarakat global yang lebih saling terhubung dan berempati. Media memainkan peran penting dalam menciptakan narasi yang inklusif, meningkatkan pemahaman tentang perbedaan budaya, dan memberdayakan warga masyarakat demokratis. Mereka bertindak sebagai penghubung antara pendidikan multikultural dan prinsip demokrasi. Mengatasi masalah keterwakilan, bias, dan akses sambil memanfaatkan kekuatan transformatif media sangat penting untuk mengarahkan masyarakat menuju kohesi, wacana yang terinformasi, dan perayaan identitas budaya yang beragam. Untuk memastikan bahwa media kreatif merayakan keberagaman dan mendorong lanskap pendidikan inklusif, kemajuan teknologi yang inovatif dikombinasikan dengan pentingnya pendidikan multikultural menunjukkan kemajuan besar menuju pengalaman pembelajaran yang inklusif. Ini terlepas dari kemungkinan pendidikan yang dipersonalisasi dan pertukaran budaya, representasi, akses, dan kepekaan budaya adalah masalah besar. Sangat penting untuk menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan keaslian budaya untuk memastikan bahwa media inovatif menghormati keberagaman. AI di media menimbulkan tantangan dan peluang, serta masalah etika, keterwakilan, dan akses. Untuk memanfaatkan AI untuk pendidikan multikultural yang efektif, diperlukan upaya terus menerus untuk memastikan akses yang adil, kebenaran budaya, dan penerapan AI secara etis. Indonesia menghadapi banyak tantangan dalam upayanya untuk memanfaatkan media untuk memberikan
118 pendidikan multikultural yang efektif. Ini mencakup integrasi pendidikan, persepsi masyarakat, dan ketimpangan teknologi. Mengatasi perbedaan digital, menjamin keterwakilan budaya, mendiversifikasi konten pendidikan, mendorong literasi media, dan mendorong upaya kolaboratif adalah beberapa langkah penting yang diambil untuk menciptakan lanskap pendidikan yang inklusif dan kaya budaya di Indonesia. Perjalanan menuju penggunaan media untuk pendidikan multikultural memang akan menghadapi banyak tantangan; tapi juga membuka peluang yang belum pernah ada sebelumnya untuk membangun masyarakat yang inklusif, menghargai keberagaman, dan meningkatkan pemahaman lintas budaya di seluruh dunia. Warga masyarakat harus bekerja sama untuk mengatasi masalah ini. Ini akan menciptakan masa depan di mana media akan berfungsi sebagai katalisator untuk pengalaman pendidikan yang humanis, ramah, dan kaya akan budaya di seluruh dunia.
119 Daftar Pustaka Abdul Mujib, Muhaimin. Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993). Abdul Rozaq Sholeh, "Makna dan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Sadranan Dalam Membangun Karakter Peserta Didik (Studi Kasus di SD Negeri Kecamatan Cepogo Boyolali)", Tesis, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2020). Angrayana, D. et al. (2023) ‘The Role of School Culture in the Character Forming of Students a Literature Review’, Edumaspul: Jurnal Pendidikan, 7(1), pp. 678–681. Afni Miranti, Lilik, Retno Winarni, Anesa Surya, JURNAL BASICEDU, Representasi Pendidikan Karakter Berbassis Kearifan Lokal dalam Motif Batik Wahyu Ngawiyatan sebagai Muatan Pendidikan Senirupa di Sekolah Dasar", Halaman 546 - 560 Research & Learning in Elementary Education. Volume 5 Nomor 2 Tahun 2021 Andersen dan Cusher, ‚Multicultural and Intercultural Studies‛ dalam C. Marsh (ed), Teaching Studies of Society and Environment (Sydney: Prentice-Hall, 1994). Andi Eka Rezkianah, "Implementasi Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal (Bugis) Di SDN 283 Lautang Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo", Tesis, (Makassar: Universitas Muhammadiyah Makassar, 2020) Arif Rofiki. Integrasi Nilai Kearifan Lokal dalam Pendidikan Kerukunan Umat Beragama di Sekolah Dasar/Madrasah
120 Ibtidaiyah (SD/MI) Kota Jayapura. JMIE: Journal of Madrasah Ibtidaiyah Education, 2(1), 62-73, 2018. Akhmad Sudirman. (2023, November 27). Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Kementerian Pendidikan . Aptika, A. (2021, April 9). Digitalisasi Sektor pendidikan Untuk Hadapi revolusi Industri 4.0. Kominfo. Alzanaa, A.W. and Harmawati, Y. (2021) ‘Pendidikan Pancasila sebagai pendidikan multikultural’, Citizenship Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, 9(1), pp. 51–57. Azyumardi Azra, Pendidikan Agama: Membangun Multikulturalisme Indonesia, Dalam Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2005). Ahmed, A. (2017) Sultanate Architecture of Bengal: An Analysis of Architectural and Decorative Elements. Routledge. Abduloh, A.Y., Ruswandi, U., Erihadiana, M., Mutmainah, N., Ahyani, H., 2022. The Urgence and Reflection of Multicultural Islamic Education, Democracy and Human Rights in Indonesia. Jurnal Alwatzikhoebillah Kajian Islam Pendidikan Ekonomi Humaniora. https://doi.org/10.37567/alwatzikhoebillah.v8i1.911 Adon, M.J., 2021. Pengalaman Perjumpaan Kebudayaan Jawa dan Flores Di Bagorejo Banyuwangi-Jawa Timur Dan Pentingnya Pendidikan Multikultural. Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology) 7, 67–78. Agustian, M., 2019. Pendidikan Multikultural. Penerbit Unika Atma Jaya Jakarta.
121 Azzahra, G.F., Asbari, M., Ariani, A.S., 2023. Pendidikan Multikultural: Menuju Kesatuan Melalui Keanekaragaman. Journal of Information Systems and Management (JISMA) 2, 1–7. Al-Ma’ruf, A. I. (2003). Aktualisasi Film Sastra Sebagai Media Pendidikan Multikultural. Akademika Jurnal Kebudayaan, 1(1). Anderson, B. 1990 Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press. Azra, Azyumardi. 2009. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Impulse Kanisius, Yogyakarta. Beruatwarin, Triko, Cicak dan Kerbau: Tinjauan Teologis Terhadap Sistem Kasta di Kei, Makasar: STT INTIM, 2004. Skripsi, Tidak diterbitkan. Burns, E., Laskowski, N., & Tucci, L. (2023). What is artificial intelligence (AI)? - AI definition and how it works. In Enterprise AI. Bikhu Parekh, "Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity And Political Theory‛, Http://Www.Educationworld.Com, Diakses Tanggal 13 Desember 2021 Bikhu Parekh, Brown-Jeffy, S. and Cooper, J.E. (2011) ‘Toward a conceptual framework of culturally relevant pedagogy: An overview of the conceptual and theoretical literature’, Teacher education quarterly, 38(1), pp. 65–84. Bourdieu, Pierre, An Outline Of Theory Of Practice, Terj. Dari Bahasa Perancis Oleh Richard Nice, (Cambridge: Cambridge University Press). 1977 Bourdieu, Pierre, Sociology In Question, Terj. Dari Bahasa Perancis Oleh Richard Nice, London: Sage Publication. 1993
122 Chandra, B. (1999) India After Independence: The First Fifty Years. Viking. Banks, J.A. (2004a) Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, and Practice. Banks, J.A. (2004b) Teaching for diversity and social justice. Routledge. Banks, J. A. (1993). Multicultural education: Historical development, dimensions, and practice. Review of Research in Education, 19(3), 3-49. Chris Barker, Cultural Studies, ( Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2000). Cushner, K., 2013. International perspectives on intercultural education. Routledge. Celik, I., Muukkonen, H., & Dogan, S. (2021). A model for understanding new media literacy: Epistemological beliefs and social media use. Library and Information Science Research, 43(4). https://doi.org/10.1016/j.lisr.2021.101125 Crowder, G. (2013) Theories of multiculturalism: An introduction. Polity. ‘Digitalisasi Masyarakat: Menilik Kekuatan dan Kelemahan Dinamika Era Informasi Digital dan Masyarakat Informasi’ (2013) Jurnal Ilmu Komunikasi [Preprint]. Elliott, D., & Soifer, E. (2022). AI Technologies, Privacy, and Security. Frontiers in Artificial Intelligence, 5. https://doi.org/10.3389/frai.2022.826737 Efendi, M.Y., Lien, H.N., 2021. Implementation of Multicultural Education Cooperative Learning to Develop Character, Nationalism and Religious. Journal of Teaching and Learning in Elementary Education (Jtlee) 4, 20–38.
123 Fajrussalam, H., Ruswandi, U., Erihadiana, M., 2020. Strategi Pengembangan Pendidikan Multikultural di Jawa Barat. Edueksos Jurnal Pendidikan Sosial & Ekonomi 9. Forghani-Arani, N., Cerna, L. and Bannon, M. (2019) ‘The lives of teachers in diverse classrooms’, Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) [Preprint]. Farida Hanum dan Setya Raharja, Pengembangan Model Pembelajaran Pendidikan Multikultural Menggunakan Modul Sebagai Suplemen Pelajaran IPS di Sekolah Dasar. Jurnal Penelitian Ilmu Pendidikan, Volume 04, Nomor 2, 2011. Fr, R., & Ohlich, ˙˙. (n.d.). NEW MEDIA COMMUNICATION TECHNOLOGIES FOR FACILITATING ASYNCHRONOUS DELIVERY OF DISTANCE LEARNING FOR DIFFERING LEARNING STYLES: AFFECTIVE PEDAGOGICAL TECHNIQUES FOR MULTIMEDIA INTO THE NEW MILLENNIUM. http://www.ntu.edu.sg/home/tfrohlich F., Faisal, E. L., Safitri, S., & Eriawaty, E. Development Of Instructional Materials Based Local Wisdom In Social Studies. In Sriwijaya University Learning And Education International Conference (Vol. 2, Hal. 395–408). 2016 Faiz, P.M. (2017) ‘Teori Keadilan John Rawls (John Rawls’ Theory of Justice)’, SSRN Electronic Journal [Preprint]. Available at: https://doi.org/10.2139/ssrn.2847573. Gozdecka, D.A., Ercan, S.A. and Kmak, M. (2014) ‘From multiculturalism to post-multiculturalism: Trends and paradoxes’, Journal of Sociology, 50(1), pp. 51–64. Geertz, C. Tafsir Kebudayaan (Refleksi Budaya), (KANISIUS: Yogyakarta. 1992)
124 Gay, G. (2000) Culturally responsive teaching: Theory, research, and practice. New York: Teachers College Press. Gempur santoso, Fundamental Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005). George Ritzer Dan Douglas J. Goodman.‚Teori Sosiologi Modern‛.(Jakarta, Kencana Prenada Media Group. 2011). Gie Liang The, Unsur-Unsur Administrasi, Super Sukses (Edisi II; Jakarta: Gunung Agung, 1983). Gumgum, G., Justito, A., & Nunik, M. (2017). Literasi Media: Cerdas Menggunakan Media Sosial Dalam Menanggulangi Berita Palsu (Hoax) Oleh Siswa Sma. Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(1). https://doi.org/1410 - 5675 Haynes, J., Hough, P. and Pilbeam, B. (2023) World politics: International relations and globalisation in the 21st century. Sage. Hadi, N. (2014). Pengembangan Bahan Bacaan Berbasis Pendidikan Multi Kultural, Religi Komunitas Pegunungan: Studi Kasus Pada Masyarakat Terunyan Di Gunung Batur, Tengger Di Gunung Bromo Dan Kinahrejo Di Lereng Merapi. Jurnal Sejarah Dan Budaya, 8(1). H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan Dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004). H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, . 1999). Haryanto, Triu Joko. Kearifan Lokal Pendukung Kerukunan Beragama Pada Komunitas Tengger Malang Jatim. Jurnal Analisa, 21 (02), 201-213. 2014
125 Haryatmoko, Habitus Dan Kapital Dalam Strategi Kekuasaan: Teori Strukturasi Pierre Bourdieu Dengan Orientasi Budaya, Makalah Kuliah Di Pascasarjana Sosiologi Universitas Indonesia, 26 Agustus. 2010 Hernandez, A. and Burrows, K. (2021) ‘Implementing culturally relevant teaching in the classroom’, Open Journal of Leadership, 10, pp. 338–363. Available at: https://doi.org/https://doi.org/10.4236/ojl.2021.104020. Hodge, S.R. and Collins, F.G. (2018) ‘Physical education teachers’ understandings of culturally relevant pedagogy in teaching black male students’, Multicultural Learning and Teaching, 14(1). Available at: https://doi.org/doi.org/10.1515/mlt-2015- 0016. Hidayat, U.S., 2021. Urgensi Penguatan Pendidikan Karakter Dalam Menyiapkan Generasi Emas 2045: Strategi Membangun Generasi Cerdas, Berkarakter dan Berdaya Saing di Abad 21. Nusa Putra Press. Ibrahim, R., 2015. Pendidikan multikultural: pengertian, prinsip, dan relevansinya dengan tujuan 125endidikan Islam. Addin 7. James A. Bank, ‛Handbook Of Research On Multicultural Education‛, Http://Www.Education World.Com, Diakses Tanggal 13 Desember 2021 James Banks, ‚Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, And Practice‛, (Review of Research in Education, 1993). Jenkins, Richard, Pierre Bourdieu, London And New York: Routledge. 1992 Kymlicka, W. (2010). Multicultural education. In Encyclopedia of identity (pp. 577-580). Sage Publications.
126 Kudubun, Elly, E, 2012. Mereka Yang Terdiskriminasi: Kajian Sosiologis Tentang Strategi Ren-Ren dalam Menghadapi Dominasi Mel-Mel di Desa Ohaiwait, Kec. Kei Besar. (Tesis). Salatiga: Fakutas Teologi-Magister Sosiologi Agama UKSW,. Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta. KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI. Edisi keempat, 2021, Tulkit (Tool Kit) LIRP Merangkul Perbedaan : Perangkat Untik Mengembangkan Lingkungan Inklusif Ramah Terhadap Pembelajaran. Jakarta. Kymlicka, W. (2012) ‘Multiculturalism: Success, failure, and the future’, Rethinking national identity in the age of migration, pp. 33–78. Katharina, R. (2018). Peran E-Government dalam Penanggulangan Hoax. Info Singkat: Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual Dan Strategis, X(20). Kamal, M., 2013. Pendidikan multikultural bagi masyarakat Indonesia yang majemuk. Al-Ta Lim Journal 20, 451–458. Ismail, M., Khatibi, A.A. and Azam, S.M.F. (2022) ‘Impact of School Culture on School Effectiveness in Government Schools in Maldives’, Participatory Educational Research, 9(2), pp. 261–279. Limbong, M., Firmansyah, F. and Fahmi, F. (2022) ‘Integrasi Kurikulum Pendidikan Berbasis Multikultural’, EDURILIGIA: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam dan Keagamaan, 5(4). Available at: https://doi.org/10.47006/er.v5i4.12933. Ladson-Billings, G. (1995) ‘But That’s Just Good Teaching= The Case for Culturally Relevant Pedagogy’, THEORY INTO
127 PRACTICE, 34(3), pp. 159–165. Available at: https://doi.org/http://www.jstor.org/stable/1476635. Limbong, M., Firmansyah, F., Fahmi, F., 2022. Integrasi Kurikulum Pendidikan Berbasis Multikultural. Edu-Riligia: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam Dan Keagamaan 5. Lailan Hadijah,‚Local Wisdom in Minangkabau Cultural Tradition of Randai‛, The Second Annual International Conference on Language and Literature, KnE Social Sciences, 2019. Laksono, P. M. 1996 ‘Exchange and Its Other: A Reflection on the Common Ground for the Keiese’, dalam D. Mearns dan C. Healey. Darwin (peny.) Remaking Maluku: Social Transformation in Eastern Indonesia. Centre for Southeast Asian Studies, Northern Territory University. __________, 2002. The Common Ground in the Kei Islands, Yokyakarta: Galang Press. __________, Wuut Ainmehe Nifun, Manut Ainmehe Tilut (Eggs from One Fish and One Bird: A Study of the Maintenance of Social Boundaries in the Kei Islands) A Dissertation, The Faculty of the Graduate School of Cornell University, 1990. Munir. 2001. ‘Indonesia, Violence and the Integration Problem’, dalam Wessel dan G. Wimhöfer (peny.) Violence in Indonesia. Hamburg: Abera. Vol.1. Musfirowati Hanika, I., Indriana Putri, M., Asha Witjaksono, A., Pertamina, U., & Teuku Nyak Arief, J. (2020). Sosialisasi Literasi Media Digital Di Jakarta (Studi Eksperimen Penggunaan Youtube Terhadap Siswa Sekolah Dasar Di Jakarta). Jurnal Komunikasi Dan Kajian Media, 4(2). Marsono. Revitalisasi Kearifan Lokal Guna Mewujudkan Masyarakat Sejahtera dalam Kemajuan Terkini. Riset Universitas Gadjah Mada. (Yogyakarta: LPPM UGM. 2007.
128 Masri, S., 2020. Multicultural Awareness, Teknik Cinemeducation, Dan Bibliotherapy. Penerbit Aksara Timur. Mbato, C.L., Sungging, F., 2022. Pendidikan Indonesia Masa Depan: Tantangan, Strategi, Dan Peran Universitas Sanata Dharma. Sanata Dharma University Press. Milles B Mathew And Huberman A Michael, Analisis Data Kualitatif, (Jakarta: Universitas Indonesia, UI-PRESS, 1992). Messaris, Paul and Humphreys, L. (2007). Digital Media: transformation in human communication. May, S. and Sleeter, C.E. (2010) Critical multiculturalism: Theory and praxis. Routledge. Modood, T. (2013) Multiculturalism. John Wiley & Sons. Mahmudah, A.H. et al. (2023) ‘Toleransi Keragaman Keyakinan Pada Siswa Sekolah Dasar’, Jurnal Educatio FKIP UNMA, 9(3), pp. 1481–1486. Available at: https://doi.org/10.31949/educatio.v9i3.5067. Nizary, M.A. and Hamami, T. (2020) ‘Budaya Sekolah’, At-Tafkir, 13(2), pp. 161–172. Available at: https://doi.org/10.32505/at.v13i2.1630. Naim, N. (2017) Pendidikan multikultural, konsep dan aplikasi. Ar-Ruzz Media. Najmina, N. (2018) ‘Pendidikan multikultural dalam membentuk karakter bangsa Indonesia’, Jupiis: Jurnal Pendidikan IlmuIlmu Sosial, 10(1), pp. 52–56. Nasikun, 2007. Sistem Sosial Budaya Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Nieto, S. (2010). Language, culture, and teaching: Critical perspectives for New Century educators. Routledge.
129 Nieto, S. (2008) Affirming diversity: The sociopolitical context of multicultural education. Pearson. Ohoitimur, Yohanis, 1983. Beberapa sikap Hidup Orang Kei: Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan, Tesis, Manado: Sekolah Tinggi Seminari Pineleng. Pattikayhatu, J. A., dkk, 1993. Sejarah Daerah Maluku, Ambon: Dep. Pendidikan & Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Pebriansyah, B.F., 2020. Pendidikan Responsif Budaya Sebagai Upaya Menciptakan Pendidikan Multikultural. SOSIETAS 10, 770–775. Pattikayhatu, J. A., 1998. Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku. Pustikayasa, I. M. (2020). PENDIDIKAN MULTIKULTURAL: FILTRASI AKSELERASI INFORMASI DALAM BERKOMINKASI DI MEDIA SOSIAL. Dharma Duta, 18(1). https://doi.org/10.33363/dd.v18i1.456 Pradiya Paramita. Howell, S. 2001 ‘Recontextualising Tradition: ‚Religion‛, ‚State‛ and ‚Tradition‛ as Coexisting Models of Sociality among the Northern Lio of Indonesia’, dalam J. Liep (peny.) Locating Cultural Creativity. London1: Putranto, H. (2010) ‘Mencari, Menemukan, dan Mengomunikasikan Nilai-Nilai Bermain dalam Konteks pendidikan’, Ultimacomm: Jurnal Ilmu Komunikasi, 2(1), pp. 52–63. Putranto, H. (2011) ‘Daya Komunikasi Paham Multikulturalisme Kritis di Ranah Politik Daring dalam Konteks Indonesia’, Ultimacomm: Jurnal Ilmu Komunikasi, 3(2), pp. 1–22.
130 Rahail, J.P., 1983. Larwul Ngabal; Hukum Adat Kei, Bertahan Menghadapi Arus Perubahan. Jakarta: Yayasan Sejati. Ruhulessin, Christian, Johny, 1995. Etika Public: Suatau analisa Sosio Budaya Mengenai Pela Sebagai Dasar Etika Publik. Disertasi: Salatiga: Program Pascasarjana Sosiologi Agama Universitas Kristan Satya Wacana. Raihani, R., 2018. Education for multicultural citizens in Indonesia: Policies and practices. Compare: A Journal of Comparative and International Education 48, 992–1009. Restianty, A. (2018). Literasi Digital, Sebuah Tantangan Baru Dalam Literasi Media. Gunahumas, 1(1). https://doi.org/10.17509/ghm.v1i1.28380 Rosyada, D., 2014. Pendidikan multikultural di Indonesia sebuah pandangan konsepsional. Sosio-Didaktika: Social Science Education Journal 1, 1–12. Sidik, S., Mandailina, V., Hikmah, N., Susilowati, Y., Zubaidah, R., Syaharuddin, S., 2021. DESAIN PEMBELAJARAN JARAK JAUH UNTUK MEMBANGKITKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA PADA MASA PANDEMI COVID-19. Paedagoria: Jurnal Kajian, Penelitian dan Pengembangan Kependidikan 12, 246–251. Steele, C.M., Aronson, J., 1995. Stereotype threat and the intellectual test performance of African Americans. J Pers Soc Psychol 69, 797. Sumbulah, U., Hawari, R., 2021. Pendidikan Multikultural Dalam Transformasi Lembaga Pendidikan Islam Di Di Indonesia. Evaluasi: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam 5, 128–147. Supa, M., Nečas, V., Rosenfeldová, J., Nainova, V., 2021. Children as Cosmopolitan Citizens: Reproducing and Challenging
131 Cultural Hegemony. International Journal of Multicultural Education 23, 23–44. Suryana, S., 2020. Permasalahan mutu 131endidikan dalam perspektif pembangunan 131endidikan. Edukasi 14. Simatupang, R.L. and Arifianto, Y.A. (2022) ‘Pendidikan Multikultural Dalam Membangun Integrasi Nasional’, Matheteuo: Religious Studies, 2(1). Siswoyo, D. (2013) ‘Philosophy of education in Indonesia: Theory and thoughts of institutionalized state (Pancasila)’, Asian Social Science, 9(12 SPL ISSUE). Available at: https://doi.org/10.5539/ass.v9n12p136. Suryanto, B. (2013) Filsafat Sosial, Filsafat Sosial. Stewart, J. C., Davis, G. A., & Igoche, D. A. (2020). AI, IoT, AND AIoT: DEFINITIONS AND IMPACTS ON THE ARTIFICIAL INTELLIGENCE CURRICULUM. Issues in Information Systems, 21(4). https://doi.org/10.48009/4_iis_2020_135-142 Susilo, D., Putranto, Teguh Dwi, Navarro, & Charles Julian Santos. (2022). Performance of Indonesian Ministry of Health in Overcoming Hoax About Vaccination Amid the COVID-19 Pandemic on Social Media. Nyimak: Journal of Communication, 5(1). Shade, B.J., Kelly, C.A. and Oberg, M. (1997) Creating culturally responsive classrooms. American Psychological Association. Shymansky, J.A. (1992) ‘Using constructivist ideas to teach science teachers about constructivist ideas, or teachers are students too=’, Journal of Science Teacher Education, 3(2), pp. 53–57. Available at: https://doi.org/10.1007/BF02614740.
132 Sleeter, C. E., & Grant, C. A. (2003). Making choices for multicultural education: Five approaches to race, class, and gender. John Wiley & Sons. Suroyo (2023) Buku Ajar: Pendidikan Multikultural. Pekanbaru: FKIP Universitas Riau. Tilaar, H.A.R. (1989) Pendidikan, Masyarakat, dan Kebudayaan. Rineka Cipta. Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme, Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. (Jakarta: PT. Grasindo, 2004). Utomo, P. (2023). Etika Bisnis di Era Digital. In: Digital Economy: Concepts, Strategies and Practices. Madani Berkah Abadi. Urbiola, A., Willis, G.B., Ruiz‐Romero, J., Moya, M., 2018. Does a multicultural perspective shape unbiased minds? The moderating role of outgroup threat. J Appl Soc Psychol 48, 608–617. Wuryanta, A.G.E.W. (2018) ‘Multikulturalisme, Posmodernisme dan Media’. Available at: https://doi.org/10.31227/osf.io/94g7e. Wuryantai, A.G.E.W. (2004) ‘Digitalisasi masyarakat: Menilik kekuatan dan kelemahan dinamika era informasi digital dan masyarakat informasi’, Jurnal Ilmu Komunikasi, 1(2). Wibowo,dkk. Pendidikan Karakter berbasis kearifan lokal disekolah (konsep,strategi, dan implementasi). (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2015). Wulandari, T. (2020) Konsep dan Praksis Pendidikan Multikultural. UNY Press. Wahyuni, S., Ambarwati, A., Junaidi, N.F.N., Ghony, J., Osman, Z., 2022. Model Authentic Assessment dalam Pembelajaran
133 Sastra Terintegrasi Karakter Multikultural. Jentera: Jurnal Kajian Sastra 11, 134–150. Yansen, T.P., 2014. Revolusi Dari Desa. Elex Media Komputindo. Zakiah, St. (2018). PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA: KONSEPSI FILSAFAT ISLAM. Al-Iltizam: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 3(1). https://doi.org/10.33477/alt.v3i1.419
134 Tentang Penulis Dr. Suroyo, M.Pd., lahir di Sleman, Yogyakarta. Latar belakang Pendidikan dari TK-SMA di Yogyakarta, S1 PPKn diperoleh tahun 2001 di Universitas Riau. Pendidikan S2 diraih tahun 2007 pada Jurusan PIPS Konsentrasi Pendidikan Sosiologi Antropologi pada Universitas Negeri Padang. Sementara gelar Doktor (Dr.) diraih pada jurusan Cultural Studies pada Universitas Udayana melalui program Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN). Tahun 2014 mengikuti Sandwich-Like Program ke Universita degli ‚L’ Orientale‛ di Napoli Italia lewat beasiswa Dikti. Pada tahun 2018 telah menyelesaikan Program Doktoral dan bertugas Kembali di Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Riau. Bidang kajian utama adalah kajian budaya. Jeliana Veronika Sirait, M.Pd., penulis merupakan dosen aktif di prodi Pendidikan Fisika FKIP Universitas Jambi. Lahir di Kota Medan Sumatera Utara pada tanggal 16 Spetember 1989, anak dari pasangan Bapak Robinson Sirait (Alm) dan Ibu Menantiara Purba. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Santo Thomas 4 Medan pada
135 tahun 2001, pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke jenjang berikutnya yakni SMP Negeri 7 Medan dan tamat tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan ke jenjang berikutnya di SMA Negeri 12 Medan dan lulus tahun 2007. Ditahun yang sama, penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Medan Fakultas MIPA dan lulus tahun 2011. Tahun 2013 penulis melanjutkan studi S2 di program studi Pendidikan Fisika Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan dan lulus tahun 2015. Email Penulis: [email protected] Saya Rico Andhika Putra tinggal di Kabupaten Tulungagung. Saya menyelesaikan pendidikan S1 Pendidikan Teknik Mesin di Universitas Negeri Malang pada tahun 2018. Pendidikan magister pendidikan pada program studi pendidikan kejuruan diselesaikan di Universitas Negeri Malang pada tahun 2020 dengan area Keterampilan di Abad 21. Saat ini bekerja sebagai Dosen program studi Pendidikan Vokasional Teknologi Otomotif di Universitas Bhinneka PGRI Sarmidi, Lahir di Blora, 27 November 1985 dan sekarang menetap di Tanjung Enim dengan sapaan akrab Didik. Menyelesaikan pendidikan (S1) pada Jurusan Pendidikan Teknik Otomotif, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2012, kemudian melanjutkan program Pascasarjana (S2) pada Program Magister Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Padang pada tahun 2018 kemudian
136 melanjutkan karirnya sebagai Dosen dan mendapatkan beasiswa dari PT. Bukit Asam Tbk pada Program Magister Terapan (S2) Jurusan Teknik Energi Terbarukan Politeknik Negeri Sriwijaya lulus tahun 2021. Saat ini penulis menjabat sebagai Ketua Program Studi Teknik Pengoperasian Alat Tambang Akademi Komunitas Industri Pertambangan Bukit Asam (AKIPBA, Diploma-1) Tanjung Enim, Sumatera Selatan, Indonesia. Sangputri Sidik, S.Pd., M.Pd., penulis lahir di Soppeng pada tanggal 26 Februari 1991. Merupakan anak pertama dari pasangan Muhammad Sidik, S.Pd dan Sudarmin, S.Pd. Menamatkan pendidikan dasar di SD Negeri 167 Togigi pada tahun 2003. Kemudian pada tahun 2006 menamatkan pendidikan menengah di SMP Negeri 3 Watansoppeng. Pada tahun 2009 menyelasaikan pendidikan tingkat atas di SMA Negeri 1 Watansoppeng. Pada tahun 2013 menamatkan pendidikan S1 di Universitas Muhammadyah Makassar pada program studi Pendidikan Sosiologi. Pada tahun 2018 menamatkan pendidikan S2 di Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar Program Studi Pendidikan Sosiologi. Saat ini berprofesi sebagai dosen di Program Studi Pendidikan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado. Mengampu mata kuliah Pengantar Sosiologi, Sosiologi Kesehatan, Sosiologi Keluarga, dan Studi Gender. Penulis juga aktif dalam penulisan artikel ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal nasional maupun internasioanal. Beberapa artikel yang telah dipublikasikan adalah Analisis Dampak Kebijakan Pembatasan Waktu Operasional Pasar Di Kabupaten Minahasa Akibat Penanggulangan Covid-19 (2020), Desain Pembelajaran
137 Jarak Jauh Untuk Membangkitkan Motivasi Belajar Siswa Pada Masa Pandemi Covid-19 (2021), Religious Experiences of the Muslim Community in Tomohon City (2023), Perjuangan Perempuan Kota Tomohon Pada Kontestasi Politik Lokal (2023), dan Konsep Pendidikan Keadilan Gender di Dalam Sistem Pendidikan Indonesia (2023). Selain itu penulis juga aktif dalam penulisan buku, yaitu buku Potret Pendidikan Di Era New Normal (2020) dan Sosiologi Dan Antropologi Kesehatan (2023). AG Eka Wenats Wuryanta yang sering dipanggil Eka adalah dosen ilmu komunikasi di Universitas Multimedia Nusantara Jakarta. Strata satu selesai dan menyelesaikan sarjana ilmu filsafat di Sekolah Tinggi Filfasat Driyarkara Jakarta. S2 dan S3 diselesaikan di Universitas Indonesia. Keduanya diselesaikan pada program studi ilmu komunikasi FISIP UI. Eka bisa dihubungi melalui [email protected] Arsa Widitiarsa Utoyo lahir di Jakarta. Ia pengajar dijurusan ilmu komunikasi di Universitas Multimedia Nusantara di Tangerang. Pengalaman menjadi pengajar sudah dijalani dari tahun 2010 hingga saat ini, beberapa karya tulisan sudah diterbitkan pada jurnal International, Nasional dan beberapa buku yang sudah terbit. Selain menjadi dosen, Arsa adalah spesialis komunikasi visual dan multimedia. Sejumlah proyek telah ia kerjakan, antara lain film animasi, company profile, desain logo, buku, foto produk, manajemen media sosial, dan berbagai proyek multimedia baik untuk swasta maupun pemerintah.
138 Penulis bab berjudul ‚Peran Media dalam Pendidikan Multikultural ini, Hery Yanto The, adalah pendidik dengan pengalaman bekerja dari tingkat pendidikan usia dini, sekolah dasar, sekolah menengah, sampai dengan perguruan tinggi. Sebelum bergabung dengan Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda pada tahun 2023, Hery menjadi pengajar dan peneliti di Zhejiang Yuexiu University of Foreign Language China. Di Cina, Hery mengajar Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Manajemen Keuangan, dan Bisnis Internasional. Selama berada di Cina, Hery juga aktif dalam pengabdian sosial Masyarakat untuk mengajar di TK, SD, dan SMP di Cina. Pengalaman bekerja juga Hery dapatkan saat berada di Honolu, Hawaii, USA. Selama berada di USA, Hery menjadi asisten riset bidang desain instruksional untuk pengembangan pembelajaran bahasa asing secara daring. Kegiatan interpretasi bahasa dan pelatihan penggunaan teknologi pendidikan juga Hery lakukan saat berada di Hawaii. Sekarang, Hery adalah tenaga pengajar mata kuliah bidang kependidikan di Program Studi Kependidikan Agama Buddha Nalanda.
139