41 REFERENSI Asmi, N., Andriani, P., & Alvia, D. (2023). Pengukuran Antropometri Pada Bayi. Piramida : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 2 (2), 16-20. Masruri, A.A Dan Patradhiani, R. (2019). Faktor Ergonomi Terkait Kenyamanan Ruang Kelas Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Palembang. Integrasi : Jurnal Ilmiah Teknik Industri, 4 (1), 40-48. Muis, A. A., Kurniawan, D., Ahmad, F., & Pamungkas, T. A. (2022). Rancangan Meja Pengatur Ketinggian Otomatis Menggunakan Pendekatan Antropometri Dengan Metode Quality Function Deployment (Qfd). Jurnal Teknologi Dan Manajemen Industri Terapan, 1(2), 114-122. Putri, M. V., Lubis, A. L., & Atmaja, A. K. (2020). Perancangan Cetakan Batako Press Manual Kapasitas Empat Pieces Yang Ergonomi Menggunakan Metode Pendekatan Antropometri. Jurnal Industri Kreatif (Jik), 4(01), 63-70. Sari, L. L., Hilinti, Y., Ayudiah, F., Situmorang, R. B., & Herdianto, E. (2023). Antropometri Pengukuran Status Gizi Balita Di Ra. Makfiratul Ilmi Bengkulu Selatan. Jurnal Abdi Kesehatan Dan Kedokteran, 2 (1), 1- 6.
42 Bab 2. Antropometri Ratumanan, S. P., Achadiyani, A., & Khairani, A. F. (2023). Metode Antropometri Untuk Menilai Status Gizi: Sebuah Studi Literatur. Health Information: Jurnal Penelitian, 15. Susana, I. G. B., Alit, I. B., & Aryadi, I. G. C. A. W. (2022). Aplikasi Ergonomi Berdasarkan Data Antropometri Pekerja Pada Desain Alat Kerja. Energy, Materials And Product Design, 1(1), 28-34. Ulandari, R. (2023). Antropometri Wajah Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara Bersuku Batak Berdasarkan Jenis Kelamin(Doctoral Dissertation, Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Sumatera Utara). Yulianingtyas, R. A Dan Haqi, D. N. (2021).Perancangan Meja Dan Kursi Sekolah Berdasarkan Antropometri Siswa Sekolah Dasar Di Surabaya. The Indonesian Journal Of Occupational Safety And Health, 10(1), 97-104. Zadry, Hilma Raimona, Rahmayanti, Dina Riski, Hayattul, Meilani, Difana Susanti, Lusi (2017). Furnitur Ergonomis Untuk Siswa Sekolah Dasar Usia 6-10 Tahun, Prosiding Snti Dan Satelit. Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.
43 BAB 3 KEBISINGAN DAN GETARAN DI SEKOLAH A. Latar Belakang Kebisingan yaitu bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dan waktu tertentu yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan, terutama pada telinga manusia sebagai alat pendengaran. Terkadang kebisingan di sekitar kita dianggap gangguan yang biasa, akan tetapi kebisingan yang keras dan berlangsung secara terus menerus dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Kebisingan merupakan sebuah bentuk energy yang bila tidak disalurkan pada tempatnya akan berdampak serius bagi
44 Bab 3. Kebisingan dan Getaran di Sekolah kesehatan manusia dan lingkungan. upaya pengawasan dan pengendalian kebisingan menjadi faktor yang menentukan kualifikasi suatu perusahaan dalam menangani masalah lingkungan yang muncul. Kebisingan merupakan salah satu aspek lingkungan yang perlu diperhatikan. Karena termasuk polusi yang mengganggu dan bersumber pada suara/bunyi. Oleh karena itu bila bising tidak dapat dicegah atau dihilangkan, maka yang dapat dilakukan yaitu mereduksi dengan melakukan pengendalian melalui berbagai macam cara. Kebisingan merupakan suatu factor yang dapat membahayakan fisik yang biasa dijumpai di tempat kerja. Terpajan oleh kebisingan yang berlebih dapat merusak kemampuan mendengar dan juga dapat merusak organ tubuh lain seperti jantung. Getaran mesin juga dapat menimbulkan masalah seperti halnya kebisingan. Apabila getaran terjadi pada jangka waktu yang lama, serta dengan intensitas dan frekuensi yang tinggi maka akan dapat membahayakan kesehatan tubuh seperti membahayakan sistem syaraf bahkan mungkin merusak sendi-sendi dan dapat menimbulkan kelelahan pada tubuh (Soeripto, 1994).
45 B. Definisi Kebisingan dan Getaran Djalante (2019) mendefinisikan, bahwa kebisingan berasal dari kata bising yang artinya semua bunyi yang mengalihkan perhatian, mengganggu, atau berbahaya bagi kegiatan sehari-hari. Bising, umumnya didefisinisikan sebagai bunyi yang tidak diinginkan dan juga dapat menyebabkan polusi lingkungan. Ditambahkan lagi oleh Zely (2016), bahwa suara adalah sensasi atau rasa yang dihasilkan oleh organ pendengaran manusia, ketika gelombanggelombang suara dibentuk di udara sekeliling manusia melalui getaran yang diterimanya. Frekuensi adalah satuan getar yang dihasilkan dalam satuan waktu (detik) dengan satuan Hz. Frekuensi yang dapat didengar manusia 20-20.000 Hz. Frekuensi dibawah 20 Hz disebut infra sound sedangkan frekuensi di atas 20.000 Hz disebut ultra sound. Suara percakapan manusia mempunyai rentang frekuensi 250 – 4.000 Hz. Umumnya suara percakapan manusia punya frekuensi sekitar 1.000 Hz. Vibrasi (getaran) adalah getaran mekanik yang disalurkan kepada tubuh manusia. Getaran dapat diartikan sebagai gerakan sistem (dapat berupa gas, cairan dan padat) bolak balik, gerakan ini dapat berupa gerakan harmonis, sederhana atau sangat kompleks, sifatnya dapat periodik, random, kontinyu atau intermitten Knuden (2018). Getaran adalah
46 Bab 3. Kebisingan dan Getaran di Sekolah gerakan bolak-balik suatu massa melalui keadaan setimbang terhadap suatu titik acuan, sedangkan yang dimaksud dengan getaran mekanik adalah getaran yang ditimbulkan oleh sarana dan peralatan kegiatan manusia. Tata cara pelaksanaan (Meyer, 2015). Gerakan partikel – partikel dari suatu sistem (gas, cair dan padat) mempunyai karakteristik sebagai berikut : 1. Mempunyai amplitude 2. Mempunyai kecepatan 3. Mempunyai percepatan (akselerasi) Luxson, 2016). Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (Kep. Men LH No. 48 tahun 1996). Menurut Sinah (2015), kebisingan didefinisikan sebagai getaran-getaran yang tidak teratur, dan memperlihatkan bentuk yang tidak biasa. Faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain adalah pola intensitas, frekuensi dan pembangkitan. Kebisingan itu sendiri biasanya dianggap sebagai bunyi yang tidak dikehendaki. Bunyi terjadi ketika telinga manusia mendengar pada tekanan kecil yang naik turun di udara, yang disebabkan oleh pergerakan getaran dari benda padat. Kebisingan dapat dideskripsikan dalam beberapa istilah dari tiga variabel yaitu amplitudo, frekuensi,
47 dan pola waktu. Penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati, (2015) menunjukkan bahwa lingkungan sekolah yang sehat dan nyaman sangat diperlukan, selain dapat mendukung proses pembelajaran, juga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Kebisingan merupakan hal yang mengganggu dalam proses belajar mengajar demikian pula dengan sarana dan prasarana yang tersedia sangat mempengaruhi kenyamanan siswa di sekolah. Kebisingan dibagi menjadi dua yaitu: 1. Kebisingan Tetap Kebisingan tetap dipisahkan lagi menjadi dua jenis yaitu: a. Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frequency noise), yaitu kebisingan berupa nada-nada murni pada frekuensi yang beragam, contohnya suara rnesin, suara kipas dan sebagainya. b. Board band noise, yaitu kebisingan dengan frekuensi terputus dan digolongkan sebagai kebisingan tetap (steady noise). Perbedaannya adalah board band noise terjadi pada frekuensi yang lebih bervariasi (bukan “nada” murni).
48 Bab 3. Kebisingan dan Getaran di Sekolah 2. Kebisingan Tidak Tetap Sementara itu, jenis kebisingan tidak tetap (unsteady noise) dibagi lagi menjadi: a. Fluctuating noise (kebisingan fluktuatif), yaitu kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu. b. Intermitten noise (Kebisingan yang terputus-putus dan berubah-ubah), yaitu kebisingan yang besaran dan bentuknya berubah-ubah, contohnya kebisingan lalu lintas. c. Impulsive noise (Kebisingan impulsive), yaitu kebisingan yang dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi (memekakkan telinga) dalam waku relatif singkat, misalnya suara ledakan senjata api dan alat-alat sejenisnya. C. Sumber kebisingan dan getaran Sumber-sumber bising pada dasarnya ada tiga macam, yaitu sumber bising titik, sumber bising bidang dan sumber bising garis. Kebisingan yang diakibatkan lalu lintas adalah kebisingan garis (Gerard, 2017). Sumber-sumber kebisingan menurut Halil (2015) dapat bersumber dari:
49 1. Bising interior yaitu sumber bising yang bersumber dari manusia, alat-alat rumah tangga, atau mesin-mesin gedung. 2. Bising outdoor yaitu sumber bising yang berasal dari lalu lintas, transportasi, industri, alat-alat mekanis yang terlihat dalam gedung, tempat-tempat pembangunan gedung, perbaikan jalan, kegiatan olahraga dan lain-lain di luar ruangan atau gedung. Gambar 9. Contoh bising oudoor Standar alat untuk mengukur kebisingan adalah Sound Level Meter (SLM). Pengukuran dalam SLM dikategorikan dalam tiga jenis karakter respon frekuensi, yaitu ditunjukkan dalam skala A, B, dan C. Skala A yang ditemukan paling dapat mewakili batas pendengaran manusia dan respon telinga manusia terhadap kebisingan, termasuk kebisingan yang
50 Bab 3. Kebisingan dan Getaran di Sekolah dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Skala A tersebut dinyatakan dalam satuan dBA (Isran, 2015). Penelitian Hapnita (2018), menjelaskan untuk alat ukur kebisingan yaitu Sound Level Meter (SLM) dan untuk mengukur ambang pendengaran digunakan alat Audiometer. Sound Level Meter (SLM) adalah alat untuk mengukur suara. Mekanisme kerja dari SLM adalah apabila ada benda bergetar, maka akan menyebabkan terjadinya perubahan tekanan udara yang mana perubahan tersebut 19 dapat ditangkap oleh alat ini, sehingga akan menggerakkan meter petunjuk atau jarum petunjuk. Audiometer adalah alat untuk mengukur nilai ambang pendengaran. Nilai ambang pendengaran adalah suara yang paling lemah yang dapat didengar manusia. Audiogram adalah chart hasil pemerikasaan audiometri. Gilavand (2016) menyebutkan bahwa alat untuk mengukur kebisingan adalah Sound Level Meter (SLM). Alat yang mengukur kebisingan antara 30-130 dB(A) dan frekuensi 20- 20.000 Hz. Jika kebisingan diukur dengan menggunakan SLM dengan pembobotan, maka tanggapan frekuensi dipilih dengan tingkat kebisingan yang terukur dan pembacaan yang diperoleh disebut dengan tingkat bunyi. Pembacaan yang diperoleh pada tanggapan frekuensi A digunakan untuk kebisingan di bawah 55 dB, pengukurannya ditandai dengan
51 dB-A, pada pembacaan tanggapan frekuensi B digunakan untuk kebisingan antara 55-85 dB, dan untuk tanggapan frekuensi C digunakan untuk kebisingan di atas 85 dB. Pembacaan yang diperoleh dengan nilai tanggapan frekuensi C disebut sebagai tingkat tekanan bunyi (Heriyatna, 2017). D. Dampak Kebisingan dan Getaran Jika kebisingan diukur dengan menggunakan SLM dengan pembobotan, maka tanggapan frekuensi dipilih dengan tingkat kebisingan yang terukur dan pembacaan yang diperoleh disebut dengan tingkat bunyi. Pembacaan yang diperoleh pada tanggapan frekuensi A digunakan untuk kebisingan di bawah 55 dB, pengukurannya ditandai dengan dB-A, pada pembacaan tanggapan frekuensi B digunakan untuk kebisingan antara 55-85 dB, dan untuk tanggapan frekuensi C digunakan untuk kebisingan di atas 85 dB. Pembacaan yang diperoleh dengan nilai tanggapan frekuensi C disebut sebagai tingkat tekanan bunyi (Isran, 2015). Apabila kebisingan terpapar pada seseorang yang sedang belajar, maka kebisingan yang sangat rendah sekalipun dianggap mengganggu, sumber kebisingan berdampak pada seseorang yang belajar bukan hanya bersumber dari dalam ruangan saja akan tetapi juga sekeliling dan luar ruangan belajar tersebut. Seperti yang diungkapkan Mansyur (2016)
52 Bab 3. Kebisingan dan Getaran di Sekolah bahwa belajar tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal saja akan tetapi juga faktor ekstenal, yaitu kondisi lingkungan sekitar belajarnya. Kebisingan merupakan gangguan dalam proses belajar mengajar, kebisingan pada intensitas yang lama dan pada tingkat tertentu dapat membahayakan kesehatan. Adanya kenaikan ambang pendengaran yang melebihi ambang batas dapat menyebabkan berkurangnya daya pendengaran secara sementara. Jika seseorang memasuki tempat yang bising, gangguan pertama kali mungkin hanya terasa diawal saja tetapi lama kelamaan kebisingan tersebut tidak lagi terasa sebagai suatu gangguan oleh pendengarnya. Penyesuaian/adaptasi ini terjadi secara otomatis dengan menaikkan ambang pendengaran. Hal tersebut dikarenakan organ tubuh manusia sangat toleran memang sepintas terlihat bahwa kebisingan dapat diatasi dengan mudah. Maka seseorang yang berada ditempat bising akan mendengar suara yang terasa tidak sekeras semula, tetapi setelah keluar dari tempat bising maka orang tersebut baru akan terasa bahwa kemampuan pendengarannya telah berkurang. Adanya kenaikan ambang pendengaran yang menyebabkan berkurangnya daya pendengaran secara permanen. Jika seseorang mendengar suara bising yang tinggi dan berulang-ulang dalam waktu lama sekitar 10
53 sampai 15 tahun. Maka hal tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan ambang pendengaran yang bersifat tetap Handoko (2020) menjelaskan mengenai pengaruh buruk kebisingan terhadap lingkungan, sebagai suatu perubahan morfologi dan fisiologi suatu organisme yang mengkibatkan penurunan kualitas fungsional dan peningaktan kerentanan suatu organisme terhadap pengaruh efek faktor lingkungan yang merugikan. Termasuk pengaruh yang bersifat sementara maupun yang jangka panjang terhadap organ secara fisik, psikologi atau sosial. Pengaruh khusus akibat kebisingan yaitu berupa gangguan pendengaran, gangguan saat berkomunikasi, gangguan istirahat, dan lain-lain. Heriyatna (2017) menjelaskan dampak kebisingan dalam belajar yaitu dimana kondisi bising yang memapar ruang belajar dapat memberikan efek negatif secara langsung pada pembelajaran, khususnya pemahaman bahasa dan perkembangan membaca. Penyebab tak langsung permasalahan tersebut yaitu pada pelajar sering mengalami perasaan bingung atau jengkel ketika belajar saat terjadi kebisingan yang demikian. Kebisingan dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang antara lain berupa ketegangan otot, mual, pusing, penyempitan pembuluh darah, kenaikan tekanan darah, dan
54 Bab 3. Kebisingan dan Getaran di Sekolah meningkatnya detak jantung jika kebisingan mencapai lebih dari 130 decibel. Selain itu kebisingan juga dapat menyebabkan gangguan kosentrasi, rasa tidak nyaman, penurunan kecermatan dalam pekerjaan, dan yang lebih parah adalah gangguan kejiwaan. Kebisingan juga dapat menyebabkan pelemahan saat mendengarkan, gangguan komunikasi, gangguan tidur, penyebab terhadap efek jantung atau uraturat darah dan efek psiko-fisiologi, menurunkan performansi fisik, dan menimbulkan respon kejengkelan serta perubahan dalam perilaku sosial. Sebagian besar konsekuensi sosial dari gangguan pelemahan pendengaran adalah kemampuan untuk memahami pembicaraan dalam kondisi normal (WHO information, 2001). Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (KepMenLH) (1996) dalam Sinah (2015), jenis-jenis dari dampak kebisingan ada dua tipe yang diuraikan sebagai berikut: 1. Akibat badaniah : Kehilangan pendengaran: terjadi perubahan ambang batas sementara akibat kebisingan dan perubahan ambang batas permanen akibat kebisingan. 2. Akibat fisiologis: rasa tidak nyaman atau stres meningkat, tekanan darah meningkat, sakit kepala, bunyi denging. Akibat-akibat psikologis Gangguan
55 emosional: kejengkelan, kebingungan Gangguan gaya hidup: gangguan tidur atau istirahat, hilang konsentrasi waktu bekerja, membaca dan lain-lain. Gangguan pendengaran: merintangi kemampuan mendengar bunyi TV, radio, percakapan, telepon dan sebagainya. Tingkat kenyamanan belajar merupakan perasaan nyaman yang dirasakan seseorang ketika mengalami proses perubahan tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan (Fredianta, 2016). Tingkat kenyamanan belajar dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah kondisi termal ruang. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kenyamanan belajar siswa di kelas, di antaranya yaitu kondisi di lingkungan dalam dan luar kelas. Lingkungan sekolah yang nyaman adalah memiliki pepohonan yang rindang, karena ketersediaan oksigen merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi pembentukan kecerdasan siswa. Kurangnya kadar oksigen bagi siswa akan menyebabkan suplai darah ke otak menjadi lambat, menyebabkan konsentrasi siswa dalam belajar menjadi terganggu. Maka pepohonan rindang di sekolah memiliki peran untuk menyuplai kebutuhan oksigen bagi siswa. Semakin rindang pepohonan yang ada di sekolah atau di sekitar kelas, maka suplai oksigen yang dibutuhkan oleh
56 Bab 3. Kebisingan dan Getaran di Sekolah siswa akan semakin memadai. Kemudian, bangunan sekolah yang kokoh dan sehat juga akan membuat siswa merasa nyaman belajar di kelas. Bangunan yang roboh, dibangun dengan asal-asalan tidak layak digunakan untuk melaksanakan proses pembelajaran. Dinding ruang kelas harus kuat (tidak retak), lantai ruang kelas seharusnya datar dan tidak licin, dan langit-langit ruang kelas seharusnya tidak retak (bocor). Selanjutnya, lingkungan di luar kelas atau di sekitar sekolah juga harus mendukung proses pembelajaran. Lingkungan sekitar sekolah sangat menentukan kenyamanan bagi siswa. Lingkungan sekolah yang dekat dengan pabrik yang bising dan berpolusi udara, atau lingkungan sekolah yang berada di pinggir jalan raya yang padat dan berisik, atau bahkan lingkungan sekolah yang letaknya berdekatan dengan tempat pembuangan sampah atau sungai yang tercemar sampah sehingga menimbulkan ketidaknyamanan akibat bau-bau tak sedap, akan sangat mengganggu proses pembelajaran siswa. Menurut Rimantho (2014) beberapa hal yang perlu diperhatikan dan diciptakan sebagai upaya untuk mengkondisikan kelas yang nyaman adalah dengan menata perabot kelas diantaranya yaitu penempatan papan tulis seharusnya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah, sehingga siswa yang duduk di belakang masih mampu
57 melihat atau membaca tulisan yang ditulis paling bawah. Kemudian, meja kursi siswa ditata sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan kondisi kelas yang menyenangkan, ukura meja dan kursi disesuaikan dengan ukuran badan siswa dan dilengkapi dengan tempat tas atau buku sehingga siswa menjadi nyaman untuk duduk. Kenyamanan dan perasaan nyaman adalah penilaian komprehensif seseorang terhadap lingkungannya. Kenyamanan tidak dapat diwakili oleh satu angka tunggal. Manusia menilai kondisi lingkungan berdasarkan rangsangan yang masuk kedalam dirinya melalui kelima indra melalui syaraf dan dicerna otak untuk dinilai. Dalam hal ini yang terlibat tidak hanya masalah fisik biologis, namun juga perasaan. Suara, cahaya, bau, suhu, dll rangsangan ditangkap sekaligus, lalu diolah oleh otak. Kemudian otak akan memberikan penilaian relatif 15 apakah kondisi itu nyaman tau tidak. Ketidaknyamanan disatu faktor dapat ditutupi oleh faktor lain (Sam, 2018) E. Pengendalian Kebisingan di Sekolah Dengan perubahan sebagai elemen penting dalam proses pendidikan, perencana sedang menggabungkan konsep dapat diubah (changeeability) atau keluwesan (flexibility) ke dalam bangunan-bangunan pendidikan baru.Ini terutama jelas
58 Bab 3. Kebisingan dan Getaran di Sekolah dalam arah perkembangan yang mendorong atau menganjurkan kebebasan yang seluas-luasnya dalam pengaturan ruang kelas. Sedangkan Menurut Mansyur (2016), metoda pengendalian bising lingkungan dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar bangunan antara lain dengan: 1. Penekanan bising di sumbernya, dengan memilih mesinmesin dan peralatan yang relatif tenang dan memakai proses-proses pabrik atau metode kerja yang tidak menyebabkan tingkat bising yang mengganggu, contohnya bising yang disebabkan bantingan pintu yang dapat dihindari dengan menggunakan penahan pintu karet-busa. 2. Perencanaan kota. Ada sejumlah cara pengendalian bising kota, yaitu dengan mengikuti cara-cara perencanaan kota dan penataan masyarakat dengan suatu pemikiran pengurangan bising dalam derajat yang diinginkan, dengan membentuk dan memaksakan peraturan penetapan wilayah dan anti bising lewat hukum, mengharuskan pengusaha pabrik yang menggunakan peralatan mekanik dan elektrik yang bising untuk mencoba produksi mereka dan memberikan penilaian bising bagi mereka, mendidik anggota pengurus untuk mengamati dasar-dasar pengendalian bising, mendorong masyarakat untuk melaporkan bising
59 yang tak dapat diterima lewat semua jalur komunikasi yang mungkin, mendidik masyarakat untuk sadar bahwa sejumlah sumber bising dapat menyebabkan gangguan dan tekanan yang hebat dapat ditiadakan dengan perencanaan dan peramalan yang diteliti dan secara manusiawi dengan sopan dan menghargai. Jalur lalu lintas kereta api harus dilindungi dengan bukit, pengendukan tanah (cuttings) atau tanggul sepanjang tepi jalur dan harus ditempatkan sejauh mungkin dari jalan yang berpenduduk, seperti terlihat pada gambar Tanggul sepanjang sisi yang menghadap jalan raya harus dibuat semiring mungkin. Jala-jala jalan raya harus direncanakan untuk memungkinkan koordinasinya dengan daerah pemukiman baru bila kebutuhan itu timbul dengan kemungkinan pengembangan di masa yang akan datang sehingga jalur-jalur yang baru dapat ditambahkan pada jalan raya tersebut bila keadaan membutuhkan. Jalan-jalan di permukaan tidak boleh menjadi jalan pintas bagi lalu-lintas yang bising. Kereta api harus memasuki pusat kota metropolitan yang besar lewat jalur bawah tanah. Pengurangan bising dapat juga dilakukan dengan menaruh tumbuh-tumbuhan. Namun pohon dan tumbuhan biasanya tidak efektif sebagai penghalang bising. Pengurangan bising dari pohon bergantung kepada dahan
60 Bab 3. Kebisingan dan Getaran di Sekolah dan daun sehingga bising yang berada dekat tanah tidak tereduksi secara signifikan. Pohon yang ditanam berdekatan dan searah dengan arah datang gelombang bunyi lebih efektif daripada pohon yang berdiri sendiri. Tanaman yang digunakan untuk penghalang kebisingan diharuskan memiliki kerimbunan dan kerapatan daun merata mulai dari permukaan tanah hingga ketinggian yang diharapkan. Maka perlu diatur kombinasi antara tanaman penutup tanah, perdu, dan pohon atau kombinasi dengan bahan lainnya sehingga efek penghalang menjadi optimum. Tingkat kebisingan dapat dikontrol oleh vegetasi tergantung pada 1. jenis spesies, tinggi tanaman, berat, dan jarak tumbuh. 2. faktor-faktor iklim, yaitu kecepatan angin, suhu, dan kelembaban, dan 3. jenis suara, asal dan tingkat decibel (tingkat intensitas). Gelombang suara yang diserap oleh daun, cabang, ranting pohon dan semak-semak. Telah dilaporkan bahwa tanaman yang paling efektif untuk penyerapan suara adalah bagian yang memiliki daun tebal, berdaging dengan banyak tangkai daun (daun tangkai). Kombinasi ini memberikan tingkat fleksibilitas yang tinggi dan getaran. Pohon dapat meredam suara dengan cara mengabsorbsi gelombang oleh daun, cabang, dan ranting. Jenis tumbuhan yang paling
61 efektif untuk meredam suara adalah yang mempunyai tajuk tebal dan daun yang rindang. Dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sampai 95%. (Isran, 2015). Kemampuan tanaman mereduksi kebisingan dipengaruhi oleh ketebalan dan kelenturan daun, hal ini berkaitan dengan kemudahan daun untuk bergerak karena angin dan energi suara (Majida, 2020) 1. Perencanaan tempat. Gedung-gedung yang membutuhkan lingkungan bunyi yang tenang (sekolah, rumah sakit, lembaga penelitian, dan lain-lain) di letakkan pada tempat-tempat yang tenang, jauh dari jalan raya, daerah industri dan bandar udara. Bila memungkinkan maka dianjurkan untuk membelakangi (back form) jalan untuk memanfaatkan pengaruh reduksi bising karena jarak yang bertambah antara jalur jalan dan deretan bangunan. Bila jarak yang cukup antara bangunan dengan lalu lintas yang bising tak dapat disediakan, maka ruang-ruang yang membutuhkan jendela atau tembok ruang yang dapat dihuni tanpa jendela harus menghadap jalan yang bising. 2. Rancangan arsitektur. Rancangan arsitektur yang baik dengan memperhatikan kebutuhan akan pengendalian bunyi adalah pendekatan yang paling ekonomis dalam mengendalikan bising yang efektif dalam bangunan.
62 Bab 3. Kebisingan dan Getaran di Sekolah 3. Rancangan struktural/bangunan. Teknisi bangunan harus menggabungkan langkah-langkah pengendalian bising bangunan karena insulasi bunyi lantai atau dinding tergantung terutama pada tebal struktur, maka kapasitas daya tahan/kekuatan bahan tidak boleh diangggap sebagai kriteria satu-satunya dalam menentukan ukuran bangunan. 4. Penyerapan bunyi. Tingkat bising bunyi dapat direduksi sampai batas tertentu lewat usaha penyerapan bunyi. Penggunaan bahan penyerap bunyi yang cocok dalam ruang mempunyai keunungan-keuntungan antara lain: ruang menjadi tenang, tingkat bunyi keseluruhan akan dikurangi, lapisan penyerap cenderung melokalisir bising di daerah asalnya. 5. Penyelimutan (masking) bising, dapat dipecahkan dengan menenggelamkan (menyelimuti) bising yang tak diinginkan lewat bising latar belakang yang dibuat secara elektronik. Proses ini menekan pembesaran kecil yang dapat mengganggu 6. Pripacy penerima. Bising dari sistem ventilasi, dari arus lalu lintas yang serba sama atau dari kegiatan-kegiatan kantor pada umumnya membantu bising penyelimut buatan. Dalam ruangan kelas dengan pengajaran tim, bunyi diproduksi
63 7. Karena beberapa grup belajar dan tersebar ke berbagai arah saling meniadakan sampai suatu batas tertentu dan menghasilkan tipe bising selimut tertentu yang Nampaknya dapat diterima pemakai ruang. 8. Konstruksi bangunan penginsulasi bunyi. Bila metode pengendalian bising yang di atas sejauh ini tidak dapat diikuti untuk mengadakan lingkungan akustik yang disukai dalam bangunan, maka masih ada satu pemecahan, yaitu transmisi bising lewat struktur bangunan atau getaran harus dicegah, artinya privacy akustik yang diinginkan harus dicapai dengan menggunakan dinding, lantai, pintu atau jendela penginsulasi bunyi. Secara sederhana pengendalian bunyi tiap bangunan pendidikan membutuhkan pertimbangan sebagai berikut: 1. Pemilihan dan perencanaan tempat (site). 2. Perancangan akustik ruang dari ruang-ruang kelas, ruang kuliah, auditorium, ruang olahraga, ruang musik, ruang pandang-dengar dan lain-lain. Pengendalian bising eksterior dan interior dalam seluruh bangunan. Efisiensi penyerapan suatu bunyi suatu bahan pada suatu frekuensi tertentu dinyatakan oleh koefisien penyerapan bunyi. Koefisien penyerapan bunyi suatu permukaan adalah bagian energi bunyi datang yang diserap, atau tidak
64 Bab 3. Kebisingan dan Getaran di Sekolah dipantulkan oleh permukaan. Permukaan interior yang keras, yang tak dapat ditembus (kedap), seperti bata, bahan bangunan batu, dan beton, biasanya menyerap energi gelombang bunyi datang kurang dari 5% (0,05). Di lain pihak, isolasi tebal menyerap energi gelombang bunyi yang datang lebih dari 80% (koefisien penyerapan di atas 0,8). (Lupson, 2016) Dalam kepustakaan akustik arsitektur dan pada lembaran informasi yang diterbitkan oleh pabrik-pabrik dan penyalur, bahan akustik komersial kadang kadang dicirikan oleh koefisien reduksi bising, yang merupakan rata-rata dari koefisien penyerapan bunyi pada frekuensi 250, 500, 1000, dan 2000 Hz yang dinyatakan dalam kelipatan terdekat dari 0,05. Nilai ini berguna dalam membandingkan penyerapan bunyi bahan-bahan akustik komersial secara menyeluruh bila digunakan untuk tujuan reduksi bising. Bila bunyi menumbuk suatu permukaan, maka ia dipantulkan atau diserap. Energi bunyi yang diserap oleh oleh lapisan penyerap sebagian diubah menjadi panas, tetapi sebagian besar ditransmisikan ke sisi lain lapisan tersebut, kecuali bila transmisi tadi dihalangi oleh penghalang yang berat dan kedap. Dengan perkataan lain penyerap bunyi yang baik adalah pentransmisi bunyi yang efisien dan arena itu adalah insulator bunyi yang tidak baik. Sebaliknya dinding
65 insulasi bunyi yang efektif akan menghalangi transmisi bunyi dari satu sisi ke sisi lain. Bahan-bahan dan kontruksi penyerap bunyi dapat dipasang pada dinding ruang ataupun digantung di udara. Bahan-bahan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Bahan berpori, seperti papan serat (fiberboard), plesteran lembut, mineral wools, dan selimut isolasi, memiliki karakteristik dasar suatu jaringan seluler dengan pori-pori yang saling berhubungan. Energi bunyi datang di ubah menjadi energi panas dalam pori-pori ini. Bahan-bahan selular, dengan sel yang tertutup dan tidak saling berhubungan seperti damar busa, karet selular, dan gelas busa, adalah penyerap bunyi yang buruk. Penyerap berpori mempunyai karakteristik penyerapan bunyinya lebih efisien pada frekuensi tinggi dibandingkan pada frekuensi rendah dan efisiensi akustiknya membaik pada jangkauan frekuensi rendah dengan bertambahnya tebal lapisan penahan yang padat dan dengan bertambahnya jarak dari lapisan penahan ini. Bahan berpori ini antara lain ubin selulosa, serat mineral, serat-serat karang (rock wool), serat-serat gelas (glass wool), serat-serat kayu, lakan (felt), rambut, karpet, kain dan sebagainya.
66 Bab 3. Kebisingan dan Getaran di Sekolah 2. Penyerap panel atau selaput merupakan penyerap frekuensi rendah yang efisien. Bila dipilih dengan benar, penyerap panel mengimbangi penyerapan frekuensi sedang dan tinggi yang agak berlebihan oleh penyerappenyerap berpori dan isi ruang. Jadi penyerap ruang menyebabkan karakteristik dengung yang serba sama pada seluruh jangkauan frekuensi audio. Penyerappenyerap panel yang berperan pada Penyerappenyerapan frekuensi rendah antara lain panel kayu dan hardboard, gypsum boards, langit-langit plesteran yang digantung, plesteran berbulu, jendela, kaca, dan pintu. Bahan-bahan yang berpori yang diberi jarak dari lapisan penunjangnya yang padat juga berfungsi sebagai penyerap panel yang bergetar dan menunjang penyerapan pada frekuensi rendah. 3. Resonator rongga (Helmholtz) merupakan penyerap bunyi yang terdiri dari sejumlah udara tertutup yang dibatasi dinding-dinding tegar dan dihubungkan oleh celah sempit ke ruang sekitarnya, di mana gelombang bunyi merapat.
67 REFERENSI Conch, M., Campbel, L., D., & Steenland K., 2014. Occupational Noise. Geneva, WHO.7:1, 34-57. Dhillon, B. S. 2016. Safety and Human Error in Engineering Systems. Florida: CRC Press. Djalante, S. 2019. Analisis Tingkat Kebisingan Di Jalan Raya Yang Menggunakan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APIL) (Studi kasus: Simpang Ade Swalayan). SMARTek. 7:3. 39- 45. Fredianta, D., Huda, L. N., & Ginting, E. 2016. Analisis Tingkat Kebisingan untuk Mereduksi Dosis Paparan Bising di PT.XYZ. Jurnal Teknik Industri USU.14:4, 46-53. Gerard L, T. & Singgih, S. 2017. Analisis Human Error Dengan Metode Systematic Error Reduction And Prediction Approach (Sherpa) Dan Human Error Assessment And Reduction Technique (Heart) Pada Operator Cv. Catur Bhakti Mandiri Studi Kasus: CV. Catur Bhakti Mandiri, 7:2, 2-13. Gilavand, A., & Jamshidnezhad, A. 2016. The effect of noise in educational institutions on learning and academic
68 Bab 3. Kebisingan dan Getaran di Sekolah achievement of elementary students in Ahvaz, Southwest of Iran. International Journal of Pediatries. 4:3, 1453-1463. Halil, A., Yanis, A., & Noer, M. 2015. Pengaruh kebisingan lalulintas terhadap konsentrasi belajar siswa SMP N 1 Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 4:1, 65-75. Handoko, J. P., S., 2020. Pengendalian Kebisingan pada Fasilitas Pendidikan Studi Kasus Gedung Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta. Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan. 2:1, 32-42. Hapnita, W. 2018. Faktor internal dan eksternal yang dominan mempengaruhi hasil belajar menggambar dengan perangkat lunak siswa kelas XI teknik gambar bangunan SMK N 1 Padang tahun 2016/2017. CIVED (Journal of Civil Engineering and Vocational Education), 5:1, 120-134. Heriyatna, E. 2017. Analisis Tingkat Kebisingan Lalu Lintas di Jalan Pierre Tendean Banjarmasin. Jurnal Teknologi Berkelanjutan ,3:1. 126-136. Isran R, & Muhammda. 2015. Analisis Tingka Kebisingan pada kawasan perbelanjaan (Mall) d Kota Makassar dan Dampaknya terhadap Lingkungan. Jurnal Teknik. 7:1, 24- 35.
69 Knuden, V. O. 2018, Acoustical Designing in Architecture, The American Institude of Physics for The Acoustics Society of America, USA Lucky, A, W., Sardono, S. & Badrus, Z. 2015. Analisis Human Error terhadap Kecelakaan Kapal pada Sistem Kelistrikan berbasis Data di Kapal. Jurnal Teknik ITS, 4:1, 10-14. Luxson, M., Darlina, S., & Malaka, T. 2016. Kebisingan di Tempat Kerja. Jurnal Kesehatan Bina Husada. 2:1, 75-85. Majida, W, G., Ida, W. & Ekawati. 2020. Analisis Penyebab Human Error Terhadap Kejadian Kecelakaan Pada Teknisi Di Perusahaan Otomotif X, Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat UNDIP, 8:5, 665-669. Malkamah, S., 2017. Hubungan antara Volume, Kecepatan, Komposisi Kendaraan dan Tingkat Kebisingan di Jalan Raya”. MSTT-UGM, Yogyakarta .12:2 12-45. Mansyur, M. 2016. Dampak Kebisingan Terhadap Kesehatan. Job Training Petugas Pengawas Kebisingan, Jurnal Teknik. 4:2. 56-79. Mawardi, A. D., & Tunnoor, S. 2020. Studi Komparasi Tingkat Kebisingan pada Waktu Berbeda di Sekolah Dasar Negeri Melayu 2 Banjarmasin. Jurnal Terapung, 9:3. 45-53. Meyer J.D., & McCunney R.J., 2015. A practical Approach to Occupational and Environrnental Medicine. Third Edition.
70 Bab 3. Kebisingan dan Getaran di Sekolah philadelphia. Lippincott Williams and Wilkins.12:2, 120- 128. Purwandy, J. 2016. Analisis Tingkat Kebisingan Dan Emisi Gas Buang Di Jalan Slamet Riyadi Dan Alternatif Solusinya (Kajian Empirikal Dan Non Empirikal). Tesis Magister Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Surakarta. 32-45. Rasmussen, J. 2015. Information Processing and Human-Machine Interaction an Approach to Cognitive Engineering. Amsterdam: Elsevier Science Publishers B. V, 11:4, 17-24. Rimantho, D., & Cahyadi, B. 2014. Analisis Kebisingan Terhadap Karyawan Di Lingkungan Kerja Pada Beberapa Jenis Perusahaan. Jurnal Teknologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2:1 21-27. Sam, 2018. Studi Model Hubungan Karakteristik Lalu Lintas Dengan Tingkat Kebisingan Kendaraan Pada Ruas Jalan Tol Ir. Sutami Makassar. Jurnal Tugas Akhir. 2:2, 126-153. Schenk C., Decker C., & Gruber H., 2014. Noise: Identification and Evaluation of Hazards. Germany. www.issa.int. Sinah, R. Departemen Pekerjaan Umum, 2015. Mitigasi Dampak Kebisingan Akibat Lalu Lintas Jalan, Pedoman Konstruksi Bangunan, Pd T-16-2005-B. Zely, K. & John. 2016. European Week for Safety and Health at Work. Prevention of risks, 4:2, 124-143.
71 BAB 4 SUHU LINGKUNGAN SEKOLAH A. Suhu Tubuh Manusia Pentingnya menjaga suhu tubuh manusia tidak hanya berkaitan dengan kenyamanan, tetapi juga berpengaruh langsung pada kesehatan dan kinerja tubuh. Pertama-tama, suhu tubuh yang stabil mendukung fungsi-fungsi vital organorgan dalam tubuh. Proses-proses biologis, seperti metabolisme dan aktivitas enzim, optimal pada suhu tubuh yang tepat, yang berada sekitar 98.6 derajat Fahrenheit atau 37 derajat Celsius. Kedua, menjaga suhu tubuh adalah langkah penting dalam pencegahan penyakit. Suhu tubuh yang terlalu rendah dapat meningkatkan risiko hipotermia dan gangguan
72 Bab 4. Suhu Lingkungan Sekolah kesehatan serius, sementara suhu tubuh yang terlalu tinggi dapat menyebabkan panas berlebihan dan heatstroke. Oleh karena itu, pemahaman tentang kondisi suhu tubuh yang sehat dan upaya menjaga suhu tetap stabil melalui berbagai cara seperti berpakaian dengan sesuai atau mengatur lingkungan sekitar sangat penting. Selain itu, kenyamanan psikologis juga terkait erat dengan suhu tubuh yang baik. Manusia cenderung merasa lebih baik secara emosional dan mental saat berada dalam kondisi suhu yang nyaman. Hal ini dapat meningkatkan kualitas hidup sehari-hari dan membantu menjaga keseimbangan mental. Terakhir, di lingkungan pendidikan dan pekerjaan, menjaga suhu tubuh memainkan peran krusial dalam meningkatkan produktivitas. Suhu tubuh yang stabil memastikan fokus dan konsentrasi optimal, memungkinkan individu untuk bekerja atau belajar dengan efektif. Oleh karena itu, kesadaran akan pentingnya menjaga suhu tubuh harus ditanamkan sejak dini sebagai bagian dari upaya menjaga kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan.
73 B. Proses Pengaturan Suhu Proses pengaturan suhu tubuh melibatkan beberapa mekanisme yang diatur oleh sistem termoregulasi dalam tubuh manusia. Berikut adalah beberapa proses kunci dalam pengaturan suhu tubuh: 1. Termoreseptor: Proses dimulai dengan termoreseptor, yaitu sensorsensor suhu yang terdapat di kulit, otak, dan organ dalam. Mereka mendeteksi perubahan suhu di sekitar dan dalam tubuh. 2. Hipotalamus: Informasi dari termoreseptor dikirim ke hipotalamus, sebuah bagian dari otak yang berperan sebagai pusat pengaturan suhu. Hipotalamus membandingkan suhu tubuh aktual dengan suhu yang diinginkan. 3. Efektor: Jika suhu tubuh berada di luar batas normal, hipotalamus mengirimkan sinyal untuk mengaktifkan efektor, seperti kelenjar keringat atau otot-otot yang menggigil.
74 Bab 4. Suhu Lingkungan Sekolah 4. Berkeringat: Saat suhu tubuh meningkat, kelenjar keringat di kulit menghasilkan keringat, yang kemudian menguap dan membantu mendinginkan tubuh. 5. Menggigil: Saat suhu turun, otot-otot dapat mengalami kontraksi atau menggigil untuk menghasilkan panas tambahan dan meningkatkan suhu tubuh. 6. Vasokonstriksi dan Vasodilatasi: Pembuluh darah di kulit dapat menyempit (vasokonstriksi) untuk mengurangi kehilangan panas atau melebar (vasodilatasi) untuk meningkatkan kehilangan panas terutama saat tubuh terlalu panas. Proses-proses ini bekerja bersama untuk menjaga suhu tubuh dalam kisaran yang aman dan optimal. Termoregulasi ini penting untuk memastikan fungsi organ dan sistem tubuh berjalan dengan baik. C. Aktivitas fisik dan suhu tubuh Aktivitas fisik memiliki dampak yang signifikan pada suhu tubuh manusia. Pertama, ketika seseorang berpartisipasi dalam aktivitas fisik, otot-ototnya menghasilkan panas sebagai hasil dari kontraksi dan kerja metabolisme
75 yang meningkat. Proses ini dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh, yang merupakan respons normal terhadap kegiatan fisik yang lebih intensif. Selain itu, aktivitas fisik memicu mekanisme termoregulasi dalam tubuh untuk mempertahankan suhu tubuh dalam kisaran normal. Pada saat berolahraga, kelenjar keringat menjadi aktif untuk membantu menghilangkan panas berlebih melalui proses evaporasi. Ini adalah salah satu cara utama di mana tubuh mencoba mendinginkan diri sendiri selama aktivitas fisik yang intens. Namun, terlalu banyak aktivitas fisik atau kondisi lingkungan yang sangat panas dapat menyebabkan peningkatan risiko overheating. Pada titik ini, suhu tubuh dapat naik di luar batas normal, yang dapat mengakibatkan kelelahan panas atau bahkan heatstroke jika tidak ditangani dengan benar. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan suhu tubuh dan kondisi lingkungan selama berolahraga, serta untuk menjaga hidrasi yang memadai. Di sisi lain, ketika aktivitas fisik dilakukan di lingkungan yang sangat dingin, tubuh dapat mengalami risiko hipotermia karena kehilangan panas yang berlebihan. Pada kondisi ini, penggunaan pakaian yang sesuai dan pemahaman tentang cara menjaga suhu tubuh tetap stabil menjadi krusial. Dalam keseluruhan, hubungan antara aktivitas fisik dan suhu tubuh
76 Bab 4. Suhu Lingkungan Sekolah adalah dinamis dan kompleks. Mekanisme termoregulasi tubuh bekerja secara efisien untuk menjaga keseimbangan antara produksi panas dan pengeluaran panas selama berbagai tingkat aktivitas fisik dan kondisi lingkungan. D. Pakaian yang Tepat Memilih pakaian yang tepat pada suhu tertentu memiliki dampak langsung pada kesejahteraan dan kesehatan tubuh manusia. Pertama, pakaian berfungsi sebagai pelindung terhadap kondisi cuaca eksternal, baik itu panas atau dingin. Pakaian yang sesuai membantu menjaga suhu tubuh agar tetap stabil, mencegah terlalu panas atau terlalu dingin. Selain itu, pemilihan pakaian yang tepat dapat meminimalkan risiko terhadap kondisi kesehatan tertentu. Misalnya, di lingkungan yang dingin, pakaian yang memberikan isolasi termal yang baik dapat mencegah risiko hipotermia atau pembekuan tubuh. Sebaliknya, di lingkungan yang panas, pakaian yang ringan dan bernapas membantu menghindari risiko kelebihan panas atau dehidrasi. Pemilihan serat atau bahan pakaian juga memainkan peran penting. Pakaian yang terbuat dari bahan bernapas, seperti katun atau linen, memungkinkan sirkulasi udara yang baik dan membantu menjaga tubuh tetap sejuk pada suhu yang tinggi. Di sisi lain, pakaian dengan lapisan isolasi termal
77 seperti fleece atau wol dapat memberikan kehangatan tambahan di lingkungan yang dingin. Pentingnya memilih pakaian yang tepat juga berkaitan dengan kenyamanan dan kinerja. Pakaian yang sesuai dengan kegiatan fisik atau situasi tertentu dapat meningkatkan mobilitas dan membuat individu merasa lebih nyaman, yang pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan secara keseluruhan. Dengan demikian, pemilihan pakaian yang tepat bukan hanya soal gaya tetapi juga menjadi keputusan yang strategis untuk menjaga kesehatan dan kenyamanan tubuh, terutama dalam menghadapi variasi suhu dan kondisi cuaca yang berbeda. E. Hubungan Suhu dengan Belajar Suhu lingkungan belajar yang nyaman sangat penting untuk kesejahteraan dan kenyamanan siswa di sekolah. Suhu yang terlalu panas atau terlalu dingin dapat mengganggu konsentrasi dan membuat siswa mudah lelah, mengantuk, atau sakit. Beberapa studi menunjukkan bahwa suhu yang ekstrem dapat menurunkan performa kognitif siswa. Suhu ideal untuk belajar adalah 20-22 derajat Celsius. Pada suhu ini, tubuh dalam kondisi netral sehingga energi tubuh dapat digunakan secara optimal untuk beraktivitas dan berpikir.
78 Bab 4. Suhu Lingkungan Sekolah Siswa akan merasa nyaman secara termal sehingga dapat fokus belajar tanpa gangguan atau stres akibat panas atau dingin yang berlebihan . Selain suhu, kelembapan udara juga perlu diperhatikan. Kelembapan 40-60% dikaitkan dengan peningkatan kenyamanan dan performa siswa. Kelembapan di bawah 40% dapat menyebabkan iritasi pada mata, hidung dan tenggorokan, sementara kelembapan di atas 60% dapat terasa pengap dan membuat kantuk . Suhu lingkungan di dalam ruang kelas memiliki dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan fisik dan mental siswa. Keterkaitan antara suhu dan kesejahteraan siswa tidak hanya mempengaruhi kenyamanan dalam belajar, tetapi juga dapat memengaruhi konsentrasi, motivasi, dan performa akademis mereka. Oleh karena itu, penting untuk memahami secara mendalam bagaimana suhu lingkungan dapat berinteraksi dengan kebutuhan fisiologis dan psikologis siswa. 1. Pengaruh Suhu terhadap Kesejahteraan Fisik: Suhu yang tidak sesuai dapat menyebabkan ketidaknyamanan fisik, seperti rasa dingin atau panas berlebihan. Hal ini dapat mengganggu keseimbangan termal tubuh siswa dan menyebabkan gangguan pada sistem kardiovaskular dan termoregulasi. 2. Dampak Variabilitas Suhu terhadap Kesejahteraan
79 Psikologis: Selain kesejahteraan fisik, suhu juga dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis siswa. Suhu yang tidak stabil atau ekstrim dapat menyebabkan stres, kelelahan, dan bahkan pengaruh negatif pada suasana kelas. 3. Kenyamanan Termal dan Produktivitas Belajar: Studistudi menunjukkan bahwa kenyamanan termal yang baik di lingkungan belajar dapat meningkatkan produktivitas belajar siswa. Anak-anak yang merasa nyaman dengan suhu lingkungan cenderung lebih fokus dan efisien dalam menyerap informasi. 4. Pentingnya Pengaturan Suhu yang Tepat di Ruang Kelas: Desain ruang kelas yang memperhitungkan aspek termal sangat penting. Pengaturan suhu yang optimal di ruang kelas dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, mendukung kesejahteraan siswa, dan meningkatkan retensi informasi. Dengan demikian, menjaga suhu dan kelembapan pada tingkat yang optimal sangat penting untuk kesejahteraan fisik dan mental siswa agar mereka dapat belajar dengan baik di sekolah. Kondisi termal yang menyenangkan membantu siswa tetap fokus, bersemangat, dan produktif di kelas.
80 Bab 4. Suhu Lingkungan Sekolah F. Dampak Suhu terhadap Proses Belajar 1. Gangguan Konsentrasi dan Fokus: Suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mengganggu kemampuan siswa untuk berkonsentrasi. Ketidaknyamanan fisik dapat menjadi distraksi, mengurangi fokus pada materi pelajaran. 2. Pengaruh Terhadap Kinerja Kognitif: Kondisi suhu yang ekstrem atau tidak sesuai dapat mempengaruhi kinerja kognitif siswa. Penelitian menunjukkan bahwa suhu yang tinggi dapat mengurangi kemampuan kognitif, seperti pemrosesan informasi dan kemampuan memori. 3. Pengaruh Terhadap Partisipasi Aktif di Kelas: Suhu yang tidak nyaman dapat menghambat partisipasi aktif siswa dalam kegiatan kelas. Siswa mungkin lebih cenderung menjadi lesu dan kurang bersemangat untuk berpartisipasi jika mereka merasa tidak nyaman akibat suhu lingkungan yang tidak sesuai. 4. Pengaruh Terhadap Kesehatan Siswa: Suhu yang tidak terkontrol dapat berkontribusi pada masalah kesehatan, seperti sakit kepala, kelelahan, atau bahkan penyakit terkait suhu seperti heatstroke atau hypothermia. Kesehatan yang buruk secara langsung dapat mempengaruhi kinerja belajar.
81 Suhu ruang kelas yang terlalu panas atau dingin telah terbukti memiliki dampak yang signifikan pada kinerja dan produktivitas siswa. Beberapa dampaknya antara lain: 1. Menurunkan konsentrasi & fokus Suhu ekstrem membuat siswa mudah terganggu dan sulit berkonsentrasi pada pelajaran. Sebagian besar energi digunakan tubuh untuk mengatur suhu tubuh, sehingga otak kesulitan fokus belajar. 2. Meningkatkan rasa kantuk Suhu panas membuat sirkulasi darah meningkat ke permukaan kulit dan cenderung membuat kantuk. Sementara suhu dingin dapat menyebabkan tubuh ingin tidur untuk menghemat energi. 3. Menurunkan kemampuan kognitif Fungsi kognitif dan kecerdasan siswa bisa menurun drastis pada suhu di bawah 20°C atau di atas 27°C. Hal ini berdampak pada pemahaman materi dan performa akademik. 4. Meningkatkan tingkat kesalahan Suhu ekstrem berkaitan dengan peningkatan kesalahan dalam mengerjakan tugas yang membutuhkan fokus dan teliti. Siswa jadi mudah lupa, salah hitung, dan kehilangan konsentrasi. 5. Menurunkan motivasi belajar Suhu yang tidak nyaman membuat badan terasa lelah dan letih, sehingga minat dan motivasi siswa untuk belajar juga akan menurun.
82 Bab 4. Suhu Lingkungan Sekolah Mereka jadi malas mengikuti pelajaran dengan optimal. Mempertahankan suhu yang optimal di dalam kelas sangat vital untuk memfasilitasi pembelajaran siswa yang efektif. Penelitian menunjukkan bahwa setiap peningkatan 1°C di atas suhu nyaman (22°C) dapat menurunkan performa belajar hingga 10%. G. Ergonomic suhu dalam lingkungan sekolah 1. Pengaturan Sistem HVAC yang Efektif: Sistem pemanasan, ventilasi, dan pendinginan (HVAC) yang efektif dan teratur sangat penting. Pengaturan suhu harus memperhitungkan variasi cuaca dan musim untuk memastikan kenyamanan sepanjang tahun. 2. Desain Ruang Kelas yang Ergonomis: Desain ruang kelas harus memperhitungkan ventilasi yang baik dan kontrol suhu yang mudah diakses. Penggunaan peralatan dan furnitur yang mendukung sirkulasi udara juga harus dipertimbangkan. 3. Pemberian Informasi dan Edukasi pada Siswa: Penting untuk memberikan informasi kepada siswa tentang pentingnya kenyamanan termal dan cara mereka dapat berkontribusi untuk menciptakan lingkungan yang sesuai. Edukasi ini dapat meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab siswa terhadap kondisi suhu di sekolah.
83 4. Kerjasama dengan Pihak Terkait: Sekolah sebaiknya berkolaborasi dengan para ahli dan spesialis HVAC untuk mengaudit kondisi lingkungan kelas secara berkala. Ini dapat membantu dalam penyesuaian sistem pendingin dan pemanas, serta memberikan solusi ergonomis yang lebih baik. 5. Penerapan Protokol untuk Kondisi Ekstrem: Protokol khusus harus disiapkan untuk mengatasi kondisi ekstrem, seperti gelombang panas atau cuaca dingin yang ekstrem. Ini dapat melibatkan penyesuaian jadwal kelas, penyediaan air minum, atau ruangan alternatif untuk kegiatan belajar. Beberapa rekomendasi lain terkait pengaturan suhu dan ergonomi di lingkungan sekolah agar nyaman dan sehat bagi siswa, antara lain : 1. Atur suhu kelas pada 20-22°C dan kelembapan 40-60% Ini adalah zona termal netral yang paling nyaman bagi aktivitas sedentari seperti di kelas. Jika perlu, gunakan AC, penghangat ruangan, atau kipas angin untuk menjaga suhu tetap ideal. 2. Kurangi radiasi panas dari sinar matahari Pasang tirai, kelambu, film, atau pelapis kaca untuk mengurangi panas radiasi matahari masuk ke kelas. Pohon rindang di luar jendela juga dapat menghalau panas sinar matahari.
84 Bab 4. Suhu Lingkungan Sekolah 3. Atur arah duduk dan sirkulasi udara Pastikan tidak ada siswa yang duduk dengan arah menghadap jendela/terkena AC. Atur formasi tempat duduk untuk maksimalnya sirkulasi udara. 4. Beri jam istirahat yang cukup Waktu istirahat digunakan tubuh untuk mendinginkan diri saat stres panas dan mengembalikan suhu tubuh normal. Jam istirahat minimal 30 menit sangat dianjurkan. 5. Sediakan air minum cukup Air minum dingin dapat menurunkan suhu tubuh. Dehidrasi karena kurang minum juga bisa memicu heat stress. 6. Gunakan bahan dan warna cerah Memakai cat/tembok berwarna terang serta furnitur kelas dari bahan nonthermal conductive seperti kayu dan logam untuk mengurangi serapan dan radiasi panas di ruangan. 7. Isolasi dan ventilasi yang optimal Pilih bahan isolator (seperti styrofoam, glass wool) untuk menahan panas/dingin dari luar. Ventilasi silang udara segar juga penting agar suhu dan kadar O2 tetap optimal. Menciptakan iklim mikro 20-22°C didukung kelembapan 40-60% di ruang kelas sangat direkomendasikan agar siswa dapat belajar dalam kondisi termal dan psikologis yang nyaman. Suhu nyaman merupakan kunci kesehatan, keselamatan, dan produktivitas akademik siswa di sekolah.
85 H. Pengaruh musim panas dan dingin terhadap tubuh pelajar Musim panas memengaruhi tubuh manusia dengan meningkatkan suhu lingkungan, yang memicu respons termoregulasi. Peningkatan suhu udara menyebabkan kelenjar keringat aktif menghasilkan keringat untuk mendinginkan tubuh melalui evaporasi. Meskipun ini adalah mekanisme alami untuk menjaga suhu tubuh, panas ekstrem dapat menyebabkan risiko dehidrasi dan heatstroke. Oleh karena itu, penting untuk memastikan hidrasi yang cukup dan menghindari paparan berlebihan terhadap sinar matahari selama musim panas. Tubuh manusia juga mengalami adaptasi selama musim panas untuk mengatasi suhu yang lebih tinggi. Pembuluh darah di kulit melebar (vasodilatasi), meningkatkan aliran darah ke permukaan kulit untuk membantu mengeluarkan panas. Selain itu, tubuh dapat beradaptasi dengan meningkatkan produksi enzim yang mendukung metabolisme pada suhu yang lebih tinggi. Meskipun adaptasi ini membantu kita bertahan dalam suhu panas, tetap diperlukan tindakan seperti menggunakan pakaian yang ringan dan menjaga waktu aktif di luar ruangan agar tidak terlalu terpapar panas. Sebaliknya, musim dingin membawa tantangan
86 Bab 4. Suhu Lingkungan Sekolah tersendiri pada tubuh manusia. Penurunan suhu menyebabkan tubuh harus lebih banyak menghasilkan panas untuk menjaga suhu tubuh. Ini dapat menyebabkan kontraksi otot atau menggigil, yang merupakan cara tubuh menghasilkan panas tambahan. Di musim dingin, perawatan kulit menjadi kunci, karena udara dingin dan kering dapat menyebabkan kekeringan dan masalah kulit lainnya. Penggunaan pakaian hangat dan lapisan isolasi termal membantu menjaga tubuh tetap hangat dan mengurangi risiko hipotermia. Pemahaman tentang respons tubuh terhadap musim panas dan dingin memberikan wawasan penting tentang bagaimana kita dapat menjaga kesehatan selama perubahan cuaca. Upaya untuk menjaga keseimbangan suhu tubuh dan memperhatikan perawatan khusus selama musim tertentu adalah langkah-langkah yang diperlukan untuk mendukung kesejahteraan secara menyeluruh.
87 REFERENSI ASHRAE. (2017). ASHRAE Standard 169-2017: Climatic Data for Building Design Standards. Brager, G., & de Dear, R. (1998). Thermal adaptation in the built environment: A literature review. Energy and Buildings, 27(1), 83–96. Brown, A., & Jones, C. (2019). "Ergonomic Design in School Furniture: A Comprehensive Review." International Journal of Applied Ergonomics, 41, 112-125. Chen, L., & Wang, G. (2020). "Effects of Classroom Environmental Factors on Students' Learning Performance: A Literature Review." Frontiers in Psychology, 11, 160. De Gennaro, G., Farella, G., Buonanno, G., de Gennaro, L., Marzocca, A., & Viegi, G. (2013). Indoor air quality in school environment: Combined effects of target air pollutants. Environmental international, 61, 1-9. Dul, J., Bruder, R., Buckle, P., Carayon, P., Falzon, P., Marras, W. S., & Wilson, J. R. (2012). A strategy for human factors/ergonomics: Developing the discipline and profession. Ergonomics, 55(4), 377–395.
88 Bab 4. Suhu Lingkungan Sekolah Frontczak, M., & Wargocki, P. (2011). Literature survey on how different factors influence human comfort in indoor environments. Building and Environment, 46(4), 922-937. Gagge, A. P., Fobelets, A. P., & Berglund, L. G. (1986). A standard predictive index of human response to the thermal environment. ASHRAE Transactions, 92(2), 709–731. Grandjean, E. (1980). Ergonomics in Computerized Offices. Taylor & Francis. Green, T., & Harris, J. (2016). "Assessing the Impact of Classroom Design on Pupils' Learning: A Literature Review." Sage Open, 6(1). Hartig, T., Evans, G. W., Jamner, L. D., Davis, D. S., & Gärling, T. (2003). Tracking Restoration in Natural and Urban Field Settings. Journal of Environmental Psychology, 23(2), 109- 123. Hedge, A. (2008). Human Factors and Ergonomics in Consumer Product Design: Methods and Techniques. CRC Press. Hedge, A. (2016). Fundamentals of Ergonomics in Theory and Practice. CRC Press. International Ergonomics Association. (2000). Definition and Domains of Ergonomics. Johnson, M., & Davis, R. (2017). "Postural Discomfort and Behavioral Concentration in Students." Journal of School Health, 87(3), 109-117.
89 Knez, I. (2014). Effects of Colour of Light on Nonvisual Psychological Processes. Journal of Environmental Psychology, 38, 158-164. Lan, L., Wargocki, P., & Lian, Z. (2011). Quantitative measurement of productivity loss due to thermal discomfort. Energy and Buildings, 43(5), 1057-1062. Iida, K. (2017). Engineering Design Process. Springer. Lippman, P. C., & Rivers, J. M. (1998). The Role of Architecture in Human Memory: A Study of Two Museums. Environment and Behavior, 30(3), 427-451. Molenbroek, J. F. M., & Hale, A. R. (1997). Office Ergonomics: Practical Applications. CRC Press. Moore, G. T., & Lackney, J. A. (1994). School Design: A Two-Tiered Study Examining the Relationship Between School Building Conditions and Student Achievement. The American Institute of Architects Press. Panero, J., & Zelnik, M. (1979). Human Dimension & Interior Space: A Source Book of Design Reference Standards. Watson-Guptill. Pheasant, S. (1996). Bodyspace: Anthropometry, Ergonomics and the Design of Work. CRC Press. Seppänen, O., Fisk, W. J., & Lei, Q. H. (2006). Effect of temperature on task performance in office environment. Indoor Air, 16(6), 364–376.
90 Bab 4. Suhu Lingkungan Sekolah Smith, J. (2018). "The Impact of Ergonomics on Learning in Educational Environments." Journal of Educational Ergonomics, 12(2), 45-58. Tanner, K. D. (2013). Structure Matters: Twenty-One Teaching Strategies to Promote Student Engagement and Cultivate Classroom Equity. CBE—Life Sciences Education, 12(3), 322-331. Tsutsumi, H., Tanabe, S. I., Harigaya, J., Iguchi, Y., & Nakamura, G. (2007). Effect of humidity on human comfort and productivity after step changes from warm and humid environment. Building and Environment, 42(12), 4034- 4042. Wargocki, P., & Wyon, D. P. (2017). Ten questions concerning thermal and indoor air quality effects on the performance of office work and schoolwork. Building and Environment, 112, 359-366. Wargocki, P., & Wyon, D. P. (2013). Providing better thermal and air quality conditions in school classrooms would be costeffective. Building and environment, 59, 581-589.