The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by andhikafaiz53, 2021-06-06 09:14:35

Tugas Akhir ABS Offering A

TUGAS AKHIR ABS OFFERING A (1)

c. Untuk meningkatkan kesadaran tentang aspek penggunaan bahasa yang ditentukan
secara budaya.

d. Untuk melatih keterampilan observasi dan interpretasi, serta berpikir kritis.
e. Untuk mengembangkan dan mengadopsi berbagai perspektif.
f. Untuk menegoisasikan kesamaan.
g. Untuk mengembangkan empati, keterbukaan pikiran, dan rasa hormat terhadap

orang lain (Huber-Kiegler: 2003, 9).

Buku ini berisi tujuh bab yang membahas topik berbeda. Setiap bab tidak saling
bergantung satu sama lain, tapi juga saling silang referensi. Tema yang dibahas dalam
tiap babnya mungkin berasal dari Common European Framework of Reference for
Languages. Tiap akhir bab juga dituliskan aktivitas bahasa yang berpusat pada frasa,
metafora, ekspresi, peribahasa, dan ucapan yang bisa meningkatkan sumber daya bahasa
pelajar untuk menafsirkan dan mendiskusikan masalah budaya. Selain tujuh bab tadi,
terdapat catatan untuk guru atau pelatih yang berisi informasi tambahan tentang topik
yang dibahas, serta ide-ide untuk mendiskusikan masalah, misalnya.

Buku lain yang telah disebutkan sebelumnya, adalah buku Developing and
Assessmenting Intercultural Communicative Competence — A Guide to Language
Teachers and Teacher Educators (Mengembangkan dan Menilai Antar Budaya
Kompetensi Komunikatif — Panduan untuk Guru dan Guru Bahasa Pendidik) karya Lázár
dan diterbitkan pada tahun 2008. Buku ini secara garis besar dibagi menjadi dua bagian.
Bagian pertama berisi panduan pengajaran kompetensi komunikasi antarbudaya, serta
memberikan latar belakang tentang definisi budaya, istilah-istilah dalam komunikasi
antarbudaya, konsep komunikatif antarbudaya. Bagian kedua merupakan kumpulan
pedoman untuk penilaian ICC, yang didasarkan pada tiga komponen ICC, yaitu knowledge
(savoir), know how (savoir-faire), dan being (savoir-être).

Buku ini dilengkapi dengan CD-Rom yang meliputi latar belakang teoritis pengajaran
budaya dan bahasa, lokakarya terperinci dan pedoman perencanaan kursus, pengajaran
materi berdasarkan literatur, film, dan lagu; pedoman, penilaian, dan deskriptor
kompetensi; laporan lokakarya komunikasi antarbudaya. Semua materi dalam buku ini,
didasarkan pada penelitian dan pelajaran yang dipelajari dari sesi pelatihan ions yang
kami adakan di 12 negara Eropa dalam kerangka proyek ICCinTE ECML antara tahun 2004
dan 2006. Buku ini dapat digunakan secara independen atau dapat melengkapi buku teks
komunikasi antar budaya yang ada.

Kedua buku di atas dapat digunakan oleh para guru dan pelatih yang bertujuan untuk
mengajar menggunakan kompetensi komunikasi antarbudaya (ICC). Karena kedua buku
di atas telah memberikan saran, catatan, hingga contoh pengajaran yang bisa dilakukan.

DAFTAR RUJUKAN

Piasecka, Liliana. 2011. Sensitizing Foreign Language Learners to Cultural Diversity
Through Developing Intercultural Communicative Competence. Dalam Janusz
Arabski & Adam Wojtaszek (Ed.) Aspect of Culture in Second Language Acquisition
and Foreign Language Learning (hlm. 21-33). Berlin: Springer Science & Business
Media.

Arifin, Mohammad Nur. 2018. Hubungan Budaya dan Pengajaran Bahasa. A Study of Cultural
Aspect in EFL for Senior High School in Banten. Dikutip dari
https://www.researchgate.net/publication/328052056_HUBUNGAN_BUDAYA_DAN
_PENGAJARAN_BAHASA

Darmastuti. Rini. 2013. Mindfullness Dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Buku
Litera

Daryanto dan Muijo Rahardjo. 2016. Teori Komunikasi. Yogyakarta: Gavana Media

Huber-Kriegler, Martina., Ildikó Lázár., & John Strange. 2003. Mirror and Windows: An
Intercultural Communication Textbook (hlm 7-10). Council of Europe Publishing.

Mapikawanti, Meidiza Firda. 2015. Memahami Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Antara
Pemilik Homestay dengan Wisatawan Asing di Karimunjawa. Universitas Diponegoro

Moulita. 2019. Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Siswa Sekolah Menengah Atas.
Intercultural Communication Competence of Senior High School Students (hlm. 23-

32). DOI : http://dx.doi.org/10.31289/simbollika.v5i1.2261

Soeprapto, Rakhmat, dkk. 2005. Peningkatan Kualitas Pembelajaran Analisis Teks
Bahasa Prancis Melalui Pendekatan Semiotika (hlm. 6-9). Jurusan Pendidikan Bahasa
Prancis FPBS UPI.

Susanto, Hadi. 2018. Pembelajaran Berbasis Budaya.
(https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2018/01/12/pembelajaran-berbasis-
budaya/), diakses pada tanggal 25 Mei 2021.

Wiastuti, Rachel Dyah. 2017. Membangun Kompetensi Komunikasi Antarbudaya. Universitas
Bina Nusantara

BAB 5

LANGUAGE DISTANCE ACROSS CULTURES AS A WAY OF
EXPRESSING POLITENESS AND NOT ONLY

Devi Putri Pertiwi, Melisa Apriliani, dan Nada Azhara Purnomo

1. Pengertian Jarak Bahasa

Sumber : freepik.com

Jarak bahasa adalah penggunaan bahasa tertentu yang digunakan dalam
suatu situasi untuk menciptakan jarak antara pembicara dan pendengar sehingga
keduanya dapat terhubung. Maksud dari jarak bahasa adalah penggunaan kosa kata/
ekspresi yang tidak sama seperti aslinya. Biasanya jarak bahasa digunakan dalam
situasi formal untuk menunjukkan rasa sopan kepada pihak lain. Jarak bahasa
digunakan untuk membatasi pembicara agar tidak kelewatan dalam berbahasa
sehingga menyinggung lawan bicara.

Jarak bahasa ini berkaitan dengan kesantunan. Setiap kebudayaan selalu
memiliki cara yang khas dalam mengekspresikan kesantunannya. Lakoff (1990: 35
dalam Eelen, 2001: 3) menganggap bahwa kebudayaan dalam mematuhi kesantunan
selalu memperhatikan (1) strategi jarak atau distance, (2) kaidah kepatuhan atau
deference dan (3) kaidah persahabatan atau camaraderie. Jarak ditandai sebagai
strategi impersonalitas, kepatuhan sebagai keraguan, dan persahabatan sebagai
informalitas.

Kesantunan dalam jarak bahasa dapat tercermin salah satunya ketika
seseorang berkomunikasi dengan orang lain. Ketika seseorang berada di situasi
formal seperti pertemuan kondangan, rapat, dll maka ketika berbincang dengan
orang lain akan memilih kosa kata dan topik yang ringan dan tidak penting.
Tujuannya adalah untuk menghindari kesan negatif dari lawan bicara. Maka biasanya
orang-orang akan menanyakan sesuatu yang sifatnya tidak pribadi, khususnya
dengan orang asing atau kurang akrab secara personal.

Obrolan yang biasanya muncul adalah bertanya tentang bagaimana
perjalanan kemari? Apakah tidak hujan? Bagaimana kabarmu? Kamu terlihat keren
hari ini, dan lain-lain. Obrolan tersebut ditujukan untuk mencairkan suasana

canggung ketika berhadapan dengan orang yang kurang akrab dan menghindari
kesalahpahaman.

Jarak bahasa ada di antara pengguna bahasa dari negara lain dan memiliki
latar belakang yang berbeda. Secara garis besar, kesantunan dalam kebudayaan
Eropa cenderung mengambil strategi jarak, kebudayaan-kebudayaan Asia cenderung
mengambil sikap patuh, dan kebudayaan Amerika cenderung ke arah persahabatan.
Agar seorang pembicara terlihat sopan dan hormat kepada lawan bicaranya, perlu
digunakan bahasa yang tidak melanggar lingkup privasi lawan bicaranya. Bahasa
yang tidak melanggar lingkup privasi lawan bicaranya berarti dalam berkomunikasi
seorang pembicara hendaknya membicarakan hal yang bersifat umum agar tidak
terjadi kesalahpahaman terutama kepada seseorang yang kurang dekat secara
personal.

Cara yang sering digunakan untuk mengekspresikan rasa hormat dan
kesopanan dalam situasi sehari-hari adalah dengan bahasa komunikasi psikologis,
bahasa non-verbal, dan jarak yang dinyatakan dengan jarak bahasa.

2. Kata Ganti Kehormatan Orang Ketiga dan Bentuk Kata Kerja yang Menyertainya

Sumber : id.pinterest.com

Salah satu cara mengungkapkan kesopanan melalui bahasa adalah dengan
penggunaan jarak bahasa. Dalam beberapa bahasa, jarak bahas ini dapat dilihat
dalam prakteknya dalam kehidupan sehari-hari dengan penggunaan kata kerja yang
bukan pada orang kedua tunggal (dalam menyapa satu lawan bicara) atau orang
kedua jamak (dalam menyapa dua atau lebih lawan bicara). Bentuk kata kerja ini
seringkali disertai dengan kata ganti orang yang sesuai.

Dalam bahasa Indonesia, penggunaan kata ganti orang ketiga yang
menyatakan kehormatan terhadap seseorang adalah sebagai berikut:

a. ‘Kakak’ – saat memanggil seseorang yang sedikit lebih tua baik
perempuan/ laki-laki.

b. ‘Ibu’ – saat memanggil seseorang yang lebih tua (wanita).
c. ‘Bapak’ – saat memanggil seseorang yang lebih tua (pria).
d. ‘Tuan’ – saat memanggil seseorang yang lebih tua (pria). Panggilan ini

sering digunakan kepada seseorang yang dihormati.
e. ‘Nyonya’ – saat memanggil seseorang yang lebih tua (wanita). Panggilan ini

sering digunakan kepada seseorang yang dihormati.

Dalam bahasa Inggris penggunaan kata ganti orang ketiga yang menyatakan
kehormatan terhadap seseorang adalah sebagai berikut:

a. ‘Mam’ – saat memanggil seseorang yang lebih tua (wanita).
b. ‘Sir’ – saat memanggil seseorang yang lebih tua (pria).
c. ‘Mister’ – saat memanggil seseorang yang lebih tua (pria). Panggilan ini

sering digunakan kepada seseorang yang dihormati.
d. ‘Miss’ – saat memanggil seseorang yang lebih tua (wanita). Panggilan ini

sering digunakan kepada seseorang yang dihormati.
Kata kerja yang menyertai penggunaan kata ganti orang ketiga dalam bahasa
Inggris sesuai dengan grammar, yaitu present tense, past tense, past continuos
tense, dan lain-lain.

3. Jarak Psikologis dengan Jarak Linguistik
Jarak bahasa muncul alami didahului oleh jarak psikologis nonverbal, yaitu

keadaan alam bawah sadar seseorang yang memahami bahwa harus menjaga jarak
dengan lawan bicara. Perwujudan dari kesadaran ini biasanya seseorang akan
menggunakan kata kerja orang ketiga dan kata ganti kehormatan agar memberikan
kesan sopan dan hormat kepada lawan bicara dalam situasi formal. Contohnya, saat
seseorang sedang berbicara dengan orang yang lebih tua, alam bawah sadarnya
otomatis akan memberikan sinyal kepada tubuh agar lebih merendah, dan cara
bicara orang tersebut akan menggunakan bahasa yang baik dan sopan.

Perwujudan verbal dari jarak psikologi nonverbal selain menggunakan kata
kerja orang ketiga dan kata ganti kehormatan, jarak bahasa juga muncul karena
adanya ruang pribadi atau personal space. Personal space adalah jarak minimum
yang dipertahankan oleh individu saat berinteraksi dengan orang lain. Personal space
ini muncul secara alami dalam diri manusia. Pemahaman tentang ruang pribadi
sangat penting untuk setiap individu dan saat membicarakan hal mengenai privasi.
Hal itu terjadi karena gelembung ruang pribadi (personal space bubble) adalah suatu
wilayah yang apabila dimasuki oleh orang lain yang tidak diundang dapat dipersepsi
sebagai serangan atau pelanggaran terhadap privasi individu (Newell, 1995).

Kesantunan sangat penting saat seseorang hendak melakukan suatu
komunikasi agar menunjukkan kepedulian dan kesopanan terhadap lawan bicara.
Scollon dan Scollon (2003, p.54) memaparkan tiga jenis kesantunan, yaitu:

Sumber : Id.depositphotos.com

a. Sistem kesantunan solidaritas (solidarity politeness system): Tidak ada
perbedaan kekuasaan atau jarak diantara sesama penutur. Mereka berada
pada posisi sosial yang sama atau setara. Kesantunan solidaritas dapat
ditemukan dimana saja. Contohnya percakapan antara dua orang atau
lebih sahabat dekat, bisa juga dalam hubungan adik dan kakak yang sudah
sangat dekat, atau hubungan antara rekan kerja yang sudah seperti
saudara. Sehingga tidak ada rasa sungkan berbicara diantara mereka.

Sumber : freepik.com
b. Sistem kesantunan kehormatan (deference politeness system):

Kesantunan yang penuturnya melihat diri mereka sendiri pada posisi yang
sama dalam tingkat sosial yang samaatau hampir sama tetapi saling
memperlakukan diri mereka sendiri dalam jarak. Sistem semacam itu, yang
bermakna saling menghargai dalam jarak independen. Contohnya
hubungan antara rekan kerja yang hanya sebatas mengetahui nama dan
tidak pernah basa basi, para professional misalnya sesama dokter dengan
keahlian yang sama namun tidak saling mengetahui dengan baik. Mereka
sama dalam status sosial dan keahliannya tetapi masih memiliki rasa
canggung saat berada dalam suatu percakapan.

Sumber : Id.depositphotos.com

c. Sistem kehormatan hierarkis (hierarchial politeness system): Para penutur
mengetahui dan menghormati perbedaan sosial yang menempatkan
seseorang pada posisi atas (superordinate) dan yang lain dalam posisi

bawah (subordinate). Sistem ini memiliki perbedaan status sosial yang
cukup signifikan diantara penuturnya. Hubungan yang ada dalam sistem
seperti ini adalah hubungan asimetris. Hal ini dimaksudkan penutur tidak
menggunakan strategi kesantunan muka pada saat melakukan suatu
tuturan. Penutur yang superordinate atau pada posisi yang tinggi
menggunakan strategi pelibatan pada saat berbicara “ke bawah”. Penutur
yang dalam posisi subordinate (bawahan) atau posisi lebih bawah
menggunakan strategi independen saat berbicara “ke atas”. Jenis sistem
kehormatan hieraskis ini biasanya sering kita temui dalam dunia bisnis,
pemerintahan, dan organisasi pendidikan. Contohnya seorang boss yang
sedang berbicara dengan bawahannya pasti akan otomatis menunduk
karena tingkat sosial mereka yang berbeda.

4. Kata Ganti Kehormatan Orang Kedua dan Bentuk Kata Kerja yang Menyertainya

Dalam bahasa Polandia, bentuk orang kedua, baik kata kerja dan kata ganti
yang sesuai, tidak sama seperti dalam bahasa Inggris. Bahasa Polandia terlalu
langsung untuk dapat digunakan dalam situasi formal yang membutuhkan jarak
antara penutur dan penuturnya. Namun dalam dialek Cresovian Timur yang
digunakan di wilayah Roztocze Selatan penggunaan kata kerjajamak orang kedua
untuk menunjukkan rasa hormat terhadap individu yang konkret masih dapat
ditemukan.

Di wilayah tersebut ada individu yang disebut secara pribadi melalui kata
ganti wy 'you', yaitu kata ganti orang kedua dalam bentuk jamak, dengan kata kerja
yang sesuai dalam jamak orang kedua. Bentuk sapaan ini adalah satu-satunya bentuk
sapaan kepada orang-orang ini. Artinya tidak ada kata ganti lain yang dapat dipakai
untuk menyebut orang-orang ini. Seperti kata ganti kehormatan Pan atau Pani akan
terlalu formal dan tidak memadai sedangkan kata ganti orang kedua tunggal ty 'you'
akan terlalu langsung dan memutus jarak yang diperlukan untuk menunjukkan rasa
hormat dan kesopanan.

Pada wilayah Polandia yang disebutkan di atas, terdapat orang-orang yang
masih menggunakan kata ganti orang, ketika mereka memanggil ibu, atau ayah, dan
pada saat yang sama merupakan satu-satunya cara mereka memanggil orang tua
mereka untuk menunjukkan rasa hormat. Bentuk pengungkapan rasa hormat dan
kesopanan seperti itu ada misalnya dalam bahasa Prancis standar atau bahasa Rusia
standar, dan ini digunakan dalam situasi formal.

Dalam Bahasa Indonesia kata ganti orang kedua sudah sering digunakan
untuk situasi formal maupun nonformal. Kata ganti orang kedua adalah salah satu
jenis kata ganti orang atau pronomina persona yang dipakai untuk menggantikan
orang yang diajak berbicara. Seperti halnya kata ganti orang pertama, kata ganti
orang kedua juga terdiri dari dua macam yaitu kata ganti orang kedua tunggal dan
kata ganti orang kedua jamak. Yang termasuk kata ganti orang kedua tunggal di
antaranya adalah kamu, engkau, dan tuan. Sedangkan, yang termasuk kata ganti
orang kedua jamak di antaranya adalah anda dan kalian. Contoh dari:

a. Penggunaan kata ganti orang kedua yang dapat dilihat dalam kehidupan
sehari hari adalah saat seseorang memasuki hotel dan menuju resepsionis,
ia akan ditanyai “apakah ada yang bisa saya bantu tuan/nyonya?”

b. Penggunaan kata ganti orang kedua jamak biasanya juga dipakai dalam
situasi nonformal seperti saat orangtua ibu/bapak bertanya kepada anak-
anaknya biasanya mereka akan menggunakan kata kalian. Misalnya “kalian
mau makan apa hari ini?” Atau “kalian darimana saja kok baru pulang?”

5. Cara Meningkatkan Jarak Bahasa

Dalam bentuk orang ketiga dari kata kerja, baik tunggal maupun jamak
menurut Chodowska-Pilch (2004, hal. 57) yaitu sesuai dengan mood kondisional
atau penggunaan kata kerja bentuk lampau yang dapat membuat jarak bahasa lebih
jauh antara pembicara dengan lawan bicaranya sehingga menjadi lebih sopan.

Mood kondisional adalah sejenis bentuk lampau, yang membuat pembicara
membangun jarak yang lebih jauh dengan lawan bicaranya. Menurut Chodowska-
Pilch (2004, p.57) bentuk dari masa lampau dapat menjauhkan momen ucapan,
menciptakan kesimpulan jarak antarpribadi seperti tingkat kesopanan, rasa hormat,
dan sebagai bahan pertimbangan. Bentuk lampau digunakan untuk membicarakan
kejadian lampau dan kejadian lampau yang lebih jauh dalam waktu daripada
kejadian yang terjadi di masa sekarang. Peristiwa lampau tersebut beda dengan
peristiwa masa sekarang karena peristiwa lampau tidak dilakukan secara
langsung.Oleh karena itu, bentuk kata kerja lampau memungkinkan seseorang untuk
menurunkan derajat keterusterangan karena tidak disampaikan secara langsung dan
juga tidak diterima dalam situasi formal. Jadi, bentuk kata kerja lampau disampaikan
secara tidak langsung sedangkan kata kerja sekarang disampaikan secara langsung.
Dan karena hal tersebut bentuk kata kerja lampau ini dapat meningkatkan jarak
bahasa yang lebih jauh dengan lawan bicaranya, sehingga membuat pembicara
bersikap lebih sopan.

Cara meningkatkan jarak bahasa tersebut terdapat dalam bahasa Spanyol,
Inggris dan bahasa Indo-Eropa lainnya. Menurut Holtgraves (2010, hal. 1400) cara
peningkatan jarak bahasa ini bisa dilihat dari tingkat kesopanan, hal ini terkait
dengan adanya jarak impersonal.Jarak impersonal akan lebih besar jika kepada orang
yang kurang mereka kenal atau orang yang mereka sukai, mereka cenderung akan
berbicara lebih sopan. Selain itu, dalam bahasa Inggris, bentuk kata kerja modal
masa lalu yang sederhana, selain dapat meningkatkan tingkat kesopanan juga dapat
digunakan untuk meningkatkan tingkat ketidakmungkinan.

Seperti contoh dalam bahasa Inggris berikut yang dapat dilihat dari bentuk
lampau yang mencerminkan tingkat kesopanan dan juga tingkat ketidakmungkinan
yang akan terjadi.

a. Could you buy something for me?
Can you buy something for me?

b. It might snow tomorrow.
It may snow tomorrow.

Penggunaan kata ‘could’ merupakan bentuk lampau yang mencerminkan
tingkat kesopanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan kata ‘can’.
Kemudian contoh dari tingkat ketidakmungkinan dalam bahasa Inggris yaitu
penggunaan kata bentuk lampau ‘might’ dalam kalimat “It might snow tomorrow”

lebih kecil kemungkinan terjadinya daripada penggunaan kata ‘may’ dalam kalimat
“It may snow tomorrow”. Jadi penggunaan kata ‘may’ lebih pasti terjadinya.

6. Cara Mengurangi Jarak Bahasa

Jika dimungkinkan untuk meningkatkan jarak bahasa, maka juga
memungkinkan untuk menguranginya jarak bahasa antara pembicara dengan lawan
bicaranya. Seperti pada contoh dalam bahasa Polandia berikut.

a. Menggunakan kata ganti kehormatan Tuan/Nyonya menjadi kata ganti
orang ketiga disertai dengan kata kerja orang kedua. Contoh :
• Mozesz_ mi Pan powiedziec´, gdzie bercanda stacja kolejowa?
Bisakah tuan memberi tahu saya di mana stasiun kereta itu?
• Mozesz_ mi Pani powiedziec´, gdzie bercanda stacja kolejowa?
Bisakah nyonya memberi tahu saya di mana stasiun kereta itu?

Bentuk tersebut muncul dalam situasi dimana orang yang mengucapkannya
ingin lebih dekat dengan lawan bicaranya, namun penyampaian tuturan ini
disampaikan disaat lawan bicara dalam bentuk jamak. Dan penyampaian ini juga
tetap menjaga jarak bahasa karena menggunakan kata ganti kehormatan orang
ketiga yang sesuai. Bentuk kata ganti sapaan ini termasuk ke dalam bentuk formal.
MenurutCutting (2005, p.53), mereka yang berstatus lebih rendah, atau memiliki
peran yang kurang dominan dan seterusnya biasanya lebih sering menggunakan
kalimat tidak langsung daripada mereka yang berstatus lebih tinggi yang
menggunakan kalimat langsung.Dan hal tersebut perlu dihindari dalam situasi formal
karena dapat menimbulkan kesalahpahaman sehingga dapat menyinggung perasaan
lawan bicara.

b. Menggunakan kata kerja orang ketiga tanpa menggunakan kata ganti
kehormatan yang sesuai. Contoh :
• Moze_ mi Ø powiedziec´, gdzie bercanda stacja kolejowa? (Pan
/ Pani)
Bisa kasih tahu di mana stasiun kereta itu?
• Moga˛ mi.Ø powiedziec´, gdzie bercanda stacja kolejowa? (Panowie
/ Panie / Pan´stwo)
Boleh beri tahu saya di mana stasiun kereta itu?

Bentuk tersebut juga merupakan cara untuk mengurangi jarak bahasa antara
pembicara dengan lawan bicara, namun tidak diikuti dengan kata ganti kehormatan
yang sesuai. Dan berada dalam tingkat formalitas yang setara. Jenis bentuk tanpa
kata ganti kehormatan ini sangat jarang di Polandia.

c. Dalam bahasa Spanyol kata kerja orang ketiga diikuti dengan kata ganti
kehormatan yang sesuai. Contoh :
• Puede decirme dónde está la estación de trenes? (Pan / Pani)
Bisa beri tahu saya di mana rumah sakit itu Tuan/Nyonya?

Seperti yang dapat dilihat pada contoh di atas, dalam bahasa Spanyol tidak
menggunakan kata ganti orang ketiga tetapi dapat diikuti dengan kata ganti
kehormatan yang sesuai sehingga keberadaannya menjadi lebih spesifik.

d. Dalam bahasa Polandia bentuk imperatif orang ketiga bisa dengan tanpa
kata ganti kehormatan yang sesuai atau dengan menggunakan
penambahan kata ‘biar’. Contoh :
• Napisze tutaj (Pan / Pani)
Saya akan menulis di sini. (bapak/ibu)
• Niech Panowie / Panie / Pan´stwo napisza˛ tutaj
Biarlah Bapak /Ibu menulis di sini.

Pada contoh pertama bahasa Polandia menggunakan bentuk imperative
orang ketiga tanpa kata ganti kehormatan yang sesuai, baik dalam bentuk tunggal
maupun jamak. Atau pada contoh kedua dengan menggunakan penambahan kata
‘biar’. Kata ‘biar’ ini merupakan cara untuk mendorong lawan bicaranya untuk
melakukan sesuatu atau juga dapat digunakan untuk mengungkapkan keinginan.
Sehingga cara tersebut merupakan cara untuk mengurangi jarak bahasa.

7. Penggunaan Kosa Kata Abstrak dalam Situasi Formal

Sumber : id.pinterest.com

Menurut Eggins (2004, hal.102) terdapat perbedaan jenis kosakata yang
dipilih seorang pembicara dalam situasi formal dan non-formal, yaitu:

a. Perbedaan pilihan struktur klausa. Tentunya terdapat perbedaan ketika
seseorang berbicara dalam situasi formal dan non-formal. Seseorang
biasanya menggunakan bahasa baku ketika berbicara disituasi formal.
Contoh yang pertama dalam situasi formal apakah rumah anda jauh dari
sini? dalam situasi non formal dimana rumahmu? Dalam situasi formal
seseorang akan menggunakan pilihan kata “Silakan anda memasuki
ruangan.” Sedangkan dalam situasi non formal seseorang akan
menggunakan pilihan kata “Masuklah ke ruangan.” Contoh yang kedua,
dalam situasi formal seorang pembicara akan menggunakan pilihan kata
“Setelah acara selesai silakan menuju ruang jamuan.” Sedangkan dalam
situasi non formal seorang pembicara memilih menggunakan pilihan kata
“Setelah selesai langsung makan ya..”

b. Perbedaan yang kedua yaitu penggunaan kosakata abstrak, asing, dan
tidak umum. Penggunaan kosakata abstrak, asing, dan tidak umum ini

ditujukan untuk menghindari kesalahpahaman saat berkomunikasi dan
biasanya dilakukan saat berkomunikasi dengan seseorang yang akrab.
Misalnya, “Btw enaknya kita ngapain”, “bentar lagi aku otw”, dan lain-lain.

Cutting (2005, hal.53) menyatakan bahwa derajat atau perbedaan tingkat
sosial adalah salah satu variabel sosial yang paling mempengaruhi bagaimana
kesopanan diekspresikan. Seseorang yang saling mengenal baik tidak perlu
menunjukkan kesopanan menggunakan strategi, karena hal tersebut bisa
menyiratkan kebalikan dari kesopanan. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak
sesuai dengan norma-norma budaya , maka ia akan mendapat nilai negative
misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, dan lainnya.

Jarak bahasa dan ekspresi kesopanan dalam berkomunikasi menyesuaikan
dengan budaya yang berlaku di daerah tersebut karena seluruh ekspresi kesopanan
dan bahasa sangat terikat dengan budaya. Contohnya dalam adat Jawa ketika
berbicara dengan orang yang lebih tua untuk mengekspresikan kesopanan kita harus
menggunakan bahasa jawa “karma inggil” yaitu bahasa jawa yang halus. Ketika kita
berbicara menggunakan bahasa jawa yang sering digunakan dalam berkomunikasi
sehari-hari kita akan mendapat peringatan berupa sebutan tidak sopan atau juga
dimarahi.

DAFTAR RUJUKAN

Arabski, Janusz.2011.Aspect of Culture in Second Language Acquisition and Foreign Language
Learning.Verlag Berlin Heidelberg: Springer.

Gusnawaty.Kekuasaan, Jarak, dan Kesantunan: Suatu Analisis Fungsional dalam
Teks.Makasar: Universitas Hasanuddin.

Hanurawan, F. 2008. Psikologi Lingkungan. Malang: Universitas Negeri Malang.

BAB 6

PRAGMATIC ASPECTS OF CULTURE IN FOREIGN LANGUAGE
LEARNING

Agnes Wahyu Febrian, Kharismatul Aziziyah Rhada Putri, dan Mutiara Elvira Amudaria
Farolan.

1. Ilmu Pragmatik

Sumber : freepik.com
Ilmu pragmatik adalah pengkajian penggunaan bahasa serta kaidah-kaidahnya dan
pola-pola kalimat dalam komunikasi yang mengungkapkan makna atau pesan dalam
budaya bahasa yang sedang dipelajari (bahasa target). Ilmu ini tidak bisa dipisahkan
dari penelitian tentang pengajaran bahasa terutama bahasa asing, karena pengajaran
bahasa tidak terbatas pada pengajaran struktur kalimat tetapi juga pada penggunaan
kalimat dalam konteksnya.
Menurut Morris dalam Tarigan (1986:33) mendefinisikan ilmu Pragmatik sebagai
kajian untuk menelaah hubungan tanda-tanda dengan para penafsir. Gross juga
mempunyai pendapat tentang pendefinisian ilmu pragmatik. Gross (1988:144)
mengatakan bahwa ilmu Pragmatik adalah disiplin ilmu semiotik yang mengkaji
hubungan isyarat dengan pengguna, dan lebih menitikberatkan kepada kemampuan
seseorang dalam berkomunikasi, bukan pada struktur atau tata bahasa. Penguasaan
struktur atau tata Bahasa hanya merupakan fondasi atau dasar dalam berkomunikasi.

Tak hanya kedua ahli tersebut yang memiliki pendapat tentang apa itu ilmu pragmatik,
Levinson (1980:27) mengemukakan pendapatnya, ilmu Pragmatik adalah kaitan dari
hubungan antara bahasa dan konteks serta kemampuan pemakai Bahasa mengaitkan
kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat tersebut.
Konteks adalah hal ikhwal siapa, kepada siapa, kapan, dan di mana seseorang
menggunakan bahasa.

a. Sikap Berkomunikasi

Sumber : silabus.web.id

Bahasa pertama dapat dipelajari dari pengalaman hidup
menggunakan bahasa, memperhatikan tindakan berbahasa orang lain,
dengan uji coba memakai bahasa dan dari koreksi atau perbaikan dari
keluarga serta lingkungan. Sesuai teori Chomsky, pragmatik lebih dekat
dengan performansi seperti tindakan berbahasa seseorang yang memang
didasarkan atas kompetensi, tetapi dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lain
seperti ingatan, kesadaran dan sebagainya.

Dalam pengajaran bahasa asing dengan metode komunikatif,
keterampilan pragmatik seharusnya menjadi tujuan akhir pengajaran karena
pada akhirnya pembelajar dituntut agar mampu menggunakan bahasa yang
wajar dalam situasi dan konteks berbahasa secara efektif dan efisien.
Berbeda dengan pembelajaran bahasa pertama (bahasa ibu), dalam
pembelajaran bahasa asing ilmu Pragmatik dipelajari dalam jalur formal,
karena pembelajar tidak mempunyai kesempatan untuk memperoleh ilmu
Pragmatik secara informal.
2. Pergantian Pembicara
Terdapat kaidah yang mencakup peraturan tentang bagaimana percakapan dapat
dilakukan secara efektif dan efisien yakni dengan selalu berpegang penuh pada prinsip
kerjasama dalam komunikasi dengan selalu mengatakan sesuatu yang telah terbukti

kebenarannya, mengatakan apa yang diperlukan saja, Mengatakan sesuatu yang
relevan dan berguna, mengatakan sesuatu secara jelas dan singkat.

Dalam berbicara dengan seseorang yang juga memiliki hak untuk berbicara maka
berlaku syarat-syarat sebagai berikut :

a. Pembicara memiliki hak berbicara sepanjang dan sesering mungkin.
b. Pembicara memiliki hak yang sama untuk menyampaikan pendapatnya

secara tuntas.
c. Jika ada pembicara yang ingin menyampaikan pendapatnya maka

sebaiknya pembicara menyimpulkan isi dari materi yang dibahas.
d. Pembicara lain boleh memulai berbicara jika pembicara pertama

memberikan sinyal atau tanda bahwa dia telah selesai dalam berbicara.
e. Harus mengikuti atau sesuai urutan daftar nama.

Dalam berbicara ada sinyal- sinyal pergantian pembicara yang harus diperhatikan:

a. Jika pembicara mengecilkan suaranya, berbicara lebih lambat, atau
beristirahat di sela-sela waktu berbicara. Biasanya menjadi sinyal bahwa
pembicara akan mengakhiri pembicaraanya.

b. Pendengar juga dapat menyampaikan pendapatnya dengan dua cara yaitu
verbal dan nonverbal. Jika nonverbal yaitu dengan menarik nafas panjang,
seperti terlihat gelisah, ataupun membuat tangannya bergerak. Sedangkan
Verbal yaitu melalui ungkapan-ungkapan seperti contohnya “saya ingin
mengatakan”, “bisa saya tambahkan”, “maaf, jika saya”, “maaf, bolehkah”,
“mungkin sekarang saya boleh menyampaikan sesuatu?”.

c. Pembicara dapat memberi sinyal bahwa dia belum selesai berbicara dengan
dua cara yaitu verbal dan nonverbal. Nonverbal yaitu dengan mempercepat
tempo bicara, berbicara lebih keras atau melambaikan tangannya.
Sedangkan verbal yaitu dengan melalui sebuah ungkapan-ungkapan seperti
“Tunggu”, “Satu lagi”, “Setelah ini”.

Pada sebuah percakapan diharapkan terjadi peralihan peran pada pembicara
yang telah mengikuti alih tutur, yang berarti komunikasi tersebut tidak dimonopoli
atau hanya diperankan oleh satu orang saja agar tercipta keharmonisan dalam
berkomunikasi. Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat dalam sebuah percakapan
harus berkontribusi secara aktif agar komunikasi bisa bermanfaat bagi kedua pihak.

3. Kaidah Pertuturan

Sumber : freepik.com

Menurut Richard dan Schmidt (1983:141-143) ada beberapa peralihan tutur dalam
masyarakat, dan hasil penelitian mereka menunjukkan adanya perbedaan antara alih
tutur seperti pada bangsa Amerika dan anak Fiji keturunan India. Anak-anak Amerika
menghindari pembicaraan yang terjadi bersama-sama dalam waktu yang bersamaan,
sedangkan anak-anak Fiji keturunan India sering berbicara secara bersamaan dalam
suatu pembicaraan dan pada umumnya tidak ada yang mengalah.

Pragmatik dan pemahaman pada lintas budaya dalam Sumarmo (1988:176)
mengadakan penelitian tentang pemakaian pertuturan dalam bahasa Jawa dan
bahasa Indonesia. Bahasa Jawa cenderung kepada orientasi mitra tutur dan dalam
bahasa Indonesia pertuturan secara tidak langsung lebih sering dipakai dari pada
pertuturan langsung.

Aziz (1996:200) menemukan adanya sejumlah strategi menolak yang justru sangat
berpotensi membawa petaka dalam komunikas lintas budaya. Strategi-strategi ini
diantaranya adalah memberi peluang lain, tidak memberi kepastian, menunda
jawaban, atau diam. Jawaban seperti “Insya Allah” atau “gimana nanti?” bisa
menimbulkan kebingungan apakah sebenarnya penutur menerima atau menolaknya.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada suatu percakapan bila ada
satu orang yang berbicara maka semuanya tidak berbicara atau secara bergantian. Di
sini terlihat bahwa adanya kerjasama dalam berbahasa. Kegagalan mencapai tujuan
komunikatif dapat terjadi jika pembicaraan dimonopoli oleh seorang partisipan tanpa
memperdulikan orang lain.

Contohnya yaitu, Misalnya, saya mengerjakan tugas kemudian ada satu nomor
yang saya tidak ketahui. Kemudian saya bertanya ke teman saya, eh Tiara nomor 3
jawabannya gini bener ga sih? Terus Tiara jawab, bener deh kayaknya. Nah, kata
“kayaknya” ini bagi orang Indonesia itu kurang yakin. Berbeda dengan orang Jerman,
sekalinya orang Jerman mengatakan benar ya berarti itu benar, tidak ya tidak. Kalau
orang Indonesia itu kan biasanya, kayaknya, Insya Allah, mungkin.

4. Implikasi Tindak Tutur Bagi Pengajar Bahasa Asing

Sumber : freepik.com

Kaitan budaya dan bahasa merupakan faktor yang juga perlu dipertimbangkan
dalam pengajaran bahasa. Pengajaran bahasa dengan metode komunikatif harus
mengarahkan pembelajar menguasai bahasa dalam konteks komunikasi. Belajar
bahasa lebih dari sekedar menguasai bentuk-bentuk kaidah melainkan agar
pembelajar mampu berkomunikasi. Tujuan pembelajaran bahasa termasuk
pencapaian kompetensi komunikatif.

Oleh karena itu, orang yang memiliki kompetensi komunikatif adalah
mereka yang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menggunakan bahasa
dalam konteks yang seutuhnya. Contoh :

a. TO: Good morning telephone operator, how may I assist you?
Selamat pagi operator telepon, ada yang bisa saya bantu?
(Implikasi dalam offering help)

b. TO: May I have your name and your room number?
Bolehkah saya minta nama dan nomor kamar anda?
(Implikasi dalam asking information)

c. TO: Certainly, I will repeat your message. You will come into our hotel in the
afternoon at 3 pm, is that correct?
Tentu, saya akan mengulangi pesan Anda. Anda akan datang ke hotel kami
pada sore hari pada jam 3 sore, apakah itu benar?
(Implikasi dalam make sure of something)

d. G2: Do you have an extra pillow?
Apakah Anda memiliki bantal ekstra
(Implikasi dalam request)

DAFTAR PUSTAKA

Adler. Ronald. B. dkk. 2018. Interplay : The Process of Interpersonal
Communication. New York : Oxford University Press

Aziz, E. A., 2001. Realisasi tindak tutur Menolak dalam jurnal Pendidikan dan
Sastra
FPBS: Universitas Pendidikan Indonesia.

Gross, Harro, 1988. Einführung in die germanistische Linguistik München:
Judicium
Verlag.

Gumperz, John J., 1982. Discourse Strategies.New york: cambridge University
Press.
Levinson, Stephen, 1980.Pragmatics.London: cambridge University Press.

Richard, Jack J. dan Richard W. S., 1983. "Conversational Analyse” dalam
Richard dan
Schmidt (ed). Language an Communication.London: Longmann.

BAB 7

ART, MEANING, AND AESTHETIC : THE CASE FOR A COGNITIVE…

Della Patricia Brajaningrum, Natasya Risma Wardani, dan Pramodya Regina Salsabila.

Sumber : https://id.lovepik.com/

Sumber : http://madelondon-canarywharf.com/

Filsafat dan psikologi seni merupakan suatu teori yang sering berselisih karena
keduanya tidak memiliki kesamaan. Sedangkan studi fisiologis seni telah didefinisikan
sebagai estetika spekulatif yang didasarkan pada kesimpulan deduktif yang diambil
dari penilaian subjektif para ahli. Dalam hal ini filsafat seni seing mencerminkan selera
subjektif para kritikus dan ahli teori menurut (Berlyne 1971; Fechner 1876; Martindale
1990). Sedangkan para filsuf telah mengklaim bahwa hal tersebut merupakan
kesalahan kategori, kesalahan dalam logika, dan untuk mendasarkan teori seni dalam
studi perilaku.

Demikian juga dengan psikologi seni, mengaitkan peran dengan penilaian
estetika di dalam diri kita serta keterlibatan dengan karya seni yang tidak konsisten
dengan praktik artistik kontemporer. Oleh karena itu, estetika empiris harus benar-

benar diperhatikan dengan cara filsuf model seni kognitif, afektif, dan pengaruh
estetika pada penilaian arti-penting artistik.

1. Seni, Estetika, Dan Psikologi

Seni dapat membangkitkan emosi kita dengan banyak cara - dari perasaan
indah sampai perasaan. Seni dapat merangsang proses-proses sensorik kita
melalui keseimbangan artistik dan bentuk; mengingatkan kita tentang masa lalu
kita sendiri; atau memaksa kita untuk berpikir tentang dunia dengan cara yang
baru. Disisi lain terdapat ketidakpercayaan antara filsafat seni dan estetika
empiris yang dapat ditelusuri dari ketidaksepakatan tentang sifat arti penting
dari artistik itu sendiri. Dimana kemampuan mengevaluasi penilaian non-ahli
dalam konteks ini bergantung pada pemahaman sebelumnya tentang struktur
konvensi yang tertanam dalam perilaku ahli seni.

Karya seni adalah objek utama untuk evaluasi estetika, karena tujuan tunggal
dari banyak karya seni adalah untuk menanamkan tanggapan hedonis. Dengan
demikian, buku ini berpusat pada cara kita memandang karya seni, meskipun
tanggapan hedonis dapat ditimbulkan oleh objek apapun.Secara historis, istilah
estetika telah dikaitkan dengan caranya seni membangkitkan tanggapan
emosional.Alexander Baumgarten 1 menciptakan istilah pada tahun 1750 untuk
mengajukan pendekatan filosofisnya yang baru, yaitu mempelajari "cara berpikir
secara indah" (ars pulchre cogitandi).Dia berargumen bahwa apresiasi atas
keindahan adalah titik akhir dari pengalaman estetik.Orang bisa merasakan
keindahan dalam banyak hal, mulai dari objek-objek alam sampai dengan karya
seni yang mengandung keterampilan tinggi, dan estetika adalah studi tentang
bagaimana pikiran melihat objek yang indah. Baumgarten mendalilkan bahwa
sifat fisik tertentu dari sebuah objek bisa membangkitkan rasa keindahan, akan
tetapi pengalaman itu sendiri adalah kejadian hanya pada tingkat pikiran.Banyak
orang berpendapat bahwa tujuan tunggal seni adalah untuk membuat objek
yang membangkitkan perasaan keindahan - yaitu, untuk menanamkan
tanggapan estetik.

Namun dikhawatirkan estetika empiris ini membuat penilaian artistik secara
subjektif terjadi secara sewenang-wenang dan elitis. Sehingga Tindakan
fisiologis sangat diperlakukan sebagai tolak ukur objektif dari minat dan
penilaian estetika yang digeneralisasi pada seluruh ahli seni dan konsumen dari
fitur formal, ekspresif, dan semantik karya seni dalam suatu komunitas. Menurut
Berlyne (1974); Chatterjee (2012); Silvia (2012), ukuran estetika merupakan
ukuran objektif dari gairah yang digunakan untuk mengevaluasi berasal dari
penilaian arti-penting artistik dalam estetika empiris.

2. Estetika dan filosofi seni

Sumber : https://illlustrations.co/

Sebuah kegiatan yang secara sadar dilakukan manusia dengan mengunakan
media tertentu untuk menyampaikan pemikiran dan perasaan kepada orang lain
dalam bentuk visual, suara maupun gerakan disebut sebagai seni. Kegiatan
manusia untuk menciptakan suatu benda bernilai keindahan juga disebut
sebagai seni. Flemming (dalam The Liang Gie, 1976:60) menjelaskan seni adalah
bentuk kemampuan yang berasal dari bahasa latin art. Sudarmaji (1979:5)
menjelaskan seni dalam bahasa asing disebut art. Kata seni berasal dari bahasa
Yunani mempunyai pengertian yang sangat luas.

Kata estetika berasal dari bahasa Yunani aesthetica, yaitu hal-hal yang dapat
diserap panca indra. Estetika dipahami dalam cabang filsafat yang menempatkan
keindahan sebagai objek, jadi tujuan dari segenap indrawi adalah keindahan.
Estetika membentuk tri tunggal ilmu pengetahuan normatif, karena generalisasi
yang ditegakkan bukanlah hukum-hukum tentang realita, tetapi lebih pada asas
dan ketentuan yang harus diikuti. Kata estetika mengacu pada hal-hal yang
mengacu pada keindahan. Sebagai karya seni, kerajinan adalah hasil perhitungan
dan olah rasa serta ungkapan yang memuat nilai keindahan. Nilai estetis pada
sebuah karya seni rupa dapat bersifat obyektif dan subyektif. Nilai estetis
obyektif memandang keindahan karya seni rupa berada pada wujud karya seni
itu sendiri artinya keindahan tampak kasat mata.

Estetika dan filosofi seni masing-masing digunakan dalam konteks biasa
untuk merujuk secara genetika pada studi filosofis seni. Tetapi, istilah-istilah ini
tidak sama dan terdapat keraguan dalam penggunaan bahasa yang santai dan
tidak reflektif. Kategori estetika lebih luas daripada kategori seni. Ini termasuk
pemandangan gunung bersalju, lanskap pantai yang penuh badai, jubah dan
pondok yang nyaman dengan halaman rumput yang rapi, mesin industri, desain
motif otomatis, dan bahkan teko kopi di meja dapur.

Beberapa karya seni memang dibangun dengan tujuan untuk menampilkan
properti estetika. Tetapi, masih banyak lagi, dan kemungkinan besar mayoritas
karya seni kontemporer tidak seperti ini. Itu adalah karya yang agak konseptual.

Mereka mengekspresikan konsep atau ide, menantang konsepsi seni atau
mungkin mengungkapkan sesuatu kepada kita tentang bias yang mendasari
komunitas kita (misalnya, karya John Baldessari, Joseph Kossuth, Robert Barry,
Robert Morris, Wesley Meuris, The Judson Dance Theatre Workshop , Barbara
Krueger, Jenni Holtzer, atau Adrian Piper). Karya-karya tersebut memiliki suatu
masalah, yaitu tidak sengaja dirancang untuk memicu pengalaman estetika pada
konsumen. Pada fakta yang ada, banyak dari mereka yang secara tegas anti-
estetika dirancang untuk menarik perhatian pada diri mereka sendiri sebagai
objek, peristiwa, atau tindakan non-estetika biasa. Teori seni estetika akan
mengeluarkan karya-karya ini dari kategori "seni". Oleh karena itu, jika estetika
empiris bertumpu pada teori estetika seni yang diam-diam, ia
merepresentasikan pandangan sempit tentang seni yang tidak sejalan dengan
praktik kontemporer. Kesulitan serupa muncul untuk klasifikasi karya seni
estetika itu sendiri.

Yang membedakan objek estetika artistik dari objek estetika non-artistik
dapat dipertimbangkan dari Danto tentang Kotak Brillo dari Warhol sebagai
kasus yang membatasi (lihat Danto 2000). Kotak Brillo asli adalah perangkat
pemasaran yang kaya akan keindahan yang dirancang oleh generasi kedua.
Harvey menciptakan kotak Brillo kanonik sambil bekerja sambilan dalam desain
komersial.

3. Seni, estetika, dan apresiasi

Masalah yang dibahas di bagian sebelumnya mungkin akan kita juluki masalah
arti-penting artistik. Masalah arti-penting artistik menunjuk pada tantangan
filosofis kedua bagi teori-teori seni yang berpikiran empiris. Beberapa filsuf
berpendapat bahwa pertanyaan tentang apresiasi artistik, pertanyaan evaluatif
tentang apakah suatu karya sesuai dengan konvensi yang mengatur praktik
artistik, dan jika demikian apakah itu dilakukan dengan baik atau buruk, adalah
pertanyaan kritis yang mendasari pemahaman tentang seni. Ini sepertinya posisi
yang terlalu kuat. Para filsuf selalu tertarik pada pertanyaan ontologis dan
epistemologis yang lebih umum tentang sifat karya seni dan interaksi kita
dengannya. Aristoteles, misalnya, menulis tentang struktur naratif tragedi dan
sifat keterikatan psikologis kita dengan tokoh-tokoh dalam The Poetics.

Pertanyaan evaluatif yang terkait dengan apresiasi artistik adalah pertanyaan
normatif, pertanyaan tentang kesesuaian antara sebuah karya seni dan konvensi
standar yang mengatur praktik artistik, atau apakah itu dilakukan dengan baik
atau buruk. Klaim filosofis yang kuat dalam konteks ini adalah penjelasan kausal
tentang perilaku dan penjelasan perilaku dalam kaitannya dengan kausal proses
psikologis yang menghubungkan rangsangan dengan perilaku-tidak relevan
dengan pertanyaan normatif. Apakah berlaku sama atau apakah perilaku itu
merupakan respon yang tepat untuk situasi target atau tidak.

Penilaian apresiatif tentang karya seni didasarkan pada perbandingan antara
artefak tersebut dan konvensi yang mengatur praktik artistik untuk kategori seni
tertentu. Keberhasilan penilaian ini bertumpu pada pemahaman tentang kategori
seni itu, termasuk pengetahuan tentang konvensi normatif yang menentukan
apakah karya seni jenis itu dilakukan dengan baik atau buruk (Levinson 1992;
Rollins 2004). Pertanyaan filosofis yang berhubungan dengan apresiasi artistik
adalah pertanyaan tentang isi dari konvensi ini dan mengapa mereka memiliki
kekuatan normatif, atau bagaimana mereka membatasi penilaian evaluatif kita.

Apresiasi seni adalah kegiatan yang dilakukan penikmat seni (seperti melihat
atau menonton) terhadap karya seni untuk menghargai suatu karya. Jadi, proses
apresiasi ini perlu dilakukan seseorang agar ia dapat menangkap nilai yang
terkandung dalam suatu karya seni. Proses apresiasi terlihat rumit dan tidak
mudah dijelaskan karena terdapat aspek fisiologis dan psikologis dari penonton.

Kemampuan seseorang dalam menikmati suatu karya seni banyak ditentukan
dengan aspek, baik pengetahuan, sikap, dan kemauan seorang penonton
terhadap sebuah karya seni. Apresiasi karya seni baik terhadap karya buatan
seorang teman atau karya buatan seniman profesional sangat penting sebagai
upaya untuk mendapatkan pengalaman estetik dan juga untuk mengembangkan
kepribadian seseorang. Dickie (dalam Desmond, 2011: 40) menyatakan sebuah
karya ciptaan manusia mendapat predikat sebagai karya seni jika dengan sengaja
dibuat untuk dinikmati atau diapresiasi oleh masyarakat. Apresiasi memiliki artian
sebagai penghargaan atau proses yang dilakukan seseorang untuk menemukan
atau menentukan harga atau nilai dari sesuatu benda atau peristiwa.

4. Sebuah model untuk ilmu saraf kognitif seni

Telah disarankan di tempat lain bahwa skeptisisme filosofis tentang kegunaan
penelitian empiris untuk setiap pemahaman seni salah tempat (Carroll et al. 2012;
Seeley 2010, 2011a, 2011b; Kozbelt dan Seeley 2007). Ilmu kognitif, dalam arti
luas istilahnya, mengacu pada berbagai pendekatan interdisipliner untuk
memahami bagaimana organisme memperoleh, mewakili, memanipulasi, dan
menggunakan informasi dalam produksi perilaku. Penelitian dalam ilmu saraf seni
dan estetika empiris berada tepat di dalam ilmu kognitif di bawah interpretasi ini.
Karya seni adalah rangsangan yang sengaja dirancang untuk memicu berbagai
respons afektif, persepsi, dan semantik pada konsumen yang merupakan konten
ekspresif, komposisi formal, estetika, dan kognitif yang menonjol secara artistik.
Estetika emosional dan ilmu saraf seni adalah alat metodologis yang secara
teratur digunakan untuk memodelkan cara konsumen memperoleh, mewakili,
memanipulasi, dan menggunakan informasi yang dibawa dalam struktur
komposisi formal lukisan, film, tarian, pertunjukan musik, novel, dan puisi (untuk
beberapa nama) dalam proses yang menjamin tanggapan artistik kanonik kognitif,
ekspresif, dan estetika terhadap karya seni. Data ini, pada prinsipnya, dapat

digunakan untuk memutuskan antara teori filosofis yang bersaing tentang sifat
seni dan keterlibatan kita dengan karya seni, dan untuk menjawab pertanyaan
pelik masalah arti-penting artistik dan apresiasi artistik yang meningkat untuk
estetika empiris secara lebih umum.

Suatu sketsa untuk model umum untuk pemulihan hubungan antara filsafat
seni dan estetika empiris muncul dari beberapa metode penelitian yang
mendasari dasar dalam neuroaesthetics dan cerita yang cukup standar tentang
praktik produktif seniman. Jadi, selektivitas adalah komponen penting dari
persepsi. Sistem persepsi harus memungkinkan agen untuk memilih fitur persepsi
yang menonjol pada tugas dan membuang berbagai informasi mengganggu yang
mengacaukan dunia perseptualnya. Pencarian ulang terbaru menunjukkan bahwa
salah satu cara untuk memecahkan masalah ini, yaitu dengan mengembangkan
rutinitas visual dan jenis strategi persepsi lainnya untuk mengarahkan perhatian
ke kumpulan fitur diagnostik identitas, kemampuan, dan lokasi objek yang
menonjol tugas di lingkungan lokal. Sistem persepsi dapat, dalam hal ini,
diinterpretasikan sebagai mekanisme yang berkembang untuk mengidentifikasi
dan memilih informasi yang menonjol pada tugas dari arus dinamis input sensorik
dan membuang distraktor di lingkungan lokal. Perangkat komposisi formal yang
dihasilkan bekerja sebagai strategi komunikatif karena mereka diarahkan pada
berbagai strategi perseptual yang digunakan sistem kognitif dalam konteks biasa
untuk mengatasi dengan lancar lingkungan dinamis yang penuh dengan informasi
sensorik dengan cepat.

Sejumlah besar penelitian dalam neuroaesthetics telah dikhususkan untuk
mengungkap, melacak, dan mengevaluasi berbagai cara strategi formal-produktif
seniman memetakan ke operasi sistem perseptual. Misalnya, yaitu:

a. Diskusi Richard Latto tentang hubungan antara iradiasi dan penghambatan
lateral di eksplorasi retina.

b. Beatrice Calvo-Merino dan Corrine Jola tentang peran yang dimainkan
oleh area pra-motorik dalam jaringan observasi-aksi dalam keterlibatan
penonton dengan tarian.

c. Nicole Speer tentang peran yang dimainkan oleh simulasi motorik dalam
pemahaman naratif dalam teks dan film ) (Calvo-Merino et al.2008; Jola et
al.2012; Latto 1995; Speer et al.2009).

Namun, korelasi antara saraf operasi fisiologis sistem persepsi dan strategi
komposisi formal seniman tidak cukup untuk menjelaskan arti penting artistik dari
fitur formal, ekspresif, atau semantik dari sebuah karya seni.

a. Iradiasi bekerja untuk meningkatkan segregasi permukaan gambar dan
persepsi kedalaman dalam lukisan Monet karena penghambatan lateral
menghasilkan setengah bayangan di mana-mana di lingkungan persepsi

kita yang memainkan peran analog dalam persepsi kedalaman biasa dan
pengenalan objek (Latto 1995).
b. Simulasi motorik, juga, berfungsi sebagai mekanisme untuk mendukung
peran transfer kinetik dalam komunikasi tari dan pemahaman naratif
dalam film karena ia memainkan peran analogi dalam pengenalan aksi dan
persepsi gerak biologis dalam konteks biasa (lihat Carroll dan Seeley
2013a, 2013b).
c. Simulasi motor berperan dalam pemahaman naratif dalam fiksi karena
(atau sejauh itu) memainkan peran penting dalam pemahaman semantik
tindakan sentences (Fischer dan Zwaan 2008; Speer et al.2009).

Yang dibutuhkan adalah argumen lebih lanjut yang menghubungkan cara kerja
karya seni secara umum sebagai rangsangan kognitif dengan cara konsumen
mengenali dan memahami arti penting artistik dari konten formal, ekspresif, dan
semantik mereka. Gagasan tentang penilaian estetika sering dipanggil untuk
melakukan pekerjaan dalam estetika empiris. Tetpi, seperti pembahasan
sebelumnya, dominansi aes non-seni objek, peristiwa, dan pengalaman thetic
menimbulkan pertanyaan tentang apakah ukuran estetika adalah ukuran yang
tepat dari arti penting artistik.

5. Model Hierarki dan Mesin Perhatian

Kita membutuhkan neuroscience kognitif seni karena kita membutuhkan
model bagaimana kita menggunakan konten se-mantik untuk membedakan
karya seni dari artefak non-art yang berstruktur serupa, misalnya, karya desain
komersial. Hal ini tampak jelas dalam kasus seni koseptual non estetika, namun
juga berlaku untuk karya estetika abstrak diujung spektrum yang berlawanan. Isi
artistik yang menonjol dari sebuah karya muncul dari cara struktur komposisi
formal mencerminkan konvensi yang mengatur praktik artistik dalam kategori
seni yang sesuai.

Teori persaingan bias dari perhatian selektif (Desimone dan Duncan 1995;
Kast ner 2004; Pessoa et al. 2002) menyarankan model bagaimana karya seni
berfungsi sebagai mesin perhatian. Sistem perseptual disesuaikan dengan arti
penting perseptual. Beberapa fitur daerah hanya lebih cerah, lebih berwarna-
warni, atau bergerak berbeda dari sebelahnya. Maka dengan mudah hal itu akan
mengarahkan perhatian kira kepada mereka karena mereka menonjol ditengah
keramaian. Namun yang menjadi masalah adalah sebaian besar dari ciri-ciri yang
menonjol secara perilaku di daerah sebenarnya tidak secara perspektif.

Oleh karena itu, sistem perseptual memerlukan mekanisme independen
untuk menetapkan arti-penting pada ciri-ciri diagnostik — untuk menandai
artipenting objek dan ciri-cirinya dengan relevansi bagi saya daripada perbedaan
relatifnya dari lingkungannya. Model persaingan bias menyarankan bahwa kami
menggunakan jaringan perhatian top-down, fronto-parietal, dan cortico-fugal

untuk memecahkan masalah ini dalam konteks persepsi sehari-hari. Jaringan ini
bias persepsi dengan priming tingkat pengaktifan populasi neuron dalam sistem
sensorik dengan ekspektasi fitur diagnostik di lokasi tertentu. Sapuan pertama
yang cepat melalui sistem perseptual cukup untuk mencocokkan fitur diagnostik
minimal dengan pengetahuan semantik dari struktur, fungsi, dan kemampuan
objek dan jenis peristiwa yang disimpan dalam memori deklaratif (Pessoa dan
Adolphs 2010). Informasi ini, pada gilirannya, dapat digunakan sebagai perancah
untuk memperbaiki persepsi — untuk mengarahkan perhatian dan bias
pemrosesan persepsi ke fitur yang menonjol pada tugas, objek, atau bagian
objek di lokasi yang diharapkan dalam bidang visual.

Mekanisme persaingan bias perhatian selektif mengidentifikasi jaringan luas
sirkuit sirkuit fronto-parietal dan kortiko-fugal yang memfasilitasi integrasi lintas
modal sensorimotor dan informasi sensorik unimodal dalam persepsi. Jaringan
ini mencakup proyeksi dari area prefrontal yang terlibat dalam memori kerja
spasial.

Teori hierarki dalam estetika empiris dapat digunakan untuk
mengartikulasikan berbagai proses yang mungkin mempengaruhi penilaian
kognitif dan apresiatif tentang ilmu artistik dari konten sebuah karya. Teori-teori
ini memodelkan produksi artistik dan keterlibatan kami dengan karya seni
sebagai proses multi-tahap yang mencakup proses sensorik, analisis persepsi,
penilaian klasifikasi eksplisit, prosedur keputusan, dan tanggapan afektif. Yang
mendukung kapasitas kami untuk mengenali konten formal-komposisi dan
penggambaran sebuah karya, memahami konten representasi semantiknya, dan
menilai nilai artistiknya.

Leder berpendapat bahwa respons konten akan terletak pada kontinum dari
konsumen yang naif hingga ahli (Cela-Conde et al. 2002). Konsumen naif yang
kurang ahli seni kritis atau pengetahuan seni-sejarah akan menanggapi konten
penggambaran karya, mengevaluasi mereka relatif terhadap keberhasilan
mereka baik sebagai karya representasional atau konstruksi abstrak pada model
karya.
6. Arti Penting Artistik, Apresiasi Artistik, Tanggapan Afektif dan Perwujudan
Terhadap Karya Seni .

e. Arti Penting dan Apresiasi Artistik
• Merujuk pada teori seni yang bersifat empiris
• Berkaitan dengan apa yang membedakan karya seni dengan dari
non artefak
• Berkaitan dengan arti penting estetika
• Tergantung pada kategori seni (artefak, non artefak, dsb.)

6. Tanggapan Afektif

Menurut peter dan Olson (1996), Afeksi yaitu tanggapan-tanggapan efektif
beragam dalam penilaian positif atau negative, menyenangkan atau tidak
menyenangkan dan dalam intensitas atau tingkat pergerakan badan.

a. Sifat dasar dalam Sistem Afektif, yaitu:
• Sifat bahwa sistem afeksi pada umumnya reaktif.
• Sifat bahwa sistem afektif adalah bahwa masyarakat memiliki
kontrol langsung yang kecil atas tanggapan afektif mereka.
• Sifat bahwa sistem afektif adalah bahwa tanggapan afektif secara
fisik ada dalam tubuh manusia.
• Sifat bahwa sistem afektif dapat menanggapi berbagai jenis
rangsangan.
• Sifat bahwa tanggapan yang paling berpengaruh adalah belajar.

b. Jenis Tanggapan Afektif
Tanggapan afektif memiliki beberapa jenis, diantaranya adalah :
• Emosi
• Perasaan tertentu
• Suasana hati
• Evaluasi

7. Kasus Kognitif seni

Kognitif seni merupakan suatu pendekatan dalam apresiasi seni yang
dikembangkan oleh Michael Parson. Menurutnya, setiap oran memiliki respon
yan berbeda dalam menganggapi atau emberukan respon pada suatu kerya seni,
hal ini terjadi karena semua itu bergantung pada perkembangan kognitif masing-
masing individu yang berhubungan dengan karya seni. Ada lima tingkat
kemampuan untuk dapat melakukan apresiasi dan kadang masing - masing
tingkat tersebut bertimpaan satu dengan yang lainnya sehingga menjadi sangat
rumit. Kelima tingkat tersebut adalah : 1. Pendekatan kognitif tahap favoritisme;
2. Pendekatan kognitif tahap keindahan dan realisme; 3. Pendekatan kognitif
tahap ekspresi; 4. Pendekatan kognitif tahap gaya dan bentuk; dan 5.
Pendekatan kognitif tahap otonomi.

Dalam sebuah penelitian dari Universitas Amsterdam, Belanda telah
mrelakukan sebuah penelitian mengenai kasus kognitif seni yang telah
melibatkan 147 anak. Dalam penelitian ini, peneliti membagi 147 anak tersebut
menjadi beberapa kelompok. Terdapat 3 kelompok penelitian, yaitu : 1)
kelompok kelas dan les musik ; 2) kelompok les seni rupa ;3) kelompok yang
mengikuti kurikulum biasa di sekolah. Setelah dilakukan metode penelitian
sedemikian rupa, lalu peneliti dalam penelitian ini dapat menghasilkan 2 hasil
penelitian dari rangkaian observasi dan penelitian yang telah mereka lakukan,
yaitu : 1) Kelompok les musik memiliki peningkatan dalam kemampuan kognitif,

ketimbang dua kelompok lain ; 2) kelompok les seni rupa memiliki kemampuan
yang lebih baik, dalam hal pengenalan ruang dan memori jangka pendek.

DAFTAR RUJUKAN

Joseph P. Huston, dkk. 2015. Art, Aesthetics, and the Brain. Oxford University Press
William P. Seeley. Bab 2 Seni, makna, dan estetika: Kasus untuk ilmu saraf kognitif seni
AP Shimamura. 2016. Menuju Ilmu Estetika: Isu-isu dan Ide-ide. https://digilib.isi.ac.id
(diakses 30 Mei 2021)
Arnita Tarsa, S.Pd. 2016. Apresiasi Seni: Imajinasi dan Kontemplasi dalam Karya Seni. Jurnal
Penelitian Guru Indonesia - JPGI, 1 (1), 50-56.
Moh. Rondhi. 2017. Apresiasi Seni dalam Konteks Pendidikan Seni. Jurnal Imajinasi, 11
(1), 9-18.

BAB 8

AESTHETIC APRECIATION

Hilda Chairunnisa, Herlin Oktavia Rosalina, Kun Muzayyin Hadiputra, dan Maylia Vinda
Ekklesia

Dalam kehidupan terdapat hal-hal yang membingungkan yang dilakukan manusia dari
pandangan pertama tidak memiliki sifat biolagois yang jelas menggunakan banyak dari
aktivitas di bawah konsep "budaya". Contohnya seperti manusia dapat menghabiskan
waktunya berjam-jam hanya untuk di teater dan ruang konser. Selain itu mereka juga
mengunjungi beberapa pameran seni yang sebenarnya membutuhkan perjalanan dan biaya.
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang unik atau berbeda dengan makhluk yang lain
karena manusia memiliki kepribadian yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. (Davies,
2012) berpendapat bahwa terdapat bukti yang menunjukkan bahwa seni adalah fitur manusia
yang unik. Contohnya seni prasejarah berkisar setidaknya 80.000 tahun. Jadi, bersama dengan
senjata dan alat, karya seni juga ada di antara artefak manusia tertua. Psikologi seni telah
berfokus tentang kualitas pengalaman yang menjelaskan mengapa perilaku ini ditunjukkan
(Leder et al. 2004). Dalam hal ini, karya seni dalam pameran mewakili nilai estetika yang tidak
perlu dipertanyakan lagi oleh pengunjung, dan menjanjikan pengalaman yang mengasyikkan,
mencerahkan, atau membangkitkan semangat. Ini berkaitan dengan penjelasan yang paling
sering diasumsikan tentang perilaku estetika: bahwa seni memberikan keadaan hedonis
pengalaman positif tentang keindahan, kesenangan, atau keagungan.

Psikologis awal pendekatan menekankan bahwa pengamat harus mampu berempati
dengan karya seni — atau artis (lihat Currie 2011, untuk diskusi komprehensif). Jadi, seni juga
memungkinkan untuk bermain-main dalam belajar memahami, menafsirkan, dan bertukar
sudut pandang dan pendapat (Dissanayake 2007). Terkait dengan penjelasan ini, pendekatan
evolusi berpendapat bahwa “seni membuat dan menghargai melayani fungsi ritualistik
penting yang meningkatkan hubungan sosial kohesi” (Chatterjee 2011, hlm. 56). Analisis
psikologi seni biasanya diarahkan pada suatu perspektif batin, seperti keadaan psikologis dan
proses selama persepsi seni. Dalam bab ini, membahas studi tentang proses yang terlibat
dalam perilaku seperti itu, khususnya dalam apresiasi seni, dan bagaimana peneliti dapat
mengukur proses psikologis dan keadaan apresiasi estetika dengan menggunakan metode
perilaku dan psikofisiologis. Dalam pembahasan ini bertujuan untuk membahas dua masalah.
Pertama, membahas tentang bagaimana psikologi dapat mendasari berdirinya perilaku
mengamati dan menikmati seni. Kedua, membahas tentang mendekonstruksi pengalaman
seni tersebut menjadi komponen yang berbeda dan membahas bagaimana estetika
eksperimental dan khususnya penggunaan tindakan psikofisiologis, memberikan wawasan
tentang proses kompleks selama resepsi estetika seni visual.

1. Bagaimana psikolog memahami pengalaman estetika seni?

Fokus dari kebanyakan teori psikologis adalah semacam pandangan batin
seseorang (James 1890). Tujuan psikologi estetika adalah untuk mengetahui proses-
proses yang terjadi pada seorang yang mempersepsikan, guna menjelaskan apa yang
disukainya secara estetika. Psikologi bertujuan untuk mendeskripsikan, menjelaskan,
dan, melalui pemahaman ilmiah, memprediksi perilaku dan pengalaman manusia.
Alasan mengapa suatu hal dapat disukai atau tidak disukai hanya dapat ditemukan
dalam hukum khusus yang berkaitan dengan suka tidak suka, serta dalam hukum
kewajiban.

Fechner mendirikan bidang estetika empiris dengan karyanya Vorschule der
Ästhetik (1876). Studi empiris Fechner jelas berfokus pada penerimaan estetika —
bukan produksi. Dia mempresentasikan studi laboratorium pertama mengenai prinsip
Bagian Emas dalam persegi panjang, yang menurutnya rasio 1 banding 1,618 harus
sangat indah, dan melakukan studi lapangan pertama di museum dengan
membandingkan apresiasi dua versi Madonna milik Holbein, dipamerkan di Sempre
Gallerie di Dresden.

Kemajuan estetika empiris sepanjang abad ke-20 sangat lambat. Namun,
setelah pengaruh behaviorisme mereda, estetika eksperimental mengalami
kebangkitan, terutama karena pendekatan gairah biologis Berlyne pada 1970-an.
Sejak revolusi kognitif, konsep pemrosesan informasi telah memandu studi dan
pemahaman tentang perilaku manusia selama setengah abad. Akibatnya, kognisi,
pemikiran, dan representasi internal biasa terjadi pada banyak teori psikologis.

Model pemrosesan informasi yang dikembangkan oleh Leder dkk (2004), dan
model neuropsikologis Chatterjee (2003), adalah dua contoh dari hal ini. Chatterjee
(2003) membedakan keputusan estetika dan tanggapan emosional sebagai keluaran
dari modelnya. Keduanya merupakan hasil tahapan pemrosesan dari penglihatan awal
dan menengah, domain representasi, dan dimodulasi melalui perhatian. Menurut
asumsi pemrosesan informasi, proses kognitif membentuk representasi dan
mengubah keadaan psikologis dan fisiologis orang tersebut.

Dalam model yang dikembangkan oleh Leder dkk (2004), proses kognitif ini
juga dilihat sebagai pemicu perubahan keadaan emosional, terutama sebagai
konsekuensi atau produk sampingan dari berbagai aktivitas kognitif. Dengan
demikian, pengalaman seni adalah episode yang kompleks, terdiri dari interaksi antara
objek dan pengamat, dan interaksi kognitif serta proses emosional. Sejak awal,
persepsi menjadi fokus bagi disiplin baru psikologi empiris. Jika tujuan metode yang
termasuk dalam judul psikofisika adalah untuk memahami secara ilmiah hubungan
antara dunia luar dan representasi mentalnya, maka persepsi adalah tempat yang
alami untuk memulai.

Sepanjang abad kedua puluh, keahlian dan pengetahuan tentang persepsi
meningkat seiring dengan perkembangan teknologi dalam presentasi dan manipulasi
gambar. Dengan perkembangan ini kompleksitas program penelitian di bidang
psikologi meningkat dengan pertimbangan array visual yang lebih kompleks, seperti
karya seni. Akibatnya, psikologi saat ini menunjukkan peningkatan minat pada seni.
Ruang lingkupnya juga telah diperluas melalui integrasi berbagai metode, yang terdiri
dari penelitian eksperimental, perilaku kognitif, serta penelitian psikofisiologi dan
otak.

2. Metode psikologis

Psikologi empiris menghadapi masalah bahwa sebagian besar proses kognitif
dan emosional yang dimilikinya tidak dapat diamati secara langsung, dan berlangsung
dalam urutan yang sangat cepat. Dalam estetika eksperimental, pengukuran perilaku
yang paling umum digunakan sebagai variabel dependen, tetapi karena kemajuan
teknis dalam beberapa dekade terakhir, pengukuran ini dilengkapi dengan metode
psikofisiologis. Mengenai pengukuran perilaku, evaluasi estetika sangat sering diukur
dengan keputusan preferensi. Ini dapat diberikan dengan menggunakan tugas
preferensi pilihan-paksa atau skala Likert yang mengukur kesukaan atau preferensi.
Pertanyaan tentang seberapa disukai suatu objek, seberapa kuat objek tersebut
membangkitkan pengalaman estetika, atau betapa indahnya objek itu, juga dapat
diajukan.

Psikofisiologi memberikan peningkatan dan perluasan yang menarik dari
pendekatan perilaku, karena memungkinkan pengujian hipotesis yang terkait dengan
korelasi fisiologis. Beberapa metode psikofisiologis memungkinkan pelacakan
perubahan dalam proses secara "waktu nyata" karena memiliki resolusi temporal yang
sangat tinggi. Tindakan psikofisiologis dari fungsi sistem saraf tepi, seperti aktivitas
elektrodermal (EDA), detak jantung (HR), elektromiografi wajah (EMG wajah), dan
pupilometri melengkapi repertoar eksperimental untuk psikolog dan dapat
berkontribusi pada pemahaman yang lebih dalam tentang proses psikologis.

Mengenai EDA, salah satu ukuran yang umum digunakan adalah konduktansi
kulit, yang mencatat seberapa baik kulit mengalirkan arus di antara sepasang
elektroda kulit. EMG wajah dapat digunakan untuk mengukur respons yang terkait
dengan valensi emosional karena aktivitas otot wajah sangat penting untuk ekspresi
emosi. Pupilometri, pengukuran pelebaran dan kontraksi pupil, adalah ukuran
psikofisiologis lain yang dapat diterapkan untuk memahami proses dalam estetika.
Ukuran pupil dikontrol oleh sfingter iris dan otot dilator.

3. Komponen pengalaman estetika seni — perilaku dan pendekatan fisiologis

Teori psikologis tentang pengalaman estetika merupakan teori yang berisikan
proses perubahan pengalaman menjadi tahap pemrosesan. Terdapat contoh yang
terkait dengan beberapa komponen untuk menggambarkan bagaimana peran dalam

estetika dan apresiasi seni. Hal tersebut dapat diperdalam dengan menggunakan
metode perilaku dan psikofisiologis.

Gambar 8.3: ilustrasi proses estetika dan komponen.

Dalam bagian ini akan membahas bagaimana konteks memungkinkan
terjadinya proses estetika. Selain itu, akan membahas proses persepsi awal termasuk
tahapan penting dari gaya atau pemrosesan konten, dan bagaimana pengetahuan dan
keahlian, serta emosi, membentuk pengalaman estetika dari seni. Terkait komponen
ini, terdapat beberapa kajian tentang proses yang terlibat dengan memberi
penekanan pada ilmiah studi yang menggabungkan metode perilaku dan fisiologis.

4. Peran Konteks
Pengalaman keindahan acapkali dikaitkan menggunakan konteks tertentu.

Konteks misalnya itu sanggup jadi ditetapkan menggunakan pra-penjabaran objek
menjadi seni. Hal ini dilakukan menggunakan memajang benda tadi pada museum
atau diminta buat mengevaluasinya secara keindahan pada laboratorium. Konteks
keindahan mendorong pengamat buat mengadopsi apa yang diklaim Cupchik &
Laszlo (1992) menjadi perilaku keindahan, & itu menaruh prasyarat yang dibutuhkan
namun nir relatif buat keindahan pengalaman (Leder et al. 2004). Mengingat konteks
keindahan mereduksi pragmatis & motivasional pertimbangan, penerima diizinkan
buat menikmati keadaan yang relatif ambigu waktu melihat karya seni (Jakesch &
Leder 2009). Memang artis membentuk karya seni bukan hanya buat kalangan demi
representasi semata berdasarkan suatu objek; mereka pula memanfaatkan properti
gaya & formal pada karya seni mereka buat menaruh pengalaman menonton yang
menarik bagi pemirsa. Noguchi & Murota (2013) menilik pengaruh adonan
berdasarkan 2 faktor, yaitu kontekstual manipulasi (mendefinisikan karya seni,
patung tubuh insan zaman Renaisans, menjadi "orisinil" atau "palsu") &, nir
diketahui sang peserta, manipulasi gaya (mengganti format proporsi pahatan yang
membentuk kemiripan menggunakan tubuh yang cacat) waktu merekam EEG.
Seperti pada studi sang Kirk, Skov, Hulme, & kolega (2009), partisipan disediakan

peringkat keindahan yang lebih tinggi buat karya seni yang didefinisikan menjadi
orisinil dibandingkan menggunakan yang didefinisikan menjadi nir orisinil.

5. Dimana fisiologi memainkan peran yang menentukan: emosi estetika?

Filsuf & psikolog pernah membahas apakah emosi dipicu sang seni tidak
sinkron berdasarkan emosi sehari-hari yang umum (Beardsley 1958; Frijda 1988;
Scherer 2005). Scherer melihat disparitas krusial antara keindahan & emosi sehari-
hari, yang mana beliau menyebut "utilitarian". Begitu juga menurut Frijda (1988)
mengasumsikan bahwa intensitas reaksi emosional berkurang saat seorang menilai
suatu insiden menjadi nir realistis atau nir secara pribadi relevan menggunakan
kebutuhan waktu ini atau masa depan. Konteks keindahan, mengindikasikan
pengalaman kondusif terlepas berdasarkan kenyataan (Beardsley 1958), menaruh
kerangka buat evaluasi semacam itu. Beberapa studi memakai manipulasi
kontekstual, yang sangat seperti menggunakan disparitas antara pemrosesan
keindahan lawan realistik, menggunakan memberi memahami peserta bahwa
rangsangan bersifat fiksi (pemrosesan keindahan mempunyai entah bagaimana
karakter fiksi; Tan 2000) atau realistis. Goldstein (2009) bertanya pada peserta buat
menonton film yang membangkitkan kesedihan atau kemarahan pada 2 konteks ini &
menilai intensitasnya pengalaman emosional mereka.

6. Proses Awal: Perubahan Dalam Bidang Persepsi

Estetika adalah segala sesuatu dan kajian terhadap hal-hal yang terkait dengan
kegiatan seni (Kattsoff, Elementof philosophy, 1953). Estetika merupakan suatu telaah
yang berkaitan dengan penciptaan, apresiasi, dan kritik terhadap karya seni dalam
konteks keterkaitan seni dengan kegiatan manusia dan peranan seni dalam perubahan
dunia (Van Mater Ames, Colliers Encylopedia, Vol. 1). Pengalaman estetika visual
adalah sebuah panggung dari pemrosesan persepsi. Semua teori psikologi seni
menekankan pada jenis proses ini. Persepsi bagaimanapun, terdiri dari serangkaian
tahapan dan proses yang cukup kompleks dan melibatkan transformasi informasi
sensorik menjadi pengalaman visual yang bagi sebagian orang meningkatkan
kenikmatan estetika. Chatterjee (2003) menyimpulkan ini sebagai pemrosesan visual
awal dan menengah.

Telah dilakukan beberapa penelitian, penelitian tersebut menunjukkan bahwa
pemrosesan estetika menghasilkan peningkatan aktivitas di area awal dan menengah
dari sebuah pemrosesan visual. Fairhall dan Ishai (2008) membandingkan file persepsi
karya seni representasional, ambigu, dan abstrak dengan rangsangan kontrol yang
diacak. Pertama menunjukkan aktivasi yang lebih kuat dari girus oksipital inferior dan
gyrus fusiformis, tempat diprosesnya bentuk objek, dan korteks oksipital punggung,
yang memproses properti spasial objek visual. Vartanian dan Goel (2004),
menggunakan lukisan abstrak dan representasional, menunjukkan bahwa aktivasi

pada gyrus oksipital, termasuk gyrus fusiform, secara linier meningkat sebagai fungsi
dari peringkat preferensi subjektif. Begitu pula dengan Vessel dan rekan-rekannya
(2012) juga menggunakan lukisan abstrak dan representasi, dan melaporkan
peningkatan linier aktivitas di area visual di korteks oksipito-temporal sebagai fungsi
dari nilai estetika yang dilaporkan secara subjektif. Namun, pola aktivasi di area
pemrosesan visual awal dan menengah ini sering menunjukkan sedikit tumpang tindih
dalam studi yang berbeda (misalnya Nadal et al. 2008). Mereka bergantung secara
kritis tentang tuntutan tugas, instruksi, prosedur, dan bahan stimulus yang digunakan.
Misalnya, pemrosesan estetika representasi dibandingkan dengan karya seni abstrak
melibatkan jaringan persepsi objek lebih kuat (Fairhall dan Ishai 2008; Vartanian dan
Goel 2004). Secara keseluruhan, studi empiris memberikan beberapa bukti bahwa
area pemrosesan visual awal dan menengah secara konsisten lebih kuat diaktifkan
selama pemrosesan estetika. Ini aktivasi yang lebih kuat mungkin mencerminkan
peningkatan top-down karena proses perhatian dan emosional (Vuilleumier dan
Driver 2007).

Dalam analisis persepsi perlu memperhatikan pertimbangan efek dari
sejumlah variabel yang dapat mempengaruhi daya tarik estetika. Variabel-variabel
tersebut berupa klompeksitas, kontras, simetri, keteraturan, dan pengelompokan.
Kombinasi metode psikofisiologis dan perilaku dapat bermanfaat dalam menjelaskan
kontribusi faktor persepsi tersebut. Misalnya, menurut Berlyne (1971), kompleksitas
visual mempengaruhi respons estetika melalui perubahan gairah. Sifat proses yang
menentukan bagaimana kompleksitas mempengaruhi Persepsi tentang karya seni
masih menjadi topik yang menarik untuk penelitian selanjutnya. Di Leder dan kolega
(2004), kekhususan seni tidak begitu banyak terkait dengan fitur formal seperti
kompleksitas, tetapi ditugaskan untuk membedakan antara konten dan gaya.

7. Representasi: konten dan gaya? Seni tertentu?

Kuchinke, Trapp, Jacobs, dan Leder (2009) menunjukkan bagaimana fisiologi
dapat menginformasikan proses yang berkaitan dengan pengenalan konten eksplisit.
Mereka menguji hipotesis bahwa pada momen pencerahan ketika konten sebuah
karya dikenali, perubahan respons emosional dapat diamati. Hal ini terjadi ketika
mereka melihat lukisan Kubisme, yang isinya membutuhkan waktu untuk dikenali oleh
yang melihat (Hekkert dan van Wieringen 1996). Pablo Picasso dan Georges Braque
mengembangkan gaya yang menggambarkan konten dalam tampilan perspektif yang
dilapis atau digabungkan secara bersamaan. Adanya gaya tersebut menyebabkan
proses keterlambatan dalam pengenalan karena elemen pembentuk tidak dapat
dengan mudah ditetapkan ke satu tampilan.

Kuchinke dan rekan (2009) mengukur respon pupil dan menunjukkan bahwa
momen pengenalan konten memang disertai dengan respon emosional. Jadi, saat
subjek karya seni diidentifikasi, partisipan menunjukkan respons pupil yang dapat
diartikan sebagai emosi yang ditimbulkan dari wawasan yang menyenangkan.

Mengenai proses yang mendasari pengenalan gaya dan konten, Augustin, Leder,
Hutzler, dan Carbon (2008) mempelajari waktu yang dibutuhkan gaya dan konten
untuk memengaruhi persepsi karya seni dengan menampilkan gambar dalam waktu
yang sangat singkat. Dengan waktu presentasi 10 ms, penonton hanya bisa
membedakan soal konten. Namun kemiripan yang dirasakan juga dipengaruhi oleh
gaya melukis dengan panjang 50 ms. Jadi, untuk sementara dapat disimpulkan bahwa
gaya mengikuti konten.

Dalam studi selanjutnya, Augustin, Defranceschi, Fuchs, Carbon, dan Hutzler
(2011) menggunakan ERP untuk mempelajari kursus waktu saraf yang mendasari
persepsi konten atau gaya. Peserta melihat gambar yang bervariasi secara sistematis
dalam gaya dan konten dan harus melakukan tugas pilihan ganda (sama seperti ya
atau tidak) go / no-go. Hasil kembali mendukung hipotesis bahwa dalam pengolahan
seni, gaya mengikuti konten. Informasi terkait gaya tersedia lebih lambat dari
informasi terkait konten seperti yang ditunjukkan oleh komponen ERP tertentu
(potensi kesiapan lateral — LRP, dan N200).
8 Keahlian dan pengetahuan seni

Pakar adalah pakar karena mereka tahu lebih banyak tentang subjek tertentu
daripada kebanyakan individu, dan pengetahuan mereka lebih dalam. Pengetahuan
tentang karya dan kehidupan seniman, gaya dan gerakan seni tertentu, dan proses
produksi artistik membantu penafsiran gaya dan konseptual. Kemampuan
menafsirkan seni yang meningkat, pada gilirannya, memfasilitasi pemahaman dan
apresiasi seni. Penelitian psikologis tentang keahlian seni terutama menggunakan dua
pendekatan:

a. Mempelajari pengaruh informasi khusus seni pada pengalaman seni orang
awam.

b. Membedakan orang awam dan pakar seni (orang dengan pelatihan formal di
bidang seni atau profesional seni).

Kedua pendekatan tersebut mengungkapkan bagaimana pengetahuan dan
keahlian seni memengaruhi pemrosesan pada tingkat kognitif, persepsi, dan afektif.

Beberapa studi perilaku yang menggunakan pendekatan ini menunjukkan
bahwa informasi tambahan secara positif mempengaruhi apresiasi dan pemahaman
seni. Namun, ini tergantung pada tingkat keahlian relatif dan gaya seni. Hanya sedikit
penelitian yang meneliti pengaruh informasi tambahan pada apresiasi seni dengan
menggunakan ukuran psikofisiologis. Pada tingkat neuronal, karya seni yang disajikan
dengan informasi gaya dibandingkan dengan karya seni tanpa informasi gaya
menimbulkan aktivasi yang lebih lemah terutama di jaringan frontal kiri dan parietal.

Studi ini menunjukkan bahwa informasi dan pengetahuan tertentu secara
signifikan mempengaruhi pemahaman seni dan apresiasinya. Memilih pendekatan
lain untuk menyelidiki pengaruh pengetahuan pada evaluasi

seni, Pang, Nadal, Müller-Paul, Rosenberg, dan Klein membandingkan respon
neuronal orang awam dan ahli seni saat mengevaluasi seni dan satu set rangsangan
kontrol. Pang dan rekan menemukan bahwa pengetahuan mengarah pada
pemrosesan yang lebih efisien pada tingkat saraf yang terkait dengan pengambilan
pengetahuan, dikurangi untuk ahli seni dibandingkan dengan orang awam. Dalam
studi Pang dan rekannya, efek keahlian ini tidak terbatas pada karya seni; mereka juga
diperluas untuk mengontrol rangsangan.

Keahlian seni juga mempengaruhi komponen afektif dari pengalaman estetika.
Sejalan dengan hal ini, Kirk, Skov, Christensen, dan Nygaard menunjukkan bahwa ahli
arsitektur menunjukkan aktivitas yang lebih tinggi di area otak yang terkait dengan
pemrosesan penghargaan dibandingkan dengan non-ahli ketika mereka mengevaluasi
gambar bangunan. Jika keahlian seni tingkat tinggi umumnya meningkatkan
pengalaman afektif positif dari karya seni, maka pakar seni dibandingkan dengan
orang awam juga harus merasa lebih positif bahkan ketika mereka melihat seni
bervalensi negatif.

Para ahli lebih menyukai karya seni negatif dibandingkan dengan orang
awam. Dengan demikian, reaktivitas emosional para ahli yang berkurang mungkin
telah mendorong evaluasi estetika positif bahkan dari seni yang negatif secara
emosional. Singkatnya, pengetahuan sebagai fitur inti dari keahlian seni tampaknya
memfasilitasi penilaian estetika independen dan memungkinkan kita untuk
menguasai tampilan karya seni secara lebih luas pada tingkat kognitif tingkat yang
lebih tinggi. Selain itu, pengetahuan seni dan pertemuan yang sering dengan seni tidak
hanya meningkatkan kemampuan kita untuk memahami dan menafsirkan seni, tetapi
juga mengubah cara kita memproses seni pada tingkat perseptual dan afektif.

DAFTAR PUSTAKA

Huston, dkk. 2015. Art, Aesthetics, and The Brain. Dalam Joseph P. Huston, Marcos Nadal,
Francisco Mora, Luigi F. Agnati, % Camilo J. Cela-Conde (Ed). Aesthetic appreciation:
Convergence from Experimental aesthetics and physiology. Amerika Serikat: Oxford
University Press.

Hidayatullah,R.2019.LingkupEstetika.Dari
https://www.researchgate.net/publication/332652425_ESTETIKA_SENI

BAB 9

BEAUTIFUL AMBODIMENT: THE SHAPING OF AESTHETIC
PREFERENCE BY PERSONAL EXPERIENCE

Ezza Joevita Mahardhita Purnomo Putri, Khumaerah Desta Fitrianti, dan Mega Tri Utami.

Bayangkan situasi berikut : Anda tiba di stasiun kereta api pada hari Jumat pagi
untuk memulai perjalanan ke kantor. Saat anda melintasi jalur utama, pengumuman
keberangkatan peron kereta menghilang dan tiba-tiba digantikan oleh lirik lagu. Pada
saat yang sama, satu orang masuk ke bagian tengah gerbang dan menari dengan
energik. Sesaat kemudian, seorang wanita di belakang membuang tas belanjanya dan
ikut menari, seperti dua pria paruh baya dengan setelan jas gelap dan tas koper
menendang tumit mereka dan bergabung juga. Dalam beberapa detik, pertemuan
tersebut menjadi hidup dengan tarian yang luar biasa, presisi, dan kegembiraan saat
mereka berputar, menendang, dan meramaikan jalan melalui perpaduan lagu yang
populer. Anda dan orang-orang tampaknya tidak terbiasa dengan koreografi
menawan, seperti wajah dari semua penumpang menyala dengan gembira karena
dikelilingi oleh tarian dan lagu di tempat umum.

Menyaksikan flashmob secara langsung dan online adalah sesuatu yang menurut
kebanyakan orang dianggap mendebarkan. Flashmob didefinisikan sebagai
pertunjukan publik yang spontan, biasanya sebuah tarian yang muncul entah dari
mana dengan satu orang yang kemudian berkembang menjadi ratusan orang, lalu
menghilang dengan cepat. Flashmob mendapat momentum sebagai sesuatu yang
sangat disukai, seringkali menghadirkan kegembiraan, dan bahkan ada sedikit seni
yang masuk ke dalam kehidupan orang-orang di tempat yang tak terduga. Seperti yang
dijelaskan dalam bab ini, satu kemungkinan penjelasan untuk keberhasilan dan daya
tarik flashmob adalah mengubah pejalan kaki yang norma menjadi pemain luar biasa
melalui tarian. Sepanjang sejarah, tarian telah mempertahankan kehadiran penting di
seluruh budaya manusia, menentang batasan kelas, ras, dan status (Dils dan Albright
2001). Koevolusi menari dengan umat manusia telah memicu perdebatan yang kaya
tentang fungsi seni dan estetika pengalaman, melibatkan banyak seniman, filsuf, dan
ilmuwan.

Saat berbagai tarian dipertahankan dengan bentuk seni lain, satu atribut unik
adalah bahwa dia hanya diekspresikan melalui pergerakan tubuh manusia. Karena itu,
ilmuwan sosial dan ahli saraf beralih ke tarian untuk membantu menjawab pertanyaan
tentang bagaimana otak mengkoordinasikan tubuk untuk melakukan gerakan yang
kompleks, tepat, dan indah. Misalnya saat kita menonton penari balet melompat di

udara dalm split yang sempurna atau seorang penari breakdance tampil lima kali
bertutut-turut dengan kepala yang berputar, bagaimana kemampuan menari kita
memperngaruhi cara kita memandang pemain yang menggairahkan dan memembuat
terkesan. Dalam bab ini penulis mendalami bagaimana penelitian dengan penari dan
paradigma belajar tari dapat membantu menjelaskan isu yang berkaitan dengan kreasi
seni dan preferensi estetika dan juga mempertimbangkan pertanyaan yang lebih
mendasar tentang hubungan antara tindakan dan persepsi. Dimulai dari bagian yang
singkat merangkum perkembangan bidang multidisiplin yang bertujuan untuk
meneksplorasi caranya produksi tindakan menginformasikan persepsi tindakan,
dengan penekanan khusus pada baimana studi dengan penari telah mengajukan
pertanyaan tersebut. Selanjutnya fokus kepada konseptualisasi tertentu dari
kebalikan hubungan ini, yaitu seberapa sederhana observasi tindakan bisa
mempengaruhi repertoar motor pengamat. Pekerjaan perintis menggunakan menari
menggarisbawahi betapa kuatnya pengalaman visual dalam membentuk kemampuan
motori, sedangkan dua bagian pertama terutama menggunakan tarian sebagai sarana
untuk mengeksplorasi tautan fundamental antara tindakan dan persepsi, dua bagian
terakhir mengeksplorasi kegunaan tari sebagai sebuah bentuk seni untuk
menginformasikan pemahaman kita tentang pengalaman pengamat dan penari yang
mereka saksikan, dalam upata untuk melakukannya membangun hubungan antara
keduanya dan untuk melakukannya itu membantu kita untuk memahami mengapa
kita bisa mendapatkan begitu banyak kesenangan karena terperangkap dalam
flasmob secara langsung atau menonton di internet.

1. Pembentukan Persepsi melalui Tindakan

Persepsi adalah tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi
sensoris guna memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan. Persepsi
bukanlah penerimaan isyarat secara pasif, tetapi dibentuk oleh pembelajaran,
ingatan, harapan, dan perhatian. Persepsi bergantung pada fungsi kompleks sistem
saraf, tetapi tampak tidak ada karena terjadi di luar kesadaran. Saat ilmu pengetahuan
tentang otak manusia berkembang, para sarjana perintis mulai mengeksplorasi
gagasan bahwa proses perseptual mungkin menyatu atau dengan kinerja motor. Pada
pertengahan abad kedua puluh, studi empiris menyelidiki fungsi kemampuan otak
untuk mengolah informasi perseptual membentuk gerakan.

Pada pertengahan 1970-an, Mountcastle dan rekan-rekannya memulai
penyelidikan pertama yang diduga merupakan mekanisme neurofisiologis yang
menghubungkan aksi dan persepsi. Nah, Dalam pelajaran penting ini, Mountcastle dan
rekannya menggunakan teknik perekaman unit tunggal untuk melacak aktivitas
neuron di dalam lobus parietal superior dan area parietal posterior korteks serebral
pada kera. Kera tersebut, melakukan tindakan perilaku sederhana sebagai respons
terhadap rangsangan sensorik. Studi semacam itu, menyelidiki sifat spesifik neuron di

dalam korteks asosiasi parietal posterior, dan menentukan bahwa neuron ini
merespons stimulasi visual untuk melambangkan makna dari suatu tindakan.

Pada 1990-an, banyak peneliti yang berminat untuk meneliti persimpangan
persepsi tindakan dan produksi. Hal ini disebabkan oleh penemuan yang bernama
cermin neuron pada korteks premotor ventral yang merupakan bagian dari lobus
frontal pada monyet. Neuron-neuron ini bekerja dengan cara yang sama, baik saat
monyet melakukan tindakan mengamati monyet lain atau saat manusia melakukan
tindakan yang sama mengamati manusia lain. Jaringan saraf yang ditemukan di dalam
korteks parietal dan premotor otak manusia terlibat saat melakukan tindakan atau
saat mengamati tindakan.

Penelitian lain adalah Action Observation Network atau jaringan observasi
tindakan yang selanjutnya disebut AON . AON menggunakan tarian sebagai bahan
penelitian. Penggunaan tarian untuk mempelajari AON karena tiga alasan utama.
Pertama, menari adalah paradigma ideal untuk mempelajari koordinasi seluruh tubuh.
Kedua, tarian umumnya tidak diarahkan pada objek. Ketiga, dengan mempelajari
perilaku motorik yang jauh lebih kompleks dengan gerakan tarian akan berguna untuk
memahami berbagai perilaku motorik yang lebih luas, dari yang sederhana hingga
yang kompleks. Pelatihan fisik khusus dalam satu gaya tarian mempengaruhi persepsi
tentang gaya tari yang dikenal dibandingkan dengan gaya tarian yang tidak dikenal.
Contohnya Saat penari balet terlatih menonton balet, atau saat penari tradisional
terlatih menonton tarian tradisional, aktivitas yang lebih besar akan terlihat di seluruh
AON, dibandingkan saat penari balet menyaksikan penari tradisional atau sebaliknya.
Artinya perspektif mereka akan terbentuk melalui tindakan. Lebih mudah melakukan
hal yang sudah lama dipelajari daripada hal yang baru saja dipelajari. Konseptualisasi
aksi-persepsi pada kedua penelitian tersebut menegaskan bahwa aksi tidak hanya
mempengaruhi persepsi tetapi juga persepsi mempengaruhi tindakan.

Sebenarnya apa faktor dari pembentukan persepsi melalui tindakan? Persepsi
ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional (Rakhmat, 2005). David Krech
dan Richard S. Cruthfield (1997:235) dalam Rakhmat (2005) menyebutnya faktor
fungsional dan faktor struktural. Faktor Fungsional merupakan Faktor yang berasal
dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk dalam faktor-
faktor personal. Persepsi tidak ditentukan oleh jenis atau bentuk stimuli, tetapi
karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli tersebut. sedangkan Faktor
Struktural adalah faktor yang berasal dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang
ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Selain faktor kebutuhan di atas, Leavitt
(1978) juga menyatakan bahwa cara individu melihat dunia adalah berasal dari
kelompoknya serta keanggotaannya dalam masyarakat. Artinya, terdapat pengaruh
lingkungan terhadap cara individu melihat dunia yang dapat dikatakan sebagai
tekanan-tekanan sosial. Restiyanti Prasetijo (2005:69), mengungkapkan bahwa faktor
– faktor yang mempengaruhi persepsi, dapat dikelompokan dalam dua faktor utama
yaitu :

1. Faktor internal yang meliputi :
a. Pengalaman
b. Kebutuhan
c. Penilaian
d. Ekspektasi / pengharapan

2. Faktor eksternal, meliputi :
a. Tampakan luar
b. Sifat - sifat stimulus
c. Situasi lingkungan

Menurut Toha (2003),faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang
adalah sebagai berikut :

a. Faktor internal: perasaan, sikap dan karakteristik individu, prasangka,
keinginan atau harapan, perhatian (fokus), proses belajar, keadaan fisik,
gangguan kejiwaan, nilai dan kebutuhan juga minat, dan motivasi.

b. Faktor eksternal: latar belakang keluarga, informasi yang diperoleh,
pengetahuan dan kebutuhan sekitar, intensitas, ukuran, keberlawanan,
pengulangan gerak, hal-hal baru dan familiar atau ketidak asingan suatu
objek.

2. Pembentukan Tindakan dengan Persepsi

Pengalaman motorik seseorang memengaruhi cara seseorang melihat dunia.
Bagaimana cara kita melihat orang lain bergerak di sekitar kita juga membentuk
interaksi kita sendiri dengan lingkungan. Secara khusus, manusia sangat bergantung
pada sistem visualnya untuk membantu mempelajari tindakan baru. Salah satu cara
kita mempelajari keterampilan baru dalam hidup adalah dengan melihat orang lain.
Penelitian tentang pembelajaran tindakan menunjukkan bahwa mengamati dan
mereproduksi secara bersamaan pola gerakan menghasilkan pembelajaran tercepat
dan paling akurat. Dalam sebuah penelitian menggunakan pengukuran psikofisik dan
elektromiografi dengan manusia sebagai peserta, menunjukkan bahwa peserta belajar
tentang Tugas motorik baru dengan cara mengamati individu lain belajar untuk
melakukan tugas yang sama.

Pada studi ini, saat menari, daripada berlatih secara fisik, belajar menari melalui
video game tari justru lebih efisien. Karena mereka beranggapan bahwasanya belajar
menari itu mudah dan menyenangkan. Dalam studi ini, partisipan tidak diinstruksikan
untuk mencoba dan belajar selama blok observasi pelatihan periode, sebagai
gantinya, mereka disuruh istirahat dan menonton beberapa video musik tarian urutan
yang tidak mereka latih saat detak jantung mereka pulih. Data penelitian
menunjukkan bahwa pembelajaran fisik dan observasi muncul untuk mempengaruhi
daerah otak dengan cara yang sama. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa pembelajaran
observasional begitu kuat daripada latihan fisik dalam mempelajari keterampilan
motorik baru.

Lain halnya dengan kajian yang dibahas pada bagian pertama, saat menelaah cara
observasibentuk tindakan, studi menggunakan tarian telah memajukan pemahaman
kita tentang bagaimana observasi memengaruhi daerah motorik otak. Sementara
beberapa bukti menunjukkan bahwa pengalaman visual saja tidak cukup
mempengaruhi daerah motorik di dalam otak. Penelitian lain menyarankan bahwa
ketika seseorang mengamati gerakan yang dia tidak mungkin bisa secara fisik
melakukan, pengalaman visual yang luas dengan tindakan ini dikaitkan dengsan
kemunculannya representasi saraf dalam wilayah.

Kedua penelitian ini menunjukkan bahwa tindakan dapat dibentuk dengan
adanya keinginan melakukan saat mengamati orang lain melakukan suatu kegiatan.

3. Estetika Aksi

Saat kita menonton orang sedang menari atau bermain balet faktor utama yang
menarik perhatian kita mengkapa kita seng melihat aksi seperti itu karena kita senang
melihat gerakan-gerakan tersebut. Saat kita membicarakan atau mambahas estetika
aksi ada dua masalah utama. Pertama dalah apa estetika aksi tersebut, dan yang
kedua adalah seperti apa etensitas atau pengalaman yang memenuhi syarat untuk
bisa diebut dengan sebuah estetika aksi. Dalam sebuah artikel kegunaan
neuroaesthetics dan kemajuan masa depan bahwa akan hadir alasan kuat untuk
memperluas fokus estetika untuk memasukkan fenomena perseptual apapun yang
"mempromosikan perhatian selektif dan tanggapan emosional yang positif" (hlm. 44;
lihat juga Orians2001). Sebab dari itu banyak orang yang menentang pertanyataan-
pernyataan neuroaesthetics yang baru karena berfokus diotak daripada secara
eksklusif (dan sempit) pada konsepsi Eurosentris tentang "seni"

Salah satu konseptualisasi teoritis yang paling menonjol dari neuroaesthetics
ditempatkan dikemukakan oleh Freedberg dan Gallese (2007). Penulis ini berpendapat
bahwa faktor penting dalam membentuk pengalaman afektif (atau estetika) pengamat
adalah simulasi tindakan, emosi,dan sensasi tubuh yang terlihat atau tersirat dalam
sebuah karya seni. Dalam teori tersebut Freedberg dan Gallese fokus dalam hal karya
statis seni visual dalam bentuk lukisan dan patung, dan menyarankan agar pengamat
dapat mengalami "resonansi yang diwujudkan"saat melihat karya seni berdasarkan
konten karya itu sendiri atau melalui jejak yang terlihat dari media artistik.

Penting untuk mempertimbangkan studi elegan oleh Hayes dan rekannya yang
memandang penilaian estetika dari melakukan atau mengamati tindakan sederhana
yang diarahkan umum, benda sehari-hari (Hayes et al. 2008). Tentang studi yang
menyediakan tenpat untuk mambangun pemahaman efektif yang lebih ke
tindakan,seperti menari. Dalam satu set tiga percobaan, Hayes dan rekannya diperiksa
bagaimana kelancaran perseptual atau motorik dalam hal bagaimana suatu objek
dipegang memengaruhi peserta menyukai objek itu. Percobaan pertama 2 orang
disuruh memegang benda seperti pengocok telur. Orang yang pertama memegang
benda tersebut biasa saja,tetapi orang yang kedua memegang benda tersebut secara

canggung. Hayes dan rekannya melaporkan bahwa orang menilai barang atau objek
menggunakn kesukaan atau hal yang disukainya. Dalam percobaan selanjutnya Hayes
dan rekannya memberikan nontonan dan seberapa meyenakna mereka menemukan
objek yang ditentukan dan lagi-lagi hasilnya orang akan lebih mudah memukan objek
tersebut jika orang tersebut lebih suka dengan objek tersebut.

Penulis menyimpulkan orang akan fasih dengan objek jika dia menyukai objek
tersebut. dalam situasi ini oleh gerakan halus, efisien, menimbulkan pengaruh positif
terhadap objek tersebut (Hayes et al.2008). bahwa gerakan tersebut yang membuat
seseorang berpengaruh terhadap bagaiman objek tersebut.

Bukti yang dilaporkan oleh Hayes dkk (2008) ini cocok dengan Freedberg
danGallese (2007) mewujudkan gagasan simulasi pemrosesan estetika. Saat banyak
proposal teoritis tentang dan pekerjaan perilaku dilakukan dengan tindakan
menggenggam sederhana,banyak laboratorium melakukan penelitian evaluasi
empiris estetika otak saat menonton tayangan orang menari. Banyak orang tertarik
untuk mengeksplorasi hubungan di antara keduanya pengalaman pengamat sendiri
dan seberapa besar kenikmatan yang mereka peroleh dari menonton seorang penari
tampil

4. Bagaimana Pengalaman Aksi Membentuk Preferensi di Penonton Tari

Pengamatan untuk studi empiris pertama yang lakukan itulah yang diteliti Respon
neuroaestetik untuk menonton tarian berasal dari berbagai sumber. Yang pertama
studi “skylight’’ melihat aktifitas sesorang saat menonton orang menari dengan
gerakan-garakan yang mereka sukai. Yang kedua semulasi neuroaesthetics untuk
melihat sensor motorik saat evaluasi estetika karya seni. Dan yang ketiga bagaiman
respon ketika menonton tayang orang menari. Dalam studi oleh Calvo-Merino dan
rekannya(2008), enam penonton yang tidak tau tentang hal-hal yang berbau manari
menyaksikan 24 gerakan yang dilakukan oleh orang professional. Dan satu tahun
kemudian meraka diundang dan beri tontonan yang sama. Untuk sesi pengujian orang
tesebut cukup menonton layar video dan diberi oertanyyan yang berkaitan dengan
esteika pengalam mereka. Kemudia seorang penulis merikan sekor rata-rata untuk
mengetahui respon saraf dengan besar yang tinggi saat menonton tayang yang
mereka sukai. Dan menghasilkan 2 temuan, temuan yang pertama kontrek visual dan
konters premaotor kana menunjukan aktifitas lebih besar saat menonton tayangan
yang disukai, dan yang kedua penonton lebih suka melihat gerakan seluruh tubuh
penari saat menari seperti lombatan horizontal ketimbang gerakan-gerakan kecil.

Dari dua hasil tersebut banyak pertanyan-pertanyan yang timbul apalgi dengan
peryataan pertama tentang hubungan sensor motorik dan kesenangan. Ada satu
pertanyan yang paling terkanl adalah bagaimana penilaian online individu atas nilai
estetika berhubungan dengan otak fungsi. Keenam peserta yang diberikan nilai rata
pada satu gerakan dan peringkat estetika diberikan diluar FMRI. Jadi hasil tersebut
tidak bisa manjadi perbedana individu dalam refensi estetika dalam satu gerakan yang

memang khusus difokuskan. Maka penelitian akan menfokuskan hal tesebut dan
bagaimana kemampuan fisik dalam melakukan gerakan yang di sukai.

Percobaan selanjutanya peserta diberikan 64 klip video berdurasi 3 menit gerakan
yang dilakukan oleh penari profesional dan menyuruh mereka melakukan gerakan
yang sudah ditentukan oleh para pengamat. Dan para peserta itu debrikan pertanyan
seberapa bisa anda melakukan gerakan tersebut dan seberap suka anda melakukan
gerakan tersebut. Untuk memahami hubungan antara perwujudan dan estetik dalam
penelitian ini dan data perilaku apa yang terungkap dalam hal hubungan antara tingkat
kesukaan dan reproduktifitas, serta apa yang dicitrakan oleh otak. Data yang di
dapatkan dari penelitian tersebut adalah tentang bagaimana jaringan observasi
tindakan menanggapi gerakan-gerakan itu dapat direproduksi secara fisik
dibandingkan dengan yang menyenangkan untuk ditonton. Jika data tersebut untuk
mendukung teori dominan AON, yang menyatakan bahwa daerah otak ini merespons
sebagian besar untuk gerakan yang dapat dilakukan atau dihadirkan oleh peserta
dalam repertoar aksinya (misalnya Calvo-Merino et al. 2005; Cross et al. 2006), maka
akan memprediksi sebagian besar AON aktivasi saat menonton gerakan yang oleh
peserta dinilai mudah direproduksi, tidak tergantung pada nilai estetika. Namun,
simulasi jika diwujudkan dalam teori estetika lebih akurat menjelaskan bagaimana
otak kita menanggapi rangsangan yang menyenangkan secara estetika (Freedbergdan
Gallese 2007), maka kami akan memprediksi aktivitas AON terkuat saat menonton
gerakan yang menurut peserta dinilai paling menyenangkan, terlepas dari seberapa
mungkin itu terjadiuntuk mereproduksi mereka.

Dari penelitia tersebuta banayk hasil yang didaptkan. Pertama menemukan yang
kuat hubungan negatif antara kenikmatan dan kemampuan yang dirasakan untuk
bereproduksi secara fisik gerakan. Terbukti karena peserta akan memilih gerakan yang
susah untuk dipoduksi. Peneliti memilih untuk menerapkan serangkaian analisis
parametrik ke datanya, yang mana memungkinkan untuk melihat kesukaan individu
dan peringkat reproduktifitas masing-masing peserta, dan mempertanyakan
bagaimana respons otak berubah jika gerakan dinilai semakin meningkat atau semakin
berkurang disukai atau semakin tidak disukai dan mudah untuk direproduksi. Peneliti
menemukan bahwa beberapa daerah dalam AON, khususnya korteks oksipito
temporal dan inferiorlobulus parietal, aktivasi yang semakin kuat semakin maka
disukai suatu gerakan. Tetapi, ketika peneliti bertanya bagian otak mana yang
menunjukkan aktivitas lebih besar, maka lebih mudah gerakan direproduksi. Studi
tahun 2006 kami menunjukkan parietal yang lebih besar dan keterlibatan premotor
ketika penari ahli menilai gerakan semakin mungkin mereproduksi. Dalam studi 2011
kami dengan non-penari, tidak ada muncul kontras mengevaluasi area otak saat
peningkatan aktifitas, saat semakin baik orang mengamati suati hal. Saat kami
mengevaluasi kontras terbalik untuk aktifitas yang lebih besar maka semakin sulit
sebuah gerakan muncul, aktivitas muncul dalam korteks visual bilateral.

Analisis ini menarik karena bagaimana kaitan antara antara rasa menyukai dan
kemampuan fisik yang dirasakan. dengan kata lain otak bagian mana yang merespon
lebih kuat saat peserta menonton gerakan yang disukai,tetapi itu juga gerakan yang
sangat susah untuk diproduksi. Jadi berbeda hal dengan pernyataan yang memilih hal
yang disukai jika sekarang orang menyukai gerakan tersebut tetapi sulit diproduksi
oleh mereka.

Ketika temuan perilaku dan pencitraan dipertimbangkan bersama, mereka akan
muncul agak bertentangan dengan temuan yang dilaporkan oleh Hayes dkk (2008).
bahwa peserta harus menemukan gerakan-gerakan yang kurang menyenangkan
menjadi sangat sulit bagi mereka untuk tampil. Namun, tampaknya persepsi tersebut
mengalahkan kemampuan aksi ketika peserta yang naif menari menonton gerakan
tarian untuk pertama kalinya,dan melihat seorang penari melakukan gerakan yang
sangat kompleks dengan mudah dan anggun sangat menyenangkan, bahkan jika atau
tidak seorang peserta tidak bisa datang hampir mencapai hal yang sama dengan
tubuhnya sendiri.

Apa yang kami bahas dalam makalah kami adalah menonton gerakan yang
menyenangkan secara estetika mungkin mendorong aktivitas dalam bagian-bagian
tertentu AON karena minat pada gerakan tersebut mendorong daerah sensorimotor
untuk "bekerja lebih keras" untuk mencoba dan mewujudkan gerakan (Crossdkk.
2011). Oleh sebab itu, kami berpendapat bahwa temuan kami memberikan dukungan
tentatif kepada Freedberg dan Gallese(2007) mengusulkan bahwa penginderaan
menggunakan tubuhnya sendiri untuk mensimulasikan apa yang dilihat dalam sebuah
karya seni (atau stimulus apa pun) terkait dengan pengalaman estetiknya dari karya
itu.

Langkah selanjutnya untuk memahami bagaimana pengalaman fisik dikaitkan
dengan estetika evaluasi. untuk menguji bagaimana pembelajaran harus dilakuka
nurutan tarian mempengaruhi penilaian estetika peserta itu. Dalam satu percobaan,
kami menerapkan desain pelatihan antar mata pelajaran dengan 60 peserta yang naif
menari. menggunakan sistem “Dance Central Video game 2 ". Sistem ini menggunakan
relai dan pelacakan gerak seluruh tubuh yang canggih umpan balik waktu nyata
kepada peserta saat mereka menari bersama dengan avatar di monitor.Dalam studi
perilaku ini, peserta dibagi menjadi tiga kelompok yang terdiri dari 20 orang. Di antara
tiga kelompok pelatihan, satu kelompok secara fisik mempraktikkan beberapa
rutinitas gerakan hip-hop / klub dansa yang dikoreografikan menjadi populer lagu,
kelompok kedua hanya menonton avatar menari dengan urutan yang sama sementara
juga mendengarkan musik, dan kelompok ketiga hanya mendengarkan musik dari
rangkaian tarian di setiap sesi pelatihan. Hasilnya Bertentangan dengan apa yang kami
temukan ketika peserta yang naif menari menonton balet profesiona lpenari
menampilkan urutan tarian pendek, data dari perilaku antar subjek inistudi pelatihan
menyarankan bahwa peserta yang secara fisik mempraktikkan urutan tarian selama
seminggu pelatihan menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam peringkat

estetika merekagerakan tari pada beberapa dimensi (Kirsch et al. 2013). Khususnya,
hanya menonton urutan dan mendengarkan musik yang sesuai, atau hanya
mendengarkan musik saja tidak sesuai dengan peningkatan kenikmatan dari setiap
dimensi urutan tarian,jadi kita bisa cukup yakin bahwa ini bukan sekadar efek
pemaparan atau keakraban di domain audio atau visual. Sebaliknya, tampaknya
kinerja fisik khusus ini urutan tarian berkontribusi pada penilaian estetika yang positif.

5. Menggunakan Tarian untuk Mengeksplorasi Perwujdan dan Estetika
Tujuan utama dari bab ini adalah untuk menyoroti dua areka di mana konvergensi

tari dan ilmu saraf memiliki potensi untuk memajukan pemahaman kita tentang otak
manusia. Yang pertama adalah bahwa persepsi tindakan dan produksi berbagi saraf
yang sama subtrat, dan tarian menyediakan sarana yang berguna untuk
mengeksplorasi hubungan ini. Kedua adalah gagasan perwujudan dan pengalaman
sensorimotor pengamat sebelumnya mungkin membantu menerangi parameter yang
memandu mengapa dan kapan kita memperoleh kesenangan dari menonton yang lain
pindah. Seperti yang sekarang telah dikemukakan oleh sejumlah peneliti dengan
keahlian yang mencakup domain tari dan ilmu saraf, kolaborasi berkelanjuran antara
komunitas tari dan ilmiah akan menguntungkan kedua disiplin ilmu. Sebagian besar
karya yang dijelaskan dalam bab ini menggunakan penari sebagai partisipan atau
pembelajaran/peresepsi menari sebagai paradigma untuk mempelajari gerakan
seluruh tubuh tanpa banyak perhatian pada sifat artistik tarian itu sendiri, bidang
neuroaesthetics di mana sains memiliki potensi untuk memberikan manfaat bagi dunia
tari tergantung pada pertanyaan yang tepat ditanyakan. Sejalan dengan itu, salah satu
platform yang menggembirakan kolaborasi antara ilmuwan dan penari dari Forsythe
Company adalah dance.

Gambar 10.1 Skema Jaringan Pengamatan Tindakan
Jaringan observasi tindakan didistribusikan secara bilateral dan terdiri dari daerah
otak yang aktif saat mengamati tubuh orang lain bergerak. Wilayah inti dari jaringan
ini adalah : (1) bagian perut dan korteks premotor punggung; (2) lobulus parietal

inferior, sering meluas ke posterior sepanjang sulkus intraparietal; (3) lebih banyak
bagian anterior dari korteks temporal superior serta kompleks okspital lateral; dan (4)
pelengkap dan korteks pra-pelengkap yang terletak di permukaan medial setiap
belahan bumi. Set tertentu daerah otak yang diilustrasukan di sini berasal dari kontras
yang dibandingkan dengan menonton penari yang sedang bergerak dibandingkan
dengan penari yang berdiri diam.

Seri lokakarya penelitian interdisipliner yang melibatkan sains. Sebagai
konsekuensi dari seni ini, sejumlah kolaborasi baru yang menarik berfokus pada
bagaimana ilmu saraf tindakan dan persepsi berhubungan dengan gerakan estetika
ditempa dengan masukan yang sama dari penari dan ilmuwan (misalnya Waterhouse
dkk. 2014). Sementara pekerjaan interdisipliner seperti itu tentu menghadapi banyak
sekali tantangan untuk mengakomodasi kosa kata, prioritas, dan tujuan yang berbeda,
itu juga membuat kita berada di jalur yang berharga mengeksplorasi, dan akan
menjelaskan lebih lanjut hubungan antara perwujudan dan kenikmatan saat
menonton atau menampilkan tari.

Gambar 10.2 Ringkasan Temuan Perilaku dan Neuroimaging dari Cross et al. 2011.
Panel A mengilustrasikan korelasi negatif antara peringkat kesukaan dan persepsi

kemampuan fisik peringkat. Scatter Plot menunjukkan betapa peserta paling tidak
menyukai gerakan-gerakan yang mereka kira dapat dengan mudah berkembang biak,

seperti penari yang berjalan hanya dalam lingkaran. Bintang berwarna terang di kiri
atas plot sesuai dengan gerakan yang dirinci di klip video atas di sebelah kanan.
Peserta paling menyukai gerakan yang mereka anggap sangat sulit untuk direproduksi.
Bintang berwarna gelap di kanan bawah pot sebar sesuai dengan klip video di kanan
bawah panel A. Dalam urutan ini, penari melakukan entrechat enam, diikuti oleh demi-
plie sebagai persiapan untuk tur ganda en l’air sederhananya ini adalah lompatan di
mana penari melalukan enam penyilangan kaki runcingnya, diikuti dengan lompatan
dengan kaki lurus ditempatnya melakukan dua rotasi berturut-turut.

Panel B menggambarkan beberapa otak oksipitoteomporal daerah yang muncul
dari anaisis konjungsi yang menginterogasi daerah yang meningkat aktivasi semakin
sulit peserta menilai gerakan menjadi merah, daerah otak yang menjadi semakin aktif
semakin banyak peserta yang menyukai gerakan berwarna hijau, dan daerah otak itu
peningkatan aktivitas baik sebagai gerakan yang dinilai lebih menyenangkan untuk
ditonton dan lebih sulit untuk dilihat tampil berwarna kuning.

DAFTAR PUSTAKA

Awatara, Bagus Ngurah (2015). Neuroanatomi Korteks Serebri. hal.14. Diperoleh dari
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/0d8bf8b67c3ac49898b880c
1c21eecc1.PDF

Huston, dkk. 2015. Art, Aesthetics, and The Brain. Dalam Joseph P. Huston, Marcos Nadal,
Francisco Mora, Luigi F. Agnati, % Camilo J. Cela-Conde (Ed). Aesthetic appreciation:
Convergence from Experimental aesthetics and physiology. Amerika Serikat: Oxford
University Press.


Click to View FlipBook Version