Deteksi Dini Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak dan Remaja 43 perilaku yang tidak diinginkan tersebut. Kegiatan lain yang dapat dilakukan - Anjurkan anak untuk terlibat dalam aktivitas rekreasi, olahraga dan aktivitdas lainnya supaya anak mampu untuk menyalurkan perasaan frustasinya. 3. Depresi - Bawalah anak ke tempat yang aman sehingga perasaan anak dapat diungkapkan. - Yakinkan anak bahwa ia tidak ikut bertanggung jawab atas terjadinya bencana. - Bicaralah kepada anak mengenai perasaannya dan harapanharapannya. - Tanyakan anak apa yang terbaik yang dapat dilakukan untuk meredam perasaannya. Kegiatan lain yang dapat dilakukan: - Berikan informasi yang benar sesuai pengetahuan alam mengenai terjadinya bencana. - Cari tempat aman untuk membahas masalah dan berikan informasi yang masuk akal. - Bantulah anak-anak untuk bertemu dengan teman-teman baru dari lingkungan lain, sehingga mereka dapat berbagi cerita dan saling mendukung. Anak usia 11 - 17 tahun 1. Perilaku Merusak atau Membahayakan Diri Sendiri - Bantulah remaja untuk dapat mengerti perilakunya. - Berilah penjelasan mengenai akibat dari penggunaan rokok, alkohol dan zat terlarang lainnya terhadap kesehatan Kegiatan lain yang dapat dilakukan : Jika memungkinkan, pastikan tidak ada alkohol dan obat-obat terlarang lainnya yang beredar dalam lingkungan sekitar. 2. Perilaku Berisiko Tinggi - Bicarakan dengan para remaja mengenai dorongan yang menyebabkan perilaku yang tiak bertanggung jawab dan akibat buruknya. - Anjurkan menunda keputusan melakukan suatu tindakan yang belum waktunya dilakukan oleh mereka. - Berikan alternatif kegiatan positif yang dapat dilakukan untuk menyalurkan dorongan tersebut sehingga remaja lebih mampu mengendalikan hidupnya. Kegiatan lain yang dapat dilakukan: - Ajak remaja menggali pandangan masa depannya dan libatkan remaja dalam pembuatan daftar rencana masa depan beserta tujuan kegiatannya. - Bila diperlukan, gunakan poster untuk menuangkan rencana masa depan tersebut. - Ajak remaja mendengarkan ceramah oleh individu yang berpengaruh (misalnya tokoh agama setempat) mengenai caracara mencapai kedewasaannya.
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 44 3. Depresi - Ajaklah remaja berdiskusi dengan orangtua/pendamping di tempat yang aman mengenai peristiwa trauma/bencana. - Bicara dengan remaja mengenai perasaannya - Diskusikan bersama dengan remaja tentang hubungan mereka dengan keluarga atau teman sebayanya. - Bicarakan juga mengenai reaksi yang diberikan oleh orangtua. - Bicarakan mengenai harapan remaja di masa mendatang serealistis mungkin. Bila memberikan keterangan, berikanlah keterangan yang mudah diterima akal. - Rencanakan apa saja yang dapat dilakukan selanjutnya. Kegiatan lain yang dapat dilakukan: - Siapkan tempat/pojok yang sesuai sehingga remaja dapat berdiskusi. - Libatkan orangtua dalam diskusi mengenai peranan orangtua dalam situasi krisis. Berbicara kepada anak dan remaja tentang peristiwa yang menyedihkan dan mengerikan bukanlah hal yang mudah, tetapi seringkali anak dan remaja memerlukan orang dewasa untuk menuntun dan menjelaskan apa yang terjadi. Beberapa hal yang dapat membantu : 4. Cemas - Bantulah remaja untuk dapat mengerti perasaan cemas yang dialaminya. - Berilah dukungan dan pengertian kepada remaja. - Dukungan dari teman sebaya juga diperlukan. - Hubungkan antara perubahan sikap remaja dengan peristiwa trauma/bencana. - Anggaplah bahwa kecemasan yang dialami remaja adalah hal yang wajar, jangan melebihlebihkan keadaan atau reaksi kita. Kegiatan lain yang dapat dilakukan: - Berilah dorongan kepada remaja untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok bersama dengan teman sebaya. - Berilah kertas untuk menulisyang menjadi kecemasannya. - Anjurkan mereka menulis akibat dari peristiwa trauma/bencana terhadap diri mereka. 1. Ciptakan suasana terbuka dan suportif sehingga anak dan remaja bebas bertanya. Pada saat yang sama, jangan memaksa anak dan remaja ketika mereka belum siap untuk membicarakan hal-hal tertentu. 2. Beri anak dan remaja informasi dan jawaban yang jujur. Hal ini akan berpengaruh pada tingkat kepercayaan dan keyakinan terhadap Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Mengkomunikasikan Berbagai Isu Terkait Bencana pada Anak dan Remaja Diadaptasi dari Wiguna dkk (2005)
Deteksi Dini Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak dan Remaja 45 orangtua di masa mendatang 3. Gunakan kata-kata, bahasa dan konsep yang dapat dipahami anak dan remaja. Sesuaikan penjelasan dengan tingkat usia dan tahap perkembangan. 4. Bersiap untuk mengulang informasi dan penjelasan beberapa kali. Beberapa informasi mungkin sulit diterima atau dipahami oleh anak. Berulang kali bertanya hal yang sama merupakan salah satu cara anak dan remaja untuk memperoleh keyakinan. 5. Mengakui dan mencoba mengerti pikiran, perasaan dan reaksi anak dan remaja. Buatlah mereka mengetahui bahwa anda peduli dengan apa yang dipikirkan dan dirasakannya. 6. Ingatlah bahwa anak dan remaja cenderung berpikir menurut pengalamannya terhadap peristiwa yang mereka hadapi. Sama halnya ketika mereka mendengar pengalaman suatu peristiwa yang mengerikan walaupun peristiwa tersebut terjadi di tempat yang jauh. 7. Yakinkan anak dan remaja tapi jangan membuat janji-janji yang tidak masuk akal. Yakinkan anak bahwa mereka aman di penampungan, rumah atau sekolah. Namun, jangan menjanjikan bahwa tidak akan terjadi bencana atau bahwa semua orang selamat. 8. Bantu anak dan remaja menemukan cara untuk mengekspresikan diri. Beberapa anak mungkin tidak menceritakan pikiran, perasaan dan ketakutannya. Mereka mungkin lebih nyaman bila menggambar, bermain dengan mainan atau menulis cerita, dan puisi (hal ini akan dibahas secara lebih mendalam pada bagian ini di bagian berikutnya). 9. Biarkan anak dan remaja mengetahui bahwa banyak orang mau membantu keluarga yang tertimpa bencana. Ini merupakan kesempatan yang baik untuk menunjukkan pada anak bahwa bila sesuatu yang menakutkan terjadi, ada orang-orang yang akan membantu. 10. Anak dan remaja belajar dengan mengamati orangtua, guru dan lingkungan sekitarnya. Mereka sangat tertarik mengetahui bagaimana respons orang dewasa terhadap bencana. Mereka juga mendengarkan pembicaraan Anda dengan orang dewasa lainnya. 11. Jangan biarkan anak, terutama anak yang lebih kecil, terlalu banyak melihat TV yang menayangkan gambar-gambar menakutkan. Pengulangan gambar-gambar tersebut akan membuat anak menjadi tidak nyaman, cemas dan bingung. 12. Anak dan remaja yang sudah pernah mengalami peristiwa yang menakutkan, mengerikan atau kehilangan biasanya lebih sensitif sehingga akan bereaksi lebih kuat atau berkepan-jangan terhadap berita atau gambar tentang bencana. Anak ini membutuhkan dukungan dan perhatian yang lebih besar. 13. Perhatikan munculnya tanda-tanda fisik termasuk sakit kepala dan sakit perut. Banyak anak-anak dan remaja yang mengekspresikan kecemasan dan kesedihannya lewat keluhan fisik. Peningkatan tanda-tanda ini, tanpa penyebab medis yang jelas mungkin merupakan tanda seorang anak merasa cemas atau depresi.
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 46 14. Anak dan remaja yang sering bertanya dan menunjukkan perhatian besar terhadap bencana harus dievaluasi oleh tenaga kesehatan profesional. Tanda lain bahwa mereka lebih membutuhkan bantuan adalah: a. Adanya gangguan tidur. b. Pikiran dan kecemasan yang terus menerus. c. Ketakutan berulang tentang kematian, ditinggal orangtua atau pergi ke sekolah. Bila gangguan terus berlangsung, minta dokter atau konselor sekolah untuk merujuk anak. 15. Banyak anak semata-mata ingin selalu berada di masa ‘anak-anak’. Mereka tidak mau memikirkan tentang apa yang terjadi di luar dunia bermainnya. Mereka lebih suka bermain bola, memanjat pohon atau meluncur. 16. Libatkan anak dan remaja dalam menyusun rencana apa yang dapat diperbuat jika terjadi bencana sesuai dengan bencana apa yang mengancamnya, misalnya memperhatikan air laut; bila air laut turun secara berlebihan, segera lari ke tempat yang lebih tinggi. 17. Tiap bentuk bencana memiliki aspek-aspek berbeda yang dapat menimbulkan keprihatinan pada anak. Misalnya kekhawatiran akan bencana alam akan berbeda dengan bencana konflik bersenjata. Bantu anak untuk mengatasi keprihatinannya sesuai dengan aspek-aspek khusus pada bencana yang dialami/ mengancamnya. 18. Jangan menertawakan, meremehkan, atau menyalahkan sudut pandang anak dan remaja. Beri mereka penjelasan dengan sabar untuk memahami mengapa bencana terjadi, dan bahwa bencana bukan salah mereka. Membangun Resiliensi pada Anak dan Remaja Pascabencana Melalui Aktivitas Bermain, Menggambar, dan Bercerita Bermain, menggambar, dan bercerita, adalah sarana bagi anak untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka. Anak memiliki kemampuan alami untuk memahami dan menguasai suatu masalah melalui imajinasi mereka dan kegiatan yang menyenangkan mereka sesuai dengan tahap perkembangannya. Mereka perlu merasa aman untuk mengeksplorasi pikiran, perasaan, dan pengalaman melalui aktivitas bermain, cerita, dan menggambar. Beberapa intervensi bisa lebih banyak bahaya daripada keuntungannya, misalnya jika orang dewasa memaksa anak melakukan hal-hal yang tidak ingin mereka lakukan atau memaksa anak memproses hal-hal yang belum siap untuk mereka proses. Anak secara naluriah suka bermain, menggambar, bercerita, dan kegiatan lain yang memberikan kesempatan pada anak menggunakan imajinasinya untuk memerankan orang lain atau menciptakan dunia kecil/dunia baru di mana anak bebas mengeksplorasi berbagai hal. Ketika anak
47 bermain, mereka seringkali menggunakan perilaku simbolis, di mana satu benda, atau orang, seakan-akan merupakan benda, hal, atau orang lain. Misalnya anak dapat bermain rumah-rumahan, dan mengambil peran sebagai orangtua yang mengasuh anak-anaknya. Anak juga dapat bermain mobil-mobilan, di mana mobil-mobilan yang kecil melambangkan mobil-mobil besar di jalan raya. Bermain berbeda dengan memainkan permainan yang menggunakan aturan-aturan yang sudah ditentukan seperti ular tangga, dsb yang memberi kesempatan bagi anak untuk dapat bersenang-senang, belajar berhitung, motorik halus, dan bermain bersama anak lain, tetapi tidak memberikan kesempatan bagi anak untuk bebas berekspresi dan bereksplorasi. Bermain, menggambar, dan bercerita penting membantu anak mengembangkan pikiran dan belajar mengendalikan perasaan dan perilakunya. Menurut Baggerly dan Exum (2008), setelah peristiwa bencana, bermain, menggambar, dan bercerita dapat membantu dalam mengekspresikan pikiran dan perasannya, menghubungkan kembali anak dengan dunia di sekitarnya). Bermain adalah cara anak untuk mencapai keseimbangan dan kendali dalam hidup mereka. Hal ini penting untuk mengelola emosi dan perilaku mereka serta mencapai kesehatan jiwa yang optimal bagi anak dan remaja.
Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja 48 Aktivitas yang dapat dilakukan pada umumnya bertujuan untuk: 1. Memberikan kesempatan bagi anak untuk mencurahkan pikiran dan perasaannya 2. Mengembangkan kemampuan anak untuk berkomunikasi dengan menggunakan simbol 3. Memberikan anak cara untuk mengolah pengalamannya a. Bermain: - Umumnya anak senang bermain, dan bila disediakan mainan atau alat dan bahan, mereka akan menggunakannya untuk bermain. Mulailah dengan mengatakan kepada anak bahwa mereka bisa bermain atau berbicara, menunjukkan mainan kepada anak dan memainkan bahanbahan yang tersedia. - Meskipun banyak anak yang dapat langsung bermain di arena permainan, namun banyak pula yang awalnya enggan sehingga membutuhkan bantuan untuk memulai proses bermain. Anda dapat meminta anak untuk memilih sesuatu dan awali bermain dengan hal tersebut atau Anda bisa memilihkan sesuatu untuk anak. Lempung dan bahan untuk menggambar adalah awal yang baik. Sebagai usaha terakhir, Anda dapat mulai memainkan sesuatu dan meminta anak untuk ikut bermain. - Tujuan bermain adalah (a) menunjukkan pada anak bahwa mereka aman saat ini, (b) mengekspresikan emosi dan pikiran, (c) mengembangkan berbagai imajinasi terkait rencana melindungi diri terhadap bencana di masa depan - Tidak perlu mengarahkan anak untuk memilih jenis permainan, tapi cobalah mendukung permainan yang dipilih oleh anak. Gunakan proses bermain untuk memahami pikiran, perasaan, dan perilakunya anak. Cobalah untuk tidak terlalu banyak melakukan penafsiran dalam proses bermain tapi dukunglah anak untuk bermain dan bergembira dengan pilihannya tersebut. - Agar bermain dapat menjadi cara berekspresi yang aman, maka perlu diinformasikan bahwa selama bermain, tidak diperbolehkan melemparatau saling memukul. - Harus ada fasilitas dalam bermain sebagai salah satu cara alternatif dalam berekspresi. Misalnya, anak bisa dimotivasi untuk mengungkapkan kemarahan dengan kata-kata, dan memainkan pertarungan boneka secara purapura. b. Menggambar: - Untuk menggambar, anak dan remaja dapat diberikan instruksi seperti: “Buatlah sebuah gambar, gambar apa saja yang terlintas dalam pikiran, gambar apa saja yang kalian mau/ bebas”. Usahakan agar mereka
49 menggambar hal-hal yang menuju pemulihan dan harapan untuk masa depan, bukan hanya menggambar tentang bencana. - Jangan berbicara pada saat anak sedang asyik menggambar. Bila anak bertanya, jawablah dengan singkat sesuai pertanyaan anak. Hal ini dapat mengganggu anak yang sedang berekspresi. - Setelah anak menyelesaikan gambarnya, mintalah mereka untuk menceritakan gambar tersebut. Seni merupakan ungkapan perasaan dan dapat menciptakan kesempatan untuk berkomunikasi atau refleksi diri Stres dapat mempengaruhi kesehatan dan perkembangan anak dan remaja. Oleh karena itu, stres perlu diatasi dan ditangani secara efektif untuk mengurangi dampak yang tidak diinginkan.Kenalilah stres sebagai sesuatu yang dapat diatasi, dikendalikan, dan ditaklukkan. Buatlah stres berguna dengan beberapa strategi yang memanfaatkan keadaan stres tersebut dan dapat melepaskan tambahan hormon adrenalin untuk membantu kita berjuang. Stres dapat menjadi menyenangkan bila mendorong seseorang untuk bersaing/menyelesaikan tugas tepat waktu atau dapat menjadi penghancur/ fatal bila menyebabkan penderitaan, ketidakbahagiaan dan depresi. Beberapa Aktivitas yang Dapat Membantu Diadaptasi modul pelatihan kecakapan hidup. Departemen Kesehatan RI Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa. Modul Pelatihan Meningkatkan Kesehatan anak tersebut, tetapi bukan berarti anak-anak sudah siap untuk ditanya tentang apa yang mereka buat. - Sebaiknya menghindari menafsirkan gambar yang dibuat. - Hindari memberikan komentar. Ingat bahwa tujuan kegiatan ini bukan menilai gambar yang dihasilkan, yang penting adalah anak diberi kesempatan untuk mencurahkan perasaannya melalui gambar tersebut. Catatan: Bermain dan menggambar sangat tergantung dengan budaya setempat. Jiwa remaja di Sekolah Melalui Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education). Jakarta: Depkes RI, 2006. - Latihan fisik (dalam berbagai bentuk): berjalan, berlari, berenang, bersepeda, atau bermain dapat membantu anak dan remaja beradaptasi dengan stres. Kemudian, efek dari latihan fisik ini, seperti relaksasi, dapat meningkatkan rasa percaya diri dan mengalihkan perhatian mereka beberapa saat untuk beradaptasi lebih baik. - Memperluas pertemanan dan dukungan sosial: Anak dan remaja membutuhkan dukungan dari orangtua dan lingkungan. Beberapa dukungan dapat digunakan sebagai strategi untuk mengurangi dampak stres. Oleh karena itu, kita harus menjaga hubungan dekat dengan Beberapa Aktivitas untuk Mengelola stres pada Anak dan Remaja Pascabencana
50 Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja teman atau orang dewasa lainnya yang merupakan pendengar yang baik dan membangun kepercayaan. - Konseling: adalah cara lain untuk mengatasi stres. Selain itu juga, melalui konseling, anak yang lebih besar dan remaja dapat mengenali kekuatan dan kelemahan mereka dan pola reaksi yang diperlukan untuk merubah perilaku mereka. Orangtua juga mendapatkan keuntungan dari konseling untuk membantu anak dan remaja mereka. - Pertolongan pertama psikologis/ Psychological First Aid (Lihat penjelasan sebelumnya) - Peregangan. Ketika Anda sedang dibawah tekanan, berdirilah pada ujung jari kaki dan regangkanlah tubuh Anda. Buatlah posisi seakan-akan Anda akan menggenggam sesuatu yang berada beberapa sentimeter di atas jangkauan Anda. Pertahankan posisi balet ini selama 5 detik lalu rileks kembali. - Tertawalah. Tertawalah sekeras mungkin, baca komik, nonton film kartun, bercanda dengan teman. Hal tersebut dapat merupakan jalan keluar sementara untuk mengatasi stres. - Tarik napas panjang. Cara bernafas yang benar dapat mengurangi stres. Tarik napas panjang dan keluarkan pelan-pelan, konsentrasilah pada udara yang meninggalkan paru-paru. Perlambatlah napas Anda, yang ideal adalah tarik napas selama 2 detik dan buang napas selama 5 detik. Lakukan hal tersebut sebanyak 5 kali pada pagi hari dan 5 kali pada sore hari. - Dengarkan musik. Musik selalu mempunyai efek yang menenangkan. Pilihlah musik kesukaan Anda baik itu bertema, pop, dangdut, ataupun jazz. - Nikmati matahari pagi. Rasakan sinar matahari pagi meresap ke dalam setiap pori-pori tubuh Anda, rasakan perasaan luar biasa yang dibawanya. - Lakukan yoga untuk diri Anda. Yoga selalu dianggap dapat mengurangi stres. Baca buku panduan latihan yoga atau pergilah ke guru yoga. Mulailah berlatih 1/2 jam pada saat senggang. - Latihlah angkat bahu. Angkat bahu, sebagaimana yang dilakukan seseorang yang tidak tahu dan seseorang yang tidak peduli. Kapan saja Anda merasakan stres akan menguasai Anda, putarlah leher Anda ke kiri dan ke kanan beberapa kali. Lanjutkan dengan mengangkat bahu Anda. Kendorkanlah otot-otot Anda. Yakinkan dari dasar hati Anda bahwa Anda tidak peduli. - Makan sehat. Makanlah lebih banyak makanan yang berserat (misalnya sayuran, buah-buahan). Penelitian menunjukkan bahwa makanan berserat dapat menurunkan tingkat stres. - Kurangi bicara, perbanyak mendengarkan. Cara ini merupakan obat kuno. Mendengarkan dapat menghalau stres, membuat Anda lebih populer, lebih berpengetahuan, lebih sensitif, dan menjadi orang yang lebih menyenangkan. Bukankah ini merupakan gagasan yang hebat? Hal ini berdampak positif dan tidak merlukan banyak usaha.
51 - Hitung anugerah Anda. Tidak ada cara lain yang lebih baik untuk menghalau stres. Tak seorangpun mengalami kejadian buruk dalam seluruh hidupnya. Buatlah daftar hal yang baik dalam hidup Anda dan lihatlah daftar tersebut setiap kali Anda merasa stres. - Bandingkan diri Anda dengan diri Anda sendiri dan lihatlah perubahannya. Jika Anda ingin menikmati hidup, bandingkanlah diri Anda sendiri terlebih dahulu, bukan dengan orang lain. Jika Anda ingin membandingkan diri Anda dengan orang lain, bandingkanlah dengan orang lain yang kurang beruntung untuk mengembangkan kepercayaan diri. - Jangan mengerjakan apapun, duduk saja dengan santai. Hal ini tidak membutuhkan usaha apapun dari Anda, seperti halnya tidak ada sesuatupun yang tetap buruk selamanya. Penerimaan dari situasi tersebut akan mengurangi stres. - Ekspresikan stres kita, biarkan emosinya mengalir. Kemarahan, depresi, ketakutan, dan frustasi yang Anda alami, perlu ‘mengalir’ ke luar dari diri Anda melalui tulisan, pembicaraan, puisi, dan aktifitas fisik lainnya yang nyata. Dengan begitu, pikiran menjadi lebih terang dan tubuh menjadi lebih bertenaga. Anda akan dapat menerima dan memahami situasi dan kesempatan secara lebih jelas, sehingga pilihan serta keputusan Anda akan lebih bijaksana. Bertanggung jawab terhadap hidup Anda. Yakinlah bahwa ‘Saya selalu bertanggung jawab terhadap hidup saya’. Sebagian dari perasaan stres datang dari bagaimana Anda bereaksi terhadap hal yang sedang terjadi atau tidak terjadi. 1. Bereaksilah secara terampil terhadap stres, misalnya setegas mungkin. 2. Perbaiki reaksi terhadap suatu kejadian. 3. Kurangilah tuntutan terhadap diri sendiri. 4. Tingkatkanlah kapasitas untuk mengatasi kesukaran. 5. Bereaksi menghadapi stres dengan terampil misalnya secara asertif dapat : a. Meningkatkan cara bereaksi terhadap stres. b. Menurunkan tuntutan terhadap diri. c. Meningkatkan kemampuan untuk menangani stres. Ayah... Ibu... Rumah... Sekolah... Teman-teman Semua Hilang
52 Bencana dan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja Mencegah Burn-Out Burn-out adalah kelelahan atau kejenuhan berat akibat bekerja berlebihan. Hal ini dapat dicegah dengan memperhatikan kebutuhan diri dan membatasi membantu orang lain. Cara ini bertanggung jawab, tidak menunggu diri sendiri menjadi stres, kelelahan, dan juga tidak mengabaikan kebutuhan kita sendiri. Sebagai analogi, saat di pesawat kita diminta untuk memakai masker oksigen kita terlebih dulu sebelum menolong orang lain. Jika kita membantu orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri, kita akan menjadi penolong yang tidak efektif dan akan menjadi lebih mudah mengalami masalah di kemudian hari. Beberapa poin penting untuk perawatan diri sendiri untuk mencegah burn-out menurut Brymer dkk (2012) meliputi: • Memperhatikan kesehatan dan kecukupan nutrisi diri sendiri • Membuat batasan, mendelegasikan tugas, belajar untuk berkata “tidak” • Istirahat yang cukup • Menemukan kesenangan • Meningkatkan spiritualitas dan kemampuan untuk memaknai hidup • Membuat jurnal/buku harian • Menghindari kafein, rokok, alkohol, dan zat psikoatif lainnya • Mengenali waktu untuk berhenti saat lapar, marah, kesepian.
53 Daftar Rujukan Ahmed SH, Siddiqi MN. (2006). Essay Healing through art therapy in disaster settings. Lancet 368, S28-S29. Almedom, A.M. and D. (2007). Glandon, Resiliensi is not the absence of PTSD anymore than health is the absence of disease. Journal of Loss and Trauma 12(2), 27-43. Amaya, L and Jackson. (2000). Posttraumatic stress disorder in children and adolescent. In: Sadock BJ and Sadock V.A, eds. Comprehensive textbook of psychiatry. Philadelphia USA: Lippincott Williams and Wilkins, p.2763 -2769. American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders-5 (DSM-5). Arlington, Virginia: American Psychiatric Press. Baggerly J, Exum HA. (2008). Counseling children after natural disasters: Guidance for family therapists. The American Journal of Family Therapy 36, 79-93. Bonanno,, G.A. (20Q4). Loss, trauma, and human resiliensi. American Psychologist 59(1), 20-28. . . Bonanno, G.A., et al. (2007). What predicts psychological resiliensi after disaster? The role of demographics, resources, and life stress. Journal of Consulting and Clinical Psychology. 75(5), 671-682. Bonanno, G.A., et al. (2010). Weighing the costs of disaster: Consequences, risks, and resiliensi in individuals, families, and communities. Psychological Science in the Public Interest 11(1), 1-49. Brymer, M., et al. (2006). The psychological first aid field operations guide. 2nd ed. National Child Traumatic Stress Network and the National Center for PTSD. Butcher, J.N. (1980 Nov). The role of crisis intervention in an airport disaster plan. Aviation, Space, and Environmental Medicine 51(11), 1260-2. Citraningtyas, T, (2012). “Riding the waves”: Dealing with disasters - A study of lived experiences of the 2003 Canberra Bushfire and the 2004 Tsunami in Aceh, in Academic Unit of Psychological and Addiction Medicine, Medical School. Canberra: Australian National University. Copeland, W., et al. (2007). Traumatic events and posttraumatic stress in childhood. Archives of General Psychiatry 64(5), 577-84. Departemen Kesehatan R.I. (2006). Pedoman pelaksanaan: Stimulasi, deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Depkes Rl. Departemen Kesehatan Rl. (2006). Direktorat bina pelayanan kesehatan jiwa, modul pelatihan meningkatkan kesehatan jiwa remaja di sekolah melalui pendidikan kecakapan hidup. Jakarta: Depkes Rl. 53
54 Departemen Kesehatan Rl. Pedoman kesehatan jiwa remaja (Pegangan bagi dokter puskesmas). [Online]. Diunduh www.depkes.go.id/ downloads/ Pedoman/Kes/ Jiwa/ Remaja.pdf Feightner,J.W. (1990). Early detection of depression by primary care physicians.Can Med Assoc J142. (11),1215-1225. Goodman R. (1997). The strengths and difficulties questionnaire: A research note. Journal of Child Psychology and Psychiatry 38, 581-586. Grillo E, and Da Silva RJ. (2004). Early manifestations of behavioral disorders in children and adolescents, Pediatr (Rio J) 80 (2 Suppl), S21-S27. Helgeson, V.S., Reynolds, K.A., and Tomich, P.L (2006). A meta-analytic review of benefit finding and growth. Journal of Consulting and Clinical Psychology 74(5), 797-817. Hobfoll, S.E. (1989). Conservation of resources. American Psychologist 44(3), 513-524. Hobfoll, S.E. (2002). Social and psychological resources and adaptation. Review of General Psychology 6(4), 307-324. Hobfoll, S.E., et al. (2007). Refining our understanding of traumatic growth in the, face of terrorism: Moving from meaning cognitions to doing what is meaningful. Applied Psychology: An International Review 56(3), 345-366. Inter-Agency Standing Committee (IASC). Task force on mental health and psychosocial support in emergency settings. IASC Guidelines on Mental Health and Psychosocial. Jennifer T.L, Christopher, and Rex. (2000). Primary care treatment of post traumatic stress disorders. American Family Physician.B.G. Johnson, D.C and Stein, M.B.. (2004). Assessment and diagnosis in Clinical manual for management of PTSD, Benedek D.M and Wynn G.H, eds. American Psychiatry Publishing.lnc, 69-100. Katz, L. (1997). What is basic for young children? Childhood Education. 54(1), 16-19. Kessler, R.C., et al. (2006). Mental illness and suicidally after Hurricane Katrina. Bulletin of the World Health Organization 84(12), 930-939. Kobasa, S.C., S.R. Maddi, and S. Kahn. (1982). Hardiness and health: A prospective study. Journal of Personality and Social Psychology 42(1), 168-177. Kobasa, S.C. (1979). Stressful life events, personality, and health: An inquiry into hardiness. Journal of Personality and Social Psychology 37(1), 1-11. Lazarus, R.S. and S. Folkman. (1984). Stress, appraisal and coping. New York: Springer. Lazarus, R.S. (1999). Stress and emotion: A new synthesis. New York: Springer Publishing Company. , Levine, S.Z., et al. (2009). Examining the relationship between resiliensi and posttraumatic growth. Journal of Traumatic Stress 22(4), 282-6. Linley, P.A. and Joseph, S: (2004). Positive change following trauma and adversity: A review. Journal of Traumatic Stress 17(1), 11-21. Daftar Rujukan 54
55 Majer.M.et al. (2010), Association of childhood trauma with cognitive function in heathy adntsa pilot study.Research article. BMCNeurolog 10(61), 1-10. Masten. ASandAObradovic. (2007). Disaster preparation and recovery: Lessons nan nsearch on resiliensi in human development. Ecology and Society 13(1), 9. Masten, AS (2006) Competence and resilience in development. In: Lester, B.M., Masten. A. and McEwen, B, eds. Annas of the New York Academy of Sciences: ResinungMdhnften. New York: New York Academy of Sciences. Masten, AS, KM. Best and N. Garmezy. (1990): Resilience and development: Contributions from the study of children who overcome adversity. Development and Psychopathology 2(4), 425-444. Masten, AS (2001) Ordinary magic. American Psychologist 56(3), 227-238. Masten, AS, (2005). Resilience in development. In: Snyder, C.R., and Lopez, S.J, eds. Hnndhndtnf pnabVe psychology. New York: Oxford University Press. Mawson, AR. (2005). Understanding mass panic and other collective responses to threat and disaster. Psychiatry 68(2), 95-113. Newton., D. (2009| Erik H. Erikson. Sadock, B.J., Sadock, V.A., and Ruiz, P., eds. (2009) Kaplan and Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 9th ed. PhilIadelia: Lippincott Wiliams & Wilkins p.838-847 Norris, F.H., et aL (2008) Community resiliensi as a metaphor, theory, set of capacities, and sfeanegy for disaster readiness.. American Journal of Community Psychology 41,127-150. Pynoos R, Goenjian A Steinberg AM. (1995). Strategies of disaster intervention for chfltntn and adolescents. In: Hobfol, and deVries, D, eds. Extreme stress & communities: impact and intervention. The Netherlands: M. Kluwer Academic Publisher 445-471 Raphael B. (1986). When disaster strikes: How individuals and communities cope with catastrophe. New York: Basic Books, Inc. Robert AR,Yeager KR (2009). Pocket Guide to Crisis Intervention. Oxford University Press. Oxford. Russ S. (2004) Play in child development and psychotherapy: Toward empirically supported practice. London: Lawrence Erlbaum Associates, New Jersey. Chapter 1 Fundamental play processes, p. 3-7. Russ S. (2004) Play in child development and psychotherapy: Toward empirically supported practice. London: Lawrence Erlbaum Associates. New Jersey Chapter 3 Play in therapy: The theories, p.38-39. . Ryff, CD. and Singer. B. (2003). Flourishing under fire: Resilience as a prototype of challenged thriving. In: Haidt, J., and Keys, C.L.M., eds. Flourishing: Positive psychology and the fife well-lived. Washington; D.C.: American Psychological Association. Schreiber, M., Gurwitch R. (2006). Listen, protect and connect: Psychological first aid for children and parents. UCLA Center for Public Health and Disasters and Health and Media Research Group. Daftar Rujukan 55
56 Skinner, E.A., et al. (2003). Searching for the structure of coping: A review and critique of category systems for classifying ways of coping. Psychological Bulletin 129(2), 216-269; Stone, A. (2006). Preventing child abuse and neglect in disaster emergency shelter. National Resource Center for Child Protective Services. US Department of Health and Human Services. WHO. (2007). Support in emergency settings. Geneva: IASC. [Online]. Diunduh http:// www.who.int/mental_health/emergencies/guidelines_iasc_mental_health_ psychosocialjune_2007.pdf Tan, S;M.K., et al. (2012).. Early maltreatment and exposure to violence. In: Rey, J.M., editor. IACAPAP. Textbook of child and adolescent mental health: Geneva: International Association for Child and Adolescent Psychiatry and Allied Professions. Tedeschi, R.G. and Calhoun, L.G. (2004). Posttraumatic growth: Conceptual foundations and empirical evidence. Psychological Inquiry 15(1), 1-18. Tennen, H. and G. (2005). Affleck, benefit-finding and benefit-reminding. In: Snyder, R. and Lopez, SJ., eds. Handbook of positive psychology. New York: Oxford University Press. United Nations Children’s Fund (UNICEF). (2011 Feb). The state of world’s children 2011. In: Anthony, D., editor. Adolescence an age of opportunity. Werner, E.E. and Smith, R.S. (1989). Vulnerable but invincible: A longitudinal study of resilient children and youth. New York: Adams-Bannister-Cox. WHO (2014). Factsheet on child maltreatment. [Online]. Diunduh http://www. who.int/ mediacentre/factsheets/fs150/en/ WHO(2014). Mental health: strengthening our response, http://www.who.ihl/ mediacentre/factsheets/fs220/en/ Wiguna, T, et al. (2005). memahami reaksi emosi dan perilaku anak pasca bencana. Jakarta: Divisi Psikiatri Anak & Remaja, Departmen Psikiatri FKUI/RSCM Wiguna T, Guerrero APS, Kaligis F, Khamelia. (2010). Psychiatric Morbidity among Children in North Aceh District (Indonesia) Exposed to the 26 December 2004 Tsunami. AsiaPacific Psychiatry 2(3), 150 – 5 Wilson, J.M.G and Jungner, G. (1968). Principles and practice of screening for disease. Public health papers. No.34. WHO. Youthinmind Ltd. (2014). The strengths and difficulties questionnaire (SDQ). [Online]. Diunduh http://sdqinfo.com/py/sdqinfo/b3.py/language=Englishqz(USA). Daftar Rujukan 56