The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Modul Pembelajaran ini hadir untuk melengkapi kebutuhan pengawasan syariah yang saat ini masih terbatas. Terbatasnya referensi ini mengakibatkan lemahnya pengawasan Lembaga Keuangan Syariah oleh DPS, terutama LKS yang tidak diatur oleh regulasi yang baik semisal Lembaga Keuangan Mikro Syariah non bank seperti Koperasi Syariah.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by ekonfuad, 2022-03-15 02:57:31

Modul Pengawasan Syariah pada Lembaga Keuangan Syariah

Modul Pembelajaran ini hadir untuk melengkapi kebutuhan pengawasan syariah yang saat ini masih terbatas. Terbatasnya referensi ini mengakibatkan lemahnya pengawasan Lembaga Keuangan Syariah oleh DPS, terutama LKS yang tidak diatur oleh regulasi yang baik semisal Lembaga Keuangan Mikro Syariah non bank seperti Koperasi Syariah.

Keywords: Pengawasan Syariah,Lembaga Keuangan Syariah

memModul Pembelajarani buta tanpa pengetahuan yang mencukupi; atau mengambil risiko
sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung risiko tanpa mengetahui dengan pesisiapa
akibatnya, atau memasuki kancah resiko tanpa memikirkan konsekuensinya. (Karim A. A.,
2012)

Menurut Ibn Taimiyah, gharar terjadi bila seseorang tidak tahu apa yang tersimpan bagi
dirinya pada akhir suatu kegiatan jual beli. Perbedaan yang peling jelas antara tadlis dengan
taghrir adalah bila pihak pembeli tidak mengetahui apa yang tidak diketahui pihak penjual
(unknown to one party). Sedangkan taghrir, baik pihak penjual dan pihak pembeli sama-sama
tidak memiliki kepastian mengenai sesuatu yang ditransaksikan (uncertain to both parties).

Taghrir dapat dibagi menjadi :

a. Taghrir dalam Kuantitas

Contoh Taghrir dalam Kuantitas kasus jual beli dengan sistem ijon, misalnya penjual
menmjual buah misalnya buah mangga yang masih muda, pembeli menyatakan akan
membeli buah seharga Rp. 1 juta rupiah. Dalam hal ini terjadi ketidakpastian mengenai berapa
kuantitas buah yang dijual, karena memang tidak disepakati sejak awal. Bila panennya 100
kg, harga Rp. 1 juta. Bila panennya 50 kg, harganya Rp. 1 juta pula. Bahkan bila tidak panen
harganya Rp. 1 juta juga.

b. Taghrir dalam Kualitas

Contoh taghrir dalam kualitas adalah seorang peternak yang menjual anak sapi yang masih
dalam kandungan induknya. Dalam kasus ini terjadi ketidakpastian dalam hal kualitas objek
transaksi, karena tidak ada jaminan bahwa anak sapi tersebut akan lahir dengan cacat, normal
atau spesifikasi tertentu. Bagaimanapun kondisi anak sapi tersebut maka harus diterima oleh
pembeli dengan harga yang sudah disepakati.

c. Taghrir dalam harga

Contoh Taghrir dalam harga adalah bila seorang penjual menyatakan bahwa ia akan menjual
suatu unit Sepeda Motor merk Suzuka seharga Rp.10 juta tunai, atau Rp. 15 juta bila dibayar
kredit selama 5 bulan, kemudian si pembeli menjawa “setuju”. Ketidak pastian muncul karena
adanya dua harga dalam satu akad. Tidak jelasnya harga mana yang berlaku, yang Rp. 10
juta atau yang Rp. 15 juta. Katakanlah ada pembeli yang membayar lunas pada bulan ke-3,
berapa harga yang berlaku?. Dalam kasus ini, walaupun kauntitas dan kualitas barang sudah
ditentukan, tetapi terjadi ketidakpastian dalam harga barang karena si penjual dan si pembeli
menyepakati dua harga dalam satu akad.

d. Taghrir dalam waktu penyerahan

Contoh dari Taghrir dalam waktu penyerahan adalah seseorang menjual barangnya yang
hilang misalnya mobil merk Xania yang hilang seharga Rp. 50 juta. Harga pasar mobil
tersebut Rp. 130 juta. Mobil akan diserahkan kepada pembeli jika barang itu sudah di
temukan. Dalam transaksi ini terjadi ketidakpastian menyangkut waktu penyerahan barang,
karena barang yang dijual tidak diketahui keberadaannya. Kemungkinan barang tersebut
akan ditemukan satu bulan lagi, atau satu tahun bahkan tidak ditemukan.

Keempat bentuk gharar di atas, kerelaan kedua belah pihak dapat tercapai, namun bersifat
sementara, karena informasinya yang terbatas, setelah informasi terbuka bagi salah satu
pihak atau kedua belah pihak, maka akan ada yang merasa terdzhalimi.

2) Ihtikar (rekayasa pasar dalam supply)

51

Dalam mekanisme pasar modern, ikhtikar bisa terjadi karena adanya distorsi pasar, dimana
produsen tidak bebas memasuki sebuah pasar diseModul Pembelajarankan permainan pasar
yang tidak fair. Ini bisa terjadi karena monopoli dan bisa juga karena adanya kartel dari
beberapa produsen sehingga terjadi entry barrier. Ikhtikar sering disamakan dengan
penimbunan barang untuk membuat kelangkaan akan barang tersebut di pasar. Namun pada
transaksi modern, ikhtikar tidak hanya masalah penimbunan saja. Ikhtikar di pasar modal atau
di bursa saham maupun bursa komoditi bisa lebih kejam dan berakibat lebih fatal baik bagi
investor maupun bagi emiten.

Ikhtikar dapat terjadi bila syarat-syarat berikut terpenuhi:

a) Mengupayakan adanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun stock atau
mengenakan entry-barries.

b) Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandngkan harga sebelum munculnya
kelangkaan.

c) Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum komponen a
& b dilakukan.

3) Bai’ najasy (rekayasa pasar dalam demand)

Bai’ najasy dalam transaksi modern terjadi karena adanya rekayasa pasar di sisi permintaan.
Suatu produk diisukan seolah-olah terjadi permintaan yang tinggi saat ini atau di masa
mendatang. Dengan adanya rekayasa ini, maka konsumen termakan isu tersebut sehingga
memutuskan untuk membeli produk tersebut. Di bursa efek maupun di pasar valuta asing hal
ini sering terjadi. Istilah seperti goreng menggoreng saham misalnya atau isu valas mata uang
tertentu sehingga orang tergiur untuk melakukan pembelian besar-besaran, padahal keadaan
yang sebenarnya tidaklah demikian.

4) Riba

Masalah riba telah dibahas di sub Modul Pembelajaran sebelumnya, untuk mengulangi
dijelaskan secara garis besar riba dibagi menjadi :

a. Riba Fadl

Riba Fadl disebut juga Riba Buyu’ atau riba yang yang timbul akibat pertukaran barang sejenis
yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), kuantitasnya (sawaa-an bi
sawaa-in) dan waktu penyerahannya (yadan bi yadin).

b. Riba Nasi’ah

Riba Nasi’ah disebut juga Riba Duyun atau riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak
memenuhi kriteria al-Ghunmu bil Ghurmi (untung muncul bersama resiko) dan al-Kharaj bi
Dhamana(hasil usaha muncul bersama biaya). Contohnya adalah bunga bank konvensional.

c. Riba Jahiliyah

Riba Jahiliyah adalah utang yang dibayar melebihi pokok pinjaman karena si peminjam tidak
mampu mengembalikan pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Riba Jahiliyah dilarang
karena terjadi pelanggaran kaidah “Kullu Qardin Jarra Manfa’atan Fahuwa Riba” (setiap
pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Memberi pinjaman adalah transaksi
kebaikan (tabaru’), sedangkan meminta kompensasi adalah transaksi bisnis (tijarah).

5) Maysir

52

Dalam bahasa Indonesia, maysir adalah perjudian. Sebuah permainan yang secara pihak
menguntungkan satu pihak dengan mengorbankan satu pihak atau beberapa pihak. Hal ini
dilarang dalam Islam karena adanya zero sum game.

6) Risywah

Risywah adalah menyuap kepada pihak-pihak tertentu (biasanya penguasa, pejabat, orang
yang mempunyai wewenang) untuk memuluskan tujuannya yang itu nota bene bukan haknya.
Mengapa orang sampai menyuap, karena bila bersaing secara fair sudah bisa dipastikan
kekalahannya. Contohnya adalah seseorang yang hendak menjadi pegawai pada instansi
tertentu dengan cara menyuap pihak penguasanya agar ia bisa diterima di instansi tersebut.
Dia menyuap karena bila dia mengikuti ujian sebagaimana mestinya kemungkinan diterima
sangat kecil, maka dia gunakan cara risywah untuk memuluskan tujuannya. Atau orang yang
ikut tender proyek tertentu dengan menyuap pejabatnya agar tendernya diloloskan, karena
bila ia mengikuti prosedur sebenarnya maka ia akan kalah bersaing dengan lainnya. Maka
cara risywahlah yang digunakan.

Allah SWT telah memperingatkan kita untuk tidak melakukan risywah dalam salah satu firman-
Nya Quran surat al-Baqarah ayat 188:

188. dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.

Rasulullah pun telah memberi peringatan dengan tegas untuk menjauhi praktik risywah dalam
sabdanya yang diriwayatkan oleh Ahmad:

“ Allah melaknat orang yang memberi suap, penerima suap, sekaligus broker suap yang
menjadi penghubung antara keduanya.”

Dalam sebuah hadist Rasulullah juta bersabda :
“Coba, maukah ia duduk manis di rumah ayah dan ibunya (tidak usah menjadi amil zakat)
sampai datang kepadanya hadiah tersebut jika memang ia benar. Sesungguhnya hal yang
demikian adalah tindakan penghianatan jabatan.” (HR al-Bukhari)
Risywah diharamkan karena melanggar prinsip “Laa Tazlimuuna wa Laa Tuzlamuun” dan
merugikan pihak lain.

3.7.4 Tidak Sah/ lengkapnya Akad

Akad yang telah dilakukan oleh pihak yang saling bertransaksi bisa batal dan menjadi haram
yang terkategori haram li ghairihi bila akadnya tidak memenuhi rukun dan syaratnya. Maka
syarat sahnya akad akan batal bila salah satu dari faktor-faktor berikut tidak terpenuhi :

1. Rukun dan Syarat tidak terpenuhi

Rukun adalah sesuatu yang tidak boleh tidak ada atau wajib ada dalam suatu transaksi
(necessary condition) tidak adanya salah satu dari rukun akan membatalkan transaksi
tersebut, misalnya dalam jual beli harus ada penjual dan pembeli. Tanpa adanya penjual dan
pembeli, maka jual-beli dianggap tidak ada.

Rukun dalam muamalah iqtishadiyah (muamalah dalam bidang ekonomi) ada 3, yaitu:

a. Adanya Pelaku

53

Pelaku bisa berupa penjual-pembeli (dalam akad jual-beli), penyewa-pemberi sewa (dalam
akad sewa-menyewa), atau penerima upah-pemberi upah (dalam akad upah-mengupah), dan
lain-lain. Tanpa pelaku, maka gugurlah suatu transaksi atau sama dengan tidak ada transaksi.

b. Adanya Objek transaksi

Objek transaksi dapat berupa barang atau jasa. Dalam akad jual-beli mobil, maka objek
transaksinya adalam mobil. Dalam akad menyewa rumah, maka objek transaksinya adalah
rumah, semikian seterusnya. Tanpa objek transaksi, mustahil transaksi akan tercipta.

c. Adanya Ijab-kabul

Ijab-kabul adalah kesepakatan kedua belah pihak yang bertransaksi. Tanpa ijab-kabul, maka
transaksi tersebut tidak sah.

Dalam kaitannya dengan kesepakatan ini, maka akad dapat menjadi batal bila terdapat:

a) Kesalahan/kekeliruan objek

b) Paksaan (ikrah)

c) Penipuan (tadlis)

Selain rukun, faktor yang harus ada supaya akad menjadi sah (lengkap) adalah syarat. Syarat
adalah sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun (sufficient condition). Contohnya
adalah bahwa pelaku transaksi haruslah orang yang cakap hukum (mukallaf). Bila rukun
sudah terpenuhi tetapi syarat lengkap sehingga transaksi tersebut menjadi fasid (rusak).
Demikian menurut Mahzab Hanafi.

Syarat bukanlah rukun, jadi tidak boleh dicampuradukkan. Dilain pihak, keberadaan syarat
tidak boleh:

a) Menghalalkan yang haram

b) Mengharamkan yang halal

c) Menggugurkan rukun

d) Bertentangan dengan rukun, atau

e) Mencegah berlakunya rukun tidak terpenuhi, rukun menjadi tidak berlaku
2. Terjadi Ta’alluq
Ta’alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, maka berlakunya
akan 1 tergantung pada akad 2.

Contohnya A menjual barang X seharga Rp 120 juta secara cicilan kepada B, dengan syarat
bahwa B harus kembali menjual barang tersebut kepada A secara tunai seharga Rp 100juta.

Transaksi diatas haram, karena ada persyaratan bahwa A bersedia menjual barang X ke B
asalkan B kembali menjual barang tersebut kepada A. dalam kasus ini, disyaratkan bahwa
akad 1 berlaku efektif bila akad 2 dilakukan. Penerapan syarat ini mencegah terpenuhinya
rukun. Dalam terminologi fiqih, kasus diatas tersebut bai’ al-‘inah. Transaksi seperti ini sangat
lazim di lembaga keuangan konvensional terutama terjadi di pasar uang atau pasar modal
dengan jangka waktu yang pendek.

3. Terjadi two in one

54

Two in one adalah kondisi dimana suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus,
sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang harus digunakan
(berlaku). Dalam terminologi fiqih, kejadian ini disebut dengan shafqatain fi al-shafqah. two in
one terjadi bila semua dari ketiga faktor dibawah ini terpenuhi:

a) Objek sama

b) Pelaku sama

c) Jangka waktu sama

Contohnya, A menjual mobil seharga Rp 100 juta kepada B yang harus dilunasi maksimal
selama 12 bulan dan selama belum lunas, A menganggap uang cicilan B sebagai uang
sewa. Dalam transaksi ini, terjadi gharar dalam akad, karena ada ketidakjelasan akad mana
yang berlaku: akad beli atau akad sewa.

3.8 Soal-soal Latihan

Jelaskan ruang lingkup syariah dan fiqh, serta hubungannya:

Jawaban:

Syariah dan Fiqh sesungguhnya berkaitan erat dan mempunyai tujuan yang sama yaitu
mengarahkan manusia pada jalan yang benar. Bila syariah bersumber dari Al-Qur’an dan
Hadist, Fiqh bersumber dari pemikiran para Ulama’ yang merujuk pada Al-Qur’an dan Hadist
Nabi SAW, yang berwujud peraturan atau perundang-undangan dimana kekuasaan dan
sangsinya ada di tangan penguasa (pemerintah). Bila syariah mengatur manusia tidak hanya
aspek lahiriah saja tetapi juga mencakup bathiniah dan mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya, maka Fiqh hanya mengatur lahiriah saja yang mencakup hubungan manusia
dengan manusia lainnya atau antar manusia. Bila syariah tidak dapat berubah seiring dengan
perkembangan manusia maka fiqh dapat berubah sesuai dengan waktu, tempat dan keadaan
manusia dan disesuaikan sesuai kebutuhan manusia

3.9 Test Sumatif

Petunjuk:

Dibawah ini terdapat dua kolom, kolom pertama berisi soal, kolom kedua berisi jawaban.
Mahasiswa diminta mencocokkan soal dengan memilih salah satu jawaban yang paling tepat
di kolom kedua:

No. Soal Jawaban

1) Fiqh berkaitan erat dengan syariah, karena fiqh pada a) Lahiriyah

dasarnya adalah penjabaran praktis dari syariah itu
sendiri. Secara etimologi fiqh berari….

2) Fiqh berkaitan dengan pemahaman yang mendalam b) Riba Nasi’ah
tentang hukum-hukum syariah yang membutuhkan
pengerahan akal manusia. Maka fiqh merupakan
produk ijtihad para ulama’ dalam memahami syariah
yang dijabarkan dalam bentuk aturan praktis dari

55

pelaksanaan syariah berdasarkan Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Fiqh yang dilahirkan dari ijtihad para ulama’
tersebut mencakup hukum-hukum syar’ie atas
perbuatan yang berupa……

3) Syariah bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist, Fiqh c) Riba Qard

bersumber dari pemikiran para Ulama’ yang merujuk

pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW, yang berwujud

peraturan atau perundang-undangan dimana

kekuasaan dan sangsinya ada di tangan penguasa

(pemerintah). Bila syariah mengatur manusia tidak

hanya aspek lahiriah saja tetapi juga mencakup

bathiniah dan mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya, maka Fiqh hanya mengatur aspek ….

4) Karena pada dasarnya semua dibolehkan, maka d) paham

larangan dalam muamalah tidak banyak, bila yang

dilarang banyak maka manusia tidak leluasa dalam

melaksanakan hukum muamalah. Secara prinsip,
larangan dalam muamalah ada tiga, yaitu….

5) Pelarangan riba dalam Al-Qur’an menurut (Chapra, e) Riba Fadhl

1985), diturunkan secara bertahap, urutkan tahapan

turunnya ayat tersebut dari pertama sampai
terakhir……

6) Tukar menukar dua barang yang sama jenisnya f) Akibat atau

dengan tidak sama timbangannya atau takarannya konsekuensinya

yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan

(barang yang dipertukarkan adalah barang ribawi).

Contoh : tukar menukar dengan emas, perak dengan

perak, beras dengan beras, gandum dan sebagainya.
Ini adalah jenis riba…..

7) Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis g) Riba, gharar dan maisir

barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang

ribawi lainnya. Jenis riba ini muncul karena adanya

perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang

diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.

Riba nasiah ini muncul karena adanya pelanggaran

kaidah al ghurmu bil ghunmi dan al kharaj bi al daman

atau hasil yang didapat tidak berbanding lurus dengan
risiko yang diterima. Ini adalah jenis riba ……

8) Meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan h) Bai’ najasy
atau tambahan bagi orang yang meminjami atau
mempiutangi. Contoh : Ahmad meminjam uang
sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi mengharuskan

56

dan mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan

hutangnya kepada Adi sebesar Rp. 30.000 maka
tambahan Rp. 5.000. ini adalah jenis riba…

9) Pada dasarnya setiap transaksi dalam muamalah i) Pertama Ar-Ruum 39,

mengandung unsur gharar, hanya saja gharar yang kedua An-Nisa 161,

tersebut ada yang ditolelir dan ada yang tidak ditolelir. ketiga Ali-Imran 130 –
Parameter ditolelirnya gharar terletak pada….. 132, keempat Al-Baqarah

275 – 281

10) Transaksi modern terjadi karena adanya rekayasa j) wajib atau sunnah, haram

pasar di sisi permintaan. Suatu produk diisukan atau makruh atau mubah

seolah-olah terjadi permintaan yang tinggi saat ini

atau di masa mendatang. Dengan adanya rekayasa

ini, maka konsumen termakan isu tersebut sehingga

memutuskan untuk membeli produk tersebut. Di bursa

efek maupun di pasar valuta asing hal ini sering

terjadi. Istilah seperti goreng menggoreng saham

misalnya atau isu valas mata uang tertentu sehingga

orang tergiur untuk melakukan pembelian besar-

besaran, padahal keadaan yang sebenarnya tidaklah

demikian. Rekayasa demand ini dalam bahasa fiqh
disebut….

3.10 Indikator Penilaian

Bab ini membahas tentang Shariah guidance pada LKS, setelah mengerjakan soal-soal
latihan, jangan beralih ke bab selanjutnya, dipersilahkan untuk mencocokkannya dengan
kunci jawaban. Gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Saudara akan
materi pada Bab ini.

Tingkat Penguasaan Materi =
Jumlah Jawaban yang Benar
Jumlah Soal (100 %)
Indikator:
90 – 100% = Baik Sekali
80 – 89% = Baik
70 – 79% = Cukup
< 70% = Kurang
Bila jawaban yang benar masih kurang dari 90%, dipersilahkan untuk mengulangi membaca
bab ini sampai jawaban yang benar mencapai lebih dari 90% atau 100%. Maka dari itu
disarankan untuk tidak memberi coretan pada soal latihan sesuai kunci jawaban terlebih
dahulu untuk menguji pemahaman materi pada bab ini.

57

V. URGENSI AKAD PADA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

4.1 Kompetensi dasar
Mampu menganalisis dan menjelaskan urgensi akad pada LKS

4.2 Kemampuan akhir

1) Menjelaskan berbagai pengertian akad menurut para ulama dan ahli
2) Menjelaskan Pembagian Akad Dalam Fiqh
3) Menjelaskan Pembagian Akad Dalam Fiqh
4) Menjelaskan akad tabarru', tijarah dan derivasinya

4.3 Pendahuluan

Akad merupakan perjanjian dari dua pihak atau lebih yang berisi kesepakatan-kesepakatan
yang harus dipenuhi dari para pihak yang melakukan transaksi. Akad dalam Islam dapat
tertulis maupun lisan yang keduanya mempunyai konsekuensi yang sama dan mengikat.
Dalam transaksi modern seperti yang dilakukan oleh bank syariah kepada nasabahnya atau
perusahaan kepada kliennya, akad yang punya kekuatan hukum adalah akad yang tertulis,
karena akad lisan sulit dibuktikan keberadaan dan kebenarannya.

Perbankan syariah saat ini banyak melakukan akad atau kontrak dengan berbagai varian jenis
sesuai kebutuhannya. Di setiap produk bank syariah terdapat akad-akad yang mengikat
kedua belah pihak misalnya pada sisi tabungan ada akad wadiah dan mudharabah, disisi
pembiayaan atau piutang ada akad murabahah, musyarakah, mudharabah, salam, istishna’
dan lainnya, disisi jasa pelayannnya ada akad wakalah, kafalah, rahn, qard dan lainnya.
Masing-masing akad memiliki karakteristik dan spesifikasi yang berbeda dengan konsekuensi
hukum yang berbeda pula. Hal ini berbeda dengan bank konvensional dimana akad disisi
aktiva hanya ada satu akad yaitu akad kredit, apapun peruntukannnya. Disisi pasiva hanya
ada satu akad yaitu akad saving, apapun jenis produknya dengan basis bunga (interest).

Islam menempatkan akad sebagai sesuatu yang sangat penting dan harus dipertanggung
jawabkan tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Pernyataan masyarakat yang masih
awam dengan fiqh sering mengambil kesimpulan bahwa bank syariah tidak ada bedanya
dengan bank konvensional, hanya berbeda akadnya. Hal demikian bisa jadi benar, karena
akad dalam Islam sangat penting. Apa bedanya antara orang yang menikah dengan orang
yang berzina? Jawabannya hanya berbeda akadnya saja. Seseorang yang berzina
berhubungan layaknya suami istri lalu punya anak (“masyarakat sering menyebutnya dengan
“anak haram”, padalah sesungguhnya bapak ibunyalah yang melakukan perbuatan haram),
lalu seorang yang telah menikah, melakukan hubungan suami istri kemudian punya anak.
Dalam kasus ini proses yang dilalui sama dengan hasil yang sama, yang membedakan adalah
yang satu tidak ada akad nikah, yang satu lagi melakukan akad nikah. Inilah pentingnya akad
dalam Islam. Maka bank syariah dengan bank konvensional bisa jadi tidak berbeda, yang
membedakan adalah akadnya. Maka yang berakad sesuai syariah halal, sedangkan yang
berakad tidak sesuai dengan syariah adalah haram.

4.4 Pengertian Akad Menurut Para Ahli

Akad atau perjanjian disebut dalam Al Quran pada Surat Al Maidah ayat 1, berikut :

58

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak,
kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan
berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-
hukum menurut yang dikehendaki-Nya.

Menurut (Djamil, 2001), pengertian akad (al-‘aqdu) secara etimologi artinya adalah perikatan,
perjanjian, dan pemufakatan (al-ittifaq). Sedangkan menurut (Mas’adi, 2002) Ikatan itu seperti
menyambung, menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah
satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali yang satu.
Difinisi yang hampir sama dikemukakan oleh (Az-Zuhaily, 1989), menjelaskan pengertian
akad sebagai berikut :

“Ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari
satu segi maupun dari dua segi.” (Az-Zuhaily, 1989)

Sedangkan al-‘ahdu secara etimologis berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau
perjanjian. (Djamil, 2001) Kata al-‘ahdu terdapat dalam QS. Ali Imran (3): 76.

“Sebenarnya barangsiapa menepati janji dan bertakwa, maka sungguh, Allah Mencintai
orang-orang yang bertakwa.”

Istilah al-‘aqdu dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUH Perdata, karena istilah
akad lebih umum dan mempunyai daya ikat kepada para pihak yang melakukan
perikatan.Sedangkan al-‘ahdu dapat disamakan dengan istilah overeenkomst, yang dapat
diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak
mengerjakan sesuatu, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan pihak lain. Janji ini
hanya mengikat bagi orang yang bersangkutan. (Djamil, 2001)

Syafe’i, (2001), mengemukakan pengertian akad secara terminology dari beberapa ulama fiqh
sebagai berikut :

1. Pengertian Umum

Pengertian akad dalam arti umum hampir sama dengan pengertian akad secara bahasa. Hal
ini dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, yaitu:

“Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti
wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua
orang seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai.”

2. Pengertian Khusus

Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqh yaitu:

“Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak
pada objeknya.”

Dalam mu’amalah (transaksi bisnis) istilah yang paling umum digunakan adalah istilah al-
‘aqdu. Karena dalam menjalankan sebuah transaksi harus terjadi perikatan yang timbul dari
kesepakatan dalam sebuah perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Menurut (Abdoerrauf, 1970), suatu perikatan (al-‘aqdu) terjadi melalui tiga tahap, yaitu :

1. Al-‘Ahdu (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji ini
mengikat orang yang menyatakannya untuk melaksanakan janjinya tersebut.

59

2. Persetujuan, yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yag dinyatakan oleh pihak
pertama. Persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.

3. Apabila dua janji tersebut dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah al-
aqdu. Maka yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan perjanjian itu
bukan lagi al-‘ahdu melainkan al-‘aqdu.

Contohnya, Si A menyatakan janji bahwa ia akan menjual sebuah Sepeda Motor, kemudian
Si B menyatakan janji bahwa ia akan membeli sebuah Sepeda Motor, maka dalam hal ini
mereka berdua berada pada tahap al-‘ahdu. Apabila mereka telah bersepakat mengenai
harga Sepeda Motor tersebut, maka terjadilah persetujuan. Kemudian Si B memberikan uang
muka sebagai tanda jadi untuk membeli Sepeda Motor Si A, maka terjadi perikatan (al-‘aqdu)
di antara keduanya.

4.5 Pembagian Akad Dalam Fiqh

Para ulama fiqh telah mengklasifikasikan jenis-jenis akad yang ditinjau dari berbagai segi,
antara lain:

1. Dari segi keabsahannya menurut syara’, (Gemala Dewi, et al.,, 2006), membaginya
menjadi dua:

a. Akad shahih

Akad yang telah memenuhi rukun dan syarat yang telah ditetapkan oleh syariat. Hukum dari
akad shahih ini adalah berlaku seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat
bagi pihak-pihak yang berakad. Akad shahih menurut ulama Hanafi dan Maliki terbagi menjadi
dua macam, yaitu:

1) Akad nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), yaitu akad yang dilangsungkan dengan
memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannnya.

(Burhanuddin S., 2009) mencontohkan misalnya, para pihak yang berakad memenuhi
syarat kecakapan untuk melakukan akad jual beli terhadap objek tertentu hukumnya sah,
setelah terjadi kesepakatan.

2) Akad mauquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi
ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad itu.

Misalnya, Ahmad memberi uang sebesar Rp 1.000.000 kepada Mahmud untuk membeli
seekor kambing. Ternyata di tempat penjual kambing, jumlah uang tersebut dapat
membeli dua ekor kambing, sehingga Mahmud membeli dua ekor kambing. Keabsahan
akad jual beli dua ekor kambing ini amat bergantung kepada persetujuan karena Mahmud
diperintahkan hanya membeli seekor kambing. Apabila Ahmad menyetujui akad yang
telah dilakukan Mahmud, maka jual beli itu menjadi sah. Jika tidak disetujui Ahmad, maka
jual beli tersebut tidak sah. Akan tetapi, ulama Syafi’i dan Hambali menganggap jual beli
mauquf ini sebagai jual beli yang batil.

Dalam fiqh, akad diatas biasa disebut dengan al-‘aqad al-fudhuli, yaitu akad yang
keabsahannya berlaku bila telah telah mendapat persetujuan dari pemilik aslinya (yang
mewakili).

b. Akad ghairu shahih

60

Akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat
hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Ulama Hanafi
membagi akad ghairu shahih itu menjadi dua macam, yaitu:

1) Akad batil yaitu akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan
langsung dari syara’.

Misalnya, objek jusl beli itu tidak jelas atau terdapat unsur tipuan (gharar), seperti menjual
ikan dalam lautan atau salah satu pihak tidak cakap bertindak hukum.

2) Akad fasid adalah akad yang pada dasarnya disyariatkan, tetapi sifat yang diakadkan itu
tidak jelas.

Misalnya, menjual rumah yang tidak jelas tipe, jenis, dan bentuknya, sehingga
menimbulkan perselisihan antara penjual dan pembeli. Jual beli ini dianggap sah apabila
unsur-unsur yang menyeModul Pembelajarankan ke-fasid-annya itu dihilangkan yakni
dengan menjelaskan tipe, jenis dan bentuk rumah yang dijual tersebut.

Akan tetapi, jumhur ulama’ fiqh menyatakan bahwa akad yang batil dan akad yang fasid
mengandung esensi yang sama, yaitu tidak sah dan akad itu tidak mengakibatkan akibat
hukum apapun.

2. Ditinjau dari segi penamaannya, para ulama fiqih menurut (Gemala Dewi, et al.,, 2006)
membagi akad menjadi dua macam, yaitu:
a. Akad musammah yaitu akad yang ditentukan nama-namanya oleh syara’ serta
dijelaskan hokum-hukumnya, seperti jual bei, sewa menyewa, perkawinan, dsb.
b. Akad ghairu musammah yaitu akad yang penamaannya ditentukan oleh masyarakat
sesuai dengan keperluan mereka di sepanjang zaman dan tempat, seperti istishna’,
bai’ al-wafa’, dsb.

3. Ditinjau dari segi disyariatkan atau tidak, menurut (Ash-Shiddieqy, 2001) terbagi menjadi
dua yaitu:
a. Akad musyara’ah yaitu akad-akad yang dibenarkan syara’, umpamanya jual beli, jual
harta yang ada harganya dan termasuk juga hibah, dan rahn.
b. Akad mamnu’ah yaitu akad-akad yang dilarang syara’, seperti menjual anak binatang
yang masih dalam kandungan.

4. Ditinjau dari sifat bendanya, menurut (Burhanuddin S., 2009) akad dibagi dua, yaitu:
a. Akad ‘ainiyah yaitu akad yang objeknya berupa benda berwujud. Karena objeknya
berupa benda, berarti hokum asalnya adalah mubah selama tidak ada dalil-dalil yang
mengharamkannya. Dalam akad yang bersifat ‘ainiyah, kesempurnaan akad
tergantung pada penyerahan benda (‘ayn) sebagai objek akad. Misalnya dalam
transaksi jual beli, akad dikatakan sempurna apabila benda yang dijadikan objek
perdagangan teah diserahkan kepada para pihak.
b. Akad ghairu ‘ainiyah, yaitu akad yang kesempurnaannya tergantung pada objek
perbuatan seseorang (fi’il) untuk melaksanakan akad. Pada akad ini,
kesempurnaannya hanya didasarkan pada bentuk perbuatan akadnya saja dan tidak
mengharuskan adanya penyerahan objek tertentu yang berupa benda. Karena
objeknya berupa perbuatan, maka ketentuan yang berlaku adalah kaidah fiqh yang
menyatakan bahwa hokum asal perbuatan manusia terikat dengan hokum syara’.
Misalnya, benda yang diwakafkan otomatis menjadi benda wakaf.

5. Ditinjau dari bentuk atau cara melakukan akad. Menurut (Ash-Shiddieqy, 2001) dibagi dua
pula, yaitu:

61

a. Akad asy-Syakli, yaitu akad-akad yang harus dilaksanakan dengan tata cara tertentu.
Misalnya, pernikahan yang harus dilakukan dihadapan para saksi, akad yang
menimbulkan hak bagi seseorang atas tanah, yang oleh undang-undang
mengharuskan hak itu dicatatkan di kantor agraria.

b. Akad ar-Radha’I, yaitu akad-akad yang tidak memerlukan tata cara. Misalnya, jual beli
yang tidak perlu di tempat yang ditentukan dan tidak perlu dihadapan pejabat.

6. Ditinjau dari dapat tidaknya dibatalkan akad. Dari segi ini akad dibagi empat macam:
a. Akad yang tidak dapat dibatalkan, yaitu aqduzziwaji. Akad nikah tak dapat dicabut,
meskipun terjadinya dengan persetujuan kedua beah pihak, akad nikah hanya dapat
diakhiri dengan jalan-jalan yang ditetapkan syari’at, seperti talak, khulu’, atau karena
keputusan hakim.
b. Akad yang dapat dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak, seperti jual beli,
shulh, dsb.
c. Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak pertama. Misal, rahn
dan kafalah merupakan keharusan bagi si rahin dan si kafil, tidak merupakan
keharusan oleh si murtahin (orang yang memegang gadai) atau si makful lahu (orang
yang memegang tanggungan). Si murtahin boeh melepaskan rahn kapan saja dia
kehendaki.
d. Akad yang dapat dibatakan tanpa menunggu persetujuan pihak kedua, yaitu seperti:
wadi’ah, ‘ariyah, dan wakalah.

7. Ditinjau dari segi tukar-menukar hak. Dari segi ini akad dibagi dua:
a. Akad muawadhah yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar timbal balik, seperti jual
beli, sewa-menyewa, shulh, terhadap harta dengan harta.
b. Akad tabarru’at yaitu akad-akad yang berdasarkan pemberian dan pertolongan,
seperti hibah dan ‘ariyah.
c. Akad yang mengandung tabarru’pada permulaan tetapi menjadi muawadhah pada
akhirnya, seperti qardh dan kafalah. Qardh dan kafalah ini permulaannya tabarru’,
tetapi pada akhirnya menjadi muawadhah ketika si kafil meminta kembali uangnya
kepada si madin. (Ash-Shiddieqy, 2001).

8. Ditinjau dari segi waktu berlakunya, menurut (Gemala Dewi, et al.,, 2006) akad terbagi
dua yaitu:
a. Akad fauriyah yaitu akad-akad yang pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang
lama. Misalnya, jual beli walaupun dengan harga yang ditangguhkan. Demikian pula
shulh, qardh, dan hibah. Semua akad ini dipandang telah selesai apabila masing-
masing pihak telah menyempurnakan apa yang dikehendaki oleh akad.
b. Akad mustamirrah dinamakan juga akad zamaniyah yaitu akadd yang pelaksanannya
memerlukan waktu yang menjadi unsur asasi dalam pelaksanaannya. Contohnya:
ijrah, ‘ariyah, wakalah, dan syirkah. Pelaksanaan akad-akad ini adalah dengan selesai
digunakannya manfaat yang disewa, atau yang dipinjam atau dilaksanakan tugas-
tugas perkongsian.

9. Ditinjau dari ketergantungan dengan yang lain. Menurut (Gemala Dewi, et al.,, 2006), Akad
dari segi ini dibagi dua, yaitu:
a. Akad ‘asliyah yaitu akad yang berdiri sendiri, tidak memerlukan adanya sesuatu yang
lain, misalnya jual beli, ijarah, wadi’ah, ‘ariyah.
b. Akad tabi’iyah yaitu akad yang tidak dapat berdiri sendiri karena memerlukan sesuatu
yang lain, seperti: rahn dan kafalah. Rahn tidak dilakukan apabila tidak ada utang.

10. Ditinjau dari segi maksud dan tujuan yang akan dicapai. Menurut (Gemala Dewi, et al.,,
2006) Akad dapat dibedakan menjadi beberapa macam:

62

a. Akad at-Tamlikiyah merupakan akad yang bertujuan untuk kepemilikan. Objek
kepemilikan dapat diwujudkan dalam bentuk benda maupun manfaat. Misalnya jual
beli, ijarah.

b. Akad al-Isytirak merupakan akad yang bertujuan melakukan kerjasama menjalankan
suatu usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Termasuk dalam kategori ini adalah
semua akad musyarakah dan mudharabah, muzara’ah, musyaqah.

c. Akad al-Ithlaq yaitu suatau akad yang bertujuan untuk menyerahkan tanggung jawab
kewenangan (tauliyah) kepada orang lain. Misalnya, wakalah.

d. Akad at-Tausiq yaitu akad yang dimaksudkan untuk menanggung atau menjamin
sesuatu yang menjadi kewajiban pihak lain. Misalnya, kafalah, hawalah, dan rahn.

e. Akad al-Hifdh yaitu akad yang dimaksudkan untuk memelihara harta benda yang
diamanahkan seseorang kepada pihak lain. Misalnya wadi’ah.

11. Ditinjau dari kompensasi akad yang akan diperoleh, (Gemala Dewi, et al.,, 2006)
membaginya menjadi dua, yaitu:
a. Akad tabarru’yaitu akad yang dimaksud untuk menolongdan murni semata-mata
karena mengharap ridha dan pahala dari Allah, sama sekali tidak ada unsur mencari
“return” ataupun motif. Akad yang termasuk kategori ini adalah: hibah, waqaf, wasiat,
dll.
b. Akad Tijarah yaitu akad yang dimaksudkan untik mencari dan mendapatkan
keuntungan berdasarkan rukun dan syarat yang harus dipenuhi semuanya. Akad yang
termasuk dalam kategori ini adalah: murabahah, salam, musyarakah, dll.

4.6 Akad dan Wa’ad

Fiqih muamalat Islam membedakan antara wa’ad dengan akad. Wa’ad adalah janji (promise)
antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak antara dua belah
pihak. Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji berkewajiban untuk
melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-
apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara
rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya,
maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral. Di lain pihak, akad mengikat
kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk
melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu.
Dalam akad, terms and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudah well-
defined). Bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat
memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati
dalam akad. (Karim A. , 2004, 2010)

4.7 Akad tabarru’, Tijarah dan Derivasinya

Sebuah transaksi didasari pada motif bisnis atau motif sosial. Dalam Islam, motif sosial
niatnya adalah membantu sesama. Utang piutang yang dilakukan untuk menolong sesama
tidak boleh dicampuri oleh kepentingan pengambilan keuntungan didalamannya, demikian
pula sebaliknya. Transaksi sosial biasanya bersifat non profit, inilah yang dimaksudkan
dengan akad tabarru’ sedangkan transaksi bisnis bertujuan untuk mendapatkan keuntungan
di dalamnya, inilah yang dimaksud dengan tajarah. (Karim A. , 2004, 2010) menjelaskan
bahwa sebuah transaksi harus jelas akadnya dari awal akad tabarru’ tidak boleh dicampur
adukkan dengan akad tijarah. Pembagian akad antara tabarru’, tijarah dan derivasinya
dijelaskan sebagai berikut:

1. Akad tabarru’

63

Akad tabarru’ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut not-for profit (transaksi
nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan
komersil. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat
kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Dalam
akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apa
pun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah SWT., bukan dari
manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada
counterpart-nya untuk sekedar menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan
akad tabarru’ tersebut. Namun ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’ itu.

Tetapi pada kenyataannya, penggunaan akad tabarru’ sering sangat vital dalam transaksi
komersil, karena akad tabarru’ ini dapat digunakan untuk menjembatani atau memperlancar
akad-akad tijarah.

Akad tabarru’ memiliki tiga bentuk, yaitu:

a. Meminjamkan uang: qard, rahn, dan hiwalah.

b. Meminjamkan jasa kita: wakalah, wadiah, dan kafalah.

c. Memberikan sesuatu: hibah, hadiah, waqf, shadaqah, dll.

2. Akad tijarah
Akad tijarah/mu’awadah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit
transaction. Akad-akad ini dilakukan dengan tujuan mecari keuntungan, karena itu bersifat
komersil.

Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah dapat dibagi menjadi
dua kelompok besar, yaitu:

a. Natural Certainty Contract (NCC)

Dalam NCC, kedua belah pihak saling mempertukarkan asset yang dimilikinya, karena itu
objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan
pasti baik jumlahnya, mutunya, harganya, dan waktu penyerahannya. Jadi secara sunnatullah
menawarkan return yang tetap dan pasti. Yang termasuk dalam kategori ini adalah: jual-beli
(al-bai’, salam dan istishna’) dan sewa-menyewa (ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik)

b. Natural Uncertainty Contract (NUC)

Dalam NUC, pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya (baik real assets
mauun financial assets) menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung resiko bersama-
sama untuk mendapatkan keuntungan. Disini keuntungan dan kerugian ditanggung bersama.
Karena itu, kontrak ini tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah
maupun waktunya. Yang termasuk dalam kontak ini adalah kontrak-kontrak investasi, seperti:
musyarakah (inan, wujuh, abdan, muwafadhah, dan mudharabah), muzara’ah, musaqah, dan
mukhabarah.

4.8 Soal-soal Latihan

Jelaskan pengertian akad secara umum dan secara khusus

Jawaban:

Pengertian Umum

64

Pengertian akad dalam arti umum hampir sama dengan pengertian akad secara bahasa. Hal
ini dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, yaitu:

“Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti
wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan
dua orang seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai.”

Pengertian Khusus

Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqh yaitu:

“Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang
berdampak pada objeknya.”

4.9 Test Sumatif

Petunjuk:

Dibawah ini terdapat dua kolom, kolom pertama berisi soal, kolom kedua berisi jawaban.
Mahasiswa diminta mencocokkan soal dengan memilih salah satu jawaban yang paling tepat
di kolom kedua:

No. Soal Jawaban
a) Tabarru’
1) Perjanjian dari dua pihak atau lebih yang berisi
kesepakatan-kesepakatan yang harus dipenuhi dari
para pihak yang melakukan transaksi, dapat tertulis
maupun lisan yang keduanya mempunyai
konsekuensi yang sama dan mengikat…..

2) Akad memiliki karakteristik dan spesifikasi yang b) Nafis dan Mauquf

berbeda dengan konsekuensi hukum yang berbeda,

berbeda dengan bank konvensional dimana akad

disisi aktiva hanya ada satu yaitu akad kredit, apapun

peruntukannnya, disisi pasiva akad saving, apapun

jenis produknya akan diperhitungkan keuntungannya
dengan satu instrument, yaitu……

3) Akad yang telah memenuhi rukun dan syarat yang c) Akad musammah dan

telah ditetapkan oleh syariat. Hukum ini berlaku ghairu musammah

seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan

mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, akad jenis
ini disebut……

4) Akad shahih menurut ulama Hanafi dan Maliki terbagi d) bunga
menjadi dua macam, yaitu:…..

5) Akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau e) Akad shahih

syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum

akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak

yang berakad, disebut……..

65

6) Ditinjau dari segi penamaannya, para ulama fiqih f) Akad
membagi akad menjadi dua macam, yaitu,,,,,,c

7) Ditinjau dari segi disyariatkan atau tidak, akad terbagi g) Pemberi janji
menjadi dua yaitu:…….

8) Ditinjau dari sifat bendanya, akad dibagi dua, h) Akad musyara’ah, dan
yaitu:….. mamnu’ah

9) Fiqih muamalat membedakan antara wa’ad dengan i) Akad ‘ainiyah dan ghairu

akad. Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak ‘ainiyah

kepada pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak
antara dua belah pihak. Wa’ad hanya mengikat satu
pihak, yakni…….

10) Sebuah transaksi didasari pada motif bisnis atau motif j) Akad ghairu shahih
sosial. Dalam Islam, motif sosial niatnya adalah
membantu sesama. Utang piutang yang dilakukan
untuk menolong sesama tidak boleh dicampuri oleh
kepentingan pengambilan keuntungan didalamannya,
demikian pula sebaliknya. Transaksi sosial biasanya
bersifat non profit, atau disebut akad…..

4.10 Indikator Penilaian

Bab ini membahas tentang Urgensi akad pada LKS, setelah mengerjakan soal-soal latihan,
jangan beralih ke bab selanjutnya, dipersilahkan untuk mencocokkannya dengan kunci
jawaban. Gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Saudara akan materi
pada Bab ini.

Tingkat Penguasaan Materi =

Jumlah Jawaban yang Benar
Jumlah Soal (100 %)

Indikator:
90 – 100% = Baik Sekali
80 – 89% = Baik
70 – 79% = Cukup

< 70% = Kurang

Bila jawaban yang benar masih kurang dari 90%, dipersilahkan untuk mengulangi membaca
bab ini sampai jawaban yang benar mencapai lebih dari 90% atau 100%. Maka dari itu
disarankan untuk tidak memberi coretan pada soal latihan sesuai kunci jawaban terlebih
dahulu untuk menguji pemahaman materi pada bab ini.

66

VI.KEDUDUKAN FATWA DALAM TATA HUKUM DI INDONESIA

5.1 Kompetensi dasar
Mampu menjelaskan kedudukan fatwa dalam tata hukum di Indonesia dan diberbagai Negara
muslim dan non muslim

5.2 Kemampuan akhir

1) Mengenalkan peran dan fungsi DSN-MUI dan fatwa-fatwanya pada dunia perbankan dan LKS
2) Menjelaskan tugas dan wewengan DSN-MUI dan proses pembuatan fatwanya
3) Menjelaskan personal dan pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan fatwa DSN-MUI, serta

keanggotaannya saat ini.

5.3 Pendahuluan

Setelah kemerdekaan, bangsa Indonesia mengalami perubahan kehidupan kebangsaan yang
drastis. Pemilu tahun 1955 adalah cermin sudut pandang kebangsaan yang diwakili berbagai
partai politik dari berbagai aliran dan idiologi. Keadaan ini berpotensi memecah ukhuwah
islamiyah dan ukhuwah wathaniyah. Maka diperlukan satu lembaga yang mewakili berbagai
keragaman aliran dan pemahaman Islam dari berbagai Ormas, baik yang besar maupun yang
kecil, namun tetap dalam kerangka pemahaman Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Organisasi itu adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dibentuk atas inisiatif Pemerintah pada tahun 1975. Tujuan
dibentuknya lembaga ini pada mulanya adalah sebagai pengarah dan pengontrol keragaman
ekspresi public tentang Islam dari berbagai mazab dan sudut pandang. Lembaga ini didukung
oleh Departemen Agama sekaligus sebagi perwakilan dari Pemerintah Republik Indonesia.
Organisasi MUI berpusat di Jakarta dan mempunyai sub koordinat sampai tingkat Kabupaten
dengan tujuan menyeragamkan opini keagamaan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia.
Sebagai representasi Ulama di Indonesia, MUI perlu membuat fatwa-fatwa keagamaan yang
menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan baik di bidang fiqh maupun kemurnian
aqidah sebagai pedoman umat Islam menjalankan ajaran agama sesuai kondisi lokal yang
ada di Indonesia. Langkah konkritnya, MUI kemudian merumuskan metode pembuatan fatwa
sebagai dasar pedoman dalam memproduksi fatwa pada tahun 1975 dan dipergunakan oleh
komisi fatwa sampai pada tahun 1986.

Tahun 1986, melalui sidang pleno MUI tanggal 18 Januari 1986 terjadi perubahan prosedur
penetapan fatwa oleh Komisi Fatwa. Sejak saat itu otoritas fatwa dibagi kepada MUI yang ada
di daerah, dimana MUI pusat memberikan fatwa yang bersifat umum terhadap masalah-
masalah keagamaan di tingkat nasional, sementara masalah keagamaan yang relevan
dengan kewilayahan diselesaikan di tingkat wilayah khusus untuk wilayah propinsi. Masalah
keagamaan yang bersifat lokal dan kedaerahan, MUI daerah dapat membuat fatwa yang
sifatnya kedaerahan namun harus berkonsultasi dengan MUI pusat melalui komisi fatwa.

Pedoman fatwa MUI mengalami beberapa perubahan, pada tahun 1997 berdasarkan SK
Dewan Pimpinan MUI Nomor : U-596/MUI/X/1997, pedoman fatwa tahun 1986
disempurnakan, kemudian disempurnakan lagi pada tahun 2003. Kewenangan dan wilayah
fatwa MUI disebutkan: MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah ke-

67

agamaan secara umum, tertuma masalah hukum fiqh dan masalah aqidah yang menyangkut
kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia. Dalam anggaran dasar MUI,
tugas utama MUI adalah memberikan fatwa-fatwa dan nasehat-nasehat baik kepada
pemerintah maupun kepada kaum muslimin mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan ke agamaan dan persoalan yang dihadapi bangsa. MUI diharapkan dapat
menggalang persatuan umat, baik bagi kaum ulama, masyarakat dan Negara, dan juga
bertindak sebagai penengah antara kaum ulama dengan pemerintah dan sebagai jubir
mewakili kaum muslimin berbicara di berbagai forum umat Islam atau antar Agama.

Pada pembentukan pertama tahun 1975 komisi fatwa berjumlah 7 orang dari wakil ulama dan
ormas Islam, jumlah ini terus berubah setiap pergantian kurun waktu kepengurusan komisi
fatwa 5 tahun sekali, yang pada tahun 2005-2010 beranggotakan sebanyak 41 orang.
Sidang Komisi Fatwa harus dihadiri anggota komisi fatwa yang telah diangkat pimpinan pusat
MUI dan pimpinan MUI propinsi dan memanggil para ahli apabila diperlukan. Sidang komisi
fatwa harus diselenggarakan apabila ada permintaan atau kebutuhan yang oleh MUI
dianggap dan perlu dikeluarkan Fatwa. Kebutuhan yang dianggap perlu dikeluarkan fatwa
dapat saja datang dari masyarakat, pemerintah, lembaga sosial, atau respon MUI terhadap
masalah tertentu. Untuk mengeluarkan fatwa dapat dilakukan satu kali sidang atau dapat
berkali-kali, tergantung tingkat kuantitas permasalahan di masyarakat. Permasalahan yang
banyak meminta perhatian biasanya sangat sulit untuk dilakukan penetapan fatwa dan perlu
dilakukan beberapa kali sidang fatwa contonya yang terjadi pada fatwa rokok, fatwa
ahmadiyah, fatwa teroris, fatwa pluralarisme. Dalam satu kali sidang dapat saja dikeluarkan
beberapa fatwa seperti fatwa fasektomi, tubektomi, dan sumbangan kornea mata.

Pedoman prosedur fatwa adalah sebagai berikut:

1. Dasar penetapan umum fatwa

a. Aktivitas penetapan Fatwa dilakukan secara kolektif oleh lembaga Komisi fatwa MUI.
Di Indonesia khususnya yang dipelopori oleh MUI, fatwa dilakukan secara kolektif agar
terjadi kesamaan pemahaman di masyarakat yang berasal dari berbegai latar
belakang dan mazhab yang berbeda. Fungsi MUI adalah menyatukan dan mengambil
jalan tengah berdasarkan dalil dan alasan terkuat tanpa mengabaikan adat istiadat
yang berlaku di masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariah.

b. Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif.

Fatwa yang dikeluarka oleh Komisi fatwa MUI harus menjawab permasalahan
masyarakat yang berkembang dan dinamis. Maka MUI harus proaktif dan antisipatif
atas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat di seluruh wilayah Republik
Indonesia dan menjadi solusi yang komprehensif.

2. Dasar-dasar (dalil) Fatwa. Setiap fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi fatwa harus
berdasarkan: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, Qiyas dan dalil-dalil lain yang mu’tabar.

3. Masalah yang sudah jelas hukumnya akan difatwakan sesuai dengan apa adanya.

Fiqh boleh berbeda berdasarkan ijtihad para fuqoha yang kompeten sesuai jaman dan
tempatnya, namun masalah-masalah yang telah jelas hukumnya dengan dalil yang kuat
dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul tidak boleh dibuat fatwa yang bertetangan dengannya,
apapun alasannya. Adapun masalah-masalah yang menjadi perdebatan hukumnya,
Komisi Fatwa MUI dapat mengambil jalan tengah yang tidak merugikan semua kalangan

68

dan merepresentasikan fiqh ke Indonesiaan yang boleh jadi berbeda dengan yang ada di
Timur Tengah atau di belahan dunia Islam lainnya.

4. Masalah-masalah yang khilafiah dikalangan Mazhab Fiqh

a. Di usahakan melalui metode al-jam’u wa al-talfiq, yaitu usaha titik temu

b. Apabila tidak dapat diselesaikan dengan metode talfiq maka perbedaan dapat
diusahakan dengan penyelesaian muqaranah, atau perbandingan dasar pendapat
(comperative legal opinion). Penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih yang di
anggap lebih kuat melalui kaedah-kaedah dan Ushul Fiqh sebagai parameter tarjih.

5. Masalah yang tidak dapat diselesaikan melalui prosedur di atas penetapan fatwa
didasarkan kepada hasil ijtihad. Fatwa hasil ijtihad haruslah berasal dari corak ijtihad
jama’iy (kolektif) dengan perluasan dalil metode bayani, ta’lili (qiyasi, istihsan, ilhaqqi),
Istilahi dan sadd al-dzari’ah.

6. Prinsip utama fatwa harus memperhatikan kemaslahatan umum (mashalih’ammah) dan
maqashid al-syari’ah.

5.4 Mengenal DSN-MUI

Sebagai representasi dari khidmad terhadap kehidupan umat Islam di Indonesia, Majelis
Ulama Indonesia (MUI) mengemban tugas memberi fatwa keagamaan untuk membimbing
dan membina umat Islam di Indonesia agar beragama sesuai dengan tuntunan dan jalan yang
benar sesuai yang diinginkan oleh syariah Islam. Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI terbagi
dalam tiga kelompok :

1. Fatwa tentang kehalalan produk makanan, minuman dan kosmetika yang
permasalahannya ditangani oleh LPPOM. Fatwa ini sangat bermanfaat untuk melindungi
konsumen terutama konsumen muslim agar mendapatkan produk yang halal dan terbebas
dari produk-produk haram agar dapat melaksanakan ajaran agama sesuai dengan kaidah
yang sebenarnya. Umat Islam berhak mendapatkan perlindungan dari serangan produk
non halal karena dapat merusak dan menjadi penghalang diterimanya amal ibadah oleh
Allah SWT.

2. Fatwa yang berkaitan dengan kemasyarakatan, kesehatan, dan sebagainya yang
ditangani oleh Komisi Fatwa. Masyarakat muslim harus mendapatkan perlindungan dari
ajaran-ajaran yang menyimpang dan sesat yang banyak disebarkan oleh oknum-oknum
muslim yang tidak memahami Islam secara benar dan mengandung kesyirikan. Komisi
Fatwa juga memberikan fatwa-fatwa tentang kesehatan masyarakat contohnya rokok,
kopi yang berasal dari kotoran luwak dan lainnya. Dengan dikeluarkannya fatwa-fatwa
tersebut, maka masyarakat dapat bimbingan dan arahan dalam menjalankan agamanya
secara benar sesuai syariah.

3. Fatwa tentang perekonomian Islam yang dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN-
MUI).

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), yaitu sebuah lembaga di
bawah Majelis Ulama Indonesia yang beranggotakan para ahli hukum Islam (fuqahaa)
serta para ahli dan praktisi ekonomi, terutama sektor keuangan, baik bank maupun non
bank, yang berfungsi untuk melaksanakan tugas-tugas MUI dalam mendorong dan
memajukan ekonomi umat. DSN-MUI bertugas untuk menggali dan merumuskan nilai-
nilai syari’ah dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di

69

lembaga keuangan syariah. DSN-MUI juga mempunyai tugas mengawasi pelaksanaan
dan implementasi fatwa-fatwa tersebut di lembaga keuangan syariah melalui Dewan
Pengawasan Syariah (DPS) yang merupakan kepanjangan tangan DSN-MUI di lembaga
keuangan syariah. (Abdurrachman, 2008)

Berdirinya DSN-MUI tidak terlepas dari runtutan perintiwa sejarah awal terbentuknya
sampai saat ini :
1. Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syari’ah yang diselenggarakan MUI Pusat pada

tanggal 29-30 Juli 1997 di Jakarta merekomendasikan perlunya sebuah lembaga yang
menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan
syariah (LKS).

2. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan rapat Tim Pembentukan Dewan Syariah
Nasional (DSN) pada tanggal 14 Oktober 1997.

3. Dewan Pimpinan MUI menerbitkan SK No. Kep-754/MUI/II/1999 tertanggal 10
Februari 1999 tentang Pembentukan Dewan Syari’ah Nasional MUI.

4. Dewan Pimpinan MUI mengadakan acara ta’aruf dengan Pengurus DSN-MUI tanggal
15 Februari 1999 di Hotel Indonesia, Jakarta.

5. Pengurus DSN-MUI untuk pertama kalinya mengadakan Rapat Pleno I DSN-MUI
tanggal 1 April 2000 di Jakarta dengan mengesahkan Pedoman Dasar dan Pedoman
Rumah Tangga DSN-MUI.

6. Susunan Pengurus DSN-MUI saat ini berdasarkan Surat Keputusan Majelis Ulama
Indonesia No : Kep-487./MUI/IX/2010 tentang Susunan Pengurus Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI), Periode 2010 – 2015. Adapun
pimpinan DSN-MUI secara ex-officio dijabat oleh Ketua Umum MUI, Dr. K.H.
Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz (semoga Allah mengasihinya) selaku ketua dan
Sekretaris Jenderal MUI, Drs.H.M. Ichwan Sam selaku sekretaris, serta DR. K.H.
Ma’ruf Amin selaku ketua pelaksana.

DSN-MUI mempunyai Visi dan Misi sebagai berikut:

Visi dari DSN-MUI adalah : Memasyarakatkan ekonomi syariah dan mensyariahkan ekonomi
masyarakat. Untuk mewujudkan visi tersebut, DSN-MUI mempunyai Misi :
Menumbuhkembangkan ekonomi syariah dan lembaga keuangan/bisnis syariah untuk
kesejahteraan umat dan bangsa. (http://www.dsnmui.or.id/index.php?page=sekilas diakses
19/04/2017 pukul 13.34)

5.5 Tugas & Wewenang DSN-MUI

DSN-MUI sebagai lembaga yang mengeluarkan fatwa terutama sebagai petunjuk
operasional pelaksanaan syariah LKS, memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:

1. Mengeluarkan fatwa tentang ekonomi syariah untuk dijadikan pedoman bagi praktisi
dan regulator.

2. Menerbitkan rekomendasi, sertifikasi, dan syariah approval bagi lembaga keuangan
dan bisnis syariah.

3. Melakukan pengawasan aspek syariah atas produk/jasa di lembaga keuangan/bisnis
syariah melalui Dewan Pengawas Syariah.

70

Wewenang DSN-MUI
1. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di masing-masing

lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait.
2. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang

dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank
Indonesia.
3. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan
duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada suatu lembaga keuangan dan
bisnis syariah.
4. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam
pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam
maupun luar negeri.
5. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan
penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.
6. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila
peringatan tidak diindahkan (http://www.dsnmui.or.id/index.php?page=sekilas diakses
19/04/2017 pukul 13.34)
5.6 Keanggotaan DSN-MUI
DSN-MUI dalam mengeluarkan fatwa memprosesnya sesuai mekanisme yang telah
dijelaskan di atas. Mekanisme tersebut harus dihadiri dan disahkan oleh kuorum sesuai
mekanismenya. Adapun keanggotaan dan strukturnya dapat dilihat seperti gambar berikut :

Bagan I.39-1 Struktur DSN-MUI
Sumber : (DSN-MUI, 2015)

Struktur kepengurusan DSN-MUI masa khidmad 2015-2020 adalah sebagai berikut:
PENGURUS PLENO DSN-MUI
MASA KHIDMAT 2015-2020

71

Ketua : DR. KH. Ma'ruf Amin
Wakil Ketua
: 1. Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A.
Sekretaris 2. Drs. KH. Slamet Effendy Yusuf, M.Si.
Wakil Sekretaris 3. Prof. Dr. H. Muhammad.Amin Suma, S_.H., M.A., M.M.

Anggota : Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag.

: Drs. H. Zainut Tauhid Sa'adi, M.Si.

: Dr. H. M. Asrorun Ni'am Sholeh, M.A.

: 1. Dr. H. M. Anwar lbrahim
2. Prof. Dr. H. Samsul Anwar, M.A.
3. KH. Muhyiddin Djunaidi, M.A.
4. Prof. Dr. H. Maman Abdurrahman, M.A.
5. Prof. Dr. H. Oyo Sunaryo Mukhlas, M.Si.
6. Muhammad Siddiq
7. Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo, M.A.
8. Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, M.A.
9. Dr. H. Subarjo Joyosumarto
10. Drs. H. Kamaen A. Perwataatmadja, M.P.A., FilS.
11. Dr. H. M. Syafi'i Antonio, M.Ec.
12. Prof. Dr. KH. Achinad Satori Ismail
13. Prof. Dr. H. Decie Rosada, M.A.
14. Prof. Dr. H. Utang Ranuwijaya; M.A.
15. Dra. Hj. Mursyidah Thahir, M.A.
16. Dr. H. Jafril Khalil, M.C.L., FilS.
17. Dr. H. Ahmad Sayuti Anshari Nasution, M.A.
18. Prof. Dr. Hj. Uswatun Hasanah
19. Dr. Hj. Umi Khusnul Khotimah, M.A.
20. Dra. Hj. Siti Ma'rifah, S.H., MM
21. Dr. Mulya E. Siregar
22. Dahlan Siamat, S.E., M.M.
23. Suminto Sastrosuwito '

72

Ketua 24. Ahmad Buchori
Wakil Ketua 25. Edy Setiadi
26. Moch. Muchlasin
Sekretaris 27. M. Jusuf Wibisana
Wakil Sekretaris 28. Fadilah Kartikasasi
29. Friderica Widyasari Dewi
Bendahara 30. H. Muh. Taufik Ridlo, Lc., M.A.
31. Ir. H. Muhammad Syakir Sula, A.A.I.J., FilS.
32. Drs. Agustianto Mingka, M.A.
33. Dr. H.M. Cholil Nafis, Lc., M.A.
34. Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad
35. H. Zafrullah Salim, S.H., M.H.
36. H. Muhammad Faiz, M.A.
37. Dr. H. Jeje Zaenuddin
38. H. Misbahul Ulum, M.Si.
39. Hj. Siti Haniatunnisa, L.L.B., M.H.
40. Dr. Hj. Gusniarti, M.A.

BADAN PELAKSANA HARIAN (BPH)
MASA KHIDMAT 2015-2020

: DR. KH. Ma'ruf Amin

: 1. Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, M.A.
2. Prof. Dr. H. Jaih Mubarok, S.E., M.H., M.Ag.
3. Ir. H. Adiwarman A. Karim, SE, M.B.A., M.A.EP.
4. Dr. Hasanudin, M.Ag.

: Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag.

: 1. Drs. H. Sholahudin Al Aiyub, M.Si.
2. Dr. H. Setiawan Budi Utomo
3. H. Kanny Hidaya, S.E., M.A.
4. M. Gunawan Yasni,
S.E.Ak.,M.M.,C.I.F.A.,F.I.I.S.,C.R.P.

: Dr. Ir. H. Nadratuzzaman Hosen, M.Ec.

73

Wakil Bendahara : Dr. H. Amirsyah Tambunan, M.A.
Bidang Perbankan
Ketua : H. lkhwan Abidin Basri, M.A., M.Sc.
Sekretaris : Dr. H. Oni Sahroni, M.A.
Anggota : 1. H. Cecep Maskanul Hakim, M.Ec.

Bidang Pasar Modal 2. Dr. KH. Abdul Ghofur Maimun
Ketua 3. Dr. H. Muhammad Maksum, M.A.
Sekretaris 4. Dr. Jaenal Effendi, M.A.
Anggota 5. Dr. H. Rahmat Hidayat, S.E., M.T.

Bidang IKNB : lggi H. Achsien, S.E., M.B.A.
Ketua : Ah. Azharuddin Lathif, M.H., M.Ag.
Sekretaris : 1. Muhammad Touriq, S.E., M.B.A.
Anggota
2. Dr. Yulizar Djamaludin Sanrego, M.Ec.
Bidang Bisnis dan Wisata 3. Dr. Irfan Syauqi Beik, M.Sc.
4. Mohammad Bagus Teguh Perwira, Lc., M.A.
5. Dr. H. Noor Achmad, M.A.

: Ir. H. Agus Haryadi, A.A.A.I.J., FilS. A.S.A.I.
: Dr. H. Mohamad Hidayat, M.B.A., M.H.
: 1. A.M. Hasan Ali, M.A.

2. Priyono, S.E.
3. Amin Musa, S.E.
4. Drs. Asep Supyadillah, M.Ag.
5. H. Azrul Tanjung, S.E., M.Si.

74

Ketua : Dr. dr. H. Endy M. Astiwara, M.A., A.A.A.I.J.,
C.P.L.H.I., FilS.
Sekretaris
Anggota : Moch. Bukhori Muslim, Lc., M.A.

: 1. Prof. Drs. H. M. Nahar Nahrawi, S.H.
2. Drs. H. Aminudin Yakub, M.A.
3. Dr. Nasimul Falah, S.H., M.H.
4. M. Dawud Arif Khan, E.Ak., M.Si., C.P.A.
5. Hery Sucipto, Lc., M.M.

Sumber: (http://www.dsnmui.or.id/, 2017)

5.7 Pengertian Fatwa

Secara bahasa fatwa berarti petuah, nasihat, jawaban pertanyaan hukum. Menurut
Ensiklopedi Islam, fatwa adalah pendapat mengenai suatu hukum dalam Islam yang
merupakan tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa
dan tidak mempunyai daya ikat. Menurut (Qardawi, 1997), fatwa adalah keterangan hukum
syariah dalam suatu persoalan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta
fatwa (mustafti) baik secara perorangan atau kolektif. Fatwa bersifat dinamis, karena
merupakan tanggapan terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat/
peminta fatwa.

Fatwa merupakan salah satu metode dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dalam menerangkan
hukum-hukum syara’, ajaran-ajarannya, dan arahan-arahanya. Kadang-kadang penjelasan
itu diberikan tanpa adanya pertanyaan atau perintah fatwa, terkadang penjelasan itu datang
setelah adanya pertanyaan dan permintaan fatwa terlebih dahulu, misalnya dalam Al-Qur’an,
dengan menggunakan perkataan .....(mereka bertanya kepadamu), dan .... (mereka meminta
fatwa kepadamu).

Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta, suatu istilah yang merujuk pada profesi
pemberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang
meminta fatwa disebut mustafti. Peminta fatwa bisa perseorangan, lembaga ataupun siapa
saja yang membutuhkannya. Kedudukan fatwa sangat penting, karena mufti (pemberi
fatwa) merupakan penerus tugas Nabi, sehingga berkedudukan sebagai khalifah dan ahli
waris Nabi SAW.“Ulama adalah pewaris para Nabi”. Seorang mufti menggantikan kedudukan
Nabi SAW, dalam menyampaikan hukum-hukum Islam, mengajar manusia, dan
memberi peringatan kepada mereka agar sadar dan berhati-hati. Di samping menyampaikan
apa yang diriwayatkan Nabi SAW, Mufti juga menggantikan kedudukan Beliau dalam
memutuskan hukum-hukum yang digali dari dalil-dalil, hukum-hukum melalui analisis dan
ijtihadnya.

Dari penjelasan atas fatwa di atas, maka hal-hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan
fatwa adalah:

75

1. Fatwa bersifat responsif, yang merupakan jawaban hukum yang dikeluarkan setelah
adanya suatu pertanyaan atau permintaan fatwa (based on demand). Pada umumnya
fatwa merupakan jawaban atas pertanyaan yang merupakan peristiwa atau kasus yang
terjadi.

2. Dari segi kekuatan hukum, fatwa tidaklah bersifat mengikat, orang yang meminta fatwa
(mustafti) baik perorangan, lembaga maupun masyarakat luas tidak harus mengikuti isi
atau hukum yang diberikan kepadanya. Sehingga agar dapat mengikat fatwa harus
diadopsi atau diformalisasi oleh regulator.

5.8 Eksistensi Fatwa dalam Hukum Positif di Indonesia

Dalam konstelasi hukum Islam, fatwa berkedudukan penting, mufti (pemberi fatwa), adalah
khalifah dan ahli waris Nabi SAW. Dalam sebuah hadits diriwayatkan Abud Daud dan Tirmidzi,
Rasulullah bersabda “ulama merupakan ahli waris para Nabi” dalam menyampaikan hukum
syariat, mengajar manusia, dan memberi peringatan kepada mereka agar sadar dan berhati-
hati. (Qardhawi, 1997). Maka tidak boleh seseorang berfatwa, padahal ia tidak menguasai
bahkan ia tidak dimintai fatwa oleh orang lain, hal demikian pasti lebih banyak mudharatnya
daripada manfaatnya. Dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa
memberi fatwa tanpa berdasarkan ilmu, maka dosanya ditanggung oleh orang yang memberi
fatwa kepadanya.” (HR. Ibnu Majah). Di Indonesia, mufti tersebut diperankan oleh Majelis
Ulama Indonesia sebagai wadah atau majelis yang menghimpun para ulama,zu’ama dan
cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam
Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama.

Dalam perspektif objektivitas hukum, fatwa memiliki kekuatan mengikat setiap orang yang
beragama Islam, akan tetapi secara legal formal, fatwa tidak memiliki kekuatan mengikat pada
hukum positif di Indonesia. Maka eksistensi fatwa diperdebatkan ketikan pembuat fatwa
(mufti) dilembagakan oleh Negara. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Pasal 7 ayat (1)
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hierarkhi peraturan perundang-
undangan di Indonesia adalah:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dari hirarki di atas terlihat bahwa posisi Fatwa DSN - MUI tidak merupakan suatu jenis
peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum. Lalu
bagaimana kedudukan fatwa DSN-MUI dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?,
padahal Fatwa DSN-MUI telah disebut dan terdapat di berbagai peraturan perundang-
undangan yang ada di Indonesia, antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;

3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara;

76

4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; dan

5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.

Maka dari itu tidak bisa dipungkiri bahwa kedudukan fatwa DSN-MUI merupakan perangkat
aturan kehidupan masyarakat yang bersifat mengikat bagi Bank Indonesia dan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) sebagai regulator serta bagi dunia perbankan dan lembaga keuangan
syariah lainnya suatu kewajiban agar materi muatan yang terkandung dalam Fatwa MUI dapat
diserap dan ditransformasikan dalam merumuskan prinsip-prinsip syariah dalam bidang
perbankan syariah menjadi materi berbagai peraturan yang memiliki kekuatan hukum dan
mengikat. Oleh karena itu Bank Indonesia dan OJK, tidak dapat membuat suatu peraturan
terkait perbankan syariah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah yang ditentukan
dalam fatwa DSN-MUI. Fattwa DSN-MUI adalah satu-satunya materi yang dapat dijadikan
pedoman dalam pembuatan Peraturan Bank Indonesia dan OJK, oleh karena itu Bank
Indonesia dan OJK tidak boleh mengacu pada fatwa yang diterbitkan oleh institusi lain,
meskipun institusi yang mengeluarkan fanva tersebut adalah institusi yang berkompeten dan
sering mengeluarkan fatwa.

5.9 Prosedur Penetapan Fatwa (Manhaj fi Itsbat al-Fatwa)

Persoalan kemasyarakatan yang timbul dari waktu ke waktu mengalami perubahan
kompleksitas dalam berbagai bentuk dan metode penyelesaiannya. Hal demikian tidak
mungkin dapat terjawab bila hanya berpaku pada nash saja, karena nash sifatnya terbatas,
sedangkan persoalan berkembang seiring dinamika kehidupan masyarakat. Persoalan-
persoalan tersebut juga tidak bisa terjawab dengan aqwal pada kitab-kitab klasik dari para
fuqoha terdahulu (al-kutub al mu’tabarah), dimana penulisnya sudah tiada ratusan bahkan
ribuan tahun silam. Segala persoalan kekinian di masyarakat sesunguhnya telah direspon
melalui aqwal, afwal dan tasharruf fuqoha atau para ulama terdahulu, namun karena
persoalan terus bermunculan seiring jaman, teknologi dan perilaku masyarakat, maka tidak
bijak bila membiarkan semua persoalan tanpa jawaban pasti, dengan alasan tidak ada nash
atau tidak ada dasar di dalam al-kutub al-mu’tabarah. Persoalan di masyarakat saat ini
terkadang merupakan “qaulun lam yaqulhu ahadun minas salaf” (pendapat yang belum
pernah diutarakan oleh ulama terdahulu), terkadang merupakan “amalun lam ya’malhu
ahadun minas salaf” (suatu aktifitas yang belum pernah dilakukan oleh ulama salaf) atau
“tasharrufun lam yatasharrafhu ahadun minas salaf” (kebijakan yang belum pernah ditetapkan
oleh ulama terdahulu). Membiarkan persoalan tapa jawaban atasnya adalah sebuah
kesalahan sikap yang tidak dibenarkan oleh syar’ie maupun secara I’tiqadi. Disinilah fungsi
fatwa dari para ulama dalam merespon atas segala persoalan kemasyarakatan dibutuhkan.
Maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempunyai peran besar dalam merespon dan
menjawab persoalan kemasyarakatan dari waktu ke waktu.

Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI terbagi dalam tiga kelompok :

1. Fatwa tentang kehalalan produk makanan, minuman dan kosmetika yang ditangani oleh
LPPOM.
Fatwa ini sifatnya mengikat karena dibutuhkan untuk perlindungan konsumen. Undang-
undang perlindungan konsumen membutuhkan fatwa ini untuk menjamin umat islam di
Indonesia agar produk-produk yang dikonsumsinya terjamin kehalalannya.

2. Fatwa yang berkaitan dengan kemasyarakatan, kesehatan, dan sebagainya yang
ditangani oleh Komisi Fatwa.

77

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam menetapkan fatwa dilakukan melalui tiga
pendekatan, yaitu:
● Berdasarkan nash qath’i. Pendekatan nash qath’i dilakukan dengan berpegang

kepada nash Al-Qur’an atau Al-Hadits untuk sesuatu masalah apabila masalah yang
ditetapkan terdapat dalam nash Al-Qur’an ataupun al-Hadits secara jelas.
● Berdasarkan pada pendapat para mujtahid (qauli). Pendekatan qauli dilakukan apabila
jawaban dapat dicukupi olehpendapat dalam al-kutub al-mu’tabaroh dan hanya
terdapat satu pendapat (qaul), kecuali jika qaul yang ada dianggap tidak cocok lagi
untuk dipegangi karena ta’assur atau ta’adzdzur al-’amal atau shu’ubah al-’amal,
sangat sulit untuk dilaksanakan, atau karena illat-nya berubah. Dalam hal ini perlu
dilakukan telaah ulang (i’adatun nazhar). Melakukan telaah ulang merupakan
kebiasaan para ulama terdahulu. Karena itu mereka tidak terpaku terhadap teks-teks
hukum yang ada bila teks-teks tersebut sudah tidak tepat lagi untuk dipegangi.
● dan pendekatan manhaji yaitu manhaj yang ditempuh oleh para ulama salaf dan
kholaf.
3. Fatwa tentang perekonomian Islam yang dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN-
MUI).
Fatwa DSN-MUI sifatnya mengikat karena telah disebutkan dalam undang-undang
perbankan dan undang-undang perbankan syariah. Artinya keberadaan fatwa DSN-MUI
telah diregulasi dalam system perundang-undangan di Indonesia.

5.10 Proses Pembuatan Fatwa DSN-MUI

Penetapan fatwa tentang ekonomi Islam dilakukan oleh sebuah rapat pleno yang dihadiri oleh
semua anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Bank
Indonesia atau lembaga otoritas keuangan lainnya, dan pelaku usaha baik perbankan,
asuransi, pasar modal, maupun lainnya.

Alur penetapan fatwa tentang ekonomi syariah adalah sebagai berikut:

1. Badan Pelaksana Harian DSN-MUI menerima usulan atau pertanyaan hukum mengenai
suatu produk lembaga keuangan syariah. Usulan atau pertanyaan hukum ini bisa
dilakukan oleh praktisi lembaga perekonomian melalui Dewan Pengawas Syariah atau
langsung ditujukan pada sekretariat Badan Pelaksana Harian DSN-MUI.

2. Sekretariat yang dipimpin oleh sekretariat paling lambat satu hari kerja setelah menerima
usulan/pertanyaan harus menyampaikan permasalahan kepada ketua.

3. Ketua Badan Pelaksana Harian DSN-MUI bersama anggota BPH DSN-MUI dan staff ahli
selambat-lambatnya 20 hari kerja harus membuat memorandum khusus yang berisi telaah
dan pembahasan terhadap suatu pertanyaan atau usulan hukum tersebut.

4. Ketua Badan Pelaksana Harian DSN-MUI selanjutnya membawa hasil pembahasan ke
dalam Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia untuk mendapat
pengesahan hasilnya.

5. Memorandum yang sudah mendapat pengesahan dari rapat pleno DSN-MUIditetapkan
menjadi fatwa DSN-MUI. Fatwa tersebut ditandatangani oleh ketua DSN-MUI (ex officio
Ketua Umum MUI) dan Sekretaris DSN-MUI (ex officio Sekretaris Umum MUI).

6. Dalam rangka agar fatwa menjadi hukum positif sehingga dapat dijadikan rujukan oleh
peradilan dan instansi yang berkompeten, materi fatwa diberi bingkai oleh Bank Indonesia
(BI) dengan bentuk peraturan-peraturan atau surat edaran. (Abdurrachman, 2008)

78

Proses tersebut seperti terlihat pada bagan berikut :

Bagan I.43-1 Proses Pembuatan Fatwa DSN-MUI
Sumber : (DSN-MUI, 2015)

Alur pembuatan fatwa DSN-MUI seperti terlihat pada alur bagan di atas:
1. Lembaga Kauangan Syariah (LKS) melalui DPS atau Otoritas Keuangan semisal OJK

atau Bank Indonesia sebagai Mustafti membutuhkan fatwa dalam menjalankan
operasionalnya atau membuat produk baru yang belum ada pedoman fatwanya kepada
DSN-MUI.
2. DSN-MUI melakukan pendalaman atas permintaan fatwa yang diajukan oleh LKS atau
Otoritas yang mengatur LKS. Dari pendalaman masalah tersebut kemudian dirumuskan
permasalahan untuk didalami oleh BPH-DSN (Badan Pengurus Harian – Dewan Syariah
Nasional).
3. BPH melakukan pengkajian intensif dan melibatkan pakar di bidangnya serta praktisi
untuk dimintai keterangan mendalam atas praktek di lapangan atas fatwa yang akan
dikeluarkan (didalami). BPH kemudian mengkaji dalil-dalil yang mendasari serta menggali
dari kitab-kitab klasik karya para ulama yang diakui dan kitab-kitab fiqh kontemporer yang
relevan (al kutub al mu’tabarah) untuk mendapatkan jawaban relevan atas persoalan yang
diajukan fatwanya.
4. Hasil kajian BPH kemudian dituangkan dalam draft fatwa untuk dibahas dalam rapat pleno
DSN-MUI, karena fatwa hanya bisa dikeluarkan dalam rapat pleno DSN-MUI.
5. Bila rapat pleno telah menyetujui (setelah melakukan pengkajian mendalam) draft fatwa
yang diajukan ole BPH-DSN, maka fatwa dapat dikeluarkan dengan ditandatangani oleh
Ketua DSN-MUI dan Sekretaris DSN-MUI.
5.11 Soal-soal Latihan
Jelaskan pengelompokan fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Jawaban:
Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI terbagi dalam tiga kelompok :

79

1. Fatwa tentang kehalalan produk makanan, minuman dan kosmetika yang
permasalahannya ditangani oleh LPPOM. Fatwa ini sangat bermanfaat untuk melindungi
konsumen terutama konsumen muslim agar mendapatkan produk yang halal dan terbebas
dari produk-produk haram agar dapat melaksanakan ajaran agama sesuai dengan kaidah
yang sebenarnya. Umat Islam berhak mendapatkan perlindungan dari serangan produk non
halal karena dapat merusak dan menjadi penghalang diterimanya amal ibadah oleh Allah
SWT.

2. Fatwa yang berkaitan dengan kemasyarakatan, kesehatan, dan sebagainya yang
ditangani oleh Komisi Fatwa. Masyarakat muslim harus mendapatkan perlindungan dari
ajaran-ajaran yang menyimpang dan sesat yang banyak disebarkan oleh oknum-oknum
muslim yang tidak memahami Islam secara benar dan mengandung kesyirikan. Komisi
Fatwa juga memberikan fatwa-fatwa tentang kesehatan masyarakat contohnya rokok, kopi
yang berasal dari kotoran luwak dan lainnya. Dengan dikeluarkannya fatwa-fatwa tersebut,
maka masyarakat dapat bimbingan dan arahan dalam menjalankan agamanya secara benar
sesuai syariah.

3. Fatwa tentang perekonomian Islam yang dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional
(DSN-MUI).

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), yaitu sebuah lembaga di
bawah Majelis Ulama Indonesia yang beranggotakan para ahli hukum Islam (fuqahaa) serta
para ahli dan praktisi ekonomi, terutama sektor keuangan, baik bank maupun non bank,
yang berfungsi untuk melaksanakan tugas-tugas MUI dalam mendorong dan memajukan
ekonomi umat. DSN-MUI bertugas untuk menggali dan merumuskan nilai-nilai syari’ah
dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga
keuangan syariah. DSN-MUI juga mempunyai tugas mengawasi pelaksanaan dan
implementasi fatwa-fatwa tersebut di lembaga keuangan syariah melalui Dewan
Pengawasan Syariah (DPS) yang merupakan kepanjangan tangan DSN-MUI di lembaga
keuangan syariah.

5.12 Test Sumatif

Petunjuk:

Dibawah ini terdapat dua kolom, kolom pertama berisi soal, kolom kedua berisi jawaban.
Mahasiswa diminta mencocokkan soal dengan memilih salah satu jawaban yang paling tepat
di kolom kedua:

No. Soal Jawaban

1) Setelah kemerdekaan, bangsa Indonesia mengalami a) Lembaga Keuangan

perubahan kehidupan kebangsaan yang drastis. Syariah (LKS)

Pemilu tahun 1955 adalah cermin sudut pandang

kebangsaan yang diwakili berbagai partai politik dari

berbagai aliran dan idiologi. Keadaan ini berpotensi

memecah ukhuwah islamiyah dan ukhuwah

wathaniyah. Maka diperlukan satu lembaga yang

mewakili berbagai keragaman aliran dan pemahaman

Islam dari berbagai Ormas, baik yang besar maupun

80

yang kecil, namun tetap dalam kerangka pemahaman
Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Organisasi itu
adalah…..

2) Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI terbagi dalam tiga b) Majelis Ulama Indonesia

kelompok. Fatwa tentang kehalalan produk makanan, (MUI)

minuman dan kosmetika yang permasalahannya
ditangani oleh………

3) Fatwa yang berkaitan dengan kemasyarakatan, agar c) DSN-MUI
masyarakat muslim harus mendapatkan perlindungan
dari ajaran-ajaran yang menyimpang dan sesat yang
disebarkan oleh oknum-oknum muslim yang tidak
memahami Islam secara benar dan mengandung
kesyirikan ditangani oleh……….

4) Fatwa tentang perekonomian Islam untuk menggali d) Fatwa
dan merumuskan nilai-nilai syari’ah dalam bentuk
fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan

transaksi di lembaga keuangan syariah, dan
mengawasi pelaksanaan dan implementasi fatwa-

fatwa di lembaga keuangan syariah, ditangani oleh
……………

5) Secara bahasa berarti petuah, nasihat, jawaban e) Mustafti
pertanyaan hukum………

6) Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta, suatu f) Mengikat

istilah yang merujuk pada profesi pemberi nasihat.

Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama,
sedangkan yang meminta fatwa disebut……..

7) Dari hirarki di atas terlihat bahwa posisi Fatwa DSN - g) BI dan OJK
MUI tidak merupakan suatu jenis peraturan
perundang-undangan yang mempunyai kekuatan
mengikat secara umum. Fatwa DSN-MUI telah
disebut dan terdapat di berbagai peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia, dengan
demikian Fatwa DSN-MUI bagi Lembaga Keuangan
Syariah bersifat…..

8) Dalam rangka agar fatwa menjadi hukum positif h) DPS

sehingga dapat dijadikan rujukan oleh peradilan dan

instansi yang berkompeten, materi fatwa diberi bingkai

dengan bentuk peraturan-peraturan atau surat edaran
oleh…….

9) DSN-MUI menerima usulan atau pertanyaan hukum i) Komisi Fatwa-MUI
mengenai suatu produk lembaga keuangan syariah.

81

Usulan atau pertanyaan hukum ini bisa dilakukan oleh
mustafti, yaitu……

10) Pengawasan syariah di LKS dilakukan oleh…. j) LPPOM-MUI

5.13 Indikator Penilaian

Bab ini membahas tentang Kedudukan fatwa dalam tata hukum di Indonesia, setelah
mengerjakan soal-soal latihan, jangan beralih ke bab selanjutnya, dipersilahkan untuk
mencocokkannya dengan kunci jawaban. Gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat
penguasaan Saudara akan materi pada Bab ini.

Tingkat Penguasaan Materi =

Jumlah Jawaban yang Benar
Jumlah Soal (100 %)

Indikator:
90 – 100% = Baik Sekali
80 – 89% = Baik
70 – 79% = Cukup

< 70% = Kurang

Bila jawaban yang benar masih kurang dari 90%, dipersilahkan untuk mengulangi membaca
bab ini sampai jawaban yang benar mencapai lebih dari 90% atau 100%. Maka dari itu
disarankan untuk tidak memberi coretan pada soal latihan sesuai kunci jawaban terlebih
dahulu untuk menguji pemahaman materi pada bab ini.

82

VII. DEWAN PENGAWAS SYARIAH (DPS) LEMBAGA KEUANGAN
SYARIAH

6.1 Kompetensi dasar
Mampu menjelaskan keberadaan, peran dan fungsi DSP pada LKS

6.2 Kemampuan akhir

1) Menjelaskan persyaratan kompetensi dasar yang harus dimiliki seoran DSP
2) Menjelaskan mekanisme pengawasan syariah oleh DSP
3) Menjelaskan mekanisme pengawasan LKS oleh regulator dan otoritas jasa keuangan
4) Menjelaskan kode etik DPS

6.3 Pendahuluan

Islam memandang pengawasan sebagai alat untuk mengoreksi, mengingatkan, meluruskan
yang menyimpang agar berjalan di garis lurus sesuai jalur yang benar atau sesuai aturan yang
telah dibuat dan menjadi kesepatakan bersama, baik dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat, berorganisasi, perusahaan dan bernegara. Maka dari itu pengawasan sangat
diperlukan, sebab tabiat asli manusia cenderung menyimpang. Hawa nafsu akan selalu
mengajak kepada yang menyimpang dan mengikuti bisikan setan, baik setan yang tidak
tampak maupun setan dalam bentuk manusia.

Pengawasan dalam Islam terbagi menjadi dua. Yang pertama pengawasan dari dalam diri
sendiri yang berasal dari keimanan (tauhid) kepada Allah, yaitu selalu merasa diawasi oleh
Allah SWT dimanapun, dan dalam keadaan apapun. Yang kedua pengawasan dari luar, dapat
berupa pengawasan dari atasan atau dari system yang dibuat untuk dijalankan dengan
konsekuensi bila dilanggar akan ada punishment (sangsi). Manusia yang bertakwa adalah
manusia yang selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. Inilah yang disebut ihsan (merasa selalu
dilihat dan diawasi oleh Allah SWT). Kesadaran takwa ini adalah kesadaran tertinggi, karena
timbul dari lubuk hati yang terdalam, sehingga orang yang bertakwa tidak akan melakukan
pelanggaran/penyimpangan dimanapun baik dilihat oleh atasan maupun tidak. Maka dari itu
semestinya keimanan yang tinggi akan melahirkan manusia-manusia yang bertakwa dan
unggul. Karena bila orang tidak beriman melakukan ketaatan didorong oleh ketakutan akan
sangsi (dunia) bila melakukan pelanggaran, namun orang-orang yang beriman dan bertakwa
melakukan ketaatan didorong oleh keimanan dan keyakinan bahwa ia diawasi oleh Zat yang
maha melihat. Kalaupun di dunia ia tidak mendapatkan reward atas ketaatannya, orang-orang
yang beriman dan bertakwa yakin bahwa perbuatannya akan mendapat reward yang lebih
besar di akhirat nanti.

Dewan Pengawas Syariah (DPS) dibuat untuk mengawal pelaksanaan kepatuhan terhadap
prinsip-prinsip syariah pada lembaga keuangan syariah baik bank maupun lembaga non bank.
Keberadaan DPS adalah perpanjangan tangan dari DSN-MUI dalam mengawal fatwa-fatwa
yang telah dikeluarkannya. DPS dibentuk di setiap lembaga keuangan untuk memastikan
bahwa lembaga tersebut telah menjalankan operasionalnya dan produk-produk yang
dibuatnya telah sesuai dengan fatwa DSN-MUI. Maka DPS harus mendapat pengesahan dari
DSN-MUI untuk memastikan bahwa personelnya benar-benar kapabel dalam menjalankan
fungsinya sebagai pengawas syariah di lembaganya.

83

6.4 Pengawasan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia

Pengawasan adalah salah satu fungsi manajemen yaitu fungsi controlling disamping fungsi
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (actuating).
Pengawasan dilakukan untuk memastikan program-program yang telah direncanakan dapat
dilaksanakan sesuai dengan rencana dan meminimalisir penyimpangan yang dilakukan oleh
personal di suatu organisasi atau perusahaan.

Di Indonesia pengawasan dan regulasi perbankan dan lembaga keuangan dilakukan oleh
Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pengaturan dan pengawasan bank
oleh BI meliputi wewenang sebagai berikut:

1. Kewenangan memberikan izin (right to license). Perijinan pendirian dan operasional
perbankan di Indonesia dilakukan oleh Bank Indonesia, termasuk ijin pembukaan cabang
dan perijinan lainnya. Perijinan perbankan tidak semudah dan se-sederhana perijinan
sektor riil atau perusahaan laiinnya. Karena perbankan adalah lembaga intermediare
dengan fungsi utama menghimpun dan menyalurkan dana. Fungsi intermediare ini
menyangkut pengeloaan risiko, pada sisi penghimpunan dana, masyarakat butuh
keamanan dan kepastian hukum, pada sisi penyaluran dana, perbankan menghadapi
risiko kredit bermasalah. Maka regulasi dan pengawasan dilakukan secara ketat untuk
mencegah penyimpangan dana masyarakat dan mencegah terjadinya risiko lain baik yang
non sistematis maupun risiko yang sistematik.

2. Kewenangan untuk mengatur (right to regulate), yaitu kewenangan untuk menetapkan
ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka
menciptakan perbankan sehat yang mampu memenuhi jasa perbankan yang diinginkan
masyarakat.

3. Kewenangan untuk mengawasi (right to control), yaitu kewenangan melakukan
pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan
tidak langsung (off-site supervision). Pengawasan langsung dapat berupa pemeriksaan
umum dan pemeriksaan khusus,yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang
keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan
yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik yang tidak sehat
yang membahayakan kelangsungan usaha bank. Pengawasan tidak langsung yaitu
pengawasan melalui alat pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan
bank,laporan hasil pemeriksaan dan informasi lainnya. Dalam pelaksanaannya, apabila
diperlukan BI dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank termasuk pihak lain yang
meliputi perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur
bank. BI dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama BI melaksanakan tugas
pemeriksaan.

4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu kewenangan
untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terhadap bank
apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Tindakan ini mengandung
unsur pembinaan agar bank beroperasi sesuai dengan asas perbankan yang sehat.

6.5 Sistem Pengawasan Bank Oleh Bank Indonesia

Dalam menjalankan tugas pengawasan bank, saat ini BI melaksanakan sistem
pengawasannya dengan menggunakan 2 pendekatan yakni pengawasan berdasarkan

84

kepatuhan (compliance based supervision) dan pengawasan berdasarkan risiko (risk based
supervision/RBS). Dengan adanya pendekatan RBS tersebut, bukan berarti
mengesampingkan pendekatan berdasarkan kepatuhan, namun merupakan upaya untuk
menyempurnakan sistem pengawasan sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi
pengawasan perbankan. Secara bertahap, pendekatan pengawasan yang diterapkan oleh BI
akan beralih menjadi sepenuhnya pengawasan berdasarkan risiko.

1. Pengawasan Berdasarkan Kepatuhan (Compliance Based Supervision)

Pendekatan pengawasan berdasarkan kepatuhan pada dasarnya menekankan pemantauan
kepatuhan bank untuk melaksanakan ketentuan ketentuan yang terkait dengan operasi dan
pengelolaan bank. Pendekatan ini mengacu pada kondisi bank di masa lalu dengan tujuan
untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan benar menurut
prinsip-prinsip kehati-hatian.

2. Pengawasan Berdasarkan Risiko (Risk Based Supervision)

Pendekatan pengawasan berdasarkan risiko merupakan pendekatan pengawasan yang
berorientasi ke depan (forward looking). Dengan menggunakan pendekatan tersebut
pengawasan/pemeriksaan suatu bank difokuskan pada risiko-risiko yang melekat (inherent
risk)pada aktivitas fungsional bank serta sistem pengendalian risiko (risk control system).
Melalui pendekatan ini akan lebih memungkinkan otoritas pengawasan bank untuk proaktif
dalam melakukan pencegahan terhadap permasalahan yang potensial timbul di bank.
Pendekatan pengawasan berdasarkan risiko memiliki siklus pengawasan sebagai berikut :

6. 1. 2. Penilaian
Pelaksanaan Pemahaman Risiko

Strategi thd Bank Triwulanan
Pengawasan
Siklus 3.
5. Strategi Pengawasan Penyusunan
Pengawasan
4. Renc
Bank Pelaksanaan Pemeriksaan
Pemeriksaan

Gambar I.48-1 : Siklus Pengawasan
Sumber : www.bi.go.id

6.6 Dasar Keberadaan DPS

a. UU No. 40 Tahun 2006 tentang Perseroan Terbatas pasal 109.

85

Regulasi tentang perseroan terbatas di Indonesia dahulu di atur dalam Wetboek van
Koophandel (WvK ) dan Burgelijk Wetboek (BW) yang merupakan warisan kolonial
Belanda, kemudian aturan tersebut diubah menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995
Tentang Perseroan Terbatas yang diundangkan pada tanggal 7 Maret 1995 dan dinyatakan
mulai berlaku satu tahun kemudian pada tanggal 7 Maret 1996. Undang-undang ini
dipandang belum menjawab tantangan jaman dengan berkembangnya kondisi makro
ekonomi dan pasar bebas sebagai tuntutan dari globalisasi ekonomi dan perdagangan. Maka
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden pada tanggal 16 Agustus 2007 menetapkan
(Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).

Perkembangan ekonomi dan bisnis syariah di Indonesia telah berkembang dengan baik
ditandai perkembangan perbankan syariah, pasar modal syariah, asuransi syariah, lembaga
keuangan mikro syariah dan bisnis syariah lainnya. Undang-undang perseroan terbatas telah
mengakomodir dengan memasukkan pengaturannya ke dalam Pasal 109 Undang-
undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Adapun penyelesaian
persengketaan dari bisnis berbasis syariah juga telah diakomodir oleh undang-undang
Peradilan Agama, yang pada tahun 2006 pemerintah mengeluarkan (Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama). Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Badan Peradilan
Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Pada tahun 2008 dikeluarkan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah
Nasional (SBSN), dan (Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah)
yang di dalam Pasal 7 menyatakan bahwa bentuk badan hukum Bank Syariah adalah
Perseroan Terbatas. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa tugas dan wewenang
Pengadilan Agama adalah menyelasaikan sengketa ekonomi syariah, yaitu
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain
meliputi :

1. Bank Syariah,

2. Lembaga Keuangan Mikro Syariah,

3. Asuransi Syariah,

4. Reasuransi Syariah,

5. Reksadana Syariah,

6. Obligasi Syariah dan Surat Beharga Berjangka Menengah Syariah,

7. Sekuritas Syariah,

8. Pembiayaan Syariah,

9. Pegadaian Syariah,

10. Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syariah, dan

11. Bisnis Syariah.

b. UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

UU No. 21 Tahun 2008 mengatur bahwa badan hukum yang diperbolehkan untuk pendirian
bank syariah adalah hanya Perseroan Terbatas (PT). Hal ini berbeda dengan undang-undang
perbankan konvensional dimana badan hukum perbankan boleh berbentuk perseroan

86

terbatas atau Koperasi. UU No 21 tahun 2008 tidak mengakomodir bentuk badan hukum
selain perseroan terbatas.

Dalam (Undang Undang No. 10 tahun 1998, tentang perubahan terhadap UU No. 7 tahun
1992 tentang Perbankan) dinyatakan bahwa dalam suatu perbankan Islam harus dibentuk
DPS. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008, Pasal 32 angka 1, dinyatakan bahwa DPS wajib
dibentuk di Bank Syariah dan bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah

c. Peraturan Bank Indonesia
Peraturan Bank Indonesi (PBI) yang mengatur keberadaan DPS adalah PBI No.
11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah. Dalam PBI tersebut disebutkan pengertian DPS
yaitu DPS adalah dewan yang bertugas memberikan nasehat dan saran kepada direksi serta
mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah. Selain PBI di atas, terdapat
PBI lain yang mengatur keberadaan DPS, diantaranya :

1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang
Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah.

2. Peraturan Bank Indonesia No.6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober tentang Bank
Umum yang melaksanakan kegiatan usaha yang berdasarkan Prinsip Syariah yang lalu
di ubah dengan Peraturan Bank Indonesia No.7/35/PBI/2005 tanggal 29 September 2005
tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha yang berdasarkan Prinsip
Syariah.

3. Peraturan Bank Indonesia No.8/3/PBI/2006 tanggal 30 Januari tentang perubahan
kegiatan usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor
Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum
Konvensional.

4. (Surat Edaran No. 8/19/DPBS, tanggal 24 Agustus 2006) tentang Pedoman Pengawasan
Syariah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah.
Surat Edaran ini disertai dengan lampiran lengkap tentang pedoman bagai DPS dalam
pengawasan syariah.

d. Keputusan Menteri Koperasi dan UKM

(Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia No. 16
/Per/M.KUKM/IX/2015 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan
Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi). Disebutkan bahwa Dewan Pengawas Syariah adalah
dewan yang dipilih oleh koperasi yangbersangkutan berdasarkan keputusan rapat anggota
dan beranggotakan alim ulama yang ahli dalam syariah yang menjalankan fungsi dan tugas
sebagai pengawas syariah pada koperasi yang bersangkutan dan berwenang memberikan
tanggapan atau penafsiran terhadap fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional.

6.7 Fit & Proper Test

Menjadi anggota DPS pada suatu lembaga keuangan syariah diperlukan pengetahuan dan
keterampilan serta wawasan tentang fatwa DSN-MUI dan seluruh seluk-beluknya. Tidak
hanya terbatas pada fatwa, namun diperlukan minimal pengetahuan tentang fikih muamalah
serta ekonomi Islam secara umum. Selain itu dibutuhkan pengetahuan tentang maqoshid
syari’iyyah, ushul fiqh dan ilmu penunjang fikih muamalah lainnya. Pengetahuan tersebut
berfungsi agar seorang pengawas syariah tidak terjebak pada tekstualitas fatwa saja sehingga

87

cepat mengambil kesimpulan halal dan haramnya produk dan kegiatan lembaga keuangan
syariah tanpa dipertimbangkan aspek-aspek lain yang diperlukan sebagai penunjangnya.
Maka DSN-MUI dan OJK melakukan fit and proper test terlebih dahulu sebelum menetapkan
seseorang berhak menjadi DPS di suatu lembaga keuangan syariah. Adapun tujuan
diadakannya fit and proper test tersebut adalah :

1. Anggota DPS qualified dan capable
Diperloleh seorang anggota DPS yang benar-benar mempunyai kapabilitas dan
berkualitas sesuai harapan DSN-MUI dan lembaga keuangan syariah yang diawasinya.
Kesalahan menempatkan seseorang menjadi DPS berakibat fatal, bahkan
berkonsekuensi dunia dan akhirat. Karena tanggung jawab DPS tidak terbatas di dunia
saja, tetapi harus mempertanggung jawabkan di akhirat bahwa lembaga yang diawasinya
telah sesuai dengan prinsip-prinsip syarkah.

2. Kemampuan DPS untuk berperan secara optimal
DPS yang kapabel dan qualified akan mampu menjalankan fungsinya secara optimal dan
memastikan bahwa lembaga tersebut benar-benar menjalankan operasionalnya sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah.

3. Memenuhi tanggung jawab sosial/publik DSN-MUI, serta MUI pada umumnya
DPS memiliki tanggung tawab bukan saja kepada share hoder, tetapi juga seluruh stoke
holder lembaga keuangan syariah yang diawasinya, selain tanggung jawab secara
administrasi dan hirarki kepada DSN-MUI. Maka DPS tidak boleh salah dalam menilai
kesesuaian terhadap prinsip-prinsip syariah dari lembaga keuangan syariah yang
diawasinya.

4. Memenuhi tanggung jawab profesional DSN-MUI
Secara hirarki DPS adalah perpanjangan tangan DSN-MUI dalam mengawasi lembaga
keuangan syariah dan memastikan bahwa secara operasional dan produk-produknya
telah sesuai dengan fatwa DSN-MUI.

6.8 Pedoman Kerja DPS

Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya DPS sebuah lembaga keuangan syariah
memiliki hak dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh perusahaan atau lembaga keuangan
syariah tempatnya bekerja. DPS memiliki kebebasan dan independensi dalam dalam
mengawasi kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah sebuah lembaga keuangan syariah,
dan tidak boleh dibatasi ruang geraknya oleh manajemen perusahaan, karena tanggung-
jawab DPS adalah tentang kepatuhan pada prinsip syariah, bukan kepatuhan kepada atasan.
DPS bertanggung jawab kepada Allah langsung dan diawasi oleh para malaikatnya. Kinerja
DPS teruji ketika adanya pelanggaran pada prinsip syariah, lalu DPS mengatakan dengan
kebenaran sesuai faktanya. Bila DPS mengatakan diluar faktanya, maka DPS melakukan
dosa besar dan melakukan pengingkaran syariah yang itu tidak patut dilakukan oleh DPS.
Maka dari itu DPS memiliki hak dan kewajiban sebagaimana dijelaskan berikut (Surat Edaran
No. 8/19/DPBS, tanggal 24 Agustus 2006) :

6.8.1 Hak DPS

Dalam melaksanakan tugasnya, DPS memiliki hak :

1. Mengakses data dan informasi, serta klarifikasi ke manajemen
Akses data dan informasi pada DPS harus objektif, transparan dan komprehensif. Tidak
ada informasi yang disembunyikan, agar hasil pengawasannya objektif dan akurat.

2. Memanggil dan minta pertanggung-jawaban

88

Semua pihak yang diminta keterangan oleh DPS apapun jabatannya harus memenuhinya
sesuai kemauan DPS. DPS tidak boleh tersekat dengan jabatan-jabatan di struktur
organisasi lembaga keuangan syariah, karena pertanggung jawaban DPS adalah kepada
Allah SWT dalam rangka menegakkan syariahNya.
3. Mengeluarkan opini syariah atau bentuk keputusan lain
Opini syariah yang dikeluarkan oleh DPS adalah opini objektif sesuai temuan dan
interpretasi DPS yang didasari ilmu dan kapabilitasnya sebagai DPS. Dengan informasi
yang transparan dan objektf, tidak disekat dengan jabatan dan objektifitas pengawasan
maka opini yang dikeluarkan oleh DPS adalah opini yang objektif dan dapat
dipertanggung-jawabkan kebenaran dan keabsahannya.
4. Memperoleh imbalan dan fasilitas
DPS bukanlah karyawan lembaga keuangan syariah yang tiap hari harus berangkat ke
kantor. Namun DPS punya tanggung-jawab dan menjamin bahwa operasional dan produk
lembaga keuangan syariah telah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Untuk
itulah DPS berhak memperoleh fasilitas dan gaji atau imbalan atas pekerjaaan dan tugas-
tugasnya. Besaran imbalan masing-masing lembaga keuangan syariah pasti berbeda
sesuai kinerja perusahaan dan kinerja dari DPS sendiri, namun tidak boleh lembaga
mengabaikan hak imbalan dan fasilitas DPS.

6.8.2 Kewajiban DPS

DPS berkewajiban dalam hal-hal berikut :

1. Mengikuti fatwa-fatwa DSN-MUI
DPS tidak perlu berijtihad terlalu jauh tentang penilaian kepatuhan syariah lembaga
keuangan syariah, cukup mengikuti fatwa-fatwa DSN-MUI. Bila terdapat permasalahan
yang belum terdapat fatwanya, DPS dapat mengajukan fatwa baru kepada DSN-MUI. Bila
DPS masing-masing lembaga keuangan syariah melakukan ijtihad dan berfatwa yang
berbeda-beda, maka akan menyulitkan relulator dan pengawas dari OJK dan Bank
Indonesia untuk mengatur dan melakukan pengawasan dan pembinaan kepada lembaga
keuangan syariah yang berada dibawah tanggung jawabnya.

2. Mengawasi kegiatan usaha agar tidak menyimpang dari fatwa DSN-MUI
DPS harus dapat memastikan bahwa operasional usaha lembaga keuangan syariah tidak
menyimpang dari prinsip-prinsip syariah. Maka DPS harus memiliki pengetahuan yang
luas terutama tentang fiqh muamalah agar pengawasannya bisa berjalan dengan baik,
objektif dan akurat.

3. Mengeluarkan opini syariah
Tugas DPS setelah melakukan pengawasan syariah adalah membuat opini syariah
terhadap lembaga keuangan syariah yang diawasinya. Opini ini penting artinya bagi
manajemen sebagai pedoman kerja dan alat evaluasi manajemen dalam mentaati prinsip-
prinsip syariah yang menjadi tuntutan operasional dan pertanggungjawaban pada
regulator maupun tanggung jawab kepada Allah SWT sebagai komitmen bahwa
manajemen telah melakukan ketaatan pada syariah yang digariskan Allah SWT, sehingga
masyarakat terlindungi dan terhindar dari praktek bisnis yang diharamkanNya.

4. Menjaga kerahasiaan
DPS wajib merahasiakan hasil temuannya kepada public, karena bila terjadi ketidak
sesuaian pada prinsip syariah yang ditemukan oleh DPS kemudian informasi tersebut
bocor kepada public, risikonya besar sekali. Karena akan mengurangi bahkan
menghilangkan kepercayaan public pada lembaga keuangan syariah. Bila ini terjadi pada

89

perbankan syariah, maka akan berakibat pada withdrawal risk, ficiduary risk bahkan pada
risiko pasar yang bisa berdampak systematis maupun unsystematic. Maka DPS harus
merahasiakan temuannya kepada public. Temuan-temuan DPS adalah untuk manajemen
lembaga keuangan syariah, hak publikasi berada di pihak manajemen bukan pada DPS.
5. Memberikan laporan rutin kepada DSN-MUI sekurangkurangnya dua kali dalam setahun
Setelah melakukan fungsi kepengawasan syariah pada lembaga keuangan syariah, DPS
harus melaporkannya pada DSN-MUI, selain melaporkannya kepada OJK/BI. Laporan
DPS ini penting artinya bagi DSN-MUI dan OJK/BI agar dapat dilakukan evaluasi dan
umpan balik untuk perbaikan kebijakan lembaga keuangan syariah di masa depan.
6. Memberikan masukan kesyariahan
DPS dapat memberikan masukan kesyariahan kepada manajemen lembaga keuangan
syariah dan kepada DSN-MUI atas pelaksanaan kepatuhan syariah dari lembaga yang
diawasinya. Masukan ini penting artinya bagi manajemen agar dapat melakukan
perbaikan-perbaikan baik itu perbaikan menyangkut produk, etika, operasional dan
perilaku karyawan maupun masukan lain yang menyangkut tentang kesyariahan lembaga.
7. Menghadiri rapat rutin DPS dan undangan relevan lainnya
DPS wajib melakukan rapat rutin baik rapat DPS maupun rapat dengan manajemen
lembaga keuangan syriah bila diperlukan. Bahkan seringkali DPS diundang dalam RUPS
perusahaan untuk memberikan masukan-masukan kepada stock holders dan
meningkatkan kepercayaan pemilik perusahaan bahwa perusahaannya telah memenuhi
kewajiban syariah dengan mematuhi prinsip-prinsip syariah.
8. Menunaikan semua tanggungjawab DPS sebagaimana mestinya
Tugas dan tanggung jawab DPS tidak hanya yang tertuang pada peraturan perundangan
dan ketentuan regulator maupun anggaran dasar perusahaan. Lebih jauh, DPS dapat
berperan sebagai penasehat bagi manajemen dan karyawan tentang kesyariahan dan
keagamaan lainnya.

6.8.3 Hak Lembaga Keuangan Syariah Terhadap DPS

DPS dalam melakukan pengawasan kepada LKS, harus memperhatikan hak-hak LKS, yaitu:

1. Meminta fatwa kepada DSN-MUI
Lembaga keuangan syariah dapat meminta fatwa kepada DSN-MUI bila mendapatkan
suatu masalah tetapi belum ada pedoman fatwa untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut, atau membuat inovasi produk yang belum ada pedoman fatwa DSN-MUI. Hal
demikian LKS melalui DPSnya dapat meminta fatwa kepada DSN-MUI untuk
mengeluarkan fatwa sesuai kebutuhannya.

2. Meminta opini syariah kepada DPS
Sudah menjadi tugas DPS untuk mengeluarkan opini syariah. Bila opini syariah belum
dikeluarkan karena kurang aktifnya DPS di LKS, maka LKS berhak meminta opini syariah
kepada DPS. Bila DPS tidak berani mengeluarkan opini syariah atas permasalahan LKS,
maka DPS dapat berkonsultasi atau meminta fatwa DSN-MUI untuk memecahkan
permasalahan yang ada di LKS yang bersangkutan.

3. Mengundang rapat atau pertemuan lainnya
DPS juga dapat mengundang atau memanggil jajaran Direksi atau manajer atau Kepala
Cabang atas permaslahan syariah yang terjadi di LKS. Direksi dan jajarannya
berkewajiban memenuhi undangan DPS.

4. Memberi masukan ke DSN-MUI tenang kinerja DPS

90

DSN-MUI dengan jumlah personal yang terbatas, tidak dapat memantau semua LKS yang
ada di Indonesia. Laporan DPS bisa menjadi acuan kinerja DPS dan DSN-MUI,
sedangkan DPS di LKS dapat member masukan pada DSN-MUI untuk meningkatkan
kinerja DPS maupun efektivitas DSN-MUI dalam menjalankan fungsinya sebagai
produsen fatwa atas fatwa yang telah dikeluarkannya agar efektivitas fatwa DSN-MUI
dapat memenuhi harapan dan kebutuhan LKS di seluruh Indonesia.
5. Menyampaikan kepada DSN-MUI tentang pengangkatan, perpanjangan atau
pemberhentian DPS
LKS dapat mengajukan pengangkatan, perpanjangan dan pemberhentian DPS kepada
DSN-MUI maupun OJK/BI bila masa kerja atau kebutuhan akan DPS pada LKS belum
memenuhi atau telah memenuhi tuntutan kinerja seperti yang diharapkan oleh manajemen
LKS.
6. Mengatur dan menetapkan gaji DPS, besaran, jenis, bentuk pemberiannya
Insentif imbalan atau gaji DPS diserahkan kepada LKS yang bersangkutan sesuai
kemampuannya. LKS berhak menentukan gaji DPS sesuai kemampuan dan
kebutuhannya. Tidak terikat pada standar anggota DPS di LKS lain, dan tidak harus sama
dengan LKS lainnya.

6.8.4 Kewajiban LKS Terhadap DPS

Sebagai konsekuensi profesional, LKS kepada DPS berkewajiban :

1. Melaksanakan fatwa-fatwa DSN-MUI
Kepatuhan syariah LKS terbukti dengan dilaksanakannya fatwa DSN-MUI oleh LKS. Maka
LKS wajib melaksanakan fatwa-fatwa DSN-MUI. DPS sebagai pengawal dilaksanakannya
fatwa DSN-MUI tunduk dan patuh terhadap fatwa-fatwa tersebut

2. Melaksanakan opini syariah dan/atau keputusan lain yang sah dari DPS
LKS wajib melaksanakan opini syariah yang dekeluarkan oleh DPS di LKS tersebut. Bila
terjadi selisih pendapat antara DPS dengn Direksi, hendaknya diselesaikan secara
musyawarah untuk mencari titik temu. Sedankgan bila terdapat produk yang tidak sesuai
syariah, manajemen LKS dapat melakukan rivisi sesuai rekomendasi DPS.

3. Memberikan akses data dan informasi secara akurat dan jujur
Keakuratan data dan informasi yang diberikan oleh LKS kepada DPS membantu kualitas
opini syariah DPS atas kepatuhan syariah operasional dan produk LKS. Sudah menjadi
kewajiban LKS untuk transparan dan akuntabel serta tidak ada satu informasipun yang
ditutup-tutupi yang menghambat kinerja DPS dalam membuat opini syariah LKS.

4. Mematuhi panggilan dan memberikan pertanggungjawaban ke DPS
Dalam menjalankan tugasnya DPS dapat memanggil Direksi dan seluruh jajarannya untuk
mempertanggung jawabkan kinerjanya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. DPS dapat
menilai kinerja manajemen berdasarkan kewenangan dan kapabilitasnya.

5. Menyediakan ruang kerja dan fasilitas lain yang memadai
LKS wajib memfasilitasi runga kerja beserta perangkatnya sesuai kebutuhan DPS untuk
memperlancar kinerja DPS dalam bekerja, meskipun DPS tidak harus berkantor setiap
hari.

6. Membantu kelancaran tugas DPS
Tugas DPS akan bisa berjalan dengan baik bila diback-up sepenuhnya oleh jajaran Direksi
beserta seluruh bawahannya. DPS bukanlah karyawan di LKS, maka akses informasi bila
tidak diberikan secara detail dan komprehensif dapat membuka peluang kesalahan DPS
dalam memberikan opini syariah.

91

7. Memberikan imbalan yang wajar.
LKS harus memberikan gaji atau imbalan yang pantas sebagai penghormatan DPS dalam
bekerja. Meskipun DPS tidak bisa diukur kinerjanya seperti karyawan biasa, namun DPS
memiliki tanggung jawab yang besar tidak hanya di mata Direksi tatapi juga di mata Allah
SWT, karena DPS adalah perwakilan ulama yang ditempatkan oleh DSN-MUI pada LKS
agar berjalan sesuai dengan syariah.

6.8.5 Wewenang Dan Tanggung Jawab Utama

Selain hak dan kewajiban seperti yang telah dijelaskan di atas, DPS memiliki wewenang dan
tanggung jawab utama, yaitu :

1. Memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan LKS terhadap fatwa DSN-MUI.
Standar kepatuhan syariah LKS di Indonesia adalah kesesuaian kegiatan LKS baik secara
operasional maupun proudk-produknya terhadap fatwa-fatwa DSN-MUI. DPS bekerja
berdasarkan fatwa tersebut, bila fatwa belum ada sedangkan LKS sudah membuat
terobosan langkah, maka DPS dapat mengajukan fatwa atau petunjuk kepada DSN-MUI
sebagai pedoman kerja LKS.

2. Menilai terhadap pedoman operasional dan produk LKS.
Operasional LKS dan produk-produknya tidak boleh menyimpang dari ketentuan syariah.
Kepastian bahwa LKS telah mematuhi prinsip syariah berada pada DPS sebagai jaminan
bahwa LKS telah menjalankan ketentuan syariah pada aspek operasionalnya maupun
produk-produk yang telah dibuatnya.

3. Memberikan opini dari aspek syariah dalam publikasi laporan LKS (audit syariah)
Laporan yang dipublikasi oleh LKS juga dibutuhkan legalisasi dari DPS akan kepatuhan
syariah. DPS bertanggung jawab atas publikasi LKS pada aspek kesesuaian pada prinsip
syariah sebagai jaminan bahwa LKS telah menjalankan syariah secara baik sebagaimana
tuntutan masyarakat.

4. Mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa.
Fatwa-fatwa DSN-MUI sampai saat ini sudah bisa menjawab kebutuhan sebagian besar
LKS di Indonesia, namun tidak tertutup kemungkinan produk yang dibuat oleh LKS belum
terpenuhi atau belum tercover fatwa-fatwa DSN-MUI, misalnya produk-produk derivative
yang sangat beragam dan dinamis pada keuangan konvensional yang ingin diaplikasikan
oleh LKS. Bila DPS mempunyai dasar atau landasan fiqh yang kuat atas kompetensinya
akan tetapi fatwa DSN-MUI belum ada, maka DPS dapat melakukan kajian dan
memintakan fatwa kepada DSN-MUI.

5. Menyampaikan hasil pengawasan syariah sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan kepada
Direksi, Komisaris, DSN-MUI dan Bank Indonesia.
Pengawasan DPS dilakukan secara periodic dan rutik. DPS dapat memantau
perkembangan kepatuhan syariah LKS kemudian hasil pengawasannya disampaikan
kepada Direksi, Komisarid dan DSN-MUI serta kepada pembuat kebijakan (BI/OJK)
secara berkala.

6. Memberikan Opini pada RUPS
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada sebuah Perseroan terbatas merupakan
pemegang kebijakan tertinggi. Dalam RUPS kebijakan-kebijakan strategis LKS dibuat
oleh Komisaris kemudian diserahkan kepada Direksi untuk dilaksanakan. DPS dapat
berperan penting dalam RUPS dengan menyampaikan opini syariah atas LKS. Opini ini
menjadi ,masukan berharga dalam RUPS untuk dirumuskan kebijakan dalam hal

92

kesyariahan oleh Komisari, kemudian Komisaris dapat merumuskan dan menugaskan
Direksi untuk melaksanaknnya.

6.8.6 Wewenang Tambahan

Selain melakukan tugas pokoknya sebagai pengawas syariah, LKS dapat meminta saran dan
pendapat DPS dalam hal-hal penting yang tidak dikuasai oleh Direksi dan jajarannya.
Masalah-masalah keagamaan dan etika Islami biasanya menjadi perhatian DPS. Maka selain
tugas pokoknya DPS berwenang pula untuk melakukan hal-hal di bawah ini, tetapi tidak
termasuk pada Tanggung Jawab formal atas penugasannya sebagai DPS:

a) Strategis:

1. Turut merumuskan dan mengawasi implementasi visi-misi dan budaya
Visi, misi dan budaya perusahaan yang syariah mempunyai perbedaan dengan
perusahaan non syariah. Akhlak Islamy menjadi cirri khas LKS dalam pedoman
berperilaku dan melayani konsumen. Maka DPS bisa terlibat secara langsung maupun
tidak langsung dalam merumuskan visi, misi dan budaya Islami pada LKS.

2. Pemberian masukan terhadap rencana dan sasaran bisnis inti
Rencana dan sasaran bisnis LKS tidak terlepas dari visi , misi dan budaya yang telah
dibuat dan disepakati oleh Komisaris dan Direksi. DPS dapat memberikan masukan
terhadap rencana dan sasaran bisnis inti LKS agar tetap berjalan sesuai prinsip-prinsip
syariah, memberikan kemanfaatan besar bagi umat, tidak semata-mata mencari
keuntungan, efisien dan tepat sasaran.

b) Manajerial:

1. Penasehat dan pemberi saran kepada direks dari aspek syariah
Di Indonesia sebagian besar Direksi LKS berasal dari lembaga konvensional yang telah
berpengalaman puluhan tahun di bidangnya. Pengetahuan keilmuan akan syariah dan
fiqh sangat minim, maka DPS harus turun secara aktif memberikan saran, masukan dan
mentransfer ilmu tentang fiqh muamalah kepada Direksi dan jajarannya agar mereka
dapat melakukan pekerjaannya sesuai denga tuntunan fiqh dalam menjaga kepatuhan
terhadap prinsip-prinsip syariah.

2. Menghadiri rapat rutin DPS dan undangan relevan lainnya
Rapat DPS yang dijadwalkan secara rutin seingkali tidak dihadiri oleh anggota DPS secara
penuh karena kesibukan masing-masing anggota DPS. Hal ini menjadikan fungsi DPS
belum optiman dalam pengawasan syariah pada LKS, maka rapat rutin dan rapat dengan
Direksi dan jajarannya semestinya menjadi agenda rutin DPS di LKS yang bersangkutan.

c) Pembinaan keagamaan terhadap segenap stakeholders, terutama:

Selain semua tugas dan wewenang yang telah disebutkan di atas, DPS memiliki wewenang
tambahan dalam melakukan pembinaan keagamaan agar Direksi dan jajarannya mengenal
Islam secara baik dan berperilaku sebagaimana Islami. Pembinaan dilakukan kepada seluruh
stakeholder LKS meliputi :

1. Manajemen Perusahaan
2. Karyawan
3. Kelompok-kelompok significant customer

93

6.8.7 Komunikasi Eksternal

DPS sebagai pihak yang bertanggung-jawab akan pelaksanaan prinsip syariah di LKS dapat
menjalankan perannya secara optimal dan menjadi jembatan perantara antara manajemen
LKS dengan pihak-pihak luar terutama yang menyangkut pelaksanaan syariah pada LKS.
Maka DPS dapat berperan aktif dalam komunikasi dengan pihak pihak berikut :
1. Mediator dengan DSN-MUI
2. Mediator dengan pihak regulator (pemerintah)
3. Mediator dengan masyarakat
4. Memberikan laporan rutin kepada DSN-MUI sekurang-kurangnya dua kali dalam setahun

6.8.8 Kode Etik DPS

Setiap profesi memiliki kode etik yang harus dipertanggung jawabkan atas pelaksanaan
profesionalitas pekerjaan. Kode etik tersebut adalah sebagai bentuk komitmen professional
dari sebuah tugas yang diemban pada setiap bidang pekerjaan. Pengawasan adalah
pekerjaan penting yang menuntut ketelitian dan tanggung jawab yang tinggi. Pengawasan
yang baik berimplikasi feed back yang baik pada lembaga/perusahaan/instansi. (Md Helal
Uddin, 2013), menegaskan bahwa DPS harus memiliki sifat-sifat berikut agar hasil
pengawasan dan kinerjanya dapat dipertanggung jawabkan, yaitu : (1) Integrity (2)
Objectivity.(3) Confidentiality. (4) Neutrality (5) Competency (6) Continuity (7) Disclosure (8)
Giddiness (9) Orienting (10) Planning (11) legality (12) Committed to Ethics (13) Committed
to Religious. Sebaliknya pengawasan yang tidak baik akan berimplikasi pada kinerja
perusahaan/instansi dalam melakukan evaluasi dan perencanaan kembali atas kinerja yang
telah dicapai. Maka kode setiap kode etik memiliki dasar-dasar Kode Etik berikut :

a. Integritas, yang paling kurang mencakup :

1. memiliki akhlak dan moral yang baik;

2. memiliki komitmen untuk mematuhi ketentuan perbankan syariah dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lain yang berlaku;

3. memiliki komitmen terhadap pengembangan perbankan syariah yang sehat dan
tangguh (sustainable); dan

4. tidak termasuk dalam Daftar Kepatutan dan Kelayakan (Daftar Tidak Lulus)
sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and
proper test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

b. Kompetensi, yang paling kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah
mu’amalah dan pengetahuan di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum; dan

c. Reputasi keuangan, yang paling kurang mencakup :

1. Tidak termasuk dalam daftar kredit/pembiayaan macet; dan

2. Tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pemegang saham, anggota Dewan
Komisaris, atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah menyeModul
Pembelajarankan perseroan dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir
sebelum dicalonkan.

Kode Etik DPS, sebagaimana halnya kode etik pada profesi pengawasan lain seperti internal
audit dan eksternal audit bertumpu pada prinsip-prinsip Kode Etik :

94

1. Dapat dipercaya
Seorang yang menjabat sebagai salah satu anggota DPS harus memiliki integritas dan
track record yang baik di masyarakat. Dalam bahasa Islam, dapat dipercaya adalah
amanah sebagai bentuk dari salah satu sifat kenabian. Rasulullah SAW mendapatkan
gelar al amin ketika beliau belum menjadi nabi/rasul. Sifat amanah tersebut telah melekat
pada diri beliau semenjak beliau hidup di tengah masyarakat jahiliyyah di Makkah, sifat
inilah yang menjadi modal social beliau ketika dianggkat menjadi Rasul oleh Allah SWT.
Masyarakat sudah mengenal sifat-sifatnya. Bahkan paman-paman beliau yang tokoh suku
Qusaish telah mengenal beliau secara baik. Sifat ini harus dimiliki seorang DPS pada
suatu LKS.

2. Legitimasi
DPS bekerja atas dasar legitimasi dan SK yang jelas serta dilakukan fit and proper test
oleh OJK dan DSN-MUI. Atas dasar legitimasi inilah DPS dapat menjalankan
pekerjaannya secara professional tanpa harus merasa tunduk pada Direksi dan
jajarannya.

3. Obyektivitas
Pengawasan yang dilakukan DPS harus objektif dan apa adanya berdasarkan temuan di
lapangan, tanpa harus ditambah atau dikurangi. LKS harus memberikan data dan
informasi komplet dan komprefensif kepada DPS, sehingga hasil pengawasan DPS tanpa
adanya asimetris informasi dan tekanan dari Direksi dan jajarannya.

4. Kompetensi
Kompetensi DPS tidak semata-mata didasarkan pada ketokohan atau masyarakat telah
mengenalnya sebagai Kyai atau Ustadz, karena banyak Kyai atau Ustadz yang paham
agama dan cara beretorasi atau ceramah agama, tetapi belum tentu faham fiqh muamalah
secara baik. Kalaupun faham fiqh muamalah, belum tentu mengenal aspek-aspek
kontemporer dari LKS baik dari aspek produk maupun aspek manajemen operasionalnya.
Maka anggota DPS selain faham fiqh muamalah, harus faham system operasional LKS
dan produk-produk kontemporer dari LKS yang itu tidak ada dalam kitab klasik.

6.8.9 Mekanisme Penetapan dan Pengangkatan Anggota DPS

1) Calon anggota DPS wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebelum diangkat dan
menduduki jabatannya.

2) Pengajuan calon anggota DPS sebagaimana dimaksud pada angka (1) diatas dilakukan
setelah mendapat rekomendasi Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI).

3) Pengangkatan calon anggota DPS wajib dilaporkan oleh Bank paling lambat 10 (sepuluh)
hari sejak tanggal pengangkatan.

4) Dalam hal calon DPS tidak diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal persetujuan diberikan maka
persetujuan terhadap calon anggota DPS dimaksud menjadi tidak berlaku.

5) Mekanisme pengangkatan calon anggota DPS adalah sebagai berikut :

a. Komite Remunerasi dan Nominasi memberikan rekomendasi calon anggota DPS
kepada Dewan Komisaris;

b. Berdasarkan rekomendasi Komite Remunerasi dan Nominasi tersebut, Dewan
Komisaris mengusulkan calon anggota DPS kepada Direksi;

95

c. Berdasarkan pertimbangan tertentu dengan memperhatikan rekomendasi Dewan
Komisaris, rapat Direksi menetapkan calon anggota DPS untuk dimintakan
rekomendasi kepada Majelis Ulama Indonesia;

d. Sebelum diajukan kepada Majelis Ulama Indonesia Pusat, terlebih dahulu dimintakan
rekomendasi dari MUI Provinsi dimana Kantor Pusat Bank berkedudukan;

e. Majelis Ulama Indonesia memberikan atau tidak memberikan rekemendasi calon
anggota DPS yang disampaikan oleh Direksi;

f. Bank mengajukan permohonan persetujuan kepada Bank Indonesia atas calon
anggota DPS yang telah mendapatkan rekomendasi Majelis Ulama Indonesia;

g. Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas calon anggota DPS
dimaksud; dan

h. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) mengangkat anggota DPS yang telah
mendapat rekomendasi Majelis Ulama Indonesia dan persetujuan Bank Indonesia.
Dalam hal pengangkatan anggota DPS oleh RUPS tersebut dilakukan sebelum
adanya persetujuan BI, maka pengangkatan tersebut baru akan efektif jika anggota
DPS tersebut telah disetujui oleh Bank Indonesia.

6) Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota DPS wajib dilaporkan oleh Bank ke
Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pemberhentian dan/atau
pengunduran diri efektif.

6.8.10 Jumlah Anggota dan Perangkapan Keanggotaan DPS

Dalam rangka penerapan prinsip good corporate governance dan sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia, maka ditetapkan jumlah anggota dan perangkapan jabatan DPS dengan
ketentuan sebagai berikut:

a. Jumlah anggota DPS paling kurang 2 (dua) orang dan paling banyak 3 (tiga) orang;

b. DPS dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk dari salah satu anggota DPS;

c. Anggota DPS hanya dapat merangkap jabatan sebagai anggota DPS sebanyak-
banyaknya pada 2 (dua) bank lain dan 2 (dua) lembaga keuangan syariah nonbank;

d. Sebanyak-banyaknya 2 (dua) anggota DPS dapat merangkap jabatan sebagai anggota
DSN-MUI;

6.8.11 Rapat DPS

1) Rapat DPS wajib diselenggarakan paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.

2) Pengambilan keputusan rapat DPS dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat. Apabila
dalam proses pengambilan keputusan terdapat perbedaan pendapat, maka perbedaan
pendapat tersebut dapat dicantumkan dalam notulen rapat beserta alasannya.

3) Dalam rangka pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada angka (2) diatas,
DPS dapat meminta pertimbangan dari Majelis Ulama Indonesia, apabila diperlukan.

4) Seluruh keputusan DPS yang dituangkan dalam notulen rapat merupakan keputusan
bersama seluruh anggota DPS

5) Hasil rapat DPS sebagaimana dimaksud pada angka (1) diatas wajib dituangkan dalam
notulen rapat dan didokumentasikan dengan baik.

96

6.8.12 Masa Jabatan DPS

1) Penetapan masa jabatan anggota DPS diatur berdasarkan keputusan Direksi tersendiri
dengan mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia atau OJK. Yang dimaksud dengan
“masa jabatan” adalah masa jabatan dalam 1 (satu) periode pengangkatan.

2) Apabila masa jabatan DPS telah berakhir, Direksi dapat memperpanjang masa jabatan
DPS sebagai “pejabat pengganti sementara” sampai dengan ditetapkannya DPS definitif.

6.8.13 Larangan DPS

1) Anggota DPS dilarang merangkap jabatan sebagai konsultan di seluruh BUS (Bank Umum
Syariah) atau yang dapat dipersamakan dengan itu, baik individu maupun perusahaan,
termasuk pemilik dari perusahaan yang memberikan jasa konsultasi bagi BUS dan/atau
LKS. Dalam hal konsultan berbentuk perusahaan maka pegawai/perorangan yang bekerja
pada perusahaan tersebut, namun tidak bertugas sebagai konsultan bagi BUS dan/atau
LKS, tidak dikategorikan sebagai konsultan.
● Yang dimaksud dengan “jasa konsultasi” adalah terbatas pada jasa konsultasi terkait
kegiatan usaha perbankan syariah.

2) Dalam hal DPS tidak melaksanakan tugasnya dengan baik sampai dengan izin usaha LKS
dicabut, maka anggota DPS dimaksud dapat dikenakan sanksi berupa pelarangan
menjadi anggota DPS di perbankan syariah paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal
pencabutan izin usaha LKS oleh Bank Indonesia atau OJK.
● Yang dimaksud dengan “DPS tidak melaksanakan tugasnya dengan baik sampai
dengan izin usaha LKS dicabut” meliputi antara lain :

a) Tidak memberikan nasihat dan saran kepada Direksi atas hasil pengawasan yang
dilakukan DPS;

b) Tidak menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman
operasional dan produk yang dikeluarkan Bank;

c) Tidak mengawasi proses pengembangan produk baru LKS agar sesuai dengan
fatwa DSN-MUI;

d) Tidak melakukan review secara berkala atas pemenuhan Prinsip Syariah terhadap
mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa LKS;
dan/atau

e) Tidak menyampaikan Laporan Hasil Pengawasan DPS secara semesteran. yang
mengakibatkan izin usaha LKS dicabut.

6.9 Soal Latihan
Jelaskan kewajiban DPS dalam melaksanakan pengawasan LKS

Jawaban:

1. Mengikuti fatwa-fatwa DSN-MUI
DPS tidak perlu berijtihad terlalu jauh tentang penilaian kepatuhan syariah lembaga
keuangan syariah, cukup mengikuti fatwa-fatwa DSN-MUI. Bila terdapat permasalahan
yang belum terdapat fatwanya, DPS dapat mengajukan fatwa baru kepada DSN-MUI. Bila

97

DPS masing-masing lembaga keuangan syariah melakukan ijtihad dan berfatwa yang
berbeda-beda, maka akan menyulitkan relulator dan pengawas dari OJK dan Bank
Indonesia untuk mengatur dan melakukan pengawasan dan pembinaan kepada lembaga
keuangan syariah yang berada dibawah tanggung jawabnya.
2. Mengawasi kegiatan usaha agar tidak menyimpang dari fatwa DSN-MUI
DPS harus dapat memastikan bahwa operasional usaha lembaga keuangan syariah tidak
menyimpang dari prinsip-prinsip syariah. Maka DPS harus memiliki pengetahuan yang
luas terutama tentang fiqh muamalah agar pengawasannya bisa berjalan dengan baik,
objektif dan akurat.
3. Mengeluarkan opini syariah
Tugas DPS setelah melakukan pengawasan syariah adalah membuat opini syariah
terhadap lembaga keuangan syariah yang diawasinya. Opini ini penting artinya bagi
manajemen sebagai pedoman kerja dan alat evaluasi manajemen dalam mentaati prinsip-
prinsip syariah yang menjadi tuntutan operasional dan pertanggungjawaban pada
regulator maupun tanggung jawab kepada Allah SWT sebagai komitmen bahwa
manajemen telah melakukan ketaatan pada syariah yang digariskan Allah SWT, sehingga
masyarakat terlindungi dan terhindar dari praktek bisnis yang diharamkanNya.
4. Menjaga kerahasiaan
DPS wajib merahasiakan hasil temuannya kepada public, karena bila terjadi ketidak
sesuaian pada prinsip syariah yang ditemukan oleh DPS kemudian informasi tersebut
bocor kepada public, risikonya besar sekali. Karena akan mengurangi bahkan
menghilangkan kepercayaan public pada lembaga keuangan syariah. Bila ini terjadi pada
perbankan syariah, maka akan berakibat pada withdrawal risk, ficiduary risk bahkan pada
risiko pasar yang bisa berdampak systematis maupun unsystematic. Maka DPS harus
merahasiakan temuannya kepada public. Temuan-temuan DPS adalah untuk manajemen
lembaga keuangan syariah, hak publikasi berada di pihak manajemen bukan pada DPS.
5. Memberikan laporan rutin kepada DSN-MUI sekurangkurangnya dua kali dalam setahun
Setelah melakukan fungsi kepengawasan syariah pada lembaga keuangan syariah, DPS
harus melaporkannya pada DSN-MUI, selain melaporkannya kepada OJK/BI. Laporan
DPS ini penting artinya bagi DSN-MUI dan OJK/BI agar dapat dilakukan evaluasi dan
umpan balik untuk perbaikan kebijakan lembaga keuangan syariah di masa depan.
6. Memberikan masukan kesyariahan
DPS dapat memberikan masukan kesyariahan kepada manajemen lembaga keuangan
syariah dan kepada DSN-MUI atas pelaksanaan kepatuhan syariah dari lembaga yang
diawasinya. Masukan ini penting artinya bagi manajemen agar dapat melakukan
perbaikan-perbaikan baik itu perbaikan menyangkut produk, etika, operasional dan
perilaku karyawan maupun masukan lain yang menyangkut tentang kesyariahan lembaga.
7. Menghadiri rapat rutin DPS dan undangan relevan lainnya
DPS wajib melakukan rapat rutin baik rapat DPS maupun rapat dengan manajemen
lembaga keuangan syriah bila diperlukan. Bahkan seringkali DPS diundang dalam RUPS
perusahaan untuk memberikan masukan-masukan kepada stock holders dan
meningkatkan kepercayaan pemilik perusahaan bahwa perusahaannya telah memenuhi
kewajiban syariah dengan mematuhi prinsip-prinsip syariah.
8. Menunaikan semua tanggungjawab DPS sebagaimana mestinya
Tugas dan tanggung jawab DPS tidak hanya yang tertuang pada peraturan perundangan
dan ketentuan regulator maupun anggaran dasar perusahaan. Lebih jauh, DPS dapat
berperan sebagai penasehat bagi manajemen dan karyawan tentang kesyariahan dan
keagamaan lainnya.

98

6.10 Test Sumatif

Petunjuk:

Dibawah ini terdapat dua kolom, kolom pertama berisi soal, kolom kedua berisi jawaban.
Mahasiswa diminta mencocokkan soal dengan memilih salah satu jawaban yang paling tepat
di kolom kedua:

No. Soal Jawaban

1) Dewan Pengawas Syariah (DPS) dibuat untuk a) Peradilan Agama

mengawal pelaksanaan kepatuhan terhadap prinsip-

prinsip syariah pada lembaga keuangan syariah baik

bank maupun lembaga non bank. Keberadaan DPS

adalah perpanjangan tangan dari DSN-MUI dalam

mengawal fatwa-fatwa yang telah dikeluarkannya.

DPS dibentuk di setiap lembaga keuangan untuk

memastikan bahwa lembaga tersebut telah

menjalankan operasionalnya dan produk-produk yang

dibuatnya telah sesuai dengan fatwa DSN-MUI. Maka
DPS harus mendapat pengesahan dari…..c

2) Di Indonesia pengawasan dan regulasi perbankan b) Risk Based Supervision
dan lembaga keuangan dilakukan oleh Bank
Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pengaturan dan pengawasan bank oleh BI
meliputi……g

3) Dalam menjalankan tugas pengawasan bank, saat ini c) DSN-MUI

BI melaksanakan sistem pengawasannya dengan
menggunakan 2 pendekatan yakni….d

4) Pendekatan pengawasan yang berorientasi ke depan d) Berdasarkan kepatuhan

(forward looking) adalah …….b dan berdasarkan risiko

5) Sengketa ekonomi syariah diselesaikan oleh……..a e) Perseroan Terbatas

6) UU No. 21 Tahun 2008 mengatur bahwa badan f) Dua kali

hukum yang diperbolehkan untuk pendirian bank
syariah adalah…….e

7) Menjadi anggota DPS pada suatu lembaga keuangan g) Memberikan ijin,

syariah diperlukan pengetahuan dan keterampilan mengatur, mengawasasi,

serta wawasan tentang fatwa DSN-MUI dan seluruh memberi sangsi

seluk-beluknya. Tidak hanya terbatas pada fatwa,

namun diperlukan minimal pengetahuan tentang fikih

muamalah serta ekonomi Islam secara umum.

Otoritas yang melakukan fit and proper test terlebih

99

dahulu sebelum menetapkan seseorang berhak h) DSN-MUI dan OJK
menjadi DPS di suatu lembaga keuangan syariah, i) Rapat Umum Pemegang
adalah……….h
Saham (RUPS)
8) Standar kepatuhan syariah LKS di Indonesia adalah
kesesuaian kegiatan LKS baik secara operasional j) Fatwa DSN-MUI
maupun proudk-produknya terhadap…..j

9) DPS sebagai pihak yang bertanggung-jawab akan
pelaksanaan prinsip syariah di LKS dapat
menjalankan perannya secara optimal dan menjadi
jembatan perantara antara manajemen LKS dengan
pihak-pihak luar terutama yang menyangkut
pelaksanaan syariah pada LKS. Kewajiban
memberikan laporan kepada DSN-MUI setahun
sebanyak……f

10) Yang mengangkat Dewan Pengawas Syariah pada
LKS adalah…..i

6.11 Indikator Penilaian

Bab ini membahas tentang DPS di LKS, setelah mengerjakan soal-soal latihan, jangan beralih
ke bab selanjutnya, dipersilahkan untuk mencocokkannya dengan kunci jawaban. Gunakan
rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Saudara akan materi pada Bab ini.

Tingkat Penguasaan Materi =

Jumlah Jawaban yang Benar
Jumlah Soal (100 %)
Indikator:
90 – 100% = Baik Sekali
80 – 89% = Baik
70 – 79% = Cukup

< 70% = Kurang

Bila jawaban yang benar masih kurang dari 90%, dipersilahkan untuk mengulangi membaca
bab ini sampai jawaban yang benar mencapai lebih dari 90% atau 100%. Maka dari itu
disarankan untuk tidak memberi coretan pada soal latihan sesuai kunci jawaban terlebih
dahulu untuk menguji pemahaman materi pada bab ini.

100


Click to View FlipBook Version