The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Modul Pembelajaran ini hadir untuk melengkapi kebutuhan pengawasan syariah yang saat ini masih terbatas. Terbatasnya referensi ini mengakibatkan lemahnya pengawasan Lembaga Keuangan Syariah oleh DPS, terutama LKS yang tidak diatur oleh regulasi yang baik semisal Lembaga Keuangan Mikro Syariah non bank seperti Koperasi Syariah.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by ekonfuad, 2022-03-15 02:57:31

Modul Pengawasan Syariah pada Lembaga Keuangan Syariah

Modul Pembelajaran ini hadir untuk melengkapi kebutuhan pengawasan syariah yang saat ini masih terbatas. Terbatasnya referensi ini mengakibatkan lemahnya pengawasan Lembaga Keuangan Syariah oleh DPS, terutama LKS yang tidak diatur oleh regulasi yang baik semisal Lembaga Keuangan Mikro Syariah non bank seperti Koperasi Syariah.

Keywords: Pengawasan Syariah,Lembaga Keuangan Syariah

VIII. INSTRUMEN PENGAWASAN SYARIAH DI INDONESIA

7.1 Kompetensi dasar
Mampu menyebutkan dan menjelaskan berbagai instrument pengawasan syariah di Indonesia

7.2 Kemampuan akhir

1) Menjelaskan legal standing lembaga keuangan syariah nasional dan internasional
2) Mampu mengonsep dan membuat opini syariah secara tertulis

7.3 Pendahuluan

Pelaksanaan pengawasan LKS terutama perbankan syariah dilakukan berdasarkan risk
based supervision yang dilakukan secara off site supervision dan on site supervision.
Tahapan-tahapan pengawasan bank berdasarkan risiko melalui siklus sebagai berikut: (a)
pemahaman terhadap bank (know your bank), (b) penilaian risiko dan tingkat kesehatan (c)
perencanaan pengawasan (supervisory plan), (d) pemeriksaan berdasarkan risiko (risk based
examination), (e) pengkinian profil risiko dan tingkat kesehatan bank dan (f) tindakan
pengawasan dan pemantauan (supervisory action and monitoring) (Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), 2013). Sedangkan pengawasan terhadap kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah
menjadi tanggung jawab DSN-MUI dengan fatwa-fatwa yang telah dikeluarkannya sebagai
panduan pelaksanaan kepatuhan syariah oleh LKS. DPS adalah perpanjangan tangan DSN-
MUI di LKS, maka DPS bertanggung-jawab kepada DSN-MUI dan harus memberikan
laporannya secara gradual kepada DSN-MUI selain OJK/BI.

Dalam melaksanakan tugasnya DPS harus mengikuti aturan main yang berlaku di LKS baik
aturan atau regulasi yang menyangkut system akuntansi, fiqh kontemporer, system transaksi,
system pengawasan yang berlaku dan sebagai consensus nasional maupun internasional.

Sesuai dengan (Surat Edaran No. 8/19/DPBS, tanggal 24 Agustus 2006), Pedoman
Pengawasan Syariah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi Dewan Pengawas
Syariah ini disusun dengan mengacu antara lain kepada:

a. Undang-Undang Perbankan;
b. Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI);
c. Pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia;
d. Prinsip-prinsip syariah dalam Shari’a Standards (Ma’ayir Syar’iyah) yang diterbitkan oleh

Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI);
e. Pedoman umum dalam Accounting, Auditing and Governance Standards for Islamic

Financial Institutions yang dikeluarkan oleh Accounting and Auditing Organization for
Islamic Financial Institutions (AAOIFI);
f. Pedoman Pengawasan dan Pemeriksaan Bank Syariah yang diterapkan oleh Direktorat
Perbankan Syariah Bank Indonesia (DPbS - BI);
g. Ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang berlaku bagi perbankan syariah;
h. Pedoman Standar Akuntansi Keuangan dan Pedoman Akuntansi yang berlaku bagi
perbankan syariah yang disusun oleh Bank Indonesia (BI) dan Ikatan Akuntan Indonesia
(IAI);
i. Panduan Audit Bank Syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI) dan Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI) – KAP;

101

j. Ketentuan umum yang dikeluarkan oleh instansi terkait dan Undang- Undang yang berlaku
secara umum;

k. Berbagai Modul Pembelajaran literatur lainnya yang terkait dengan pengawasan syariah
pada lembaga keuangan dan perbankan syariah.

7.4 Legal Standar Lembaga Keuangan Keuangan Syariah Nasional dan Internasional

1. AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Finansial Institutions)

Organisasi ini didirikan pada tahun 1991 di Bahrain beranggotakan 151 lembaga
keuangan Islam dari berbagai Negara. Tujuan dari pendirian organisasi ini adalah untuk
mengembangkan, menyebarluaskan, menginterpretasikan dan mereview standar
akuntansi lembaga keuangan Islam dan standar syariah yang berhubungan dengan
keuangan dan perbankan syariah. Organisasi ini juga membantu lembaga keuangan Islam
untuk menjalankan kepatuhan syariah dan membuat standar keuangan syariah untuk
dipergunakan sebagai acuan transaksi keuangan dan auditing bagi lembaga keuangan
Islam atau para pihak yang berhubungan dengan perbankan syariah.

Selain itu organisasi ini juga menjembatani kesesuaian dengan standar keuangan
internasional lainnya seperti International Accounting and Auditing Service Board (IAASB)
dan International Financial Report Services (IFRS).

Saat ini AAOIFI telah memiliki 25 Standar Akuntansi, 5 Standar Auditing, 6 Standar
Governance, 2 kode etik dan 30 standar Syariah (aturan pengaplikasian syariah). 154
negara telah mengadopsi standar akuntansi dan auditing lembaga keuangan syariahnya
sebagaimana standar AAOIFI termasuk Indonesia. AAOIFI Governance Standard No. 2
menyatakan bahwa “Shariah Review is an examination of the extent of an IFI’s
compliance, in all its activities, with the Sharia. This examination includes contracts,
agreements, policies, products, transactions, memorandum of articles of association,
financial statements, reports etc. The Shariah Supervisory Board shall have complete and
unhindered access to all records, transactions, and informations from the sources
including professional advisers and the IFI employees”. (AAOIFI Governance Standard
No. 2 Shariah Review adalah pemeriksaan terkait dengan seberapa jauh kepatuhan LKS
terhadap prinsip syariah dalam seluruh aktivitasnya. Pemeriksaan mencakup kontrak,
perjanjian, kebijakan, produk, transaksi, AD/ART, laporan keuangan dll . Dewan
Pengawas Syariah harus memiliki akses yang lengkap dan tidak dapat dibatasi atas
semua catatan, transaksi dan informasi dan sumber-sumber termasuk penasihat
profesional dan karyawan LKS).

2. IFSB (Islamic Financial Services Board)

IFSB adalah lembaga internasional yang didirikan di Kuala Lumpur pada tahun 2002 dan
mulai beroperasi tahun 2003. Lembaga ini bertujuan merumuskan infrastruktur keuangan
Islam dan instrument kebijakan keuangan Islam yang baru maupun yang diadopsi dari
standar keuangan internasional lain yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah.
IFSB menjadi acuan regulasi bagi otoritas keuangan di Negara-negara muslim maupun
non muslim dalam membangun transparansi dan prudensial perbankan dan keuangan
Islam seperti halnya Basel Committee on Banking Supervision, the International
Organization of Securities Commissions dan the International Association of Insurance
Supervisors bagi Negara-negara anggota. Saat ini OJK telah menjadi anggota penuh

102

IFSB. Jadi standar yang dikeluarkan OJK dalam meregulasi perbankan dan keuangan
Islam juga mengacu standar IFSB.

3. IIFAOIC (The International Islamic Fiqh Academy of The Organization of The Islamic
Conference)

The International Islamic Fiqh Academy of the Organization of the Islamic Conference
(IIFAOIC) berbasis di Jeddah, Arab Saudi. Dalam kiprahnya lembaga ini telah berperan
signifikan dalam pengembangan perbankan syariah dan keuangan Islam melalui fatwa-
fatwa yang dikeluarkannya. Didirikan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI)
beranggotakan para pakar syariah di berbagai bidang seperti ekonomi, keuangan,
kedokteran, ilmu pengetahuan murni, hukum dan bidang lainnya. Sampai 2013 organisasi
ini telah mengeluarkan 20 fatwa yang dipublikasikan di jurnal ilmiah AAFAOIC.

4. PSAK Syariah

PSAK 59 yang disahkan pada tahun 2002 dan mulai diberlakukan pada tahun 2003 adalah
sebuah terobosan baru dalam standar akuntansi perbankan syariah di Indonesia. PSAK
59 mengadopsi AAOIFI yang mengatur tentang standar akuntansi dan auditing bagi
perbankan dan keuangan syariah. Terbitnya PSAK ini menjadi tonggak sejarah baru bagi
Indonesia setelah 10 tahun dunia perbankan syariah tidak memiliki pedoman standar
akuntansi yang baku.

PSAK 59 diterbitkan tidak terlepas dari fatwa-fatwa DSN MUI yang telah membuat
pedoman akad-akad di perbankan syariah, sehingga IAI dapat berpedoman dan
memakainya sebagai acuan dalam menerbitkan PSAK syariah.

Sampai saat ini IAI telah menerbitkan PSAK syariah di berbagai bidang baik perbankan,
pasar modal, asuransi syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya. Saat ini IAI telah
menerbitkan PSAK Syariah selain PSAK 59, yaitu :

⮚ Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah
⮚ PSAK 101: Penyajian Laporan Keuangan Syariah
⮚ PSAK 102: Akuntansi Murabahah
⮚ PSAK 103: Akuntansi Salam
⮚ PSAK 104: Akuntansi Istishna’
⮚ PSAK 105: Akuntansi Mudharabah
⮚ PSAK 106: Akuntansi Musyarakah
⮚ PSAK 107: Akuntansi Ijarah
⮚ PSAK 108: Akuntansi Penyelesaian Utang Murabahah Bermasalah
⮚ PSAK 109: Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah
⮚ PSAK 110: Akuntansi Hawalah
⮚ PSAK 111: Akuntansi Transaksi Asuransi Syariah

Perbedaan antara PSAK 59 dengan PSAK 101 – 111 adalah PSAK 59 dikhususkan untuk
perbankan syariah sedangkan PSAK 101 – 111 untuk lembaga keuangan syariah secara
umum. Bisa asuransi syariah, pasar modal syariah dan LKS lainnya.

5. Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Bank Indonesia

a) PBI No. 7/35/PBI/2005 perubahan atas PBI o. 6/24/PBI/2004

103

Pengawasan pada LKS pada bank syariah tertuang pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.
7/35/PBI/2005 perubahan atas PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Setiap bank syariah pada
dasarnya wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan
kegiatan usahanya yang meliputi :

a. melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi,
antara lain: (1) giro berdasarkan prinsip wadi’ah; (2) tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah
dan atau mudharabah; atau (3) deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah

b. melakukan penyaluran dana melalui : (1) prinsip jual beli berdasarkan akad antara lain:
murabahah, istishna, salam. (2) prinsip bagi hasil berdasarkan akad antara lain:
mudharabah dan musyarakah. (3). prinsip sewa menyewa berdasarkan akad antara lain:
ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik. (4) prinsip pinjam meminjam berdasarkan akad
qardh.

c. melakukan pemberian jasa pelayanan perbankan berdasarkan akad antara lain: (1)
wakalah (2) hawalah (3) kafalah (4) rahn.

d. membeli, menjual dan/atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang
diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan prinsip
syariah;

e. membeli surat berharga berdasarkan prinsip Syariah yang diterbitkan oleh Pemerintah
dan/atau Bank Indonesia, dll.

b) SE BI 12/13/DPbS tgl 30/04/2010
SE BI 12/13/DPbS tgl 30/04/2010, Bagian E, (3) d. … pelaksanaan tugas dan tanggung
jawab DPS: “Melakukan review secara berkala atas pemenuhan Prinsip Syariah terhadap
mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank”… SE BI
12/13/DPbS tgl 30/04/2010, Bagian E, (6) menyatakan bahwa:

a) Menganalisis laporan yang disampaikan oleh dan/atau yang diminta dari Direksi,
pelaksana fungsi audit intern dan/atau fungsi kepatuhan untuk mengetahui kualitas
pelaksanaan pemenuhan Prinsip Syariah atas kegiatan penghimpunan dana dan
penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank

b) Menetapkan jumlah uji petik (sampel) transaksi yang akan diperiksa dengan
memperhatikan kualitas pelaksanaan pemenuhan Prinsip Syariah dari masing-masing
kegiatan;

c) Memeriksa dokumen transaksi yang diuji petik (sampel) untuk mengetahui pemenuhan
Prinsip Syariah sebagaimana dipersyaratkan dalam SOP, antara lain:

1. ada tidaknya bukti pembelian barang, untuk akad murabahah sebagai bukti
terpenuhinya syarat jual-beli murabahah;

2. ada tidaknya laporan usaha nasabah, untuk akadmudharabah/musyarakah, sebagai
dasar melakukan perhitungan distribusi bagi hasil;

d) Melakukan inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan dan/atau konfirmasi kepada
pegawai Bank dan/atau nasabah untuk memperkuat hasil pemeriksaan dokumen
sebagaimana dimaksud pada huruf c., apabila diperlukan.

104

7.5 DPS pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah (BMT)

Peraturan Menteri Koperasi dan UKM NOMOR 16 /Per/M.KUKM/IX/2015. Sesuai dengan
Permenkop UKM, Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang dipilih oleh koperasi
yangbersangkutan berdasarkan keputusan rapat anggota dan beranggotakan alim ulama
yang ahli dalam syariah yang menjalankan fungsi dan tugas sebagai pengawas syariah pada
koperasi yang bersangkutan dan berwenang memberikan tanggapan atau penafsiran
terhadap fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional.

a. Tugas-tugas Pokok:

1) Memastikan produk jasa KJKS dan UJKS Koperasi sesuai dengan syariah.

2) menelaah dan mensahkan setiap spesifikasi produk penghimpunan (funding) maupun
produk penyaluran dana (financing)

e. Wewenang:

1. Meneliti barang, catatan, berkas, bukti-bukti dan dokumen lainnya yang ada pada
KJKS dan UJKS Koperasi.

2. Mendapatkan keterangan yang diperlukan baik dari pengurus, manajemen atau staff
dan anggota

3. Memberikan koreksi, saran dna peringatan kepada pengurus dan manajemen KJKS
dan UJKS Koperasi.

7.6 Opini Pengawasan

Sebagaimana audit yang dilakukan oleh para auditor atau akuntan publik selalu memberikan
opini atas hasil auditnya. Opini tersebut dinyatakan dalam bentuk pernyataan atas kewajaran
laporan hasil audit yang telah dilakukannya. Audit Syariah yang dilakukan DPS dan SKAI
(Satuan Kerja Audit Internal) dapat memberikan opini atas kepatuhan syariah LKS. Menurut
(IAI., 2002), Standar Profesional Akuntan (PSA 29), opini audit terdiri dari lima jenis yaitu:

a. Opini Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion)

Adalah pendapat yang diberikan ketika audit telah dilaksanakan sesuai dengan Standar
Auditing (SPAP), auditor tidak menemukan kesalahan material secara keseluruhan laporan
keuangan atau tidak terdapat penyimpangan dari prinsip akuntansi yang berlaku (SAK).
Bentuk laporan ini digunakan apabila terdapat keadaan berikut:

1) Bukti audit yang dibutuhkan telah terkumpul secara mencukupi dan auditor telah
menjalankan tugasnya sedemikian rupa, sehingga ia dapaty memastikan kerja lapangan
telah ditaati.

2) Ketiga standar umum telah diikuti sepenuhnya dalam perikatan kerja.

3) Laporan keuangan yang di audit disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang lazim
yang berlaku di Indonesia yang ditetapkan pula secara konsisten pada laporan-laporan
sebelumnya. Demikian pula penjelasan yang mencukupi telah disertakan pada catatan
kaki dan bagian-bagian lain dari laporan keuangan.

4) Tidak terdapat ketidakpastian yang cukup berarti (no material uncertainties) mengenai
perkembangan di masa mendatang yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya atau
dipecahkan secara memuaskan.

105

b. Opini Wajar Tanpa Pengecualian dengan Paragraf Penjelasan (Modified Unqualified
Opinion)

Adalah pendapat yang diberikan ketika suatu keadaan tertentu yang tidak berpengaruh
langsung terhadap pendapat wajar. Keadaan tertentu dapat terjadi apabila: Pendapat auditor
sebagian didasarkan atas pendapat auditor independen lain.’

1) Karena belum adanya aturan yang jelas maka laporan keuangan dibuat menyimpang dari
SAK.

2) Laporan dipengaruhi oleh ketidak[pastian peristiwa masa yang akan datang hasilnya
belum dapat diperkirakan pada tanggal laporan audit.

3) Tersapat keraguan yang besar terhadap kemampuan satuan usaha dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya.

4) Diantara dua periode akuntansi terdapat perubahan yang material dalam penerapan
prinsip akuntansi.

5) Data keuangan tertentu yang diharuskan ada oleh BAPEPAM namun tidak disajikan.

c. Opini Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion)

Adalah pendapat yang diberikan ketika laporan keuangan dikatan wajar dalam hal yang
material, tetapi terdapat sesuatu penyimpangan/ kurang lengkap pada pos tertentu, sehingga
harus dikecualikan. Dari pengecualian tersebut yang dapat mungkin terjadi, apabila:

1) Bukti kurang cukup

2) Adanya pembatasan ruang lingkup

3) Terdapat penyimpangan dalam penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum (SAK).

Menurut (IAI., 2002), SA 508 paragraf 20, jenis pendapat ini diberikan apabila:

1) Tidak adanya bukti kompeten yang cukup atau adanya pembatasan lingkup audit yang
material tetapi tidak m,empengaruhi laporan keuangan secara keseluruhan.

2) Auditor yakin bahwa laporan keuangan berisi penyimpangan dari prinsip akuntansi yang
berlaku umum yang berdampak material tetapi tidak mempengaruhi laporan keuangan
secara keseluruhan. Penyimpangan tersebut dapat berupa pengungkapan yang tidak
memadai, maupun perubahan dalam prinsip akuntansi.

d. Opini Tidak Wajar (Adverse Opinion)

Adalah pendapat yang diberikan ketika laporan secara keseluruhan ini dapat terjadi apabila
auditor harus memberi tambahan paragraf untuk menjelaskan ketidakwajaran atas laporan
keuangan, disertai dengan dampak dari akibat ketidakwajaran tersebut, pada laporan
auditnya.

e. Opini Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer of opinion)

Adalah pendapat yang diberikan ketika ruang lingkup pemeriksaan yang dibatasi, sehingga
auditor tidak melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan standar auditing yang ditetapkan IAI.
Pembuatan laporannya auditor harus memberi penjelasan tentang pembatasan ruang lingkup
oleh klien yang mengakibatkan auditor tidak memberi pendapat.

106

7.7 Materialitas

Dalam melakukan pengawasan, auditor melakukan pertimbangan awal tentang tingkat
materialitas dalam perencanaan auditnya yang disebut materialitas perencanaan, mungkin
dapat berbeda dengan tingkat materialitas yang digunakan pada saat pengambilan
kesimpulan audit dan dalam mengevaluasi temuan audit karena (1) keadaan yang melingkupi
berubah (2) informasi tambahan tentang klien dapat diperoleh selama berlangsungnya audit.
Pertimbangan materialitas mencakup pertimbangan kuantitatif dan kualitatif berkaitan dengan
hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan keuangan. Pertimbangan
kualitatif berkaitan dengan penyeModul Pembelajaran salah saji. Suatu salah saji yang
secara kuantitatif tidak material dapat secara kualitatif material, karena penyeModul
Pembelajaran yang menimbulkan salah saji tersebut. Auditor menggunakan dua cara dalam
menerapkan materialitas yaitu: Pertama, auditor menggunakan materialitas dalam
perencanaan audit, dengan membuat estimasi materialitas karena terdapat hubungan terbalik
antara jumlah dalam laporan keuangan yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah
pekerjaan audit yang diperlukan untuk menyatakan kewajaran laporan keuangan. Kedua,
pada saat mengevaluasi bukti audit dalam pelaksanan audit. (Mulyadi, 2002)

Pengawasan terhadap kesesuaian terhadap prinsip-prinsip syariah pada LKS dilakukan oleh
DPS dengan mempertimbangkan materialitas. Hal ini dilakukan untuk mengukur berapa besar
tingkat ketidak sesuaian syariah yang dapat ditolerir sehingga DPS masih dapat menyatakan
bahwa operasional bank syariah sesuai dengan fatwa DSN-MUI. Materialitas ini sifatnya
adalah judgement dari DPS.

7.8 Soal-soal Latihan

Jelaskan acuan DPS dalam melakukan pengawasan syariah LKS di Indonesia

Jawaban:

Pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah ini disusun dengan mengacu antara lain kepada:

1. Undang-Undang Perbankan;
2. Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI);
3. Pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia;
4. Prinsip-prinsip syariah dalam Shari’a Standards (Ma’ayir Syar’iyah) yang diterbitkan oleh

Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI);
5. Pedoman umum dalam Accounting, Auditing and Governance Standards for Islamic

Financial Institutions yang dikeluarkan oleh Accounting and Auditing Organization for
Islamic Financial Institutions (AAOIFI);
6. Pedoman Pengawasan dan Pemeriksaan Bank Syariah yang diterapkan oleh Direktorat
Perbankan Syariah Bank Indonesia (DPbS - BI);
7. Ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang berlaku bagi perbankan syariah;
8. Pedoman Standar Akuntansi Keuangan dan Pedoman Akuntansi yang berlaku bagi
perbankan syariah yang disusun oleh Bank Indonesia (BI) dan Ikatan Akuntan Indonesia
(IAI);
9. Panduan Audit Bank Syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI) dan Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI) – KAP;
10. Ketentuan umum yang dikeluarkan oleh instansi terkait dan Undang- Undang yang berlaku
secara umum;

107

11. Berbagai Modul Pembelajaran literatur lainnya yang terkait dengan pengawasan syariah
pada lembaga keuangan dan perbankan syariah.

7.9 Test Sumatif

Petunjuk:

Dibawah ini terdapat dua kolom, kolom pertama berisi soal, kolom kedua berisi jawaban.
Mahasiswa diminta mencocokkan soal dengan memilih salah satu jawaban yang paling tepat
di kolom kedua:

No. Soal Jawaban

1) Organisasi ini didirikan pada tahun 1991 di Bahrain a) Tidak Memberikan

beranggotakan 151 lembaga keuangan Islam dari Pendapat (Disclaimer of

berbagai Negara. Tujuan dari pendirian organisasi ini opinion)

adalah untuk mengembangkan, menyebarluaskan,

menginterpretasikan dan mereview standar akuntansi

lembaga keuangan Islam dan standar syariah yang

berhubungan dengan keuangan dan perbankan
syariah, organisasi ini adalah…..

2) Pedoman Standar Akuntansi Keuangan dan Pedoman b) IFSB (Islamic Financial

Akuntansi yang berlaku bagi perbankan syariah yang Services Board)

disusun oleh Bank Indonesia (BI) dan organisasi
profesi akuntan di Indonesia, yaitu……

3) Lembaga internasional yang didirikan di Kuala Lumpur c) Perbankan Syariah
pada tahun 2002 dan mulai beroperasi tahun 2003.
Lembaga ini bertujuan merumuskan infrastruktur
keuangan Islam dan instrument kebijakan keuangan
Islam yang baru maupun yang diadopsi dari standar
keuangan internasional lain yang disesuaikan dengan
prinsip-prinsip syariah, lembaga tersebut adalah……..

4) Lembaga ini berbasis di Jeddah, Arab Saudi, dalam d) IAI
kiprahnya lembaga ini telah berperan signifikan dalam
pengembangan perbankan syariah dan keuangan
Islam melalui fatwa-fatwa yang dikeluarkannya.
Didirikan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI)
beranggotakan para pakar syariah di berbagai bidang
seperti ekonomi, keuangan, kedokteran, ilmu
pengetahuan murni, hukum dan bidang lainnya,
lembaga tersebut adalah………..

5) PSAK 101 – 111 untuk lembaga keuangan syariah e) Bank Syariah

secara umum, sedangkan PSAK 59 dikhususkan
untuk….

108

6) Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/35/PBI/2005 f) DPS

perubahan atas PBI No. 6/24/PBI/2004, mengatur
pengawasan pada …..

7) SE BI 12/13/DPbS tgl 30/04/2010, Bagian E, (3) d. … g) AAOIFI (Accounting and

pelaksanaan tugas dan tanggung jawab….. Auditing Organization for

Islamic Finansial

Institutions)

8) Audit Syariah yang dilakukan DPS dan SKAI (Satuan h) The International Islamic

Kerja Audit Internal) dapat memberikan opini atas Fiqh Academy of the

kepatuhan syariah LKS. Menurut (IAI., 2002), Standar Organization of the

Profesional Akuntan (PSA 29). Bila pendapat yang Islamic Conference

diberikan ketika audit telah dilaksanakan sesuai (IIFAOIC)

dengan Standar Auditing (SPAP), auditor tidak

menemukan kesalahan material secara keseluruhan

laporan keuangan atau tidak terdapat penyimpangan

dari prinsip akuntansi yang berlaku (SAK), maka
hasilnya adalah….

9) Audit Syariah yang dilakukan DPS dan SKAI (Satuan i) Wajar dengan

Kerja Audit Internal) dapat memberikan opini atas pengecualian

kepatuhan syariah LKS. Menurut (IAI., 2002), Standar

Profesional Akuntan (PSA 29). Bila pendapat yang

diberikan ketika laporan keuangan dikatan wajar

dalam hal yang material, tetapi terdapat sesuatu

penyimpangan/ kurang lengkap pada pos tertentu,

sehingga harus dikecualikan, hasil auditnya
dinyatakan dalam bentuk…..

10) Audit Syariah yang dilakukan DPS dan SKAI (Satuan j) a. Opini Wajar Tanpa

Kerja Audit Internal) dapat memberikan opini atas Pengecualian

kepatuhan syariah LKS. Menurut (IAI., 2002), Standar (Unqualified Opinion)

Profesional Akuntan (PSA 29). Bila pendapat yang

diberikan ketika ruang lingkup pemeriksaan yang

dibatasi, sehingga auditor tidak melaksanakan

pemeriksaan sesuai dengan standar auditing yang

ditetapkan IAI. Pembuatan laporannya auditor harus

memberi penjelasan tentang pembatasan ruang

lingkup oleh klien yang mengakibatkan auditor tidak

memberi pendapat, maka opininya dinyatakan dalam
bentuk…

7.10 Indikator Penilaian
Bab ini membahas tentang seluk beluk risiko dan antisipasinya pada Perbankan Perbankan
Syariah, setelah mengerjakan soal-soal latihan, jangan beralih ke bab selanjutnya,

109

dipersilahkan untuk mencocokkannya dengan kunci jawaban. Gunakan rumus berikut untuk
mengetahui tingkat penguasaan Saudara akan materi pada Bab ini.
Tingkat Penguasaan Materi =

Jumlah Jawaban yang Benar
Jumlah Soal (100 %)
Indikator:
90 – 100% = Baik Sekali
80 – 89% = Baik
70 – 79% = Cukup
< 70% = Kurang
Bila jawaban yang benar masih kurang dari 90%, dipersilahkan untuk mengulangi membaca
bab ini sampai jawaban yang benar mencapai lebih dari 90% atau 100%. Maka dari itu
disarankan untuk tidak memberi coretan pada soal latihan sesuai kunci jawaban terlebih
dahulu untuk menguji pemahaman materi pada bab ini.

110

IX.PEDOMAN PENGAWASAN SYARIAH

8.1 Kompetensi dasar
Mampu membuat berbagai macam hasil pengawasan syariah oleh DPS

8.2 Kemampuan akhir

1) Menjelaskan objek pengawasan syariah pada LKS oleh DPS
2) Menjelaskan kelengkapan pengawasan syariah yang harus dipersiapkan oleh DPS dalam

melakukan pengawasan syariah
3) Membuat laporan hasil pengawasan syariah secara tertulis

8.3 Pendahuluan
Landasan dalil atas pengawasan dari Al-Qur’an yang sering dipakai adalah QS. Al-Ashr [103]
ayat 1-3 :

1. Demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. Kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa semua manusia ini akan mengalami kerugian
kecuali jika mereka dapat saling menasehati dan saling mengontrol. Dasar lain dari ayat Al-
Qur’an juga disebutkan Di dalam QS. Al Hujurat [49]: 6 yang terjemahan artinya adalah
sebagai berikut: "Hai orang orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyeModul Pembelajarankan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu."

Sedangkan landasan hukum positif di Indonesia atas pengawasan LKS terutama pada
perbankan syariah yang diatur secara ketat. Dalam Pasal 29 (1) (Undang Undang No. 10
tahun 1998, tentang perubahan terhadap UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan) yang
berbunyi Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. Adapun dalam
Pasal 8 (UU No.3/2004 tentang Perubahan atas UUNo.23 Th.1999 tentang Bank Indonesia)
dinyatakan bahwa Bank Indonesia mempunyai tiga tugas, yaitu a) menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter; b) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;
dan c) mengatur dan mengawasi bank.

Pengawasan pada LKS pada bank syariah tertuang pada Peraturan Bank Indonesia, yaitu
(PBI No. 7/35/PBI/2005 perubahan atas No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.) Setiap bank syariah pada
dasarnya wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan
kegiatan usahanya yang meliputi :

1) melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi,
antara lain: (1) giro berdasarkan prinsip wadi’ah; (2) tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah
dan atau mudharabah; atau (3) deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah

2) melakukan penyaluran dana melalui : (1) prinsip jual beli berdasarkan akad antara lain:
murabahah, istishna, salam. (2) prinsip bagi hasil berdasarkan akad antara lain:
mudharabah dan musyarakah. (3). prinsip sewa menyewa berdasarkan akad antara lain:

111

ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik. (4) prinsip pinjam meminjam berdasarkan akad
qardh.
3) melakukan pemberian jasa pelayanan perbankan berdasarkan akad antara lain: (1)
wakalah (2) hawalah (3) kafalah (4) rahn.
4) membeli, menjual dan/atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang
diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan prinsip
syariah;
5) membeli surat berharga berdasarkan prinsip Syariah yang diterbitkan oleh Pemerintah
dan/atau Bank Indonesia, dll.

Sedangkan pengawasan terhadap pelaksanaan prinsip syariah kewenangannya berada pada
DSN-MUI. Dalam menjalankan teknis pengawasan di berbagai LKS, DSN-MUI telah
memperluas kewenangannya dan memberikan otoritas kepada DPS dari LKS yang telah
mendapat rekomendasi dari DSN-MUI dan BI/OJK.

8.4 Pengawasan Syariah Oleh DPS

Pengawasan syariah di Indonesia telah mendapatkan tempat di semua undang-undang baik
undang-undang tentang Perseroan Terbatas, undang-undang tentang Perbankan dan
undang-undang tentang Bank Indonesia maupun undang-undang tentang OJK. Semua
undang-undang tersebut telah mengakomodir entitas badan hukum syariah dan pengawasan
syariah atasnya.

Undang-undang Perseroan Terbatas Pasal 109 ayat (1), (2) dan (3) (Undang-undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas), disebutkan bahwa:

1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain
mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah.

2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang ahli
syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.

3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan
nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai
dengan prinsip syariah.

Undang-undang Perbankan Syariah mengatur keberadaan dan mewajibkan bagi Bank
Syariah maupun bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah pada pasal 32 (Undang-
undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah), sebagai berikut:

1) Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional
yang memiliki UUS.

2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Rapat
Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia

3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan
nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan
Prinsip Syariah.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

Dewan Pengawas Syariah sebagai kepanjangan tangan dari DSN-MUI dibentuk untuk
melakukan pengawasan secara mendetail dan komprehensif atas pelaksanaan kepatuhan

112

syariah LKS. Dewan Pengawas Syariah melaksanakan tugas didasari pelakasanaan
(Undang Undang No. 10 tahun 1998, tentang perubahan terhadap UU No. 7 tahun 1992
tentang Perbankan) Pasal 6 huruf m, dijelaskan bahwa: (a) kegiatan usaha dan produk-produk
bank berdasarkan prinsip syariah; (b) pembentukan dan tugas Dewan Pengawas Syariah;
dan (c) persyaratan bagi pembukaan kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Maka secara
legal hukum positif di Indonesia telah mengakui keberadaan Dewan Pengawas Syariah.

Dewan Pengawas Syariah melaksanakan tugasnya mengikuti fatwa dari DSN dan statusnya
sebagai dewan yang ditempatkan di LKS yang keanggotaannya ditetapkan berdasarkan
rekomendasi DSN yang bertugas mengawasi penerapan prinsip syariah dalam kegiatan
usaha bank. Selain itu, keanggotaan Dewan Pengawas Syariah juga harus mendapat
persetujuan BI. DPS berpedoman pada (Surat Edaran No. 8/19/DPBS, tanggal 24 Agustus
2006). Laporan hasil pengawasan Syariah beserta kertas kerja pengawasan yang telah
disusun oleh DPS, sesuai dengan peraturan ini, disampaikan kepada Direksi, Komisaris,
DSN, dan juga BI. Laporan hasil pengawasan Syariah itu sendiri, setidaknya harus memuat
beberapa hal, yaitu:

1) hasil pengawasan atas kesesuaian kegiatan operasional bank terhadap fatwa yang
dikeluarkan oleh DSN-MUI;

2) opini syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan oleh bank;

3) hasil kajian atas produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa
kepada DSN-MUI; dan

4) opini syariah atas pelaksanaan operasional bank secara keseluruhan dalam laporan
publikasi bank.

Keberadaan DPS dalam sebuah LKS diangkat oleh bank melalui RUPS / RAT (Koperasi
Syariah), pengangkatan tersebut atas komendasi dari DSN-MUI, melalui wawancara oleh
Regulator (Bank Indonesia/OJK). Jumlah anggota DPS tergantung dari saran dan
rekomendasi dari regulator menurut jenis lembaga masing-masing. Dalam melaksakan
tugasnya, DPS berhak mendapat remunerasi LKS.

Karena DPS secara struktural adalah bagian dari LKS, maka DPS bank menjadi pihak terkait
dengan bank (memiliki akses informasi tapi wajib menjaga kerahasiaan informasi). Dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pengawas syariah, DPS wajib melaporkan hasil
pengawasan kepada Regulator terkait. Aspek yang menjadi perhatian pengawasan DPS
adalah aspek kesyariahan bank. Aspek kesyariahan bank secara khusus adalah kesesuaian
produk dan transaksi bank terhadap fatwa DSN. Secara umum adalah kesesuaian produk dan
transaksi terhadap syariah secara umum. LKS akan menanggung risiko yang besar bila tidak
dilakukan pengawasan syariah oleh DPS atau berjalan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah, risiko tersebut adalah timbulnya risiko reputasi yang tidak dapat diukur besarannya.

Menurut (Agustianto, 2011), agar DPS dan DSN memiliki peran yang optimal dan signifikan,
setidaknya ada lima hal penting yang harus menjadi perhatian bersama:

1. MUI menentukan klasifikasi keahlian pihak-pihak yang dapat diangkat menjadi anggota
DSN atau DPS. Seperti di Sudan, Abdallah (1994) menyatakan bahwa anggota
Department of Fatwa and Research (DFR) dan Higher Sharia Supervisory Board (HSSB)
adalah orang-orang yang mempunyai keahlian di bidang Syariah (Islamic Jurisprudence),
hukum dan ekonomi (akuntansi).

113

2. Bank Indonesia sudah mengeluarkan PBI (Peraturan bank Indonesia), tahun 2010 tentang
Good Corporate Governance Bank Umum Syariah dan UUS. Salah isinya adalah
mengatur tentang peran dan kedudukan Dewan Pengawas Syariah. Menurut PBI tersebut,
seorang konsultan bank syariah tidak boleh menjadi Dewan pengawas Syariah, hal ini
bertujuan agar terjadi pola hubungan yang fair antara konsultan, DPS dan bank syariah.
Dalam masa transisi, dimana Indonesia masih kekurangan SDM, DSN MUI dan Bank
Indonesia telah melakukan berbagai terobosan program dan juga kegiatan dalam rangka
menambah jumlah sumber daya manusia yang ahli dalam bidang ekonomi syariah, seperti
sertifikasi, annual meeting, seminar, workshop dsb.

3. Model pengawasan DPS pasca keluaranya PBI tentang GCG Bank Syariah betul-betul
aktif dan produktif. Pada model pengawasan ini DPS dilakukan oleh sebuah departemen
syari’ah di suatu perbankan syari’ah. Dengan model ini ahli syariah bertugas full time,
didukung oleh staf teknis yang membentu tugas-tugas pengawasan syariah yang telah
digariskan oleh ahi syariah departemen tersebut. Jika model ini diterapkan secara
fungsional, maka tugas-tugas DPS sebagaimana yang dihekehendaki DSN dapat
terwujud. Kalau DPS melanggar PBI dan sudah diingatkan sebanyhak tiga kali, maka
selama 10 tahun, orang tersebut tidak boleh menjadi DPS.

4. Posisi DPS seharusnya sejajar dengan Komisaris. sehingga perannya dan kedudukannya
sangat kuat. Ketentuan iniseyogianya masuk dalam UndangUndang Perbankan Syari’ah.
Apabila Dewan Pengawas Syari’ah terlepas dari Bank Indonesia/ Otoritas Jasa Keuangan,
maka akibatnya, mereka bekerja dalam pengawasan itu, hanya sambilan saja. Padahal
Islam menuntut profesionalisme dan keseriusan dalam setiap pekerjaan, termasuk dalam
pengawasan.

5. Banyak usulan dari tokoh di daerah, agar bank syari’ah memiliki DPS di daerah. Hal ini
sejalan dengan semakin meluasnya kantor cabang perbankan syari’ah ke berbagai
wilayah provinsi, bahkan kabupaten /kota. Usulan tersebut positif dan perlu didukung, agar
penerapan prinsip syari’ah lebih terjamin di daerah-daerah.

8.5 Metode Pengawasan

Dalam melakukan pengawasan, DPS bisa bertindak secara aktif maupun pasif, kedua-duanya
diperlukan, karena tidak semua pengawasan harus bersifat aktif. Pengawasan aktif diperlukan
bila pengawasan pasif memerlukan data pendukung. Maka DPS dalam melakukan
pengawasan dapat melakukannya dengan metode :

1. Off Site Supervision (pengawasan pasif)

Adalah pengawasan yang dilakukan DPS dalam bentuk penerimaan laporan dari bank
mengenai produk dan transaksi yang telah dilaksanakan. DPS bertugas untuk meneliti
dan memberikan komentar terhadap laporan tersebut. DPS cukup menerima laporan dari
manajemen LKS yang diperlukan oleh DPS untuk diadakan penelitian dan pemeriksaan,
dengan asumsi bahwa dokumen tersebut telah mencukupi kebutuhan data yang
dibutuhkan DPS untuk membuat opini syariah. Bila DPS merasa belum cukup dengan
pengawasan pasif, maka akan dilakukan pengawasan aktif.

2. On Site Supervision (pengawasan aktif, pemeriksaan)

Adalah pengawasan yang dilakukan DPS dalam bentuk pemeriksaan berbagai dokumen
yang terkait dengan produk dan transaksi bank. Pengawasan aktif dilakukan oleh DPS
dengan mendatangi lokasi terjadinya transaksi atau produk LKS agar DPS memperoleh

114

informasi yang benar-benar dapat dipertanggung jawabkan sesuai fakta di lapangan dan
tidak terjadi asimetirs informasi. Hal ini dilakukan agar proses pengawasan benar-benar
sesuai fakta dan hasil yang diperoleh benar-benar kredibel.

8.6 Sasaran Dan Obyek Pengawasan

Dalam menilai kesesuaian LKS terhadap prinsip-prinsip syariah, DPS melakukan
pengawasan dengan sarasan dan objek yang jelas. Sasaran pengawasan yang dilakukan
oleh DPS adalah Kesesuaian produk dan transaksi bank dengan fatwa DSN dan syariah
secara umum. Sedangkan objek pengawasan yang dilakukan oleh DPS adalah :

1. Produk: Penghimpunan dana, penyaluran dana dan jasa
2. Transaksi: Diskon, denda, ta’widh, kerjasama dengan lembaga lain

3. Kebijakan Manajemen

8.7 Kelengkapan Penunjang Pengawasan

(DSN-MUI, 2015), memberikan petunjuk kelengkapan penunjang yang dapat dijadikan
pedomen oleh DPS dalam melakukan pengawasan syariah di LKS sebagai berikut :

a. Rujukan pengawasan

1. Fatwa DSN

DPS tidak perlu mengambil pedoman fiqh yang rumit dari berbagai pendapat ulama
terdahulu atau kitab kunig, cukup berpedoman kepada fatwa-fatwa DSN-MUI dalam
melakukan pengawasan syariah di LKS. Fatwa tersebut telah mengikat secara yuridis
formal hukum positif di Indonesia, karena undang-undang telah mengamanahkannya.

2. Ketentuan dari Regulator

Namun secara lengkapnya, DPS dapat melengkapi instrumen pengawasan
berdasarkan ketentuan yang dikeluarkan oleh regulator, secara lengkapnya instrumen
regulasi pengawasan dalam pengawasan adalah seperti yang dilakukan oleh Satuan
Kerja Audit Internal di Perbankan Syariah berikut ini :

i. Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan;

ii. Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas;

iii. Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah;

iv. Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

v. Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen;

vi. Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2004 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2009 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan;

115

vii. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9/19/PBI/2007 tanggal 17 Desember 2007
tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan
Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.

viii. Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/19/DPbS tanggal 24 Agustus 2006 tentang
Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi
Dewan Pengawas Syariah.

ix. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 tentang
Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.

x. Peraturan Bank Indonesia No. 15/13/PBI/2013 tentang perubahan atas Peraturan
Bank Indonesia No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah;

xi. Surat Edaran (SE) BI No.12/13/DPbS tanggal 30 April 2010 tentang Pelaksanaan
Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha
Syariah (UUS)

xii. Peraturan Bank Indonesia No. 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti
Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum;

xiii. Peraturan Bank Indonesia No. 13/2/PBI/2011 tentang Pelaksanaan Fungsi
Kepatuhan Bank Umum;

xiv. Peraturan Bank Indonesia No. 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen
Risiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah;

xv. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan;

xvi. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 18/POJK.03/2014 tanggal 18
November 2014 tentang Penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi
Keuangan,

xvii. Fatwa Dewan Pengawas Syariah-Majelis Ulama Indonesia;

xviii. Anggaran Dasar

xix. Board Manual

xx. Pedoman Umum Good Governance Bisnis Syariah;

xxi. Pedoman dan Prosedur Pelaksanaan Kepatuhan Bank

xxii. Pedoman dan Prosedur Pelaksanaan Good Corporate Governance

xxiii. Pedoman dan Prosedur Pelaksanaan Penerapan Anti Pencucian Uang &
Pencegahan Pendanaan Terorisme

xxiv. Pedoman dan Prosedur Pelaksanaan Penanganan Pelaporan Pengaduan
Nasabah

b. Bahan Pengawasan

1. Perjanjian (notariel dan tanpa notariat)

Akad yang telah dibuat oleh Notaris maupun akad bawah tangan yang telah ditanda
tangani oleh LKS perlu dicermati oleh DPS, karena tidak jarang Notaris yang membuat

116

akad belum tentu menguasai fiqh muamalah yang mengatur produk yang
diakadkannya. DPS dapat meluruskannya bila Notaris melakukan kesalahan dalam
membuat akad perjanjian pembiayaan antara nasabah dengan bank syariah.

2. Formulir-formulir

Formulir-formulir yang telah dibuat oleh LKS, seringkali menyalahi ketentuan syariah.
Contohnya beban biaya yang masih mengacu pada bunga konvensional. DPS dapat
meluruskan kesalahan ini agar LKS tidak terjebak pada bunga yang riba.

3. Bukti transaksi

Bukti transaksi yang telah dilakukan tidak lepas dari kesalahan karena LKS sering
memakai standar bunga dan prosentase dari pokok yang dihitung seperti halnya
bunga bank konvensional.

4. Laporan-laporan (neraca, laporan rugi laba) apabila diperlukan

Laporan keuangan yang dibuat oleh LKS perlu dicermati kesyariahannya, baik dari
aspek sistematika maupun konten laporan harus menyesuaiakan ketentuan PSAK
Syariah.

c. Pelaku (Subjek) Pengawasan

DPS adalah subjek atau pelaku pengawasan di LKS yang mempunyai wewenang dan
mewakili DPS-MUI dalam menjamin kesesuaian syariah LKS yang disahkan oleh DSN-
MUI melalui fit and proper test dari BI/OJK. DPS menjadi penjamin kesyariahan LKS
seperti halnya BPPOM MUI yang mengeluarkan sertifikat halal pada produk makanan dan
obat.

d. Pihak lain yang terkait pengawasan DPS

1. Internal LKS (Audit interen)

Internal LKS mulai dari Komisaris sampai karyawan terbawah adalah pihak yang
terkait dengan pengawasan syariah dan bisa menjadi objek pengawasan. Internal LKS
harus memberikan semua informasi yang dibutuhkan oleh DPS agar hasil
pengawasan dapat objektif dan berkualitas.

2. Akuntan Publik

Laporan keuangan LKS harus diaudit oleh akuntan publik sebelum dipublikasikan
dan dilaporkan kepada BI/OJK. Laporan yang audited menjamin kualitas dan
objektifias laporan keuangan. Pernyataan hasil audit (audit revew) menunjukkan
kualitas laporan keuangan yang disajikan oleh LKS.

3. BI/OJK

Regulator mewajibkan LKS melaporkan perkembangan bisnisnya dengan
melaporkannya setiap minimal 3 bulan sekali. Laporan keuangan yang telah diaudit
dilengkapi dengan semua laporan-laporan yang diwajibkan seperti laporan data
nasabah, laporan PPATK, laporan anti tindak pidana terorisme dan lainnya.

8.8 Hasil Pengawasan

Pengawasan oleh DPS menghasilkan laporan hasil pengawasan yang disampaikan kepada
pengurus bank (direksi dan komisaris), dan lembaga terkait (BI/OJK dan DSN-MUI).
Pengawasan yang dilakukan DPS dapat berbentuk :

117

1. Pengawasan pasif

Pengawasan pasif menghasilkan komentar-komentar yang harus dicatat dalam arsip, baik
oleh LKS maupun oleh DPS sendiri. Komentar-komentar ini menjadi salah satu
pertimbangan untuk menyusun laporan tahunan.

2. Pengawasan aktif

Pengawasan aktif menghasilkan laporan hasil pemeriksaan yang terdiri dari
• Komentar terhadap pedoman produk dan transaksi
• Komentar terhadap pelaksanaan produk dan transaksi

Hasil pemeriksaan dilaporkan kepada Bank Indonesia/OJK dengan menggunakan format
yang lazim dan telah ditentukan oleh BI/OJK. (DSN-MUI, 2015). Berikut adalah contoh
Laporan Ringkasan Pengawasan DPS :

LAPORAN RINGKASAN PENGAWASAN

DEWAN PENGAWAS SYARIAH

REVIEW SYARIAH UNTUK PERIODE: SEMESTER I TAHUN 2013
BANK SYARIAH “BAROKAH UMMAT”

Tanggal Pelaporan :

PENDAPAT DPS

TIDAK

SESUAI SESUAI

NO URAIAN SYARIAH SYARIAH CATATAN

Kesesuaian Produk dan Jasa Bank
I. dengan Fatwa DSN-MUI

a. Penghimpunan Dana
Giro

Tabungan

Deposito

b. Penyaluran Dana
1. Pembiayaan Musyarakah

2. Pembiayaan Mudharabah

3. Pembiayaan Murabahah

4. Pembiayaan Ijarah
5. Pembiayaan Salam
6. Pembiayaan Istishna’

7. Pembiayaan IMBT

8. Pembiayaan Qard
c. Jasa-jasa

– Wakalah
– Kafalah
– Rahna
Apakah terdapat produk dan jasa bank
yang tidak/belum diatur dalam fatwa
II DSN-MUI

Pedoman operasional dan produk bank
telah sesuai dengan prinsip syariah
III dalam fatwa DSN-MUI
– Pedoman Operasional

Penghimpunan Dana

118

– Pedoman Operasional Penyaluran
Dana

– Pedoman Operasional Jasa-jasa
– Pedoman Perhitungan Bagi Hasil

Informasi temuan syariah lainnya dari
IV DPS

V Usulan dan Rekomendasi

Dewan Pengawas Syariah Bank Syariah
BAROKAH UMMAT
1. KH. Abdullah Nurdin - Ketua
2. KH. M. Mahmudin - Anggota

8.9 Soal-soal Latihan
Jelaskan metode pengawasan syariah oleh DPS

Jawaban:

DPS dalam melakukan pengawasan dapat melakukannya dengan metode :

1. Off Site Supervision (pengawasan pasif)

Adalah pengawasan yang dilakukan DPS dalam bentuk penerimaan laporan dari bank
mengenai produk dan transaksi yang telah dilaksanakan. DPS bertugas untuk meneliti
dan memberikan komentar terhadap laporan tersebut. DPS cukup menerima laporan dari
manajemen LKS yang diperlukan oleh DPS untuk diadakan penelitian dan pemeriksaan,
dengan asumsi bahwa dokumen tersebut telah mencukupi kebutuhan data yang
dibutuhkan DPS untuk membuat opini syariah. Bila DPS merasa belum cukup dengan
pengawasan pasif, maka akan dilakukan pengawasan aktif.

2. On Site Supervision (pengawasan aktif, pemeriksaan)

Adalah pengawasan yang dilakukan DPS dalam bentuk pemeriksaan berbagai dokumen
yang terkait dengan produk dan transaksi bank. Pengawasan aktif dilakukan oleh DPS
dengan mendatangi lokasi terjadinya transaksi atau produk LKS agar DPS memperoleh
informasi yang benar-benar dapat dipertanggung jawabkan sesuai fakta di lapangan dan
tidak terjadi asimetirs informasi. Hal ini dilakukan agar proses pengawasan benar-benar
sesuai fakta dan hasil yang diperoleh benar-benar kredibel.

8.10 Test Sumatif

Petunjuk:

Dibawah ini terdapat dua kolom, kolom pertama berisi soal, kolom kedua berisi jawaban.
Mahasiswa diminta mencocokkan soal dengan memilih salah satu jawaban yang paling tepat
di kolom kedua:

No. Soal Jawaban

119

1) Pengawasan terhadap pelaksanaan prinsip syariah a) RAT
kewenangannya berada pada DSN-MUI. Dalam
menjalankan teknis pengawasan di berbagai LKS,
DSN-MUI telah memperluas kewenangannya dan
memberikan otoritas kepada…..

2) Keberadaan DPS di Koperasi Simpan Pinjam dan b) Dewan Komisaris

Pembiayaan Syariah (KSPPS) dipilih dan diangkat
oleh anggota melalui….

3) pengawasan yang dilakukan DPS dalam bentuk c) DPS

penerimaan laporan dari bank mengenai produk dan

transaksi yang telah dilaksanakan. DPS bertugas

untuk meneliti dan memberikan komentar terhadap

laporan tersebut. DPS cukup menerima laporan dari

manajemen LKS yang diperlukan oleh DPS untuk

diadakan penelitian dan pemeriksaan, dengan asumsi

bahwa dokumen tersebut telah mencukupi kebutuhan

data yang dibutuhkan DPS untuk membuat opini
syariah. Pengawasan seperti ini disebut……

4) pengawasan yang dilakukan DPS dalam bentuk d) Off Site Supervision

pemeriksaan berbagai dokumen yang terkait dengan (pengawasan pasif)

produk dan transaksi bank. Pengawasan aktif

dilakukan oleh DPS dengan mendatangi lokasi

terjadinya transaksi atau produk LKS agar DPS

memperoleh informasi yang benar-benar dapat

dipertanggung jawabkan sesuai fakta di lapangan dan

tidak terjadi asimetirs informasi. Hal ini dilakukan agar

proses pengawasan benar-benar sesuai fakta dan

hasil yang diperoleh benar-benar kredibel.
Pengawasan seperi ini disebut….

5) Dalam menilai kesesuaian LKS terhadap prinsip- e) Produk, transaksi dan

prinsip syariah, DPS melakukan pengawasan dengan kebijakan manajemen

sarasan dan objek yang jelas. Sasaran pengawasan

yang dilakukan oleh DPS adalah Kesesuaian produk

dan transaksi bank dengan fatwa DSN dan syariah

secara umum. Sedangkan objek pengawasan yang
dilakukan oleh DPS adalah :….

6) Pihak lain yang terkait pengawasan DPS adalah…. f) On Site Supervision
(pengawasan aktif,
pemeriksaan)

7) BPPOM MUI yang mengeluarkan sertifikat halal pada g) Auditor internal, auditor

produk makanan dan obat, di LKS kesesuaian eksternal dan BI/OJK

120

terhadap prinsip syariah menjadi jaminan, h) DSN-MUI melalui DPS
penjaminnya adalah…. LKS

8) Rujukan pengawasan syariah oleh DPS adalah…. i) Fatwa DSN-MUI,
ketentuan dari regulator
9) Dalam melaksanakan pengawasan syariah, Bahan
Pengawasan yang digunakan adalah….. j) Akad, formulir, bukti
transaksi dan laporan
10) Dalam struktur organisasi LKS, idealnya posisi DPS keuangan
adalah sejajar atau setara dengan…..

8.11 Indikator Penilaian

Bab ini membahas tentang Pedoman pengawasan syariah, setelah mengerjakan soal-soal
latihan, jangan beralih ke bab selanjutnya, dipersilahkan untuk mencocokkannya dengan
kunci jawaban. Gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Saudara akan
materi pada Bab ini.

Tingkat Penguasaan Materi =

Jumlah Jawaban yang Benar
Jumlah Soal (100 %)

Indikator:
90 – 100% = Baik Sekali
80 – 89% = Baik
70 – 79% = Cukup

< 70% = Kurang

Bila jawaban yang benar masih kurang dari 90%, dipersilahkan untuk mengulangi membaca
bab ini sampai jawaban yang benar mencapai lebih dari 90% atau 100%. Maka dari itu
disarankan untuk tidak memberi coretan pada soal latihan sesuai kunci jawaban terlebih
dahulu untuk menguji pemahaman materi pada bab ini.

121

X. SIMULASI DAN TEKNIK PELAPORAN DEWAN PENGAWAS
SYARIAH

9.1 Kompetensi dasar
Mampu mensimulasikan pengawasan syariah oleh DPS dan melaporkan secara tertulis

9.2 Kemampuan akhir

1) Melakukan praktik sebagai DPS dalam pengawasan syariah di LKS
2) Menetapkan hasil pengawasan syariah secara objektif berdasarkan temuan dan hasil

pengawasan
3) Membuat opini syariah berdasarkan hasil pengawasan syariah

9.3 Pendahuluan

Dewan Pengawas Syariah (DPS) memiliki tanggung jawab atas terpenuhinya LKS terhadap
pelaksanaan syariah dalam operasionalnya. Dalam melaksanakan tugas tersebut, DPS
memberikan opini syariah secara periodik sebagai arahan, petunjuk, dan pelatihan yang
berhubungan dengan kepatuhan terhadap prinsip syariah kepada LKS. LKS wajib
memberikan semua informasi yang dibutuhkan oleh DPS dan tidak boleh ada asismetris
informasi agar opini syariah yang dibuat benar-benar kredibel dan dapat dipertanggung
jawabkan keabsahannya.

Sesuai dengan GSIFI (Governance Standard for Islamic Financial Institutions), No. 2, paragraf
7 disebutkan bahwa tiga prosedur dalam pelaksanaan shari’a review yaitu planning review
procedures, executing review procedure and review of working papers, dan documenting
conclusions and report. Planning review procedures bertujuan untuk memperoleh
pemahaman yang menyeluruh atas operasi bank syariah yang meliputi produk, skala operasi,
lokasi, kantor cabang, anak perusahaan dan divisi, serta bertujuan untuk memperoleh daftar
semua fatwa, aturan, dan petunjuk yang dikeluarkan oleh dewan pengawas syariah.
Sedangkan executing review procedure and review of working papers bertujuan untuk
menemukan temuan audit dengan melakukan serangkaian pengujian atas transaksi dan
dokumen serta mendokumentasikan semua prosedur audit yang telah dilakukan selama
pemeriksaan. Hasil shari’a review berupa kesimpulan dari dewan pengawas syariah atas
kepatuhan bank syariah terhadap aturan dan prinsip-prinsip syariah. Kesimpulan tersebut
dibuat dalam laporan dewan pengawas syariah yang akan disampaikan dalam rapat umum
pemegang saham LKS. Laporan hasil shari’a review harus diterbitkan bersamaan dengan
penerbitan laporan keuangan pihak manajemen LKS kepada masyarakat (GSIFI No.2
paragraf 13).

9.4 Petunjuk Pengawasan Internal DPS

Aktivitas shari'a review dalam praktek pengawasan internal syariah oleh DPS terbagi menjadi
dua bagian yaitu aktivitas ex ante auditing dan ex post auditing. Untuk aktivitas shari'a review
ex ante auditing antara lain :

1) menetapkan standar kepatuhan syariah

2) menetapkan sistem dan prosedur operasional

3) mereview kebijakan dan keputusan manajemen

122

4) menetapkan produk bank.
Sedangkan aktivitas shari'a review ex post auditing yang dilaksanakn DPS dalam
menjalankan fungsi pengawasan syariah antara lain :
1) menentukan indikator kepatuhan syariah
2) menentukan lingkup pengawasan syariah
3) merencanakan mekanisme penilaian kepatuhan syariah
4) menilai kepatuhan syariah atas kinerja manajemen
5) tindak lanjut atas temuan syariah
6) melaporkan hasil penilaian kepatuhan syariah
Proses implementasi pengawasan syariah secara internasional di beberapa Negara memiliki
kesamaan karena adanya kesamaan standar. Seperti yang terlihat pada bagan (framework)
berikut:

Bagan I.69-1: Shariah Governance Framework Model for Islamic Finance Institutions

Sumber: (Shafii, Ali, & Kasim, 2014)
Framework di atas mengilustrasikan struktur model hubungan antara aturan, fungsi dan
pelaporan antar organ pengawasan syariah pada Lembaga Keuangan Syariah, dimana antar
elemen mulai dari komite manajemen risiko, manajemen dalam hal ini Direksi dan Komisaris,
DPS dan SKAI (Satuan Kerja Audit Internal) mempunyai keterkaitan hubungan untuk
menghasilkan sebuah sistem pengawasan syariah yang efektif.

123

9.5 Penetapan Opini Syariah

Opini Syariah adalah produk dari Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam melakukan
pengawasan syariah di Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Opini syariah ini dibuat oleh DPS
ditujukan kepada manajemen dan pemangku otoritas atau regulator. Hasil opini akan menjadi
pedoman manajemen dalam membuat perencanaan tahunan dan evaluasi kinerja terutama
kinerja yang berkaitan dengan kepatuhan syariah LKS. Bagi pembuat kebijakan (BI/OJK),
opini syariah DPS dari masing-masing LKS berguna dalam membuat kebijakan-kebijakan
untuk perbaikan dan akselerasi pengembangan perbankan dan keuangan syariah di
Indonesia.

Jadi Opini Syariah adalah pendapat Dewan Pengawas Syariah (DPS) atas produk atau
transaksi dalam bank syariah. Opini Syariah dapat berarti :

1. Pendapat mengenai kesesuaian produk atau transaksi bank syariah terhadap Fatwa
DSN

2. Pendapat mengenai kesesuaian produk atau transaksi terhadap syariah secara umum,
apabila produk atau transaksi tersebut belum difatwakan.

3. Dalam hal seperti ini opini bersifat sementara menunggu pernyataan dari Dewan Syariah
Nasional. DPS terlebih dahulu memintakan fatwa kepada DSN-MUI untuk mendapatkan
kepastian kesesuaian produk atau transaksi tersebut. Namun demikian, DPS harus
mempunyai standar atau pegangan dalam berijtihat atas produk atau transaksi tersebut
agar ketika dikemudian hari difatwakan oleh DSN-MUI tidak terlalu melenceng jauh dari
hasil fatwa.

4. DPS dapat berpegangan pada dalil atau hasil ijtihad ulama’ terdahulu dalam menetapkan
kesesuaian syariah pada produk baru atau kajian kontemporer dari negara lain sementara
menunggu hasil fatwa dari DSN-MUI.

5. Opini (kesesuaian) Syariah bagi produk dan transaksi yang baru dalam bank syariah
diperlukan untuk menjaga kesesuaian syariah atas produk yang akan dikeluarkan oleh
LKS Dengan demikian, setiap produk baru harus melalui pembahasan dengan DPS untuk
mendapatkan Opini dimaksud.

Dalam proses pembuatan opini syariah, DPS melakukan proses dan persiapan-persiapan
agar opini yang dikeluarkan dapat dipertangung jawabkan. Prosesnya adalah sebagai
berikut :

1. Opini terhadap produk dan transaksi hanya dapat dikeluarkan apabila telah diperoleh
keterangan yang cukup mengenai produk dan transaksi dimaksud. Untuk mendapatkan
informasi yang akurat tersebut, maka DPS harus mencermati secara mendetail proses
terjadinya transaksi atau proses terbitnya produk dari manajemen LKS. Informasi ini bisa
diperoleh secara lengkap bila manajemen memahami prinsip-prinsip syariah dan
menginformasikannya secara mendalam kepada DPS dan memastikan bahwa tidak ada
satupun informasi yang tidak tersampaikan kepada DPS, sehingga DPS dapat membuat
opini secara objektif.

2. Komentar terhadap penjelasan produk dan transaksi perbankan syariah harus
diberikan secara tertulis dan dikomunikasikan kepada manajemen atau didiskusikan
sebelum diberikan komentar secara tertulis. Penjelasan tersebut diperlukan untuk proses

124

evaluasi terhadap kelemahan dan kekurangan dari produk tersebut disamping
keunggulan-keunggulannya secara syar’ie dan kemudahan mekanismenya.
3. Apabila DPS tidak sepakat untuk menetapkan opini, DPS harus meminta pendapat
Dewan Syariah Nasional dalam bentuk surat tertulis. DPS tidak diperkenankan
membocrkan informasi atas ketidak sepakatan tersebut kepada publik, karena akan
memunculkan risiko besar bahkan bisa berdampak pada risiko-risiko lainnya dan akan
memunculkan ketidak percayaan publik pada LKS tersebut.
9.6 Format Opini Syariah
Opini syariah yang dibuat oleh DPS, agar dapat dipahami secara mudah, sederhana dan
simpel oleh semua pihak, maka DPS dapat mengikuti format pembuatan opini syariah berikut
(DSN-MUI, 2015):
1. Format opini syariah mengikuti ketetapan fatwa, namun dengan bentuk yang lebih
sederhana
2. Sebuah opini harus ditulis dengan kepala surat ”Dewan Pengawas Syariah” dari bank
yang bersangkutan
3. Kata ”Opini Syariah” harus menjadi judul pernyataan
4. Apabila diperlukan opini dapat diberikan nomor yang diletakkan dibawah kata ” Opini
Syariah”
5. Opini harus berisi konsideran
a. Bahwa DPS telah membaca dan mengerti tentang produk dan transaksi tersebut
b. Bahwa pengurus bank telah menjelaskan secara detil produk dan transaksi dimaksud
6. Opini harus berisi penetapan
a. Bahwa produk dan transaksi dimaksud telah sesuai dengan syariah.
b. Opini belum dapat dikeluarkan apabila salah satu anggota DPS tidak sepakat atas

kesesuaian syariah dari produk dan transaksi dimaksud
7. Opini harus berisi Pernyataan Kondisi ketika Opini disampaikan

a. Bahwa tidak ada informasi penting mengenai produk dan transaksi itu yang tidak
disampaikan oleh pengurus kepada DPS

b. Bahwa tidak terdapat perbedaan antara teori tentang produk dan transaksi yang
disampaikan dengan kenyataan yang dipraktekkan dalam bank

8. Opini harus berisi hak DPS untuk mencabut kembali opininya, apabila terdapat
perbedaaan antara keterangan pengurus bank dengan hal-hal yang diperoleh dalam
kenyataan

125

Berikut ini adalah contoh opini syariah yang telah dibuat oleh DPS di beberapa Bank Syariah:

BANK SYARIAH ABC
___________________________

OPINI SYARIAH
No. ………../………./……..
Bismillahirrahmaanirrahiim
Dewan Pengawas Syariah Bank ABC setelah:
1. membaca usulan produk/transaksi *) …………………………..….sebagaimana terlampir
2. mendengar penjelasan direksi/ manajer pada pertemuan DPS No….tanggal …………….
Dengan ini menetapkan bahwa produk/transaksi ………….*) telah sesuai dengan
1. Fatwa DSN No. ………………….tanggal………. Tentang………….
2. Fatwa DSN No. ………………….tanggal………. Tentang………….
Opini ini disampaikan dengan kondisi bahwa
1. tidak ada informasi yang tidak disampaikan mengenai produk/ transaksi dimaksud
2. Tidak terdapat perbedaan antara penjelasan yang disampaikan dengan praktik yang
dilaksanakan oleh bank yang bersangkutan
Dewan Pengawas Syariah berhak memeriksa kembali apabila keterangan yang
diperoleh/disampaikan ditemukan berbeda dengan penerapannya
Dewan Pengawas Syariah
Ketua : ...............................
Anggota : ...............................
Anggota : ...............................

126

9.7 Petunjuk Praktik Menyusun Laporan Pengawasan Syariah

Pemeriksaan yang telah dilakukan oleh DPS dalam memenuhi tugas dan tanggung jawabnya
terhadap kesesuaian syariah atas LKS harus dibuat laporan hasil pengawasan dengan format
yang standar sesuai dengan ketentuan regulator dan DSN-MUI. Dalam menyusun hasil
pemeriksaan ini yang harus diperhatikan adalah :

1. Identifikasi temuan
Pemeriksaan atas akad maupun transaksi dengan semua bukti temuan kemudian
diidentifikasi setiap jenis akad dan temuan lainnya terhadap ketidaksesuaian aspek
syariah.

2. Menyusun usulan Perbaikan
Tidak ada gading yang tak retak. Setiap proses yang terjadi di LKS pasti ada kelemahan
dan kekurangannya. Temuan-temuan atas setiap kelemahan dan kekurangan yang terjadi
di LKS diusulkan dengan rekomendasi DPS untuk diadakan perbaikan-perbaikan di masa
yang akan datang. Kekurangan dapat ditemukan di aspek dan bidang manapun, bahkan
terkadang pada aspek atau bidang yang tidak berhubungan dengan pekerjaan DPS
sebagai pengawas syariah. Misalnya ditemukan akhlak atau perilaku karyawan yang tidak
sesuai standar SOP perilaku sebagai pelaku bisnis di LKS, hal inipun perlu mendapatkan
perhatian dari DPS untuk diusulkan perbaikan di masa mendatang.

3. Membuat Ringkasan Pemeriksaan
Temuan-temuan tersebut dirinkas dengan format yang standar dan terperinci dengan jelas
untuk dapat ditindak lanjuti oleh Direksi dan Komisaris untuk perbaikan di masa
mendatang.

4. Pengarsipan laporan
Laporan tersebut dibuat rangkap sebagai arsip salinan pribadi dan tembusan-tembusan
kepada pihak terkait bila diperlukan atau disyaratkan.

Contoh Kertas Kerja Pemeriksaan

No Nasabah/ No. Akad Rincian Akad Temuan DPS Usulan

127

Berdasarkan (SE Bank Indonesia No. 12/13/DPbS) perihal Pelaksanaan Good Corporate
Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah bahwa tugas, wewenang dan
tanggung jawab DPS dilakukan dengan cara antara lain :
a. Melakukan pengawasan terhadap proses pengembangan produk baru LKS; dan
b. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan LKS.
Adapun mekanisme pelaksanaan pengawasan DPS adalah sebagai berikut:
1. Melakukan pengawasan terhadap proses pengembangan produk baru LKS
Dalam melakukan pengawasan terhadap proses pengembangan produk baru LKS, maka hal-
hal yang perlu dilakukan adalah:
a) Meminta penjelasan dari pejabat LKS yang berwenang mengenai tujuan, karakteristik, dan

akad yang digunakan dalam produk baru yang akan dikeluarkan;
b) Memeriksa apakah terhadap akad yang digunakan dalam produk baru telah terdapat fatwa

Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia.
● Dalam hal telah terdapat fatwa, maka Dewan Pengawas Syariah melakukan analisa

atas kesesuaian akad produk baru dengan fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis
Ulama Indonesia.
● Dalam hal belum terdapat fatwa, maka Dewan Pengawas Syariah mengusulkan
kepada Direksi Bank untuk melengkapi akad produk baru dengan fatwa dari Dewan
Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia.
c) Mereview sistem dan prosedur produk baru yang akan dikeluarkan terkait dengan
pemenuhan Prinsip Syariah; dan
d) Memberikan pendapat (opini) syariah atas produk baru yang akan dikeluarkan.
Format opini syariah atas produk baru yang akan dikeluarkan sebagaimana pada contoh di
bawah ini:

128

Contoh Opini Dewan Pengawas di LKS

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assallammuallaikum warahmutallahi wabarakatuh

Bahwa sesuai ketentuan Bank Indonesia kami telah melakukan pemeriksaan dan
penyampaian laporan atas hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah pada semeter I dan
II periode tahun 2010 kepada Bank Indonesia dan DSN yang meliputi :
1. Pelaksanaan atas kesesuaian produk dan jasa dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional
2. Opini Syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan.
3. Opini Syariah secara keseluruhan atas pelaksanaan operasional dalam Laporan

Publikasi.

Selanjutnya pada kesempatan ini dapat kami sampaikan bahwa telah dilakukan pemeriksaan
terhadap akad pembiayaan Bai Al- Murabahah, Bai Al- Istishna, Al-Mudharabah, Al
Musyarakah, Al-Ijarah, Ijarah Multi Jasa, Al-Qordh dan Ar-Rahn serta pemeriksaan pada
tabungan dengan menggunakan akad Wadiah dan deposito menggunakan Mudharabah,
dengan hasil sebagai berikut:
1. Produk penghimpunan dana masyarakat berupa tabungan Wadiah dan deposito

Mudharabah telah sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional.
2. Produk penyaluran pembiayaan baik yang berbasis jual beli, sewa, bagi hasil dan qord

telah sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional.
3. Bank telah melayani jasa rahn yaitu fasilitas pinjaman yang diberikan kepada masyarakat

dengan jaminan berupa harta bergerak (khusus perhiasan/emas) dengan mengikuti
prinsip gadai yang sesuai dengan syariah.
4. Dari hasil pemeriksaan terhadap Laporan Keuangan Publikasi yang disajikan per triwulan,
kami berpendapat bahwa yang tercermin dalam laporan keuangan dimaksud pelaksanaan
operasional PT. BPRS Amanah Ummah berjalan sesuai ketentuan syariah.

Dewan Pengawas Syariah mengharapkan agar Direksi tetap menjalankan operasional Bank
secara konsisten untuk selalu mematuhi fatwa Dewan Syariah Nasional dan aturan syariah
yang berlaku serta berkonsultasi dengan Dewan Pengawas Syariah atas setiap rencana
peluncuran produk baru.

Terakhir kami berdoa semoga aktivitas usaha PT BPRS Amanah Ummah berlangsung
dengan baik, berjalan dengan lancar, dan dapat ikut berperan atau bermanfaat untuk
kemajuan ekonomi ummat di masa yang akan datang terutama usaha kecil/mikro dan
ekonomi kerakyatan.

Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh

Bogor, Maret 2011 M/Rabi’ul Akhir 1432 H
PT.BPR Syariah Amanah Ummah
Dewan Pengawas Syariah,

Prof.Dr.KH.Didin Hafidhuddin MS
Ketua
Sumber: (http://www.amanahummah.co.id, diakses pada tanggal 19/04/2017 pukul 13.30)

129

2. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan LKS

Dalam hal melakukan pengawasan terhadap kegiatan LKS maka yang dilakukan adalah hal
hal sebagai berikut:
a) Menganalisis laporan yang disampaikan oleh dan/atau yang diminta dari Direksi,

pelaksana fungsi audit intern dan/atau fungsi kepatuhan untuk mengetahui kualitas
pelaksanaan pemenuhan Prinsip Syariah atas kegiatan penghimpunan dana dan
penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank;
b) Menetapkan jumlah uji petik (sampel) transaksi yang akan diperiksa dengan memperhati-
kan kualitas pelaksanaan pemenuhan Prinsip Syariah dari masing-masing kegiatan;
c) Memeriksa dokumen transaksi yang diuji petik (sampel) untuk mengetahui pemenuhan
Prinsip Syariah sebagaimana dipersyaratkan dalam SOP, antara lain:
1) ada tidaknya bukti pembelian barang, untuk akad murabahah sebagai bukti terpenuhi-

nya syarat jual-beli murabahah;
2) ada tidaknya laporan usaha nasabah, untuk akad mudharabah/musyarakah, sebagai

dasar melakukan perhitungan distribusi bagi hasil.
3) lengkap tidaknya pengisian formulir dan akad sebagai salah satu persyaratan ijab

qabul, baik itu produk penghimpunan dana ataupun pembiayaan.
d) Melakukan inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan dan/atau konfirmasi kepada

pegawai dan/atau nasabah untuk memperkuat hasil pemeriksaan dokumen sebagaimana
dimaksud pada huruf c., apabila diperlukan;
e) Meneliti apakah akad pembiayaan dan atau penghimpunan dana yang digunakan telah
sesuai dengan fatwa DSN – MUI yang berlaku.
f) Melakukan review terhadap SOP terkait aspek syariah apabila terdapat indikasi
ketidaksesuaian pelaksanaan pemenuhan Prinsip Syariah atas kegiatan dimaksud;
g) Memberikan pendapat syariah atas kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana
serta pelayanan jasa Bank; dan
h) Melaporkan hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah kepada Bank Indonesia, DSN-
MUI, Direksi dan Dewan Komisaris.

3. Laporan Dewan Pengawas Syariah
DPS harus menyampaikan Laporan Hasil Pengawasan DPS ke Bank Indonesia dan
ditembuskan kepada DSN-MUI, Direksi dan Dewan Komisaris sekurang-kurangnya setiap 6
(enam) bulan sekali. Penyampaian Laporan tersebut menggunakan format surat sebagai
berikut (Bank Riau Kepri Unit Usaha Syariah, 2014) :

130

Bismillahirrahmanirrahiim
Pekanbaru, ………………..
No : /DPS-BRK/………
Lamp : 1 (satu) berkas
Hal : Laporan Hasil Pengawasan DPS Bank Riau Kepri UUS Periode ………....
Kepada
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau
Di
Pekanbaru
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dengan ini kami laporkan hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah Periode ……….. s/d
………. tahun ……….. yang memuat antara lain:
a. Laporan Pelaksanaan atas kesesuaian produk dan jasa Bank dengan Fatwa Dewan

Syariah Nasional.
b. Opini Syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan oleh Bank.
c. Opini Syariah secara keseluruhan atas pelaksanaan operasional Bank dalam Laporan

Publikasi Bank.
Demikian disampaikan untuk dimaklumi. Terima Kasih.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dewan Pengawas Syariah
PT. Bank Riau Kepri

……………………………..
Ketua
Tembusan Kepada Yth:
1. Dewan Syariah Nasional (DSN) - MUI
2. Komisaris PT. Bank Riau Kepri
3. Direksi PT. Bank Riau Kepri
4. Arsip

131

Laporan Hasil Pengawasan DPS dimaksud memuat hasil pelaksanaan tugas, wewenang dan
tanggung jawab DPS selama 1 (satu) semester, yang meliputi antara lain:
a) Hasil pelaksanaan atas kesesuaian produk dan jasa dengan fatwa DSN -MUI.

Laporan ini memuat pendapat DPS mengenai pelaksanaan produk dan jasa yang sudah
dikeluarkan oleh bank apakah sudah sesuai dengan fatwa DSN – MUI yang berlaku, dan
apakah produk dan jasa yang dikeluarkan oleh bank telah mendapat izin dari Bank
Indonesia. Dalam laporan tersebut perlu dijelaskan produk dan jasa yang dimaksud.
b) Opini syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan oleh bank.
Dalam hal ini DPS harus mengeluarkan pendapat apakah pedoman operasional dan
pedoman produk yang disusun oleh bank telah sesuai dengan fatwa yang berlaku.
c) Opini syariah secara keseluruhan atas pelaksanaan operasional bank dalam laporan
publikasi bank. Dalam hal ini DPS harus mengeluarkan pendapat yang menyatakan
apakah secara keseluruhan kegiatan operasional bank telah sesuai dengan prinsip
syariah.
DPS dalam melaksanakan tugasnya menggunakan format kertas kerja sebagaimana contoh
dibawah ini, dan kertas kerja tersebut harus disertakan dalam laporan hasil pengawasan DPS
yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan ditembuskan kepada Direksi, Dewan
Komisaris, dan DSN-MUI. (Bank Riau Kepri Unit Usaha Syariah, 2014):

132

133

134

135

136

9.8 Petunjuk Praktik Pengisian Kertas Kerja (Worksheet) Pengawasan Syariah
Lembaga Keuangan Mikro Syariah (BMT)

Pengawasan syariah pada Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS) oleh
Dewan Pengawas Syariah (DPS), Kementerian Koperasi dan UKM RI telah membuat
panduan Kertas Kerja Pengawasan Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Syariah Koperasi Simpan
Pinjam Dan Pembiayaan Syariah (Kementerian Koperasi dan UKM RI, 2013):

No Komponen Pengawasan Ya / Pelaksanaan Ket.
Tidak

1 Adanya Dewan Pengawas Syariah (dibuktikan
dengan SK pengangkatan Dewan Pengawas
Syariah), dan jika ada, apakah telah memiliki
Sertifikat dari Dewan Syariah Nasional MUI

2 Apakah produk-produk penghimpunan dan
penyaluran dana, sudah mendapatkan justifikasi
dari Dewan Pengawas Syariah internal

3 Apakah produk-produk penghimpunan dan
penyaluran dana, sesuai dengan Fatwa Dewan
Syariah Nasional MUI

4 Apakah penempatan dana pada bank syariah
atau lembaga keuangan syariah lainnya
(dibuktikan dengan laporan penempatan dana)

5 Pengawasan Produk- Produk Penghimpunan
dana
a. Apakah pemberian informasi secara
lengkap oleh KSPPS kepada anggota
penyimpan, baik secara tertulis maupun
lisan tentang persyaratan wadiah maupun
mudharabah telah dilakukan
b. Apakah pengisian formulir aplikasi penitipan
telah dilakukan secara lengkap sebagai
salah satu persyaratan ijab qabul

c. Apakah setoran simpanan wadiah dan atau
mudharabah telah menyebut jumlah
nominal yang disetor secara jelas

d. Apakah akad simpanan wadiah dan atau
mudharabah telah sesuai dengan fatwa
DSN- MUI yang berlaku tentang tabungan

e. Apakah pemberian bonus wadiah tidak
mengarah kepada kebiasaan sehingga
dapat dijadikan perhitungan yang seolah
olah diperjanjikan

f. Apakah dalam penawaran produk
simpanan, KSPPS tidak menjanjikan
pemberian yang ditetapkan dimuka dalam
bentuk prosentase imbalan

137

6 Pengawasan Produk- Produk Penyaluran
Pembiayaan Mudharabah

a. Apakah pemberian informasi secara
lengkap oleh KSPPS kepada anggota, baik
secara tertulis maupun lisan tentang
persyaratan pembiayaan mudharabah
telah dilakukan

b. Apakah akad pembiayaan mudharabah
telah sesuai dengan fatwa DSN-MUI
tentang mudharabah

c. Apakah perhitungan bagi hasil telah
dilakukan sesuai prinsip syariah

d. Adakah persetujuan para pihak dalam
pembiayaan mudharabah

e. Apakah rukun dan syarat pembiayaan
mudharabah terpenuhi

f. Apakah kegiatan investasi yang dibiayai
tidak termasuk jenis kegiatan usaha yang
bertentangan dengan syariah

g. Apakah dalam penyaluran dana investasi
terikat telah sesuai dengan fatwa dan
ketentuan yang berlaku

h. Apakah dalam penyaluran dana investasi
terikat telah sesuai dengan akad antara
KSPPS dengan pemilik dana, yaitu dana
tersebut telah disalurkan sesuai dengan
peruntukaanya dengan batasan - batasan
yang ditetapkan oleh pemilik dana

i. Apakah besarnya fee atau imbalan yang
diterima oleh KSPPS sebagai agen
investasi adalah sebesar jumlah yang
disepakati di awal tanpa memperhatikan
hasil investasi

j. Apakah KSPPS telah memberikan
informasi yang memadai kepada mitra
mengenai resiko yang muncul dari dana
investasi terikat

7 Pengawasan Produk- Produk Penyaluran
Pembiayaan Musyarakah

a. Apakah akad pembiayaan musyarakah
telah sesuai dengan fatwa DSN MUI dan
peraturan perkoperasian

b. Apakah terpenuhi seluruh syarat dan rukun
dalam pembiayaan musyarakah

c. Apakah perhitungan bagi hasil telah
dilakukan sesuai prinsip syariah

138

d. Apakah pemberian informasi secara
lengkap oleh KSPPS kepada anggota, baik
secara tertulis maupun lisan tentang
persyaratan pembiayaan musyarakah telah
dilakukan

e. Memastikan adanya persetujuan para pihak
dalam perjanjian pembiayaan musyarakah

f. Apakah biaya operasional telah dibebankan
pada modal bersama musyarakah

8 Apakah KSP atau KSPPS memiliki kebijakan
penjaminan terhadap pinjaman yang diberikan
kepada anggota
a. Apakah barang yang diperjual belikan tidak
diharamkan oleh syariat islam

b. Apakah KSPPS menjual barang tersebut
kepada anggota dengan harga jual senilai
harga beli plus margin. Dalam hal anggota
penerima pembiayaan membiayai sebagian
dari harga barang tersebut maka akan
mengurangi tagihan KSPPS kepada
anggota tersebut

c. Apakah akad wakalah telah dibuat oleh
KSPPS terpisah dengan akad
murabahah,apabila KSPPS hendak
mewakilkan kepada anggota untuk membeli
barang tersebut dari pihak ketiga. Akad jual
beli murabahah harus dilakukan setelah
barang secara prinsip menjadi milik KSPPS
yang dibuktikan dengan faktur atau kuitansi
jual-beli yang dapat dipertanggungjawabkan

8 Apakah KSP atau KSPPS memiliki kebijakan
penjaminan terhadap pinjaman yang diberikan
kepada anggota
a. Apakah barang yang diperjual belikan tidak
diharamkan oleh syariat islam

b. Apakah KSPPS menjual barang tersebut
kepada anggota dengan harga jual senilai
harga beli plus margin. Dalam hal anggota
penerima pembiayaan membiayai sebagian
dari harga barang tersebut maka akan
mengurangi tagihan KSPPS kepada
anggota tersebut

c. Apakah akad wakalah telah dibuat oleh
KSPPS terpisah dengan akad
murabahah,apabila KSPPS hendak
mewakilkan kepada anggota untuk membeli
barang tersebut dari pihak ketiga. Akad jual
beli murabahah harus dilakukan setelah
barang secara prinsip menjadi milik KSPPS

139

yang dibuktikan dengan faktur atau kuitansi
jual-beli yang dapat dipertanggungjawabkan

d. Apakah pembiayaan berdasarkan prinsip
murabahah dilakukan setelah adanya
permohonan anggota dan perjanjian
pembeli suatu barangatau asset kepada
KSPPS

9 Pengawasan Produk- Produk Penyaluran
Piutang Salam
a. Apakah barang yang diperjualbelikan tidak
diharamkan oleh syariah Islam

b. Apakah pembayaran atas barang salam
kepada supplier telah dilakukan di awal
kontrak secara tunai sebesar akad salam

c. Apakah akad salam telah sesuai dengan
fatwa DSN-MUI tentang salam dan
peraturan perkoperasian

e. Apakah akad salam yang dilakukan KSPPS
dalam format salam parallel atau akad
salam biasa

f. Apakah keuntungan KSPPS atas praktek
salam diperoleh dari selisih antara harga
beli dari supplier dengan harga jual kepada
anggota sebagai pembeli akhir

8 Pengawasan Produk- Produk Penyaluran
Piutang Istishna

a. Apakah barang yang diperjualbelikan tidak
diharamkan oleh syariah Islam

b. Apakah KSPPS membiayai pembuatan
barang yang diperlukan anggota sesuai
pesanan dan criteria yang disepakati

c. Apakah akad istishna’ dan akad istishna’
parallel dibuat dalam akad yang terpisah

d. Apakah akad istishna’ yang sudah
dikerjakan sesuai kesepakatan hukumnya
mengikat, artinya tidak dapat dibatal, kecuali
kondisi tertentu

9 Pengawasan Produk- Produk Penyaluran
Piutang Ijarah
a. Apakah penyaluran dana berdasarkan
prinsip ijarah tidak dipergunakan untuk
kegiatan yang bertentangan dengan
prinsip syariah

140

b. Apakah akad pengalihan kepemilikan
dalam ijarah Muntahiya Bit Tamlik
dilakukan setelah akad ijarah selesai, dan
dalam akad ijarah, janji (wa’ad) untuk
mengalihkan kepemilikan harus dilakukan
pada saat berakhirnya akad ijarah

c. Apakah pembiayaan berdasarkan prinsip
ijarah untuk multijasa menggunakan
perjanjian sebagaimana diatur dalam fatwa
DSN-MUI tentang ijarah multijasa dan
peraturan perkoperasian

d. Apakah besar ujrah atau fee multijasa
dengan menggunakan akad ijarah telah
disepakati di awal dan dinyatakan dalam
bentuk nominal bukan dalam bentuk
prosentase

10 Pengawasan Produk- Produk Penyaluran
Piutang Qardh

a. Apakah pembiayaan berdasarkan prinsip
qardh tidak dipergunakan untuk kegiatan
yang bertentangan dengan prinsip syariah

b. Apakah anggota yang terkena sanksi denda
adalah anggota pembiayaan yang lalai yaitu
yang mempunyai kemampuan secara
ekonomi untuk membayar namun menunda
pembayaran

c. Apakah KSPPS telah memberikan
kelonggaran waktu yang cukup kepada
anggota pembiayaan untuk melunasi
kewajibannya dalam hal anggota tersebut
mengalami kesulitan keuangan akibat
penurunan usaha (business losses)

d. Apakah pendapatan yang diterima KSPPS
dari anggota pembiayaan atas pengenaan
sanksi telah diakui sbagai sumber dana
kebajikan

e. Apakah sumber dana yang dipergunakan
untuk pembiayaan qardh konsumtif dan
bersifat sosial adalah bukan berasal dari
dana mudharabah atau modal KSPPS

f. Apakah sumber dana yang digunakan untuk
pembiayaan qardh dalam rangka dana
talangan anggota adalah berasal dari modal
KSPPS

11 Pengawasan Produk- Produk Jasa Wakalah
a. Apakah transaksi wakalah telah dilakukan
sesuai dengan fatwa DSN- MUI

141

b. Apakah obyek wakalah tidak bertentangan
dengan prinsip syariah

c. Apakah para pihak yang melakukan akad
wakalah telah memenuhi syarat dan rukun
wakalah

12 Pengawasan Produk- Produk Hiwalah
a. Apakah transaksi hiwalah antara KSPPS
dengan mitra telah dilakukan sesuai dengan
fatwa DSN MUI tentang hiwalah dan produk
hiwalah tersebut telah disetujui Rapat
anggota
b. Apakah proyek yang dijadikan obyek
hiwalah tidak bertentangan dengan prinsip
syariah
c. Apakah para pihak yang melakukan akad
hiwalah telah memenuhi syarat dan rukun
hiwalah
d. Apakah ujrah yang dibebankan KSPPS
kepada mitra atas pemberian jasa hiwalah
tidak mengacu pada suku bunga dan tidak
dikaitkan dengan besarnya hiwalah yang
diberikan

142

9.9 Latihan Soal
Jelaskan aktivitas DPS dalam shariah review secara ex ante dan ex post auditing

Jawaban:
Aktivitas shari'a review dalam praktek pengawasan internal syariah oleh DPS terbagi menjadi
dua bagian yaitu aktivitas ex ante auditing dan ex post auditing. Untuk aktivitas shari'a review
ex ante auditing antara lain :
1) menetapkan standar kepatuhan syariah
2) menetapkan sistem dan prosedur operasional
3) mereview kebijakan dan keputusan manajemen
4) menetapkan produk bank.
Sedangkan aktivitas shari'a review ex post auditing yang dilaksanakn DPS dalam
menjalankan fungsi pengawasan syariah antara lain :
1) menentukan indikator kepatuhan syariah
2) menentukan lingkup pengawasan syariah
3) merencanakan mekanisme penilaian kepatuhan syariah
4) menilai kepatuhan syariah atas kinerja manajemen
5) tindak lanjut atas temuan syariah
6) melaporkan hasil penilaian kepatuhan syariah

9.10 Test Sumatif

Petunjuk:

Dibawah ini terdapat dua kolom, kolom pertama berisi soal, kolom kedua berisi jawaban.
Mahasiswa diminta mencocokkan soal dengan memilih salah satu jawaban yang paling tepat
di kolom kedua:

No. Soal Jawaban

1) Sesuai dengan GSIFI (Governance Standard for a) Executing review

Islamic Financial Institutions), No. 2, paragraf 7 procedure

disebutkan bahwa tiga prosedur dalam pelaksanaan
shari’a review yaitu planning review procedures,

executing review procedure and review of working

papers, dan documenting conclusions and report.

Untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh

atas operasi bank syariah yang meliputi produk, skala

operasi, lokasi, kantor cabang, anak perusahaan dan

divisi, serta bertujuan untuk memperoleh daftar semua

fatwa, aturan, dan petunjuk yang dikeluarkan oleh

dewan pengawas syariah, merupakan prosedur
shariah review……..

2) Untuk menemukan temuan audit dengan melakukan b) ex ante auditing dan ex

serangkaian pengujian atas transaksi dan dokumen post auditing

serta mendokumentasikan semua prosedur audit yang

143

telah dilakukan selama pemeriksaan, merupakan c) planning review
proses dari ……..

3) Hasil shari’a review berupa kesimpulan dari dewan

pengawas syariah atas kepatuhan bank syariah procedures
terhadap aturan dan prinsip-prinsip syariah.

Kesimpulan tersebut dibuat dalam laporan dewan

pengawas syariah yang akan disampaikan dalam

rapat umum pemegang saham LKS adalah proses
dari….

4) Aktivitas shari'a review dalam praktek pengawasan d) documenting conclusions

internal syariah oleh DPS terbagi menjadi dua bagian and report

yaitu……

5) aktivitas auditing: e) shari'a review ex post

1) menetapkan standar kepatuhan syariah

2) menetapkan sistem dan prosedur operasional

3) mereview kebijakan dan keputusan

manajemen

4) menetapkan produk bank.
Merupakan bentuk aktivitas auditing…..

6) Sedangkan aktivitas auditing yang dilaksanakn DPS f) ex ante auditing

dalam menjalankan fungsi pengawasan syariah antara

lain :

7) menentukan indikator kepatuhan syariah

8) menentukan lingkup pengawasan syariah

9) merencanakan mekanisme penilaian kepatuhan

syariah

10) menilai kepatuhan syariah atas kinerja manajemen

11) tindak lanjut atas temuan syariah

12) melaporkan hasil penilaian kepatuhan syariah
merupakan aktivitas…….

7) Produk dari Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam g) Konsideran

melakukan pengawasan syariah di Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) berupa…….

8) ● Bahwa DPS telah membaca dan mengerti tentang h) Opini syariah

produk dan transaksi tersebut
● Bahwa pengurus bank telah menjelaskan secara

detil produk dan transaksi dimaksud
Menunjukkan bahwa opini syariah telah…..

9) Ketetapan opini syariah berisi….. i) Mencabut kembali opini

10) Apabila di kemudian hari terdapat perbedaaan antara j) Telah /belum sesuai

keterangan pengurus bank dengan hal-hal yang dengan syariah
diperoleh dalam kenyataan, DPS memiliki hak….

9.11 Indikator Penilaian

Bab ini membahas tentang Simulasi pengawasan syariah, setelah mengerjakan soal-soal
latihan, jangan beralih ke bab selanjutnya, dipersilahkan untuk mencocokkannya dengan
kunci jawaban. Gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Saudara akan
materi pada Bab ini.

Tingkat Penguasaan Materi =

Jumlah Jawaban yang Benar

144

Jumlah Soal (100 %)
Indikator:
90 – 100% = Baik Sekali
80 – 89% = Baik
70 – 79% = Cukup
< 70% = Kurang
Bila jawaban yang benar masih kurang dari 90%, dipersilahkan untuk mengulangi membaca
bab ini sampai jawaban yang benar mencapai lebih dari 90% atau 100%. Maka dari itu
disarankan untuk tidak memberi coretan pada soal latihan sesuai kunci jawaban terlebih
dahulu untuk menguji pemahaman materi pada bab ini.

145

XI. OBJEK MATERIAL PENGAWASAN SYARIAH LKS

11.1 Kompetensi dasar

Mampu melakukukan pengawasan syariah atas dasar objek material pengawasan syariah

11.2 Kemampuan akhir

1) Menjelaskan dasar pengawasan objek material produk-produk LKS
2) Menjelaskan isi objek material pengawasan syariah kepada pimpinan LKS
3) Melakukan pengawasan objek material syariah di LKS

11.3 Pendahuluan

Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada sebuah Lembaga Keuangan Syariah (LKS) memiliki
fungsi strategis sebagai pengemban garda terdepan pelaksanaan bisnis yang berpedoman
pada prinsip-prinsip syariah. Proses transaksi dan operasional LKS serta produk-produk yang
dikeluarkan harus dipastikan kesyariahannya. Maka dibutuhkan pengawasan yang sistematis
agar LKS dapat menjalankan prinsip-prinsip syariah dengan benar dan semua karyawan dan
pimpinannya benar-benar berkomitmen akan pelaksanaan syariah. Untuk melakukan fungsi
pengawasan tersebut, anggota DPS harus memiliki kualifikasi keilmuan yang komprehensif,
yaitu ilmu fiqih muamalat dan ilmu ekonomi keuangan islam modern, bukan karena kharisma
dan kepopulerannya ditengah masyarakat. Jika pengangkatan DPS bukan didasarkan pada
keilmuannya, maka fungsi pengawasan DPS tidak akan efektif sehingga dapat menyebankan
terjadinya penyimpangan praktek syariah.

Peran DPS yang strategis tersebut masih lemah dan belum optimal dalam prakteknya di
lapangan, penyebabnya adalah; pertama; lemahnya status hukum hasil penilaian kepatuhan
syariah oleh DPS, kedua; minimnya skill SDM DPS dalam masalah audit, akuntansi, ekonomi
dan hukum bisnis, ketiga; karena belum adanya mekanisme kerja yang efektif dari DPS dalam
melaksanakan fungsi pengawasan internal syariah pada LKS.

DPS sebagai pengawas memiliki kesamaan peran dengan komisaris. Bedanya, kepentingan
komisaris dalam melakukan fungsinya adalah memastikan bank agar bank tersebut selalu
menghasilkan keuntungan. Sedangkan kepentingan DPS adalah untuk menjaga kemurnian
pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan operasional LKS. Maka, DPS berpotensi untuk
melahirkan konflik kepentingan, karena DPS berkomitmen pada kemurnian syariah
sedangkan komisaris harus dapat menjaga keuntungan yang optimal.

11.4 Pengawasan Syariah atas Objek Material

Pengawasan Objek material terhadap produk LKS pada Modul Pembelajaran ini berdasarkan
(Surat Edaran No. 8/19/DPBS, tanggal 24 Agustus 2006). Objek material pengawasan DPS
pada LKS ini dapat membantu semua pihak untuk memahami secara mandetail mekanisme
pengawasan pada produk-produk perbankan dan LKS lainnya.

11.4.1 Pengawasan Giro Wadiah dan Giro Mudharabah

I. Pengertian dan Ketentuan Syariah
– Salah satu fungsi bank adalah menghimpun dana dari masyarakat antara lain melalui

produk bank berupa giro.
– Perjanjian untuk produk giro dapat menggunakan akad wadi’ah atau akad mudharabah.

146

1) Giro Wadiah
a) Dalam kegiatan pengumpulan dana melalui produk giro menggunakan akad wadiah harus

mengikuti fatwa DSN – MUI tentang wadiah.
b) Akad wadiah adalah akad penitipan dana dengan ketentuan penitip dana mengizinkan

kepada bank untuk memanfaatkan dana yang dititipkan tersebut dan bank wajib
mengembalikan apabila penitip mengambil sewaktu-waktu dana tersebut.
c) Dalam transaksi giro wadiah ini nasabah bertindak sebagai penitip dana (mudi’) dan bank
bertindak sebagai penerima dana (muda’). Bank berkewajiban menjaga dana titipan dan
bertanggungjawab atas pengembaliannya sewaktu-waktu bilamana ditarik oleh nasabah
pemilik dana titipan.
d) Keuntungan atas pengelolaan dana titipan tersebut menjadi milik bank, karena hakekat
wadiah tersebut adalah qardh.
e) Pada prinsipnya tidak ada bonus yang diberikan oleh bank kepada pemilik dana wadiah.
f) Dalam hal bank memberikan bonus sukarela kepada pemilik dana wadiah, diperbolehkan
dengan syarat tidak diperjanjikan dimuka.
g) Giro wadiah adalah titipan dana berdasarkan prinsip wadiah pada bank syariah yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, kartu
ATM, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindah bukuan lainnya.
h) Penarikan giro wadiah melalui cek, bilyet giro, kartu ATM, sarana perintah pembayaran
lainnya atau dengan cara pemindahModul Pembelajaranan lainnya tidak berlaku bagi giro
wadiah yang diblokir. Giro wadiah yang diblokir, dalam pencatatannya disajikan dalam satu
akun dengan giro wadiah.
i) Giro wadiah yang diblokir atau yang penarikannya dibatasi harus diawasi secara lebih
intensif agar tidak terjadi penyalahgunaan sebagai bentuk pelanggaran akad dan
penyimpangan syariah.
2) Giro Mudharabah
a) Dalam kegiatan pengumpulan dana melalui produk giro yang menggunakan akad
mudharabah harus mengikuti fatwa DSN - MUI tentang mudharabah.
b) Akad mudharabah adalah akad yang digunakan dalam perjanjian antara pihak penanam
dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian
keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya.
c) Mudharabah muthlaqah adalah akad mudharabah dimana shahibul maal memberikan
kebebasan kepada mudharib dalam pengelolaan investasinya.
d) Dalam transaksi giro mudharabah ini nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul
maal) dan bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib).
e) Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha
yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di
dalamnya melakukan akad mudharabah dengan pihak lain.
f) Dana yang disetor sebagai modal melalui giro mudharabah harus dinyatakan jumlahnya
dalam bentuk tunai dan bukan merupakan off setting dari piutang nasabah.
g) Nasabah wajib memelihara saldo giro minimum yang ditetapkan oleh bank dan tidak dapat
ditarik oleh nasabah kecuali dalam rangka penutupan rekening.
h) Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam
akad pembukaan rekening.
i) Bagi hasil mudharabah dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu bagi laba
(profit sharing) atau bagi pendapatan (revenue sharing). Metode bagi laba (profit sharing)
dihitung dari total pendapatan setelah dikurangi seluruh biaya operasional. Metode bagi

147

pendapatan (revenue sharing) dihitung dari total pendapatan mudharabah yang diterima
oleh bank.
j) Pemberian bagi hasil untuk nasabah didasarkan pada saldo terendah dalam satu bulan
laporan.
k) Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah
keuntungan yang menjadi haknya.
l) Biaya operasional giro yang menjadi beban bank sebagai mudharib adalah biaya- biaya
yang timbul berkaitan dengan operasi pengelolaan dana kecuali biaya administrasi. Yang
dimaksud dengan biaya administrasi antara lain biaya penggantian kartu ATM, biaya
penggantian Modul Pembelajaran, biaya cetak laporan, biaya cetak rekening, biaya
cek/BG, biaya penarikan melalui ATM bersama atau ATM bank lain, dan biaya materai.
m)Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan
nasabah.

II. Pengawasan Syariah
1) Tujuan

Tujuan pengawasan syariah atas giro baik wadiah maupun mudharabah adalah untuk
mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa:

a. Kegiatan produk giro telah dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah;
b. Dalam pemberian bonus tidak boleh:

– Diperjanjikan dimuka;
– Berdasarkan pendapatan bank yang belum diterima (accrual) tetapi harus

berdasarkan pendapatan riil yang diterima bank (cash basis);
c. Dalam pemberian bagi hasil tidak boleh:

– Berdasarkan pendapatan bank yang belum diterima (accrual) tetapi harus
berdasarkan pendapatan riil yang diterima bank (cash basis);

– Merubah nisbah sebelum berakhirnya akad;
d. Biaya pengelolaan giro mudharabah menjadi beban bank dan menggunakan nisbah

keuntungan yang menjadi haknya, dan tidak ada pembebanan biaya-biaya lain tanpa
persetujuan nasabah pemilik dana;
e. Semua kegiatan yang terkait dengan pengelolaan giro wadiah dan mudharabah harus
mengikuti ketentuan fatwa DSN – MUI tentang giro dan PBI tentang Akad Penghimpunan
dan Penyaluran Dana Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah yang berlaku.
2) Pengujian Substantif Materi Syariah

Pengujian substantif atas transaksi pembukaan giro wadiah dan giro mudharabah yang harus
dilakukan oleh DPS antara lain:

a. Meneliti apakah pemberian informasi secara lengkap oleh bank kepada nasabah, baik
secara tertulis maupun lisan tentang persyaratan wadiah dan atau mudharabah telah
dilakukan;

b. Meneliti apakah pengisian formulir aplikasi penitipan telah dilakukan secara lengkap
sebagai salah satu persyaratan ijab qabul;

c. Meneliti apakah setoran giro wadiah dan atau mudharabah telah menyebutkan jumlah
nominal dan mata uang yang disetor secara jelas.

d. Meneliti apakah akad giro wadiah dan atau mudharabah telah sesuai dengan fatwa DSN –
MUI yang berlaku tentang giro;

148

e. Meneliti apakah pemberian bonus wadiah tidak mengarah kepada kebiasaan sehingga
dapat dijadikan perhitungan yang seolah-olah diperjanjikan;

f. Meneliti apakah dalam penawaran produk giro, bank tidak menjanjikan pemberian yang
ditetapkan dimuka dalam bentuk prosentase imbalan.

11.4.2 Pengawasan Tabungan Wadiah dan Tabungan Mudharabah

I. Pengertian dan Ketentuan Syariah
● Salah satu fungsi bank adalah menghimpun dana dari masyarakat antara lain melalui

produk bank berupa tabungan.
● Perjanjian untuk produk tabungan dapat menggunakan akad wadi’ah atau akad

mudharabah.
1) Tabungan Wadiah

a) Dalam kegiatan pengumpulan dana melalui produk tabungan yang menggunakan
akad wadiah harus mengikuti fatwa DSN – MUI tentang wadiah.

b) Akad wadiah adalah akad penitipan dana dengan ketentuan penitip dana mengizinkan
kepada bank untuk memanfaatkan dana yang dititipkan tersebut dan bank wajib
mengembalikan apabila penitip mengambil sewaktu-waktu dana tersebut.

c) Dalam transaksi tabungan wadiah ini nasabah bertindak sebagai penitip dana (mudi’)
dan bank bertindak sebagai penerima dana (muda’). Bank berkewajiban menjaga
dana titipan dan bertanggungjawab atas pengembaliannya sewaktu-waktu bilamana
ditarik oleh nasabah pemilik dana titipan.

d) Keuntungan atas pengelolaan dana titipan tersebut menjadi milik bank, karena
hakekat wadiah tersebut adalah qardh.

e) Pada prinsipnya tidak ada bonus yang diberikan oleh bank kepada pemilik dana
wadiah.

f) Dalam hal bank memberikan bonus sukarela kepada pemilik dana wadiah,
diperbolehkan dengan syarat tidak diperjanjikan dimuka.

g) Tabungan wadiah adalah titipan dana berdasarkan prinsip wadiah pada bank syariah
yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan kartu ATM dan
sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahModul
Pembelajaranan lainnya.

h) Penarikan tabungan wadiah melalui kartu ATM dan sarana perintah pembayaran
lainnya atau dengan cara pemindahModul Pembelajaranan lainnya tidak berlaku bagi
tabungan wadiah yang diblokir. Tabungan wadiah yang diblokir, dalam pencatatannya
disajikan dalam satu akun dengan tabungan wadiah.

i) Tabungan wadiah yang diblokir atau yang penarikannya dibatasi harus diawasi secara
lebih intensif agar tidak terjadi penyalahgunaan sebagai bentuk pelanggaran akad dan
penyimpangan syariah.

1) Tabungan Mudharabah
a) Dalam kegiatan pengumpulan dana melalui produk tabungan yang menggunakan
akad mudharabah harus mengikuti mengikuti fatwa DSN - MUI tentang mudharabah.
b) Akad mudharabah adalah akad yang digunakan dalam perjanjian antara pihak
penanam dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan
pembagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah
disepakati sebelumnya.

149

c) Mudharabah muthlaqah adalah akad mudharabah dimana shahibul maal memberikan
kebebasan kepada mudharib dalam pengelolaan investasinya.

d) Dalam transaksi tabungan mudharabah ini nasabah bertindak sebagai pemilik dana
(shahibul maal) dan bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib).

e) Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam
usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya,
termasuk didalamnya melakukan akad mudharabah dengan pihak lain.

f) Dana yang disetor sebagai modal melalui tabungan mudharabah harus dinyatakan
jumlahnya dalam bentuk tunai dan bukan merupakan off setting dari piutang nasabah.

g) Nasabah wajib memelihara saldo tabungan minimum yang ditetapkan oleh bank dan
tidak dapat ditarik oleh nasabah kecuali dalam rangka penutupan rekening.

h) Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam
akad pembukaan rekening.

i) Bagi hasil mudharabah dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu bagi
laba (profit sharing) atau bagi pendapatan (revenue sharing). Metode bagi laba (profit
sharing) dihitung dari total pendapatan setelah dikurangi seluruh biaya operasional.
Metode bagi pendapatan (revenue sharing) dihitung dari total pendapatan
mudharabah yang diterima oleh bank.

j) Pemberian bagi hasil untuk nasabah didasarkan pada saldo rata-rata dalam satu bulan
laporan.

k) Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan
nisbah keuntungan yang menjadi haknya.

l) Biaya operasional tabungan yang menjadi beban bank sebagai mudharib adalah
biaya-biaya yang timbul berkaitan dengan operasi pengelolaan dana kecuali biaya
administrasi. Yang dimaksud dengan biaya administrasi antara lain biaya penggantian
kartu ATM, biaya penggantian Modul Pembelajaran, biaya cetak laporan, biaya cetak
rekening, biaya penarikan melalui ATM bersama atau ATM bank lain, dan biaya
materai.

m) Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan
nasabah.

II. Pengawasan Syariah
1) Tujuan

Tujuan pengawasan syariah atas tabungan baik wadiah maupun mudharabah adalah untuk
mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa:

a. Kegiatan produk tabungan telah dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah;
b. Dalam pemberian bonus tidak boleh:

● Diperjanjikan dimuka;
● Berdasarkan pendapatan bank yang belum diterima (accrual) tetapi harus

berdasarkan pendapatan riil yang diterima bank (cash basis);
c. Dalam pemberian bagi hasil tidak boleh:

● Berdasarkan pendapatan bank yang belum diterima (accrual) tetapi harus
berdasarkan pendapatan riil yang diterima bank (cash basis);

● Merubah nisbah sebelum berakhirnya akad.
d. Biaya pengelolaan tabungan mudharabah menjadi beban bank dan menggunakan nisbah

keuntungan yang menjadi haknya, dan tidak ada pembebanan biaya-biaya lain tanpa
persetujuan nasabah pemilik dana;

150


Click to View FlipBook Version