The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Mengapa penting mempelajari komunikasi politik? Pertanyaan ini sepertinya sederhana tetapi bersifat solutif. Sederhana karena komunikasi politik menjadi bagian dari keseharian individu dalam hidup bermasayarakat, berbangsa, dan negara. Meskipun komunikasi politik merupakan rangkaian dua kekuatan komunikasi dan politik, dalam prakteknya komunikasi dan politik laksanakan mata koin yang riskan untuk dipisahkan. Artinya, politik atau berpolitik tanpa sentuhan komunikasi akan terasa hambar. Bagaimana mungkin seseorang ingin membentuk atau memperluas jaringan tanpa menggunakan gunakan bantuan ilmu komunikasi. Sebaliknya komunikasi tanpa politik terasa kering, bagaimana mungkin seseorang mampu meraih simpati orang lain kalau tidak mampu mempersuasi orang lain.

Secara derivatif komunikasi politik sesungguhnya membahas konsepsi komunikasi dan politik terlebih dahulu. Mengapa demikiandemikian? Setidaknya ada 3 hal yang menarik untuk didiskusikan. Pertama, meskipun komunikasi politik memiliki pijakan sebagai sebuah disiplin ilmu, embrio komunikasi politik berasal dari ilmu komunikasi dan ilmu politik. Kedua, membahas komunikasi politik secara integral seyogyanya kita harus mengacu kepada konsepsi komunikasi dan konsepsi politik. Sebab, bagaimana pun juga sebagai sebuah disiplin ilmu, komunikasi politik bukanlah ilmu yang berdiri sendiri. Dinamika komunikasi politik senantiasa ditopang oleh ilmu komunikasi dan ilmu politik. Ketiga, komunikasi politik (political communication) merupakan pakan gabungan™ dua disiplin ilmu yang berbeda namun terkait sangat erat, yakni ilmu komunikasi dan ilmu politik.

Buku ini menjadi jawaban bagi siapa saja yang ingin menguasai narasi kata- kata dengan kekuatan persuasi. Karena penyajiannya tidak hanya sekedar menerangkan kedudukan komunikasi dan politik secara utuh tetapi bagaimana seseorang mampu menggunakan komunikasi politik dalam kontek kehidupan bermasyarakat. Buku ini tidak hanya layak dimiliki dan dibagi untuk civitas akademika Ilmu Komunikasi tetapi juga menjadi referensi bagi siapa saja yang ingin menjadi politisi, birokrasi, akademisi, atau kaum berdasi.
Selamat membaca.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by penamudamedia, 2024-01-26 12:18:50

Komunikasi Politik Kontemporer

Mengapa penting mempelajari komunikasi politik? Pertanyaan ini sepertinya sederhana tetapi bersifat solutif. Sederhana karena komunikasi politik menjadi bagian dari keseharian individu dalam hidup bermasayarakat, berbangsa, dan negara. Meskipun komunikasi politik merupakan rangkaian dua kekuatan komunikasi dan politik, dalam prakteknya komunikasi dan politik laksanakan mata koin yang riskan untuk dipisahkan. Artinya, politik atau berpolitik tanpa sentuhan komunikasi akan terasa hambar. Bagaimana mungkin seseorang ingin membentuk atau memperluas jaringan tanpa menggunakan gunakan bantuan ilmu komunikasi. Sebaliknya komunikasi tanpa politik terasa kering, bagaimana mungkin seseorang mampu meraih simpati orang lain kalau tidak mampu mempersuasi orang lain.

Secara derivatif komunikasi politik sesungguhnya membahas konsepsi komunikasi dan politik terlebih dahulu. Mengapa demikiandemikian? Setidaknya ada 3 hal yang menarik untuk didiskusikan. Pertama, meskipun komunikasi politik memiliki pijakan sebagai sebuah disiplin ilmu, embrio komunikasi politik berasal dari ilmu komunikasi dan ilmu politik. Kedua, membahas komunikasi politik secara integral seyogyanya kita harus mengacu kepada konsepsi komunikasi dan konsepsi politik. Sebab, bagaimana pun juga sebagai sebuah disiplin ilmu, komunikasi politik bukanlah ilmu yang berdiri sendiri. Dinamika komunikasi politik senantiasa ditopang oleh ilmu komunikasi dan ilmu politik. Ketiga, komunikasi politik (political communication) merupakan pakan gabungan™ dua disiplin ilmu yang berbeda namun terkait sangat erat, yakni ilmu komunikasi dan ilmu politik.

Buku ini menjadi jawaban bagi siapa saja yang ingin menguasai narasi kata- kata dengan kekuatan persuasi. Karena penyajiannya tidak hanya sekedar menerangkan kedudukan komunikasi dan politik secara utuh tetapi bagaimana seseorang mampu menggunakan komunikasi politik dalam kontek kehidupan bermasyarakat. Buku ini tidak hanya layak dimiliki dan dibagi untuk civitas akademika Ilmu Komunikasi tetapi juga menjadi referensi bagi siapa saja yang ingin menjadi politisi, birokrasi, akademisi, atau kaum berdasi.
Selamat membaca.

Komunikasi Politik Kontemporer 41 bantuan keuangan dari pendukung yang kaya. Apa lagi, ada keuntungan yang meningkat karena memiliki status yang lebih tinggi, baik dalam arti bahwa anggota-anggota kelompok menaruh rasa hormat kepada pemimpin mereka maupun dalam arti bahwa pemimpin itu menguasai cukup sumber nafkah melalui dukungan para pengikutnya –tinggal di rumah mewah, pasukan sekretaris dan asisten, transportasi yang nyaman, orangorang yang melayani- semua ini bisa merupakan milik yang menyenangkan dan menjadi ganjaran yang pantas bagi para pemimpin. 2. Bagi para pengikut ada beberapa keuntungan yang didapatkannya. Salisbury (dalam Nimmo, 1989) meyakini ada tiga keuntungan utama yang diperoleh pengikut dari transaksi kepemimpinan-kepengikutan. Pertama, ada keuntungan material yang terdiri atas ganjaran berupa barang dan jasa; kedua, keuntungan solidaritas yang berupa ganjaran sosial atau hanya bergabung dengan orang lain dalam kegiatan bersama –sosialisasi, persahabatan, kesadaran status, identifikasi kelompok, keramahan, dan kegembiraan; ketiga, keuntungan ekspresif yang berupa keuntungan ketika tindakan yang bersangkutan mengungkapkan kepentingan atau nilai seseorang atau kelompok, bukan secara intrumental mengejar kepentingan atau nilai. Beberapa orang , misalnya, mendapat kepuasan hanya dengan mendukung seorang calon politik sebagai cara mengatakan kepada orang lain bahwa mereka menentang kejahatan, atau perang, atau kemiskinan, atau korupsi.


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 42 Jika dirangkum, terdapat ikatan di antara pemimpin dan pengikut yang ditempa oleh kepuasan material, sosial, dan emosional yang diturunkan orang dari keikutsertaan dalam politik. Kepuasan ini, terutama yang kurang berwujud, yaitu jenis sosioemosional, muncul di dalam dan melalui proses komunikasi. komunikasi menciptakan, mendorong, atau menghancurkan rasa solidaritas di antara orang-orang dan rasa puas pribadi dalam mengungkapkan harapan dan citacita, ketakutan dan kegelisahan orang. Kemudian, sampai taraf yang sangat luas, ikatan antara pemimpin dan pengikut adalah ikatan komunikasi. Oleh sebab itu, komunikator politik utama memainkan peran strategis, bertindak sebagai pemimpin politik dengan menyiarkan pesan-pesan yang oleh para pengikutnya dianggap berarti dan memuaskan, sesuai dengan kepentingan dan nilai-nilai yang mereka yakini. Selanjutnya menarik untuk dikaji bagaimana eksistensi politisi dalam perspektif interaksi simbolik (dramaturgi). Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai “pengelolaan pesan” (impression management), yaitu teknikteknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam perspektif dramaturgis, kehidupan ini ibarat teater, interaksi sosial yang mirip dengan pertunjukan di atas penggung, yang menampilkan peran-peran yang dimainkan para aktor. Untuk memainkan peran tersebut, biasanya sang aktor menggunakan bahasa verbal dan menampilkan perilaku noverbal tertentu serta mengenakan atribut-atribut tertentu, misalnya kendaraan, pakaian dan asesoris lainnya


Komunikasi Politik Kontemporer 43 yang sesuai dengan perannya dalam situasi tertentu. Aktor harus memusatkan pikiran agar dia tidak keseleo-lidah, menjaga kendali diri, melakukan gerak-gerik, menjaga nada suara dan mengekspresikan wajah yang sesuai dengan situasi. Menurut Goffman kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi “wilayah depan” (front region) dan “wilayah belakang” (back region). Wilayah depan merujuk kepada peristiwa sosial yang menunjukan bahwa individu bergaya atau menampilkan peran formalnya. Mereka sedang memainkan perannya di atas panggung sandiwara di hadapan khalayak penonton. Sebaliknya wilayah belakang merujuk kepada tempat dan peristiwa yang yang memungkinkannya mempersiapkan perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan (front stage) yang ditonton khalayak penonton, sedang wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan. Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua bagian: front pribadi (personal front) dan setting front pribadi terdiri dari alat-alat yang dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting, misalnya dokter diharapkan mengenakan jas dokter dengan stetoskop menggantung dilehernya. Personal front mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor. Misalnya, berbicara sopan, pengucapan istilah-istilah asing, intonasi, postur tubuh, kespresi wajah, pakaian, penampakan usia dan sebagainya.


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 44 Mengacu pada teori Goffman, kita dapat menyaksikan bagaimana pola tingkah politisi kita (baca : anggota legislatif atau anggota dewan yang terhormat). Realitas perilaku politik --seperti arogansi kekuasaan, tuntutan adanya dana aspirasi, kurang pekanya anggota terhadap keadaan masyarakat, kasus amoral, dan tindakan-tindakan negatif lainnya--- yang telah ditampilkan anggota legislatif kita menjadi catatan negatif munculnya kegaduhan politik di tanah air. Terakhir kasus hadirnya Setya Novanto (Ketua DPR-RI) dan Fadli Zon (Wakil Ketua DPR-RI) di kampanye calon presiden Donald Trumph menjadi rangkaian cerita perilaku politik pemimpin yang mendapat tanggapan negatif dari masyarakat. Padahal sebagaimana kajian teori dramaturgi Ervin Gofffman, anggota legislatif yang secara kondisional menjadi panutan mansyarakat seyogyanya menampilkan perilaku yang mendukung tampilan depannya. Bagi masyarakat tampilan depan seorang wakil rakyat adalah menjalankan fungsi legislasi, bugeting, dan pengawasan dengan sebaik-baiknya. Artinya, setiap pembicaraan anggota legislatif senantiasa mengutamakan kepentingan masyarakat; peka dan cepat tanggap terhadap persoalan masyarakat; membuat inisiatif perundang-undangan yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat; mendorong terciptanya suasana yang kondusif dalam rangka kepentingan masyarakat.


Komunikasi Politik Kontemporer 45 rahasia lagi, sejak pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah di Indonesia dilaksanakan secara langsung pola partisipasi masyarakat seakan berubah. Munculnya pragmatisme atau pragmatis dalam politik di masyarakat telah menjadi sebuah budaya politik yang menarik untuk dikaji. Secara aplikatif, pragmatisme berarti suatu keadaan yang mendorong manusia untuk selalu menginginkan keuntungan seketika. Akibatnya ia akan melakukan tindakan apapun untuk mewujudkannya. Realitas menunjukkan bahwa pragmatisme tidak hanya menjangkiti kalangan atas (mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang mumpuni) tetapi juga kalangan awam (masyarakat kelas bawah atau mereka yang tingkat pendidikan politiknya masih rendah). Berkembangnya money politik, politik dagang sapi, jual beli suara, atau adanya mahar politik menjadi sinyalemen bahwa telah terjadi transaksi politik yang menjadi salah satu indikator realitas pragmatisme di masyarakat. Secara aplikatif, budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat,


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 46 dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat diartikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya. Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah. Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa. Kajian tentang budaya politik selalu menarik. Karena selain berkaitan dengan perkembangan politik di suatu negara, budaya politik juga berhubungan dengan dinamika partisipasi politik masyarakat. Artinya, perkembangan politik dalam suatu negara sangat dipengaruhi oleh perkembangan budaya yang ada dalam masyarakat negara tersebut. Pendidikan dan pemahaman politik masyarakat (dalam konteks Indoensia) sangat mempengaruhi perkembangan budaya politik di Indonesia yang memiliki karakteristik berbeda pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Perkembangan budaya politik diwujudkan dengan terciptanya partai-partai politik. Partai politik selalu berusaha untuk merebut simpati rakyat dalam kegiatan pemilu yang bertujuan untuk menempatkan orang-orang partainya dalam


Komunikasi Politik Kontemporer 47 pemerintahan yang tidak bertentangan dengan ideologi negara dan UUD 1945. Untuk itu, agar masyarakat memiliki pandangan politik yang sesuai, sosialisasi politik dilakukan sesuai dengan kondisi dan perkembangan lingkungan yang ada. Semakin stabil pemerintahan, semakin mudah untuk melakukan sosialisasi politik. Pada prinsipnya, tidak ada perubahan yang sempurna, tetapi kita harus berusaha agar perkembangan budaya politik berkembang sesuai dengan yang diharapkan, untuk mencapai kepentingan bersama, sehingga masyarakat yang memegang peranan penting dalam perkembangan budaya politik suatu negara mampu berpartisipasi dalam kehidupan politik. Berdasarkan pemahaman teoritikal, kita memahami bahwa budaya terbentuk dari sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat secara terus menerus. Demikian halnya dengan kebiasaan yang ingin serba praktis dan instan, cepat serta mudah dalam menyelesaikan dan memenuhi segala sesuatu kebutuhan. Maka dari itulah kebiasaan tersebut berubah menjadi sebuah budaya pragmatis atau instan. Budaya serba praktis dan instan di Indonesia, kini telah menjadi kebudayaan secara nasional, tidak hanya berjalan di suatu wilayah atau daerah tertentu, namun di seluruh Indonesia. Masyarakat Indonesia cenderung menggemari sesuatu yang bersifat praktis, dimana masyarakat selalu mementingkan segi kepraktisan dalam memenuhi kebutuhannya. Masyarakat lebih memilih sesuatu yang dapat diperoleh secara praktis dan instan, dimana tidak merepotkan masyarakat ketika membutuhkan sesuatu. Mulai dari jenis makanan, pelayanan, mencapai sesuatu, pemenuhan kebutuhan, sampai di hampir seluruh aspek kehidupan (termasuk politik) sudah dilingkupi oleh budaya serba instan.


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 48 Menjadi menarik mendiskursuskan tentang budaya politik manakala kita kaitkan dengan konteks kekinian di masyarakat kita. Kecendrungan munculnya sikap pragmatis dalam kehidupan politik menjadi sinyalemen bahwa realitas politik tidak hanya bicara merebut dan mempertahankan kekuasaan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana budaya politik yang berkembang di masyarakat disikapi dengan cara yang pragmatis. Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik di antara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik. Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman: 1. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik memberikan pemahaman rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.


Komunikasi Politik Kontemporer 49 2. Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisa bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup. 3. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan. 4. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik). Dari pengertian budaya politik yang telah diuraikan, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 50 Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut. 1. Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya. 2. Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya. 3. Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. Menurut Almond, budaya politik merupakan suatu sikap orientasi yang khas masyarakat (daerah) terhadap sistem politik dan struktur politik yang sedang berlangsung. Dengan pendekatan kultural dalam mencermati fenomena politik daerah dewasa ini dapat di ketahui kecenderungan arah dan proses politik yang sedang berlangsung. Sehingga ketika melihat kondisi politik kekinian sekarang maka dapat menjadi catatan penting dalam perjalanan proses politik yang lebih mengarah pada sebuah sikap dan orientasi masyarakat dalam membangun demokrasi sebagai budaya politik daerah.


Komunikasi Politik Kontemporer 51 Berkaitan dengan tipe-tipe budaya politik, Gabriel A Almond membagi atas budaya politik parokial, budaya politik kaula (subjek), dan budaya politik partisipan. 1. Budaya politik parokial yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Budaya politik suatu masyarakat dapat dikatakan Parokial apabila frekuensi orientasi mereka terhadap empat dimensi penentu budaya politik mendekati nol atau tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap keempat dimensi tersebut. Tipe budaya politik ini umumnya terdapat pada masyarakat suku Afrika atau masyarakat pedalaman di Indonesia. dalam masyarakat ini tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung, kyai, atau dukun,yang biasanya merangkum semua peran yang ada, baik peran yang bersifat politis, ekonomis atau religius. 2. Budaya politik kaula (subjek),yaitu budaya politik masyarakat yang sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik suatu masyarakat dapat dikatakan subyek jika terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap pengetahuan sistem politik secara umum dan objek output atau terdapat pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Namun frekuensi orientasi mengenai struktur dan peranan dalam pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak terlalu diperhatikan. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah dan secara efektif mereka diarahkan pada otoritas tersebut. Sikap masyarakat terhadap sistem politik yang ada ditunjukkan melalui rasa bangga atau malah rasa tidak suka. Intinya, dalam kebudayaan politik


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 52 subyek, sudah ada pengetahuan yang memadai tentang sistem politik secara umum serta proses penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah. 3. Budaya politik partisipan,yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan juga merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu budaya politik. Mereka memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung. Masyarakat cenderung di arahkan pada peran pribadi yang aktif dalam semua dimensi di atas, meskipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak. Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani pragma berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme berarti ajaran, aliran, paham. Dengan demikian, pragmatisme berarti ajaran/aliran/paham yang menekankan bahwa pemikiran itu mengikuti tindakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pragmatisme berarti kepercayaan bahwa kebenaraan atau nilai suatu ajaran (paham/doktrin/ gagasan/pernyataan/dsb) bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia. Sedangkan pragmatis berarti bersifat praktis dan berguna bagi umum; bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan);


Komunikasi Politik Kontemporer 53 mengenai/bersangkutan dengan nilai-nilai praktis. Karena itu, pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah faedah atau manfaat. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar jika membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar jika berfungsi. Jadi, pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran. Kebenaran, menurut James dalam bukunya, The Meaning of Truth, adalah sesuatu yang terjadi pada ide, yang sifatnya tidak pasti. Sebelum seseorang menemukan satu teori berfungsi maka tidak diketahui kebenaran teori itu. Kebenaran akan selalu berubah sejalan dengan perkembangan pengalaman. Sebab, yang dikatakan benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, paham pragmatisme tidak mengenal adanya kebenaran mutlak. Kebenaran ditentukan oleh kemanfaatan. Ide pragmatisme keliru dari tiga sisi. Pertama, pragmatisme mencampuradukkan kriteria kebenaran ide dan kegunaan praktisnya. Padahal kebenaran ide adalah suatu hal, sedangkan kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realita atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realita. Sedangkan kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri. Jadi, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia. Kedua, pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 54 intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedangkan penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah identifikasi naluriah. Memang, identifikasi naluriah dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam memuaskan hajatnya, tetapi tidak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Artinya, pragmatisme telah menafikan aktivitas intektual dan menggantinya dengan identifikasi naluriah. Dengan kata lain, pragmatisme telah menundukkan keputusan akal pada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi naluriah. Ketiga, pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subyek penilai ide --baik individu, kelompok, maupun masyarakat-- serta perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki pragmatisme baru dapat dibuktikan -- menurut pragmatisme itu sendiri-- setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Ini jelas mustahil dan tidak akan pernah terjadi. Karena itu, pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri. Bila kita telaah lebih jauh lagi, maka kita dapat menggambarkan budaya politik di Indonesia saat ini adalah sebagai berikut : 1. Konfigurasi subkultur di Indonesia masih aneka ragam, walaupun tidak sekompleks yang dihadapi oleh India misalnya, yang menghadapi masalah perbedaan bahasa, agama, kelas, kasta yang semuanya relatif masih rawan/rentan.


Komunikasi Politik Kontemporer 55 2. Budaya politik Indonesia yang bersifat Parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan di lain pihak, di satu sisi masih ketinggalan dalam mempergunakan hak dan dalam memikul tanggung jawab politiknya yang mungkin di sebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, dan ikatan primordial. Sikap ikatan primordial yang masih kuat berakar, yang dikenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukaan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu; puritanisme dan non puritanisme dan lain-lain. Kecendrungan budaya politik Indonesia yang masih bersifat paternalisme dan patrimonial, hal ini masih tercermin dengan berkembangnya fenomena bapakisme atau sikap asal bapak senang. 3. Dilema interaksi tentang introduksi modernisasi (dengan segala konsekuensinya) dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat. Selain ketiga hal gambaran budaya politik di tanah air, kita juga dapat mendeskripsikan realitas budaya politik masyarakat : 1. Hirarki yang Tegar/Ketat. Masyarakat Jawa, dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya bersifat hirarkis. Stratifikasi sosial yang hirarkis ini tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa dengan rakyat kebanyakan (wong cilik). Masing-masing terpisah melalui tatanan hirarkis yang sangat ketat. Alam pikiran dan tatacara sopan santun diekspresikan sedemikian rupa sesuai dengan asal usul kelas masingmasing. Penguasa dapat menggunakan bahasa 'kasar'


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 56 kepada rakyat kebanyakan. Sebaliknya, rakyat harus mengekspresikan diri kepada penguasa dalam bahasa 'halus'. Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain tercemin pada cara penguasa memandang diri dan rakyatnya. 2. Kecendrungan Patronage. Pola hubungan Patronage merupakan salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia. Pola hubungan ini bersifat individual. Dalam kehidupan politik, tumbuhnya budaya politik semacam ini tampak misalnya di kalangan pelaku politik. Mereka lebih memilih mencari dukungan dari atas daripada menggali dukungn dari basisnya. 3. Kecendrungan Neo-patrimonisalistik. Salah satu kecendrungan dalam kehidupan politik di Indonesia adalah adanya kecendrungan munculnya budaya politik yang bersifat neo-patrimonisalistik; artinya meskipun memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik seperti birokrasi, perilaku negara masih memperlihatkan tradisi dan budaya politik yang berkarakter patrimonial. Sengaja atau tidak, Laswell telah menanamkan pengertian yang paling pragmatis atas politik, siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana. Apa yang dilontarkannya itu sangat mudah dipahami, bahwa memang demikianlah politik. Akar konfrontasi, dari kacamata Laswell, terjadi ketika definisi tersebut diterapkan dan mengundang ketidakpuasan dari para pelaku kunci politik. Pengertian ”mendapatkan sesuatu”, bukan berarti yang bersifat fisik, seperti uang atau materi lain, tetapi, tentu juga yang nonmaterial, seperti ideologi, kedudukan, harga diri, dan gengsi.


Komunikasi Politik Kontemporer 57 Di dalam ”mendapatkan sesuatu”, semua kekuatan politik saling bersaing di dalam suatu arena permainan politik. ”All my games,” Kata Indira Gandhi, Perdana Menteri perempuan India pada masanya. Politisi mestinya sadar, sejak awal politik adalah juga merupakan suatu permainan, tak sekadar adu ketangkasan, tetapi lebih dari itu adalah adu kekuatan. Pendekatannya, bisa secara keras (dominatif) atau sebaliknya lembut (soft) atau hegemonik. Dalam menyerang dan bertahan secara politik, politisi bisa bergaya seperti apakah Mohammad Ali ataukah Mike Tyson dalam bertinju. Akan tetapi, jangan lupa bahwa politik tidak semata-mata identik dengan adu kekuatan. Politik juga banyak dibahas dari sudut pandang filsafatnya. Dari Aristoteles, misalnya, kita mengenal ungkapan zoon politicon, manusia pada dasarnya merupakan ”seekor binatang politik”. Namun, Aristoteles tidak berpandangan negatif pada politik, justru ia mendefinisikannya sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Salah satu kebijakan pemerintah untuk mewujudkan kebaikan bersama adalah pelaksanaan pemilu langsung, yang pertama kali dilaksanakan masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri yang digelar “Orde Gotong Royong”. Pemilu langsung merupakan sejarah baru dalam perpolitikan Indonesia dan terutama bagi para pemilih. Pasalnya, baru pertama kali dilaksanakan dalam sistem pelaksanaan yang berbeda dengan sistem Pemilu-Pemilu sebelumnya. Yang selanjutnya pelaksanaan pemilihan langsung untuk memilih pemimpin dilanjutkan pada pemilihan gubernur, wali kota dan bupati karena sebelumnya gubernur, walikota dan bupati terpilih dengan sistem perwakilan yang lebih banyak


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 58 kelemahan dari pada kelebihannya, misalnya adanya politik dagang sapi dan politik uang, pemimpin terpilih tidak memiliki legitimasi yang kuat karena kriterianya tidak sesuai dengan keinginan masyarakat, pemimpin terpilih “berhutang budi” pada partai politik sehingga sistem check and balance antara legislatif dan eksekutif tidak terjaga. Hal ini di dukung dengan pendapat salah seorang bapak demokrasi dunia J.J.Rousseau yang mengungkapkan bahwa demokrasi dengan sistem perwakilan, bukanlah demokrasi sebenarnya, karena keinginan para wakil rakyat (Will of the few) bukanlah keinginan rakyat. Peringatan Rousseau semakin memperkuat posisi suara rakyat yang selama ini lebih banyak dijadikan sebagai pelengkap penderita. Namun sejak tahun 2005 ketika pilkada langsung pertama kali dilakukan sampai sekarang, puluhan kepala daerah (gubernur, wali kota, bupati) telah menjadi terpidana kasus korupsi. Melihat fenomena ini, tidak mengherankan jika menghitung ongkos politik yang harus dikeluarkan pasangan calon kepala daerah menjadi sangat tinggi. Selain harus membayar mahar kepada partai politik yang mengusung dalam pilkada, mereka juga harus ”mengamankan suara” dan “mengamankan kemenangan” dengan segala cara. Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pernah mengatakan bahwa besarnya jumlah dana yang harus dikeluarkan seseorang untuk menjadi kepala daerah (bupati/wali kota sekitar Rp 5 miliar, gubernur sekitar Rp 20 miliar). Dana sebesar itu agak mustahil dapat diperoleh kembali dari gaji yang diterima, bahkan selama lima tahun karena Gaji bupati Rp 6,2 juta, sementara gubernur Rp 8,7 juta.


Komunikasi Politik Kontemporer 59 Di sisi lain masyarakat memandang dengan adanya Pilkada sebagai sebuah proyek yang sangat menguntungkan tanpa berpikir bagaimana kualitas dari proses dan hasil pilkada, sehingga yang terjadi saat ini masyarakat kita sudah menjadi “mata duitan”. Tetapi dengan melihat berbagai fenomena dalam pelaksanaan pilkada di daerah tidak berarti sistem pemilihan harus dikembalikan ke sistem perwakilan karena hal itu bukan solusi yang terbaik namun kita akan semakin mundur ke belakang. Coba direnungkan apa yang dilakukan Descartes saat melakukan rekonstruksi filsafat, langkah pertama secara teoritis membuang sikap skeptis. Yang dilakukan, ia mencari air mancur yang lebih alami dari prinsip-prinsip sejati, dan untuk menemukannya dalam pikiran manusia; Kesadaran diri untuk mendapatkan kebenaran dasar, dan untuk memutuskan apa yang menyenangkan. Mencermati pergeseran perilaku politik seseorang atau kelompok yang “suka duit” dapat dilihat pada dua model analisis teori tentang perilaku pemilih, yang selama ini berkembang di Indonesia. Pertama, Geertz yang melihat pola perilaku politik dengan orientasi sosio-religius santri dan abangan. Kedua, model Jackson yang melihat faktor pola hubungan antara pemimpin dan pengikut dalam perilaku politik. Dengan demikian, tingkah laku politik tidak berdiri sendiri tetapi terkait dengan faktor-faktor lain yang melekat dalam suatu sistem politik. Ada empat faktor atau variabel yang berpengaruh. Pertama, kekuasaan yakni cara untuk mencapai hal yang diinginkan antara lain melalui sumbersumber di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat itu.


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 60 Kedua, kelompok yakni tujuan-tujuan dikejar oleh perilakuperilaku atau kelompok politik. Ketiga, kebijakan yakni hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan yang biasanya dalam bentuk perundang-undangan. Keempat budaya politik yakni orientasi subjektif dari individu terhadap sistem politik. Sehingga jelas bahwa terjadinya pergeseran dalam perilaku pemilih yang “suka duit” tidak semata-mata karena persoalan pada sistem pemilihannya tetapi banyak faktor yang harus dibenahi terutama bagaimana memperbaki kualitas pendidikan politik masyarakat yang merupakan akar dari permasalahan tersebut. Oleh sebab itu yang paling bertanggungjawab dalam hal tersebut adalah para pakar politik, lembaga-lembaga masyarakat yang berfokus pada polling pendapat, partai-partai politik, organisasi masyarakat dan pihak pemerintah untuk lebih intensif dalam mengsosialisasikan tema “Berpolitik Yang Beretika” apakah dalam bentuk seminar, panel diskusi, simposium, dialog interaktif di TV, dan kegiatan-kegiatan lain yang disponsori oleh pemerintah, agar nantinya masyarakat punya bahan-bahan masukan yang nantinya dapat dijadikan referensi dalam berdiskusi diantara mereka dan bukan lagi didasari oleh rasa dendam dari prilaku-prilaku pemimpin sebelumnya dan saat ini, jadi semuanya didasarkan atas pertimbangan yang ilmiah dan asas manfaat. Merujuk pada realitas yang ada, budaya politik yang berkembang pada era reformasi ini adalah budaya politik yang lebih berorientasi pada kekuasaan yang berkembang di kalangan elit politik. Budaya seperti itu telah membuat struktur politik demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik. Walaupun struktur dan fungsi-fungsi sistem politik Indonesia


Komunikasi Politik Kontemporer 61 mengalami perubahan dari era yang satu ke era selanjutnya, namun tidak pada budaya politiknya. Menurut Karl D. Jackson, budaya Jawa telah mempunyai peran yang cukup besar dalam mempengaruhi budaya politik yang berkembang di Indonesia. Relasi antara pemimpin dan pengikutnya pun menciptakan pola hubungan patron-klien (bercorak patrimonial). Kekuatan orientasi individu yang berkembang untuk meraih kekuasaan dibandingkan sebagai pelayan publik di kalangan elit merupakan salah satu pengaruh budaya politik Jawa yang kuat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto dkk mengenai kinerja birokrasi di beberapa daerah, bahwa birokrasi publik masih mempersepsikan dirinya sebagai penguasa daripada sebagai abdi yang bersedia melayani masyarakat dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari perilaku para pejabat dan elit politik yang lebih memperjuangkan kepentingan kelompoknya dibandingkan dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Dengan menguatnya budaya paternalistik, masyarakat lebih cenderung mengejar status dibandingkan dengan kemakmuran. Reformasi pada tahun1998 telah memberikan sumbangan bagi berkembangnya budaya poltik partisipan, namun kuatnya budaya politik patrimonial dan otoriterianisme politik yang masih berkembang di kalangan elit politik dan penyelenggara pemerintahan masih senantiasa mengiringi. Walaupun rakyat mulai peduli dengan input-input politik, akan tetapi tidak diimbangi dengan para elit politik karena mereka masih memiliki mentalitas budaya politik sebelumnya. Sehingga budaya politik yang ber-


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 62 kembang cenderung merupakan budaya politik subjekpartisipan. Dalam pandangan Ignas Kleden, terdapat lima preposisi tentang perubahan politik dan budaya politik yang berlangsung sejak reformasi 1998, antara lain: 1. Orientasi Terhadap kekuasaan Misalnya saja dalam partai politik, orientasi pengejaran kekuasaan yang sangat kuat dalam partai politik telah membuat partai-partai politik era reformasi lebih bersifat pragmatis. 2. Politik mikro vs politik makro Politik Indonesia sebagian besar lebih berkutat pada politik mikro yang terbatas pada hubungan-hubungan antara aktor-aktor politik, yang terbatas pada tukarmenukar kepentingan politik. Sedangkan pada politik makro tidak terlalu diperhatikan dimana merupakan tempat terjadinya tukar-menukar kekuatan-kekuatan sosial seperti negara, masyarakat, struktur politik, sistem hukum, civil society, dan sebagainya. 3. Kepentingan negara vs kepentingan masyarakat Realitas politik lebih berorientasi pada kepentingan negara dibandingkan kepentingan masyarakat. 4. Desentralisasi politik Pada kenyataannya yang terjadi bukanlah desentralisasi politik, melainkan lebih pada berpindahnya sentralisme politik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dengan demikian, budaya politik era reformasi tetap masih bercorak patrimonial, berorientasi pada


Komunikasi Politik Kontemporer 63 kekuasaan dan kekayaan, bersifat sangat paternalistik, dan pragmatis. Hal ini menurut Soetandyo Wignjosoebroto karena adopsi sistem politik hanya menyentuh pada dimensi struktur dan fungsi-fungsi politiknya, namun tidak pada budaya politik yang melingkupi pendirian sistem politik tersebut. Budaya politik dalam masyarakat pragmatis telah menjadi realitas politik yang patut dicermati. Aktivitas politik yang membutuhkan partisipasi masyarakat seakan mengalami benturan manakala masyarakatnya bersifat pragmatis. Pola perilaku serba instan jelas mempengaruhi perilaku politik baik di tingkat elit maupun masyarakat umumnya. Kemurnian dukungan dan lahirnya pemimpin yang memiliki kepekaan sosial jelas sulit menjadi kenyataan manakala sindrom pragmatis telah menjangkiti masyarakat secara keseluruhan.


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 64 pemilihan kepala daerah (Pemilu Kada) secara langsung menjadi agenda kehidupan di Indonesia, warna kehidupan politik masyarakat secara spontan juga mengalami perubahan. Hiruk pikuk aktivitas politik seperti genderang yang terkadang “memekakkan telinga”. Demokrasi kesantunan yang awalnya menjadi “roh” keinginan pembuat kebijakan seakan “jauh panggang dari api”. Demokrasi yang beretika seakan cerita indah yang teramat sulit direalisasikan. Berbagai persoalan pun muncul di balik perhelatan politik yang bernama Pemilu Kada. Ada beberapa catatan yang menarik untuk menjadi bahan diskursus bersama. Pertama, Pemilu Kada yang awalnya diharapkan menjadi sistem politik yang paling demokratis; ikhtiar untuk menemukan/memilih pemimpin yang amanah, adil, dan membawa kemaslahatan umat; dan rekrutmen pemimpin daerah yang transparan dan kredibel di banyak kasus di daerah berubah menjadi arena primordialisme; munculnya raja-raja kecil di daerah; dan sarana atau ajang berkembangnya perilaku KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme)


Komunikasi Politik Kontemporer 65 yang massif. Kedua, Pemilu Kada yang seyogyanya menjadi ajang kebersamaan dalam membangun daerah. Justru telah memunculkan perilaku pragmatisme dan fenomena instan dalam masyarakat. Realitas ini tidak hanya menjangkiti para elit tetapi juga masyarakat awam. Banyak cerita dan berita bahwa masyarakat seakan rela “menggadaikan” suaranya hanya dengan “sebungkus mie instan” atau lembaran uang 20 ribu atau 50 ribu. Ironinya, partai politik yang berfungsi sebagai lembaga artikulasi, rekrutmen, dan rekrutmen politik belum seutuhnya mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Sinyalemen adanya “mahar politik” seakan menjadi tanda hadirnya transaksi politik di tingkat elit politik. Padahal ketika episode rezim Orde Baru berakhir, semestinya saat yang bersamaan muncullah semangat baru membangun Indonesia yang lebih baik. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa hegemoni rezim orde baru telah “menidurkan” kebebasan berpolitik masyarakat. Idealnya, lahirnya reformasi menyadarkan masyarakat dalam membangun sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Idealnya, dengan hadirnya kran kebebasan semestinya masyarakat memiliki semangat yang sama dalam membangun iklim demokrasi yang beretika dan berbudaya. Idealnya, dengan lahirnya reformasi kehidupan ekonomi semakin baik sebab transparansi dan sarana-sarana perekonomian dikelola untuk kemakmuran seluruh masyarakat. Idealnya lahirnya reformasi pengetahuan dan pendidikan politik masyarakat baik elit maupun masyarakat umumnya semakin baik, dalam arti kata pelaksanaan pemilu yang LUBER dan Jurdil memang benar-benar terwujud adanya. Nyatanya, reformasi yang diharapkan membawa angin segar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara serta


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 66 kesejahteraan bersama malah melahirkan cerita-cerita yang memilukan. Etika politik yang seharusnya menjadi fondasi menjalankan aktivitas politik kehilangan makna di tengah ego intepretasi yang berbeda dalam menjalankan amanah yang diberikan. Lihat saja, berapa banyak Kepala Daerah yang “tidak akur” dengan Wakilnya dalam menjalankan roda pemerintahan. Akibatnya, di periode kedua mereka bersaing untuk merebut “kursi Bupati/Walikota/Gubernur. Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia, maka etika politik berarti suatu standar nilai yang disarikan dari nilai-nilai kemanusiaan untuk dijadikan sebagai kerangka acuan teoritik dalam mempersoalkan dan menjelaskan legitimasi politik serta budaya politik masyarakat. Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi tidak berdasarkan emosi, prasangka, dan apriori, melainkan secara rasional, obyektif dan argumentatif. Jadi etika politik tidak dapat langsung mencampuri politik praktis, sebagaimana etika pada umumnya tidak dapat menetapkan apa yang harus dilakukan seseorang. Tugas etika politik adalah subsider; membantu agar pemahaman masalah-masalah ideologis dapat dijalankan secara obyektif, artinya berdasarkan argumenargumen yang dapat dipahami dan ditanggapi oleh semua yang mengerti permasalahan. Etika politik tidak dapat mengkhotbahi para politikus, tetapi dapat memberikan patokan-patokan orientasi dan pegangan-pegangan norma-


Komunikasi Politik Kontemporer 67 tif bagi mereka yang memang mau menilai tatanan dan kehidupan politik dengan tolok ukur martabat manusia. Menurut Aristoteles sebagaimana dikutip Franz Magnis Suseno dalam Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan, menulis bahwa identitas manusia yang baik dan warga negara yang baik hanya terdapat apabila negara sendiri baik. Apabila negara itu buruk, maka orang yang baik sebagai warga negara, yang dalam kehidupannya selalu sesuai dengan aturan negara buruk adalah buruk, atau bisa dikatakan jahat sebagai manusia. Tetapi sebaliknya dalam negara buruk, manusia yang baik sebagai manusia dalam artian manusia yang benar-benar bertanggungjawab, akan buruk sebagai warga negara, karena tidak dapat hidup sesuai dengan aturan buruk negara itu. Dengan demikian etika politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. Karena berfungsi sebagai sarana kritik ideologi, maka etika politik bersifat reflektif, membahas bagaimana masalah-masalah kehidupan dapat dihadapi, serta membantu usaha masyarakat dalam mengejawantahkan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata. Semisal merefleksikan apa inti keadilan sosial, apa dasar etis kerakyatan, bagaimana kekuasaan harus ditangani supaya sesuai dengan martabat manusia dan sebagainya. Prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan usaha perumusan etika politik adalah sebagai berikut: 1. a. Prinsip bersikap baik terhadap siapa dan apa saja yang ada, prinsip ini terwujud dalam prinsip kesejahteraan umum yang mempunyai relevansi politik tinggi,


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 68 yang berisi bahwa semua tindakan dan kebijaksanaan harus demi keuntungan sebesar-besarnya dari orang sebanyak-banyaknya asal saja tidak melanggar hak dan keadilan. Prinsip ini menuntut suatu pengetahuan tepat tentang realitas supaya dapat diketahui apa yang masing-masing baik bagi yang besangkutan. 2. Prinsip keadilan yang mengatakan bahwa kita wajib untuk memberlakukan semua orang dengan adil, artinya menghormati hak-hak dan memberikan perlakuan yang sama dalam situasi yang sama. Adil pada hakekatnya berarti bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya.tuntutan dasariyah keadilan ialah perlakuan yang sama terhadap semua orang. 3. Prinsip menghormati keutuhan manusia, prinsip ini menuntut tanggung jawab manusia terhadap dirinya sendiri, bahkan demi tujuan yang baik ia jangan pernah membiarkan diri dipakai sebagai alat saja, diperas, diperkosa dan diperbudak. Prinsip ini berdasarkan faham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak yang memiliki kebebasan dan suara hati, makhluk berakal budi. Potret Etika Politik Di Indonesia Kesetaraan manusia karena kapabilitas dan keunikannya menjadi dasar hubungan politik. Kehidupan bersama yang anggota-anggotanya setara hanya dapat berjalan ketika setiap anggotanya berpartisipasi sebagai pengatur sekaligus yang diatur di dalamnya. Pengaturan untuk semua dan oleh semua itu tak dapat ditentukan sebelumnya, tak ada kodrat yang


Komunikasi Politik Kontemporer 69 menentukan esensi dan karakteristiknya. Sekali lagi, kebersamaan yang setara menentukan dirinya sendiri. Bentuk, isi dan strukur hubungan politik adalah hasil dari hubungan politik itu sendiri. Kesetaraan jadi aksiomanya, sesuatu yang diputuskan secara subyektif, sekaligus sesuatu yang diperjuangkan. Kesetaraan bukan sesuatu yang terberi begitu saja, bukan juga sesuatu yang mustahil dicapai, melainkan sesuatu yang diputuskan dan dijalani secara langsung. Kesetaraan manusia tak memerlukan kondisi atau prasyarat. Kesetaraan adalah tindakan subyektif yang tak memerlukan konsep atau abstraksi. Tindakan yang menampilkan kesetaraan dapat diambil kapan saja tanpa menunggu situasi mengijinkan adanya kesetaraan. Pemikiran politik Levinas, Camus, dan Habermas, sekaligus merupakan tawaran etika politik. Mereka menawarkan etika politik yang sangat mendasar dan sekaligus juga merupakan klarifikasi makna politik. Jika dalam literatur-literatur etika politik umum pembahasannya ditujukan untuk menjawab pertanyaan bagaimana seharusnya bentuk lembaga-lembaga kenegaraan dan apa yang seharusnya menjadi tujuan kebijakan politik, maka mereka lebih radikal dari itu. Mereka mempersoalkan akarakar dari kehidupan bersama. Lebih jauh dari itu, pemikiran mereka dapat menjadi dasar untuk mengoreksi praktik kehidupan bersama yang berjalan saat ini. Hubungan politik, bentuk dan struktur masyarakat/negara, legitimasi kekuasaan, dan praktek-praktek politik yang ada dipersoalkan.


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 70 Etika politik yang mereka ajukan sekaligus merupakan penimbangan ulang makna politik. Relasi antaramanusia yang mendasari kehidupan bersama ditilik kembali. Termasuk juga mempersoalkan paradoks peran setiap orang dalam hubungan politik sebagai yang mengatur sekaligus yang diatur. Paradoks adalah urusan logika, sedangkan politik dan etika adalah ikhtiar kongkret; praktek untuk memperjuangkan sesuatu yang baik. Ketika logika yang umum dipakai tak dapat menjelaskan praktek dalam politik dan etika, maka diperlukan logika baru yang lebih bisa menjelaskan; putus dengan logika lama. Etika politik yang memadai, ikhtiar memperjuangkan sesuatu yang baik dalam kehidupan bersama, niscaya mengandung makna politik di dalamnya. Dan etika politik yang sungguh-sungguh selalu merupakan penimbangan ulang politik sebagai usaha mengurangi kesalahan-kesalahan dalam pengelolaan kehidupan bersama. Etika berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita harus diakui bahwa saat ini banyak kalangan elite politik cenderung berpolitik dengan melalaikan etika kenegarawanan. Banyak sekali kenyataan bahwa mereka berpolitik dilakukan tanpa rasionalitas, mengedepankan emosi dan kepentingan kelompok atau tidak mengutamakan kepentingan berbangsa. Hal ini sangat menghawatirkan karena bukan hanya terjadi pembunuhan karakter antarpemimpin nasional dengan memunculkan isu penyerangan pribadi, namun juga politik kekerasan pun terjadi. Para elite politik yang saat ini cenderung kurang peduli terhadap terjadinya konflik masyarakat dan tumbuhnya budaya kekerasan. Elite bisa bersikap seperti itu karena mereka sebagian besar berasal dari partai politik atau


Komunikasi Politik Kontemporer 71 kelompok-kelompok yang berbasis primordial sehingga elite politik pun cenderung berperilaku yang sama dengan perilaku pendukungnya. Bahkan elite seperti ini merasa halal untuk membenturkan massa atau menggunakan massa untuk mendukung langkah politiknya. Elite serta massa yang cenderung berpolitik dengan mengabaikan etika, mereka tidak sadar bahwa sebenarnya kekuatan yang berbasis primordial di negeri ini cenderung berimbang. Jika mereka terus berbenturan, tak akan ada yang menang. Kurangnya etika berpolitik sebagaimana prilaku elite di atas merupakan akibat dari ketiadaan pendidikan politik yang memadai. Bangsa kita tidak banyak mempunyai guru politik yang baik, yang dapat mengajarkan bagaimana berpolitik tak hanya memperebutkan kekuasaan, namun dengan penghayatan etika serta moral. Politik yang mengedepan-kan take and give, berkonsensus, dan pengorbanan. Selain itu kurangnya komunikasi politik juga menjadi penyebab lahirnya elite politik seperti ini, yaitu elite politik yang tidak mampu menyuarakan kepentingan rakyat, munculnya pribadi-pribadi atau orang-orang yang cenderung otoriter, termasuk politik kekerasan yang semakin berkembang karena perilaku politik dipandu oleh nilai-nilai emosi. Tidak hanya pada sektor atau bidang tertentu saja, persoalan telah muncul di hampir semua sendi kehidupan berbangsa. Kecenderungan yang ada, persoalan itu semakin hari bukannya semakin menyederhana tetapi kian kompleks dan rumit. Ini bisa terjadi bukan karena kita tidak melakukan apapun untuk mengatasinya. Setiap persoalan telah coba kita atasi dan hadapi dengan menerapkan pendekatan-pendekatan tertentu. Pun demikian, reformasi segala bidang sudah ditempuh untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Itu


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 72 sebabnya, reformasi pada 1998 dilakukan, dengan harapan kondisi segera berubah dan lebih baik. Sudah lebih kurang 14 tahun reformasi dilakukan, persoalan-persoalan itu tak juga dapat tuntas diselesaikan. Ada beberapa bidang yang mendapat klaim agak sedikit membaik, seperti bidang ekonomi misalnya, namun tidak sedikit yang makin terpuruk seperti bidang hukum, politik, dan sosial. Dulu, reformasi dilakukan antara lain untuk memperbaiki hukum dan politik yang kurang memberikan makna bagi kemaslahatan masyarakyat. Setelah reformasi, bukannya tambah baik, hukum dan politik tetap lebih sering dibelokkan menjadi instrumen untuk mencapai atau melanggengkan kekuasaan. Hukum dengan segenap institusinya juga tak mampu meredam kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan praktik-praktik kotor lainnya. Politik dipraktikkan dengan perilaku yang minim kesantunan. Praktiknya, politik direduksi untuk alasan kekuasaan bukan sebuah proses mewujudkan kebaikan bersama. Politik identitas semakin menguat mengalahkan visi kebersamaan sebagai bangsa seiring rasa saling percaya diantara sesama warga bangsa yang memudar pelan-pelan. Distrust itu telah menimbulkan disorientasi, tak ada pegangan bagi rakyat mengenai hendak dibawa ke mana bangsa ini dijalankan. Pada gilirannya, disorientasi itu pun berpeluang mencetak pembangkangan (disobedience), yang dalam skala kecil atau besar, sama-sama membahayakan bagi integrasi bangsa dan negara. Setelah segala cara memperbaiki sistem, baik hukum, sosial, politik, dan ekonomi dilakukan dan tak juga menunjukkan hasil, maka banyak yang kemudian meyakini bahwa problem sebenarnya bukanlah soal sistem belaka, melainkan berkait dengan soal


Komunikasi Politik Kontemporer 73 etika berbangsa dan bernegara yang meredup. Betapapun sistem diubah dan diganti, tetap saja problem tak kunjung tuntas teratasi selama kita belum mampu membenahi etika berbangsa dan bernegara. Jadi, inti persoalannya sekarang ialah soal melemahnya etika berbangsa dan bernegara. Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya perbaikan kondisi bangsa ini haruslah memperhatikan fakta bahwa krisis ini bertalian erat dengan krisis etika dan moralitas. Untuk itu, upaya menemukan solusi harus disertai upaya mengingat dan memperkuat kembali prinsip-prinsip fundamen etis-moral dan karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam konstitusi kita, UUD 1945. Selain masalah partai politik, yang terjadi di masyarakat belakangan ini, pengabaian moral dan etika berlangsung secara massif di hampir semua segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Etika mengalami proses marginalisasi secara serius sedemikian rupa. Pergeseran nilai akibat transaksi informasi global dan pola pikir pragmatis-materialisme telah berimbas pada peminggiran etika, dalam arti, etika seringkali tak lagi dijadikan acuan tindakan dan perilaku. Drama yang kita lihat belakangan ini, baik di pentas politik, panggung sosial, maupun di arena penegakan hukum, hampir semua mementaskan aktor dengan perilaku miskin etika. Di pentas politik, etika politik sudah lama tiarap. Barangkali, seperti pernah dikatakan oleh Franz-Magnis Suseno, etika politik itu hanya academic exercise, hanya menarik dibicarakan dalam konteks akademis di bangkubangku kuliah. Senyatanya, terutama di waktu sekarang ini, etika politik sekedar pemanis bibir saja. Kompetisi politik


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 74 terreduksi hanya pada persoalan kalah dan menang dalam meraih jabatan politik dan kekuasaan. Padahal jelas, politik tanpa etika melahirkan sinetron demokrasi, yang hanya menyuguhkan kebohongan dan janji-janji kosong para demagog (pemimpin) yang jelas-jelas mengancam demokrasi. Padahal, etika dalam politik akan memberikan jaminan bahwa politik itu ada untuk meningkatkan harkat martabat sekaligus meninggikan akhlak bangsa. Di bidang pemerintahan, etika aparat pemerintahan semakin merosot. Aparat pemerintahan saat ini kebanyakan melihat status dan jabatan yang disandang bukan sebagai amanat untuk mengabdi pada bangsa dan negara sehingga harus bekerja keras dalam menjalankan amanat tersebut. Sebaliknya, status dan jabatan yang dikuasai adalah peluang untuk mencari keuntungan pribadi sehingga tidak akan bekerja dengan baik jika tidak menerima imbalan dan akan selalu mempresepsikan setiap tugas dan fungsi yang diemban dari sisi materi. Proyek-proyek negara yang dibiayai dari uang rakyat dilihat sebagai lahan untuk menambah pendapatan sehingga sebanyak mungkin dikeruk untuk keuntungan pribadi. Kejujuran pun lenyap dan digantikan dengan manipulasi untuk pertanggungjawaban keuangan. Semangat kerja keras, digantikan dengan prinsip mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan kerja sesedikit mungkin. Karena persepsi kegiatan dan anggaran untuk keuntungan pribadi tersebut, berlomba-lombalah para pejabat pemerintahan mengajukan dan mendapatkan anggaran sebanyak-banyaknya walaupun tidak rasional jika dibandingkan dengan kemampuan jabatan dan organisasi yang dimiliki untuk menjalankan program tersebut. Bahkan untuk memperoleh anggaran itupun sudah dilakukan dengan


Komunikasi Politik Kontemporer 75 ketidakjujuran data serta melakukan penyuapan terhadap lembaga yang menentukan anggaran. Jika di hulu anggaran sudah dilakukan dengan menghalalkan cara, tentu dalam pelaksanaan dan pertanggungjawabannya pasti dipenuhi dengan kebohongan, yang pada akhirnya merugikan rakyat. Saat ini, banyak pejabat negara yang berperilaku tidak etis atau melanggar etika. Banyak pejabat negara yang sedang mendapat sorotan masyarakat karena diduga terlibat dalam kasus hukum tertentu, dengan enteng menjawab, buat apa mundur, bukankah pengadilan belum membuktikan kalau saya bersalah. Padahal, seseorang yang melanggar etika seharusnya merasa lebih berdosa daripada melanggar hukum karena pada dasarnya etika merupakan dasar hukum. Hukum itu ada karena etika, hukum merupakan nilai etik yang diundangkan. Karena itu, jika ada seorang pemimpin atau pejabat negara sudah terbukti melanggar etika, maka seharusnya ia malu dan lalu mengundurkan diri tanpa perlu menunggu putusan pengadilan. Sebenarnya, mulai hilangnya etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah disadari sejak awal reformasi. Hal ini karena salah satu faktor penyebab runtuhnya rezim Orde Baru juga ialah masalah etika bernegara yang dilupakan. Tak dapat disangkal bahwa Orde Baru berhasil memajukan pembangunan fisik atau ekonomi, tetapi bersamaan dengan itu terjadi pula pengikisan atau pemiskinan nilai-nilai moral. Untuk mengembalikan dan meningkatkan etika bernegara pada tahun 2001 MPR membuat Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 76 Ketetapan ini sesungguhnya saat ini masih berlaku, namun sayang telah dilupakan, bahkan oleh para pejabat negara. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 menentukan Etika Kehidupan Berbangsa meliputi: 1. Etika Sosial Budaya Etika sosial dan budaya bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencitai, dan saling menolong di antara sesama manusia dan warga bangsa. Perlu menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yaitu malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu juga perlu ditumbuhkan kembali budaya keteladanan yang harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin, baik formal maupun informal pada setiap lapisan masyarakat. 2. Etika Politik dan Pemerintahan Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.


Komunikasi Politik Kontemporer 77 3. Etika Ekonomi dan Bisnis Persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan saing, dan terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil melalui kebijakan secara berkesinambungan. Etika ini mencegah terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang mengarah kepada KKN dan diskriminasi. Minimnya etika di bidang ini lebih menimbulkan akibat negatif seiring dengan munculnya dominasi kapitalisme yang bersandar pada premis kaum libertarian bahwa kebebasan hasrat manusia harus dijamin dan hanya dengan kebebasan hasrat itulah akan dicapai kemajuan di bidang ekonomi. Intinya, kapitalisme percaya bahwa nafsu keserakahan (greed) manusia-lah yang akan mendatangkan kemajuan. Oleh karena itu, tidak boleh ada batasan terhadap kebebasan keserakahan manusia ini, terutama kebebasan untuk berusaha menjalankan aktivitas ekonomi dengan segala cara. Premis mendasar kapitalisme tersebut memunculkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) keburukan. Pertama, persaingan bebas, dengan menghalalkan segala cara, yang menghasilkan pemusatan kekuasaan atau modal hanya pada segelintir orang. Karena keserakahan yang dibiarkan bebas, maka persaingan pun terjadi dan pemilik modal lebih besar keluar sebagai pemenang. Selain menimbulkan kesenjangan, pemusatan modal juga mengganggu keseimbangan pasar karena produksi tetap dijalankan sedangkan kemampuan membeli tidak ada. Krisis pun terjadi dan akan menjadi bagian dari kapitalisme itu


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 78 sendiri. Kedua, perekonomian kapitalisme tidak berpijak pada perekonomian riil. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan tidak selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan industri atau perdagangan barang dan jasa. Banyak perdagangan yang bersifat semu dan berorientasi pada pemuas kesenangan serta mengejar keuntungan. Misalnya, perdagangan mata uang dan logam mulia. Perdagangan ini mengakibatkan nilai dan jumlah uang yang beredar "seolah-olah" semakin besar dan bertambah nilainya, namun tidak diiringi pertumbuhan sektor riil. Suatu saat, tentu akan mengalami puncak dan ambruk karena tidak memiliki aktivitas ekonomi riil sebagai dasarnya. Ketiga, sistem yang mengumbar keserakahan dan persaingan bebas yang menghalalkan segala cara telah merusak sendisendi berbangsa dan bernegara, terutama maraknya praktik korupsi. 4. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan Dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak pada keadilan. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya supremasi dan kepastian hukum sejalan dengan upaya pemenuhan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Etika ini meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warganegara di hadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.


Komunikasi Politik Kontemporer 79 5. Etika Keilmuan Etika ini dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu menjaga harkat dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya. Etika ini diwujudkan secara pribadi ataupun kolektif dalam karsa, cipta, dan karya, yang tercermin dalam perilaku kreatif, inovatif, inventif, dan komunikatif dalam kegiatan membaca, belajar, meneliti, menulis, berkarya, serta menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 6. Etika Lingkungan Etika lingkungan menegaskan pentingnya kesadaran menghargai dan melestarikan lingkungan hidup serta penataan tata ruang secara berkelanjutan dan bertanggungjawab. Etika, sebagai ajaran-ajaran moral yang menunjukkan sikap dan perilaku yang baik dan buruk merupakan ajaran yang bersifat konstan sehingga persoalan sesungguhnya adalah bagaimana menanakan etika, mengontekstualisasikan, dan mengaktualisasikan dalam realitas kehidupan bernegara. Untuk itu, memperkuat etika berbangsa dapat dilakukan melalui pendidikan ajaran nilai dan moral yang menjadi sumber etika serta aktualisasinya dalam kehidupan bernegara. Di dalam Ketetapan Nomor VI/MPR/2001 ditentukan pula arah kebijakan untuk memperkuat etika bernegara adalah:


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 80 a. Mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pendidikan formal, informal, dan nonformal dan pemberian contoh keteladanan oleh para pemimpin negara, pemimpin bangsa, dan pemimpin masyarakat. b. Mengarahkan orientasi pendidikan yang mengutamakan aspek pengenalan menjadi pendidikan yang bersifat terpadu dengan menekankan ajaran etika yang bersumber dari ajaran agama dan budaya luhur bangsa serta pendidikan watak dan budi pekerti yang menekankan keseimbangan antara kecerdasan intelektual, kematangan emosional dan spiritual, serta amal kebajikan. c. Mengupayakan agar setiap program pembangunan dan keselu-ruhan aktivitas kehidupan berbangsa dijiwai oleh nilai-nilai etika dan akhlak mulia, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi. Atas dasar itu semua, harus ada upaya untuk membebaskan bangsa dari situasi dan lilitan bahaya ini. Untuk menyelamatkan negara dan bangsa dari kehancuran akibat perilaku minim etika, sebaiknya kita harus segera mengembalikan etika dan moral keadilan publik ke dalam setiap bidang kehidupan kita. Secara kolektif kita harus segera menyadari kembali bahwa semua perilaku dan tindakan kita haruslah berbasis pada etika dan moral dan mendudukannya sebagai ukuran paling penting. Sebab secara kodrat, dimensi-dimensi etis dan keluhuran bangsa ini


Komunikasi Politik Kontemporer 81 menjadi bagian tak terpisahkan dari kultur dan jati diri bangsa. Semua cara tentu harus ditempuh untuk memperkuat etika bernegara. Namun, terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, pendidikan etika merupakan pendidikan karakter yang berbeda dengan pendidikan sebagai transfer pengetahuan. Dalam proses pendidikan karakter ini peran keteladanan jauh lebih besar dibanding dengan proses verbal. Keteladanan aparat dan pimpinan pemerintahan akan berpengaruh lebih tinggi terhadap upaya memperkuat etika bernegara di kalangan masyarakat dibanding dengan model penataran, berapa jam pun penataran itu diberikan. Kedua, persoalan etika bernegara tidak dapat diselesaikan hanya oleh negara dan para aparatnya. Negara dalam geraknya diwakili oleh aparat yang juga merupakan anggota masyarakat. Dengan sendirinya perubahan etika bernegara yang terjadi di kalangan aparat sesungguhnya mencerminkan perubahan yang terjadi di masyarakat. Sebaliknya, aparat dan pimpinan adalah model bagi anggota masyarakat. Semuanya saling terkait sehingga harus dilakukan secara simultan. Di era demokrasi saat ini, masyarakat memiliki peran besar untuk menentukan pemimpin yang beretika sekaligus mampu memperkuat etika berbangsa dan bernegara. Untuk dapat melakukan hal ini, tentu harus ada kesadaran terlebih dahulu di kalangan masyarakat serta organisasi masyarakat dan politik tentang pentingnya etika berbangsa dan bernegara. Ketiga, pluralisme yang mencirikan dinamika kehidupan politik di tanah air harus disikapi secara wajar. Wajar dalam arti perlu kesadaran terutama para elit untuk membangun


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 82 politik secara harmoni. Harmoni politik sangat dibutuhkan dalam membangun bangsa sebesar Indonesia. Tidak pada tempatnya lagi kita berbicara mengenai Putra Daerah saat melangsungkan pesta Pemilu Kada. Apalagi jika sampai berkaitan dengan unsur SARA. Saatnya membangun bangsa dengan semangat harmoni, sebab harmonisasi di segenap lini kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sandaran kita menata kehidupan yang lebih baik.


Komunikasi Politik Kontemporer 83 KAJIAN tentang saluran (media) komunikasi politik bermuara pada 2 hal yakni, ketepatan memilih saluran, dan pemanfaatan saluran yang ada. Pemahaman ini menjadi hal yang penting dan mempengaruhi keberhasilan aktivitas politik yang akan dijalankan. Biasanya kegagalan mempengaruhi pilihan politik seorang konstituen tidak hanya disebabkan oleh komunikator atau pesan yang akan disampaikan tetapi juga pada saluran atau media komunikasi politik. Dengan kata lain, komponen saluran komunikasi politik sama pentingnya dengan eksistensi komunikator politik. Ini berarti, kesalahan dalam memilih saluran komunikasi politik berpengaruh signifikan terhadap pilihan atau selektivitas masyarakat. Kita harus menyadari, bahwa sesungguhnya komunikasi politik memerlukan saluran. Saluran komunikasi politik berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada masyarakat banyak. Beragam-


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 84 nya pesan yang disampaikan oleh politikus dalam konteks komunikasi politik menyebabkan perlunya saluran komunikasi politik dengan berbagai bentuk. Pesan komunikasi politik terkadang disampaikan lewat lambang-lambang tertentu, seperti kata, gambar, atau perilaku tertentu ada kaitannya dengan aktivitas politik. Ada pesan yang cukup dengan isyarat, tetapi banyak yang lebih rumit. Yang lebih penting dari saluran komunikasi politik ini adalah bagaimana agar pesan-pesan politik dapat sampai kepada yang dituju dan dapat dimengerti sehingga terbangun kesadaran atau kesamaan persepsi tentang pesan politik yang dimaksud. Saluran komunikasi politik secara kondisional tidak hanya sebatas pada media yang bersifat mekanis, teknis, atau sebagai sarana untuk saling bertukar lambang, namun yang tak kalah penting untuk diperhatikan dan dipahami bahwa manusia pun sesungguhnya bisa dijadikan sebagai saluran komunikasi. Berkaitan dengan hal tersebut tidaklah berlebihan jika disebutkan bahwa saluran komunikasi politik sesungguhnya memiliki pengertian tentang siapa dapat berbicara kepada siapa, mengenai apa, dalam keadaan bagaimana, dan sejauh mana dapat dipercaya. Komunikator politik, siapapun ia dan apapun jabatannya, menjalani proses komunikasinya dengan mengalirkan pesan dari struktur formal dan non-formal menuju sasaran (komunikan) yang berada dalam berbagai lapisan masyarakat. Pengertian saluran atau media komunikasi politik adalah segala pihak atau unsur atau sarana yang memungkinkan tersampainya pesan-pesan politik pada komunikan (audience/receiver). Dalam pandangan Almond dan Powell,


Komunikasi Politik Kontemporer 85 saluran komunikasi politik di dalam masyarakat meliputi seluruh struktur komunikasi yang ada dalam masyarakat. Struktur-struktur komunikasi tersebut adalah: 1. Struktur tatap muka informal (face to face) Selain struktur formal, di dalam sebuah sistem atau organisasi biasanya juga terdapat saluran informal. Mereka yang mempunyai akses terhadap saluran informal akan mendapatkan informasi lebih banyak daripada yang hanya memiliki akses saluran formal. Meskipun hal ini juga masih ditentukan oleh faktorfaktor lain, seperti: apakah saluran informal yang “dikuasai” merupakan penentu kebijakan, pemilik informasi yang akurat, dan lain sebagainya. 2. Struktur sosial tradisional Dalam masyarakat tradisional terdapat struktur sosial yang sekaligus berfungsi sebagai saluran komunikasi tempat lewatnya pesan-pesan dari dan ke pihak-pihak yang telah ditentukan menurut ketentuan hirarkhi struktur sosial masyarakat itu sendiri. Saluran ini menjadi pihak yang mempunyai otoritas untuk menentukan pola komunikasi dan informasi-informasi yang akan disampaikan pada masyarakatnya. Meskipun penetapan peran tersebut tidak bersifat mutlak, namun karena preskriptif masyarakat tradisional tersebut, maka seolah-olah seorang individu tidak bisa secara bebas menentukan sendiri peran komunikasi yang diinginkannya.


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 86 3. Struktur input politik Struktur yang memungkinkan terbentuknya atau dihasilkannya input bagi sebuah sistem politik. Kelompok kepentingan, kelompok penekan, partai politik merupakan saluran informasi yang bermakna dalam komunikasi politik, terutama dikaitkan dengan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan untuk menghubungkan antara masyarakat dengan sistem politik. 4. Struktur output politik Struktur formal pemerintahan, seperti legislatif, eksekutif dan jajaran birokrasi, yudikatif, lembagalembaga pemerintah lain merupakan saluran komunikasi yang efisien karena dengan dukungan organisasi dan kewenangan yang dimilikinya dapat menyampaikan berbagai informasi politik, terutama yang terkait dengan kebijakan, kepada masyarakat dengan cepat dan mudah. 5. Media massa Membicarakan media massa sebagai salah satu saluran komunikasi politik yang penting, biasanya tidak lepas dari keberadaan media massa dengan konsepkonsep: a. Kebebasan media massa (pers). b. Independensi media massa dari kontrol yang berasal dari luar dirinya seperti partai politik, pemerintah, pengusaha, dan lain-lain. c. Integritas media massa pada misi yang diembannya.


Komunikasi Politik Kontemporer 87 Dengan otonomi yang dimiliki media massa, maka komunikasi yang tertutup pada lapis elit sampai tingkat tertentu dapat diatur dan dikendalikan dengan publisitas. Dan pada saat yang sama, kepentingan masyarakat yang laten dapat dieksplisitkan kepada elit. Otonomi media komunikasi memungkinkan suatu arus informasi politik yang bebas dari masyarakat ke pemerintah dan sebaliknya ataupun dari satu struktur politik ke struktur politik lainnya. Selain itu juga memungkinkan adanya umpan balik yang terbuka dalam sistem politik. Namun demikian, dalam realitasnya peran otonomi media massa selain ditentukan oleh idealisme atau integritas media massa itu sendiri, juga sangat dipengaruhi oleh kondisi sistem politik di mana institusi media massa itu berada. Gurevitch dan Blumer berpendapat bahwa keefektifan media massa sebagai saluran komunikasi politik dalam sebuah sistem politik bersumber pada beberapa kekuatan yang dimiliki media massa, yaitu: a. Kekuatan Struktural Kekuatan struktural media bersumber pada kemampuannya yang unik untuk menyediakan khlayak bagi para politisi yang ukuran dan komposisinya tidak akan diperoleh politisi melalui alat yang lain. b. Kekuatan Psikologis Kekuatan psikologis dari media massa bersumber pada hubungan kepercayaan dan keyakinan yang berhasil diperoleh (meskipun dengan tingkatan yang berbeda-beda) oleh organisasi media dari khalayaknya masing-masing.


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 88 c. Kekuatan Normatif Kekuatan normatif dari media bersumber pada prinsip-prinsip demokrasi mengenai kebebasan menyatakan pendapat, kebutuhan akan perlindungan warga negara dari penyalahgunaan kekuatan politik, dan lain-lain yang memberikan legitimasi terhadap peran independensi media dari kendali politik. Selanjutnya berdasarkan ragamnya, saluran komunikasi politik terbagi atas 3 yakni media komunikasi massa, komunikasi interpersonal, dan komunikasi organisasi. 1. Media Komunikasi Massa Dalam sistem pemerintahan yang bagaimana pun, media komunikasi (dalam hal ini media massa) selalu tidak luput dari perhatian. Dikarenakan sifatnya yang memang sanggup menjangkau komunikan dalam skala besar di wilayah mana pun dan kapan pun. Media massa merupakan alat komunikasi politik yang berdimensi dua, yaitu bagi pemerintah dan bagi masyarakat. Dalam dimensi pemerintah, media massa berfungsi sebagai : 1. Untuk menyebarluaskan informasi-informasi seputar : 1) Kebijaksanaan pemerintah. 2) Program-program untuk mensejahterakan rakyat. 3) Kondisi politik dalam negeri.


Komunikasi Politik Kontemporer 89 4) Aktivitas jalinan komunikasi dengan Negaranegara lain seba-gai kebijaksanaan politik luar negeri. 2. Untuk membentuk karakter bangsa melalui fungsi pendidikan. 3. Untuk melakukan fungsi sosialisasi dalam kaitan pelestarian sistem politik (sekaligus sistem nilai). 4. Menumbuhkan kepercayaan Negara lain melalui sajian-sajian berita yang direncanakan dan ditata secara baik, (sebagai alat promosi atau propaganda). Sedangkan dalam dimensi masyarakat, media massa berfungsi sebagai sarana kontrol sosial terhadap kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah. 2. Komunikasi Interpersonal Komunikasi interpersonal merupakan bentukan hubungan satu-kepada-satu; terdiri atas saling tukar kata lisan di antara dua orang atau lebih. Saluran ini bisa berbentuk tatap muka maupun berperantara. Beberapa ilmuwan komunikasi seperti: Joseph Klapper, Elihu Katz, Paul Lazarfeld, dan Ithil de La Solapool telah mencatat, betapa efektifnya komunikasi interpersonal, terutama bagi negara-negara berkembang yang lebih tinggi tingkat frekuensinya dalam menggunakan tenaga manusia dibanding menggunakan produk teknologi canggih. Walaupun komunikasi interpersonal terdapat kelemahan, seperti jangkauan sasaran (komunikan) terlalu luas atau karena dibatasi geonature (letak


Dr. Sumartono, S.Sos., M.Si 90 geografis) yang sulit dijangkau, namun di sisi lain memiliki nilai lebih yaitu: a. Pengaruh Pribadi dalam Politik Kita telah mengenal varian dari komunikator politik, yakni politikus, profesional, dan aktivis. Dalam kategori aktivis kita berbicara tentang pemuka pendapat (opinion leader), yakni orang yang menaruh perhatian terhadap media massa, memilih pesan, dan menyampaikan informasi serta opini baik kepada teman, tetangga, maupun kawan bekerja dan lain-lain melalui percakapan tatap muka. Melalui pengaruh pribadi, para pemuka pendapat merupakan saluran yang menghubungkan jaringan massa dan komunikasi interpersonal. Terlepas dari perannya dalam memimpin pendapat dan dalam menyebarkan informasi, sebenarnya banyak sekali pembicaraan politik yang dilakukan oleh komunikator politik mengalir terutama melalui saluran interpersonal. Inilah gelanggang terpenting bagi pembicaraan kekuasaan, pengaruh, dan otoritas, tempat pembicaraan dilakukan dari mulut ke mulut, bukan kepada khalayak massa. Argumentasi para pengamat benar, bahwa pembicaraan di belakang layar di antara para pejabat memberikan gambaran yang lebih tepat tentang apa yang terjadi dalam pemerintahan ketimbang yang dikatakan oleh para pejabat kepada khalayak massa. “Lambang politik beredar di antara para pemegang kekuasaan,” tulis Lasswell dan Kaplan, “Lebih sesuai dengan kenyataan kekuasaan daripada lambanglambang yang disajikan bagi bidang itu.”


Click to View FlipBook Version