| 43 6. Penggunaan Teknologi dan Inovasi Teknologi seperti aplikasi ponsel cerdas, perangkat pelacakan kesehatan, dan platform daring dapat digunakan untuk menyediakan informasi kesehatan yang terjangkau dan aksesibilitas, memfasilitasi komunikasi antara pasien dan penyedia layanan kesehatan, serta menyediakan dukungan dan motivasi untuk mengadopsi perilaku kesehatan yang positif. D. Tantangan dalam Meningkatkan Perilaku Kesehatan Tantangan dalam meningkatkan perilaku kesehatan meliputi ketidaktahuan dan kesadaran yang rendah, pengaruh lingkungan yang tidak mendukung, kendala akses terhadap layanan kesehatan, perubahan sikap dan perilaku yang sulit, ketidaksetaraan kesehatan, serta pengaruh budaya dan norma sosial. Memahami dan mengatasi tantangan-tantangan ini adalah penting dalam merancang strategi yang efektif untuk meningkatkan perilaku kesehatan dan mencapai kesehatan yang optimal bagi individu dan masyarakat. 1. Ketidaktahuan dan Kesadaran yang Rendah Salah satu tantangan utama dalam meningkatkan perilaku kesehatan adalah kurangnya pengetahuan dan kesadaran tentang pentingnya kesehatan dan konsekuensi dari perilaku yang tidak sehat. Individu yang kurang sadar akan risiko kesehatan cenderung
44 | tidak memperhatikan atau mengabaikan perubahan perilaku yang diperlukan. 2. Pengaruh Lingkungan yang Tidak Mendukung Lingkungan di sekitar individu, baik fisik maupun sosial, dapat menjadi penghalang bagi adopsi perilaku kesehatan yang positif. Faktor-faktor seperti ketersediaan makanan tidak sehat, tekanan sosial untuk mengkonsumsi alkohol atau merokok, dan kurangnya akses terhadap fasilitas olahraga dapat menghambat individu untuk melakukan perubahan perilaku yang sehat. 3. Kendala Akses Terhadap Layanan Kesehatan Kurangnya aksesibilitas dan ketersediaan layanan kesehatan yang terjangkau dapat menjadi hambatan bagi individu untuk mendapatkan perawatan medis, informasi kesehatan, dan dukungan yang mereka butuhkan. Hal ini dapat mengakibatkan penundaan dalam diagnosis dan pengobatan penyakit serta mempersulit upaya untuk mengadopsi perilaku kesehatan yang positif. 4. Perubahan Sikap dan Perilaku yang Sulit Mengubah sikap dan perilaku yang sudah mapan seringkali sulit dan memerlukan komitmen, motivasi, dan dukungan yang besar. Terutama untuk kebiasaan yang telah tertanam dalam jangka waktu yang lama, seperti merokok atau makan tidak sehat, individu mungkin mengalami kesulitan dalam memperkenalkan perubahan-perubahan yang diperlukan.
| 45 5. Ketidaksetaraan Kesehatan Tantangan dalam meningkatkan perilaku kesehatan juga mencakup ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya kesehatan, kesenjangan dalam pendidikan kesehatan, dan perbedaan dalam lingkungan sosial dan ekonomi. Kelompok-kelompok rentan seperti orang miskin, minoritas etnis, dan individu dengan disabilitas sering kali menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mengakses informasi kesehatan dan layanan kesehatan yang berkualitas. 6. Pengaruh Budaya dan Norma Sosial Norma-norma budaya dan sosial dapat mempengaruhi perilaku kesehatan individu dan menghambat adopsi perilaku kesehatan yang positif. Misalnya, stigmatisasi terhadap masalah kesehatan mental atau penolakan terhadap vaksinasi dapat mempersulit upaya untuk mempromosikan perilaku kesehatan yang diinginkan dalam masyarakat. E. Implementasi Perilaku Kesehatan yang Baik 1. Pola Makan Sehat Mulai menyertakan lebih banyak buah dan sayuran dalam setiap makanan, mengurangi konsumsi makanan olahan dan makanan cepat saji, serta meningkatkan asupan air minum. Contoh: Setiap minggu, menyusun jadwal belanja untuk membeli buah-buahan segar dan sayuran, dan menyediakan waktu untuk memasak makanan sehat di rumah.
46 | 2. Aktivitas Fisik Teratur Melakukan latihan aerobik, kekuatan, dan fleksibilitas setidaknya 3-5 kali seminggu. Contoh: Menjadwalkan waktu di pagi hari atau setelah bekerja untuk berjalan kaki, berlari, bersepeda, atau berenang, dan melibatkan keluarga atau teman untuk bergabung dalam kegiatan tersebut. 3. Menghindari Kebiasaan Merokok Berhenti merokok secara bertahap dengan mengurangi jumlah rokok yang dikonsumsi setiap hari. Contoh: Menggantikan waktu yang biasanya dihabiskan untuk merokok dengan aktivitas lain seperti meditasi, mengunyah permen karet, atau berolahraga ringan. 4. Pengelolaan Stres Melakukan praktik relaksasi seperti meditasi, yoga, atau pernapasan dalam. Contoh: Menjadwalkan waktu setiap hari untuk melakukan latihan relaksasi selama 10-15 menit, baik di pagi hari sebelum memulai aktivitas atau di malam hari sebelum tidur. 5. Tidur yang Cukup Menciptakan rutinitas tidur yang konsisten dan lingkungan tidur yang nyaman. Contoh: Menetapkan jadwal tidur yang tetap, mematikan perangkat elektronik sebelum tidur, dan menciptakan suasana tidur yang tenang dan gelap di kamar tidur.
| 47 6. Mengelola Kesehatan Mental Mencari dukungan dari profesional kesehatan mental atau bergabung dengan kelompok dukungan. Contoh: Memilih untuk berbicara dengan seorang terapis atau konselor untuk mendapatkan bantuan dalam mengelola stres, kecemasan, atau depresi. 7. Minum Air yang Cukup Membawa botol air minum dan mengatur pengingat untuk minum air secara teratur sepanjang hari. Contoh: Menetapkan tujuan untuk minum sekian banyak gelas air setiap hari dan mencatat jumlahnya untuk melacak apakah telah mencapai target. 8. Menggunakan Alat Pelindung Diri Selalu menggunakan helm saat mengendarai sepeda motor atau sepeda, menggunakan sabuk pengaman dalam mobil, dan menggunakan kondom saat berhubungan seks. Contoh: Memastikan bahwa setiap kali melakukan aktivitas tersebut, selalu memeriksa apakah telah menggunakan alat pelindung diri dengan benar. Implementasi perilaku kesehatan yang baik memerlukan komitmen, konsistensi, dan usaha yang berkelanjutan dari individu. Dengan mengambil langkahlangkah konkret seperti contoh-contoh di atas, individu dapat mencapai perubahan perilaku yang positif dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mereka secara keseluruhan.
48 | Konsep Pencegahan Penyakit ejarah kesehatan masyarakat dimulai dari seorang Filsuf Yunani , Hipocrates, menuliskan mengenai keterkaitan lingkungan dan kesehatan (Andresen and Bouldin, 2010). Dia menuliskan bagaimana keterkaitan antara iklim, tanah dan air memengaruhi outcome kesehatan. Di lain hal, Ia juga membedakan definisi antara endemic dan epidemic. Apa yang dilakukan oleh Hipocrates menuliskan jejak perkembangan sejarah kesehatan masyarakat selanjutnya hingga masa modern. Pada era modern (awal abad 20), kesehatan Masyarakat terus berkembang dalam bentuk bentuk program kegiatan. Pada masa ini mulai bermuculan Lembaga kesehatan seperti Center For Disease Control (CDC) dan World Health Organization (WHO). Selain itu, di era kesehatan masyarakat modern ini juga tercetuslah definisi Kesehatan Masyarakat pertama oleh C.E.A. Winslow yang dikenal hingga saat ini. S
| 49 Masa selanjutnya, definisi kesehatan masyarakat terus bermunculan. Pada tahun 1988, Institute of Medicine (IOM) mendefinisikan kesehatan masyarakat yaitu sebuah misi untuk memastikan masyarakat menjadi sehat. Definisi ini mendorong 3 fungsi inti utama kesehatan masyarakat yaitu: Penilaian (Assessment), Pengembangan Kebijakan (Policy Development) dan Menjamin atau memastikan (Assurance). Sejak kemunculan di era Hiprocrates, sekalipun ada banyak definisi kesehatan masyarakat, prinsip kesehatan masyarakat selalu konsisten yaitu menyehatkan manusia. Meski demikian, selain kesehatan masyarakat, ilmu kedokteran tentu memiliki tujuan yang sama. Sekilas kita akan menemukan kesulitan antara definisi kesehatan masyarakat dan kedokteran, karena keduanya memiliki kesamaan yaitu mengurangi dampak penyakit pada masyarakat dan memperpanjang kualitas hidup. Namun, setidaknya ada 3 keunggulan yang menjadi inti dari kesehatan masyarakat; spirit keadilan sosial, fokus pada populasi dan upaya pencegahan. Keunggulan ini menjadi pembeda ilmu kesehatan masyarakat dengan keilmuan lainnya. Pertama, spirit keadilan sosial. Konsep keadilan social dalam kesehatan masyarakat adalah setiap individu dalam suatu populasi memiliki akses yang sama dalam mendapatkan pelayanan dan program kesehatan. Kesehatan masyarakat mendorong akses terhadap pemenuhan air bersih, udara yang bersih, makanan sehat juga akses terhadap pelayanan kesehatan yang memadai. Selain itu, upaya kesehatan masyarakat mendorong dan memastikan tidak ada disparitas dalam akses terhadap kesehatan di masyarakat.
50 | Kedua, fokus pada populasi. Pada ilmu kedokteran, manajemen dilakukan pada individu. Pada kesehatan masyarakat, focus manajemen pada populasi lebih banyak dibandingkan individu. Populasi memiliki definisi sesuai konteksnya. Populasi dalam kesehatan masyarakat didefinisikan sebagai sekelompok orang yang memiliki karakteristik seperti usia, ras, gender, geografi, pendapatan, negara dan lainnya yang berdampak pada kesehatan masyarakat. Intervensi kesehatan masyarakat mempertimbangkan kebutuhan keingian dan atribut terkait individu dalam pengambilan keputusan, hal ini tidak sekedar memberikan keuntungan orang per orang, tetapi kepada semuanya secara keseluruhan sebagai sebuah populasi. Ketiga, fokus pada pencegahan. Kesehatan masyarakat berfokus pada upaya upaya pencegahan. Kesehatan masyarakat mencegah lemahnya outcome kesehatan atau eksposure yang menentukan outcome kesehatan. Untuk itu, kesehatan masyarakat mengidentifikasi faktor risiko penyakit dan menentukan metodologi untuk mengeliminasi dan membatasi risiko tersebut ke masyarakat agar tidak menjadi sakit. Dalam kata lain, kesehatan masyarakat bertujuan menjaga dan memelihara kesehatan dibandingkan mengobati atau memulihkan seseorang setelah sakit. Ketiga inti keunggulan dalam kesehatan masyarakat ini, berkaitan dengan upaya kesehatan masyarakat untuk memadukan level individu hingga populasi dengan manajemen berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan penyakit. Untuk itu perlu dipahami bagaimana konsep sehat dan sakit, penyakit serta perjalanan penyakit yang memengaruhi kesehatan.
| 51 A. Riwayat Alamiah Penyakit Penyakit didefinisikan sebagai proses patologi, deviasi dari bentuk biologi. Menurut definisi lain, penyakit adalah kegagalan dari mekanisme adaptasi suatu organisme untuk bereaksi secara tepat terhadap rangsangan atau tekanan sehingga timbul gangguan pada fungsi struktur, bagian, organ atau sistem dari tubuh. (Irwan, 2017). Setiap penyakit memiliki riwayat alamiah perjalanan penyakit tersendiri. Riawayat alamiah penyakit (Natural History of Disease) didefinisikan sebagai perjalanan penyakit mulai dari awal hingga akhir tanpa adanya intervensi dari luar tubuh. Hal ini dikarenakan mekanisme internal tubuh terlah terbentuk dalam imnunitas (MC Gupta, 2013). Ada dua fase dalam perjalanan riwayat alamiah penyakit: fase pre-patogenesis dan pathogenesis. Fase pre-patogensis adalah fase dimana terjadi interaksi antara agent, host dan faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya manifestasi suatu penyakit pada manusia. Sedangkan fase pathogenesis adalah perjalanan penyakit sejak interaksi pertama pemicu penyakit hingga munculnya perubahan didalam tubuh, baik bentuk dan fungsinya sampai tercapainya keseimbangan dalam tubuh dan berakhir dengan terjadinya pemulihan, cacat, sakit atau sembuh. Penjelasan mengenai riwayat alamiah penyakit terlihat dalam tabel 1. sebagai berikut:
52 | Tabel 1. Fase Prepatogenes dan Patogenesis dalam Riwayat Alamiah Penyakit Prepatogenesis Patogenesis Interaksi Agen, host dan lingkungan untuk memproduksi stimulus penyakit pada manusia/host Pre klinik: Agen atau stimulus memperbanyak diri di tubuh host Terjadi perubahan tubuh akibat respon dari masuknya agen. Perubahan ini berkaitan dengan peribahan psikologis, fungsi maupun marfologi jaringan Klinis: Terjadinya penyakit dengan tanda dan gejala tertentu Kronis Cacat Sehat Pemahaman mengenai Riwayat Alamiah penyakit akan membantu dalam menentukan upaya pencegahan yang dapat dilakukan. Kesehatan masyarakat adalah kerja dari level individu hingga kelompok dengan mengidentifikasi faktor risiko penyakit yang ada.
| 53 B. Konsep Pencegahan Penyakit Salah satu inti tujuan upaya kesehatan masyarakat adalah pencegahan. Pencegahan penyakit adalah salah satu upaya penting untuk mencegah terjadinya penyakit dan keparahan. Pencegahan didefinisikan sebagai berikut: Prevention is the process of intercepting or opposing the ‚cause‛ of a disease and thereby the disease process. (Natural History of Disease, 2019) Pencegahan adalah proses mencegah atau ‚menentang‛ penyebab suatu penyakit dan demikian pula pada proses kejadian penyakit itu sendiri. Setidaknya ada dua keuntungan yang didapatkan dengan pencegahan penyakit. Pertama, pada level individu, pencegahan dapat meningkatkan ‚survival rates‛ dan produktifitas seseorang. Kedua, pada level makro, memberikan dampak ekonomi untuk mengurangi biaya yang hilang selama pengobatan. Lama singkatnya pengobatan dipengaruhi oleh karakteristik spektrum penyakit. Spektrum penyakit adalah variasi representasi dari manifestasi penyakit. Hal ini lah yang menjadi alasan mengapa pentingnya Pencegahan penyakit. Spektrum penyakit terlihat seperti fenomena gunung es, dimana hanya sedikit yang terlihat. Hal, menjadi tantangan tenaga dokter dan kesehatan masyarakat. Seorang dokter menghadapai bagaimana menegakkan diagnosis segera pada kondisi penyakit yang asimptomatik (tidak bergejala). Sedangkan, tenaga kesehatan masyarakat dihadapkan pada tantangan transmisi penyakit pada mereka yang tidak terlihat sakit namun bisa menjadi carier
54 | ataupun media penular. Alasan inilah yang menjadikan pentingnya memahami konsep pencegahan penyakit. Konsep pencegahan penyakit dirumuskan oleh Leavell dan Clark melalui kerangka dasar yang terus dikembangkan hingga saat ini. Terdapat empat tingkatan pencegahan: primordial, primer, sekunder, dan tersier. Dari ke empat tingkatan ini, dijabarkan dalam lima tahapan pencegahan penyakit. Adapun penjelasan masing masing tingkatan adalah sebagai berikut: 1. Pencegahan primordial (Primordial Prevention) Primordial artinya awalan. Pada tingkatan ini, faktor risiko belum berkembang. Sehingga pencegahan pada tingkatan ini bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko. Pencegahan primordial dilakukan melalui Pendidikan kesehatan. Dalam hal ini terlihat contohnya adalah edukasi Perilaku Hidup bersih dan Sehat pada anak sekolah. a. Pencegahan Primer (Primary Prevention) Pencegahan primer adalah pencegahan yang berfokus untuk mencegah penyakit terjadi pada populasi. Pencegahan primer berkaitan dengan promosi kesehatan (Health promotion) dan perlindungan spesifik (Specific Protection). 1) Promosi Kesehatan (Health promotion) Segala usaha untuk mencegah penyakit tertentu. Tujuannya adalah mencegah penyakit tertentu. Beberapa contoh kegiatan promosi kesehatan seperti
| 55 a) Edukasi kesehatan untuk meningkatkan kesadaran populasi mencegah terjadinya penyakit b) Meningkatkan sistem air bersih c) Meningkatkan sanitasi lingkungan d) Membiasakan hidup bersih dan sehat Edukasi kesehatan tidak hanya dilakukan oleh pekerja sector kesehatan, namun juga bisa dilakukan oleh berbagai sektor yang berkaitan dengan kesehatan. Misalnya, pertanian, industi maupun pendidikan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk sehat. 2) Perlindungan spesifik (Specific Protection) Perlindungan spesifik adalah memberikan perlindungan kepada populasi tertentu yang membutuhkan perhatian khusus. Tujuannya dalah mencegah serangan atau kejadian penyakit tersebut. Perlindungan spesifik berkembang seiring dengan perkembangan teknologi, seperti keberadaan vaksin. Beberapa contoh kegiatan perlindungan khusus diantaranya: a) Imunisasi b) Pemberian suplemen seperti Vitamin A, Tablet tambah darah c) Penggunaan Alat pelindung Diri pada industri d) Klorinasi air b. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
56 | Pencegahan sekunder berfkus pada individu yang sakit. Tujuannya adalah untuk mencegah keparahan lebih lanjut dan penyebaran penyakit yang lebih luas di populasi. Aktifitas pada fase ini adalah Diagnosis dini dan Pengobatan Segera (Early Diagnosis and Prompt Treatment). Diagnosis dini dan pengobatan segera dapat dilakukan dalam beberapa level: 1) Populasi umum atau populasi tertentu 2) Kelompok tertentu misalnya: anak sekolah, penghuni lapas dan pekerja industri 3) Pasien rumah sakit Diagnosis dini dan pengobatan segera, memberikan keuntungan kepada keluarga dan komunitas. Pada penyakit dengan masa inkubasi yang lama, berguna memberikan waktu untuk mencegah perkembangan penyakit lebih lanjut atau perbaikan prognosis. Sedangkan unutk penyakit menular akan membantu memutus penularan penyakit dengan segera. Beberapa contoh kegiatan Diagnosis dini dan Pengobatan Segera adalah : 1) Skrining pap smear, spuntum TB 2) Monitoring kelompok khusus: Ibu hamil, anak-anak c. Pencegahan Tersier (Tertiary Prevention) Pada pencegahan tersier, penyakit sudah berkembang di tubuh individu. Tujuan dari fase ini adalah untuk mengurangi kerusakan dari penyakit dan mengembalikan fungsi tubuh yang rusak. Pada
| 57 fase ini terdapat dua aktifitas yaitu: Pembatasan kecatatan dan Rehabilitasi. 1) Pembatasan Kecacatan Pembatasan kecacatan bertujuan mencegah kerusakan yang lebih parah pada tubuh manusia. Beberapa penyakit dapat berkembang menjadi kecacatan total, misalnya kusta. Kusta dapat menyebabkan kerusakan mata hingga kebutaan jika tidak diobati, Terapi obat dapat mencegah kerusakan mata hingga mncegah kebutaan total. Contoh kegiatan ini misalnya pengobatan klinis pada pasien penyakit tertentu. 2) Rehabilitasi Rehabilitasi ditujukan pada pasien dalam masa pemulihan. Tujuannya adalah untuk mengembalikan fungsi dan kapasitas tubuh. Rehabilitasi memberikan pertimbangan terkait biaya pengobatan. Rehabilitasi dapat membuat waktu pengobatan lebih efektif sehingga menekan biaya pengobatan. Selain itu, rehabilitasi juga meliputi rehabilitasi psikologis. Rehabilitasi psikologis membantu pasien agar tidak stress dalam menghadapi penyakitnya. Misalnya, penyandang cacat yang harus menjalani kehidupan normal untuk dapat merasakan diterima oleh keluarga dan masyaraakat. Kegiatan dalam rehabilitasi yaitu pengobatan klinis dan support psikologis.
58 | Tabel 2. Konsep Pencegahan penyakit Sumber: (Adetokunbo O.Lucas, 2003) C. Keterkaitan antara Riwayat Alamiah Penyakit dan Konsep Pencegahan Penyakit Riwayat alamiah penyakit erat kaitannya dengan upaya pencegahan penyakit. Pada riwayat alamiah peenyakit kita mengetahui perjalanan pernyakit ditubuh manusia, sedangkan tingkatan pencegahan membantu kita melakukan upaya pencegahan sesuai dengan kerja inti keilmuan kesehatan masysarakat.
| 59 Upaya menuju sehat, dimulai dari level individu hingga populasi. Untuk itu, tidaklah mudah memastikan setiap masyarakat bisa hidup sehat tanpa ada strategi upaya pencegahan penyakit. Gambaran upaya pencegahan berdasarkan perjalanan riwayat alamiah penyakit terlihat dalam Gambar 1 sebagai berikut: Gambar 1. Riwayat alamiah penyakit dan tingkatan pencegahan Sumber (Paliwal, 2021) Gambar diatas menunjukkan tingkatan intervensi primer dilakukan di fase prepatogenesis, dimana terjadi interaksi antara host, agen dan lingkungan namun belum termanifestasi sebagai penyakit. Pada tahap ini, intervensi pencegahan yang dapat dilakukan adalah promosi kesehatan dan perlindungan khusus. Adapun tingkatan pencegahan sekunder dan tersier dilakukan di fase
60 | pathogenesis, dimana telah terjadi penyakit di tubuh manusia. Di tahap ini, intervensi pencegahan yang dilakukan adalah iagnosis dini dan pengobatan segera, pembatasan kecacatan dan rehabilitasi. D. Dimana peran tenaga kesehatan masyarakat dalam tingkatan pencegahan? Bila melihat penjelasan sebelumnya, peran tenaga kesehatan pada level pencegahan primer yaitu promosi kesehatan dan perlindungan khusus. Adapun tingkatan pencegahan sekunder dan tersier lebih banyak dilakukan oleh dokter. Namun, kesimpulan sementara ini tidak sepenuhnya benar. Kesehatan masyarakat dapat berperan disetiap tingkatan pencegahan. Pada level primer, tentu mudah dipahami mengenai kemampuan melakukan promosi dan edukasi kesehatan bagi seorang tenaga kesehatan. Pada tingkatan pencegahan sekunder dan tersier, juga tidak terlepas dari peranan tenaga kesehatan masyarakat. Misalnya pada tingkatan sekunder, seorang kesehatan masyarakat memang tidak dapat menegakkan diagnose penyakit pada level individu ataupun tidak dapat memberikan pengobatan. Namun, seorang tenaga kesehatan masyarakat dapat mendorong upaya pelayanan kesehatan dalam hal kebijakan pengobatan penyakit tertentu. Sehingga masyarakat tidak takut berobat, agar bisa diketahui sakitnya sehingga tidak menimbulkan kerugian yang semakin banyak. Pada tingkatan pencegahan tersier, tenaga kesehatan masyarakat juga dapat mengambil perannya. Support
| 61 secara social bagi para penderita penyakit kronis dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan melalui konseling/ penyuluhan. Di Rumah sakit, pasien mendapatkan perawatan oleh tenaga medis. Dilain hal, keluarga pasien, tetangga bahkan masyarakat juga memerlukan informasi objektif untuk mendukung kerabatnya ketika sakit. Beberapa stigma penyakit dimasyarakat membuat penyidap enggan untuk berobat, akibatnya penyakitnya akan semakin parah dan menimbulkan kecacatan. Untuk itu intervensi pencegahan tidak menutup dikerjakan pada tingkatan tertentu saja. Semuanya dapat dilakukan bergantung pada penyakit tertentu yang lebih spesifik. Namun, secara prinsip terdapat empat metode pencegahan disetiap tingkatan: 1. Menghilangkan agen penyakit 2. Memuus mata rantai transmisi 3. Memutus kontak dengan agen penyakit 4. Meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh. Meski demikian, tidaklah dipungkiri peranan kesehatan masyarakat paling besar berada dalam tingkatan pencegahan primer. Hal ini didukung oleh core keilmuan kesehatan masyarakat yang salah satunya adalah promosi kesehatan. Promosi kesehatan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk dapat hidup sehat dan mandiri.
62 | E. Keberhasilan Pencegahan Penyakit Upaya pencegahan penyakit berpotensi gagal dilakukan jika tidak diketahui apa saja yang menjadi faktor penentunya. Beberapa faktor penentu keberhasilan pencegahan penyakit adalah sebagai berikut (Natural History of Disease, 2019): 1. Pengetahuan akan penyebab suatu penyakit Penyakit disebabkan oleh agen, baik itu biologi, fisik, kima dan lainnya. Memahami agen penyakit akan memudahkan dalam menentukan tindakan pencegahan. 2. Dinamika transmisi Transmisi penyakit memberikan informasi tentang bagaimana penularan penyakit, sehingga dapat ditentukan mata rantai penularannya. 3. Indentifikasi Faktor Risiko Dalam berbagai teori penyakit, penyakit tidak disebabkan oleh penyebab tunggal. Melainkan oleh beberapa faktor risiko. Untuk memudahkan memahami faktor risiko penyakit, disingkat menjadi BEINGS, yaitu: a. Biological factors and Behavioral Factors: faktor Biologi dan Perilaku b. Environmental factors: Faktor Lingkungan c. Immunologic factors: Faktor Immunologi d. Nutritional factors: Faktor Gizi e. Genetic factors: Faktor Genetik
| 63 f. Services, Social factors, and Spiritual factors: Faktor Sosial, Pelayanan dan Spiritual 4. Kemampuan diagnosis dini dan pengobatan Semakin cepat diagnosis sebuah penyakit, semakin baik upaya pencegahan yang dapat dilakukan 5. Pengorganisasian pengukuran keberhasilan Pencegahan penyakit adalah upaya terorganisir yang membutuhkan strategi. Strategi ini diperlukan untuk mengukur keberhasilan upaya pencegahan disetiap tahapan dan tingkatannya. Gambar 2 memerlihatkan Strategi pencegahan terus menerus : Gambar 2. Strategi Pencegahan Sumber: (Salama, no date) Strategi pencegahan adalah upaya berkesinambungan yang dimulai dari identifikasi populasi dengan risiko tinggi pada penyakit tertentu. Selanjutnya
64 | menilai ekposure dilanjutkan dengan melakukan riset mengenai mekanisme terjadinya penyakit. Setelah diketahui, maka disusunlah program intervensi berbasis masyarakat. Program yang sudah dibuat, kemudian dievaluasi. Evaluasi program menghasilkan perbaikan untk dilakuakn modifikasi program selanjutnya. Hal ini terus berlanjut melalui tahapantahapannya. 6. Evaluasi berkelanjutan Evaluasi adalah upaya berkelanjutan program agar menjadi lebih baik. Evaluasi program menghasilkan perbaikan untk dilakukan modifikasi program selanjutnya. Setiap tahapannya dievaluasi dan diukur sesuai target pencapaian yang diharapkan. Pencegahan penyakit adalah upaya melawan agen penyakit untuk berkembang menjadi penyakit, termasuk menghentikan proses terjadinya penyakit. Terdapat empat tingkatan pencegahan yang terdiri dari: primordial primer, sekunder dan tersier. Keempat tingkatan tersebut dilakukan dalam lima tahapan pencegahan yang meliputi: Promosi kesehatan, perlindungan khusus, diagnose dini, pembatasan kecacatan dan rehabilitasi. Keberhasilan pencegahan ditentukan oleh ebebrapa faktor. Diantaranya adalah pengetahuan tentang penyakit dan strategi pencegahan yang terorganisir.
| 65 Konsep Dasar Epidemiologi A. Definisi dan Terminologi Epidemiologi Epidemiologi merupakan cabang ilmu kesehatan masyarakat yang fokus pada studi distribusi dan determinan penyakit dalam populasi manusia. Secara harfiah, istilah ini berasal dari bahasa Yunani "epi" yang berarti "atas" atau "di antara," "demos" yang berarti "rakyat," dan "logos" yang berarti "studium" atau "ilmu." Dengan demikian, epidemiologi secara khusus berkaitan dengan studi tentang penyakit yang memengaruhi populasi manusia. Epidemiologi mempelajari distribusi, determinan, kontrol, dan pencegahan penyakit di dalam populasi manusia. Melalui pendekatan ilmiah yang sistematis, epidemiologi membantu dalam mengidentifikasi pola penyakit, mengembangkan strategi pencegahan, dan meningkatkan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
66 | Salah satu aspek penting dalam epidemiologi adalah definisi dan terminologi yang digunakan. Definisi yang jelas dan istilah yang tepat sangat penting untuk memastikan pemahaman yang konsisten dan komunikasi yang efektif di antara para profesional kesehatan masyarakat. Melalui pemahaman konsep-konsep ini, para peneliti, praktisi kesehatan, dan pembuat kebijakan dapat membentuk dasar pengetahuan yang kuat untuk mengatasi tantangan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, beberapa konsep dan terminologi kunci dalam epidemiologi disajikan sebagai berikut: 1. Definisi Epidemiologi Epidemiologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari distribusi dan determinan penyakit dalam populasi manusia serta menerapkan pengetahuan ini untuk mengendalikan masalah kesehatan. Menurut (Last, 2000), epidemiologi adalah ilmu yang menyelidiki sejauh mana penyakit tersebar, faktor apa yang berkontribusi pada penyebaran tersebut, dan cara mengontrolnya. 2. Terminologi Epidemiologi a. Distribusi Penyakit Distribusi penyakit adalah pola penyebaran penyakit dalam suatu populasi. Ini mencakup prevalensi (jumlah kasus penyakit dalam populasi pada suatu waktu tertentu) dan insidensi (jumlah kasus baru dalam periode waktu tertentu) penyakit, serta pola geografis dan temporalnya. Melalui analisis distribusi penyakit ini kita dapat mengidentifikasi tren
| 67 penyakit, menganalisis perbedaan insidensi antar kelompok populasi, dan menilai dampak kesehatan masyarakat. Konsep distribusi penyakit membantu merancang intervensi yang sesuai dan menentukan prioritas kesehatan masyarakat. Distribusi penyakit melibatkan analisis tentang bagaimana penyakit menyebar dalam suatu populasi yang meliputi prevalensi dan insidensi penyakit. Prevalensi mengukur jumlah kasus penyakit dalam populasi pada suatu waktu tertentu, sementara insidensi mengacu pada jumlah kasus baru dalam periode waktu tertentu (Gordis, 2014). b. Determinan Penyakit Determinan penyakit adalah faktor-faktor yang memengaruhi kejadian dan distribusi penyakit dalam populasi. Faktor-faktor ini mencakup agen penyebab, faktor tuan rumah (host), dan lingkungan (Last, 2000). Pada konsep ini dapat melibatkan faktor genetik, perilaku, lingkungan, dan sosial-ekonomi. Pemahaman tentang determinan penyakit memungkinkan untuk mengidentifikasi faktor risiko yang berpotensi dan mengembangkan strategi pencegahan yang efektif. Studi epidemiologi sering fokus pada identifikasi dan evaluasi determinan penyakit untuk menginformasikan intervensi yang lebih efektif pada masa yang akan datang. c. Faktor Risiko Faktor risiko adalah variabel atau karakteristik yang terkait dengan peningkatan kemungkinan terjadinya suatu penyakit. Studi kasus-kontrol dan
68 | studi kohort digunakan untuk mengidentifikasi faktor risiko (Last, 2000). Faktor risiko dalam epidemiologi dapat bervariasi dari faktor genetik, lingkungan, perilaku, hingga sosial ekonomi. Faktor genetik mencakup warisan genetik yang dapat meningkatkan kerentanan seseorang terhadap penyakit tertentu, sedangkan faktor lingkungan mencakup paparan terhadap polusi udara, bahan kimia berbahaya, atau kondisi lingkungan yang tidak sehat. Faktor perilaku seperti merokok, kurangnya aktivitas fisik, dan pola makan yang tidak sehat juga menjadi faktor risiko yang signifikan. Di samping itu, faktor sosial ekonomi seperti status sosial, pendidikan, akses terhadap layanan kesehatan, dan kondisi ekonomi juga memainkan peran penting dalam menentukan kesehatan individu dan populasi (Rothman, Greenland and Lash, 2008). d. Studi Observasional Studi observasional melibatkan pengamatan terhadap individu atau kelompok yang terpapar atau terkena penyakit tanpa intervensi langsung. Studi ini mencakup studi deskriptif dan analitik (Porta, 2014). Dalam studi ini, para peneliti mengumpulkan data tentang eksposur (paparan terhadap faktor risiko) dan kejadian penyakit dari sekelompok orang atau populasi tanpa mengintervensi variabel-variabel tersebut. Studi observasional memiliki keuntungan seperti kemampuan untuk mengidentifikasi hubungan antara faktor risiko dan penyakit dalam pengaturan yang lebih alami, serta memungkinkan peneliti untuk
| 69 mengumpulkan data dari berbagai populasi. Namun, studi ini juga memiliki keterbatasan, termasuk sulitnya mengontrol faktor pengganggu (confounding factors) dan kesulitan dalam menentukan hubungan sebab-akibat. e. Analisis Epidemiologi Analisis epidemiologi adalah proses penggunaan metode statistik dan analisis data untuk mengidentifikasi pola, tren, dan hubungan antara faktor risiko tertentu dengan kejadian suatu penyakit atau kondisi kesehatan dalam suatu populasi. Tujuan utama dari analisis epidemiologi adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang distribusi penyakit dan faktor-faktor yang memengaruhinya, sehingga dapat membantu dalam merencanakan intervensi kesehatan masyarakat yang efektif. Analisis epidemiologi melibatkan penggunaan metode statistik dan matematika untuk menginterpretasikan data epidemiologi. Hal ini mencakup analisis deskriptif, analisis bivariat, dan analisis multivariat (Rothman, Greenland and Lash, 2008). f. Intervensi Kesehatan Masyarakat Intervensi kesehatan masyarakat adalah upaya untuk mencegah atau mengendalikan penyakit dan masalah kesehatan masyarakat melalui tindakan yang ditujukan pada populasi atau kelompok tertentu dalam masyarakat (Gordis, 2014). Intervensi ini bisa berupa vaksinasi, perubahan kebijakan publik, promosi kesehatan, atau intervensi tingkat individu. Evaluasi efektivitas intervensi kesehatan masyarakat
70 | menjadi penting untuk memastikan bahwa upaya intervensi yang dilakukan berhasil dalam mengurangi beban penyakit dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara keseluruhan. g. Etika Penelitian Epidemiologi Eika penelitian epidemiologi melibatkan prinsipprinsip seperti keadilan, menghormati otonomi individu, dan meminimalkan risiko bagi subjek penelitian (Last, 2000). Prinsip etika penelitian adalah landasan penting dalam penerapan epidemiologi. Penelitian epidemiologi melibatkan partisipasi manusia, dan oleh karena itu, perlindungan terhadap hak dan kesejahteraan subjek penelitian sangat penting. Prinsip-prinsip etika, seperti keadilan, otonomi, dan menghindari kerugian yang tidak perlu, harus diintegrasikan dalam perencanaan dan pelaksanaan setiap penelitian epidemiologi. Hal ini juga mencakup penerapan kode etik dan persetujuan informasi dari partisipan penelitian h. Survei Epidemiologi Survei epidemiologi merupakan metode penelitian yang digunakan dalam ilmu epidemiologi untuk mengumpulkan data dari anggota suatu populasi dengan tujuan memahami distribusi penyakit, faktor risiko, dan karakteristik kesehatan masyarakat. Survei epidemiologi adalah metode pengumpulan data dari populasi yang luas melalui wawancara atau kuesioner untuk memahami distribusi penyakit dan faktor risikonya (Gordis, 2014). Analisis data dari survei ini sering melibatkan
| 71 penggunaan metode statistik untuk mengidentifikasi hubungan antara faktor risiko dengan penyakit, serta untuk mengontrol faktor confounding (pengganggu) yang dapat memengaruhi hasil. i. Studi Eksperimental Studi eksperimental, seperti uji klinis acak terkontrol, digunakan untuk mengevaluasi efektivitas intervensi kesehatan masyarakat dengan membandingkan kelompok intervensi dengan kelompok kontrol (Rothman, Greenland and Lash, 2008). Studi eksperimental dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, termasuk uji coba klinis terkontrol secara acak (randomized controlled trials/RCTs), uji coba klinis terkontrol tanpa acak (non-randomized controlled trials), serta uji lapangan atau intervensi komunitas. Uji klinis acak terkontrol sering dianggap sebagai desain eksperimental yang paling kuat, karena penggunaan randomisasi untuk menetapkan peserta ke dalam kelompok intervensi dan kelompok kontrol secara acak, sehingga mengurangi bias dan memastikan perbandingan yang adil antara kedua kelompok tersebut. j. Model Matematika Model matematika, seperti model penyebaran penyakit, digunakan untuk memprediksi tren epidemiologi dalam pengembangan kebijakan kesehatan masyarakat (Rothman, Greenland and Lash, 2008). Epidemiologi berkontribusi pada pengembangan kebijakan kesehatan yang berkelanjutan. Melalui pemahaman distribusi dan
72 | determinan penyakit, kita dapat memberikan wawasan yang diperlukan bagi pembuat kebijakan untuk merancang strategi kebijakan yang efektif. Penerapan epidemiologi merupakan dasar bagi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program kesehatan masyarakat. Keputusan kebijakan kesehatan masyarakat harus didukung oleh bukti ilmiah yang kuat, dan di sinilah peran atau kontribusi epidemiologi menjadi sangat penting dalam memberikan dasar pengetahuan yang diperlukan untuk pembuatan keputusan (Brownson and Petitti, 2006). Distribusi penyakit, determinan penyakit, intervensi kesehatan masyarakat, metode penelitian, etika penelitian, dan pengembangan kebijakan kesehatan adalah aspek-aspek kunci yang membentuk kerangka kerja epidemiologi. Kontribusi epidemiologi sangat penting dalam upaya global untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan merespons tantangan kesehatan yang terus berkembang. B. Triad atau Segitiga Epidemiologi Triad atau segitiga epidemiologi merupakan konsep penting dalam ilmu epidemiologi yang digunakan untuk memahami interaksi kompleks antara tiga elemen utama: host (individu yang rentan terhadap penyakit), agen penyebab (faktor yang menyebabkan penyakit), dan lingkungan (faktor-faktor eksternal yang memengaruhi interaksi antara host dan agen penyebab). Konsep ini memberikan kerangka kerja yang komprehensif dalam menganalisis penyakit infeksi dan non-infeksi, serta
| 73 merancang strategi pencegahan dan pengendalian yang efektif di masyarakat. Selain itu, penerapan konsep Segitiga Epidemiologi memungkinkan para peneliti untuk memperoleh wawasan yang lebih dalam tentang epidemiologi penyakit tertentu dan menyusun strategi pencegahan yang lebih efektif (Rothman, Greenland and Lash, 2008). Oleh karena itu, berikut ini dijelaskan masingmasing elemen triad, interaksi di antara elemennya, dan aplikasinya dalam bidang kesehatan masyarakat. 1. Host (Individu yang Rentan Terhadap Penyakit) Host adalah individu atau populasi manusia yang rentan terhadap penyakit. Faktor-faktor yang memengaruhi kerentanan host meliputi karakteristik genetik, status imunisasi, usia, jenis kelamin, kebiasaan hidup, dan kondisi kesehatan umum. Misalnya, individu dengan sistem kekebalan yang lemah lebih rentan terhadap infeksi, sedangkan usia lanjut atau kondisi medis kronis dapat meningkatkan risiko terkena penyakit tertentu dan komplikatif. Dengan memahami faktor-faktor ini maka dapat membantu dalam merancang strategi pencegahan yang sesuai dan memudahkan dalam penentuan kelompok populasi prioritas (Gordis, 2014). 2. Agen Penyebab (Faktor yang Menyebabkan Penyakit) Agen penyebab adalah faktor yang langsung menyebabkan penyakit pada host. Ini bisa berupa bakteri, virus, parasit, jamur, atau bahan kimia yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia. Agen penyebab bertanggung jawab atas proses patogenesis, yaitu cara penyakit berkembang dalam tubuh
74 | manusia. Contohnya, virus influenza menjadi agen penyebab flu, sedangkan bakteri Salmonella menyebabkan infeksi saluran pencernaan. Memahami agen penyebab dan karakteristiknya merupakan kunci dalam merancang strategi pencegahan yang efektif, termasuk vaksinasi, pengobatan, dan pengendalian infeksi (Last, 2000). 3. Lingkungan (Faktor-faktor Eksternal yang Memengaruhi Interaksi Host dan Agen Penyebab) Lingkungan sebagai tempat tinggal host dan agen merupakan ekosistem atau faktor-faktor eksternal yang memengaruhi interaksi antara host dan agen penyebab. Lingkungan mencakup fisik, biologi dan sosial yang dapat dilihat wujudnya sebagai kondisi sanitasi, kualitas air dan udara, kebiasaan hidup, akses terhadap layanan kesehatan, serta faktor-faktor sosial-ekonomi dalam masyarakat. Misalnya, kondisi sanitasi yang buruk atau akses terbatas terhadap air bersih dapat meningkatkan risiko terkena penyakit infeksius seperti diare atau kolera. Faktor-faktor lingkungan juga dapat memengaruhi eksposur terhadap agen penyebab, misalnya melalui kontaminasi makanan atau udara. Memahami peran lingkungan dalam triad epidemiologi membantu dalam merancang intervensi yang berfokus pada perbaikan kondisi lingkungan dan promosi kesehatan yang sesuai (Porta, 2014). 4. Interaksi dalam Triad Epidemiologi Interaksi antara host, agen penyebab, dan lingkungan sangat kompleks dan saling meme-
| 75 ngaruhi. Triad epidemiologi tidak hanya terdiri dari tiga elemen yang terpisah, tetapi juga mencerminkan interaksi dinamis antara host, agen, dan lingkungan. Perubahan dalam satu elemen dapat memengaruhi dinamika keseluruhan triad dan akhirnya memengaruhi penyebaran penyakit dalam populasi. Contohnya, perubahan kondisi lingkungan seperti iklim yang ekstrem dapat memengaruhi prevalensi penyakit tertentu, sementara modifikasi genetika pada tingkat individu dapat memodifikasi kerentanannya terhadap penyakit. Contoh yang lain, seperti deforestasi atau urbanisasi dapat memengaruhi perilaku habitat hewan, yang dapat meningkatkan risiko kontak manusia dengan agen penyebab penyakit zoonosis. Oleh karena itu, pendekatan yang holistik dan terpadu dalam menganalisis interaksi triad epidemiologi dapat mengidentifikasi faktor risiko, memahami pola penyebaran penyakit, dan merancang intervensi yang tepat untuk mengendalikan atau mencegah penyakit (Last, 2000). 5. Implikasi dalam Praktik Kesehatan Masyarakat Konsep triad epidemiologi memiliki aplikasi yang luas dalam bidang kesehatan masyarakat, khususnya dalam pengendalian dan pencegahan penyakit. Dengan memahami interaksi antara agen penyebab, host, dan lingkungan, para ahli kesehatan dapat merancang strategi pencegahan yang efektif. Ini bisa termasuk vaksinasi, perbaikan sanitasi lingkungan, promosi kesehatan, atau pengendalian vektor. Melalui
76 | pendekatan yang holistik dan terintegrasi, pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif (Park, 2023). Berikut ini beberapa bentuk implikasi praktis dari Triad Epidemiologi, yaitu: a. Pengendalian Penyakit Menular. Dengan memahami agen penyebab, host, dan lingkungan yang memengaruhi penyebaran penyakit menular, maka program pengendalian penyakit dapat difokuskan pada identifikasi kasus, isolasi pasien yang terinfeksi, vaksinasi, dan promosi kebersihan lingkungan. b. Pencegahan Penyakit Kronis. Dalam kasus penyakit kronis seperti penyakit jantung, kanker, atau diabetes, pemahaman tentang faktor risiko yang terkait dengan agen penyebab, host, dan lingkungan sangat penting. Intervensi kesehatan masyarakat dapat difokuskan pada promosi gaya hidup sehat, edukasi tentang faktor risiko, dan perubahan kebijakan publik yang mendukung lingkungan yang sehat. c. Pemantauan Kesehatan Populasi. Triad Epidemiologi juga penting dalam pemantauan kesehatan populasi. Dengan memantau pola penyebaran penyakit, karakteristik host, dan faktor lingkungan, maka kita dapat mengidentifikasi tren penyakit, memprediksi wabah, dan menginformasikan kebijakan kesehatan masyarakat.
| 77 C. Epidemiologi pada Pemecahan Masalah Kesehatan Epidemiologi memainkan peran krusial dalam pemecahan masalah kesehatan melalui pendekatan yang sistematis dan terstruktur. Salah satu metode yang sering digunakan dalam epidemiologi adalah pendekatan 5 W + 1 H (Who, What, When, Where, Why, dan How). Pendekatan ini memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk memahami, menganalisis, dan mengatasi masalah kesehatan dalam masyarakat. Dengan mengetahui siapa yang terpengaruh, apa yang menyebabkan masalah, di mana dan kapan hal itu terjadi, mengapa hal itu terjadi, dan bagaimana itu terjadi, maka kita dapat merumuskan strategi yang lebih efektif untuk mencegah dan mengendalikan penyakit dalam populasi. Dalam pengembangan topik ini, akan dibahas lebih rinci bagaimana epidemiologi menggunakan pendekatan 5 W + 1 H dalam pemecahan masalah kesehatan di masyarakat dan bagaimana pendekatan ini dapat memberikan wawasan yang berharga untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. 1. Who (Siapa) Aspek "Who" dalam pendekatan 5 W + 1 H fokus pada identifikasi dan karakterisasi populasi yang terpengaruh oleh masalah kesehatan. Ini mencakup analisis karakteristik demografis, sosial, ekonomi, dan genetik dari populasi yang terkena dampak. Kita dapat mengetahui distribusi penyakit di antara kelompok populasi dan mencoba memahami faktor-faktor yang
78 | membuat beberapa kelompok lebih rentan terhadap masalah kesehatan tertentu. Analisis ini dapat membantu dalam menentukan intervensi yang lebih terarah dan efektif untuk kelompok risiko tinggi (Gordis, 2014). 2. What (Apa) Pertanyaan "What" berkaitan dengan identifikasi penyakit atau masalah kesehatan tertentu yang sedang dikaji. Ini mencakup pengumpulan data tentang jenis penyakit, gejala klinis, dan karakteristik lainnya yang terkait dengan kondisi kesehatan tertentu. Kita dapat menggunakan data ini untuk menggambarkan beban penyakit, pola penyebaran, dan perubahan tren seiring waktu. Pemahaman mendalam tentang "What" memberikan dasar untuk pengembangan intervensi yang sesuai dengan karakteristik klinis penyakit tersebut (Rothman, Greenland and Lash, 2008). 3. When (Kapan) Aspek "When" fokus pada waktu atau periode waktu ketika masalah kesehatan terjadi atau mencapai tingkatan tertentu. Analisis temporal penyakit dapat membantu mengidentifikasi tren penyebaran penyakit, musimanitas, dan faktor-faktor yang dapat memengaruhi risiko penyakit pada waktu tertentu. Dengan memahami kapan penyakit mencapai puncaknya atau menurun, maka kita dapat merencanakan intervensi yang tepat waktu. Informasi ini memberikan dasar untuk mengalokasikan sumber daya dengan efisien dan mengimplementasikan
| 79 langkah-langkah pencegahan atau kontrol yang sesuai (Gordis, 2014). 4. Where (Di mana) Pertanyaan "Where" fokus pada lokasi geografis dari masalah kesehatan yang sedang terjadi atau menyebar. Ini melibatkan pemetaan distribusi penyakit dan analisis faktor lingkungan yang dapat memengaruhi penyebaran penyakit. Kita dapat mencari hubungan antara lokasi geografis dan faktorfaktor tertentu yang dapat menjadi penyebab atau faktor risiko penyakit. Pemahaman tentang pola spasial penyakit juga dapat membantu dalam mengidentifikasi klaster penyakit dan sumber penularan yang potensial. Informasi ini dapat digunakan untuk merancang intervensi yang spesifik untuk area tertentu atau populasi yang tinggal di wilayah geografis tertentu (Rothman, Greenland and Lash, 2008). 5. Why (Mengapa) Aspek "Why" merupakan elemen analisis penyebab atau determinan masalah kesehatan. Ini melibatkan identifiikasi faktor-faktor risiko yang dapat memicu atau berkontribusi pada penyakit atau kondisi kesehatan. Analisis "Why" membantu dalam mencari penjelasan faktor-faktor penyebab yang mendasari masalah kesehatan sehingga dapat diubah atau dimodifikasi agar mengurangi risiko penyakit. Dengan pemahaman mendalam tentang mengapa suatu masalah kesehatan terjadi, para ahli
80 | epidemiologi dapat mengembangkan strategi pencegahan yang lebih efektif (Last, 2000). 6. How (Bagaimana) Pertanyaan "How" dalam pendekatan ini mencakup cara penyebaran penyakit atau masalah kesehatan terjadi. Ini melibatkan analisis jalur penularan penyakit, faktor-faktor yang mendukung penyebaran, dan mekanisme penyakit di antara populasi. Selain itu, pertanyaan ‚how‛ juga dapat dipakai untuk menjelaskan teknik penyelesaian masalah Kesehatan masyarakat yang terjadi. Pemahaman "How" penting untuk merancang intervensi dan kontrol yang sesuai dengan karakteristik penyebaran penyakit tersebut (Rothman, Greenland and Lash, 2008). 7. Implikasi Penerapan Pendekatan 5 W + 1 H Penerapan pendekatan 5 W + 1 H memiliki implikasi yang luas dalam pemecahan masalah kesehatan. Melalui analisis komprehensif terhadap siapa yang terpengaruh, apa masalah kesehatan tersebut, kapan dan di mana hal itu terjadi, mengapa penyakit itu muncul, dan bagaimana penyebarannya, maka kita dapat merancang strategi pencegahan dan kontrol yang lebih efektif. Implikasi penerapan pendekatan ini bertujuan untuk: a. Pengembangan Kebijakan Kesehatan. Informasi yang diperoleh melalui pendekatan 5 W + 1 H dapat digunakan untuk merancang kebijakan kesehatan yang lebih terarah dan efisien.
| 81 Identifikasi populasi yang rentan, lokasi yang terpengaruh, dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi membantu dalam pengambilan keputusan kebijakan. b. Perencanaan Intervensi. Pendekatan ini membantu dalam perencanaan intervensi kesehatan masyarakat yang lebih baik. Dengan mengetahui siapa yang terpengaruh, apa masalah kesehatannya, kapan dan di mana masalah tersebut terjadi, mengapa muncul, dan bagaimana penyebarannya, para ahli kesehatan dapat merancang intervensi yang sesuai dengan konteks dan karakteristik masalah kesehatan tersebut. c. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Informasi dari pendekatan ini mendukung pengembangan strategi pencegahan dan pengendalian penyakit yang lebih efektif. Ini termasuk identifikasi dini wabah, pengendalian penyebaran penyakit, dan implementasi tindakan pencegahan yang tepat. d. Pemantauan Kesehatan Populasi. Pendekatan 5 W + 1 H juga penting dalam pemantauan kesehatan populasi. Dengan memantau karakteristik demografis, geografis, dan waktu, serta faktorfaktor yang memengaruhi masalah kesehatan, para ahli kesehatan dapat mengidentifikasi tren dan pola penyebaran penyakit serta meresponsnya dengan cepat.
82 | Peranan Kesehatan Lingkungan Terhadap Stunting Anak ondisi tubuh kerdil (stunting) pada anak balita menunjukkan adanya keadaan gagal tumbuh atau kondisi tidak normal karena kurang tercukupinya asupan gizi dalam waktu lama atau kronis kronis. Panjang atau tinggi badan anak berdasarkan usianya menjadi tidak sesuai atau dapat dinyatakan terlalu pendek. Secara umum terjadi kondisi tersebut dialami ketika bayi masih di dalam kandungan ibu sampai pada usia dua tahun. Perlu adanya perhatian yang khusus pada periode 1000 hari pertama kehidupan anak, agar termonitor dengan baik riwayat pertumbuhan fisiknya yang akan berdampak pada kecerdasan dan perkembangan kemampuan anak di masa depan. Disamping itu secara jangka panjang imbas dari besarnya angka stunting ini dapat menjadikan kendala suatu negara untuk maju secara ekonomi K
| 83 karena terjadi hilangnya Gross Domestic Products sekitar 11% dan berkurangnya pendapatan para pekerja dewasa serta berpeluang menaikkan angka kemiskinan (Rahayu dkk, 2018). Berdasarkan data statistik PBB dunia, balita yang stunting ada sebanyak lebih dari 149 juta (22%) balita (Kemenko PMK, 2023). Kondisi tersebut termasuk dialami Indonesia. Di Indonesia prevalensi kasus balita stunting berada pada angka 31,8% (Asian Development Bank, 2022). Angka stunting di Indonesia menempati urutan ke-10 di wilayah Asia Tenggara. Kondisi tersebut jika tidak ditangani dengan tepat, akan memperparah keadaan pembangunan Indonesia termasuk menurunkan pertumbuhan ekonomi yang dapat berefek menikngkatkan kemiskinan. Factor penyebab dari stunting bermacam-macam. Kajian terhadap determinan stunting di Indonesia menyatakan penyebab dari stunting diantaranya adalah status gizi buruk ketika sebelum hamil, ketika mengandung/hamil, ketika menyusui, kondisi lingkungan rumah, kandungan zat gizi mikro yang rendah, pemberian makanan yang kurang, kontaminasi air dan makanan, serta penyakit infeksi (Torlesse et al, 2016; Beal T et al, 2018). Pola asuh, pola makan, dan sanitasi air bersih menjadi komponen penting dalam penanggulangan kasus stunting (Izwardy Doddy, 2019). Adanya peningkatan gizi untuk kaum wanita untuk mengurangi ukuran bayi lahir rendah dan meningkatkan kebersihan skala rumah tangga untuk mengurangi kasus diare serta praktik pemberian makanan sesuai kecukupan untuk balita (Akombi et al, 2017). Penanganan stunting perlu diupayakan melalui multisektoral yang terintegrasi. Secara umum perhatian penanganan stunting masih menjurus pada perbaikan gizi,
84 | padahal faktor sanitasi lingkungan juga menjadi hal yang perlu diperhatikan. A. Kesehatan Lingkungan Kesehatan lingkungan adalah upaya pencegahan primer untuk mencegah penularan dan risiko suatu penyakit yang diakibatkan oleh lingkungan buruk. Bahasan pada kesehatan lingkungan meliputi perumahan, pengelolaan pembuangan kotoran tinja, ketersediaan air bersih, pengelolaan sampah, pengelolaan limbah, dan sanitasi lingkungan. Kesehatan lingkungan merupakan kondisi seimbangnya pada ekologi yang dicerminkan saling terjaganya kehidupan manusia dan lingkungannya sehingga terwujud keadaan sehat dari manusia itu sendiri. Kondisi lingkungan yang mendukung keseimbangan kehidupan akan mendukung terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, disamping adanya perilaku sehat dari masyarakat dan terpenuhinya pelayanan kesehatan serta faktor keturunan yang sehat. Apabila ada satu faktor yang tidak sesuai atau tidak terpenuhi akan mengakibatkan kesehatan yang kurang atau tidak optimal (Sumantri, 2015). Definisi yang lain dari kesehatan lingkungan adalah suatu hubungan atau pengaruh antara manusia dengan lingkungannya (Knowlton, 2019). Kesehatan lingkungan adalah teori dan terapan dalam mencegah penyakit dengan cara mengidentifikasi dan mengevaluasi sumber lingkungan dan agen berbahaya serta membatasi paparan terhadap agen fisik, kimia, dan biologi yang berbahaya di air, tanah, udara dan makanan, serta media atau pengaturan
| 85 lingkungan lainnya yang dapat memengaruhi kesehatan manusia (NEHA, 2021). Lingkungan menjadi peranan paling besar dan paling menentukan derajat kesehatan masyarakat. Lingkungan ada dua penggolongan yaitu lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik berhubungan dengan aspek fisik meliputi polusi udara, kontaminasi makanan dan air, radiasi, senyawa beracun, limbah atau sampah dan perubahan habitat. Kesehatan masyarakat sangat dipengaruhi oleh lingkungan fisik yang dapat dicemari sehingga terjadi polusi karena kegiatan industri yang berpotensi menimbulkan polusi dan kontaminasi zat kimia berbahaya. Polusi udara menyebabkan beberapa penyakit khususnya terkait dengan gangguan pernapasan. Kontaminasi pada air akibat bahan beracun menyebabkan penyakit khususnya kanker dan gangguan saraf. Kontaminasi air akibat bakteri dapat menyebabkan gangguan seperti diare dan infeksi saluran kencing. Lingkungan sendiri dapat digolongkan menjadi 2 jenis yaitu lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Lingkungan sosial berhubungan dengan status sosio ekonomi contohnya orang dengan pendidikan tinggi dan orang dengan pendapatan tinggi mempunyai status kesehatan yang baik. Kelompok masyarakat yang memiliki penghasilan tinggi dapat mempunyai rumah yang sehat cenderung tidak/sedikit mendapatkan paparan lingkungan yang buruk. Orang dengan tingkat penghasilan tinggi mampu mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal. Kesehatan manusia sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat tinggal manusia itu sendiri, mulai dari kualitas keadaan rumah, keamanan air minum yang digunakan sampai pada kualitas makanan yang
86 | dikonsumsi serta kondisi lingkungan sekitar yang dapat berpengaruh baik atau buruk pada kesehatan (IFMSA, 2016). Air minum yang terkontaminasi bakteri ataupun zat kimiawi tertentu, ketersediaan air yang tidak mencukupi untuk kebersihan, dan kurangnya akses ke sanitasi yang memadai menjadi penyumbang kematian akibat penyakit infeksi berupa diare yakni sebesar 88% (Tyree, 2020). Terjadinya polusi udara ambien (luar ruangan) di wilayah kota dan desa tahun 2016 diduga mengakibatkan 4,2 juta kematian dini di seluruh dunia, dan sekitar 91% dari kematian dini yang terjadi pada negara yang memiliki penghasilan menengah ke bawah dan yang terbesar berada di wilayah WHO Asia Tenggara dan Pasifik Barat (World Health Organization, 2018). Pada masa pandemi COVID-19 yang lalu, lingkungan yang lebih sehat yakni dengan kondisi tidak lembab, sirkulasi udara dan cahaya matahari dapat memasuki ruangan terbukti dapat mencegah hampir seperempat dari penularan infeksi COVID-19 secara global. Pandemi COVID-19 menjadi pengingat bukti adanya keterkaitan kondisi lingkungan tempat tinggal dengan kesehatan manusia sebagai penghuninya. Udara bersih, iklim yang stabil, air yang memadai, sanitasi dan kebersihan, penggunaan bahan kimia yang aman, perlindungan dari radiasi, tempat kerja yang sehat dan aman, praktik pertanian yang baik, kota dan lingkungan binaan yang mendukung kesehatan, dan alam yang dilestarikan semuanya merupakan prasyaratan untuk hidup yang seimbang sehingga terwujud kesehatan yang baik (World Health Organization, 2021).
| 87 B. Stunting Suatu kondisi dimana anak mengalami tinggi badan yang kurang dibandingkan usianya dinamakan dengn stunting atau kerdil. Kondisi kekurangan gizi (malnutrisi) tersebut terjadi sejak dalam kandungan dan pada hari-hari pertama setelah bayi lahir. Anak pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah bayi umur lima tahun (balita) yang tinggi badannya (PB/U) atau tinggi badannya (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar WHO-MGRS (Multicenter Growth Referrence Study) tahun 2006. Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes), stunting di definisikan sebagai anak dibawah 5 tahun dengan nilai z-score kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kecil lebih dari -3SD (stunting berat). Balita yang mengalami stunting seringkali memiliki kecerdasan yang kurang berkembang dan lebih rentan terhadap penyakit. Stunting tidak hanya berdampak pada anak-anak, namun juga dapat berdampak pada masa depan mereka saat dewasa, sehingga berisiko menurunkan produktivitas dalam bekerja. Panjang badan menurut umur atau usia merupakan ukuran antropometri stunting. Panjang badan merupakan pengukuran antropometri yang menggambarkan keadaan perkembangan tulang. Dalam kondisi normal, panjang badan bertambah seiring bertambahnya usia. Pertumbuhan panjang badan, tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah malnutrisi jangka pendek. Dampak kekurangan nutrisi terhadap panjang badan akan tampak dalam jangka waktu yang relatif lama. Pengukuran tinggi badan harus disertai dengan catatan umur (PB/U). Tinggi badan diukur
88 | dengan menggunakan stadiometer holtain/microtoice (untuk anak yang sudah bisa berdiri) atau stadiometer anak (untuk balita yang belum bisa berdiri). Pengukur busur derajat/mikrotoice Holtain dipasang di dinding dengan pemandu kepala yang dapat dipindahkan ke posisi horizontal. Penurunan nafsu makan, diare dan infeksi saluran pernapasan, atau asupan makanan yang tidak mencukupi mengakibatkan perubahan berat badan yang bisa menyebabkan gangguan pertumbuhan jangka pendek. Pada saat yang sama, gangguan pertumbuhan jangka panjang dapat menjadi hambatan dalam peningkatan tinggi badan. Keadaan gizi seimbang penting tidak hanya untuk pertumbuhan normal tetapi juga untuk proses lainnya. Pada akhirnya, stunting akan menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan meningkatkan kesenjangan. Secara lebih rinci beberapa faktor penyebab keterlambatan pertumbuhan anak disebabkan oleh pola asuh orang tua yang buruk, terbatasnya pelayanan Kesehatan, dan kurangnya air bersih dan sanitasi. C. Pengaruh Kesehatan lingkungan terhadap stunting pada anak Kasus stunting pada anak balita dapat disebabkan berbagai faktor multisektoral. Disamping faktor asupan kurangnya terpenuhinya nutrisi dari makanan, stunting disebabkan oleh pencernaan yang terganggu. Masalah gangguan pencernaan yang muncul sangat dipengaruhi oleh faktor kesehatan lingkungan dan perilaku kesehatan. Lingkungan yang buruk memperbesar peluang anak
| 89 mengalami penyakit yang berasal dari bakteri patogen melalui adanya gangguan pencernaan pada anak. Rute paparan penting seperti halnya kotoran hewan atau penularan agen penyakit melalui makanan, efektif dapat mempengaruhi terjadinya infeksi diare. Sebagian besar pengerdilan bukan hanya karena pola makan yang tidak mencukupi atau diare saja, tetapi ada faktor-faktor lain. Disfungsi enterik lingkungan (Environmental Enteryc Dysfunction/EED) merupakan keadaan subklinis peradangan usus yang dapat terjadi pada bayi di seluruh negara berkembang dan dinyatakan sebagai faktor penyebab yang menghubungkan sanitasi buruk dengan kejadian stunting. Hal tersebut akibat dari paparan patogen yang menyebabkan infeksi kronis. Transmisi EED pada anak dipertimbangkan dari asupan nutrisi dan intervensi berkaitan dengan air, sanitasi, dan kebersihan untuk meningkatkan pertumbuhan linier di seluruh dunia (Budge et al, 2019). Stunting berdampak buruk bagi kesehatan anak. Sulit untuk dibalik setelah usia 2 tahun, memiliki efek jangka panjang pada kesehatan dan perkembangan. Sebuah meta-analisis pada tahun 2007 menunjukkan bahwa setiap tahun 200 juta anak tidak mencapai potensi perkembangannya karena stunting. Penyakit tidak menular tertentu di masa dewasa berhubungan dengan pengerdilan di masa kanak-kanak, mungkin melalui regulasi epigenetik (yang mengacu pada perubahan jangka panjang dalam ekspresi gen) atau melalui peradangan kronis. Secara umum pada anak stunting diikuti dengan kondisi memiliki riwayat infeksi akibat dari tempat tinggal dengan lingkungan yang kurang memadai seperti halnya
90 | pada kualitas air minum yang terkontaminasi bakteri dan atau makanan yang terkontaminasi dari bakteri di sekitar rumah. Bakteri tersebut masuk ke dalam tubuh anak melalui oral. Bakteri saluran cerna (Gut microbiota/GM) merupakan golongan bakteri anaerob, fakultatif anaerob dan aerob. Bakteri anaerob mendominasi bakteri fakultatif dan aerob dengan kepadatan populasi dua orde (ratusan kali) dibandingkan dengan bakteri fakultatif anaerob dan aerob. Penelitian menunjukkan bahwa saluran cerna dihuni oleh lebih dari 50 phyla bakteri, namun hanya 2 phyla dominan yaitu Bacteroides dan Firmicutes. Gambar 1. Jalur sebab akibat yang menghubungkan disfungsi enterik lingkungan dengan gangguan status gizi termasuk stunting EED terkait dengan pembuangan kotoran yang tidak sehat, persediaan air yang terkontaminasi, dan keberadaan hewan peliharaan di dalam atau di sekitar rumah. Adanya terus-menerus kolonisasi asimtomatik dalam lingkungan (tanpa penyakit diare) dengan patogen enterik dapat menyebabkan EED dan stunting. Oleh karena itu, penilaian anak-anak dengan patogen enterik,
| 91 atau karakterisasi microbiota dalam usus sangat penting untuk lebih memahami kompleksitas interaksi antara patogen, lingkungan, dan manusia. Dari penelitian tersebut memperlihatkan bahwa factor lingkungan menjadi penting karena factor lingkungan rumah bisa menjadi salah satu sebab adanya infeksi pada pencernaan anak. Studi epidemiologis menunjukkan bahwa paparan terus menerus bakteri dari tinja adalah salah satu penyebab utama EED, namun masih belum jelas bagaimana patogen enterik memicu pengembangan EED. Salah satu mekanisme yang dapat digambarkan adalah pertumbuhan bakteri berlebih di usus kecil; gangguan subklinis dalam jumlah kolonisasi bakteri di bagian atas saluran pencernaan, bakteri usus kecil pertumbuhan berlebih diamati pada anak-anak di negara berkembang dan dikaitkan dengan adanya gangguan pertumbuhan. Sebagai alternatif, disarankan paparan tinja yang kronis dapat menyebabkan perubahan kualitatif pada mikrobiota usus. Studi di Bangladesh dan Malawi menunjukkan mikrobiota itu ketidakdewasaan berkorelasi dengan malnutrisi dan stunting. Jadi baik kuantitatif maupun kualitatif perubahan fungsi usus, yang tampak umum tumpang tindih, dapat berkontribusi pada EED. Dengan etiologi sanitasi yang buruk, tidak bergejala, efek subklinis tidak tergantung pada diare, dan ketidakpastian mengenai dampak penyebab diare menyebabkan stunting. Pencegahan stunting akan memerlukan pendekatan multisektor yang juga mempertimbangkan kesehatan lingkungan. Upaya tersebut lingkungan akan berimbas pada upaya peningkatan imun.
92 | Konsep Dasar Kesehatan Kerja A. Pengertian Kesehatan Kerja Kesehatan kerja secara global dapat dimaknai sebagai suatu kondisi di mana seorang pekerja selalu dalam kondisi sehat tanpa adanya hal yang menyebabkan penyakit, cidera, atau kerusakan pada anggota tubuhnya selama berada di dalam lingkungan kerja (Gultom, 2018; Palahudin, 2022). Adapun beberapa pengertian kesehatan kerja lainnya ialah sebagai berikut. 1. World Health Organization (dalam Kurniawidjaja, 2012) menjelaskan kesehatan kerja sebagai sebuah upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang setinggitingginya bagi semua pekerja dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan.