The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

sebuah buku yang memberikan gambaran tentang dasar-dasar ilmu manajemen. Buku ini mencakup berbagai konsep, teori, dan praktik yang terkait dengan manajemen dalam berbagai konteks organisasi. Pembaca akan diperkenalkan dengan fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian. Selain itu, buku ini juga akan menjelaskan tentang aspek-aspek penting dalam manajemen, seperti pengambilan keputusan, komunikasi, kepemimpinan, motivasi, dan pengelolaan sumber daya manusia. Pembaca juga akan diperkenalkan dengan teori-teori manajemen yang telah dikembangkan oleh para ahli, serta mempelajari studi kasus nyata yang menggambarkan penerapan konsep-konsep manajemen dalam praktik. Dengan membaca buku ini, pembaca akan memperoleh pemahaman yang kokoh tentang ilmu manajemen dan akan siap untuk menghadapi tantangan dalam peran manajerial di berbagai bidang organisasi.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by penamudamedia, 2024-02-06 08:15:08

Pengantar Ilmu Manajemen

sebuah buku yang memberikan gambaran tentang dasar-dasar ilmu manajemen. Buku ini mencakup berbagai konsep, teori, dan praktik yang terkait dengan manajemen dalam berbagai konteks organisasi. Pembaca akan diperkenalkan dengan fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian. Selain itu, buku ini juga akan menjelaskan tentang aspek-aspek penting dalam manajemen, seperti pengambilan keputusan, komunikasi, kepemimpinan, motivasi, dan pengelolaan sumber daya manusia. Pembaca juga akan diperkenalkan dengan teori-teori manajemen yang telah dikembangkan oleh para ahli, serta mempelajari studi kasus nyata yang menggambarkan penerapan konsep-konsep manajemen dalam praktik. Dengan membaca buku ini, pembaca akan memperoleh pemahaman yang kokoh tentang ilmu manajemen dan akan siap untuk menghadapi tantangan dalam peran manajerial di berbagai bidang organisasi.

3. Sensivity, mampu memberikan perbedaan antara penampilan nilai tinggi dan rendah Prinsip-prinsip dalam penilaian kinerja karyawan bermaksud untuk menetapkan standar yang dapat menjadi penilaian atasan terhadap karyawan untuk memberikan dan menggambarkan perkembangan karyawan dalam bekerja, seperti: objektif, terukur, akuntabel, partisipatif (keikutsertaan secara aktif), serta transparan (terbuka terhadap penilaian). Penilaian kinerja dapat menggunakan pendekatan past and future untuk melihat bagaimana perkembangan keuanggulan dan kelemahan karyawan (Bintoro, et.al, 2017) : 1. Penilaian kinerja karyawan di masa lalu Hal ini merupakan aspek penting dalam manajemen sumber daya manusia. Penilaian ini mampu menciptakan metode dan teknik terbaik dalam kurun waktu tertentu. Beberapa metode ini sebagai berikut: a. Metode peringkat, ini dapat dilakukan dengan penilaian paling berprestasi hingga yang kurang berprestasi. b. Distribusi kendali, dengan menggolongkan karyawan pada faktor kritis seperti prestasi kinerja, ketaatan pribadi maupun terhadap atasan, disiplin terhadap kinerja, pengendalian biaya dll. c. Metode alokasi angka, tim penilai kinerja karyawan terhadap karyawan yang dinilai, dengan nilai tertinggi sebagai karyawan ‚terbaik‛, dan nilai terendah sebagai karyawan ‚tidak mampu bekerja‛. 2. Penilaian kinerja karyawan di masa depan a. Penilaian diri sendiri, seorang karyawan harus mampu melakukan penilaian terhadap dirinya


sendiri, dari potensi hingga kekurangannya agar dapat dikembangkan. b. Manajemen terhadap sasaran, agar mencapai tujuan organisasi maupun perusahaan. Dengan melibatkan para anggota agar mencapai tujuan yang ingin dicapai bersama. c. Penilaian psikologis dalam faktor intelektual (pengetahuan), emosional, motivasional, dan faktor kritis lainnya. Faktor ini dapat menentukan karyawan tersebut berhak dipromosikan atau tidak. d. Pusat-pusat penilaian, seperti karyawan, ahli psikologi serta atasan perusahaan. Prinsip SMART berguna dalam penetapan standar kinerja karyawan suatu perusahaan agar memperoleh fungsi dan perannya dalam pekerjaan yang bersangkutan, prinsip ini sebagai berikut: 1. Spesific, dalam hal ini berarti jelas dan rinci terhadap penilaian, baik atasan terhadap karyawan maupun karyawan terhadap dirinya sendiri 2. Measurable, yang berarti dapat diukur penilaian tersebut. 3. Achivable, prinsip ini berarti dapat dicapainya kesepakatan antara karyawan dan atasannya. 4. Result oriented, yang berorientasi terhadap hasil akhir. 5. Time Frame, jelasnya jangka waktu yang ditetapkan hingga dicapainya hasil akhir penilaian karyawan.


A. Dampak Budaya Organisasi pada Penilaian Individu Menurut Harvard (2002: 38) menyatakan bahwa dalam menarik hubungan antara budaya kerja organisasi dengan penilaian individual merujuk pada pandangan Frank Hartle yang membagi budaya kerja menjadi: 1. Functional work culture, menekankan pada reliabilitas dan menggunakan teknologi utama organisasi melalui fungsi organisasi. Tipe budaya kerja ini pada umumnya dimiliki organisasi manufakturing serta pemerintah pusat dan daerah. Kontributor utama untuk penilaian adalah pemimpin fungsional. Ukuran yang dapat dipergunakan untuk menilai adalah: (a) kompetensi fungsional seperti spesialis produksi, akuntansi, pembelian, (b) kemampuan menggunakan pemikiran logis dan analitis, (c ) kinerja terhadap sasaran kerja individual, (d) kemampuan membujuk fungsi lain, (e) membangun pengertian tentang perintah, dan (f) mengembangkan orang lain, biasanya dalam fungsinya. 2. Process work culture, menekankan fokus pada pelanggan dengan reliabilitas sebagai persyaratan utama yang biasanya terjadi pada tim multifungsional yang berfokus pada segmen pelanggan, seperti pada jasa finansial dan eceran. Sedangkan kontributor utama untuk penilaian adalah team leader ditambah di dalam dan di luar tim, termasuk beberapa di luar organisasi, seperti pelanggan. Ukuran yang dapat dipakai untuk menilai adalah: (a) keterampilan khusus yang berhubungan dengan proses, (b) tingkatan team player, (c) kompetensi, (d) keterampilan, (e) hasil, (f) fleksibilitas respons dalam peran dari pada pekerjaan, dan (g) kontribusi dalam memperbaiki proses.


3. Time-based work culture, menekankan pada kapitalisasi pada kapabilitas, teknologi dan fleksibilitas dengan maksud memimpin pasar dengan melakukan segala sesuatu dengan lebih baik dan lebih cepat. Pada umumnya terdapat pada perusahaan piranti lunak komputer, perusahaan bergerak di bidang mode dan tim pengembangan produk/ jasa di dalam organisasi. Team leader sebagai kontributor utama mampu menjadi penilai dengan kemampuan teknis. Ukuran yang dapat dijadikan untuk menilai adalah: (a) kontribusi mencapai tonggak proyek, (b) dampak pada orang lain, (c ) inisiatif, (d) kreativitas, berpikir konseptual, dan (e) kesiapan untuk belajar dan menyesuaikan. 4. Network work culture, menekankan pada fleksibilitas dan pelanggan. Membawa orang yang mempunyai pengalaman berbeda dalam tim yang bersifat sementara. Berorientasi pada tujuan dan dapat menyesuaikan diri. Menjadi pemenang dapat menjadikan organisasi terkemuka. Biasanya sesuai untuk perusahan film, konsultan, dan promosi produk. Ukuran yang dapat dipakai untuk menilai adalah (a) seberapa jauh orang memberikan kontribusi, (b) memberikan rasa percaya diri, (c ) keterampilan bekerja dalam tim, (d) membangun hubungan, dan (e) seberapa jauh kompetensi secara konsisten diperbaiki. Kunci utama untuk mempunyai proses penilaian yang dapat membantu organisasi bekerja dan menjadi unggul adalah dengan memperhitungkan budaya kerja. Untuk itu harus adanya kejelasan tentang sifat dan ukuran hambatan dalam cara penilaian. Memperkenalkan proses penilaian kinerja tidak mungkin dengan sendirinya mengubah budaya organisasi, tetapi sebagai salah satu dari beberapa intervensi,


yang mungkin memberikan kontribusi pada perubahan budaya. B. Hubungan antara sistem penghargaan dan Kinerja Manajerial Menurut Mulyadi (2007) dalam Sopiah (2017) seorang manajer berpotensi untuk berprestasi ditentukan oleh faktor yaitu keyakinan manajer terhadap kemungkinan kinerja mendatangkan penghargaan dan nilai penghargaan. Jika seorang manajer berkeyakinan bahwa kinerja tersebut mempunyai kemungkinan tinggi untuk diberikan penghargaan, maka akan meningkatkan usahanya. Sebaliknya, jika kinerja tersebut mempunyai kemungkinan kecil untuk mendapatkan penghargaan, maka akan menurunkan usaha dalam berprestasi. Menurut Aida dan Listianingsih (2004) dalam Sopiah (2017) menyatakan bahwa kinerja tinggi bergantung terhadap program pemberian insentif jika dihubungkan dengan pekerjaan yang mendukung meliputi penilaian kinerja, informasi yang merata dan keamanan kerja. Pemberian insentif merupakan motivasi yang kuat untuk karyawan dalam meningkatkan kualitas kerjanya. Aida dan Mardiyah (2004) dalam Sopiah (2017) menyimpulkan hasil bahwa sistem penghargaan terhadap kinerja manajerial memiliki pengaruh negatif melalui interaksinya dengan total quality management (TQM) suatu organisasi. Jika seseorang memperoleh kepuasan dengan penghargaan yang diterimanya karena hal tersebut dirasakan pantas dan adil, maka meningkatkan usaha untuk berprestasi. Penelitian yang dilakukan Retno dan Nur (2001) dalam Nurfitriana (2004), serta Narsa dan Rani (2003) dalam Sopiah (2017) menjelaskan bahwa pengaruh positif antara sistem penghargaan terhadap kinerja manajerial melalui interaksi-


nya terhadap TQM. Sama halnya dengan Suprantiningrum dan Zulaikha (2003) dalam Sopiah (2017) menjelaskan bahwa TQM dengan sistem penghargaan berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial. Dengan demikian, diberlakukannya sistem penghargaan akan berpengaruh pada kinerja manajerial karena sistem penghargaan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja manajerial. C. Hubungan Reward dan Punishment terhadap Kinerja Metode Reward dan Punishment merupakan bentuk teori berdasarkan behavior/kebiasaan karyawan perusahaan. Teori ini mempelajari tentang segala perubahan sikap, sifat dan tingkah laku akibat dari adanya interaksi pemicu dan respon yang bersangkutan (Budiningsih, 2005:20). Hasil interaksi antara tingkah laku karyawan dapat memberikan perubahan lebih mampu belajar terhadap keadaan perusahaan yang dihadapi karyawan tersebut. Reward dan punishment dapat memberikan stimulus terhadap prestasi karyawan kedepannya. Karyawan yang memiliki prestasi tinggi akan memberikan kesadaran terhadap karyawan agar termotivasi untuk lebih berkarya lagi. Imbalan mencakup hal-hal seperti materi (uang), status, promosi, dan rasa hormat, tunjangan utama seperti pensiun, biaya opname rumah sakit, status seperti memberikan karyawan pekerjaan yang berwibawa, rasa hormat atas pengakuan dan penghargaan kepada manajer terhadap pelaksanaan pekerjaan karyawan yang baik, serta promosi atau naik jabatan ke posisi yang lebih mumpuni. Reward atau pun bonus diberikan kepada karyawan setelah memenuhi persyaratan tertentu. Skema kompensasi terhadap kinerja


karyawan dapat dilihat dari semua target yang diharapkan oleh perusahaan tercapai dengan baik. D. Keterkaitan Hubungan Penilaian Kinerja Terhadap Pengembangan Karyawan Penilaian kinerja memilki peran penting dalam pertumbuhan perusahaan. Bagi perusahaan, hasil penilaian kinerja karyawan memiliki arti dan peran yang penting bagi perusahaan dalam pengembangan rencana perusahaan selanjutnya. Perencanaan tersebut salah satunya adalah berkaitan dengan penghargaan bagi karyawan yang telah bekerja dengan maksimal dan berkontribusi besar bagi perkembangan perusahaan. Perusahaan yang memiliki target atau sasaran yang tinggi sangat bergantung pada kualitas karyawan. Perusahaan sangat mengharapkan karyawan mampu menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diiringi dengan motivasi kerja yang tinggi untuk bersama mewujudkan visi misi perusahaan. Salah satu yang perlu diperhatikan karyawan agar mampu memiliki motivasi tinggi dalam bekerja adalah dengan menjamin pengembangan karirnya. Pengembangangan karir merupakan proses peningkatan kemampuan, jabatan, maupun tanggung jawab. Pengembangan karir adalah suatu proses dalam hidup seseorang yang nantinya akan mampu membuat orang tersebut menjadi lebih matang, lebih mampu memanfaatkan potensi dirinya sehingga mencapai karir yang sesuai dengan kemampuan dirinya (Dessler, 2009). Pengembangan karir karyawan didalam perusahaan merupakan bentuk penghargaan yang diraih berdasarkan hasil kinerja. Rivai (2011) mengungkapkan bahwa pengem-


bangan karir didalam perusahaan dipengaruhi kesetiaan terhadap organisasi, pengalaman dan prestasi kerja. Dokko et al. (2008) menyatakan pengalaman dan kinerja memiliki keterikatan terhadap pengembangan karir lewat pengetahuan dan keterampilan. Mahony et al. (2012) menyatakan jika nilai yang diperoleh dari pengalaman kerja semakin besar maka semakin besar pula hubungannya dengan penilaian kinerja yang berpengaruh terhadap pengembangan karir seseorang. Penilaian kinerja dapat digunakan secara lebih luas sehingga bisa menjadi alat utama bagi perusahaan dalam pengembangan sumber daya manusianya (Prowse and Prowse, 2009). Namun jika penilaian kinerja dilakukan secara tidak baik justru akan menjadi boomerang bagi perusahaan, karena akan mengakibatkan penurunan produktivitas kerja karyawan. Dukungan organisasi terhadap pengembangan karir merupakan salah satu hal terpenting dalam memaksimalkan penilaian kinerja di perusahaan Saleem dan Amin (2013). Maka, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketika seorang karyawan memiliki kinerja yang sesuai dengan harapan organisasi dan telah diukur berdasarkan penilaian kinerja, maka ia akan berpeluang untuk memiliki pengembangan karir sebagai bentuk reward yang diperoleh atas hasil kerja keras yang dijalankan. Namun, hal ini akan dipengaruhi oleh peraturan dan kebijakan perusahaan. Disisi lain bagi perusahaan yang mementingkan kualitas dan perkembangan perusahaan akan berfokus pada kualitas dan motivasi karyawan.


MANAJEMEN KEPEMIMPINAN Dr. Aan Rukmana, M.A., M.M. uatu organisasi akan bertumbuh besar manakala diisi oleh manusia-manusia unggulan yang memiliki sumber daya berkualitas (Sutrisno, 2009). Manusia yang berkualitas di sini pada satu sisi ia memiliki nilai-nilai luhur yang mencerminkan dimensi kemanusiaannya dan pada saat yang bersamaan ia juga memiliki kecakapan teknis yang mumpuni dan sesuai dengan bidang pekerjaan masing-masing yang menunjang dimensi profesionalisme mereka. Akan tetapi untuk mewujudkan itu semua bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan pemimpinS


pemimpin hebat yang memahami kedua dimensi sekaligus yaitu, dimensi kemanusiaan dan profesionalisme. Di mana-mana selalu terjadi kecenderungan organisasi yang berat sebelah (Gaspersz, 2007). Ada individu yang pada satu sisi kuat nilai-nilai humanismenya akan tetapi miskin dari sisi kecakapan teknis, dan pada saat yang lain ada yang ahli dalam suatu pekerjaan akan tetapi sangat defisit dari sisi integritasnya. Maka dari itu, kinerja seorang pemimpin tidaklah mudah, karena di samping harus menjalankan proses perencanaan sumber daya, desain dan analisis pekerjaan, rekrutmen calon pegawai, seleksi calon pegawai, orientasi, penempatan, pelatihan dan pengembangan pegawai, sampai kepada penilaian prestasi kerja dan pemberian kompensasi ditambah lagi berbagai isu SDM lainnya yang juga menjadi perhatian bagian SDM dalam pengembangan karyawannya. Pada saat yang bersamaan, seorang pemimpin dituntut juga untuk menyelesaikan masalah organisasi dari A – Z. Tentu pekerjaan menjadi pemimpin tidaklah mudah, maka dari itu diperlukan manajemen kepemimpinan tersendiri yang dapat membantu memperlancar proses kepemimpinan yang berlaku. A. Teori Kepemimpinan vs Praktik Kepemimpinan Antara teori kepemimpinan dengan praktik kepemimpinan seringkali terjadi gap yang begitu besar sehingga meski terdapat seseorang yang ahli teori kepemimpinan, belum tentu ia mampu menjadi pemimpin yang baik ketika harus mempraktikkannya di lapangan. Kondisi di lapangan seringkali berbeda dengan apa yang terdapat dalam teori kepemimpinan. Untuk itu, teori kepemimpinan senantiasa dinamis karena harus bersedia untuk merespons perubahan teori kepemimpinan mengikuti dinamika yang terjadi dalalm kehidupan nyata sehari-sehari.


Terdapat suatu kisah menarik yaitu seorang professor manajemen dan ahli kepemimpinan yang sedang melewati sungai. Pada suatu hari di pelosok desa nan jauh di sana terdapat seorang professor manajemen yang baru saja menyelesaikan mengajarnya di suatu kampus terkenal. Terlihat dari mimik wajahnya guratan-guratan kebahagiaan. Ia berjalan sambil berseri-seri seperti orang yang baru saja terbebas dari himpitan penderitaan. Dengan penuh optimisme ia selalu bertanya kepada setiap orang yang dijumpainya perihal ilmu yang telah ia miliki yaitu terkait manajemen kepemimpinan. Ketika itu, sang professor berkehendak kembali ke kampung halamannya yang letaknya di pinggiran sungai besar. Jelas ia tak dapat sampai ke rumahnya tersebut melainkan dengan menggunakan perahu sewaan yang biasa mengantar pulang pergi penduduk melewati sungai itu. Akhirnya ia punmenyewa sebuah perahu. Ketika perahu tersebut berlayar, sang professor bertanya kepada si nelayan,‛wahai bapak‛, tanya professor, ‚pernahkan bapak belajar ilmu kepemimpinan?‛, kemudian si nelayan menjawab, ‚ya Prof, bapak mah boro-boro belajar ilmu kepemimpinan, mungkin udah dari sananya bapak harus begini, hanya menjadi nelayan‛ ‚Ya bapak,‛ sambung si professor,‛alangkah sayangnya hidup bapak jika tidak pernah mengenal ilmu kepemimpinan, terbentuk.‛ Si professor dengan sangat bangganya meneruskan pertanyaanpertanyaan berikutnya, tetapi sebanyak pertanyaan itu diajukan sebanyak itu pula bapak nelayan mengutarakan ketidaktahuannya. Karena jengkel, akhirnya sang nelayan balik bertanya, ‚bagaimana dengan professor sendiri, bisakah ilmu renang, kalau tidak bisa alangkah sayangnya ilmu-ilmu yang tadi prof sebutkan tidak dapat menyelamatkan jiwa prof dari tenggelamnya perahu ini!‛ Si professor


hanya diam seribu bahasaa, karena malu atas kesombongannya selama ini. Ia merasa paling pintar sendiri, padahal masih banyak pengetahuan-pengatahuan lainnya yang tidak ia ketahui. Ia tahu ilmu kepemimpinan, akan tetapi sangat sedikit pengetahuannya mengenai praktik kepemimpinan di lapangan. Idealnya, seorang pemimpin mengetahui teori kepemimpinan sebagai syarat multak sekaligus dapat mempraktikkannya dalam kehidupan seharihari. Dalam hidup ini seringkali muncul dalam diri kita keinginan untuk menunjukkan kemampuan kita dalam memimpin di hadapan orang lain lewat berbagai cara. Sepanjang keinginan ini diniatkan untuk hal-hal positif-- menstimulus orang lain misalnya—itu tidak menjadi soal. Akan tetapi, keinginan kita tersebut kadang diringi juga oleh keangkuhan yang berakibat pada cara pandang yang merendahkan orang lain yang memang tidak memiliki kemampuan tersebut. Dampak dari pola pikir seperti itu akhirnya menjadikan potensi kita tidak berkembang dan lambat laun akan mati. Sehingga sebuah tujuan akan terhambat realisasinya—seperti kisah diatas—dikarenakan kita merasa paling tahu jalan menuju tujuan tersebut. Sessungguhnya dalam berorganisasi, semua pihak harus saling menguatkan dan sinergis antara pemimpin dengan mereka yang dipimpin. Hanya dengan cara sinergis seperti itulah, suatu organisasi akan berjalan dengan baik. B. Kepemimpinan Organisasi Dalam kehidupan masyarakat organisasi memiliki peran yang sangat penting. Tanpa organisasi, tujuan-tujuan kehidupan bersama tidak akan pernah terlaksana dengan baik. Berbicara tentang organisasi ideal, dimulai tidak dari


uraian akan organisasi secara struktural, melainkan secara filosofis. Pemaparan secara struktural berada hanya pada level kulit saja dari sebuah organisasi , sedangkan pada level inti utama dari tulisan ini adalah bagaimana manajemen kepemimpinan organisasi ideal itu yang perbincangannya berada dalam wilayah filosofis. Untuk itu pembahasannya akan dimulai dari pengertian organisasi itu sendiri secara hemeneutik. Kemudian setelah itu, akan dikontekstualisasikan dengan kondisi suatu organisasi secara kekinian dan kedisinian. Pengertian ‚organisasi‛ secara konvensioanal adalah berkumpulnya dua orang atau lebih dengn visi, misi dan tujuan yang sama. Dalam pengertian seperti ini, organisasi diartikan sebagai kendaraan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuaan tertentu. Sehinggan tujuan yang sama iinilah yang menjadi pijakan dari organisasi. Pertanyaan selanjutnya adalah ‚adakah tujuan yang sama pada diri manusia ?‛ ‚Bukankah manusia dengan segenap potensi yang ada pada dirinya menghendaki jalan yang berbeda-beda untuk mengaktualkannya ?‛ ‚Bukankah penyeragaman visi dan misi merupakan cara halus untuk mematikan kreativitas yang ada pada diri manusia itu sendiri ?‛ ‚Jika memang demikian, masihkah pengertian organisasi secara konvensional tersebut harus tetap kita pertahankan, jika tidak apa solusinya ?‛ Jika kita buka kembali lembaran sejarah pemikiran manusia, akan kita dapatkan bahwa penelitian organisasi secara konvensional muncul dipengaruhi oleh cara pandang modern yang selalu mempropagandakan cara pandang ‚keseragaman‛. Cara pandang modern ini bermula secara filosofis dari René Descartes yag menyatakan Cogito Ergo Sum (Aku Berpikir, Maka Aku Ada) dan secara saintis oleh


Newton pada masa renaisans (sekitar abad 15 dan 16 M). Gabungan dari cara pandang seperti ini, melahirkan paradigma Newtonian-Catesian yang mekanistik, parsial, dan diferensial. Cara pandang seperti ini, berpengaruh tidak haanya pada wilayah filsafat saja—diwakili Descartes—atau sains (fisika)—diwakili oleh Newton—saja, akan tetapi ia ikut mempengaruhi juga seluruh ilmu-ilmu yang lainnya, mulai dari yang eksak sampai ilmu-ilmu sosial, termasuk di dalamnya terkait dengan ilmu kepemimpinan. Untuk itu, tidaklah mengherankan jika organisasi muncul dengan paradigma demikian, karena ia sangat dipengaruhi oleh paradigma Newtonian-Cartesian tersebut. Akhir-akhir ini muncul kesadaran baru dalam diri para filsuf maupun saintis serta ahli manajemen bahwa paradigma Newtonian-Cartesian tersebut harus didekonstruksi karena memang telah melahirkan banyak tragedi kemanusiaan, mulai dari pencemaran lingkungan akibat teknologi industri yang tidak terkontrol, perang antar suku, sampai pada perang dunia 1 dan 2 (Husain, 2003). Mereka menawarkan jalan keluar dengan paradigma baru yang holistik, integral dan lebih humanis. Tokoh-tokoh seperti Capra, Bryan Hines, Seyyed Hossein Nasr, A.K.Coormaraswamy, F.Schuon, patut mendapatkan apresiasi yang layak atas usaha-usaha yang telah mereka lakukan. Dalam paradigma baru ini, organisasi dipahami tidak hanya sebagai sebuah kendaraan yang digunakan untuk tujuan tertentu, melainkan sebagai wadah persemaian potensi-potensi diri yang belum teraktualkan. Untuk itu ‚penyeragaman‛ ditiadakan, yang ada hanyalah ‚kesatuan dalam keberagaman‛. Sehingga organisasi bersifat integral, saling menguatkan, dan tidak persial, saling terpisah dan cenderung meniadakan satu dengan yang lainnya. Di sinilah


peran seorang pemimpin dinantikan bukan hanya untuk mengejar tujuan dari organisasi, akan tetapi bagaimana ia mampu menumbuhkan seluruh tim yang terlibat di dalamnya terus berkembang sehingga dapat mencapai kepada kesempuraan diri sebagai seorang manusia yang tentunya berdampak kepada peningkatan organisasi itu sendiri. Dalam konteks kehidupan berorganisasi saat ini, kalau boleh dikatakan secara jujur, bentuk organisasi yang masih ada menginduk pada pengertian konvensional. Sehingga pelaksanaan organisasi selalu terkait dengan aturan-aturan formal yang kaku, mengikat, dan tidak memberikan kebebasan bagi para anggotanya untuk melakukan kreasikreasi baru. Maka wajar saja, jika dari tahun ke tahun organisasi berjalan begitu-begitu saja, sehingga tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Padahal di era society 5.0 ini seorang pemimpin harus mampu mengembangkan berbagai kreaktivitas timnya sehingga dapat terus bertahan dari ketidakpastikan yang terjadi. Untuk itu sudah saatnya organisasi modern berbenah diri dan harus berani mengoreksi diri sendiri jika tidak mau dikatakan ketinggalan dan anti kemajuan. Dengan berpegangan pada paradigma baru organisasi yang holistik, seorang pemimpin harus siap menerima masukan-masukan dari manapun asalnya, dan pemimpin pun jangan segansegan untuk memberikan kebebasan kepada seluruh anggota untuk mengembangkan kreasi-kreasi mereka tanpa harus menghalangi mereka dikarenakan kekhawatiran yang berlebihan. Jangan sampai atas nama disiplin, kreativitas anggota organisasi kita gadaikan, kecuali kalau kita memiliki anggapan bahwa anggota-anggota tersebut adalah mesinmesin yang dapat dengan mudahnya kita operasikan. Ingat manusia bukan mesin, melainkan individu-individu yang


kreatif yang memiliki segudang potensi yang harus diaktualkan. Potensi-potensi tersebut adalah anugrah Tuhan, jangan sampai kita mematikan anugrah tersebut, hanya lantaran kedangkalan pemahaman kita. Kita jangan jadi orang pintar yang sebenarnya bodoh. Bermaksud membantu mengembangkan potensi kreatif individu, dengan mengekangnya. Alih-alih muncul potensi tersebut, justru yang ada hanyalah ketakutan-ketakutan yang berlebihan. Untuk itu organisasi yang didasarkan pada pemaksaan harus segara kita tinggalkan. Inilah model kepemimpinan yang sangat tepat dikembangkan untuk era disrupsi seperti saat ini. C. Orientasi Prestasi Bukan Prestise Dengan paradigma baru yang membebaskan, inklusif, dan holistik ini, seluruh anggota organisasi dapat berlombalomba dengan yang lainnya secara fair , tanpa harus saling menjatuhkan. Sehingga apapun jabatan yang kita duduki itu tidak terlalu menjadi soal, karena yang terpenting adalah apa yang dapat kita berikan dengaan kedudukaan yaang kita dapatkan ini. Tidak ada bedanyaa antara seorang direktur, manajer, dan anggota sekalipun, karena semuanya itu memiliki peran masing-masing yang saling membantu satu dengan yang lainnya. Apalah artinya seorang pemimpin jika tidak memiliki anggota, justru ia menjadi pemimpin dan memiliki legitimasi kekuasaan dikarenakan adanya anggota yang mendukungnya. Maka orientasi yang harus dikembangkan dari organisasi yang ada adalah prestasi bukan prestise.


D. Manajemen Kepemimpinan di Masa Depan Ibn Khaldun, seorang sosiolog abad ke-14 M, telah merumuskan sebuah teori tentang fase kemajuan manusia. Menurutnya, bahwa hasil dari kemajuan seorang manusia dapat dilihat setelah dua puluh tahun kemudian. Jika kita dari sekarang memulai menumbuhkan potensi-potensi kreatif yang ada pada diri kita, maka dapat dipastikan pada dua puluh tahun yang akan datang, potensi-potensi tersebut dapat kita petik hasilnya, baik secara material maupun secara moril. Khusus terkait kepemimpinan, jika ingin dikembangkan kepemimpinan di masa mendatang, maka harus dipersiapkan sejak dini agar lahir pemimpin-pemimpin unggul di berbagai sektor. Dalam hal ini kaderisasi kepemimpinan menjadi penting. Pemimpin di masa yang akan datang harus mewarnai benar seluruh lapisan organisasi masyarakat, mulai dari lingkungan masyarakat pedesaan, sampai perkotaan, mulai dari yang belum terdidik sampai masyarakat yang terdidik, mulai dari organisasi bisnis, pendidikan, politik dan lain sebagainya. Dengan demikian kiprah seorang pemimpin semakin terasa manfaatnya. Dale Carnegie (2019) memberikan beberapa langkah yang dapat diikuti dalam hal melatih diri menjadi seorang pemimpin yang efektif yaitu: 1. Dalam hal kepemimpinan, hendaknya kita mengutamakan contoh serta teladan daripada sekedar memberikan instruksi. 2. Pemimpin sukses memiliki karakter khusus seperti berpegang teguh kepada standar etika yang tinggi. 3. Pemimpin efektif senantiasa menanamkan motivasi kepada stafnya di saat mereka letih bekerja.


4. Pemimpin sukses berhasil memilih staf yang tepat untuk bekerja di bidangnya masing-masing. 5. Pemimpin sukses senantiasa terus meningkatkan kinerja tanpa berpatah semangat. 6. Ia juga dapat menjadi pelatih bagi yang dipimpinnya. 7. Pemimpin percaya dengan bawahannya sehingga ia dapat mendelegasikan pekerjaan tanpa rasa takut. 8. Pemimpin mendorong berbagai inovasi dan kreativitas dengan cara memberikan kesempatan bagi siapapun untuk bertumbuh. 9. Pemimpin mampu mengatasi berbagai masalah organisasi dan mencarikan solusi terbaik dari setiap masalah yang ada. Kepemimpinan yang efektif seperti di atas sangat penting dalam menjaga keberlangsungan hidup dan keberhasilan sebuah organisasi baik organisasi perusahaan (Anoraga, 1990) maupun organisasi sosial yang mengandaikan kepemimpinan sosial (Kartodirdjo, 1986). Hal senada disampaikan juga oleh Simon Sinek (2021) bahwa pemimpin yang ideal selalu memilih untuk makan yang paling terakhir setelah seluruh timnya makan (leaders eat last). Menurut John C. Maxwell (2001) pemimpin yang baik senantiasa menyentuh hati terlebih dahulu sebelum meminta tolong. Intinya pemimpinan yang ideal adalah mereka yang mampu memanusiakan bawahannya sehingga tujuan, misi serta visi dari organisasi dapat tercapai.


DASAR MANAJEMEN STRATEGIS Tini Adiatma A. Definisi Manajemen Strategi Sebelum mendefinisikan mengenai manajemen strategi, kita perlu mengenal mengenai istilah strategi dan manajemen. Kata strategi berasal dari Bahasa Yunani yaitu stratetogos yang dibentuk dari kata stratos dengan makna tentara, dan -ag yang bermakna memimpin. Kata ini kemudian digeneralisasi menjadi ilmu mengenai bagaimana seorang jenderal perang menjalankan tugas. Strategi dapat


diartikan sebagai sebuah rencana atau metode untuk mencapai tujuan dalam waktu jangka Panjang, dan keterampilan dalam membuat dan melaksanakan rencana untuk mencapai tujuan. Dalam perkembangannya manajemen strategi ini dimanfaatkan dalam berbagai bidang termasuk dalam organisasi. Sementara itu, manajemen berasal dari Bahasa Inggris yaitu ‚management‛ dari kata dasar to manage yang berarti penfendalian dan pembuatan keputusan dalam usaha atau organisasi, proses yang berurusan atau mengendalikan benda. Sementara itu, management dalam Bahasa Perancis yaitu ‚management‛ diartikan sebagai ilmu atau seni melaksanakan atau mengatur. Manajemen strategi didefinisikan sebagai sebuah seni dan pengetahuan untuk memformulasikan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsional untuk mencapai tujuan organisasi. Fokus pada manajemen strategi ini memadukan manajemen, pemasaran, keuangan, operasional, pengembangan , dan sistem informasi. Whellen dan Hunger mendefinisikan manajemen strategi adalah sekumpulan keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja jangkap Panjang dari sebuah orgnisasi. Kegiatan ini meliputi pengamatan lingkungan baik eksternal maupun internal, formulasi strategi, implementasi strategi, dan evaluasi dan kontrol. Handayani (2021) menjelaskan manajemen strategis adalah suatu rangkaian tindakan dan keputusan yang menghasilkan formulasi dan implementasi rencana untuk mencapai tujuan perusahaan. Morden (2007) mengemukakan, manajemen strategis berkaitan dengan karakter dan arah perusahaan secara keseluruhan. Manajemen strategis


juga berkaitan dengan perencanaan manajemen dan pengambilan keputusan untuk masa depan jangka menengah dan jangka panjang, sebagai antisipasi dan penuntun bagaimana perusahaan berkembang menuju masa depan yang harus dihadapi. B. Pentingnya Manajemen Strategis Beberapa alasan manajemen strategis perlu dilakukan oleh organisasi atau perusahaan dintaranya adalah 1. Manajemen strategis memberikan arah pencapaian tujuan pada suatu organisasi atau perusahaan 2. Manajemen strategis membantu memikirkan kepentingan berbagai pihak 3. Manajemen strategis dapat mengantisipasi setiap perubahan kembali secara merata 4. Manajemen strategis berhubungan dengan efektifitas dan efisiensi. C. Tujuan dan Manfaat Manajemen Strategi Manajemen strategis memiliki tujuan untuk menciptakan keunggulan kompetitif bagi organisasi. Keunggulan kompetitif organisasi dapat digunakan sebagai salah satu kekuatan dalam menghadapi lingkungan eksternal yang terus berubah. Dengan adanya keunggulan kompetitif suatu perusahaan atau organisasi dapat memiliki nilai keunikan yang akan membuat perusahaan bertahan dan berkembang dalam jangka waktu yang lebih lama. Manfaat manajemen strategis diantaranya adalah suatu organisasi dapat menjadi lebih proaktif dari pada reaktif pada perubahan yang dihadapi pada masa yang akan dating. Hal ini memungkinkan suatu organisasi untuk mengawali dan


mempengaruhi aktivitas manajemen. Manfaat lain manajemen strategis adalah membantu organisasi untuk membuat strategi yang lebih baik dengan menggunakan pendekatan yang sistematis, logis serta rasional dengan adanya berbagai macam pilihan strategi. Manajemen strategis juga bermanfaat sebagai kerangka acuan kerja organisasi dalam mencapai tujuannya. Dalam pencapaian tujuan ini, tidak terlepas dari peran dari berbagai pihak. Manajer strategik menyusun kerangka dengan kreatifitasnya dengan melibatkan partisipasi dari seluruh pemangku kepentingan dan hal ini keberhasilannyapun ditentukan oleh seluruh pemangku kepentingan. Penerapan manajemen strategis memiliki manfaat diantaranya adalah pemberian arah tujuan jangka panjang, membuat organisasi lebih efisien dan efektif, membantu adaptasi pada perubahan, meningkatkan motivasi karyawan, mengidentifikasi keunggulan komparatif, mengantisipasi masalah yang kemungkinan timbul di masa yang akan datang, menghindari kegiatan duplikasi, dan menekan resistensi terhadap perubahan. D. Fungsi Manajemen Strategis Berikut merupakan beberapa fungsi dari manajemen strategis 1. Merumuskan visi dan misi dari sebuah organisasi. Visi dan misi organisasi merupakan salah satu aspek penting dalam organisasi, mengingat kedua hal inilah yang menyatukan suatu organisasi pada suatu pandangan yang sama.


2. Mengembangkan profil organisasi Pengembangan profil organisasi dapat dibuat dengan mencermati keunggulan dan kelemahan dari organisasi/ perusahaan. 3. Menilai lingkungan eksternal organisasi Lingkungan eksternal digunakan untuk suatu organisasi/ perusahaan untuk mengetahui langkah yang perlu diambil dalam menghadapi perubahan dan persaingan yang ada, sebagai upaya antisipasi atas perubahan. 4. Menganalisisi pilihan organisasi yang tepat dengan kapasitas organisasi dan kondisi lingkungan eksternal Suatu organisasi perlu melakukan analisis pilihan dengan memperhatikan kekuatan, kelemahan, dan peluang serta ancaman pada lingkungan organisasi/ perusahaan 5. Mengidentifikasi pilihan yang tepat dengan mengevaluasi setiap pilihan yang ada Organisasi/perusahaan perlu mengidentifikasi pilihan yang tepat dengan mengevaluasi pilihan yang ada, ada banyak metode yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi pilihan yang tepat ini. 6. Memilih sasaran jangka panjang dan strategi yang akan mencapai pilihan yang diharapkan Sasaran strategi jangka panjang ditentukan dari pilihan strategi atau arah kebijakan suatu organisasi/perusahaan 7. Mengembangkan sasaran tahunan dan strategi jangka pendek sesuai dengan sasaran jangka panjang dan strategi umum yang dipilih


Strategi jangka panjang pada umumnya dibuat dalam jangka 25 tahunan, dan strategi jangka menengah dibuat dalam waktu 5 tahunan, sementara itu perlu dilakukan evaluasi tahunan. Sehingga sasaran jangka pendek dalam jangka waktu tahunan tetap perlu ada, guna melihat adanya peningkatan berkelanjutan dari sasaran kinerja yang telah diharapkan. 8. Mengimplementasikan pilihan strategik Implementasi pilihan strategi ini merupakan upaya perubahan berkelanjutan yang dijalankan organisasi/ perusahaan untuk mempertahankan eksistensinya 9. Mengevaluasi keberhasilan proses strategik sebagai masukan pengambil keputusan yang akan datang Evaluasi merupakan tahapan final dalam manajemen strategis, sekaligus tahapan awal pada analisis situasi pada perumusan strategi yang dilakukan oleh perusahaan. Hal ini dapat digunakan sebagai tolak ukur kinerja peningkatan berkelanjutan, yang juga merupakan bagian dalam manajemen strategis. E. Resiko Manajemen Strategis Selain memiliki manfaat manajemen strategis juga memiliki resiko pada organisasi atau perusahaan yang perlu dipertimbangkan. Resiko dalam manajemen strategis adalah waktu yang digunakan dalam manajemen strategis tidaklah singkat. Tahap demi tahap yang perlu dilakukan oleh perusahaan dilakukan memakan waktu yang cukup lama apabila benar-benar dilakukan sesuai prosedur yang ada. Pengumpulan data-data yang akan digunakan dalam analisis kondisi internal maupun eksternal perlu dilakukan dengan cermat. Begitupun pada tahap penentuan pilihan strategis


maupun pemilihan strategi yang pada akhirnya diambil oleh pengambil keputusan. Pada tahap implementasi, seluruh pihak harus terlibat untuk menerapkan strategi yang telah dipilih. Tahap inipun bukan akhir dari manajemen strategis, masih perlu evaluasi pada strategi yang telah diimplementasikan. Hasil evaluasi inipun harusnya menjadi landasan pada penyusunan strategi selanjutnya. Proses ini perlu dipahami bahwa manajemen strategi perlu peningkatan berkelanjutan. Resiko lain yang muncul dalam manajemen strategis adalah penyusunan strategi pada umumnya tidak semua pihak akan terlibat secara langsung. Tim penyusun strategi tidak terlibat dalam implementasinya menjadikan para penyusun dapat dengan mudah melepaskan tanggungjawabnya atas keputusan strategis yang diambil. Begitupun, pihak yang tidak terlibat dalam penyusunan strategis bisa jadi tidak begitu memahami apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi/perusahaan sesuai dengan strategi yang telah ditetapkan oleh organisasi/perusahaan Pada implementasi dan evaluasi manajemen strategis, seorang manajer harus mampu mengatasi kekecewaan apabila harapan atau target dalam strategi yang ditetapkan gagal tercapai. Mengingat manajer perlu melakukan, strategi pada levelnya untuk mencapai sasaran kinerja organisasi, maka manajer tidak hanya harus mampu menggerakkan bawahannya, namun juga mengatasi kekecewaan dari bawahan apabila strategi yang digunakan tidak dapat memenuhi ekspektasi atau harapan yang dibuat.


F. Tingkatan dalam Manajemen Strategi Tingkatan dalam manajemen strategi 1. Strategi Korporasi Strategi ini merupakan strategi yang dilakukan pada tingkat korporasi. Strategi ini disusun oleh manajemen puncak yang bertanggung jawab pada pengaturan kegiatan hingga operasional organisasi. Strategi ini merupakan strategi yang mencerminkan arah seluruh perusahaan. Tujuan dari strategi ini adalah untuk menciptakan pertumbuhan bagi perusahaan secara keseluruhan. Strategi ini diantaranya adalah a. Strategi pertumbuhan atau growth strategy yang merupakan strategi yang didasarkan pada tahap pertumbuhan yang dilalui oleh perusahaan b. Strategi stabilitas atau stability strategy yang merupakan strategi dalam menghadapi menurunya penghasilan yang dialami oleh perusahaan c. Strategi penghematan atau retrenchment strategy yaitu strategi perusahaan yang diterapkan untuk memperkecil atau mengurangi usaha yang dilakukan oleh perusahaan. 2. Strategi Bisnis Strategi ini adalah strategi yang digunakan pada unit bisnis. Strategi ini diantaranya adalah a. Strategi Keunggulan Biaya b. Starategi Diferensiasi c. Strategi Fokus


3. Strategi Fungsional Strategi ini dilakukan pada level divisi. Kegiatan yang biasa dilakukan diantaranya adalah riset pasar, pemasaran, keuangan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan memaksimalkan perusahaan. G. Proses Manajemen Strategis Manajemen strategis berdasarkan definisi yang telah diuraikan tentunya dapat dimaknai akan esensi adanya proses yang terjadi. Proses manajemen strategis terdiri dari tiga tahap: perumusan strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi. Perumusan strategi merupakan tahap paling awal dalam manajemen strategi. Kegiatan ini dilakukan dengan melibatkan perumusan visi dan misi, mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal organisasi, mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan tujuan jangka panjang, mengembangkan strategi alternatif, dan memilih strategi spesifik untuk implementasi. Perumusan visi dan misi dilakukan oleh manajemen puncak untuk mendapatkan kesepahaman mengenai cita-cita yang ingin dicapai oleh organisasi atau perusahaan. Visi dan misi ini harus terukur dengan jelas, mudah diingat, dan dapat dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan. Pada tahapan analisis situasi baik eksternal maupun internal perlu dilakukan dengan seksama memperhatikan berbagai aspek manajemen yang ada di dalam perusahaan. Hal ini dilakukan untuk memantu dalam mengembangkan strategi yang dapat dilakukan dan memilih strategi yang dapat diimplementasikan dengan baik. Suatu perusahaan dalam hal perumusan strategi perlu mencermati apakah keunggulan kompetetif-


nya. Hal ini dapat digunakan menjadi aspek dalam menghadapi persaingan yang ada di lingkungan eksternal. Perusahaan atau organisasi yang memiliki keterbatasan dalam hal sumber daya, sudah pasti perlu merumuskan strateginya sehingga dapat terus eksis dalam bidangnya. Keputusan strategis seperti apa yang perlu diambil oleh perusahaan dalam menghadapi keterbatasan yang dihadapi ini. Keputusan strategis mengikat organisasi pada produk, pasar, sumber daya, atau teknologi tertentu dalam jangka panjang. Strategi menentukan keunggulan kompetitif jangka panjang. Keputusan strategis mempunyai dampak multifungsi dan jangka panjang yang signifikan terhadap organisasi, baik atau buruk. Manajer puncak memiliki perspektif terbaik untuk memahami sepenuhnya konsekuensi dari keputusan strategis. Manajer puncak mempunyai wewenang untuk menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk implementasi. Tahap manajemen strategis selanjutnya adalah implementasi strategi. Implementasi strategi mencakup pengembangan budaya yang mendukung strategi, mencipta-kan struktur organisasi yang efektif, mengelola aktivitas pemasaran, membuat anggaran, mengembangkan dan menggunakan sistem informasi, dan menghubungkan kompensasi karyawan dengan kinerja perusahaan. Implementasi strategi sering disebut sebagai ‚fase eksekusi‛ manajemen strategis. Pengembangan budaya dalam mendukung strategi merupakan kunci dalam implementasi manajemen strategi yang berhasil, mengingat suatu budaya dalam organisasi merupakan hal yang sulit untuk dirubah. Padahal hakikatnya, manajemen strategis ini merupakan suatu proses perubahan secara bertahap untuk mempertahankan eksitensi suatu organisasi/perusahaan. Struktur yang efektif dapat mem-


bantu implementasi manajemen strategi dengan lebih optimal. Aktivitas-aktivitas dalam seluruh aspek manajemen seperti sumber daya manusia, pemasaran, keuangan, operasional juga perlu diperhatikan. Pengembangan informasi saat ini juga menjadi suatu keharusan dalam implementasi manajemen strategis yang lebih efektif. Implementasi strategi juga perlu memobilisasi karyawan dan manajer untuk menerapkan strategi yang dikembangkan. Implementasi strategi dianggap sebagai tahap tersulit dalam manajemen strategis dan memerlukan disiplin, dedikasi, dan pengorbanan pribadi. Keberhasilan penerapan strategi bergantung pada kemampuan manajer dalam memotivasi karyawan. Ini lebih merupakan seni daripada sains. Strategi yang dikembangkan tetapi tidak diterapkan tidak ada gunanya. Keterampilan interpersonal sangat penting untuk keberhasilan implementasi strategi. Kegiatan implementasi strategi mempengaruhi seluruh karyawan dan manajer dalam suatu organisasi/perusahaan. Setiap departemen harus menentukan jawaban atas pertanyaan, "Apa yang perlu dilakukan untuk memenuhi perannya dalam strategi organisasi? " , "Apa cara terbaik untuk menyelesaikan tugas ini?‛, "Tantangan implementasi menginspirasi manajer dan karyawan di seluruh perusahaan untuk bekerja dengan bangga dan antusias untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi strategis adalah tahap akhir dari manajemen strategis. Manajer perlu mengetahui kapan suatu strategi tertentu tidak berhasil. Penilaian strategis adalah metode utama untuk memperoleh informasi ini. Semua strategi dapat berubah di masa depan seiring dengan perubahan faktor eksternal dan internal. Tiga aktivitas dasar evaluasi strategis adalah (1) pertimbangan faktor eksternal dan internal yang


mendasari strategi saat ini, (2) pengukuran kinerja, dan (3) penerapan tindakan perbaikan. Evaluasi strategi diperlukan karena kesuksesan saat ini tidak menjamin kesuksesan di masa depan. Kesuksesan selalu membawa tantangan baru. Organisasi yang puas dengan status quo akan binasa. Kegiatan strategis dikembangkan, diterapkan, dan dievaluasi dalam organisasi besar di tiga tingkat hierarki: badan hukum, unit bisnis fungsional atau strategis, dan departemen. Manajemen strategis membantu perusahaan berfungsi sebagai tim kompetitif dengan memfasilitasi komunikasi dan interaksi antara manajer dan karyawan di seluruh tingkat hierarki. Sebagian besar perusahaan kecil dan sebagian besar tidak mempunyai divisi atau unit usaha strategis. Hanya ada tingkat perusahaan dan fungsional. Namun, manajer dan karyawan di kedua tingkat harus terlibat aktif dalam aktivitas manajemen strategis.


BUDAYA ORGANISASI Paulus Libu Lamawitak arasi tentang organisasi tidak lepas dari berbagai indikator sosial dan budaya. Organisasi bukan sebuah entitas yang berdiri di atas kekosongan ruang dan waktu. Organisasi selalu berada dalam ruang dan waktu dan mengalir dalam arus perubahan waktu. Tak jarang banyak organisasi yang berhenti dan tidak bisa berjalan karena tidak memiliki kapasitas perubahan yang selaras zaman. Zaman terus mengalami perubahan; tetapi perubahan tidak berpijak di atas kekosongan. N


Perubahan selalu ada dasar penopang dan penyandar, baik internal maupun eksternal. Salah satu entitas penting dalam menakar dan menopang eksistensi sebuah organisasi adalah budaya organisasi. Budaya adalah salah satu faktor pembeda antara satu organisasi dengan organisasi yang lainnya. Budaya dalam organisasi adalah sesuatu yang unik dan tidak gampang ditiru. Mengapa? Karena budaya lahir dan tubuh dalam ruang dan waktu tertentu; tumbuh bersama organisasi dan berkembang dalam ruang tertentu yang melingkupinya (Bdk. Armia, 2002). Budaya lahir dari pergulatan organisasi setiap hari dalam upaya mencapai tujuannya. Organisasi modern telah mengenal istilah budaya organisasi sebagai salah satu variabel pembentuk karakter organisasi. Budaya organisasi berkaitan erat dengan nilai-nilai yang dipegang oleh setiap organisasi modern (Soelistya et al., 2022). Kehadiran individu dengan latar belakang berbeda dalam sebuah organisasi akan membentuk kebiasaan-kebiasaan yang lama-kelamaan (proses sosialisasi) akan membentuk budaya tertentu dalam organisasi tersebut. Banyak studi empiris telah membuktikan bahwa budaya organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan dan peningkatan kinerja organisasi (Kurniawati, 2018); (Wijaya, 2019); (Ningsih and Setiawan, 2019); (Ouchi and Wilkins, 1985). Selain itu, budaya organisasi juga memberikan dampak yang signifikan terhadap perubahan sikap dan perilaku anggota organisasi sesuai yang diharapkan oleh organisasi dalam rumusan visi-misi dan tujuannya (Prabawa, 2011). Bahwa setiap anggota organisasi memiliki perilaku dan karakter berbeda maka dibutuhkan satu format budaya yang dianut secara kolektif oleh setiap individu dalam organisasi. Sampai pada titik ini, maka


diskursus tentang pentingnya budaya dalam organisasi mendapatkan legitimasinya. A. Narasi tentang Kebudayaan Istilah kebudayaan pernah digunakan oleh Cicero, orator Romawi Kuno dalam tulisannya Tusculan Disputations. Tulisan Cicero ini adalah sebuah budidaya jiwa/cultura animi. Dalam artian yang lebih luas, istilah kebudayaan diartikan sebagai pengembangan jiwa manusia. Pengembangan jiwa manusia adalah satu cita-cita paling tinggi (Liliweri, 2014). Kebudayaan erat kaitannya dengan ‘budidaya’ dimana istilah ini dekat dengan dunia pertanian. Ilmuwan nonpertanian menggunakan istilah kebudayaan pada abad ke 17 sebagai sebuah konsep yang menggambarkan atau menjelaskan tentang individu yang mengalami penyempurnaan atau perbaikan dalam hidupnya. Perbaikan dan penyempurnaan ini dilakukan melalui pendidikan. Artinya peran pendidikan menjadi sangat penting dalam pandangan para ilmuwan sejak abad 17. Istilah kebudayaan kemudian diartikulasikan kembali oleh Samuel Pufendorf ke dalam konteks yang lebih tinggi yang berkaitan dengan pengembangan manusia modern (Liliweri, 2014). Pasca artikulasi Samuel, narasi tentang kebudayaan lebih menekankan pada cara yang dilakukan manusia untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi dalam hidup. Pemaknaan terhadap istilah kebudayaan mengalami perkembangan lagi setelah para pemikir Jerman abad ke 18. Dalam periode pemikiran ini, pemaknaan terhadap arti kebudayaan mendapat dua poin penekanan yaitu 1. Kebudayaan dilihat sebagai sebuah folk spirit dari sebuah identitas yang unik dan 2. Kebudayaan sebagai budidaya


manusia yang mengandung spirit untuk mengalihkan manusia dari suasana ketidakpastian ke arah kesempurnaan (Liliweri, 2014). Budaya dalam hal ini dilihat sebagai sesuatu yang membangkitkan perasaan manusia sebagai pribadi yang unik atau yang asli. Terdapat beberapa pengertian dasar dari kebudayaan dilihat dari berbagai sudut pandang keilmuan. Dalam penjelasan ini, makna kebudayaan dilihat dari sudut pandang sosiologi. Dari sudut pandang sosiologi, kebudayaan adalah total dari warisan, ide-ide, keyakinan, nilai-nilai dan pengetahuan yang merupakan basis bersama dalam aksi sosial. Lebih lanjut pengertian kebudayaan juga dapat katakan sebagai pernyataan sikap, perasaan, nilai-nilai, dan perilaku yang menjadi ciri khas dan diinformasikan kepada masyarakat yang menjadi ciri khas secara keseluruhan atau kelompok sosial tertentu (Liliweri, 2014). Istilah kebudayaan yang diterangkan di atas lebih relevan dengan nilai budaya yang harus tumbuh dan berkembangan dalam sebuah organisasi. Organisasi membutuhkan nilainilai; organisasi membutuhkan pengetahuan; organisasi membutuhkan warisan dan ide-ide. Abstraksi kebudayaan dalam berbagai bentuk ini secara eksperimental telah memberikan pengaruh yang positif terhadap berbagai perkembangan dan pertumbuhan organisasi; terutama organisasi bisnis. Banyak organisasi bisnis telah memberikan perhatian yang serius terhadap perkembangan dan eksistensi ke-budaya-an dalam organisasinya. Kebudayaan menurut Taylor dalam Karolina & Randy (2021) adalah keseluruhan yang kompleks, di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,


hukum, adat-istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat sebagai anggota masyarakat. B. Budaya Organisasi: Selayang Pandang 1. Pengertian Budaya Organisasi Budaya organisasi telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam organisasi. Banyak penelitian yang sudah melihat dan membahas tentang budaya organisasi. Beberapa pengertian dan pendapat tentang budaya organisasi bisa digambarkan di sini. Budaya organisasi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan internal organisasi karena keragaman budaya yang ada dalam satu organisasi (Tampubolon, 2012). Organisasi terdiri dari berbagai individu dengan latar belakang yang berbeda dan memiliki karakter yang berbeda-beda pula. Budaya organisasi juga merupakan karakteristik yang ada dalam sebuah organisasi dan dijunjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Aspek ini tidak terlepas dari ikatan budaya yang diciptakan. Artinya berbagai kebiasaan dan karakter yang ada di dalam sebuah organisasi diperkenalkan dan dilakukan secara turun temurun ke generasi berikutnya dengan pola dan tindakan yang sama (Habudin, 2020). Budaya organisasi juga adalah sistem yang dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi (Habudin, 2020). Sistem dan nilai yang ditumbuhkan dalam organisasi menjadi kompas atau pedoman bagi perkembangan organisasi. Budaya organisasi dalam dunia bisnis dikenal juga dengan budaya perusahaan. Budaya perusahaan adalah pola-pola nilai, norma,


kepercayaan, sikap dan asumsi yang diartikulasikan sebagai bentuk atau tata cara orang-orang dalam organisasi melaksanakan sesuatu (Amstrong dalam Ningsih and Setiawan, 2019). Menurut Hodge, Anthony dan Gales (1996) dalam (Ningsih and Setiawan, 2019) menjelaskan tentang budaya organisasi sebagai konstruksi dari dua tingkat karakteristik yaitu karakteristik organisasi yang kelihatan (observable) dan yang tidak kelihatan (unobservable). Pengertian lain dikemukakan oleh Robbins (2003) dalam (Prabawa, 2011) bahwa budaya organisasi adalah suatu sistem nilai yang dianut bersama anggota-anggota organisasi yang membedakan organisasi itu dengan organisasi lainnya. Dari sekian banyak pendapat tentang budaya organisasi yang dijelaskan di atas, dapat dijelaskan bahwa budaya organisasi adalah sebuah sistem nilai yang dipegang dan dianut oleh individu-individu yang ada dalam satu organisasi tertentu dengan pola dan tindakan yang sama dan selaras dengan budaya dimana organisasi itu berada. Artinya ada proses inkulturasi budaya organisasi dengan budaya setempat; budaya dimana organisasi berdiri dan beraktivitas. Sehingga ada akar budaya yang tidak lepas dengan lingkungannya. 2. Terbentuknya Budaya Organisasi Budaya organisasi adalah seperangkat nilai yang dipegang oleh individu yang kemudian menjadi sesuatu yang mengiringi setiap kerja atau aktivitasnya setiap hari. Budaya menyapa sesama ketika masuk kantor; memberikan salam kepada sesama/rekan kerja; datang tepat waktu setiap hari kerja; adalah ‘sesuatu’ yang


tertanam dalam diri setiap anggota organisasi yang kemudian secara spontan dilakukan. Ini adalah contoh budaya yang ada dalam setiap organisasi yang sudah menanamkan kebiasaan seperti sejak berdirinya organisasi. Apa yang dilakukan sekarang adalah akibat dari sebab yang sudah dilakukan sekian waktu; sejak berdirinya organisasi. Kebiasaan, tradisi, atau cara-cara umum yang dilakukan sekarang adalah turunan dari apa yang sudah dilakukan sebelumnya. Secara konvensional, budaya organisasi sebagian besar dipengaruhi oleh pendirinya organisasi tersebut (Habudin, 2020). Proses penciptaan budaya terdiri dari tiga cara. Pertama, pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang sepikiran dan seperasaan dengan mereka. Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan mensosialisasikan cara berpikir dan perilakunya kepada karyawan. Ketiga, perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri; dengan demikian menginternalisasi diri seperti keyakinan, nilai dan asumsi pendiri tersebut (Habudin, 2020). Lebih lanjut dapat dilihat pada gambar di bawah ini: (Fuqron, 2022) Filsafat Pendiri Organiassi Kriteria Seleksi Sosialisasi Budaya Organisasi Manajemen Puncak


Budaya organisasi berasal dari filsafat pendiri. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa pendiri memiliki pengaruh yang signifikan terhadap proses pembentukan budaya dalam organisasi. Nilai yang dipegang oleh pendiri menjadi kriteria dalam proses seleksi karyawan yang hendak bekerja dalam organisasi tersebut. Selain pengaruh filsafat pendiri, tindakan yang dilakukan oleh manajemen puncak juga memiliki pengaruh terhadap budaya organisasi. (Fuqron, 2022). Keberhasilan proses sosialisasi tergantung pada bagaimana proses sosialisasi dan tingkat penerimaan anggota baru terhadap nilai atau norma yang ada dalam organisasi tersebut. Penerimaan anggota baru atas apa yang sudah dan sedang terjadi dalam sebuah organisasi tergantung juta dengan nilai atau norma yang dipegang oleh anggota baru tersebut. Artinya setiap anggota baru yang hendak masuk dalam sebuah organisasi memiliki latar belakang budaya dan kebiasaan yang berbeda-beda, tergantung pada lingkungan yang membentuknya. 3. Tingkatan Budaya Organisasi Budaya organisasi memiliki beberapa tingkatan berdasarkan tingkat pengamatan terhadap fenomena budaya yang muncul. Ada dua model tingkatan budaya organisasi yaitu yang kelihatan dan bisa diamati dengan tingkatan yang tidak bisa diamati dan tidak dirasakan tetapi sudah menjadi hakekat hidup. Schein dalam (Supriyatno, 2016) mengklasifikan budaya ke dalam tiga tingkatan yakni: a. Artefak. Artefak menjadi aspek budaya yang dapat dilihat, dapat diindra. Budaya ini bisa muncul dalam sikap, tingka laku dan manifestasi fisik lainnya;


b. Nilai-nilai yang mendukung. Nilai dipahami sebagai angka yang bisa digunakan oleh anggota organisasi untuk memberikan nilai kepada organisasi; seperti perbuatan atau keputusan yang dilakukan dalam organisasi; c. Asumsi dasar. Asumsi atau keyakinan yang memiliki dasar dari fenomena tertentu. Asumsi di sini adalah keyakinan yang dimiliki anggota organisasi tentang diri mereka sendiri, tentang orang lain dan hubungan mereka sendiri dengan orang lain. Dan lebih jauh dari itu adalah hakekat organisasi sendiri yang mereka alami dan rasakan sebagai anggota sebuah organisasi. Selain Schein, Lundberg dalam (Supriyatno, 2016) memberikan perspektif lain yang berbeda tentang tingkatan budaya organisasi. Berikut tingkatan budaya organisasi: a. Artefak. Adalah aspek budaya yang kelihatan/dapat diindra seperti tindakan atau tutur kata; b. Perspektif. Adalah aturan dan norma yang dapat diaplikasikan dalam konteks tertentu untuk menyelesaikan masalah tertentu; c. Nilai. Nilai yang dimaksud di sini bukan sekedar angkat yang bisa diberikan tetapi lebih dari itu adalah cara pandang, cara bersikap dan berprilaku berdasarkan atas satu pandangan hidup tertentu yang tertanam dalam diri seseorang.


C. Fungsi Budaya Organisasi Budaya organisasi menjadi satu aspek yang menyatukan berbagai pandangan yang berbeda atau menjadi perekat sosial. Artinya budaya organisasi mampu menyatukan orang yang memiliki cara pandang hidup pribadi yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama dalam satu organisasi. dengan budaya organisasi yang baik dalam organisasi bisa menjadi jembatan komunikasi yang baik antar anggota organisasi. Karena masing-masing anggota memiliki nilai dan pandangan yang sama. Berikut ini akan dijelaskan beberapa fungsi utama budaya organisasi. Pertama, budaya organisasi berfungsi untuk menetapkan tapal batas; antara yang baik dan buruk, yang layak atau tak layak; yang boleh atau tidak boleh dilakukan/dikerjakan. Dengan demikian maka budaya organisasi sedang berjuang untuk membuat pembeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Organisasi bisnis memang sangat membutuhkan ini demi branding yang sudah atau yang akan dibangun. Kedua, Budaya memberikan identitas bagi para anggota organisasinya. Tingkah laku, tutur kata yang diekspresikan oleh anggota organisasi menunjukkan budaya yang dianut dan dijalankan dalam sebuah organisasi. Ketiga, budaya organisasi mempermudah munculnya komitmen bersama dalam organisasi dengan standar-standar yang jelas dan tepat untuk apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak layak dilakukan oleh segenap anggota organisasi. Keempat, budaya memantapkan sistem sosial. Budaya dapat dilihat sebagai perangkat yang dapat mempersatukan suatu organisasi dengan memberikan standar yang tepat untuk apa yang harus dilakukan atau dilakukan oleh para


anggotanya. Dengan adanya budaya yang baik dalam organisasi akan membentuk sikap yang baik pula bagi anggotanya. Kelima, budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap dan perilaku para anggotanya (Supriyatno, 2016). Anggota organisasi tidak mengambang dalam bersikap karena sudah ada semacam ‘guide’ dalam berperilaku dalam organisasi yaitu budaya organisasi. D. Dimensi Budaya Dimensi budaya perlu juga dijelaskan karena menyangkut bingkai yang melingkupi tumbuhnya budaya. Realitas masyarakat telah menjadi bukti yang baik baik bahwa organisasi juga perlu memiliki budaya sendiri sebagai kompas bertindak bagi anggota organisasi. Bagi Hofstede (1980) dalam (Armia, 2002), budaya adalah satu entitas penting dalam program mental yang mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku manusia baik secara individu maupun secara kolektif. Terdapat beberapa dimensi budaya yakni: 1. Perbedaan kekuasaan (Power Distance). Menunjukkan adanya ketidaksejajaran bagi anggota yang tidak mempunyai kekuasaan atau kekuatan dalam satu institusi atau organisasi. perbedaan tingkatan ini memiliki beberapa aspek penyebab seperti tingkat pendidikan, tingkat sosial, masa kerja. 2. Menghindari ketidakpastian (uncertainty avoidance). Dimensi ini mau menjelaskan atau menggambarkan sikap masyarakat yang berbeda-beda dalam menghadapi lingkungan budaya yang tidak terstruktur, tidak jelas dan tidak dapat diramalkan. Masyarakat bisa melakukan


penghindaran dari budaya dimaksud dengan bantuan teknologi untuk mempertahankan diri. 3. Individualitas vs kolektivitas. Dimensi ini menjelaskan sikap yang memandang kepentingan pribadi dengan kepentingan organisasi dimana kepentingan pribadi dipandang sebagai kepentingan utama atau kepentingan bersama dalam kelompok. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap ini adalah tingkat pendidikan, sejarah organisasi, besarnya organisasi, teknologi yang digunakan dalam organisasi. 4. Maskulinitas vs feminitas. Dimensi ini menjelaskan bagaimana peran yang berbeda antara individu tergantung jenis kelamin. Perbedaan antara pria dan wanita cukup besar dalam masyarakat yang menganut sistem patriarkis. Sistem ini menganggap bahwa peran laki-laki harus lebih besar dan mendapat banyak keistimewaan dalam berbagai peran hidup di tengah masyarakat (Armia, 2002). E. Sumber-Sumber Budaya Organisasi Terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi budaya organisasi. 1. Pengaruh secara umum dari luar yang bersifat lebih luas (broad external influences). Pengaruh ini mencakup faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh organisasi. Faktor-faktor ini seperti lingkungan alam, kejadian-kejadian bersejarah yang membentuk masyarakat; 2. Pengaruh dari nilai-nilai yang ada di tengah masyarakat. Masyarakat memiliki nilai-nilai yang tidak dimiliki oleh masyarakat lainnya. Nilai ini diturunkan secara masif dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dari nilai dan kebiasaan ini mulai terbentuk budaya yang menjadi ciri khas


masyarakat tersebut; 3. Faktor spesifik dari organisasi. organisasi memiliki sesuatu yang spesifik dan biasanya diturunkan dari pendiri organisasi. Bagi banyak perusahaan nilai pendiri organisasi perusahaan tersebut sangat berpengaruh besar dalam aktivitas bisnis setiap hari; 4. Nilai dari kondisi yang dominan. Kondisi yang dominan dalam sebuah organisasi bisa datang dari atasan dan juga dari sesama karyawan yang melihat adanya kemungkinan untuk menjalankan budaya yang dianggap positif. Dominasi ini bisa terjadi karena adanya sosialisasi yang terjadi secara masif dalam organisasi dari tingkat manajemen sampai pada tingkat yang paling bawah. Seiring berjalannya waktu, setiap organisasi akan memiliki budaya yang tumbuh dari organisasi tersebut. Ada beberapa fungsi budaya organisasi: a). memberikan sense of identity atau perasaan sebagai satu identitas atau memiliki identitas yang sama. Dengan demikian maka ada rasa kebersamaan yang kuat untuk berjuang mencapai visi dan misi perusahaan atau organisasinya, b). Menghasilkan dan meningkatkan komitmen terhadap misi organisasi. c). memberikan arah dan memperkuat standar perilaku untuk mengendalikan perilaku organisasi agar melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara efektif dan efisien (Habudin, 2020). Budaya dapat memberikan sesuatu yang lebih bersifat psikologis kepada anggota organisasi untuk mengalami kebersamaan dalam organisasi sebagai satu kesatuan atau satu keluarga. Perasaan psikologis ini bisa terbentuk jika masing-masing individu dalam organisasi dapat memahami budaya yang ada organisasi tersebut secara lebih komprehensif.


F. Kebudayaan: Entitas Pembentuk Karakter Organisasi Mengutip apa yang disampaikan oleh Kotter dan Hasket dalam (Kurniawati, 2018) bahwa faktor keberhasilan sebuah organisasi bukan terletak pada manajemen, fungsi-fungsi menyelesaikan tugas atau struktur organisasi tetapi terletak pada kultur/budaya. Artinya peran budaya dalam meningkatkan produktivitas perusahaan sangat penting. Organisasi bisnis adalah organisasi heterogen. Artinya individu yang ada dalam organisasi tersebut berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Untuk bisa bekerja secara maksimal maka dibutuhkan satu pedoman, cara pandang dan pola pikir yang selaras agar tujuan organisasi dapat dicapai. Budaya organisasi memberikan nilai dan norma yang sama yang mengendalikan interaksi anggota organisasi (Prabawa, 2011). Organisasi membutuhkan budaya atau kebudayaan sebagai ciri yang membedakan satu organisasi dengan organisasi lainnya. Oleh karena itu, menumbuhkan kebudayaan dalam organisasi adalah sebuah keniscayaan. Budaya yang dimaksud adalah budaya kerja yang baik dan sesuai dengan cita-cita bersama. Budaya organisasi adalah cara orang melakukan sesuatu dalam organisasi. Dengan adanya budaya organisasi dapat mengarahkan segenap sumber daya yang ada dalam organisasi untuk mencapai tujuan bersama yang sudah ditetapkan. Budaya organisasi juga membentuk perilaku dan karakter staf atau anggota organisasi. Budaya organisasi dapat menjadi pendorong dalam mencapai core values (Noor, 2018). Karakter organisasi bisa terbentuk dari budaya yang ada dalam organisasi. Karakter inilah yang menjadi satu nilai yang tak boleh dianggap sepele. Karena dengan karakter yang


baik akan menjadikan organisasi menjadi rumah bersama bagi setiap anggotanya. Individu yang tergabung dalam organisasi adalah mereka yang datang dari berbagai latar belakang dan lingkungan yang berbeda. Bisa saja kehadiran mereka menjadi berkat tetapi di sisi lain bisa menjadi penghambat perkembangan dan kemajuan organisasi. Untuk menjaga agar kehadiran setiap individu dalam organisasi bisa mendatangkan manfaat bagi organisasi maka diperlukan budaya organisasi yang baik dn kuat agar bisa menjadi pegangan bagi setiap anggota yang bergabung dalam organisasi untuk mencapai visi dan cita-cita organisasi. G. Budaya Organisasi dan Strategi Organisasi: Perpaduan untuk Kebaikan Budaya organisasi bukan saja menghadirkan nilai dan karakter organisasi. Lebih dari itu adalah bagaimana budaya organisasi menyatu dengan strategi organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara lebih sempurna. Ini adalah rangkaian pengaruh positif budaya organisasi terhadap organisasi sebagai sebuah entitas tak terpisahkan dari aktivitas bisnis perusahaan. Setiap perusahaan selalu memiliki cita-cita untuk mencapai tujuan yaitu peningkatan laba dari tahun ke tahun. Cita-cita bisnis ini kemudian diturunkan dalam berbagai kebijakan dan langkah-langkah strategis. Salah satu langkah penting yang dilakukan adalah dengan membangun budaya organisasi yang positif dalam perusahaan atau organisasi bisnis. Aspek penting dalam organisasi yaitu mulai pada perumusan strategi sampai pada tahap implementasi strategi. Di dalam rangkaian strategis ini, budaya organisasi memiliki peran sentral. Yang paling utama dalam proses ini adalah bagaimana budaya organisasi mempengaruhi para pimpinan


dalam proses pengambilan keputusan. Lebih teknis dalam proses perumusan strategi budaya memberikan kontribusi besar dalam proses analisis lingkungan baik analisis lingkungan eksternal maupun dalam analisis lingkungan internal. Dua proses analisis ini adalah dasar bagi pihak manajemen dalam menentukan strategi yang perlu diambil dalam organisasi. analisis lingkungan membutuhkan berbagai pertimbangan dan salah satu satu pertimbangan paling tinggi urgensitasnya adalah pertimbangan budaya (Wijaya, 2019). Urgensitas budaya dalam strategi adalah bagaimana nilai dan norma yang dipegang dalam organisasi menjadi nilai yang baik atau nilai tambah bagi individu dalam upaya implementasi strategi. Kerangka berpikir yang baik dan karakter yang unggul dalam organisasi menjadikan strategi inovatif yang sudah direncanakan dapat dijalankan dengan baik pula. Jadi secara teknis adaptif, organisasi yang telah memiliki budaya yang baik yang bisa menerima berbagai perubahan dalam strategi pengembangan yang menjadi sasaran pencapaian bersama dalam organisasi.


ORGANISASI DAN DEPARTEMEN Toga Sehat Sihite APA Itu Teori Organisasi? Dalam mempelajari dan mengenal ilmu mengenai organisasi atau bahkan kamu yang sedang tergabung serta aktif dalam berbagai bentuk organisasi. Secara lengkap ini akan membahas mengenai apa itu organisasi, pengertian dari teori organisasi, berbagai bentuk teori organisasi, dan masih banyak lagi yang dapat membantu dalam memperkaya informasi seputar organisasi.


A. Pengertian Organisasi Organisasi merupakan sebuah kesatuan sosial yang terbentuk dari adanya sekelompok individu yang saling berinteraksi antara satu sama lain yang membentuk suatu pola yang terstruktur dengan cara tertentu yang membuat setiap anggota yang ada di dalamnya memiliki tugas serta fungsinya masing-masing, menjadi kesatuan yang memiliki tujuan tertentu serta memiliki batas-batas yang jelas sehingga organisasi tersebut dapat secara tegas dipisahkan dari lingkungannya. Menurut Burky dan Perry, pengertian dari sebuah organisasi merupakan sebuah kesatuan yang terdiri atas beberapa individu yang melakukan tindakan secara bersama dalam mencapai tujuan secara bersama. Berdasarkan buku Teori Organisasi, sebuah organisasi dibentuk karena adanya dorongan dari dalam diri sekelompok orang dalam mencapai tujuan tertentu. B. Pengertian Teori Organisasi Teori organisasi sendiri merupakan sebuah teori yang digunakan untuk mempelajari proses kerjasama yang dilakukan oleh antar individu. Hakikat kelompok yang ada di dalam individu dalam mencapai tujuan serta berbagai cara yang ditempuh dengan menggunakan teori yang dapat menjelaskan bentuk tingkah laku, seperti motivasi seorang individu dalam melakukan proses kerjasama di sebuah organisasi. Pengertian teori organisasi menurut Lubis dan Husaini pada tahun 1987 sendiri adalah sekumpulan ilmu pengetahuan yang membicarakan mengenai mekanisme


kerjasama antara dua orang maupun lebih yang dilaksanakan secara sistematis dalam mencapai tujuan bersama yang telah ditentukan terlebih dahulu. Sedangkan, Stephen P. Robbins (1994) mengemukakan pengertian teori organisasi sebagai disiplin ilmu yang mempelajari mengenai struktur serta desain organisasi. Teori organisasi menunjuk pada berbagai aspek deskriptif serta perspektif dari disiplin ilmu tersebut. Teori organisasi juga seringkali digunakan dalam menjelaskan bagaimana organisasi sebenarnya di buat maupun di struktur serta menawarkan mengenai bagaimana sebuah organisasi yang ada dapat dikonstruksi dalam meningkatkan keefektifan organisasi. Berdasarkan pengertian yang ada di atas, dapat disimpulkan bahwa teori organisasi memiliki fungsi untuk menjelaskan kegiatan serta dinamika kerjasama pada sebuah organisasi serta memberikan tuntunan maupun pedoman dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan prediksi yang dilakukan akibat pengambilan keputusan tersebut. C. Teori Organisasi Berdasarkan Level Analisis Jenis teori organisasi sendiri beragam berdasarkan literatur serta sumber pustaka. Berdasarkan Scott dalam Legard (2010), teori organisasi dibagi menjadi tiga level analisis, yang terdiri dari level sosial-psikologis, level struktural, dan level makro yang akan dijelaskan sebagai berikut. 1. Level Sosial-psikologis Teori organisasi pertama yaitu level sosial-psikologis merupakan teori organisasi yang lebih berfokus terhadap


hubungan individu serta antar personal yang ada di dalam sebuah organisasi. Pada kelompok teori ini, ahli organisasi melakukan upaya untuk menjelaskan bagaimana orang yang ada di dalam sebuah organisasi tersebut saling berhubungan dalam mencapai tujuan masing-masing. 2. Level Struktural Teori organisasi kedua yaitu level struktural merupakan teori organisasi yang lebih berfokus kepada sebuah organisasi secara umum serta subdivisi dari sebuah organisasi seperti contohnya departemen, tim, dan sebagainya. Pada kelompok teori ini, ahli organisasi juga menjelaskan mengenai bagaimana antar unit yang ada di dalam organisasi seperti halnya departemen, bagian, seksi, dan sejenisnya memiliki kaitan antara satu sama lain dalam mencapai tujuan masing-masing unit tersebut. 3. Level Makro Teori organisasi ketiga yaitu level makro merupakan teori organisasi yang lebih berfokus kepada peran sebuah organisasi dalam menjalin hubungannya dengan kelompok organisasi maupun komunitas lainnya. Pada level ini, ahli organisasi melakukan upaya dalam menjelaskan hubungan antar organisasi dalam mencapai tujuan mereka masing-masing. Dengan begitu beragamnya teori organisasi, menjadi sangat sulit untuk mempelajarinya tanpa referensi.


Click to View FlipBook Version