"Bagaimana tanggapan kelompok lain tentang jawaban
dari kelompok delapan tadi. Setuju atau tidak. Silakan
ditanggapi," perintahku.
Suasana kelas jadi ramai. Beberapa kelompok mencoba
berebut untuk menjawab.
"Betul Bu. Struktur yang pertama adalah identifikasi
fenomena. Berupa gambaran umum mengenai apa dan
mengapa suatu fenomena tersebut bisa terjadi,” tanggapan
kelompok satu.
"Tepuk tangan anak‐anak untuk kelompok delapan yang
sudah menjawab. Juga kelompok satu yang sudah
menanggapi kelompok delapan," seruku dengan semangat.
"Baiklah mari kita lanjutkan struktur yang ke‐2. Kelompok
mana yang ingin menjawab," pintaku.
"Kelompok dua ingin menjawab Bu," suara Dewi
memecah keheningan.
"Silakan Dewi," ujarku.
"Struktur yang kedua pada paragraf kedua adalah
penggambaran rangkaian kejadian ,” jawab Dewi.
"Bagaimana tanggapan dari kelompok lain?” tanyaku.
"Betul Bu. Struktur yang kedua adalah penggambaran
rangkaian kejadian. Bagian ini ditulis untuk menjawab
pertanyaan bagaimana dan urutan sebab‐akibat dari sebuah
fenomena yang terjadi," jawab kelompok tiga yang diwakili
oleh Chalifatur.
"Tepuk tangan anak‐anak untuk kelompok dua dan tiga
yang telah menjawab dan menanggapi,” seruku.
"Kita lanjutkan struktur yang ketiga. Silakan dijawab,"
perintahku.
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 43
"Kami dari kelompok empat ingin menjawab. Bahwa
struktur yang ke ‐ 3 adalah ulasan," seru Amanda dengan
bersemangat.
"Silakan kalau ada kelompok yang mau menambah atau
menanggapi,” perintahku.
"Iya Bu. Kami dari kelompok enam hanya ingin
menambah bahwa struktur teks eksplanasi yang ketiga
adalah ulasan. Bagian ini berupa komentar atau penilaian
tentang konsekuensi atas kejadian yang dipaparkan
sebelumnya", jawab Damar.
"OK anak‐anak. Semua sudah terjawab dengan benar,”
lanjutku.
Kemudian kegiatan pembelajaran dilanjutkan dengan
pengambilan nomor undian. Masing‐masing perwakilan
kelompok untuk maju mengambil nomor undian yang telah
disediakan sebelumnya.
Masing‐masing mengambil nomor undi kemudian
menukar dengan gambar teks eksplanasi yang sebelumnya
sudah diberi nomor urut sesuai dengan nomor undi yang
diambil. Bagi kelompok yang sudah menukar nomor undi
dengan gambar dapat kembali ke kelompoknya.
Masing‐masing kelompok kemudian mencermati gambar
yang telah diambilnya tersebut. Tiap kelompok berbeda
gambar. Kemudian berdiskusi untuk menyusun teks
eksplanasi berdasarkan media gambar tersebut. Dengan
menggunakan media gambar ini diharapkan untuk
memudahkan siswa dalam menyusun teks tersebut dengan
melihat langsung pada gambar.
44 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
"Anak‐anak langkah selanjutnya adalah menyusun teks
eksplanasi berdasarkan media gambar. Kali ini Ibu akan
membagikan potongan‐ potongan kertas hvs tiga warna.
Kertas pink untuk menulis paragraf pertama.
Warna kuning untuk menulis paragraf ke‐2. Dan warna
hijau muda untuk menulis paragraf yang ke‐3," paparku.
Setelah kertas HVS warna dibagikan tahap selanjutnya
mulai menulis. Dalam kelompok siswa humpimpah terlebih
dahulu untuk menentukan siapa yang berhak menulis
paragraf ke‐1, ke‐2 dan ke‐3. Jumlah anggota dalam kelompok
ada empat siswa. Dalam kesepakatan paragraf ke‐1 ditulis
oleh dua anak. Demikian juga paragraf ke‐2 ditulis oleh dua
anak.
Sisanya paragraf ke‐3 ditulis bersama‐sama.
"Sebelum dilanjut menyusun teks eksplsnasi adakah
yang ingin kalian tanyakan?" tanyaku.
"Saya ingin bertanya Bu. Bagaimana cara menyusun teks
eksplanasi tersebut. Ini tugas individu atau kelompok?" tanya
Rudi dengan bersemangat.
"Anak‐anak baiklah akan Ibu jawab pertanyaan yang
bagus dari Rudi . Tolong semuanya memperhatikan dengan
baik ya?",jawabku.
"Iya Bu Guru!" jawab mereka dengan kompak.
"Tugas ini dikerjakan dalam kelompok. Artinya setiap dua
anak mengerjakan satu paragraf. Satu paragraf lagi
dikerjakan dua anak lagi. Dan nanti paragraf terakhir yaitu
paragraf ke‐3 ditulis bersama‐sama dengan kelompok,"
tegasku.
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 45
"Sudah paham belum anak ‐ anak?" tanyaku.
"Sudah Bu!" jawab mereka.
"Baiklah anak‐anak Ibu beri waktu 15 menit untuk
menyelesaikan tugas ini. Bagi kelompok yang sudah selesai
segera menghadap Ibu. Ibu beri kertas folio untuk menempel
karya tersebut," perintahku.
Tibalah waktunya menyusun teks eksplanasi. Kondisi
kelas semakin ramai. Banyak diskusi di sana‐sini. Aku
berkeliling sambil membantu mereka yang masih
kebingungan dalam mengerjakan tugas.
Aku bimbing dan aku datangi mereka perkelompok.
Setelah 15 menit kemudian ada kelompok yang sudah
selesai. Kuberikan kertas folio dan lem untuk menempel
tugasnya. Di luar dugaanku. Ternyata mereka mengerjakan
tugas di kertas hvs warna yang sebelumnya sudah dibingkai
dengan gambar selera mereka masing ‐ masing.
"Bagi kelompok yang sudah menempel tugasnya di
kertas HVS untuk segera memajang karyanya di papan
display,” perintahku sembari menunjuk kelompok yang akan
memajang karyanya.
"Iya Bu!" seru mereka.
Suasana menjadi seru saat‐saat pemasangan hasil
karyanya di papan display. Kelompok yang sudah memasang
hasil karyanya aku beri reward dengan memberikan tempelan
tanda bintang 1,2.3 dan seterusnya sesuai urutan
pemasangannya.
Setelah pemasangan hasil karya siswa selesai dilanjutkan
saling berkunjung ke kelompk lain dan saling mengomentari.
Tahap berikutnya adalah menyimpulkan hasil kegiatan
46 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
pembelajaran. Salah satu siswa menyimpulkan hasil
pembelajaran tersebut.
Selanjutkan aku memberikan potongan kertas kecil yang
berisikan tentang refleksi pembelajaran. Siswa tinggal
memilih option yang ada dengan memberikan tanda ceklist
sesuai yang mereka rasakan saat mengikuti kegiatan
pembelajaran. Mungkin menyenangkan, biasa ‐biasa saja atau
bahkan menyedihkan.
"Bagaimana anak‐anak untuk refleksi kegiatan hari ini?”
tanyaku dengan semangat.
Kebanyakan dari mereka mengatakan, "Menyenangkan
Bu karena ada media gambarnya!”
Refleksi selesai dilanjutkan penyampaian tugas untuk
pertemuan hari berikutnya.
"Baiklah anak‐anak sebelum pertemuan kali ini Ibu akhiri,
kalian kerjakan PR di rumah. Susunlah teks eksplanasi secara
individu dengan memperhatikan strukturnya!" perintahku.
"Ada pertanyaan anak‐anak? " lanjutku.
"Tidak ada Bu! " jawab mereka hampir kompakan.
"Okelah kalau tidak ada pertanyaan. Marilah kita tutup
pertemuan kali ini dengan membaca hamdallah.
Alhamdulillahirabil alaamiin. Ibu akhiri wassalamualaikum
warohmatullahi wabarokatuh. Selamat siang," kataku.
"Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Selamat
siang Bu,” seru mereka.
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 47
48 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
Es Mambo Aneka Rasa
oleh Shanti Ardhini, S.Pd.
L angit yang mendung kelabu dan tak lama kemudian
disusul hujan yang lumayan deras, membuat suasana di
kelas 7C menjadi gaduh.
“Bu, hujan. Pulang Bu!” teriak anak‐anak kelas 7C saling
bersahutan.
“Memangnya kenapa kalau hujan?” tanya Bu Shanti
heran.
Beginilah asyiknya mengajar di sekolah pegunungan, tiap
mendung datang pas di jam terakhir, anak‐anak selalu gaduh
minta pulang, meskipun belum waktunya pulang. Beginilah
situasi di sekolah yang berada di daerah pegunungan dan
didominasi oleh musim hujan. Jam 11 siang mendung sudah
datang dan tak lama kemudian disusul kabut, dan diakhiri
dengan hujan. Kalau hujan dan kabut sudah datang, pasti
akan membuat suasana jadi beda, suara guru berlomba
dengan suara hujan dan diselingi petir yang menggelegar,
sehingga membuat anak tidak bisa berkonsentrasi, apalagi di
tambah lampu di kelas yang kurang memadai, sehingga
menambah kegalauan anak‐anak.
“Ibu juga pingin pulang lho, tetapi nunggu 15 menit lagi
ya? Oh iya sembari menunggu bel pulang, ibu mau memberi
pengumunan yang menarik lho,” kata Bu Shanti sambil
tersenyum.
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 49
“Pengumuman apa bu?” serentak anak‐anak bertanya.
“Sebentar, sebelumnya Ibu mau tanya dulu, siapa yang
suka es?” tanya Bu Shanti
“Saya suka Bu. Saya suka,” anak‐anak berebut
menjawabnya.
“Suka semua kan? Nah, besok kita akan praktik membuat
es mambo,” kata Bu Shanti dan di sambut teriakan gembira
dari anak‐anak.
“Asyiiik, besok buat es, horeee,” teriak anak‐anak.
“Es apa Bu?” tanya Firda.
“Kita akan membuat Es Mambo,” jawab Bu Shanti.
“Es mambo itu apa sih Bu?” tanya Rifki yang pendiam.
“Es Mambo itu es yang dibungkus plastik, yang terbuat
dari sirup, kemudian di bekukan, seperti yang dijual di
warung‐warung itu siih,” jawab Bu Shanti.
“Berarti harus ada kulkas dong Bu,” tanya Calista.
“Itulah ajaibnya es mambo buatan kalian nanti, tanpa di
masukkan ke kulkas, airnya bisa membeku,” jawab Bu Shanti
“Wow, ajaib sekali!” kata Arya, diikuti oleh teman‐
temannya.
“Bu pelajaran IPA kok ada praktik membuat es sih,
seperti pelajaran Prakarya aja,” komentar Endi.
“Jangan salah, IPA juga pelajaran yang menyenangkan
lho,” jawab Bu Shanti sambil tersenyum.
“Memangnya ada ya Bu materi membuat es?” kembali
Endi bertanya.
“Materi membuat es sih tidak ada, tetapi judul materinya
yaitu Kalor mengubah wujud suatu zat,” kata Bu Shanti.
“Kalor itu panas kan Bu?” tanya Reza.
50 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
“Betul sekali, pinter kamu!,”jawab Bu Shanti
“Terus apa hubungannya dengan es mambo yang akan
kita buat Bu?” tanya Firda
“Nah itulah yang akan kita praktikkan besok dan ibu tidak
akan menjelaskannya sekarang, besok kalian sendiri yang
akan menemukan jawabannya,” kata Bu Shanti.
“Siap Bu,” anak‐anak saling bersahutan menjawab.
“Bahan‐bahannya apa saja Bu?” tanya Cinta.
“Cerdas kamu Cinta, sekarang Ibu mohon kalian tenang
dulu, nanti Ibu jelaskan, apa saja yang akan kalian bawa
besok,” Bu Shanti berusaha menenangkan anak‐anak yang
mulai gaduh.
“Sekarang Ibu tuliskan dulu di papan tulis, kalian
menyalin ya?” pinta Bu Shanti.
“Oh iya, besok kalian milih sendiri mau rasa apa ya, tidak
harus beli bahannya, yang dirumah sudah tersedia saja,
misalnya, es teh manis, es sirup, es santan, es susu dan kalau
tidak ada bahan sama sekali, kalian bisa pakai air putih saja,”
lanjut Bu Shanti
“Siap Bu,” dengan serempak anak‐anak menjawab.
“Baiklah sekarang kalian salin dulu ya di buku kalian
masing‐masing, tetapi besok kerjanya berkelompok,” kata Bu
Shanti.
Bu Shanti menuliskan bahan‐bahan yang dibawa anak‐
anak besok pagi diantaranya adalah air sirup/ air susu atau air
santan yang sudah dibungkus plastik es, baskom, pengaduk,
es batu dan garam kasar.
“Anak‐anak , yang perlu Ibu ingatkan adalah bahwa
garam yang kalian bawa harus garam kasar lho, bukan garam
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 51
halus, karena hasilnya lebih baik dan untuk rasa esnya
terserah kelompok masing‐masing,” kata Bu Shanti
meningatkan kembali.
“Ada pertanyaan lagi?” tanya Bu Shanti.
“Es batunya seberapa Bu?” tanya Angga, sang ketua
kelas.
“Sesuai dengan es yang akan kalian buat, kalau 5
bungkus, kira‐kira es batunya dua potong saja, paham
semua?” kata Bu Shanti
“Paham Bu!” serentak semua anak menjawabnya
“Baiklah, sekarang kalian berkemas‐kemas, karena
waktunya pulang sudah tiba,” Bu Shanti mengakhiri
pembelajaran hari ini.
Keesokan harinya, di jam pertama terlihat anak‐anak
kelas 7C tampak bersemangat sekali menyambut kedatangan
Bu Shanti di luar kelas, sambil sibuk mempersiapkan segala
sesuatunya untuk praktik hari ini.
“Assalamualaikum warohmatullaahi wabarokaatuh,” Bu
Shanti membuka pembelajaran dengan mengucapkan salam.
“Waalaikumsalam warohmatullaahi wabarokaatuh,”
jawab anak‐anak serempak.
“Ayo Bu kita mulai bikin esnya,” teriak Arya begitu selesai
menjawab salam. Bu shanti tersenyum gembira melihat
semangatnya anak‐anak hari ini yang sangat luar biasa.
“Sabar ya anak‐anakku, kita berdo’a dulu dong, untuk
memulai pelajaran hari ini, agar kita diberi kemudahan dan
kelancaran dalam kegiatan pembelajaran hari ini. Angga,
pimpin do’a dulu ya!” kata Bu Shanti. Angga pun memimpin
teman‐temannya untuk berdo’a.
52 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
“Bagaimana persiapannya untuk praktik hari ini? Apakah
bahan‐bahannya sudah lengkap?” tanya Bu Shanti.
“Sudah siap semua Bu,” anak‐anak kompak menjawab.
“Keluarkan semua bahan‐bahannya dan letakkan di atas
meja, sekretaris tiap‐tiap kelompok, menuliskan alat, bahan
dan cara kerja pada selembar kertas, yang lain
mempersiapkan bahan‐bahannya dan ingat! Semua anggota
kelompok bekerja dalam kelompoknya masing‐masing, tidak
ada yang bermain ataupun mengobrol, paham semua?” Bu
Shanti menginstruksikan peraturan dalam kerja kelompok.
“Paham Bu,” sahut anak‐anak serempak.
“Sekarang Ibu tuliskan cara kerjanya dulu, kemudian
kalian salin di selembar kertas,” perintah Bu Shanti.
Bu Shanti menuliskan cara kerja pembuatan es mambo.
Pertama, menyiapkan baskom, lalu langkah berikutnya yaitu
memasukkan es batu ke dalam baskom, selanjutnya
memasukkan garam ke dalam baskom yang sudah berisi es,
kemudian dilanjutkan dengan memasukkan air sirup/ air susu/
air santan yang sudah dibungkus plastik es, ke dalam baskom
yang berisi es batu dan garam, dan langkah berikutnya adalah
mengaduk semua yang ada di baskom, sampai air santan
yang ada dalam plastik es membeku.
“Sudah jelas semuanya kan? bagaimana cara kerjanya?
Sekarang kalian laksanakan!” perintah Bu Shanti
Anak‐anak antusias sekali, semua sibuk membungkus air
santan dan sirup, sementara anggota kelompok yang lain
memasukkan es batu dan garam ke dalam baskom.
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 53
“Anak‐anak, jangan lupa membungkus air sirupnya yang
kencang ya, agar tidak kemasukan air garam, nanti esnya jadi
asin lho,” Bu Shanti mengingatkan.
“Siap Buu,” sahut anak‐anak sambil sibuk dengan
kegiatannya masing‐masing, tampak sekali warna‐warni
minuman yang dibungkus oleh tiap‐tiap kelompok. Seperti
kelompok Firda membungkus santan manis dan gurih,
katanya agar esnya enak. Kelompok Endi memilih susu coklat,
kelompok Silva memilih susu putih. Kelompok Angga memilih
santan gula jawa dan kelompok Reza memilih sirup rasa
melon. Kemudian mereka memasukkan bungkusan minuman
kecil‐ kecil itu kedalam baskom, dan dilanjutkan dengan
mengaduknya terus. Sampai waktu 15 menit tampak
bungkusan plastik kecil‐kecil itu sudah mulai terlihat
membeku, anak‐anak kelihatan senang sekali.
“Horeeee esku hampir jadi,” teriak Firda, membuat
kelompok lainnya jadi termotivasi untuk lebih bersemangat.
“Bu, kenapa air susu kelompok kami masih cair Bu?”
tanya Silva.
“Coba ditambah garam lagi, dan jangan lupa di aduk
terus ya, agar bekunya merata,” perintah Bu Shanti.
Silva kemudian menambahkan garam ke dalam baskom
tadi, dan kemudian mengaduknya perlahan tanpa jeda.
“Bagaimana silva?” tanya Bu Shanti.
“Beberapa sudah mulai membeku Bu,” jawab Silva
dengan wajah gembira.
“Bagus! Kalian semua hebat,” kata Bu Shanti.
“Punya kelompok saya sudah membeku semua Bu,” kata
Firda, disusul kelompoknya Endi, Angga, Reza, dan Silva.
54 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
“Wow! Kalian luar biasa, alhamdulillah praktiknya berhasil
semua, hanya tadi kelompok Silva yang agak lambat, karena
garamnya kurang, sekarang kalian buat kesimpulan dari
praktik kali ini, kemudian ada perwakilan kelompok yang maju
untuk mempresentasikan hasil diskusinya, untuk es buatan
kalian, bisa dinikmati nanti ya, setelah pelajaran IPA
berakhir,” kata Bu Shanti setelah melihat semua kelompok
sudah menyelesaikan praktikumnya.
Tampak sekali keseriusan di wajah anak‐anak kelas 7C,
yang masih dalam posisi berkelompok untuk menyelesaikan
tugas yang diberikan Bu Shanti yaitu mendiskusikan apa
pengaruh kalor terhadap perubahan wujud dari air menjadi es
mambo.
“Bagaimana anak‐anak? Sudah selesai belum diskusinya?”
tanya Bu Shanti.
“Sudah Bu,” serempak anak‐anak menjawabnya
“Baiklah, sekarang perwakilan kelompoknya Firda dulu,
silakan kedepan!” perintah Bu Shanti.
Firda maju untuk mempresentasikan hasil diskusinya.
“Saya akan membacakan hasil diskusi kelompok kami,
dari hasil praktikum yang kami lakukan, pengaruh kalor disini
yaitu dengan adanya kalor maka terjadi perubahan wujud zat
yaitu dari cair menjadi beku, yaitu dari air santan menjadi es
santan,” Firda membacakan hasil diskusinya
“Bagus sekali, sekarang dilanjutkan kelompoknya Endi,
silakan ke depan,” kata Bu Shanti.
“Hasil diskusi kelompok kami yaitu bahwa kalor
mempengaruhi terjadinya perubahan wujud dari es batu yang
kemudian mencair, dan air susu coklat menjadi es karena
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 55
pengaruh dinginnya es batu tadi, demikian teman‐teman,
terima kasih,” Endi membacakan hasil diskusinya. Dan
kemudian diikuti oleh kelompok lain yang jawabannya juga
hampir sama.
“Baiklah anak‐anak, jawaban kalian semuanya bagus,
kalian sudah berhasil membuktikan bahwa kalor
mempengaruhi perubahan wujud zat dengan
mempraktikannya terlebih dahulu, nah, Ibu akan
menyempurnakan jawaban kalian tadi. Jadi dari hasil
praktikum tadi terjadi dua perubahan wujud zat. Perubahan
yang pertama adalah perubahan wujud melebur atau mencair
yakni meleburnya es batu menjadi air dan perubahan wujud
yang kedua yaitu perubahan wujud membeku yakni
membekunya cairan sirup atau santan atau susu menjadi krim
sirup atau santan atau susu,” Bu Shanti menerangkan
dengan jelas.
“Bu, lalu apa fungsi garam?” tanya Endi
“Bagus sekali pertanyaan Endi, jadi garam berfungsi
untuk menurunkan suhu es batu sehingga cukup dingin untuk
membekukan cairan sirup atau santan atau susu. Jadi seperti
yang kita ketahui, peleburan es memerlukan energi
(menyerap kalor). Nah, karena kalor tidak disuplai dari luar,
maka es menyerap kalor dari dirinya sendiri, sehingga suhu es
turun lebih jauh. Es yang suhunya telah menjadi sangat dingin
ini kemudian akan menyerap banyak kalor dari cairan susu/
sirup tadi, sehingga cairan sirup atau susu, dan santan tadi
dapat membeku, begitu anak‐anak, bisa di mengerti?”
penjelasan Bu Shanti membuat anak terkesima.
56 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
“Mengerti sekali Bu, wah berarti kita bisa membuat es
krim tanpa harus punya lemari es ya Bu?” tanya Angga.
“Bisa sekali, dan lebih irit, ilmu inilah yang membantu
para pedagang kaki lima untuk membuat es krim atau es
mambo tanpa freezer,” kata Bu Shanti.
“Ada yang tau pedagang es apa yang menggunakan cara
seperti kalian tadi?” tanya Bu Shanti
Anak‐anak tampak kebingungan, semuanya sibuk dengan
pikiran masing‐masing.
“Tidak ada yang tau?” tanya Bu Shanti, anak‐anak
menggelengkan kepalanya.
“Itu lho es yang biasa kalian beli di pedangang yang
mangkal depan sekolah itu , Es Tung‐Tung, yang bisa pake
contong, bisa juga dimakan pakai roti,” kata Bu shanti sambil
tersenyum.
“Ooooo, es Tung‐tung,” hampir bersamaan anak‐anak
menjawab.
“Nah sekarang kalian sudah paham semua kan?
Bagaimana pengaruh kalor terhadap perubahan wujud zat?”
tanya Bu Shanti
“Paham Bu,” jawab anak‐anak
“Nanti kalau sudah besar saya mau jualan es ya Bu,” tiba‐
tiba Reza nyeletuk, disambut tawa teman‐temannya.
“Boleh sekali,” Bu Shanti mengacungkan jempol untuk
Reza.
”Oh iya, karena waktu sudah habis, ibu akhiri dulu
pembelajaran pagi ini, jangan lupa es nya diminum ya,” Bu
Shanti mengingatkan
“Waduk kok jamnya sudah habis sih,” celetuk Arya.
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 57
“Kan sudah dua jam pelajaran,”kata Bu Shant.
“Bu, kapan‐kapan praktik lagi ya Bu,” pinta Irul.
“Siap! Ibu masih banyak stok materi untuk belajar sambil
berkreasi, sampai ketemu minggu depan, Wassalamualaikum
warohmatullohi wabarokatuh,” Bu Shanti mengakhiri
pelajaran.
“Waalaikumsalam warahmatullohi wabarakatuh,” jawab
anak‐anak serempak.
Pembelajaran IPA hari ini pun selesai dan anak‐anak
tampak antusias untuk mengikuti pembelajaran. Dengan
pembelajaran yang menarik maka akan menghapus anggapan
yang ada, bahwa IPA itu menakutkan, IPA itu sulit dan yang
lebih penting anak‐anak tidak merasa bosan dengan materi
yang diberikan.
58 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
Pembelajaran IPS
dengan Bermain Kartu
oleh Yayuk Kaniyah, S.Pd.
H ari ini matahari bersinar begitu cerah tetapi panasnya
begitu menyengat karena musim kemarau yang
berkepanjangan. Sudah bulan September hujan tak
kunjung menyiram bumi. Hari ini kebetulan jadwal pelajaran
Kelas VI jam pertama olahraga di lapangan. Seperti biasa
sehabis pelajaran olahraga aroma kelas menjadi kurang
begitu nyaman, apalagi di musim kemarau seperti sekarang
ini.
Jadwal pelajaran kelas VI setelah olahraga adalah Ilmu
Pengetahuan Sosial atau IPS yang cenderung
pembelajarannya membuat anak‐anak bosan dan
mengantuk. Apabila guru dalam KBM hanya mengandalkan
metode ceramah.Sehingga guru harus mencari solusi supaya
pembelajaran menyenangkan,efektif dan efisien.
“Tet,tet,tet!” bel tanda istirahat pertama selesai, anak‐
anak berhamburan masuk ke kelas masing‐masing.
Bu Yayuk guru kelas VI, masuk kelas dengan membawa
sesuatu yang dikemas menggunakan plastik hitam, anak‐
anak masih gaduh di kelas dengan kegiatan masing‐masing.
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 59
“Selamat siang anak‐anak!” Bu Yayuk mengucapkan
salam sambil meletakkan bungkusan di atas meja dengan
hati‐hati.
“Selamat siang, Bu Guru!” sahut anak‐anak sambil
merapikan duduknya .
“Apa itu Bu, kok besar sekali bungkusanya?” tanya
sebagian anak‐anak penasaran.
“Ini isinya sesuatu yang mengasyikkan buat kalian!”
sahut Bu Yayuk seraya membuat anak‐anak semakin
penasaran.
“Ah, Bu guru membuat kita penasaran saja,” kata Anis
sambil tersenyum.
“Kalau kalian penasaran, ayo, ikuti pembelajaran hari ini
dengan penuh antusias dan semangat!”
“Baiklah anak‐anak, hari ini jadwal pelajarannya apa?”
“Ilmu Pengetahuan Sosial Bu,” jawab anak‐anak
serempak.
“Bu Guru, tetapi kok saya rasanya ngantuk,” celetuk
Aldin sambil meletakkan kepala di atas meja beralaskan
tangan kirinya.
“Kenapa kamu Aldin kok ngantuk?” Bu Yayuk mencoba
menanyakan penyebabnya sambil mendekati Aldin.
“Tadi kami baru saja berlari keliling lapangan Bu,” sahut
Aldin
“Ya Bu, tadi saya juga sempat mau pingsan karena berlari
sambil kepanasan,” Wawan dari belakang tak kalah semangat
untuk bercerita.
60 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
“Lalu kalian mau minta pelajaran apa hari ini?” Bu Yayuk
melontarkan penawaran kepada anak‐anak agar mereka
tetap semangat mengikuti pembelajaran.
“Menyanyi!” usul Rini dari belakang.
“Mendongeng saja Bu, yang membuat kami tidak
mengantuk!” celetuk Ali sambil tersenyum.
“Oke, hari ini kita akan bermain bersama‐sama agar kalian
tidak mengantuk, bagaimana setuju nggak!” kata Bu Yayuk
mencoba merayu.
“Setuju!” jawab anak‐anak bersemangat.
“Tetapi sebelum bermain, sekarang kalian perhatikan
dulu gambar yang ada di layar LCD dengan seksama!”
“Siap, Bu!”
“Anak‐anak gambar apa sajakah ini ? Sebutkan satu
persatu ya!”
“Gunung Merapi.”
“Sungai Bengawan Solo.”
“Candi Borobudur.”
“Bagus dan benar jawaban kalian! Tepuk tangan untuk
semuanya!”
“Anak‐anak gambar tadi adalah sebagian kenampakan
alam yang ada di Indonesia, lalu bagaimana dengan
kenampakan alam negara tetangga kita, apakah kalian sudah
ada yang tahu?”
“Belum, Bu!”
“Negara manakah yang menjadi tetangga Indonesia?
Yang bisa silahkan tunjuk jari!”
“Malaysia, Singapura!” jawab Thobro.
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 61
“Betul, seratus buat Thobro! Lalu negara mana lagi?”
tanya Bu Yayuk sambil menunjuk ke Rechan.
“Phipilina, Brunai Darusalam!” Rechan menjawab dengan
lantang.
“BetuI, Rechan kamu pinter!”
“Sekarang tahukah kalian, kenampakan alam negara‐
negara tetangga tersebut?”
“Belum tahu, Bu!” jawab Rechan terus terang.
“Nah, karena kalian belum tahu maka hari ini kita akan
belajar bersama mengenai kenampakan alam dan keadaan
sosial negara‐negara tetangga, dengan menggunakan
permainan kartu kata dan kartu gambar yang sudah Ibu
sediakan di bungkusan plastik ini, mau nggak anak‐anak?”
tanya Bu Yayuk bersemangat.
“Mau Bu, asyik!” sahut anak‐anak bersemangat.
“Kalau begitu kalian perhatikan dan ikuti pembelajaran
hari ini dengan semangat!” kata Bu Yayuk memberi motivasi.
“Siap laksanakan!” jawab anak‐anak antusias
Bu Yayuk kemudian menyampaikan materi yang akan
dipelajari, tujuan pembelajaran, media yang akan di gunakan,
dan kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan hari ini, anak‐
anak pun tampaknya antusias sekali untuk mengikuti
pembelajaran.
Bu Yayuk meminta anak‐anak membuka buku paket IPS
materi Kenampakan Alam dan keadaaan sosial negara‐negara
tetangga. Untuk hari ini akan mempelajari tiga negara
tetangga terdekat lebih dahulu yakni negara Malaysia,
Singapura, dan Brunai Darusalam. Sambil membaca mereka
mencatat kedalam tabel kenampakan alam dan keadaan
62 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
sosial negara masing masing seperti nama gunung, sungai,
bukit, dataran, mata uang, ibu kota, bentuk negara,
pemimpin negara, pemimpin pemerintahan, gambar bendera,
lagu kebangsaan, dan hasil utama negara tersebut.
Langkah selanjutnya Bu Yayuk membentuk kelompok
dengan memperhatikan jenis kelamin, anak pandai, sedang,
dan kurang agar kelompok yang terbentuk anggotanya
heterogen sehingga mereka bisa saling membantu apabila
ada teman yang mengalami kesulitan.namun, saat membagi
kelompok anak‐anak tidak tahu kalau guru telah membagi
mereka secara heterogen.
Nama kelompok mengambil judul lagu nasional seperti,
“Maju Tak Gentar”, “Halo‐halo Bandung”, “Berkibarlah
Benderaku” yang ditulis dalam kertas kemudian di gulung.
Kelompok anak dengan kategori kurang, sedang, pandai,
perempuan diberi kertas dengan judul lagu yang berbeda
agar mereka tidak bertemu dalam satu kelompok dengan
kategori sama.
“Ayo, kita buat kelompok permainan dulu anak‐anak!”
pinta Bu Yayuk
“Ya, Bu!”
“Nama yang Ibu panggil maju mengambil kertas dan
kertas ini nanti dibuka bersama‐sama. Anak yang mendapat
judul lagu yang sama berarti menjadi satu kelompok, paham
anak‐anak?” Bu Yayuk memberi arahan.
“Paham, Bu Guru!”
“Laksanakan, dan anggota satu kelompok agar
berkumpul menjadi satu mencari tempat yang kelompok
kamu sukai!” arahan Bu Yayuk selanjutnya.
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 63
Setelah membentuk kelompok, Bu Yayuk membimbing
anggota kelompok untuk mempelajari Kenampakan Alam dan
keadaan sosial tiga negara tetangga yang sudah ditentukan
tadi, mereka dalam satu kelompok saling memberi informasi
tentang kenampakan alam dan keadaan sosial ketiga negara
tersebut, sehingga setiap anggota aktif dibantu oleh anggota
yang lain.
“Anak‐anak sekarang kita akan mulai permainannya, tiap
kelompok harus siap ke tiga negara, Ibu akan mengeluarkan
kartu gambar dan kartu kata yang sudah Ibu siapkan dalam
kantong plastik hitam tadi. Nanti setiap kelompok akan
memperoleh tugas sesuai negara yang dipilih oleh ketua
kelompok setelah berhasil menjawab kuis yang Ibu berikan,”
Bu Yayuk menjelaskan aturan permainannya dengan sabar.
Bu Yayuk telah mempersiapkan kartu kata dan kartu
gambar yang dapat di pasangkan. Kartu pertama adalah kartu
nama negara seperti: Singapura, Malaysia, dan Brunai
Darusalam sesuai kebutuhan. Kartu nama negara
diperebutkan melalui kuis terlebih dahulu, kelompok yang
bisa menjawab kuis bisa memilih negara yang dikehendaki
oleh anggota kelompok. Kartu kedua bertuliskan : Ibu kota,
Bendera, Lagu Kebangsaan, Kepala Negara, Kepala
Pemerintahan, Mata Uang, Bentuk Negara, Hasil utama,dan
Kenampakan alam. Kartu ini akan di pasangkan dengan kartu
ketiga. Kartu ketiga adalah kartu yang bisa di pasangkan
dengan kartu kedua. Kartu ini bertuliskan kenampakan alam
dan keadaaan sosial di semua negara tetangga baik ibukota,
mata uang, gunung, hasil utama, gambar bendera, dan lain‐
lain.
64 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
“Saatnya berlomba semua kelompok siap! tetapi jangan
tegang!”
“Ibu akan membacakan kuis dengarkan baik‐baik, siapa
pun anggota kelompok bisa menjawab kuis ini!” kata Bu
Yayuk sambil bersiap membacakan kuis.
“Siap Bu, nanti kelompok yang bisa menjawab kuis
hadiahnya apa, Bu?” tanya Azna penasaran.
“Nanti kelompok yang bisa menjawab kuis, bisa
mengambil kartu kata nama negara yang kalian inginkan
terlebih dahulu,” awab Bu Yayuk dengan sabar.
“Kuis pertama, apakah nama ibukota Negara Malaysia?”
“Kuala lumpur!” jawab ketua Kelompok Maju tak Gentar.
“Seratus untuk kelompok Maju Tak gentar! Silakan kalian
memilih negara mana yang kelompok kalian Inginkan!”
“Singapura!”
Ketua kelompok maju untuk mengambil kartu nama
negara Singapura. Kartu ditunjukkan pada kelompok lain dan
diletakkan di atas meja yang telah disiapkan untuk bermain.
Selanjutnya semua anggota kelompok berlomba
memasangkan kartu 2 dengan kartu 3 menjadi pasangan
yang tepat dalam waktu 3 menit. Anggota kelompok bisa
saling membantu agar kartu yang dipasangkan bernilai 100.
Bila waktu selesai maka kelompok mempresentasikan hasil
kerjanya dengan menunjukkan kartu yang sudah dipasangkan
dan dibaca di hadapan kelompok lain, sedangkan kelompok
lain memberi nilai betul atau salah. Apabila betul mendapat
nilai 100 dan salah nilai 0. Nilai akhir kelompok adalah nilai
akumulasi dari jumlah betul betul.
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 65
Setelah selesai satu kelompok, dilanjutkan kelompok
yang lain dengan proses yang sama dengan nama negara
yang berbeda sampai materi 3 negara selesai dan anak‐anak
paham.
Langkah selanjutnya adalah lomba antar kelompok
dengan negara yang sudah untuk berlatih pada tahap
pertama, gunanya untuk lebih memantapkan siswa
memahami materi pembelajaran. Lomba dilakukan bisa
dengan hitungan atau dengan peluit. Kartu‐kartu sudah di
tata berdasarkan jenisnya, misal jenis nama mata uang,
gambar bendera, dan lain‐lain menjadi satu tumpuk. Siswa
yang akan berlomba berjajar di sebelah kanan dan kiri meja
sesuai kelompoknya, dan menunggu komando dari guru.
Pasangan kartu‐kartu yang sudah diperoleh diletakkan di
meja, di bawah negara masing‐masing. Kalau ada pasangan
kartu yang salah anggota kelompok yang lain bisa
membetulkan selagi masih ada waktu.
“Anak‐anak waktu telah selesai, sekarang semua
perhatikan kita cocokkan bersama‐sama, pasangan kartu
kamu angkat dan perlihatkan pada kelompok lain dan
kelompok lain yang menilai betul atau salah!” perintah Bu
Yayuk pada kedua kelompok yang berlomba.
“Negara Singapura, Ibukota Singapura,” kata Tyas sambil
menunjukkan kartu kehadapan kelompok lain.
“Betul, nilai 100!” jawab mereka serempak sambil
bertepuk tangan.
“Kenampakan alam negara Singapura Bukit Timah!” kata
Lutfi selanjutnya
“Betul, 100!” mereka tepuk tangan semakin bersemangat
66 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
“Mata uang negara Singapura Dolar Singapura!” Aldin
tidak sabar membaca kartunya.
“Seratus!” sahut mereka lagi.
“Nah, karena kelompok ini bisa memasangkan semua
kartu yang berhubungan dengan Negara Singapura dan benar
semua, maka kelompok Maju Tak Gentar Ibu kasih PIN, tepuk
tangan sekali lagi anak‐anak!” Bu Yayuk mencoba lebih
membakar semangat mereka.
“Kita lanjutkan ke kelompok Halo Halo Bandung! Kita
lihat apakah kelompok ini bisa juga memperoleh PIN?” kata
Bu Yayuk memberi semangat.
Secara bergantian mereka berlomba dengan kelompok
yang berbeda, semua anak‐anak aktif memperhatikan
kelompok yang lain karena merekalah yang memberi nilai dan
guru hanya memberi semangat, bimbingan dan arahan bila
ada yang salah.
“Anak‐anak kalian hari ini telah belajar dan bermain
dengan semangat sekali, Ibu sangat senang, apakah kalian
juga senang? ” tanya Bu Yayuk menyelidik setelah semua
kelompok sudah selesai mengikuti lomba.
“Senang dan waktu tidak terasa bahkan saya tidak
ngantuk lagi sekarang!” jawab mereka bersahutan.
Tugas selanjutnya anak‐anak mengerjakan tugas
kelompok dengan memasangkan potongan kertas berisi
tulisan seperti kartu kata dan kartu gambar di atas, yang
sudah disediakan pada sebuah lembar kerja dengan di
tempel menggunakan lem sesuai negara yang diperoleh.
Setelah selesai wakil kelompok membacakan hasil kerja
kelompok di depan kelas secara bergantian .
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 67
“Sudah selesai anak‐anak?” kata Bu Yayuk memecah
kesunyian.
“Belum! Sebentar lagi!” kata Hendri dari belakang.
“Sudah selesai Bu!” kata mereka serempak tiba‐tiba,
setelah selang beberapa waktu.
“Baiklah, ayo kelompok Berkibarlah Benderaku
presentasikan hasil kerjamu di depan kelas! Beri semangat
dengan tepuk tangan anak‐anak!” perintah Bu Yayuk
“Apakah hasil kerja kelompok Berkibarlah Benderaku,
betul semua anak‐anak?” tanya Bu Yayuk setelah kelompok
selesai membacakan tugas.
“Seratus Bu!” jawab wakil kelompok Halo‐halo Bandung
“Bagaimana menurut kelompok lainnya?”
“Seratus juga Bu! “
Setelah semua kelompok mempresentasikan hasil kerja
kelompoknya, Bu Yayuk memberikan masukan dan mengulas
kembali materi. Motivasi juga diberikan agar mereka tetap
semangat belajar. Tahap terakhir Bu Yayuk memberi evaluasi
secara individual dengan tes tertulis. Hasil evaluasi
selanjutnya dikumpulkan untuk dinilai.
“Anak‐anak hari ini kita telah bersama‐sama belajar
Kenampakan Alam dan Keadaan Sosial Tiga Negara Tetangga,
bagaimana perasaan kalian?” tanya Bu Yayuk menyelidik.
“Senang sekali Bu,” sahut Thobroni dengan mantap.
“Apa yang kamu peroleh hari ini Thobroni?” tanya Bu
Yayuk
“Saya sekarang tahu nama ibu kota, mata uang lagu
kebangsaan negara Singapura Bu,” jawab Thobroni.
68 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
“Saya tahu nama Ibukota dan mata uang Negara
Malaysia Bu,” sahut Wawan tidak sabar.
“Baiklah anak‐anak tugas untuk pertemuan berikutnya,
kalian pelajari negara Philipina, Myanmar, dan Thailand!” kata
Bu Yayuk memberi tugas di rumah.
“Kita besok bermain lagi ya, Bu!” pinta beberapa dari
mereka.
“Ya, tentu kita akan bermain yang lebih seru dari hari ini,”
sahut Bu Yayuk
Tet…tet…tet…
“Anak‐anak karena waktu istirahat telah tiba, silahkan
kalian istirahat dan selamat siang!” kata Bu Yayuk sambil
merapikan mejanya.
“Selamat siang Bu!” sahut mereka seraya berhamburan
keluar kelas untuk istirahat.
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 69
70 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
Pak Hadi Guru
yang Menginspirasi
oleh Rini Wijayanti, S.Pd.
S osoknya biasa saja. Tak ada yang berbeda apalagi
berlebihan. Bahkan bisa dikatakan, ia lebih sederhana
dibandingkan rekan‐rekan sekerjanya. Kendaraan yang
dipakainya pun bukan roda empat tapi sebuah motor butut
warna merah.
Setiap pagi sebelum motor‐motor lain datang, motor tua
itu terparkir rapi sendirian, tanpa teman. Pun di ruang
kerjanya, ia juga sendirian, walau hanya sekitar satu jam. Tapi
waktu kesendiriannya di pagi yang masih segar dan jernih itu
ia manfaatkan untuk membekali diri dengan berbagai
peralatan dan perlengkapan untuk menyalurkan ilmu yang
dimiliknya pada para siswa kebanggannya.
Ya, Pak Hadi adalah seorang guru Bahasa Indonesia di
sebuah sekolah menengah pertama. Ia seorang laki‐laki paruh
baya. Rambutnya mulai memutih ditimpa waktu dan
sengatan matahari. Kumis tebal yang mulai memutih
menghiasi bibirnya yang tebal. Menurut buku kepribadian,
bibir tebal menandakan bahwa pemiliknya seorang yang
lambat bicara, artinya ia akan berpikir dulu sebelum berkata‐
kata, tidak banyak bicara apalagi menggunjingkan tetangga.
Pas sekali dengan karakter Pak Hadi. Ia hanya berbicara yang
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 71
menurutnya penting saja, terkesan cuek dan tidak peduli.
Tapi dalam kelas, ia menjelma menjadi pribadi yang hangat
dan menyenangkan. Ia sediakan banyak waktu untuk
menjawab pertanyaan para siswanya.
Kaca mata baca selalu setia membantu penglihatannya
walau kadang ia lupa menaruhnya di mana, padahal
menempel di atas kepala. Pak Hadi tidak lagi muda. Tepatnya
ia sudah bekerja selama hampir 35 tahun, dua tahun lagi ia
akan pensiun.
Pukul tujuh kurang sepuluh menit, Pak Hadi mulai
beranjak meninggalkan ruang guru. Tak peduli tatapan mata
rekan‐rekannya yang memandangnya aneh. Selalu begitu.
Tapi Pak Hadi tak pernah ambil pusing. Pak Hadi punya
prinsip, lebih baik ia yang menunggu para muridnya di kelas
dari pada para murid yang menunggunya.
Pak Hadi tak perlu menunggu, Kelas VIIA sudah penuh
terisi siswa. Mereka sudah menantikan Pak Hadi, guru
kesayangan yang selalu menginspirasi.
“Selamat pagi, anak‐anakku.”
“Selamat pagi, Pak.”
“Bagaimana kabar kalian?”
“Luar Biasa, Pak!” anak‐anak serempak menjawab.
“Hari ini Bapak membawakan apa untuk kami?” Nawang
bertanya penasaran.
“Tenang, hari ini Bapak membawa banyak oleh‐oleh.”
Dengan penuh semangat Pak Hadi meletakkan berbagai
barang yang tadi di bawanya. Pak Hadi selalu membawa
banyak barang ketika akan mengajar. Barang‐barang itu tak
cukup hanya ditempatkan dalam satu tas, oleh karena itu Pak
72 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
Hadi harus membawa paling tidak dua tas, semuanya penuh
dengan barang.
“Kemarin Bapak pergi ke Pantai Sigandu, Bapak
membawa banyak benda. Benda apakah ini?” Pak Hadi
menunjukkan sebuah benda pada para siswanya.
“Itu rumah siput, Pak,” jawab Dewi penuh semangat.
“Betul, seratus. Kalau yang ini?” Pak Hadi menunjukkan
lagi benda yang lain.
“Itu rumput, Pak,” kata Gina.
“Rumput ilalang, Pak,” jawab Eko.
“Bukan, itu rumput berlari, Pak!” seru Tejo.
“Kok berlari?” pak Hadi penasaran.
“Iya, Pak. Kalau tertiup angin, rumput itu akan
menggelinding, seperti berlari padahal kena angin,” Tejo
menjelaskan penuh semangat.
“Iya, kalian benar semua. Ini memang sebuah rumput.
Disebut rumput berlari juga tidak salah, Jo,” kata Pak Hadi
bijaksana. Ia tak pernah menyalahkan setiap pendapat
siswanya.
“Anak‐anak, di meja Bapak, ada benda‐benda khas pantai.
Silakan kalian ambil sesuai yang kalian inginkan. Tapi harus
tertib, jangan rebutan. Ingat, budayakan...”
“Antre!” para siswa menjawab serempak.
Tanpa dikomando, para siswa mulai berbaris dengan rapi.
Menuju ke meja Pak Hadi dengan membuat antrean.
Mengambil barang yang disukai tanpa rebutan.
Setiap siswa mendapatkan satu benda, ajaibnya tidak ada
satu pun yang sama. Entah bagaimana Pak Hadi
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 73
mendapatkan berbagai macam benda khas laut itu. Tinggal
satu benda yang terdapat di atas meja Pak Hadi.
“Pak, ini kan sedotan,” Sumi protes. “Ini benda khas
warung Bu Sasi, bukan khas laut.”
“Kata siapa?” Pak Hadi balik bertanya. Kemudian ia
memutar sebuah tayangan video yang bisa disaksikan para
siswa melalui slide. Tak lupa speaker kecil yang selalu dibawa
Pak Hadi ke kelas turut berjasa memperbesar volume suara
video itu.
Dalam video diperlihatkan seekor ikan paus yang mati.
Ketika tubuhnya dibelah untuk mengetahui penyebab
kematiannya, tampaklah gumpalan‐gumpalan plastik berada
dalam perut ikan malang itu. Setelah ditimbang, beratnya tak
kurang dari enam kilogram.
“Bayangkan anak‐anak. Enam kilogram sampah plastik
berada dalam saluran pencernaannya. Bayangkan, betapa
menderitanya ikan itu. Sedikit plastik yang ikut tertelan saat
kita makan saja sudah membuat sakit perut, apalagi enam
kilogram. Pantaslah kalau paus ini mati. “
Anak‐anak nampak merenung. Membayangkan sakit yang
dirasakan ikan itu.
“Mengapa sampai ada sampah plastik di laut? Siapa yang
membawa? Bisa jadi kalian!”
“Saya tak pernah membuang plastik di laut, Pak,” Yogi
protes.
“Saya juga tidak. Bahkan kalau saya jajan, plastik
pembungkusnya akan saya simpan di tas atau saku sampai
menemukan tempat sampah,” kata Fitri.
74 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
“Bagus Yogi, Fitri. Jangan pernah membuang sampah
sembarangan. Bila kamu membuang sampah di pantai, bisa
jadi sampah itu akan dibawa ombak ke tengah lautan. Hewan‐
hewan kelaparan di tengah laut itu tidak bisa dengan mudah
membedakan antara makanan dan sampah. Banyak dari
mereka yang hanya bisa mendeteksi gerak. Sesuatu yang
bergerak dianggap sebagai makanan. Sampah bergerak pun
disangka sebagai makanan,” Pak Hadi menjelaskan.
“Sampah‐sampah yang dibuang ke sungai juga akan
menuju ke laut, karena sungai bermuara ke laut. Mulai
sekarang, tingkatkan rasa cinta kalian pada lingkungan, pada
seluruh makhluk ciptaan Tuhan, pada bumi tempat tinggal
kalian. Kalau bukan manusia, siapa lagi,” Pak Hadi
menambahkan.
Pak Hadi menutup tayangan video itu dengan
memperlihatkan keindahan alam berupa pantai. Pantai
Sigandu yang diambil sendiri gambarnya oleh Pak Hadi. Di
dalam video itu nampak berbagai benda yang tadi dibawa Pak
Hadi yang sekarang berada di tangan para siswa.
“Anak‐anakku, apa yang kalian lihat dalam tayangan
video tadi?”
“Keindahan Pantai Sigandu, Pak,” spontan Dewi
menjawab.
“Iya betul, selain itu apalagi?”
“Rumput berlari, Pak!” teriak Tejo.
Seketika para siswa tertawa. Pak Hadi juga tertawa.
“Iya, itu bagian tersulit dalam pengambilan gambar.
Bapak juga harus sedikit berlari mengikuti rumput itu.”
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 75
“Sepertinya benda‐benda yang dibawa Pak Hadi ada
semua,” kata Rita.
“Iya, Rita. Kamu jeli sekali. Tepat sekali perkataanmu.
Anak‐anak, bila kalian jeli memperhatikan, memang barang‐
barang yang Pak Hadi bawa tadi ada semua.”
“Terus, benda‐benda ini harus kami apakan, Pak?” tanya
Dewi.
“Pertanyaan bagus, Wi. Ini yang bapak tunggu. Anak‐
anak, silakan cermati benda yang sudah kamu pilih tadi.
Kemudian genggam erat benda itu. Sekarang pejamkan
matamu. Bayangkan kamu berada di pantai. Rasakan semilir
anginnya, bau amisnya, boleh kalian cium benda itu.
Dengarkan debur ombak yang dibawa oleh benda yang ada di
tanganmu itu.”
Anak‐anak melakukan perintah Pak Hadi. Kelas menjadi
hening. Semuanya memejamkan mata, membayangkan
sedang berada di pantai.
“Sekarang tuliskan gambaran pantai yang sudah kalian
bayangkan tadi. Semuanya tuliskan. Jangan takut salah. Apa
saja yang sudah kalian bayangkan, itu yang kalian tulis.”
Para siswa sIbu menulis. Segala hal yang tadi
dibayangkan dituliskan. Kelas kembali hening. Pak Hadi
memutar musik instrumentalia yang membuat kelas semakin
nyaman. Para siswa semakin larut dalam menulis.
“Jangan lupa anak‐anak, masukkan juga benda sumber
inspirasimu itu dalam tulisanmu.”
Pak Hadi berkeliling ke setiap meja. Mencoba
memberikan saran dan masukan.
76 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
“Wah, macet Pak. Hanya bisa menulis lima kalimat,” kata
Tejo saat Pak Hadi sampai di mejanya.
“Tidak masalah Tejo. Lima kalimatmu itu pasti sangat luar
biasa,” kata Pak Hadi sambil mengelus kepala Tejo.
“Akan saya tambah, Pak,” kata Tejo penuh semangat.
“Bagus!” kata Pak Hadi sambil mengacungkan jempolnya.
Pak Hadi memang pandai merayu para siswanya supaya mau
mengerjakan tugas dengan baik. Bukan melalui kekerasan
atau bentakan tetapi justru lewat kata‐kata manis berupa
pujian. Tentunya bukan sekadar basa‐basi tetapi keluar dari
ketulusan hati.
“Jangan terburu‐buru anak‐anakku. kita punya banyak
waktu.”
Begitulah, pembelajaran hari itu berakhir dengan indah.
Pak Hadi berhasil mengajak para siswanya untuk
menggambarkan keindahan laut dalam teks deskripsi
sekaligus lebih menanamkan dalam jiwa para generasi muda
itu untuk lebih memperhatikan dan mencintai alam sekitar
dengan cara tidak membuang sampah sembarangan.
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 77
78 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
Kebingungan Jadilah Cerpen
oleh Wityawati, S.Pd.
T erdengar bunyi bel pergantian jam belajar.
Kulangkahkan kakiku menuju kelas tersayang, Kelas
IXD. Kebetulan di samping aku mengajar sebagai guru
Bahasa Indonesia, aku juga sebagai wali kelas di kelas itu.
Kelasku bukan temasuk kelas pintar. Kelasku adalah
kumpulan anak‐anak yang memiliki nilai notabene di bawah
kelas IX A dan IX B, yang memiliki kemampuan belajar bagus,
kemauan belajar tinggi, suka membaca, dan suka menulis.
Aku pesimis, “Apakah anak‐anakku tersayang bisa
menulis cerpen ya?” perkataanku berkecamuk dalam hati dan
pikiranku. Ah, perasaan itu aku buang jauh‐jauh. Aku tak kan
menyerah. Akan kucoba, mungkin bisa.
“Assallamualaikum wa rahmatulahi wa barakatuh,”
sapaku pada anak‐anak tercintaku.
Mereka terkejut melihat kedatanganku. Ada yang sedang
menghabiskan makanan, ngerumpi, mengerjakan tugas
pelajaran sebelumnya yang belum selesai, berkejar‐kejaran
dengan teman, dan ada tiga anak yang belum kelihatan
batang hidungnya, kemanakah mereka?
“Waallaikumsallam wa rahmatulahi wa barakatuh,” jawab
mereka sekalipun tak kompak.
Kulihat bangku Aven, Faqih, dan Isma yang masih
kosong. Ku presensi siswa satu persatu. Sepuluh menit aku
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 79
masuk tak satupun mereka hadir. “Ke mana tiga siswa yang
belum ada di kelas anak‐anakku?” tanyaku.
Sasa yang tanggap dengan pertanyaanku menjawab,
“biasa Bu, ke belakang selalu, jika pergantian jam, ke kantin
kali Bu.”
Baru saja selesai Sasa mengucap kalimat, ada yang
mengetuk pintu, “Assallamuallaikum,” sapa anak tiga itu
sambil terengah‐engah.
“Maaf Bu, baru diminta tolong Pak Fikri untuk
memindahkan meja ping pong,” kata Faqih terengah ‐engah.
“Ya sudah, sana duduk, lain kali jika ada yang memiliki
kepentingan, jika ada pergantian jam harus izin guru yang
bersangkutan, agar tidak mengira yang bukan‐bukan,”
kataku.
“Iya Bu, maaf,” jawab Faqih dan Isma serempak.
Aven yang sejak masuk tadi kurang konsentrasi aku
tanya, “Bagaimana Aven juga?” tanyaku.
“Iya Bu,” jawab Aven.
“Iya apa Ven?” aku balik bertanya.
“Minta maaf Bu,” jawabnya.
“Bagus,” kataku.
Selanjutnya, aku mulai membuka pelajaran pada hari itu.
Pada pertemuan sebelumnya, aku menjanjikan pada anak‐
anakku bahwa pada hari ini akan mengajari mereka untuk
menuliskan cerpen. Aku menuju papan tulis untuk menuliskan
tujuan pembelajaran yang akan dituliskan pada hari itu, yaitu
menulis cerpen berdasarkan peristiwa yang pernah dialami.
Aku memulai pembelajaranku dengan bertanya pada mereka.
80 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
“Siapa yang belum pernah membaca cerpen? Coba
angkat tangan,” perintahku. Ternyata memang benar
dugaanku, bahwa mereka sebagian besar belum pernah
mengetahui apa itu cerpen. Kecuali beberapa anak putri yang
memang mereka sering mengunjungi perpustakaan dan
senang meminjam buku. Padahal baru pertemuan kemarin
aku menjelaskan unsur‐unsur pembangun cerpen. Dasar, baru
kemarin sudah lupa, atau pura‐pura lupa.
“Nah, itulah, benar dugaan Bu Guru, bahwa kalian belum
mengenal apa itu cerpen. Itu karena, kalian malas membaca,
enggan untuk mengunjungi perpustakaan, jadi kurang adanya
wawasan,” kataku pada mereka.
“Nah, jika demikian keadaanya, marilah kita bersama,
sebelum bisa menulis cerpen, terlebih dahulu berkenalan
dahulu dengan cerpen,” tegasku.
Kemudian Adit ku perintahkan untuk mengambil majalah
Ummi yang berada di almari Gerakan Literasi Sekolah. Adit
membagikan majalah tersebut pada teman‐temannya satu
siswa satu majalah.
Kemudian aku memerintahkan pada anak‐anak untuk
membuka kolom cerpen yang ada pada majalah tersebut.
Pada awalnya mereka juga kebingungan mencari kolom
cerpen. Alhamdulillah dengan kesabaran, akhirnya satu kelas
menemukan kolom cerpen. Ku perintahkan mereka untuk
membaca cerpen itu dalam hati. Setelah itu mereka juga perlu
memahami unsur‐unsur intrinsik yang terdapat pada cerpen
tersebut.
Unsur intrinsik yang membangun cerpen itu diantaranya
adalah tema, tokoh, penokohan, alur, latar atau setting,
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 81
sudut pandang, gaya bahasa, amanat, dan judul. Aku ingatkan
kembali pada mereka tentang pengertian unsur‐unsur
intrinsik cerpen dan cara mencarinya, satu per satu.
Kucoba bertenya untuk mengetahui apakah mereka
sudah memahami unsur intrinsik cerpen.
“Diki, tokoh cerpen yang kamu baca itu siapa saja?”
tanyaku pada Diki yang kelihatanya sudah sejak tadi selesai
membaca.
“Imam, Hasna, Ibu Imam dan Ibu Hasan, Bu,” jawab Diki.
Akhirnya aku juga memberi pertanyaan pada beberapa
anak yang lain tentang unsur intrinsik yang ada pada cerpen
itu. Ada yang dapat menjawab, ragu‐ragu, bahkan ternyata
juga ada yang tidak memanfaatkan waktu untuk membaca
cerpen, sehingga ketika mereka di tanya tentang unsur
intrinsik, mereka gugup dan tidak dapat menjawab.
Aku melanjutkan pelajaranku pada hari itu, pertama
mengingatkan tentang pengertian cerpen. “Anak‐anak, coba
kita tengok kembali pelajaran kita pada materi yanglalu
tentang ciri‐ciri cerpen, coba sebutkan satu per satu, siapa
yang masih mengingatnya?” tanyaku.
Nasihatul mengangkat tangan pertama kali, “termasuk
salah satu cerita fiksi atau non fiksi Bu,” jawabnya.
“Ya benar,” jawabku, “Apa lagi?” aku melanjutkan
bertanya.
Vera menjawab, “Cerita maksimal dua puluh ribu kata
Bu.”
Wildan menambahkan, “Kalimat yang ditulis berupa
kalimat langsung dan tidak langsung, Bu.”
“Hanya menceritakan satu kejadian Bu,” tambah Dio.
82 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
“Oke, semua jawaban kalian benar, itulah ciri‐ciri cerpen.
Baiklah, kalau demikian, tugas selanjutnya untuk kalian adalah
menulis cerpen. Terlebih dahulu harus kalian pahami langkah‐
langkah dalam menulis cerpen.”
Kemudian aku menuju ke papan tulis, untuk menuliskan
langkah‐langkah menulis cerpen berdasarkan peristiwa yang
pernah dialami.
“Langkah pertama yaitu, mengingat‐ingat berbagai
pengalaman yang kalian miliki. Tentunya setiap orang pastilah
memiliki pengalaman hidup. Dari lahir sampai saat ini, telah
beribu‐ribu pengalaman yang dimiliki. Masing‐masing orang
berbeda‐beda pengalaman. Ada yang pengalaman bahagia,
sedih, lucu, memalikan, dan sebagainya. Hidup di dunia ini
adalah melaksanakan ujian Allah SWT. Ujian itu ada yang
enak, ada yang tidak. Ada yang mudah juga ada yang sulit.
Itulah pengalaman hidup. Paling tidak dari pagi kalian bangun
sampai kalian duduk mengikuti pelajaran di kelas sekarang ini,
itulah pengalaman,” kataku.
“Nah, apakah kalian punya pengalaman hidup?” tanyaku.
“Punya Bu,” jawab mereka serentak.
“Baiklah, Ibu lanjutkan langkah kedua, yaitu memilih
salah satu pengalaman hidup kalian yang bekesan untuk
dijadikan tema cerpen,” perintahku. “Jika bingung boleh
bertanya pada Bu Guru, ya?” perintahku.
“Ya, Bu,” jawab mereka.
Anak‐anak mengingat‐ingat pengalaman mereka untuk
dijadikan tema dalam cerpen. Setelah selesai mereka maju
satu per satu untu dinilai guru. Setelah satu per satu anak
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 83
maju, ternyata Faqih yang dari tadi hanya diam, dia tidak
mendapat satu ide pun untuk menuliskan pengalamannya.
Aku menghampirinya dan bertanya, “Mana temanya? Kok
tidak maju?” tanyaku.
Dia kelihatan salah tingkah, berusaha menutupi
kebingunganya, akhirnya menjawab pertanyaanku juga
sambil gugup, “Sa..., saya bingung Bu.”
“Bingung apa?” tanyaku lagi.
“Bi..., bingung harus menulis seperti apa.”
“Oh, bingung memilih pengalaman hidup?” jawabku.
“Ya, pengalaman itu seperti apa misalnya?” tanya Faqih
sudah mulai berani bertanya.
“Apa yang Faqih alami saat ini pun juga sebuah
pengalaman kan? Faqih bagaimana sekarang perasaan dan
pikiran yang sedang dialami? Faqih sedang merasakan apa
saat ini?” tanyaku.
“Saya sedang bingung menulis cerpen Bu,” jawabnya.
“Nah, bisakah itu dijadikan sebuah tema cerpen?”
tanyaku kembali.
“Bisa Bu,” jawabnya masih ragu.
“Oke, tulis saja,” jawabku.
“Ja...jadi bisa Bu?” tanya Faqih antara ragu dan senang.
“Iya!” tegasku.
“Hore...aku bisa...!” teriaknya, sampai teman‐teman
sekelas mentertawakanya karena kaget.
Aku melanjutkan langkah ketiga dalam menulis cerpen.
Langkah ketiga yaitu menulis kerangka dalam bentuk tahapan
alur. Jika siswa menginginkan alur maju dalam cerpenya,
maka tahapan alur: (1) orientasi atau pengenalan, (2) konflik
84 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
atau pemunculan masalah, (3) klimaks atau puncak
permasalahan, (4) resolusi atau penurunan masalah, dan
koda atau penyelesaian. Siswa menuliskan garis besar cerita
pada masing‐masing tahapan alur. Dalam hal ini siswa sudah
harus memahami unsur intrinsik cerita pengalamanya.
Aku juga memberikan contoh tentang pengalamanku
yang berkesan dengan menuliskan garis besar tahapan
alurnya dengan materi ajar pada siswa.
1. Orientasi atau pengenalan (siswa meningat penjelasan
guru sebelum memlai penelitian)
Contoh: kami mendengarkan penjelasan guru
2. Konflik atau pemunculan masalah (Siswa menuju objek
penelitian)
Ketika menuju ke Perpustakaan Merpati belia, Johan
menarik Toto lari menuju kamar mandi.
3. Klimaks atau puncak permasalahan (akibat dari konflik)
Karena Johan dan Toto lama sekali berada di kamar
mandi, akhirnya satu soal yang diberikan pada kelompok
kami tidak selesai.
4. Resolusi atau jalan keluar (jalan keluar untuk
penyelesaian masalah)
Mereka berdua muncul disaat waktu tinggal lima
menit lagi.
5. Koda atau penyelesaian
Akhirnya kami selesai mengerjakan tugas, walau
terburu‐buru karena waktu telah selesai.
Satu per satu siswa mulai membuat tahapan alur dari
cerpennya. Jika ada yang belum jelas mereka bertanya pada
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 85
guru, termasuk Faqih, karena dia sudah mulai senang dengan
tugasnya.
Akhirnya jam pelajaran selesai, masih ada beberapa siswa
yang belum dapat menyelesaikan tugasnya. Pertemuan pada
hari ini ditutup dengan salam dan kesimpulan pelajaran pada
hari itu. Pelajaran akan dilanjutkan pada hari berikutnya.
***
Pada pertemuan di hari berikutnya, seperti biasa guru
membuka pelajaran dengan ucapan salam dan mengecek
kesiapan siswa dalam belajar.
“Assalamuallaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,” sapa
Guru
“Waalaikumsalam wa rahmatullahi wa barakatuh,” jawab
murid‐murid.
Guru menyampaikan tujuan pembelajaran pada hari itu
yaitu menulis cerpen. Pada pertemuan sebelumnya rata‐rata
siswa sudah menuliskan tahapan alur cerpenya. Kegiatan
selanjutnya yaitu mengembangkan tahapan alur menjadi
cerpen. Dalam mengembangkan tahapan alur ini siswa
terlebih dahulu diajari untuk memahami penulisan kalimat
langsung dan kalimat tidak langsung. Guru memberikan
contoh pada murid.
Contoh penulisan kalimat langsung cerpen dapat dilihat
sebagai berikut.
1. Ibu bertanya, “Kapan kamu akan belajar di rumah
temanmu?”
2. “Jangan pergi!” seru Tono.
3. “Mungkin nenek tidak datang hari ini,” kata Ibu.
86 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
Contoh penulisan kalimat tidak langsung dapat dilihat
sebagai berikut.
1. Pada suatu hari temanku datang menjengukku di rumah
sakit.
2. Peristiwa itu membuat seluruh keluarga Pak Pardi merasa
kecewa.
Dalam mengembangkan tahapan alur menjadi cerpen,
siswa perlu memperharikan garis besar alur yang sudah
dituliskan. Kembangkan tahapan alur yang sudah dituliskan
dengan menuliskan kalimat langsung dan kalimat tidak
langsung di dalamnya. Contoh pengembangan alur pada
bagian orientasi atau pengenalan ada pada contoh berikut.
Guru membagikan bahan ajar berupa kopan pada siswa.
Bahasa Indonesia merupakan salah satu pelajaran yang
paling aku suka. Pada saat itu Bu Guru memberikan materi
pada kami tentang sastra, yaitu menulis cerpen. Selama ini,
aku hanya dapat membaca cerpen, tetapi belum pernah
menuliskan. Hal itu membuat aku penasaran. Oleh karena
itu, aku dengan antusias mendengarkan langkah‐langkah
pembelajaran dari Bu Guru.
“Baiklah anak‐anak, Bu Guru akan menjelaskan satu
per satu langkah‐langkah pembelajaran menulis cerpen.”
Kata Bu Guru.
“Iya Bu?” anak‐anak serentak menjawab.
....
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 87
Pada kegiatan pembelajaran itu semua murid
mengembangkan tahapan alur yang sudah dibuatnya menjadi
cerpen. Jika ada yang kesulitan mengerjakan, anak bertanya
pada guru.
Alhamdulillah, mendekati jam pelajaran selesai, siswa
dapat menuliskan pengalaman berkesannya menjadi sebuah
cerpen.
“Bagaimana, apa ada kesulitan dalam menuliskan
cerpen?” tanyaku.“Sulit mengembangkan kata‐kata Bu,”
jawabnya.
“Iya, betul,” jawab Adit.
“Bagaimana Faqih perasaanmu setelah bisa menulis
cerpen?” tanyaku.
“Senang Bu,” jawabnya.
“Pertama, Bu Guru ucapkan selamat pada kalian semua,
karena semua siswa ternyata dapat menulis cerpen.
Sekalipun ada yang masih sedikit, cukup banyak dan bahkan
ada yang sampai lebih dari tiga halaman folio. Kalian memang
hebat,” kataku bangga dengan hasil kaya muridku itu.
Alhamdulillah, ternyata keraguanku di awal pembelajaran
sirna sudah. Tertutup oleh hasil karya muridku yang luar
biasa. Akan kujadikan hasil karya mereka sebagai bahan
literasi di sekolahku, agar bisa dibaca oleh adik‐adik kelas
sesudahnya. Sukses anak‐anakku!
88 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
Gambar Hasil Karya Siswaku “Cerpen Bingung”
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 89
90 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk
Hafal Mufrodhat
dengan Berdendang
oleh Zumroh, S.Pd.I
P ukul tujuh pagi seluruh anak‐anak MI Salafiyah
Sidorejo bersama segenap dewan guru dan kepala
madrasah berbaris di halaman madrasah, untuk
melakukan doa sebelum belajar. Selesai berdoa, anak‐anak
satu per satu bersalaman dengan semua guru, kemudian
masuk menuju kelas masing‐masing. Tidak lama kemudian
semua guru masuk sesuai kelasnya, demikian juga Bu Zum
masuk ke Kelas 2A.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Bu Zum menyampaikan salam pembuka, anak‐anak
berdiri menyambut dengan menjawab salam, “Waalaikum
salam warohmatullahi wabarokatuh.”
Kemudian mereka duduk kembali.
“Bagaimana kabar hari ini?” tanya Bu Zum. Anak‐anak
pun menjawab dengan suka cita, “Alhamdulillah luar biasa,
iiiiiiiiiyessss!”
“Terima kasih, semoga pada pagi ini kita dapat belajar
dengan lebih semangat ya?”
“Ya Bu!” jawab anak‐anak dengan serempak. Bu Zum
melanjutkan dengan mengabsen nama‐nama siswa Kelas 2A
Cerita Keluarga Alkali dan Alkali Tanah | 91
satu persatu hingga selesai. Hari ini semua siswa Kelas 2A
berangkat.
“Silakan duduknya sesuai kelompok masing‐masing!”
perintah Bu Zum.
Anak‐anak segera duduk sesuai dengan kelompoknya,
yaitu kelompok Puntadewa, Werkudoro, Harjuna, Nakula, dan
Sadewa.
“Kita mau belajar apa Bu?” tanya Galih dengan
senyumnya yang lucu.
“Pada pagi ini, kita akan belajar mengenal kosakata atau
mufrodat Bahasa Arab dengan cara yang cepat dan mudah.”
Bu Zum meminta bantuan Abdul untuk membagikan
lembaran kepada semua anak‐anak yang berisi kosakata
bahasa Arab atau mufrodat dengan materi tentang seragam
atau pakaian. Lembaran mufrodat itu ditulis secara urut
seperti yang ada dalam buku teks sebagai kamus yang mudah
dihapalkan dan dipahami tulisannya.
Bu Zum bertanya kepada peserta didik.
“Apakah anak‐anak sudah mendapat lembaran mufrodat
semua?”
“Sudah Bu!” seru peserta didik.
“Iya, sekarang perhatikan, dengarkan nadhom
mufrodhat beserta terjemahan dari Bu Zum sambil melihat
tulisan yang ada di lembaran kalian! Paham semua?”
“Paham Bu,” jawab anak‐anak dengan riang.
Bu Zum mulai me‐nadhom‐kan mufrodat beserta
terjemahannya satu persatu dengan penglafalan yang pelan,
sementara peserta didik menyimak dengan memperhatikan
92 | Lilik Fatkhu Diniyah, dkk