semua proses diselesaikan pada Sentra Gakkumdu, maka akan diteruskan ke penyidikan oleh
pihak Kepolisian dengan waktu selama 14 hari. Setelah diproses penyidikan maka diteruskan
ke pembuktian dengan waktu selama 5 (lima) hari kemudian dilanjutkan penuntutan yang
dibuktikan pada persidangan di Pengadilan Negeri Bengkulu, proses pengadilan ini harus
selesai selama 7 (tujuh) hari sudah harus dijatuhkan vonis hukuman.
Pembatasan batas waktu memang baik untuk memberi kepastian hukum dalam penanganan
tindak pidana pemilu atau penyelesaian pelanggaran administratif, akan tetapi tidak mungkin
akan mendatangkan keadilan mengingat Bawaslu akan mengalami kesulitan jika saksi yang
harus diklarifikasi bertempat tinggal jauh terutama di provinsi kepulauan, demikian juga
masyarakat akan mengalami kesulitan dalam membuat laporan pelanggaran pemilu kepada
Pengawas Pemilu terutama yang tinggal pada wilayah-wilayah terpencil yang transportasinya
sulit.
Ada baiknya proses penyelesaian sengketa adminstrasi dan pidana terlebih dahulu
diselesaikan dalam peradilan ketatanegaraan dan peradilan etik penyelenggaraan pemilu13,
yang keduanya bersifat final dan mengikat. Konsekuensi dari pada itu adalah harus adanya
pemisahan antara pelanggaran kode etik yang akan ditangani oleh Bawaslu dengan kasus
pidana yang menjadi wewenang aparatur penegak hukum lainnya.
Dengan pengadilan Tata Negara dan peradilan kode etik penyelenggara pemilu akan
didapatkan kepastian hukum karena bersifat final dan mengikat, sedangkan pelanggaran
pidana tunduk pada KUHP dan KUHAP. Hal ini akan mendatangkan rasa keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia, karena pelanggaran pemilu melalui penyuapan atau money politik
tidak tunduk pada hukum khusus melainkan tunduk pada undang-undang korupsi.
Oleh karena itu perlu pengembangan kode etik penyelenggaran pemilihan umum kedepan,
untuk dapat melaksanakan peradilan yang cepat dan biaya ringan.
Beberapa kasus yang terjadi di Provinsi Bengkulu pada Pemilihan Umum Legislatif tahun 2014
yang mengusik rasa keadilan yaitu kasus yang dikenakan Pasal 277 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012, karena calon tersebut melibatkan Kepala Desa di dalam kampanye, atas
pelanggarannya calon legislatif tersebut dilakukan proses hukum mulai dari Sentra Gakkumdu
hingga ke proses penyidikan, akan tetapi setelah adanya pemanggilan secara wajar, yang
bersangkutan tidak hadir, selama masa penyidikan 14 hari tersangka hilang melarikan diri
sampai masa berlaku penyidikan habis, setelah masa penyidikan habis yang bersangkutan
kembali muncul, tetapi proses hukum terhadap kasusnya tidak dapat lagi dilanjutkan karena
masa penyidikannya sudah daluarsa.
Hal ini merupakan pelecehan terhadap hukum yang berlaku, tetapi aparat penegak hukum
tidak berbuat karena kewenangan yang ada padanya sudah daluarsa menurut undang-
undang.
13 Bukan Peradilan Etik penyelenggara Pemilu yang menjadi Kewenangan DKPP
Jika dilihat dari jumlah pelanggaran pidana yang masuk pada Sentra Gakkumdu berjumlah 52
kasus tetapi yang sampai ke pengadilan hanya 4 kasus dengan putusan seluruhnya
percobaan. Apakah ini adil, dan apakah ini mendatangkan kepastian hukum? Tentu
jawabannya tidak karena yang terjaring dalam hukum hanyalah masyarakat, kepala desa
yang membantu peserta atau calon yang dapat bebas tanpa terjangkau dengan hukum.
Jika pelaku peserta pemilihan umum terlebih dahulu diperiksa oleh Bawaslu/Panwaslu secara
etik dapat dibuktikan terjadi pelanggaran etik, maka yang bersangkutan dapat diberikan
hukuman diskualifikasi atau sesuai dengan tingkatannya. Dan proses pidana yang dilakukan
oleh yang bersangkutan dapat saja berlanjut setelah sidang etik dilakukan. Tidak
sebagaimana yang terjadi selama ini yang menjadi korban adalah kepala desa atau
masyarakat yang tidak mengerti terhadap hukum yang berlaku dan mendapatkan hukuman
dari pengadilan.
2. Rekrutmen yang menjamin kemandirian
Kunci sukses untuk menentukan lembaga yang mandiri adalah rekrutmen yang baik.
European Commission For Democracy Through Law14 menyatakan
Only transparency, impartiality and independence from politically motivated
manipulation will ensure proper administration of the election process, from the pre-
election period to the end of the processing of results
Hanya transparansi, imparsialitas dan independensi yang akan mampu akan memastikan
administrasi yang tepat dari proses pemilu, dari periode pra-pemilu sampai akhir pengolahan
hasil dari manipulasi bermotif politik dan persolan rekrutmen tersebut masih menjadi cacatan
tersendiri, dimulai dari pembentukan tim seleksi yang benar independen dan tahan terhadap
tekanan sehingga mendapatkan juga hasil Anggota Bawaslu secara berjenjang yang punya
integritas tinggi.
3. Sumber daya manusia
Mengingat tugas dan wewenang Bawaslu/Panwaslu sangat komplek yaitu menerima laporan,
pegaduan dan melakukan pemeriksaan, artinya Bawaslu/Panwaslu merupakan aparatur
penegak hukum/etik yang membutuhkan keahlian khusus, oleh karena itu dibutuhkan
sumberdaya punya integritas, professional, kuat dan matang.
Pengalaman dalam penyelesaian kasus di beberapa daerah kabupaten masih terdapat
beberapa penyelesai kasus yang tidak tuntas dan menimbulakan konflik baru yaitu perbuatan
pidana percobaan pembunuhan. Artinya putusan Panwaslu dan/atau Bawaslu agar
mendatangkan keadilan harus dengan sumberdaya yang punya keahlian dalam bidang hukum
dan punya pengalaman kuat di bidang tersebut. Sebab rasa keadilan tidak bisa dipelajari
secara instans hanya dengan membaca dan diskusi saat putusan mau diambil, melainkan
14 European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission)
perlu pendalaman dan pemupukan rasa adil secara berkelanjutan bagi setiap pengambil
putusan (hakim/anggota bawaslu). Putusan yang adil tidak dapat diambil hanya didasarkan
pada pendapat ahli atau tenaga ahli yang dimiliki Bawaslu, melainkan datang dari rasa
keyakinan hakim/anggota Bawaslu.
E. Simpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Telah terjadi penguatan Komisi Pemlihan Umum sebagai suatu lembaga yang secara
konstitusi hanya bertugas sebagai suatu komisi yang melaksanakan pemilihan umum melalui
Undang-Undang dengan menghadirkan komisi yang mandiri, impartial dan fairness.
2. Eksistensi Bawaslu tidak diatur dalam UUD, dan kehadirannya merupakan kebutuhan untuk
menghasilkan pemilihan umum yang berkualitas yaitu langsung, umum, bebas, rahasia dan
jujur dan adil.
3. Perlu merancang kembali tugas tugas dan wewenang Badan Pengawas Pemilu dalam bidang
pengawasan dan penyelesaian sengketa, agar penyelesaian sengketa mendatang kepastian
dan keadilan secara terpisah. Putusan Bawaslu harus diarahkan untuk menyelesaikan
sengketa dan pelanggaran kode etik penyelenggaraan pemilu yang putusannya bersifat final.
Sedangkan unsur pidana dari pelanggaran tetap dilakukan melalui proses peradilan biasa.
F. Kepustakaan
Ardilafiza, Makalah disampaikan pada Pembekalan Calon Hakim Balitbang Diklat Kumdil MA.
Megamendung, 29 November S.D. 1 Desember 2012
European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission)
Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, terjemahan Somardi, 2007, Teori Umum Hukum dan
Negara, Bee Media, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konpress, Jakarta
Buletin BAWASLU Edisi Maret-April 2016
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Membangun Trust Melalui Sinergitas Penyelenggara
Irwan Saputra, S.Ag., M.Si
Ketua KPU Provinsi Bengkulu
Pengantar
Perkembangan demokrasi di Indonesia tidak bisa lepas dari penyelenggaraan pemilihan umum.
Sebagai perwujudan dari prinsip kedaulatan rakyat, pemilu merupakan instrumen penting dalam
demokrasi. Dari suksesnya penyelenggaraan pemilu-pemilu di Indonesia, wabilkhusus dalam
penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD, serta pemilu presiden dan wakil presiden
tahun 2014, telah membuka mata dunia bahwa Indonesia bisa menjadi teladan demokrasi bagi
negara-negara di dunia.
Para pemimpin dunia dan media massa internasional mengakui bahwa tidak mudah menggelar pemilu
dua tahap dengan aman dan lancar serentak, di negara seperti Indonesia yang terdiri dari ribuan
pulau. Dengan budaya serta tingkat sosial ekonomi para pemilihnya yang beragam. Pelaksanaan
pemilu di Indonesia dinilai merupakan yang paling rumit di dunia. Wakil Presiden Jusuf Kalla
mengatakan Indonesia berhasil menyelenggarakan pemilu dalam satu hari saat pemilihan legislatif
dan presiden tahun 2014… “Pemilihan langsung dari negara-negara kita paling banyak dalam sehari,”
kata JK saat memberikan sambutan dalam Rapat Koordinasi Nasional KPU, KPU/KIP provinsi dan
KPU/KIP kabupaten/kota seluruh Indonesia di Ecopark Ancol, Jakarta Utara, Desember 2014,
sebagaimana dikutip REPUBLIKA.CO.ID. Lanjutnya, di Cina yang memiliki penduduk terbanyak di
dunia bahkan tak diselenggarakan pemilu. Sedangkan di India, proses pemilu berlangsung selama 15
hari, dan di Amerika, jumlah partisipasi pemilu pun di bawah 50 persen. JK pun mengaku bangga
dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Ia juga memberikan pujian kepada kinerja anggota
KPU karena penyelenggaraan pemilu dapat berjalan dengan baik. Terkait kerumitan penyelenggaraan
pemilu di Indonesia, bahkan Didik Supriyanto dalam tulisannya di merdeka.com tanggal 28 Februari
2014 mengistilahkan pemilu di Indonesia sebagai pemilu paling rumit di dunia dan
akhirat….”Demikianlah, jika Pemilu 2004 saja disebut orang asing sebagai pemilu paling rumit di
dunia, maka Pemilu 2014 takkan terkejar oleh praktik pemilu di belahan dunia lain. Bahkan jika di
akhirat nanti ada pemilu, maka pemilu kita merupakan pemilu paling rumit di dunia dan di akhirat.”
Sinergitas penyelenggara merupakan faktor penting diantara faktor lain yang menentukan suksesnya
penyelenggaraan pemilu.
Di Indonesia, penyelenggara pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) yang merupakan dua lembaga yang lahir dari satu “rahim” yaitu satu produk
undang-undang yang sama yakni Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu. Ibaratnya, KPU dan Bawaslu adalah penghuni satu rumah akan tetapi ada di kamar yang
berbeda, masing-masing kamar mempunyai tugas pokok dan fungsi yang berbeda, satu kamar
memiliki tupoksi penyelenggaraan yaitu KPU, dan satu kamar lagi memiliki tupoksi pengawasan yaitu
Bawaslu. Berbeda kamar tetapi dalam rumah yang sama. Berbeda tupoksi tetapi dalam identitas yang
sama yaitu sebagai penyelenggara pemilu. KPU dan Bawaslu memiliki jajaran secara hierarkhis
sampai ke tingkat TPS.
Sebagai penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu dituntut untuk mampu menyelenggarakan pemilu
yang jujur dan adil dengan mengedepankan asas-asas pemilihan umum yang mandiri, jujur, adil,
kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas,
akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas, dengan tupoksi dan kewajiban-kewajiban yang diatur di dalam
perundang-undangan. Sinergitas dua lembaga ini akan sangat menentukan kesuksesan
penyelenggaraan pemilihan umum.
Ketua DKPP Prof. Jimly Asshiddiqie, dalam sambutannya pada acara pembukaan Kegiatan Bimbingan
Teknis Terpadu Pemungutan, Penghitungan, Rekapitulasi dan Penetapan Hasil pilkada Tahun 2017 di
Pontianak Kalimantan Barat menegaskan bahwa bimtek terpadu adalah bentuk sinergi kemitraan
yang baik antara KPU dan Bawaslu. Karena menunjukkan hubungan KPU dan Bawaslu telah semakin
harmonis. Namun, Prof. Jimly mengingatkan agar jangan melupakan bahwa sebenarnya kedua
lembaga ini memiliki tugas dan tanggungjawab yang berbeda dalam kerangka lembaga
penyelenggara pemilu. KPU dan Bawaslu menurut Prof. Jimly, dimata masyarakat adalah dua
lembaga yang memiliki profesionalitas, tanggungjawab dan independensi masing-masing.
Penegasan senada juga disampaikan oleh Ketua KPU RI Husni Kamil Manik (alm), dalam kegiatan
Bimbingan Teknis Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota di Bukittinggi, Sumatera Barat. Menurut
Husni Kamil Manik, membangun pemahaman bersama adalah mengurangi perselisihan perbedaan
pendapat antar sesama penyelenggara. Ia meyakini tanpa adanya sinergi yang kuat antara KPU dan
Bawaslu proses pemilu tidak akan berjalan dengan lebih baik. Juga dalam kesempatan yang sama,
Ketua Bawaslu RI Muhammad menegaskan, komitmen yang dibangun antara KPU dan Bawaslu
adalah sebagai mitra, yang didasari oleh adanya persamaan persepsi dalam penyelenggaraan pemilu,
karena KPU dan Bawaslu adalah lembaga yang mempunyai posisi penentu dalam mengawal suara
rakyat untuk menentukan kualitas calon pemimpin bangsa kedepan.
Sinergi yang ditunjukkan oleh pimpinan lembaga penyelenggara pemilu di tingkat pusat ini tentu
harus juga diikuti oleh jajaran penyelenggara pemilu di daerah, sampai kepada tingkatan yang paling
bawah yaitu di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Hal ini sangat penting, karena sinergi yang hanya
terbangun di tingkat pusat tidak akan sepenuhnya memberi arti apabila jajaran dibawahnya masih
jalan sendiri-sendiri.
Sinergitas KPU Provinsi Bengkulu dan Bawaslu Provinsi Bengkulu dalam Pemilu tahun
2014
Pada tahun 2014 memasuki era suksesi kepemimpinan nasional dengan dilaksanakannya Pemilihan
Umum anggota DPR, DPD dan DPRD dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. KPU Provinsi
Bengkulu dan Bawaslu Provinsi Bengkulu sebagai penyelengara pada tingkatan provinsi menyadari
bahwa sinergi antar penyelenggara menjadi faktor penting yang menentukan suksesnya
penyelenggaraan pemilu. Sinergi yang dimaksud adalah komitmen bersama untuk mewujudkan
penyelenggaraan pemilu di Provinsi Bengkulu yang berkualitas, melalui penyelenggara yang
berintegritas, profesional, transparan dan akuntabel, sehingga hasil dari penyelenggaraan pemilu
tersebut dapat dipercaya oleh masyarakat. Kepercayaan atau trust masyarakat terhadap
penyelenggara dan hasil penyelenggaraan pemilu adalah buah dari sebuah proses yang
berintegritas.
Kami menyadari bahwa untuk membangun trust masyarakat bukanlah perkara mudah, seperti
apapun kita mengklaim bahwa kita sudah berintegritas, bahwa kita sudah berlaku profesional, sudah
transparan dan akuntabel, tidaklah cukup apabila masyarakat belum bisa secara nyata merasakan
dan melihat langsung secara kongkrit tindakan dan usaha kita dalam mewujudkannya. Catatan-
catatan hitam masa lalu penyelenggaraan pemilu di Provinsi bengkulu seolah-olah memberi alasan
kuat bagi masyarakat untuk meragukan akan adanya penyelenggaraan pemilu yang berintegritas.
Karenanya dibutuhkan komitmen yang kuat dari KPU dan Bawaslu untuk mewujudkannya melalui
langkah-langkah yang terencana dan terkoordinasi dengan baik.
Pasca dilantiknya anggota KPU Provinsi Bengkulu periode 2013-2018, langkah cepat terkait dengan
membangun sinergi penyelenggara ini segera dilakukan melalui koordinasi dengan Bawaslu Provinsi
Bengkulu untuk melakukan evaluasi dan pemetaan terkait masalah-masalah tahapan pemilu,
mengingat bahwa awal mulai periodesasi KPU provinsi adalah ditengah tahapan pemilu yang sudah
berjalan, sehingga sebelum memulai pelaksanaan tugas yang berupa kelanjutan dari tahapan yang
sudah dilakukan oleh KPU Provinsi periode sebelumnya, agar adanya kesinambungan maka perlu
terlebih dahulu dilakukan evaluasi dan pemetaan. Evaluasi dilakukan terhadap tahapan-tahapan yang
sudah berjalan, dan pemetaan dilakukan mulai dari tahapan persiapan, penyelenggaraan dan
penyelesaian. Tahapan persiapan meliputi penataan organisasi, pendaftaran pemantau dan
pemantauan, pembentukan badan penyelenggara, sosialisasi, publikasi dan pendidikan pemilih,
pengelolaan data dan informasi, dan logistik.
Pada tahapan penyelenggaraan meliputi perencanaan program dan anggaran, penyusunan peraturan
KPU, pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu, pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar
pemilih, penataan dan penetapan daerah pemilihan, pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi
dan DPRD Kabupaten/Kota, verifikasi pencalonan, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara,
rekapitulasi hasil pemungutan suara, penetapan perolehan kursi dan calon terpilih, peresmian
anggota legislatif dan pengambilan sumpah jabatan.
Selanjutnya pada tahapan penyelesaian meliputi perselisihan hasil pemilu, penyusunan laporan
penyelenggaraan pemilu, penyusunan dokumentasi, pengelolaan arsip, pembubaran badan
penyelenggara ad hoc dan penyusunan laporan keuangan.
Saya dapat merasakan bahwa begitu besarnya kontribusi dan implikasi positif dari koordinasi awal
yang kami lakukan dengan Bawaslu Provinsi, bagi suksesnya perjalanan tahapan demi tahapan
pemilu yang kami laksanakan kedepannya. Dari koordinasi tersebut dapat terpetakan beberapa
persoalan krusial yang berpotensi menggangu tahapan pemilu, diantaranya: 1)Soal sinergi antar
penyelenggara pemilu di Provinsi Bengkulu yang selama ini masih menjadi soal, terutama di tingkatan
penyelenggara ad hoc, sampai-sampai kemudian muncul istilah Tom and Jerry yang menggambarkan
inharmonisnya hubungan KPU dan Bawaslu sebagaimana dua tokoh kartun dalam film tersebut yang
digambarkan tidak pernah akur. Inharharmonisnya hubungan yang kadang disebabkan karena
adanya miskomunikasi dan kurangnya koordinasi tersebut sering mengganggu fokus kerja
penyelenggara dan bahkan dapat menimbulkan dinamika yang tidak sehat dan menjadi tontonan
yang tidak mendidik kontestan pemilu maupun masyarakat pada umumnya. 2)Tentang seleksi
anggota KPU Kabupaten/Kota yang telah menghasilkan 10 nama calon hasil proses tim seleksi, yang
akan dilanjutkan kepada tahapan berikutnya yaitu uji kelayakan dan kepatutan oleh KPU Provinsi
untuk menetapkan 5 orang calon terpilih, yang hampir semuanya mendapat protes dari peserta yang
tidak lolos. Protes tersebut sampai kepada gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan
bahkan ada yang dilaporkan ke kepolisian. Ada di salah satu kabupaten yang terdapat dua versi 10
nama calon anggota kpu, karena tim seleksinya tidak mampu menghasilkan kesepakatan bulat,
sehingga terpecah dua dan masing-masing menetapkan 10 nama untuk diserahkan ke KPU Provinsi.
3)Persoalan krusial berikutnya yaitu terdapat calon yang keberatan karena dicoret dari Daftar Calon
Sementara (DPS). 3) Persoalan data pemilih di perbatasan. Persoalan ini selalu mengemuka dan
menjadi polemik dalam setiap menjelang pelaksanaan pemilu, terutama ketika kpu melakukan
pemutakhiran data pemilih. Persoalan data pemilih di perbatasan ini menjadi soal yang berlarut-larut
dan menjadi bom waktu karena tidak adanya ketegasan dari pemerintah dan pemerintah daerah
selama ini tentang batas wilayah, sehingga dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk kepentingan
politik maupun keuntungan pribadi. Dan penyelesaian yang dilakukan selama ini hanya bersifat
tentatif dan kompromis. 5)Dan persoalan krusial berikutnya dalam penyelenggaraan pemilu di
Provinsi Bengkulu yang selama ini sering muncul adalah tentang integritas penyelenggara dan
penyelenggaraan pemilu. Temuan dugaan kecurangan yang dilakukan oleh kontestan maupun oleh
penyelenggara dalam pelaksanaan tahapan pemilu di Provinsi Bengkulu selama ini sering terjadi, hal
ini terlihat dari banyaknya protes dan gaduhnya pelaksanaan tahapan-tahapan, terutama yang sering
muncul yaitu pada tahapan rekapitulasi hasil penghitungan suara di setiap tingkatan, bahkan sampai
di tingkat pleno rekapitulasi nasional.
Lima persoalan krusial hasil pemetaan diatas adalah persoalan yang secara garis besar paling
menonjol dan berpengaruh terhadap kinerja dan kualitas tahapan penyelenggaraan pemilu di Provinsi
Bengkulu, yang selama ini mengemuka dan membuat gaduh, sehingga dapat berimplikasi kepada
ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses dan hasil penyelenggaraan pemilu. Karenanya
langkah-langkah strategis, kongkrit, dan terencana harus dilakukan. KPU Provinsi Bengkulu dan
Bawaslu Provinsi Bengkulu sebagai penyelenggara pemilu di Provinsi Bengkulu, adalah pihak yang
paling berperan, pihak yang paling menentukan, dan paling bertanggungjawab untuk menyelesaikan
persoalan tersebut.
Karenanya, sedari awal memulai aktifitas pasca dilantik, koordinasi dan konsolidasi yang intensif
secara formal maupun informal kemudian dilakukan. Persoalan-persolan dikomunikasikan, dibahas
dan didiskusikan bersama, sehingga program kerja dan kebijakan kelembagaan yang dilahirkan tidak
hanya mampu menyelesaikan persoalan yang ada, tetapi juga memiliki bobot, legitimasi, dan
akuntabilitas yang tinggi di masyarakat. Diantara beberapa program kegiatan tersebut adalah: 1)
Bimbingan teknis terpadu, yaitu bimbingan teknis terhadap tahapan penyelenggaraan pemilu yang
melibatkan KPU dan Bawaslu di setiap jajaran di lingkup internal penyelenggara pemilu dalam satu
forum. Kegiatan ini sangat penting untuk menyamakan persepsi antara jajaran KPU dan Bawaslu,
terutama penyelenggara adhoc tentang regulasi maupun tentang persoalan di lapangan. 2)
Sosialisasi bersama kepada masyarakat/stakeholder tentang tahapan atau persoalan tertentu yang
terkait dengan tahapan penyelenggaraan pemilu. Dalam kegiatan ini, KPU dan Bawaslu Provinsi
Bengkulu serta dapat juga melibatkan instansi terkait, melakukan sosialisasi bersama. 3) Supervisi
dan Monitoring bersama. Kegiatan ini dilakukan untuk memastikan bahwa materi-materi yang sudah
diterima oleh peserta pada saat bimbingan teknis, atau program dan kegiatan serta regulasi yang
sudah diatur, apakah terlaksana dengan baik dan benar di lapangan. Disamping itu, supervisi dan
monitoring bersama ini sangat efektif guna merumuskan solusi dalam menyelesaikan permasalahan
dalam pelaksanaan tahapan.
Melalui tiga bentuk kegiatan bersama diatas, disamping masih ada model komunikasi bersama yang
lain yang sifatnya informal dan insidentil yang juga dilakukan. Beberapa persoalan krusial yang
selama ini sering mengganggu pelaksanaan tahapan pemilu mampu dituntaskan. Diantaranya,
penyelesaian persoalan daftar pemilih dan proses pemungutan dan penghitungan suara di
perbatasan. Selama ini di daerah perbatasan selalu terjadi konflik terhadap data pemilih yang
dikarenakan oleh tidak adanya kejelasan mengenai batas wilayah, karena sangat dimungkinkan
terjadi seorang pemilih memiliki domisili di dua tempat, sehingga sangat sulit untuk didapatkan data
pemilih yang akurat, ditambah lagi kemudian KPU harus membentuk dua buah TPS dalam satu
wilayah yang terdapat sengketa batas tersebut untuk mengakomodir pemilih yang terdaftar ganda
untuk dapat menggunakan hak pilihnya di salah satu TPS sesuai yang ia pilih. Namun saat ini
berdasarkan langkah-langkah bersama yang dilakukan olah KPU Provinsi Bengkulu dan Bawaslu
Provinsi Bengkulu, dan koordinasi yang intensif dengan stakeholder terkait seperti Polda Bengkulu,
Korem 041 Gamas Bengkulu dan Pemda Provinsi Bengkulu, maka persoalan tersebut dapat
dituntaskan. Begitu juga sinergi yang dilakukan untuk membangun integritas penyelenggaraan pemilu
di Provinsi Bengkulu. Langkah-langkah sinergis yang dilakukan oleh KPU Provinsi Bengkulu dan
Bawaslu Provinsi Bengkulu baik terhadap jajaran penyelenggara maupun peserta pemilu, melalui
koordinasi, supervisi, bimbingan teknis terpadu dan evaluasi kinerja serta langkah-langkah penegakan
hukum yang adil dan tegas, telah mampu menekan angka kecurangan, terutama yang dilakukan oleh
penyelenggara.
Sinergi yang dibangun berlandaskan profesionalitas dengan mengacu pada aturan perundangan yang
berlaku. Tentunya gambaran ini dapat memberikan kepastian kepada publik/masyarakat bahwa apa
yang dilakukan oleh KPU Provinsi Bengkulu dalam setiap tahapan penyelenggaraan diawasi oleh
Bawaslu Provinsi Bengkulu sebagai pengawas dan keterlibatan masyarakat yang proaktif dalam setiap
temuan dugaan pelanggaran yang terjadi untuk kemudian diselesaikan dengan mekanisme yang ada
demi terciptanya hasil pemilu yang baik, jujur dan adil.
Bukan hanya pada pemilu legislatif, pada penyelenggaraan pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun
2014 yang digelar pada 9 Juli, KPU Provinsi Bengkulu sebagai penyelenggara ditingat provinsi
menggelar pelaksanaan tahapan yang diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan umum nomor 4 tahun
2014 tentang tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden tahun 2014 mulai dari tahapan Persiapan, Pelaksanaan, Penetapan Hasil dan Perselisihan
Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Bahwa dalam penyelenggaraannya, KPU Provinsi Bengkulu tidak lepas dari aspek pengawasan yang
dilakukan oleh Bawaslu Provinsi Bengkulu. Bukan menjadi batu sandungan bagi KPU ketika
keleluasaan bekerja selalu dibayang-bayangi oleh pengawasan melekat dari Bawaslu, namun hal ini
justru kemudian menjadi spirit dan dorongan yang kuat bagi KPU Provinsi Bengkulu untuk bekerja
dalam rambu aturan “On The Track” demi menghasilkan kinerja yang maksimal dan tentunya hasil
penyelenggaraan yang optimal.
Tahap demi tahap aktivitas penyelenggaraan yang dilalui semakin menjadi penegas hubungan antar
lembaga penyelenggara bahwa kedua pemangku kepentingan ini dapat bersinergi dengan baik tanpa
perlu adanya gesekan dan perdebatan atas segala perbedaan pandang dan tafsiran, namun lebih
pada saling menguatkan antar keduanya dalam mengambil langkah-langkah teknis maupun
penerjemahan regulasi yang menjadi pondasi pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden itu
sendiri. Tidak jarang kemudian aktivitas Sharing dan Bimtek bareng dilakukan untuk
menyatukan/menyamakan persepsi terkait teknis dan penafsiran aturan dalam pelaksanaannya.
Bahwa pada agenda Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 ini, KPU Provinsi Bengkulu
dan Bawaslu Provinsi Bengkulu hanya memainkan peran penyelenggaraan di tingkat daerah, karena
sesungguhnya fokus penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ini terpusat pada
penyelenggara tingkat pusat. Namun terlepas dari itu semua, KPU Provinsi Bengkulu bersama
Bawaslu menjadi lembaga yang paling bertanggung jawab dalam pelaksanaannya di tingkat daerah
Provinsi Bengkulu. Berkat kerjasama yang saling bersinergi yang dilakukan keduanya memberikan
hasil penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 di Provinsi Bengkulu dapat
berjalan dengan baik, tertib dan aman tanpa terjadi sedikitpun gejolak baik itu datangnya dari
internal penyelenggara maupun dari pihak peserta pemilu.
Kondisi demikian juga seakan menjadi kekuatan dan modal besar bagi KPU Provinsi Bengkulu untuk
menghadapi agenda pemilu berikutnya yakni agenda suksesi kepemimpinan daerah tahun 2015
dimana KPU dan Bawaslu Provinsi Bengkulu bersama jajaran penyelenggara di tingkat
kabupaten/kota akan menggelar pemilihan kepala daerah serentak tahun 2015 untuk pemilihan
gubernur dan wakil gubernur serta pemilihan bupati dan wakil bupati di 8 (delapan) kabupaten dari
10 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bengkulu. Tentunya tantangan menghadapi agenda
pemilihan kepala daerah ini akan lebih menguras energi, tenaga dan pikiran penyelenggara karena
bersentuhan langsung dengan kepentingan seluruh masyarakat Provinsi Bengkulu dalam menentukan
pemimpinnya. Namun dengan berbekal pengalaman dalam penyelenggaraan 2 (dua) pemilu terakhir
yang berlangsung damai dan aman, KPU Provinsi Bengkulu sangat berkeyakinan bahwa
penyelenggaran pemilihan kepala daerah serentak tersebut dapat berjalan dengan baik yang
tentunya satu visi dengan Bawaslu sebagai lembaga pengawasan.
Pelaksanaan Pilkada di Bengkulu Tahun 2015
Penyelenggaraan Pilkada secara langsung yang telah dipraktekkan sejak Tahun 2005, sebelum
kembali akan digelar di tahun 2015 sempat memasuki masa kritis dan perdebatan panjang akan
kelangsungannya, dan bahkan sempat akan hanya tinggal menjadi sejarah bahwa bangsa Indonesia
pernah menyelenggarakan Pilkada secara langsung, sampai kemudian Presiden Soesilo Bambang
Yudoyono waktu itu mengeluarkan Perppu No 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota.
Pada penyelenggaraan Pilkada serentak gelombang pertama Tahun 2015, sesuai dengan akhir masa
jabatan kepala daerah dan merujuk pada regulasi yang ada, maka di Provinsi Bengkulu akan
diselenggarakan pemilihan Gubernur dan pemilihan Bupati di delapan Kabupaten, dari sepuluh
Kabupaten/kota yang ada, yaitu di Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Mukomuko, Kabupaten
Kepahiang, Kabupaten Lebong, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Seluma, Kabupaten Bengkulu
Selatan dan Kabupaten Kaur. Sedangkan dua daerah Lagi yaitu Kabupaten Bengkulu Tengah
pemilihan bupatinya akan diselenggarakan pada Tahun 2017 dan Kota Bengkulu akan melaksanakan
pilwakot pada Tahun 2018.
Dalam praktiknya pada pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bengkulu tahun 2015,
KPU Provinsi melaksanakan tahapan demi tahapan yang telah diatur dalam Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil
Walikota mulai dari tahapan Perencanaan, Tahapan Pelaksanaan Hingga Tahapan Penyelesaian Hasil
Pemilihan dan Evaluasi.
Pelaksanaan setiap tahapan tersebut tentunya tidak lepas dari peran berbagai pihak serta semua
pemangku kepentingan dan stakeholder lainnya yang secara sadar untuk bersama-sama dengan
penyelenggara pemilu dalam mensukseskan pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
serentak dengan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di 8 (delapan) Kabupaten dalam Provinsi
Bengkulu diantaranya Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Kepahiang,
Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Lebong, Kabupaten Seluma, Kabupaten Bengkulu Selatan dan
Kabupaten Kaur.
Perencanaan program pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bengkulu Tahun 2015 yang dilakukan
baik oleh KPU Provinsi Bengkulu maupun KPU Kabupaten/Kota se-Provinsi Bengkulu, meliputi 13
program kegiatan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran PKPU Nomor 2 Tahun 2015. Setiap
program kegiatan didukung anggaran, dengan berbagai jenis belanja pegawai, biaya kampanye,
pengadaan logistik, penyelesaian sengketa, dan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur Bengkulu. Hasil tahapan perencanaan program pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur Bengkulu Tahun 2015.
Pada tahapan pelaksanaan yang dimulai dari pemutakhiran data pemilih, KPU Provinsi Bengkulu
dalam upaya untuk menghasilkan DPT yang berkeadilan, yang merekam semua warga negara
(penduduk Provinsi Bengkulu yang berhak memilih masuk dalam DPT), membutuhkan komitmen,
kesadaran dan dukungan seluruh komponen masyarakat. Komitmen KPU semata sebagai lembaga
penyelenggara melalui PPS dan PPDP, tidak cukup. Dibutuhkan kesadaran hukum dan kesadaran
politik dari setiap pemegang hak pilih, dan komitmen pemerintah daerah dalam menyediakan
dokumen kependudukan yang diperlukan sebagai referensi dalam penyusunan DPT. Bahkan setelah
DPT dihasilkan, penyelenggara masih membuka kesempatan bagi pemilih yang belum terdaftar dalam
DPT untuk mendaftarkan diri dan dimasukkan ke dalam DPTb-1 (Daftar Pemilih Tetap Tambahan 1)
yaitu daftar Pemilih yang tidak terdaftar sebagai Pemilih dalam DPT, tetapi memenuhi syarat dan
didaftarkan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pengumuman DPT. Pada poin ini KPU Provinsi
Bengkulu merasakan betul betapa peran dari semua pihak dan fungsi pengawasan yang dilakukan
oleh Bawaslu secara berjenjang dapat pada akhirnya menghasilkan data pemilih yang akurat serta
memastikan seluruh masyarakat dapat menggunakan hak pilihnya pada hari Pemilihan.
Pada tahapan pencalonan, KPU Provinsi Bengkulu menerbitkan pengumuman bagi bakal calon yang
ingin mendaftar sebagai pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Bengkulu pada papan
pengumuman, media cetak dan elektronik. Sebagai respon atas pengumuman tersebut, terdapat dua
pasangan calon yang mendaftar sebagai bakal calon peserta pemilihan, yaitu pasangan Dr. H. Ridwan
Mukti, M.H dan Dr. H. Rohidin Mersyah, M.M dan pasangan Sultan B Najamudin dan Mujiono.
Pasangan Dr. H. Ridwan Mukti, M.H dan Dr. H. Rohidin Mersyah, M.M diusung oleh gabungan Partai
Hanura, Partai Nasdem, PKPI, PPP, Golkar dan PKB. Sementara itu pasangan Sultan B Najamudin dan
Mujiono diusung oleh koalisi partai Demokrat dan PDI-P.
Proses pelaksanaan tahap selanjutnya mulai terasa nuansa persaingan politik yang kian memanas,
hal ini sangat mungkin terjadi karena kontestasi perebutan orang nomor satu di Provinsi Bengkulu
hanya di ikuti oleh dua pasangan saja. Hal demikian menempatkan KPU Provinsi Bengkulu harus
bertindak ekstra hati-hati demi menjaga netralitas penyelenggara. Tak dipungkiri bahwa berbagai
asumsi dan tafsiran dapat muncul atas sedikit saja kesalahan yang terjadi. Namun dalam perjalanan
pelaksanaannya, KPU Provinsi Bengkulu melaju dengan penuh percaya diri. Hal ini mungkin karena
suntikan semangat bahwa setiap tahapan yang dilalui mendapat pengawasan yang sangat ketat oleh
Bawaslu. Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga satu “Rahim” ini menampilkan kepada publik
bahwa penyelenggara akan tetap tegak pada garis aturan dan netralitas serta menjaga integritas
setiap insan didalamnya.
Posisi tersebut dapat terjawab dengan tuntasnya seluruh tahapan penyelenggaraan yang pada
akhirnya menghasilkan peserta pemilihan gubernur dan wakil gubernur terpilih dari hasil rapat pleno
rekapitulasi perolehan suara. Hasil rekapitulasi tersebut menetapkan pasangan calon nomor urut 1
(satu) memperoleh suara sebanyak 517.190 suara dan pasangan calon nomor urut 2 (dua)
memperoleh suara sebanyak 384.339 suara. Selanjutnya keputusan ini dituangkan dalam Surat
Keputusan KPU Provinsi Bengkulu nomor 48/Kpts/KPU-Prov-007/XII/2015 tentang Penetapan
Rekapitulasi Hasil Penghitungan dan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bengkulu tahun
2015 tertanggal 18 Desember 2015 yang di tanda tangani oleh Ketua KPU Provinsi Bengkulu serta
salinan Keputusan tersebut di sampaikan kepada pasangan calon dan Bawaslu Provinsi Bengkulu.
Secara umum kondisi dan konstelasi politik dalam kontestasi Pilkada di Bengkulu berjalan dengan
sangat aman, lancar dan tertib. Tidak ada terjadinya pergesekan baik antar pasangan calon sebagai
peserta maupun peserta dengan penyelenggara. Sikap berpolitik yang dewasa ditunjukkan oleh
kedua pasangan calon berikut dengan pendukung dibelakangnya serta sikap melek politik masyarakat
Provinsi Bengkulu, dan integritas penyelenggara menjadi faktor penting bagi terciptanya Pilkada
yang damai. Pada penyelenggaraan Pemilu 2014 KPU Provinsi Bengkulu mendapatkan penghargaan
sebagai Komisi Pemilihan Umum Berprestasi Tingkat Nasional kategori Iklan Layanan Masyarakat
Kreatif dan sebagai Nominasi Komisi Pemilihan Umum Provinsi Berprestasi Tingkat Nasional kategori
Penyelenggaraan Pemilu Berintegritas dari KPU RI.
Sinergitas yang terbangun antara jajaran penyelenggara yaitu KPU dan Bawaslu Provinsi Bengkulu
telah mampu menampilkan performa baru dalam meningkatkan kinerja dan kualitas penyelenggaraan
tahapan, utamanya dalam membangun trust masyarakat terhadap proses dan hasil pemilu di Provinsi
Bengkulu.
Kilas Balik Dan Kesan Eksotik Bawaslu Provinsi Bengkulu Dalam Memori
(Selayang Pandang Terhadap Peran Bawaslu Provinsi Bengkulu dalam Pengawasan
Pemilu Legislatif 2014, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 dan
Pemilu Kepala Daerah Serentak Tahun 2015 Di Provinsi Bengkulu)
Prof. Dr. H. Rohimin, M.Ag.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Bengkulu, Direktur Pasca Sarjana IAIN Bengkulu
I. PENGANTAR
Pelaksanaan dan Pengawasan pemilu di Provinsi Bengkulu, baik pelaksanaan dan pengawasan
pemilu legislatif 2014, pemilu presiden dan wakil presiden 2014, dan pemilu kepala daerah serentak
tahun 2015 berlangsung aman, tenteram, kondusip, dan sangat mengembirakan. Keberhasilan ini
tidak terlepas dari peran dan fungsi Bawaslu Provinsi Bengkulu yang telah dengan penuh integritas
dalam menjalankan fungsi dan perannya dalam kepengawasan. Pelaksanaa kepengawasan pemilu di
provinsi bengkulu dapat berjalan sesuai dengan regulasi dan tata aturan yuridis dalam tahapan-
tahapan yang telah disepakati bersama dengan berbagai pihak yang berkaitan. Pengawasan yang
baik akan menghasilkan hasil yang baik, sebaliknya kepengawasan yang jelek akan menghasilkan
hasil yang jelek pula.
Bawaslu Bengkulu selama masa baktinya dalam menjalani tugas kepengawasan telah melalui
proses menegerial, melalui proses perencanaan, pelaksanaan, dan kontrol yang baik. Regulasi
tahapan-tahapan setiap bentuk Pemilu dan langkah-langkah kerjasama dengan berbagai pihak yang
kompeten serta penyelesaian pelanggaran dan sengketa pemilu dilaksanakan sesuai dengan langkah-
langkah yang sudah diatur dalam juklak dan juknis serta panduan pada setiap bentuk Pemilu.
Tulisan singkat ini mencoba merefleksi dan mendeskripsikan perjalanan Bawaslu Provinsi
Bengkulu dalam kesan dan kenangan penulis sebagai tokoh agama, tokoh masyarakat, dan akademisi
yang kadangkala sering dilibatkan dalam kegiatan kepengawasan yang dilaksanakan oleh Bawaslu
Provinsi Bengkulu. Data-data refleksi dan deskripsi yang penulis gunakan adalah data partisipasi
langsung keterlibatan penulis dengan Bawaslu dan data-data publikasi tentang Bawaslu dalam
berbagai dokumentasi dan media, baik media cetak maupun elektronik. Data-data tersebut dijadikan
penulis sebagai bahan refleksi dan deskripsi dan pada gilirannya bisa menjadi kesan penulis terhadap
Bawaslu Provinsi Bengkulu.
II. SELAYANG PANDANG
Sejarah Pengawasan Pemilu
Untuk merefleksi dan mendeskripsikan Bawaslu Provinsi Bengkulu tidak bisa terlepas dari
konstelasi sejarah dan perkembangan serta dinamika pengawasan dan kepengawasan Pemilu
di negeri ini. Istilah pengawasan pemilu baru muncul pada era 1980-an. Dalam sejarah
kepemiluan dan pelaksanaan pemilu di Indonesia pada pelaksanaan Pemilu yang pertama kali
dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1955 belum dikenal istilah pengawasan Pemilu. Pada era
tersebut terbangun trust di seluruh peserta dan warga negara tentang penyelenggaraan Pemilu
yang dimaksudkan untuk membentuk lembaga parlemen yang saat itu disebut sebagai
Konstituante.Walaupun pertentangan ideologi pada saat itu cukup kuat, tetapi dapat dikatakan
sangat minim terjadi kecurangan dalam pelaksanaan tahapan, kalaupun ada gesekan terjadi di
luar wilayah pelaksanaan Pemilu. Gesekan yang muncul merupakan konsekuensi logis
pertarungan ideologi pada saat itu. Hingga saat ini masih muncul keyakinan bahwa Pemilu
1955 merupakan Pemilu di Indonesia yang paling ideal. Kelembagaan Pengawas Pemilu baru
muncul pada pelaksanaan Pemilu tahun 1982, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan
Pemilu (Panwaslak Pemilu). Pada saat itu sudah mulai muncul distrust terhadap pelaksanaan
Pemilu yang mulai dikooptasi oleh kekuatan rezim penguasa. Pembentukan Panwaslak Pemilu
pada Pemilu 1982 dilatari oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi
penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu 1971. Karena
palanggaran dan kecurangan pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977 jauh lebih masif. Protes-
protes ini lantas direspon pemerintah dan DPR yang didominasi oleh partai Golkar dan ABRI.
Akhirnya muncullah gagasan memperbaiki undang-undang yang bertujuan meningkatkan
'kualitas' Pemilu 1982. Demi untuk memenuhi tuntutan PPP dan PDI pada waktu itu,
pemerintah setuju untuk menempatkan wakil peserta pemilu ke dalam kepanitiaan pemilu.
Selain itu, pemerintah juga mengintroduksi adanya badan baru yang akan terlibat dalam
urusan pemilu untuk mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU).
Pada era reformasi, tuntutan pembentukan penyelenggara Pemilu yang bersifat mandiri dan
bebas dari kooptasi penguasa semakin menguat. Untuk itu maka dibentuklah sebuah lembaga
penyelenggara Pemilu yang bersifat independen yang diberi nama Komisi Pemilihan Umum
(KPU). Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi campur tangan penguasa dalam pelaksanaan
Pemilu, karena mengingat penyelenggara Pemilu sebelumnya, yakni LPU, merupakan bagian
dari Kementerian Dalam Negeri (sebelumnya Departemen Dalam Negeri). Di sisi lain, lembaga
pengawas pemilu juga berubah nomenklaturnya dari Panwaslak Pemilu menjadi Panitia
Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Perubahan mendasar terkait dengan kelembagaan Pengawas Pemilu baru dilakukan melalui
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Menurut UU ini dalam pelaksanaan pengawasan
Pemilu dibentuk sebuah lembaga adhoc yang terlepas dari struktur KPU, yang terdiri dari
Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu
Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan. Selanjutnya, kelembagaan
pengawas Pemilu dikuatkan lagi melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu dengan dibentuknya sebuah lembaga tetap yang dinamakan Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu). Adapun aparatur Bawaslu dalam pelaksanaan pengawasan berada
sampai dengan tingkat kelurahan/desa dengan urutan Panitia Pengawas Pemilu Provinsi,
Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, dan Pengawas
Pemilu Lapangan (PPL) di tingkat kelurahan/desa. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007, sebagian kewenangan dalam pembentukan Pengawas Pemilu
merupakan kewenangan dari KPU. Namun, selanjutnya berdasarkan Keputusan Mahkamah
Konstitusi terhadap judicial review yang dilakukan oleh Bawaslu terhadap Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007, rekrutmen pengawas Pemilu sepenuhnya menjadi kewenangan dari
Bawaslu.
Kewenangan utama dari Pengawas Pemilu menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
adalah untuk mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu, menerima pengaduan, serta menangani
kasus-kasus pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana pemilu, serta kode etik pemilu.
Dinamika kelembagaan pengawas Pemilu ternyata masih berjalan dengan terbitnya Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Secara kelembagaan pengawas
Pemilu dikuatkan kembali dengan dibentuknya lembaga tetap Pengawas Pemilu di tingkat
provinsi dengan nama Badan Pengawas Pemilu Provinsi (Bawaslu Provinsi). Selain itu, pada
bagian kesekretariatan Bawaslu juga didukung oleh unit kesekretariatan dengan nomenklatur
Sekretariat Bawaslu. Selain itu, pada konteks kewenangan, selain kewenangan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, Bawaslu berdasarkan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 juga memiliki kewenangan untuk menangani sengketa Pemilu.
Bawaslu Provinsi Bengkulu
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, maka sebagai konsekwensi yuridisnya
dibentuklah Badan Pengawas Pemilu Provinsi (Bawaslu Provinsi), termasuk Bawaslu Provinsi
Bengkulu. Keberadaan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) Provinsi Bengkulu merupakan
bagian dari amanat Undang-undang. Pembentukan Bawaslu Provinsi Bengkulu ini diawali
dengan pembentukan Timsel yang ditetapkan oleh Bawaslu Pusat Melalu Tim seleksi Bawaslu
yang dibentuk oleh Bawaslu Pusat ini maka pada gilirannya terbentuklah Bawaslu Provinsi
Bengkulu dengan anggota bawaslu, Parsadaan Harahap,SP. M.Si. Sebagai ketua, Sa‟adah
Mardliyati, S.Ag,MA. dan Ediansyah Hasan, SH,MH. Sebagai anggota.
Penyelengaraan berbagai bentuk pemilu di Provinsi Bengkulu selalu berpedoman kepada asas
mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, keterbukaan, proporsionalitas, efisien dan efektifitas dan
tugas bawaslu adalah memastikan kelancaran pemilu tersebut terbebas dari praktik kecurangan
maupun pelanggaran dalam bentuk apapun penyelanggaraan suatu pemilu.
Untuk melihat dan membicarakan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu), di manapun
dan apapun bentuknya di Indonesia ini tidaklah lengkap kalau tidak membahas dan mengamati
Pengawasan Pemilu yang dilakukan oleh BAWASLU dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum
(Panwas Pemilu) atau dalam bahasa sehari-hari yang biasa disebut dengan Panwas. Menurut
undang-undang pemilu, Panwas Pemilu sebetulnya adalah nama lembaga pengawas pemilu
tingkat nasional atau pusat. Sedang di provinsi disebut Panwas Pemilu Provinsi, di
kabupaten/kota disebut Panwas Pemilu Kabupaten/Kota, dan di kecamatan disebut Panwas
Pemilu Kecamatan.
Pengawas Pemilu adalah lembaga adhoc yang dibentuk sebelum tahapan pertama pemilu
(pendaftaran pemilih) dimulai dan dibubarkan setelah calon yang terpilih dalam pemilu dilantik.
Lembaga pengawas pemilu adalah khas Indonesia Pengawas Pemilu dibentuk untuk
mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu, menerima pengaduan, serta menangani kasus-kasus
pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana pemilu.
Panitia Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak Pemilu) yang bertugas mengawasi pelaksanaan
pemilu, perubahan terhadap pengawas pemilu baru dilakukan lewat UU No. 12/2003 yang
menegaskan untuk melakukan pengawasan pemilu dibentuk panitia pengawas pemilu, panitia
pengawas pemilu provinsi, panitia pengawas kabupaten dan panitia pengawas pemilu
kecamatan yang kini bernama Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU).
Bawaslu adalah badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu di seluruh wilayah
NKRI. Bawaslu ditetapkan berdasarkan undang-undang nomor 22 tahun 2007 pasal 70 tentang
pemilu bawaslu terdiri atas kalangan profesional yang independen mempunyai kemampuan
dalam melakukan pengawasan dan tidak lagi menjadi anggota parpol dalam melaksanakan
tugasnya aggota bawaslu didukung oleh sekretariat bawaslu yang dibentuk berdasarkan Kepres
RI nomor 49 tahun 2008. Sekretariat Bawaslu mempunyai tugas memberikan dukungan teknis
dan administratif kepada Bawaslu.
Pelanggaran-pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu tersebut antara lain, ialah money
politics, kampanye sebelum waktu yang ditentukan, daftar pemilih tetap dan lain-lain.
Pelanggaran tersebut terjadi karena kurangnya sosialisasi, kurangnya sumber daya manusia
dan minimnya pengawasan. Pelanggaran pemilu seperti money politcs dan pencurian suara,
dan lain-lain Bawaslu dapat mendiskualifikasi peserta pemilu agar dapat menekan
pelanggaran dan memberikan efek jera kepada peserta pemilu yang lain dan memastikan
pemilu dapat berjalan demokratis dan bebas dari praktik-praktik pelanggaran pemilu.
III. REFLEKSI DAN DESKRIPSI
1. Aktif, Sinergi, Dan Edukatif
Bawaslu Provinsi Bengkulu dalam menjalani tugas kepengawasannya diangap aktif,
sinergetik, dan edukatif. Peran kepengawasan yang dikembangkan tidak hanya menindak
kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan masyarakat, tetapi memainkan perannya
secara proAktif dalam berbagai bentuk Aktifitas dalam rangka membentengi agar tidak
terjadi pelanggaran pemilu dan sekaligus mengidukasi masyarakat agar memahami aturan
dalam berbagai bentuk pemilu.
Dalam menjalani programnya Bawaslu telah mengadakan acara bimbingan teknis yang
terkait dengan kerjasama pengawasan, terutama pada waktu pemilihan Gubernur dan
wakil gubernur Provinsi Bengkulu, bupati dan wakil bupati dengan melibatkan organisasi
kemasyarakatan, NGO, organisasi kepemudaan, dan perguruan tinggi. Bimbingan teknis
yang dilaksanakan bertujuan untuk membangun pengawasan yang partisipatif melalui kerja
sama dengan elemen masyarakat, guna untuk membangun sinergitas agar pengawasan
pemilihan Gubernur dan Bupati dapat berjalan dengan optimal.
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal pada acara-acara semacam ini biasanya dihadiri
langsung oleh Ketua Bawaslu, anggota Bawaslu, dan staf sekretariat Bawaslu. Dalam
penyelenggaraan acara dan kegiatan, bawaslu provinsi biasanya mengikut sertakan peserta
dari perwakilan panwas kabupaten/kota, organisasi kemasyarakatan, NGO, organisasi
kepemudaan dan perguruan tinggi se-Provinsi Bengkulu.
Dengan asumsi bahwa Aktifitas penyelenggaraan pemilihan umum di Provinsi Bengkulu
sebagai tanggung jawab bersama dan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat, maka
Aktifitas pemilihan umum dikomunikasikan sebagai bagian dari kehidupan sosial
masyarakat, tidak hanya sekedar tugas dari penyelenggara pemilu untuk melaksanakan
dan mengawasinya. Masyarakat dapat turut aktif mengawasi proses pemilihan umum.
Sinergitas untuk saling bekerja sama dalam mengawasi setiap tahapan pemilihan umum
penting untuk dilakukan. Atas dasar itu, Bawaslu mengajak agar semua pihak dapat
melakukan kerja sama dan memastikan bahwa setiap proses pelaksanaan pemilihan umum
dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang ada.
2. Bijak, Selektif, dan Komunikatif
Dalam pandangan penulis, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Bengkulu
begitu bijak, selektif, dan komunikatif dalam menjalani tugas pengawasannya, terutama
dalam penanganan pelanggaran temuan dan laporan dari masyarakat. Dalam penanganan
pelanggaran pada saat Pemilu, baik Pemilu legislatif 2014, pemilu presiden dan wakil
presiden 2014 dan pemilu kepala daerah serentak tahun 2015 di provinsi bengkulu Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Bengkulu selalu bijak, selektif, dan komunikatif dalam
menyikapi berbagai bentuk laporan pelanggaran Pilkada yang mereka dengar dan mereka
terima sebelum, selama dan setelah berakhirnya tahapan Pilkada. Mana laporan yang bisa
diterima dan bisa diproses, dan mana laporan yang tidak bisa diterima, dan mana pula
laporan yang telah kadaluarsa.
Sebagai lembaga pengawas Pemilu, Bawaslu Provinsi Bengkulu dalam proses kerja
lembaganya tidak pernah menolak laporan-laporan yang masuk ke Bawaslu, walaupun
setelah mereka teliti dan mereka kaji masih banyak ditemukan laporan-laporan yang sudah
kadaluarsa atau tidak bisa di proses lebih lanjut. Untuk laporan yang sudah masuk
biasanya tidak bisa mereka tolak, tetapi pada saatnya nanti dalam kajian formil dan
materilnya akan dinyatakan, apakah laporan tersebut memenuhi syarat-syarat formil dan
materil. Karena manakala nantinya rata-rata laporan yang masuk tersebut merupakan
laporan peristiwa atau kejadian yang harus dilaporkan maksimal 7 hari setalah peristiwa itu
terjadi, tetapi laporannya baru disampaikan maka bisa saja laporan itu diterima tetapi tidak
bisa diproses dan ditindaklanjuti. Untuk laporan-laporan yang masuk ke Bawaslu, yang
manakala sudah lewat waktunya, dari pengamatan penulis tetap diterima oleh Bawaslu,
namun nantinya akan diteliti dan diseleksi. Kenyataan semacam ini, menunjukkan bahwa
Bawaslu Provinsi telah bekerja dengan bijak dan teliti dalam menyikapi berbagai bentuk
pengaduan dan pelaporan. Selain dengan memberi sikap demikian Bawaslu juga biasanya
menyarankan kepada semua pihak, siapapun yang ingin melaporkan pelanggaran pilkada
agar memahami aturan tentang bagaimana menyikapi berbagai pelanggaran dan
menyampaikan laporan pelanggaran.
Terhadap berbagai bentuk temuan dan laporan pelanggaran, baik pelanggaran
administrasi, pelanggaran kode etik, maupun pelanggaran pidana, Bawaslu Provinsi
Bengkulu telah menyikapinya dengan bijak, selektif, dan komunikatif dan diproses sesuai
dengan regulasi yang telah diatur dalam tata aturan Pemilu. Dari sekian banyak temuan
dan laporan pelanggaran dapat diselesaikan dengan baik dan diterima oleh semua pihak.
Melalui sentra GAKKUMDU semua bentuk pelanggaran dapat diproses secara formal dan
legalistik.
3. Aktif Melakukan Sosialisasi
Kegiatan sosialisasi menjadi kegitan prioritas bagi Bawaslu Provinsi Bengkulu. Bawaslu
menyadari bahwa melalui proses sosialisasi akan memberi pemahaman kepada
masyarakat. Keawaman masyarakat terkait dengan berbagai bentuk laporan pelanggaran
Pemilu menjadi bahan evaluasi bagi penyelenggara Pemilu dan pengawasan Pemilu agar
lebih giat, maksimal dan rutin melakukan sosialisasi kepada semua pihak yang terlibat
dalam Pemilu. Mulai dari masyarakat peserta Pemilu, calon kandidat, sampai kepada tim
dan pasangan calon kandididat. Bawaslu dalam perjalanannya telah mejadikannya sebagai
bahan evaluasi untuk menyelenggarakan Pemilu agar lebih baik dengan melakukan
sosialisasi kepada semua pihak, khususnya kepada calon dan pasangan calon dalam
Pemilu.
Melalui berbagai bentuk sosialisasi yang dilakukan oleh BAWASLU dapat memberi
pemahaman kepada masyarakat secara umum, terutama para pihak dan komponen yang
terlibat dengan kegiatan Pemilu dapat memberi kecerdasan dan mengurangi pelanggaran
dalam Pemilu. Sehingga Bawaslu tidak banyak melakukan penanganan pelanggaran dari
hasil temuan Bawaslu sendiri atau laporan dari masyarakat dan para pihak yang merasa
tidak puas atau dirugikan. Dari pengamatan penulis sosialisasi yang dilakukan oleh Bawaslu
di antaranya ialah sosialisasi tentang hal-hal yang terkait dengan administrasi, kode etik,
dan persoalan-persoalan yang terkait dengan pelanggaran pidana. Sosialisasi ini dilakukan
guna untuk meningkatkan partisipasi publik, terutama kepada para relawan pengawas
pemilu yang elemennya seperti para mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi yang ada
di Provinsi Bengkulu. Baik negeri maupun swasta. Elemen lain ialah komunitas OKP dan
OMS, media massa cetak dan elektronik yang ada di Provinsi Bengkulu melalui Aliansi
Jurnalis Pengawas Pemilu Bengkulu (AJPPB), dan kepada berbagai Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM).
Adapun media sosialisasi yang dilakukan oleh Bawaslu Provinsi Bengkulu melalui iklan
layanan masyarakat di media massa cetak dan elektronik di Provinsi Bengkulu dan
pemasangan himbauan melalui spanduk dan billboard yang dipasang di tempat-tempat
strategis di seluruh penjuru provinsi Bengkulu.
4. Optimalisasi Pemberdayaan Peran Kesekretariatan
Seiring dengan volume keterlibatan saya dalam berbagai Aktifitas pada Bawaslu Provinsi
Bengkulu banyak hal yang membuat saya terkesan dan melekat dalam memori. Upaya
optimalisasi pemberdayaan peran kesekretariatan betul-betul dilakukan dengan penuh
tanggung jawab, kerjasama dan kebersamaan. Komunikasi internal dalam lingkungan
internal Bawaslu, baik selama kegiatan berbagai bentuk pemilu, maupun di luar kegiatan
Pemilu, kesekretariatan Bawaslu berjalan kondusif dan penuh kebersamaan, inovatif dan
kreatif.
Dalam penyelenggaraan Pemilu, Pemilu legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan
pemilihan Kepala Daerah, Badan Pengawas Pemilu Provinsi Bengkulu menggandeng media
massa dan organisasi masyarakat (ormas) untuk melakukan pengawasan, sehingga
penyelenggaraan Pemilu menjadi lebih berkualitas dan demokratis. Menurut mereka media
massa atau pers dan ormas memiliki peran strategis dalam mengawasi Pemilu menjadi
lebih berkualiatas dan demokratis.
Berbagai elemen diharapkan terlibat langsung mengawasi pemilu sehingga kualitas Pemilu
menjadi lebih baik. Dalam penguatan peran ini Bawaslu Provinsi melakukan berbagai
Pelatihan pengawasan Pemilu bagi pekerja media massa dan ormas. Pelibatan dan
kerjasama ini didasari dan dilatarbelakangi karena minimnya kekuatan personil Bawaslu
dalam pengawasan, terutama di Tempat-tempat pemungutan Suara (TPS).
Pelatihan terhadap media massa dan ormas tersebut juga dipandang sebagai upaya untuk
menjalin silaturahmi antara Bawaslu dan insan pers serta ormas yang ada di provinsi
Bengkulu. Insan pers dipandang seringkali lebih cepat menemukan adanya ketidakberesan
dalam penyelenggaraan Pemilu, dibanding petugas Bawaslu.
Di tingkat kesekretariatan BAWASLU Provinsi Bengkulu, meski Bawaslu mengedepankan
pencegahan pelanggaran, namun pada setiap penyelenggaraan Pemilu dalam
kenyataannya mereka juga bersikap dan bertindak lebih tegas, tidak hanya penanganan
pelanggaran tapi juga langsung menindak. Dalam konteks ini juga Bawaslu memandang
bahwa dalam kenyataan di masyarakat ormas merupakan kompetitor partai politik, karena
ormas memiliki massa yang dapat digerakkan untuk menjadi relawan pengawas pemilu.
Oleh karena itu Bawaslu biasanya melakukan berbagai bentuk sosialisasi dan pelatihan
yang biasanya diisi oleh sejumlah pemateri, antara lain dari Bawaslu RI, Komite Pengawas
Pemilih Independen, Persatuan Pewarta Warga Indonesia, dan Komisi Penyiaran Indonesia,
Kepala Biro Humas dan Pengawasan Internal Bawaslu, dan insan-insan pers yang
dianggap berkompeten.
5. Koordinatif
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Bawaslu Provinsi Bengkulu senantiasa melakukan
koordinasi dengan semua pihak yang berkompeten, yang memiliki hubungan keterkaitan
dan emosional dengan penyelenggaraan Pemilu. Baik dalam persoalan internal Bawaslu
maupun persoalan eksternal Bawaslu. Koordinasi yang dilakukan dengan baik akan
membuat lembaga Bawaslu menjadi dinamis dan kondusif.
Di antara bentuk-bentuk koordinasi yang baik dan dinamis itu dari pengamatan penulis
ialah tentang persoalan masa bakti dan masa tugas para Panitia Pengawas Pemilu di setiap
Kabupaten dan Kota. Ketika tugas Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) seluruh
kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu akan berakhir, sesuai dengan SK-nya. Maka
biasanya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Bengkulu akan segera membentuk
tim seleksi untuk melakukan perekrutan terhadap anggota Panwaslu baru. Pembentukan
tim seleksi ini biasanya segera untuk dijadwalkan pada masa sebelum habis waktunya,
selanjutnya mereka menginformasikan dan mengkoordinasikannya kepada semua pihak
yang berkaitan. Mulai dari pembentukan tim seleksi sampai kepada proses pendaftaran dan
menyatakan bahwa pendaftaran sudah bisa dimulai. demikian disampaikan Divisi Hukum
Pelanggaran dan Penindakan (HPP) Bawaslu Provinsi Bengkulu, Ediansyah Hasan SH MH.
Usai pembentukan tim seleksi ini, lanjutnya, tim akan segera menyusun jadwal seleksi
serta agenda lainnya. Para pendaftar juga akan mengikuti proses seleksi seperti sudah
diatur oleh tim tersebut. Adapun materi seleksi, kata Edy, antara lain tes tertulis,
wawancara, tes kesehatan, dan lainnya. “Kita berharap tahapan tes dan seleksi ini sudah
akan dimulai pada September ini, sehingga pada Desember mendatang anggota
panwaslu yang baru sudah bisa dilantik untuk menggantikan yang lama,” jelasnya.
Adapun persyaratannya, Edy menyampaikan untuk menjadi anggota Panwaslu harus
memenuhi syarat khusus seperti memiliki ijazah S1 dan minimal berusia 30 tahun. Selain
itu, juga harus melengkapi beberapa syarat-syarat umum nanti akan ditetapkan oleh tim
seleksi. “Untuk syarat-syaratnya, nanti tim seleksi akan menentukan. Kemungkinan besar
tidak akan jauh berbeda dengan sebelumnya,” pungkasnya.
6. Keterbukaan Dalam Pembentukan Panwaslu
Dalam Pembentukan Panitia Pengawas Pemilu (panwaslu), terutama pada waktu
pembentukan Panitia Pengawas Pemilu (panwaslu) kepala daerah tahun 2015, yang
dilakukan melalui Timsel yang telah dibentuk oleh Bawslu sendiri telah terjadi kerjasama
yang baik antara Bawaslu dengan Tim Seleksi (Timsel) secara terbuka dan penuh tanggung
jawab untuk perekrutan calon Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) kepala
daerah 2015 dengan saling komunikasi dan berkordinasi dalam mematangkan berbagai
bentuk persiapan kegiatan. Menjelang kegiatan akan dibukanya persiapan pendaftaran dan
tahapan-tahapan seleksi, mulai dari pendaftaran hingga pelantikan yang langsung diketuai
oleh saya sendiri (Prof. Dr. H. Rohimin, M.Ag.) bersama-sama dengan anggota Timsel
lainnya di Sekretariat Bawaslu Provinsi Bengkulu berjalan dengan penuh keterbukaan dan
keakraban.
Dalam rapat tersebut saya mengaku dan menyadari bahwa pihak Timsel tidak akan
membatasi jumlah pelamar yang ingin mendaftarkan diri, asalkan memenuhi persyaratan
yang telah ditetapkan. Adapun persyaratan yang harus dipemuhi peserta seperti yang
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum dan Peraturan Bawaslu Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pembentukan,
Pemberhentian, dan Penggantian Antar Waktu Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi.
Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Pemilihan Umum
Kecamatan, Pengawas Pemilihan Umum Lapangan, dan Pengawas Pemilihan Umum Luar
Negeri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum
Nomor 12 Tahun 2014, secara umum adalah Warga Negara Indonesia (WNI).
Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun, mempunyai integritas, pribadi yang kuat, jujur
dan adil, memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang yang berkaitan dengan
pengawasan, berpendidikan paling rendah S1 (Strata Satu), berdomisili di wilayah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk
(dilegalisir).
Selain itu, calon peserta juga harus secara jasmani dan rohani, tidak pernah menjadi
anggota partai politik atau tidak pernah menjadi anggota Partai Politik dalam jangka waktu
5 tahun terakhir dengan melampirkan surat keterangan dari pengurus partai politik bahwa
yang bersangkutan tidak lagi menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu 5 tahun
terakhir, Mengundurkan diri dari jabatan politik, jabatan di pemerintahan dan Badan Usaha
Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah pada saat mendaftar sebagai calon, Tidak pernah
dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau
lebih.
Persyaratan lainnya, mereka harus bersedia bekerja penuh waktu, bersedia tidak
menduduki jabatan politik, jabatan di pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara/Badan
Usaha Milik Daerah selama masa keanggotaan apabila terpilih dan tidak berada dalam satu
ikatan perkaw inan dengan sesama Penyelenggara Pemilu. Adapun teknik melamar sebagai
calon peserta, diinformasikan bahwa peserta harus mengajukan surat lamaran yang ditulis
dengan tinta warna hitam, ditujukan kepada Tim Seleksi calon anggota Panitia Pengawas
Pemilihan Umum Kabupaten/Kota se Provinsi Bengkulu dengan dilampiri fotocopi KTP, pas
foto warna terbaru ukuran 4×6 sebanyak 2 (dua) lembar, Daftar Riwayat Hidup dan
sejumlah persyaratan lainnya yang telah diumumkan.
IV. PANDANGAN
Dari perjalanan panjang Bawaslu Provinsi Bengkulu yang telah dibentuk melalui Tim Seleksi
(TIMSEL), menurut pandangan penulis bahwa Bawaslu Provinsi Bengkulu telah menjalani perannya
sebagai Badan pengawas yang konsisten, proaktif, dan komunikatif. Dalam menjalani Tugas pokok
dan fungsinya, Bawaslu Provinsi Bengkulu telah menunjukkan kinerja yang terprogram dan terukur,
telah memberi kontribusi yang sangat baik, melebihi tupoksinya yang tertuang dalam berbagai
regulasi yuridis. Dalam menjalani tugas-tugasnya tampak lebih mengedepankan pencegahan dan
penanganan pelanggaran melalui sosialisasi kepada semua pihak dan komponen yang terlibat dan
terkait dengan kepemiluan. Namun demikian, bilamana sudah saatnya dan memiliki bukti-bukti yang
kuat Bawaslu juga tetap konsisten untuk tetap menindak pelanggaran yang telah diperkuat dengan
bukti-bukti pelanggaran. Untuk menjalani tugas dan wewenang tersebut Bawaslu juga secara sinergis
bekerjasama dengan ormas yang memiliki massa sebagai kompetitor partai politik yang dapat
digerakkan untuk menjadi relawan pengawas pemilu berbasis masyarakat.
V. PENUTUP
Kehadiran Bawaslu Provinsi Bengkulu telah memberi kenangan eksotik dalam pengabdianku
sebagai akademisi, abdi negara, dan abdi masyarakat. Perkenalanku dengan Bawaslu semakin
mendorong jelajah akademikku yang lebih komprehensif, terutama tentang politik-kenegaraan,
pemerintah, dan birokrasi. Kalau selama ini pergumulanku hanya lebih fokus pada ilmu-ilmu
keislaman dan sebagai Guru Besar bidang agama, keagamaan, dan ilmu-ilmu agama, namun
semenjak keikutsertaanku dengan persoalan kepemiluan, terutama dengan Bawaslu semakin terasa
menjadi lengkap. Dari Perkenalan ini saya merasakan bahwa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
Provinsi Bengkulu sebagai bagian dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu Pusat) telah memberi peran
aktif dalam melaksanakan perannya sebagai Badan pengawasan Pemilihan Umum, baik pengawasan
pada pemilu legislatif tahun 2014, Pemilu Presiden dan wakil presiden Tahun 2014, maupun
pemilihan umum Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) serentak di beberapa kabupaten yang telah
diagendakan pada tahun 2015. Pemilu demi pemilu telah dapat dilaksanakan dengan sukses, aman,
jujur dan adil. Para komisioner Bawaslu bersama-sama dengan kesekretariatan dapat menunjukkan
integritas dan kerjasamanya untuk bersinergi dengan semua stakeholdernya. Bawaslu telah
menunjukkan inovasi dan edukasinya secara komunikatif untuk menjembatani keawaman pengenalan
dan pemahaman masyarakat tentang berbagai bentuk pemilihan umum dan regulasi pelaksanaannya.
Isu Perempuan pada Lanskap Politik Elektoral
Dr. Titiek Kartika Hendrastiti, M.A
Dosen S1 Administrasi Negara, dan S2 Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Bengkulu
Pengantar
Secara makro tulisan ini membicarakan isu perempuan pada lanskap politik elektoral Indonesia;
secara mikro tujuan khusus penulisan ini adalah untuk mendokumentasikan praktik demokrasi di
daerah. Praktik demokrasi di daerah sesungguhnya sangatlah luas, mulai dari gelaran praktik
pemilihan Kepala Desa, yang sejak dulu telah menjalankan praktik demokrasi, sampai pada pemilihan
anggota legislatif dan Pilkada secara langsung. Bahkan di beberapa kampung, pemilihan ketua Rukun
Tetangga (RT) pun telah mengadopsi pemilihan langsung. Beberapa pengalaman daerah
melaksanakan Pilkada secara langsung telah didokumentasikan, antara lain Kartika (2016) untuk
Pilkada Gubernur Bengkulu, tahun 2015.
Selama berselancar di dunia maya, maupun penelusuran dari berbagai tulisan-penulis
menemukan begitu banyak kajian dan dokumentasi tentang isu perempuan dan politik pemilihan.
Yang terbanyak, ternyata, adalah pembahasan wacana, pembelajaran serta dialektika isu politik
keterwakilan perempuan dalam jabatan publik, terutama tentang peningkatan jumlah perempuan
pada lembaga legislatif dan Kepala Daerah.
Kajian tentang posisi perempuan pada lembaga penyenggaraa Pemilu, baik Pileg, Pilkada, dan
Pilpres sudah mulai ada, sayangnya fokus dari kajian lebih banyak untuk lembaga Komisi Pemilihan
Umum (KPU). Sedangkan kajian untuk isu keterlibatan perempuan sebagai pengawas dari proses
pemilihan, yaitu pada Bawaslu, Panwas, masih sangat jarang. Atas dasar itulah maka ujung paper ini
memfokuskan pembahasan pada isu perempuan pada badan pengawas Pemilu dan pembelajarannya
di daerah.
Studi Isu Perempuan dan Politik
Secara akademik masuknya isu perempuan dan gender dalam ilmu politik masih baru. Gerakan
Women‟s Suffrage baru dikenal pada awal abad 20 di Amerika Serikat dan Inggris. Partisipasi
perempuan pada awalnya disuarakan oleh Mary Wollstonecarft pada 1792 (Tansey dan Jackson,
2008).
Area kajian perempuan dan politik sangat luas. Salah satu yang penting adalah kajian
perempuan dan kewareganegaraan. Di Asia tulisan yang berpengaruh diantaranya tulisan Edwards
dan Roces (2004). Dalam tulisan ini, dibeberkan tentang pentingnya narasi perempuan non-Barat,
non-liberal demokratis tentang kewarganegaraan. Sebab paska kemerdekaan isu kewarganegaraan di
negara jajahan masih mengikuti diskursus Barat / kolonial (baca juga tulisan Blackburn, 2004;
Martyn, 2005, Robinson, 2008)
Perempuan dan kewarnegaraan, inclusive citizenship, keterlibatan perempuan dalam organisasi
politik pre-kemerdekaan, gerakan anti subordinasi terhadap perempuan di masa Orde baru,
organisasi perempuan sebagai penyangga kekuasaan Orde Baru. Hak politik perempuan juga sebagai
isu sentral dalam kenegaraan, dan hak asasi (Wardhani, 2014, Partini, 2014, Susilastuti, 2013, Mulia,
2008).
Ada studi-studi yang mengkonsentrasikan kepada isu keterwakilan perempuan, representasi
perempuan di Indonesia (Windyastuti, 2013; Seda, 2013), kuota, affirmative action, zipper system
(Wardhani, 2014; Partini, 2014; Soetjipto, 2005, 2008; Subiantoro, 2014; Susilastuti, 2013; Subono,
2013); Mulia (2008) partisipasi politik perempuan dalam konteks Islam, dan feminisasi politik
(Lovensduski, 2008), serta masih banyak lagi studi seputar perempuan dan politik.
Isu Perempuan pada Lanskap Politik Elektoral
Salah satu inovasi dalam sistem elektoral yang fenomenal adalah sistem kuota, atau juga
terkenal dengan sebutan keterwakilan perempuan, dan diskursus awalnya dengan istilah affirmative
action. Pemikiran tentang politik kehadiran ini sejak semula, di manapun, memang penuh tantangan.
Pada pembahasan perempuan dan lanskap politik elektoral ini memfokuskan pada tiga hal, yaitu:
sistem elektoral, gerakan perempuan, serta politik kewarganegaraan dan partai politik. Setiap sub-
pembahasan selalu dalam konteks kendala dan kemajuan yang dialami oleh perempuan dalam
lembaga dan proses politik.
Konteks Perempuan dan Sistem Elektoral
Salah satu dari tonggak demokrasi adalah sistem pemilihan atau elektoral (Marijan, 2010;
Gaffar, 1999). Sayangnya, perempuan bukan penghuni santuari sistem elektoral itu; elit partai politik
lah pemilik sistem. Konsekuensinya, perempuan adalah pendatang, yang kehadirannya mengganggu
elit partai politik (Subono, 2013: 52). Sebagai instrumen dari demokrasi, politik elektoral pernah
dikembangkan oleh elit partai tanpa mengedepankan dimensi kesetaraan dan keadilan gender, kelas,
kondisi disabilitas, dan etika politik. Pemenuhan prasyarat sistem elektoral sangat mekanistik, dan
berorientasi pada hasil. Karena hasil pemilihan dianggap sebagai indikator telah terjadinya pemilihan.
Subono (2013) menegaskan bahwa dalam politik elektoral mustahil netral, selalu ada
kepentingan terlibat di dalamnya. Kepentingan dalam politik jelas kekuasaan. Kelindan kekuasaan
politik antar pelaku itu berada pada relasi kelas sosial-ekonomi, etnis, dan ras (Seda, 2013).
Windyastuti (2013: 60) meyakini bahwa politik kehadiran adalah ketegasan dari kelompok
perempuan untuk maju dalam suatu kontestasi politik di ruang elektoral. Maka, inovasi ini bukan
hanya himbauan dan belas kasihan; melainkan perlawanan terhadap institusi politik yang baku, baik
secara isu, politik kekuasaan maskulin, maupun siapa yang hadir secara fisik di sana. Tantangan
inilah yang terus mengagalkan perubahan / transformasi pandangan, di mana kekuasaan itu tidak
harus maskulin. Kekuasaan bisa sangat feminin dan inklusif (Mulia, 2008; Lovensduski, 2008).
Subono (2013: 55) mencatat bahwa diskursus aksi afirmatif / keterwakilan perempuan ini
makin popular pada era millennium ini, dan telah digunakan oleh 90 negara di dunia dengan berbagai
ragam inovasinya. Contohnya, 40 negara memberlakukan keterwakilan perempuan dengan dukungan
Undang-Undang tentang Kuota. Kemudian, terdapat 50 negara yang Partai Politiknya secara informal
dan voluntir menggunakan kuota. Partai Politik dari Afrika Selatan, Bolivia, Meksiko, Inggris, Australia
menjamin perempuan pada daftar terpilih. Partai Politik dari Belgia, Namibia, Argentina memiliki
aturan penempatan perempuan dalam daftar calon pasti terpilih.
Hitungannya, bagi perempuan, sistem elektoral proporsional lebih menguntungkan dibanding
sistem distrik. Sistem satu kursi satu distrik akan memangkas kesempatan perempuan mendapat
kursi di distriknya, sebab tokoh masyarakat dan tokoh politik yang berpengaruh di distrik yang
mengikuti pemilihan kebanyakan laki-laki. Praktik di berbagai negara sistem elektoral proporsional
perlu dicermati, sistem elektoral proporsional yang mana, antara tertutup dan terbuka, yang
memungkinkan akses terhadap peningkatan keterwakilan perempuan.
Dari pengalaman negara yang menganut sistem keterwakilan perempuan di Parlemen, mereka
dengan tegas memberlakukan persentase dari jumlah anggota Parlemen. Argentina memberlakukan
keterwakilan perempuan minimal 30 persen dari ballot, aturan keterwakilan perempuan di Italia
sebesar 50 persen dari kartu pemungutan suara (ballot), sedangkan di Brazil keterwakilan perempuan
diberlakukan minimal 20 persen.
Catatan IPU tentang data keterwakilan perempuan di Parlemen tahun 2013 menunjukkan
bahwa negara dengan persentase keterwakilan perempuan yang setara bukan hanya di dominasi oleh
negara maju, negara yang baru saja lepas dari tragedi genosida seperti Rwanda mampu membawa
isu keterwakilan perempuan dalam Parlemen dengan sukses. Sementara negara adidaya seperti
Amerika Serikat memperlihatkan persentase yang tidak memadai. Negara Nordik memang
mendahului mencapai angka persentase yang baik, tetapi mereka pernah mengalami situasi yang
sangat sulit untuk memperjuangkannya. Sampai dengan tahun 2009 pun di Amerika Serikat
keterwakilan perempuan di lembaga publik masih menjadi persoalan.
Tabel 1 : Data IPU tentang Persentase Keterwakilan Perempuan pada Parlemen
No Negara Persentase
1 Rwanda 63,8
2 Swedia 45
3 Finlandia 42,5
4 Norwegia 39,6
5 Perancis 26,9
6 Inggris 22,5
7 Amerika Serikat 17,8
Sumber: diolah dari Wardhani (2013: 17)
Perlawanan perempuan dalam bentuk politik representasi (kehadiran) pada lanskap politik
elektoral ini menghadapi sandungan berat di 3 lokus. Hasil penelitian Windyastuti (2013) di dua
Provinsi, Jawa Timur dan Sulawesi Utara, menunjukkan bahwa lokus konstestasi politik bagi
perempuan ada: (a) seleksi diri – apakah perempuan Caleg memiliki ambisi, sumberdaya, dan
peluang personal untuk dipilih. Perhitungan rasional atas outcomes, cost dan benefits adalah lokus
penting dari awal kontestasi. (b) Partai Politik – di Indonesia, seleksi penyusunan Caleg tidak jelas.
Penelitian itu menunjukkan adanya sistem patronage-oriented yang sangat kental berlaku di internal
Partai. (c) dalam Pemilu – tentu pemilih adalah lokus penting dalam kontestasi politik. Apakah pemilih
sadar dan berani memilih wakil perempuan untuk membawa aspirasinya. Sebagai pembanding,
penjelasan Mulia (2008) tampak bahwa politik feminin itu suatu keniscayaan.
Konteks Gerakan Sosial
Seluruh literature menyetujui bahwa gerakan global untuk meningkatkan keterwakilan
perempuan telah berlangsung relatif lama. Catatan Bystydzienski (1995) sejak tahun 1950an dan
1960an gerakan perempuan menuntut akses perempuan terhadap perbaikan upah buruh, persamaan
upah dengan buruh laki-laki, serta representasi perempuan di area publik yang setara dengan laki-laki
– telah menguat di dunia. Bahkan pada gelombang gerakan perempuan kedua, fokus untuk posisi
perempuan dan persamaan akses untuk posisi publik strategis makin disuarakan terang-terangan.
Arus kuat ini pula yang mendorong gerakan perempuan di Norwegia, misalnya, menurut
Bystydzienski mengukuhkan gerakan di dalam negerinya untuk bekerja lebih serius pada isu
perempuan dan politik elektoral.
Di Norwegia, argumentasi gerakan perempuan tentang pentingnya politik keterwakilan dalam
lembaga publik adalah karena laki-laki wakil rakyat tidak mampu menegosiasikan nilai kepentingan
perempuan:
“… women and men have fundamentally different experiences in terms of how they live in and
see the world, mainly because of division of abor by sex, only women representatives can truly
bring the views of women into government and other institutions …” (Bystydzienski, 1995: 44).
Belajar dari pengalaman Norwegia itu, tampak bahwa keberhasilan meningkatkan persentase
keterwakilan perempuan di Parlemen pada semua tingkatan itu baru dimulai pada era Pileg tahun
1971 (Bystydzienski, 1995: 45). Maka, hasil Pileg tahun 1971 itu populer dengan sebutan “women‟s
coup”. Melalui gerakan feminis yang berusaha menciptakan iklim politik yang mampu membuka akses
perempuan ke ruang publik – kerja keras itu berhasil meyakinkan pemilih untuk memilih wakil
perempuan lebih banyak. Bukti kerja keras itu antara lain peningkatan persentase keterwakilan
perempuan di tiga kota besar, yaitu Asker dari 26 persen ke 57 persen, Oslo dari 28 persen ke 56
persen, dan Trondheim dari 20 persen ke 54 persen. Sementara enam kota lain keterwakilan
perempuan memperoleh 40 persen dari seluruh kursi. Hanya 20 dari 444 DPRD tanpa representasi
perempuan. Secara keseluruhan Pileg tahun 1971 mengantarkan kenaikan proporsi perempuan di
DPRD dari 9,5 persen ke 14,8 persen.
Selama ini gerakan perempuan di Norwegia banyak bergerak di balik layar, mulai dari
kampanye membisikkan isu keterwakilan (whisper campaigning) – menjangkau pimpinan industry,
serikat pekerja, politisi Partai Politik. Karena di Norwegia masih banyak penganut konservatisme,
terutama dalam memandang perempuan dalam politik. Perempuan kader Partai Konservatif dan
Partai Demokratik Kristen tidak mau disebut sebagai feminis, meski mereka bekerja keras untuk
memperjuangkan peningkatan representasi perempuan di politik.
Pengalaman Norwegia, untuk pemajuan perempuan di publik dan politik, harus melalui upaya
terorganisir. Dan gerakan perempuan memainkan peran penting dalam lanskap perempuan dalam
politik elektoral. Gerakan perempuan juga perlu membuat pembagian kerja pada: organisasi gerakan,
pengkajian diskursus/wacana, dan aktiovisme pada sistem politik / sistem elektoral.
Pileg tahun 1971 menjadi tonggak pergerakan di Norwegia yang sangat menggugah. Dari
situasi sebelumnya yang penuh kritik habis oleh politisi laki-laki , Parpol, dan pers, tidak mendapatkan
dukungan pemilih, serta kegamangan Caleg perempuan karena kalah di Pileg sebelumnya, hasil Pileg
1971 telah membawa momentum adanya perubahan UU Pemilihan Umum. Pada Pileg selanjutnya,
angka persentase keterwakilan perempuan terus merangkah naik. Perubahan tersebut bukan hanya
mengantarkan perempuan meraih power di dalam system yang eksis, perempuan juga bisa merubah
kondisi masyarakat melalui kebijakan di Parlemen.
Gerakan perempuan terus melakukan perbaikan strategi dan meluaskan agenda. Pada tahun-
tahun berikutnya, misalnya mengusung kampanye 50 persen perempuan di semua posisi publik top
Norwegia, mulai dari (a) Partai Politik, (b) perempuan memperoleh 2 tahun ekstra pendidikan, (c)
perempuan punya kemerdekaan penuh dalam ekonomi. Gerakan perempuan makin menampak
(visible) dan menguat, serta menekan Partai Politik lebih kuat.
Di tanah air, berkat aktivisme gerakan perempuan Indonesia, maka diskursus affirmative action
(dibahasakan menjadi isu keterwakilan perempuan) menjadi agenda penting dalam politik pemilihan
dua dasawarsa ini. Prinsip keterwakilan perempuan akhirnya masuk dalam instrument hukum
Indonesia, tepatnya pada UU Pemilu, UU Partai Politik (Partini, 2014: 31-33). Pada Pemilu tahun
2002, keterwakilan perempuan sudah masuk dalam UU Pemilu, namun substansi UU itu hanya
menjamin keterwakilan perempuan pada daftar calon pada Pileg. Respon dari instrumen penjamin
hak politik perempuan itu nyatanya hanya menghasilkan perempuan pada nomor sepatu.
Ada kemajuan setapak pada instrumen hukum untuk Pemilu 2009 (Partini, 2014). Pada UU No.
10 Tahun 2008 disebutkan bahwa minimal 30 persen kepengurusan partai Politik harus
mengikutsertakan kader perempuan. Pada daftar calon legislatif (Caleg) perlu disusun sedikitnya satu
caleg perempuan dari setiap tiga caleg (zipper system). UU tersebut diperkuat dengan PKPU No. 18
Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa Partai Politik perlu melapor kepada KPU apabila tidak mampu
memenuhi minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar Caleg yang diusulkan pada
Pemilu.
Nexus Perempuan dan Politik Elektoral, Perempuan dan Partai Politik
Tentang citizenship, selama ini selalu berkaitan dengan pengalaman hidup bangsa-bangsa
Barat. Ini berkaitan dengan apakah embodiment of feminism sama dengan embodiment of citizenship
?. Pertanyaan itu penting bagi Edwards dan Roces (2004). Di Asia, negara mengadopsi konsep
kewarganegaraan Barat, memelihara konstitusi struktur hierarkhi patriarkal yang meninggalkan
perempuan. Konsekuensi nya perempuan Asia hanya berperan sebagai perawat tradisi, bukan subyek
dari politik.
Struktur sosial yang patriarkal ternyata tidak terjadi hanya di Asia, Dolan (2014) mencatat
bahwa di Amerika Serikat pun sampai sekarang masih berjangkit steriotip itu. Kehidupan politik bagi
perempuan boleh visibel, dan pencalonan perempuan untuk posisi apapun terbuka; namun dalam
setiap debat selalu muncul pertanyaan yang steriotip dan seksis. Misalnya apakah perempuan
kandidat bisa meramu keharmonisan antara peran publik yang berat itu sambil menjadi istri yang
baik, ibu yang baik, dan perempuan yang baik. Kemampuan perempuan kandidat Presiden, Jaksa
Federal, Gubernur, Senat – masih diragukan, terutama berkaitan dengan multi-peran nya sebagai
perempuan. Pemilih memperhitungkan dari jenis kelamin – yang diasosiasikan dengan steriotip
gendernya, dibanding prestasi gemilang nya dalam karir sosial dan politik.
Studi tentang perempuan dan negara memperlihatkan gambaran yang belum menyenangkan.
Disebutkan oleh Wardhani (2014), juga oleh Darwin (2008) bahwa nexus perempuan dan negara
adalah dalam kerangka predatory dan clientalistic. Dalam relasi yang demikian, tentu menunjuk pada
hubungan yang pasif; dan sampai saat ini pembahasan posisi seperti itu hanya menjadi pembahasan
terbatas, hanya diantara kaum perempuan dan aktivisme gerakan perempuan. Di ruang publik, relasi
ini tidak menjadi perdebatan yang prioritas.
Ada yang menarik dalam pembahasan keterlibatan perempuan dalam politik; disebutkan oleh
Wardhani (2014) dan Partini (2014), isu ini sebagai fenomena inclusive citizenship, seperti juga studi
perempuan dan Negara (Edwards dan Roces, 2004; Mulia, 2008; Martyn, 2005; Blackburn, 2004).
Artinya perempuan sebagai warganegara memiliki hak dan kewajiban untuk aktif dalam arena politik.
Keterlibatan perempuan bukan hanya manifest pada daftar Caleg Partai Politik, melainkan
keterlibatan pada penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada. Mengisi posisi strategis pada lembaga
penyelenggara juga masuk dalam konteks hak politik, dan isu kewarganegaraan (inclusive citizenship)
di atas.
Selanjutnya, menurut Partini, kewarganegaraan merupakan instrumen dasar untuk memberi
peluang kepada individu, termasuk perempuan, untuk berpartisipasi dalam politik. Partisipasi politik
meliputi seluruh keterlibatan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dari berbagai
kebijakan negara, atau disebut sebagai “…manifestasi dari partisipasi kewarganegaraannya dan
sebagai pemenuhan hak-hak sebagai warganegara” (Partini, 2014:25). Dengan argumentasi itu,
warganegara memiliki hak yang tidak bisa dihalangi dalam rangka ikut serta di ranah publik. Ruang
inilah yang cukup jelas, mengapa perempuan punya hak untuk mengisi peluang dalam berpartisipasi
politik. Partisipasi politik bermakna luas, bukan hanya sebagai Caleg dan pemilih saja, melainkan
akses untuk terlibat dalam lembaga dan proses penyelenggaraan Pemilu.
Pemikiran Seda (2013: 81) membenarkan bahwa keterlibatan perempuan dalam politik
elektoral, lokusnya ada pada strategi dalam Pemilu, yaitu (a) lembaga penyelenggara perlu berpihak
(tidak bersikap imparsial) kepada perempuan, khususnya dalam proses penetapan daftar Caleg, dan
(b) pada pendidikan pemilih (voters‟ eduction) baik kepada kelompok laki-laki dan perempuan.
Pembelajaran tentang pentingnya dukungan KPU sebagai penyelenggara untuk memastikan
realisasi dari diskursus keterwakilan, terutama pada daftar Caleg Parpol merupakan kunci penegakkan
hukum. Demikian juga dengan Lembaga Pengawas Pemilu di semua tingkatan, ada tantangan soal
keterwakilan dan kesadaran keadilan gender (awareness rising) itu.
Studi tentang pelaksanaan penyelenggaraan Pilkada Provinsi Bengkulu tahun 2015 (Kartika,
2016) membuktikan bahwa seluruh tahapan penyelenggaraan Pilkada bermuatan politis dan strategis.
Mulai dari perencanaan, penyusunan pedoman teknis, pebentukan badan ad.hoc, pengelolaan data,
proses pengadaan dan distribusi logistik, dan penetapan pemenang Pilkada – tidak ada satu area pun
yang luput dari makna politis. Semuanya ada potensi untuk “dimainkan” dalam rangka menuju kursi
kekuasaan. Namun studi itu juga menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan secara konseptual
sangat rendah; posisi strategis masih dipegang sumberdaya laki-laki. Pada pembentukan panitia
ad.hoc reservasi untuk perempuan belum menjadi agenda penting. Peluang perempuan terlibat dalam
proses penyelenggaraan tergantung pada komitmen tim seleksi. Yang mana tim seleksi ini juga
ad.hoc tanpa mandate. Kebanyakan perempuan hanya bekerja pada tahapan Pilkada sebagai pekerja
lepas.
Catatan dari Pemilu Legislatif 2014 disamping upaya meningkatkan jumlah Caleg perempuan,
caleg lama yang maju lagi (re-run) dalam Pemilu banyak yang berhasil masuk pada urutan ke 1
sampai dengan ke 3. Meski sangat nyata bahwa kader perempuan di Partai Politik masih rendah,
apalagi yang menduduki posisi strategis Partai.
Menggiring Isu pinggiran ke isu sentral:
Isu representasi – isu perempuan dibawa oleh siapapun yang menjadi wakil rakyat di lembaga
legislatif dan lembaga pengambilan keputusan publik. Isu kehadiran – perlu kehadiran perempuan
secara fisik di legislatif, dan semua institusi pengambilan keputusan.
Susilastuti (2013) menulis tentang pilihan-pilhan diskursus peningkatan keterwakilan
perempuan. Dikatakannya bahwa ada transformasi yang signifikan tentang politik gagasan dan politik
kehadiran. Politik gagasan percaya bahwa institusi pengambilan keputusan masih domain laki-laki dan
pemilih cenderung memilih legislator laki-laki dibanding perempuan. Maka, argumentasi penganut
politik gagasan – kalau ada penguatan terhadap legislator laki-laki, maka isu kritis perempuan dapat
di titipkan. Fenomena ini sama dengan yang dialami oleh gerakan perempuan di Norwegia lima
dasawarsa lalu (Bystydzienski, 1995).
Seda (2013: 79) menegaskan bahwa politik keterwakilan perempuan merupakan proses
politisasi feminin dan proses feminisasi politik. Dengan memakai diskursus keterwakilan perempuan,
negara menempuh jalan mengarusutamakan keadilan dan kesetaraan gender dalam politik. Langkah
itu guna mendorong peningkatan kesadaran berpolitik dengan perspektif adil gender, dan berpihak
kepada perempuan dan kelompok marginal lain (bisa laki-laki dan perempuan). Dengan demikian,
maka pihak manapun yang menggunakan instrumen keterwakilan perempuan melakukan
transformasi terhadap proses politik menuju kondisi lebih adil.
Argumen itu mendapat tantangan dari pandangan politik kehadiran. Perbincangan tentang
pentingnya kehadiran perempuan di Parlemen mutlak dibutuhkan. Disamping melakukan perubahan
partisipasi politik, dari dominasi laki-laki ke situasi faktual keseimbangan laki-laki dan perempuan
dalam lembaga pengambilan keputusan; faktanya legislator laki-laki gagal membawa agenda krusial
perempuan. Proses menggeser isu krusial perempuan melalui aktivisme legilaslator laki-laki tidak
mengalami kemajuan yang progresif, karena secara sosial ideologi dan peran mereka berbeda
(gender interest).
Pertimbangan yang muncul mengikuti argumentasi politik kehadiran adalah pertanyaan klise
“…apakah legislator perempuan mampu menjadi representasi bagi perempuan warganegara yang
lain, yang membawa isu kritis perempuan ?”. Susilastuti (2013) menyebutkan bahwa kapasitas
perempuan dalam politik menjadi salah satu hal yang perlu dibahas. Sebab kondisi sumberdaya
perempuan menjadi prakondisi dari dukungan konstituen. Persoalan dukungan terhadap Caleg
ataupun perempuan pemimpin lain sebenarnya bukanlah soal hukum. Rintangan perempuan di
Parlemen, misalnya, menghadapi problem kultural, terutama nilai dan pandangan masyarakat tentang
binari publik – privat, yang berdampak pada penempatan perempuan pada wilayah reproduktif. Oleh
Susilastuti (2013: 18) dampak itulah yang menjauhkan perempuan dari posisi produktifnya. Meski
fenomena itu bervariasi menurut kelas, etnis, praktik agama, dan skop desa-kota.
Perempuan pada Lanskap Politik Penyelenggara
Partisipasi perempuan dalam penyelenggaraan Pemilu adalah realisasi dari politik kehadiran.
Keterlibatan perempuan dalam pengawasan pelaksanaan Pemilu, misalnya, adalah bagian dari
agenda politik kehadiran di atas. Keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara Pemilu menjadi
indikator dari kredibilitas dan legitimasi penyelenggaraan Pemilu yang demokratis. Dengan kata lain,
ketidakhadiran perempuan pada pengambilan keputusan strategis di lembaga penyelenggara Pemilu
menunjukkan masih adanya diskriminasi.
Partai Politik adalah ruang publik dan target lokasi (venue) yang krusial untuk perubahan
wacana representasi perempuan dalam politik. Kalau menapaki pengalaman Norwegia, maka
advokasi ke Partai Politik adalah salah satu strategi kunci. Menekan pimpinan Partai Politik untuk
menerima kuota, paling tidak 40 persen laki-laki dan 40 persen perempuan kader di semua tingkatan
masuk kandidat dalam Pemilu. Hasilnya, Eva Kolstad terpilih sebagai ketua Partai Liberal tahun 1974,
dan Berit As sebagai ketua Partai Sosialis pada tahun 1975. Partai lain membuat perubahan dan
berkomitmen terhadap isu keterwakilan, kepemimpinan dan posisi perempuan kader Partai
(Bystydzienski, 1995: 47).
Perempuan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemilihan Umum
Pengawasan penyelenggaraan Pemilu di Tingkat Provinsi dilaksanakan oleh Bawaslu. Banyak
dokumentasi berbentuk Laporan Penyelenggaraan yang dihasilkan Bawaslu dan KPU di semua
tingkatan. Sayangnya, banyak dokumentasi laporan tersebut yang belum dikaji dan dianalisis,
sehingga belum dapat diketahui proses dan pembelajaran apa yang dapat dicapai dari
penyelenggaraan dan pengawalan proses sistem elektoral itu.
Dokumentasi penyelenggaraan Pilkada Gubernur Bengkulu tahun 2015 sudah dibukukan oleh
KPU Provinsi Bengkulu, bekerjasama dengan Yayasan Pustaka Obor Indonesia (Kartika, 2016).
Naskah ini menjadi menyempurna dari kajian penyelenggaraan Pemilu yang telah di susun tersebut.
Keistimewaan dari manuskrip ini, ada pada kajian perspektif perempuan dari politik elektoral di
daerah.
Tantangan dalam menulis dokumentasi penyelenggaraan pengawasan Pemilu oleh Bawaslu
dari perspektif perempuan terutama ada pada kelangkaan data tentang jumlah dan persentase
keterlibatan perempuan dalam pengawasan itu. Penulis menduga, pemahaman keterwakilan
perempuan mengalami distorsi di tingkat praksis. Di mana isu keterwakilan perempuan hanya
dimaknai sebagai isu yang perlu diperjuangkan pada daftar Caleg, Calon Kepala Daerah, dan posisi
perempuan pada kepengurusan Partai Politik.
Isu keterwakilan perempuan pada lembaga penyelenggaraan sistem elektoral lepas dari
perhatian. Sehingga keterlibatan perempuan pada lembaga penyelenggara hanya memenuhi sampai
di tingkat yang sangat kurang strategis. Penelaahan kerja KPU Provinsi Bengkulu pada Pilkada
Gubernur tahun 2015 (Kartika, 2016) menunjukkan bahwa isu keterwakilan sangat rendah. Proses
rekrutmen badan ad.hoc untuk Kecamatan, apalagi Kelurahan samgat sulit untuk memenuhi
keterwakilan perempuan.
Deskripsi kerja dari Divisi Pengawasan Bawaslu terdiri atas dua ranah, yaitu internal dan
eksternal. Pengawasan internal dirinci sebagai berikut: (1) Melakukan rekruitmen Panwaslu
Kabupaten dan Kota se-Provinsi Bengkulu; (2) Melakukan bimbingan teknis dan rapat kerja dengan
seluruh jajaran di setiap tingkatan; (3) Melaksanakan rapat-rapat koordinasi pengawasan; (4)
Melakukan pemetaan kerawanan pemilu; (5) Menyusun strategi pengawasan; dan (6) Melakukan
evaluasi akhir pengawasan. Dari deskripsi tugas pengawasan internal tersebut, semua penting untuk
lokus isu keterwakilan perempuan.
Pertanyaannya, dan yang terpenting bagi hak politik perempuan adalah pada rekrutmen,
apakah isu representasi perempuan menjadi pertimbangan dalam proses rekrutmen. Kalau di tingkat
pertama itu gagal, maka di setiap proses akan meniadakan representasi perempuan. Artinya proses
pelaksanaan dan penyelenggaraan sistem elektoral di daerah masih timpang. Timpang dengan
rendahnya peran perempuan pada proses elektoral itu.
Pengawasan eksternal yang menjadi tugas pokok Bawaslu antara lain: (1) Menjalin kerjasama
dengan stakeholder terkait (Pemda, Polri, Kejaksaan, dan KPU); (2) Membina kerjasama dengan
mitra pengawas pemilu (OMS, OKP, Media dan Perguruan Tinggi); (3) Melakukan MOU dengan KPU,
KPID dan KIP Bengkulu; (4) Meminta masukan dan saran dari tokoh agama dan masyarakat tentang
pengawasan yang partisipatif; (5) Sosialisasi tolak money politik. Melalui media dan penyebaran stiker
tolak politik uang.
Memakai kerangka pemikiran Mulia (2008), Partini (2014) dan Susilastuti (2013) di mana
keterwakilan perempuan itu bermakna luas, meliputi semua hak dan kewajiban politik warganegara –
maka konten pengawasan eksternal Bawaslu itu, secara eksplisit, belum memenuhi prinsip
keterwakilan. Khususnya pada poin ke-empat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat
adalah laki-laki. Artinya masukan dan pengawasan yang partisipatoris menjadi gambaran
ketidakhadiran pemikiran perempuan. Belum ada perubahan arah politik dari yang maskulin ke
feminin.
Divisi Pengawasan Bawaslu membuat pelaporan tentang data pengawasan pemutakhiran
pemilih pada Pilpres dan Pileg tahun 2014. Potret data adalah sebagai berikut:
Figur 1 : Perbandingan Data Antara Pilpres dan Pileg, 2014
Sumber: Divisi Pengawasan Bawaslu, 2015
Perubahan data pemilih sementara dan pemilih tetap pada Pilpres dan Pileg bisa dipandang
sebagai hal yang biasa. Tetapi melihat data itu dari perspektif perempuan tampak bahwa data netral
gender – tidak mampu menjelaskan bagaimana tren aktualisasi hak politik antara warganegara laki-
laki dan perempuan. Pemajuan keterlibatan perempuan dalam Pilpres dan Pileg belum bisa
digambarkan di sana. Lalu, bagaimana fungsi pengawasan bisa efektif, apabila kondisi data tidak
terpilah.
Mari sekali lagi kita simak figur data pemutakhiran antara Pilpres dan Pileg dari Bawaslu
berikut:
Figur 2 : Data Perbandingan Pengawasan dan Pemutakhiran Antara Pilpres cdan Pileg
Sumber: Divisi Pengawasan Bawaslu, 2015
Pada tahapan pemutakhiran data pemilih untuk Pilpres dan Pileg, kembali kita tidak bisa
melihat tren perubahan antara kelompok pemilih laki-laki dan pemilih perempuan. Fenomena ini
menjadi tantangan di masa depan, terutama untuk melihat kemajuan kesadaran menggunakan hak
politik pada sistem elektoral.
Komisioner Bawaslu Provinsi Bengkulu memiliki proporsi 33 persen, atau satu diantara tiga
anggota Komisioner adalah perempuan. Tetapi di tingkat Panwas, angka persentase tersebut masih
jauh dari harapan.
Untuk melihat lanskap perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilihan, bisa dilihat dari
proporasi alokasi sumberdaya manusianya. Laporan Divisi Sumberdaya Manusia (SDM) Bawaslu
menunjukkan gambaran sebagai berikut:
Tabel 2 : Sumberdaya Manusia Pendukung Fungsi Pengawasan Penyelenggaraan Pemilu
Sumberdaya
No Jenis kelamin Bawaslu Panwaslu Panwascam PPL
Kab/Kota
Laki-laki 2 23 294 2.127
1. 1 7 84 470
Perempuan
Jumlah 3 30 378 2.597
Sumber: Divisi SDM dan Organisasi Bawaslu Provinsi Bengkulu
Melihat gambaran SDM yang terlibat dalam lembaga Pengawasan Penyelenggaraan Pemilu
pada Tabel 1 di atas, maka rentang fungsi pengawasan sangat luas; melibatkan begitu banyak
warganegara dalam proses elektoral. Table 1 di atas, sekaligus memberi penjelasan betapa
keterlibatan perempuan dalam penyelenggaraan masih relatif kecil. Kajiannya mirip dengan
tantangan pada perempuan Caleg, yaitu dirinya sendiri, Partai Politik, dan budaya politik pemilih.
Pada keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara Pemilu, baik Pileg maupun Pilkada,
prediksinya adalah ada persoalan pada keinginan perempuan berkapasitas untuk terlibat dalam
lembaga penyelenggaraan, iklim lembaga penyelenggara, dan tim seleksi – yang juga masih kental
budaya maskulinitas nya dan memandang keterbatasan perempuan pada tugas berat penyelenggara.
Kalau kita masuk ke dalam lembaga, kekuatan kesekretariatan dari Lembaga Pengawasan
Pemilu dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 3 : Komposisi SDM Sekretariat Bawaslu dan Panwaslu di lingkungan Provinsi Bengkulu
Sekretariat
No Jenis Bawaslu Panwaslu Kab/Kota Panwascam
Kelamin PNS Non PNS PNS Non PNS
1. Laki-laki 6 17 32 74 450
Perempuan 4 4 18 36 180
Jumlah 10 21 50 110 630
Sumber: Divisi SDM dan Organisasi Bawaslu Provinsi Bengkulu
Bagaimana kita membaca data Tabel 2 di atas, tentu sama dengan membaca Tabel 1. Birokrasi
kita memang masih jalan lebih lambat dari ranah politik. Prinsip keterwakilan perempuan belum bisa
mengejar angka minimal 30 persen, atau seperti yang diperjuangkan di negara-negara Nordik ketika
mereka berjuang untuk politik, mereka juga sekaligus memperjuangkan semua posisi strategis publik,
termasuk birokrasi. Tampak bahwa birokrasi penunjang kerja komisioner ditentukan oleh otoritas
politik setempat. Jadi penempatan pegawai, terutama PNS yang strategis di lembaga penyelenggara
sifatnya dekat dengan politik. Pada keputusan penempatan itu, PNS perempuan dengan kapasitas
yang sama masih mendapat tantangan atas peran-peran reproduktifnya yang dianggap menghambat
proses elektoral.
Hasil evaluasi internal Divisi SDM dan Organisasi Bawaslu Provinsi Bengkulu, secara umum ada
rekomendasi, antara lain: (a) Bawaslu melaksanakan BIMTEK per divisi, (b) Bawaslu menerbitkan
SOP, (c) Adanya sosialisasi yang berjenjang, (d) Melakukan Sharing, refreshing, upgrading.
Kesadaran adanya “diskriminasi” tentang keterlibatan perempuan, sebagai hak politik warganegara
pun tidak muncul dari lembaga ini. Membaca Laporan Bawaslu, maka penulis mencatat bahwa
perjalanan politik elektoral kita, terutama pada keterlibatan perempuan di lembaga penyelenggara
masih lebih jauh / lama lagi – bahkan dibanding fenomena keterwakilan di Parlemen.
Epilog
Isu keterwakilan perempuan pada lanskap politik elektoral sudah diakui: ada perubahan
progresif pada substansi perundang-undangan dan pedoman penyelenggaraan. Ada kemajuan jumlah
perempuan yang berani maju ke arena kompetisi Lembaga Legislatif dan Kepala Daerah. Meski elit
Partai Politik relatif enggan untuk melepas pengaruhnya untuk Caleg, kecuali dalam konteks dinasti,
setidaknya mereka tahu ada regulasi.
Fakta tentang keterwakilan perempuan pada penyelenggara tidak banyak dibahas, tidak
banyak dokumentasi penyelenggaraan menyebut kontribusi perempuan. Keterlibatan perempuan
dalam penyelenggaraan sistem elektoral bukan pada posisi strategis, kalaupun ada proporsi nya
masih kecil. Perspektif keadilan gender dan afirmasi belum menjadi mainstream dalam
penyelenggaraan. Padahal ranah penyelenggaraan adalah lokus yang strategis dalam menjamin
terpenuhinya keterwakilan perempuan. Kajian tentang gender steriotip pada lembaga penyelenggara
sistem elektoral perlu dilakukan, mengingat studi tentang area itu masih sangat jarang.
Referensi
Blackburn, Susan, 2004, “Women‟s Suffrage and Democracy in Indonesia”, dalam Louise Edwards and
Mina Roces, Women‟s Suffrage in Asia: Gender, Nartionalism, and Democracy, London – New
York, Routledge Curzon
Bystydzienski, Jill M., 1995, Women in Electortal Politics: Lessons from Norway, Connecticut - London,
Praegar Publishers
Darwin, Muhadjir, 2005, Negara dan Perempuan: Re-orientasi Kebijakan Publik, Yogyakarta: Grha
Guru dan Media Wacana.
Dolan, Kathleen, 2014, When Does Gender Matter ? : Women Candidates and Gender Stereotipes in
American Elections, Oxford – New York, Oxford University Press
Edwards, Louise and Mina Roces, 2004, Women‟s Suffrage in Asia: Gender, Nationalism, and
Democracy, London – New York, Routledge Curzon
Kartika, Titiek, 2016, Penyelenggaraan Pilkada Gubernur Bengkulu 2015: Suatu Catatan Pengetahuan
tentang Demokrasi di Daerah, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Lovensduski, Joni, 2008, Politik Berparas Perempuan, Yogyakarta, Penebir Kanisuis
Maridjan, Katjung, 2010, Sistem Politik Ondonesia: Konsolidasi Demokrasi Paska Orde Baru, Jakarta,
Kencana
Martyn, Elizabeth, 2005, The Women‟s Movement in Post-Colonial Indonesia Gender and Nation in A
New Democracy, London – New York, Routledge
Mulia, Siti Musda, 2008, Menuju Kemandirian Politik Perempuan: Upaya Mengakhiri Depolitisasi
Perempuan di Indonesia, Yogyakarta, Kibar Press
Partini, 2014, “Partisipasi Politik Perempuan dalam Praktik Kewarganegaraan di Indonesia”, dalam
Jurnal Perempuan 81, Vol. 19, No.2, hal. 29 - 46
Robinson, Kathryn, 2008, “Islamic Cosmopolitics, Human Rights and Anti-Violence Strategies in
Indonesia”, dalam Pnina Werbner (ed.), Anthropology and the New Cosmopolitanism Rooted,
Feminist, and Venacular Perspectives, Oxford International Publishers, Ltd, Oxford – New York,
hal. 111 – 134
Seda, Francisia SSE, 2013, “Strategi Pengarusutamaan Gender dalam Pemilu 2014”, dalam Jurnal
Perempuan 79, Vol.18, No.4, November 2013, hal. 71 – 84.
Subono, Nur Iman, 2013, “Partisipasi Perempuan, Politik Elektoral dan Kuota: Kuantitas, Kualitas,
Kesetaraan ?”, dalam Jurnal Perempuan 79, Vol.18, No.4, November 2013, hal. 43 – 57
Susilastuti, Dewi Haryani, 2013, “Kepemimpinan Perempuan: Perubahan Paradigma dari Politik
Gagasan ke Politik Kehadiran”, dalam Jurnal Perempuan 79, Vol.18, No.4, November 2013, hal.
7 – 21
Tansey, Stephen and Nigel Jackson, 2008, Politics: the Basics, London – New York, Routledge
Wardhani, 2014, “Status Perempuan sebagai Warga negara dalam Paradigma Inclusive Cirizenship”,
dalam Jurnal Perempuan 81, Vol. 19, No.2, hal. 7 – 28.
Windyastuti, Dwi Budi Hendrarti, 2013, “Perempuan Menuju Kursi Parlemen Tahun 2014: Membangun
Asertivitas Perempuan pada Kekuasaan Politik”, dalam Jurnal Perempuan 79, Vol.18, No.4,
November 2013, hal. 59 – 69.
Peran Bawaslu dalam Pileg, Pilpres dan Pilkada
Zacky Antoni, S.H., M.H.
Pimpinan Redaksi Harian Rakyat Bengkulu
The will of the people shall be the basis of the authority of government; this will shall be expressed in
periodeic and genuine elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by
secret vote or equivalent free voting procedurs.”
(kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa; kemauan ini dinyatakan dalam pemilihan yang
berkala dan jujur yang dilakukan dengan hak pilih yang sifatnya umum dan sama, dan dilakukan
dengan pemungutan suara yang sifatnya rahasia atau dengan cara lain yang menjamin kebebasan
mengeluarkan suara). Pasal 21 ayat (3) the Universal Declaration of Human Rights.
PENDAHULUAN
Pemilu (election) merupakan salah satu instrument penting dalam negara demokrasi. Para ahli
punya kesamaan pendapat bahwa ciri utama sebuah negara demokrasi adalah penyelenggaraan
Pemilu yang rutin (berkala). Ada negara menyelenggarakan Pemilu setiap 4 tahun sekali seperti
Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan (Korsel). Ada pula lima tahun sekali seperti Indonesia.
Dalam rentang waktu 71 tahun (1945 – 2017), sejarah mencatat Indonesia telah
menyelenggarakan 10 kali Pemilu. Satu kali Pemilu pada masa orde lama tahun 1955 yang diikuti 175
parpol, 6 kali Pemilu semasa orde baru masing-masing tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan
1997. Pemilu 1971 diikuti 10 Parpol, sedangkan Pemilu sisanya diikuti 3 organisasi peserta Pemilu
(OPP) yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Ditambah 4 kali Pemilu pada masa reformasi masing-masing Pemilu 1999 diikuti 48
Parpol, Pemilu 2004 diikuti 24 Parpol, Pemilu 2009 diikuti 38 Parpol dan Pemilu 2014 diikuti 12 Parpol.
Gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa tahun 1998 telah membawa perubahan
mendasar dalam sistem ketatanegaraan. Sebelum reformasi, Pemilu diselenggarakan untuk memilih
anggota DPR. Pascareformasi, selain untuk memilih anggota DPR, Pemilu juga diselenggarakan untuk
memilih anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 22 E ayat (2) berbunyi, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.”
Sebelum amandemen konstitusi, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan oleh Majelis
Permusyarakatan Rakyat (MPR). Sedangkan pijakan konstitusi pelaksanaan Pilkada adalah Pasal 18
ayat (4) yang berbunyi, “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”
Makna kata demokratis pada ayat di atas sempat mengundang perbedaan tafsir. DPR sempat
menafsirkan kata-kata “demokratis” tersebut dipilih oleh DPRD. Rancangan Undang-Undang Pilkada
via DPRD sempat disahkan di penghujung masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) –
Budiono. Namun pemerintah tidak setuju. Presiden SBY kemudian menerbitkan Perppu untuk
mempertahankan Pilkada tetap dipilih secara langsung. Sejarah mencatat, formasi politik di DPR hasil
Pemilu 2014 kemudian berubah haluan dengan mendukung Pilkada langsung oleh rakyat. Perppu
Pilkada langsung tersebut bahkan telah terjadi dua kali penyempurnaan melalui UU No 8 Tahun 2015
dan UU No 10 Tahun 2016.
PENTINGNYA PENGAWASAN
Fungsi pengawasan dalam sebuah kontestasi politik pada dasarnya ada kemiripan dalam ilmu
manajemen apa yang kita kenal dengan POAC yaitu Planning (perencanaan), Organizing
(Pengorganisasian), Actuating (Pelaksanaan) dan Controlling (pengawasan). Empat konsep tersebut
tidak terpisahkan satu sama lain dan sangat menentukan sukses tidaknya sebuah tujuan organisasi.
Sebuah perencanaan yang matang, tidak akan berarti apa-apa kalau implementasinya nol.
Sebaliknya, tanpa perencanaan, maka sulit mengharapkan pelaksanaan yang maksimal, dan tentu
saja mustahil mendapatkan sebuah output yang terbaik. Akan tetapi, perencanaan dan pelaksanaan
yang baik sekalipun, dalam tataran implementasi tetap membuka peluang terjadi penyimpangan atau
pelanggaran. Oleh karena itu, dia membutuhkan pengawasan. Dalam konteks Pemilu, peran lembaga
pengawas dalam hal ini Bawaslu dan jajarannya mutlak diperlukan.
Proses politik yang bernama Pilkada bertujuan memilih kepala daerah yang baik dan
berkualitas untuk mensejahterakan rakyat. Oleh karena itu, perencanaan politik sangat penting dalam
mengawali suatu proses rekrutmen pemimpin. Tahap perencanaan menyangkut penyusunan program
kerja, jadwal-jadwal setiap tahapan Pilkada mulai pendaftaran pasangan calon, masa kampanye
hingga pelantikan. Tahap pengorganisasian menyangkut pembentukan dan penyempurnaan
organisasi baik pelaksana dalam hal ini KPU hingga ke perangkat terbawah yaitu KPPS (Kelompok
Panitia Pemungutan Suara) maupun pengawas dalam hal ini Bawaslu Provinsi, Panwaslu
Kabupaten/Kota, Panwascam hingga ke jajaran paling bawah yaitu PPL (Petugas Pengawas
Lapangan). Tahap pelaksanaan meliputi pendaftaran, kampanye, pemungutan suara hingga
penetapan calon terpilih. Dan tahap pengawasan meliputi dari awal hingga proses akhir pelaksanaan.
Bila diibaratkan Pemilu itu lokomotif kereta api, tugas Bawaslu sebetulnya bagaimana menjaga
agar lokomotif tersebut berjalan tetap berada pada jalur rel (baca aturan) yang ada. Sepanjang
lokomotif itu tidak keluar dari rel, dapat dipastikan dia akan sampai pada tujuan yang diharapkan.
Secara hukum, keberadaan Bawaslu cukup kuat dan vital sebagaimana disebutkan di dalam
Undang-Undang No 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 1 Tahun
2015 Tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil
Walikota.
Perubahan pertama atas Perppu tersebut telah ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 8
tahun 2015 yang kemudian menjadi dasar pelaksanaan Pilkada serentak tanggal 9 Desember 2015
dan 15 Februari 2017. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tersebut menegaskan bahwa Bawaslu
(Badan Pengawas Pemilu) Provinsi menerima, memeriksa, dan memutus pelanggaran administrasi
Pemilihan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja. Putusan Bawaslu berdasarkan
Pasal 135A ayat (4) Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu Provinsi dengan menerbitkan keputusan KPU
Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dalam jangka waktu 3 hari kerja terhitung sejak diterbitkannya
putusan Bawaslu Provinsi.
Keberadaan, tugas dan fungsi Bawaslu dalam mengawasi Pilkada sebelumnya juga diatur di
dalam Pasal 1 poin 16 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Disebutkan bahwa “Bawaslu Provinsi
adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum yang bertugas mengawasi penyelenggaraan
pemilihan umum di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
mengenai penyelenggara pemilihan umum yang diberikan tugas dan wewenang dalam pengawasan
penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini.” Penegasan Undang-Undang Pilkada ini menjadi landasan bagi Bawaslu beserta
strukturnya di tingkat bawah hingga PPL (Petugas Pengawas Lapangan), untuk melakukan
pengawasan setiap tahapan pelakasnaan Pilkada.
PERANAN BAWASLU MENGAWASI 3 KONTESTASI POLITIK
Selama dua tahun terakhir, ada 3 kontestasi politik yang mendapat pengawasan dari Bawaslu
dan jajarannya yaitu Pemilu Legislatif 5 April 2014, Pemilihan Presiden 9 Juli 2014 dan Pilkada
Gubernur/Wakil Gubernur Bengkulu 9 Desember 2015.
Bagaimanakah pengawasan tiga hajatan politik tersebut di Provinsi Bengkulu? Secara umum,
tiga agenda besar politik tersebut boleh dibilang berlangsung sukses. Terlepas dari kekurangan-
kekurangan yang menyertainya, pelaksanaan Pemilu Legislatif 5 April 2014, Pilpres 9 Juli 2014
maupun Pilgub 9 Desember 2015 berjalan lancar. Kekurangan tentu masih ditemukan di sana-sini,
misalnya menyangkut akurasi DPT (Daftar Pemilih Tetap), pelanggaran kampanye dll. Namun sulit
menemukan kesempurnaan, terlebih lagi bila menyangkut proses politik yang pasti sangat kental
dengan tarik menarik kepentingan.
Oleh karena itu, munculnya ketidakpuasan, protes, dan bahkan mungkin berujung aksi
unjukrasa, harus dipahami sebagai suatu hal yang normal. Jangankan di Indonesia, Pilpres di Amerika
Serikat (AS) November 2016 lalu yang dimenangi Donald Trump juga menuai ketidakpuasan. Aksi
protes turun ke jalan terjadi di berbagai negara bagian. Jumlah pengunjukrasa tak bisa dipandang
remeh. Ribuan orang, mulai dari Washington hingga California. Bahkan sempat muncul desakan Calxit
(California Exit) sebagai wujud protes. Tapi itulah demokrasi. Sebagaimana di Indonesia, hukum di
sana juga tidak melarang unjukrasa. Tapi pemenang Pilpres AS tidak berubah. Donald Trump tetap
dilantik 20 Januari 2017.
Ukuran sukses yang saya maksud sangat sederhana, dari awal hingga selesai (pelantikan)
ketiga kontestasi politik tersebut (Pemilu Legislatif, Pilpres, Pilkada), tidak ada hambatan berarti.
Yang paling krusial sebetulnya adalah Pilkada (Pilgub dan 8 Pilbup). Apalagi kali ini untuk pertama
kalinya dalam sejarah Pilgub langsung di Provinsi Bengkulu, hanya mempertemukan 2 pasang calon
yaitu Ridwan Mukti – Rohidin Mersyah dan Sultan B Najamudin-Mujiono alias head to head.
Pemenangnya seperti sudah diketahui adalah Ridwan Mukti-Rohidin Mersyah. Namun hingga
pelantikan cagub/cawagub terpilih, tidak ada gejolak berarti.
Kesuksesan Pilleg, Pilpres dan Pilgub tersebut tentu tidak lepas dari peranan Bawaslu dan
jajarannya dalam melakukan pengawasan (control). Dalam beberapa kasus yang cukup sensitif, saya
melihat Bawaslu mampu bekerja profesional. Salah satu keputusan Bawaslu yang banyak diapresiasi
adalah terkait pemecatan 7 Panwas Kecamatan di Kabupaten Bengkulu Selatan karena terbukti
menghadiri pertemuan salah satu peserta Pilgub. “Kami pecat karena membuat publik tidak percaya
terhadap pengawas,” begitu bunyi statemen Ketua Bawaslu Provinsi Bengkulu, Parsadaan Harahap,
SP, M.Si ketika itu.
Pandangan dan keputusan Ketua Bawaslu menurut saya sudah tepat. Kalau saja saat itu
Bawaslu tidak mengambil tindakan alias diam, jalannya Pilgub bisa lain. Yang pasti, keputusan
pemecatan Panwascam menjelang hari pencoblosan ketika itu mampu menjaga kepercayaan publik
terhadap Bawaslu dan jajarannya. Kepercayaan publik bisa terjaga karena dengan bersikap tegas
melakukan pemecatan Panwascam yang tidak netral, Bawaslu membuktikan bahwa mereka masih
netral. Keputusan pemecatan tersebut sulit diambil seandainya Bawaslu sendiri tidak netral.
Sukses pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014, Pilpres 2014 dan Pilgub 2015, bukan pula berarti
sepi dari pelanggaran. Divisi Hukum dan Penanganan Pelanggaran Bawaslu Provinsi Bengkulu
mencatat setidaknya selama pelaksanaan Pemilu Legislatif pada tahun 2014 terjadi 66 kali
pelanggaran pidana dan 350 pelanggaran administratif. Jumlah tersebut meningkat dibanding tahun
sebelumnya yang hanya tercatat 191 pelanggaran administratif dan 6 kali pelanggaran pidana.
Yang menarik, pelanggaran kode etik juga cukup banyak pada tahun 2014 dengan jumlah
pelanggaran 14. Pelanggaran kode etik ini banyak terjadi pada tahapan rekapitulasi. Jumlah seluruh
pelanggaran pidana yang masuk bahasan Sentra Penegak Hukum Terpadu (Gakkumdu) berjumlah 52
kasus. Tapi dari jumlah tersebut yang diteruskan ke penyidik hanya 13 kasus. Dan yang sampai ke
pengadilan hanya 4 kasus.
Empat kasus pelanggaran Pemilu Legislatif yang sampai ke pengadilan tersebut adalah,
pertama, kasus keterlibatan PNS di Bengkulu Utara dengan vonis 3 bulan percobaan dan denda Rp 1
juta (Pasal 278 UU No 8 Tahun 2012). Dua, kasus keterlibatan Kades di Bengkulu Utara dengan vonis
3 bulan percobaan dan denda Rp 1 juta (Pasal 278 UU No 8 Tahun 2012). Tiga, kasus money politics
pada masa tenang dengan vonis 6 bulan dengan masa percobaan satu tahun dan denda Rp 1 juta.
Empat, kasus pemilih mencoblos dua kali di dua TPS di Kabupaten Bengkulu Tengah (Benteng)
dengan vonis 4 bulan dengan masa percobaan 8 bulan dan denda Rp 1 juta (Pasal 310).
Bila melihat data di atas, semua kasus pelanggaran pidana divonis hukuman percobaan,
termasuk vonis kasus money politics. Sejauh mana hukuman kasus-kasus pelanggaran pidana Pemilu
ini menimbulkan efek jerah, menarik untuk dikaji lebih jauh. Benarkah kasus-kasus tersebut
menyangkut hal sepele yang cukup pantas diganjar hukuman percobaan?. Tapi terlepas apa vonis
yang dijatuhkan hakim, namun yang pasti dari sisi proses hukum kasus-kasus tersebut tidak
menggantung.
TEMUAN HASIL PENGAWASAN
Kendati secara umum pelaksanaan Pemilu berjalan lancar, namun hasil pengawasan Bawaslu
dan jajarannya menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah (PR) untuk pelaksanaan Pemilu
selanjutnya. Temuan-temuan tersebut antara lain, menyangkut kampanye masih ditemukan
pemasangan alat peraga tidak sesuai aturan, kampanye di luar jadwal, masih terjadi politik uang
(money politics), pelibatan aparat desa dll.
Temuan lain hasil pengawasan menyangkut dana kampanye antara lain, peserta Pemilu tidak
membukukan dana kampanye secara rinci, pembukuan dana kampanye oleh peserta Pemilu tidak
mencantumkan dokumen secara lengkap data penyumbang. Berkenaan dengan pengadaan
pengadaan dan distribusi logistik, hasil pengawasan Bawaslu juga mencatat sejumlah temuan antara
lain, terjadi ketidaksesuaian jumlah surat suara diterima dengan jumlah DPT+2% per TPS. Selain itu,
ditemukan juga kelengkapan logistik tambahan yaitu kotak dan bilik yang terbuat dari kardus tidak
memadai untuk lokasi-lokasi sulit.
Sedangkan temuan hasil pengawasan dalam tahap pemungutan dan penghitungan suara
antara lain, dokumen Pemilu khusus Form C-1 ditemukan ketidaksesuaian, pengisian Form C-1 yang
tidak lengkap, terjadi kesalahan hitung di beberapa Form C-1, tidak lengkapnya dokumen Pemilu,
saksi di beberapa TPS tidak mengikuti proses penghitungan hingga selesai pada saat Pileg,
penghitungan berlangsung hingga tanggal 10 April 2014, pemilih DPKb tidak menggunakan hak
pilihnya, ada pemilih di Kabupaten Seluma tidak mau menerima surat suara untuk DPR RI dan DPRD
Provinsi, surat suara tertukar di Kabupaten Seluma PSU (Desa Pandan), dan temuan hilangnya satu
bungkus surat suara DPR RI Desa Tanjung Bunian Kecamatan Lungkang Kule Kabupaten Kaur dan
satu bungkus surat suara DPRD Kabupaten Desa Talang Padang Kecamatan Padang Guci Ilir
Kabupaten Kaur.
7 KASUS PHPU DITOLAK
Selain pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana, selama pelaksanaan Pemilu
Legislatif, terdapat 7 kasus PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) yang diajukan 7 Parpol
berbeda. Tujuh permohonan PHPU yang diajukan 7 parpol itu semuanya ditolak oleh Mahkamah
Konstitusi (MK).
Tujuh parpol yang mengajukan PHPU itu adalah, pertama, Partai Demokrat atas nama
pemohon Dian A Syakhroza. Pokok permohonan pemohon adalah adanya sejumlah kecurangan yang
dilakukan penyelenggara Pemilu mulai dari KPPS hingga KPU dalam proses penyelenggaraan Pemilu
tahun 2014 yang perolehan suaranya beda tipis dengan Partai Golkar. Dua, Partai Gerindra untuk
DPRD Bengkulu Utara Dapil Bengkulu Utara 1. Pokok permohonan pemohon adalah terjadi
ketidaksesuaian antara form model C-1 dengan forml Model D-1 setelah dilakukan penghitungan
ulang di PPS untuk wilayah TPS 1 Datar Ruyung, TPS 3 dan TPS 4 Gunung Selan, TPS 3 Karang Anyar
I, TPS 2 Karang Anyar II, TPS 5 Kuro Tidur, TPS 1 sampai TPS 4 dan TPS 8 Rama Agung, TPS 1 dan
TPS 2 Senali, serta TPS 1 Sido Urip dan pemohon mendalilkan kehilangan 60 suara. Tiga, PKS untuk
DPRD Provinsi Dapil Bengkulu 3 (Kabupaten Mukomuko). Pokok permohonan adalah adanya
kekacauan dalam proses penghitungan suara, dan adanya kesalahan perekapan suara di TPS.
Empat, Partai Golkar atas nama pemohon Rully Chairul Azwar untuk kursi DPR RI. Pokok
permohonan pemohon adalah perbedaan hasil antara C-1 saksi dengan C-1 KPU. Lima, Partai
Hanura untuk caleg DPRD Provinsi Dapil Bengkulu 2 (Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten
Bengkulu Tengah). Pokok permohonan pemohon adalah dugaan kecurangan, mobilisasi pemilih dan
penggelembungan suara. Enam, Partai NasDem untuk caleg DPRD Provinsi Dapil Bengkulu 7
(Kabupaten Seluma). Pokok permohonan pemohon adalah terjadinya pengurangan suara di
Kecamatan Sukaraja Kabupaten Seluma. Tujuh, Calon DPD RI atas nama Dinmar Najamudin Dapil
Bengkulu. Pokok permohonan pemohon adalah adanya penggelembungan suara atau penambahan
suara calon anggota DPD atas nama Ahmad Kanedi, keterlibatan kepala desa untuk kampanye calon
DPD Eni Khaerani.
TERIMA 11 SENGKETA
Di sisi lain, selama Pemilu Legislatif Bawaslu juga menerima, mengadili dan memutus 12
sengketa. Terdiri 7 sengketa pada tahapan DCT (Daftar Calon Tetap) dan 5 sengketa pada tahap
rekapitulasi. Enam sengketa DCT masing-masing diajukan, pertama, pelapor Lukman Asyiek (Caleg
DPRD Provinsi dari PKB) yang dinyatakan TMS (Tidak Memenuhi Syarat) karena pernah dipidana
penjara berdasarkan UU No 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi, putusan Bawaslu
menolak permohonan pemohon. Dua, pelapor Arafik (caleg DPRD Provinsi dari PPP) yang dinyatakan
TMS karena pada saat mendaftarkan diri dinyatakan menurut KPU Provinsi masih anggota KPU
Rejang Lebong dan Surat Edaran KPU RI 481/KPU/VII/2013 bertentangan dengan aturan di atasnya.
Putusan Bawaslu menerima sebagian permohonan pemohon. Tiga, pelapor atas nama Ir. Ali Berti,
MM (Caleg DPRD Provinsi dari PPP) yang dinyatakan TMS karena pernah dipidana penjara
berdasarkan UU No 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Putusan Bawaslu menyatakan
menolak permohonan pemohon. Empat, pelapor Edi Mufrodi (Caleg DPRD Kabupaten Lebong dari
PPP) yang dinyatakan TMS karena merupakan caleg pengganti dan KPU Kabupaten Lebong tidak
pernah menyerahkan BA hasil verifikasi berkas caleg Edi Mufrodi. Putusan Bawaslu menerima
sebagian permohonan pemohon. Lima, pelapor Sasriponi Bahrin (Caleg DPRD Provinsi dari PDIP)
dinyatakan TMS karena pernah dipidana penjara berdasarkan UU No 31 Tahun 1999 Tentang Tindak
Pidana Korupsi. Putusan Bawaslu menolak permohonan pemohon. Enam, pelapor Okti Fitriani (Caleg
DPRD Kabupaten Seluma dari Gerindra) dinyatakan TMS karena tidak melampirkan SK Pemberhentian
dari Penyelenggara Pemilu pada saat pendaftaran. Putusan Bawaslu menolak permohonan pemohon.
Sedangkan sengketa tahapan rekapitulasi masing-masing diajukan, pertama, pemohon
Suhartini (caleg DPRD Kota dari Partai NasDem), Termohon Yanuar Gustiawan (Caleg DPRD Kota dari
Partai NasDem). Pokok permohonan pemohon adalah adanya perbedaan perolehan suara di Form C-1
antara pemohon dan termohon di beberapa TPS di Kota Bengkulu. Putusan Bawaslu, memerintahkan
KPU Kota Bengkulu melakukan pencermatan di C-1 Plano di TPS tertentu di Kota Bengkulu. Dua,
Pemohon Barli Halim (Caleg DPRD Kabupaten Bengkulu Selatan dari PDIP), Termohon Haswat (Caleg
DPRD Bengkulu Selatan dari PDIP). Pokok permohonan pemohon adalah adanya perbedaan
perolehan suara di form C-1 antara pemohon dan termohon di beberapa TPS di Kabupaten Bengkulu
Selatan. Putusan Bawaslu memerintahkan KPU Bengkulu Selatan melakukan pencermatan hanya
pada C-1 Plano di TPS tertentu dan membuka kotak suara untuk penghitungan suara di TPS Padang
Pandan.
Tiga, Pemohon Abdul Karim (Caleg DPRD Kabupaten Kaur dari PDIP), Termohon KPU
Kabupaten Kaur. Pokok permohonan adalah adanya penggelembungan suara. Putusan Bawaslu
memerintahkan kepada Panwaslu Kabupaten Kaur untuk menindaklanjuti laporan pelanggaran yang
disampaikan pemohon, merekomendasikan kepada KPU Kabupaten Kaur untuk melakukan evaluasi
terhadap kinerja jajaran di bawahnya yang ditemukan indikasi ketidakprofesionalan. Empat,
Pemohon A. Salim (Caleg DPRD Kabupaten Seluma dari Partai Demokrat), Termohon Elmi Supianti
(Caleg DPRD Kabupaten Seluma dari Partai Demokrat). Pokok permohonan pemohon adalah adanya
perbedaan perolehan suara di Form C-1 antara pemohon dan termohon di beberapa TPS di
Kabupaten Seluma. Putusan Bawaslu, memerintahkan KPU Kabupaten Seluma melakukan
pencermatan hanya pada C-1 Plano di TPS tertentu.
Lima, pemohon Hj. Suarni, S.Sos (Caleg DPRD Kabupaten Bengkulu Tengah dari Partai
NasDem), Termohon Septi Periadi, S.TP (Caleg DPRD Kabupaten Bengkulu Tengah dari Partai
NasDem). Pokok permohonan pemohon adalah adanya perbedaan perolehan suara di Form C-1
antara pemohon dan termohon di beberapa TPS di Kabupaten Bengkulu Tengah.
Diperkirakan karena keterikatan emosional yang jauh, pelaksanaan Pilpres di Provinsi Bengkulu
relatif tidak ditemukan pelanggaran. Terbukti, menurut data Divisi Hukum dan Penanganan
Pelanggaran Bawaslu Provinsi Bengkulu, pelanggaran pidana dan pelanggaran kode etik selama
Pilpres 0 alias nihil. Yang ada cuma pelanggaran administrasi berjumlah 87 pelanggaran tersebar di
seluruh kabupaten/kota. Sebenarnya, kasus pelanggaran pidana yang masuk ke Sentra Gakkumdu
ada 2 kasus dari Kabupaten Seluma. Namun dalam pleno Panwaslu Kabupaten, kedua kasus tersebut
dinyatakan tidak memenuhi unsur pelanggaran Pilpres sehingga dihentikan.
Bawaslu juga menerima satu sengketa PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) yang
diajukan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Pokok permohonan pemohon ada 2 yaitu adanya jumlah
pengguna dalam pemilih khusus tambahan yang lebih besar dari Daftar Pemilih Khusus Tambahan
(DPTKb) di 83 TPS. Dan, adanya pelanggaran Pemilu di Kabupaten Seluma dengan indikasi pelibatan
aparat desa. Tapi setelah dilakukan klarifikasi tidak terbukti.
BEBERAPA CATATAN
Kesuksesan pelaksanaan Pemilu Legislatif, Pilpres dan Pilkada serentak di Provinsi Bengkulu
tahun 2014-2015, masih menyisakan beberapa catatan untuk dapat diperbaiki kedepan. Diantaranya
menyangkut kesiapan anggaran dan regulasi. Terkait anggaran misalnya, masih terjadi keterlambatan
pembayaran honor penyelenggara. Hal ini terkadang dianggap sepele, namun sangat berpengaruh
terhadap kualitas pelaksanaan Pilkada.
Hakekat Pilkada langsung adalah memberi kesempatan rakyat memilih langsung pemimpin
mereka tanpa diwakili. Untuk bisa menentukan pilihan, rakyat butuh edukasi, informasi dan
sosialisasi. Semakin banyak informasi yang diperoleh rakyat, akan semakin baik. Karena untuk
memilih pemimpin, rakyat harus mengenal calon pemimpin yang akan dipilih. Informasi-informasi
mendasar seperti biodata diri, track record, visi dan misi maupun program apabila terpilih menjadi
pemimpin daerah, mutlak harus diketahui rakyat. Tanpa pengetahuan tentang para calon, bagaimana
rakyat bisa memilih.
Kaitan dengan hal di atas, para calon kepala daerah harus mengenalkan diri kepada rakyat,
siapa dia, apa programnya, apa visi dan misinya. Namun beberapa regulasi selama Pilkada, justru
membatasi calon untuk bersosialisasi sebanyak mungkin kepada rakyat. Dalam hal kampanye di
media, misalnya, calon tidak bisa sebebas Pilgub sebelumnya. Selama Pilgub 2015, termasuk juga
Pemilu Legislatif 2014, kampanye calon di media dibatasi, baik menyangkut lama waktu maupun
materi. Tentu regulasi ini merupakan produk penyelenggara Pemilu di tingkat pusat yang berlaku
secara nasional. KPU dan Bawaslu di daerah hanya melaksanakannya. Tetapi kedepan regulasi yang
membatasi calon bersosialisasi dengan konstituen perlu dipertimbangkan. Karena regulasi tersebut
bisa membuat rakyat memilih kucing dalam karung karena tidak mengenal siapa yang akan
dipilihnya. Dan, harapannya suasana Pilkada lebih terasa meriah.
Pemilu Legislatif, Pilpres dan Pilkada langsung sejatinya bukan cuma pesta politik, tapi
sekaligus juga merupakan pesta ekonomi. Ada keterlibatan rakyat yang tidak itu ditemukan ketika
Pilkada dilakukan oleh anggota DPRD. Contoh, di era Pilkada langsung, pemilik warung nasi dan
pedagang asongan ketiban rezeki saat kampanye, pengusaha spanduk/sablon kebanjiran order.
Namun beberapa regulasi yang membatasi sosialisasi calon berdampak pada kemeriahan Pilkada.
Pembatasasan-pembatasan sosialisasi para peserta Pemilu seringkali dihadapkan para
argumentasi Pemilu murah. Namun bila melihat anggaran yang dihabiskan untuk pelaksanaan Pilgub
9 Desember 2015 misalnya, anggaran yang dihabiskan juga tidak mengalami pengurangan signifikan
dibanding Pilgub 2010. Anggaran Pilgub Bengkulu 2015 yang terkuras mencapai Rp 62,9 miliar.
Secara nasional, anggaran Pilkada serentak di 9 Provinsi dan 224 kabupaten dan 36 kota pada
tanggal 9 Desember 2015 lalu mencapai Rp 7,1 triliun. Mahal. Tapi itulah harga sebuah demokrasi.
(*)
Memperkuat Bawaslu dalam Penegakan Hukum Pemilu
Parsadaan Harahap, Ediansyah Hasan dan Saadah Mardliyati
Ketua dan Anggota Bawaslu Provinsi Bengkulu
Pendahuluan
Pemilu merupakan suatu proses pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan berkala
sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh Konstitusi. Prinsip dasar dalam demokrasi dan
kehidupan ketatanegaraan adalah warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan
keputusan kenegaraan.15 Demokrasi mempercayai bahwa Pemilu memainkan peranan vital untuk
menentukan masa depan bangsa, demokrasi tanpa adanya penyeimbang berdasarkan prinsip negara
hukum akan tergelincir kepada kekuasaan mayoritas yang bukan merupakan ciri utama demokrasi,
baik dari segi teori maupun segi parktis. Demokrasi merupakan suatu kondisi dimana kebijakan publik
dibuat atas dasar suara mayoritas oleh wakil rakyat yang tunduk pada pengawasan publik melalui
pemilihan umum secara berkala. Hampir tidak ada sistem pemerintahan yang tidak menjalankan
pemilu.16 Dalam kehidupan bernegara, proses kedaulatan rakyat diwujudkan dengan dipilihnya wakil-
wakil yang merupakan perwakilan dari partai politik secara langsung oleh rakyat dengan
menggunakan hak pilihnya secara bebas dan tidak terpengaruh oleh siapapun dan apapun.17
Pelaksanaan pemilu disadari atau tidak telah mendorong pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam wujud
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Pemilu adalah salah satu hak asasi warga negara yang sangat prinsipil, karena dalam
pelaksanaan hak asasi adalah suatu keharusan pemerintah untuk melaksanakan Pemilu, adalah suatu
pelanggaran terhadap hak-hak asasi apabila pemerintah tidak mengadakan pemilihan umum, atau
memperlambat pemilihan umum tanpa persetujuan dari wakil-wakil rakyat.18 Pemilihan umum
merupakan mekanisme utama yang terdapat dalam tahapan penyelengaraan negara dan
pembentukan pemerintah. Pemilihan umum dipandang sebagai bentuk yang paling nyata dari
kedaulatan yang ada ditangan rakyat dalam penyelenggaraan negara, oleh karena itu sistem dan
penyelengaraan pemilihan umum selalu menjadi perhatian utama terhadap pemerintahan sehingga
pedoman dari, oleh dan untuk rakyat diharapkan benar bener terwujud melalui penataan sistem dan
kualitas penyelenggaran pemilihan umum. Sebagai elemen kunci pelaksanaan demokrasi tentu saja
pemilu harus dilaksanakan secara demokrasi.
Pemilu harus mencerminkan prinsip dan nilai demokrasi serta dapat menjadi jalan bagi
pelaksanaan demokrasi itu sendiri. Sifat demokratis pemilu diperlukan untuk menjaga bahwa pemilu
15 Dahlan Thaib, Ketatanegaraan Indonesia: Perspektif Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, 2009, hlm 98.
16 Eep Saefullah Fatah, Pemilu dan Demokratisasi: Evaluasi Terhadap Pemilu-pemilu Orde Baru dalam Evaluasi Pemilu
Orde Baru, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997, hlm 14.
17 Hendarmin Randireksa, Visi Politik Amandemen UUD 1945 Menuju Konstitusi yang Berkedaulatan Rakyat, Yayasan
Pancur Siwah, Jakarta, 2002, hlm 127.
18 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Program Studi Hukum Tata Negara
FH UI dan CV. Sinar Bakti, Jakarta, 1988, hlm 329.
sebagai suatu mekanisme demokrasi dapat mewujudkan tujuan yang hendak dicapai. Melalui pemilu
rakyat tidak hanya memilih orang yang akan menjadi wakilnya dalam penyelenggaraan negara tetapi
juga memilih program yang dikehendaki sebagaimana kebijakan negara pada pemerintahan
selanjutnya.
Pemilu membawa pengaruh besar terhadap sistem politik suatu negara. Hanya pemerintahan
yang representatiflah yang memiliki legitimasi dari rakyat untuk memimpin dan mengatur
pemerintahan. Pemilu memiliki maksud dan tujuan sesuai dengan kehendak pemilu tersebut. Menurut
Jimly Asshiddiqie, tujuan penyelenggaraan sebuah pemilihan umum dalam sebuah negara adalah :
1. Untuk memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara tertib dan damai;
2. Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di
lembaga perwakilan;
3. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat;
4. Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga Negara.19
Sementara Arbi Sanit menyimpulkan bahwa pemilu pada dasarnya memiliki empat fungsi
utama yakni, fungsi pembentukan dan legistimasi penguasa dan pemerintah, fungsi pembentukan
perwakilan politik rakyat, fungsi sirkulasi elit penguasa dan fungsi pendidikan politik.20 Sebagai
mekanisme pelaksanaan demokrasi dan juga sebagai instrumen penting tertib berpolitik, pemilihan
umum merupakan sarana partai politik memperoleh dukungan dari pemilih (rakyat). Ramlan Surbakti
menyebutkan ada tiga tujuan dalam pemilihan umum yakni : Pertama, sebagai mekanisme untuk
menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum, Kedua, sebagai mekanisme
memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat melalui
wakil-wakil rakyat yang terpilih, Ketiga, merupakan sarana memobilisasikan dan/atau menggalang
dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik.21
Pemilu adalah wujud nyata demokrasi, meski demokrasi tidak sama dengan pemilu namun pemilu
merupakan salah satu aspek demokrasi yang harus diselenggarakan secara demokratis.22 Pemilu yang
demokratis hanya dapat dicapai apabila semua tahapan pemilu juga mencerminkan karakter
demokratis. Tahapan pemilu secara luas dimulai dari pembentukan perundang undangan terkait
dengan pemilu, pembentukan lembaga penyelenggara pemilu, dan semua tahapan pemilu.
Dalam sejarah, Pemilu di Indonesia telah dilaksanakan beberapa kali dengan karakter yaang
berbeda beda. Pemilu di Indonesia pertama kalinya dilaksanakan pada tahun 1955 dengan dasar
hukum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 dan selanjutnya kembali dilaksanakan pada tahun 1971
dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969. Pemilu Indonesia kemudian menjadi
agenda rutin lima tahunan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen dan
pemerintahan, hingga Pemilu terakhir dilaksanakan pada Tahun 2014. Pemilu Indonesia mengalami
19 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI Jakarta, 2006, hlm 175.
20 Arbi Sanit, Partai, Pemilu dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1997, hlm 158.
21 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Grasindo, Jakarta, 1992, hlm 181-182.
22 Abdul Mukhtie Fadjar, Pemilu, Perselisihan Hasil Pemilu dan Demokrasi, Setara Press, Malang, 2013, hlm 27.
perubahan yang signifikan dalam pelaksanaannya sejak bergulirnya reformasi 1998 yang
menumbangkan rezim orde baru. Adanya Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan ruang yang yang jelas dan tegas terkait dasar hukum
pelaksanaan Pemilu. Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 khususnya Pasal 22E
menegaskan bahwa pengaturan mengenai pemilu tersebut dimaksudkan untuk memberikan landasan
hukum yang kuat bagi Pemilu sebagai salah satu wahana pelaksanaan kedaulatan rakyat, serta
menjamin proses pelaksanaan Pemilu agar kualitas penyelenggaraan Pemilu berlangsung sesuai
dengan azas yang Pemilu di Indonesia yakni langsung, umum, bebas, rahasia dan jujur, adil.23
Pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat diselenggarakan dengan azas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana
diterangkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara
Pemilu Jo Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu DPR, DPD dan
DPRD. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu juga menyebutkan
bahwa lembaga yang berhak menyelenggarakan Pemilu terdiri dari Komisi Pemilihan Umum (KPU)
dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk
memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh
rakyat dengan berpedoman pada azas yang termuat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2011 Tentang Penyelenggara Pemilu yakni asas mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib,
kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efesiensi, dan
efektivitas.
Pengawasan Pemilu di Indonesia
Pemilu pertama tahun 1955 belum dikenal istilah pengawasan Pemilu, pada tahun ini Pemilu
diselenggarakan oleh lembaga yang bersifat nasional dan tetap yakni Panitia Pemilihan Indonesia.
Panitia Pemilihan Indonesia diberikan wewenang dan tanggung jawab selain untuk
menyelenggarakan Pemilu juga untuk menyelesaikan keberatan terhadap proses pelaksanaan pemilu
195524. Terhadap pelanggaran dalam proses pelaksanaan pemilu 1955 mekanisme yang diatur adalah
penyampaian keberatan yang langsung disampaikan kepada penyelenggara pemilu sesuai dengan
tingkatan keberatan atau dugaan pelanggaran yang terjadi. Proses pelaksanaan Pemilu 1955 sama
sekali tidak mengenal lembaga pengawas pemilu.
Pemilu tahun 1971 dan Pemilu tahun 1977 belum dibentuk badan pengawas Pemilu,
kelembagaan Pengawas Pemilu baru muncul pada pelaksanaan Pemilu tahun 1982, pemerintah
sebagai pihak penyelenggara pemilu pada saat itu membentuk badan pengawas pemilu dari tingkat
pusat sampai daerah yang diberi nama Panitia Pengawasan Pelaksana Pemilu (Panwaslak). Lembaga
ini dibentuk oleh Panitia Pemilihan Indonesia dan dipimpin langsung oleh Jaksa Agung dan birokrasi
23 Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, 2006, hlm 95.
24 Pasal 59 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 Tentang Pemilu.
sipil serta militer bertindak sebagai pelaksana lapangannya. Panwaslak sebagai pengawas pemilu
internal25 ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 tentang perbaikan kedua Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu Anggota DPR/MPR.
Pemilu tahun 1999 terbilang istimewa, sebab untuk pertama kalinya tugas pengawasan pemilu
diserahkan kepada lembaga yudikatif, yakni Makamah Agung dan badan-badan peradilan
dibawahnya. Dalam hal pengawasan pemilu, Makamah Agung dan badan-badan peradilan di
bawahnya (Peradilan Tinggi dan Peradilan Tingkat Pertama/Negeri) turut serta sebagai fasilisator
pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Tahun 1999 (Panwas), sekaligus menempatkan
komponen korps hakim sebagai anggota (bahkan pimpinan) Panwas. Hal tersebut adalah
konsekwensi dari mandat yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai
Politik dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum. Sementara Pemilu tahun
2004, Panitia Pengawas Pemilu dibentuk oleh KPU, sedangkan Panitia Pengawas Pemilu Provinsi
sampai Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu diatasnya.
Pemilu tahun 2009 penyelenggaraan pengawasan Pemilu dilakukan oleh Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) dibantu oleh Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota,
Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. Badan
Pengawas Pemilu merupakan lembaga yang bersifat tetap (permanen), sedangkan Panwaslu Provinsi,
Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu
Luar Negeri bersifat ad hoc. Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan,
Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan
sebelum tahapan pertama penyelenggaraan Pemilu dimulai dan berakhir paling lambat 2 (dua) bulan
setelah seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu selesai. Sementara untuk pelaksanaan Pemilu tahun
2014, pengawas Pemilu diperkuat sampai pada tingkat provinsi yang dipermanenkan, sedangkan
Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu
Luar Negeri tetap ad hoc.
Peran Pengawas dalam Penyelenggaraan Pemilu
Lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu yang
mempermanenkan kedudukan Bawaslu RI dan Bawaslu Provinsi sama dengan Komisi Pemilihan
Umum merupakan sebuah keniscayaan dalam rangka penguatan terhadap pengawas Pemilu dalam
hal ini Bawaslu. Sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 yang
menempatkan Bawaslu sebagai lembaga mandiri sejajar dengan KPU dalam penyelenggaraan Pemilu
Legislatif, Pemilu Presiden dan juga Pemilihan Kepala Daerah. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
memiliki tugas pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu. Pengawasan tersebut
meliputi seluruh proses penyelenggaraan pemilu dan penyimpangan yang terjadi. Ketentuan itu
memberikan mandat kepada Bawaslu untuk melakukan tugas dan wewenang menetapkan standar
25 Regulasi pada masa Orde Lama maupun Orde Baru menganut falsafah kekuasaan tradisional, yakni terdapatnya niat
pemerintah sebagai pola hubungan kekuasaan dalam proses pengawasan pemilu, dimana pemilu diawasi sendiri oleh
pemerintah sebagai pelaksananya (prinsip pengawasan internal).
pengawasan tahapan penyelenggaraan pemilu, mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu,
menerima laporan dugaan pelanggaran pemilu, menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU
dan/atau kepada instansi yang berwenang.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum telah
menjelaskan tugas dan wewenang Bawaslu. Dalam Pasal 73 disebutkan tugas dan wewenang
Bawaslu adalah :
1. Menyusun tata laksana kerja pengawasan tahapan penyelenggaraan Pemilu sebagai pedoman
kerja bagi pengawas Pemilu di setiap tingkatan.
2. Bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu dalam rangka pencegahan dan penindakan
pelanggaran untuk terwujudnya Pemilu yang demokratis, meliputi :
a. Mengawasi persiapan penyelenggaraan Pemilu ;
b. Mengawasi pelaksanaan tahapan penyelenggaraan Pemilu;
c. Mengelola, memelihara, dan merawat arsip/dokumen serta melaksanakan penyusutannya
berdasarkan jadwal retensi arsip yang disusun oleh Bawaslu dan ANRI;
d. Memantau pelaksanaan tindak lanjut penanganan pelanggaran pidana Pemilu oleh instansi
yang berwenang;
e. Mengawasi atas pelaksanaan putusan pelanggaran Pemilu;
f. Evaluasi pengawasan Pemilu;
g. Menyusun laporan hasil pengawasan penyelenggaraan Pemilu; dan
h. Melaksanakan tugas lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Bawaslu berwenang :
1) Menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai Pemilu;
2) Menerima laporan adanya dugaan pelanggaran administrasi Pemilu dan mengkaji laporan dan
temuan, serta merekomendasikannya kepada berwenang;
3) Menyelesaikan sengketa Pemilu;
4) Membentuk Bawaslu Provinsi;
5) Mengangkat dan meberhentikan anggota Bawaslu Provonsi; dan
6) Melaksanakan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Melihat tugas dan wewenang di atas, maka penting bagi Bawaslu untuk memiliki akses
terhadap seluruh tahapan pemilu. Bawaslu juga harus mampu melakukan penanganan terhadap
potensi pelanggaran sehingga dapat menindaklanjutinya. Kewenangan yang diberikan ini
memposisikan Bawaslu sebagai pintu utama penilaian dugaan pelanggaran pemilu. Dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD, ada tiga fungsi utama
dari lembaga pengawas pemilu yakni :
1. Fungsi Pengawasan
Fungsi sejalan dengan semangat pemantauan untuk memastikan proses pemilu berjalan lansung,
umum, bebas dan rahasia. Fungsi pengawasan ini dikembangkan oleh bawaslu menjadi dua
kategori yaitu pengawasan pencegahan yang berorientasi untuk mencegah para peserta
melakukan pelanggaran dan pengawasan tindakan yaitu ketika tahapan sedang berlangsung maka
yang dilakukan lembaga pengawas adalah melakukan tindakan langsung pelaku sesuai dengan
pelangarannya.
2. Fungsi Penanganan Pelanggaran
Pengawas pemilu berwenang dan menindaklanjuti informasi awal, laporan masyarakat dan juga
temuan pelanggaran yang ditemukan sendiri sesuai dengan jenis pelangarannya. Apabila
pelanggaran tersebut berupa pelanggaran administrasi maka akan diteruskan ke Komisi Pemilihan
Umum (KPU), pelanggaran pidana pemilu diteruskan ke kepolisian dan apabila pelanggaran kode
etik maka diteruskan ke dewan kehormatan penyelengara pemilihan umum (DKPP)
3. Fungsi Penyelesaian Sengketa
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan anggota DPR, DPD dan
DPRD, kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pemilu bersifat eksklusif yang hanya dimiliki
Bawaslu.26 Kewenangan baru yang diberikan kepada Pengawas Pemilu adalah kewenangan
menyelesaikan sengketa, dalam hal ini yang di maksud dengan sengketa tata usaha negara yang
berupa beschikiing atau keputusan, baik dalam Undang-Undang legislatif, Pilpres atau Pemilihan
Kepala Daerah mengatur sengketa yang dapat diselesaikan pengawas Pemilu, pertama akibat
dikeluarkannya keputusan KPU dan kedua, sengketa antar peserta Pemilu. Kewenangan ini
sekarang sudah diberikan kepada Panwas Kabupaten/Kota yang regulasi sebelumnya hanya
diberikan kepada Bawaslu RI dan Bawaslu Provinsi.
Bawaslu mendorong pengawasan partisipatif yang merangkul seluruh lapisan masyarakat dan
stakeholder dengan melibatkan publik dan mendorong partisipasi publik yang lebih efektif. Ada
beberapa strategi pengawasan partisipatif yang dilalukan Bawaslu:
1. Mendorong partisipasi kelompok masyarakat dalam mewujudkan pemilu demokratis;
2. Soliditas kelembagaan Bawaslu;
3. Memfasilitasi pemilih dalam mengawasi dan mencegah pelanggaran;
4. Penyediaan teknologi informasi;
5. Memantau proses Daftar Pemilih Tetap;
6. Memaksimalkan kelompok sadar politik.
Permasalahan dan Tantangan Bawaslu
Pada era reformasi, dengan demokratisasi sebagai arus utama, pelaksanaan pemilu di
Indonesia masih menemukan beberapa permasalahan. Banyak kritik yang ditujukan kepada Bawaslu,
26 Gunawan Suswantoro, Pengawasan Pemilu Partisipatif, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2015, hlm 65.