BENCANA DAN KESEHATAN JIWA ANAK & REMAJA Tjhin Wiguna Theresia Citraningtyas Gitayanti Hadisukanto R. Irawati Ismail Budi Pratiti Tendry Septa Noorhana SWR Fransiska Kaligis Hasrini Rowawi Diperbanyak Oleh, Direktorat P2 Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI Tahun 2018
2015 © Media Aesculapius “Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak & Remaja” Penulis: Tjhin Wiguna Theresia Citraningtyas Gitayanti Hadisukanto R. Irawati Ismail Budi Pratiti Tendry Septa Noorhana SWR Fransiska Kaligis Hasrini Rowawi ISBN: 978-602-17338-6-8 Tim Penyunting dan llustrasi: Ketua : Dr. dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K) Anggota: dr. Fransiska M. Kaligis, SpKJ(K) dr. Joy Reverger, SpKJ dr. Theresia Citraningtyas, MWH, PhD Ferry Liwang Selvi Nafisa Shahab Fidinny Izzaturrahmi Hamid Dhiya Farah Khalisha Shierly Novitawati Eiko Bulan Matiur Jimmy Oi Santoso Hiradipta Ardining Penerbit: Media Aesculapius Gedung C Lantai 4, Rumpun llmu Kesehatan, Universitas Indonesia Depok, 16424 Jln. Salemba Raya 6, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta Pusat Cetakan pertama, Juni 2015 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit
i Daftar Isi DAFTAR ISI KATA PENGANTAR Bab l Memahami Dampak Bencana terhadap Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja, serta Pentingnya Membangun Resiliensi Tjhin Wiguna, Theresia Citraningtyas, Gitayanti Hadisukanto Bab 2 Deteksi Dini Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak dan Remaja R. Irawati Ismail, Budi Pratiti, Tendry Septa Bab 3 Perumusan Masalah Kesehatan Jiwa pada Anak dan Remaja di Daerah Bencana: Fokus pada Aspek Biopsikososial Noorhana SWR, Fransiska Kaligis Bab 4 Pertolongan Psikologis Pertama dan Intervensi Krisis bagi Anak dan Remaja di Daerah Bencana Tjhin Wiguna, Fransiska Kaligis, Hasrini Rowawi, Theresia Citraningtyas Daftar Rujukan i ii 1 17 31 35 53
ii Kata Pengantar Stres and kejadian traumatik merupakan dua kondisi yang umum dijumpai pada kehidupan setiap individu, tidak terkecuali pada pada anak dan remaja. Dengan meningkatnya berbagai kejadian yang menakutkan dalam kehidupan kita saat ini seperti bencana alam, ancaman peperangan, serangan teroris, serta adanya peningkatan hostilitas di sekolah maka masalah emosi dan perilaku menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius di dalam masa kini. Dalam 10 tahun terakhir ini, dapat dikatakan sebagai dekade bencana alam di Indonesia. Gempa bumi di Sumatra Barat dengan kekuatan 7.7 SR yang memicu tsunami, meletusnya Gunung Merapi pada akhir Oktober 2010, Tanah Longsor di Banjarnegara pada Desember 2014, serta banjir di Jakarta selama 8-10 Februari 2015. Bencana alam tersebut menimbulkan banyak korban (baik yang meninggal, maupun selamat), kehancuran (tempat tinggal, fasilitas umum lainnya). Semua ini memberikan dampak psikologis bagi manusia, tidak terkecuali anak dan remaja. Wiguna T dkk (2010), dalam studi preliminer terhadap 1985 anak yang berusia 4-18 tahun yang merupakan penyintas (survivors) dari gempa bumi dan tsunami di Kabupaten Aceh Utara, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam selama kurang lebih 12 bulan, mendapatkan 191 anak mengalami gangguan jiwa (9.62%) dan 60.5 % di antaranya di diagnosis dengan gangguan stres pascatrauma. Kejadian-kejadian traumatik di atas seringkali mengakibatkan perubahan dalam kehidupan seorang anak dan juga orangtuanya, sehingga berpengaruh terhadap kemampuan fungsi kognisi, perilaku dan juga emosi mereka. Anak seringkali merasa ketakutan, cemas, kehilangan rasa aman, dan perasaan tidak berdaya serta putus asa. Kondisi-kondisi ini tentunya mempengaruhi tumbuh kembang anak sehingga berdampak pada penurunan kualitas hidup mereka di kemudian hari. Oleh karena itu, memahami berbagai gambaran perilaku dan emosi yang mungkin terjadi pada anak dan remaja yang mengalami bencana serta mengerti bagaimana kondisi risieliensi anak dan remaja adalah hal yang penting bagi profesional yang mendampingi anak dan remaja yang ada di daerah bencana tersebut. Dengan demikian, aspek kesehatan mental dan dukungan psikososial perlu diintegrasikan sebagai bagian dari penanganan bencana. “Komunitas merupakan lini pertama dari usaha dukungan psikososial pada kondisi bencana” merupakan ungkapan yang umum diketahui. World Health Organization (WHO) pada tahun 2007 menyoroti tingkat tertingi dari persiapan bencana diperoleh dengan adanya sistem kesehatan jiwa komunitas yang kuat yang meningkatkan pemenuhan kebutuhan korban bencana secara cepat.
iii Ketika komunitas telah dipersiapkan untuk tangguh sebagai komponen dari rencana emergensi, maka mereka akan memiliki dampak positif yang membantu populasi mencapai kondisi normal secara cepat dengan lebih tidak berisiko mengalami gangguan emosional sebagai dampak trauma insiden bencana tersebut. Pendekatan berbasis komunitas ini senantiasa menekankan komunitas sebagai lini depan sehingga berperan dalam meringankan resiko bencana, mempersiapkan untuk menolong dalam situasi emergensi, memantau bahaya dalam lingkungan, dan mempromosikan layanan kesehatan yang lebih baik dalam tingkat lokal, regional, dan nasional. Buku ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan pemahaman kepada profesional kesehatan jiwa yang bekerja bersama anak dan remaja, serta semua orang yang tertarik untuk mendalami berbagai hal terkait dengan kesehatan jiwa anak dan remaja pascabencana. Beberapa hal yang dibahas dalam buku ini diantaranya memahami dampak bencana terhadap kesehatan jiwa anak dan remaja, risiliensi, deteksi masalah emosi dan perilaku, perumusan masalah kesehatan jiwa anak dan remaja, serta berbagai kegiatan untuk memberikan dukungan psikososial serta bantuan psikologis pertama pada anak dan remaja pascabencana. Seperti yang diungkapkan peribahasa, ‘tiada gading yang tak retak’, buku bencana dan kesehatan jiwa anak dan remaja ini pun masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami berharap agar buku ini terus dapat berkembang sehingga dapat memberikan gambaran kesehatan jiwa anak dan remaja pascabencana yang lebih komprehensif sesuai dengan perkembangan llmu di hari mendatang. Akhir kata, kami Ingin mengucapkan terima kasih kepada; Direktur Utama Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Ketua Departemen llmu Kesehatan Jiwa FKUI/ RSCM, Temasek Foundation-Singapore, Institute of mental Health-Singapore, Tim Media Aesculapius FKUI, para kontributor dan semua pihak yang sudah membantu proses pembuatan dan penerbitan buku ini dari awal hingga akhirnya. Semoga kerja keras kita membuahkan hasil yang bermanfaat bagi semua orang terutama bagi anak-anak kita yang berada di daerah bencana. Dr. dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K)
1 Memahami Dampak Bencana Terhadap Kesehatan Jiwa anak dan Remaja, Serta pentingnya membangun Resiliensi Stres and kejadian traumatik merupakan dua kondisi yang umum dijumpai pada kehidupan setiap individu, tidak terkecuali pada anak dan remaja. Dengan meningkatnya berbagai kejadian yang mengerikan dalam kehidupan kita, seperti bencana alam, ancaman peperangan, serangan teroris, serta adanya peningkatan perseteruan di sekolah, maka gangguan stress pascatrauma menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat masa kini yang cukup serius. Wiguna T, dkk. (2006), dalam studi preliminer selama kurang lebih 12 bulan terhadap 1985 anak yang berusia 4-18 tahun yang merupakan korban selamat dari gempa bumi dan tsunami di Kabupaten Aceh Utara, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, mendapatkan 191 anak mengalami gangguan jiwa (9.62%) dan 60.5% di antaranya di diagnosis dengan gangguan stres pascatrauma. Penelitian Hsu, dkk. (2002), terhadap prevalensi gangguan stres pascatrauma pada anak berusia 12-14 tahun yang mengalami kejadian gempa bumi di Taiwan tahun 1999, melaporkan rasio prevalensi gangguan stres pascatrauma 6 minggu pertama adalah sebesar 21.1%. Goenjian, dkk. (2001), juga melakukan investigasi terhadap efek Hurricane Mitch yang menyerang Amerika Tengah pada tahun 1998 yang mengakibatkan 10.000 orang meninggal. Sebanyak 158 remaja dari 3 daerah asal yang berbeda dengan hasil rasio prevalensi sebesar 90%, 50% dan 14%. Geonjian dkk. berasumsi bahwa dampak bencana alam seperti berat ringannya kerusakan dan ada tidaknya dukungan psikososial memegang peranan penting dalam variasi rasio prevalensi yang didapat. Kejadian-kejadian traumatik di atas seringkali mengakibatkan perubahan pada seorang anak dan orangtuanya sehingga berpengaruh terhadap kemampuan fungsi kognisi, sikap perilaku dan juga reaksi emosi mereka. Anak seringkali merasa ketakutan, cemas, kehilangan rasa aman, dan perasaan tidak berdaya serta putus asa. Kondisi tersebut tentunya mempengaruhi tumbuh kembang anak sehingga berdampak pada penurunan kualitas hidup mereka di kemudian hari. Oleh karena itu, memahami berbagai respons emosi, perilaku yang mungkin terjadi pada anak dan remaja yang mengalami bencana, serta kondisi resiliensi yang mungkin terjadi adalah penting bagi profesional yang mendampingi anak dan remaja yang ada di daerah bencana tersebut. Tjhin Wiguna Theresia Citraningtyas Gitayanti Hadisukanto
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 2 Kita hidup dalam era yang banyak terkena dampak krisis, baik berupa krisis yang alamiah seperti bencana, maupun krisis yang dibuat oleh manusia. Setiap tahunnya, jutaan orang dihadapkan pada kejadian traumatik yang tidak dapat mereka atasi sendiri. Roberts (2005) mengatakan bahwa orang cenderung mencari pelayanan kesehatan jiwa berupa unit pelayanan kesehatan primer di lingkungannya. Beberapa kejadian yang mungkin menimbulkan krisis termasuk: 1. bencana/ kehancuran; 2. masalah kesehatan dan penyakit; 3. kemunduran ekonomi; 4. kecelakaan; 5. masalah hukum; 6. kehilangan. Menurut World Health Organization (WHO), sehat atau sakitnya mental bukan hanya ditentukan oleh ada atau tidaknya penyakit mental. Kesehatan jiwa dinyatakan sebagai “kondisi yang digambarkan dengan adanya perasaan bahagia dan sejahtera pada seseorang, yang disertai dengan kesadaran dan pemahaman atas potensi dirinya sendiri, kemampuan untuk beradaptasi terhadap tekanan dalam kehidupan, produktif, dan mampu memberikan kontribusi pada komunitasnya”. Kesehatan jiwa pada daerah bencana, merupakan suatu kondisi yang spesifik karena bencana merupakan suatu keadaan yang tidak normal, yang berada di luar jangkauan tekanan hidup yang biasa dihadapi. Pada umumnya, rakyat Memahami Kesehatan Mental Anak dan Remaja di Daerah Bencana
Memahami Dampak Bencana Terhadap Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja, Serta Pentingnya Membangun Resiliensi 3 berada dalam keadaan tidak sejahtera setelah kejadian bencana. Oleh karena itu, kita membutuhkan pemahaman mengenai kesehatan jiwa terutama pada anak dan remaja yang berada di daerah bencana. Bagian ini membahas berbagai usaha untuk mendukung kesehatan jiwa anak dan remaja di daerah bencana, terutama yang berhubungan dengan peningkatan kapasitas mental anak dan remaja agar dapat melakukan kembali fungsi seharihari mereka dan mencapai perkembangan yang optimal. Bencana dapat digolongkan menjadi bencana alam dan bencana buatan (oleh manusia). Bencana alam meliputi kebakaran, banjir, angin ribut, gempa bumi, tanah longsor, tsunami, dan IainBencana dapat menimbulkan pengalaman “krisis”. Kata krisis, stres, dan trauma seringkali disalahgunakan akibat kurangnya pemahaman tentang arti dan batasan ketiga istilah tersebut. Roberts (2005) menjabarkan krisis sebagai “keadaan gangguan keseimbangan psikologis yang timbul tiba-tiba, yang diakibatkan oleh tekanan yang besar, melampaui kemampuan seseorang untuk mengatasinya, dan menimbulkan gangguan fungsi. Kondisi tersebut merupakan reaksi subjektif terhadap beban pengalaman hidup yang mengganggu keseimbangan dan kemampuan seseorang untuk menyelesaikan permasalahannya atau berfungsi sebagaimana mestinya.” Reaksi masing-masing orang bersifat unik dan dipengaruhi oleh kepribadian, temperamen, karakter, kemampuan lain. Bencana buatan seperti konflik atau berkurangnya kualitas lingkungan akibat pembangunan, misalnya bencana lumpur sidoarjo di mana faktor alam tercetus oleh usaha manusia. Sebuah bencana, terutama bencana besar seperti tsunami, banjir bandang ataupun gempa bumi, dapat menjadi pengalaman yang sangat menakutkan, mengancam nyawa dan memisahkan keluarga. Bencana juga dapat mengakibatkan kehilangan orang yang dicintai (misalnya orangtua atau saudara), hilangnya fungsi anggota tubuh, hancurnya lingkungan dan hilangnya sistem dukungan sosial bagi anak, misalnya sekolah, tempat bermain, tempat tinggal dsb. Keluarga juga dapat kehilangan mata pencaharian mereka. menyelesaikan permasalahan, daya adaptasi, sistem dukungan, dan durasi saat mengalami stres. Sebuah krisis juga dipandang sebagai respon subjektif terhadap suatu kejadian hidup yang dianggap berbahaya, mengancam atau sangat mengesalkan, yang tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan penyelesaian permasahan yang biasa digunakan oleh orang itu. Krisis dapat dipandang sebagai kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, tetapi dapat pula dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya dan mengancam. Suatu kejadian traumatis yang berat seperti bencana dapat menyebabkan krisis. Apa itu Krisis?
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 4 Roberts (2005) menyatakan bahwa krisis merujuk pada “guncangan dari keseimbangan” dan biasanya terdiri dari lima bagian, yaitu: (1) kejadian yang menakutkan; (2) keadaan yang rentan menyebabkan ketidakseimbangan; (3) faktor pencetus; (4) keadaan krisis aktif yang dirasakan oleh orang tersebut; dan (5) penyelesaian krisisnya. Berdasarkan sifatnya, krisis merupakan suatu kejadian yang sangat berat. Namun, dampak krisis pada tiap orang bergantung pada sudut pandang orang tersebut terhadap kejadian yang dialaminya. Auerbach & Kilmann (1997), Everly & Mitchell (1999), Raphael (1986), Sandoval (1985), Schwartz (1971), Wollman (1993) mengatakan bahwa krisis terjadi ketika suatu kejadian yang penuh tekanan terjadi melebihi kemampuan seseorang untuk mengatasi keadaannya. Beberapa anak dan remaja yang mengalami bencana dapat terpisah dari lingkungannya, kehilangan suasana kelekatan dan keakraban dengan orang lain, serta mengalami kesulitan dalam menemukan arti kehidupan Bencana dan masalah terkait dapat memicu munculnya berbagai macam reaksi emosi, seperti ketakutan, kesedihan, perasaan bersalah, rasa lega, kebahagiaan saat berkumpul kembali dengan keluarga, iri hati terhadap mereka yang lebih beruntung, dan Iain-Iain. Emosi atau (Butcher, 1980; Flannery 1994; Raphael, 1986; Sandoval, 1985: Wollman, 1993). Faktor-faktor di bawah ini harus dipertimbangkan ketika mengatasi suatu krisis: • Setiap manusia, pada satu waktu dalam hidupnya, akan mengalami stres atau peristiwa traumatis yang tidak selalu bersifat mengganggu atau berbahaya secara emosional. • Keseimbangan adalah keadaan alami yang dicari oleh semua orang dan kadangkala trauma mengakibatkan keadaan ketidakseimbangan. • Dibutuhkan cara penyelesaian permasalahan yang belum diketahui sebelumnya atau sumber daya baru untuk mengatasi kejadian traumatis tersebut. • Lamanya suatu krisis bergantung dari kejadian pemicu, pola orang tersebut dalam menanggapi, dan sumber daya yang tersedia. Keterampilan dalam mengelola perasaan, pikiran, dan perilaku harus dimiliki selama melalui fase krisis untuk mengatasinya. perasaan adalah bagian penting yang tak terpisahkan dari kehidupan kita. Perasaan dapat berupa perasaan positif atau negatif. Contohnya. Tidak ada yang salah bila seseorang merasakan kesedihan setelah kehilangan anggota keluarga. Namun, ketika semua perasaan tersebut Sifat Krisis Reaksi Emosi yang Dapat Terjadi Saat Bencana Diadaptasi dari Wiguna dkk (2005)
Memahami Dampak Bencana Terhadap Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja, Serta Pentingnya Membangun Resiliensi 5 mempengaruhi kehidupan sehari-hari, maka perlu dilakukan suatu tindakan penyesuaian. Ketakutan adalah suatu perasaan yang tidak nyaman dan merupakan emosi yang kuat yang diakibatkan oleh antisipasi atau kesadaran akan terjadinya bahaya. Ketakutan dan kecemasan adalah dua hal yang berbeda. Kecemasan muncul akibat kesadaran akan adanya suatu ancamanyang tidak dimengerti atau tidak jelas bahayanya. Banyak orang beranggapan bahwa mereka tidak akan mampu beradaptasi dengan situasi tersebut karena kecemasan yang dialami. Di sisi lain, ketakutan merupakan perasaan terancam oleh suatu penyebab yang jelas. Perasaan ini sangat berguna karena dapat memacu orang untuk menjadi lebih berhati-hati dan waspada pada keadaan di sekitar mereka. Kemarahan adalah “reaksi untuk mencapai perubahan tanda bahwa seseorang “tidak mendapat apa yang ia inginkan” atau dipaksa untuk menerima apa yang tidak ia kehendaki. Kebahagiaan atau perasaan menyenangkan lainnya sangat subjektif dan sulit untuk dijelaskan secara objektif, bahkan sulit untuk dipelajari. K e b a h a g i a a n mencakup antisipasi masa depan yang diinginkan, kepuasan yang didapatkan dari kesuksesan dan mencapai tujuan selangkah demi selangkah, dan tercapainya aspirasi. Tujuan dari perasaan ketakutan adalah untuk mencari rasa aman, tujuan dari perasaan kemarahan adalah untuk menyerang, dan tujuan dari perasaan cinta adalah untuk memberi dan menerima perhatian/rasa sayang. Pada umumnya makna dari rasa sayang tidak mengandung kekerasan dan emosi yang tak menyenangkan. Secara fisiologis, rasa sayang memberikan rasa kedamaian dalam pikiran dibandingkan dengan kekuatan. Sulit bagi kita untuk memahami reaksi emosi kita sendiri, kecuali dengan merasakan bagaimana cara kita bereaksi secara emosional terhadap situasi yang ada di sekitar kita. Cara kita merasakan dan menanggapi secara emosional bergantung pada respons masing-masing individu terhadap kondisi lingkungan yang dihadapi.
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 6 Kemampuan beradaptasi dalam keadaan sulit seringkali disebut resiliensi (kemampuan untuk bangkit kembali). Resiliensi dapat didefinisikan sebagai adaptasi positif dalam menghadapi ancaman, risiko atau kesulitan yang berat (Masten, 2001, 2005, 2006). Resiliensi mencakup kemampuan untuk kembali ke dalam bentuk, keadaan, dan posisi semula (Norris 2008). Konsep resiliensi awalnya dikembangkan dari penelitian terhadap anak-anak miskin yang kurang mendapat pengasuhan namun dapat meraih prestasi yang lebih daripada yang diperkirakan (Werner dkk., 1989). Dengan kata lain, hal-hal yang berkaitan dengan kondisi yang diperkirakan akan menghambat perkembangan anak tidak menyebabkan dampak negatif. Hal ini dikenal sebagai resiliensi perkembangan (Masten dkk., 1990). Sejak saat itu, kepustakaan mengenai resiliensi telah berkembang pesat, termasuk dalam konteks bencana (Bonanno dkk., 2007, 2010; Masten dan Obradovic, 2007). Dasar perspektif resiliensi adalah hasil akhir adaptasi positif yang berupa tercapainya kondisi yang diharapkan, misalnya derajat kesehatan jiwa yang optimal. Dalam hal ini, kita perlu hati-hati dalam menentukan apa kondisi yang diharapkan, karena hal ini dipengaruhi oleh budaya dan konteks setempat. Selain itu, resiliensi tidak boleh diartikan semata-mata dengan tidak adanya gangguan tertentu karena keadaan yang positif dan negatif dapat ditemukan pada waktu yang bersamaan. Tiga aspek reaksi atau dampak dari bencana (gejala gangguan jiwa, adaptasi, dan pertumbuhan menjadi lebih baik) dapat ditemukan bersamaan pada satu orang (Citraningtyas, 2012). Misalnya, setelah bencana, seorang anak bisa saja mengalami mimpi buruk, tetapi dapat bersekolah dengan baik dan menjadi lebih dekat dengan keluarganya. Resiliensi juga harus dipertimbangkan dari segi derajat beratnya masalah. Anak di Aceh yang kehilangan seluruh keluarga, rumah dan sekolah tidak bisa dibandingkan dengan anak di Jakarta yang tidak dapat pergi ke sekolah beberapa hari akibat jalanan tertutup banjir. Di lain pihak, anak yang terbiasa diasuh oleh pengasuh dapat bereaksi berbeda saat kehilangan rumah dan orangtua dibandingkan dengan anak yang terbiasa hidup di jalanan. Anak dan remaja memiliki persepsi masingmasing tentang kemampuan mereka untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi, seperti bencana, dan juga bagaimana cara meningkatkan kemampuan mereka dalam mengatasi keadaan tersebut. Resiliensi Dalam Menghadapi Bencana : Adaptasi Dalam Keadaan Sulit
Memahami Dampak Bencana Terhadap Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja, Serta Pentingnya Membangun Resiliensi 7 Apa itu Stres? Stres adalah reaksi tubuh terhadap setiap situasi yang tidak menyenangkan (stresor). Bencana seringkali menimbulkan stres yang dapat bersifat sesaat maupun berkepanjangan. Walaupun demikian, stres terkadang juga dapat memacu orang untuk menjadi lebih baik. Ada juga stres yang biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan proses alamiah dalam upaya manusia menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Stres mempengaruhi sebagai aspek kehidupan, seperti aspek fisik, emosi dan perilaku. Dampak yang terjadi dapat bersifat positif atau negatif. Pada saat seseorang stres atau marah, tubuh akan mengeluarkan hormon kortisol. Hormon tersebut penting bagi semua bagian dari tubuh untuk dapat berfungsi dengan baik. Kelebihan atau kekurangan hormon tersebut dapat menyebabkan berbagai keluhan fisik atau menjadi sakit. Pengaruh positif : stres dapat memotivasi untuk berbuat lebih baik dan dapat membuat orang mengambil langkahlangkah positif untuk mengantisipasi kemungkinan stres berikutnya, contohnya belajar untuk ulangan. Pengaruh negatif : Stres dapat menimbulkan rasa marah, sedih, tertekan, dan putus asa yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, percobaan bunuh diri, dan Iain-Iain. Apa penyebab dan gejala stres? Penyebab stres meliputi semua Diadaptasi modul pelatihan kecakapan hidup. Departemen Kesehatan RI Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa. Modul Pelatihan Meningkatkan Kesehatan Jiwa Remaja di Sekolah Melalui Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education). Jakarta: Depkes RI, 2006) kejadian atau kondisi yang dianggap sebagai ancaman terhadap pertahanan diri orang tersebut. Sampai batas tertentu, stres merupakan sesuatu yang normal dalam kehidupan sebagai reaksi terhadap perubahan lingkungan fisik atau sosial yang tak dapat dihindari. Perubahan dalam kehidupan, baik positif maupun negatif, dapat menimbulkan stres pada seseorang. Gejala yang muncul akibat stres dapat berupa gangguan fisik maupun psikologis. Gangguan fisik yang berhubungan dengan stres seperti gangguan yang berkaitan dengan sistem pencernaan (keluhan lambung dan diare), serangan jantung, sakit kepala menahun. Ketiga gangguan tersebut disebabkan oleh stimulasi berlebihan yang berlangsung secara teratur dalam jangka panjang terhadap bagian tertentu dari sistem saraf yang berkaitan dengan denyut jantung, tekanan darah dan sistem pencernaan. Terkadang istilah gangguan penyesuaian dipakai untuk masalah yang berkaitan dengan stres, seperti tidak dapat beradaptasi dalam situasi tertentu, ketidakmampuan berprestasi, kehilangan minat dan Iain-Iain. Apa dampak dari stres? Stres dapat mengganggu pikiran, mengurangi konsentrasi, membuat orang sulit mengambil keputusan,dan menjadi sangat sensitif. Stres yang berkepanjangan dan cara mengatasi stres yang tidak sehat dapat menyebabkan gangguan kesehatan.
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 8 Dampak fisik: stres mempunyai efek yang besar terhadap tubuh, misalnya tekanan darah tinggi, penyakit jantung, tukak lambung, radang sendi, dan Iain-lain. Dampak emosi: Stres yang berat biasanya diikuti oleh rasa marah, cemas, depresi, gelisah, mudah tersinggung, dan tegang. Akibat psikologis dari stres dapat pula menyebabkan penurunan harga diri, kebencian terhadap orangtua atau orang dewasa lain, kesulitan konsentrasi, kesulitan membuat keputusan, dan menyebabkan rasa tidak puas. Semua ini dapat membuat prestasi jadi buruk. Dampak perilaku: Stres yang berlangsung dalam jangka panjang, dapat mempengaruhi perilaku remaja. Akibat stres terhadap perilaku remaja biasanya direfleksikan dalam bentuk gangguan makan (sulit makan atau makan berlebihan), gangguan tidur, merokok, minum alkohol, menyalahgunakan obat dan zat terlarang lainnya, membolos, dan lain sebagainya. Bagaimana mengelola stres? Pengelolaan stres bertujuan untuk menjaga agar seseorang tetap berada pada keadaan yang sehat baik fisik maupun psikis dan merasa bahagia. Anak dan remaja dapat diajari teknik-teknik untuk mengelola stres. Dengan menerapkan teknik-teknik tersebut, anak dan remaja dapat lebih mampu mengendalikan stres dalam kehidupan mereka dan membantu mereka untuk mempertahankan tingkat stres yang rendah. Apakah latihan fisik dapat membantu mengurangi stres? Latihan fisik dan kebugaran jasmani dapat berfungsi sebagai aktivitas untuk melawan stres sehingga efek negatif terhadap kesehatan fisik dan psikologis seseorang menjadi berkurang. Terbukti bahwa latihan fisik secara teratur dapat membantu seseorang untuk tetap sehat walaupun menghadapi stres. Orang yang latihan fisik secara teratur memperlihatkan reaksi yang lebih sehat jika menghadapi stres emosional dibandingkan dengan orang yang tidak berlatih. Semua jenis latihan fisik dapat menangkal stres apabila latihan tersebut dapat membangun perasaan positif dalam diri orang tersebut sehingga dia menjadi percaya diri, efektif dan dapat mengendalikan hidupnya. Dengan demikian, latihan fisik dan dukungan sosial, sikap positif, kepribadian dan faktor lain dapat memperbaiki daya tahan terhadap stres. Saya mencari stres untuk memacu meningkatkan prestasi akademik. Apakah cara seperti ini akan berpengaruh buruk? Stres tidak dapat dihindari dalam kehidupan seseorang dan tidak selalu berakibat buruk atau merusak hidup seseorang, misalnya stres ringan dapat meningkatkan kegiatan dan prestasi seseorang sehingga orang menjadi lebih kreatif. Secara umum stres dianggap menghasilkan sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi stres juga dapat memfasilitasi perkembangan jiwa yang sehat, sehingga mekanisme pertahanan diri menjadi lebih baik dan orang tersebut
Memahami Dampak Bencana Terhadap Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja, Serta Pentingnya Membangun Resiliensi 9 lebih mampu menghadapi masalah yang beraneka ragam. Istilah “eustres” digunakan untuk reaksi stres yang positif. Perlu diingat bahwa kejadian yang menyenangkan pun dapat menimbulkan stres karena orang harus beradaptasi terhadapnya. Jadi stres dalam derajat tertentu memang diperlukan untuk kesejahteraan kita, sebab tanpa adanya stres, kita tidak mendapatkan tantang an; dengan demikian tidak berusaha beradaptasi dengan baik. Akan tetapi, bila stres berlebihan dalam jangka panjang bisa menyebabkan berbagai macam masalah fisik atau psikologis. Apa yang disebut dengan pertahanan terhadap stres? Pertahanan terhadap stres meliputi: mengenali sumber stres dalam kehidupan sehari-hari, mengenali bagaimana stres dapat mempengaruhi kita, dan bersikap sedemikian rupa sehingga dapat mengendalikan stres. Salah satu cara untuk mengendalikan sumber stres misalnya dengan melakukan perubahan terhadap lingkungan baik fisik maupun gaya hidup kita, atau belajar untuk rileks sehingga ketegangan akibat stres tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Bagaimana Bencana Dapat Memengaruhi Pertumbuhan Anak dan Remaja? Anak dan remaja bukanlah orang dewasa kecil karena mereka masih bertumbuh dan berkembang. Mereka memiliki karakteristik yang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan usianya. Dalam hubungan untuk mencapai perkembangan yang optimal diperlukan lingkungan yang dapat mendukung proses tersebut. Bencana memengaruhi lingkungan anak dan remaja, sehingga pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mereka. Kebutuhan anak dan remaja menurut Lilian Katz (1977): 1. Anak membutuhkan rasa aman, terutama secara psikologis. 2. Setiap anak perlu mempunyai harga diri. 3. Setiap anak perlu merasa dan mengalami bahwa hidupnya layak dijalani, memuaskan, menarik, dan dapat dipercaya. 4. Anak membutuhkan kehadiran orang dewasa atau anak yang lebih tua untuk membantunya memahami pengalaman mereka. 5. Anak harus mempunyai sosok orang dewasa yang berkuasa karena pengalaman dan pengetahuan yang lebih banyak serta lebih bijaksana. 6. Anak perlu berhubungan dengan orang dewasa dan anak yang lebih tua sebagai contoh perilaku yang ingin dikembangkan pada dirinya. 7. Anak perlu berhubungan dengan orang dewasa yang untuk dapat menunjukkan sesuatu yang layak dilakukan, dimiliki, diketahui, dan diperhatikan/dijaga Seperti yang dijabarkan dalam Pedoman pelaksanaan: Stimulasi, deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar (Depkes Rl, 2006), usia anak merupakan
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 10 faktor yang sangat penting dan patut diperhatikan secara khusus, karena usia anak akan mempengaruhi: • Cara anak memahami dan mengerti arti dan makna dari suatu kejadian bencana yang dialaminya. • Cara anak bereaksi terhadap kejadian bencana yang dialaminya. • Cara anak mengerti pertolongan yang diberikan kepadanya. Rujukan tersebut juga menjabarkan bagaimana kemampuan masing-masing anak untuk menghadapi bencana berbeda-beda, tergantung pada tahap usia perkembangan mereka, seperti cara berpikir, kematangan emosional, serta kemampuan mereka untuk menjalin hubungan sosial. Otak anak dan remaja berbeda dengan otak orang dewasa. Otak anak dan remaja bersifat lebih plastis (masih bisa berubah). Perkembangan otak dipengaruhi oleh pengaiaman terhadap lingkungan dan faktor potensial lainnya seperti zat yang berbahaya. Plastisitas otak memiliki efek positif dan negatif dalam proses perkembangan anak. Efek positifnya adalah otak mereka menjadi lebih terbuka terhadap pembelajaran dan pengayaan. Efek negatifnya adalah otak menjadi lebih sensitif pada lingkungan, misalnya lingkungan yang tidak mendukung sebagai hasil dari adanya keadaan bencana. Ciri dan Prinsip Tumbuh Kembang Anak Proses tumbuh kembang anak mempunyai beberapa ciri-ciri yang saling berkaitan. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut (Depkes Rl, 2006): 1. Pertumbuhan dan Perkembangan Menimbulkan Perubahan Perkembangan terjadi bersamaan dengan pertumbuhan. Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran dan jumlah sel, berarti bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh sebagian atau keseluruhan, dapat diukur dengan satuan panjang dan berat. Berbeda dengan pertumbuhan, perkembangan merupakan hasil interaksi kematangan antara susunan saraf pusat dengan organ yang dipengaruhinya, misalnya perkembangan sistem otot saraf, kemampuan bicara, emosi, dan sosialisasi. Setiap pertumbuhan disertai dengan perubahan fungsi, contohnya pertumbuhan otak dan serabut saraf akan disertai perkembangan kecerdasan seorang anak. 2. Pertumbuhan dan Perkembangan Tahap Awal Menentukan Perkembangan Selanjutnya Setiap anak tidak akan bisa melewati satu tahap perkembangan sebelum ia melewati tahapan sebelumnya. Sebagai contoh, seorang anak tidak akan bisa berjalan sebelum ia bisa berdiri. Seorang anak tidak akan bisa berdiri bila pertumbuhan kaki dan bagian tubuh lain yang terkait dengan fungsi berdiri anak terhambat. Karena itu perkembang an awal ini merupakan masa kritis karena menentukan perkembangan selanjutnya. 3. Pertumbuhan dan Perkembangan mempunyai Kecepatan yang Berbeda Terdapat perbedaan kecepatan dan pertumbuhan dan perkembangan,
Memahami Dampak Bencana Terhadap Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja, Serta Pentingnya Membangun Resiliensi 11 baik itu pertumbuhan fisik maupun perkembangan fungsi organ dan perkembangan pada masing-masing anak. 4. Perkembangan Memiliki Tahap yang Berurutan Tahap perkembangan seorang anak mengikuti pola yang teratur dan berurutan. Tahap-tahap tersebut bisa terjadi terbalik, misalnya anak terlebih dahulu mampu membuat lingkaran sebelum mampu membuat gambar kotak, anak mampu berdiri sebelum berjalan dan sebagainya. Proses tumbuh kembang anak juga mempunyai prinsip-prinsip yang saling berkaitan, yaitu (Depkes Rl, 2006): 1. Perkembangan adalah hasil proses kematangan dan belajar. Kematangan merupakan proses intrinsik yang terjadi dengan sendirinya, sesuai dengan potensi yang ada pada individu. Belajar merupakan perkembangan yang berasal dari latihan dan usaha. Melalui belajar, anak memperoleh kemampuan menggunakan sumber yang didapatkan dan potensi yang dimiliki anak. 2 Pola perkembangan dapat diramalkan. Anak-anak secara umum berkembang sesuai pola yang bersifat universal. Dengan demikian perkembangan seorang anak secara umum dapat diramalkan, meskipun setiap anak berbeda. Perkembangan berlangsung dari tahapan umum ketahapan spesifik, dan terjadi secara berkesinambungan. Perkembangan anak ditandai oleh tahapan yang umumnya dicapai pada rentang usia-usia tertentu dan bisa diamati oleh orangtua dan lingkungan sekitar. Tahapan ini adalah sesuatu yang diharapkan dicapai pada tahap perkembangan anak sesuai dengan usianya. Misalnya, anak pada umumnya belajar duduk pada usia 6 bulan dan berjalan sekitar usia 1 tahun. Bila pada usia 2 tahun seorang anak belum bisa berjalan, mungkin ada sesuatu masalah yang perlu diperiksakan. Bayi 0-2 Tahun Balita 3-5 Tahun Anak 6-18 Tahun Dewasa 19-64 Tahun Lansia >64 Tahun
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 12 Perkembangan psikososial menurut Erik Erikson ditampilkan secara khusus karena paling berkaitan dengan perkembangan emosi dan perilaku anak, sehingga mempengaruhi bagaimana anak memahami bencana dan dampaknya. la menjelaskan mengenai 8 tahap perkembangan psikososial. Masing-masing tahap perkembangan memiliki tugas yang harus diselesaikan. Perkembangan psikososial terus berlanjut walaupun tahapan tersebut belum terselesaikan dengan konsekuensi dapat terjadinya gangguan penyesuaian atau peningkatan kekuatan dalam diri seseorang. Menurut Erikson, konflik adalah proses yang terjadi dalam perkembangan yang membentuk pribadi seseorang. Penyelesaian tahapan akan tertunda bila anak atau remaja mengalami tekanan/ konflik pada periode waktu tersebut. Usia 0-1 tahun: Anak belajar membentuk kepercayaan terhadap dunia sekelilingnya. Jika terselesaikan, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang punya harapan terhadap dunia sekeiilingnya. Pengasuhan yang baik adalah modal yang kuat pada tahap ini. Adanya bencana dapat membuat anak merasa dunia tidak aman, tetapi dengan adanya orang dewasa yang menolong, menjaga dan merawat anak dalam keadaan bencana, anak dapat tetap merasa bahwa ancaman dalam kehidupan masih bisa diatasi. Usia 2-3 tahun: Pada usia ini, anak akan menjadi suka menjelajah dan mencoba berbagai hal. Jika tahap pertama dilalui dengan baik, maka muncul rasa ingin tahu yang besar dalam diri anak terhadap sekeiilingnya sehingga lingkungan yang memberi ruang/kebebasan baginya untuk bereksplorasi agar tumbuh jadi pribadi yang punya keinginan. Dalam keadaan bencana atau di pengungsian, terkadang ruang gerak anak menjadi lebih terbatas, atau para pengasuh/orangtua bisa cenderung lebih protektif terhadap anak. Untuk perkembangan yang baik, anak memerlukan ruang untuk bereksplorasi dan belajar. Usia 4-5 tahun: Di usia ini anak perlu mengembangkan inisiatifnya agar tumbuh menjadi pribadi yang memiliki tujuan hidup. Untuk itu, diperlukan lingkungan yang memberi kesempatan padanya untuk berinisiatif dan bukannya lingkungan yang serba menyalahkan tiap kali anak berusaha melakukan sesuatu sehingga menjadi anak yang dipenuhi rasa bersalah. Anak dapat menyalahkan dirinya sendiri karena kejadian bencana atau kehilangan yang terkait dengan bencana. Usia 6-11 tahun: Jika masa-masa sebelumnya dilalui dengan baik dan anak mendapat lingkungan perkembangan yang mendukung, maka anak pada usia sekolah dasar mempunyai kebutuhan untuk menunjukkan kemampuannya. la perlu punya kesempatan untuk produktif dan lingkungan yang memberi dukungan yang positif atas usaha anak untuk produktif di bidang apapun yang dikuaasainya (tidak saja matematika, tapi bisa juga bahasa, olahraga, seni, kepemimpinan, Teori Perkembangan Psikososial Anak dan Remaja Menurut Erikson
Memahami Dampak Bencana Terhadap Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja, Serta Pentingnya Membangun Resiliensi 13 dan sebagainya), agar anak dapat menjadi pribadi yang kompeten. Kesinambungan bersekolah merupakan kondisi yang sangat penting bagi anak, karena itu dalam pascabencana, memulai kembali sekolah dapat membantu anak untuk menikmati kebersamaan dengan anak-anak lain seusianya dan tidak ketinggalan dalam perkembangan dan pendidikannya. Usia12-18 tahun: Dengan bekal dari tahap-tahap sebelumnya, kini seorang remaja dengan bantuan lingkungan nya akan membentuk identitas diri yang mantap (misalnya: saya adalah orang yang jago olahraga walaupun agak lemah dalam matematika), atau sebaliknya yaitu tak mengerti siapa dirinya karena ia tak menyadari apa yang dikuasainya dan siapa temannya. Dukungan teman sebaya penting pada tahapan ini. Kehilangan teman-teman yang menjadi korban bencana atau mengungsi karena bencana dapat menjadi pukulan yang besar bagi anak usia remaja, namun mereka bisa dibantu untuk membentuk persahabatan baru dengan remaja lain yang dapat memahami pengalamannya dan saling mendukung dalam perkembangan dan pendidikan. Reaksi yang disebabkan oleh bencana tidak mudah dipahami dan diterima oleh semua orang. Tidak mengejutkan bila banyak anak menjadi takut dan bingung. Sebagai orangtua, guru, dan orang dewasa yang peduli, pendekatan terbaik yang dapat kita berikan adalah dengan mendengarkan dan menanggapinya dengan cara yang jujur, tulus, konsisten dan bersikap mendukung. Dengan menciptakan lingkungan yang terbuka membuat mereka menjadi mudah bertanya, kita dapat membantu mereka untuk beradaptasi dengan kejadian atau pengalaman yang berisiko menyebabkan masalah emosional. Anak dan remaja membutuhkan dampingan lebih khusus dari tenaga profesional bila bencana sangat mengganggu kondisi keseimbangan emosi dan perilaku dan kegiatan rutin mereka (seperti sekolah, bermain, berhubungan dengan orang di sekitarnya), terutama jika hal itu berlangsung cukup lama dan disertai dengan perubahan sikap anggota keluarga, guru, dan teman sebaya. Dalam usaha untuk membantu anak dan remaja di daerah bencana, harus ada kerjasama dari berbagai tingkat di masyarakat, termasuk pekerja kesehatan, tenaga pengajar, pekerja sosial, organisasi swasta dan umum yang bekerja dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan rakyat, sebagaimana juga orangtua mereka. Masing-masing memiliki peran tertentu dan harus bekerja bersama dan mendukung berbagai usaha untuk mengembalikan masa depan anak seoptimal mungkin Untuk itu sangat penting memahami prinsip pendekatan dukungan psikososial dan kesehatan jiwa dalam masyarakat yang berjenjang. Hal ini ditekankan oleh interAgency Standing Committee (IASC) Task Force on Mental Health and Psychosocial Memahami Sistem Pelayanan Kesehatan Jiwa Berjenjang Dalam Menghadapi Anak dan Remaja di Daerah Bencana
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 14 Support in Emergency Settings (2007). Pendekatan ini memiliki memperhatikan dukungan psikososial dan kesehatan jiwa yang berjenjang berdasarkan peran masing-masing pihak dalam masyarakat, antara lain: 1. Pelayanan dasar dan keamanan Hal ini mencakup perlindungan umum dan penyediaan kebutuhan dasar seperti makan, minum, dan tempat tinggal. Hal ini mendukung dan melindungi kesejahteraan psikososial dan mencegah masalah kesehatan jiwa. Contoh : Hal ini mencakup kesiapsiagaan dan persiapan umum darurat bencana, termasuk adanya peringatan dini dan tim reaksi cepat yang memastikan tersedianya kebutuhan dasar anak, remaja dan masyarakat di daerah bencana. 2. Dukungan kesehatan jiwa dalam keluarga dan masyarakat bertujuan menyediakan dukungan bagi anak dan remaja sesegera mungkin. Fase pertama ini fokus pada meningkatkan kapasitas keluarga dan anggota masyarakat untuk mampu menyediakan dukungan psikososial bagi anak remaja di daerah bencana. Pendidikan, pekerja kesehatan, pekerja sosial, serta organisasi pemerintah dan non pemerintah bekerja bersama kesehatan dan kesejahteraan anak. Dukungan dari orangtua, penjaga anak, ataupun relawan yang terlatih juga penting. Contoh: Bencana gempa bumi terjadi kota yang telah mengikuti kejadian peningkatan kapasitas kesehatan jiwa terkait bencana. Guru disekolah telah mengajarkan tentang gempa bumi kepada muridnya dan mana supaya tetap aman. Anak-anak tahu apa yang harus mereka kerjakan dan tidak bingung maupun takut. Anggota masyarakat dengan cepat berkumpul kembali anak-anak dengan keluarganya, mengetahui bahwa hal ini penting agar anak dapat cepat beradaptasi dan merasa aman. Orangtua mengetahui cara mendengarkan anak, memberi kesempatan bagi anak menceritakan perasaannya, dan membantu anak Pelayanan Kesehatan Jiwa Dukungan kesehatan jiwa keluarga Pelayanan dasar dan keamanan Pelayanan kesehatan jiwa spesialistik
Memahami Dampak Bencana Terhadap Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja, Serta Pentingnya Membangun Resiliensi 15 beradaptasi dengan perubahan yang terjadi akibat bencana. 3. Pelayanan kesehatan jiwa tingkat primer bertujuan untuk menyediakan konseling dan dukungan psikososial yang lebih spesifik atau terapi psikososial lainnya bagi anak dan remaja yang membutuhkan. Fase ini hampir selalu dikerjakan oleh tenaga profesional yang terlatih dalam bidang kesehatan jiwa. Contoh: Sejak ibunya meninggal karena gempa bumi, Andi, 6 tahun, mulai mengompol lagi. la juga mengalami mimpi buruk dan menolak pergi ke sekolah. la selalu mengikuti ayahnya, dan setiap kali mereka mengalami guncangan kecil, ia akan berteriak dan teringat kejadian sebelumnya seolaholah hal tersebut terjadi lagi. Ayahnya menyadari bahwa Andi membutuhkan pertolongan medis. Tenaga kesehatan yang tinggal di dekatnya menyarankan kepada ayahnya agar Andi dibawa ke pusat layanan kesehatan primer (contoh: puskesmas). Perawat dan dokter di pusat layanan kesehatan primer ini membantu Andi dengan menyediakan layanan kesehatan jiwa yang tepat yang membantunya mengatasi gejala-gejala pascatrauma. 4. Pelayanan kesehatan jiwa sekunder atau tersier bertujuan menyediakan tenaga spesialis kesehatan jiwa yang tidak terbatas pada farmakoterapi (obat), psikoterapi, dan pendekatan yang lebih khusus. Fase ini ditangani oleh psikiater anak, psikiater umum/ psikolog klinis. Contoh: Lisa adalah saudari dari ibunya Andi (kasus di atas). Lisa berusia 16 tahun, dan harus meninggalkan sekolahnya untuk mengasuh keluarga saat ayah Andi kembali bekerja. Dalam beberapa bulan sesudah gempa bumi, Lisa menjadi sering sangat sedih. Akhirakhir ini ia menolak makan, merawat Andi maupun dirinya sendiri, dan mengurung diri di kamar. Dia merasa dirinya tidak lagi berharga untuk hidup, dan mempertimbangkan cara-cara untuk mengakhiri hidupnya.Temantemannya datang mengunjungi dan memperhatikan kondisinya. Mereka menyadari bahwa Lisa memiliki kondisi yang membutuhkan spesialis kesehatan jiwa dan membawanya ke puskesmas, yang kemudian merujuknya ke rumah sakit jiwa untuk diobati. Lisa didiagnosis dengan gangguan depresi, diobati dengan tepat, dan dalam beberapa minggu dapat kembali ke rumah dan berfungsi seperti sebelumnya. Dukungan dari pekerja sosial dan sekolah lokal, Lisa dan Andi dapat kembali bersekolah. Lisa pergi kunjungan rutin, meminum obat secara teratur, merasa lebih baik dan senang.
Deteksi Dini Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak dan Remaja 17 Deteksi Dini Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak dan Remaja Setelah memahami dampak bencana terhadap kesehatan jiwa anak dan remaja, serta pentingnya membangun resiliensi. Bagian.ini membahas deteksi dini masalah emosi dan perilaku pada anak dan remaja. Salah satu instrumen yang dapat digunakan adalah kuesioner kekuatan dan kelemahan pada anak dan remaja (Strength and Difficulties Questionnaire/SDQ). Masalah kesehatan jiwa merupakan masalah yang berhubungan dengan cara berpikir, perasaan, dan bersikap. Masalah tersebut menyebabkan penderitaan bagi anak dan hendaya dalam fungsi sehari-hari. Anak dan remaja, sebagaimana juga dengan orang dewasa dapat mengalami kondisi tersebut yang secara klinis penting bagi profesional kesehatan jiwa. Walaupun demikian, baik. masalah yang dianggap “bermakna secara klinis” maupun tidak bermakna tetap membutuhkan dukungan untuk membantu anak dan remaja agar dapat mengelola pikiran, perasaan, dan perilaku mereka pascabencana. Jenis dan sumber dukungan yang dibutuhkan berbeda-beda bergantung derajat beratnya masalah mereka dan sumber daya yang ada. Contoh: Pada kasus Andi yang ada di halaman 21, kondisi Andi merupakan kondisi yang normal yaitu ingin selalu dekat dengan orangtuanya selama bencana. Dalam lal ini, masalahnya adalah bencana yang menimbulkan perubahan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari Andi sehingga Andi bereaksi seperti itu. Dengan demikian, orangtua perlu memberikan dukungan, rasa aman dan nyaman bagi Andi. Jika akhirnya Andi tidak dapat kembali bersekolah karena takut berpisah dengan orangtuanya, yang disebabkan ketidakmampuan Andi untuk mengatur pikiran, perasaan, dan perilakunya. Kondisi ini menjadi masalah kesehatan jiwa yang tidak dapat ditangani hanya oleh orangtua saja, dan memerlukan penanganan mendalam yang melibatkan sistem pelayanan kesehatan jiwa berjenjang, misalnya pelayanan kesehatan jiwa primer atau tersier. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-5 (DSM-5, 2013), gangguan jiwa didefinisikan sebagai berikut: Kumpulan gejala yang ditandai oieh gangguan klinis yang bermakna pada pikiran, regulasi emosi (mengelola perasaan), atau perilaku seseorang, yang mencerminkan adanya gangguan fungsi pada proses psikologis, biologis, atau perkembangan, yang mendasari fungsi mental. Gangguan jiwa biasanya berhubungan dengan penderitaan fisik (distres yang bermakna atau hendaya dalam kehidupan sosial, pekerjaan atau kegiatan penting lainnya. R. Irawati Ismail Tendry Septa Budi Pratiti
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 18 Masalah Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja di Daerah Bencana Bencana dapat mengakibatkan keluarga harus berpindah ke tempat pengungsian sementara. Perubahan ini menimbulkan masalah, terutama masalah kesehatan jiwa bagi individu, keluarga, dan masyarakat. Terkadang banyak orang harus tinggal bersama-sama di pengungsian sehingga kegiatan mereka sehari-hari menjadi terganggu dan mereka tidak punya ruang pribadi. Apabila kita berencana menyediakan bantuan bagi korban yang tinggal di tempat pengungsian, maka kita wajib menjamin bahwa tempat pengungsian tersebut aman bagi semua orang. Berdasarkan data WHO (2010), salah satu risiko bagi anak yang tinggal dalam pengungsian terutama anak perempuan adalah potensi untuk mengalami kekerasan, eksploitasi, dan ditelantarkan. Selain itu, stigma terhadap individu yang mengalami masalah kesehatan jiwa juga masih sering terjadi. Stigma adalah pandangan buruk dan sikap negatif terhadap orang atau kelompok tertentu. Stigma terhadap gangguan jiwa masih sangat besar. Katakata atau ungkapan yang merendahkan terhadap individu dengan gangguan jiwa masih sering terdengar dan membuat orang menjadi tidak nyaman. Seringkali masyarakat berpendapat bahwa orang dengan gangguan jiwa merupakan pribadi yang lemah atau “lemah imannya” dan tidak dapat beradaptasi dengan stres. Jika seseorang menderita gangguan jiwa, keluarga mereka seringkali menyangkal atau menyembunyikan masalah ini, seperti mereka malu atau takut dengan penilaian orang. Penting untuk diperhatikan bahwa tidak ada orang yang menghendaki atau meminta untuk menderita gangguan jiwa. Orang dengan gangguan jiwa membutuhkan perhatian, empati, dan dukungan yang tepat dari semua orang, termasuk masyarakat, petugas kesehatan, keluarga, dan sebagainya. Gangguan jiwa dapat ditangani sehingga orang dengan gangguan jiwa dapat kembali berfungsi dengan baik. Oleh karena itu, kita perlu memikirkan beberapa prinsip dasar dalam bekerja untuk menjaga keamanan anak dan remaja, serta menghindari stigma di tempat pengungsian, seperti: - Orang dewasa perlu menyadari dan bertanggung jawab terhadap anak dan remaja di sekitar mereka. - Petugas kesehatan pada pengungsian perlu bekerja sama dengan penyedia layanan perlindungan bagi anak, kesejahteraan anak, dan penegak hukum. - Penegak hukum dan badan perlindungan anak perlu segera dilibatkan bila terdapat kecurigaan yang merugikan anak oleh orang dewasa. - Pengungsian harus memiliki pedoman bagi setiap staf dan relawan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan pada anak dan remaja - Jika anak tidak bersama keluarganya, mereka harus mendapatkan perlindungan yang aman. - Identifikasi tokoh masyarakat yang
Deteksi Dini Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak dan Remaja 19 Prinsip Deteksi Dini bersedia untuk mendampingi anak agar mereka merasa aman. - Menyediakan pelatihan dukungan Perubahan emosi dan perilaku dapat timbul pada anak dan remaja pascabencana. Kondisi ini merupakan respons yang wajar terhadap kejadian yang mengguncang. Bila berkepanjangan atau ekstrim, respons tersebut menjadi masalah emosi dan perilaku yang mungkin membutuhkan intervensi. Perubahan ini bertambah buruk bagi anak tidak memahami dan tidak mengerti perubahan yang dialami dan lingkungan sekitar tidak mendukung anak untuk mengatasi keadaan tersebut misalnya gejala emosi yang mungkin dijumpai antara lain rasa sedih, cemas, uring-uringan, marah, apatis, ataupun campuran. Sedangkan, gejala perilaku dapat berupa mengurung diri dari lingkungan sekitar, agresif, kemunduran dari tahapan kemampuan yang telah diperoleh, kewaspadaan berlebihan. gugup, keluhan fisik tanpa penyebab yang jelas, gangguan konsentrasi yang dapat menurunkan prestasi belajar, gangguan tidur, membangkang, berkelahi, konsumsi alkohol, atau narkotika dan penyalahgunaan zat adiktif (NAPZA) hingga gangguan makan. Anak berusia dibawah 6 tahun masih tergantung kepada orang yang mengasuh mereka untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan. Mereka seringkali menjadi psikososial pertama bagi petugas dan relawan yang bekerja di tempat pengungsian. Perubahan emosi dan perilaku pada anak dan remaja dianggap berat jika sudah mengganggu rutinitas anak dalam kehidupan sehari-hari, seperti bermain, bersekolah, dan berhubungan dengan orang di sekitarnya. Oleh karena itu, deteksi dini penting untuk mencegah terjadinya dampak yang berat bagi kehidupan anak dan remaja setelah mengalami bencana. Prinsip deteksi dini adalah identifikasi gejala lebih awal, kemudian diikuti dengan suatu intervensi untuk melindungi atau membantu anak dan remaja terhadap kemungkinan terjadinya gangguan yang lebih berat akibat dari bencana yang dialaminya. Deteksi dini merupakan suatu strategi atau cara untuk membedakan anak dan remaja yang memerlukanpelayanan kesehatan jiwa di jenjang yang lebih rendah atau lebih tinggi. (Lihat Gambar 1) Beberapa hal yang berkaitan dengan terjadinya perubahan emosi dan perilaku dipengaruhi oleh faktor usia anak saat mengalami bencana. tidak berdaya dan pasif saat berhadapan dengan situasi yang membahayakan keselamatan jiwa mereka. Masalah Emosi dan Perilaku yang Umum Ditemui pada Anak dan Remaja yang Mengalami Bencana Diadaptasi dari Wiguna dkk (2005)
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 20 Anak-anak pada usia balita masih tidak mengerti makna kematian dan menganggap hal ini sama dengan perpisahan. Pola pikir mereka masih sangat konkret dan menganggap semua hal sama. Mereka berpikir orang yang sudah meninggal dapat kembali. Selain itu, mereka juga dapat ketakutan ketika kehilangan anggota keluarga yang selamat dari bencana. Perilaku yang perlu diamati: - Ketakutan terhadap kehadiran orang asing, suara keras, atau jika ditinggal sendirian. - Cemas perpisahan, mereka tampak tidak mau lepas dari orangtuanya atau pengasuhnya. Tampak rewel, takut tidur sendirian, merajuk, atau mengamuk bila ditinggal sendirian. - Berbagai macam masalah tidur, seperti terus terjaga sepanjang malam, mimpi buruk, dan mengigau karena mereka tidak mampu mengerti peristiwa yang menakutkan dari bencana yang di alaminya. - Kecemasan/ketakutan yang menonjol jika berhadapan dengan situasi atau tempat yang berkaitan dengan peristiwa bencana yang dialami. - Mengalami kemunduran dalam berbagai tahap perkembangan yang sudah dikuasai sebelumnya, misalnya menjadi pendiam atau bahkan tidak mau berbicara sama sekali, mengompol, atau tidak dapat menahan buang air besar, serta kembali menghisap jempol. Perubahan Emosi dan Perilaku yang Khas pada Anak Usia Sekolah Dasar (6-12 Tahun) Anak-anak usia 6-12 tahun sudah mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam berpikir, berperilaku, dan memberikan tanggapan dalam menghadapi bencana. Mereka mampu mengingat suatu kejadian dengan baik dan benar, serta mengerti makna dari peristiwa yang menimpa mereka. Anak pada usia ini menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan sebagai akibat dampak bencana dengan cara berfantasi. Dalam fantasinya, mereka seolah-olah mampu mencegah kejadian buruk dan tidak menyenangkan akibat dampak dari bencana tersebut. Dengan fantasi tersebut, anak seolah mampu melawan rasa tidak berdayanya. Hal ini seringkali tampak pada pola permainan atau cerita dari sang anak. Di sisi lain, dengan kemampuan berpikirnya membuat anak lebih mudah merasa berdosa dan menyalahkan diri sendiri. Namun dalam kenyataannya mereka tidak dapat mencegah peristiwa tersebut sehingga mereka cenderung menyalahkan diri sendiri. Anak-anak di usia ini juga sudah memahami arti kematian yang sebenarnya. Mereka mengerti, kematian adalah akhir kehidupan. Mereka tidak berharap lagi orang yang sudah meninggal akan kembali lagi. INGAT: Anak pada usia tertentu belum tentu memiliki kemampuan kecerdasan yang sama. Jadi, selalu pertimbangkan kemampuan kecedasan anak selain usia kronologisnya.
Deteksi Dini Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak dan Remaja 21 Contoh: anak berusia 10 tahun bisa saja memiliki kecerdasan di bawah usianya (5 tahun), misalnya pada anak tuna grahita/ retardasi mental. Sebaliknya, seorang anak usia 7 tahun bisa saja sudah berpikiran seperti anak yang lebih tua. Perilaku yang harus diamati : - Sulit berkonsentrasi untuk mengikuti pelajaran di sekolah. Hal ini mengakibatkan turunnya prestasi belajar di sekolah. Kondisi disebabkan oleh ingatan mereka yang terpaku terhadap kejadian bencana yang dialaminya serta dampak yang terjadi yang disertai dengan perasaan sedih atau cemas. Perhatian mereka menjadi terpecah sehingga tidak mampu memusatkan perhatiannya. Mereka juga mudah menjadi gelisah dan tidak mampu menyelesaikan tugas sekolah sehingga membuat mereka sulit belajar. - Kecemasan, berupa tingkah laku gugup seperti gagap, menggigit kuku, dan menjadi mudah tersinggung. - Masalah makan, misalnya penurunan nafsu makan. - Keluhan-keluhan fisik tanpa penyebab yang jelas. - Perilaku agresif dan memiliki banyak keinginan, misalnya menjadi sangat kasar dan ribut saat bermain atau bertingkah semaunya sendiri. Mereka tampak nakal seperti suka berteriakteriak, menjerit-jerit atau merusak barang. - Menarik diri dan pasif, misalnya menjadi sangat pendiam. Mereka tidak mau mengungkapkan perasaannya, tidak mau bermain dengan teman sebayanya. Adanya tanda-tanda kesedihan atau mudah tersingung. - Bertingkah laku seperti anak yang lebih kecil, seperti mengompol kembali di malam hari, selalu ingin tidur bersama orangtuanya lagi. Reaksi Khas pada Remaja Masa remaja adalah masa penuh dengan perubahan, baik dalam hal fisik maupun emosi. Remaja lebih mudah terpengaruh oleh kejadian-kejadian yang terjadi di sekitarnya, termasuk dampak dari bencana yang dialaminya. Kondisi ini berkaitan dengan perkembangan di masa remaja, mereka sudah memiliki kematangan berpikir, mampu mengambil kesimpulan, serta dapat memahami akibat jangka panjang dari suatu kejadian bencana. Umumnya, remaja tidak mengatasi perasaan tidak nyaman dengan berkhayal/ bermain. Mereka sudah mampu menceritakan kejadian yang dialami dan perasaannya meskipun kadang masih memerlukan bimbingan dalam mengungkapkan perasaannya secara terbuka. Di lain pihak, mereka seringkali ditimpa rasa bersalah karena tidak mampu berbuat sesuatu untuk mengubah peristiwa yang sudah terjadi atau tidak berusaha untuk mencegah kejadian tersebut. Sebagai contoh, saat orangtuanya meninggal akibat peristiwa bencana, seorang remaja dapat merasa bersalah karena ia bisa selamat sedangkan orangtuanya tidak, walaupun sebenarnya ia menyadari bahwa kejadian itu tidak bisa dicegah.
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 22 Seorang remaja seringkali terpaksa mengambil peran sebagai orang dewasa dalam menghadapi bencana walaupun emosi mereka belum matang seperti orang dewasa sesungguhnya. Bahkan, mereka sebenarnya masih membutuhkan bimbingan orang dewasa. Bagi remaja, teman sebaya dan tokoh masyarakat merupakan sosok penting yang dapat menjadi sumber dukungan sehingga mampu memberikan rasa aman dan ketenangan. Perilaku yang harus diamati: - Remaja dapat melakukan tindakan yang merusak dirinya sendiri sebagai cara untuk mengatasi rasa marah dan kesedihannya. - Remaja dapat terlibat dalam perbuatan berisiko tinggi setelah mengalami peristiwa bencana. Misalnya, berontak terhadap orang dewasa, menggunakan obat-obatan atau zat terlarang, bergabung dengan kelompok yang tidak baik, menjarah, atau mencuri. Hal ini adalah upaya meredam perasaan marah dan kecewa karena hilangnya dukungan yang ada di sekitarnya. - Timbulnya gejala depresi, seperti menjadi tertutup, sedih berkepanjangan, mudah tersinggung, menarik diri, kehilangan minat dan hobi, penurunan konsentrasi belajar, dan selalu berpikir bahwa hal buruk akan menimpa mereka lagi. Kecemasan dalam bentuk cemas terhadap masa depan dan keluhan fisik tanpa dasar penyakit fisik yang jelas.
23 Deteksi Dini Masalah Emosi dan Perilaku dengan Kuesioner Kekuatan dan kelemahan (Streght and Dif fculties questionnaire – SDQ) SDQ adalah kuesioner untuk deteksi dini masalah emosi dan perilaku pada anak dan remaja berusia 4 - 17 tahun yang berisi 25 butir pernyataan terdiri dari : 1. 5 butir untuk ranah masalah emosi 2. 5 butir untuk ranah masalah perilaku 3. 5 butir untuk ranah hiperaktivitas 4. 5 butir untuk ranah masalah hubungan dengan teman sebaya 5. 5 butir untuk ranah perilaku prososial Validasi dan reliabilitas SDQ dinilai cukup baik berdasarkan: - Konsistensi internal dari kuesioner ini baik untuk guru, orangtua, dan remaja sama baiknya jika dibandingkan dengan konsistensi internal Child Behavior Check List (CBCL). - Rata-rata korelasi momen hasil ranah SDQ adalah memuaskan (orangtuaguru 0,38; laporan guru-laporan diri 0,27; laporan orangtua-laporan diri 0.35) dan sebanding dengan korelasi rata-rata antar informan CBCL (0.34). Untuk anak yang berusia 4-10 tahun, kuesioner SDQ dapat diisi oleh orangtua atau guru. Sedangkan, bagi remaja berusia 11-17 tahun, SDQ dapat diisi oleh yang bersangkutan. Interprestasi kuesioner SDQ untuk anak yang cerusia 4-10 tahun dan 11-17 tahun berbeda. (Lihat penjelasan selanjutnya) Setiap pernyataan di dalam kuesioner SDQ dijawab dengan tidak benar, agak benar, dan benar. Pada umumnya, jawaban tidak benar diberi nilai 0, jawaban agak benar diberi nilai 1, dan jawaban benar diberi nilai 2, kecuali pada pernyataan nomor 7, 11, 14, 21, dan 25, maka jawaban tidak benar diberi nilai 2, jawaban agak benar diberi nilai 1, dan jawaban benar diberi nilai 0 (Lihat lembar kuesioner SDQ yang diberi tanda *). Penilaian SDQ Jumlah nilai total kesulitan didapat dari menjumlahkan nilai total ranah masalah emosi, masalah perilaku, ranah masalah hiperaktivitas, ranah masalah hubungan dengan teman sebaya, yaitu: 1. Nilai ranah masalah emosi, yaitu menjumlahkan pernyataan nomor 3, 8, 13, 16, dan 24. 2. Nilairanah masalah perilaku, yaitu menjumlahkan pernyataan nomor 5, 7, 12, 18, dan 22. 3. Nilai ranah masalah hiperaktivitas, yaitu menjumlahkan pernyataan nomor 2, 10, 15, 21, dan 25. 4. Nilai ranah masalah hubungan teman sebaya yaitu menjumlahkan pernyataan nomor 6, 11, 14, 19, dan 23. Jumlah nilai ranah prososial merupakan penjumlahan dari pernyataan nomor 1, 4, 9, 17, dan 20 yang mencerminkan kekuatan dalam diri anak dan remaja. (Robert Goodman, 1997) Untuk iformasi lebih lanjut, lihat: http://www.sdqinfo.org/
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 24 Interprestasi hasil kuesioner SDQ dapat diambil berdasarkan : Anak usia 4-10 tahun (diisi oleh orangtua) Kuesioner SDQ Kategori Normal Sedikit tinggi Tinggi Sangat tinggi Nilai total kesulitan 0-13 14-16 17-19 20-40 Nilai ranah masalah emosi 0-3 4 5-6 7-10 Nilai ranah masalah perilaku 0-2 3 4-5 6-10 Nilai ranah masalah hiperaktivitas 0-5 6-7 8 9-10 Nilai ranah masalah hubungan teman sebaya 0-2 3 4 5-10 Nilai ranah prososial 8-10 7 6 0-5 Anak usia 4-10 tahun (diisi oleh guru) Kuesioner SDQ Kategori Normal Sedikit tinggi Tinggi Sangat tinggi Nilai total kesulitan 0-11 12-15 16-18 19-40 Nilai ranah masalah emosi 0-3 4 5 6-10 Nilai ranah masalah perilaku 0-2 3 4 5-10 Nilai ranah masalah hiperaktifitas 0-5 6-7 8 9-10 Nilai ranah masalah hubungan teman sebaya 0-2 3-4 5 6-10 Nilai ranah prososial 6-10 5 4 0-3 Anak usia 11-17 tahun Kuesioner SDQ Kategori Normal Sedikit tinggi Tinggi Sangat tinggi Nilai total kesulitan 0-14 15-17 18-19 20-40 Nilai ranah masalah emosi 0-4 5 6 7-10 Nilai ranah masalah perilaku 0-3 4 5 6-10 Nilai ranah masalah hiperaktivitas 0-5 6 7 8-10 Nilai ranah masalah hubungan teman sebaya 0-2 3 4 5-10 Nilai ranah prososial 7-10 6 5 0-4
Deteksi Dini Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak dan Remaja 25 Kuesioner SDQ untuk Anak Usia 4-10 Tahun (Diisi oleh orangtua dan/atau guru) Untuk setiap pernyataan, beri tanda (V) pada kotak tidak benar, agak benar, atau benar. Akan sangat membantu kami apabila Anda mau menjawab semua pernyataan sebaik mungkin meskipun Anda tidak yakin benar. Berikan jawaban Anda menurut perilaku anak selama enam bulan terakhir atau selama tahun ajaran ini. Nama anak : Tanggal lahir : No. Pernyataan Kode Skor Tidak Benar Agak Benar Benar 1. Dapat mempedulikan perasaan orang lain Pr 1 2. Gelisah, terlalu aktif, tidak dapat diam untuk waktu lama H 1 3. Sering mengeluh sakit kepala, sakit perut atau sakit-sakit lainnya E 1 4. Kalau mempunyai mainan, kesenangan, atau pensil, anak bersedia berbagi dengan anak-anak lain Pr2 5. Sering sulit mengendalikan kemarahan C 1 6. Cenderung menyendiri, lebih suka bermain seorang diri P 1 7. Umumnya bertingkah laku baik, biasanya melakukan apa yang disuruh oleh orang dewasa C 2* 8. Banyak kekhawatiran atau sering tampak khawatir E 2 9. Suka menolong jika seseorang terluka, kecewa, atau merasa sakit Pr3 10. Terus menerus bergerak dengan resah atau menggeliat-geliat H 2 11. Mempunyai satu atau lebih teman baik P2* 12. Sering berkelahi dengan anak-anak lain atau mengintimidasi mereka C 3 13. Sering merasa tidak bahagia, sedih atau menangis E 3
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 26 14. Pada umumnya disukai oleh anak-anak lain P3* 15. Mudah teralih perhatiannya, tidak dapat berkonsentrasi H 3 16. Gugup atau sulit berpisah dengan orangtua/pengasuhnya pada situasi baru, mudah kehilangan rasa percaya diri E4 17. Bersikap baik terhadap anak-anak yang lebih muda Pr 1 18. Sering berbohong atau berbuat curang C4 19. Diganggu, dipermainkan, diintimidasi atau diancam oleh anak-anak lain P4 20. Sering menawarkan diri untuk membantu orang lain (orangtua, guru, anak-anak lain) Pr5 21. Sebelum melakukan sesuatu ia berpikir dahulu tentang akibatnya H 4* 22. Mencuri dari rumah, sekolah atau tempat lain C 5 23. Lebih mudah berteman dengan orang dewasa daripada dengan anak-anak lain P5 - 24. Banyak yang ditakuti, mudah menjadi takut E5 25. Memiliki perhatian yang baik terhadap apapun, mampu menyelesaikan tugas atau pekerjaanrumah sampai selesai H 5* Keterangan: Pr : Nilai ranah prososial E : Nilai ranah masalah emosi H : Nilai ranah masalah hiperaktivitas C : Nilai ranah masalah perilaku P : Nilai ranah masalah hubungan dengan teman sebaya *Nilai jawaban tidak benar = 2, agak benar = 1, dan benar = 0
Deteksi Dini Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak dan Remaja 27 Kuesioner SDQ untuk Anak Usia 11 - 17 Tahun (Diisi oleh yang bersangkutan) Untuk setiap pernyataan, beri tanda (V) pada kotak kolom sesuai dengan pilihan Anda. sebagaimana terjadi pada dirimu selama enam bulan terakhir (semua harus dijawab) Nama : .................................................. laki-laki/perempuan Tanggal pengisian : Tanggal lahir (umur) : ....................................................... Tanda tangan : No. Pernyataan Kode Skor Tidak Benar Agak Benar Benar 1. Saya berusaha bersikap baik kepada orang lain Saya peduli dengan perasaan mereka Pr 1 2. Saya gelisah, saya tidak dapat diam untuk waktu lama H 1 3. Saya sering sakit kepala, sakit perut atau macam-macam sakit lainnya E 1 4. Kalau saya memiliki mainan, CD atau makanan, saya biasanya berbagi dengan orang lain Pr2 5 Saya menjadi sangat marah dan sering tidak dapat mengendalikan kemarahan saya C 1 6. Saya lebih suka sendirian daripada bersama dengan orang-orang yang seumur saya P1 7. Saya biasanya melakukan apa yang diperintahkan oleh orang lain C2* 8. Saya banyak merasa cemas atau khawatir terhadap apapun E2 9. Saya selalu siap menolong jika ada orang yang terluka, kecewa atau merasa sakit Pr3 10. Bila sedang gelisah atau cemas, badan saya sering bergerak-gerak tanpa saya sadari H 2 11. Saya mempunyai satu atau lebih teman baik P2* 12. Saya sering bertengkar dengan orang lain. Saya dapat memaksa orang lain melakukan apa yang saya inginkan C 3
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 28 13. Saya sering merasa tidak bahagia, sedih atau menangis E3 14. Orang lain seumur saya pada umumnya menyukai saya P3* 15. Perhatian saya mudah teralihkan, saya sulit memusatkan perhatian pada apapun H 3 16. Saya merasa gugup dalam situasi baru. Saya mudah kehilangan rasa percaya diri E4 17. Saya bersikap baik terhadap anak-anak yang lebih muda Pr 1 18. Saya sering dituduh berbohong atau berbuat curang C4 19. Saya sering diganggu atau di permainkan oleh anak-anak / remaja lain P4 20. Saya sering menawarkan diri untuk membantu orang lain (orangtua, guru, anak-anak lain) Pr5 21. Sebelum melakukan sesuatu saya berpikir dahulu tentang akibatnya H4* 22. Saya mengambil barang yang bukan milik saya dari rumah, sekolah atau darimana saja C5 23. Saya lebih mudah berteman dengan orang dewasa daripada dengan orang-orang seumur saya P5 24. Banyak yang ditakuti. Saya mudah menjadi takut E 5 25. Saya menyelesaikan pekerjaan yang sedang saya lakukan. Saya mempunyai perhatian yang baik terhadap apapun H 5* Keterangan: Pr: Nilai ranah prososial E: Nilai ranah masalah emosi H: Nilai ranah masalah hiperaktivitas C: Nilai ranah masalah perilaku P: Nilai ranah masalah hubungan dengan teman sebaya *Nilai jawaban tidak benar = 2, agak benar = 1, dan benar = 0
Deteksi Dini Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak dan Remaja 29 Rujukan Bagi Anak dan Remaja yang Mengalami Gangguan Emosi dan Perilaku Akibat Bencana Berdasarkan nilai total kesulitan kuesioner SDQ dan nilal masing-masing ranah kesulitan (ranah masalah emosi, ranah masalah perilaku, ranah hiperaktivitas, dan ranah masalah dengan teman sebaya), maka ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus, yaitu jika jumlah nilai tersebut berada pada kategori tinggi dan sangat tinggi, maka anak atau remaja tersebut perlu dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan jiwa primer ataupun sekunder. Masalah emosi atau perilaku anak dapat merupakan tanda dari gangguan Jiwa, tetapi bisa juga hanya merupakan bagian dari reaksi normal yang muncul akibat bencana. Dengan demikian, kategori normal dan sedikit tinggi juga perlu mendapatkan perhatian berupa dukungan kesehatan jiwa dalam keluarga dan masyarakat agar reaksi normal tersebut tidak berkembang menjadi gangguan yang lebih berat. Untuk memastikan apakah seorang anak atau remaja memiliki gangguan mental, maka mereka harus dirujuk ke fasilitas kesehatan primer, sekunder, atau tersier dan menjalani pemeriksaan psikiatrik dan status mental yang cermat. Jika diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya untuk memastikan permasalahan yang ada.
31 Perumusan Masalah Kesehatan Jiwa pada anak dan Remaja di Daerah Bencana: fokus pada aspek Biospsikososial Setelah memahami dampak bencana terhadap kesehatan jiwa anak dan remaja, serta pentingnya membangun resiliensi, dan bagaimana melakukan deteksi dini masalah emosi dan perilaku pada anak dan remaja, bagian ini akan menjelaskan bagaimana cara merumuskan masalah kesehatan jiwa pada anak dan remaja yang mengalami peristiwa bencana. Bagian ini menjabarkan beberapa hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merumuskan permasalahan kesehatan jiwa anak dan remaja yang terkena dampak bencana sehingga pemahaman kita terhadap anak, remaja dan keluarga menjadi lebih baik. Perumusan masalah kesehatan jiwa dilakukan setelah anak terdeteksi mengalami masalah emosi dan perilaku, yaitu dengan cara mengumpulkan berbagai informasi dari sumber-sumber, seperti keluarga anak/pengasuh, sekolah, tes psikologis (jika memungkinkan) dan sumber potensial lainnya. Proses ini melibatkan berbagai aspek kehidupan seperti aspek biologis, psikologis, dan lingkungan termasuk orangtua serta lingkungan kehidupan anak dan remaja lainnya, sehingga disebut aspek biopsikososial; dengan tujuan untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai permasalahan kesehatan jiwa anak dan remaja tersebut. Noorhana SWR Fransiska Kaligis
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 32 Perumusan Masalah Kesehatan Jiwa dalam Aspek Bio-Psikososial Permasalahan kesehatan jiwa yang dihadapi anak dan remaja dapat diartikan sebagai kesulitan yang dialami oleh anak dan remaja tersebut yang dapat berasal dari dirinya sendiri (faktor internal) atau faktor di luar anak tersebut (faktor eksternal) seperti keluarga, teman sebaya atau sekolah. Masalah kesehatan jiwa yang terlihat perlu dikategorikan dan dibuat konteks yang lebih spesifik terutama pada saat kesulitan tersebut muncul, sebagai contoh : - Agresi yang tiba-tiba muncul di sekolah - Ketidakmampuan untuk memusatkan perhatian atau melamun di kelas - Perubahan suasana perasaan yang cepat di rumah dan di sekolah - Interaksi sosial yang buruk dengan teman sebaya - Kecemasan mengenai ujian - Penolakan sekolah Untuk merumuskan masalah kesehatan jiwa tersebut, maka perlu ditinjau dari aspek biopsikososial yang bertujuan untuk memahami kesehatan jiwa anak dan remaja yang lebih komprehensif. Dengan demikian, perlu diperhatikan beberapa faktor, seperti: 1. Faktor Kerentanan Faktor ini membuat anak dan remaja lebih rentan mengalami masalah kesehatan jiwa yaitu berupa: a. Kerentanan biologis: - Kerentanan genetik - Kondisi saat kehamilan ibu yang kurang optimal (contoh: usia ibu yang tua saat kehamilan, kurang gizi, merokok, konsumsi alkohol, penggunaan obat-obatan terlarang, penyakit ibu saat kehamilan) - Komplikasi selama persalinan (contoh: kerusakan otak akibat kesalahan penggunaan alat dalam proses persalinan, persalinan sungsang, gangguan dari ariari, persalinan yang sulit) - Mengalami cedera kepala, penyakit, dan gangguan lainnya (contoh: kejang demam, penyakit ayan, kencing manis pada anak, asma, ataupun kanker) b. Kerentanan Psikologis: - Temperamen anak (misalnya anak memiliki karakter mudah atau sulit bergaul) Rendahnya kecerdasan (IQ) sebagai faktor risiko dari gangguan perilaku atau kesulitan belajar - Rendahnya rasa percaya diri dan kurangnya kontrol diri sebagai faktor risiko gangguan perilaku dan emosional c. Kerentanan Sosial: - Hubungan orangtua-anak - Kelekatan orangtua-anak - Pola asuh orangtua (otoriter, permisif, atau pengabaian) - Keluarga yang tidak harmonis - Tekanan dan kekerasan pada anak - Perpisahan dan dukacita
Perumusan Masalah Kesehatan Jiwa pada anak dan Remaja di Daerah Bencana: fokus pada anak Biospsikososial 33 • Anak yang berada di rumah perlindungan 2. Faktor Pencetus Merupakan faktor pencetus timbulnya masalah kesehatan jiwa pada anak dan remaja. Faktor ini dapat muncul secara mendadak atau bertahap, segera setelah anak lahir atau pada periode perkembangan anak selanjutnya. 3. Faktor yang Mempertahankan Adalah faktor yang mempertahankan masalah kesehatan jiwa pada anak dan remaja sehingga terus-menerus ada, yaitu: a. Aspek Biologis Gangguan pengaturan dari beberapa sistem fungsi tubuh, misalnya: - Perubahan hormonal yang berkaitan dengan pubertas (akil balik) sehingga menyebabkan anak yang mengalami depresi - Gangguan fungsi tiroid pada anak yang menyebabkan gangguan cemas - Gangguan siklus tidur sehingga sulit fokus pada sesuatu (gangguan atensi) b. Aspek Psikologis - Rendahnya kepercayaan diri - Kecenderungan sifat atau sikap anak yang menyulitkan, misalnya: + Kecenderungan sifat depresi + Kecenderungan sikap bermusuhan - Gangguan fungsi kognitif, misalnya: Cara pandang yang terganggu terhadap situasi yang menekan, sehingga menghasilkar kecemasan dan depresi - Strategi adaptasi yang ter ganggu Dalam beradaptasi dengan situasi yang tidak nyaman anak cenderung berfokus pada masalah, emosi, atau cenderung menghindar c. Aspek Sosial: - Dorongan yang tiak sesuai dari orang-orang di sekitar anak - Keterlibatan orangtua atau lingkungan yang berlebihan - Disiplin yang tidak konsisten - Pola komunikasi yang membingungkan - Ketidakhadiran salah satu figur orangtua - Sikap dan perilaku orang d sekitar yang buruk dan membuat anak mencontoh - Kurangnya dukungan sosial - Tekanan hidup seperti orangtua tidak bekerja, kesulitan keuangan - Sekolah yang tidak sesuai - Tekanan teman sebaya - Tim bantuan yang tidak terkoordinasi dengan baik 4. Faktor Pelindung Faktor yang melindungi agar masalah kesehatan jiwa pada anak dan remaja tidak berlanjut atau semakin
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 34 Sosial Contoh: hƵbƵngan orang tƵa-anak Biologis Contoh : kerentanan geneƟk Psikologis Contoh : Ɵngkat kecerdasan Biologis Contoh : kesehatan LJang baik Psikologis Contoh : PercaLJa diri Ɵnggi Sosial Contoh : hƵbƵngan kelƵarga dekat Faktor kerentanan Biologis Contoh : GanggƵan Hormonal Psikologis Contoh : GanggƵan KogniƟf Sosial Contoh : Tekanan Teman SebaLJa Faktor mempertahankan Faktor Pencetus Contoh : penLJakit, penceraian orang tƵa Faktor Pelindung Masalah emosi Masalah Perilaku buruk. Faktor ini berpengaruh pada keberlangsungan masalah kesehatan jiwa tersebut dan keberhasilan dalam tata laksana. a. Faktor Pelindung Biologis: - Kesehatan fisik yang baik - Tidak adanya riwayat keluarga - Proses persalinan normal - Tidak ada riwayat gangguan medis yang berat - Cukup nutrisi dan olahraga - Usia b. Faktor Protektif Psikologis: - Temperamen anak yang baik - Kemampuan intelektual yang tinggi - Percaya diri yang tinggi - Kemampuan mengatur diri (emosi dan perilaku) - Kontrol diri yang baik - Optimistik - Strategi adaptasi diri yang baik c. Faktor Sosial: - Tim bantuan terapi yang terpadu - Dukungan keluarga untuk membantu anak - Kelekatan yang secure/aman Anak & Remaja
35 Pertolongan Psikologis Pertama dan Intervensi Krisis Bagi anak dan Remaja di daerah Bencana Anak yang mengalami bencana dapat memiliki berbagai masalah emosi dan perilaku. Banyak laporan yang menyatakan bahwa anak dengan bencana cenderung memilikii perilaku yang tidak adaptif (Conaway dan Hansen,.1989). Untuk itu, perlu diidentifikasi semua masalah emosi dan perilaku tersebut, baik oleh orangtua, guru, maupun Anak. Yang lebih penting adalah para profesional kesehatan jiwa anak dan remaja perlu memperhatikan seluruh aspek kehidupan anak dan tidak memusatkan perahatian pada kejadian bencana saja. Setelah memahami dampak bencana terhadap kesehatan jiwa anak dan remaja, deteksi dini masalah emosi dan perilaku pada anak dan remaja, serta perumusan masalah kesehatan jiwa dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memahami kesehatan jiwa anak dan remaja yang terkena dampak bencana. Bagian terakhir ini membahas berbagai dukungan psikologis yang dapat dilakukan pada anak dan remaja yang terkena dampak bencana, intervensi krisis serta tips untuk mengatasi stress pada anak dan remaja termasuk hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengkomunikasikan berbagai isu terkait bencana pada anak dan remaja untuk membangun resiliensi. Dukungan yang utama adalah bantuan pertama psikologis (Psychological First Aid). Bentuk dukungan ini dapat diberikan di lapangan oleh orang awam yang terlatih. Untuk anak dan remaja yang mengalami masalah emosi dan perilaku, maka dukungan sebaiknya dilakukan oleh tenaga profesional (seperti psikolog atau psikiater). Tak kalah pentingnya, orang yang mendukung anak dan remaja di daerah bencana perlu memperhatikan kesehatan jiwa diri sendiri, antara lain dengan mencegah burn out atau kelelahan. Sress berat dapat mengakibatkan perubahan mendalam dan berkepanjangan terhadap pikiran, perasaan, dan perilaku anak maupun remaja. Selama ini, respon anak stres atau trauma kurang dikenali dan dipelajari dibandingkan dengan respon orang dewasa. Pada anak, respon tersebut dipengaruhi oleh tahap perkembangan karena respons anak kemampuan anak untuk mengenali tanda bahaya, ancaman, makna suatu kejadian, integritas pribadi, resiliensi, harapan tentang pemulihan, dan dampaknya terhadap kehidupan anak tersebut. (Pynoosetal. 1995). Bencana yang dialami mempengaruhi pikiran, emosi, perilaku, dan sistem biologis anak, serta seringkali mengubah rencana, harapan, dan konsep anak terhadap dunia sekitarnya. Akibatnya, pandangan mereka terhadap masa depan juga berubah. Kondisi tersebut berpengaruh negatif pada emosi dan perilaku anak di saat ini dan di masa mendatang. Oleh karena itu, anak dan remaja yang mengalami bencana membutuhkan pendekatan intervensi psikososial yang spesifik, misalnya pertolongan pertama psikologis (psichological First Aid). (Brymer, 2006) Intervensi tersebut adalahteknik yang dapat diaplikasikan baik di pelayanan kesehatan primer, pusat kesehatan jiwa anak, serta ruang kelas, tempat-tempat lainnya. Tjhin Wiguna Fransiska Kaligis Hasrini Romawi Theresia Citraningtyas
36 Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja Pertolongan Pertama Psikologis (Psychological First Aid) dan Penanganan Krisis pada Anak dan Remaja Tindakan utama pertolongan pertama psikologis untuk anak dan remaja menurut The Psychological First Aid for School: Field Operation Manual (Brymer, 2006), yaitu: 1. Kontak dan membina hubungan: menjangkau atau menanggapi dengan tidak memaksa (respon non-intrusif), penuh kasih, dan dengan cara yang menolong 2. Keselamatan dan kenyamanan: meningkatkan rasa aman pada anak dan remaja segera maupun berkelanjutan; memberikan kenyamanan fisik dan emosional. 3. Stabilisasi: membantu menenangkan anak dan remaja yang bingung atau kewalahan. 4. Pengumpulan informasi: mengidentifikasi kebutuhan dan kekhawatiran saat ini. 5. Memberikan bantuan praktis sesuai dengan kebutuhan mereka agar mereka mampu membantu diri mereka sendiri. 6. Memberikanakses dukungan sosial: membantu mereka untuk dapat segera menjalin kontak dengan keluarga inti atau sumber dukungan lain, termasuk keluarga, teman, guru, sekolah, atau sumber daya yang ada di masyarakat. 7. Memberikan informasi tentang reaksi stres dan berupaya untuk mengurangi penderitaan serta meningkatkan fungsi adaptif (lihat bagian pada stres dan manajemen stres di atas). 8. Memberikan akses ke pusat layanan masyarakat yang mungkin dibutuhkan. Menurut Schreiber dan Gurwitch (2006), prinsip mudah untuk memberikan Psychological First Aid untuk anak adalah “Dengar, Lindungi, dan Hubungkan”, yaitu: 1. Memperhatikan yang anak dan remaja katakan dan lakukan. Sampaikan bahwa Anda hadir untuk mendengarkan mereka ketika mereka membutuhkan seseorang untuk diajak bicara. 2. Cari cara untuk membuat anak dan remaja merasa aman dan nyaman. Sampaikan pada mereka bahwa ada hal-hal yang akan berjalan normal kembali. Pastikan mereka bebas dari eksploitasi dan bahaya lebih lanjut. 3. Menjangkau, membantu anak-anak agar terhubung kembali dengan keluarga mereka, anak lain, dan layanan yang tersedia sehingga mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian, dan orang lain peduli akan mereka. Anakdan remaja juga membutuhkan kesempatan yang membantu mereka merasa dapat melakukan hal-hal untuk memperbaiki situasi mereka dan bahkan membantu orang lain. Untuk informasi lebih lanjut tentang Pertolongan Pertama Psikologis (Psychological First Aid), lihat www.NCTSN. org dan http://learn.nctsn.org/course/ category. php?id= 11
Pertolongan Psikologis Pertama dan Intervensi Krisis Bagi anak dan Remaja Didaerah Bencana 37 Panduan Menciptakan Lingkungan yang optimal untuk mencegah timbulnya Masalah emosi dan perilaku pada anak dan remaja Diadaptasi dari Wiguna et al. (2005) 1. Untuk usia 4-10 tahun Panduan untuk petugas kesehatan, orangtua, pekerja sosial, dan masyarakat umum - Anak sering kali mengungkapkan kejadian dan perasaan yang dialami secara berulang-ulang. Orangtua sebaiknya meluangkan waktu dan mendengarkan dengan sabar. - Pahami perasaan dan isi pikiran anak dengan cara berdiskusi dengan mereka mengenai pengalaman buruk akibat bencana yang dialami. - Bantu anak untuk menceritakan hal-hal yang menyusahkan hati dan pikiran mereka. - Orangtua sebaiknya mendengarkan secara aktif apa yang diceritakan anak mereka. Mendengar secara aktif berarti mendengarkan secara sensitif, menunjukkan ketertarikan, serta mampu dan siap untuk berbagi dengan anak. Dengan demikian, orangtua dapat menumbuhkan perasaan aman, rasa percaya dan kasih sayang dalam diri sang anak, serta menolong anak untuk menyesuaikan diri dengan pengalaman menyakitkan yang timbul akibat peristiwa bencana. - Cobalah untuk mempertahankan rutinitas sehari-hari anak seperti biasa. Kondisi ini akan memberikan rasa aman dan meningkatkan rasa percaya diri anak. - Jika memungkinkan, diharapkan anak kembali ke sekolah sesegera mungkin, bermain lagi dengan teman-temannya, serta menjalankan pola makan dan tidur dengan teratur. - Berilah kesempatan kepada anak untuk meredakan ketegangan mental emosional yang terjadi akibat pengalaman buruk di masa bencana, misalkan dengan bermain atau menggambar. Kegiatan-kegiatan tersebut akan membantu anak memahami dirinya serta menyesuaikan dirinya dengan pengalaman buruk akibat peristiwa bencana. Panduan untuk pendidik (guru, petugas kesehatan, pemuka agama, dsb.) - Ingatlah bahwa peran sekolah sangat penting, yakni sebagai salah satu sarana yang dapat menyeimbangkan perasaan anak yang mengalami peristiwa bencana. Kegiatan sekolah adalah sumber kekuatan dalam kehidupan anak sehari-hari, terutama jika pelajaran terus berlangsung dan guru tetap mengajar seperti biasa.
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 38 - Biarkan anak-anak berbagi perasaan mereka. Ruang kelas dapat menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi anak untuk berbagi perasaan dan pengalaman mereka. - Yakinkan anak-anak bahwa reaksi mereka terhadap pengalaman buruknya adalah hal yang wajar. Para pendidik sebaiknya memahami reaksi mental emosional anak dengan baik, sehingga dapat memahami apa yang terjadi didalam diri anak dengan jelas dan mendukung mereka untuk meredakan ketegangan yang ada. - Gunakan kegiatan-kegiatan rutin di dalam kelas sebagai usaha untuk membantu anak mengungkapkan perasaan dan pengalaman mereka yang tidak menyenangkan. Hal ini berguna untuk menolong dan mengembalikan kontrol diri anak secara bersama-sama. Kegiatan dapat berupa mengarang,menggambar atau membuat puisi. - Ciptakan kegiatan ekstra di luar jam pelajaran, misalnya bernyanyi bersama, olahraga atau kegiatan kesenian lainnya. Hal ini bertujuan untuk memulihkan rasa percaya diri dan juga membantu anak untuk menyesuaikan diri dengan kondisi pascabencana. - Ciptakan dan pertahankan lingkungan seperti lingkungan kelas sebagaimana biasanya karena kondisi ini akan membantu anak-anak untuk lebih berkonsentrasi dalam mengerjakan tugas-tugas mereka. - Temukan anak yang memiliki masalah belajar atau masalah mental emosional lainnya. Bantulah anak-anak ini dan orangtuanya untuk mendapatkan dukungan dan pelayanan kesehatan yang sesuai. Adakan pertemuan dengan orangtua untuk merencanakan kegiatan yang dapat menolong anak. 2. Untuk Remaja Usia 11-17 Tahun Panduan untuk petugas kesehatan, orangtua, pekerja sosial, dan masyarakat umum - Bantu remaja untuk membagi pengalamannya dengan kawan-kawan sebayanya. Kelompok teman sebaya juga merupakan sumber rasa aman di antara para remaja. Berkumpul dengan teman sebaya setelah mengalami peristiwa yang menyakitkan dan tidak mengenakkan akan membawa manfaat besar pada remaja, dan usaha seperti ini sebaiknya didukung. - Bantu remaja mendapatkan informasi yang benar tentang peristiwa bencana yang dialaminya untuk meningkatkan keyakinan mereka. Remaja yang dilibatkan dalam hal-hal positif seperti membantu mencari korban lain dan membangun kembali tempat tinggalnya dapat terhindar dari beberapa dampak negatif yang terjadi akibat pengalaman buruk pada waktu peristiwa bencana. - Diskusikan dengan remaja mengenai peran mereka sebagai generasi penerus dalam usaha membangun kembali daerah dan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Informasi ini dapat menolong para remaja untuk merasa lebih mampu mengendalikan kehidupannya, dan ini menjadi dasar bagi tumbuhnya pemikiran akan peran mereka di kemudian hari.
Deteksi Dini Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak dan Remaja 39 - Berikan dukungan untuk terlibat dalam kegiatan yang bertujuan memperbaiki keadaan di dalam masyarakat. Jika memungkinan, remaja dapat diikutsertakan dalam kegiatan masyarakat yang positif, seperti kegiatan masyarakat yang diadakan oleh organisasi lokal, rumah sakit, pendidikan di lokasi pengungsian, dan lain sebagainya. Melakukan kegiatan positif seperti ini akan membuat remaja merasa punya kendali terhadap hidup mereka. Panduan untuk pendidik (guru, petugas kesehatan, pemuka agama, dsb.) - Gunakan ruangan kelas sebagai sarana untuk berbagi mengenai perasaan tidak enak dan reaksi mereka akibat peristiwa bencana yang dialaminya. Selain itu, ruangan kelas juga merupakan tempat untuk berbagi perasaan khawatir tentang masa depan. Melalui kegiatan tersebut, mereka akan merasa bahwa ada teman sekelas dan orang dewasa lainnya yang peduli akan perasaan dan kehidupan mereka, sehingga mereka merasa tidak sendirian. Para pendidik dapat memimpin diskusi mengenai hal ini dan membantu remaja menemukan caracara yang positif untuk membangun kehidupan mereka di masa mendatang. - Usulkan kegiatan-kegiatan yang positif, seperti membentuk kelompok diskusi untuk membahas dampak bencana terhadap kehidupan masyarakat, masa depan dan cita-cita mereka. Para pendidik juga dapat mengkoordinasikan pertemuan dengan para ahli dalam beberapa bidang (agama, kesehatan, kebudayaan, dan Iain-Iain) untuk berdiskusi mengenai hal-hal di atas. Kegiatan ini bertujuan untuk menolong remaja mengatasi perasaan tidak berdaya, membangkitkan rasa percaya diri mereka, dan mampu memahami kondisi yang terjadi di sekeiilingnya. - Gunakan kedudukan Anda sebagai panutan untuk mempengaruhi remaja agar tidak ikut serta dalam segala tindakan negatif, seperti pemakaian zat-zat terlarang dan perbuatan melanggar hukum lainnya. Bagi remaja, guru merupakan panutan atau teladan yang berpengaruh. Mereka dihormati, disegani dan sering diminta nasihatnya. Oleh karena itu, para pendidik bisa mempengaruhi remaja dengan cara menekankan pentingnya pendidikan sebagai salah satu jalan menuju masa depan yang lebih cerah, serta memperingatkan remaja yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dapat menghancurkan masa depan mereka. - Kadangkala para pendidik juga merupakan tempat bertanya. Oleh karena itu, siapkan diri Anda untuk memberikan panduan untuk hal-hal yang bersifat praktis seperti mengatur waktu belajar yang efisien, mengelola masalah-masalah yang berhubungan dengan perasaan, serta mengendalikan pikiran-pikiran negatif yang ditimbulkan oleh peristiwa yang tidak menyenangkan akibat bencana.
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 40 Itervensi Krisis (Robert Ar dan Yeager KR, 2009) Masalah Emosi dan Perilaku yang umum ditemui Pada anak dan remaja yang mengalami bencana Selain Psychological First Aid, profesional kesehatan mungkin perlu melakukan penanganan krisis yang timbul. Langkah-langkah dalam melakukan intervensi krisis mencakup : 1. Merencanakan dan melakukan penilaian atas bahaya secara menyeluruh (aspek biopsikososial) 2. Membangun hubungan kerjasama 3. Mengidentifikasi masalah utama, termasuk tindakan yang membahayakan atau merugikan diri, sulit tidur, flashback, menghindar, kewaspadaan dan menumpulnya perasaan. 4. Memungkinkan eksplorasi perasaan jika anak dan remaja menghendakinya, tapi jangan memaksa anak atau remaja untuk menceritakan kisah mereka bila mereka tidak siap. 5. Melihat kemampuan adaptasi remaja dan membicarakan strategi adaptasi alternatif/baru. 6. Mengembalikan fungsi melalui pelaksanaan rencana aksi yang telah disusun. 7. Merencanakan sesi tindak lanjut. Anak Usia 0-3 Tahun 1. Cemas Perpisahan - Sebaiknya orangtua atau pendamping mau menerima anak apa adanya dan mau bersikap toleransi serta sabar. Teknik: 1. Bantu anak dan remaja melihat permasalahannya dari sudut pandang berbeda (reframing) dengan per tanyaan “Bagaimana kita dapat me lihatnya dari sudut pandang lain ? Apa pilihan lain yang bisa kita ambil?” 2. Ajarkan teknik relaksasi (diadapta si dari Brymer dkk., 2012 ), sebaga berikut: 1. Duduklah dalam posisi yang nyaman. 2. Tarik napas perlahan melalui hidung. 3. Secara perlahan dan lembut ucapkan kata-kata yang menenangkan, dapat berupa kalimat doa singkat atau sebuah kata/pikiran yang menenangkan (misalnya “tenang”, atau damai”). 4. Buang napas secara perlahan dan nyaman. 5. Secara perlahan dan lembut ucapkan kepada diri sendiri, “Aku membiarkan ketegangan pergi.” 6. Ulangi lima kali secara perlahanlahan. - Berikan rasa aman yang terus menerus kepada anak. - Sediakan lebih banyak waktu untuk melakukan kegiatan bersama-sama anggota keluarga misalnya makan bersama, sholat bersama dan Iain-Iain.
Deteksi Dini Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak dan Remaja 41 Kegiatan lain yang dapat dilakukan: - Buatlah kegiatan rutin dalam keluarga. misalnya acara bersantai, bermain dan berbincang-bincang. - Buatlah kegiatan rutin di dalam kelas dan kegiatan bermain sehingga anak mampu mengungkapkan kecemasannya. 2. Reaksi cemas - Bantu anak untuk mengatasi kecemasan dan rasa tidak amannya secara bertahap. - Berikan keterangan dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh anak, bila perlu jelaskan berulang-ulang bahwa bahaya sudah berlalu. - Berikan suasana yang tenang dan penuh kasih sayang. - Bila perlu lakukan kontak fisik dengan anak untuk menenangkannya seperti dipeluk, dipegang atau dibelai. - Semangati perilaku anak yang diinginkan dan abaikan perilaku yang tidak diinginkan. Kegiatan lain yang dapat dilakukan : - Orangtua, guru atau orang yang dapat dipercaya oleh anak sebaiknya memberikan penjelasan/keterangan mengenai bencana yang telah dialami oleh anak. - Buatlah anak merasa bahwa ia mampu menguasai dirinya sendiri. Lakukanlah secara bertahap dengan memberi penguat positif terhadap tingkah laku yang diinginkan. 3. Masalah Tidur - Usahakan agar untuk sementara waktu anak dapat tidur dengan orangtua, pendamping, atau kerabat yang dapat dipercaya. - Bila tersedia, sebaiknya lampu tetap dibiarkan menyala. - Nyanyikanlah lagu/nyanyian yang lembut sambil memeluk atau membelai anak. - Usahakan agar anak mau menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan mimpi buruk. Kegiatan lain yang dapat dilakukan: Sebelum tidur, ceritakanlah cerita-cerita yang menenangkan dan menyenangkan, misalnya dongeng atau hikayat yang berasal dari daerah setempat.
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 42 Anak Usia 4-10 Tahun 1. Cemas - Berikan rasa aman pada anak. - Sebaiknya anak dihindarkan dari keadaan lingkungan atau media komunikasi yang dapat menyebabkan perasaan cemas. - Berikan penjelasan kepada anak mengenai bencana yang sudah terjadi. - Berikan penjelasan bahwa bahaya sudah berlalu. - Ajaklah anak berdoa atau melakukan ritual agama untuk mendapatkan ketenangan hati. - Sediakan tempat aman untuk mengekspresikan perasaan takut, marah, dan bingung. - Orangtua/pendamping sebaiknya selalu mendampingi anak untuk memberikan dukungan sehingga anak dapat mengendalikan diri dalam menampilkan emosinya. - Beri kesempatan untuk membicarakan kecemasannya, untuk menangis dan bersedih. - Sebaiknya tidak menuntut anak untuk selalu berani. - Tegurlah dengan hati-hati bila anak memiliki tanggapan yang keliru. - Gunakan pendekatan agama untuk menenangkan anak. - Anjurkan untuk berbagi mengenai hal-hal yang mencemaskan. - Berilah keterangan yang masuk akal kepada anak - Anjurkanlah anak untuk terlibat dalam aktivitas untuk membantu orang lain - Jangan membebani anak dengan tanggung jawab untuk melakukan hal tersebut. - Perhatikan apakah orangtua mengalami masalah kesehatan jiwa. - Bantulah anak untuk melakukan kegiatan terjadwal. Kegiatan lain yang dapat dilakukan: - Berikanlah kertas dan pensil warna kepada anak untuk menggambarkan perasaannya. - Sediakan waktu bagi anak untuk bermain. - Usahakan agar anak ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kesenian. - Anjurkan anak untuk ikut dalam kegiatan yang dapat membuat rileks seperti rekreasi. - Buatlah suatu kotak bernama “KOTAK KECEMASAN” + Mintalah anak menuliskan kecemasannya, kemudian masukkan ke dalam kotak. + Tentukan kapan kotak akan dibuka dan bahas masalah di dalamnya. Lakukan rujukan bila perlu. 2. Perilaku Agresif - Cobalah untuk mengenali kejadian-kejadian yang membuat anak menjadi agresif. - Bantulah anak untuk menghadapi perilakunya sendiri. - Usahakan untuk dapat mengendalikan perilaku anak. - Jalinlah kerjasama antara orangtua dengan guru atau alim ulama untuk memberi pemahaman pada anak akan